Imam Tanpa Bayangan I Jilid 42

 
Jilid 42

"KAU tak memiliki kemampuan untuk berbuat begitu, sebab aku sudah terlalu memahami akan dirimu."

Tiba-tiba di dalam genggamannya telah bertambah dengan sebilah pisau belati yang memancarkan cahaya kilat, sesudah diayun sebentar di tengah udara segera ditusukkan ke atas dada Can Keng Hong dengan kecepatan di luar dugaan.

"Aduuh...!" jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang keluar dari mulut Can Keng Hong, sekujur tubuhnya gemetar keras, dengan pandangan melotot penuh kegusaran dia menatap wajah Cin Siong lo-jin tanpa berkedip sedang sepasang tangannya mencekal gagang pisau itu dengan gemetar.

"Kau..." serunya.

"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... selamat tinggal sahabat lama," ejek Cin Siong lo-jin sambil tertawa seram, "kau pasti akan merasa kesepian selama perjalanan menuju ke alam baka... Nah! Berangkatlah lebih duluan."

Diiringi suara tertawa dingin yang menggidikkan hati, ia meloncat keluar dari tempat itu.

Dengan menahan siksaan serta penderitaan Can Keng Hong merangkak bangun, ia muntah darah segar, matanya melotot, serunya dengan nada sedih :

"Aku tak boleh mati, aku harus menyelamatkan jiwa ke-dua orang itu.. aku tak boleh membiarkan mereka mati di tangan bangsat tua itu." Satu dorongan semangat dan tenaga yang tak berwujud membuat ia berhasil mempertahankan diri, dengan menahan rasa nyeri yang luar biasa ia menggerakkan tubuhnya lari keluar pintu dengan langkah sempoyongan.

"Aku..." jeritnya keras-keras, suara orang itu serak dan gemetar keras membuat siapa pun yang mendengar jadi bergidik hatinya, kemunculan Can Keng Hong yang mendadak dalam keadaan yang mengenaskan itu seketika mengejutkan hati Pek In Hoei serta Lu Kiat, tanpa sadar ke-dua orang jago muda itu sama-sama meloncat bangun.

"Kenapa engkau?" tegur Lu Kiat dengan wajah tertegun. "Kiam-hu itu..." jerit Can Keng Hong dengan suara gemetar.

Baru saja kata-kata itu meluncur keluar, perawakan tubuhnya yang tinggi besar mendadak gemetar keras dan roboh terjengkang ke atas tanah, suara serak yang tak bisa ditangkap artinya terlontar keluar tiada hentinya dari tenggorokan.

Ia memandang sekejap ke arah Jago Pedang Berdarah Dingin dengan pandangan menakutkan, kemudian kepalanya terkulai dan menghembuskan napas yang penghabisan tanpa berhasil mengutarakan pesan apa pun.

"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... " tiba-tiba dari belakang Lu Kiat berkumandang keluar suara tertawa dingin yang menggidikkan hati, pemuda itu terperanjat dan segera putar badan, ketika empat mata saling membentur Lu Kiat segera berseru kaget :

"Oooh... kau?"

"Sungguh keji dan telengas hati kamu berdua," seru Cin Siong lo- jin dengan nada dingin, "apa kesalahan majikan kami terhadap kalian berdua sehingga dia harus dibunuh dalam keadaan yang sangat mengenaskan!"

"Loo-sianseng, kau salah paham!" ujar Jago Pedang Berdarah Dingin.

Air muka Cin Siong lo-jin berubah semakin serius, teriaknya keras-keras : "Salah paham? Apanya yang salah paham? Majikan kami tiada berambisi untuk merebut nama atau kedudukan dengan orang lain, bahkan dia malah punya minat untuk mengikat tali persahabatan dengan kamu berdua, sekali pun andaikata ia berlaku tak hormat kepada kalian toh kesalahannya tidak mesti dihukum mati? Hmm! Andaikata aku tidak menyaksikan kesemuanya ini dengan mata kepala sendiri, siapakah pembunuhnya tidak akan kuketahui, hmmm, bunuh orang bayar nyawa, hutang barang bayar uang, kalian harus memberi pertanggungjawaban kepada kami!"

Pek In Hoei segera gelengkan kepalanya berulang kali. "Kematian dari majikanmu itu benar-benar tiada sangkut pautnya

dengan diriku, kami berani bersumpah atas nama Thian bahwa pembunuhan ini bukan kami yang lakukan. Lo sianseng! Lebih baik cepatlah melakukan penggeledahan, siapa tahu pembunuhnya itu masih berada di sekitar sini!"

Cin Siong lo-jin mendengus dingin.

"Hmm! Tempat ini rahasia letaknya, orang kangouw sama sekali tidak tahu kalau majikan kami bersembunyi di tempat ini apalagi di sekeliling gedung kuno ini dijaga oleh orang-orang kami, tak mungkin kalau ada orang sanggup memasukinya. Hmm! Kamu berdua membantah terus menerus, apakah maksudnya tak mau mengaku?"

"Ngaco belo," bentak Lu Kiat sambil maju ke depan, "kenapa kau memfitnah orang dengan tuduhan yang bukan-bukan? Meskipun detik ini kami belum tahu siapakah yang telah melakukan perbuatan keji ini, tetapi aku dapat menduga apa yang sebetulnya telah terjadi, hmmm!"

"Bagus... bagus... kalau begitu coba katakan siapa yang telah melakukan kesemuanya ini?"

"Hmmm! Lo sianseng, kenapa setelah tahu masih pura-pura bertanya lagi? Mungkin dalam hati kecilmu jauh lebih paham daripada kami, untung kami berdua belum pernah tinggalkan tempat ini barang setindak pun, kalau tidak bukankah tuduhan tersebut akan melekat pada diri kami dan sekali pun mencebur ke dalam sungai Huang-hoo tuduhan itu tak dapat juga dicuci bersih..."

"Ooooh! Jadi kau menuduh akulah yang melakukan pembunuhan ini??" hardik Cin Siong lo-jin.

"Tahu muka tahu wajah, tak tahu hatinya, siapa tahu kalau pembunuh itu memang kau sendiri..." jawab Lu Kiat tak mau mengalah barang sedikit pun jua.

Cin Siong lo-jin tak mengira kalau Lu Kiat memiliki daya pandangan yang begitu tajam dan teliti, kecurigaan tersebut bukan dilontarkan kepada orang lain tapi justru ditimpakan kepadanya lebih dahulu, satu ingatan licik dengan cepat berkelebat dalam benaknya, satu senyuman yang menggidikkan hati terlintas di ujung bibirnya.

"Persoalan ini tak mungkin bisa dibikin jelas dengan sepatah dua patah kata," bentaknya dengan gusar, "lebih baik kita bereskan persoalan ini di ujung senjata, tapi kamu mesti ingat sebelum aku berhasil menemukan siapakah pembunuh yang sebenarnya, kalian berdua tak boleh tinggalkan tempat ini..."

"Sebelum pembunuh itu berhasil ditemukan kami pun tidak ingin tinggalkan tempat ini," sahut Pek In Hoei dengan nada dingin, "Lo sianseng, lebih baik berbuatlah sedikit cerdik dan jangan terlau terpengaruh oleh emosi, andaikata kau tak mampu membuktikan bahwa kami berdualah yang melakukan pembunuhan ini, mungkin pada saat itu engkaulah yang akan mengalami kesulitan!"

"Hmmm! Terserah apa yang hendak kau lakukan, paling banter aku harus mengorbankan selembar jiwaku."

Ia bertepuk tangan tiga kali, tiba-tiba dari empat penjuru bermunculan pria-pria berbaju hitam, ketika orang itu menyaksikan Can Keng Hong tergeletak di tengah genangan darah, suasana jadi gempar dan mereka semua dengan pandangan mata penuh kegusaran melotot ke arah Lu Kiat serta Pek In Hoei.

"Majikan kita dibunuh orang secara keji!" teriak Cin Siong lo-jin dengan cepat sesudah orang-orang itu berkumpul semua, "dan sang pembunuh kini berada di sini... aaai! Perbuatan kita tak ada bedanya dengan memancing serigala masuk rumah, mencari kesulitan bagi diri kita sendiri... hal ini harus salahkan majikan kita punya mata tak berbiji..."

"Tutup mulut anjingmu..." bentak Pek In Hoei dengan penuh kegusaran, ketika itu dia merasa ada segulung hawa amarah yang tak terbendung menggelora dalam dadanya karena ia dituduh orang secara penasaran, karena mendongkol bercampur gusar alisnya kontan berkerut, dan sepasang mata dengan memancarkan cahaya dingin yang menggidikkan hati menatap wajah Cin Siong lo-jin tanpa berkedip.

"Kalau kau berani bicara sembarangan lagi jangan salahkan kalau aku akan mencabut jiwa anjingmu itu..." serunya dengan nada tegas dan serius.

"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... setelah membunuh orang, kau lantas mau main menang sendiri? Masa aku bicara pun tak boleh..."

Belum habis dia berkata, dari antara rombongan manusia berbaju hitam itu terdengar suara bentakan keras berkumandang di angkasa, seorang pria baju hitam dengan pedang terhunus munculkan diri di tengah kalangan, air mata mengembang dalam kelopak matanya dan orang itu kelihatan sedih sekali.

Sambil ayun pedangnya di tengah udara ia berteriak :

"Apa itu Jago Pedang Berdarah Dingin? Kiranya tidak lebih hanya seorang manusia kurcaci yang pandainya membokong orang secara keji... sikap suhuku terhadap engkau toh tidak jelek, sungguh tak nyana kau begitu tega melakukan pembunuhan secara begini keji..."

"Sahabat, sebelum bertindak lebih baik terangkan saja dahulu duduknya perkara..." seru Lu Kiat sambil gelengkan kepalanya.

"Aku sudah mengerti jelas duduknya perkara, dan membuktikan pula dengan mata kepala sendiri," bentak pria itu dengan gusar, "kau tak usah banyak bicara lagi, Hey Jago Pedang Berdarah Dingin! Ayoh cepat tampil ke depan, aku Lie Toa Gou akan menghisap darah panas yang mengalir keluar dari tubuhmu..."

"Ooooh... jadi kau hendak menantang aku berdua??" seru Pek In Hoei mulai naik darah.

"Tentu saja, aku hendak menuntut balas bagi kematian dari suhuku yang kau bunuh secara keji itu..."

"Kalau begitu cepatlah turun tangan, aku tidak ingin menyusahkan dirimu..."

Lie Toa Gou segera membentangkan pedangnya, cahaya tajam berkilauan di angkasa dan langsung membacok ke arah tubuh Pek In Hoei teriaknya :

"Cabut keluar pedangmu, kalau tidak maka kau akan mati secara konyol..."

Dari kecepatan gerak permainan pedang lawan, Jago Pedang Berdarah Dingin menyadari bahwa ia telah bertemu dengan seorang jago pedang kelas satu dalam dunia persilatan, hatinya tercekat dan dia tak habis mengerti kenapa tempat ini bisa terdapat seorang jago lihay yang demikian luar biasanya.

Hawa pedang sementara itu sudah menyebar di seluruh angkasa, dalam waktu singkat sekeliling tubuhnya telah dibungkus oleh cahaya pedang yang menggidikkan hati itu.

Berada dalam keadaan seperti ini, dia sadar jika dirinya melakukan perlawanan dengan menggunakan tangan kosong maka tiada keuntungan apa pun yang bakal diperoleh, badannya cepat meloncat mundur ke belakang pada saat yang paling kritis sementara tangan kanannya perlahan-lahan meraba di atas gagang pedangnya.

Dengan pandangan tegang Cin Siong lo-jin menatap tangan pemuda itu, asal Jago Pedang Berdarah Dingin mencabut keluar pedangnya atau menggenggam gagang pedang itu maka berarti pula tujuannya telah tercapai, atau paling sedikit musuh tangguhnya ini tak akan bisa merangkak bangun kembali. Tiba-tiba... dari tengah angkasa berkumandang datang suara bentakan nyaring.

"Jangan kau cabut pedang itu!"

Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tercekat hatinya, tanpa terasa ia membatalkan niatnya untuk menggenggam pedang itu, ketika sorot matanya dialihkan ke arah mana berasalnya suara tadi, tampaklah di depan pintu masuk telah berdiri seorang dara berbaju serba merah.

Gadis itu memakai gaun warna merah dan kain baju berwarna merah, yang lebih aneh lagi ternyata kain kerudung muka pun berwarna merah pula, merah darah yang amat menyolok pandangan.

Kecuali biji matanya yang memancarkan cahaya tajam, raut mukanya sama sekali tidak terlihat jelas.

"Siapakah kau??" bentak Cin Siong lo-jin dengan air muka berubah hebat.

"Tak usah kau tanya siapakah aku," sahut dara baju merah itu dengan suara ketus, "mungkin kedatanganku ini tidak terlalu kebetulan sehingga membuat hatimu merasa sangat tidak tenang, padahal semestinya kau harus menyadari akan hal ini sejak permulaan..."

Cin Siong lo-jin mengerutkan dahinya, di atas raut wajahnya yang dingin menyeramkan tiba-tiba terlintas hawa napsu membunuh yang menggidikkan hati, senyuman sinis tersungging di ujung bibirnya membuat kakek tua itu kelihatan sadis sekali.

Sesudah tertawa seram ujarnya :

"Nona, seorang budiman tak ada menghalangi jalan rejeki orang lain, aku harap kau jangan melibatkan diri di dalam kancah kekacauan ini, daripada akhirnya kau sendiri pun akan mendapatkan akibat yang kurang menyenangkan hati..."

"Akibat yang bakal kau peroleh mungkin jauh lebih parah daripada diriku," seru Dara baju merah itu sambil tertawa dingin, "dewasa ini untuk sementara waktu aku tak akan membongkar rahasia asal usulmu, hal ini kulakukan demi untuk memberikan sedikit muka untukmu, aku percaya asal rahasia asal usulmu ketahuan maka keadaanmu tidak akan seenteng dan sesantai sekarang ini."

Terkesiap hati Cin Siong lo-jin sesudah mendengar perkataan itu, dia tak menyangka kalau gadis muda itu demikian lihaynya sehingga asal usul sendiri pun sudah diketahui olehnya.

Dalam hati dia jadi merasa amat kuatir bila asal usulnya disiarkan di tempat luaran, bentaknya dengan gusar :

"Eeeei... apa sih yang sedang kau bicarakan? Jangan mengaco belo..."

"Hmm! Aku rasa dalam hatimu jauh lebih jelas daripada diriku, janganlah memaksa dirimu untuk mengucapkan kata-kata yang lebih tak sedap didengar..."

Sekujur tubuh Cin Siong lo-jin gemetar keras, tiba-tiba serunya : "Toa Gou, apakah kau tidak akan membalas dendam terhadap

sakit hati gurumu?"

Lie Toa Gou mendengus dingin, pedangnya berputar di udara membentuk satu gerakan busur dan berpuluh-puluh lapis ombak pedang, dengan wajah penuh diliputi napsu membunuh dia menerjang maju ke depan, bentaknya :

"Pek In Hoei, ayoh cabut keluar pedangmu!"

Sejak pertama kali terjunkan diri dalam dunia persilatan, Jago Pedang Berdarah Dingin belum pernah bertemu dengan manusia yang tak pakai aturan seperti ini, ketika dilihatnya Lie Toa Gou bersikeras hendak menuntut balas terhadap dirinya tanpa menyelidiki lebih dahulu duduknya perkara hawa amarah segera berkobar di dalam rongga dadanya, dengan suara dingin dia berseru :

"Lebih baik janganlah mencari kematian bagi diri sendiri, sahabat kau mesti tahu satu kali aku Jago Pedang Berdarah Dingin mencabut keluar pedang, sebelum mencium darah senjata itu tak akan ditarik kembali. Di antara kita toh tidak pernah terikat dendam atau pun sakit hati mengapa kau mesti memaksa aku untuk memilih jalan ke situ..." Keteguhan imannya boleh dibilang sudah mencapai taraf yang tinggi, meskipun hawa amarah telah berkobar dalam dadanya tetapi terhadap Lie Toa Gou ia mengalah terus, hal ini bukanlah disebabkan tabiatnya, pada hari ini teristimewa baik dia lakukan kesemuanya itu karena memandang di atas wajah Can Keng Hong yang telah mati, ia tidak tega menyaksikan ahli waris dari suatu partai besar ikut putus sampai di sini sehingga mengakibatkan ilmu silat aliran Lo-kong Pay ikut lenyap dari muka bumi...

Akan tetapi Lie Toa Gou tidaklah berpikir demikian, ketika dilihatnya Cin Siong lo-jin mengerdipkan matanya berulang kali, dia tahu bahwa dirinya disuruh turun tangan secepatnya maka tanpa mempedulikan sikap lawan yang selalu mengalah, dia angkat kepala dan tertawa terbahak-bahak.

"Haaaah... haaaah... haaaah... kau tidak berani melayani tantanganku?? Haaaah... haaaah... haaaah... rupanya Jago Pedang Berdarah Dingin yang didengung-dengungkan dalam dunia persilatan sebagai seorang jago yang amat lihay tidak lebih hanya seorang gentong nasi yang sama sekali tak berguna. Jago Pedang Berdarah Dingin tidak lebih hanya seorang pembual yang pandai bicara besar... Haaaah... haaaah... haaaah... aku tidak habis mengerti apa sebabnya di kolong langit bisa terdapat manusia semacam engkau ini... Haaaah... haaaah... haaaah... sampai-sampai aku Lie Toa Gou pun tak berani dilayani... Haaaah... haaaah... haaaah... kau jangan lupa kalau aku cuma seorang prajurit tanpa nama dalam dunia kangouw, dengan kekuatan seorang prajurit tak bernama ternyata kau si Jago Pedang Berdarah Dingin sudah sanggup dibereskan."

Jelas dari pembicaraan itu bahwa ia sedang memaksa Jago Pedang Berdarah Dingin untuk turun tangan dan memaksa dia untuk mencabut keluar pedang mestika penghancur sang surya-nya, apakah ia betul-betul tidak takut mati?? Agaknya ia mempunyai maksud- maksud tertentu... Sekalipun Jago Pedang Berdarah Dingin memiliki iman yang tebal, lama kelamaan tak dapat menahan diri juga, dia merasa dirinya sudah cukup mengalah terhadap lawan, air mukanya seketika berubah hebat, hawa napsu membunuh mulai menyelimuti seluruh wajahnya.

Perlahan-lahan dia angkat tangan dan siap memegang gagang pedangnya, dengan nada sinis jengeknya.

"Kau si keledai malas yang bergulingan di atas kotoran manusia, aku tak akan berlaku sungkan-sungkan lagi terhadap dirimu..."

Sambil memutar pedangnya Lie Toa Gou tertawa terbahak- bahak.

"Haaaah... haaaah... haaaah... nah begitu baru mirip seorang pendekar besar, ayo cabut keluar pedangmu!"

Mendadak dara baju merah itu maju ke hadapan Pek In Hoei, serunya :

"Jangan sembarangan bergerak, gunakan saja pedangku ini bila kau hendak bertarung."

Sambil berkata ia cabut keluar pedang sendiri yang tersoren di punggung, cahaya putih yang berkilauan tajam segera tersebar di empat penjuru membuat pria baju hitam yang memenuhi ruangan itu diam-diam memuji akan kebagusan senjata tersebut.

"Nona... !" seru Jago Pedang Berdarah Dingin setelah termangu- mangu beberapa saat lamanya.

Dara baju merah itu tertawa ringan.

"Kau tak usah bertanya lebih jauh, pokoknya tindakanku ini demi kebaikan dirimu..."

Jago Pedang Berdarah Dingin tidak menyangka kalau senjata yang disodorkan gadis itu kepadanya adalah sebilah pedang mestika, diam-diam ia memperhatikan gadis itu dengan seksama.

Sesudah termenung sebentar akhirnya pemuda itu menggeleng sambil katanya :

"Aku sendiri pun membawa pedang, terima kasih atas maksud baik dari nona..." "Hmmm! Ketahuilah asal tanganmu menyentuh pedang mestika penghancur sang surya itu, maka kau akan mati konyol seketika itu juga..."

Lu Kiat serta Pek In Hoei amat terkejut setelah mendengar ucapan itu, mereka tak tahu apa sebabnya dara baju merah itu mengucapkan kata-kata seperti itu kepada mereka.

Jantung terasa berdebar keras, tahulah mereka berdua bahwa Kiam hu yang digantungkan pada gagang pedang penghancur sang surya mempunyai sesuatu yang aneh, kalau tidak tak nanti gadis itu berkata dengan begitu serius.

"Apa kau bilang??" tanya Pek In Hoei lagi.

"Aku sedang berkata pedangmu itu mengandung racun yang sangat keji..." jawab dara baju merah dengan nada dingin.

Air muka Cin Siong lo-jin berubah sangat hebat, hawa napsu membunuh menyelimuti seluruh wajahnya, sepasang alis berkeras dan hidungnya memperdengarkan dengusan dingin, dengan satu senyuman licik yang mengerikan menghiasi ujung bibirnya.

"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... nona cilik," ancamnya, "kalau kau berani mengaco belo lebih jauh, jangan salahkan kalau aku tidak akan berlaku sungkan-sungkan lagi terhadap dirimu."

Dara baju merah tertawa dingin.

"Berani kau mengatakan kalau di atas Kiam hu itu tidak kau lakukan suatu perbuatan?"

"Lakukan perbuatan apa?? Ini hari kau harus menerangkan sejelas-jelasnya," seru Cin Siong lo-jin dingin.

Dara baju merah itu mendengus dingin.

"Hmmm! Bukankah kau telah polesi Kiam hu itu dengan racun keji dari wilayah Biauw yang tersohor sebagai racun..."

"Budak lonte, rupanya kau telah bosan hidup..."

Mimpi pun Cin Siong lo-jin tidak pernah menyangka kalau dara baju merah yang misterius itu bisa mengemukakan rahasia perbuatannya, dia tahu pada saat ini andaikata Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei mengetahui akan asal usulnya, maka selembar jiwa tuanya pasti akan melayang.

Karena itu dia segera membentak keras, tubuhnya laksana kilat menubruk ke arah dara baju merah sambil mengirim satu pukulan dahsyat ke arahnya.

"Kau jangan terlalu mendesak diriku," teriak dara baju merah sambil berkelit ke samping, "kalau tidak aku akan meneriakkan nama aslimu secara terbuka!"

"Kalau kau berani bicara sembarangan, aku segera akan membereskan selembar jiwamu," bentak Cin Siong lo-jin dengan gusar, telapaknya diayun ke muka mengirim dua pukulan berantai.

Tenaga dalamnya sangat sempurna, dalam waktu singkat meluncurlah segulung tenaga pukulan tak berwujud yang maha dahsyat ke arah depan.

Seolah-olah gadis baju merah itu merasa takut akan sesuatu, selama dirinya diserang ia selalu menghindar ke sana kemari dengan mengandalkan kelincahan tubuhnya, tak sekali pun serangan balasan dilancarkan, namun begitu keringat dingin segera meluncur keluar dan napasnya mulai terengah-engah seperti kerbau.

Selama pertarungan, Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei hanya menonton jalannya pertempuran dari samping, tiba-tiba tercekat hatinya ketika ia merasa bahwa jurus serangan yang digunakan Cin Siong lo-jin seolah-olah mirip sekali dengan musuh besar yang sedang ia cari, ia tertawa dingin dan bentaknya dengan suara dalam :

"Tahan!"

"Kau mau   apa?"   bentak   Cin   Siong lo-jin gusar sambil menghentikan gerakan tubuhnya.

"Hmm! Apa hubunganmu dengan Hoa Pek Tuo?"

Ketika dilihatnya jurus serangan yang dipergunakan orang ini ternyata sealiran dengan kepandaian Hoa Pek Tuo, pembunuh ayahnya, timbullah kecurigaan dalam hatinya bahwa kakek tua ini punya hubungan perguruan dengan manusia she Hoa.

Cin Siong lo-jin terperanjat mendengar ucapan itu, ia tak mengira kalau Jago Pedang Berdarah Dingin demikian lihaynya sehingga dalam sekilas pandangan ia sudah mengetahui akan asal usulnya, satu ingatan dengan cepat berkelebat dalam benaknya.

"Aku tak boleh mengakui siapakah diriku!"

Berpikir demikian ia lantas berlagak pilon dan pura-pura bertanya

:

"Siapa sih Hoa Pek Tuo itu?"

"Hmm! Apa hubunganmu dengan Hoa Pek Tuo?" Jago Pedang

Berdarah Dingin menghardik.

Cin Siong lo-jin tertawa dingin.

"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... perkataanmu itu sungguh menggelikan sekali, siapa Hoa Pek Tuo, dari mana aku bisa tahu? Kenal pun tidak! Hey! Kau jangan menebak secara ngawur."

"Haaaah... haaaah... haaaah... benarkah kau tidak kenal siapakah Hoa Pek Tuo itu?" ejek dara baju merah dari sisi kalangan dengan sepasang mata melotot.

Cin Siong lo-jin jadi amat mendongkol wajahnya berubah dan hawa amarah menggelora dalam dadanya, ia tak mengerti apa sebabnya dara baju merah itu mendatangkan kesulitan terus menerus bagi dirinya.

Sambil membentak penuh kemarahan dia meloncat maju ke depan, sambil menuding gadis itu hardiknya :

"Ada permusuhan apa antara engkau dengan diriku? Kenapa kau selalu menjegal kaki belakangku?"

Mendadak dara baju merah itu tersenyum.

"Kalau kau cerdik dan pandai melihat gelagat, sepantasnya kalau dari sekarang sudah enyah dari sini, daripada nantinya mau lari pun sudah tak sempat lagi." Sedari tadi Cin Siong lo-jin memang sudah gelisah dan ingin sekali cepat-cepat ngeloyor pergi dari situ, apa lacur tiada kesempatan yang dimilikinya, setelah dara baju merah itu mengungkap kembali, ia lantas tertawa seram dan berseru :

"Baik, aku bersumpah pasti akan membalas sakit hati ini."

Dia ulapkan tangannya ke arah Lie Toa Gou dan melanjutkan : "Ayoh pergi! Saudara cilik, untuk membalas sakit hatimu itu

terpaksa kita harus menanti kesempatan baik di lain waktu."

Lie Toa Gou pura-pura menunjukkan sikap gusar dan tidak puas, kemudian memasukkan kembali ke dalam sarung dan melotot sekejap ke arah Jago Pedang Berdarah Dingin dengan penuh kebencian, tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia mengikuti di belakang Cin Siong lo-jin untuk berlalu dari situ.

Dara baju merah itu segera mengerling sekejap ke arah Pek In Hoei, bisiknya :

"Jangan lepaskan orang itu."

Rupanya Lu Kiat sendiri pun sudah menyadari bahwa di balik peristiwa tersebut masih terselip banyak hal yang sukar dipecahkan dalam waktu singkat, tidak menanti Jago Pedang Berdarah Dingin buka suara, tubuhnya dengan cepat bergerak ke depan sambil menyambar tangan Lie Toa Gou, bentaknya nyaring :

"Sahabat, kau harap tunggu sebentar!"

"Kau masih ada urusan apa lagi terhadap diriku?" tegur Lie Toa Gou sambil berpaling.

Sambil menuding jenazah Can Keng Hong yang tergeletak di atas tanah, Lu Kiat berkata :

"Setelah gurumu meninggal, masih terdapat banyak urusan yang masih harus diselesaikan, jika kau pergi dengan begitu saja tanpa mengurusi layonnya, bukankah tindakanmu ini terlalu keji dan di luar peri kemanusiaan." "Hmm! Aku serahkan tempat ini kepada kalian, kamu semua ingin menyelesaikan jenazahnya dengan cara apa pun aku tak mau ikut campur, kenapa kalian mesti bertanya lagi kepadaku?"

Lu Kiat tertawa hambar. "Hmmm! Benarkah dia gurumu?"

lt tertegun, ia tak mengira kalau Lu Kiat bisa mengajukan pertanyaan semacam itu, diam-diam dia terkesiap dan bergidik tetapi di luaran ia masih tetap bersikap tenang.

"Sebetulnya apa maksudmu mengucapkan kata-kata seperti itu?" tegurnya dengan hati mendongkol.

Lu Kiat tertawa keras.

"Menurut pendapatku, antara engkau dengan korban yang menemui ajalnya secara mengenaskan ini sama sekali tiada hubungan yang terlalu besar, kau hanya berpura-pura main sandiwara dengan mencatut nama muridnya belaka agar bisa memaksa kami untuk turun tangan."

"Hmm! Rupanya kau memang sengaja ada maksud mencari gara- gara dengan kami!" bentak Lie Toa Gou semakin gusar, "meskipun di dalam dunia persilatan aku tidak punya nama, tetapi aku bukanlah seorang manusia yang takut menghadapi kematian, kalau memang kau sudah bosan hidup, baiklah! Aku si prajurit tak bernama akan menantang dirimu untuk berduel."

Dara baju merah itu tiba-tiba tertawa ringan.

"Waah...! Kalau begitu kau hebat juga, aku rasa jika namamu disebut orang maka tak sedikit manusia di dalam dunia persilatan yang mengenal dirimu."

"Hmm! Kau tak usah mengaco belo, meskipun aku pandai ilmu silat tetapi belum pernah berkelana dalam dunia persilatan, di mana orang kangouw bisa kenal diriku? Nona! Kerepotan dan kesulitan yang kau bawa untuk kami hari ini sudah terlalu banyak, aku tidak ingin kau tetap berdiam di sini untuk bikin kekacauan lebih jauh." "Hmmm! Sekarang kau mesti sedikit tahu keadaan," dengus dara baju merah itu, "tulang punggungmu itu sudah kabur tak nampak ujung hidungnya lagi, jika kau berani berlagak lagi... hmmm! Itu berarti kau sudah bosan hidup dan ingin cari kematian bagi diri sendiri."

Lie Toa Gou terkesiap, tanpa terasa ia berpaling dan memandang sekejap ke sekeliling tempat itu, tampak oleh Cin Siong lo-jin dengan membawa serta anak buahnya telah kabur semua dari situ, suasana sunyi dan hening... dalam ruangan besar tinggal dia seorang diri belaka, hal ini membuat air mukanya berubah hebat, rasa bergidik muncul dalam hati dan bayangan kematian terlintas dalam benak.

"Cin Siong... Cin Siong..." teriaknya dengan penuh ketakutan. "Hmmmm! Dia tak nanti akan mengurusi mati hidupmu lagi, kau

hanya suatu alat baginya untuk mewujudkan cita-citanya, sekarang setelah Hoa Pek Tuo menganggap kau tiada nilainya lagi sudah tentu tak akan menggubris dirimu lagi, aku lihat lebih baik kau bunuh diri saja..."

"Hoa Pek Tuo..." seru Jago Pedang Berdarah Dingin dengan hati tercekat, "di manakah Hoa Pek Tuo?"

"Cin Siong lo-jin yang baru kau temui bukan lain adalah penyaruan dari Hoa Pek Tuo..." sahut dara baju merah itu perlahan.

"Kau... mengapa tidak kau katakan sedari tadi..."

Tatkala pemuda itu tahu bahwa musuh besar yang diburunya selama ini baru saja berdiri di hadapannya dan kemudian dilepaskan kembali dengan begitu saja, hawa amarah dan rasa dendam yang bergelora dalam dadanya sukar dikendalikan lagi, dengan wajah merah menahan emosi dia loncat keluar dari ruangan itu.

"Eeeei... kau hendak pergi ke mana?" teriak dara baju merah itu sambil menghadang di hadapannya.

"Aku hendak mengejar dirinya dan bunuh bangsat tua itu!" sahut Jago Pedang Berdarah Dingin dengan penuh kebencian.

Dara baju merah menghela napas sedih, ujarnya : "Kau tak mungkin bisa menyusul dirinya, sekarang entah dia sudah menyembunyikan diri di tempat mana... kau tak usah membenci diriku, aku mengira kau sudah mengetahuinya sejak semula, ketika itu berhubung kedudukanku tak mungkin bagiku untuk mengutarakannya secara terus terang..."

Pek In Hoei menghela napas panjang. "Aaai...! Aku tidak menyalahkan dirimu."

"Tetapi aku telah melepaskan seorang pembunuh besar yang telah membinasakan ayahmu!"

Gadis itu berhenti sebentar, tiba-tiba sorot matanya yang tajam membentur di atas tubuh Lie Toa Gou sambungnya :

"Untung kita masih menahan seorang di sini, bajingan ini adalah manusia yang paling jahat dan memuakkan..."

"Kentut busukmu...!" maki Lie Toa Gou dengan gusar.

"Ayoh tunjukkan wajah aslimu, menyembunyikan terus menerus macam anak dara hanya akan memalukan dirimu sendiri... aku terlalu jelas mengetahui akan asal usulmu, semua gerak-gerikmu serta Hoa Pek Tuo tak pernah lolos dari pandangan mataku..."

"Kau ngaco belo tak karuan dan pintanya cuma bicara seenaknya sendiri," teriak lt sambil melangkah maju, pedangnya diputar di tengah udara, "coba katakan siapakah aku..."

"Hmmm! Ketua dari perguruan Bu-liang-tong, apakah kau memaksa aku untuk menyebutkan namamu lebih dahulu kemudian baru mau unjukkan wajah aslimu..."

"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... " Lie Toa Gou tertawa seram, "kalau memang kau sudah mengetahui segala sesuatunya, aku pun tak usah menyembunyikan diri lagi, sedikit pun tidak salah! Aku adala Go Kiam Lam..." Dia hapus ke atas raut wajahnya dan seketika itu juga muncullah raut wajah aslinya.

Dengan wajah menyeringai seram dia melotot sekejap ke arah Pek In Hoei dengan penuh kebencian, sorot matanya memancarkan napsu membunuh yang tebal sementara tubuhnya perlahan-lahan mengundurkan diri ke belakang.

Jago Pedang Berdarah Dingin berdiri tertegun, rupanya semua peristiwa yang terjadi saat itu telah mencengangkan hatinya, ia tak pernah menduga kalau Go Kiam Lam ketua dari perguruan Boo Liang Tiong yang sudah diusir dari wilayah selatan bisa muncul kembali di situ. Ia tertawa dingin dan segera menegur :

"Go Kiam Lam, kenapa kau menyusup kembali ke daratan Tionggoan..."

"Hmmm! anak murid perguruan Boo Liang Tiong kami telah kau usir pergi semua dari wilayah selatan sehingga membuat kami tak ada tempat untuk berpijak kaki lagi, aku sebagai ketua dari suatu perguruan besar tentu saja harus berusaha mencari akal untuk mencuci bersih penghinaan ini, aku harus rebut kembali wilayah selatan dan membinasakan dirimu, untuk membunuh engkau aku terpaksa harus mencari komplotan untuk bekerja sama..."

"Sayang seribu sayang, harapanmu itu untuk selama-lamanya tak akan terwujud!" jengek Pek In Hoei dengan sorot mata memancarkan cahaya napsu membunuh.

"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... belum tentu begitu," seru Go Kiam Lam sambil tertawa kering, "coba bayangkan saja ketika partai Thiam cong memusnahkan Boo Liang Tiong kami, bukankah akhirnya dendam sakit hati ini berhasil kutuntut balas?? Aku tidak nanti akan takut atau jeri terhadap kau si Jago Pedang Berdarah Dingin..."

"Haaaah... haaaah... haaaah... aku menyesal kenapa tidak membunuh engkau sedari dulu, membiarkan manusia tak punya otak yang selama hidupnya hanya memikirkan soal membalas dendam seperti kau hanya akan mendatangkan badai pembunuhan berdarah dalam dunia persilatan..."

"Tujuan hidup kita berbeda satu sama lainnya, tentu saja cara bekerjanya juga berbeda!" "Hmmm! Dan sayang justru karena cara hidupmu itu maka kau mesti kehilangan jiwa di tanganku, sekarang aku baru tahu betapa jahat dan kejinya dirimu itu, kau lebih jahat dari siapa pun, begitu jahat sehingga menimbulkan ras benci bagi siapa pun yang melihatnya..."

"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... apa kau anggap dirimu jauh lebih baik daripada diriku?? Tak usah mencerca orang melulu..."

Dar baju merah yang selama ini membungkam terus tiba-tiba mendengus dingin serunya :

"Kau telah menjadi ikan dalam jaring, aku harap sedikitlah engkau tahu diri, jangan bicara terus dengan kata-kata yang bukan- bukan..."

"Nona, boleh dibilang hari ini aku serta Hoa lo sianseng telah jatuh kecundang di tanganmu, kalau bukan kau yang menghalangi perbuatan bajingan cilik itu, sekarang Pek In Hoei pasti sudah modar di ujung Kiam hu tersebut, bicara terus terangnya saja aku merasa amat tidak rela karena mesti menderita kekalahan secara tragis, kalau mau kalah seharusnya kalah secara terang-terangan. Dapatkah kau melepaskan kain kerudungmu itu agar aku bisa tahu siapakah yang memiliki kepandaian sehebat itu sehingga terhadap Hoa Pek Tuo pun tidak pandang sebelah mata..."

"Apakah kau bersikeras ingin melihat??"

"Tentu saja harus lihat!" sahut Go Kiam Lam dengan wajah serius, "bagaimana pun toa-ya juga seorang pemimpin dari suatu perguruan besar, aku tak ingin menderita kalah di tangan seseorang yang sama sekali tak kuketahui tampangnya, bila berita ini sampai tersiar di luaran, bukankah kawan-kawan dunia persilatan akan mentertawakan ketololan serta ketidakbecusanku..."

Dara baju merah itu berpikir sebentar, kemudian katanya : "Boleh saja aku perlihatkan wajahku kepadamu, tetapi aku pun

mempunyai sebuah syarat." "Berada dalam keadaan begini, rasanya sekali pun tak kukabulkan juga tak mungkin..." jengek Go Kiam Lam dingin.

Dalam pada itu posisinya boleh dibilang sama sekali terjepit, empat penjuru dikepung oleh musuh tangguh, ia menyadari bahwa harapannya untuk melarikan diri kecil sekali, oleh karena itu sikapnya jauh lebih tenang, ia bersiap sedia untuk melangsungkan pertempuran sengit melawan musuh-musuhnya.

"Ketahuilah, begitu raut wajahku terlihat olehmu maka aku akan segera membinasakan dirimu," ujar dara baju merah itu dengan suara dingin.

"Apa?" seru Go Kiam Lam dengan badan gemetar keras, "kau hendak membinasakan diriku?"

"Sedikit pun tidak salah!" dara baju merah itu mengangguk dengan sikap tegas, "oleh sebab aku menutup raut wajahku, tujuannya bukan lain adalah aku tak ingin berjumpa dengan Hoa Pek Tuo dalam raut wajah asliku, aku takut hal itu akan menyebabkan ketidak- senangan hati bagi ke-dua belah pihak. Bagaimana kau suka menerima syaratku itu atau tidak?? Atau mungkin kau batalkan niatmu itu?"

"Hmm! Tidak sulit untuk membinasakan diriku tetapi aku harus mengetahui lebih dulu sampai di manakah kemampuan yang kau miliki."

"Huuh! Aku berani memperlihatkan raut wajah asliku kepadamu berarti aku mempunyai cara pula untuk membinasakan dirimu. Go Tiongcu, kalau kau menyesal sekarang masih belum terlambat, daripada nanti setelah jiwamu terancam kau lantas merengek-rengek minta ampun."

"Kentut busuk makmu," bentak Go Kiam Lam sambil memutar pedangnya, "toayamu bukan manusia tak berdaya yang begitu tak becus, kalau betul-betul begitu aku tak nanti bisa mencari makan dalam dunia persilatan, aku tentu sudah mati karena bunuh diri."

Dara baju merah tertawa dingin. "Baiklah kalau begitu, sejak saat ini di dalam dunia persilatan sudah tak terdapat manusia macam dirimu lagi!"

Perlahan-lahan dia menggerakkan tangannya yang putih bersih dan melepaskan kain kerudung merah yang menutupi raut wajahnya. Sinar mata semua orang segera dialihkan ke arah gadis itu dan mereka berseru tertahan, kiranya dara baju merah itu bukan lain

adalah Wie Chin Siang.

"Oooh... kau!" seru Go Kiam Lam tertegun.

"Sepantasnya kalau kau sudah menduga akan diriku sejak tadi, kalau bukan aku dari mana semua rahasia kalian bisa aku ketahui dengan begitu jelas? Rencana kalian di ruang rahasia serta perbuatan kalian memaksa Can Keng Hong untuk mengikuti perintah kalian telah kuketahui semua sejelas-jelasnya."

"Oooh...! Jadi kau telah mengkhianati kami," teriak Go Kiam Lam dengan suara gemetar.

Wie Chin Siang mendengus dingin.

"Hmm! Persoalan bukan mengkhianati atau tidak, yang benar adalah cara hidup kalian yang konyol dan tidak tepat pada garis-garis yang sebetulnya, aku sudah lama sekali mengikuti di belakang kalian, dan setiap kali kau telah meninggalkan jejak."

"Seandainya aku tidak memandang di atas wajah Hoa Lo- sianseng, mungkin sejak dulu-dulu kau sudah menemui ajalmu di tanganku," seru Go Kiam Lam dengan penuh kebencian, "aku benar- benar menyesal mengapa membiarkan kau hidup hingga kini, kalau tidak sekarang tak seorang manusia pun yang mampu melarikan diri dari cengkeramanku."

Wie Chin Siang tertawa dingin.

"Sayang sekali rencana besarmu mengalami kegagalan total dan terbongkar sebelum berhasil dilaksanakan, inilah yang dinamakan mau celakai orang akhirnya diri sendiri yang kena dicelakai, mungkin itulah ganjaran yang mesti kau terima akibat perbuatan-perbuatanmu di masa lampau, rupanya kau memang sudah ditakdirkan untuk mati di dalam ruangan ini."

"Kita akan mati bersama, jika kau inginkan cuma aku orang she Go yang mati... hmm... hmmm tidak akan begitu gampang, paling sedikit aku harus mencari seorang teman untuk melakukan perjalanan bersama-sama."

Dengan wajah menyeringai seram jagp dari perguruan Boo Liang Tiong itu segera ayun pedangnya membentuk satu lingkaran busur di tengah udara, ia telah bertekad untuk melakukan pertarungan mati- matian dengan nyawa sendiri sebagai taruhan.

"Oooh...! Rupanya kau masih tidak terima... baiklah, terpaksa aku harus turun tangan sendiri," ujar Wie Chin Siang dengan suara ketus. Gerakan tubuhnya cepat sekali, dengan satu loncatan yang ringan gadis itu melayang ke tengah udara, pedangnya bergelombang memantulkan berlapis-lapis ombak pedang yang mana seketika memaksa Go Kiam Lam tergetar mundur beberapa langkah ke

belakang.

Ketua dari perguruan Boo Liang Tiong jadi terperanjat, ia tak menduga kalau ilmu silat yang dimiliki gadis itu telah mendapat kemajuan pesat, sejak berpisah di bukit Thiam cong bukan saja ilmu pedangnya bertambah hebat bahkan tenaga dalam pun peroleh kemajuan pesat.

Ia tertawa keras, pedangnya digetarkan kencang-kencang dan langsung melancarkan sebuah bacokan ke arah depan.

Bagian 40

AIR muka Wie Chin Siang berubah jadi dingin dan ketus bagaikan salju abadi di kutub utara, ia mendengus dingin, tiba-tiba pedangnya menggetar keras dan ibaratnya seekor ular tiba-tiba menerobos ke atas dari arah bawah.

"Aaaah...!" dengan perasaan bergidik bercampur kaget Go Kiam Lam berteriak keras, tubuhnya bagaikan kilat meluncur ke depan lalu memandang ke arah gadis muda itu dengan pandangan tercengang, serunya menahan goncangan hati yang hebat :

"Dari mana kau pelajari jurus serangan tersebut?"

"Hmmm! Jadi kau pun kenal dengan jurus seranganku ini? Orang yang mewariskan jurus serangan tersebut kepadaku pernah berpesan kepadaku agar membinasakan engkau, aku harap setelah kau melihat jurus seranganku ini segeralah menggorok leher untuk membunuh diri."

"Jadi setan tua itu belum modar?" teriak Go Kiam Lam dengan tubuh gemetar keras.

"Huuh...! Sebelum kau berhasil ditundukkan dan dimusnahkan dari muka bumi tak nanti dia akan pergi lebih dahulu, Go Kiam Lam hari ini kau tak usah putar otak berusaha mencari akal busuk lagi, aku tak nanti akan melepaskan dirimu lagi."

Dalam keadaan seperti ini Go Kiam Lam tak mampu mengucapkan sepatah kata pun, hanya sepasang matanya yang ganas dan bengis menatap wajah Wie Chin Siang tanpa berkedip, seakan- akan hendak menerkam dara baju merah itu dan menelannya bulat- bulat.

Mendadak ia menjerit keras, sambil ayunkan pedangnya ia menerjang ke muka bagaikan banteng terluka.

Wie Chin Siang segera mengundurkan diri ke belakang, pedangnya berputar dan langsung menyapu ke atas, permainan jurus yang sama sekali berbeda dari aliran ilmu pedang pada umumnya ini jarang sekali ditemukan di daratan Tionggoan, hal itu membuat Go Kiam Lam tertegun dan air mukanya berubah hebat, untuk sesaat wajahnya diliputi rasa takut bercampur kaget.

"Aduuuh...!"

Mendadak badannya roboh terjengkang ke arah belakang, dari tenggorokannya memperdengarkan suara jeritan ngeri yang menyayatkan hati, darah kental menyembur keluar dari mulut luka yang merekah besar, cukilan pedang tadi rupanya dengan telak bersarang di atas tenggorokannya hingga tembus dan berlubang besar. Tubuhnya berkelejotan sebentar,  kemudian tak berkutik lagi.

Ketua dari perguruan Boo Liang Tiong itu menghembuskan napasnya yang terakhir dalam keadaan mengenaskan sekali.

Melihat musuhnya telah mati, perlahan-lahan Wie Chin Siang tarik kembali pedangnya, air muka dara itu sama sekali tidak menunjukkan perubahan apa pun, dengan pandangan dingin dia melirik sekejap ke arah mayat Go Kiam Lam, kemudian bisiknya sambil menghela napas panjang :

"Aaaai...! Sekali pun mati, ia juga tak ada nilainya..."

"Chin Siang!" seru Jago Pedang Berdarah Dingin dengan perasaan bergolak, dalam benaknya tanpa terasa terlintas bayangan dari gadis ini di saat menyatakan rasa cintanya, ia menatap wajah lawan lalu berbisik lirih :

"Dari mana kau bisa tahu kalau aku berada di sini??"

Air mata mengembang dalam kelopak mata Wie Chin Siang, rasa sedih yang telah tertumpuk-tumpuk dalam dadanya hampir saja tertumpah keluar, buru-buru ia melengos dari pandangan lawan yang berapi-api dan menjawab :

"Kau jangn bergerak lebih dahulu, mari kita lepaskan dulu Kiam- hu yang tergantung di gagang pedang tersebut."

Tiba-tiba ia menggetarkan pedangnya dan menyambar ke arah tali serat emas yang mengikat Kiam-hu tersebut dengan gagang pedang, setelah diputar sebentar di udara benda tadi langsung dilemparkan keluar.

Blaaaam...! Terjadi ledakan dahsyat yang menggetarkan seluruh ruangan dan permukaan bumi dari atas ledakan itu mengepullah segumpal asap hitam yang amat tebal.

Sambil geleng kepala gadis itu berseru :

"Peluru sakti penghancur badan dari wilayah Biauw adalah suatu benda pemusnah yang luar biasa dahsyatnya, benda itu asal membentur tenaga apa pun seketika akan meledak dan mencabik korbannya jadi berkeping-keping, sebetulnya Hoa Pek Tuo hendak menggunakan benda ini untuk membinasakan dirimu, tak nyana rahasianya ketahuan olehku."

Pek In Hoei serta Lu Kiat menyaksikan segera merasa terkesiap, tanpa sadar mereka berseru berbareng :

"Oooh...! Sungguh berbahaya..."

Karena kagetnya mereka tak bisa mengucapkan sepatah kata pun, sementara keringat dingin tanpa terasa mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya. Andaikata Wie Chin Siang tidak muncul tepat pada saatnya, asal Jago Pedang Berdarah Dingin menyentuh gagang pedangnya maka seketika itu juga dia akan dicabik hingga hancur berkeping-keping oleh ledakan tersebut.

Dari cara berpikir serta rencana keji yang bisa disusun oleh Hoa Pek Tuo dengan rapi dan sempurna ini bisa dilihat betapa berbahayanya manusia tersebut.

"Waaah...! Sungguh lihat!" seru Lu Kiat sambil menjulurkan lidahnya.

Wie Chin Siang tertawa rawan.

"Untuk menciptakan Kiam hu yang bersisi peluru sakti penghancur badan itu, Hoa Pek Tuo telah mengorbankan banyak tenaga dan pikiran..."

"Ooooh...! Kalau begitu otak rase tua itu memang encer dan luar biasa sekali!" ujar Lu Kiat.

Sedang Pek In Hoei dengan gemas dan penuh perasaan dendam berseru :

"Aku bersumpah akan membeset kulit tubuh dari rase tua itu... dia harus diberi ganjaran yang setimpal..."

"Suatu ketika apa yang kau inginkan pasti akan terwujud," sahut Wie Chin Siang sambil tertawa getir, "sekarang kita harus segera berangkat!"

Jago Pedang Berdarah Dingin tertegun dan berdiri melongo. "Kita mau pergi ke mana??" tanyanya.

"Lhoo...! Bukankah kau hendak mencari Hoa Pek Tuo untuk dibeset kulit rasenya??"

"Adik In Hoei, aku juga mau ikut!" teriak Lu Kiat dengan cepat. Pek In Hoei segera menggeleng.

"Toako, kau sudah terlalu lama menemani siau-te berkelana dan menempuh bahaya, sekarang kau harus pulang ke rumah lebih dahulu untuk menengok bibi dan empek, maksud baikmu biarlah kuterima di dalam hati saja, jika ada kesempatan di kemudian hari aku tentu akan datang menengok dirimu..."

Dengan sedih dia menggeleng, terhadap toakonya yang rela menempuh bahaya bersama dirinya ini ia merasa terharu sekali, sambil bergenggaman tangan ke-dua belah pihak tak dapat mengucapkan sepatah kata pun, perpisahan membawa kesedihan dan kemurungan bagi ke-dua belah pihak.

********

Malam telah menjelang tiba, udara gelap gulita tak nampak sedikit cahaya pun, awan menyelimuti seluruh angkasa dan angin berhembus amat kencang menggoncangkan pohon dan tumbuhan di atas bukit, deruan suara yang santer mendatangkan keseraman dan kengerian di malam hari itu.

Di tengah kegelapan itulah dari balik semak berkumandang datang suara bisikan yang lirih :

"Tujuanku yang terutama datang mencari engkau adalah untuk berpamit dengan dirimu!"

Suara itu lembut, merdu dan jelas suara seorang gadis remaja. "Chin Siang kenapa??? Kenapa kau hendak berpisah dariku??"

jawab suara lain.

Suara ke-dua adalah suara seorang pria yang memancarkan rasa gelisah yang amat sangat, seakan-akan dia dibikin terkejut oleh kejadian yang munculnya secara tiba-tiba itu. "Aaaai...!" gadis muda itu menghela napas sedih, rasa pedih dan sedih berkecamuk dalam hati kecilnya, dari helaan napas tersebut kecuali memperlihatkan kekosongan hatinya, yang tersisa hanya kebencian belaka, ia benci terhadap nasibnya yang buruk, ia benci dirinya telah berkenalan dengan seorang pria yang begitu menawan hati membuat dia merasa berat untuk meninggalkannya.

Kemurungan dan kesedihan hanya dia yang dapat merasakan, tiada orang lain dapat mewakili dirinya untuk merasakan penderitaan tersebut, dialah yang harus merasakan sendiri buah pahit yang ditinggalkan oleh bibit cinta.

"In Hoei!" ujarnya setelah menghela napas sedih, "aku mengakui bahwa aku cinta padamu, tetapi aku pun menyadari bahwa tiada kemungkinan bagiku untuk mendapatkan engkau, sebab gadis cantik yang mencintai dirimu terlalu banyak, aku tidak lebih hanya sebutir pasir yang berada di sekelilingmu, aku tak mungkin bisa mendapatkan kau seorang diri, oleh karena itu terpaksa aku harus tinggalkan dirimu jauh-jauh, makin jauh menyembunyikan diri semakin baik, semakin terpencil tempat itu semakin baik pula bagiku."

"Kenapa??" seru Pek In Hoei dengan jantung berdebar keras sambil menahan sakit hati yang menyelimuti dadanya, "apakah malam ini kau ajak diriku keluar hanya disebabkan karena kau hendak memberitahukan kesemuanya itu kepadaku..."

"Tidak!" jawab Wie Chin Siang sambil menggeleng, "aku hanya meminjam kesempatan pada hari ini untuk menyampaikan kata-kata tersebut kepadamu... In Hoei! Kau jangan coba membantah, bukankah dalam hatimu tidak cuma ada diriku?? Kong Yo Siok Peng serta It- boen Pit Giok bukankah jauh lebih penting kedudukannya dalam hatimu? Aku tahu meskipun beruntung sekali aku bisa menempati pula satu bagian tempat tetapi hatimu cukup satu, tak mungkin bagimu untuk membagikan hatimu yang cuma satu itu untuk kami bertiga, aku sudah menyadari sedalam-dalamnya, jika aku tidak tahu diri dan segera menarik diri penderitaan yang bakal kuterima di kemudian hari jauh lebih besar lagi, mungkin pada saat itu keadaan akan berubah jadi suatu drama yang tragis."

"Aku sama sekali tak pernah memikirkan persoalan-persoalan itu," ujar Pek In Hoei dengan sedih.

"Tentu saja kau tak pernah memikirkan soal itu sebab dewasa ini pekerjaan yang akan kau lakukan hanyalah membalas dendam," sahut Wie Chin Siang dengan wajah serius, "tetapi kau harus tahu keadaan dari kami kaum gadis jauh berbeda sekali, kami tak bisa mesti memperhitungkan masa depan kami sendiri, sebab hal itu sangat mempengaruhi kehidupan kami selanjutnya hingga masa tua. Aku telah memikirkan persoalan ini selama beberapa hari, aku selalu merasa bahwa cara yang berlarut-larut seperti ini bukan suatu cara yang tepat, akhirnya aku telah mengambil keputusan untuk tinggalkan dirimu daripada kau mesti serba salah karena masalah itu."

"Mengapa kau memilih jalan yang ini?" tanya Pek In Hoei dengan wajah tercengang.

Wie Chin Siang tertawa getir.

"Jalan ini bukanlah keputusan yang diambil oleh diriku seorang, aku tahu It-boen Pit Giok pun mempunyai pandangan yang sama dengan diriku, kami menganggap bahwa gadis yang paling kau cintai adalah Kong Yo Siok Peng, karena dia adalah gadis pertama yang kau kenali, lagi pula dia polos, cantik dan sama sekali tiada pikiran lain, ia paling cocok dan serasi untuk mendampingi dirimu, sebab itulah kami ambil keputusan untuk melepaskan engkau secara suka rela."

Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei merasakan hatinya bergetar keras, ia merasa bakal kehilangan ke-tiga orang gadis manis itu, entah apa sebabnya ia selalu merasa jarak antara dirinya dengan ke-tiga orang gadis itu kian lama kian bertambah jauh, mungkin kesombongan dirinya telah menyinggung perasaan halus mereka? Ataukah mereka telah menyadari nasib sendiri yang tak beruntung hingga ambil keputusan tersebut? Pemuda itu sama sekali tak tahu.

Dia menghela napas dengan penuh kesedihan bisiknya : "Kau telah berjumpa dengan It-boen Pit Giok?"

Air mata mengembang dalam kelopak mata Wie Chin Siang, dia mengangguk.

"Pandangannya jauh lebih terbuka daripada diriku, bersama engkohnya ia telah kembali ke luar lautan, ia merasa terlalu paham dengan sikap jumawa dan sombongmu, ia bersiap-siap untuk tidak menemui dirimu lagi sepanjang masa, karena kau telah beberapa kali melukai hatinya sehingga membuat dia amat sedih dan hampir saja bunuh diri."

"Bunuh diri?" bisik Pek In Hoei dengan hati terperanjat, "apakah pikiran semacam itu tidak terlalu picik? Siapakah aku dan manusia macam apakah kau ini, apakah sampai sekarang ia belum dapat menilainya. Aaai... hati kaum wanita selamanya memang berubah terus."

"Huuuh! Apa kau tidak merasa bahwa perasaan hatimu juga tak lembek? Begitu banyak gadis yang penujui dirimu akan tetapi tak seorang pun yang berkenan dalam hatimu!" seru Wie Chin Siang dengan cepat.

"Aaai...! Chin Siang, kau tak usah menyinggung dan menyindir diriku lagi, hatiku tak akan kuberikan kepada siapa pun asal dendam sakit hatiku bisa kutuntut balas, persoalan yang lain sama sekali tidak penting bagi pandanganku."

"Apakah kau tak pernah memikirkan tentang di kemudian hari," seru Wie Chin Siang sesudah tertegun sebentar.

Pek In Hoei menggeleng.

"Persoalan di kemudian hari sukar untuk diduga mulai sekarang, aku tidak berani memikirkannya dan tak ingin memikirkannya."

"Kenapa kita mesti membicarakan persoalan yang cukup merisaukan dan menyedihkan hati?" tiba-tiba Wie Chin Siang berkata sambil menyeka air mata yang membasahi pipinya, "waktu sudah cukup, lebih baik kita segera berangkat." "Sungguhkah engkau mengetahui tempat persembunyian dari Hoa Pek Tuo?" tanya Pek In Hoei dengan hati berdebar.

"Semua gerak-geriknya hanya aku seorang yang mengetahuinya, tetapi hal itu hanya berlaku sampai malam ini saja, orang tersebut pintarnya bukan kepalang, terhadap kematian dari Go Kiam Lam sedikit banyak ia pasti telah menduga sebelumnya."

Dari tengah sebuah semak belukar yang lebar, gadis itu menerobos keluar disusul oleh Pek In Hoei dari belakangnya, mereka jalan terus ke depan, suatu ketika ia berhenti sambil ujarnya :

"Kedua orang itu harus dilenyapkan dari muka bumi, kalau tidak kita akan gagal untuk masuk ke dlm."

Di bawah batu tebing yang curam tidak jauh dari tempat itu, berdirilah dua orang pria baju hitam yang tinggi kekar dengan sikap menyeramkan, sorot mata mereka kebetulan sekali ditujukan ke arah tempat persembunyian mereka berdua.

Pek In Hoei menggigit bibir, serunya :

"Mari kita keluar!"

Baru saja ia bangkit berdiri, dua orang pria itu telah menemukan jejak mereka, dengan pedang terhunus ke-dua orang itu segera meloncat ke muka sambil bentaknya :

"Siapa di situ?"

"Manusia yang datang mencabut nyawa!" jawab Pek In Hoei dengan suara ketus.

Di tengah kegelapan malam yang mencekam, sulit bagi ke-dua orang itu untuk melihat jelas raut wajah lawannya, ketika menyaksikan munculnya bayangan manusia berbaju putih, hati mereka segera jadi bergidik, dianggapnya di tempat itu telah muncul sukma setan terutama sekali nada suara yang begitu dingin seakan- akan hawa dingin yang berhembus keluar dari kuburan membuat hati mereka makin tercekat. Sepasang kaki mereka kontan gemetar keras dan tak mau mendengarkan perintahnya lagi, dengan badan kaku ke-dua orang pria tadi berdiri menjublak di tempat semula.

"Saudara, aku dengar di tempat ini seringkali muncul setan penasaran," bisik pria yang ada di sebelah kiri dengan suara gemetar, "jangan-jangan malam ini kita telah menjumpainya, aku dengar bila seseorang telah bertemu dengan setan maka kalau tidak mati tentu akan menderita sakit yang cukup parah."

"Aaaah! Tidak mungkin!" sahut pria sebelah kanan yang jauh lebih berani, "masa setan bisa bicara? Barusan aku seperti mendengar ada dua orang manusia sedang bercakap-cakap."

"Oooh...! Kalau begitu pastilah siluman rase, bukankah kemarin malam Lou heng telah berjumpa dengan siluman rase perempuan? Mereka berdua telah main pat pat gulipat semalamam suntuk, bahkan berjanji pula akan bertemu kembali pada malam ini, jangan-jangan siluman rase perempuan itu muncul kembali dengan membawa sanak keluarganya untuk melamar. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar