Mustika Gaib Bab 02

 
Bab 02

“HAI-YAAAAA. !!!”

Berbarengan dengan suara teriakan dari dalam gerombolan pohon di bawah kaki bukit melesat sesosok bayangan putih melambung berputaran di tengah udara.

Baru saja bayangan putih tadi melambung ke udara dibarengi dengan suara teriakannya, dari dalam gerombolan pohon kembali melesat ke udara sesosok bayangan kurus mengeluarkan suara desingan bagai suara tawon, mengejar sosok tubuh putih yang melambung indah di atas.

Sejenak terjadi gerak-gerak serangan beberapa jurus di tengah udara, kaki dan tangan bayangan putih yang melambung lebih dulu itu menyambut datangnya bayangan kurus mendesing. Suara desingan itu keluar dari tangan kanan bayangan kurus tadi yang berputar laksana kitiran. Kesiuran angin yang ditimbulkan dari gerak tempur beberapa jurus itu, membuat daun-daun gerombolan pohon di bawah mereka bergoyang-goyang.

Setelah terjadi benturan jurus-jurus yang keluar dari masing-masing kepandaian mereka, kedua bayangan itu mengeluarkan suara keluhan, keduanya berpentalan mundur dan jatuh kembali di antara gerombolan pohon.

Di bawah naungan lebatnya daun-daun pohon bayangan putih yang melambung lebih dulu ke udara tadi sudah berdiri dengan gagahnya ternyata ia adalah seorang pemuda, wajahnya bundar, sepasang matanya jeli keningnya lebar, bertubuh kekar. Tampak beberapa tetes keringat menetes di keningnya, melelehan di atas wajah tampannya. Napas pemuda itu agak tersengal- sengal, ia berdiri dengan sikap siap tempur menerima serangan dari lawan kurus yang juga sedang berdiri di depannya di bawah naungan ranting pohon.

Bayangan kurus itu adalah seorang tua berumur limapuluh tahunan, wajah kurusnya keriput, dari sinar matanya dapat diketahui bahwa ia memiliki ilmu silat, dan dari wajahnya bisa dipastikan bahwa ia bukan sembarang orang. Karena wajah itu mencerminkan kecerdikan dan kepandaiannya dalam ilmu Bun (surat) maupun ilmu Bu (silat)

Di tangan kanan orang tua kurus itu mencekal sebatang tongkat bambu beruas tujuh, tongkat bambu tadi diputarnya perlahan di depan dirinya.

Angin yang keluar dari kesiuran putaran bambu itu, mengeluarkan suara desingan bagaikan suara tawon, membuat semak-semak di sekitarnya bergoyang.

Orang tua kurus itu terdengar menggereng diantara suara desingan putaran bambunya, kemudian kaki kanannya maju kemuka disusul dengan gerakan kaki kiri mengikuti gerak kaki kanannya, mendekati pemuda baju putih yang siap menerima serangan.

Diantara kesiurannya angin, terdengar kibaran baju putihnya si pemuda.

Kedua kaki pemuda itu memasang kuda-kuda kuat seakan tiang batu menjulang di permukaan bumi, kedua tangan pemuda tadi berkembang lurus sejajar dengan bahunya. Itulah gerak jurus Garuda mementangkan sayap.

Melihat   sikap    jurus    pemuda    itu    seakan    ia menyerahkan badannya dihajar oleh orang tua bertongkat bambu, karena tangan yang terentang itu bagaimana bisa dengan cepat melindungi dadanya bila ia mendapat serangan maut.

Pemuda tadi begitu melihat orang tua kurus sudah merangsak maju sambil memutarkan tongkat bambunya. Ia juga sudah turut maju, kedua kakinya digeser ke depan sedang kedua tangannya masih tetap terpentang lebat.

Saat itu mendadak saja berbarengan dengan suara desingan tongkat bambu yang diputar di tangan. Si orang tua berteriak keras menyerbu si pemuda.

“Huaaaaaeeeeeeeeeetttt. ”

Mendengar lawan sudah menyerang sambil mengeluarkan suara teriakannya, pemuda baju putih tidak mau kalah gertak, ia berteriak keras maju ke depan. Sambil mengeluarkan suara teriakannya.

“Haaaaaaahhhhhhh. ”

Berbarengan dengan terdengarnya suara teriakan- teriakan tadi, serangan bambu tujuh ruas yang berputar mendesing itu, sudah membentur tubuh si pemuda.

Pemuda baju putih tidak kalah ampuh gerakannya, begitu kitiran bambu itu datang membentur dirinya, kedua tangannya yang dipentang itu, berputar seperti mengikuti gerak arah putaran bambu tujuh ruas di tangan laki-laki tua itu. Berbarengan dengan gerak putaran tangannya, mengikuti arah kitiran bambu, tubuh pemuda itupun turut berputar, kedua kakinya naik ke atas, dan kepalanya jumpalit miring ke samping.

Pemuda itu melakukan dua kali gerak putaran tubuh demikian rupa, ternyata gerakan aneh itu berhasil mengelakkan datangnya serangan kitiran (putaran) bambu tujuh ruas yang mendesing.

Orang tua berbambu tujuh ruas, terus merangsak maju, agaknya ia tak menduga kalau lawan muda itu dapat mengelakkan serangan kitiran bambu tujuh ruasnya. Ketika pemuda itu berhasil berputar diri mengelak ke samping, tubuh orang tua berbambu tujuh ruas itu, sempoyongan ke depan. Kehilangan sasarannya. Sedang pemuda tadi telah berdiri lagi dengan gagahnya.

Kesiuran angin dingin, membuat tubuh pemuda yang sudah basah dengan keringat itu menjadi sedikit sejuk. Ia menyusut tetesan keringat di keningnya, napasnya tersengal. Kakinya kembali membuat posisi kuda-kuda.

Orang tua berbambu tujuh ruas menjadi kaget, mengetahui lawan telah berhasil mengelakkan serangannya, cepat ia membalik badan, putaran bambu tujuh ruasnya berhenti, bambu itu disilang di depan dada sepasang matanya menatap tajam mata pemuda di depannya.

“Anak tolol. Ayo kau serang! Seranglah sepuas hatimu. Jangan main petak seperti itu. Keluarkan jurus- jurus pukulan ilmu silatmu. Kalau tidak . . . huuuh ... .

jangan sesalkan aku terlalu kejam, bambu tujuh ruas ini akan segera memecahkan batok kepalanya.”

Berbarengan dengan akhir ucapannya, benar saja orang tua berbambu tujuh ruas itu sudah mengayun tongkat bambu mengemplang ke atas batok kepala si pemuda.

Gerak serangan tadi sangat luar biasa cepatnya, angin yang keluar dari pukulan bambu tujuh ruas itu mendesing menggencet atas kepala si pemuda. Pemuda tadi kaget, ia tidak menyangka kalau datangnya serangan begitu cepat dari yang sudah- sudah, dan berbarengan dengan suara desingan menyambar batok kepalanya, badan pemuda itu miring ke kiri mengelakkan datangnya sambaran rambu tujuh ruas, sedang tangan kanannya cepat bergerak menyambar pergelangan tangan kanan lawan yang mencekal senjata aneh itu berbarengan mana, kaki kanan pemuda tadi digeser maju menyilang membentur betis lawan dari belakang, disusul dengan gerakkan badan pemuda tadi yang menjatuhkan diri di atas semak belukar.

Orang tua berbambu tujuh ruas, mendapat balasan serangan demikian ia jadi kaget, karena kalau saja benturan tangan kanan si pemuda berhasil membentur pergelangan tangannya yang memegang bambu yang sedang melayang mengemplang batok kepala anak muda itu berhasil mengenai sasaran, maka senjata andalannya yang merupakan senjata istimewa itu akan segera terpental ke udara.

Karena kegetnya orang tua tadi menarik serangan bambunya, guna mengelakkan benturan tangan si pemuda yang mengarah pergelangan. Karena gerakan tarikan tangan itu, mesti diikuti oleh gerak mundurnya kaki kanan maka kaki orang tua itu juga bergerak mundur. Tapi saat itu, kaki kanan si pemuda telah bergeser menyilang menghajar betis kaki si orang tua.

Orang tua itu lagi-lagi kaget, ia sadar, kalau gerak jurus yang digunakan si pemuda adalah gerak jurus menggunting, tapi kesadarannya terlambat, karena kedua kaki pemuda itu telah berhasil membentur dan melipat kaki orang tua tadi meskipun serangan pada pergelangan tangannya berhasil dielakkan. Dan berbarengan dengan mana tubuh orang tua berbambu tujuh ruas itu doyong ke depan.

Pemuda baju putih jadi girang yang serangannya berhasil merobohkan lawan. Tapi rasa girang itu sebentar saja, karena lawan yang baru berhasil digunting kakinya dan seperti mau ambruk ke depan, mendadak saja, entah bagaimana, berhasil meloloskan sepasang kakinya dari jepitan guntingan kaki pemuda itu.

Ternyata orang tua itu memang bukan sembarang lawan, tadi ketika ia menarik kemplangannya, kesalahan menarik mundur kaki kanannya hingga kaki itu berhasil digunting oleh jurus ilmu silat lawan. Maka cepat ia memperbaiki posisi dirinya, tubuhnya yang sudah doyong ke depan hampir roboh ambruk itu, sedikit diputar ke kiri, dan bambu tujuh ruas di tangan kanannya yang baru ditarik dari serangannya, ditotolkan di atas tanah, berbarengan mana, badan orangtua tadi melambung ke atas dengan kedua tangan menunjang ujung bambu tujuh ruas tadi. Maka ia berhasil melepaskan serangan guntingan kaki si pemuda.

Begitu orang tua bersenjata bambu itu berhasil lolos dari serangan guntingan kaki tubuhnya kembali berdiri di atas tanah, ia tidak mau membuang kesempatan, selagi si pemuda masih rebah di tanah, bambu tujuh ruas tadi bergerak lagi menghajar kepala pemuda itu.

Pemuda itu kaget, dengan jurus “Ikan gabus meletik”, badannya menggelepar kemudian lompat bangun mengelakkan serangan bambu tujuh ruas yang ganas mengeluarkan desingan. Hingga senjata orangtua itu kembali mengenakan tempat kosong.

Kembali kedua lawan itu saling berpandangan, membuat posisi kuda-kuda siap menyerang atau menerima serangan.

Kesiuran angin dingin membuat suara berisik daun- daun pohon yang beradu bergesekan, satu sama lain. Situasi tegang mencekam perasaan masing-masing. Mata mereka saling bersinar menatap wajah lawan.

Diantara kesiuran angin dingin di kaki bukit yang membawakan lagu gesekan daun-daun pohon itu meniup-niup kedua sosok tubuh yang siap bertempur mendadak terdengar sayup suara orang berteriak-teriak,

“ . . . Kang Hoo . . . Kang Hoo . . .”

Suara teriakan itu terbawa angin, memasuki kedua lubang telinga dua lawan yang siap bertempur.

Tampak wajah kedua orang berubah kaget, berbareng mereka memandang ke arah suara teriakan- teriakan tadi. Dan kuda-kuda si pemuda kian mengendur.

Begitu pula si orang tua berbambu mendengar suara teriakan itu, ia menyurutkan tangkah kuda-kudanya dan sambi! menghela napas lemah berkata,

“Ayahmu! Kita hentikan latihan sampai di sini!”

Pemuda tadi ternyata bernama Kang Hoo, begitu ia mendengar panggilan sang ayah segera juga berlari menghampiri.

Mereka menangguhkan latihan!

Orang yang berteriak memanggil tadi adalah ayah si pemuda Kang Hoo, she Lie usianya telah mencapai lima enam puluh tahunan, dia adalah pensiunan pemerintah, dari daerah Tiong-ciu pernah memangku pangkat Peng- pouw-sie-long. Sedang ibu si pemuda lama telah menutup mata.

Semenjak   ayah    Kang    Hoo    menjalani    masa pensiunannya ia tinggal di Lam-touw, sengaja ia memilih tempat di bawah kaki pegunungan. Guna melewati hari tuanya dengan tenang.

Kang Hoo adalah putra satu-satunya, untuk memberikan pelajaran surat, sang ayah telah memanggil seorang guru surat.

Angin yang bertiup dari atas gunung, menerpa wajah tua orang she Lie tadi, begitu ia melihat sang putra berlari datang dengan badan basah berkeringat, keningnya mengkerut dan bertanya,

“Kang Hoo, apa saja yang kau kerjakan di atas sana sejak pagi tadi. Bagaimana pakaianmu bisa basah begitu rupa. Apa kau telah melatih ilmu suratmu untuk mempersiapkan diri guna mengikuti ujian luar biasa di kota raja?”

Mendapat pertanyaan sang ayah, Kang Hoo gelagapan, beruntung waktu itu si orangtua bersenjata tongkat bambu juga sudah tiba di depan orangtua she Lie tadi, tampak gerak gerik orangtua bertongkat bambu tujuh ruas itu sangat lemah. Ia menalangi Kang Hoo menjawab pertanyaan sang ayah,

“Tai-jin, ia baru saja hamba bawa berlari di atas bukit- bukit guna melemaskan ototnya yang selama ini duduk terus belajar surat agar kesehatannya bisa terjamin dalam perjalanan ke kota raja nanti.”

Orangtua she Lie tadi manggut-manggut, lalu katanya,

“Hari sudah siang., sudah waktunya kalian pulang, untuk apa terus-terusan mesti berlari-lari.”

“Ayah . . . pulanglah dulu,” seru Kang Hoo “Kami segera menyusul “ “Kalian guru dan murid memang sangat cocok!” kata si orangtua she Lie tadi sambil membalik badan meninggalkan mereka.

Setelah sang ayah berlalu Kang Hoo bertanya pada gurunya,

“Kita berlatih lagi!”

Orangtua bertongkat bambu tujuh ruas menggeleng kepala, katanya,

“Cukup, ilmu silatmu sudah dapat diandalkan untuk menjaga diri dalam perjalanan. Nah mari kita pulang.”

“Tunggu dulu.” kata Kang Hoo “Aku ingin mempelajari jurus yang baru saja suhu perlihatkan!”

“Jurus apa?” tanya sang suhu.

“Tadi ketika suhu melejit membebaskan diri dari jurus menggunting itu,” jawab Kang Hoo.

“Ouwvvw ” seru si orang tua sambil manggut “Ayo

hanya satu jurus itu saja setelah itu kau harus pulang.”

Setelah berkata begitu, orangtua bertongkat bambu tujuh ruas itu melejit ke kaki bukit yang terdapat gerombolan pohon. Gerakannya diikuti oleh Kang Hoo.

Sejak umur sembilan tahun, Kang Hoo mendapat didikan silat dari orang tua bertongkat bambu tujuh ruas. Orangtua itu dikenal dengan nama Beng Cie sianseng, sebenarnya ia mendapat tugas untuk mengajar ilmu surat pada Kang Hoo, tetapi secara diam-diam diluar sepengetahuan ayah anak itu, Beng Cie sianseng memberikan pelajaran ilmu silat.

Dasar otak Kang Hoo yang cerdas, ketika ia berusia 14 tahun, ia telah lulus dalam ujian mendapatkan gelar Siu-cai. Kini usianya sudah enam belas tahun. Dan kaisar telah mengeluarkan maklumat, mengadakan ujian luar biasa.

Ayah Kang Hoo sendiri tidak tahu kalau Beng Cie sianseng guru surat yang diberi tugas mengajarkan ilmu surat pada anaknya itu sejak beberapa tahun yang lalu, juga seorang berkepandaian silat. Karena ia memang sengaja mencari guru surat untuk mendidik anaknya, bahkan ia pernah melarang Kang Hoo untuk mempelajari ilmu silat. Yang katanya hanya mendatangkan mara bahaya bagi dirinya.

Tapi dengan diam-diam dan sembunyi-sembunyi, Beng Cie sianseng, telah mendidik Kang Hoo di samping ilmu surat juga ilmu silat warisan leluhurnya. Karena menurut pendapat sang guru ilmu itu juga berguna untuk bekal hidup guna menjaga diri dari gangguan orang jahat.

Hari itu bagaimana biasanya Kang Hoo bersama gurunya Beng Cie sianseng, melatih ilmu silat yang selama ini diturunkan oleh sang guru. Karena mengingat Kang Hoo harus berangkat ke kota raja guna mengikuti ujian luar biasa itu, maka latihan silat tadi memakan waktu hampir setengah hari. Tidak seperti hari biasa, mereka melatih satu atau dua jam. Karena mereka kuatir diketahui oleh ayah Kang Hoo.

Latihan hari itu berlangsung sampai siang mereka belum juga pulang, maka sang ayah telah mencarinya. Tapi Kang Hoo masih ingin mempelajari satu jurus ilmu silat yang ia belum latih, itulah jurus letikan untuk membuka kunci jurus guntingan kaki.

Setelah Kang Hoo, berhasil melatih jurus itu dengan baik. Maka keduanyapun berjalan pulang. Matahari sudah berada tepat di atas kepala mereka.

Begitu mereka masuki pintu pekarangan rumah, mereka jadi melengak kaget, memandang ke atas kusen pintu.

“Eh, siapa yang melukis gambar itu?” Tanya Kang Hoo sambil menunjuk ke atas kusen pintu.

Beng Cie sianseng juga menatap lukisan gambar di atas kusen pintu tadi. Matanya tidak berkedip mengawasi lukisan itu.

“Kalong putih.....” gumam Beng Cie sianseng, berubah wajah.

Kang Hoo menolehkan kepala memandang sang guru, tampak wajah guru itu begitu serius memandang gambar lukisan di atas kusen pintu itu, ia tidak mengerti akan sikap gurunya yang mendadak berubah. Terlihat jelas bagaimana kening sang suhu mengkerut seperti sedang berpikir keras.

“Itu memang lukisan kalong putih.” kata Kang Hoo, “Memang aneh, mana ada kalong putih, siapa yang telah melukis gambar binatang itu.”

Kepala Beng Cie sianseng masih mendongak ke atas dengan kening berkerut, ia seakan mengingat-ingat lukisan gambar itu lambang dari golongan mana. Ketika Kang Hoo mengajukan pertanyaan, mendadak saja, Beng Cie sianseng, berteriak,

“Cepat ayahmu. !”

Kang Hoo masih belum mengerti dengan teriakan Beng Cie Sianseng tadi, tapi ia tidak sempat bertanya, karena badan sang guru sudah melejit masuk ke dalam pekarangan lalu menerobos pintu depan, langsung menuju kamar.

Kang Hoo yang menyaksikan gerakan sang guru yang gesit luar biasa, ia juga sudah lompat melejit mengikuti di belakang gurunya memasuki kamar sang ayah.

Begitu mereka menerobos masuk, yang pertama kali tampak, di atas lantai berceceran darah.

Kang Hoo kaget, begitu ia menampak tubuh sang ayah rebah menggeletak di atas banjir darah tadi, ia menjerit keras, tapi sepasang kakinya tak dapat digerakkan ia berdiri mematung dengan tangan menutupi wajahnya, Kang Hoo terkesima memandang keadaan sang ayah yang menggeletak di atas banjir darah.

Beng Cie sianseng yang penuh pengalaman lebih tenang, orang tua kurus itu memeriksa keadaan tubuh sang majikan. Ternyata orang tua pensiunan itu telah tak bernyawa, darah masih menetes keluar dari lehernya yang terkoyak hampir putus itu.

“Sabetan pedang.     ” gumam Beng Cie sianseng.

Setelah bergumam begitu Beng Cie sianseng memandang Kang Hoo yang berdiri mematung terkesima. Serunya, “Kang Hoo .... Kang Hoo. !”

Mendengar namanya disebut orang, Kang Hoo kaget, serunya setengah menjerit,

“Ayah ....!! Ayah. !!” berbarengan dengan seruan itu

Kang Hoo lari menubruk tubuh sang ayah yang telah jadi mayat, ia memeluk erat mayat sang ayah, tapi tak terdengar suara tangisnya. Mulutnya mengucap beberapa kalimat, itulah sesuatu ayat pengantar kematian ayahnya.

Berbarengan dengan akhir ucapan kalimat yang keluar dari mulut Kang Hoo, dari luar pintu pekarangan terdengar suara ringkik kuda.

Beng Cie sianseng kaget, ia segera lompat ke depan pintu untuk melihat siapa yang datang, tapi baru saja ia berada di ambang pintu mendadak berkelebat angin dingin menyambar tenggorokannya.

“Ngggg.” dengus Beng Cie sianseng, mundur ke belakang satu tindak, tongkat bambu tujuh ruasnya menyambuti sambaran hawa dingin tadi, yang ternyata keluar dari sebilah pedang.

Mata pedang berbenturan dengan tongkat bambu tujuh ruas. Terdengar suara pletak. Kemudian Beng Cie sianseng mundur lagi selangkah.

Si penyerang bersenjata pedang berseragam dan berselubung muka hitam ia juga mundur keluar pintu, ia kaget. Tidak menyangka kalau tongkat bambu itu dapat menahan sabetan pedangnya. Sejenak diperhatikan mata pedangnya ternyata pedang itu tidak rusak. Tapi ia masih heran suara apakah yang tadi membeletak. Kalau suara itu keluar dari tongkat bambu yang patah, tentunya bambu di tangan lawan sudah putus dua potong, tapi jelas mata orang tadi melihat kalau tongkat bambu tujuh ruas itu masih utuh di genggaman tangan Beng Cie sianseng,

Kang Hoo mendengar suara gebrakan pertempuran singkat tadi ia mengangkat kepalanya memandang ke ambang pintu, sepasang matanya telah digenangi air mata. Tapi ia berusaha menahan perasaan sedihnya agar tidak mengeluarkan suara tangisan.

Beng Cie sianseng mencekal tongkat bambu tujuh ruas berdiri dengan angker, tapi musuh yang datang tidak kalah angkernya, pedangnya melintang di depan dada. Tapi orang berjubah hitam berselubung muka itu belum bergerak, ia masih diherankan dengan kekuatannya tongkat bambu tujuh ruas di tangan Beng Cie sianseng yang tak putus terbabat pedang.

“Kang Hoo, kau larilah! Tinggalkan tempat ini sebelum terlambat!” seru Beng Cie sianseng.

Mendengar perintah suhunya, Kang Hoo bukan meninggalkan kamar itu lompat keluar jendela, malah ia berdiri di samping suhunya, katanya,

“Kita hadapi mereka bersama, mereka ini adalah orang-orang yang telah membunuh ayah.”

Orang berjubah hitam di depan pintu melintangkan pedang di depan dadanya ia tertawa berkakakan. Tampak selubung hitam yang menutupi wajahnya bergerak-gerak.

“Anak sial.” kata orang seragam hitam berselubung muka. “Kamilah yang membunuh ayahmu. Kami datang empat orang, setelah membunuh ayahmu, kami mencari jejak kalian, karena kami harus membunuh seluruh isi rumah tangga ini. Tapi .... kini kau sudah balik ke dalam kamar, Eeee .... heeee . . . kau rupanya anak tidak setia. Mengapa melihat kematian ayahmu kau masih bisa pentang bacot, tidak menangis gegerungan menyatakan kesedihan hatimu.”

“Setan keparat!” bentak Kang Hoo, sambil mengeringkan genangan air mata dengan ujung lengan baju. “Kau tahu apa? Orang yang mati sudah ditakdirkan Tuhan ia pulang kepangkuanNya. Setiap manusia harus mati, Tuhan menarik kembali nyawanya. Dan apa yang dilakukan Tuhan semuanya Adil, kemauan itu tidak perlu ditangisi, menangisi yang mati berarti kita menentang kehendak Tuhan. Manusia tak bisa menentang kehendakNya, aku tidak perlu menangisi mayat ayah, tapi jiwa dan bathinku, mendoa agar arwah ayah mendapat tempat di sisi Tuhan. ”

“Huaaaahaaahaaaa . ..” si orang jubah hitam tertawa berkakakan. “Kau juga rupanya telah mempelajari ajaran agama baru itu, huahaaaa ... ... nah sekarang kau bersiaplah, aku akan mewakili Tuhanmu membetot sebatang roh busukmu, kemudian aku akan mendoakan kau agar mendapat tempat di sisi Tuhanmu ”

Berbarengan dengan akhir ucapannya orang berjubah berselubung muka hitam itu sudah menggerakkan pedang menusuk ke arah dada Kang Hoo.

Mendapat serangan demikian, dengan tenangnya Kang Hoo mengulur tangan ke depan menyambar pergelangan orang yang memegang pedang, badannya miring ke kiri sepasang kakinya menyambar kaki lawan, sambil menjatuhkan badan di lantai ia melakukan serangan guntingan. Maka dengan berbareng ia dapat menyerang dan mengelak sekaligus.

Orang jubah hitam tadi tidak menyangka sama sekali kalau Kang Hoo dapat mengelakkan serangan pedangnya dengan begitu mudah, bahkan punggung tapak tangan kanan si pemuda, berhasil membentur pergelangan tangannya. Ia jadi kaget, cepat menarik serangan pedang itu guna mengelakkan benturan punggung tapak tangan lawan pada pergelangan tangannya, tapi gerakannya terlambat, karena serangan benturan punggung tapak tangan Kang Hoo sudah berhasil membentur pergelangannya, dan sang pedang mencelat terpental berdentring jatuh di lantai. Berbarengan mana kedua kaki Kang Hoo sudah melakukan serangan guntingan, maka tak ampun lagi tubuh orang seragam hitam tadi jatuh tertelungkup di lantai.

Setelah berhasil merobohkan lawan, Kang Hoo meletik bangun, memperhatikan lawan yang jatuh tengkurap.

Beng Cie sianseng melihat kejadian itu membentak, “Bunuh! Kau bunuh! Ia membunuh ayahmu!”

Setelah membentak begitu, kaki Beng Cie sianseng bergerak menendang iga orang jubah hitam yang masih tertelungkup. Orang tadi yang belum dapat bangkit berdiri karena keningnya terbentur oleh lantai batu, kembali mendapat serangan tendangan pada iganya membuat ia lebih tidak dapat berkutik lagi. Kang Hoo berdiri bengong, di depan tubuh orang jubah hitam yang tengkurap di lantai, orang inilah tentunya yang membunuh ayahnya ia harus membalas dendam kematian itu, tapi perasaan bathinnya tidak mengizinkan. Pembunuhan perbuatan dosa! Melanggar ajaran agama.

“Eh. Hayo! Bunuh dia!!!!” bentak lagi Beng Cie sianseng. Orang tua itu mengambil pedang si jubah hitam yang menggeletak di lantai disodorkannya di depan Kang Hoo “Nah, gunakan ini, bunuh dia!”

Kang Hoo menerima pedang itu, tapi pedang tadi, ujungnya terjuntai di lantai, ia tak dapat melakukan pembunuhan.

Beng Cie sianseng menyaksikan sikap Kang Hoo demikian rupa ia jadi sengit, sambil mengeluarkan suara gerengan, melangkah menghampiri tubuh si jubah hitam, kembali kaki Beng Cie sianseng bergerak, menghajar batok kepala belakangnya orang jubah hitam. Orang jubah hitam tadi sudah tak berkutik, begitu mendapat hajaran kaki pada batok kepala belakangnya, ia hanya mengeluarkan suara keluhan.

Sesudah Beng Cie sianseng menendang batok kepala orang itu, tongkat bambu tujuh ruasnya mendorong badan orang, hingga tubuh orang tadi terlentang.

Begitu tubuh orang tadi menghadap ke atas, tongkat bambu tujuh ruas Beng Cie sianseng bergerak ke muka orang itu yang tertutup oleh selubung hitamnya. Ujung tongkat bambu tujuh ruas mencongkel kain hitam tutup kerudung tadi.

Tapi baru saja ujung tongkat bambu tujuh ruas itu baru berhasil membuka sedikit kain hitam yang menutupi wajah orang tadi, mendadak saja Beng Cie sianseng lompat mundur beberapa tindak, ia berdiri di samping Kang Hoo, sinar mata Beng Cie sianseng menatapi terus wajah orang berselubung hitam itu.

Yang membuat Beng Cie sianseng kaget adalah perobahan yang terjadi secara mendadak pada wajah orang jubah hitam. Bagian mata orang tadi yang tak tertutup kain hitam berubah biru. Itulah yang membuat guru tua itu lompat mundur.

Bukankah Beng Cie sianseng tadi melihat kalau bagian yang tak terselubung kain hitam itu tadi berwarna kuning halus, tapi bagaimana mendadak telah berubah menjadi biru.

Perobahan warna kulit itu, dengan cepat menjalar ke seluruh tubuh orang tadi, tangan dan kakinya semua sudah berubah warna dari kekuningan kini menjadi biru matang. Kemudian daging yang sudah berubah warna itu, perlahan-lahan mencair, cairan mana mengalir bercampur dengan darah yang membanjiri lantai. “Aneh, ..... aneh ...” gumam Beng Cie sianseng. “Mengapa orang ini bisa mati mendadak mengalami kehancuran daging. ”

Kang Hoo juga menyaksikan perobahan yang terjadi pada orang jubah hitam itu, matanya terbelalak lebar. Ia tidak mengerti bagaimana badan orang tadi bisa berubah biru lalu mencair, cairan tadi juga berwarna biru.

“Awas, jangan sampai menyentuh cairan daging itu, air daging itu beracun ...” Beng Cie sianseng memperingatkan Kang Hoo.

Mendengar peringatan sang suhu, Kang Hoo mundur setindak. Ia terus memperhatikan cairan badan itu, cairan mana mengalir bercampur darah sang ayah.

Lambat laun badan orang berjubah hitam berselubung tadi mengempis, karena daging-dagingnya telah berubah jadi cairan biru darah yang mengambang di atas lantai kini sudah turut berubah biru, begitu pula mayat ayah Kang Hoo juga sudah digenangi cairan biru. Dan ketika tubuh orang itu suduh berubah seluruhnya menjadi cairan, tinggal hanya rambut kepalanya bergumpal diantara cairan biru tadi. Mendadak saja mayat ayah Kang Hoo yang terkena cairan biru tadi, perlahan-lahan turut berubah menjadi biru.

Kang Hoo kaget, ia tidak ingin mayat sang ayah mengalami nasib seperti apa yang dialami orang jubah hitam tadi. Ia lompat maju ke depan maksudnya untuk memindahkan mayat ayahnya menjauhi cairan biru dari daging-daging lawan yang mencair.

Selagi Kang Hoo lompat ke atas, mendadak badan Beng Cie sianseng sudah menubruk datang sambil berteriak, “Jangan sentuh ...!!”

Kang Hoo yang lompat, tubuhnya masih di tengah udara mendadak dibentur oleh tubuh Beng Cie sianseng, ia tak dapat mengelakkan benturan tadi, maka tak ampun lagi badan Kang Hoo melayang ke samping, lalu nyeplos keluar jendela.

Sementara itu Beng Cie sianseng sudah meletik menjauhi cairan biru tadi. Kemudian berdiri di ambang pintu. Ia memperhatikan mayat sang majikan yang sudah mulai turut berubah biru mencair.

Kang Hoo yang mental nyeplos keluar jendela tubuhnya melayang kemudian ambruk, secara kebetulan sekali jatuhnya tertelungkup di atas punggung seekor kuda milik manusia seragam hitam.

Kuda tadi yang dikejutkan oleh benda yang jatuh di punggungnya, ia jadi kaget, lalu lari sekeras mungkin, sedang tubuh Kang Hoo masih tertelungkup dibawa lari kuda tadi. Ternyata si pemuda jatuh pingsan, akibat benturan badan gurunya.

Beng Cie sianseng merasa sangat kuatir akan keselamatan Kang Hoo, ketika tadi ia melihat Kang Hoo lompat ke arah mayat ayahnya, tanpa disadarinya, ia telah mengerahkan separuh dari tenaganya untuk membentur badan Kang Hoo yang lagi melompat, membuat badan si pemuda mental, dan akibat benturan yang keras itu Kang Hoo jadi pingsan jatuh di atas punggung kuda milik orang jubah hitam yang mati mencair secara mendadak.

Baru saja sang kuda lari melesat membawa Kang Hoo yang pingsan di atas punggungnya lenyap di balik balik gerombolan pohon, di luar pekarangan rumah itu terdengar beberapa ketoprakan kaki kuda. Beng Cie sianseng sedang memperhatikan keadaan mayat majikannya mencair biru itu, jadi kaget, ia teringat pada Kang Hoo yang mental keluar jendela, hatinya heran bagaimana anak itu belum muncul lagi. Tapi keheranannya itu sebentar saja, karena ia ingat bukankah tadi setelah Kang Hoo mental nyeplos keluar jendela telinganya juga mendengar langkah kuda lari. Tapi karena ia sedikit kesima memandang mavat majikan itu ia tidak menghiraukan langkah kuda lari tadi. Dan setelah mayat sang majikan sudah mengempes menjadi cairan biru baru ia teringat akan kejadian tadi. Cepat- cepat ia lari keluar.

Yang pertama kali dilihatnya, beberapa tombak di depan pintu itu, berlompatan tiga orang seragam hitam dari atas kuda, mereka segera melakukan gerak siap tempur, dengan pedang di tangan.

Beng Cie sianseng mencekal erat-erat tongkat bambu tujuh ruasnya dengan kanan, kepalanya menoleh ke samping rumah di mana tadi tubuh Kang Hoo mental keluar. Tapi di sana tak kelihatan bayangan si pemuda. Ia jadi mengkerutkan kening. Pikirnya, “Biar kubereskan dulu tiga manusia busuk ini. Si bocah tolol itu mungkin sudah kabur entah kemana.”

“Hmmmm.....aku ubek-ubekan mencari isi rumah ini ke setiap gerombolan pohon. Tidak tahunya, kuya tua ini sudah ada di sini,” seru salah seorang jubah hitam berselubung muka, “Mana si kuya kecil? Ayo, sekalian suruh keluar.”

Mendengar dan melihat sikap tengiknya ketiga orang jubah hitam berselubung muka itu, mendadak saja tongkat bambu tujuh ruas di tangan Beng Cie sianseng berputar mendesing, tubuhnyapun mencelat melambung menyambar ketiga orang jubah hitam berselubung itu. Kedua orang tadi sudah siap menghadapi datangnya serangan dari udara itu, tiga sinar pedang berkelebat menyambut desingan tongkat bambu.

Di tengah udara terdengar suara peletak peletok dari hancurnya tongkat bambu tujuh ruas yang berpentalan kian kemari. Kemudian empat orang itu kembali mundur. Masing-masing memasang kuda-kuda.

Tiga orang jubah hitam berselubung yang berhasil menghancurkan tongkat bambu, tujuh ruas di tangan Beng Cie sianseng, mereka pada berdiri melengak. Di atas tanah tampak potongan-potongan batang tongkat bambu tujuh ruas milik Beng Cie sianseng, tapi kini di tangan kanan Beng Cie sianseng sudah menggenggam sebilah pedang. Itulah pedang bergagang, seruas dari tongkat bambunya yang sudah hancur berkeping-keping.

Menyaksikan ketiga lawannya terheran-heran, Beng Cie sianseng mendengus, katanya sengit,

“Kalian heran, di dalam tongkat bambu masih terdapat sebatang pedang.”

Setelah berkata begitu Beng Cie sianseng memutar pedang itu, gerakannya sebagaimana biasa ia memutar tongkat bambu tujuh ruas, maka di tengah udara berkeredepan sinar putih menyilaukan mata diiringi terdengarnya suara mendengung yang keras sekali.

Tiga orang jubah hitam jadi kaget, mereka serentak lompat mundur, sinar pedang yang berputar itu menyilaukan pandangan mata mereka, sedang bunyi dengungan pedang seperti menusuk daun telinga mengacaukan pikiran. Mereka kini sadar, kalau sedang berhadapan dengan seorang ahli pedang.

Selagi    mereka     dibingungkan     dengan     suara dengungan dan kilatan-kilatan sinar pedang, badan Beng Cie sianseng mencelat melakukan gerak serangan ke depan.

Tiga orang jubah hitam berselubung muka tadi kaget, mereka lompat lagi setindak, dengan senjata pedangnya menangkis serangan kilatan pedang. Kembali terdengar suara beradunya empat senjata tajam dibarengi dengan terdengarnya tiga kali suara mendentring, tampak tiga potong logam putih melayang terbang kemudian masuk amblas ke dalam batang pohon.

Tiga potongan logam tadi adalah potongan pedang dari tiga orang jubah hitam, yang putus akibat dibentur oleh pedang Beng Cie sianseng.

Beng Cie sianseng tidak mau bergerak sampai di situ, setelah berhasil membuat pedang lawan putus jadi dua potong, putaran pedangnya diperlambat, melindungi badan, tangan kirinya maju ke depan menyerang dada salah seorang jubah hitam yang di sebelah kiri.

Mendapat serangan pukulan itu, orang jubah hitam lompat mundur. Tapi gerakannya terlambat, karena pedang Beng Cie sianseng menyusul gerak mundur orang tadi, menyambar kaki kanannya.

Berbarengan dengan berlompatan sebuah potongan kaki di atas tanah. Badan orang tadi ambruk jatuh. Begitu tubuhnya ambruk mendadak matanya mendelik, ia menghembuskan napasnya. Mampus seketika.

Beng Cie sianseng kembali dibuat heran karena korban pedangnya itu jatuh terus mampus saja. Matanya mendelik, wajahnya yang tampak sedikit terlihat pada bagian matanya telah berubah biru.

Mengambil    kesempatan     Beng     Cie     sianseng dibingungkan oleh kejadian itu. Dua orang jubah hitam lain yang mengetahui kalau lawan berpedang di depannya itu bukan tandingannya, mereka pada lompat ke atas kuda masing-masing.

“Nggg………” dengus Beng Cie sianseng segera lompat mengejar ke arah dua orang itu. Tapi gerakan Beng Cie sianseng terlambat beberapa detik, karena orang jubah hitam itu dengan indahnya telah berhasil lompat ke atas punggung kuda masing-masing dan melesat lari.

Beng Cíe sianseng ingin menangkap hidup-hidup manusia berselubung muka hitam tadi, ia segera lompat ke atas punggung kuda milik jubah hitam yang mampus. Tapi secepat itu pula badan Beng Cis sianseng meletik ke atas lalu menjambret ranting pohon, dan tubuhnya gelayutan lalu lompat lagi ke atas, ia berdiri di atas dahan pohon.

“Sungguh berbahaya!” gumam Beng Cie Sianseng di atas pohon. Memandang pada sang kuda, yang mendadak jatuh bertekuk kaki mengeluarkan suara ringkiknya!

Ternyata ketika Beng Cie sianseng lompat ke atas kuda itu, matanya dapat melihat cairan biru dari tubuh orang jubah hitam tadi mengalir membentur kaki kuda. Saat itu sang kuda belum merasakan sesuatu tapi setelah sekian saat, ia merasakan kakinya lemas hingga jatuh bertekuk kaki.

Ringkik kuda terdengar berulang-ulang, kuda itu seperti menderita kesakitan luar biasa kakinya mulai menjalar warna biru terus ke paha dan seluruh badan. Kemudian dalam sekejapan saja badan kuda itu sudah mulai mencair. Diantara goyangan ranting-ranting pohon, Beng Cie sianseng di atas dahan memperhatikan jauh ke depan, ia mencari-cari bayangan Kang Hoo kemanakah lenyapnya sang murid?

Di atas dahan itu ia juga berpikir, dari golongan manakah orang-orang jubah hitam berselubung muka ini dengan lambang kalong putih? Bagaimana mereka tahu kalau di dalam  rumah ini dihuni oleh tiga orang. Dua orang tua dan seorang bocah. Hingga setelah mereka membunuh majikannya, mereka masih perlu mencari jejak dirinya dan Kang Hoo. Juga kematian orang jubah hitam ini sungguh aneh, mengapa mereka mendadak mati kemudian mencair?

Kita tinggalkan keadaan Beng Cie Sianseng yang dibingungkan dengan munculnya tragedi dalam rumah pensiunan keluarga Lie, kita mengikuti jejak Kang Hoo yang dilarikan kuda dalam keadaan pingsan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar