Imam Tanpa Bayangan II Jilid 08

 
Jilid 08

DENGAN SINAR mata tercengang Coei-jie mengawasi pemuda ganteng diatas kuda jempolan berwarna putih itu lalu ia berseru tertahan.

“Kalau kulihat dari dandananmu, jelas kau bukan penduduk kota ini, tapi kenapa kau bisa tahu”

Pek ln Hoei tersenyum, sebelum dayang itu menyelesaikan kata katanya dia telah menukas sambil loncat turuti dari kudanya.

“Cayhe memang bukan penduduk kota ini, tetapi.    ” Dia merandek, diawasinya wajah Goei jie tajam tajam kemudian baru menambahkan:

“Darimana pula   kau   bisa   tahu   kalau   aku. bukan penduduk kota ini? Coba katakan!”

Sebab belum pernah kutemui manusia macam kau didalam kota ini”

Habis bicara ia tutupi wajahnya dengan kipas dan segera berlalu dari situ.

“Coei-jie tunggu sebentar, ada sesuatu benda yang hendak kuperlihatkap kepadamu...”

Mendengar seruan itu Coei-jie berhenti dan segera berpaling.

“Pernahkah kau jumpai benda seperti ini? “ tanya pemuda kita sambil melangkah, maju kedepan.

Coei-jie lersenyum, sambil putar badan dan menyingkirkan kipasnya dari wajah ia bertanya :

Benda apa sih yang hendak kau perlihatkan kepadaku?

Apakah. ? “

Mendadak matanya terasa jadi silau, dengan sinar mata penuh rasa kaget dan tercengang ia awasi tangan Pek In Hoei dengan wajah termangu mangu, lama sekali tak sanggup meneruskan kata katanya.

“Pernahkah kau saksikan perhiasan MaNau yang begini indah”

Rupanya benda yang beraba ditangan Pek In Hoei saat ini adalah sebuah perhiasan Manau yang berbentuk jadi buah to, diatas buah to tadi terdapat dua lembar daun yang hijau, buah to itu berwarna merah saga dan kelihatan seakan akan merupakan benda sungguhan. Coei-jie membelalakkan matanya lebar2.

“Oooouw... belum pernah kujumpai perhiasan MaNau yang begini indah, begitu menarik seperti ini”

“Inginkah kau mendapatkannya? “

“Maksudmu kau hendak.   ” seru Coei jie tertegun.

Pek In Hoei mengangguk. Aku hendak hadiahkan benda itu kepa damu Nah, kemarilah dan ambillah benda ini!”

„Aduuuh ... yaaah mama! Kau beoar benar hendak hadiahkan kepadaku Tetapi dengan cepat dia menggeleng. “Aku tidak berani menerimanya”

“Eeesi aneh benar kau ini, coba lihat betapa indah dan menariknya perhiasan Manau ini, kenapa kau tak mau? “

“Sekalipun sangat berharga sekali benda itu namun aku tidak berani menerimanya? Aku takut nona tahu dan mendamprat diriku “

“Haaah.... haaah.... haaah... soal itu sih kau tak usah kuatir!” seru Pek In Hoei tersenyum hambar. “Bilamana nonamu mendamprat, akulah yang akan menanggung.”

Dengan sinar mata tercengang Coei-jie mengawasi wajah Pek In Hoei tajam tajam, Mengapa kau hadiahkan benda berharga yang tak ternilai harganya itu kepadaku?

Apakah kau ? “

“Haaah... haaah... haaah ... Apakah kau takut aku berbuat sesuatu yang tidak beres terhadap dirimu? “ Dengan wajah serius tambahnya : “Aku berbuat demikian karena aku tahu betapa baiknya liangsimmu, bahkan aku pernah menerima budi kebaikanmu, maka kuhadiahkan perhiasan ini sebagai tanda terima kasih yang tak terhingga kepadamu ” “Apa? Kau pernah menerima budi kebaikanku? “ Seru Coei-jie. melegak, ia tidak habis mengerti duduknya perkara. “Aku sama sekali tidak kenal dengan dirimu, mana pernah kulepaskan budi kebaikan kepadamu? Apa kau tidak salah melihat orang? “

Baru saja ia menyelesaikan kata katanya terdengar dari belakang ada orang memanggil.

Dengan cepat Pek In Hoei alihkan sinar, matanya kearah suara panggilan tadi, tampak seorang perwira mnda yang pernah ditemui siang tadi munculkan diri dari balik kebun bunga.

Air muka Coei-jie seketika itu juga berubah setelah menjumpai kemunculan perwira tersebut, cepat bisiknya:

“Hey, cepat menyingkir Gak kongcu telah datang!” Pek In Hoei tersenyum. “Cayhe kan bukan pencuri ataupun pencoleng, kenapa harus takuti dirinya? “

Sementara itu perwira muda tadi telah membentak lagi dengan wajah keren.

“Coei-jie. nona sudah mencari dirimu kemana mana, apa yang kau kerjakan disitu? “

Menyaksikan Pek In Hoei sama sekali tidak mau menyingkir dari situ bahkan memandang kearahnya sambil tersenyum, Coei jie merasa amat gelisah bercampur cemas sambil mendepak kakinya keatas tanah buru buru ia putar badan dan menyahut : “Gak kongcu...”

“Siang Piauw-moay sudah memanggil dirimu berulang kali namun belum juga kelihatan kau muncul. Hey, sebenarnya apa yang sedang kau lakukan disini? “

Merah padam selembar wajah Coei-jie, “Aku sedang mengejar kupu kupu... “ Belum sampai beberapa langkah dia berlalu, mendadak dayang itu berhenti lagi seraya berseru:

„Aaaah, mungkin pembicaraan nona dengan Ci 1m Loo Hong-tiang telah selesai, aku harus segera pergi kesitu ...”

“Tunggu sebentar!” bentak perwira muda itu dengan wajah keren.

Sambil menatap wajah dayang itu tajam tajam serunya: “Siapakah orang itu? “

“Dia.. dia adalah orang yang tersesat dan bertanya jalan...”

“Heeeh ... heeeeh ... heeeh ... dia adalab orang yang bertanya jalan jengek sang perwira muda sambil tertawa dingin... Dengan amat jelas aku dengar dia sedang menanyakan nama nona kita”

Ia berpaling kearah Pek In Hoei. ditatapnya wajah pemuda itu dengan sinar mata sinis kemudian tambahnya ketus :

“Setama dua tabun belakangan sudah terlalu banyak kujumpai manusia manusia hidung bangor yang mendekati pelayan pelayan keluarga wie hanya untuk alasan mendekati nona Wie belaka, namun belum pernah kujumpai manusia kedua yang menyuap dayang orang dengan barang berharga macam dirimu. Hmmm! Dari sini dapat kunilai betapa rendah dan bejadnya moralmu cisss... sungguh memuakkan”

“Hey kawan, janganlah kau memfitnah orang dengan kata kata seenak udelmu sendiri!” tegur Pek In Hoei dengan alis berkerut.

“Haaaah... haaah... haaah “perwira muda itu segera tertawa keras “Pelajar rudin yang lemah tak bertenaga macam kau pun menggantung pedang pura pura berlagak enghiong. Cuuuh! Keadaanmu benar benar mirip seekor anjing yang menghiasi ekornya dengan bunga harum. Hmmm jual lagak murahan!”

“Heeeh... heeeeh... heeeeh kau anggap aku seorang sastrawan lemah lantas boleh dihina dan dicemoohkan sekehendak hatinya? Tahukah kau bahwa seorang lelaki sejati lebih baik dibunuh daripada dihina orang... “

Menyaksikan kegagahan Pek In Hoei di kala sedang marah rasa dengki dan iri dalam bati perwira muda itu kian lama bertambah tebal, dengan gemas teriaknya:

“Aku perintahkan kau segera enyah dari sini, kalau tidak akan kubabat tubuhmu jadi dua bagian

“Jangan! Jangan! Gak kongcu, kau ...” teriak Coei-Jie dengan hati terperanjat.

“Enyah dari sini dayang sialan, apa yang sedang kau lakukan disitu? Mau apa kau berdiri terus disana? “

Mimpipun Pek In Hoei tidak mengira kalau dia harus bentrok dan ribut dengan perwira muda ini banya disebabkan karena dia ingin bertemu dengan gadis manis dibalik tandu, terhadap sikap kurang ajar dan tidak pakai aturan dari pihak lawan ia merasa tersinggung dan mendongkol.

“Hey orang she Gak” ujarnya dengan menahan hawa marah yang berkobar kobar “Antara diimu dengan aku sama sekali tidak terikat oleh dendam permusuhan ataupun sakit haii apapun jua mengapa dalam perjumpaanmu yang pertama kali dengan diriku, kau lantas punya pikiran uotuk mencabut jiwaku “

“Bajingan hidung bangor, kalau kau takut modar cepat cepatlah sipat ekor anjingmu dan enyah dari hutan pohon song ini, sejak kini bila kau berani memandang sekejap kearah piauw-moayku lagi, akan kucongkel matamu!”

Sekarang Pek Sn Hoei baru tahu bahwa gadis cantik dibaiik tandu yang pernah dijumpainya siang tadi bukan lain adalah adik misan perwira muda ini maka dia segera tertawa menghina.

“Ooouw ...! Aku kira kenapa saudara marah marah kepadaku, kiranya kau sedang menaruh cemburu terhadap diriku. Hmmm Sekalipun piauw-moaymu memiliki wajah yang tercantik dikolong langit pada dewasa ini, tidak nanti aku sudi korbankan sepasang mataku hanya untuk menengok sekejap kearahnya... “

Air muka perwira muda itn kontan berubah hebat, telapak tangannya diayun kedepan kemudian membabat kebawah langsung menghajar jalan darah Hiat-cong biat ditubuh Pek In Hoei

Melihat datangnya ancaman anak muda she Pek segera kebaskan ujung bajunya dua Jari tangan kirinya menegang dan langsung membabat urat nadi lawan.

Jurus “Giok-soh-yien-yauw” atau Pohon kumala bergoyang pinggul yang digunakan perwira muda itu belum sempat digunakan sampai habis, sekujur tubuhnya tahu tahu sudah terbungkus dalam kurungan musuh kejadian ini seketika menggetarkan hatinya, dengan cepat ia mundur setengah langkah kebelakang dan lintangkan tangannya melindungi dada.

Pek in Hoei tertawa hambar.

Ilmu Cian-sie-chiu dari partai Go-bie bukan termasuk suatu ilmu silat yang amat sakti, namun terhadap seorang yang baru saja kau kenal telah menggunakan ilmu serangan mematikan yang demikian keji, boleh dibilang hatimu betul betul telengas”

Ia maju selangkah kemuka dan menambahkan:

“Hey bocah keparat, kau adalah anak murid angkatan keberapa dari partai Gobie? “

Sekilas rasa kaget berkelebat diatas wajah perwira muda itu, dengan termangu mangu ditatapnya wajah Pek In Hoei beberapa saat lamanya, kemudian ia baru menyahut:

“Cayhe adalab anak murid angkatan kedua puluh satu dari partai Go-bie Leng-siang-kiam atau sipedang salju Gak Heng. Sekarang aku ingin mohon petunjuk mengenai ilmu pedang dari saudara”

Kembali Pek In Hoei lertawa dingin.

“Heeeh ... heeeh ... heeeh ... ilmu pedang Liuw-im-kiam boat dari partai Go-bie mengutamakan kemantapan serta kegagahan, bagi manusia berangasan yang berhati kasar dan buas macam kau, sekalipun berlatih sepuluh tahun lagi pun belum tentu bisa berhasil mencapai taraf yang paling tinggi, aku lihat lebih baik kita tak usah bertanding lagi! Percuma” Gak Heng meraung gusar, badannya bergeser dan maju empat langkah kedepan, pedangnya berkelebat menembusi angkasa, diantara titik titik cahaya tajam ujung pedangnya mengancam sekujur badan lawan.

Pek In Hoei mendengus dingin, ia berkelebat masuk kedalam kurungan cahaya pedang lawan, lengan kanannya berputar kesamping dan langsung membacok iga kiri perwira tersebut.

Gak Heng buang tubuh bagian atasnya kebelakang, ujung ujung pedangnya berputar membentuk satu lingkaran busur kemudian dari samping sekaligus melepaskan tiga buah babatan berantai, gerakan ringan lincah dan mantap, sedikitpun tidak membawa keragu raguan.

Melihat kehebatan orang, Pek In Hoei lantas berpikir didalam hatinya ;

“Sungguh tak kusangka manusia yang gampang marah dan terlalu tebal rasa curiganya seperti dia ternyata sanggup melatih ilmu pedang Liauw-im Kiam-heat hingga mencapai puncak kesempurnaan aaah, pekerjaan ini bukanlah suatu pekerjaan yang gampang. Rupanya aku sudah terlalu pandang rendah dirinya”

Kendati otaknya berputar namun gerakan tubuhnya sama sekali tidak berhenti, lengan kanan segera dipentangkan lurus kedepan. lima jari dipantangkan bagaikan cakar dan menyapu menggunakan jurus “Pek in- yoe-yoe” atau awan putih memenuhi angkasa

Dalam gerakan barusan ia menggunakan lengannya sebagai pedang, walaupun serangan yang dilancarkan rada terlambat namun sasarannya tidak lebih duluan dari lawannya dengan memakai gerakan yang sama serta ancaman yang sama ia dahului serangan lawan.

Melihat perbuatan tersebut Gak Heng si perwira muda itu kerutkan dahinya, sekilas rasa terperanjat berkelebat dalam benaknya cahaya pedang berkilauan, dengan memaka1 jurus yang tak berbeda ia babat tengkuk musuh.

Dari gerakan tubuh bagian atas lawan yang miring kesamping ditambah pula getaran ujung pedang yang mengancam keatas dalam sekali pandang saja Pek In Hoei lantas bisa menebak maksud hati orang jelas ia hendak menebas kutung lengannya lebih dahulu kemudian dengan memakai jurus “in-siauw-boe-san” atau awan hilang kabut buyar ujung pedangnya akan menusuk ulu batinya hingga ia mati konyol. Mengingat kekejaman orang, hatinya jadi panas, makinya didalam hati :

“Bajingan keparat sungguh keji maksud hatimu” Karena mangkel maka dia pura purs berlagak pilon, ditunggunya hingga pedang Gak Heng berputar hendak menebas lengannya saat itu tiba tiba Pek In Hoei unjuk gigi, lengan kanannya digetarkan dan langsung menghajar punggung pedang musuh.

Plaaaak ... Diiringi suara yang amat nyaring, senjata pedang ditangan Gak Heng siperwira mude itu terpapas kutung jadi dua bagian.

Pek In Hoei tidak berhenti sampai disitu saja, ia maju semakin kedepan pergelangannya berputar dan menyodok kedalam secara tiba tiba lima jarinya laksana kilat menotok dada lawan.

Ditengah getaran sang telapak yang berpusing, hawa murni memancar keluar bagaikan bendungan yang bobol, tidak ampun seluruh tubuh Gak Heng terangkat ketengah udara dan terlempar beberapa tombak jauhnya dari tempat semula.

Bruuk... Diiringi suara keras, badannya tidak ampun lagi mencium tanah.

Kutungan pedang yang berada ditangani Gak Heng pun mengikuti gerakan terlemparnya sang badan keudara mencelat keangkasa dan menancap diatas sebuah dahan pohon Song.

Sambil menahan rasa sakit dipantat akibat bantingan itu, perwira muda tadi tiada hentinya bergumam dengan wajah kemimik°

“Awan Putih memenuhi angkasa... Awan lenyap kabut buyar... “ “Sedikitpun tidak salah, Im-siauw-boe-san jurus yang barusan kau gunakan” sambung Pek In Hoei dingin.

Gak Heng meraung keras, ia muntah darah segar dan roboh menggeletak di tanah.

Sebagai murid terakhir dari Tay Hong siangjien itu ciangbunjien dari partai Go-bie dia amat disayang dan dimanja oleh gurunya, iimu pedang Go-bie Kiam-hoat yang dikuasainya merupakan jago paling lihay dalam murid angkatan kedua.

Siapa sangka sekarang dia harus menelan pil pahit ditangan seorang pelajar rudin dengan menggunakan jurus yang sama dari ilmu pedang Liauw im Kiam-hoat yang dikuasainya, tidak mengherankan kalau dia muntah darah saking kesal dan dongkolnya.

Dalam pada itu terdengar Pek In Hoei telah berkata lagi dengan wajah serius :

“Pantangan yang paling besar bagi orang yang belajar ilmu pedang adalah sombong tinggi hati dan terlalu pandang enteng musuhnya kalau kau tak dapat mendalami inti sari dari pelajaran silat tersebut, maka sebagai akibatnya...”

Belum selesai dia berkata mendadak terdengar suara raungan yang rendah tapi berat dan sangat memekikan telinga berkumandang datang, membuat sianak muda itu diam diam kaget dan merasakan kepalanya pening.

Alisnya kontan berkerut, mendadak matanya berkilat terlihatlah serentetan cahaya bianglala yang pendek laksana kilat meluncur datang kearah tubuhnya.

Terasalah hawa pedang dingin bagaikan salju, begitu dingin hingga merasuk ke tulang sumsum, hawa pedang menekan dan menggencet dadanya, Pek 1n Hoei menggeram rendah, badannya mencelat keangkasa sambil meloloskan pedangnya.

Sekilas cahaya merah yang sangat menyilaukan seketika membumbung keangkasa, bersamaan dengan munculnya segumpal hawa pedang, ancaman cahaya bianglala jadi seketika lenyap tak berbekas.

Criiiing...! diirirgi suara bentrokan nyaring sebilah pedang pendek rontok keatas tanah dalam keadaan terkutung tiga bagian, diikuti munculnya seorang hweesio tua berjenggot putih dari balik poLon Song.

Sekilas rasa kaget dan tercengang berkelebat diatas wajah Pek In Hoei, kemudian dengan wajah keren dan ditatapnya hweesio tua itu tajam tajam.

“Omitohud!” terlihatlah hweesio itu merangkap tangannya kedepan dada untuk memberi hormat. “Loolap adalah Ci In. Tolong apakah siauw-sicu adalah Kiam Leng koen tampan berpandangan sakti amat tersohor dalam dunia persilatan.”

Pek In Hoei tidak menjawab pertanyaan orang, perlahan-lahan ia angkat kakinya yang telah meninggalkan dua bekas dalam diatas permukaan tanah, lalu pujinya :

“Hweesio tua, sungguh hebat ilmu pedang Tatmo Kiam- hoat dari partai Sauw-lim yang kau miliki”

“Pedang Poo-kiam milik siuaw-sicu pun luar biasa tajamnya!” balas Ci In Tootiang dengan wajah jengah.

“Perlahan-lahan sinar mata berkisar keatas pedang sakti penghancur sang surya yang tergantung dipinggang sianak muda itu, alisnya terkerut kencang seolah-olah sedang memikirkan sesuatu.

Pek In Hoei tertawa hambar. “Hey hweesio tua, ujung bajumu hampir kutung...”

CI In Hong-tiaag tersentak kaget dan segera angkat tangan kanannya, kini ia baru temukan bahwasanya ujung bajunya telah terbabat robek oleh ketajaman pedang lawan, kini ujung baju itu sedang berkibar tiada hentinya tertiup angin.

Air mukanya kontan berubah hebat, seraya menyapu sekejap kearah Gak Heng yang meog geletak diatas tanah serunya :

“Siauw sicu, kau datang kemari untuk mengunjungi Buddba, tidak sepantasnya kalau didepan pintu kuil mengumbar napsu membunuh dan melukai orang lain “.

“Apa yang kau katakan? aku bukan datang kemari untuk mengunjungi Buddha, aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan, cayhe datang kesini adalah disebabkan... “

Belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, mendadak sinar matanya berhenti bergerak dan memandang terus kearah depan tanpa berkedip barang sedikitpun jua.

Rupanya dari balik sebuah jalan kecil disisi kebun muncul seorang gadis yang amat cantik.

Dibelakang dara ayu itu mengikuti Coei jie yang berbaju hijau, ia berjalan dengan kepala yang tertunduk rendah? .

Kemunculan gadis ayu yang diharap-harapkan selama ini kontan membuat Pek In Hoei berdiri termangu-mangu, sinar matanya menatap wajah gadis tadi dengan cahaya terpesona.

Dalam pada itu sinar mata gadis cantik itupun sedang berkisar kearahaya, tatkala sepasang mata mereka saling membentur, diatas wajah sang gadis yang dingin terlintas rasa tercengang dan kaget yang tak tehingga? “, namun sebentar kemudian dia sudah melengos kearah lain.

Pek In Hoei merasakan hatinya terjelos, sikap yang dingin dan ketus dari gadis cantik itu hampir saja membuat dia buang muka, putar badan dan berlalu.

Namun dengan cepat pelbagai pikiran berkelebat dalam benaknya ia tarik napas panjang2 lalu dengan langkah lebar berjalan menyongsong kehadirannya.

Dengan langkah menggiurkan gadis cantik berbaju kuning itu berjalan maju beberapa langkah kedepan, setelah melirik sekejap Gak Heng serta Ci In Hong tiang ia segera berjalan balik kehadapan Pek in Hoei.

“Apakah kau yang bernama nona Wie? “ sianak muda ini segera menegur dengan wajah serius.

Dengan pandangan dingin gadis cantik itu mengangguk, seakan akan dia sama sekali tidak tertarik oleh ketampanan wajah Pek In Hoei serta kegagahannya.

Melihat sikap dara ayu itu diam2 Pek In Hoei menghela napas panjang, akhirnya ia gigit bibir dan berkata :

“Tengah hari tadi cayhe telah mendapat persenan sekeping uang perak dari nona dibawah pintu kota sana, dan kini aku sengaja datang kemari untuk mengembalikan uang tersebut kepada diri nona!”

Seraya berkata ia ambil keluar kepingan uang perak tadi dari dalam sakunya kemudian diserahkan ke tangan Coei- jie, setelah itu tanpa mengucapkan sepatah katapun ia segera putar badan dan berlalu.

Sekilas rasa kaget dan tercengang berkelebat diatas wajah gadis cantik itu, akhirnya ia tak dapat menahan diri dan berseru: “Hey! kau...”

Perlahan-lahan Pek In Hoei berpaling “Cayhe bukan lam adalah orang desa yang memakai jubah merah kumal, berambut kusut daa berjenggot siang tadi.

“Aaaaah...!” dara ayu berbaju kuning!tu menjerit kaget, cepat ia tutupi bibirnya sendiri dengan talapak tangan.

Sementara itu Coeijie pun sedang memandang kearah Pek In Hoei dengan mata terbelalak lebar, mulut melongo besar, seakan akan ia tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.

Melihat sikap dayang itu, pemuda kita segera tersenyum, mula mula dia ambil keluar lebih dulu perhiasan MaNau tadi untuk diletakkan keatas tangannya kemudian baru berkata :

“Terimalah perhiasan Ini sebagai tanda terima kasihku”. atas belas kasihan yang pernah kau perhatikan kepadaku tengah hari tadi, sekarang kau tidak sepantasnya untuk menampik bukan? “.

Kembali tangannya merogoh kedalam saku ambil keluar sebutir mutiara sebesar buah lenkerg, dan sambungnya lebih jauh :

“Mutiara Ek Seng Coe ini adalah tanda mata dariku untuk nona kalian, anggaplah benda ini tebegai rasa terma kasihku yang

mendalam terhadap dirinya”

Dengan pandangan mendelong dan kebingungan Coei- jie mengawasi diri Pek In Hoei, ia benar benar tidak habis mengerti akan maksud kedatangan sianak muda itu. Menanti mutiara yang dingin dan nyaman tersebut telah disusupkan kedalam genggamannya, dia baru tersentak kaget dan berseru gugup:

“Tidak | Tidak...”

Pek In Hoei tertawa getir. “Dapatkah kau katakan kepadaku, siapakah nama siocia kalian itu? “

Coei Jie tertegun, ditatapnya wajab gadis berbaju kuning itu dengan pandangan bodoh, untuk beberapa saat lamanya ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Dara ayu berbaju kuning itu sendiripun melengak, mimpipun ia tidak menyangka kalau Pek In Hoei bisa menanyakan namanya dihadapan dirinya sendiri, ia sangsi sejenak, lalu sambil gigit bibir sahutnya : “Aku bernama Wie Jien Siang!”.

“Terima kasih atas pemberitahuanmu”.

Setelah mengucapkan terima kasih pemuda kita putar badan, loncat naik keatas kudanya dan berlalu dari situ.

Dalam sekejap mata suasana dalam hutan pohon Song itu diliputi kesunyian, keempat orang itu sama-sama dibikin tertegun dan melengak oleh tingkah lakunya yang aneh dan serba diluar dugaan itu, untuk beberapa saat siapapun tak Sanggup mengucapkan sepatah katapun.

Suara derap kaki kuda berkumandang menjauh, disaat itulah mendadak sipedang salju Gak Heng berteriak keras :

“Hey bangsat, siapa namamu? kalau punya nyali ayoh tinggalkan namamu!”.

“Cayhe Pek in Hoei!” suara sahutan yang lantang bergema dari balik hutan nun jauh disana.

“Apa? Pek ln Hoei? “ jerit Gak Heng dengan air muka berubah hebat. “Dia... dia adalah sijago pedang berdarah dingin Pek In Hoei. Sementara itu sekujur badan Wie Jien Siang sidara ayu berbaju kuning itupun gemetar keras, tiba2 teriaknya ;

“Pek In Hoei, tunggu sebentar “

Ujung bajunya bergetar keras, bagaikan burung walet tahu tahu gadis itu meloncat keatas udara, dalam beberapa kali jumpalitan saja tubuhnya sudah berada beberapa tombak jauhnya, arah yang dituju bukan lain adalah arah dimana Pek In Hoei melenyapkan diri tadi.

Selama hidupnya belum pernah Coei-jie menyaksikan nonanya bisa meloncat dan melayang ditengab udara, menyaksikan perbuatan nonanya ia menjerit ketakutan :

“Nona...”

Sebaliknya air muka Ci In Loo Hong-tiang pun berubah hebat, ia berseru tertahan kemudian berdiri menjiiblak di tempat semula.

Air muka sipedang salju Gak Heng pun berubah hebat sekali.

“Piaw-moay... Piauw-moay... tunggu sebentar. tunggu... kau hendak kemana? “ jeritnya lengking.

Tanpa memperdulikan yang lain lagi, ia loncat bangun dari atas tanah kemudian mengepos tenaga mengejar dari belakang.

Angin gunung berhembus lewat membuat daun dan ranting pohon Song bergoyang tiada hentinya di tengah kesunyian hanya tertinggal Ci In Hong-tiang serta Coei jie yang masih ada disitu.

Terdengar Ci In hweesio bergumam seorang diri dengan nada lirih :

“Aaaaaai... sungguh susah dipercaya ... sungguh membuat orang tidak habis mengerti, tak kusangka nona halus yang lembut dan lemah gemulai itu ternyata memiliki ilmu silat ini yang demikian lihay... aaaai ... rupanya aku sihweesio tua memang benar benar sudah terlalu tua sehingga matapun jadi kabur dan rabun agaknya

sekarang memang sudah saatnya bagiku untuk mengundur diri dari keramaian dunia persilatan.”

Suaranya penuh rasa duka dan sesal... ia tidak habis mengerti apa sebabnya seorang nona yang lemah lembut, seorang putri gubernur yang manja secara tiba-tiba bisa jadi kosen dan lihaynya luar biasa.

Lama sekali dia berdiri tertegun disana, untuk kemudian dengan perasaan apa boleh buat kembali kedalam kuilnya.

(Oo-dwkz-oO)

6

TENGAH malam telah tiba, kabut yang tipis melayang diatas permukaan tanah menyelimuti seluruh jagad.

Bintang bertaburan diangksa mengeliling rembulan yang memancarkan cahaya redup, ditengah malam yang sunyi tak kedengaran sedikit suarapun berkumandang

Mendadak... muncul sebuah lampu lentera berwarna marah menyinari kegelapan yang mencekam, suara Ketukan kayu menggema memecahkan kesunyian.

Kentongan kedua tebal, kabut kian lama kian bertambah tebal, seluruh jagat hampir terbungkus rata. Malam semakin sunyi.

Dari balik kabut yang tebal, kembali muncul sebuah lampu lentera berwarna merah menerangi kegelapan. Pada saat itulah terdengar suara derap kaki kuda yang rendah dan perlahan menggema dan balik kabut, perlahan- lahan bergerak menuju kearah lampu lentera merah itu.

Kabut yang tebal seakan akan membekukan seluruh angkasa, oleh sebab itu suara derap kaki kuda tadi tidak sampai bergema hingga ketempat jauhan.

Tokkkk... tooook... toook... di tengah derap kaki kuda yang gencar, mendadak terdengar bentakan nyaring menggema keangkasa:

“Siapa? “

“Aku sipedang naga terbang...? “ jawab orang yang ada diatas kuda, belum habis ia berkata tiba tiba terdengar jeritan ngeri berkumandang keangkasa diikuti desiran angin tajam menyambar dari segala penjuru, dalam sekejap mata hujan anak panah bermunculan dari mana2.

Ringkikan kuda teriakan gusar sipenunggang kuda berkecambuk jadi satu, terdengar orang yang ada diatas kuda itu menghardik penuh kegusaran :

“Siapa yang suruh kalian melepaskan anak panah? aku adalah It Boen Liong”.

“Haaaah... fcaaaah... haaaah...” suara gelak tertawa yang nyaring dan keras menggema dari arah sebelah kanan, bersamaan itu pula dari balik kabut berkelebat keluar serentetan cahaya tajam berwarna merah.

Jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang tiada hentinya, hujan panah seketika terhenti.

It Boen Liong segera loloskan pedangnya dan loncat kearah berasalnya cahaya tajam berwarna merah itu. Namun dikala badannya mencapai permukaan bumi, cahaya tadi segera lenyap tak berbekas, yang tertinggal hanyalah baunya darah yang amis dan memuakkan.

Dengan cepat ia periksa keadaan sekitar sana, tampak empat sosok mayat menggeletak diatas tanah, pada bagian leher setiar korban yang mengeletak mati itu tebekas sebuah babatan pedang yang mematikan kecuali tiada terlihat bekas luka lainnya lagi.

“Hmmm! sungguh indah dan liay cara pembunuhan yang dilakukan orang itu” pikirnya didalam hati.

Mendadak... pedangnya berputar putar. sambil berputar seratus delapan puluh derajat bentaknya : “Siapa disana? “.

Suasana dibalik kabut tetap sunyi senyap kedengaran sedikit suarapun, lama sekali ia baru tarik napas panjang dan berpikir lebih jauh :

“Mungkinkah aku sudah salah dengar. Pada saat pikirannya sedang berputar itu. kurang lebih dari enam depa dihadapannya berkumandang datang suara beotakan indah yang nyaring dan lantang :

“Kau sama sekali tidak salah mendengar akulah yang berada disini.

“Siapa kau? “ bentak It Boen Liong pedang naga terbang sambil geserkan badannya kesamping, dengan cepat pedangnya dilintangkan didepan dada siap menghadapi segala kemungkinan”

Sekilas cahaya mutiara yang redup muncul didepan matanya, bersamaan dengan itu muncul pula seorang pemuda ganteng baju putih keperak perakan, sikap gagah dan keren sekali. Ketika itu sambil mencekal sebutii mutiara sebesar buah lengkeng pemuda berbaju putih keperak perakan tadi menatap wajah It Boe Liong dengan pandangan dingin, mulutnya membungkam dalam seribu bahasa.

Diam diam It Boen Liong merasa terperanjat, meminjam cahaya mutiara tersebut ia awasi tubuh orang dari atas sampai kebawah kemudian baru tegurnya dengan nada berat:

“Sebenarnya siapakah kau? “ Pemuda ganteng tadi tersenyum.

“Apa maksudmu datang keperkampungan Tay Bie San- cung? ada urusan apa kau berkunjung kemari? “.

“Hmmm... Ehth musuhku tinggal dalam perkampungan ini, apa salahnya kalau kau berkunjung kemari? “

Tiba tiba satu ingatan berkelebat dalam benaknya. segera bentaknya lagi :

“Apakah kau adalah si jago pedang berdarah dingin Pek in Hoei”

“Sedikitpun tidak salah, cayhe adalah Pek In Hoei, namun bukan sijago pedang berdarah dingin yang kau maksudkan barusan”

It Boen Liong nampak tertegun, namun dengan cepat hawa gusarnya telah berkobar,

“Apa dosa Kiong Hiante ku dengan dirimu? mengapa kau tebas lengannya hingga kutung”.

“Hmmm terhadap manusia yang suka bikin onar dan malang melintang dengan andalkan nama serta pengaruh ayahnya, sudah untung kalau aku cuma tebas kutung sebuah lengannya, toh selembar Jiwa anjingnya masib utuh”

“Baiklah, kalau toh kau anggap ilmu pedang yang kau miliki sangat lihay, sekarang aku ingin sekali mohon petunjuk ilmu pedang, hati2”.

Pek In Hoei tidak langsung melayani tantangannya, diam diam pikirnya didalam hati:

“Tadi, sebelum masuk kedalam perkampungan, kalau bukan telah bertemu dengan Ouw yang Gong siuler asep Sua itu dan dia bisa membuktikan bahwasanya hanya sigolok perontok rembulan Ke Hong serta sijari bintang kejora Kiong Thian Bong saja yang terlibat dalam keroyokan terhadap ayahku sewaktu ada digunung Ceng Shia tempo dulu, sejak tadi aku sudah lakukan pembunuhan secara besar besaran, Aaaaaah sembari menunggu kehadiran Ouw yang Gong. kenapa aku tidak layani tantangannya untuk bermain main beberapa jurus dengan dirinya... “

Maka secara tiba tiba ia berkata .

“Setiap kali pedang poo-kiam ku lolos dari sarung, dia harus bertemu dulu dengan noda darah sebelum dikembalikan kedalam sarungnya kalau memang kau tidak suka mendengarkan nasehatku, baiklah, terpaksa aku harus memenuhi harapanmu.”

It Boen Liong gusarnya buian kepalang, tanpa banyak bicara lagi badannya bergerak maju kedepan, tanpa mengeluarkan sedikit suarapun pedangnya menebas tubuh lawan.

Cahaya mutiara tiba tiba lenyap, tanpa mgeluarkan suara badan Pek In Hoei pun ikut lenyap dibalik kabut. It Boen Liong segera menggetarkan ujung pedangnya, belum sampai badannya mencapai permukaan tanah pedangnya telah ditusuk kembali kearah Barat.

Angin pedang menderu deru, kabut yang tebal segera terbelah kesamping dan senjata tadi laksana kilat meluncur kedalam.

Pek In Hoei putar lengannya, dengan suatu gerakan yang aneh dia balas mengirim satu serangan balasan.

Mendengar datangnya ancaman It Boen Liong membolang baiingkan pedangnya, serentetan bayangan pedang seketika memenuhi angkasa dan mengurung tubuh pemuda she Pek itu kedalam kepungan.

Walaupun Pek In Hoei selama ini tak dapat melihat bagaimana pihak lawannya melepaskan serangan, namun dari beberapa serangan yang mengancam tubuhnya dengan begitu hebat, ia dapat menarik kesimpulan dimanakah letak kelihayan serta kebagusan serangan musuh. 

Tiba tiba ia melepaskan satu tendangan kilat sambil membentak:

“Bagus! jurus serangan ilmu pedangmu memang tidak jelek”

Belum sempat It Boen Liong menjawab, tahu tahu tendangan musuh yang datang secara tiba tiba itu sudah mengancam badannya dan berada tepat didepan jalan darah Hiat Cong Hiat.

Buru buru lambungnya ditarik kebelakang gagang ditekan kebawah dan membentur tumit lawan.

Pek In Hoei tertawa ringan, berada ditengah ancaman ujung pedang lawan tahu-tahu ia berhasil ngeloyor pergi. “Coba kau rasakan pula ilmu pedang angin puyuh tengah gurunku ini!” Bentak It Boen Liong.

Secara beruntun dia melancarkan delapan buah serangan berantai namun setiap kali berhasil dihindari pihak musuh yang melayani dengan tangan kosong belaka, keadaan seperti ini membuat dia jadi serba salah, maka permainan pedangpun lantas dirubah, dengan hebat dan gencarnya dia teter musuhnya habis habisan.

Angin pedanng menderu deru membuat kabut tebal yang menyelimuti daerah sekitar beberapa tombak ditempai itu tersapu bersih, begitu dahsyat serangan tersebut seakan- akan angin puyuh yang menyapu guruu pasir...

Hawa pedang menusuk ketulang sumsum, secara beruntun Pek In Hoei meloloskan diri dari lima buah tusukan pedang lawan, sementara badannya sudah mundur dua tombak lebih dari tempat semula.

Diam diam ia terperanjat jaga menyaksikan kehebatan lawan, pikirnya dalam hati :

“Sungguh tak kusangka ilmu pedang yang dimiliki It Boen Liong demikian hebat dan luasnya, bukan saja ganas bahkan telengas, tidak malu ia disebut sebagai manusia yang berbakat bagus...

Sembari berpikir mendadak badannya meloncat empat tombak kedepan, pedangnya menjungkat keatas, serentetan cahaya pedang seketika menyebar keempat penjuru.

It Boen Liong tarik napas dalam dalam, ia berdiri dengan sepasang kaki dibentangkan lebar, badan bagian atas membungkuk kebelakang, senjata pedang menebus ketengah udara mengirim tiga babatan maut.

Baru saja ketiga jalur hawa pedang itu menumpuk jadi satu. It Boen Liong rasakan serentetan hawa serangan yang tajam seakan akan hendak menembusi tubuhnya, menubruk tiada hentinya diatas hawa pedang tersebut.

Dengan suara berat dia membentak keras, pedangnya menjungkil keatas, sambil membuka satu lowongan ditubuhnya ia terjang kedepan.

Dua bilah pedang bergesek menimbulkan suara bentrokan yang tajam, nyaring dan memekikkan telinga, seketika itu juga seluruh pedang yang ada ditangan It Boen Liong melengkung bagaikan busur.

Dengan penuh kesakitan dia merintih. pergelangannya gemetar keras dan sekati lagi ia menjungkit setengah coen keatas.

Traaang pedangnya sebatas gagang pedang tahu tahu patah jadi dua bagian.

Dengan lenyapnya tenaga tekanan tersebat maka tak bisa ditahan lagi badannya terjengkang kebelakang, hampir hampir saja ia roboh keatas tanah.

Pek In Hoei segera menggerakkan pedangnya membabat lewat dari depan dadanya, mengikuti gerakan pedang tersebut badannya meloncat dua tombak kesamping.

Bersama dengan berkelebatnya pedang, It Boen Liorg rasakan dadanya panas dan sakit, bajunya segera robek dan tampaklah kulit tubuhnya yang kekar.

Sebuah jalur luka pedang yang memanjang terbentang didepan mata, darah segar mengucur keluar tiada hentinya membasahi seluruh pakaian

“ilmu pedang apakah yang barusan kau gunakan? “ tegurnya sambil menggigit bibir menahan gusar.

“Jie Loen Jut Sian atau Sang Surya baru muncul jurus kedua dan ilmu pedang penghancur sang surya “ jawab Pek In Hoei serius sambil perlahan lahan memasukkan pedangnya kedalam sarung.

“Ilmu pedang penghancur sang surys? “ gumam It Boen Liong tercengang. “Terima kasih atas kebaikanmu yang tidak membinasakan dinku.”

“Antara kau dengan diriku sama sekali tidak terikat oleh dendam maupun sakit hati, kenapa aku harus membinasakan dirimu? “

Ia merandek sejenak untuk tukar napas lalu sambungnya

:

“Kau adalah satu satunya jago pedang yang memiliki

ilmu pedang paling lihay di antara jago-jago yang pernah kujumpai”

Ucapan ini segera disambut It Boen Liong dengan senyuman getir yang memilukan.

“Bagi prajurit yang telah kalah perang seperti aku, ada ucapan apa lagi yang bisa di utarakan keluar? “.

Sepasang alisnya berkerut, setelah tarik napas dalam dalam terusnya :

“Satu bulan kemudian aku menantikan kedatanganmu, disini aku ingin sekali lagi mohon petunjuk ilmu pedang penghancur sang surya milikmu.”

“Ehmmm, sampai 9aatnya aku bisa menantikan kehadiramu disini”. It Boen Liong se gera merangkap tangannya menjura, kemudian putar badan dan berjalan kebalik kabut yang sangat tebal.

Pek In Hoei tarik napas panjang panjang, perlahan- lahan dia angkat kepalanya, tampak kabut telah mulai membuyar, tiga lentera merah yang terpancang ditengah angkasa dapat terlibat dengan jelasnya. Dalam hati lantas dia berpikir kembali :

“Sebenarnya ada kejadian apakah yang menimpa perkampungan Tay Bie San Cung pada hari ini! kenapa mereka sebar jebakan jebakan ditempat luar? lagi pula segenap kekuatan perkampungan yang mereka miliki dikumpulkan dalam ruang tengah semua Tidak mungkin kalau mereka berbuat demikian karena mengetahui akan kehadiranku”

Dengan termangu-mangu dia berdiri ditengah kabut yang makin menipis, otaknya memikirkan kejadian kejadian yang telah lampau, ia teringat kembali bagaimana jenasah ayahnya tertinggal disamping tubuh si dewi khiem bertangan sembilan Kim In Eng kemudian dirinya masuk kedalam gua

Kembali pikirnya :

“Saat ini euiah sidewi bertangan sembilan Kim In Eng cianpwee berada dimana? “

Air kabut membasahi wajahnya yang tampan, sambil menyeka kelembaban yang membasahi pipinya dia berpikir lebih jauh:

“Selama dua tahun terakhir aku selalu berada didalam gua, kenapa sekarang ada orang munculkan diri dengan menyaru namaku sehingga akhirnya memperoleh gelar sebagai sijago pedang berdarah dingin, aku tidak percaya kalau dikolong langit masih terdapat orang lain yang bernama Pek ln Hoei pula”

Malam semakin kelam, suasana semakin sunyi teringat akan Sucouwnya yang mati diracuni orang ia terbayang kembali akan kematian ayahnya yang dikerubuti orang banyak, dari situ pelbagai persoalan pun segera menyelimuti benaknya ... “Aaaai... Dunia persilatan benar benar terselubung oleh pelbagai masalah yang aneh, misterius dan mencengangkan hati, sekali aku terjun kedalam kangouw saat itu juga aku akan terjerumus dalam kancah masalah yang memusingkan kepala... “

Dengan hati hampa dia mengbela napas panjang.

Sekonyong-konyong ... sesosok bayangan manusia meluncur datang, dari balik kabut terdengar suara Ouw yang Gong yang serak serak basah berkumandang datang.

“Nenekrya cucu monyet, keparat cilik goblok, belum sampai beberapa hari kau terjunkan diri kedalam dunia persilatan, kenapa terhadap masalab dunia kangouw sudah bosan? Aku siorang tua yang sudah reot dan pikunpun masih lari kesana lari kemari bekerja buat dirimu apa kau tidak malu dengan dirimu sendiri? “

Bersamaan dengan selesainya ucapan tadi Ouw-yang Gong si manusia kukoay yang berambut awut awutan, memakai kulit kambing dan lagak lagunya edan telah berdiri tegak dihadapannya.

“Ulcr asep tua, bagaimana hasilnya? “ Pek In Hoei segera maju menyongsong kedatangannya.

“Huuu... hampir saja aku siuler asep tua tak berbasil lari keluar... “ omelnya sambil tarik napas panjang, ia sulut tembakau dalam huncweenya dengan api, setelah menyedotnya beberapa kali sambungnya lebih jauh :

“Dua setan tua dari Seng-sut-hay entah sejak kapan telah berkumpul semua dalam perkampungan itu, mereka menyelundup masuk kedalam perkampungan dan berlatih semacam ilmu iblis yang maha sakti dibelakang telaga Liok- jiet-ouw. “Waduh... penjagaan yang diatur disekitar ruang Liok jiet-teog pada malam ini benar benar sangat ketat, hampir saja aku tak sanggup meloloskan diri”

“Hei, sebenarnya sudah ketemu belum? “ Dengan cepat Ouw-yang Gong mengangguk.

“Aku masih hutang dua buah syarat darimu, sekalipun harus pertaruhkan selembar jiwa tuaku persoalan yang kau perintahkan pasti akan kulakukan sampai selesai!”

Dari dalam sakunya dia ambil keluar sebuah buntalan kain dan segera diserahkan ketangan Pek In Hoei. ujarnya lebih jauh:

“Didalam buntalan ini terdapat surat dari delapan partai besar yang bekerja sama menulis surat buat sigolok perontok rembulan serta sijari bintang kejura, bagaimana kejadian sebenarnya mengenai pengeroyokan terhadap ayahmu bisa kau baca dengan jelas dalam surat surat itu”

Pek In Hoei terima buntalan tadi dan segera disimpannya baik baik dalam sakunya.

Terdengar Ouw-yang Gong mengomel lebih jauh. “Sejak dua tahun berselang aku kehilangan jejakmu, aku

telah berkelana kesana kemari mencari dirimu. Kemudian aku pikir kau tentu telah berangkat keperkampungan Tay- bie-san-cung, maka aku lantas menyusup kedalam perkampungan ini. Eeeei... siapa tahu baru ini hari kau sampai disini, dan tidak kusangka pula ini hari dalam perkampungan telah terjadi peristiwa besar lain... “

Ia tepuk benak sendiri seraya menambahkan : “Oooouw...! Aku telah melupakan satu urusan. Keparat

cilik, mari kita pergi dari sini”

“Ada apa? Begitu seriuskah persoalanmu itu? “ “Kemungkinan besar malam ini kedua setan tua itu telah menyelesaikan latihannya, dan kemungkinan besar pula pada malam ini ada musuh tangguh yang akan datang mencari satroni dengan mereka, maka lebih baik kita jangan ikut campur diair keruh malam ini... “ 

“Ada musuh luar yang datang mencari satroni dengan mereka tanya Pek In Hoei semakin tercengang.

“Pernahkah kau mendengar kisah tiga buah pulau dewa diluar lautan? Menurut kata orang diatas pulau pulau dewa itu hiduplah tiga orang manusia yang berumur seratus tahun lebih. Nah malam ini salah satu diantara anak muridnya akan mendatangi perkampungan Tay-bie-san cung ini untuk mencari balas.

“Apa sih yang sedang kau maksudkan? Siapa yang kau katakan nanusia beurumur seratus tahun itu? Dan siapa pula muridnya? Aku sama sekali tidak mengerti apa yaeg sedang kau katakan? “ seru Pek ID Hoei dengan alis berkerut.

Melihat sikap sianak muda itu, Ouw-yang Gong menghela napas panjang.

00oodwoo00
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar