Patung Emas Kaki Tunggal Jilid 14

 
Jilid 14

TAMPAK CIONG LAM Ciangbunjin Lu Bu wi dan Lau Sam thay sedang berdiri di kejauhan dengan terlonjong. Tidak jauh disebelah kanan Ling koh berdiri dengin cengar cengir bangga. Disebelah kiri terlihat pula Thian ki mo kun Ki Kouw dan It ping ketua dari Sip coa ya kun sirasul Ungu sedang bertempur sengit melawan Ban li bu in dan It lun bing gwat.

Serangan Ki Houw amat culas, kepandaiannya memang hebat, dengan satu melawan dua ia masih bermain dengan santai malah balas mendesak lawan hingga kerepotan seperti badut melucu belaka. begitu Go hay ci hai g muncul Ban li se gera berteriak : “Hweshio tua! Kau terlambat datang sedetik lagi, kami berdua sudah tidak kuat bertahan lagi!”

“Genduk cilik!” ujar Go hay ci hang ke pada Ling koh “Harap kau melelahkan diri menggebah pergi cecunguk iblis ini!”

Ling koh mengiakan terus tampil kedepan. Agaknya Ki houw tahu kelihayannya, seraya bersuit ia bawa si Rasul Ungu lari terbirit birit.

Lekas Lu Bu wi maju memapak serta bersoja kepada Koan San gwat, katanya: “Ling cu! Losiu …”

“Sudah jangan cerewet lagi !” tukas Ban li bu in sambil terngangah, “Lekas tarik mundur semua anak buahmu serta bongkar semua bahan peledak yang kalian pendam, kalau terlambat kita hancur lebur!”

Lu Bu wi menjadi sangsi, lekas Koan San gwat menimbrung” Silahkan Ciangbunjin keluarkan perintah, duduk perkaranya nanti kujelaskan lebih lanjut”

“Ya lebih cepat lebih baik, “sela Go hay, “Meski Lolap sudah minta bantuan orang untuk merintangi segala sepak terjang para iblis itu, tapi kalau Ciangbunjin atau bentrok dengan bala bantuanku ini …”

Terpaksa Lu Bu wi membawa Lau Sam thay.

Kata Ban li bu in kepada Koan San gwat: “Anak muda tidak kuduga kau mengatur sedemikian rapihnya. Untung Hweshio tua mengetahui segala rencanamu ini, kalau tidak kita bakal terkubur diatas gunung. Cara bagaimana kau gunakan cara yang buntu begini!”

Merah muka Koan San gwat, sahutnya “Sebelum aku naik keatas gunung, aku belum paham benar akan seluk beluk Liong hwa hwe karena kupapari banyak anggota dari Liong hwa hwe berdiri para gembong gembong iblis, buaya darat serta gembong gembong penjahat lainnya …” “Kau sendiripun diatas gunung, apa kau tidak takut terkubur bersama mereka? ” senggak Ban li bu in.

“Kita dapat memberantas kejahatan bagi umat manusia, tidak perlu saya adu jiwa sendiri. Soalnya kalian tokoh tokoh silat lihay dan berkepandaian tinggi, hanya jalan yang kutempuh inilah satu satunya cara untuk memberantas gembong gembong iblis itu …” demikian ujar Koan San gwat dengan sikap kereng. Go hay ci hang tertawa, karanya : “Sekarang silahkan buang panah peledak tanda bahaya yang kau simpan dalam lengan bajumu, meski rencana kerjamu amar rahasia, namun mana bisa mengelabui anak buah Thian ki mo kun, untuk Lolap mendapat bisikan, kalau dedak bahan peledak yang kau sebar diempat penjuru itu, terbalik akan mereka gunakan untuk menjebak kita, orang gagah yang tinggal diatas gunung bakal ajal semua, seluruh jagat akan dikuasai gembong gembong iblis yang bersimaharaja!”

Merah padam muka Koan San gwat, mulutnya terkancing rapat.

“Koan kongcu!” Ling koh menimbrung. “Gurumupun mungkin berada diatas gunug apa kau tidak kuatir beliau ikut menjadi korban dari ledakan hebat itu?”

“Berdasar pengertianku semula terhadap Liong hwa hwe, sebagai organisasi sesat, maka aku siap melaksanakan rencana aku itu dengan segala tekad dan resiko.”

“Tidak sudah Siheng terangkan lagi,” ujar Go hay, “Maksud baikmu memang harus dipuji. Kalau Liong hwa hwe seperti dugaan mu, sekali meledak seluruhnya bakal hancur lebur, dunia selanjutnya bakal aman tentram dan sentosa, meski yang tidak berdosa ikut cidera umpamanya juga setimpal!”

“Agaknya Losiansu dapat menyelan sanubariku!” ujar Koan San gwat bersoja.

“Tekadmu memang baik, cuma caramu yang kurang dapat dihangai, malah terlalu berbahaya, dan lagi kau mengerahkan tenaga begitu banyak sehingga menyolok mata dan membocorkan rahasia. Begitu kau tiba diatas gunung Ki Houw sudan membekuk seluruh anak buahmu yang kau pendam itu, malah menggunakan bahan peledak yang sudah tersedia itu berbalik hendak menghadapi kita beramai..”

Sungguh sesal dan gegetun lagi Koan San gwat d buatnya, katanya “Wanpwe harus mengakui kesalahan ini, untung Losiansu cukup cermat dan bisa bertindak cepat lagi, sehingga kesalahan besar ini bisa terhindar …”

“Urusan tidak perlu diperbincangkan lagi, masih ada tugas lain yang lebih penting, kawan kawan tua harap naik kegunung tunggu disana sementara waktu, harap sampaikan pula pada sahabat lainnya supaya melegakan hati, tiga hari lagi bila Cia Ling im meluruk datang Lolap sudah punya cara mengatasi mereka!”

Sekias Ban li dan It lun saling pandang dengan bimbang, namun tanpa bicara mereka terus putar tubuh tinggal pergi.

Sementara sambil berdiri menjublek hati Koan San gwat dirundung berbagai pertanyaan yang tidak habis dimengerti, “entah apa pula yang hendak dilakukan oleh Hweshio tua yang serba misterius ini!”

Sikap Ling koh serius, cepat ia putar tubuh jalan depan dengan rasa heran Koan San gwat mengintil dibelakang, kira kira satu li kemudian tibalah mereka dipinggir sungai Tiang kang, dari semak alang alang Ling koh menyeret sebuah sampan kecil terus lompat ke atasnya pegang dayung sudah siap untuk berangkat, segera Go hay merangkap tangan bersoja bersabda : “Siheng silahkan naik kesampan, dua hari lagi Lolap akan tunggu kedatanganmu ditempat ini pula!”

“Losiansu!” tanya Koan San gwat bingung, “Kau tidak ikut?

” “Lolap tiada jodoh! Disebelah depan tentu ada orang menyambut kedatanganmu, Si heng memikul tugas berat, kuharap kau dapat menjag diri.”

Dengan bingung dan heran Koan San gwat melompat keatas sampan, cepat Ling koh kerjakan dayungnya, sanpan kecil itu laju dengan pesatnya menerjang gelombang sungai Tiang kang yang besar.

Koan San gwat bertanya : “Adik cilik, apa yang terjadi, kemana pula kami hendak pegi? ”

Ling oh tertawa cekikikan sambil mengerjakan dayung nya lebih cepat lagi tanpa suara kira kira satu jam kemudian, magrib sudah menjelang, mendadak Ling koh membelokan sampannya kearah tepi, sekilas pandangan daerah ini semak belukar melulu, daun welingi tumbuh subur setinggi manusia, menutupi sebuah jalan kecil yang berliku liku.

Sampai disini tiba tiba Ling koh menjura dengan laku hormat katanya “Hamba hanya bisa menngantar sampai disini, silahkan Kongcu maju lebih lanjut lewat jalan kecil ini didepan akan kau temukan sesuatu. Dua hari lagi hamba akan manunggu ditempat ini menyambut Kongcu! Selamat bertemu!”

Lalu ia putar haluan sekejap saja sampan sudah menghilang dibawa arus sungai yang deras.

Seorang diri Koan San gwat terlongong dipinggir sungai yang sunyi senyap, sekian lama ia bingung dan hambar, sebab pengalaman hidupnya semakin lama semakin aneh dan sulit dipercaya, dengan segala jerih payah akhir nya ia membongkar seluk beluk Liong hwa hwe yang serba misterius itu, kini dia dipermainkan oleh Hwesio tua yang serba misterius, Ling koh yang nakal dan pintar itu membawanya ketempat yang asing dan semak belukar begitu, mulailah ia memasuki suatu persoalan yang serba rahasia lagi. Tempat apakah ini! Siapa yang menetap ditempat terasing ini? Sudah tentu sia sia pertanyaan ini, karena tiada orang yang memberi jawaban. Ada satu kepastian yang tidak bisa d bantah lagi, yairu tiga hari yang akan datang Siu lo cun sia Cia Ling im bakal meluruk datang beserta seluruh begundalnya untuk merebut kekuatan yang sudah ludes di puncak Sin li hong, kedatangannya itu laksana airbah yang sangat sulit dibendung, dan agaknya tiada seorangpun yang nampu mengendalikan serbuan besar ini.

Go hay ci hang bilang punya pegangan yang cukup diandalkan, kepercayaan ini tergantung pada diriku, akulah yang bakal dijadikan tameng atau bendungan untuk menahan arus besar itu. “Dapatkah kekuatanku menahan serbuan Cia ling im ing itu? ”

Sudah tentu tidak mungkin. Pertempuran didepan gunung Gi hi thia hit Cia Ling im tidak pandang diriku sebelah matanya, memandang rendah itulah cacat yang terbesar sehingga dia kukelabuhi. Bila bentrok lagi untuk kedua kalinya tentu sulit memperoleh kesempatan sebaik itu.

Sudah tentu Go hay ci hang juga maklum akan hal ini, namun ia masih meletakan harapan satu satunya pada dirinya, malah sekarang dirinya diantar ketempat ini, seperti dia tahu dirinya bakal menemukan sesuatu yang berhanga disini.

Pertemuan macam apakah? “Siapapun tidak akan mungkin, dalan jangka tiga hari menggembleng diriku berlipat ganda, mencapai setingkat atau unggul dari Ci Ling im.”

Meski hatinya diiundung berbagai pertanyaan yang sulit dijawab, namun kakinya tidak berhenti melangkah, menyusuri jalan kecil yang sudah belukar itu ia terus maju kedepan menyibak pohon yang tumbuh subur.

Jalan kecil ini benar benar sudah belukar, agaknya hutan ini sudah lama tidak diinjak manusia, beberapa kali ia kesasar, keadan memang seperti sebuah jalanan, namun setelah diselusuri baru dia tahu jalan itu menuju ke lubang binatang kecil, seperti kelnci atau musang yang kaget dan lari seraburan menyembunyikan diri. Terpaksa ia kembali ketempat semula mulai lagi mencari jalan yang tepat.

Malah setelah pulang pergi bolak balik ia menyadari akan kesalahannya, sebab setiap kali ia menuju kejalanan yang salah dihadapinya lantas dihadang gumpnlan kabut tebal dan tidak mungkin maju lebih lanjut.

Lambat laun ia baru menyadari bahwa semak belukar yang dihadapi ini bukan semak belukar biasa, jelas didalam semak belukar ini diatur semacam barisan yang dapat menyesatkan padangan orang.

Diantara sekian banyak jalan jalan itu hanya satu yang benar, jalan lurus yang benar ini baru ia dapat melepas pandangannya yang terang benderang dan melalui jalan lurus yang benar ini pula dia bisa tiba disatu tempat. Karena ia menginsafi akan kelihayan barisan itu, maka setiap kali ia masuk kejalan sesat dan sebelum terlanjut lekas mundur balik ketempat semula sehingga ia tidak terjebak dan mati kutu ditengah barisan.

Setelah mengalami kesalahan langkah berulang kali, lama kelamaan tersimpul oleh Koan San gwat cara pemecahannya, teraba olehnya sebuah jalan yang tepat untuk mengatasi segala kesesatan itu. Setiap kali ia menghadapi jalan sesat yang membingungkan, setiap kali kepala ia memutar dan menyelusuri jalan sebelan pinggir kanan dan itulah jalan lurus yang benar, begitulah jalan punya jalan ia tidak terpengaruh lagi akan keajaiban barisan yang menyesatkan itu, akhirnya dengan leluasa ia menyelusuri jalanan yang dia harus tempuh.

Entah berapa lama ia menghabiskan waktu, di ufuk timur sudah menunjukkan setitik sinar terang, air embun sudah membasah kuyup seluruh pakaiannya, baru dia lolos dari semak belukar yang menyesatkan itu dan berdiri di atas sebuah lereng bukit yang rendah. Selayang pandang menjelajah, seketika ia terbelalak, dan berjingkrak kaget, napaspun seperti sulit ditarik.

Dari cahaya pagi yang menerangi jalan raya ini, dikejauhan sana ia melihat tempat di mana kemarin petang mendarat, jarak dengan tempatnya berdiri ini cuma satu li lebih, damparan ombak disungai terdengar jelas olehnya.

Jadi semalam suntuk aku menggerayangi dalam semak belukar ini tidak lebih hanya tiga empat bau saja.

Semak belukar sekecil ini menghabiskan waktu semalam suntuk, naga naganya orang yang menciptakan barisan ini amat lihay, sungguh tidak bisa diukur betapa hebat daya ciptanya. Untung secara serampangan aku bisa menembus barisan yang menyesatkan itu.

Setelah terlongong sejenak, ia melanjutkan kesebelah depan.

Pandangan didepan berganti rupa dan bentuknya pula. Kelompok demi kelompok tanaman kembang seruni sedang mekar semerbak dan subur sekali, beraneka warna lagi bulan sembilan memang musim kembang seruni mekar, pandangan didepan mata tidak perlu dibikin heran, dari deretan kelompok kembang kembang ttu mengalir air jernih dalam sebuah anak sungai yang bening, sepanjang sungai pohon itu berbaris meliuk dahan dengan lambaian daunnya yang lemah gemulai, melepas pandang kesebelah depan, di sana keadaan lebih menakjubkan.

Begitu takjub Koan San gwat menghadap keadaan didepan matanya sampai ia lupa diri dan mulutpun ternganga lebar, perasaan menjadi nyaman dan lega.

Entah berapa lama ia terlongong, akhir nya ia menghela napas, ujarnya “Tempat bagus! Dan menetap ditempat seindah ini sungguh hidup laksana dewata!” Sekonyong konyong didengarnya suara perempuan berkata “Angan angan bocah ini ternyata sama dengan kau!”

Lalu disambung oleh suara laki laki berkata: “Keparat ini terlalu tebal diliputi hawa membunuh dan napsu asmara, tidak setimpal dia menetap ditempat macam ini.”

Suara perempuan itu masih asing bagi pendengaran Koan San gwat, tapi suara laki laki itu membuat hatinya seperti terpukul godam, itulah suara gurunya yang berbudi, Tokko Bing yang selalu dikenangkannya.

Sambil berlinang air mata, suara Koan san gwat gemetar, teriaknya: “Suhu … dimanakah kau …”

Percakapan mereka kedengarannya dekat, kemana Koan San gwat sudah mencari ubek ubekan tidak menemukan jejak atau bayangannya, saking gugup ia terus berlutut dan berseru sambil sesenggukan, “Suhu Tecu kangen benar terhadap kau orang tua, mengapa tidak memberi kesempatan bagi Tecu untuk menghadap padamu? ”

Cukup lama ia menangis, namun sekelilingnya masih sepi.

Entah berapa lama kemudian akhirnya terdengar pula suara perempuan itu berkata: “Sudah jangan kau permainkan dia, lihat betapa kasihannya!”

“Biarkan saja !” terdengar sahutan Tokko Bing, “Bocah itu perlu diajar adat kalau tidak siapa kelak yang mampu mengendalikan dia.”

“Kau tidak perlu banyak mulut? Perangaimu dulu lebih jelek dari dia, hanya selama dia dapat memecahkan Kiu gan toa mi tin, ini bukti bahwa dia lebih kuat dari kau. Dan lagi dia sudah letih semalaman, lahir dan batin sudah diperas habis habisan, kalau terlambat istirahat bila diserang penyakit tentu runyam akibatnya.” “Hiang ting kau selalu tergesa gesa, coba lihat hatimu masih kamaruk kerinduan duniawi halangan besar yang harus kita hadapi kuduga sulit ditembus!”

“Kalau memang sudah dekat tentu segera dapat kita hadapi, aku sendiri sudah jemu dan pasrah nasib saja. Seiring dengan perkataan ini, pandangan Koan San gwat seperti kabur, diatas batu dipinggir kali sebelah sana entah kapan tahu tahu duduk dua orang dengan angker nya yang perempuan cantik rupawan laksana bidadari, laki lakinya kereng dan gagah seperti …

Tersipu sipu Koan San gwat memburu maju menjatuhkan diri berlutut, serunya haru “Suhu …” mendadak pandangaan mata menjadi gelap hampir saja ia jatuh semaput. Cepat perampuan itu mengebaskan lengan baju nya mengangkat pundaknya, katanya tertawa “Nak, jangan hanyut oleh perasaan, tuntun hawa muri kedalam pusar …”

Terasa oleh Koan San gwat kebasan lengan baju orang mengandung tenaga kuat yang menahan gejolak hawa dalam dadanya, cepat ia menggiring tenaga dari luar yang merembes masuk terus berputar sehaluan diseluruh badan, akhirnya kembali kedalam pusat, sekuat tenaga ia mengendalikan perasaan hatinya hingga tenang kembali.

Pelan pelan Tokko Bing berdiri, ujarnya “Hiang ting, kau tergesa gesa lagi lwekang harus dilatih secara tekun dan makan waktu, hasil yang diperoleh tanpa bekerja ini, hanya akan mencelakakan dia belaka.”

“Banyak sekali persoalan yang harus kuminta bantuannya.

Sudah kau tidak usah turut campur!”

Melihat guru sehat Walafiat tidak kurang suatu apa, gagah serta jauh lebih matang, sungguh hati Koan San gwat girang bukan main, baru saja ia hendak buka mulut, didengar nya Tokko Bing sudah membentak dengan ketus: “Binatang! Lim sian cu sudah menganugrahi bekal kepadamu, masih kau melantur kemana lagi!”

Tercekat hati Koan San gwat, lekas ia hilangkan pikiran tetek bengek, memusatkan semangat serta menyalurkan hawa digabung dengan tenaga lunak yang merembes dari luar, kejap lain, terasa segulung hawa hangat menggulung gulung menyusup kesegala badan dan urat nadinya, perasaan hati pun terasa sangat segar dan sejuk, Tidak lama kemudian tiba tiba Tokko Bing mengulur sebelah tangannya mendorong lengan baju yang menempel di pundak Koan San gwat, katanya: “Sudah cukup! Kalau di lanjutkan apa kau tidak suka hidup lagi!”

Perempuan itu menarik lengan bajunya, mukanya lesu seperti keletihan, katanya menghela apas pelan pelan : “Kau memang suka ngaku sendiri? ”

Dengan badan segar dan semangat bergairah lekas Koan San gwat menyembah kepada gurunya, sapanya: “Suhu … Tecu …”

Dengan sikap kereng Tokko Bing berkata “Tak perlu banyak adat lagi, ucapkan terima kasih kepada Sian cu, untuk kau dia sudah mengeluarkan pengorbanan besar!”

Koan San gwat menggeser badannya menyembah pula kepada perempuan itu, lekas perempuan itu memapahnya bangun seraya berkata tertawa : “Sudah, sudah! Lekas bangun, jangan kau hiraukan ucapan gurumu!”

Tapi Koan San gwat menyembah sekali baru bangkit berdiri, perempuan itu berkata tersenyum “Nak! Kau lebih baik dari apa yang pernah kami bayangkan! Mari duduk di sini, kukira kau sudah tahu siapa aku ini bukan ?”

Koan San gwat menyahut sambil soja : “Tecu sudah dengar cerita Li siancu, kau adalah …” “Aku adalah Lim Hiang ting!” tukasnya perempuan itu tersenyum, “ Perkelahianmu melawan Cia Ling im benar benar mengagumkan ilmu sadar serta kepandaian otak sama bagusnya maka segera aku membantu …”

Koan San gwat unjuk rasa bingung dan tak mengerti. Lekas Lim Hiang ting menjelaskan tidak tahu. Aku tahu Cia Ling im terlalu liar dan sulit ditunduk, mana mungkin aku bisa membiarkan Li sek hong menempuh bahaya! Untuglah kesulitan itu dapat kau tanggulangi dengan baik sehingga kami tak perlu unjukan diri.”

Baru sekarang Koan San gwat paham namun masih ada setitik persoalan yang belum dia ketahui. yaitu bahwa bantuan Lim Hiang ting terhadap dirinya sendiri tadi kelihatannya dia begitu letih, malah menurut gurunya dia sudah berkorban besar bagi dirinya entah …

Agaknya Tokko Bing cepat meraba jalan pikiranya ini, dengan sikep garang ia berkata “Lim Siancu menggunakan In giok sin kang, menyalurkan tenaga dalam yang dilatih selama dua puluh tahun kedalam tubuhmu …”

Dengan rasa haru lekas Koan San gwat berkata : “Terima kasih Sian cu, begitu baik kau menyempurnakan diriku …”

“Ai, jangan sungkan, tindakanku ini ada maksudnya lho.

Karena apa yang akan kuminta terhadap kau teramat banyak!”

Tokko Bing menggeleng kepala, ujarnya “Kau serahkan kepadanya saja, kenapa memberi imbalan dan kebaikan segala …”

Koan San gwat berkata :” Perintah apapun silakan Sian cu beritahu kepadaku, seumpama harus berkorban jiwapun Teccu akan melaksanakan dengan senang hati, kenapa harus mengorbankan tenaga sendiri …”

“Ah, bagaimana, bocah keparat ini tidak mau terima kebaikanmu bukan!” sela Tokko Bing tertawa. “Sekali kali Teccu tiada maksud demikian,” cepat Koan San gwat menambahkan.

Lim Hiang ting mengulapkan tangan, katanya “Ui ho, jangan kau campur bicara, kau tahu untuk apa aku salurkan lwekangku kepadanya? ”

“Bukankah karena Cia Ling im dan kamrat kamratnya? ” “Bukan! cara untuk menghadapi Siu lo, Lolo sudah memberi

pesan khusus, tidak perlu aku sendiri yang merepotkan diri!”

“Lalu ada urusan lain apa lagi? ” “Demi Ih yu!”

“Apa! Soal itu lagi bukankah sudah betapapun tidak boleh…”

“Ui ho, aku mohon kepada kau, hanya inilah satu satunya permintaanku.”

“Jangan kau mohon kepada aku,” ujar Tokko Bing sedih, “Urusan ini aku tidak punya hak memutuskan, meski dia ialah muridku, tapi aku tidak bisa perintahkan dia atau memaksanya untuk menerima, karena ini …”

“Aku hanya mohon supaya kau tidak turut campur dan menentang!”

Tokko Bing tenggelam dalam pikirannya, sesaat kemudian baru menjawab : “Baik, aku tidak akan turut campur, tapi aku harap kau berpikir lebih cermat, jangan nanti kejadian menjadi ruwet dan tiada kesudahannya, bukankah menimbulkan keributan belaka!”

“Pernyataanmu sudah cukup. Aku bsa mencari kesempatan yang paling tepat untuk mengaturnya dengan sempurna dan rapi!”

Koan San gwat garuk garuk kepala keheranan, tanyanya : “Ada tugas, silakan Sian cu perintahkan kepada Tecu? ” “Suatu tugas tidak perlu banyak mengeluarkan tenaga dan pikiran.”

“Asal Tecu mampu dan bisa melaksanakan, Tecu tidak akan bikin Sian cu kecewa!”

“Anak muda harus bicara hati hati, jangan tergesa gesa menerima permintaannya, lebih baik kau tanya dulu tugas apa yang harus kau lakukan !”

“Ui ho!” senggak Lim Hang ting gugup, “Tadi kau sudah berjanji tidak akan turut campur.”

“Baik! Aku tidak perduli lagi, coba kulihat cara bagaimana kau jelaskan kepada dia!”

Lim Hiang ting tertawa getir, katanya : “Sebenarnya juga bukan tugas berat, hanya sebuah urusan pribadi, jangan karena urusan pribadi aku mengabaikan kepentingan umum, maka lebih baik dibicarakan kelak saja, sekarang kuajak kau menghadap Lolo!”

Tokko Bing manggut manggut. Dengan heran Koan San gwat bertanya : “Siapakah Lolo?”

“Bukankah kau tahu seluk beluk mengenai persoalan kita?” tanya Lim Hiang ting.

“Lim siancu sudah bercetita kulitnya saja, tapi belum lengkap seluruhnya!”

“Ada persoalan apa pula yang hendak kau tanyakan? ” “Banyak persoalan, umpamanya kenapa Sian cu dai Suhu

mengundurkan diri dari pertemuan besar itu? Cara bagaimana

pula menyembunyikan diri ditempat ini? Untuk apa pula Go hay ci bang mengantar aku ketempat ini? ”

“Banyak benar pertanyaanmu.” ujar Lim Hiang ting tertawa. “Setelah kau bertemu dengan Lolo, dengan sendirinya kau akan paham seluruhnya!” Koan San gwat sudah membuka mulut hendak bertanya, Lim Hiang ting sudah bicara lebih lanjut: “Lolo adalah penghuni atau majikan tempat ini, beliau adalah Sunioku (ibu guru)!”

Koan San gwat menjerit kaget, teriaknya:

“Beliau adalah Oen locian we … masih hidup kah beliau?” “Tidak salah! Agaknya Li Sek hong cu kup jelas

menerangkan kepada kau.”

“Li siancu tidak tahu bila Oen locianpwe masih hidup!” “Benar, kecuali aku dan gurumu, tiada orang ketiga yang

tahu perihal ini.”

“Sungguh sulit dipercaya, bahwa Oen lo cianpwe …”

Tokko Bing mengoreksi, katanya “Kau sebut Lolo saja, tidak perlu dengan istilah Cianpwe segala.”

Koan San gwat mengiakan, katanya : “Usia Lolo tentu sudah amat lanjut.”

Lim Hiang ting menjawab : “Lolo sudah seratus lebih, guruku terburu nafsu ingin menjadi dewa, akhirnya malah celaka dan berumur pendek, sebaliknya Lolo yang meninggalkan dunia keramaian, menggunakan kesadaran otak dan kebajikan sanubarinya, membina diri menempuh jalan suci menuju kesempurnaan jiwa.”

“Apakah benar manusia bisa menjadi dewa? ” tanya Koan San gwat bingung.

“Pertanyaan ini sulit kujawab. Kalau ku jawab benar, jelas aku menipu kau, kalau sebaliknya, padahal keadaan Lolo sekarang tak ubahnya seperti dalam kehidupan kedewaan.”

“Jangan kau bikin otaknya butek,” timbrung Tokko Bing. “Dewa hanya terdapat dalam dongeng, kehidupan manusia tak ubahnya seperti pelita, kalau minyaknya habis maka pelita itu pun makin guram dan akhirnya padam sendiri, semakin besar nyala api pelita minyak nya akan lebih cepat kering. Bahwa Lolo bisa hidup sampai lanjut melampaui orang biasa, karena beliau paham cara manusia mensucikan diri dan membina jiwa batinnya, sehingga minyak pelita itu tidak terhambur percuma, tapi cepat atau lambat akhirnya beliaupun akan meninggal jua!”

“Pendapat mu betapapun setingkat lebih unggul dari aku, jadi menutur uraianmu, berarti kedatangan kami menyembunyikan diri di sini adalah berkelebihan belaka, tiada artinya!” demikian ujar Lim Hiang ting tertawa. “Juga bukan begitu saja arti dari ucapan ku, kehidupan itu masing masing mempunyai dasar dan haluan, selama kehidupan, manusia tentu mengejar kesempurnaan sendiri, ada kalanya seseorang hidup sambil meraba raba jalan yang harus ditempuhnya tapi tanpa hasil, terhitung beruntung, sebelum ajal kami menemukan suatu cara yang tepat meski penemuan ini agak terlambat, betapapun masih sempat digunakan untuk menikmati kehidupan abadi nan suci dan kebahagiaan nan murni!”

Begitu lenggang Koan San gwat mendengar uraian yang mendalam ini, sampai dia terlongong, mendadak Tokko Bing menarik muka, sentaknya “Melamun apa kau! Setiap orang punya pengalaman hidup sendiri sendiri punya cara kehidupan masing masing, yang cocok bagi kami belum tentu cocok untuk kau! Kehidupanmu harus kau tempuh dan aku cari dulu di Kangouw”

Berkatalah Koan San gwat setulus dan jujur hatinya : “Suhu, Tecu berkelana belum terlalu lama, menghadapi kehidupan yang penuh nafsu dan angkara murka bunuh membunuh melulu sudah cukup jemu, bilamana Suhu mengijinkan, Tecu ingin ikut Suhu disini …”

Tokko Bing mendengus, ujarnya “Ucapanmu belum setimpal dengan usiamu, masih terlalu pagi kau berkeputusan menentukan hidupmu, dua puluh tahun lagi, kalau kau masih punya pikiran yang sama, akan kusambut kedatanganmu ditempat ini, tatkala itu kita tidak terikat sebagai guru atau murid, anggap saja sebagai kawan seperjalanan dalam menempuh jalan suci itu.”

Koan San gwat sudah membuka mulut, namun Lim Hiang ting mendahului berkata dengan halus “Nak! Ucapan gurumu memang benar, pengalaman hidup seperti yang kami alami ini tidak akan bisa diselami oleh orang muda sebaya kau, baru setelah pertangahan umur kau akan mengerti makna yang sebenar nya. Kin bila kau melepas pandang tentu merasa kehidupan disini teramat tenang dan tentram, rasanya tempat ini sesuai untuk menghabiskan waktu sampai hari tua, namun lama kelamaan kau akan merasa jemu dan kau tidak akan bisa menahan sabar lagi!”

“Aku tidak akan berpikir demikian!” sahut Koan San gwat.

Tokko Bing dan Lim Hiang ting hanya tertawa tak bersuara lagi. Dalam keheningan terdengar suara Bokhi yang nyaring disebrang kali sana.

Cepat Lim Hiang ting berkata : “Tuh Lolo memanggil kami!” “Ya, Lolo memberi peringatan, supaya kau tidak banyak

bicara.”

“Lekas turun kebawah, kalau terlambat bisa dimaki nanti!” demikian desak Lim Hiang ting. Cepat sekali mereka sudah sampai di pinggir sungai, mereka melesat terbang seperti burung walet, Tokko Bing pun ikut melesat kedepan dengan entengnya, baru saja Koan San gwat bergerak hendak melihat perbuatan mereka di dengarnya Tokko Bing berkata dengan berteriak : “Lewat jembatan, kau tidak mampu lompat kemari

!”

Terlihat oleh Koan San gwat lebar sungai ini tidak lebih hanya satu setengah tombak, mengandal kekuatan dan kemampuannya sekarang pasti tidak akan terjadi apa apa. Bukankah Lim Hiang ting dan gurunya seenaknya melompat kesebrang. Maka ia kurang percaya akan peringatan Tokko Bing, cepat ia mengempos semangat dan menarik hawa, badan seenteng asap melambung kedepan, menurut tafsirannya sekali lompat sedikitnya mencapai lima enam tombak jauhnya, dikala badannya merorot turun dilihatnya dirinya sedang meluncur ditengah sungai.

Disaat tubuhnya hampir kecebur kedalam sungai itulah cepat dia menggentak kedua lengannya serta mengganti napas dua kali, sehingga tubuhnya melejit mumbul kembali satu tombak, sekuat tenaga ia berusaha meluncur kedepan pula, luncuran kedua ini mencapai dua tiga tombak lagi, namun dimana kakinya meluncur tempat berpijaknya masih merupakan sungai yang mengalirkan air bening.

Karuan kejutnya bukan kepalang, padahal hawa sudah tidak mungkin diempos, tenaga pun sudah ludes, tak mungkin melejit keatas lagi, terpaksa ia menggerakkan kepala, telapak kakinya menutul permukaan air, harapannya menggunakan tenaga tutulan badannya bisa melambung kedepan lebih lanjut.

Tapi begitu kakinya menyentuh air, tempat yang dipijak ternyata seperti kosong tak bisa buat menggentakkan tenaga, karuan badan nya amblas kebawah, kakinya sudah basah oleh dinginnya air sungai, jelas bahwa kakinya sudah menyentuh air, baru sekarang hatinya menjadi gugup, secara reflek kedua tangannya berhasil meraih sebuah benda besar cepat ia kerahkan tenaga terus mengangkat badannya keatas, waktu ia melepas pandang, hampir ia tidak percaya akan kenyataan ini, entah kapan tahu tahu dihadapannya di hadang sebuab jembatan panjang, sementara kedua tangan nya berpegangan kencang padada tonggak diatas jembatan itu, dikala ia memanjat naik dan berdiri diatas jembatan baru ia melihat bahwa kedua kakinya sudah basah. Maka dapat dipastikan bahwa kakinya sebenarnya sudah masuk air, tapi kenapa air sungai ini tidak mengandung daya mengembang? Bagaimana pula cara jembatan ini muncul secara mendadak dihadapannya? Tadi sama sekali aku tidak melihat adanya jembatan ini? Akhirnya iapun berpikir dengan tidak habis mengerti “Sungai kecil yang lebarnya cuma satu tumbak ini, kenapa aku tidak mampu melompatinya? ”

Meski hatinya dirundung berbagai pertanyaan, tapi Tokko Bing dan Lim Hiang Ting berpeluk tangan sedang mengawasi dirinya dengan tersenyum senyum, terpaksa mereka menundukan kepala ia terbang menghampiri dengan beberapa kali lompat dari jembatan. Kali ini ia berlaku hati hati, menurut perhitungannya dirinya tepat berada ditengah jembatan, panjang jembatan ini hanya setumbak lebih, setiap kali langkah kakinya berjarak dua kaki, tapi ia harus berlari sebanyak tiga puluh langkah baru sampai diujung jembatan sebelah sana, maka timbul pula setitik pertanyaan dalam benaknya.

Waktu ia sampai dihadapan Tokko Bing berdua belum lagi ia bersuata Lim Hiang ting sudah bicara, sambil tersenyum : “Nak, sekali lompat kau dapat mencapai sepuluh tombak ginkangmu sudah sulit dicari keduanya …”

“Sepuluh tumbak lebih? ” teriak Koan San gwat terbelalak. “Mana bisa Tecu cuma meleompat begitu jauh? ”

Kata Tokko Bing : “Sudah sepuluh tahu dia belajar, dasarnya cukup kuat untuk melompat enam tujuh tumbak, setelah kau tambah dengan salura lwekang selama dua puluh tabun, lompat sepuluhan tumbak tidak perlu dibuat heran …”

Semakin lebar mata Koan San gwat memandang. “Nak, apakah kau masih bingung dan tidak mengerti? ”

tanya Lim Hiang ting. “Benar” sahut Koan San gwat mengangguk, Tecu dirundundung banyak pertanyaan seolah olah aku hidup dalam impian …”

“Bukan nak, bukan dalam impian, seharusnya kau cukup bangga akan dirimu menurut perhitunganku, lompatmu pertama kira kira mencapai dua belas tumbak, waktu badan mu melambung tinggi untuk kedua kalinya kira kira melesat pula empat lima tumbak, di seluruh kolong langit ini, hanya beberapa orang yang dapat menyamai hasil latihan gingkangmu ini”

Kaget dan heran pula Koan San gwat di buatnya, “Lalu berapa lebar sungai itu?”

“Empat puluh tombak!” sahut Lim Hiang ting tersenyum.

Koan San gvvat hampir berjingkrak saking terkejut, sungai sekecil ini ternyata seluas empat puluh tumbak, bagaimana ia hampir percaya! Namun Lim Hiang ting menjelaskan dengan sikap sungguh bukan kelakar. Melihat sikap kagetnya ini Tokko Bing lantas menyentaknya lagi “Binatang! Dulu banyak kuajar berbagai kepandaian dan pengertian kepada kau kenapa kau lupa sama sekali!”

Sebsntar Koan San gwat berpikir, tiba tiba ia berteriak kejut “Apakah ini yang dinamakan Siok te sut (ilmu mengkerettkan bumi).”

“Didunta ini mana ada Siok te sut,” jengekTokko Bing “Tiada dianggap ada tidak perlu dipercaya, seperti sesuatu kenyataan yang dihayalkan sama saja brutalnya.”

Koan San gwat menjublek, “Nak,” ujar Lim Hiang ting, “agaknya kau makin bingung akan uraian gurumu, mengkeretkan bumi menjadi pendek adalah tidak mungkin, yang kau hadapi sekarang ini adalah semacam barisan yang mengelabuhi pandangan matamu sehingga kau melihat yang panjang menjadi pendek, demikianlah analisa kenyataan ini, di mana kau sendiri sudah menghadapi kenyataan, secara mendadak munculnya jembatan itu. Sejak tadi jembatan berada di sana, namun dalam aling alingan barisan serba rumit dan ajaib, sehingga pandanganmu seperti di kelabui. Semua benda yang kenyatataan didunia ini tidak mungkin berubah sedemikian saja, yang berubah hanyalah pandangan manusia itu sendiri …”

Koan San gwat baru paham dan mengerti, ujarnya “Tak heran, kau dn Suhu bicara disebrang, tapi Tecu tidak melihatnya.”

“Benar! Setelah kami menarik barisan itu baru kau melihat kami, sebetulnya kalau kau gunakan kecerdikanmu untuk berpikir secara teliti sebentar saja kau bisa paham. Semalam bukankah kau meraba raba dan maju mundur semalam suntuk disemak belukar itu? ”

“Hal itu Tecu sudah paham, tapi kenapa air ini tiada punya daya mengembang? ”

“Itulah air lemak Bulu burung pun tak akan mengembang diatas air!”

Ketukan Bokhi berkumandang ditengah udara, jelas mendengung dipinggir kuping.

“Ketukan Bokhi Lolo makin gencar, menyuruh kita lekas pulang!” demikian desak Lim Hiang ting lalu ia mendahului berlari ke depan. Koan San gwat mengintai dipaling belakang, akhirnya mereka tiba disebuah gubuk yang terbuat dari anyaman rumput alang alang. Tiba didepan gubuk sikap Tokko Bing dan Lim Hiang ting menjadi hikmat dan hormat, kata Tokko Bing: “Lapor Lolo, muridku yang bodoh sudah datang!”

Dari dalam gubuk terdengar sebuah sua a tua yang serak: “Bawa dia masuk! Ingin aku lihat bocah ini lebih baik dari apa yang kalian katakan.”

Tokko Bing mengiakan, pelan pelan dia menyingkap kerai, terus menyelinap masuk membawa Koan San gwat. Dari cerita Li Sek hong, Koan San gwat tahu bahwa Oen Kiau bermuka amat buruk, tapi disaat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri tak urung dia masih berjingkrak kaget.

Karena wanita tua yang satu ini benar benar amat buruk.

Kepala besar bermuka gepeng, diatas kepalanya tinggal beberapa lembar rambut saja yang sudah ubanan alisnya malah banyak dan menjuntai turun memanjang tergantung di kedua pinggir matanya, sementara kedua biji mata nya melotot keluar seperti mata ikan mas, hidungnya yang besar terbalik menghadap ke atas, bulu hidungnya menjulur keluar beberapa dim, bibirnya tebal giginya prongos tumbuh dua siung dikedua samping mulutnya, putih mengkilat mengerikan seperti dracula.

Kalau bentuk wajahnya ini diibaratkan betul sesuatu yang lain tak ubahnya seperti patung kuntilanak dibiara gunung.

Meski hatinya giris namun secara adat dan kesopanan Koan San gwat tidak berani berlaku lena, cepat ia maju berlutut serta menyapanya: “Tecu menghadap Lolo.”

Oen Kiau mengulurkan lengm tangan yang seperti cakar burung menghembus pelan pelan, ujarnya : “Nak! Tak usah banyak peradatan, duduklah biar aku melihat tegas. Hiang ting, Tokko Bing kalian pun jangan berdiri saja, mari duduk sekalian. Hari ini terhitung gubukku dikunjungi banyak orang.”

Panjang dalam gubuk amat sederhana Oen Kiau duduk bersimpuh diatas tikar, didepannya terletak sebuah meja kecil pendek, di atas meja menggeletak sebuah Bokhi kecil, se jilid buku Hud king, serenteng tasbih beliau pun mengenakan seperakat pakaian kasa sebagai pemeluk agama Budha.

Sekeliling dinding kosong melompong, kedua sampingnya menggeletak dua kasur rumput, Tokko Bing dan Lim Hiang Ting masing masing menduduki sebuah. Sambil tertawa Oen Kiau berkata : “Tempatku iin tidak siap untuk menyambut tamu lain, maka terpaksa kau duduk saja diatas lantai untung tempatku ini cukup kering …”

Cepat Koan San gwat “Tidak menjadi soal dimana saja Tecu boleh duduk.!”

Sementara itu Lim Hian ting dan Tokko Bing sama bersimpuh, maka Koan San gwat segera duduk bersila, tapi ia tidak bisa menerima kata kata kering yang dikatakan oleh tuan rumah, karena dimana tanah ia duduk lembab dan dingin, sungguh risi dan tak enak bagi perasaannya.

Dan perubahan air muka Koan San gwat agaknya Oen Kiau bisa menebak isi hatinya katanya tertawa mengunjuk gigi yang prongos “Nak! apakah kau tidak merasa bentukku ini amat menakutkan? ”

“Sedikitpun Tecu tidak takut!”

“Kau yang lebih jujur dari gurumu. Waktu pertama kali gurumu melihat aku, katanya aku ini tidak begitu jelek, kupikir bila aku tidak jelek, pasti diduma ini tidak akan ada manusia buruk rupa.”

Merah jengah muka Tokko Bing sementara Koan San gwat menjadi kurang tentram katanya : “Tecu memang berdosa, harap Lolo luka memberi ampun.”

“Nak, kaulah orang pertama yang bicara sejujurnya kepadaku, meskipun bicaramu pakai diplomasi segala, kau katakan tidak takut kepadaku, padahal kenyataan aku buruk setengah mati, cakup membuat takut seorang pemberani pun, betul tidak? ”

“Lolo,” ujar Koan San gwat dengan setulusnya : “ Bagaimana sikap otang lain terhadap kau orang tua aku tidak tahu, tapi Tecu benar benar tidak takut …”

Berkata Oen Kiau lemah lembut “Terima kasih Nak! Kau bicara sejujurnya. Kejadianku mungkin kau sudah jelas!” Koan San gwat manggut manggut.

Kata pula Oen Kiau seraya menghela napas “Nak,! Jarang ada orang seperti kau dalam dunia ini, selama hidupku aku hanya pernah berjumpa dua orang saja. Yang pertama adalah orang aneh yang mengasuh dan mendidik aku sampai besar, selalu dia memberi wejangan kepada aku, beliau menyuruh aku menyembunyikan diri dalam hidupku, aku sudah melakukan suatu tindakan yang salah …! Untunglah beliau menyuruh aku menyembunyikan diri dalam hidup kesunyian saja, aku melanggar petuahnya sehingga begini lah akhir hidupku, aku sudah melakukan suatu tindakan yang salah!

Untunglah sebelum ajal aku masih bisa jumpa dengan orang macam kau …”

Baru saja Koan San gwat hendak buka mulut, lekas Oen Kiau menggoyangkan tangan mencegah, katanya “Nak!

Jangan kau menukas omonganku, masih banyak perkataan yang perlu kuucapkan, malah semua adalah urusan penting, kau harus perhatikan benar benar”

Koan San gwat mengangguk dengan prihatin.

Tapi Oen Kiau tidak membuka suara lagi, sepasang matanya menatap nanar sekian lamanya kepada dirinya, akhirnya menarik napas dan berkata terhibur: “Nak! Kau memang hebat! Ui ho dapat menemukan kau, benar benar lihay pandangannya.”

Cepat Tokko Bing menyahut “ Kalau begitu silahkan Lolo membimbingnya!”

Oen Kiau manggut manggut, ia ulur tangan menyingkirkan meja pendek didepannya lalu menyingkapkan tikar dan mengeduk tanah dibawah meja, dari dalam tanah ia keluarkan sebuah buntalan kertas minyak, lalu katanya halus : “Nak, kau kemarilah!”

Bergegas Koan San gwat maju kedepan serta sahutnya : “Lolo ada petunjuk apa? ” Oen Kiau angsurkan buntalan kertas minyak itu serta berkata “Kau bukalah!”

Dengan hormat Koan San gwat menerima lalu pelan pelan membuka buntalan kertas minyak yang terbungkus didalamnya adalah sebilah pedang berserangka, serangka pedang terbuat dari kulit ikan hiu yang dibalut tembaga putih, bentuknya amat kuno, sekilas pandangan dapatlah dinilai bahwa pedang pusaka kuno yang tidak ternilai.

Sambil memegangi pedang Koan San gwat bingung dan tidak paham.

Kata Oen Kiau sambil tertawa : “Nak, Kau tahu pedang apakah itu? ”

Diatas serangka pedang itu terukir dua hurup yang bergaya kuno dan sudah buram Tokko Bing barteriak “Pek hong kiam!”

Lim Hiang ting juga tidak kalah kejutnya serunya : “Pek hong kiam! Lolo, sebenarnya apakah yang telah terjadi? ”

“Kalau kau sudah tahu perihal Pek hong kiam, masih tanya apa lagi? ”

Kata Lim Hiang ting : “Meski suhu mewariskan Pek hong kiam kepada Tecu, malah beliau juga pernah menjajal kehebatan pedang ini, tapi pedang itu hanya tiruan belaka!”

“Ya, pedang yang diwariskan kepada kau oleh Suhumu adalah pedang tiruan, tapi apa yang dia tuturkan mengenai seluk beluk pedang ini pun tidak salah, ada sejilid buku pedang dimana ada tercatat sangat jelas…”

“Buku catatan pedang itu kami perlu melihatnya, bahwa Cia Ling im amat takut terhadap aku karena diapun pernah membaca buku catatan itu, tapi Tecu….”

Oen Kiau menukas kata katanya : “Karena pedangmu palsu maka kau anggap catatan buku pedang itupun palsu.”

“Benar, maka Tecu bakar buku catatan pedang itu !” Berubah air muka Oen Kiau agaknya terketuk sanubarinya, akhirnya ia menghela napas. ujarnya “Baik juga dibakar, pedang yang tercatat didalam baku pedang itu mungkin tidak akan muncul dalam dunia ini, bilamana pedang pedang itu tenggelam ditelan masa, kehilangan buku catatan pedang lagi, biarlah wibawa dan nilai pedang itu sendiri tersembunyi selamanya begitupun baiklah.”

Tak tahan Tokko Bing lantas bertanya : “Lolo, masih ada pedang ternama apa saja yang tercantum dalam buku catatan pedang itu? ”

“Ui ho, apa kau ketarik pada pedang pedang ternama itu? ” “Tidak! Aku cuma ingin paham terhadap sesuatu yang

belum ku ketahui.”

“Dalam buku catatan itu ada tercantum lima bilah pedang, yaitu Ci seng, Ceng so, Bek tai, Ui tiap dan Pek hong, siapa pencipta serta bentuk dan manfaat dari masing masing pedang itu ada dijelaskan secara terperinci …”

“Kenapa hanya lima bilah? ” tanya Tok ko Bing heran. “Seperti Liong cwan, Thay ah, Hu yang, Ceng bing, Ceng sian, Ci tian, Mo sia, Kan ciang dan lain lainnya bukankah termasuk pedang pedang kuno ternama? ”

“Benar pedang pedang itu memang amat tenar, tapi pedang pedang itu hanya lebih tajam dan kuat dari pedang pedang biasa, kecuali dapat memotong besi seperti mengiris sayur, tiada kemujijatan lainnya, jauh berlainan dengan lima pedang yang kusebutkan tadi.” 

Tiga orang menaruh perhatian dan mendengarkan dengan cermat, tapi Oen Kiau malah menghela napas, katanya : “Sudahlah, Pedang lain kita tidak perlu persoalkan, karena aku sendiri tidak tahu apakah yang lain itu kenyataan seperti yang tertera dalam keterangan buku itu. Tapi Pek hong kiam ini sesuai dengan apa yang tcrcsuat didalarn buku keterangan pedang itu” “Dari sini dapatlah dipastikan bahwa keterangan terperinci mengenai kelima bilah pedang itu tentu bukan bualan belaka.” demikian sela Lim Hiang ting.

Oen Kiau meliriknya sekali. Lekas Lim Hiang ting menambahkan : “Lolo, bukan Tecu suka mengobrol, buku catatan pedang itu kami berlima pernah membacanya, Tecu memang berotak tumpul kini tidak begini ingat lagi keterangan yang tercatat dalam buku iru tapi Cia Ling im mempunyai kepandaian yang lain dari yang lain, apa yang pernah dilihatnya tentu tidak akan terlupakan olehnya.”

“Kau kuatir bila dia memperoleh salah satu diantara kelima pedang itu? ”

“Tidak bisa Tecu harus menguatirkan hal ini! Karena sesuai dengan apa yang tercatat di dalan buku itu, Pek hong kiam ini….”

“Wibawa dan ketajaman Pek hong kiam tidak lebih unggul dari empat bilah pedang yang lain, maka namanya tercantum pada urutan terakhir. Namun kau tidak usah kuatir, pasti Cia Ling im tidak bakal memperoleh pedang yang lain!”

Lin Hiang ting. tidak mengerti. Maka Oen Kiau menjelaskan “Sudah lama gurumu memeras otak tapi hasilnya nihil, terpaksa ia membuat sebilah pedang tiruan yang diberikan kepadamu itu, Pek hong kiam adalah yang terakhir dari kelima pedang itu, kenapa guru mu memilih pedang ini? ”

“Tecu bodoh, Tecu tidak tahu!” sahut Lim Hiang ting “Tecu sebaliknya bisa menerka, entah betul atau tidak?”

ucap Koan San gwat

“Coba kau terangkan “ ujar Oen Kiau tersenyum. Berpikir sebentar Koan San gwat lantas menjelaskan: “

Menurut apa yang diuraikan Lolo bahwa ketajaman sinar Pek hong kiam paling menonjol diantara kelima pedang pusaka itu sekilas pandang orang akan tahu bahwa itulah sebilah pedang pusaka, karena itulah sehingga dia masih tetap patuh sampai sekarang, empat bilah yang lain meski kwalitetnya lebih bagus namun luarnya tidak begitu menonjol, kalau terjatuh ketangan seorang yang tidak kenal nilai barang, tentu akan dibuat memotong kayu atau sebangsa senjata tajam umumnya, Cie Ling im adalah seorang yang cerdik, untuk mengelabuhi dia, terpaksa harus membuat tiruan Pek hong kiam, paling tepat..”

“Wah hebat kau bocah ini. Pendpatmu ini benar benar melebihi pandangan seorang akhli, Ui oh menurut pendapatku dia lebih kuat dari kau!”

“Benar maka kubawa dia kemari untuk menemui orang tua.”

Mata Oen Kiuu mengandung pandangan welas asih, katanya pelan pelan: “Nak! Sebetul nya masih ada sebuah lain kenapa Pek li Put ping harus menirukan sebilah pedang Pek hong Kiam yaitu karena dia tahu bahwa Pek hong kiam yang asli berada ditanganku, dia pun perah merasakan bahwa dan pedang pusaka itu, dulu waktu ia bertekad mencelakai jiwa ku menggunakan pedang itu baru aku menundukan dia, mengingat hubungan kami suami istri aku tidak bertindak kejam kepadanya, tapi beberapa tahun ini aku mengasingkan diri di tempat ini, secara diam diam aku selalu mengawasi sepak terjangaya yang tidak genah itu…”

Timbul perasaan acuh tak acuh pada muka Koaa San gwat. Melihat sikapnya ini Oen Kiau tertawa, katanya “Mungkin kau tidak puas akan tindakanku bukan? ”

Terpaksa Koan San gwar manggut manggut, katanya : “Benar! Kau tidak perlu kasihan dan memberi hukuman setimpal bagi perbuatananya”.

“Benar, Nak! Ucapanmu memang benar “demikian ujar Oen Kiau, “Tapi masih berliku liku dalam persoalan ini yang tidak kau pahami, ilmu yang dipelajari Pekli Put ling meski didapati dari aku, tapi semua ilmu pelajaran itu adalah peninggalan dari tokoh kosen yang membimbing aku, demi membalas budi dan kebaikkannya, apalagi aku sendiri tidak mampu mengembangkan ajaran dan nama perguruan, sebaiknya Pekli Put ping sudah melaksanakan hal itu dengan baik, betapapun aku tidak bisa merintangi usahanya!”

Sulit Koan San gwat mengutarakan apalagi, tapi sanubarinya tidak bisa mengakui sikap dan kelakuan Oen Kiau bisa dinyatakan benar.

Berkata pula Oen Kiau sembari menghela napas “Apalagi perbuatan Pekli Put piog tidak begitu jahat, karena ajaran yang ditinggalkan oleh tokoh kosen aneh sendiripun termasuk aliran sesat, perguruan kita sama, ajaran yang kita pelajaripun sealiran, sudah tentu secara lahir batin aku tidak merasakan bahwa apa yang dipelajari itu merupakan ilmu sesat!”

Cepat Koan San gwat menyela : “Ya, sesat atau lurus biar umum yang memberi penilaian.”

“Orang yang pernah kutemui teramat sedikit, pandanganku terhadap sesuatu soal tidak sama dengan kau, apalagi ajaran sesat yang kami pelajari secara lahiriah terkekang oleh nalar kita sendiri, betapapun tidak akan melakukan sesuatu perbuatan yang durhaka atau jahat. Begitulah tokoh kosen aneh itu, demikian juga aku, Pekli Put ping pun tidak ketinggalan yang paling ditakuti hanyalah bila ilmu ini terjatuh pada seseorang yang benar benar culas dan jahat seratus persen, kekangan nalar terhadap perbuatannya dengan sendirinya tak akan membawa hasil lagi!”

“Cia Ling im adalah orang macam itu.” kata Koan San gwat menyambung.

“Benar. Pekli Put ping kurang cermat dalam memilih ahli waris, dia turunkan semua kepandaiannya kepada murid murtad itu, akhirnya setelah ia insyaf orang macam apa sebetulnya muridnya itu, Cia Ling im sudah tamat mempelajari ilmu yang ia turunkan, tidak mampu lagi untuk mengekangnya.”

“Cianpwe membawa Pek hong kiam seharusnya bisa mencegah hal ini terjadi!”

“Aku tidak mampu, latihanku jauh dibandingkan Pekli Put ping. Pek hong kiam meski berada ditanganku, aku tidak kuasa menggunakannya.”

Koan San gwat mengunjuk rasa tidak percaya. Oen Kiu lantas melanjutkannya dengan sikap serius : “Aku tidak membual, bukan saja aku tidak mampu, Hiang ting pun tidak becus ilmu yang kita latih hanya berguna bagi laki laki kekar yang kuat. Cia Ling im paham akan intisari tersembunyi ini, kalau dia tidak gentar adanya Pek hong kiam yang hebat, sejak lama ia sudah mengumbar kejahatannya. Hanya Hiang ting seorang yang jelas mengenai seluk beluk ini, cuma sifatnya lebih tenang dan mantap sehingga selama itu tidak pernah menunjukkan gejala gejala yang mencurigakan maka Cia Ling im dikelabui, tapi kertas tidak bisa membungkus api, urusan akan tiba saat nya dibongkar orang, maka dia sangat kuatir akan hal ini, akhirnya ia mencari Suhumu, pikirnya hendak minta bantuan untuk menghadapi Cia Ling im, tapi Suhumu sendiri memandang rendah ilmu yang kita pelajari …”

“Agaknya Lolo salah paham.” demikian tukas Tokko Bing, “Bukan aku memandang rendah kalian, adalah karena Kan thian cin khi yang kulatih jauh berlawanan dengan ajaran kalian, kalau dipaksakan tentu akibatnya sangat fatal!”

“Aku tahu akan teori ini, maka aku tidak paksa kepada kau.” demikian jawab Oen Kiau tertawa.

“Syukurlah bila Lolo paham, dan lagi aku menerima muridku ini bukankah sama saja?” demikian ujar Tokko Bing tertawa. “Suhu!” kata Koan San gwat mengarti, “Tak heran selama ini kau orang tua tidak mau mengajarkan Kan thian cin khi itu kepadaku, ternyata …”

“Tidak salah! Waktu pertama kali aku mengajarkan ilmu silat, aku memang sudah mengandung maksud ini, apakah kau sekarang menyesal karena sudah ku peralat?” demikian tanya Tokko Bing.

Koan San gwat termenung sebentar lalu berkata dengan sungguh : “Tecu menerima budi guru setinggi gunung sedalam lautan, mana berani punya maksud dan prasangka demikian, hanya …”

“Hanya apa? ” desak Tokko Bing tersenyum.

“Seharusnya jauh jauh hari Suhu beritahu aku, supaya Tecu punya persiapan.”

“Waktu itu aku sudah menjadi anggota Liong hwa hwe, sebagai anggota terkekang dan harus patuh akan segala aturan aturan yang ada, sudah tentu aku tidak bisa beritahu kepada kau. Cia Ling im menyebar luar kaki tangannya kesegala penjuru, mata kupingnya amat tajam, kalau sampai diketahui olehnya menggunakan undang undang kedisiplinan organisasi untuk menindak diriku, bukankah bakal meggagalkan usaha belaka. Tapi untuk memandang kau masuk kedalam organisasi memang banyak mengorbankan jerih payahku, malah sengaja aku menandingi berbagai golongan dan aliran besar kecil diseluruh jagat, ku ciptakan keagungan Bing tho ling cu yang digjaya menggetarkan dunia sebagai warisanku kepada kau, tujaanku adalah supaya kau ternama dan disegani, pasti datang suatu ketika ada seseorang bakal menarik kau menjadi anggota Liong hwa hwe pula.”

Koan San gwat manggut manggut, tanya nya: “Putra Thian ki mo kun Ki Houw juga membuat Hwi tho ling, tujuannya adalah menandingi Bing tho ling cu.” “Aku tahu, malah itu usul Go hay ci hang si gila itu” “Kenapa?”

“Belenggu yang mengikat seluruh anggota teramat banyak, betapa sulitnya untuk menarikmu masuk tanpa menunjukan sesuatu gejala yang mencurigakan, maka kepala gundul itu memikirkan suatu akal yang cukup sempurna, secara gosok dan bujuk ia anjurkan Ki Houw menampilkan diri menjadi penantang yang utama, menggunakan Ki Houw sebagai umpan lalu menarikmu menjadi anggota tentu tidak menimbulkan curiga orang lain. Kalau tidak Cia Ling im tentu sudah merintangi dan menghadapi kau lebih dulu”

“Benar, otak Cia Ling im teramat cerdas dan licik sekali, sulit dilayani, maka dalam surat peninggalanku kepada Li Sek hong pun hanya kuberitahu bahwa tidak lama lagi bakal muncul sesorang yang akan berhadapan langsung dengan Cia Ling im, tidak berani kusebut atau menjelaskan bahwa kau adanya. Urusan ini kecuali aku dan gurumu, hanya kepala gundul itu yang tahu!”

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar