Misteri Rumah Berdarah Jilid 09

Jilid 09

Bab 25
"Kalau begitu apakah aku kurang menggairahkan?" "Tidak!"

"Jikalau bukan, mengapa tuan kelihatan tidak gembira?"

Dengan termangu-mangu Pek thian Ki memandang alisnya yang berkerut, serentetan rasa cinta, kasihan, mengalir keluar melalui sepasang matanya yang jeli.

Akhirnya pemuda ini tertawa pahit; "Kau jangan banyak curiga, aku sama sekali tidak murung. . ."

"Berlalunya waktu sangat berharga, cepat lepas pakaian dan tidur!"

Belum sempat pemuda she Pek ini memberikan jawaban, It Peng Hong telah mengulur sepasang tangannya yang halus dan putih bersih untuk bantu sang perjaka lepas pakaian.

"Nona. . . aku sudah biasa tidur dengan berpakaian, kini lebih baik aku tidur dalam keadaan begini saja," buru-buru Pek Thian Ki berseru.

It Peng Hong melirik sekejap kearahnya kemudian tertawa, agaknya tindakannya ini sedikit ada diluar dugaannya; "Ternyata kau benar-benar seorang tamu pencari bunga yang lain dari pada yang lain, Kalau begitu tidurlah."

Ia membereskan pembaringan dan mempersilahkan Pek Thian Ki berbaring diatas tempat tidur yang empuk dan menyiarkan bau semerbak itu, hal ini membuat pemuda she Pek ini sedikit merasa terangsang.

Ia melihat It Peng Hong melepaskan pakaian merahnya yang tebal, sehingga hanya tertinggal selapis kain sutera yang sangat tipis dan tembus pandangan, kecuali itu ternyata gadis ini sama sekali tidak memakai sehelai benang penutuppun.

Sepasang payudaranya yang tinggi menjulang, kulitnya yang putih bersih bagaikan salju, serta lekukan-lekukan yang menggairahkan satu per-satu tertera dengan amat jelas.

Kapankah perjaka ini pernah melihat seluruh lekukan tubuh seorang dara dalam keadaan telanjang bulat macam begini?

Dan kapan pernah ia sentuh lekukan-lekukan yang menggairahkan itu?. . . apalagi It Peng Hong adalah seorang gadis yang sangat cantik melebihi kecantikan bidadari yang turun dari kahyangan, sekalipun iman Pek Thian Ki sangat tebalpun, lama kelamaan tak bisa menghindarkan diri dari pengaruh keadaan yang terpancang didepan mata.

Perlahan-lahan It Peng Hong jatuhkan diri berbaring disisi Pek thian Ki, Ia melihat sekejap air muka perjaka tersebut, lalu tegurnya;

"Pek Kongcu, kenapa kau?" "Aku. . ."

Tangannya yang halus dan putih bersih bagaikan salju itu perlahan-lahan dieluskan keatas dada Pek Thian Ki yang kurus, lalu dengan nada bergantian serunya;

"Pek Kongcu, apa yang sedang kau pikirkan?" Ayo, coba beritahukan kepadaku."

Pemuda itu alihkan sinar matanya memandang wajah gadis tersebut, sepasang matanya yang jeli membawa kegairahan sungguh membuat hati manusia berdebar keras, tidak terkecuali pula diri Pek Thian Ki, darah panas dalam rongga dada mulai bergolak sangat keras.

Akhirnya ia balikkan badan, bagaikan binatang buas ditubruknya tubuh perempuan tersebut, lalu diciumi bibirnya yang kecil mungil. . . seluruh lekukan badannya yang menggairahkan dengan penuh napsu. . . . gadis itu kelihatan merinding, desisnya lirih; "Pek Kongcu. "

Desisnya semakin lama semakin pendek, semakin lirih dan akhirnya sunyi senyap, suasana begitu hening. . . .sepi. .

. bibirnya yang kecil mungil, kena disumpeli oleh bibir Pek Thian Ki yang jauh lebih besar, ia merinding, gemetar dan akhirnya lemas.

Agaknya peristiwa ini tak dapat dihindarkan lagi, sudah tentu Pek Thian Ki bukan seorang jagoan main perempuan dan sembarangan cari hiburan di-mana2, tapi, saat ini ia sudah tak dapat mengendalikan dirinya lagi. Ia mulai kalap, mulai dipengaruhi oleh napsu birahi. . . .

Ditengah kekalapan, pemuda itu mulai melupakan segala sesuatu, termasuk dirinya yang berada dalam keadaan bahaya. . . .

Dalam detik ini yang dipikirkan adalah mengalirkan napsu birahinya kepada pihak lawan jenis, perduli siapakah lawan mainnya ini.

Sehingga akhirnya ia terpengaruh, kesadarannya mulai penuh. . . Tangannya menggerayangi seluruh lekkan tubuh gadis itu, meraba sepasang payudaranya yang montok. . .

Gadis itu kembali gemetar keras, seluruh tubuhnya tergetar oleh rabaan tersebut. "Pek Kongcu. ." jeritnya kaget.

Tapi, Pek Thian Ki tetap membungkam, ia meneruskan pekerjaannya. Tiba-tiba. . . . Pada waktu itulah sesosok bayangan manusia berbaju hitam bagaikan kilat menyambar masuk melalui jendela.

"Eeei! orang she Pek, kau mencari mati. . ." bentaknya keras.

Diam-diam Pek Thian Ki merasa terperanjat, dengan cepat ia meloncat bangun dan turun dari atas pembaringan, sinar matanya dengan tajam menyapu sekejap simanusia berkerudung yang telah berdiri dihadapannya.

"Kau. . . kau adalah Kiang To?" bentaknya keras. "Kemungkinan besar dugaanmu tidak salah."

"Kawan Kiang, akhirnya kau suka munculkan diri juga. .

."

"Hmm! Kaulah yang paksa aku muncul."

"Sedikitpun tidak salah, memang aku yang paksa kau

orang, sehingga suka perlihatkan bentuk badanmu."

"Heee. . . heee heee. . . tapi, orang she Pek, karena perbuatanmu ini, maka yang rugi adalah kau sendiri!"

"Kiang To! Ada satu persoalan hendak aku tanyakan kepadamu!"

"Bicaralah!"

"Apa sangkut pautmu dengan sipemilik rumah yang disewakan itu?"

"Apa perlunya kau menanyakan persoalan ini?" jengek orang itu ketus.

"Aku ingin tahu."

"Maaf, dalam soal ini aku orang tak dapat memberikan jawaban." "Delapan jago pedang dari kolong langit apakah mati ditanganmu semua?. . ." kembali tanya Pek Thian Ki.

"Aku tak akan berbicara, dan karena saudara tidak suka mendengarkan peringatanku, maka sekarang aku tak akan berlaku sungkan lagi terhadap dirimu."

Begitu ucapan selesai diutarakan, sesosok bayangan manusia berkelebat lewat diiringi segulung angin pukulan yang dahsyat menghajar seluruh tubuh Pek Thian Ki.

Melihat datangnya serangan begitu dahsyat, pemuda she Pek ini tak urung merasa bergidik juga dibuatnya.

"Apa kau anggap aku takut menerima seranganmu ini?" teriaknya gemas.

Dengan cepat bayangan manusia saling menyambar, dalam sekejap mata masing-masing pihak sudah saling melancarkan tiga buah serangan dahsyat, Saat ini tenaga dalam Pek Thian Ki belum pulih kembali seperti sedia kala, oleh sebab itu untuk beberapa saat ia bukan tandingan dari Kiang To simanusia misterius itu.

Dalam serangan tiga jurus beruntun itu, ia sudah kena terdesak mundur satu langkah kebelakang. It Peng Hong sewaktu melihat kedua orang itu saling melancarkan serangan dengan begitu mengerikan, saking kagetnya seluruh air mukanya berubah pucat pasi bagaikan mayat, seraya menyambar pakaiannya, ia mencoba melarikan diri melalui pintu samping.

Pada waktu itu. . . Antara Pek Thian Ki dengan Kiang To sudah saling bergebrak sebanyak lima enam jurus banyaknya.

"Tahan!" tiba-tiba Pek Thian Ki membentak keras. Ditengah suara bentakan yang amat keras ia mengunci sebuah serangan lawan, lalu melayang mundur kebelakang.

"Heee. . .heeee. . .heeee. . . orang she Pek, ada ucapan apa lagi yang hendak kau utarakan?" bentak Kiang To sinis.

"Lebih baik kita selesaikan dulu pembicaraan kita, kemudian baru bergebrak kembali!"

"Ada ucapan cepat utarakan, jangan buang waktu dengan percuma."

"Ada seseorang memerintahkan diriku untuk menyampaikan sepucuk surat untukmu, Nih! ambillah!" Tangannya diayun kedepan, ia melemparkan surat yang diterimanya dari sikakek tua berbaju hitam Bun Tong Yen itu kearah Kiang To.

Sang manusia misterius dengan sebat menerima surat tadi, lalu disambit kembali kearah pemuda tersebut.

"Kaupun tahu kalau aku bukan Kiang To yang asli, apa gunanya surat itu kau serahkan kepadaku, lebih baik serahkan saja kepada si Kiang To yang benar-benar tulen. . .

."

"Bagaimana? Jadi kau tidak suka menerima surat ini?" seru Pek Thian Ki melengak.

"Benar, aku tak mau terima!" "Bagaimana? Kau. . . !"

"Aku sudah berulang kali memberi  keterangan kepadamu, aku bukan Kiang To yang tulen. "

"Lalu dimanakah Kiang To yang asli?"

"Kemungkinan sekali sudah mati, kemungkinan juga belum munculkan dirinya dalam dunia persilatan."

"Tapi orang lain sedang mencari dirimu." "Kau berani memastikan kalau orang yang dicari itu adalah diriku?"

Untuk beberapa waktu Pek Thian Ki tak dapat memberikan jawaban yang memuaskan hati, lama. . lama sekali ia baru berkata;

"Tidak mau terima ya. . .tidak mau terima, tapi. .aku mau bertanya kepadamu lagi, kau berani menyaru sebagai Kiang To seharusnya tahu bukan, akan asal-usulnya pada masa yang lalu?"

"Sedikitpun tidak salah!"

"Cepat kau terangkan padaku. . .!"

"Heee. . . heee. . .heee. . . aku rasa soal ini sih tidak penting untuk diberitahukan kepadamu."

Sepasang alis Pek Thian Ki melentik, bentaknya gusar; "Sungguh kau orang tidak mau bicara?"

"Sedikitpun tidak salah."

"Akan kupaksa dirimu sampai suka bicara dengan sendirinya!"

Bayangan manusia kembali berkelebat lewat, laksana seekor elang raksasa yang mencari mangsa dengan dahsyat ia tubruk badan Kiang To, telapak tangannya dibabat kemuka melancarkan satu serangan yang aneh dan dahsyat.

"Kau tidak suka mendengarkan peringatanku, akan kubunuh dirimu sampai mati," bentak Kiang To pula dengan nada yang dingin.

Ditengah suara bentakan keras telapak tangannya disilangkan didepan dada memunahkan datangnya serangan lawan, telapak kiri menggurat ditengah angkasa balas mengirim satu pukulan gencar. Jikalau misalnya tenaga dalam dari Pek Thian Ki sudah pulih kembali seperti sedia kal, maka kepandaian silat yang ia miliki tidak berada dibawah kepandaian dari Kiang To ini, cuma saja keadaannya pada saat ini sangat merugikan dirinya.

Tenaga dalam yang dimiliki pada saat ini betul-betul masih bukan tandingan dari Kiang To. Waktu itu puluhan jurus sudah berlalu dengan cepatnya.

Ber-turut2 Pek Thian Ki kena terdesak mundur lima enam langkah kebelakang, akhirnya perjaka ini bulatkan tekad untuk mengadu jiwa.

Ia meraung keras, bayangan manusia berkelebat lewat berturut-turut ia mengirim tiga buah serangan dahsyat mendahului serangan dengan pihak lawan.

Tiba-tiba. . . Kiang To berkelebat, lalu mencelat ketengah udara dengan gerakan lincah, telapak tangannya mengebut berulang kali, dengan gerakan yang sangat aneh tapi lihaynya luar biasa, mengirim tiga buah serangan mematikan yang maha hebat.

Ketika itu Pek Thian Ki sudah ada maksud untuk adu jiwa, sekalipun begitu, ia tidak berani berlaku ayal. Tubuhnya dengan sebat menyingkir kesamping, Tapi belum sempat pemuda she Pek itu benar-benar berkelit kesamping, serangan dahsyat dari Kiang To sudah menerjang datang.

Dengan demikian mau tak mau ia harus menerima serangan tersebut dengan keras lawan keras, Telapak tangannya diayun kemuka dengan menyalurkan seluruh tenaga lweekang yang dimilikinya, ia menyambut datangnya serangan tersebut.

"Braaaaaak!" angin pusaran berhembus melanda empat penjuru, debu pasir beterbangan memenuhi angkasa, berpuluh-puluh rentetan angin desiran memecahkan seluruh kalangan bagaikan ombak besar membentur tepian.

Didalam bentrokan kali ini, Pek Thian Ki merasa hatinya tergetar keras, darah segar bergolak dalam rongga dadanya, berturut-turut ia kena terdesak mundur sejauh berpuluh-puluh langkah kebelakang, akhirnya setelah bersusah payah, ia berhasil juga mempertahankan keseimbangannya.

Tiba-tiba. . .

Pada waktu itulah sesosok bayangan manusia menyambar lewat, bagaikan kilat orang itu langsung menerjang kearah Kiang To.

"Kiang To bangsat, tidak tahu malu, lihat serangan!" bentaknya keras.

Datangnya terjangan orang ini benar-benar sangat cepat, hal ini memaksa Kiang To dalam keadaan tidak mempersiapkan diri segera melesat kesamping untuk berkelit.

"Tahan!" Seraya membentak Kiang To meloncat mundur beberapa langkah.

Orang itupun segera menghentikan badannya ditengah angkasa, lalu berjumpalitan beberapa kali dan melayang turun keatas tanah.

"Aaaach! Tong-te, kiranya kau!" Pek Thian Ki yang ada disisi kalangan segera menjerit tertahan.

Kiranya orang yang baru saja datang memang Tong Ling adanya. Belum sempat Tong Ling mengucapkan sesuatu, Kiang To telah menegur dengan suara dingin;

"Siapa kau?"

"Kawan karib Pek Thian Ki!" "Maksudmu datang kemari ingin mencampuri urusan sampingan ini?"

"Sedikitpun tidak salah!"

"Jadi kau sudah bulatkan tidak untuk cari mati?"

"Heee. . .heee. . .heee. . . sungguh besar bacotmu, belum tentu kau bisa membinasakan diriku dengan begitu gampang."

Ooou, kau tidak percaya, baik! Silahkan kau orang mencoba-coba bagaimanakah dahsyatnya seranganku ini."

Diiringi suara bentakan keras Kiang To meluncur kedepan menubruk kearah Tong Ling, dimana tangannya diayun berturut-turut mengirim dua buah serangan gencar.

Gerakan serangan dari Kiang To amat cepat, tapi Tong Ling jauh lebih cepat lagi, tampak bayangan manusia berkelebat lewat, iapun mengirim sebuah serangan kedepan. Suara bentrokan bergema memenuhi angkasa diikuti berpisahnya kedua sososk bayangan manusia tersebut.

"Hmm! Hebat juga kepandaiaan silat yang kau miliki," seru Tong Ling dingin.

"Kaupun berada diluar dugaanku. . ." Perkataan terakhir baru saja meluncur keluar, badannya sekali lagi meluncur kearah Tong Ling, melancarkan dua buah serangan dahsyat.

Tong Ling tidak mau kalah, melihat datang serangan amat dahsyat ia berkelit lantas menubruk maju pula kedepan.

Dalam sekejap mata terjadilah suatu pertarungan sengit yang sangat ramai, masing-masing pihak dengan mengandalkan gerakan yang tercepat, berusaha merubuhkan pihak lawannya. Lima jurus sudah lewat, tapi keadaan masih kelihatan berimbang, agaknya untuk beberapa saat lamanya susah bagi kedua orang itu untuk menentukan siapa menang siapa kalah.

Sekonyong-konyong. . . .

"Kiang To!" bentak Pek Thian Ki keras. "Ini hari akan kulihat siapakah sebenarnya dirimu!"

Ketika itu pemuda tersebut tidak mengindahkan peraturan Bu-lim lagi, ditengah suara bentakan penuh kegusaran tubuhnya melesat kedepan menerjang tubuh Kiang To, tangannya dengan lima jari terpentang lebar- lebar mencengkeram dadanya.

Diam-diam Kiang To merasa amat terperanjat. Tapi akhirnya ia tidak malu kalau disebut sebagai seorang jagoan berilmu tinggi, perubahan jurusnya dilakukan diluar dugaan, tahu-tahu tangan kanannya dibabat kearah Pek Thian Ki, sedang tangan kirinya menyambut datangnya serangan dari Tong Ling, kemudian menggunakan kesempatan itu mencelat kesamping.

Tapi dengan terjunnya Pek Thian Ki kedalam pertarungan ini, maka posisi Kiang To semakin tergencet.

Untuk menghadapi seorang Tong Ling saja sudah kepayahan, apalagi bertambah pula dengan seorang Pek Thian Ki, Sekalipun kepandaian silat yang ia miliki jauh lebih lihaypun jangan harap bisa menahan serangan dari dua orang yang bergabung menjadi satu.

Setelah menyingkir kesamping, segera tegurnya sinis; "Hmmmm! Kalian semua tidak tahu malu beraninya

turun tangan berbareng mengeroyok seorang." "Hmm! Terhadap dirimu, rasanya kita orang tak perlu mengindahkan kata-kata memalukan atau tidak, yang jelas kau harus mati!" teriak Pek Thian Ki gusar.

Baru saja perkataan selesai diucapkan, badannya kembali meluncur kedepan. Pada saat Pek Thian Ki menerjang kemuka tadi, Tong Ling pun ikut mencelat kearah pihak lawan dengan mengirim satu serangan dahsyat menghajar tubuh Kiang To.

Agaknya simanusia she Kiang itu mulai merasa bahwa keadaan sangat tidak menguntungkan posisinya, melihat datangnya serangan dahsyat dari Tong Ling, iapun kumpulkan seluruh tenaga yang dimilikinya lantas balas mengirim sebuah pukulan.

"Pek Thian Ki, aku bisa balik mencari dirimu," bentaknya keras.

Bayangan manusia berkelebat lewat, ia menerjang keluar melalui jendela. Agaknya baik Pek Thian Ki maupun Tong Ling tidak menduga kalau Kiang To bisa melarikan diri dari sana, ketika mereka sadar tubuh orang itupun sudah meluncur keluar melalui jendela.

"Kiang To, kau anggap dirimu bisa lolos dari tanganku?" bentak Tong Ling gusar.

Bayangan manusia berkelebat lewat, iapun mencelat keluar melakukan pengejaran. Pek Thian Ki ikut menyusul dari belakang, tapi dalam waktu singkat itulah ia sudah ketinggalan puluhan kaki jauhnya dari Kiang To maupun Tong Ling, dan akhirnya kedua orang itu lenyap dibalik hutan. . .

Saking khekinya Pek Thian Ki cuma bisa menggertak giginya rapat-rapat, hingga saat ini ia masih belum tahu siapakah sebenarnya Kiang To itu. . . Sinar matanya dengan cepat menyapu sekejap kearah seluruh ruangan, ketika dilihatnya gadis It Peng Hong tak ada disana, ia jatuhkan diri duduk diatas kursi, Lama. . . lama sekali ia baru menghela napas, agaknya pemuda ini sedang memikirkan suatu persoalan.

Mendadak. . .

"Aaaach. . .!" Pemuda she Pek ini menjerit tertahan. . . dalam keadaan tidak sengaja sinar matanya telah terbentur dengan sebuah lengan kanan dari perempuan yang sedikit muncul dari bawah pembaringan.

Rasa terkejut yang dialami Pek Thian Ki kali ini bukan alang kepalang lagi, dengan cepat ia melompat maju dan berjongkok untuk memeriksa siapakah orang itu.

Tapi sebentar kemudian sekali lagi ia merasa terperanjat. Dilihatnya seorang perempuan yang sangat cantik dengan lekukan badan yang mempesonakan menggeletak dibawah ranjang, sekali pandang dapat diketahui kalau ia menggeletak karena tertotok jalan darahnya.

Sepintas berkelebat. . . secara mendadak Pek Thian Ki teringat akan sesuatu, pikirnya;

"Tidak salah! Perempuan yang menggeletak diatas tanah ini tentu nona It Peng Hong dan nona tadi pasti bukan dirinya, Ada seseorang yang sengaja menyaru sebagai nona It Peng Hong. . . Tapi apa maksudnya berbuat begitu. ?"

Akhirnya pikiranpun teringat kembali akan diri Tong Ling. Gadis yang menyaru sebagai It Peng Hong tadi, jelas adalah Tong Ling, tapi apa tujuannya menyaru sebagai orang lain?

Peristiwa ini benar-benar merupakan suatu kejadian yang susah untuk dipahami keadaannya! Tapi ada satu hal yang nyata dan tak bisa dibantah lagi, yaitu Tong Ling benar-benar telah menyaru sebagai It Peng Hong, bahkan samarannya sangat mirip. . . dan gadis itu berusaha keras untuk bertindak persis.

Pada waktu itu. . . . Dari luar pintu berkumandang datang suara langkah kaki seseorang yang memecahkan kesunyian.

"Siapa?" bentak pemuda itu keras. "Pek Kongcu. . . aku!"

Inilah suara nona It Peng Hong yang telah dijumpainya tadi.

"Eeehmmm! Tidak salah lagi." pikir Pek Thian Ki diam- diam; "Pada mulanya kau keluar dulu untuk menyaru sebagai orang laki dan pergi mengejar Kiang To, kemudian sekarang balik lagi kemari menyaru sebagai It Peng Hong. .

. ."

Waktu itu suara gadis tersebut kedengaran gemetar, jelas ia sengaja memperdengarkan suaranya dalam keadaan ketakutan.

Selintas senyuman dingin berkelebat diatas wajah Pek Thian Ki, agaknya ia sudah teringat akan sesuatu. . . .

"Nona It Peng Hong, kau kenapa.   ?" tegurnya halus.

"Aku.    aku takut?"

"Apa yang kau takuti?"

"Aku takut melihat kalian       kalian berkelahi!"

"Kau masuklah kedalam kamar sekarang sudah tak ada pertempuran lagi."

"Oooouw.      !" Perlahan-lahan It Peng Hong berjalan masuk kedalam kamar, wajahnya masih terlintas perasaan ketakutan yang luar biasa, sinar matanya memandang Pek Thian Ki dengan mendelong.

"Nona It Peng Hong, aku minta maaf. . ." sengaja ujar Pek Thian Ki dengan nada menyesal.

"Kiang. . . Kiang Kongcu sudah pergi?" "Benar! Ia sudah pergi!"

"Mungkinkah ia kembali lagi?"

"Mungkin tidak akan kembali lagi! Kentongan keempat hampir lewat, marilah kita tidur!"

Ia mengangguk, sikapnya kelihatan rada ragu-ragu tapi sebentar kemudian ia sudah melangkah mendekat. Waktu itu Pek Thian Ki sudah menjatuhkan diri berbaring diatas pembaringan.

Perlahan-lahan It Peng Hong melepaskan baju merahnya kembali, sehingga tinggal selembar kain sutera yang tipis menempel diatas badannya, setelah itu ia menjatuhkan diri berbaring disisi pemuda tersebut, keadaannya persis seperti keadaan semula.

Hanya saja perasaan dihati Pek Thian Ki pada saat ini jauh berbeda dengan perasaannya semula.

"Nona It Peng Hong, bolehkah aku orang menanyakan satu urusan kepadamu?. . ." sengaja tanyanya.

"Silahkan bertanya!"

"Kau sudah pernah terima berapa orang tamu?"

"Aku. . . aku. . . ach! aku tidak mau beritahu. . ." mendadak ia tertawa, senyumannya begitu mempesonakan, begitu menggairahkan. . ., "Pek Kongcu, mengapa kau tanyakan soal ini?"

"Aku hanya ingin tahu."

Gadis itu kembali tertawa. . . Ia tertawa begitu manis, begitu menarik hati, kiranya gadis itu berusaha untuk menunjukkan sikap seorang perempuan nakal, dengan paksakan diri ia berusaha untuk menyesuaikan keadaan sebenarnya.

Mendadak Pek Thian Ki membalikkan badannya dan memeluk tubuh gadis itu kencang-kencang. . . seperti pula keadaan tadi, dengan buas dan penuh napsu diciumnya seluruh tubuh dara manis ini.

Beberapa kali It Peng Hong kelihatan gemetar keras. . .! "Pek. . . Pek Kongcu. !

Ia mendesis berulang kali, suaranya penuh mengandung daya rangsang yang membangkitkan hawa napsu.

Perlahan-lahan tangan kanan Pek Thian Ki yang semula memeluk pinggang lalu naik ke atas depan, menyentuh sebentuk dada padat menggelembung yang masih tertutup kain tipis. Diremasnya dengan lembut dada kenyal-padat sebelah kanan.

"Ughh ... " It Peng Hong mendesah merasakan nikmat saat ujung-ujung jari tangan Pek Thian Ki mempermainkan sebentuk benda bulat kecil yang ada di atas gumpalan padat menggelembung dari luar. Bersamaan dengan itu, It Peng Hong makin liar membalas ciuman Pek Thian Ki ke arah telinga pemuda itu.

Melihat sinona membalas perlakuannya dengan tidak kalah liar, kembali pemuda itu menyerang leher hingga membuat merinding bulu tengkuk sang gadis. "Iiih ... " Bahkan, saat tangan kanan pemuda itu mulai menyusup ke balik kain atas It Peng Hong yang entah kapan, ikat pinggang gadis itu sudah luruh dan jatuh ke lantai, mungkin saat ia menarik sinona dalam pelukan, ia melepas ikat pinggang. Tangan Pek Thian Ki meraba-raba dada montok itu dengan lembut dan penuh perasaan kasih. Kembali tubuh gadis itu berkelejat liar saat jemari Pemuda itu mempermainkan tonjolan dada kanan dari dalam.

"Oooh ... ssshh ... " It Peng Hong hanya bisa mendongakkan kepala ke atas, menikmati lumatan dan remasan yang dilakukan oleh sipemuda.

"Nona, kainnya kulepas saja, ya?"

Pelukan Pek Thian Ki sedikit merenggang, diikuti dengan Pek Thian Ki membuka kain yang melekat ditubuh sinona, bahkan It Peng Hong sendiri turut membantu apa yang dilakukan sipemuda.

Setelah semua kain tipis gadis terbebas, kemudian dilepas dari tubuh langsing It Peng Hong hingga sepasang payudara putih mulus padat kencang yang masih segar terpampang jelas.

"Dadamu indah sekali, Nona!" ujarnya begitu sebentuk benda bulat besar yang tadi sempat diremas-remas.

"Kongcu, jangan dipandangi begitu! Aku kan malu," ucap sinona sambil menutupi dadanya dengan dua tangan bersilangan.

"Kenapa harus malu? Lihat ... aku saja sudah tidak memakai apa-apa sedang Nona masih setengah komplit," kata Pek Thian Ki dengan kedua tangan direntangkan, kemudian memeluk It Peng Hong yang malu-malu kucing sambil bibirnya menghujani leher, pipi, dan bibir gadis itu dengan ciuman menggelora. "Ooouchh ... "

Di antara hisapan dan gigitan mesra, sukma gadis itu bagai melayang ringan di awan saat tangan kiri sipemuda mengelus-elus pada bagian paha, melingkar-lingkar membentuk bulatan tak beraturan, sehingga napas gadis itu semakin memburu, pelukan semakin kuat dan ia mulai merasakan bagian gerbang istana kenikmatannya mulai basah.

"Oooch ... Kongcu ... "

It Peng Hong hanya pasrah dan membiarkan bibir dan tangan Pek Thian Ki menjelajahi setiap lekuk dari tubuh sintalnya. Sesukanya, karena memang gadis itu sangat menikmati sentuhan lembut si pemuda. Bahkan tanpa sadar tangan sinona memegang tangan Pek Thian Ki seolah-olah membantunya untuk memuaskan dahaga birahi yang semakin meninggi. Ia semakin menggelinjang kegelian!

Halaman 27-28 robek

Bab 26

Haripun telah terang tanah.

Sinar sang surya menyoroti wajah It Peng Hong yang cantik jelita, titik air mata jatuh berlinang membasahi wajahnya. . .

Ia menangis, menangis dengan begitu sedihnya.

Akhirnya meluncurlah suara sesenggukan yang lirih dimana makin lama semakin keras. .dan akhirnya meledaklah suara tangisan yang memilukan hati.

"Eeeeei. . . kau . . . kenapa kau?" tanya Pek Thian Ki melengak. "Aku. . ."

Baru sepatah kata meluncur keluar, kembali dara tersebut menangis. Pek Thian Ki semakin melengak lagi dibuatnya, ia bangun berdiri dan dan dipandangnya gadis itu tajam- tajam.

Mendadak. . . . sinar matanya tertuju pada segumpal noda darah yang membekas diatas sprei nan putih.

Benar! Sekarang Pek Thian Ki baru paham kalau gadis cantik ini pasti bukan It Peng Hong, melainkan Tong Ling.

Tapi ia tidak ingin memecahkan rahasia ini.       sudah

tentu sebelum ia melakukan perbuatan ini pemuda kita telah berpikir sampai disana, dan sekarang apa gunanya memecahkan rahasia?

"Nona, kenapa kau?" sengaja tanyanya. "Aku. "

"Perbuatanku terlalu kasar, sehingga menyakiti dirimu?" "Tidak. " "Lalu, mengapa kau menangis?"

Mendadak It Peng Hong menarik kembali suara sesenggukan tangisannya, ia berkata; "Suami isteri semalaman, buat apa kita bicarakan soal ini lagi?"

"Kalau begitu, tidurlah! Hari sudah terang tanah!" Dengan halus penuh mesra diciumnya gadis tersebut,

lalu dipeluknya tubuh  yang kecil dan dengan membawa

perasaan hati yang berbeda, akhirnya mereka tertidur juga dengan pulasnya. . .

Ketika ia terbangun kembali, sinar matahari sudah berada tepat diatas kepala. Ketika Pek Thian Ki membuka matanya, waktu itu It Peng Hong sedang berdiri didepan jendela seorang diri. "Nona, kau sudah bangun?" segera tegur pemuda itu.

Gadis itu menoleh, bibirnya kelihatan bergerak tapi tak sepatah katapun yang meluncur keluar dari mulutnya. Perlahan-lahan Pek Thian Ki berjalan menghampirinya.

"Nona It Peng Hong, suami isteri semalaman tak akan aku lupakan walau terpaut ratusan tahun, aku memohon diri terlebih dahulu."

"Kau hendak pergi kemana?"

"Aku? Pergi mencari seorang nona, aku mau pergi menyewa sebuah rumah!" Tanpa menoleh lagi, ia lantas berjalan keluar melalui pintu kamar dan menuju kebawah loteng.

"Tunggu sebentar!" tiba-tiba It Peng Hong berteriak keras.

Mendengar teriakan tersebut, Pek Thian Ki berhenti. "Nona! Terima kasih atas pelayananmu malam tadi, juga

terima kasih untuk semua hal, Lain waktu kita berjumpa lagi didunia kangouw!" Ia dorong pintu dan melangkah keluar.

"Kau. . .! jerit It Peng Hong sangat terperanjat. "Perkataanku adalah sesungguhnya, cayhe mohon diri

terlebih dulu." demikianlah pemuda itupun berlalu!

"Pek Kongcu, bila ada waktu luang, datanglah berkunjung kemari. . " kembali teriak It Peng Hong.

Pek Thian Ki tertawa pahit, mendadak suara langkah manusia memecahkan kesunyian, sipelayan berbaju kuning yang kemarin menghantar pemuda itu kekamar dengan langkah lambat berjalan mendekati. Ia memandang sekejap kearah sang pemuda, lalu tersenyum; "Pek Kongcu, pagi sekali kau sudah bangun, aku memang lagi siap mengundang dirimu!"

"Ada urusan apa?"

"Kau diundang oleh Cong-koan kami."

Pek Thian Ki mengangguk, dan mengikuti dibelakang dara berbaju kuning itu, ia berjalan menuju keruang tengah.

Mendadak. . . .

"Berhenti!" Bentak seorang dengan suara yang amat dingin.

Mendengar suara bentakan itu, Pek Thian Ki rada tercengang dibuatnya, dengan cepat ia menoleh, Dilihatnya seorang dara cantik berbaju hijau telah berdiri dibelakangnya.

Gadis itu bukan lain adalah Suma Hun. Tampak sepasang matanya memancarkan cahaya buas, sambil melototi diri sang pemuda, tegurnya dingin;

"Sungguh menyenangkan sekali bukan semalaman ini?" "Haaa. . . haaa. . .haaaa. . . sudah tentu menyenangkan

sekali!"

"Hmmm! Kau lelaki bangsat!"

"Setiap ada kesempatan, main-main perempuanpun merupakan olah raga yang baik, apa salahnya?"

Saking gusarnya, Suma Hun melototkan sepasang matanya bulat-bulat, agaknya ia hendak mengumbar hawa amarahnya.

Tiba-tiba Pek Thian Ki teringat akan sesuatu, ia merogoh kedalam sakunya seraya berkata; "Nona Suma, ada satu urusan hampir-hampir saja aku lupa untuk disampaikan kepadamu, ada orang titipkan sepucuk surat untukmu!"

"Apa?" teriak Suma Hun tersentak kaget, air mukanya kontan saja berubah sangat hebat.

"Nih, ambillah!" seru Pek Thian Ki kembali seraya sodorkan surat tadi ketangan Suma Hun.

Diterimanya surat itu, lalu sinar matanya memeriksa isinya, tapi sebentar kemudian air muka gadis ini sudah berubah sangat hebat, tanpa sadar ia mundur satu langkah kebelakang.

Kelihatannya Pek thian Ki sama sekali tidak menemukan perubahan wajah dari Suma Hun ini, ia tertawa hambar.

"Nona Suma, aku mohon diri terlebih dahulu." Habis berkata, ia putar badan dan berlalu.

"Berhenti!" tiba-tiba gadis she Suma ini membentak keras.

"Nona Suma, kau masih ada pesan-pesan apa lagi?" "Siapa yang menyerahkan surat ini kepadamu?"

"Pihak lawan melarang aku untuk memberitahukan persoalan ini, maaf aku tak mengutarakannya keluar."

"Pek Thian Ki, sebenarnya kau suka berbicara tidak?" bentak Suma HUn teramat gusar, serentetan napsu membunuh melintasi wajahnya.

"Bukannya tidak mau berbicara, tapi titipan orang lain harus aku sampaikan sebagaimana mestinya, dan janji dengan orang lain tak boleh diingkari, kau suruh aku secara bagaimana memberi jawaban?"

"Jadi kau mencari mati?" Secara tiba-tiba Pek thian Ki mulai merasa tidak paham, sebenarnya apa yang ditulis dalam surat yang diberikan Sin Si-poa kepadanya ini sehingga mengakibatkan wajah Suma Hun penuh dilintasi napsu membunuh?

"Sebenarnya apa yang ditulis diatas surat tersebut?" tanyanya agak tertegun.

"Soal ini sih kau tidak perlu tahu, ayo jawab! Siapa yang serahkan surat ini kepadamu? Jikalau kau tidak suka berbicara lagi, aku akan menggunakan kekerasan untuk memaksa dirimu buka mulut."

Air muka Pek thian Ki sedikit berubah mendengar perkataan tersebut. Urusan sudah jelas tertera didepan mata, diatas surat itu tentu tertuliskan sesuatu yang menyangkut suatu urusan besar, Kalau tidak, maka sikap gadis itu tak akan berubah semacam begini.

Hanya saja untuk beberapa saat ia tak mengerti apa sebenarnya urusan itu!

"Nona Suma, mana boleh kau orang memaksa orang lain dengan menggunakan kekerasan?" katanya tertawa.

"Kau suka bicara tidak?" "Tidak!"

"Akan kupaksa dirimu untuk buka suara berbicara terus terang!"

Tubuhnya berputar kencang, laksana sambaran petir meluncur kearah Pek Thian Ki, telapak tangannya dengan disertai suara desiran tajam langsung menghantam tubuh Pek Thian Ki.

Serangan yang dilancarkan Suma Hun kali ini lebih mirip serangan mengadu jiwa, kecepatannya sangat mengejutkan hati. Pek Thian Ki merasakan hatinya bergidik, buru-buru ia gerakkan tangannya menangkis.

"Nona Suma, kau sungguh-sungguh hendak turun tangan?" bentaknya gusar.

"Sedikitpun tidak salah!"

Ditengah suara bentakan keras, berturut-turut ia melancarkan dua buah serangan mengancam tubuh pemuda she Pek itu, kecepatannya jauh lebih hebat dari serangan yang pertama tadi.

Rasa kejut yang dialami Pek thian Ki kali ini bukan alang kepalang lagi.

Ketika itu. . . .

Didalam sekejap mata Suma Hun sudah melancarkan tiga buah serangan gencar yang memaksa sang perjaka berturut-turut terdesak mundur sejauh tiga empat langkah lebih.

Jikalau dibicarakan dari tenaga lweekang yang dimiliki Pek Thian Ki pada saat ini, ternyata kena didesak mundur sejauh tiga empat langkah oleh Suma Hun, kejadian ini benar-benar merupakan suatu peristiwa yang tidak mungkin terjadi.

"Nona Suma, jikalau demikian, kau jangan salahkan aku orang akan turun tangan kejam," bentak sang pemuda teramat gusar.

Bayangan manusia berkelebat lewat, ia menghalau datangnya sebuah serangan lawan yang gencar. Tangkisannya barusan ini ia telah gunakan dua belas bagian tenaga lweekangnya, apalagi seranganpun datangnya cepat dan ganas, kontan Suma Hun kena didesak balik ketempat semula. "Nona Suma, kau sungguh-sungguh ingin cari mati?" bentaknya keras.

"Sedikitpun tidak salah!"

"Jikalau demikian adanya, terpaksa aku Pek Thian Ki harus berlaku tidak sungkan-sungkan lagi terhadap dirimu."

Bayangan manusia berkelebat lewat, tahu-tahu ia sudah melancarkan serangan dahsyat kedepan. Begitu Pek thian Ki turun tangan, Suma Hun pun tidak ingin menunjukkan kelemahannya, ia ikut melancarkan serangan kearah musuhnya, dan masing-masing saling menyerang dengan kecepatan laksana petir menyambar, Dalam beberapa kali kelebatan saja kedua orang itu sudah saling menyerang sebanyak puluhan jurus.

Kepandaian silat yang dimiliki Suma Hun jelas bukan tandingan dari Pek thian Ki, karena tenaga lweekang yang dimiliki Pek thian Ki saat ini telah mencapai titik puncak yan teratas.

Sekonyong-konyong. . . .

Pek Thian Ki membentak keras, telapak tangannya didorong kemuka menghajar dada gadis tersebut. Kekuatan dari pukulan kali ini telah diikuti oleh segulung tenaga lweekang yang luar biasa dahsyatnya, bagaikan guntur membelah bumi dengan gencar menghantam tubuh Suma Hun.

Dengan adanya kejadian ini, mau tak mau Suma Hun terpaksa harus menggerakkan tangannya menangkis ia menggigit bibirnya rapat-rapat, tangan kanan digetarkan keras lantas dibabat kedepan menangkis datangnya serangan musuh dengan keras lawan keras.

"Braaaak!. . . ." Suara bentrokan keras meledak memenuhi angkasa, desiran angin tajam menyebar keempat penjuru, ranting, dedaunan, pasir maupun debu beterbangan memenuhi angkasa.

Kena terhantam oleh serangan yang maha dahsyat dari pemuda tersebut, Suma Hun terdesak mundur sepuluh langkah lebih kebelakang.

Cahaya putih berkelebat lewat, tahu-tahu diatas tangan Pek Thian Ki telah bertambah dengan sebilah pedang 'Ciang Liong Kiam', tegurnya seraya tertawa dingin tiada hentinya.

"Nona Suma, aku Pek Thian Ki sama sekali tidak ingin mengikat permusuhan dengan dirimu, buat apa kau paksa kita berdua untuk saling mengadu jiwa?"

"Lalu apa mau-mu?"

"Jawab! Siapakah sebenarnya dirimu?" bentak Pek Thian Ki gusar, selintas napsu membunuh berkelebat diatas wajahnya.

"Aku bernama Suma Hun!" jawab gadis itu keras. "Dari mana asal-usulmu?"

"Hmm! Aku rasa didalam soal ini kau tidak berhak untuk mengetahuinya dan akupun tiada berkepentingan untuk memberikan jawaban yang benar."

"Sekalipun kau tidak suka berbicara terus terang, akupun tahu siapakah kau orang."

"Siapa?" "Kiang To!"

Baru saja kata-kata itu meluncur keluar dari mulutnya, ujung pedang dari Pek Thian Ki sudah dicukilkan keatas baju Suma Hun. Diiringi suara robeknya pakaian, kain sebelah depan dari nona itu sudah kena tergurat robek, sehingga kelihatan kutangnya yang berwarna merah.

"Kau. . .!" teriak Suma Hun amat gusar.

"Aku sedang mencari tanda membunuh yang berada disakumu."

"Pek Thian Ki, mengandalkan apa kau bisa menuduh aku adalah Kiang To?. . ."

"Heee. . . heee. . . heee. . . Suma Hun, samaranmu benar- benar terlalu mirip." seru Pek Thian Ki sambil tertawa dingin tiada hentinya. "Kemarin malam Kiang To memasuki kamar kediaman dari It Peng Hong dan pernah pula bergebrak melawan diriku, jurus serangan yang ia gunakan persis seperti apa yang kau gunakan saat ini. "

"Jadi kau mengandalkan soal ini saja lantas menuduh aku adalah Kiang To. "

"Masih ada lagi, sewaktu berada diatas gunung Lui Im San, aku sudah menaruh curiga bahwa kau adalah Kiang To, seharusnya kau belum lupa bukan kehadiranku digunung Lui Im San adalah atas ajakanmu?"

"Sedikitpun tidak salah!"

"Tapi sejak mulai, hingga berakhir, aku tidak pernah menemui kau barang sekejappun, dan kebetulan sekali sewaktu kedua orang kawanku sedang saling bergebrak kau munculkan diri, ditengah persoalan ini kau masih punya cukup waktu untuk mengembalikan wajah aslimu."

"Masih ada yang lain?"

"Mengandalkan beberapa hal ini rasanya sudah cukup untuk membuktikan kau adalah Kiang To." "Anggap saja benar aku adalah Kiang to, lalu kau mau apa?" bentak Suma Hun dingin.

"Baik, cukup menjawab beberapa buah pertanyaanku, tahukah kau asal-usul dari Kiang To?"

"Tidak tahu!"

"Apa sangkut pautmu dengan rumah yang disewakan itu?" "Tidak tahu!"

"Mengapa kau menyaru sebagai Kiang To? Dan dimanakah Kiang To yang asli?"

"Tidak tahu!"

Ternyata beberapa kali gadis tersebut hanya menjawab setiap pertanyaan dengan kata-kata tidak tahu belaka. Lama kelamaan Pek Thian Ki tak dapat menahan kegusaran yang berkobar dalam hatinya lagi.

"Sungguh-sungguhkah kau orang tidak mau berbicara barang sekejappun?. . ." teriaknya melengking.

"Sedikitpun tidak salah!"

"Kau jangan lupa, asalkan pedangku ini aku tusukkan lebih kedalam, maka nyawamu akan segera melaporkan diri keakhirat."

"Asalkan kau Pek Thian Ki punya kemampuan, ayoh! Turun tanganlah, bila kau jago, silahkan cepat2 tusukkan pedang itu keperutku."

"Buat apa kau paksa aku untuk turun tangan keji?" seru pemuda      itu      lagi      sambil       tertawa       dingin. Suma Hun pejamkan matanya rapat-rapat dan tidak menjawab lagi pertanyaan dari pihak lawannya. Bicara sesungguhnya, asalkan Pek Thian Ki sedikit kerahkan tenaga, maka seketika itu juga Suma Hun akan menemui ajalnya disana. "Nona Suma! Baiklah, aku tak akan membinasakan dirimu," bentak Pek Thian Ki kemudian sambil menggertak gigi. "Tapi pada suatu hari aku bisa tahu siapakah kau orang, dan sekarang sana menggelinding pergilah jauh- jauh."

"Pek Thian Ki!" teriak Suma Hun pula sambil meloncat bangun, "Selamanya aku tak akan melupakan penghinaanmu semacam ini hari, lain waktu akupun akan merobek pakaianmu dihadapan umum."

Habis berkata, tubuhnya melejit dan mencelat pergi dari sana, dalam sekejap mata telah lenyap dari pandangan.

Pek Thian Ki tertawa dingin tiada hentinya, ia masukkan kembali pedangnya kedalam sarung dan melangkah pergi. Ketika itulah mendadak serentetan suara berkumandang datang memecahkan kesunyian.

"Eeeeei bocah cilik, sungguh bagus sekali tindakanmu! Ternyata kaupun mengerti juga tentang menyayangi kaum gadis!"

Munculnya suara tersebut secara mendadak langsung membuat Pek Thian Ki jadi tersentak kaget, buru-buru ia putar badannya.

Terlihatlah kurang lebih satu tombak dibelakang punggungnya entah sejak kapan sudah berdiri seorang lelaki setengah baya berdandan seorang sastrawan. Melihat munculnya sastrawan berusia setengah baya itu Pek Thian Ki rada tertegun dibuatnya.

"Siapa kau?" tegurnya cepat.

"Sin Hoa Khek atau si tetamu pencari bunga!" "Apa? Si tetamu pencari bunga?"

"Ehmmm! Apakah kau merasa namaku lucu?" Kena ditanya oleh pihak lawan hampir-hampir saja Pek Thian Ki tertawa ter-bahak2, sudah tentu setiap orang yang mendatangi Istana Perempuan boleh disebut sebagai si tetamu pencari bunga!

Pek Thian Ki tertawa, senyuman yang membawa kejumawaan, sedang langkah kakipun meneruskan perjalanannya kedepan.

Tiba-tiba.     !

Sreet! Sreet!. . . berturut-turut muncul delapan sosok bayangan manusia yang langsung menghadang perjalanan pergi dari sang pemuda tersebut.

Pek Thian Ki rada tertegun dibuatnya, sinar mata yang tajam perlahan-lahan menyapu sekejap kearah orang2 itu, dilihatnya dari kedelapan orang berbaju hijau yang baru saja munculkan dirinya itu, masing-masing orang menggembol sebilah pedang diatas punggungnya. Orang yang pertama adalah seorang kakek tua, dengan sangat cepat ia menghadang dihadapan Pek Thian Ki.

"Tolong tanya apakah saudara adalah Pek Thian Ki?" tegurnya seraya menjura.

"Sedikitpun tidak salah, siapakah kalian?"

"Loohu, San Hoa Kiam Khek (Jagoan pedang penyebar bunga), sebagai anak murid dari Kiam Kok, atau Lembah Pedang, saat ini memperoleh perintah dari Kokcu sengaja datang mengundang saudara untuk mengunjungi lembah kami sebentar."

"Apa keperluannya?"

"Soal ini Loohu sendiripun tidak tahu, setelah saudara tiba disana rasanya segera akan jadi paham kembali." "Heee. . .heee. .heee cayhe tidak saling kenal mengenal dengan Kokcu kalian, apa kepentingannya untuk pergi kesana?" seru Pek Thian Ki sambil tertawa dingin tiada hentinya. "Tolong sampaikan kepada Kokcu kalian, katakan saja aku Pek Thian Ki tiada waktu luang untuk menyambangi dirinya."

"Saudara pastikan diri tidak mau pergi?"

"Kenapa aku harus pergi?" jengek sang pemuda lagi sambil tertawa hambar.

"Kau harus pergi kelembah kami!" "Mengapa aku harus pergi kelembah kalian?" "Karena Kokcu kami ada urusan penting. . ."

"Itukan urusan pribadi ia sendiri!" potong sang pemuda tidak menanti siorang tua itu menyelesaikan kata2nya. "Apa sangkut pautnya antara urusan pribadinya dengan urusanku?"

Melihat keketusan sang pemuda she Pek ini, si jagoan pedang penyebar bunga langsung kerutkan alisnya rapat- rapat.

"Loohu harap kau suka memandang diatas wajahku. . ." "Cukup! Antara kau dan aku tidak saling mengenal,

Mengapa aku harus memandang diatas wajahmu lantas

mengabulkan permintaanmu itu," sela Pek Thian Ki kembali.

Merah padam selambar wajah San Hoa Kiam Khek. "Jadi kau sungguh-sungguh tidak suka mengikuti kami

untuk mengunjungi Lembah Kiam Kok? "Sedikitpun tidak salah!" "Saudara, apakah kau menaruh minat untuk menyusahkan diri Loohu karena persoalan ini?" desak San Hoa Kiam Khek lebih lanjut.

"Sudah aku katakan bahwa aku tak ada waktu." teriak Pek Thian Ki sangat mendongkol. "Bagaimana? Apakah kalian tidak dengar?"

"Dengar sih Loohu sudah dengar." "Kalau begitu cepat enyah dari sini!" "Tapi. . . "

Air muka Pek Thian Ki berubah semakin menghebat, bentaknya keras; "Aku suruh kalian enyah dari sini, sudah dengar belum? Congek!"

Air muka San Hoa Kiam Khek pun kelihatan rada berubah.

"Jikalau saudara keraskan kepala tidak mau ikut kami pergi, terpaksa kami akan mengundang dengan menggunakan kekerasan!"

"Hmmmm! Kau berani?"

"Adalah saudara yang terlalu memaksa, sehingga kami harus turun tangan menggunakan kekerasan. ."

"Kentutmu, Jikalau kalian tahu diri, lebih baik cepat- cepat enyah dari sini, kalau tidak. . Hmm! Aku sungguh- sungguh tak akan berlaku sungkan-sungkan lagi kepada kalian."

"Menurut berita kangouw yang aku dengar, para jago mengatakan kau memiliki kepandaian silat yang luar biasa, terpaksa Loohu beberapa orang menanti beberapa petunjuk darimu." seru San Hoa Kiam Khek akhirnya sambil tertawa dingin. Begitu ia membungkam, serentetan cahaya tajam laksana sambaran petir sudah meluncur kedepan mengancam tubuh Pek Thian Ki. Serangan ini dilancarkan bagaikan seekor naga sakti ditengah awan, cepat dan dahsyat sangat mengejutkan, bersamaan dengan turun tangannya si jagoan pedang penyebar bunga ini, sisanya pun ber-turut2 turun tangan melancarkan serangan.

Delapan bilah pedang dengan membentuk delapan kuntum bunga-bunga pedang mengancam datang dari delapan penjuru yang berlainan, sungguh luar biasa sekali.

Melihat datangnya serangan itu, Pek Thian Ki jadi sangat terperanjat. Dalam keadaan kaget, ia mengirim satu pukulan dahsyat kedepan, tubuhpun mengiringi serangan tersebut mencelat kesamping.

Delapan bilah bayangan pedang bersama-sama mencapai sasaran yang kosong dan menyebabkan diatas tanah muncul delapan buah lubang kecil yang cukup dalam.

"Tahan!" bentak pemuda itu keras.

Suara bentakan tersebut keras bagaikan guntur membelah bumi, delapan orang jagoan lihay bersama-sama menarik kembali serangannya dan mundur kebelakang.

Si jagoan pedang penyebar bunga maju kedepan seraya tertawa dingin tiada hentinya; "Apakah saudara sudah berubah pikiran?" tegurnya.

"Aku hanya ingin bertanya, apakah kalian benar-benar ada maksud hendak membinasakan aku orang she Pek?" teriak Pek Thian Ki dengan air muka berubah hebat.

"Tidak pernah terjadi urusan semacam ini."

"Kalau begitu, apa maksud kalian delapan orang bersama-sama melancarkan serangan. . ." "Tujuan kami hanya ingin mempersilahkan saudara suka mengikuti kami mengunjungi Lembah Kiam Kok."

"Sudah aku katakan kalau aku tak ada waktu."

"Maka dari itu terpaksa kami mengundang dengan kekerasan."

"Jadi kalian hendak paksa aku untuk turun tangan. . ." jengek Pek Thian Ki dengan wajah penuh diliputi napsu membunuh.

Baru saja ia bicara sampai disitu pedang Ciang Liong Kiam sudah dicabut ditangan, sedang sang wajahpun dilintasi oleh selapis napsu membunuh yang belum pernah diperlihatkan selama ini.

Benar! Pek Thian Ki sudah dibuat gusar pula, ia sama sekali tidak saling mengenal dengan Kiam Kok Kokcu, Tindakan dari anak murid orang-orang Lembah Kiam Kok ini jelas hendak mencari sengketa dengan dirinya.

"Saudara, aku lihat lebih baik ikuti kami saja berangkat ke Lembah Kiam Kok. . ." seru si San Hoa Kiam Khek lagi sambil tertawa hambar.

"Tidak dapat!"

"Kalau begitu, akan kulihat sebenarnya saudara mempunyai kepandaian andalan seberapa lihay. . ." Belum habis ia berkata bayangan manusia sudah berkelebat lewat, pedangnya langsung menusuk dada Pek Thian Ki.

Setelah San Hoa Kiam Khek turun tangan, ketujuh orang jago pedang lainnya pun laksana kilat masing-masing mengirim sebuah serangan kedepan.

Bab 27 Tiba-tiba. . .

Pek Thian Ki membentak keras, pedang Ciang Liong Kiam-nya disapu keluar, terlihatlah cahaya tajam menyambar lewat, Ia sudah melancarkan jurus pertama dari ilmu pedang 'Ciang Liong Kiam Hoat'.

Ilmu pedang 'Ciang Liong Kiam Hoat' ini merupakan kepandaian andalan dari pemimpin sembilan jagoan pedang dari kolong langit, kedahsyatannya luar biasa, hanya didalam sekali kelebatan saja ia sudah berhasil menghalau datangnya kedelapan buah serangan tersebut.

Suara bentakan itu muncul dari balik ruangan, dan Cong-koan dari Istana Perempuan pun tahu-tahu sudah munculkan dirinya ditengah kalangan, seraya menyapu semua orang yang sedang bergebrak tegurnya;

"Apa yang hendak kalian lakukan disini?"

"Heeee. . .heeee. . .heeee. . . lebih baik kau bertanya langsung dengan mereka saja." sahut Pek Thian Ki dingin.

"Kawan, sebenarnya apa yang telah terjadi?"

"Kokcu dari Lembah kami ada urusan hendak mencari saudara ini, tapi ia tidak suka mengikuti kami untuk menghadap, terpaksa kami harus menggunakan kekerasan untuk mengundang dirinya."

"Urusan ini menyangkut persoalan pribadi kalian kawan! Tindakanmu salah besar, haruslah kau ketahui setiap kawan-kawan Kang-ouw dilarang melakukan pertarungan dalam lingkungan Istana kami!"

"Kecuali kawan ini suka mengikuti kami berangkat ke Lembah Kiam Kok!" kata San Hoa Kiam Khek kembali.

"Apakah kawan tidak pandang sebelah mata terhadap Istana kami?" "Soal ini bukan menyangkut soal memandang sebelah mata atau tidak terhadap Istana kalian, sekalipun kawan ini berada didalam Istana terlarang dari Maha Kaisar pun kami juga sama saja akan menemui dirinya."

"Heee. . .heee. . .heeee. . .sungguh besar lagak kalian, entah kamu semua berasal dari perguruan mana?"

"Lembah Kiam Kok!" "Apa? Lembah Kiam Kok?"

Tampaklah air muka sang Cong-koan tersebut berubah hebat, kelihatan sekali ia merasa sangat jeri terhadap nama besar dari Lembah Kiam Kok.

Keadaan tersebut langsung saja membuat hati Pek Thian Ki merasa bergidik, diikuti dari atas wajahnya, terlintaslah serentetan rasa gusar yang sukar dibendung. Cara paksaan yang digunakan orang-orang ini, benar2 membangkitkan hawa amarah dihati pemuda she Pek.

Setelah berhasil menenangkan hatinya, Ujar Cong-koan dari Istana Perempuan itu lagi;

"Kiranya kawan-kawan dari Kiam Kok, selamat bertemu, selamat bertemu, cuma. . .Kawan! Maukah kalian memandang diatas wajah kami dan jangan bergebrak didalam Istana Perempuan?"

"Kecuali saudara ini suka mengikuti kami pergi!"

"Jadi dengan demikian, kalian paksa aku harus turun tangan?" bentak Pek Thian Ki teramat gusar.

"Sedikitpun tidak salah!"

"heeee. . .heeee. . . jangan dikata cuma sebuah lembah Kiam Kok saja, sekalipun Kaisar sendiripun setelah aku Pek Thian Ki bilang tidak pergi, tetap tidak pergi, bilamana kalian tidak tahu diri, dan memaksa terus. . . Hee. . .heee. . .hati-hati, aku orang she Pek akan melakukan pembunuhan."

"Kalau begitu kau boleh coba-coba!"

Tubuh si jagoan pedang Penyebar Bunga ini segera menerjang maju kedepan, laksana sambaran kilat, ia mengirim sebuah serangan dahsyat kearah pinggang Pek Thian Ki.

Serangan tersebut segera disusul oleh tujuh orang lainnya yang bersama2 menggerakkan pedangnya mengirim sebuah serangan.

"Bagus sekali! Jadi kalian sungguh-sungguh mau cari gara-gara dengan aku orang, akan kubunuh kalian semua!" teriak Pek Thian Ki.

Bayangan manusia berkelebat lewat, pedang tahu-tahu sedah berkelebat laksana seekor naga sakti. Pada saat ini Pek Thian Ki ada maksud untuk melakukan serangan mengadu jiwa, serangannya ini telah disisipkan pula tenaga lweekang yang dimilikinya selama ini, sungguh amat luar biasa.

"Criiiiing!" suara bentrokan keras memecahkan kesunyian disusul percikan bunga api menyebar keempat penjuru.

Delapan bilah pedang bersama-sama kena tersapu pental oleh datangnya serangan dari Pek Thian Ki ini, sedang pemuda tersebut mengambil kesempatan itu melanjutkan kembali terjangannya kemuka.

Suara jeritan ngeri bergema memenuhi angkasa, seorang jagoan pedang yang tidak keburu menyingkir kena terbabat pedang lawan, sehingga rubuh binasa dengan bermandikan darah. "Ayooh! Siapa lagi yang tidak takut mati, boleh maju coba-coba ketajaman pedangku!" teriak pemuda tersebut dengan sepasang mata memancarkan cahaya penuh napsu membunuh.

"Bangsat cilik, aku adu jiwa dengan kau orang!" teriak San Hoa Kiam Khek pula dengan kalap ketika dilihatnya seorang jagoan pedang yang ia bawa mati terbunuh.

Cahaya pedang berkelebat bagaikan pelangi, dengan jurus 'Man Thian Hoa Im'(Seluruh Angkasa Bayangan Bunga), ia serang tubuh pemuda she Pek ini.

Dengan munculnya maksud untuk mengadu jiwa dari sang pemimpin, sisanya beberapa orangpun bagaikan banteng terluka bersama-sama menubruk maju kedepan.

Seketika itu juga bayangan manusia saling menyambar, bayangan pedang berkelebat memenuhi angkasa. Suara jeritan ngeri kembali berkumandang menembusi awan, tiga orang jagoan pedang dari Lembah Kiam Kok menemui ajalnya dengan sangat mengerikan ditangan Pek Thian Ki.

Seluruh peristiwa ini hanya terjadi dalam waktu yang amat singkat, Pek Thian Ki yang sudah terpengaruh oleh napsu membunuh, tidak kepalang tanggung lagi, segera membuka suatu kalangan penjagalan secara besar-besaran.

Yang mati pada menggeletak diatas tanah, sedang yang masih hidup bagaikan kalap menerjang maju terus kedepan.

"Kalian cari mati?" bentak sang perjaka teramat gusar.

Pedangnya digetarkan keras, dimana bayangan pedang berkelebat lewat beruntun, ia mengirim tiga buah serangan gencar, Tiga rentetan jeritan kesakitan berkumandang lagi diangkasa diikuti robohnya tiga orang menggeletak ditanah. Melihat anak buahnya banyak yang sudah roboh bermandikan darah, San Hoa Kiam Khek menjerit aneh, seranganya dipertingkat, tubrukannya kearah Pek Thian Ki pun semakin ganas.

Seraya menangkis datangnya serangan gencar dari San Hoa Kiam Khek, pemuda ini kembali menegur; "Kau betul- betul cari mati?"

"Tidak salah. . ."

Baru saja perkataan terakhir meluncur keluar, serangan pedang dari pemuda itu sudah menyambar datang. Suara jeritan kesakitan langsung meluncur keluar dari bibirnya, tidak ampun lagi lengan kanannya tertembus oleh tusukan pedang lawan.

Seketika itu juga darah segar mengucur keluar sangat deras, air mukanya pucat pasi bagaikan mayat sedang keringat dingin sebesar kacang kedelai mengucur keluar membasahi bajunya.

"Ayoh cepat enyah dari sini dan beritahu kepada Kokcu kalian!" bentak Pek Thian Ki keras, "Katakan aku orang she Pek tidak suka menerima perintah maupun petunjuk dari siapapun, Jika ada waktu luang lebih baik ia sendiri yang keluar untuk menemui diriku." Sehabis berkata, ia masukkan pedangnya kedalam sarung.

Peristiwa ini benar-benar merupakan suatu penghinaan bagi San Hoa Kiam Khek, saking khekinya, hampir-hampir saja ia jatuh semaput.

Bukan saja orang yang dimaksud tak berhasil datang, bahkan keenam orang anak buahnya sama-sama menemui ajal ditangan orang itu, Saking tak tahan menyimpan rasa dongkolnya, ia tertawa seram; "Kokcu kami tentu akan mencari saudara untuk menuntut balas hutang2 berdarah kita kali ini." Selesai bicara bagaikan anjing kena digebuk, dengan sipat kucing ia melarikan diri terbirit2 dari sana diikuti seorang anak buahnya yang beruntung lolos dari cengkeraman elmaut.

"Waaduuh. . .waaduh. . . ilmu pedang yang saudara mainkan barusan ini jauh lebih sempurna dari pada permainan Ciang Liong Kiam Khek sendiri," tiba2 si tamu pencari bunga itu berseru memuji.

Mendengar perkataan tersebut, Pek Thian Ki merasa sangat terperanjat, karena cukup ditinjau dari perkataannya ini jelas menunjukkan bila si tamu pencari bunga itu bukan manusia sembarangan.

Pemuda she Pek ini rada tertegun dibuatnya; "Cianpwee, apakah kau kenal dengan Ciang Liong Kiam Khek?"

"Tidak kenal. . .?"

"Lalu, secara bagaimana kau bisa tahu kalau ilmu pedang yang aku mainkan adalah ilmu pedang Ciang Liong Kiam Hoat?"

"Pedang itu adalah sebilah pedang Ciang Liong Kiam, sudah tentu ilmu pedang yang kau mainkan adalah ilmu pedang Ciang Liong Kiam Hoat!"

Jawaban ini walaupun tidak sesuai, tapi untuk beberapa waktupun Pek Thian Ki tidak berhasil mencari alasan yang lain untuk membantah jawabannya itu.

Pek Thian Ki tertawa dingin, ia tidak menggubris diri si tamu pencari bunga itu lagi, kepalanya berpaling kearah sang Cong-koan dari Istana Perempuan.

"Apakah kau sudah berhasil pecahkan jurus seranganku itu?" tanyanya. "Tidak!"

"Kalau begitu kau harus serahkan It Peng Hong kepadaku!"

"Soal ini. . ."

"Aku hendak bawa ia pergi dari sini!"

"Apa? Saudara hendak membawa pergi nona It Peng Hong?"

"Sedikitpun tidak salah!"

"Tidak bisa jadi, dalam Istana kami tiada peraturan semacam ini."

"Sekalipun tidak bisa jadi, kali ini harus dibisa-bisakan." teriak sang pemuda dengan air muka berubah hebat.

"Kau. . .kau. . . apa yang hendak kau lakukan?" "Congek! Bukankah tadi sudah aku katakan, nona

tersebut hendak aku bawa pergi?"

"Jika kami tidak mengijinkan?"

"Tidak mengijinkan?" tak kuasa lagi Pek Thian Ki tertawa dingin tiada hentinya. "Aku takut Istana Perempuan ini tak bisa meloloskan diri dari kehancuran."

Air muka siwanita setengah baya yang bertindak sebagai Cong-koan itu langsung berubah hebat, jelas sekali maksud dari pemuda itu, jikalau ia tidak suka menyerahkan It Peng Hong kepadanya, maka pemuda tersebut akan turun tangan menghancurkan Istana itu.

"Giok Mo Hoa! Jikalau orang ini sudah mengucapkan kata-katanya, kenapa kau tidak pikir2 dulu, dengan masak." Tiba-tiba si tamu pencari bunga itu berseru. Dengan perasaan bergidik, sang Cong-koan Giok Mo Hoa melirik sekejap kearah Pek Thian Ki; "Kapan kau hendak minta nona It Peng Hong?"

"Ini hari juga!"

"Baiklah! Biar aku laporkan dulu urusan ini kepada Pemilik Istana, kemudian baru memberi jawaban kepada saudara." Habis berkata, ia lantas berlalu dari sana.

Menanti wanita setengah baya itu sudah lenyap dari pandangan, si tamu pencari bunga kembali buka suara; "Eeeei. . . bocah cilik, apakah kau benar2 bernama Pek Thian Ki?. . ." tegurnya.

"Sedikitpun tidak salah!"

"Aku rasa hal ini tidak mungkin. . ."

"Apa maksud perkataanmu itu?" Seketika itu juga air muka Pek Thian Ki berubah hebat.

Si tamu pencari bunga itu tersenyum;

"Saudara, kau jangan menyalah artikan maksudku, maksudku namamu yang sebenarnya pasti bukan Pek Thian Ki!"

"Apa alasanmu?" seru perjaka itu kembali dengan hati dak dik duk.

"Pertama, Pek Thian Ki adalah si Sin Mo Kiam Khek, salah satu dari Sembilan jago pedang dari kolong langit. . ."

Mendengar perkataan tersebut sekali lagi Pek Thian Ki merasakan hatinya berdesir, Sekarang, agaknya ia mulai merasa bahwa namanya yang sesungguhnya bukan Pek Thian Ki, dan orang yang benar-benar bernama Pek Thian Ki adalah si Sin Mo Kiam Khek itu. Lalu apakah dirinya sungguh-sungguh bernama Kiang To? "Lalu apa alasanmu yang kedua?" desaknya lebih lanjut. "Kedua, watak maupun wajahmu mirip seseorang?" "Siapa?"

"Kiang Lang. . ."

"Aaaach! Beberapa patah kata ini tidak akan terlepas bagaikan godam berat yang menghajar hatinya, membuat seluruh badan pemuda ini kelihatan gemetar keras.

"Kau pernah berjumpa dengan 'Sam Ciat Sin Cun' Kiang Lang?. . ." tanyanya tercenggang.

"Hmm! Pernah berjumpa beberapa kali." "Bagaimanakah macam orang itu?" "Kau ingin tahu?"

"Sedikitpun tidak salah!"

Si tamu pencari bunga itu segera tertawa; "Kalau begitu, kau boleh pergi mencari Sin Si-poa, kemungkinan besar ia bisa memberitahukan kesemuanya ini kepadamu dengan sangat jelas."

"Dia?"

"Tidak salah! Kau harus pergi mencari dirinya!"

Bicara sampai disitu, mendadak si tamu pencari bunga itu mencelat ketengah udara, kemudian dalam beberapa kali kelebatan saja sudah lenyap dari pandangan.

Dengan hati terperanjat Pek Thian Ki berdiri mematung ditengah kalangan. Hatinya pada saat ini mulai bergolak keras, ia mulai berpikir, apakah 'Sam Ciat Sin Cun' Kiang Lang benar2 ayahnya? Benarkah dirinya bernama Kiang To? Tubuhnya dengan cepat mencelat kemuka, kemudian meluncur keluar dari pintu besar, saat itu juga ia ingin mencari tahu urusan ini sehingga jadi sejelas-jelasnya.

Ketika ia tiba didepan pintu Istana Perempuan, ditemuinya si Sin Si-poa masih duduk2 dibawah pohon Liu, pemuda ini tertawa dingin, sekali loncatan, ia melayang kehadapannya.

"Eeeei. . . si kurus Bay-kut, apa maksudmu datang kemari?" tegur si Sin Si-poa sambil melirik sekejap kearah Pek Thian Ki.

"Cari kau orang!"

"Mau apa? ooouw. . . mau meramalkan nasibmu?" Pek Thian Ki mendengus dingin.

"Sin Si-poa, kau jangan berlagak pilon lagi, aku mau bertanya kepadamu, macam apakah manusia yang bernama 'Sam Ciat Sin Cun' itu? Apa hubungannya antara dia dengan aku orang?"

"Bagaimana aku bisa tahu?"

"Jadi kau tidak suka berbicara terus terang?"

"Aku tidak tahu tentang urusan ini, Kau suruh aku menjawab secara bagaimana?"

"Jikalau kau orang tidak suka bicara terus terang, aku segera akan berlaku tidak sungkan-sungkan lagi terhadap dirimu." teriak sang perjaka dengan air muka berubah hebat.

Mendadak Sin Si-poa mengambil pit-nya dan menulis beberapa patah kata diatas kertas.

"Besok pagi datanglah keperkampungan Lui Im San- cung!" Ditangannya ia menulis sedang diluar bibir ujarnya: "Bangsat cilik, kau benar-benar mengajak aku bergurau, bagaimana aku bisa berbicara jikalau aku tidak tahu?"

Pek Thian Ki yang bisa membaca surat tersebut, air mukanya berubah semakin menghebat, karena ketidak suka bicaranya Sin Si-poa tentu ada sebab-sebab tertentu!

Bahkan urusan ini kemungkinan besar menyangkut pula tentang diri Hu Toa Kan itu, cungcu dari Lui Im San-cung.

Sudah tentu Pek Thian Ki mengetahui maksud pihak lawan, ia lantas manggut.

"Baiklah. . ." "Begitulah baru benar!"

Mendadak sepertinya Pek Thian Ki telah teringat akan sesuatu urusan, tiba-tiba tanyanya;

"Eeeei. . . kertas yang kau suruh aku sampaikan kepada Suma Hun sebenarnya berisikan tulisan apa saja?"

"Besol lusa siang hari berjumpa ditelaga Hiat Swi Thau.

Kecuali itu tak ada tulisan lainnya lagi." "Tulisan itu kau orangkah yang menulis?" "Bukan!"

"Siapa?"

"Seseorang! Jika kau ada minat untuk melihat keramaian datang saja kesana, Bukankah dengan jelas sekali kau bisa melihat siapakah orang itu?. . ."

"Bagus sekali, ada kesempatan aku pasti akan pergi kesana."

"Bilamana tak ada urusan, kau boleh berlalu. . . aku sedang menantikan kedatangan seseorang. ." Belum habis Sin Si-poa berbicara, tiba-tiba serentetan suara yang amat dingin sudah berkumandang datang; "Sin Si-poa, seperti apa yang kau tulis diatas kain ini, jika benar2 tidak cocok apakah batok kepalamu sungguh-sungguh hendak kau hadiahkan?. . ."

Suara itu muncul secara mendadak, sehingga membuat sang pemuda she Pek ini merasa amat terperanjat, dengan cepat ia menoleh.

Dilihatnya seorang pemuda berpakaian perlente dengan langkah yang lambat sedang berjalan mendekat.

Sin Si-poa tertawa; "Sedikitpun tidak salah."

"Kalau begitu bagus sekali," seru sang pemuda sambil tertawa hambar. "Sekarang kau boleh hitungkan nasibku. Jika tidak benar. . .heee. . heeee. . heee. . .akan kutabas batok kepalamu."

"Tak ada persoalan, siapakah namamu?"

NYioo It Hong, tahun ini berusia dua puluh tahun, lahir tanggal tiga bulan lima, aku ingin kau bacakan pengalamanku semasa yang lalu."

"Coba keluarkan tangan kirimu."

Si pemuda berpakaian perlente itu keluarkan tangan kirinya, Sin Si-poa segera mencekal dan diperiksanya guratan-guratan yang ada ditangan pemuda tersebut.

Melihat munculnya sang pemuda berbaju perlente itu sangat aneh, tak terasa lagi Pek Thian Ki berpikir dalam hatinya;

"Apakah orang yang sedang ditunggu Sin Si-poa adalah orang ini?" Belum habis berpikir, terdengar Sin Si-poa sedang berkata; "Saudara, bolehkah aku orang bicara secara terus terang?"

"Sudah tentu!"

"Baik. . baik. . saudara adalah seorang anak tunggal, sejak umur dua tahun sudah angkat guru. ."

"Aku angkat guru dengan siapa?"

"Soal ini sih susah dihitung, pada usia sembilan belas tahun kau munculkan diri didalam dunia kang-ouw dan tindakanmu ini memperoleh tantangan keras dari sang ibu, watakmu sangat kasar, bahkan mendekati buas dan keji. . ."

"Lantas bagaimana selanjutnya?"

"Dengan watakmu ini sekalipun kau merupakan seorang jagoan Bu-lim yang berbakat, tapi tidak begitu bagus, lain kali kemungkinan besar akan mendatangkan bencana kematian ditangan orang. ."

"Sudah selesai kau berbicara?" "Ehmmm! Selesai sudah!"

"Heee. . .heee. . .heee. . .sungguh sayang apa yang kau hitung sedikitpun tidak tepat."

"Bagaimana yang kau anggap tidak tepat?" "Ayah ibuku sudah dibunuh mati oleh musuh!" "Siapakah musuh besarmu?"

"Soal ini kau tidak perlu tahu!" ia merandek sejenak, kemudian bentaknya keras.

"Sekarang serahkan batok kepalamu!"

"Aku katakan apa yang aku ramalkan adalah cocok, tapi kau ngotot bilang tidak cocok, urusan ini adalah suatu peristiwa yang tak bisa diselesaikan dengan baik!" "Omong kosong, aku yang alami, sudah tentu aku tahu cocok atau tidak cocok, ayoh serahkan batok kepalamu."

"Heeei. . .soal ini terpaksa harus terserah kepada dirimu sendiri, suka percaya atau tidak!"

Air muka Nyioo It Hong berubah hebat, "Jadi kau paksa aku harus turun tangan sendiri untuk tabas batol kepalamu itu?" teriaknya.

Ditengah suara bentakan keras, tubuhnya meloncat kedepan seraya melancarkan satu serangan gencar, Melihat datangnya serangan si Sin Si-poa tertawa.

"Saudara, apa yang kau kehendaki?"

"Menginginkan batok kepalamu! Sebagaimana yang telah kau janjikan."

"Jikalau demikian adanya, mari! Ambillah sendiri batok kepalaku!"

Jawaban dari Sin Si-poa ini jauh berada diluar dugaan orang lain, Nyioo It Hong tertawa dingin;

"Heee. . .heee. . .heee. . bagus sekali! Apa kau anggap aku tidak becus untuk turun tangan tabas sendiri batok kepalamu?"

Badannya mencelat dua kaki tingginya ketengah angkasa, diikuti tangan kanannya diayun kemuka melancarkan satu serangan dahsyat kearah Sin Si-poa dengan gerakan yang aneh tapi cepat.

"Hmm! Bangsat cilik, kau cari mati?" teriak Sin Si-poa ketus sewaktu dilihatnya orang itu melancarkan serangan dahsyat.

Bayangan manusia berkelebat lewat, iapun sudah mengirim satu pukulan mengunci datangnya serangan lawan. Masing2 melancarkan serangannya dengan kecepatan laksana sambaran petir, begitu Nyioo It Hong menyerang, angin pukulan Sin Si-poa-pun sudah menyambar datang.

"Brak. .!" suara bentrokan keras memecah kesunyian sehingga menimbulkan ber-puluh2 buah desiran tajam menyebar kesamping, sebuah meja yang ada disisi kalangan, langsung terhajar hancur berantakan berkeping- keping.

Terlihat Nyioo It Hong tergetar mundur sejauh satu tombak, sedangkan Sin Si-poa terpukul mundur sejauh tiga empat langkah kebelakang.

Diam-diam Nyioo It Hong merasa sangat terperanjat, tak terasa lagi, ia berseru; "Oooouw. . .! Sungguh dahsyat kepandaian silat yang kau miliki!"

"Heee. . .heeee. . .heee. . .kepandaianmu-pun lumayan juga hebatnya!" seru situkang ramal pula dengan cepat.

"Mana. . .mana. . ."

Begitu ucapan selesai diutarakan, sekali lagi Nyioo It Hong mencelat keangkasa kemudian melancarkan sebuah serangan yang dahsyat kearah siorang tua itu.

Sin Si-poa pun tidak mau menunjukkan kelemahannya, ia segera menggerakkan tangan menangkis, dengan demikian terjadilah suatu pertempuran yang amat sengit ditengah kalangan tersebut.

Mendadak. . . Suara bentakan nyaring bergema datang disusul munculnya sesosok bayangan hitam langsung menubruk kearah tubuh Sin Si-poa.

"Braaaaak!. . . . Aduuuuuh. . . ." Ditengah berpisahnya bayangan manusia, tubuh Sin Si-poa mencelat ketengah angkasa, kemudian terbanting sangat keras diatas tanah, darah segar memuncrat keluar dari mulutnya.

Sedangkan siorang berbaju hitam itu sendiri setelah berhasil menghajar luka si Sin Si-poa, dengan gerakan yang cepat, segera melayang pergi dari sana. dalam sekejap mata telah lenyap dari pandangan.

Kecepatan gerak dari siorang berbaju hitam itu benar- benar membuat orang menjulurkan lidah, sehingga bagaimanakah wajah dari orang itu, tak seorangpun yang dapat melihat jelas.

Pada saat Sin Si-poa muntah darah dan roboh keatas tanah itulah. . . Tiba-tiba Nyioo It Hong majukan diri mengirim satu pukulan menghajar tubuh Sin Si-poa. Serangannya ganas dan telengas sedikitpun tidak meninggalkan perasaan peri kemanusiaan.

Belum sampai telapak tangannya menempel diatas badan mangsanya, bayangan manusia kembali berkelebat lewat, Pek Thian Ki tahu-tahu sudah menerjang datang sambil mengirim satu serangan dahsyat kearah Nyioo It Hong.

"Tahan!" bentaknya keras.

--oodwoo--
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar