Manusia Jahanam Jilid 14

 
Jilid 14

Disaat itulah, dengan mengeluarkan suara bentakan yang nyaring bukan main, tampak Tan Keng Can telah melancarkan serangan susulan, yang bertubi tubi dan beruntun, kearah Wie Tu Hong. Rupanya dia tidak mau memberikan kesempatan bernapas bagi orang she Wie itu.

 Tetapi Wie Tu Hong bukannya berkepandaian rendah. Tadinya dia nyaris terkena serangan jari telunjuk pemuda itu disebabkan dirinya terlalu meremehkan dan memandang enteng pada pemuda itu.

Tetapi sekarang dia telah mengetahui kehebatan yang dimiliki pemuda tersebut, dengan sendirinya dia berlaku jauh lebih hati-hati.

Melihat pemuda she Tan tersebut telah melancarkan serangannya pula, cepat- cepat Wie Tu Wong telah mengempos semangatnya. Dia telah menyalurkan seluruh tenaga dalam yang ada pada dirinya yang disalurkan pada dua telapak tangannya.

Waktu melihat jari telunjuk dari Tan Keng Can menyambar kearah dirinya, dia telah mengangkat tangannya, dengan mempergunakan telapak tangannya, Wie Tu Hong telah menangkis totokan jari telunjuk pemuda she Tan tersebut, yang ganas dan telengas.

Jago-jago tua lainnya yang melihat kejadian seperti ini jadi terkejut sekali. Mereka telah mengeluarkan seruan memperingatkan Wie Tu Hong agar tidak menerima serangan pemuda she Tan itu dengan kekerasan.

Namun Wie Tu Hong memang seorang yang keras hati, dia tidak memperdulikan akibat yang akan terjadi. Maka dari itu, dia tidak menggeser telapak tangannya.

Dia telah memasang telapak tangan itu untuk dijadikan perisai. “Takkkk!!”

Jari telunjuk Tan Keng Can itu telah menotok tepat. Tetapi disaat itulah hati pemuda she Tan tersebut jadi mencelos. Tadinya dia mengandalkan dan membangga- kan akan kehebatan jari telunjuknya. Tetapi sekarang, disaat jari telunjuknya itu menotok telapak tangan Wie Tu Hong, dia merasakan seperti menotok lapisan baja.

Malah jari tehmjuknya itu hampir patah, melejit dan menimbulkan perasaan sakit yang bukan main. Dengan sendirinya. dia jadi melompat mundur kebelakang beberapa langkab.

Wie Tu Hong sendiri merasakan telapak tangannya itu pedih sekali. Tetapi orang she Wie eini tidak mau memperlihatkan kelemahannya itu. Maka dari itu, dengan cepat, begitu melihat Tan Keng Can mau melompat mundur, dengan cepat dia telah menjejakkan kakinya. Tubuhnya telah mencelat lagi, telah menyusul dan membarengi melancarkan serangan juga

Saat ini Wie Tu Hong melancarkan serangan kepada Tan Keng Can bukan mempergunakan serangan biasa saja, karena dia telah melancarkan serangan itu dengan mempergunakan tenaga dalam yang kuat.

 Belum lagi serangannya tiba, Tan Keng Can sudah merasakan sambaran angin serangan yang kuat dan keras sekali. Maka dari itu, Tan Keng Can juga tidak berani membuang-buang waktu lagi, sebab dia mengerti dan menyadarinya bahwa Wie Tu Hong memiliki kepandaian yang tinggi sekali.

Sebat luar biasa Tan Keng Can sudah mempergunakan kedua kakinya melancarkan tendangan berangtai ke berbagai jalan darah yang penting-penting di tubuh Wie Tu Hong.

Tetapi Wie Tu Hong sudah nekad, dia tak memperdulikan tendangan berangtai yang dilakukan oleh lawannya itu, melainkan serangannya telah diteruskan. Hal ini kembali satu kali lagi membuat Tan Keng Can jadi terkejut bukan main.

Dia sampai mengeluarkan seruan tertahan, sebab dia tidak menyangka bahwa lawannya bisa berlaku nekad dan kalap begitu. Tetapi biar bagaimana Tan Keng Can memiliki kepandaian yang tinggi. Dengan sendirinya dia tidak menjadi gugup, tidak lenyap ketenangannya.

Dengan mengeluarkan suara seruan yang mengguntur, tampak Tan Keng Can sudah menjejakkan kakinya dan melompat menjauhi Wie Tu Hong.

“Tangkap dia!” perintahnya juga. Maka dari itu, belum lagi Wie Tu Hong bisa merangsek maju, orang-orangnya Tan Keng Can sudah menghadang dan melayaninya.

Tentu saja hal ini membuat Wie Tu Hong jadi penasaran bukan main. “Dasar

manusia pengecut!” mendesis Wie Tu Hong dengan murka.

Tetapi Tan Keng Can tidak mau memperdulikannya, karena dia telah berdiri sambil tertawa mengejek.

Tang Siauw Bun yang melihat keadaan ini, cepat-cepat telah mendesak lawannya. Dikala orang-orangnya Tan Keng Can melompat mundur, Tang Siauw Bun telah mempergunakan kesempatan tersebut, tubuhnya telah mencelat cepat dan ringan kearah Tan Keng Can.

Sepasang tangannya telah diulurkan untuk mencengkeram batok kepala Tan Keng Can. “Jagalah seranganku ini!” teriak Tang Siauw Bun dengan suara yang aseran.

Tan Keng Can tidak menjadi gugup. Waktu Tang Siauw Bun mencelat melompat menerjang kearah dirinya, dia memang sudah melihatnya. Apa lagi memang kali ini dia sudah dapat mengendalikan tenaga dan semangatnya. Tanpa membuang-buang waktu, Tan Keng T an telah menangkis serangan Tang Siauw Bun. Begitulah, mereka berdua jadi bertempur lagi dengan seru.

 Ming Sing Siansu dan si Buntung telah melabrak lawan mereka dengan cepat. Thang Lan Hoa juga telah menerjang ke sana dan kemari dengan gesit sekali. Dengan sendirinya pertempuran itu jadi berlangsung ramai sekali.

TAN KENG CAN sendiri tidak menyangka bahwa dia akan memperoleh perlawanan yang begitu hebat dan juga kelima jago tua ini ternyata masing - masing memang tangguh dan memiliki tenaga serta kepandaian yang tinggi. Tadinya Tan Keng Can menduga, yang akan menyatroni dirinya pasti jago-jago biasa saja, hanya di dalam beberapa gebrakan dapat ditundukkan.

Tetapi siapa nyana, Tang Siauw Bun berlima  bukanlah manusia yang mudah untuk dipermainkan. Apa  lagi sekarang, Ming Sing Siansu, Tang Siauw Bun, si Buntung, Tang Lan Hoa dan Wie Tu Hong tengah murka bukan main.

Bisa dibayangkan ilmu silat yang mereka pergunakan tentu saja ilmu silat simpanan. Setiap pukulan selalu mengandung angin maut dan juga mematikan. Disamping itu, kelima jago tua ini juga telah berpengalaman pahit getirnya pertempuran,

Walaupun Tan Keng Can mengandalkan anak buahnya yang berjumlah banyak, namun kepandaian mereka biasa saja. Memang kalau  untuk dirubuhkan, tidak mudah, karena biarpun kepandaian orang-orang Tan  Keng Can itu biasa saja, namun telah diatur demikian kompak,  membuat setiap serangan mereka ada perhitungannya.

Coba kalau memang Tang Siauw Bun berlima  kurang perhatikan cara licik orang-orangnya Tan Keng Can, niscaya mereka akan kena diperdaya dan dicelakai oleh si pemuda she Tan tersebut.

Tan Keng Can yang sedang diserang oleh Tang Siauw Bun, telah mengeluarkan suara dengusan.

“Kalian benar-benar mencari mampus!” berseru Tan Keng Can dengan gusar. “Sekali saja aku bersiul, maka jumlah pengurung kalian bertambah beberapa kali lipat banyaknya!”

Tang Siauw Bun t idak mau kalah gertak, dia telah tertawa mengejek, “ Sudah kukatakan, demi keadilan, biarpun harus mengorbankan jiwa, tetap saja aku akan melabrak kalian! Saki t hati muridku harus dibalaskan!!”

 Mendengar perkataan Tang Siauw Bun, Tan Keng Can tertawa tergelak-gelak.

“ Hahahahaha lucu terdengarnya! Sekarang saja sulit bagimu untuk bermimpi lolos dari tanganku atau hidup terus, karena kau sendiri juga belum tentu dapat menghadapi kami! Lalu mengapa sekarang kau mau bicara persoalan muridm u itu?”

Bukan main gusarnya Tan Siauw Bun, dia sampai  mengeluarkan suara bentakan yang keras bukan main  dan  telah  mempergencar serangan- serangannya itu.

Tan Keng Can tidak jeri. Pemuda she Tan ini ternyata benar-benar tangguh dan hebat sekali kepandaiannya. Dengan cepat pertempuran mereka itu telah berlangsung puluhan jurus. Biasanya Tan Keng Can memang angkuh dan memandang kepandaiannya yang paling t inggi.

Tidak pernah Tan Keng Can memandang sebelah mata terhadap siapapun juga. Namun setelah bertempur sekian lama  dengan  Tang Siauw Bun, dengan sendirinya dia harus menyadarinya bahwa di luaran, di dalam Kalangan Kangouw, memang masih terdapat banyak sekali jago- jago yang memiliki kepandaian yang tinggi bukan main!

Itulah lebabnya, rasa angkuh dan sombongnya telah lenyap sebagian. Dia telah bertempur dengan bersungguh-sungguh. Karena dia menyadari, kalau sampai dia kena dirubuhkan, berarti memberi pukulan pada jiwa anak buahnya, niscaya kelima jago tua ini yang akan menang an gin. 

Itulah sebabnya, karena dia berpikir demikian, dengan cepat Tan Keng Can telah merobah cara  menyerangnya, dengan cepat Tan  Keng Can mulai melancarkan serangan yang berang tai.

Dengan melancarkan serangan sepe rti i tu, seperti juga Tan Keng Can tidak mau memberikan kesempatan kepada lawannya berna pas atau melakukan penyerangan membalas.

Tetapi Tan Keng Can kali ini salah da lam perhitungannya. Karena Tang Siauw Bun bukannya lawan yang ringan,  orang  she  Tang mememiliki kepandaian yang tinggi sekali, dengan sendirinya biarpun lawannya telah merobah cara men yerangnya, hal i tu tidak membuat Tan Siauw Bun telah berputar-putar seperti gasing.

Tan Keng Can jadi terkejut. Dia tidak mengetahui apa yang akan dilakukan oleh lawannya ini. Sedang Tan Keng Can bengong begini, walaupun hanya sedetik, Tang Siauw Bun tidak mau melewatkan kesempatan yang ada ini.

 Dengan mengeluarkan suara bentakan yang keras bukan main, tampak Tang Siauw Bun sudah menerjang, menubruk kearah Tan Keng Can. Tubrukan yang dilakukan Tang Siauw Bun merupakan tubrukan yang menutup jalan keluar bagi diri Tan Keng Can itu. Karena Tang Siauw Bun menubruk sambil mengulurkan kedua tangannya. Sepasang tangan itu telah mementang seperti menjaga agar Tan Keng Can tidak bisa meloloskan diri ke kiri atau ke kanan.

Dengan sendirinya hal ini mengejutkan sekali hati Tan Keng Can. Pemuda itu telah mengeluarkan suara seruan yang keras, menunjukkan bahwa dia terkejut. Tetapi memang dasarnya Tan Keng Can dua memiliki kepandaian yang tinggi, dia tidak menjadi gugup disebabkan kejadian ini. Cepat luar biasa, dia mengempos seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Dengan mengeluarkan seruan keras, dia telah menangkisnya. Hebat sekali.

Dengan adanya tangkisan itu, berarti bah wa Tang Siauw Bun dengan Tan Keng Can telah mempergunakan kekerasan untuk merubuhkan  lawan mereka. Tetapi sepasang tangan mereka begitu saling bentrok, begitu keduanya telah melompat mundur. Keduanya berdiri saling berhadapan sesaat lamanya. kemudian baru mereka menerjang lagi, saling tubruk dan saling melancarkan serangan.

Dengan sendirinya pertempuran itu berlangsung  tambah hebat  saja. Kalau tadinya Tang Siauw Bun yang nekad dan kalap, yang sudah bertempur tanpa memikirkan lagi akan keselamatan dirinya. Maka adalah diri Tan Keng Can yang akhirnya murka dan menjadi kalap. Begitulah, pertempuran tersebut berlangsung terus tanpa ada tanda-tandanya siapakah yang akan keluar sebagai pemenangnya.

Sedangkan Thang Lan Hoa, si Buntung, Wie Tu Hong, dan juga Ming Sing Siansu, telah bertempur dengan mati-matian mengerahkan seluruh kepandaian mereka, karena anak buah dari Tan Keng Can sudah melancarkan serangan yang bertubi-tubi tanpa mengenal rasa kasihan sedikitpun juga, serangan-serangan itu datangnya terlalu beruntun dan silih berganti.

Memang kalau dilihat, keempat jago tua itu agak terdesak. Sebab baru saja mereka mengelakkan serangan yang satu, maka serangan yang lainnya telah menyambar datang lagi. Malah para penyerangnya ini telah melan tarkan serangan tersebut dengan mempergunakan seluruh kemampuan mereka, mengepung rapat sekali pada diri keempat jago tua itu.

Wie Tu Hong sendiri yang melihat gelagat seperti ini, jadi mengeluh. Harapan satu-satunya ialah dia mengharapkan agar Tang Siauw Bun berhasil merubuhkan Tan Keng Can, karena dengan rubuhnya Tan Keng Can, pasti semangat tempur dari anak buah Tan Keng Can akan tergempur hebat.

 Tetapi waktu Wie Tu Hong melirik kearah Tang Siauw Bun yang sedang sibuk bertarung dengan pemuda she Tan itu, maka tidak ada harapa n tampaknya bahwa Tang Siauw Bun keluar sebagai pemenang.

Keadaan seperti inilah yang telah menyebabkan Wie Tu Hong jadi mengeluh. Suara benturan senjata-senjata tajam telah terdengar ramai sekali. Juga suara bentakan-bentakan yang terdengar begitu bising dan juga sangat gaduh sekali.

Dengan sendirinya, mau tak mau keadaan sepeni ini menarik perhatian para tetangga. Namnu tidak ada seorang pun tetangga di sekitar gedung ini yang keluar untuk melihat. Tampaknya mereka jeri untuk melihat keluar apa yang sebenarnya telah terjadi. Hal itu disebabkan para tetangga gedung itu memang sudah mengetahui gedung ini tempat berkumpul dari para akhli ilmu silat.

Dengan sendirinya, tidak ada yang berani usil sebab bisa-bisa  diri mereka yang terkena getahnya, alias menjadi sasaran senjata tajam.

Maka dari itu, biarpun keadaan gaduh itu memenuhi sekitar gedung tersebut, hanya tampak orang-orang Tan Keng Can saja yang berdatangan semakin lama jadi semakin banyak.

Malah banyak sekali diantara orang-orang  yang mengurung Wie Tu Hong, si Buntung, Thang Lan Hoa dar Ming Sing Siansu berempat  itu, berpakaian seperti seorang pengemis.

Semakin lama bertempur, Ming Sing Siansu jadi tambah gusar saja melihat diantara mereka belum ada yang dapat merebut kemenangan

Sedangkan Thang Lan Hoa sendiri, karena teringat bahwa muridnya, Wu Cie Siang yang telah terbinasa itu, yang menurut dugaannya pembunuh muridnya itu adalah orang she Tan tersebut, dengan sendirinya Thang Lan Hoa bertarung lebih hebat dan ganas.

Dendam muridnya memang mau tidak mau harus dibalaskannya. Tetapi, pengepungan yang dilakukan oleh orang-orangnya Tan Keng Can terlalu rapat. Dengan sendirinya, hal ini membuat Thang Lan Hoa jadi jengkel sekali.

Disaat sebatang pedang menyambar akan menikam kearah perutnya, dengan cepat Thang Lan Hoa telah menyingkir agak kesampinh, ke dekat Wi e Tu Hong. Tetapi Thang Lan Hoa bukannya hanya mengelakkan diri belaka, karena dia juga telah mengeluarkan suara bentakan yang keras sekali. Membarengi mana, tahu-tahu jari telunjuk dan jari tengah dari tangan kanannya telah diulurkannya, menjepit tubuh pedang itu. Dan juga Thang Lan

 Hoa bukan hanya menjepit saja, karena dia telah menekuk sedikit, sehingga terdengar suara “Tringgggg!” nyaring sekali suara pedang itu telah patah dua terkena jepitan jari tangan si orang she Thang.

Tetapi orang yang mempergunakan pedang itu, telah cepat-cepat melompat mundur dan digantikan oleh yang lainnya, membuat Thang Lan Hoa tidak bisa merangsek mendesak orang tersebut. Dengan sendirinya, Thang Lan Hoa gusar sekali, dia sampai mengeluarkan seruan murka. Dengan cepat Thang Lan Hoa telah mengamuk bagaikan harimau luka.

Tan Keng Can sendiri sedang sibuk melayani Tang Siauw Bun. Tadinya pemuda she Tan ini menduga, bahwa hanya di dalam beberapa jurus dia dapat merubuhkan Tang Siauw Bun, tetapi siapa tahu, semakin lama mereka bertempur, malah makin diri pemuda she Tan itu terdesak mundur berulang kali.

Disaat itulah, Tan Keng Can telah berpikir jauh, dia telah mempunyai suatu rencana. Maka dari itu, mulutnya segera dipentangkan.

“ Cepat ambilkan air!” teriaknya dengan  suara yang nyaring. Beberapa orangnya Tan Keng Can ini telah mengiyakan. Dengan ccpat mereka telah kembali membawa ember berisi air.

“ Siramkan kepada mereka!” perintah Tan Keng Can dengan  suara yang nyaring.

Tang Siauw Bun be rlima jadi terkejut seka l i melihat lagak aneh dari Tan Keng Can. Entah apa yang ingin dilakukan oleh pemuda itu. Namun anak buah dan Tan Keng Can sudah tidak mau berpikir panjang.

Begitu si pemuda she Tan tersebut mengel uarkan perintah untuk menyiramkan air pada Tang Siauw Bun berlima, mereka telah melakukan tugas dengan baik.

Tang Siauw Bun berlima dengan kawan- kawannya jadi kaget sekali. Mereka cepat-cepat telah melompat menjauh kan diri, karena mereka mana mau disiram seperti seekor anjing?

Tan Keng Can telah berteriak sambil tertawa girang : “Siram! Hayo siram!!” teriaknya berulang kali.

Tang Siauw Bun memandang murka bukan main.

“Dasar manusia rendah!!” mendesis  Tang Siauw Brn dengan mengandung kegusaran yang sangat. Belum lagi habis suara cacian Tang Siauw Bun, orang-orangnya Tan Keng Can telah maju menyiramkan air itu kepada mereka berlima.

 Mau tidak mau Tang S i a u w B un berlima harus menyingkir. Mereka telah melompat mundur.

“Kalau kita mengalah tentu tidak ada gunanya, apa ruginya disiram air?”

kata Ming Sing Siansu dengan suara gusar. “Hayo kita terjang lagi!!”

Dan membarengi dengan perkataannya itu, tanpa   memperdulikan siraman a i r itu, si Hweshio sudah menerjang maju lagi. Gerakannya begitu besar dan cepat sekali, di luar dugaan orang-orang Tan Keng Can. Maka dari itu, dikala si Hweshio Ming Sing Siansu menggerakkan tangannya, maka batok kepala dari dua orang anak buah Tan Keng Can  telah  kena dihajarnya hancur, sehingga seketika itu juga kedua orang anak buah Tan Keng Can telah ngelosoh numprah di atas tanah dengan jiwanya telah melayang.

Disaat itulah Ming Sing Siansti  telah berteriak. : “Angin besar!!” mengajak kawan-kawannya untuk menyingkir. Tang Siauw Bun dan  yang lainnya mengerti keinginan si Hweshio. Tentunya si Hweshio Ming Sing Siansu menginginkan mempergunakan kesempatan itu untuk meloloskan diri.

Dengan cepat mereka berlima telah mengamuk dan membuka jalan untuk meloloskan diri. Tetapi Tan Keng Can yang telah murka bukan main mana mau membiarkan begitu saja.

Cepat sekali, dia telah berteriak memberikan perintah :

“Kepung yang rapat!” teriaknya. “Jangan membiarkan mereka lolos!”

Dan Tan Keng Can sendiri telah menerjang maju akan melancatkan serangan yang hebat dan bertubi-tubi kepada Wie Tu Hong karena orang she Wie inilah yang berada paling muka dengan dirinya.

Wie Tu Hong juga tidak jeri. Waktu melihat dirinya diserang begitu rupa oleh pemuda she Tan ini. Ia telah mendengus.

“Hmmm, aku mau lihat sampai dimana kehebatan ilmumu!” berseru Wie Tu Hong dengan suara mengandung kemurkaan. Dan membarengi dengn suara bentakannya itu, dengan mengeluarkan tenaga dalamnya yang disalurkan pada telapak tangannya, Wie Tu Hong telah menangkis serangan Tan Keng Can.

Terjadi bentrokan yang bukan main di tengah tengah udara. Tetapi tangan mereka yang saling bentur tersebut tidak segera ditarik pulang. Tangan mereka seperti saling melekat. Tentu saja hal ini menambah kekagetan hati Tan Keng Can.

Ternyata kepandaian yang dimiliki oleh Wie Tu Hong tidak berada disebelah bawah dari Tang Siauw Bun, malah kalau tidak berlebihan,

 kepandaian dari orang she Wie ini masih berada satu tingkat di atasnya Tang Siauw Bun.

Dengan cepat Tan Keng Can mengempos seluruh kekuatan tenaga dalamnya, guna menarik pulang tangannya itu dari lekatan telapak tangan Wie Tu Hong. Apa yang dilakukan oleh si pemuda she Tan tersebut ternyata sia - sia.

Hal ini bukan berarti bahwa tenaga dalam Tan Keng Can berada disebelah bawah dari kepandaian Wie Tu Hong, melainkan disebabkan  dia kalah cepat dan juga memikirkan beberapa segi, yaitu kesehatan bagi dirinya, karena kalau dia memaksakan diri untuk menarik pulang serangan dan tempelan pada telapak tangan lawannya itu, membuat Tan Keng Can jadi berpikir dua kali.

Kejadian seperti itu sebetulnya bukan pertama kali dialami oleh Tan Keng Can. Namun cara melekatkan telapak tangannya pada tangan Tan Keng Can, berbeda sekali apa yang dilakukan oleh Wie Tu Hong.

Dengan mengeluarkan suara bentakan yang keras bukan main, dengan disertai oleh suara erangan penuh kemarahan, tampak Tan Keng Can berusaha menarik pulang telapak tangannya itu. Tetapi tetap saja dia tidak pernah berhasil, menambah dia telah membuang-buang tenaga tanpa ada gunanya sama sekali.

Sedangkan Wie Tu Hong sendiri jadi girang melihat pemuda she Tan ini berhasil dibuatnya tidak berdaya. Maka dari itu dengan mengeluarkan suara seruan yang melengking tinggi, kaki Wie Tu Hong berusaha menyepak kempulan dari lawannya. Tan Keng Can saat itu telah mandi keringat dingin. Dia tidak menyangka bahwa hari ini dia bisa berhadapan dengan lawannya yang memiliki kepandaian begitu tinggi

Sedang Tan Keng Can dibuat tidak berdaya oleh Wie Tu Hong, maka tampak Tang Siauw Bnn telah melompat kebelakang pemuda she Tan itu. Ditotoknya jalan darah Ma-lay-hiatnya si pemuda she Tan ini.

Tetapi biarpun tangannya masih melekat pada tangan Wie Tu Hong, namun Tan Keng Can masih bisa melakukan sesuatu, yaitu dia membuat bahunya yang akan dihajar oleh Tang Siauw Bun telah dibuka seluruh jalan darahnya!

Mempergunakan kesempatan itu, maka Tang Siauw Bun menghela napas panjang, karena biar bagaimana sudah tidak ada harapan bagi pihaknya, karena dia tokh harus mempergunakan tenaga yang banyak, namun berjumlah

 sedikit. Coba kalau saja waktu dalam keadaan biasa, dia tidak akan jeri sedikitpun juga.

Wie Tu Hong melihat pada wajah pemuda ini terpancar sinar kesedihan.

“Bagaimana kalau aku turun tangan untuk mengirim kau keneraka?” ejek

Wie Tu Hong saking gusarnya, parau suaranya .

“Hmmm, jangan bicara takabur dulu, nanti kalau memang kau sudah kurubuhkan tentu menangis darah juga tidak ada gunanya?” Sambil mengeluarkan suara bentakan itu, maka Tan Keng Can telah mengempos lagi tenaga dalamnya itu guna menghadapi pertempuran yang tengah berlangsung.

Tetapi We Tu Hong juga bukannya manusia tolol yang mau berdiam diri. Dengan cepat dia juga telah merobah cara menyerangnya. Dia tidak mau membiarkan tangannya dengan tangan Tan Keng Can jadi satu terus. Hal ini bisa membahayakan jiwanya.

Wie Tu Hong menyadarinya dalam keadaan seperti ini, kalau sampai ada beberapa orang-orangnya Tan Keng Can yang melancarkan serangan membokong, niscaya dirinya akan mengalami bahaya dan celaka yang tak kecil.

Itulah sebabnya mengapa Thang Lan Hoa dan yang lainnya telah mengambil sikap seperti mengurung, untuk membantu Wie Tu Hong jikalau suatu waktu orang shc Wie ini membutuhkan bantuannya.

Tetapi Wie Tu Hong merasakan betapa angin serangan yang panas telah mengalir banyak sekali dari telapak tangan Tan Keng. Disaat itulah, Wie Tu Hong yang sudah tidak mau membuang-buang waktu lagi, telah mengeluarkan suara bentakan yang nyaring sekali.

Disusul juga oleh kakinya yang bergerak menendang keras ke arah paha dari Tan Keng Can, disusul lagi kemudian oleh gentakan pada tangannya.

“Ihhh?!” berseru Tan Keng Can.

“Hmmm, kau akan mampus!” berseru Wie Tu Hong dengan suara yang dingin.

“Kau licik!” seru Ta»n Keng Can.

“Licik? Dimana letak kelicikan diriku?” bentak Wie Tu Hong.

Cepat sekali jalannya pertempuran itu, sehingga di dalam beberapa detik saja itu, telah berulang kali mereka merobah cara menyerang, cara menangkis dan berbagai cara lagi. Tetapi telapak tangan mereka tetap saja masih menempel satu dengan yang lainnya.

 Tang Siauw Bun yang melihat ini jadi tidak sabar lagi. Setelah menghantam mundur orang-orangnya Tan Keng Can yang mengurung dirinya, dengan tidak memikirkan resikonya lagi, dia telah menerjang maju.

“Rubuhlah kau!” bentak Tang Siauw Bun dengan suara yang keras.

Tan Keng Can bukan main terkejutnya} dia juga mengeluarkan suara ejekan. “Hayo kalian berlima maju semuanya berhadapan dengan  diriku!!' teriak Tan Keng Can, agar anak buahnya tidak dapat melihat bahwa dirinya sedang dalam keadaan terdesak.

Maka dari itu, mati-matian Tan Keng Can telah mengempos seluruh kekuatannya. Hal ini untuk memberi muka kepada anak buahnya,  agar bertempur lebih bersemangat. Tetapi biar bagaimana Wie Tu Hong merupaku seorang jago kawakan. Disamping itu, dengan cepat sekali Wie Tu Hong telah dapat menyalurkan seluruh kekuatannya, karena keempat orang   kawannya yang tangguh- tangguh itu telah dapat melindungi dirinya, dia tidak usah kebingungan, keselamatan jiwanya terjamin!

Tang Siauw Bun telah dapat membunuh beberapa  orang anak buahnya Tan Keng Can. Ming Sing Siansu sendiri sebetulnya tidak tega untuk melakukan pembunuhan.

Dengan ikutnya dia di dalam persoalan ini sebagai seorang kawan, dan sudah tidak diterima, dengan sendirinya, dia telah mengamuk dengan hebat,

Entah sudah berapa lama mereka bertempur, masih tidak terlihat tanda-tandanya bahwa mereka disalah  satu pihak akan menang. Cepat sekali sang waktu berjalan, karena hanya sebentar saja Tang Siauw Bun merasakan betapa sebentar lagi matahari akan muncul.

“Angin keras!” Tang Siauw Bun telah mencelat ke atas dinding.

Sedangkan yang lainnya juga telah mendesak orang yang melakukan pengepungan, dengan sendirinya mereka dapat meloloskan diri. Disamping itu, Tang Siauw Bun juga telah melihat pemuda she Tan ini. Juga kepandaian pemuda she Tan tersebut seperti mengandung maksud-maksud tertemu.

Tan Keng Can begitu melihat musuh-musuhnya hampir lenyap karena dilepas begitu saja, telah mengeluarkan kata-kata makian. Sedangkan  dia sendiri masih penasaran dan bermaksud akan mempergunakan segala kemampuannya untuk menempur pasukan-pasukan pengepungnya ini.

Dengan penasaran Tan Keng Can telah melakukan pengejaran. Tetapi berbeda dengan pengejaran terhadap diri sendiri. Tanpa membuang-buang waktu lagi, cepat-cepat Tan Keng Can melakukan pengejaran.

 Orang-orang she Tan tersebut telah mengikuti di belakang untuk disembarang waktu dapat membantu majikan mereka ini.

Tang Siauw Bun dan keempat kawannya telah berlari-lari pesat sekali. Mereka juga telah mengempos ginkang mereka, berlari-lari dengan kecepatan bukan main.

Disamping itu, dengan mengeluarkan suara teriakan nyaring, Tan Keng Can telah menganjurkan seluruh anak buahnya membuat suatu jebakan, yaitu membuat barisan yang membuat lawan-lawannya tidak berdaya.

Tetapi disebabkan ginkang dari kelima orang Hohan itu liehay sekali, Tan Keng Can tidak bisa melakukan pengejaran. Apa lagi orang-orangnya, jelas mereka tidak akan dapat menemuinya.

Tetapi disebabkan perasaan penasaran, Tan Keng Can tetap melakukan pengejaran. Dia juga memerintahkan agar mereka tetap bekerja dengan tekun dan juga disembarang waktu bertempur lagi dengan orang-orang  yang berdatangan kemari!!

Betapa gusarnya Tan Keng Can, karena melihat buruannya telah dapat melarikan diri begitu saja. Disamping itu, Tan Keng Can kecewa, karena dia satu jurus juga tidak, bisa mendesak lawannya sampai rubuh. Dari rasa kecewanya itu, muncul perasaan dendam terhadap  orang-orang itu. Memang Tan Keng Can terkenal sebagai seorang pemuda yang gemar mencari keributan. Sekarang setelah dia dewasa, maka sifat buruknya itu tidak bisa dibuang

Melihat Tang Siauw Bun telah merayakan kemenangannya itu, justeru memang Tang Keng Can telah mendumel terus menerus.

Tang Siauw Bun berlima setelah berlarian agak jauh setelah mencapai sebuah tempat yang agak tenang mereka, jago-jago tua itu telah duduk mengaso. Biar bagaimana pertempuran yang baru saja mereka lakukan itu, sangat meletihkan dan melelahkan sekali.

Cepat luar biasa waktu sudah hampir menjelang fajar lagi. Tang Siauw Bun menghela napas, biar bagaimana kejadian seperti ini memilukan sekali.

Pangcu Kaypang adalah kawan dan sahabat dari orang di kalangan Kangouw! Tetapi mengapa justeru sekaraag ini pihak Kaypang seperti memusuhi orang-orang yang datang mengunjunginya.   Semakin   diingat, semakin mendongkol hati Tan Siauw Bun.

Disembarang waktu nantinya, maka Tang Siauw Bun tetap akan mencari Tan KengTian, yaitu mempersoalkan kematian Giok Ie Lang. Teringat akan Giok

 Fc Lang, Tang Siauw Bnn telah menangis terisak-isak. Biar bagaimana Giok Ie Lang merupakan murid kesayangan dari Tang Siauw Bun.

Setelah mengasoh cukup, barulah mereka kembali ke rumah penginapan mereka, dengan mengambil jalan dari jendela.

MARI kita menengok dulu Cin Ko bertiga dengan San Hie Siansu dan Ing Tay Siansu. Mereka jengkel bukan main, karena mereka tidak diajak untuk menyatroni rumah Tan Keng Can.

Waktu itu Cin Ko jadi duduk termenung, dia memikirkan mengapa dirinya dilarang untuk ikut menyatroni tempatnya Tan Keng Can. Berulang kali Cin Ko menghela napas.

San Hie Sansu dan Ing Tay Siansu jadi gelisah sekali. Mereka sangat menguatirkan keselamatan gurunya itu, karena gurunya tersebut baru  saja sembuh dari luka-lukanya. Dengan sendirinya, San Hie Siansu dan Ing Tay Sansu mempunyai pikiran untuk pergi menyusul.

Tetapi San Hie maupun Ing Tay Siansi tidak mempunyai nyali untuk membantah perintah gurunya.

Maka dari itu, mereka bertiga jadi menunggui  terus pulangnya guru mereka berlima. Ing Tay dan San Hie, mereka menantikan penuh kegelisahan sekali. Apa lagi sang malam telah semakin larut saja, dan guru mereka belum pulang. Kegelisahan dihati mereka jadi semakin memuncak waktu hari hampir menjelang fajar.

“Apakah suhu menemui rintangan?” kata San Hie Siansu dengan suara

yang lemah.

Tetapi Ing Tay Siansu telah menggelengkan kepalanya.

“Mungkin juga ditengah  jalan menemui sesuatu, yang memaksa dia harus mencampuri persoalan ini!” katanya. “Lalu bagaimana dengan kejadian selanjutnya umpama kata Suhu kena dicelakai seseorang, bukankah kita tidak bisa menolongnya, karena kita tidak mengetahui kemana kepergian guru kita itu!”

San Hie Siansu berdiam diri saja. Cin Ko sendiri terus juga membisu. Tetapi di dalam hatinya, Cin Ko menyesal sekali karena dia mengetahui disebabkan ingin membela rasa penasaran kakeknya, yaitu Peng Po Siang Sie See Un, maka urusan telah demikian  kacau dan terlalu banyak memakan korban.

 Hal inilah yang tidak diinginkan oleh Cin Ko, karena dia mau mengambil jalan secara baik-baik,  menyelesaikan persoalan penasaran Yayanya itu, dengan jalan yang lunak, sehingga tidak perlu lagi terjatuh korban yang banyak jumlahnya.

Sedang mereka duduk termenung begitu, tiba tiba jendela kamar mereka diketuk seseorang dan mendengar suara Tang Siauw Bun. Betapa girangnya ketiga orang murid Tang Siauw Bun  itu. Cepat-cepat mereka membukakan pintu jendela tersebut.

Tanpa mengucapkan sepatah perkataan juga, Tang Siauw Bun berlima telah silih berganti melompati jendela itu. Mereka t idak banyak  bercerita, karena kelima jago tua ini kemudian telah pergi ke tempat tidur mereka masing- masing, tampaknya letih sekali.

San Hie Siansu dan Ing Tay Siansu tidak berani menanyaka n sepatah perkataan juga. Mereka takut disemprot guru mereka. Apa lagi Cin Ko, si bocah jadi berdiam diri saja.

Cuma saja, Cin ko jadi heran bukan main, karena gurunya bersama keempat kawannya tidak mau bicara sepatah perkataan juga .

Sebenarnya, apakah yang telah terjadi. S an Hie Siansu dan Ing Tay Siansu juga telah bertanya -tanya di dalam hati.

Tetapi mereka tidak berani membuat r ibut karena mereka mengetahui adat guru mereka, kalau sampai mereka ribut-ribut dan cerewet bisa mendatangkan kegusaran pada diri guru mereka!

Waktu berjalan terus. Tanpa terasa telah menjelang sore hari. Tampak Tang Siauw Bun berlima telah terbangun dari tidur mereka. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja.

Wajah kelima orang tersebut tampak muram sekali, seperti ada sesuatu yang tengah mereka pikirkan.

“Cin Ko!” panggil Tang Siauw Bun ketika itu dengan suara yang nyaring.

Cin Ko jadi terkejut, dia mengiyakan dan cepat-cepat menghampirinya.

“Suhu memanggil Tecu?” tanya Cin Ko kemudian dengan sikap

menghormat dan kepala yang tertunduk dalam-dalam.

Tang Siauw Bun mengangguk.

 “Benar Cin Ko!” kata Tang Siauw Bun “Duduklah, mari kita bercakap -

cakap sebentar!”

Cin Ko telah duduk dikursi yang kosong.

“Sebenarnya!” kata Tang Siauw Bun setelah berdiam  diri  sejenak. “Semalam kami berlima baru saja melakukan pertempuran dengan pihak Kaypang! Mereka terlalukurang ajar!!  Maka dari itu, kami telah dikepung ratusan orang oleh pihak mereka! Terus  terang saja, kalau  memang kepandaian kami kurang tinggi, niscaya kami akan binasa di tangan mereka!”

Segera juga Tang Siauw Bun menceritakan yang jelas segalanya kejadian semalam. San Hie Siansu dan Ing Tay S i a n su mendengarkannya dari kejauhan dengan penuh perhatian.

Cin Ko sendiri jadi terkejut bukan main, karena memang dia baru mengetahuinya bahwa guru mereka ini baru saja  mengalami suatu kejadian yang tidak menggembirakan.

“Cin Ko!” kata Tang Siauw Bun lagi kemudian dengan suara yang sabar. “Ya Suhu?!”

“Sudah kau ketahui, kami bermasud akan berjuang guna membela keadilan dan juga perasaan Yayamu, biarpun kami harus mempertaruhkan dengan jiwa raga kami, kami rela! Cuma saja, untuk selanjutnya, kau tidak usah ikut campur memikirkan persoalan itu, kau harus belajar dengan tekun, agar kelak kau bisa menjadi seorang yang berkepandaian luar biasa!!”

Terharu bukan main hati Cin Ko.

“Baik ....baik Suhu!” katanya.

“Dan juga, keempat pamanmu yang lainnya akan menurunkan ilmu mereka untukmu!” kata Tang Siauw Bun lagi.

Luluh, hancur terasa hati Cin Ko karena rasa haru.

“Hai! Hai! Betapa besar budi kebaikan paman-paman!” kata  Cin Ko yang sudah  tidak bisa membendung air matanya yang mengucur deras sekali.

Cepat-cepat Cin Ko juga telah bangun berdiri dari duduknya. Satu persatu keempat pamannya itu, si Buntung, Thang Lan Hoa, Ming Sing Siansu serta Wie Tu Hong, telah diberi hormat. Sikap Cin Ko sangat menghormat dan tulus sekali.

 Keempat pamannya itupun juga jadi terharu sekali. Malah si Buntung yang jadi teringat kepada nasib kacungnya yang telah terbinasa itu, timbul rasa dukanya, menyebabkan dia tidak bisa menahan kesedihannya. Dirangkulnya Cin Ko erat-erat. Si Buntung telah menangis menggerung-gerung membuat Cin Ko tambah terharu dan menangis juga.

Setelah masing-masing puas mengucurkan air mata, Cin   Ko diperintahkan oleh Tang S i a u w Bun untuk duduk kembali di tempatnya.

“Nah anakku-!” kata Tang Siauw Bun kemudian. “Mulai detik ini kau harus pahit hati, kau harus giat belajar, sehingga kau tidak mengecewakan harapan kami! Mengerti?”

Cin Ko mengangguk dengan rasa haru di hatinya, dia juga menghapus air matanya.

“Baik Suhu....baik Sie Susiok!” kata Cin Ko kemudian.

Ing Tay Siansu dan San Hie Siansu yang m e l i h a t hal i n i , jadi girang bercampur pera saan terharu. Mereka telah menghampiri Cin Ko dan merangkulnya bergantian. Mereka telah  mengucapkan selamat  juga kepada Cin Ko.

Dengan bersedianya keempat orang jago tua itu menurunkan ilmu silatnya  kepada dia, tentu saja Cin Ko akan menjadi seorang jago yang luar biasa. Lima macam ilmu silat bisa saja digabungkan.

Maka dari itu, biarpun akan memakan  waktu yang sangat panjang tokh hal i tu akan menggembirakan sekali, karena akan memberikan hasil yang baik atas gemblengan kelima jago itu terhadap diri Cin Ko.

Kalau saja Cin Ko bersemangat, dengan cepat dia akan dapat menguasai ilmu-ilmu silat yang diturunkan kepadanya oleh kelima gurunya itu.

Apa lagi mengingat ilmu-ilmu yang akan diturunkan kelima jago itu, yang dengan sendirinya telah menjadi guru Cin Ko, berarti Cin Ko seperti menerima sesuatu yang paling berharga di dalam hidunnya. Kalau saja dia tekun dan mau mempelajarinya dengan penuh perhatian jelas Cin Ko kelak akan menjadi seorang jago yang jarang sekali tandingannya, sebab bayangkan saja lima macam kepandaian dari kelima orang jago-jago tua yang memiliki bermacam ragam kepandaian, yang akan diturunkan keseluruhannya terhadap diri C in Ko seorang. Dengan sendirinya Cin Ko akan menjadi lebih liehay dan kelima gurunya itu, karena kelima kepandaian dari kelima gurunya itu, tergabung menjadi satu di dalam dirinya!

 Mereka telah bercakap-cakap sebentar, kemudian melanjutkan mereka mengenai diri Tan Keng Can. Juga mereka merundingkan bagaimana caranya untuk pergi menyelidiki perihal keadaan Peng Po Siang Sie.

Lam a juga mereka berunding, sampai akhirnya mereka telah pergi beristirahat tanpa dapat memutuskan langkah-langkah  apa yang akan diambilnya lebih lanjut.

Maka dari itu, mereka ingin beristirahat dulu selain melenyapkan letih dan juga menjernuhkan pikiran.

Hanya Ming Sing Siansu yang telah menarik Cin Ko. Dia telah menurunkan beberapa jurus ilmu silat kepada Cin Ko.

Dengan bersemangat Tin Ko telah mempelajarinya, walaupun ilmu silat yang diturunkan oleh Ming Sing Siansu memang agak sulit, tetapi kenyataannya Cin Ko dapat juga untuk mempelajarinya. Tanpa mengenal letih Cin Ko telah melatih dan terus menerus.

Sedangkan Ming Sing Siansu setelah melihat sesaat cara berlatih Cin Ko dan telah memperoleh kenyataan tidak terdapat kesalahan-kesalahan pula di dalam gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Cin Ko, dia telah naik ke atas meja, merebahkan tubuhnya dimeja itu, di dalam waktu yang sekejap mata saja dia telah tertidur nyenyak.

Biarpun yang lainnya telah beristirahat  dan tertidur nyenyak. Cin Ko masih terus juga melatih diri tanpa mengenal telah dan tanpa mengenal waktu. Gerakan yang dilakukannya semakin lama jadi semakin mantap dan juga tenaga gerakannya itu semakin berisi serta kuat, karena dia mulai dapat menguasai setiap pecahan dari pukulan-pukulan yang dilakukannya itu.

Dengan sendirinya, hal ini membuat kagum hati dia jago-jago  tua lainnya, karena biarpun mereka tengah beristirahat, dan tampaknya mereka tengah tertidur nyenyak, namun apa yang ter jadi disekitar mereka, tetap saja dapat diikuti oleh tajamnya pendengaran jago-jago tua itu. Mereka jadi yakin bahwa Cin Ko kelak pasti akan menjadi seorang jago yang memiliki kepandaian yang tinggi dan hebat,  karena  mereka telah menyaksikan betapa semangat Cin Ko yang begitu menyala-nyala hebat.

Setelah melatih diri beberapa kali lagi, Cin Ko merasakan bahwa dia benar-benar sudah dapat menguasai ilmu yang diturunkan oleh Ming Sing Siansu dan juga tubuhnya letih bukan main, barulah Cin Ko beristirahat untuk memulihkan semangat dan mengatur jalan pernapasannya yang agak

 memburu, lagi pula dia menghapus keringat yang banyak keluar dari tubuh atau dari mukanya.

Biarpun sekujur tubuhnya dirasakan penat bukan main, namun setelah beristirahat sejenak, Cin Ko mulai melatih diri lagi.

Begitulah seterusnya, mengaso dan melatih diri pula, tampaknya Cin Ko benar-benar bersemangat dan ingin benar-benar dapat menguasai jurus- jurus ilmu si lat yang diturunkan oleh Ming Sing Siansu.

Hari-hari berikutnya, jago-jago lainnya, yaitu Wie Tu Hong, si Buntung, Thang Lan Hoa dan Tang Siauw Ban, juga telah menurunkan kepandaian mereka, telah memberikan i lmu- ilmu simpanan mereka, sehingga si bocah sibuk melatih diri terus menerus tanpa mengenal lelah.

Setiap dia beristirahat, waktunya iti dia pergunakan untuk menghafal Kauw-hoat (teori ilmu silat) yang diturunkan oleh kelima gurunya ini.

Selama lima hari, jago-jago  ini tidak melakukan gerakan apa-apa. Mereka semuanya mengurung diri saja, disamping untuk menyusun rencana mereka, juga untuk menurunkan ilmu silat mereka kepada Cin Ko secara bergantian dengan mempergunakan kesempatan itu.

Hari keenamnya, Thans Lan Hoa telah menyarankan agar ada diantara mereka yang mau pergi menyelidiki keadaan di luar.

Saran yang diajukan oleh Thang Lan Hoa disetujui jago-jago  lainnya, mereka berembuk satu dengan yang lainnya.

Akhirnya Wie Tu Hong yang telah menawarkan dirinya untuk pergi menyelidiki keadaan di luar, menyerap-nyerapi juga persoalan Tan Keng Can, pemuda aneh dari Kaypang. Untuk tidak menimbulkan kecurigaan orang, Wie Tu Hong menyarankan agar dia pergi seorang diri saja, sebab kalau memang mereka pergi berkelompok, jelas hal itu itu akan menimbulkan kecurigaan.

Lagi pula Wie Tu Hong sendiri telah menyamar sebagai seorang pedagang, dia memakai kumis tebal di atas bibirnya,  untuk menghindarkan agar tidak ada yang mengenali dirinya.

Setelah berunding sejenak lagi, Wie Tu Hong telah meninggalkan kawan- kawannya itu untuk memulai penyelidikannya. Karena selama mereka belum dapat mengetahui situasi keadaan lawan, jelas mereka tidak  akan  dapat mengambil langkah-langkah yang harus mereka lakukan.

Itulah, hasil penielidikan dari Wie Tu Hong, akan besar artinya bagi mereka, guna  menentukan tindakan-tindakan  apa  yang harus mereka  lakukan.

 Dengan cara berpakaiannya itu, dengan sebaris kumis palsu di atas bibirnya, memang tampaknya Wie Tu Hong mirip sekali seperti seorang pedagang keliling.

Dia berjalan perlahan-lahan sambil diam-diam memandang sekelilingnya. Setiap ada sesuatu yang agak janggal dari jalan yang dilaluinya, niscaya akan menarik perhatian Wie Tu Hong.

Saat itu, matahari sedang bersinar terik-teriknya, karena waktu itu tepat tengah hari. Tetapi keadaan jalan-jalan raya sangat ramai sekali. Baik oleh pedagang yang menjajakan dagangannya, maupun juga para pembelinya yang telah banyak berkeliaran di setiap jalan-jalan raya.

Dengan cara berpakaian sebagai pedagang, jelas Wie Tu Hong tidak banyak menarik perhatian orang, sehingga dia dapat bergerak leluasa. Tetapi biarpun begitu, kenyataannya Wie Tu Hong tetap berlaku hati-hati  dan waspada, sehingga dia bisa mengawasi sekitar jalan yang dilalui.

Setidak-tidaknya Wie Tu Hong tidak mau kalau sampai dirinya diikuti orang, karena kalau sampai dia dikuntit oleh seseorang, berarti dirinya berada dalam pengintaian dan gerak geriknya diawasi.

Tetapi selama itu, belumada seorang yang mencurigakan mengikui diri Wie Tu  Hong. Sedangkan saat itu kalau umpama kata Tan Keng Can sendiri berada di jalan tersebut dan berpapasan dengan Wie Tu Hong, jelas dia pun tidak bisa mengenalnya, karena biar bagaimana keadaan Wie Tu Hong sudah berlainan dengan keadaannya beberapa hari yang lalu. Sekarang Wie Tu Hong memakai kumis palsu dan juga memakai pakaian seperti seorang pedagang, keadaannya sudah jauh berbeda dengan beberapa hari yang lalu di saat dia bersama sama kawan-kawannya menyatroni gedungnya Tan Keng Can.

Tetapi selama Wie Tu Hong berjalan menyusuri jalan raya itu, dia masih tetap tidak menemui sesuatu kejadian yang menimbulkan kecurigaannya.

Juga Wie Tu Hong melihatnya, tidak ada orang yang dikenalnya, tidak ada satupun di antara orang-orang yang berpapasan dengan dia di jalan itu yang dikenalnya.

Sampai akhirnya Wie Tu Hong sendiri berpikir, bahwa dia be rmaksud akan melewati jalan dimana letak gedun Tan Keng Can berada, untuk menyelidiki keadaan gedung itu,  kalai  d apat diapun ingin menyelidiki keadaan Kaypang itu.

Karena berpikir begitu, maka Wie Tu Hong telah merobah arah jalannya. Dia mengambil jalan kearah barat, menyusuri jalan jalan yang berliku-liku,

 yang merupakan lorong kecil dimana jalan itu bisa menjurus kearah gedung Tan Keng Can berada.

Di dalam hatinya W i e Tu Hong sebetulnya menyadari bahwa apa yang dilakkannya    kali   ini   adalah    suatu    perbuatan    yang    benar-benar    dapat m e n imbulkan bahaya yang tidak kecil.

Kalau memang perbuatannya itu tidak dipergoki oleh Tan Kena Can, dengan sendirinya tidak akan menimbulkan persoalan apa- apa.

Tetapi umpama kata ada orang-orang Tan Keng Can yang menaruh kecurigaan terhadap dirinya, jelas akan menimbulkan persoalan baru.

Apa lagi memang Wie Tu Hong juga menyadari bahwa pihak Kaypang yang berada dalam pimpinan Tan Keng Can jelas telah menempatkan orang- orangnya diberbagai jalan.

Juga terlebih lagi disekitar gedung dari Tan Keng Can, yang dijadikan markas dari Kaypang yang dipimpinnya, jelas orang- orangnya disebar secara meluas.

Walaupun oleh pandangan mata tidak terlihat, namun di tempat-tempat lertentu jelas orangnya Tan Keng Tian telah di tempatkan.

Tetapi disebabkan perasaan ingin tahunya, Wie Tu Hong sudah tidak memperdulikan segpala apa pun  juga, dia telah menuju terus kearah jalan yang dapat menembus ke tempat dimana letaknya gedung Tan Keng Can. Jalan-jalan kecil yang merupakan lorong panjang itu sepi sekali.

Tidak ada seorangpun yang hilir mudik di jalan-jalan itu, karena rupanya lorong-lorong kecil tersebut sudah merupakan daerah tertutup. Tetapi dengan tabah Wie Tu Hong tetap melangkah dengan tindakan kaki yang tetap, sedikitpun juga tidak terlihat keraguan pada dirinya.

Dia telah menuju terus di jalan yang berliku-liku itu, walaupun wajahnya dan sikapnya memperlihatkan sikap yang biasa dan tenang sekali, namun dihatinya agak berdebar juga. Bola matanya diam-diam telah mencilak-cilak mengawasi sekitar tempat itu, dengan penuh kewaspadaan.

Rupanya penduduk di kota raja inipun telah mengetahuinya bahwa di jalan-jalan kecil itu sudah merupakan jalan maut yang terlarang, dengan sendirinya jarang yang berani melaluilorong-lorong kecil tersebut.

Mungkin juga, selama ini pihak Kaypang selalu sengaja membuat keonaran pada jalan-jalan kecil itu, menimbulkan kesulitan pada orang-orang

 yang mengambil jalan tersebut, dan mengganggu orang yang melalui jalan tersebut.

Dengan sendirinya lama kelamaan orang di kota raja ini jadi tidak mau melaun tempat itu, walaupun mereka mempunyai tujuan yang harus melalui jalan kecil yang berliku-liku tersebut, mereka lebih aman mengambil  jalan mutar.

Maka dari itu, waktu Wie Tu Hong melalui jalan-jalan kecil tersebut, dia tidak berpapasan dengan seorang manusiapun juga. Namun sebagai orang rimba persilatan yang memiliki panca indera yang tajam, perasaan yang tajam, dengan sendirinya dia mengetahui secara diam-diam ada mata yang tengah mengawasi dirinya.

Cuma saja Wie Tu Hong masih belum mengetahui, entah dibagian mana orang yang tengah mengintai itu bersembunyi. Diam-diam Wie Tu Hong telah berulang kali melirik ke atas genting-genting dan rumah-rumah yang berdiri dipinggir kiri kanannya, juga pada sela-sela dinding, namun tetap Wie Tu Hong tidak berhasil menemui 'mata' yang tengah mengintai dirinya itu.

Tetapi biarpun dia belum mengetahui di mana orang yang tengah mengawasi gerak-geriknya itu bersembunyi, namun Wie Tu Hong tetap merasakan bahwa memang ada mata yang tengah mengawai gerak gerik Wie Tu Hong.

Malahan perasaan Wie Tu Hong mengatakan bahwa mata yang tengah mengincar dirinya itu berjumlah bukan hanya sepasang saja, melainkan terdiri dari berpasang-pasang berjumlah sangat banyak sekali.

“'Apakah mereka bersembunyi dari rumah -rumah di pinggir kiri kananku ini? Mungkin juga rumah-rumah yang terdapat pada jalan-jalan kecil ini memang sudah menjadi milik dari orang-orang Kaypang, karena memang sudah tidak ada orang yang berani untuk melalui tempat ini, jelas dengan sendirinya rumah-rumah ini telah dibeli oleh orang-orang Kaypang dan orang-orang yang sebagai penghuni lamanya telah pergi ke tempat lainnya!!” diam-diam Wie Tu Hong berpikir begitu di dalam hatinya.

Dan dia juga menduga-duga bahwa jalan-jalan yang dilaluinya itu memang merupakan sarang dari orang-orang Kaypang yang dipimpin oleh Tan Keng Can.

Sebetulnya sebagai jago tua, Wie Tu Hong mempunyai kenalan-kenalan yang cukup banyak di dalam perkumpulan Kaypang.  Cuma saja kenalan- kenalan Wie Tu Hong tersebut terdiri dari tokoh-tokoh Kaypang golongan tua

 Tetapi sekarang yang membuat W; e Tu Hong jadi heran, dia berhadapan dengan Kaypang yang dipimpin oleh Tan Keng Can yang berusia masih begitu muda. Belum pernah Wie Tu Hong mendengar nama Tan Keng Can, dan belum pernah pula W i e Tu Hong mengenal orang she Tan tersebut.

Lagi pula, yang membuat Wie Tu Hong jadi terheran-heran, sebetulnya Kaypang yang terdapat di kota raja ini, yang dipimpin oleh seorang pemuda seperti Tan Kena Can itu berasal dari golongan mana. Kalau memang Kaypang di kota raja ini mempunyai hubungan dengan perkumpulan Kaypang yang sesungguhnya, jelas Wie Tu Hong dapat mengenal beberapa orang tokoh Kaypang yang akan membantu memimpin Kaypang di kota raja ini, yang tentunya akan menjadi Kaypang cabang.

Namun kenyataannya waktu Wie Tu Hong dan kawan-kawannya bentrok di gedungnya Tan Keng Can, dia tidak melihat seorangpun yang dikenalnya, semuanya muka baru, walaupun memang sesungguhnya mereka berpakaian seperti pengemis-pengemis dari perkumpulan Kaypang. Malahan anehnya lagi, mereka menamakan diri mereka sebagai orang-orang Kaypang pula '

“Apakah disebabkan aku sudah tidak begitu mencampuri persoalan rimba persilatan, sehingga aku tidak mengetahui pula perkembangan yang terjadi di dalam rimba persilatan ini! Tetapi mustahil! Biarpun umpama kata Kaypang mengalami kekacauan di dalam pintu perkumpulannya, tidak mungkin seluruh jago-jago dari golongan tua tersingkirkan seluruhnya dan digantikan oleh golongan muda. Seorang atau dua orang jelas masih ada orang lama yang kukenal! Tetapi anehnya, sekarang malah orang- orang itu sangat asing sekali bagiku! Hmmm, tentunya memang ada sesuatu yang luar biasa telah terjadi di dalam perkumpulan Kaypang itu!”

Pikiran Wie Tu Hong jadi berpikir terus, melayang-layang tidak keruan penuh oleh pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya  sendiri. Langkah kakinya masih saja maju setindak demi setindak dengan tindakan kaki yang tenang.

Biarpun hati Wie Tu Hong sedang berpikir  keras dan diliputi  oleh perasaan aneh yang bukan main, pada  wajahnya dia tidak memperlihatkan sama sekali. Sikap Wie Tu Hong tenang bukan main, dia berjalan seperti juga tidak menghadapi suatu persoalan, hanya bersikap  seperti seorang pedagang yang kebetulan tengah melalui jalan tersebut tanpa mengetahui apa-apa.

Sedang Wie Tu Hong berjalan begitu, ketika dia sampai pada sebuah tikungan, pendengarannya yang tajam telah dapat menangkap suara orang berkata dengan kata-kata : “Kasihani kami ------------------ kasihani kami

 ------------------------------ kami pengemis miskin, membutuhkan sedekah dan

tuan?”

Rupanya dekat tikungan itu ada pengemis yang   melakukan pekerjaannya. Waktu Wie Tu Hong berbelok, ternyata dugaannya memang tepat.

Tidak jauh, ditepi jalan, tampak duduk seorang pengemis setengah baya, usianya mungkin baru empat puluh tahun, memelihara jenggot beberapa lembar seperti jenggot kambing, apa lagi memang janggutnya itu berbentuk panjang seperti labu.

Sepasang mata pengemis itu terpejamkan rapat-rapat, dia menundukkan kepalanya juga, dengan tangan  kanan nya terulurkan tertopang pada lututnya yang duduk bersila itu.

Mulutnya tidak henti-hentinya telah meminta sedekah dengan kata-kata

: “Kasihani kami kasihan kami..... kami adalah pengemis miskin yang membutuhkan pertolongan tuan-tuan, tolonglah kami bermurah hatilah memberikan sedekah kepada kami!” Kata- kata seperti ini tidak hentinya digumamkan oleh pengemis tersebut. Tampaknya dia seperti tidak mengetahui kedatangan Wie Tu Hong, karena kepalanya masih tetap tertunduk dan sepasang matanya terpejamkan.

Wie Tu Hong menahan langkah kakinya, dia mengawasi pengemis itu sejenak. Memang dilihat sikap, pakaiannya, dan juga keadaannya, orang itu memang benar-benar adalah pengemis. Apa lagi memang   pakaiannya itu penuh oleh tambalan-tambalan yang terdiri dan berbagai macam bahan kain.

Wie Tu Hong jadi mengerutkan sepasang alisnya dalam-dalam.

“Hmmm jangan-jangan pengemis ini adalah orang-orangnya pemuda she Tan itu?” pikir Wie ru Hong di dalam hatinya. Tetapi biarpun berpikir begitu, Wie Tu Hong sengaja telah merogoh sakunya, dia telah mengeluarkan dua tail uang perak.

Dilemparkannya pada telapak tangan pengemis itu. Si pengemis tampaknya terkejut sekali waktu telapak tangannya kejatuhan uang dua tail perak yang cukup berat itu. Sepasang matanya dengan cepat telah ter pentang lebar-lebar, mukanya berseri-seri.

“Ohhh, terima kasih terima kasih Loya!” kata pengemis itu dengan suarayang mengandung kegirangan yang sangat. “Semoga Loya dilindungi oleh Thian, biarbanyak rejeki!!”

 Wie Tu Hong tidak menyahuti, dia hanya mendengus saja, dan kemudian mementang kakinya untuk berlalu. Pengemis itu telah tersenyum-senyum mengawasi kepergian Wie Tu Hong.

“Hmmm, biarpun kau berpura-pura  sebagai manusia biasa, tetap saja aku mengetahui bahwa kau adalah seorang jago yang tinggi sekali kepandaiannya!!” diam-diam hati Wie Tu Hong berpikir begitu tentang diri si pengemis. Karena tadi waktu sipengemis membuka kedua kelopak matanya, ternyata dia tidak bisa menyembunyikan cahaya yang memancar tajam dari matanya.

Pengemis itu memang bisa saja bersikap seperti orang lemas belum makan, seperti manusia yang mati tidak hiduppun juga tidak, tetapi sinar matanya tetap tidak bisa disembunyikan.

Apa lagi bagi pandangan mata Wie Tu Hong, dengan sendirinya Wie Tu Hong bisa melihatnya jelas sekali bahwa sinar mata pengemis  itu adalah seorang yang mengerti ilmu silat yang cukup dalam.

Baru saja beberapa tindak Wie Tu Hong berjalan ke depan, tiba-tiba pengemis itu memburunya seperti orang yang sempoyongan. Tubuhnya telah bergerak cepat sekali, kedua tangannya didorongkan ke depan. Sikap pengemis itu seperti juga orang mabok

Tetapi Wie Tu Hong mengetahui menyambarnya kedua tangan pengemis itu yang mendorong kearah punggungnya. Angin serangan itu menyambar kuat sekali, m e n u n j u k k a n bahwa tenaga dorongan pengemis itu kuat sekali.

Juga sebagai orang rimba persilatan  yang memiliki kepandaian yang tinggi seperti Wie Tu Hong, dengan sendirinya dia menyadari dorongan dari pengemis tersebut mengandung tenaga iwekang yang tinggi.

Tetapi karena Wie Tu Hong juga cerdik, dia teringat bahwa dirinya tengan menyamar dan berada di dalam wilayah pengemis tersebut, dengan sendirinya Wie Tu Hong tidak menangkis dorongan dari pengemis itu.

Hanya diam-diam Wie Tu Hong telah menyalurkan sinkangnya ke seluruh tubuhnya, untuk melindungi tubuhnya itu dari terjangan yang kuat dari tenaga si pengemis, agar dirinya tidak terluka di dalam

“Bukkkk!!” dorongan kedua tangan pengemis itu mengenai tepat sekali punggung Wie Tu Hong dan sebetulnya, kalau memang mau Wie Tu Hong bisa berdiam tegak di tempatnya tanpa bergerak sedikit p u n juga, apa lagi dia merasakan bahwa terjangan tenaga dorong pengemis itu jauh dari sempurna.

 Namun, karena dia tidak mau diketahui penyamarannya itu, Wie Tu Hong melakukan sesuatu tanpa tanggung-tanggung. Dengan mengeluarkan suara jeritan seperti orang kaget, tubuhnya telah linglung terjerunuk ke depan dan jatuh terjerembab.

Dia sengaja membuang dirinya ke depan begitu, untuk membuktikan kepada sipengemis bahwa dia tidak mengerti ilmu silat.

Waktu Wie Tu Hong terjerembab begitu,  dia juga masih sempat mendengar si pengemis mengeluarkan suara seruan seperti terkejut juga.

Dengan mengambil sikap seperti orang yang susah untuk merangkak bangun, W i e Tu Hong telah berdiri. Dia memutar tubuhnya menghadapi pengemis setengah umur itu.

“Kau oooh, kau pengemis tidak mengenal budi!” sengaja Wie Tu Hong membentak begitu dengan suara yang sengaja dikeraskan, seperti orang yang tengah marah. “Tadi telah kuberikan uang sedekah kepadamu, tidak tahunya balasannya malah kau segaja menubruk diriku sampai jatuh demikian”!! Hu! Hu! kalau memang aku tidak kasihan padamu, tentu akan kulaporkan kejadian ini kepada Tiekwan!!”

Sipengemis berdiri bengong sejenak, tetapi kemudian wajahnya jadi berobah sinis sekali. Lenyap sikap kelesuannya, sikap seperti   orang kekurangan makan. Malahan tampaknya dia  sangat gagah sekali, mukanya garang dan bengis. Juga matanya telah memancarkan sinarnya yang tajam bukan main.

“Hmmm ada urusan apa kau lewat di jalan ini?” bentak si pengemis dengan cara yang telah berobah jadi keras dan bengis sekali, berbeda dengan suaranya yang tadi begitu perlahan, seperti meminta orang mengasihani dirinya.

Wie Tu Hong sengaja mengerutkan sepasang alisnya pura-pura bersikap seperti orang yang kaget dan kebingungan juga. “Heh apa tanyamu?” tegurnya seperti tidak mendengar jelas tadi perkataan si pengemis.

“Hmmm!” pengemis itu telah tertawa dingin. “Aku tanya kepadamu, apa keperluanmu lewat di tempat ini, heh?”

“Apa perlunya aku lewat di jalan ini?” balik tanya Wie Tu Hong sambil pura-pura memperlihatkan sikap orang marah dan tersinggung. Sengaja Wie Tu Hong memperlihatkan sikap seperti ini agar si pengemis tidak menaruh kecurigaan kepadanya. “Aku mau menjala ni jalan mana saja di kota raja ini,

 jelas aku bebas, apakah setiap aku ingin melewati sebuah jalan, maka aku harus memberikan laporan dulu kepadamu?”

“Hmmm, tetapi jalan ini merupakan jalan terlarang!” “Jalan terlarang?”

“Ya!”

“Benar-benar dunia mau kiamat!” teriak Wie Tu Hong dengan suara yang nyaring. “Apakah jalan ini ada setannya, maksudmu?”

Pengemis itu tertawa dingin. “Tidak ada seorang manusiapun yang diperbolehkan untuk mengambil jalan ini, tidak ada seorangpun  yang diperbolehkan untuk melalui jalan ini!! Kau mengerti, walaupun  seorang jenderal atau kaisar ingin meminta ijin dulu dari pihak kami, yaitu Kaypang, jelas tidak akan diperbolehkan! Mengerti kau?!”

Wie Tu Hong sengaja memperlihatkan sikap seperti orang kebingungan. “Aneh! Aneh!” gumam Wie Tu Hong dengan suara yang perlahan. “Apanya yang aneh?” bentak si pengemis dengan sikap tidak senang.

“Aneh sekali! Setiap jalan-jalan yang ada di ibukota ini adalah milik pemerintah, bukan jalan miliknya kakek moyang Kaypang, mengapa orang tidak boleh melalui jalan-jalah ini?” kata Wie Tu Hong lagi

Muka si pengemis jadi berubah merah.

“Hei orang asing, kalau memang tadi aku tidak mengingat bahwa kau telah begitu baik hati memberikan sedekah kepadaku, jelas saat sekarang ini kau telah meajadi mayat tanpa tempat kubur!!”

“Mengapa begitu?”

Melihat Wie Tu Hong memperlihatkan sikap seperti orang tolol, si pengemis jadi mendongkol bercampur perasaan lucu juga.

“ Karena setiap orang yang melalui jalan ini, harus dibunuh! Itu

sudah menjadi peraturan kami dari pihak Kaypang!” “ Aneh!”

“ Apanya lagi yang aneh?!” bentak si pengemis dengan suara yang

tawar.

 “ Ya, sungguh aneh! Apakah pemerintah tidak pernah mengambil acuh terhadap tindakan kalian, yaitu tindakan Kaypang?” tanya Wie Tu Hong dengan matanya memandangi wajah pengemis i tu.

Tampak si pengemis dengan sikap yang congkak dan  sombong sekali telah berkata :

“ Mengambil tindakan kepada kam? Hu! Hu! Terus terang saja kukatakan, kaisar sendiri harus berpikir sepulu h kali kalau mau bentrok dangan pihak Kaypang!  Nah, sekarang  kau cepat angkat kaki  sebelum aku merobah pikiran pula! Tetapi untuk selanjutnya kau tidak boleh sekali-kali lagi lewat di  jalan ini! Hmm, hari ini kau masih bernasib baik dan beruntung bertemu dengan diriku, coba kalau memang bertemu dengan saudara seper guruan kami yang lainnya, tentu siang- siang jiwamu telah dikirimnya ke neraka menemui Giam L o Ong  (raja neraka)! Cepat kau menggelinding!”

Wie Tu Hong mengiyakan berulang kali seperti orang ketakutan. Sedangkan sebenarnya di dalam hati Wie Tu Hong tengah kebingungan sekali. Biar bagaimana dia heran, Kaypang di kota raja ini mengapa bertindak sewenang-wenang begitu.

Untuk memancing jawabannya, Wie Tu Hong tidak cepat-cepat angkat kaki, melainkan dia masih bertanya lagi : “Tetapi, aku   aku masih mempunyai satu pertanyaan lagi, aku sedang bingung melihat sikap mu ini!” kata Wie Tu Hong kemudian sambil memperlihatkan sikap seperti orang yang tengah terheran-heran.

“Hmm, katakanlah!” kata pengemis itu dengan suara yang ragu-ragu pula, dia menoleh kiri kanan, tampaknya dia terpaksa meluluskan permintaan Wie Tu Hong, padahal dia sendiri jeri kawan-kawannya melihat bahwa dia tidak bersikap tegas terhadap Wie Tu Hong. “Tetapi ingat, jangan terlalu rewel dan terlalu lama lagi ----------------kalau sampai ada kawanku yang muncul, niscaya jiwamu sudah sukar untuk diampuni lagi!”

“Sebetulnya..” kata Wie Tu Hong kemudian. “Sebenarnya aku sering mendengar cerita orang, bahwa Kaypang merupakan sebuah perkumpulan pengemis yang besar dan hebat, yang selalu berdiri tegak di atas keadilan, anggota-anggotanya juga terdiri diri orang-orang yang berilmu dan baik budi, tetapi mengapa Kaypang yang kuhadapi ini berlainan sama sekali dengan keadaan yang sering kudengar itu? Bukankah hal in i bertolak belakang satu dengan yang lainnya, antara kenyataan dan cerita yang sering kudengar itu?!'

Muka pengemis itu jadi berobah tidak sedap dilihat, dia telah

 mendengus, “Tidak usah kau terlalu banyak bicara!” bentaknya kemudian setelah dia tidak dapat menjawab pertanyaan Wie Tu Hong. Karena pengemis itu juga sangat berhati-hati dalam tiap pembicaraannya, dia tidak mau bicara terlalu sembarangan, sehingga sukar bagi Wie Tu Hong untuk memancingnya. “Cepat kau angkat kaki sebelum aku merobah pikiran!”

Wie Tu Hong menghela napas, “Baiklah   kalau   memang   kau memerintahkan aku cepat-cepat angkat kaki meningalkan tempat ini, aku tidak keberatan, cuma saja atas terjadinya kejadian seperti ini jelas membuat aku tidak betah untuk tinggal lebih lama di kota raja!! Aku sebenarnya orang Siamsay, dan baru satu minggu tiba di kota raja ini       maksudku ingin pesiar untuk menikmati keindahan kota raja! Tetapi siapa tahu jalan-jalan kota raja ini dikuasai oleh golongan demi golongan, malahan  menurut keterangan yang kau berikan tadi, bahwa setiap orang yang mengambil jalan ini sebagai jalananya, berani untuk melaluimya, niscaya orang-orang  itu akan dibunuh oleh orang-orang Kaypang! Bukankah begitu sahabat?”

Muka si pengemis tampak berobah-obah tidak hentinya. Tampaknya dia tengah bimbang bukan main.

“Hmmm!” kata pengemis itu kemudian setelah berdiam diri sejenak.

“Sekarang begini saja, kau mau           hidup atau mati?”

“IHHH, apa maksud pertanyaanmu itu, sahabat?” tanya Wie Tu Hong sambil memperlihatkan sikap seperti orang terkejut.

“Jelaskan saja secara singkatnya, apakah kau masih mau hidup atau memang sudah bosan untuk hidup terus sebagai seorang manusia?”

“Jelas aku masih mau hidup terus!”

“Itu lebih bagus!!” kata si pengemis dengan suara yang tawar. “Kalau memang kau masih ingin hidup terus, cepat kau angkat kaki menggelinding dari tempat ini tanpa banyak bicara! Tetapi kalau memang kau mampus, kau boleh banyak bertanya lagi, sampai nanti ada kawanku yang datang, niscaya jiwamu tidak bisa ditolong pula! Biarpun aku ingin menolongmu berdasarkan atas budimu yang telah memberikan uang dua tail sebagai sedekah kepadaku, tetap saja aku tidak berdaya. Memang sudah menjadi peraturan dari  per- kumpulan kami, bahwa setiap orang yang berani memasuki jalan terlarang ini, maka orang itu harus dibinasakan tanpa terkecuali!!”

Waktu si pengemis berkata kata begitu, di dalam pikiran Wie Tu Hong telah berkelebat serupa ingatan.

“Jadi   kau sekarang hanya berseorang diri saja?” tanya Wie Tu Hong.

 “Benar! Tetapi kalau kau terlalu lama di sini, tentu kawan-kawanku yang memang bertugas dibagian-bagian tempat yang lainnya akhirnya akan datang di tempat ini juga!” menyahuti pengemis itu. “Apakah kau masih tidak mau cepat-cepat untuk angkat kaki?!”

Wie Tu Hong sengaja memperlihatkan sikap seperti orang yang menyesal.

“Hai! Hai!” dia menarik napas beberapa kali sambil mengawasi kearah pengemis itu.

“Baiklah! Kalau memang kenyataannya demikian, baiklah! Akupun untuk selanjutnya kalau datang ke kota raja ini tidak akan berani melakukan perjalanan di jalan ini!!”

Setelah berkata begitu, Wie Tu Hong telah memutar tubuhnya, untuk melanjutkan langkah kakinya.

“Hei kau mau kemana?” bentak si pengemis yang melihat Wie Tu Hong bukannya

kembali pada jalan semula dia datang malah ingin memasuki lebih jauh jalan tersebut.

Wie Tu Hong pura-pura terkejut.

“A   ada apa lagi?”  tanyanya sambal memperlihatkan wajah seperti orang ketakutan.

“Mengapa kau masih mau memasuki terus jalan kecil ini? Cepat kau kembali dari asalnya tadi kau memasuki jalan ini! Benar-benar kau ingin mencari mampus! Di bagian depan dari jalan ini telah dijaga  oleh kawan- kawanku yang lainnya, jumlahnya dua atau tiga orang! Kalau kau berhasil lolos dari penjagaanku, berarti aku telah dicelakai oleh dirimu, tentu kawan- kawanku yang menjaga pada pos berikutnya tidak akan banyak bicara lagi, akan segera melancarkan serangan untuk membinasakan dirimu! Sedangkan kulihat bahwa kau tidak memiliki kepandaian apa pun juga!!”

Wie Tu Hong sengaja memperlihatkan mimik mukanya seperti orang yang terperanjat.

“Apakah apakah urusan sampai begitu hebat?” kata Wie Tu Hong.

“Maka dari itu, cepat kau kembali asalnya kembali dari mana tidak kau datang!! Karena umpama kata dua atau tiga kawanku pada pos berikutnya bisa merasa kasihan juga kepadamu namun banyak terdapat pos berikutnya lagi! Dengan bisa lolosnya kau dari pos-pos penjagaan pertama, kedua dan

 seterusnya, menunjukkan kau memiliki keliehayan, tentunya kawan-kawanku yang berada pada pos-pos penjagaan lainnya tidak akan banyak tanya lagi, biarpun kau kemukakan alasan apa saja, mereka sudah tidak bisa mempercayai dirimu!”

Wie Tu Hong memperlihatkan sikap seperti orang tolol. Tidak ada sepatah perkataanpun juga yang meluncur keluar dari bibinya. Benar-benar Wie Tu Hong pandai sekali membawakan peranan sandiwaranya itu.

Si pengemis yang melihat keadaan Wie Tu Hong, jadi merasa kasihan juga. Setelah menghela napas dalam-dalam, pengemis itu telah berkata lagi : “Nah, pergilah kau!” katanya seperti juga mengusir Wie Tu Hong.

Namun biarpun begitu, nada suara pengemis tersebut tidak sekeras tadi. Wie Tu Hong hanya mengangguk. Kemudian dia kembali dari asal dia tadi datang, sedangkan si pengemis telah kembali duduk di tempatnya semula, sambil menundukkan kepalanya tidak hentinya pengemis ini menggumam : “Kasihanilah kami ....... kami pengemis miskin ..... kami membutuhkan sekali pertolongan tuan-tuan ...... sedekah tuan-tuan sangat kami butuhkan .....

kasihanilah kami!” ocehnya.

Wie Tu Hong memaki di dalam hatinya.

“Sungguh berlainan sekali keadaan pengemis-pengemis Kaypang yang sesungguhnya yang pernah kukenal kalau dibandingkan dengan jembel -jembel busuk ini! Hmmm, kepandaian pengemis ini  sebetulnya tidak begitu tinggi, kalau aku mau hanya satu atau dua jurus aku bisa mencekuknya  untuk mengorek keterangan dari mulutnya, namun aku tidak mau melakukannya, karena kalau aku menawan pengemis tadi, jelas aku menimbulkan kericuhan.”

Dan setelah berpikir begitu, Wie Tu Hong kembali ke jalan raya. Begitu keluar dari jalan kecil tersebut, Wie Tu Hong telah mencampurkan kembali dirinya dengan orang-orang banyak yang hilir mudik di jalan raya besar!

TETAPI Wie Tu Hong bukannya pergi begitu saja. Walaupun dia telah mencampuri dirinya dengan orang ramai yang terdapat pada jalan raya tersebut, namun kenyataannya Wie Tu Hong tidak berlalu terlalu jauh da ri tempat tersebut.

Setelah berjalan cukup jauh, Wie Tu Hong pura-pura menjatuhkan sapu tangannya ke tanah, dan membungkukan tubuhnya untuk mengambil sapu tangannya itu.

 Disaat inilah matanya dengan gesit telah memandang keadaan di sekitar belakangnya. Wie Tu Hong melihat tidak ada searang pengemispun yang menguntit dirinya, hanyalah ramai orang-orang yang tengah sibuk berbelanja.

Wie Tu Hong berpikir, tentunya pengemis yang tadi bertemu dengan dirinya, tidak menaruh kecurigaan, karena Wie Tu Hong tadi  telah membawakan sikap dan sandiwaranya sempurna sekali. Oleh sebab itu, mungkin juga pengemis tadi menduga bahwa Wie Tu Hong benar orang asing yang hanya datang ke kota raja untuk pesiar saja, dan tidak mengetahui bahwa jalan kecil yang berliku-liku itu adalah jalanan 'maut' yang sudah jarang dilalui orang. Maka dari itu, si pengemis jadi tidak menaruh kecurigaan.

Mungkin juga pengemis itupun telah memberitahukan  kepada kawanannya bahwa mereka terlalu curiga saja, padahal Wie To Hong adalah pedagang tolol belaka, yang tadi dicoba dengan satu serangannya, sudah terpelanting terjerembab ke depan.

Setelah melihat dirinya tidak dikuntit oleh seseorang yang dicurigakannya, Wie Tu Hong memandang sekitar jalan yang pada saat itu dimana dia tengah berada. Dia melihat tidak berjauhan dari tempat berdiri, tampak pedagang panggang bebek keliling, dengan gerobaknya   tengah mangkal di bawah sebatang pohon.

Cepat-cepat Wie Tu Hong telah menghampirinya. Dia telah memilih seekor panggang bebek yang gemuk, dan duduk dikursi.

Tanpa segan-segan lagi Wie Tu Hong telah melahap bebek panggangnya itu. Bebek panggang tersebut wangi dan gurih sekali, daging bebek panggang itu juga empuk dan penuh minjak, menunjukkan bahwa bebek tersebut sangat gemuk sekali. Hanya di dalam waktu yang singkat Wie Tu Hong telah menghabiskan seekor panggang bebek tersebur.

Sebetulnya, Wie Tu Hong hanya pura-pura  memakan panggang bebek itu, sekedar membuang waktu, guna menyaksikan dirinya bahwa dia memang benar-benar tidak dikuntit oleh salah seorang orang-orangnya Kaypang itu.

Maka dari itu, walaupun kalau dilihat sepintas lalu tampaknya Wie  Tu Hong begitu lahap menghabiskan seekor panggang bebeknya, tetapi kenyataannya dia begitu menaruh perhatian benar pada keadaan sekelilingnya karena biar bagaimana dia benar-benar  bebas dari kuntitan orang-orang Kaypang itu.

Tidak ada seorangpun yang mengetahui bahwa sudut mata Wie Tu Hong selalu memandang tajam pada sekeliling tempat itu. Juga setiap orang yang berlalu lalang di tempat ini juga telah diawasinya terus.

 Tampaknya Wie Tu Hong begitu lahap memakan panggang bebeknya, malah di dalam waktu yang sangat singkat telah menghabiskan panggang bebeknya itu. Dia telah memilih seekor panggang bebek yang lainnya  dan melahap lagi.

Kalau dilihat lagak dan cara kelakuan Wie Tu Hong yang tanpa malu- malu telah menyantap panggang bebeknya itu dengan begitu lahap dan dipinggir jalan saja, tentu orang tidak akan pernah menduga bahwa sebenarnya Wie Tu Hong ini adalah seorang jago tua yang menjadi salah seorang tokoh di dalam rimba persilatan, karena kepandaian yang dimilikinya sangat tinggi dan jarang sekali ada orang yang menandingi kepandaiannya.

Setelah menghabiskan kedua ekor panggang bebek itu, Wie Tu Hong mencuci tangan dan menyeka mulutnya perlahan-lahan. Matanya masih tetap tidak terlepas memandangi sekelilingnya secara diam-diam.

Disaat Wie Tu Hong tengah menghapus mulutnya itulah, tiba-tiba matanya terpukau melibat seseorang. Tidak seberapa jauh jaraknya antara dirinya berdiri tampak seorang pengemis tua yang sudah lanjut usianya tengah berjalan terbungkuk-bungkuk dengan susah payah menghampiri  kearah pedagang panggang bebek itu.

Hati Wie Tu Hong mulai merasa tidak enak,  karena dia merasakan adanya sesuatu yang tidak wajar pada diri pengemis tua itu. Apa lagi sekilas Wie Tu Hong sempat melihat sinar mata dari pengemis tua itu, yang ta jam bukan main, sehingga mengejutkan hati Wie Tu Hong. Sinar mata pengemis tua itu menunjukkan juga bahwa dia seorang ahli Lwekhe yang sempurna, sebab biarpun usia pengemis tua itu sudah lanjut dan tubuhnya kurus kering seperti seorang kakek berpenyakitan, namun sinar matanya tidak redup dan kuyup, malahan sangat tajam sekali.

Dengan sendirinya, hal ini membual Wic Tu Hong curiga bukan main. Hati Wie Tu Hong juga tergoncang cukup keras. Dengan munculnya pengemis tua ini, jelas akan timbul kejadian tak menggembirakan  hati Wie Tu Hong, maka dari itu, Wie Tu Hong telah bersiap-siap berlaku waspada.

Walaupun sekilasnya tampaknya Wie Tu Hong seperti tidak memperhatikan kemunculan pengemis tua tersebut, namun kenyataannya pengemis tua itu tidak pernah lepas dari perhatian mata Wie Tu Hong.

Saat itu pengemis tua tersebut telah sampai didekat gerobak pedagang panggang bebek itu. Dia berhenti dekat sekali dengan gerobak  itu, memandangi panggang bebek yang gemuk-gemuk terjejer di dalam  gerobak itu, yang berlapiskan kaca. Tampaknya pengemis tua ini mengiler sekali

 melihat panggang bebek yang gemuk-gemuk dan menyiarkan harum yang membuat perut jadi keroncongan.

Lama pengemis tua itu memandangi panggang-panggang bebek yang terjejer di dalam gerobak itu, sehingga menimbulkan  kecurigaan yang lebih kuat dihati Wie Tu Hong. Dengan mengambil sikap seperti itu, jelas pengemis tua itu sengaja ingin mengulur waktu, dia tidak meminta-minta sedekah dari penjual panggang bebek itu, walaupun tampaknya dia mengiler benar.

Dengan berdiam diri saja memandangi panggang-panggang bebek yang berjejer di dalam gerobak itu, jelas pengemis tua ini sebetulnya bukan bertujuan untuk mendatangi panggang bebek. Pengemis tua tersebut  tentu sedang membuang-buang waktu seperti menantikan sesuatu. Dan Wie Tu Hong yang mempunyai pandangan mata sangat tajam, segera telah dapat menerkanya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar