Bab 7. Mata-mata Hiat-ouw (Tamat)
A Hu membujuk kedua nona Bu untuk lekas menyingkir keluar dari rumah Cung cu. Dia sendiri dengan tubuh kecilnya susah payah membopong mayat Ji- lohujin keluar bangunan diikuti oleh A Cin dan A Cun.
Diluar terlihat betapa golok Bu Keng-an telah terlepas dari tangannya dan Keng-an sekarang menghadapi Hek Hui-mo dengan tangan kosong. Justru dengan bertangan kosong, Keng-an seperti harimau yang tumbuh sayapnya. Tanpa golok ditangan, Hang Liong Sip Pat Ciang dapat dilancarkan dengan leluasa dan membuat Hek Hui-mo yang menggunakan pedang kaget serta terdesak hebat dalam waktu singkat.
Dimasa itu, hanya Bu Dian Long seorang yang mampu menguasai Hang Liong Sip Pat Ciang hingga jurus terakhir ke delapan belas dengan sempurna. Memang kedelapan belas jurus penakluk naga ini terlihat sederhana dan gampang dimainkan. Tetapi sesungguhnya untuk menguasai dengan sempurna, orang harus menguasai cara penggunaan Lweekang dan penyalurannya didalam jurus-jurus silat, dan itupun harus secara bertahap mulai dari tingkat satu, dua, tiga dan berurutan hingga delapan belas. Kalau tidak, orang yang memainkannya hanyalah menguasai kulit, bukan inti dari Hang Liong Sip Pat Ciang.
Sebelum ditemukannya kauwkoat pusaka, keluarga Bu hanya menguasai dua belas jurus awal dari Hang Liong Sip Pat Ciang. Itupun mereka hanya menguasai kulitnya saja. Hal yang wajar jika pamor keluarga Bu merosot jauh walaupun mereka adalah pewaris ilmu-ilmu sakti mendiang It Teng Taysu dan Kwee Ceng. Bu Dian Long dapat menguasai kedelapan belas jurus Hang Liong Sip Pat Ciang lebih dikarenakan keberuntungannya menguasai Lweekang yang berasal dari racun tawon asmara. Dengan Lweekang itu tenaga Dian Long seakan-akan meluap tiada habis-habisnya, sehingga setahap demi setahap Hang Liong Sip Pat Ciang dapat disempurnakannya hingga jurus terakhir. Bu Dian Long dengan Lweekang tawon asmara memang dapat membantu pamannya Bu Keng-an, Yehlu Ceng dan A Hu dalam menguasai Hang Liong Sip Pat Ciang, tetapi berdasarkan bakat, kemampuan dan usia, hasil yang diperoleh oleh ketiga orang itu berbeda-beda. Misalnya saja A Hu yang masih berusia tanggung, walaupun dibantu oleh Lweekang milik Bu Dian Long tetap saja kekuatan anak kecil masih terbatas. Walaupun demikian, A Hu yang dapat menguasai dengan sempurna hingga jurus ke lima saja sudah jarang ada orang dewasa yang mampu menandinginya. Lain pula dengan Keng-an yang sudah cukup berumur dan menguasai dua belas jurus, walau cuma kulitnya saja. Dengan bantuan Bu Dian Long, Keng-an mendapatkan kemjuan luar biasa dalam waktu dua tahun terakhir. Keng-an bisa menguasai kedua belas jurus yang memang sudah dimilikinya dengan sempurna hingga inti ilmu itu sendiri. Dan kali ini dengan Hang Liong Sip Pat Ciang yang dikuasainya dengan mudah Keng-an mendesak Hek Hui-mo yang hampr-hampir hanya bisa bertahan tanpa mampu membalas serangan. Tiba-tiba gerakan Keng-an berubah mendadak seperti lemas tak bertenaga. Rupanya Keng-an melihat A Hu membopong mayat istrinya yang berlumuran darah keluar dari rumah diikuti oleh kedua nona kembar.
“Niocu. ,” desah Keng-an pilu. Teringat olehnya betapa dua hari yang lalu
mereka bertengkar sengit. Sekarang istri yang telah mendampinginya bertahun-tahun telah meninggalkannya untuk selamanya. Penyesalan serasa menghimpit dada Keng-an. Akibatnya Hek Hui-mo berbalik mendesak Keng-an yang pikirannya sedang kacau balau.
Dua sosok tubuh datang mendekati A Hu dan dua nona Bu sambil berseru,” A Cin, A Cun, A Hu. kalian tidak apa-apa?”
Mereka yang baru datang itu adalah adik ipar Keng-an. Yang tinggi besar bernama Yap Wi-tong, suami dari adik keempat Bu Keng-an. Yang agak pendek adalah Lim Han-siong, suami dari adik kelima Bu Keng-an.
“Ah, jiwi loya! Tolong jaga kedua Bu-kouwnio dan Ji-lohujin,” kata A Hu tanpa menunggu jawaban langsung mencabut Goat Pokiam dan meloncat membantu Keng-an. Wi-tong dan Han-siong yang baru tiba terkejut dan tertegun melihat tubuh Ji-lohujin yang telah menjadi mayat.
Setelah beberapa saat barulah Wi-tong tersadar dari kekagetannya. “Siong-te, tolong kau jaga mereka. Biar aku yang membantu Ji-ko (kakak kedua) dan A Hu!” seru Wi-tong sambil mengayunkan goloknya dan mendekati arah pertempuran.
Tepat pada saat itu, Hek Hui-mo yang melihat A Hu memegang pedang belekuk tujuh menjadi ngiler untuk mendapatkan pedang pusaka. Dengan gerak tipu lihay Hek Hui-mo meyerang Keng-an dengan pedangnya, tetapi ditengah jalan mendadak arah serangan ditujukan kepada A Hu. Pengalaman bertempur A Hu masihlah kurang, sehingga A Hu yang tidak siap sulit untuk mengelak lagi. Tiba-tiba sesosok bayangan menyelinap diantara A Hu dan Hek Hui-mo.
“Croookkk. ”
Pedang Hek Hui-mo menembus dada Keng-an yang mendorong A Hu kesamping sehingga A Hu terhindar dari tusukan. Keng-an tak berhenti begitu saja, tangan kirinya mencengkeram pegelangan tangan Hek Hui-mo yang memegang pedang sedangkan tangan kanannya melancarkan serangan kearah kepala Hek Hui-mo.
Hek Hui-mo yang tak bisa bergerak bebas hanya bisa menggeserkan kepalanya kesamping, tak ayal pundak kirinya terpukul oleh tapak Keng-an. Tapak itu dilontarkan bukan dengan gerakan biasa, tapi dengan jurus Hang Liong Sip Pat Ciang. Walaupun Hek Hui-mo sudah melindungi pundaknya dengan hawa lweekang, tak urung tulang pundaknya remuk dan isi dadanya terguncang keras. Tak hanya berhenti disitu saja, A Hu yang kalap melihat dada Keng-an tertusuk pedang balas menikam dada Hek Hui-mo dengan Goat Pokiam, golok Wi-tong juga telah datang untuk menebas leher Hek Hui-mo.
“Craaapp......Croookkk...”
Hek Hui-mo yang terluka dalam dan tak bisa bergerak karena tangannya masih dijepit oleh Keng-an tewas seketika ketika dadanya tertusuk Goat Pokiam dan lehernya kutung setengah akibat golok yang ditebaskan oleh Yap Wi-tong.
“Ayaaaahhhh!!!!” teriak A Hu sambil menyangga tubuh Keng-an yang roboh dengan luka didada. A Hu sudah lupa dengan siapa dirinya dan siapa Bu Keng- an.
“Kau.....kau....sudah tahu?” tanya Keng-an dengan muka pucat pias. Begitu juga dengan Wi-tong, Han-siong serta dua nona kembar Bu terkejut mendengar panggilan A Hu terhadap Keng-an. Mereka semua mengerubungi Keng-an yang terluka parah. Han-siong membawa serta tubuh tak bernyawa Ji-lohujin.
“Aku. aku mendengar pertengkaran antara ayah dan Ji-lohujin tempo hari. Aku
tahu kalau Ji-loya adalah ayah kandungku. ” kata A Hu sambil menahan isak
tangisnya.
“Ahhhh. Kalian tidak salah, justru aku yang berdosa. Aku berdosa padamu,
pada Siaw-cui, pada Niocu. Ini adalah hukuman atas perbuatanku dulu,” kata Keng-an dengan suara lirih sambil memegang tangan dingin istrinya yang diletakkan disebelahnya. Keng-an menoleh lemah kepada Wi-tong, “Tong-te sekalian, mulai hari ini kalian menjadi saksi bahwa aku mengakui A Hu sebagai anakku dari ibunya Siaw-cui. Dia adalah anggota keluarga Bu.”
“Kami mendengar dan menjadi saksi,” kata Wi-tong mewakili yang lain.
“Dulu aku dan Siaw-cui saling mencinta. Hanya saja aku tahu kalau ayahku tidak akan menyetujui kalau istri pilihanku adalah seorang pelayan. Ayahku memilihkan jodoh seorang istri dari anak teman baiknya. Aku....aku yang pengecut ini malah......,” kata-kata Keng-an tiba-tiba berhenti akibat perasaannya yang tertekan. Tahu-tahu saja dia menangis perlahan sambil tangannya menggenggam tangan Ji-lohujin lebih erat.
“Sudahlah, Ji-ko jangan terlalu banyak bicara........,” Han-siong yang ingin menghiburnya juga tak sanggup meneruskan kata-katanya lagi karena mengerti betapa berat luka didada Keng-an. Tak mungkin lagi menyelamatkannya.
“Tong-te.....Siong-te. sementara pimpinlah kampung kita ini,” nafas Keng-an
semakin tersegal-segal.
“Niocu......aku.......,” tangan lemah Keng-an yang sejak tadi menggenggam tangan Ji-lohujin semakin lemas terkulai. Sejenak kemudian putuslah nyawa Bu Keng-an diiringi oleh isak tangis A Cin, A Cun dan A Hu serta melelehnya air mata Wi-tong dan Han-siong.
Pagi hari setelah malam diserangnya Bu-kee-cung oleh gerombolan dari Hiat- ouw, Wi-tong dan Han-siong mengumpulkan para penduduk yang selamat dari penyerbuan Hiat-ouw. Yang terluka diobati dan yang tewas dimahkamkan, termasuk mayat musuh. Korban pihak penyerang total delapan orang, sedangkan penduduk Bu-kee-cung yang tewas mencapai dua puluh orang. Para sanak keluarga menangis dan meratapi kematian korban yang tewas, adik keempat dan kelima Bu Keng-an yang juga istri dan Wi-tong dan Han-siong juga meratapi kematian kakak kedua mereka beserta istrinya.
Keesokan harinya para penduduk Bu-kee-cung mulai membangun kembali dusun mereka. Karena banyak rumah yang hangus terbakar, terpaksa mereka membongkar bekas-bekas kebakaran dan membangun rumah yang baru sebagai gantinya. Dua hari kemudian, A Hu atau Bu Siaw Hu sendiri sudah tak tampak batang hidungnya. Satu-satunya petunjuk hanyalah secarik kertas yang ditemukan A Cin yang memberi tahukan kepergiannya untuk mencari Dian Long.
Dari petunjuk orang-orang yang melihat Dian Long pada saat pertama kali meninggalkan Bu-kee-cung, A Hu pergi menuju arah sungai Huangho.
---------------------------------ooOoo--------------------------------
Yang seorang dewasa dan yang seorang lagi bocah lelaki tanggung terpengkur berdiam diri setelah si bocah menyelesaikan ceritanya. Mereka berdua sama- sama mengusapkan air mata yang mengalir tanpa mengucapkan sepatah kata. Kesunyian terpecah setelah beberapa saat kemudian si bocah menggerakkan bibirnya lagi dengan mata berkaca-kaca.
“Begitulah siawya. Disepanjang sungai Huangho aku mencari keterangan tentang siawya hingga tiga bulan yang lalu aku mendapat keterangan dari penduduk dusun dekat muara yang menceritakan betapa seorang pendekar muda berhasil membinasakan seorang bajak sungai kejam yang kerap kali merampok habis dan membunuh setiap orang yang lewat didaerah kekuasaannya tanpa pandang bulu. Menurut para penduduk dusun, mereka dibiarkan hidup hanya untuk menyediakan keperluan seperti sandang dan pangan kepada bajak sungai itu. Sudah berapa kali opas kerajaan yang datang atas laporan penduduk dusun datang dengan maksud membinasakan bajak sungai itu, hasilnya justru para opas itu menjadi korban dan tewas,” lanjut A Hu.
“Apakah kau datang ke Beiping berdasarkan keterangan penduduk dusun muara sungai Huangho?” kata It Liong-ci palsu yang ternyata Bu Dian Long adanya.
“Betul, kata mereka siawya berjalan kearah kotaraja Beiping. Hanya saja sudah beberapa hari sejak tiba di Beiping aku mencari siawya tanpa mendapatkan hasil, hingga hari ini,” jawab A Hu sambil tersenyum menatap Dian Long. “Kalau kau dapat mencari jejakku berdasarkan keterangan para penduduk dusun, tentu orang lain juga dapat melakukannya dengan cara yang sama,” komentar Dian Long perlahan
“Eh? Apakah yang siawya maksudkan? Apakah ada musuh yang mengejar siawya sekarang?” tanya si bocah A Hu.
“A Hu, mulai sekarang berhentilah memanggilku siawya. Karena kau putra paman keduaku, berarti kau adalah adik sepupuku. Panggil saja aku kakak,” kata Dian Long sambil menepuk-nepuk perlahan kepala kecil A Hu tanpa menjawab pertanyaan A Hu.
“Eh....aku. baiklah!” jawab A Hu sambil mengangguk. “Aku Bu Siaw Hu mulai
sekarang akan memanggil siawya dengan Long-piawko (kakak sepupu Long). ”
“Begitu lebih baik. Hmmmm....,” tiba-tiba Dian Long menampakkan wajah murung lagi. “Hiat-ouw lagi, sudah beberapa bulan ini disepanjang perjalanan aku mendapatkan kabar tentang gerak-gerik mereka didunia kangouw. Aku tak menyangka kalau mereka menyerang Bu-kee-cung dan membunuh Ji-pekhu.”
“Akan ku hancurkan Hiat-ouw dengan tanganku. Demi....demi. ayahku, akan
kuhabisi mereka semua,” geram A Hu sambil mengepalkan tangannya.
“A Hu, kau pulanglah dulu, setelah urusanku selesai aku akan menyusulmu kembali ke Bu-kee-cung,” perintah Dian Long sambil menatap A Hu dengan tiba-tiba.
“Tapi... piawko, susah payah aku mencarimu untuk memenuhi permintaan terakhir ayahku....,” belum habis kata-kata A Hu, Dian Long sudah memotongnya.
“Keadaan sekarang tidak mengijinkan. Tahukah engkau kalau sekarang aku sedang menyamar sebagai It Liong-ci si bajak sungai Huangho demi menyelidiki penyebab kematian Toa-Pekhu? Setelah meninggalkan Bu-kee- cung tahun lalu, aku membuat kesepakatan dengan Yehlu Toako untuk menyamar masuk kedalam kubu dua kekuatan besar didalam istana. Yehlu Toako sudah berhasil menyusup kedalam kelompok pangeran Chu Kaoshi. Aku sendiri baru satu hari diterima menjadi anggota Kim Ih Wi yang mendukung pangeran Chu Kaoshu. Kalau ada orang yang mengenal It Liong-ci asli dan mendapatkan informasi dari penduduk dusun Huangho sepertimu, tentu akan menjadi masalah runyam.”
“Tidak!” sahut A Hu dengan raut muka keras seperti batu. “Aku hanya bisa kembali ke Bu-kee-cung bersama dengan piawko. Jika tidak, aku tak akan pernah kembali pulang!”
“A Hu. Ah, kau mempersulit aku saja,” ujar Dian Long. “Tidak, aku datang untuk mengajak Long-piawko pulang. Kalau waktunya belum tepat, aku akan tetap disini untuk membantu piawko. Ini aku membawa serta Goat Pokiam untuk dipakai kembali oleh piawko.” A Hu mengeluarkan Goat Pokiam yang disembunyikan selama ini dan diserahkan kepada Dian Long.
“Ah, Goat Pokiam belum waktunya untuk diserahkan kembali kepada Ba Su To Niocu. Apabila urusan telah selesai, barulah Goat Pokiam dapat di simpan bersama Jit Pokiam,” gumam Dian Long sambil meraba Goat Pokiam. “A Hu, untuk sementara simpanlah dulu pusaka ini. Akan lebih mencurigakan pihak Kim Ih Wi apabila aku membawa pedang pusaka ini. Biarlah sementara waktu kau simpan saja Goat Pokiam,” kata Dian Long sambil menyerahkan kembali Goat Pokiam.
“Tadi piawko menyebut Yehlu-twako, kemana dia sekarang?” tanya A Hu sambil mengikat Goat Pokiam dan menyembunyikannya kembali dibalik baju luarnya.
“Entahlah, aku sendiri belum pernah bertemu dengannya setelah tiba di Beiping,” sahut Dian Long sambil bangkit dari duduknya. “Ayo, ikut denganku. Untuk sementara kau tinggal bersama temanku sambil menunggu.”
“Kemana? Teman piawko yang mana?”
Bu Dian Long tidak menjawab, dia berlari sambil diikuti oleh A Hu dari belakang. Tanpa sepengetahuan mereka, dua bayangan membuntuti mereka dari jarak yang agak jauh.
Sepeminuman teh kemudian mereka tiba didepan sebuah rumah petani bobrok yang sudah lama ditinggalkan oleh para penghuninya. Tiba-tiba Dian Long berhenti mendadak sambil bergumam perlahan, “ Sial, rupanya ada orang yang membuntuti kita sejak tadi. Pikiranku sedang kalut hingga baru menyadarinya sekarang.”
Kepala A Hu celingak-celinguk kesana kemari, “Piawko, aku tidak melihat siapa-siapa.”
“Kau tunggulah disini!” Baru saja Dian Long berucap tiba-tiba tubuhnya melesat bagaikan kilat sambil mengerahkan ginkang, tanpa diduga oleh pengekornya Dian Long sudah berada dibelakang mereka dalam sekejap.
“Siapa............kalian?” Tadinya Diang Long ingin bertanya, tadi tidak jadi setelah mengenali dua sosok orang yang membuntutinya itu. “Apa yang kalian lakukan? Mengapa membuntutiku?”
Dua orang itu adalah Kang Sun-hong si kepalan sakti dari Kanglam dan si raja pedang Gak Liat yang baru kemarin diterima menjadi anggota Kim Ih Wi bersama It Liong-ci. Kaget juga mereka berdua, barusan saja mereka menyaksikan Dian Long berada disamping anak tanggung yang mereka ikuti sejak tadi.
Untuk menutupi rasa terkejutnya Gak Liat tertawa sambil berkata, ”Kita sama- sama anggota baru Kim Ih Wi, tentu saja masing-masing mendapatkan tugas berbeda. Kau ditugaskan membuntuti orang Tung-chang dan kami ditugaskan untuk mengawasi dari jauh. Siapa tahu malah kau main gila dengan musuh.”
“Hehehe. Kami melihat engkau kasak-kusuk dengan dengan kedua nona tadi.
Sayang jarak tadi masih terlalu jauh hingga kami tak bisa mendengar pembicaraan kalian. Agaknya mereka masih ada hubungan dengan pihak Tung-chang. Berita bagus ini tentu akan menyenangkan Cia Tayjin,” sambung si kepalan sakti yang sebenarnya merasa dengki dengan penunjukkan anak muda didepannya ini sebagai tokoh tingkat dua, lebih tinggi dari pada tingkatannya sendiri.
Dian Long berpikir dengan cepat, jika kembali ke rumah Cia Tayjin dan orang- orang Kim Ih Wi mendengar cerita kedua dogol ini tentu akan masalah yang menyulitkan. Sepertinya dia harus membekuk kedua orang ini sampai masalahnya selesai.
“Hayo, ikut dengan kami melapor pada Toan Kongcu,” kata Kang Sun-hong sambil bergerak mencengkeram lengan Dian Long. Gak Liat sendiri meloloskan pedang untuk berjaga-jaga, bagaimanapun juga It Liong-ci yang didepannya ini tidak akan ditunjuk sebagai Kim Ih Wi tingkat dua tanpa memiliki kemampuan.
Dian Long berkelit sedikit untuk menghindari tangkapan Kang Sun-hong. Dian Long sudah bisa memperhitungkan kemampuan mereka berdasarkan ujian masuk tempo hari. Sun-hong menyusulkan gerakannya menjadi pukulan bertubi-tubi, tapi tak ada satupun yang dapat menyentuh tubuh Dian Long. Gak Liat mulai ikut mengeroyok dengan mengayunkan pedangnya bagaikan hujan tusukan dan tebasan sesuai dengan julukannya Hong-lui (angin dan kilat).
A Hu yang telah tiba hanya menonton dan menunggu karena yakin akan kemampuan Dian Long. Gerakan Dian Long kali ini dilihat A Hu bukanlah gerakan mengalah seperti ketika menghadapi dua nona tadi, melainkan gerakan menunggu kesempatan melancarkan serangan jitu.
Tiba-tiba Dian Long memasang kuda-kuda aneh, telapak tangan kanannya menyambut pukulan Sun-hong dan jari telujuk tangan kirinya menotok pegelangan tangan Gak Liat yang menggenggam pedang dengan gerakan kilat. Kedua lawan Dian Long berteriak kaget bersamaan dengan lepasnya pedang Gak Liat dan terdorong mundurnya Sun-hong. Untung saja bagi mereka Dian Long membatasi lweekang-nya, kalau tidak tentu Sun-hong akan jatuh muntah darah dan lengan Gak Liat remuk tulangnya.
Kalah hanya dengan satu jurus serangan membuat Kang Sun-hong dan Gak Liat jeri terhadap Dian Long, seakan-akan telah membuat kesepakatan terlebih dahulu, keduanya meloncat kabur sambil mengerahkan ginkang sekuat tenaga. Sebelum Dian Long bergerak untuk mengejar, tiba-tiba kedua anggota baru Kim Ih Wi tingkat tiga itu terjatuh sambil mencaci maki.
“Mau kabur? Bayar dulu hutang nyawa Sam-moi (adik ketiga) dan Liok-moi (adik keempat)!” bentak suara wanita yang dibarengi munculnya seorang gadis cantik dari belakang A Hu.
“Kau!” jerit Sun-hong dan Gak Liat bersamaan ketika melihat gadis cantik itu dengan wajah pucat pasi, berbeda dengan Dian Long yang tersenyum mesra melihat gadis cantik yang baru muncul tersebut. A Hu sendiri bengong karena tidak mengenal si pendatang baru itu.
“Ang-hoa tok-ciam (jarum bunga merak beracun) dari Jit-tok-hoa (tujuh bunga beracun) merupakan pembalasan setimpal atas perbuatan kalian membunuh Sam-moi dan Liok-moi!” kata si gadis cantik.
“Aku...aku...tidak membunuh adikmu...ampun..berikan penawarnya,” kata Gak Liat yang wajahnya mulai terlihat semakin merah akibat racun bunga yang telah menyebar di pembuluh darahnya.
“Kalian memperkosa adik ketiga dan keenamku, lalu mereka memilih membunuh diri daripada hidup menanggung malu. Sama saja dengan membunuh adik-adikku,” kata si gadis.
“Arrrggghhh......!!” jeritan Kang Sun-hong dan Gak Liat semakin keras dan tubuh mereka mulai memberontak keras dengan warna kulit mereka semakin merah menyala. Setelah beberapa saat kemudian gerakan mereka semakin lemah dan akhirnya berhenti akibat nyawa putus.
“Hoa-moi, sepertinya engkau mengenal mereka?” tanya Dian Long kepada gadis itu.
“Tentu saja kenal. Mereka berdua adalah begundal Hiat-ouw. Kalau mendengar kata-kata mereka tadi, tentunya sekarang mereka berdua diutus oleh Hiat-ouw untuk menyusup kedalam Kim Ih Wi sebagai mata-mata,” kata gadis yang dipanggil Hoa-moi oleh Dian Long itu.
Melihat sikap Dian Long kepada si nona sepertinya akrab, A Hu mendekati gadis itu dengan sikap ramah sambil bertanya,” Enci yang cantik ini siapa? Bagaimana bisa mengetahui kalau mereka berdua ini utusan Hiat-ouw?”
“Adik manis, engkau ini apanya Long-ko? Tentu saja aku kenal mereka, karena aku adalah orang pertama Jit-tok-hoa yang dikenal sebagai Cui-beng Kiam- hoa, murid pertama ketua Hiat-ouw sebelumnya. ” Belum sempat Kiam-hoa
menghabiskan kalimatnya, wajah A Hu terlihat merah padam menahan marah dan seketika melancarkan serangan dadakan ke arah leher Kiam-hoa sambil berteriak, ”Orang Hiat-ouw harus mampus!” Walaupun A Hu masih berusia dua belasan, tetapi ilmu silat yang dilatihnya adalah ilmu sakti yang telah merajai dunia kangouw sejak ratusan tahun yang lalu dan dengan bantuan Dian Long, A Hu sudah mampu memperagakan lima jurus Hang Liong Sip Pat Ciang dengan sempurna. Serangan A Hu merupakan jurus pertama Hang Liong Sip Pat Chiang yang bernama Khang Liong Yu Hwie (naga menggerung menyesal). Selain mendadak dan juga karena kaget, Kiam- hoa terlambat mengelak ataupun menangkis serangan A Hu. Tampaknya serangan A Hu akan kena dengan telak, tiba tiba terdengar suara bercuit dan tangan A Hu lemas dengan seketika, dan Kiam-hoa dapat melompat kebelakang dengan selamat.
Rupanya suara bercuit itu berasal dari Dian Long yang melancarkan Cui-hong It-ci (jari tunggal mengejar angin) dari It Yang-ci untuk menolong Kiam-hoa dengan menotok hiat-to dipundak A Hu dari jauh. It Yang-ci merupakan ilmu totok tingkat tinggi yang dapat menyerang lawan dari jauh melewati angin, asalkan lweekang orang yang menguasainya sudah cukup sempurna. Semakin kuat lweekang, semakin jauh jarak totokan yang bisa dilancarkan. Bagi Dian Long yang memiliki lweekang racun tawon asmara, jarak lima meter untuk menotok A Hu tidak menjadi masalah.
A Hu yang tahu Dian Long menotoknya dari jauh berseru dengan penasaran, ”Long piawko, bukankah setiap orang Hiat-ouw harus mati demi membalaskan dendam ayahku, mengapa kau mencegahku?”
“A Hu, jangan bertindak gegabah! Kau harus mendengar ceritaku terlebih dahulu sebelum bertindak lebih jauh” jawab Dian Long sambil menghampiri A Hu dan membuka totokannya.
A Hu mengerti kalau Dian Long sudah menghalanginya menyerang Kiam Hoa pada serangan pertama, jangan harap dapat berhasil dalam serangan kedua. Karena itu dia menurut saja kata-kata Dian Long dengan sinar mata menuntut penjelasan.
“A Hu, dulu Toa-Pekhu pernah berbuat tak pantas terhadap dunia kangouw sehingga Thian menghukumnya lewat tangan suhu Hoa-moi, Tee-it Thian-mo hingga tewas. Tee-it Thian-mo sendiri tewas ditangan Toa-Pekhu sehingga mereka mati sampyuh. Aku sudah tak punya perhitungan apa-apa lagi terhadap Tee-it Thian-mo maupun Hiat-ouw. Yang membuatku penasaran adalah perbuatan Toa-Pekhu itu akibat bujukan tokoh dibelakang layar yang ingin mengadu domba dunia kangouw. Entah apa tujuan tokoh misterius itu, tapi yang pasti ada rencana besar yang membahayakan negara ini dan aku tak bisa membiarkannya begitu saja,” Jelas Dian Long panjang lebar.
“Dari Hoa-moi aku mengetahui bahwa Hiat-ouw yang dipimpinnya beserta keenam saudaranya untuk menggantikan Tee-it Thian-mo mengalami perubahan mendadak dalam setahun terakhir ini. Setahun yang lalu seseorang yang bernama Hiat Eng-cu memimpin banyak tokoh persilatan yang terlebih dahulu ditaklukkannya untuk menyerang markas Hiat-ouw. Hiat-ouw jatuh ketangan Hiat Eng-cu dan banyak tokoh serta anak buah Hiat-ouw berbalik berkhianat dengan mendukung Hiat Eng-cu sebagai ketua baru mereka. Yang menolak dibunuh termasuk enam orang dari Jit-tok-hoa. Hoa-moi sendiri berhasil melarikan diri dengan harapan suatu saat dapat membayar seluruh hutang Hiat Eng-cu dikemudian hari. Aku bertemu dengan Hoa-moi di tepi sungai Huangho ketika Hoa-moi sedang bertempur dengan It Liong-ci dan aku membantunya mengalahkan dan menumpas It Liong-ci,” lanjut Dian Long.
“Adik kecil, aku mengerti perasaanmu terhadap Hiat-ouw yang sudah mencelakakan keluarga dan kampungmu. Aku juga merasakan hal yang sama terhadap Hiat Eng-cu. Tapi segala tindakan Hiat-ouw setahun terakhir ini tidak ada hubungan denganku,” kata Kiam-hoa.
“Sebelum bertemu Hoa-moi, aku sudah berunding dengan Yehlu twako mengenai tokoh misterius yang mencelakakan Toapekhu. Ada kemungkinan tokoh itu berhubungan dengan Hiat Eng-cu, malah kemungkinan besar Hiat Eng-cu adalah tokoh itu sendiri. Berdasarkan keterangan Toa-Pekhu yang mengatakan bahwa tokoh misterius itu memiliki kedudukan penting di istana, kami berdua sepakat untuk menyelidiki langsung ke kota raja Beiping. Mengenai rencana kami berdua sudah kuberitahukan sebelumnya kepadamu,” sambung Dian Long.
Walaupun tampak dari wajahnya A Hu masih belum puas, tapi didalam hatinya dia sudah tak bisa lagi menimpakan segala perbuatan Hiat-ouw menyerang Bu- kee-cung pada Kiam-hoa. Bagaimanapun juga Kiam-hoa juga dimusuhi oleh perkumpulannya sendiri.
“Sudahlah, aku minta ma’af,” sahut A Hu pendek. Kiam-hoa yang mendengat perkataan A Hu hanya tersenyum tak enak. Bagaimanapun juga tadi nyawanya hampir melayang kalau saja Dian Long tidak ikut campur tangan. Tapi toh, dia juga tak terluka sedikitpun sehingga perlu apa memperpanjang urusan.
Dian Long sudah menganggap kesalahpahaman antara Kiam-hoa dan A Hu sudah selesai, namun ada hal yang mengganjal pikirannya tentang kedua anggota baru Kim Ih Wi yang barusan tewas ditangan Kiam-hoa.
“Hoa-moi, tadi kau bilang kalau mereka bedua adalah anak buah bawaan Hiat Eng-cu sewaktu menyerang Hiat-ouw setahun yang lalu. Lalu mengapa mereka menyusup kedalam Kim Ih Wi? Apakah mereka memang tak punya hubungan satu sama lain sehingga perlu memata-matai Kim Ih Wi? Kalau demikian, kemungkinan lainnya adalah Hiat-ouw memiliki hubungan dengan Tung- chang,” kata Dian Long
“Hmmm.... soal itu juga aku masih bingung. Apa tidak lebih baik Long-ko menyelidiki Kim Ih Wi dengan lebih mendalam lagi, sambil menanti keterangan tentang kubu Chu Kaoshi dari Yehlu twako?” sahut Kiam-hoa.
“Bagaimana aku menjelaskan mengenai kedua mayat ini kepada pihak Kim Ih Wi?” tanya Dian Long sambil menunjuk dua sosok mayat berwarna merah. “Bilang saja kalau mereka tewas dibunuh oleh tokoh Hiat-ouw. Toh dari awal mereka masuk ke dalam Kim Ih Wi dengan maksud jelek. Sekalian saja mengadu domba mereka supaya kita dapat menarik keuntungan”, jawab Kiam- hoa.
“Yang menarik keuntungan dari perseteruan Kim Ih Wi dengan Hiat-ouw bukan hanya kita, tapi juga pihak Tung-chang. Tapi toh bagi kita tak ada ruginya. Baiklah aku bawa kedua mayat ini,” kata Dian Long sambil melangkah mendekati kedua mayat.
“Long-ko, hati-hati! Mayat bekas Ang-hoa Tok (racun bunga merah) tidak boleh dipegang langsung karena racunnya dapat menular lewat sentuhan. Lebih baik dibungkus dulu dengan kain, baru dibawa,” kata Kiam-hoa sambil melesat kedalam rumah petani bobrok dan kembali membawa dua lembar kain lusuh.
Kedua mayat merah itu dibungkus dengan kain, lalu Dian Long menaikkannya kegerobak pengangkut jerami yang walaupun sudah tua tetapi masih bisa dipakai.
“Piawko, aku ikut denganmu!” tiba-tiba A Hu berseru sambil berlari kesamping Dian Long.
“A Hu, tak mungkin aku membawamu dalam keadaan menyamar seperti ini. Lebih baik kau tinggal bersama Hoa-moi disini. Kalau aku dapat menyelinap keluar, aku akan mengunjungi kalian berdua. Hoa-moi, aku titip A Hu padamu,” sahut Dian Long berjalan pergi kembali menuju kota Beiping sambil mendorong gerobak.
Tak ada pilihan lain bagi A Hu kecuali tinggal bersama Cui-beng Kiam-hoa dirumah petani bobrok yang sudah sedikit dibenahi oleh Kiam-hoa supaya layak ditinggali.
Walaupun tadinya mereka mempunyai ganjalan hati akibat serangan A Hu terhadap Kiam-hoa, tapi lama kelamaan keduanya menjadi akrab satu sama lain. Kiam-hoa banyak menceritakan kejadian-kejadian didunia kangouw yang belum pernah didengar A Hu. Tentu saja A Hu yang belum lama terjun kedunia kangouw merasa tertarik dan senang. Bab 8. Jurus Sin-liong Pay-bie (Naga Sakti Mengelebatkan ekor)
Sam-siong-cung adalah sebuah kampung yang terletak disebelah selatan kota raja Beiping dan berjarak sekitar dua hari perjalanan. Semenjak ibu kota dinasti Beng dipindahkan oleh kaisar Yong Le dari Nanking ke Beiping, kampung ini sering disinggahi oleh orang-orang yang menuju Beiping untuk beristirahat dan mengisi perbekalan sebelum melanjutkan perjalanan menuju Beiping. Lama kelamaan kampung kecil itu berubah ramai menyerupai sebuah kota kecil. Toko-toko, rumah makan dan penginapan mulai banyak dibangun untuk melayani para pesinggah.
Didepan gerbang kampung berdiri dua pohon siong yang sudah cukup tua usianya. Tentunya hal ini mengundang pertanyaan bagi para pendatang, karena nama kampung itu sendiri adalah Sam siong (tiga pohon siong). Pohon siong yang ketiga ternyata berdiri di bagian belakang kampung yang hampir tak pernah diperhatikan orang. Dibawah pohon siong tua itu berdiri kelenteng dewa bumi yang sudah tak terurus lagi karena ditinggal para pengurusnya. Para pemuja dewa bumi banyak yang berpindah sembahyang di kelenteng dewa rejeki yang terletak didekat pintu gerbang kampung. Sepinya pengunjung membuat para pengurus kelenteng dewa bumi kesulitan biaya, sehingga kelenteng itu akhirnya diputuskan untuk ditinggalkan.
Hari itu disekitar kelenteng dewa bumi terlihat beberapa pengemis berkeliaran. Yang membuat orang-orang heran adalah para pengemis itu seakan-akan menghalang-halangi orang-orang non pengemis mendekati kelenteng bobrok itu, walaupun penduduk asli Sam-siong-cung sendiri. Karena tidak ingin berurusan dengan kaum pengemis yang jumlahnya cukup banyak, para penduduk maupun pengunjung membiarkan para pengemis itu begitu saja. Toh kelenteng dewa bumi itu sudah bobrok dan wajar saja banyak pengemis yang tinggal. Walaupun demikian penduduk Sam-siong-cung sebenarnya merasa heran didalam hati. Belum pernah mereka melihat begitu banyak pengemis berkeliaran di kampung mereka, malah kebanyakan para pengemis itu tak mereka kenal. Tanpa setahu mereka pengemis-pengemis itu adalah anggota kaypang (perkumpulan pengemis) yang cukup disegani oleh orang-orang kangouw.
Didalam kelenteng sendiri duduk tiga orang pengemis tua berbincang-bincang satu sama lain dengan asyiknya. Yang duduk ditengah adalah pangcu (ketua) dari kaypang yang dijuluki orang Siauw-bin Lokay (Pengemis tua muka tertawa) she Phang. Dia sendiri lebih suka dipanggil Phang Lokay dari pada nama julukannya, walaupun bila melihat wajahnya orang akan melihat wajah yang selalu tersenyum seakan-akan tertawa. Cocok sekali dengan panggilan poyokannya. Disamping kanan Phang Lokay duduk pengemis berbaju kotor kumal bagaikan tak pernah dicuci berminggu-minggu. Dia adalah Ciang-pang Liong-tauw (pemimpin pemegang tongkat kekuasaan) yang merupakan pemimpin Ouw-ih-pay (golongan baju kotor). Sedangkan yang duduk disebelah kiri Phang Lokay adalah Ciang-pun Liong-tauw (pemimpin pemegang cawan kekuasaan) yang memimpin Ceng-ih-pay (golongan baju bersih). Pengemis Ciang-pun walaupun bajunya terlihat usang dan bertambal, tapi terlihat bersih dan rapi. Seperti yang diketahui, Kaypang terbagi menjadi dua golongan yaitu Ouw-ih-pay dan Ceng-ih-pay. Kedua pemimpin golongan yang menggendong sembilan kantong dipunggungnya itu hanya kalah kedudukannya dengan pangcu. Selain itu masih ada dua Tiangloo yang tidak tampak hadir bersama Kaypang pangcu yaitu Coan-kang Tiangloo (tetua yang menurunkan ilmu) dan Ci-hoat Tiangloo (tetua pemegang perundangan).
Ketiga pemimpin kaypang itu berhenti berbicara ketika seorang pengemis berkantong enam datang masuk dan menghampiri mereka lalu berlutut memberi hormat.
“Hormat kepada pangcu dan jiwi Liong-tauw. Boanpwe datang membawa kabar,” kata pengemis yang baru datang itu.
“Bagaimana dengan tugasmu? Sudah kau kerjakan?” tanya Phang Lokay.
“Sudah pangcu! Boanpwe sudah bertemu dan menyampaikan pesan pangcu kepada Kaypang Huhoat Tiangloo (tetua pelidung partai pengemis). Mungkin tak lama lagi Huhoat akan datang kemari untuk menyambangi pangcu,” jawab pengemis kantong enam itu. Memang tingkatan kaypang berdasarkan banyaknya kantong yang tersampir dipunggung para pengemis. Semakin banyak kantong yang tersampir, semakin tinggi tingkatannya. Tingkatan tertinggi seperti Tiangloo dan Liong-tauw menggendong sembilan kantong. Phang Lokay sebagai ketua sendiri tak menggendong kantong apapun.
“Baiklah, kau boleh pergi!” perintah Phang Lokay kepada pengemis kantong enam itu. Kemudian setelah menghormat lagi kepada tiga orang didepannya, si pengemis kantong enam mundur dan berlalu keluar ruangan. Ketiga pemimpin Kaypang itu kembali melanjutkan pembicaraan mereka yang tadi terputus. Yang mereka bicarakan adalah beberapa peristiwa menarik di dunia kangouw, terutama munculnya beberapa tokoh istimewa.
Ciang-pang dan Ciang-pun saling berpandangan satu sama lain. “Memang apa yang pangcu katakan itu benar adanya. Dari Siauwlim pay muncul Ang-yap Siansu yang merupakan murid angkatan muda, tetapi memiliki bakat dan kecerdasan tinggi hingga mampu menguasai lima belas macam kepandaian dari seluruh tujuh puluh dua jenis ilmu kepandaian Siauwlim pay. Padahal dari sepanjang sejarah siauwlim, belum pernah ada yang dapat menguasai lebih dari dua belas macam,” kata Ciang-pang.
“Kau betul Lote, walaupun mendiang Tiong-ki Taysu merupakan guru dari Ang- yap Siansu, tetapi kakek gurunya Siawlim Hong-thio (kepala biara Siauwlim) Hong-shi Taysu sendiri yang melatihnya. Angkatan Hong dari Siauwlim pay seperti Hong-shi Taysu sudah berumur lebih dari delapan puluh dan akan segera mengundurkan diri, sedangkan dari angkatan Tiong tidak ada yang memiliki bakat hebat. Justru angkatan ketiga Siauwlim pay dijaman ini yang memakai gelar Ang memiliki seorang berbakat seperti Ang-yap Siansu sebagai penerus kejayaan Siauwlim pay,” sahut Phang Lokay. “Tentu saja tak boleh dilewatkan nama pendatang baru yang membuat heboh dunia kangouw akhir-akhir ini dengan mengalahkan jago-jago dari partai persilatan besar dan mengepalai organisasi seperti Hiat-ouw. Kabarnya Hiat Eng-cu ini masih berusia muda........” belum habis Ciang-pun bertutur lebih lanjut, terdengar suara tawa dari luar kelenteng.
“Hahahaha....... kalau sampai para pemimpin kaypang memuji pangcu kami sedemikian rupa, kami sangat menghargai dan menaruh hormat kepada kaypang dan mewakili pangcu untuk mengucapkan terima kasih.”
Kaget juga ketiga pimpinan kaypang didalam kelenteng. Orang biasa tak akan bisa mendengar pembicaraan mereka dari luar. Selain mereka tidak bicara dengan suara keras, jarak dari dalam hingga luar kelentang tidaklah dekat. Belum lagi dihalangi oleh dinding bangunan. Jelas orang yang berkomentar barusan itu memiliki lweekang tinggi sehingga membuat panca inderanya lebih peka, lagipula suara tawa dan kata-katanya itu mengandung khikang yang tak boleh dipandang enteng.
Phang Lokay bertiga kontan berdiri tapi sebelum sempat mereka bertiga menyahut, dua bayangan orang melesat masuk ruangan dengan langkah ringan menandakan penguasaan ginkang yang tinggi. Dua orang laki-laki yang masuk itu memiliki postur tubuh dan muka yang mirip, bahkan pakaian yang dikenakan mereka juga sama persis dari ikat sanggul kepala hingga sepatu. Nyata-nyata mereka berdua adalah orang kembar. Usia mereka sekitar empat puluhan tahun dengan jenggot pendek terpotong rapi, terlihat seperti sepasang pendekar gagah yang berwibawa.
“Bolehkah kami mengenal nama besar Jiwi (anda berdua)?” kata Ciang-pang mewakili pangcunya sambil bersoja, walaupun sambil mengerutkan alisnya Ciang-pang masih berusaha menahan diri dan menghormati tamu. Terang saja Phang Lokay bertiga curiga, karena para pengemis kantong tujuh dan enam yang diperintahkan untuk berjaga didepan kelenteng tidak mungkin membiarkan orang asing masuk tanpa ijin dan mereka ini tak tampak batang hidungnya.
“Kami berdua adalah utusan dari Hiat-ouw pangcu Hiat Eng-cu yang ditugaskan untuk menyampaikan salam hormat kepada pangcu dari kaypang. Cayhe berdua she Suma, aku It-long dan adikku Ji-long,” jawab salah satu dari si kembar.
Tidak seperti she Thio ataupun she Ong dan she umum yang lain, orang yang memiliki she Suma tidak terlalu banyak jumlahnya, apalagi bila ada orang kembar yang ber she suma tentulah hal yang lebih jarang. Nama mereka sendiri aneh, It-long berarti anak pertama sedangkan Ji-long berarti anak kedua. Phang Lokay bertiga terkejut mendengar nama mereka. Hanya ada satu nama yang mewakili sepasang kembar she Suma yang berkepandaian tinggi. Dunia kangouw mengenalnya dengan julukan Siang Wi-hiap (sepasang pendekar palsu). Mereka berasal dari daerah selatan didekat perbatasan Annam (Vietnam) dan jarang terlihat keluar dari wilayah yang mereka kuasai. Entah mengapa mereka dijuluki pendekar palsu. Mungkin sekali karena perawakan mereka berdua benar-benar terlihat seperti pendekar sejati yang gagah dan berbudi, tetapi tingkah laku mereka tak jauh beda dibandingkan dengan orang-orang Hek-to (jalan hitam).
Barusan saja salah satu dari mereka menyebut Hiat Eng-cu sebagai pangcu kami. Hal ini berarti mereka berdua adalah anggota Hiat-ouw, padahal Siang Wi-hiap bukanlah termasuk orang-orang yang suka tunduk dibawah orang lain. Malah dengan kelihayan yang mereka miliki, Siang Wi-hiap dapat hidup sebagai raja kecil dengan banyak anak buah. Entah dengan cara apa Hiat Eng- cu dapat menundukkan mereka berdua.
Walaupun kata-kata mereka cukup sopan, tetapi dari cara mereka masuk menunjukkan dua tamu itu tidak memandang tuan rumah. Ciang-pun tidaklah takut dengan nama besar Siang Wi-hiap, apalagi sudah belasan tahun dia menduduki posisi Liong-tauw di kaypang dan sudah kenyang melakoni puluhan hingga ratusan pertarungan tanpa gentar sedikitpun. Ciang-pun berkata, “Tamu yang datang tanpa mengetuk pintu berarti tidak memandang tuan rumah. Apa artinya salam hormat kalian terhadap pangcu kami jika sikap kalian seperti ini?”
Suma Ji-long yang lebih berangasan daripada kakaknya menyahut, “Apakah engkau ketua kaypang? Jika bukan lebih baik menyingkir! Kami datang untuk menyambangi ketua kaypang Siaw-bin Sinkay.”
Merah padam muka Ciang-pun, tapi Phang Lokay langsung melerai. Walaupun si kembar mencoba mengangkatnya dengan sebutan Sinkay (pengemis sakti) sebagai pengganti Lokay (pengemis tua), Phang Lokay sama sekali tidak terpengaruh. Apalagi Phang Lokay bukan termasuk orang yang suka dijilat dan disanjung. “Cayhe adalah orang yang menjabat ketua kaypang saat ini dan mereka berdua ini adalah Kaypang Liong-tauw. Gerangan apa yang menyebabkan Hiat Eng-cu sengaja mengirim utusan kepada kami para pengemis ini?”
“Kami datang kemari untuk menyampaikan pesan dan mempererat jalinan persahabatan antara Hiat-ouw dan kaypang.”
Ciang-pang langsung menyergah, “Tak usah bertele-tele, langsung saja terangkan apa pesan pangcumu itu!”
“Hahaha. ternyata Kaypang Liong-tauw tidak suka berbasa-basi. Baiklah,
pangcu kami ingin mengajak kaypang bekerja sama dalam pemilihan bengcu mendatang. Harap pangcu membantu Hiat-ouw. ”
Belum habis kata-kata Suma It-long, langsung Ciang-pun memotongnya, ”Huh, membantu kau bilang? Memangnya kami tak tahu kalau Hiat-Eng-cu mendatangi partai-partai di Kunlun, Gobi, Hoasan dan Khongtong serta mengalahkan jago-jago mereka hanya untuk meminta bantuan? Mengapa bukan ketuamu saja yang datang kemari dan meminta langsung pada pangcu kami?”
Ji-long yang berangasan menyahut, “Pamor kaypang sudah merosot jauh, jadi cukup kami berdua datang mewakili untuk menyambangi kalian!”
“Kurang ajar!” Ciang-pang membentak sambil memutar tongkat bambunya hendak menerjang. Tiba-tiba suara It-long yang penuh dengan khikang menghentikannya, “Nanti dulu, jika ingin bertarung sebelumnya aku ingin ketua kaypang memberikan janjinya. Bila kami menang, apakah kaypang akan mendukung Hiat-ouw sebagai Bulim Bengcu pada Enghiong Tayhwee mendatang?”
“Jika tidak ada diantara anggota kaypang yang dapat menghentikanmu, apa lagi yang perlu kami perdebatkan?” jawab Phang Lokay. Phang Lokay berpikir lebih baik mati daripada menyerah. Walaupun demikian kata-kata Phang Lokay mempunyai arti bercabang, sehingga Siang Wi-hiap menganggap Phang Lokay setuju menurut bila kalah.
Karena pangcu sudah mengeluarkan kata-katanya, Ciang-pang Liong-tauw sudah tak segan-segan lagi melabrak musuh dengan tongkat bambunya. Yang diterjangnya adalah orang yang paling depan entah It-long ataukah Ji-long, Ciang-pang tak perduli.
It-long yang berdiri paling depan bergeser sedikit ke kanan dan memiringkan tubuhnya untuk menghindari totokan tongkat bambu milik Ciang-pang yang menuju thian-ti-hiat didadanya. Melihat lawan mengelak, cepat tusukan tongkat berubah menjadi tebasan memukul leher It-long. Dalam sekejap sudah dua jurus serangan dilontarkan oleh Ciang-pang. Tapi It-long tidaklah gugup dibuatnya, berbarengan dengan merundukkan badannya mendadak tangan kanannya membentuk cakar mengincar ulu hati lawan sambil tangan kirinya bergerak mencengkeram tongkat. Tentu saja Ciang-pang tak rela tongkat bambunya dirampas oleh lawan sehingga ditariknya serangan tongkat dan tangan kirinya membentuk kepalan menghantam cakar It-long. Tapi It-long justru membatalkan serangannya dan berputar kebelakang Ciang-pang dan memukul leng-tay-hiat dipunggung Ciang-pang. Leng-tay-hiat adalah hiat-to (jalan darah) maut manusia yang jika terpukul hanya kematian yang akan diperoleh. Dengan tangkas Ciang-pang mengubah kedudukan kuda-kudanya dan membuka kepalan kirinya menjadi tapak dengan gerakan mengibas kebelakang untuk memapak pukulan It-long. Itulah jurus Sin-liong Pay-bie (Naga sakti mengelebatkan ekor) salah satu jurus Hang Liong Sip Pat Ciang yang diwarisi oleh Ciang-pang.
Dukkkk. Keduanya sama-sama terpental. It-long merasa tangan kanannya
ngilu, ternyata lweekang Ciang-pang cukup kuat untuk menandinginya. Sayangnya Ciang-pang hanya menguasai kulit Hang Liong Sip Pat Ciang tanpa lweekang yang mendasarinya tidak dapat membuahkan hasil yang maksimal. Sebaliknya Ciang-pang merasakan tangan kirinya bagaikan baru dicelupkan kedalam air es, dia menggigil kedingin. Segera dikebaskan tangan kirinya sambil mengerahkan lweekang untuk mengusir hawa dingin itu. Rupanya orang pertama dari Siang Wi-hiap itu ahli im-kang (tenaga unsur im).
Ciang-pang liong-tauw tak berhenti begitu saja. Setelah dirasakan tangan kirinya kembali normal, dia langsung menggebrak Suma It-long kembali. Keduanya kembali terlibat pertarungan sengit. Ciang-pun liong-tauw tidak mau ketinggalan dengan rekannya, dia juga mengeluarkan cawan berbibir somplak dan menyerang Ji-long dengan senjata anehnya itu. Ji-long membalas dengan cengkeramannya yang memancarkan hawa panas. Kebalikan dengan kakak kembarnya, dia menguasai yang-kang (tenaga unsur yang).
Kedua pertarungan berlangsung cepat hingga tak terasa sudah lima puluh jurus dikeluarkan. Semakin lama terlihat si kembar saling mendekat satu sama lain dan mulai bekerja sama menghadapi lawannya. Awalnya kedua Liong-tauw merasa senang, mengingat mereka berdua juga sering berlatih bersama sehingga mampu bekerja sama dengan apik untuk menghadapi lawan. Sayangnya lawan mereka kali ini adalah orang kembar yang memiliki kontak bathin yang kuat, bukan hanya mengandalkan kerja sama hasil latihan seperti kedua Liong-tauw.
Bila satu lawan satu mungkin baik Ciang-pang maupun Ciang-pun masih bisa meladeni lawan, tapi jika bertarung berkelompok ternyata Siang Wi-hiap benar- benar lihay. Tak sampai sepuluh jurus, Liong-tauw berdua mulai terdesak hebat. Ilmu silat pasangan yang dimiliki si kembar benar-benar luar biasa aneh dan lihay. Phang Lokay yang memperhatikan semenjak tadi saja mulai merasa sangsi apakah dia dapat mengalahkan si kembar dengan mudah jika keduanya bertarung bersama.
Tiba-tiba saja cu-peng-hiat dibetis Ciang-pun terkena cakaran lawan sehingga terasa panas dan pedih. Rupanya yang mencakar adalah Suma Ji-long yang menguasai yang-kang. Ciang-pun terpaksa meloncat mundur untuk menghindari serangan lanjutan, sedangkan Ciang-pang yang sendirian dikeroyok si kembar langsung kerepotan setengah mati.
“Mundur!” bentak Phang Lokay yang sudah mengayunkan Ta-kauw Pang (tongkat pemukul anjing) dengan gerakan Pi Siang-ok-kauw (mengusir sepasang anjing jahat). Tongkat hijau lambang ketua kaypang itu menotok dengan cepat kearah siang-kok-hiat di perut It-long dan kian-kin-hiat di pundak kanan Ji-long. Tentu saja sepasang kembar itu tak mau kena serangan Pang Lokay begitu saja, terpaksa mereka menarik serangan yang sedang mengejar Ciang-pang sehingga Ciang-pang punya sedikit waktu untuk mundur. Walaupun sampai tewas dalam pertempuran, sebenarnya Ciang-pang tak akan pernah mau mundur begitu saja. Kali ini dia mundur hanya karena mengikuti perintah Phang Lokay sebagai pangcu. Ciang-pang menghampiri Ciang-pun yang segera membubuhkan obat bubuk pada luka cakar yang didapatnya. Untung saja luka itu tak beracun.
“Sungguh terhormat bila kami dapat menghadapi Ta-kauw Pang-hoat (ilmu tongkat pemukul anjing) yang menjadi andalan ketua kaypang selama ratusan tahun ini,” kata It-long sambil tersenyum mengejek. Tentu saja kata-katanya itu berupa ejekan tersembunyi karena setiap orang kangouw mengetahui kalau selama beberapa generasi terakhir, ketua kaypang tidak pernah mendapatkan warisan ilmu tongkat kebanggaan ketua kaypang tersebut. Semenjak ketua kaypang generasi ke-35 Yehlu Chi tewas mempertahankan kota Siang-yang, Ta-kauw Pang-hoat seakan-akan lenyap begitu saja. Dari ketua kaypang generasi ke-36 hingga Phang Lokay hanya mendapatkan warisan beberapa jurus serangan Ta-kauw Pang-hoat yang pernah diturunkan Oey Yong dan Yehlu Chi kepada Coan-kang Tiangloo (tetua yang menurunkan ilmu) pada jaman itu.
Tetapi kondisi ini mendadak berubah sejak tiga tahun terakhir.
Tiga tahun yang lalu, Phang Lokay dijebak oleh musuh-musuhnya hingga hampir saja tewas dikeroyok didekat See-ouw (telaga barat). Pada saat kritis itu, seorang pemuda yang tak dikenalnya lewat dan menolongnya. Yang membuat Phang Lokay terkejut adalah ilmu silat yang dipakai si pemuda. Phang Lokay bisa mengenal jurus-jurus Ta-kauw Pang-hoat yang dimainkan oleh si pemuda dengan mahir. Phang Lokay sendiri bisa memainkan beberapa jurus Ta-kauw Pang-hoat, tetapi tidaklah selengkap dan semahir penolong mudanya itu. Sejak itu Phang Lokay berusaha mendekati si pemuda dan tak henti-hentinya membujuk supaya pemuda itu mau masuk menjadi anggota kaypang.
Usaha Phang Lokay tak sia-sia. Selain bisa menarik si pemuda masuk kedalam kaypang sebagai Huhoat Tiangloo, pemuda itu juga malah menurunkan Ta- kauw Pang-hoat yang dikuasainya kepada Phang Lokay sebagai ketua kaypang.
Phang Lokay hanya tersenyum mendengar ejekan terselubung yang diucapkan It-long itu, sehingga wajahnya itu justru seperti sedang tertawa lebar tanpa suara. Memang sejak Huhoat Tiangloo menurunkan seluruh jurus Ta-kauw Pang-hoat kepadanya, Phang Lokay selalu melatihnya secara diam-diam sehingga hanya kedua Liong-tauw dan Tiangloo saja yang mengetahui bahwa Phang Lokay telah menguasai ilmu warisan bagi para ketua kaypang tersebut.
Sebelum Phang Lokay menyahut, dari arah luar terdengar suara menjawab, “Tak perlu pangcu yang turun tangan untuk menghadapi sepasang cecunguk dari Hiat-ouw ini!”
Bersamaan dengan habisnya perkataan, muncul seorang pemuda yang masuk melalui pintu depan. Tentu saja Siang Wi-hiap merasa tersinggung dengan perkataan pemuda itu tadi. Selain menghina mereka berdua, yang mengucapkannya juga adalah orang muda yang umurnya terlihat belum ada tiga puluh tahun.
Pemuda itu menghadap Phang Lokay bersoja memberi hormat, “Huhoat Tiangloo datang memberi hormat kepada ketua!” Phang Lokay tersenyum gembira melihat pemuda yang baru datang itu. Siapakah pemuda yang mengaku Huhoat Tiangloo dari kaypang itu? Tak lain adalah pemuda yang menyelamatkan Phang Lokay tiga tahun yang lalu dan menurunkan Ta-kauw Pang-hoat kepadanya. Namanya adalah Yehlu Ceng, keturunan dari Yehlu Chi ketua kaypang ke-35 dimasa lalu. Dia juga adalah orang yang dipanggil A Ceng oleh Chan-kie, kongcu penggila adu jangkrik.
Walaupun masih muda, Yehlu Ceng adalah pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia adalah pewaris tunggal ilmu-ilmu silat keluarga Yehlu yang jarang ada tandingannya. Leluhurnya Yehlu Chi bukan hanya memiliki ilmu tongkat pemukul anjing sebagai ketua kaypang, selain itu juga Yehlu Chi adalah murid tunggal Lo Boan-tong (bocah tua nakal) Ciu Pek-tong. Yehlu Ceng mewarisi seluruh kepandaian leluhurnya, sehingga tak bisa dibayangkan seberapa tinggi tingkat kemampuannya. Belum lagi sejak dua setengah tahun yang lewat, Yehlu Ceng sempat bertukar ilmu silat dengan Bu Dian Long dan memperoleh Hang Liong Sip Pat Ciang yang tiada duanya.
“Ketua, jangan sampai kita masuk kedalam perangkap Hiat-ouw. Bisa jadi mereka berdua diutus untuk menguras habis tenaga pangcu sebelum akhirnya Hiat Eng-cu datang untuk menghadapi pangcu yang telah kehabisan tenaga. Kemungkinan besar Hiat Eng-cu menggunakan siasat yang sama untuk menaklukkan tokoh-tokoh dunia kangouw,” kata A Ceng sambil melirik Siang Wi-hiap yang merah mukanya.
“Tutup mulutmu. Pangcu kami orang terhormat. Jangankan ketua kaypang sendiri, biar ditambah sepuluh orang lagi juga belum tentu dapat membuat pangcu kami keluar keringatnya!” bentak Suma Ji-long.
“O ya? Sepuluh pangcu kalian malah belum tentu mampu menghadapi aku, apalagi menghadapi pangcu kami. Orang luar yang ingin menantang ketua kaypang harus menghadapi seorang Huhoat (pelindung) sebelumnya, dan saat ini akulah yang memegang jabatan Huhoat,” sahut A Ceng sambil tersenyum mengejek.
Siang Wi-hiap ingin membalas ejekan A Ceng itu tapi A Ceng sendiri tidak memperdulikan si kembar dan kembali menghadap Phang Lokay, “Pangcu, aku mohon ijin untuk melindungi nama baik kaypang.”
Phang Lokay tahu kalau A Ceng ingin mengangkat nama kaypang, karena secara tidak langsung A Ceng menyatakan kalau ketua kaypang memiliki ilmu kepandaian yang lebih hebat dibandingkan seorang Huhoat. Padahal kenyataan sesungguhnya, justru pemuda didepannya inilah yang memiliki kepandaian paling tinggi didalam kaypang. Phang Lokay menggangguk menyatakan persetujuannya.
Melihat pangcunya sudah menggangguk, A Ceng melompat kehadapan Siang Wi-hiap yang telah siap tarung dan tak sabaran untuk cepat-cepat menghabisinya.
Benar saja. Barusan A Ceng menjejakkan kakinya dihadapan si kembar, tiba- tiba salah seorang diantaranya sudah berseru dan melancarkan pukulan maut berhawa panas, “Lihat pukulan!” Secara otomatis saudara kembar yang satu lagi turut bergerak mengiringi.
Terkejut A Ceng menghadapi serang orang kembar yang menjadi lawannya ini. Gerakan kerja sama mereka memang lain dari pada yang lain. Seakan-akan mereka memiliki satu pikiran melalui kontak bathin yang tak dapat dilihat kasat mata.
Tetapi Yehlu Ceng adalah Yehlu Ceng. Tak percuma dia menjadi pewaris terakhir keluarga Yehlu. Setelah mundur beberapa tindakan untuk menghindar, mulailah A Ceng melancarkan serangan balasan yang tak kalah hebatnya. Ilmu silat tangan kosong A Ceng benar-benar aneh. Jika pukulan sepasang kembar mendatangkan angin pukulan yang menderu-deru dan menyeramkan, justru pukulan A Ceng seperti tidak memiliki tenaga. Tak ada angin pukulan, tak menimbulkan suara menyeramkan dan juga tak terlihat berbahaya. Namun Siang Wi-hiap menyadari kalau pukulan A Ceng sangatlah berbahaya karena pukulan itu baru memperlihatkan kekuatannya ketika hampir tiba ditubuh sasarannya. Pukulan yang kelihatannya kosong tetapi sesungguhnya berisi. Itulah ilmu kepandaian andalan Lo Boan-tong Ciu Pek-tong yang bernama Kong-beng Kun (Ilmu pukulan hampa/kosong).
Lewat dua puluh jurus, Siang Wi-hiap mulai terdesak mundur dan si kembar berdua juga mulai menyadarinya. Tiba-tiba gerakan si kembar berubah, tadinya mereka berdua berdiri sejajar dalam menghadapi lawan, kini malah berdiri berbaris dimana sang adik berdiri tepat dibelakang kakaknya. Yang hebat adalah posisi mereka bedua dapat bertukar dengan cepat, yang dibelakang maju dan yang didepan mundur dengan cepat dan teratur. Serangan dan pertahanan mereka dapat dikombinasikan sedemikian rupa bagaikan satu manusia yang memiliki dua kepala, empat tangan dan empat kaki dengan satu pikiran.
Setiap kali beradu pukulan Siang Wi-hiap sadar kalau mereka kalah tenaga jika satu lawan satu, sehingga mereka lebih mengandalkan ilmu silat kombinasi mereka yang aneh dan lihay itu.
Phang Lokay terkejut melihat kombinasi serangan si kembar sekarang dan mulai berpikir apakah dia bisa menang dari si kembar dengan mengandalkan ilmu silat tangan kosong. Agaknya dia baru mampu menandingi jika memegang tongkatnya, dan itupun butuh waktu yang tidak pendek.
Yehlu Ceng yang menghadapi si kembar justru terlihat senang bukan kepalang. Mulutnya berulang kali berteriak memuji, “Wah, bagus!”, “Hebat!”, “Luar biasa!”. Semakin hebat kombinasi si kembar, semakin hebat pula gerakan Kong-beng Kun menghadapinya. Memang jarang sekali A Ceng mendapatkan lawan hebat. Terakhir dia menghadapi lawan tangguh seperti Ma Hai di luar kota See- an, tapi tetap saja adu kepandaian itu bukanlah pertarungan hidup mati melainkan pertandingan persahabatan saja. Berbeda dengan lawannya sekarang yang terlihat bernafsu ingin membunuhnya. Semakin tinggi kepandaian seseorang, akan senang sekali apabila mendapatkan lawan tangguh. Begitu juga dengan Yehlu Ceng.
Siang Wi-hiap sendiri penasaran luar biasa. Kombinasi serangan mereka ini hanya takluk sekali seumur hidup ditangan Hiat-ouw Pangcu seorang, tapi kali ini pemuda kaypang ini justru dapat meladeni mereka sambil memuji memuji. Karena tak satupun serangan mereka yang dapat mengenai sasaran, otomatis mereka menganggap pujian A Ceng tak lebih dari sekedar ejekan.
Padahal sesungguhnya karena kombinasi serangan mereka inilah yang menyebabkan mereka terkenal di juluki Siang Wi-hiap. Yang dimaksudkan sepasang pendekar palsu bukan hanya karena sifat mereka tidak mirip dengan sikap pendekar, tetapi juga dengan ilmu silat mereka yang kelihatan mirip dengan sepasang pesilat. Padahal sesungguhnya silat mereka adalah silat satu orang yang dipecah dan dimainkan oleh dua orang. Sepasang pesilat palsu memainkan ilmu satu orang tunggal yang asli. Apalagi ditunjang dengan wajah dan penampilan yang sama membuat lawan mereka kelabakan. Siapa yang menyerang dan siapa yang bertahan sulit sekali di ketahui oleh lawan si kembar.
Mendadak si bungsu Ji-long yang berada didepan dengan cepat memukul enam titik berbahaya ditubuh A Ceng sehingga lawannya itu terkejut dan kelabakan mengelak dan menangkis. Gerakan Ji-long itu sesungguhnya hanyalah serangan pancingan untuk mendapatkan konsentrasi perhatian lawan supaya tidak memperhatikan kakak kembarnya yang dengan cepat menyelinap dan berputar ke belakang tubuh lawannya yang sedang sibuk menghadapi serangan Ji-long.
Phang Lokay bertiga terkejut dan berseru tertahan melihat serangan berbahaya yang dilakukan oleh It-long dari arah belakang tubuh A Ceng. Tentu saja mereka bertiga dapat melihat jelas tipuan serangan si kembar, berbeda dengan A Ceng yang sedang sibuk bertarung. A Ceng sendiri baru menyadari gerakan It-long ketika It-long melancarkan pukulan kearah punggungnya. Angin dingin pukulan Im-kang dari tapak It-long itulah yang dirasakannya.
Yehlu Ceng tahu kalau dia gagal menghadapi serangan ini maka habislah riwayat hidupnya. A Ceng mengemposkan semangat dan mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Dalam sekejap A Ceng mengerahkan tiga macam ilmu kepandaian yang dimilikinya sekaligus untuk menghadapi serangan maut si kembar.
Tangan kanannya bergerak menyambut pukulan keenam atau yang terakhir dari Ji-long yang berada dihadapannya dengan pukulan yang tak mengeluarkan angin, itu adalah Kong-beng Kun yang bersifat lembut.
Sedangkan tangan kirinya bergerak mengebas kebelakang dengan tenaga yang mengeluarkan angin pukulan menderu dan bersifat keras untuk menyambut pukulan It-long yang berada dibelakang punggungnya. Dua pukulan yang dikerahkan dengan pengerahan tenaga berbeda disetiap tangan sangatlah sulit bagi ahli silat hebat, sekalipun dia adalah Phang Lokay sendiri. Hanya ada beberapa orang yang dapat melakukannya dan mereka semua mewarisi ilmu kepandaian si bocah tua nakal Ciu Pek-tong yang bernama Hun- sin Jie-yong (ilmu memecah pikiran). Ilmu inilah yang dikerahkan A Ceng untuk mengerahkan dua ilmu bertolak belakang sekaligus.
Sedangkan pukulan tapak yang dikerahkan A Ceng untuk menangkis serangan It-long dibelakang punggungnya adalah jurus Sin-liong Pay-bie (naga sakti mengelebatkan ekor). Sin-liong Pay-bie adalah jurus ke dua belas dari Hang Liong Sip Pat Ciang yang diperoleh Yehlu Ceng dari Bu Dian Long, hasil bertukar dengan Hun-sin Jie-yong miliknya.
Hampir berbarengan sepasang pukulan Siang Wi-hiap yang berbeda hawa itu diterima A Ceng dengan sepasang tangan yang juga dikerahkan dengan hawa berbeda. Pukulan Ji-long dari depan diterima lebih dulu sepersekian detik oleh tapak kanan A Ceng. Hawa Yang-kong (panas dan keras) dari Ji-long diterima oleh A Ceng dengan Kong-beng Kun yang bersifat Im-jiu (dingin dan lembek), diputar untuk dipunahkan hawa kerasnya lalu diselewengkan kesamping hingga Ji-long terbawa pukulannya sendiri dan hampir terjengkang kedepan kalau saja dia tidak cepat memukulkan sisa hawa ditapaknya kelantai dan bersalto untuk mencegah dirinya terguling.
Berbeda dengan adiknya, si sulung It-long yang pernah beradu pukulan dengan jurus Sin-liong Pay-bie dari Ciang-pang Liong-tauw tentu saja merasa senang. Paling tidak It-long sudah mengenal sifat dari Sin-liong Pay-bie dan dapat menebak inti dari jurus tersebut yang pada dasarnya berhawa Yang-kong. Sama sekali tak terlintas dibenak It-long kalau Hang Liong Sip Pat Ciang milik Ciang-pang Liaong-tauw tak lebih hanya kulit luarnya saja. Inti dan pengerahan tenaga dalamnya sama sekali tak dikuasai oleh Ciang-pang.
Hal yang kedua yang sama sekali tak disangka oleh It-long adalah inti dan cara pengerahan tenaga Hang Liong Sip Pat Ciang warisan Ang Cit-kong si pengemis utara kepada para tetua kaypang dimasa lalu berbeda dengan warisan murid Ang Cit-kong sendiri yang bernama Kwee Ceng. Kwee Ceng yang berhasil mendapatkan dan mempelajari kitab pusaka Kiu-im Cinkeng, memasukkan cara berlatih lweekang dari kitab Kiu-im Cinkeng kedalam teori lweekang Hang Liong Sip Pat Ciang. Sehingga Hang Liong Sip Pat Ciang yang dikuasai Kwee Ceng sesungguhnya jauh lebih hebat dari pada Hang Liong Sip Pat Ciang yang dikuasai Ang Cit-kong sewaktu si pengemis utara pada masa jayanya.
Pukulan It-long dengan tepat disambut oleh tapak kiri A Ceng. Tidak seperti yang diduga oleh It-long sebelumnya justru tapak kiri A Ceng tidak berhawa Yang-kong, malah sebaliknya berhawa Im-jiu dan seakan pukulan Im-jiu milik It-long tenggelam didalam hawa Im-jiu milik tapak A Ceng bagaikan air sungai yang mengalir ke samudera. Itulah hawa Im-jiu yang didasarkan pada latihan lweekang kitab pusaka Kiu-im Cinkeng yang dimasukkan Kwee Ceng kedalam latihan lweekang Hang Liong Sip Pat Ciang. Karena terkejut, otomatis It-long meronta dan mencoba menarik balik pukulannya. Pada saat itu dari dalam samudera Im-jiu yang dingin dan lembut, menerjang keluar hawa panas dan keras menghantam It-long yang sedang menarik balik pukulannya. Itulah jurus Sin-liong Pay-bie warisan Kwee Ceng yang sesungguhnya. Didalam Im-jiu tersembunyi Yang-kong yang membara dan didalam Yang-kong tersimpan Im-jiu yang menghanyutkan.
It-long mencelat kebelakang akibat adu pukulan dengan A Ceng sambil menjerit pilu. Tubuhnya menghantam patung dewa bumi hingga patung tua itu hancur berantakan menjadi bongkah batu akibat benturan hebat. Ji-long cepat memburu kakaknya yang sudah muntah darah akibat luka dalam yang parah. Sedemikian hebatnya kekuatan Hang Liong Sip Pat Ciang warisan Kwee Ceng membuat Yehlu Ceng sendiri kaget karena baru kali ini dia mengerahkannya dengan sungguh sungguh.
Cepat Ji-long menotok beberapa Hiat-to kakaknya untuk menghentikan pendarahan, lalu memapah dan menerobos keluar melalui jendela kuil sambil berseru, “Hari ini Siang Wi-hiap mengaku kalah! Tapi Hiat-ouw masih belum kalah!”
Keempat orang kaypang itu hanya menghela napas, tapi tidak ada satupun yang bergerak mengejar. Sepasang Liong-tauw tahu diri karena merasa bukan tandingan si kembar, sedangkan Phang Lokay dan A Ceng merasa tidak perlu untuk memperpanjang masalah. Sehingga mereka berempat kembali duduk diatas lantai berhadapan satu sama lainnya. Keterangan dan fakta sejarah
- Beiping (sekarang bernama Beijing/Peking) merupakan ibukota dinasti Yuan/Goan Mongol dengan sebutan Khanbalik. Setelah Chu Goan Ciang berhasil mengusir bangsa Mongol dan mendirikan dinasti Beng/Ming, Chu Goan Ciang memindahkan ibukota kerajaan ke kota Nanking/Nanjing. Hingga masa pemerintahan kaisar Jianwen, Nanking tetap menjadi ibukota dinasti Beng. Pada masa kaisar Yong Le menduduki tahta dinasti Beng, ibukota kekaisaran dipindahkan kembali ke Beiping.
- Kim Ih Wi (dalam Hokkian) atau Jinyi Wei (pengawal berseragam brokat) adalah organisasi pengawal kaisar mirip secret service yang selain bertugas melindungi kaisar juga berfungsi sebagai agen rahasia dan mata-mata pemerintah dinasti Ming. Dibentuk sejak tahun 1382 oleh kaisar pertama Ming yaitu kaisar Hong Wu (Chu Goan Ciang) dengan tujuan melindungi kaisar dan keluarganya serta memata-matai para bawahannya yang dicurigai berkeinginan merebut kekuasaan dari tangan kaisar Hong Wu. Banyak jenderal-jenderal terkenal dalam sejarah yang telah membantu Chu Goan Ciang naik tahta dihabisi oleh Kim Ih Wi karena kedapatan berpotensi besar untuk memberontak.
- Tung Tiang (dalam Hokkian) atau Dong Chang (Biro timur) adalah organisasi mata-mata buatan para kasim pada jaman kaisar Yong Le dengan tugas mirip seperti Kim Ih Wi dengan penekanan tugas mata-mata sehingga Tung Tiang ini dikenal sebagai telinga kaisar. Kasim dimasa pemerintahan Hong Wu sangatlah ditekan. Kaisar Hong Wu mempereteli kekuasaan para kasim di istana karena mengingat kehancuran dinasti-dinasti sebelumnya diakibatkan terlalu besarnya kekuasaan para pembesar kebiri. Seluruh taykam malah dilarang untuk menyentuh berbagai macam dokumen penting didalam istana dan banyak diantaranya dibiarkan buta huruf oleh kaisar Hong Wu. Sewaktu jaman kaisar Yong Le, para taykam perlahan mulai mendapatkan kepercayaan dari kaisar. Hal ini dikarenakan para taykam telah membantu kaisar Yong Le naik tahta dengan membocorkan banyak rahasia militer kaisar Jianwen dalam peristiwa Jingnan kepada pangeran Chu Ti (Zhu Di).
- Peristiwa Jingnan adalah peristiwa perebutan kekuasaan antara kaisar Jianwen (cucu Chu Goan Ciang dari putra pertamanya) yang berkedudukan di Nanking dengan pamannya Chu Ti (putra keempat Chu Goan Ciang) yang menjadi penguasa kota Beiping. Perang saudara ini dimenangkan oleh Chu Ti yang naik tahta dengan gelar kaisar Yong Le
- Pembangkangan pangeran Chu Kaoshu terhadap perintah militer kaisar Yong Le terjadi pada tahun 1417 sehingga menyebabkan sang pangeran diasingkan ke sebuah perkebunan kecil di Lu-an daerah San-tung (Shandong)
Tamat