Website Cerita Silat Indomandarin Ready For Sale

Jilid 08

PERAHU yang baru muncul ini tampak tenang-tenang saja, seakan-akan mereka tak berada dalam perahu itu telah menyadari sebelumnya akan adanya perubahan keadaan itu. perahu dilabuhkan dan dari dalam tampak turun tiga orang. Seorang laki-laki setengah umur dan dua orang perempuan. Tanpa menghiraukan penduduk yang jadi kalang-kabut mereka bertiga meninggalkan pelabuhan.

―Jiwie  lihiap,‖  tiba-tiba  lelaki  setengah  umur  yang  tubuhnya pendek itu berkata. Ya dia ini tidak lain adalah Ban Lie Thong.

―Hanya  sampai  disini  saja  saya  dapat  mengantarkan  kalian, karena sebenarnya saya masih mempunyai urusan yang dibebankan yang dibebankan oleh guruku.‖ sambung Lie Thong.

―Akh,  Ban Cianpwe,  urusan apakah  itu?‖  tanya  si  nona  jubah merah atau Hong In sambil memalingkan mukanya dengan lincah. Sedangkan Siu Lian yang memang kaku pergaulannya, hanya menghentikan tindakan kakinya. Tidak tahu ia apa yang harus diperbuatnya. ―Hanya   soal   kecil   saja,   tidak   ada   manfaatnya   untuk   aku terangkan. Hanya kepada gurumu, harap tolong sampaikan ucapan selamatku!‖ sahut Lie Thong penuh harap. ―Cianpwe telah banyak memberi petunjuk pada kami yang bodoh, untuk itu aku mengucapkan banyak-banyak terima kasih.

Dan tak dapat dicegah lagi, setelah itu Lie Thong meninggalkan pelabuhan dan sebentar kemudian telah menghilang entah kemana.

―Aku…..‖ Hong in mengeluh. ―Cici, marilah!‖ katanya pulang mengajak. Lalu tangannya segera menarik tangan Siu Lian untuk diajak pergi dari tempat itu. siu Lian pun hanya dapat menurut belaka.

―Hei, kemana?‖ Siu Lian baru sadar dan bertanya.

―Cari penginapan bersama!‖

Karena ajakan yang cukup beralasan itu, maka Siu Lian tidak membantah. Ia mengikuti kawan barunya itu mencari penginapan.

Hong In tampaknya sudah kenal benar dengan seluk beluk dan letak kota ini.

Karenanya tak lama kemudian iapun telah mendapatkan sebuah hotel yang berpapan merk ‗SIE LAUW‘. Mereka berdua menginap.

Dalam setiap percakapan mereka, Hong In selalu mengelak dan menyimpangkan pembicaraan setiap Siu Lian mengajukan pertanyaan mengenai asal usulnya. Dara baju merak itu tentu akan menundukkan mukanya yang segera berubah pucat, hingga selanjutnya Siu Lian pun tidak pula terlalu menanyakannya.

Siangnya, selesai makan, entah sebab apa Hong In telah minta diri, membuat Siu Lian makin terheran-heran. Mengapakah? Apa sebabnya? Toh kemarin dia selalu berkata dengan lincah dan gembira. Tetapi sekarang mendadak berubah. Ada apakah? Tetapi walaupun Siu Lian berpikir sampai botak sariawan, tak mungkin ia dapat memecahkan persoalan itu. Siu Lian pun pergi tidur.

Sore harinya, ketika matahari hampir terbenam, Siu Lian terjaga dari tidurnya. Dipanggilnya pelayan agar menyiapkan makan baginya. Selagi makan, pikirannya selalu terkenang pada Hong In, kawannya yang sekarang belum muncul juga.

Ia kagum pada dara berjubah merak itu, akan kecerdikan, pengertian maupun kepandaian silat dara itu yang memiliki usia jauh lebih muda daripada Siu Lian sendiri.

Pada pikirnya, pengalaman gadis muda itu jauh lebih luas daripada dirinya. Teringatlah ia akan pengalamannya yang singkat itu telah memperoleh dua orang kawan yang cukup menarik hatinya, seperti Lie Thong, laki-laki setengah umur, pendek kate dan sikap angin-anginan tetapi lihai. Dan Heng In seorang dara cantik dan muda yang cerdik dan lincah tetapi yang sifatnya mendadak berubah-ubah.

Mengenang kedua orang ini, akhirnya Siu Lian terkenang akan Sin Hong, apakah pemuda yang telah berkali-kali menolong jiwanya itu masih hidup atau tidak? Mengingat akan jasa-jasanya sepuluh tahun yang lalu dan terutama rasa cintanya, tanpa terasa ia jadi dangat bersedih hati. dan akhirnya ia merasa kesepian.

Terbayang olehnya, betapa bahagianya waktu ia bersama-sama mandi dengan pemuda pujaannya itu di sebuah kali di kota Ie-pin. Ia tidak tahu apakah yang harus diperbuat di kota ini? yang baginya masih asing seluruhnya.

Lalu ia teringat akan maksudnya mencari ilmu dan turun gunung ini untuk mencari musuh besarnya dan mencari Sin Hong, juga memenuhi panggilan jiwanya membela kebenaran dan keadilan. Dengan berhasilnya ia membinasakan seorang diantara kedua siluman itu, maka sebagian tugas hidupnya telah dapat dilaksanakannya, karena mengganggu penduduk Giok-cang kian telah dapat diperangi.

Ketika ia mengenang akan pakaian kedua siluman itu yang mirip keadaan pengemis, Siu Lian teringat akan kata-kata seorang penduduk lereng gunung Ceng Hoang-san yang mengatakan bahwa pada beberapa bulan yang lalu telah datang kesana seorang pengemis muda yang membawa sebuah menda warisan.

Tiba-tiba pikirannya tersentak. Bukankah pengemis muda yang bersemayam di tanah muncul di Giok-kang-cian dengan mati- matian telah mempertahankan sebuah peti putih? Akh, tidak mungkin pengemis yang dimaksud oleh penduduk kamung itu adalah si pengemis siluman itu!.

Demikianlah katena pikirannyayang demikian, maka ia merasa meayesal tadinya ia tidak memeriksa isi peti putih itu. Berpikir yang demikian maka cepat-ccepat ia habiskan sarapannya lalu tanpa menghiraukan hari yang sudah hampir malam ia keluar juga dari rumah penginapan.

Pada pikirnya, siapa tahu Hong In masih berada di dalam kota. Dia dalam kota, Siu Lian memasang telinga dan matanya, memasuki daerah ramai untuk mencari si dara jubah merah itu. Akan tetapi ia jadi kecewa ketika ternyata orang yang dicarinya tidak kunjung dapat ditemukan. Bayangan si baju merah itu saja tidak pernah diiihatnya.

Ketika hari kian menjauh madam, Siu Lian menjadi putus asa. Kemana lagi Ia harus men eari dalam kota besar ini. Dengan hati mengkal, Siu Lian berjalan kian-kemari, hampir mengelilingi seluruh penjuru kota. Akhirnya, kakinya telah naernbawanyk ke sebuah keramaian yang merupakan sebuah pasar malam. Tempat yang sangat riuh dengan suara hingar bingar tetabuhan atau pedagang mempropgandakan. dagangannya. Setelah berkeliling-keliling tanpa memperoleh hasil, ditinggalkannya tempat yang membisingkan itu.

Langkah kakinya melintasi tempat-tempat hiburan, tempat bermacam-macam pertunjukan. Ramai dan hingar bingar, ada tukang dansa, pertunjukan wayang, juga penjual obat. Siu Lian iseng-iseng masuk dalam kerumunan itu.

Pada pertunjukan wayang, saat itu kebetulan sedang mempertunjukkan lakon Sie Jin Kwie-ceng-tang, sebuah cerita yang umumnya sangat digemari oleh kebanyakan penduduk. Siu Lian sangat tertarik pada pertunjukan ini dan ia mencari tempat yang baik agar sapat menonton dengan jelas.

Kian lama mengikuti jalannya ertunjukan, Siu Lian makin tertarik. Hanya yang membuat ia heeran ialah pemeran Sie Jin Kwie yang tampaknya agak kaku. Dan perasaan itu kian menjadi-jadi pada saat pemeran itu melakukan bagian lelakon Sie Jin Kwie sedang menghancur luluhkan semangat tiga tai-ong. Ia merasa heran akan gaya silat pemeran yang menurut penglihatannya mempunyai gerakan bukan gaya sembarangan. Lebih-lebih, mimik orang itu dari adegan ke adegan memperlihatkan wajah sedang menanggung kesakitan. Dari tertarik akhirnya Siu Lian menjadi curiga. Timbul niatnya untuk tidak pulang buru-buru.

Sebaliknya, Siu Lian menunggu sampai pertunjukan berakhir. Dan kemudian ketika sedang sibuk-sibuknya para penonton meninggalkan lapangan, diam-diam ia menyelinap masuk ke dalam satu kemah. Ia merasa yakin, bahwa orang yang memegang peran sebagai Sie Jin Kwie tentulah bukan sembarang orang.

Tiba didalam, Siu Lian mendapat sebuah ruangan yang berbentuk segi empat yang cukup luas. Sebuah meja rias terletak di sudut kemah, lengkap dengan alat-alatnya yang berhamburan letaknya tak beraturan. Di atas sebuah bangku panjang, tamak dua orang laki-laki rebah dengan menelungkup diatas meja. Perlahan- lahan Siu Lian menghampiri. Terkejutlah ia ketika mendapatkan kenyataan bahwa kedua orang itu bukanlah tidur sewajarnya. Mereka rebah tak sadarkan diri karena totokan. Ia perhatikan kedua orang itu. menilik dari pakaiannya, akhirnya mereka yakin bahwa mereka terdiri dari seorang pemain sandiwara dan seorang tukang rias. Pada kedua tangan tukang rias itu, terpegang masing-masing sebuah sipat alis dan bedak sebungkus.

Agaknya mereka telah ditotok orang selagi merias diri. Melihat rambut orang yang dikondekan keatas dan alisnya yang tebal disipat tebal. Sebagai seorang yang gemar wayang, tahulah Siu Lian kalau orang itu tadinya hendak memerankan Sie Jin Kwie. Dan memikir ini, tiba-tiba berkelebat dalam ingatannya, pemain di panggung tadi yang gerakannya mencurigakan. Tidak mungkinkah pemain itu yang menotok orang-orang ini? berpikir demikian, ia segera menggerakkan tangannya, denganmaksud hendak membebaskan kedua orang itu dari totokan untuk mengorek keterangan.

Tetapi tiba-tiba ketika jari tengah dan telunjuk hampir menyentuh jalan darah kedua orang itu, telinganya yang tajam mendengar suara tindakan kaki yang mengindap-indap. Perlahan gerakan itu, tetapi Siu Lian yang sudah sangat terlatih itu sudah culup mengetahui kakau tindakan kaki itu sedang menuju ke arahnya.

Diam-diam ia terkejut juga. Dari suara indap-indapan yang sangat ringan itu, orang yang datang tentulah orang yang berkepandaian tinggi. Sebentar kemudian, suara tindakan itu sudah tidak jauh dari pintu kamar.

Secepat lompatan kucing, dengan ringan sekali Siu Lian melesatkan tubuhnya ke wuwungan kemah. Pada detik selanjutnya, terlihat sesosok bayangan berkelebat masuk. Lincah dan sangat gesit gerakan bayangan itu. Dan…. melihat akan pakaian maupun gerak-gerik orang yang baru datang ini, Siu Lian tersenyum gembira. Ia gembira karena apa yang semula diduganya secara samar-samar kini akan menjadi sebuah kenyataan.

Orang itu adalah pemeran Sie Jin Kwie tadi. Hanya bedanya, kalau di panggung tadi dia adalah seorang dengan tubuh tinggi besar dan kekar. Mukanya masih penuh dengan bedak dan gincu, hingga Siu Lian belum dapat melihat wajah asli orang tersebut.

Tampaknya orang itu tergesa-gesa sekali. Dengan cepat ia membersihkan polesan-polesan di mukanya dengan air dari baskom.

Lalu ditotoknya salah seorang yang tertidur tadi. Orang yang ditotok itu adalah pemain wayang yang asli. Begitu tersadar ia gelagapan,  setelah  itu  ia  menjatuhkan dirinya,  meratap-ratap,  ―Tai Ong … tai ong … ampuni jiwa tikus hamba …!‖ begitu takutnya dia pada kematian.

―Aku bukan Tai Ong mu!‖ bentak si pemeran Sie Jin Kwie tadi. Bersamaan dengan itu, Siu Lian yang berada di atas wuwungan, tersenyum puas, sebab kini ia telah tahu siapa dia, si pemeran Sie Jin Kwie palsu tadi.

―Kalau   ingin   hidup,   katakan   ada   hubungan   apa   antara majikanmu dengan keparat Hong In?‖

―Aku  …  aku  …  tidak,  tidak  tahu  tai-ong  …‖  pemain  wayang asli itu masih juga meratap-ratap ketakutan. Terutama setelah melihat wajah asli orang dihadapannya itu.

Orang tinggi besar, pemain Sie Jin Kwie itu tampaknya sangat gusar. Pada saat itu juga ia hendak melampiaskan kemarahannya itu, namun tiba-tiba,

―Bagus! beranimu Cuma pada yang lemah!‖ terdengar bentakan seseorang. Halus tetapi tajam berpengaruh. Dan dilain saat di dalam kemah itupun telah berhadapan dua orang yang berlawanan jenis, orang tinggi besar itu dengan seorang dara. Dara yang mengenakan baju warna merah, yang tidak lain adalah Hong In. sedang orang yang bertubuh tinggi besar itu tidak lain dan tidak bukan adalah si pengemis muda, siluman tanah muncul Giok-po.

Bukan main girangnya Siu Lian melihat munculnya Hong In ditempat itu. setelah semalaman dicari-cari tidak bertemu, kini tiba- tiba saja muncul dengan sendirinya. Entah peti putih itu disimpan dimana? Tampaknya benda itu tidak ada lagi pada Hong In.

Pertarungan antara pengemis muda dengan Hong In segera saja berlangsung dengan sengit. Dalam keadaan seperti sekarang ini, dimana si pengemis muda masih dalam keadaan terluka, akibat racun sendiri yang menyerang ditubuhnya akubat pertarungannya dengan Siu Lian, maka Hong In dapat mengimbanginya dengan baik. Andaikata pertarungan itu terjadi tiga hari yang lalu, agaknya Hong In bukan lawan seimbang pengemis muda yang lihai dan keji itu.

Karena lukanya itu, maka si pengemis muda harus membagi tenaga dan perhatiannya untuk melindungi luka. Dengan keadaan demikian, gerakannya tidaklah begitu gesit, tenaganyapun banyak berkurang.

Sedangkan Hong In yang kepandaiannya hanya kalah setingkat dibawahnya telah mengirim serangan-serangannya yang sangat gencar dan ganas luar biasa. Pada matanya menyorot sinar nafsu membunuh yang berkobar-kobar. Mungkin ada apa-apanya.

Dalam dua jurus di babak pertama ini, si pengemis muda masih dapat bertahan, tetapi karena untuk menghadapi Hong In yang lincah dan garang itu, ia harus mencurahkan seluruh tenaganya, maka simpanan tenaganya yang dipergunakan untuk melindungi luka, jadi terpecah pula. Dan disaat itu juga ia merasakan sakit yang bukan alang kepalang. Semangatnya jadi buyar dan tentu gerakannya menjadi kacau dan lamban.

Lebih celaka lagi keadaan seperti itu cukup diketahui oleh Hong In yang awas dan cerdik, yang segera memperhebat serangannya.

―Kau  ganggu  aku  begini  rupa,  ada  soal  apakah  sebenarnya?! Peti putih masih ada ditanganmu, mau apa lagi? Baik, mari kita mengadu jiwa!‖ teriak si pengemis muda seraya mengamuk dengan nekat.

―Pengemis  siluman! Bukankah kau  murid  turunan kedua  Iblis India  jahanam  itu?‖  jawab  Hong  In  membentak.  ―Kedua  gurumu telah menghabiskan guruku …!‖

Hong In berhenti sebentar, agaknya ia sedang menekan perasaannya. Terbayanglah kedukaan dan dendam berkilat dimatanya.

―Sekarang kau harus mati ditanganku!‖ sambil mengiringi kata- katanya ini, Hong In memperhebat serangannya dengan mempergunakan tipu-tipu sulitnya yang keji dan ganas sehingga membuat lawannya makin kerepotan mempertahankan diri.

Namun tiba-tiba pengemis muda itu menjerit keras. Lalu tubuhnya melompat maju selangkah, tongkat ditangannya dihantamkan kedepan, mengancam dada lawan dan membiarkan perutnya sendiri terbuka untuk menerima tusukan pedang lawan.

Hong In mana sudi kebodohan itu? ia sudah menang diatas angin, tak paerlu mati bersama pengemis siluman itu.

Oleh karena itu ia menarik kembali pedangnya, selanjutnya untuk menghindari sodokan tongkat lawan, ia tarik tubuhnya kebelakang. Kiranya serangan nekat si pengemis itu pula tangannya merogoh bumbung rahasianya yang berisi panah beracun untuk menyerang lawan.

Tetapi sayang, sebelum bumbung itu sempat bekerja, dari wuwungan tampak berkelebat warna hitam menyambar. Si pengemis muda itupun hanya bisa terkejut ketika dirasakan tangannya menjadi lunglai serta bumbung itu telah berpindah tangan. Bukan Cuma sampai disitu saja, si pengemis muda merasakan kepalanya pening dan alam sekitarnya berputaran, selanjutnya ia terjatuh pingsan. Tubuhnya yang tinggi besar itu lantas meluncur turun dengan cepat lalu menghantam lantai.

Dapatlah dibayangkan, bahwa sebentar lagi tubuh pengemis muda itu akan remuk hancur dan binasa. Tetapi baangan hitam tadi yang tak lain adalah Siu Lian bergerak gesit laksana burung elang, melayang turun mendahului meluncurnya tubuh pengemis itu. dengan gerakan harimau menuntun anak kambing, Siu Lian dapat membuat si pengemis muda itu terbebas kembali.

Terkejut bukan kepalang, pengemis muda itu merasakan kelihaian orang. Seumur hidup ia belum pernah menyaksikan kehebatan ilmu silat orang yang demikian lihainya.

Dengan keterkejutan ini, kian menjadi-jadi ketika dilihatnya orang yang telah menotok dan membebaskannya sekalian ini adalah si nona yang tiga hari yang lalu pernah merubuhkan dirinya dengan senjatanya sendiri.

Maka untuk sesaat itu, pengemis muda itu hanya dapat berdiri terpaku saja. Tak ada niatnya untuk melarikan diri, karena dia tahu berada diantara dua nona yang lihai-lihai itu. tidaklah akan ada gunanya. Menurut dugaannya, kepandaian si nona yang baru saja bertindak ini tidaklah dibawah kepandaian gurunya. Ingat gurunya, segera pengemis muda ini seolah-olah mendengar kata-kata Hong In tadi yang telah menuduhnya sebagai murid iblis India. Ia penasaran.

―Lihiap,‖  begitulah  ia  membuka  mulut.  Kata-kata  ini  jelas ditujukan kepada Hong In. ―Sebagai orang kangouw, aku tak takut akan menghadapi kematian! Akan tetapi terhadap kata-katamu tadi, menuduhku murid orang India, itu terlalu menghina diriku! Kau menghina diriku dan menghina perguruanku yang asli pendirinya adalah orang Han. Maka itu untuk mendapat muka sebelum menerima ajal, kuharap kau suka menjelaskan, siapakah keluargamu dan siapakah orang India yang telah mencelakakan keluargamu?!‖

Tampaknya dalam mengucapkkan kata-katanya itu, si pengemis muda sangat bersungguh-sungguh, tidak tampak tanda-tanda berdusta. Dan melihat kegagahan sikap orang yang begitu berani bicara tandas walaupun sudah dekat pada ajal, timbul juga kekaguman pada diri Siu Lian.

Hong In hanya diam saja. Tampaknya ia hendak menyudahi urusan itu. maka Siu Lian berkata,

―Ya  sudahlah.  Kali  ini  kuampuni  jiwamu.  Pergilah  cepat  dari hadapanku!‖

Bagaikan orang yang hampir mati, hidup kembali, maka dengan girangnya pengemis muda itu membalikkan tubuh untuk segera berlalu.

―Tunggu  dulu!‖  seru  An  Siu  Lian.  ―Tadi  kulihat  kau  mencari keterangan dari orangn wayang tentang perhubungan kumpulan wayang itu dengan Hong In, apa maksudmu?‖

―Tidak  ada  maksud  apa-apa,  Cuma  ingin  mengetahui  saja!‖ sahutnya seraya membalikkan tubuh untuk berlalu, kemudian mencelat keluar dan menghilang dalam kegelapan malam.

―Adik….‖ kata Siu Lian memanggil. ―Siapa adikmu?!‖ Hong In menjawab sambil merengut.

Terkejut Siu Lian akan sikap Hong In. akan tetapi segera teringat memang demikian, angin-anginan sikap kawannya itu.

―Aku tidak suka pada orang yang mengusili jalan hidupku!‖ kata Hong In pula.

―Benar susah diduga,‖ keluh Siu Lian dalam bati. ―Apakah kau marah karena aku embebaskan pengemis tadi?‖ katanya kemudian.

―Ya!‖ sahut Hong In tegas. Sambil menjawab ketus demikian, ia menubruk maju seraya mengacungkan pedangnya menusuk dada Siu Lian. ―Siapa suruh kau lancang membebaskan dia!‖

Cepat dan tiba-tiba serangan yang dilancarkan olehHong In. sehingga kalau bukan Siu Lian sasarannya, agak sulit orang akan dapat meloloskan diri dari maut.

Siu Lian adalah murid gemblenganLiong-san-pai, oleh dua orang guru sakti Tho-liu-to disempurnakan pula ilmunya, hingga walaupun usia gadis ini masih muda, akan tetapi ilmu kepandaiannya sudah jarang ada tandingannya. Percuma sepuluh tahun menuntut ilmu dari guru-guru sakti Tho-liu-to andaikata begitu mudah dapat diperdayai oleh Hong In.

Demikianlah, dengan mudah saja An Siu Lian berkelit kekiri atau kekanan, mengeos atau menghindar, maka serangan Hong In hanya menusuk angin belaka.

―Baik,  baik  kuadu  jiwa  denganmu!‖  teriak  Hong  In  semakin kalap.

Dan benar saja segera ia memperhebat serangannya, memaksa Siu Lian untuk mengeluarkan sedikit ilmu kepandaiannya. Selagi pedang Hong In untuk yang kesekian kalinya menyambar tenggorokan, Siu Lian melompat kesisi kanan Hong In lalu dengan kecepatan yang sulit dilihat oleh mata, kedua jarinya menyentuh salah satu jalan darah nona out, kemudian merampas pedangnya.

―Dengarlah!‖  kata  Siu  Lian,  ―Melihat  gerakan  ilmu  silatmu tahulah aku bahwa tentunya kau adalah murid seorang guru yang ternama. Lagipula dari bicaramu tentang sastera tempo hari, sekurang-kurangnya kau adalah seorang gadis terpelajar juga.‖ sambungnya seraya mengangsurkan pedang yang tadi dirampasnya. Sengaja ia berkata demikian untuk menggugah semangat Hong In. setelah itu, tanpa memberikan kesempatan orang lin bicara, ia telah melanjutkan kata-katanya pula.

―Lagi    pula    bukankah    pengemis    tadi    tegas-tegas    telah mengatakan bahwa gurunya adalah seorang Han asli! Apakah kau tidak percaya padanya? Ingatlah sebagai seorang Han, walau kita dari jalan putih maupun hitam harus mengutamakan kesetiaan pada guru! Bukankah tadi sudah jelas pengemis itu tidak berguru pada orang India? Apakah mungkin dia mengkhianati gurunya sendiri dengan tidak mengakui karena takut mati? Kukira itu tidak mungkin. Maka adikku, kalau rasa mendongkolmu disebabkan oleh kelancanganku tadi, harap sukalah kau memaafkannya!‖ Siu Lian mengeluarkan kata-kata ini karena ia tahu akan sifat orang yang keras, dan mudah berubah-ubah.

Dan memang tepat dugaan Siu Lian, kata-katanya mengena besar dihati Hong In sehingga dara itu menundukkan kepalanya.

―Siapakah  orang  India  yang  kau  maksudkan  sebagai  musuh besarmu?‖ tanya Siu Lian lebih lanjut.

―Cici,  tempat  ini adalah kemah orang,  sudah terlalu  lama  kita berada disini, marilah kita bicara di hotel saja!‖

Siu Lian baru tersadar bahwa ia telah terlalu lama berada di tempat orang. Maka iapun segera mendahului Hong In berjalan meninggalkan tempat itu. Diluar ternyata sudah penuh dengan orang-orang yang berkerumun-kerumun. Mereka tak berani memasuki kemah. Rupanya mereka telah melihat pertarungan yang hebat didalam kemah dan mereka mengerti bahwa kedua gadis yang kemudian keluar kemah ini bukanlah orang sembarangan.

Siu Lian yang tidak ingin menimbulkan kegemparan diantara penduduk secepatnya lantas menggerakkan tubuhnya keatas wuwungan yang kemudian disusul oleh Hong In itu. keduanya lantas menghilang dalam kegelapan, membuat penduduk yang menyaksikannya jadi melongo heran dan takjub. Kebanyakan dari mereka lantas soja-kui mengira bahwa kedua dara itu adalah utusah Thian yang sedang turun ke dunia.

Sementara itu, dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya, kedua pemudi itu dalam waktu hanya sepemakan nasi telah berada kembali di hotelnya. Mereka masuk dengan melompati jendela, tidak seorang tamu atau centengpun yang mengetahui kedatangan mereka. 

Setelah beristirahat beberapa saat, karena meerasa lapar, maka keduanyapun mengobrol.

Hong In ternyata adalah puteri Oey Bian Lip. Ia menceritakan betapa keluarganya dengan kejam sekali telah dimusnahkan habs- habisan oleh hantu bersaudara muka merah dan muka kunig. Hanya mujur bagi Hong In, pasa hari itu, pada saat iblis keji itu sedang membunuhi seluruh isi rumah keluarga Oei, ia bersama seorang pembantu rumah tangganya yang setia, Liu Siauw Jie, tengah berjalan-jalan menghirup angin gunung yang segar.

Keduanya, puteri majikan dan pembantu ini jadi terkejut sekali ketika mereka pulang dan mendapatkan seluruh isi rumahnya bergelimpangan binasa dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Tidak seorangpun yang mati dengan tubuh yang sempurna. Semua rebah dengan kepala yang hancur.

Didapati pula ayah dan pamannya tergeletak tak bernyawa. Menyaksikan semuanya ini, bukan main hancur hatinya dan geram sehingga kedua-duanya lantas meratap-ratap memilukan.

Nahkan Hong In karena tidak kuat menahan perasaan dukanya, jatuh pingsan, membuat Liu Siauw Jie jadi kebingungan tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Kuatir bukan main pembantu ini, kalau-kalau satu-satunya keturunan keluarga Oei yang masih tinggal hidup ini mengalami hal yang tidak diinginkan. Untunglah, pada saat itu tiba-tiba muncul Lauw Sam yang datang tergopoh-gopoh dari tempat sembunyinya diatas lauwteng. Pembantu yang setia dan berusia lanjut ini, pertamanya terkejut ketika mendengar jerit tangis orang. Dikiranya adalah tangisan halus roh kawan-kawannya yang telah terbinasa, hingga ia jadi sangat menakutan. Tetapi akhirnya ia mengenali juga, bahwa suara tangis itu adalah tangis kawan sekerjanya, Liu Siauw Jie dan putri majikan. Cepat-cepat Lauw Sam turun, dan benar-benar ia mendapatkan Liu Siauw Jie sedang menelungkup menangisi majikan mudanya yang tidak sadarkan diri.

Lauw Sam. ternyata mempunyai pengalaman lebih lugs dari kawannya. Cepat-cepat ia ke belakang untuk memasak air, uutuk keraudian di lain saa.t ia telah selesai membuat wedang jahe.

Dicelegukkannya air panas pedas itu ke mulut sang majikan muda. Benar saja, tidak lama kemudian Hong In sadarkan dirinya. Beberapa saat dara ini terlongong, akhirnya menangis kembali meratap-ratap, memilukan sekali.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Hong In dengan dibantu oleh kedua pembantunya menggali beberapa lubang kuburan dibelakang gedung. Kemudian setelah selesai mengadalan upacara sembahyang, lalu diadakan penguburan sekaligus. Hanya untuk penguburan Riau Lip dan Hong Goan, khusus dilakukan oleh tangan Hong In ya kecil itu.

Selesai itu, Hong in bersoja kui di depan kuburan orang tuanya. ia bersumpah, walaupun dengan jalan apapun akan menuntut balas sakit hati kernatian orang tuanya.

Malamnya setelah melihat kesehatan majikan muda ini lebih baik lalu Lauw Sam menceritakran bagaimana terjadinya peristiwa mengenaskan itu, dan siapa-siapa orangnya yang telah membinasakan kedua ayah dan parnannya serta berpuluh puluh keluarga lainnya. Hingga membuat Hong In yang belum hilang kesedihannya, jadi semakin sedih dan mendendam. Tetapi dalam hatinya juga timbul keraguan, apa bila benar-benar ilmu kepandaian para iblis pemburuh ayah dan keluarganya itu demikian tinggi seperti diceritakan Lauw Sam, dapatkah ia menuntut balas?

Terkesima juga Siu Lian rnendengar kisah tragedi yang dicerirakan oleh Hong In. Selama Hong In belum mengakhiri kisahuya, Siu Lian hanya termangu-mangu saja. Ia menimbang- nimbang, akhirnya la merasa bahwa sakit hati temannya ini jauh terlebih dalam daripada sakit hatinya sendiri. Dan tahulah kiranya, mengapa pemudi berjubah merah ini, kemarin tiba-tiba meninggalkan dirinya dan sangat membenci pengernis yang diduga adalah murid dari musuh besarnya.

Akhirnya, Siu Lian membatalkan niatnya untuk menanyakan apa isi peti putih, karena melihat wajah kawannya yang menjadi sangat muram. Besokpun masih ada waktu, pikirrya.

―Cici",  tiba-tiba  terdengar  Hong  In  berteriak; suaranya  seperti orang yang hendak menartgis. Cepat-cepat Siu Lian bangun berdiri.

―Sakit  hatiku  sedalam  lautan.  Akan  tetapi  iblis-iblis  india  itu kabarnya lihai bukan main jauh lebih lihai dari sedikit kepandaianku sekarang. Entatalah ..... anakah dapat aku membalas kan sakit hati ini?"

―Jangan  kuatir  adikku,  jangan  sangsi.  Apa  bila  tiba  waktunya tidak mungkin aku akan berpangku tangau", Siu Lian menghihur.

Hong In menghela napas, tarikannya dalam sekali.

―Tapi benar-benar…. bagiku hilang lenyap…..‖

―Apa maksud?" Siu Lian tak mengerti.

―Aku   menyesal,   karena   aku   tidak   menuruti  nasihat   kedua guruku. Merela sebenarnya me larangku keluar dari pintu perguruan pada tiga tahun yang lalu. Hingga benar-benar, ketika semalam dia datang, aku tak berdaya apa-apa "

―Dia datang? Dia siapa?" Siu Lian belum mengerri dan terkejut. Ia makin bersimpati kepada kawan barunya ini yang mengalami nasib begitu' mengenaskannya.

―Dia adalah satu dari musuh besarku!"

―Musuh besarmu ulang Siu Lian."Si apa naaksudmu?"

―Entahlah.  Ia  sangat  ihai sekali.  Tapi agaknya  dia  tidak  tahu bahwa aku adalah salah satu keturunan dari keluarga yang mereka babat habis-habisan pada sepuluh tahun yang lalu"

―Dia lebih lihai darimu?"

―Betapa  tidak?  Dengan  mudah  saja  keparat  itu  telah  dapat mencuri peti putih yang ku selipkan dibawah bantalku, tanpa kuketahui."

―Hai, benarkah itu? peti hilang dicuri orang?" Siu Ling terkejut hampir tak percaya. ―Benar mengapakah?‖

Siu Lian tak dapat menjawab. Keras lemas seluruh tubuhnya. Betapa tidak? Semalam, ia mengelilingi bampir seluruh kora adalah tuk menemukan pemudi ini, guna menanyakar persoalnanya isi peti itu. Kini? Setelah berhasil ketemu, ternyata peti itu telah hilang dicuri oleh seseorang yang dikatakan sangat lihat luar biasa yang menurut dugaan Hong in adalah musuh besarnya,

―Bagafinanakah    terjadinya?‖    tanya    Siu     Lian    akhirnya menegaskan.

―Hari  itu,  setelah  memisah  dari  dirimu  aku  mencari  sebuah penginapan lain. Pikiranku sedih dan kecewa, betapa tidak? Sebegitu jauh hingga tiga tahun aku berkelana, aku masih belum dapat menemukan dimana adanya musuh besarku itu dan bagaimana tingkat kelihaiannya. Namun pada malam itu, karena letih memikir kan nasibku, aku jadi letih dan mengantuk, akhirnya tertidur tanpa kusadari. Tengah layap-layap antara pulas dan tidak, tiba-tiba dalam kamar kulihat sebuah bayangan berkelebat masuk. Terkejut sekali aku ketika itu. Cepat kugerakan tubuhku mencelat bangun, akan tetapi sebelum aku berbuat sesuatu apa, bayangan itu telah tiba dihadapanku. Dan tanpa dapat dicegah lagi, dia telah berhasil merampas peti putih dari bawah bantalku, lalu berkelebat pula pergi secepat bayangan setan!. Tegas kulihat, pakaiannya terbuat dari kain katun India. Hanya anehnya, rambut belakangnya diikat menyerupai kuncir. Tetapi melihat pakaiannya yang kedom brongan itu, aku menduga bahwa dia adalah seorang diantara musuh besarku. Gerakan sangat lincah dan gesit sekali, jauh lebih lincah dan gesit dari padaku. Hingga ketika aku mengejarnya, ia sudah terlalu jauh meninggalkan karnarku. Sebentar saja dengan meninggalkan suara tawanya yang mengakak, ia meninggalkan aku jauh ketinggalan dibelakangs. Sayup-sayup ku dengar kata-katanya, bahwa ia akan mengantarkaa peti putih itu kepada pemiliknya yang sah, entah dari partai apa. Ong … ong …begitu. Lalu karena merasa benar-benar takkan ungkulan aku balik pulang dengan putus asa. Dan sejak saat itulah aku merasa sangsi, karena jelas sudah kepandaianku jauh berada dibawah kepandaian keparat itu. Disamping itu, aku masih tidak mengerti, apa maksudnya ia mencuri peti putihku itu, hingga timbul dugaankui apakah tidak rnungkin antara pencuri ini dengan pengemis siluman itu memiliki hubungan?"

―Jangan kuatir, adikku. Nanti kuberikan bantuan bila sudah berhadapan, cuma talong beritahukan apakah isi peti putih itu?"

―Akupun tidak  tahu!" Hong  In  menggeleng-gelengkan kepala.

―Karena niat sebenarnya terhadap benda tidak ada padaku", setelah berkata dernikian, maka Hong in merebahkan membiarkan Siu Lian duduk termangu-mangu seorang diri. Sebentar saja, Hong In telah terpulas.

Siu Lian terdiam. Pikirannya berbagai macam tertumpuk menjadi satu. Satu urusan membalas dendam belum terbayar, kehilangan Sin Hong, lalu sekarang tentang peti putih yang tidak ketahuan apa isi dan manfaatnya, disusul pula urusan orang, berpakaian katun secara India, yang diduga adalah musuh besar Hong In. Kalau benar, itu dia salah seorang dari Ang Oei Mokko. Peninglah kepala Siu Lian memikirkan pencuri peti putih itu hingga tanpa sadar ia tertidur dibangkunya. Tak diketahuinya berapa lama ia tertidur, ia terjaga ketika terdengar olehnya suara berkelisik, kira- kira dari jarak tiga tombak. Perlahan suara itu, sekeras suara jarum yang jaiuh. Naraun suara itu cukup terasa bagi Siu Lian untuk menjagakan ia dari tidurnya, karena ia merasa bahwa suara berkelisik itu berbeda dengan bunyi yang umum.

Dengan perlahan dan sangat cepat, tanpa menimbulkan suara Siu Lian membuka jendela dan melayang keluar dan menutup kembali jendela itu, sementara Hong In masih tidur pulas. Tak mau Siu Lian raembangunkannya, karena ia tahu suara tadi tentu berasal dari seseorang yang mempunyai kepandaian tinggi, yang jauh lebih tinggi dari kawannya. Ia kuatir kalau benar-benar orang yang datang itu adalah musuh lihai, musuh besar Hong In, bukankah itu hanya membuat sang kawan menjadi nekad, yang mungkin rnembuat urusan tam bah ruwet saja?

Diluar ia lihat bintang-bintang di timur menunjukkan bahwa pagi sudah hampir pukul empat. Karena kuatir pendatang lihai itu berada disekitar tempat itu, lekas-lekas Siu Lian melayangkan tubuhnya, meleset, dengan meuggunakan tipu gerakan "Sepuluh bayangan Melibat Syetan", membuat tubuhnya berkelebat tidak terlihat. Ia menuju kearah datangnya suara berkelisik tadi. Matanya yang jeli dan sangat waspada, segera dapat melibat pada jarak sepulub tumbak, sebuah bayangan melesat kedepan secepat terbang. Tubub bayangan itu tinggi besar, serta berpakaian kedombrongan Gesit bukan main, dalam sekejap saja bayang an itu sudah memasuki sebuah hutan.

Siu Linn yang membayangi, diam-diam merasa kagum akap kegesitan orang ini. Terlihat juga dua buah kuncir dikepala orang, itu. Dibagi tengah-tengahnya dililit menjadi satu. Pada Lengan kanannya, jelas orang itu menjingjing semacam barang yang aneh bentuknya.

Berkat matanya yang sangat awas, maka Siu Lian dapat juga menduga barang apa yang dibawa orang itu. Ia menjadi geram sekali ketika sayup-sayup telinganya mendengar orang itu memperdengarkan suara riantihan yang menyayat-nyayat. Dan kemudain tidak terdengar lagi. Itulah suara tangisan suara anak bayi. Jelas sekali tangisan itu merupakan. ratapan orang yang mengalami siksaan berat.

Bayangan itu terus. berlari tanpa menyadari kalau ia sedang dibayangi oleh seorang gadis yang baru keluar dari perguruan, lalu lenyap masuk kedalarn gerumbulan rumput-rumputan yang lebat dan tumbuh tinggi, setinggi manusia. Siu Lian pun merandek ketika iapun tiba ditempat itu.

Untuk sesaat ia tertegun diam Terkejut ia ketika dilihatnya di arah timur sinar matahari sudah muncul memancarkan sinarnya yang ke emasan, pertanda hari pagi sudah tiba. Ini berarti juga dari penginapannya ia telah pergi memakan waktu tidak kurang dari dua jam untuk membayangi orang itu.

Sedang dalam pengejaran ini, ia sudah mempergunakan ilmu berlari cepatnya pada tingkat tinggi, hingga dapatlah dibayangkan betapa jauhnya ia sudah meningaatkan rumah penginapan. Ketika itu ia sangsi untuk mene-ruskan maksudnya mengejar buronnya itu. Akan tetapi karena merasa sudah kepalang tanggung, akhirnya ia masuki juga gerumbulan rumput-rumputan itu, untuk itu ia telah mempergunakan ilmunya "Melepaskan Tulang Mengecilkan Urat."

Sedikit juga ketika tubuhnya menyelip masuk, ia tidak membuat suara berisik. Sesaat kemudiaa ia telah berala dibagian lain darl gerumbulan rumput tinggi itu. Disaat itu juga, disaat baru saja ia membetulkan sikap berdirinya, kedalam lubang terlihat berkelebat sebuab bayangan. Ia tahu itulah bayangan si lelaki berbaju kedombrongan. Ditunggunya hingga beberapa detik.

Kemudian dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, C Siu Lian menghampiri lubang itu. Terkesiap hatinya, ketika ternyata lubang itu adalah muluu sebuab guha. Yang hebat, lubang itu berdinding terbuat dari tulang-tulang anak kecil seluruhnya. Tulang-tulang itu diletakkan beraturan hingga tidak tampak dasarnya.

Setelah mengelilingi dua putaran untuk memeriksa, dan mendapatkau kenyataan tidak adanya tanda-tanda lain yang mencurigakan, dengan hati-hati sekali dan menggunakan ilmu yang tinggi, ia memasuki lubang itu.

Ternyata guha yang mernpunyai lubang kecil ini mempunyai sebuah lorong yang panjang. Hawa didalam lembab dan dingin, hingga ditambah dengan kesunyian yang menguasai tempat itu, membuat bulu tengkuk berdiri meremang. Disitu jalan berlegat- legot turun naik tidak rata.

Tiba-tiba dari arah dalam terdengar suara Tertawa-tawa dingin perlahan. Dilain saat, ketika Siu Lian melangkahkan kakinya pula, maka ia telah tiba pada lorong yang penghabisan.

Bentuk dan besarnya lorong, ini, tidak berbeda jauh dengan lubang guha dibagian luar yang merupakan pintu masuk. Hanya pada sekelilingnya pada luas kira-kira satu meter persegi, terdapat banyak sekali tengkorak-tengkorak anak kecil berserakan, Penuh seakan menutupi tanah. Sedang lubang guha yang terakhir ini tidak merupakan pintu buntu, melainkan dihadapannya kini terbentang sebuah ruang yang cukup luas. Berbentuk kamar dan lebih luas, berbenjol-benjol dindingnya tidak beraturan.

Ruang kamar guha ini menurut perasaan Siu Lian berada jauh dihawah permukaan bumi. Agaknya seperti berlapis, dan banyak terdapat padanya tanah-tanah lebih yang runcing, ada yang berdiri dan ada pula yarg bergantung, Tinggi-tinggi dan besar-besar bahkan beberapa diantaranya ada yang dua kaki lebih tinggi dari tinggi orang. Menyaksikan benda-benda alam ini tanpa terasa Siu Lian rnenghela napas kagum. Tidak pernah disangkanya akan kebenaran cerita gurunya pertama yang rnengatakan bahwa di beberapa daerah di atas bumi Tiorggoan, ada beberapa guha yang didalamnya penuh dengan ‗tanah-tanah tumbuh‘ yang berwarna putih.

Tanah lebih ini sehenarnya terjadi dari basil campuran batu kapur dan air hujan yang karena sangat banyaknya dan terjadi bertahun-tahun lalu mengumpal bergantungan dari atas guha serta karena makin bartambahnya cairan-cairan campuran batu kapur dengan air hujan lalu mencarat tanah dengan bentuk menyerupai tiang serta tipis dibagian tengah hingga merupakan dua buah kerucut yang sambung menyambung pada kedua bagian ujungnya lancip. Bertahun-tahun kemudian, karena salah satu dari kedua bagian yang menggantung atau berdiri itu tanahnya kurang kuat lalu rubuh dan ambruk. Dan yang tidak rubuh inilah yang kini tinggal berdiri menyerupai tanah tumbuh yang berujung runcing.

Hal inilah, terjadi benda-benda alam yang kini dikenal sebagai stalagtit dan stalagmit, jenis jantan dan jenis betina ini pada waktu kasih ini terjadi, hanya beberapa orang yang mengetahui, diantaranya Shia hiap Gouw Bian Lie, guru An Siu Lian.

Dari balik sebuah stalagtit yang cukup besar, Siu Lian mengembarakan pandangnya kesekitar ruangan guha itu. Kedua manik matanya yang bulat bundar jeli mencaricari.

Akhirya pada sebuah stalagtit atau stalagmit yang sengaja dirubuhkan, terlihat seorang bayi yang direbahkan. Tidak salah lagi tentu orok itu adalah orok yang tadi ditinjing oleh orang berbaju kedobrongan itu. Dan kini melihat bayi itu rebah dengan perut yang tidak berkempas kempis, maka tahulah Siu Lian bahwa ia telah mati.

Melibat adegan ini, Siu Lian menjadi geram sekali. Dan kini tahulah ia, apalah artinya dan dapat menduga dari mana asalnya tulang dan kepala manusia-manusia kecil yang banyak berserakan dimuka dan disepanjang lorong

Itulah tentu sisa-sisa korban percobaan yang menurut dugaan Siu Lian tentulah menjadi korban si orang berbaju kedombrongan itu. Tiba-tiba entah dari mana datangnya, diatas sebuah stalaginit yang terletak pada tanah tumbuh yang rebah tadi, duduk dibagian ujungnya, seseorang yang bertubuh tinggi besan berbaju kedombrongan yang terbuat dari katun India. Melihat pada kuncirnya, maka yakinlah Siu Lian bahwa orang itu adalah orang yang sejak dari penginapan itu dibayang-bayanginya. Hanya ia tidak tahu siapa adanya orang ini, sebab dari gurunya ia belum pernah mendapatkan keterangan tentang orang dengan bentuk yang demikian. Kalau melihat cara berpakaian dan wajah orang itu, jelas ia telah menganut adat dan kibiasaan orang India. Dan tentunya dari sisa-sisa tulang itu dan tengkorak-tengkorak yang berhamburan diseluaruh penjuru guha, tentulah orang itu bukannya orang baik- baik!

Perasaan geram Siu Lian kian menjadi-jadi demi melihat perbuatan yang dilakukan orang itu terhadap bayi yang terlentang mati tadi. Semula Siu Lian hendak menyerbu keluar dan menghajar manusia biadab itu, tetapi karena melihat bayi itu telah mati, maka ia membatalkan maksudnya.

Terutama karena ia maksud untuk mengetahui lebih lanjut perbuatan manusia berwajah menyeramkan itu!

Tiba-tiba sekali, dengan mengeluarkan gerengan keras, suara campur tertawa, manusia menyerarnkan itu mengangkat anak bayi yang sudah mati, maka dilain detik kepala bayi itu telah berada dalarn cekalan kedua telapak tangannya setelah itu diangkatnya tinggi-tinggi. Tidak jelas apa yang diperbuatnya. Hanya beberapa detik kemudian, ketika dia letakan kembali maka anak bayi itu sudah menjadi bangkai tanpa tulang dan tidak lagi mengandung darah. kemudian dilepitnya, seperti cara orang melepit kertas.

Walau sebenarnya gusar Siu Lian melihat perbuatan orang itu namun perasaan terkejut akan kehebatan tenaga dalam orang menggetarkan hatinya juga. Sebab ia tahu itu suatu cabang pelajaran ilmu lwekang India yang termashyur lihai sekali. Dan untuk meyakinkannya dibutuhkan waktu tidak hanya tiga atau empat tahun saja. Memang demikianlah orang-orang yang mempelajati ilmu itu, apabila pelajaran sudah mencapai tingkat akhir maka orang tersebut harus banyak-banyak minum darah anak bayi. Maka dari itu untuk daerah Tionggoan ini tidak ada yang mau mempelajarinya, karena ke banyakan walaupun dia dari jalan hitam atau putih tidak tega untuk melakukannya.

Orang yang meyakinkan ilmu lwekang itu tenaga dalamnya luar biasa sekali dahsyartiya. Demikianlah, tadi, ketika manusia bermuka buruk itu menggunakan kedua tangan mencengkeram kepala bayi tadi, maka semacam tenaga dalam yang besar sekali, seperti aliran listrik mengalir masuk, merusakkan isi perut bayi itu. Yang hebat ialah dengan jalan demikian, dengan melalui kesepuluh jari tangannya, darah anak itu yang hampir beku, dihisap masuk kedalam pembuluh-pembuluh darahnya, hingga kesudahannya isi perut bayi tadi habis kosong.

Siu Lian pernah mendengar dari cerita gurunya yang kedua, bahwa ditanah India, orang yang mempelajari ilmu tersebut hanya seorang saja, yakni orang yang dengan ular-ularnya hampir mencapai usia tujuh puluh tahun.

Kalau dikatakan dia ini, salah seorang dari Ang Oei Mokko itu tidak mungkin, sebab bukaakah dari julukannya sudah dapat dibayangkan bahwa kedua iblis itu mempunyai muka yang merah dan kuning? Sedang orang yang memakai baju kedornbrongan itu, muka nya berwarna putih, kulit bangsa Han? Habis siapakah dia ini? Tiba terlihat orang itu mengeluarkan sesulatu benda dari dalam bajunya yang kedombrongan.

―Ah  !  Itulah  peti  putih  yang  selama  ini  rnenjadi  pikiran  Siu Lian, kini ditimang-timangnya. Terdengar beberapa kali dia tertawa dingin, a kan tetapi mendadak ia membentak keras dan serempak dengan itu, dengan cepat luar biasa, disimpannya kembali peti putih itu. Serentak dia meloncat bangun.

―Siapa?     Keluar!!     Jangan     serubunyi!!"     terdengar     dia membentak. Siu Lian terperanjat bukan main. Dikiranya, pastilah tempat sembunyinya telah diketahui. Heran ia, sebab bukankah ia selama bersembunyi ia telah menggunakan ilmu simpanan gurunya dari tingkat yang paling tinggi? Apakah mungkin kepandai an orang ini dapat lebih tinggi dari simpanan ilmu itu? Kalan demikian berarti kepandaian orang itu masih lebih tinggi dari ilmu kepandaian gurunya! Dan kalau benar, tamatlah ia riwayatnya, sebab itu suatu tanda bahwa kepandaian orang itu diatas kepandaiannya. Namun pada saat itu, pada ketika bampir saja Siu Lian memperlihatkan dirinya, mendadak dari sudut kamar sebelah kanannya pada jarak kira-kira dua puluh tindak, atau kira lima tindak disebelah kanan muka buruk itu terdengar suara keras bergedubrakaan. Dan membarengi dengan itu, teruntuk stalagtit-stalagtit, melesat keluar seorang perempuan berambut panjang riap-riapan.

Nenek ini berwajah buruk menjijikan, suatu tana ia telah mengalami siksaan jiwa yang hebat. Tetapi dari sisa guratan air mukanya yang masih tampak pada beberapa bagian mukanya, jelas membayang suatu wajah yang cantik jelita pada masa mudanya. Dengan terbongkok-bongkok dia berjalan menghampiri si kakek berwajah buruk itu. Dari mulutnya sebentar-sebentar terdengar suara tawanya yang aneh menyeramkan.

―Ah, kiranya kau  nenek keparat!" terdengar si kakek berteriak memekakkan. Dan bahasa panggilan ini sesungguhnya membuat Siu Lian tak mengerti. Karena walaupun di ucapkan dengan nada keras sekali, tetapi terasa masih menyembunyikan rasa kasih, sayang dan suatu tanda bahwa mereka pernah saling mengenal atau berkawan. ―Angin apakah yang telah membawamu sesat kemari?‖ ―Angin  apa?  Tua  bangka  bangsat  Kim  Cit  Loo,  lupakah  kau akan perjanjian kita pada dua puluh tahun yang lalu?!"

Kim Ciat Loo? Tergerak hati Siu Lian mendengar nam ini. Ia mengingat-ingat dan masing-masing selama dia memikir-mikir, akhirnya   terlintas   juga   sesuatu   didalam  otakuya.   ―Mungkinkah orang ini yang pernah diceritakan oleh guru?‖

Siu Lian, ingat pernah gurunya bercerita tentang seseorang. Sebenarnya orang itu keturunan bangsawan, yaitu putra turunan ketujuh keluarga Kim. Tapi kemudian karena tingkah lakunya yang memalukan menjual bangsa dan negara, maka ia dikutuk dan dibenci oleh kebanyakan orang Han.

Terpaksa pada suatu hari untuk menyelamatkan jiwanya, dia telah pergi terusir dari tanah Tionggoan, untuk kemudian sejak hari itu tidak pernah terdengar lagi kabar beritanya.

Banyak orang yang mengatakan bahwa ia mungkin membunuh diri. Sebagian lagi ada yang mengatakan kalau dia telah dewasa menjadi makanan binatang buas. Dan banyak lagi cerita-cerita yang lain yang merupakan desas desus yang tidak jelas asal usulnya. Apakah mung kin manusia jejak Kim Cit Loo yang ada sekarang ini adalah Kim Cit Loo yang pernah diceritakan oleb gurunya?

―Oh,iya!  Sungguh  kau  mempunyai  ingatan  yang  baik!  Aku sendiri benar-benar telah melupakannya. Bukankah pada sepuluh tahun yang lalu, aku telah menjanjikan agar kau mengunjungi liangku? sungguh aku sudah tua dan jadi pelupa ... Mari, mari sini minum bersamaku

―Pelupa?‖  si  nenek  mengejek."Kukira  cuma  lupa  dibuat-buat! Aku tidak perlu dengan arak merah harum. Aku kemarin hanya untuk menagih janjimu yang telah dikatakan kepadaku! Lekas bersiap-siap lah!" bentak si nenek, seraya ia lompat kedepan, menerkam. "ingin kulihat kepandaian apa yang telah kau peroleh selama sepuluh tahun ini !"

―Ha  ha  ha!"  Cit  Lo  tertawa  bergelak.  Dia  tidak  membalikan tangkisan atau perlawanan. Melainkan untuk menghindarkannya ketika serangan si nenek hampir tiba, ia geser tubuh nya sedikit kekanan.

―Nenek   keparat   Tan   Gouw   Nio   apakah   tidak   dapat   kau bersabar? Bukankah sedikitnya juga kita perriah hidup mencicipi kesenangan suami isteri sampai dua puluh tahun! Buat apa begini ter gesa-gesa? Marilah! sambil kita minum arak, kita menceritakan pengalaman berpisah, sekalian kita melepas rindu, yang telah kita pendam selama dua puluhan tahun, sesudah sarang kita diobrak- abrik itu dua keparat paman dan keponakan Oei Hong Gait chin Bian Lip!"

―Hemm,   baiklah.   Baiklah   kuterima   tawaranmu.   Anggaplah untuk babak pertama ini nyonya besarmu telah dikalahkan oleh bujukanmu! Hem, huu hihihi!" Lalu dengan senyum genit dibuat- buat, nenek ini duduk mendekatkan tubuhnya kesisi Kim Cit Loo yang kemudian menyambutnya pula dengan mesra.

Muak rasanya Siu Limn rnenyaksikan si-kaptentil kedua manusia yang sudah lanjut umur itu. Lebib-lebih si nenek keriput yang bernama Tan Gouw Nio. Tidak henti-hentinya ia mem permainkan matanya, menggoyang-goyangkan kepalanya, berbeda benar dengan .sikapnya waktu ia baru muncul tadi.

Tiba-tiba, ah! Tetkesiap Siu Lian ketika mendadak ia teringat akan nama-nama yang baru saja kemarin disebut oleh Hong In. Ya, tidak salah lagi! Tentu yang dimasudkan oleh Kim Cit Loo ini tentu adalah ayah dan paman Hong In. Sebab tak mungkin dunia ini kejadian hal yang demikian kebetulan! Narna Bian Lip yang menjadi kakek Hong In tidaklah mungkin terdapat di mana.

Jadi ada hubungan apakah antara kedua manusia buruk. ini dengan ayah dan parnan Hong In? karena itu, maka Sin.. Lian bermaksud untuk memasang telinganya, barangkali ke mudian ada hubungannya dengan kematian ayah dan paman Hong In.

―Perempuan keparat, Melihat wajahrnu yang makin lama makin cantik. tentu kau selain baik-baik saja bukan? Ha ha ha !" Cit Loo memaki dan menjadi.

―Hi hi hi! Tepat  dugaanmu, Sejak perpisahan kita tempo  hari, aku selatu baik-baik saja, Bahkan untuk bersiap-siap memenuhi janjimu, aku telah bersusah payah melepaskan urat mengebalkan daging, belajar membekukan darah dan mengeraskan tulang!! Ehh, apakah kakek bangsat sudah berhasil membalaskan sakit hati kita? Dan apakah kitab itu masih tersimpan baik?‖

Mendengar panggilan bahasa orang yang selalu mempergunakan makian keparat, tua bangka, dan sebagainya, tanpa terasa walaupun muak, Siu Lian geli juga dalam hati. Manusia- manusia macam apakah mereka ini? Tampak nya mereka pernah hidup suarni isteri, tetapi sikapnya mengapa begitu? Dan...kitab apakah yang mereka maksudkan tadi?

―Sakit hati kita?" Cit Loo mengulangi, menyeringai. ―Mana aku dapat duduk diam dan tenang pikiran, apabila hal ini belum ku lakukan?!"

―Jadi  kau tua bangka bangsat, kau sudah lakukan hal itu?!"

Kim Cit Loo manggutkan kepalanya dengan senyum puas kemenangan.  ―Perempuan  keparat,  sakit  hati  itu  telah    kubalas dengan sedikit juga tanganku tidak bernoda darah kedua binatang she Oei itu. Ya, sedikit juga tidak! Maka ayo, kau harus mengucapkan selarnat padaku dengan menciumku sekali saja, hahaha!"

―Cis  !  Tidak  tahu  malu!  Letaki  keparat!  Aku  tidak  percaya ocebanmu! Bagaimana mungkin membunuh tanpa sedikit kecipratah darah!? Terdengar Cit Loo mengbela napas.

―Memang,  hal  ini  apabila  tidak  kuceritakan  selamanya  akan merupakan kegelapan maka baiklah kau dengarkan sekarang! Percaya atau tidak, itu urusannau!‖

―Sejak hancurnya singasana kita yang disusul dengan pereraian kita, dua puluh tahun yang lalu, hidupku benar-benar berubah sama sekali. Sudah terhina dari sana sini. Terlunta-lunta pula! Tetapi mujur, pada suatu hari aku dapat berkenalan dengan dua orang India yang kepandaiannya sangat tinggi, terutama ilmu betot Jiwa lima jarinya sangat dahsyat. Beberapa tahun kemudian, yaitu sepuluh tahun yang lulu, bertiga kami menyatroni Oei kee cung, di lereng gunung Thang ala san!"

Berdegupan keras jantung Siu Lian ketika mendengar pembicaraan orang ini. Kini jelas baginya, macam apakah sebenarnya orang-orang ke dua nenek dan kakek itu!

―Nah kau sendin ikut bersama kedua India itu. bagaimana bisa kau bilang kalau kau tak bernoda darah setetes pun?!" si nenek berseru, suaranya kering dingin suatu tanda dia kurang senang.

―Tunggu  dulu,  bicaraku  belum  selesai.  Aku  tidak  membual tahu! k elihaian kedua India guruku itu, sudah tak ada tandingan. lihai bukan main. Mereka berdua dengan mudah saja dan dengan hanya mempergunakan sepulub jeriji jari-jarinya, dalam waktu hanya beberapa jam saja, seluruh keluarga binatang she Oei itu dibikin turnpas habis! berani aku sum pah, mati berdiri disini, kalau aku dusta." Meadengar penuturan ini, tidak hanya si nenek saja yang terkejut, tetapi juga Siu Lian. Hanya perbedaannya kalau si nenek bekas isteri Cit Loo kaget karena perasaan sedih, dan girang bercampur jadi satu, sedangkan Siu Lian karena benar-benar tidak pernah rnenyangka kalau orang yang di bayaggi itu adalah biang keladi kematian ayah dan paman Hong In. Gusar ia mendengar akan pengakuan licik kakek buruk itu yaitu bahwa tidak salah lagi pasti ia ini Cit Loo seperti yang Pernah di ceritakan gurunya. Licik dan keji!.

―Tua  bangka  bangsat!  Dengan  carmu  mernbalas  begitu  rupa, walaupun ada sisa keluarga si binatang Bian Lip yang hendak menuntut balas tentunya, tidak ada dia mencari-mu ha ha hi hi !‖

Sudah sudah kupikirkan! Tetapi walaupun memang ada, dengan lwekang ku yang sudah tidak dibawah lwekang guruku, apa yang bisa dilakukan terhadapku? Lhat!" Dan bersamaan dengan itu, segera ia memperdengarkan bentakan. Cepat bukan main, tanpa terlihat pula gerakannya, separuh stalagtit rebah yang digunakan sebagai meja tiba-tiba hancur luluh tanpa kedengaran suaranya pula! tinggal suara tawa bangga kakek itu, yang rerdengar menggelegar.

Menyaksikan kedahsyatan tenaga dalam ma nusia licik ini, Siu Lian tidak jadi kagum karena ia pun tetah dapat mengira- ngirakannya dari latihan kakek buruk itu tadi.

―Sombong! kau kira cuma kau bisa menghancurkan benda itu!" seru si nenek Tan Gouw Nie. Dan, tiba-tiba stalagtit yang tinggal separuh itupun hanaur lebur.

Kim Cit Loo yang semula bermaksud pamer kepandaian, jadi tersiap melihat bekas isterinya juga dapat melakukan hal serupa itu! tak pernah diduganya bahwa bekas isterinya inipun memiliki kepandaian yang tentunya tidak dibawh kepandaiannya.

―Bagus! ada juga sedikit kemajuanmu selama dua puluh tahun ini. terimalah cawan arakku!‖ kata Cin Loo seraya mengangsurkan cawan araknya.

Sebenarnya yang dimaksud cawan arak adalah batok kepala anak kecil yang telah dikeringkan. Cara memberikan cawan arak inipun sangat menghormat sekali, yaitu cawan arak itu dikepal dengan kesepuluh jari.

Namun juga, cara ini bukanlah cara pemberian yang sewajarnya. Sebab dibalik penghormatannya itu, melalui kesepuluh jerijinya, dia kerahkan tenaga dalamnya. Dalam hal ini ia telah memperaktekkan ilmunya yang dahsyat itu.

―Terimg  kasih,  terima  kasih.‖  sahut  Tan  Gouw  Nio  seraya  ia mengulurkan kedua tangannya menerima pemberian itu. agaknya nenek inipun telah bersiap-siap, tampak pada urat-urat lengan yang mebiru karena mengerahkan tenaga.

Demikianlah bekas sepasang suami isteri ini, dengan yang satu memberi dan yang lain menerima, dengan cara langsung mereka telah menggunakan ‗cawan‘ itu sebagai alat untuk mengadu tenaga Iwekang. Hebat sekali akibat adu tenaga ini.

Arak yang berada dalam cawan tulang tengkorak itu tiba-tiba saja mendidih dan membuih-buih, seperti telah dipanasi api dengan sekian derajat panasnya, sehingga ada yang sebagian tertumpah ketika Gouw Nio menyambutinya. Bahkan karena panasnya arak itu sampai meluber keluar sedangkan cawan itu sendiri juga melumer.

Terkejut kedua suami isteri ini, hingga mereka mengeluarkan suara jeritan. Sedang dilaih pihak, Siu Lian yang sedang bersembunyi tidak kurang pula kagetnya. Iwekang kedua orang itu apabila dihitung-hitung dan digabung menjadi satu tak kan berada dibawah Iwekang Siu Lian sendiri yang didapat dari gurunya. Oleh karena itu, ia berharap supaya kedua bekas suami isteri itu bertarung, sehingga salah seorang diantaranya ada yang cidera. Hanya yang menjadi keheranan Siu Lian kedua nenek dan kakek itu adalah bekas suami isteri dan dalam kata-kata mereka terkandung juga sikap mesra sisa-sisa kenangan masa lampau. Akan tetapi dibalik itu, tampaknya mereka' masing-masing mempunyai dendam sakit hati dan saling membenci, serta kelihatannya benar-benar hendak mengadu jiwa.

―Nenek keparat! Ternyata kau sudah berubah benar! Siapa yang mengajarimu?!‖

―Huh,  aku  memperoleh  dari  orang  yang  menciptakan  kitab yang   sekarang   berada   ditanganmu!‖   si   nenek   mengejek.   ―Dan kedatanganku sekarang ini untuk memenuhi permintaan beliau, mengambil pulang kitab itu!‖

―Ha ha ha!‖ Cit Loo tertawa memotong. ―Tidak masuk diakal. Omong besar! Apa mungkin tua bangka renta itu masih hidup? Lagi pula kalau aku tidak mau memberikan kitab itu, kau atau barangkali gurumu yang barangkali sudah menjadi gendakmu itu mau berbuat apa?‖

―Tutup   mulutmu!   Atau   kuhancur   leburkan   isi   perutmu! Keluarkan kitab!‖ bentak Gouw Nio. Bukan main gusarnya mendengar orang telah menghina nama gurunya.

―Ha-ha  ha!  Sudah  kukatakan,  aku  tidak  akan  memberikan! Tetap tidak! Aku kembalikan nanti setelah aku rampung mempelajarinya! Itupun setelah kurubah jadi abu. Ha ha ha…!!‖

Semakin memuncak kegusaran Gouw Nio, hingga ila lupa barusaja mereka bermesraan. Dilolosnya dari pergelangan tangan empat buah benda yang bentuknya mirip gelang, hitam llegam. Bulatannya tidak reta, terbuat dari sejenios akar yang disebut akar bahar. Dan inilah kiranya yang dinanti-nantikan oleh Siu Lian. Apakah yang dapat dilakukan oleh si nenek dengan gelang akar bahar seperti itu? dasar namanya juga masih muda, masih sedikit pengalaman dalam kalangan dunia kangouw hingga ia tidak tahu bahwa banyak para tokoh sakti yang menggunakan senjata yang aneh-aneh yang justeru sangat berbahaya.

Si nenek segera melontarkan salah satu gelangnya. Cepat dan disertai dorongan tenaga Iwekang yang dahsyat. Gelang itu melesat, disusul dengan gelang kedua, ketiga. Rupanya dia kuatir gelangnya yang pertama dapat dikelit oleh lawan.

HALAMAN  –  HILANG 

Dengan memperdengarkan suara tawa yang lebar dan nyaring, dengan mengerahkan tenaganya, Cit Loo menyambutkan pecutnya ke depan dengan maksud melibat dua kapak bekas isterinya.

Namun dari gerakan pertama tadi, Tan Gouw Nio sangat gesit seperti bajing. Demi melihat setiap serangan gelang-gelangnya mengalami kegagalan, bahkan kini ia terancam bahaya, maka segera ia lambungkan tubuhnya seperti setinggi beberapa tombak, hingga dengan demikian ia dapat meloloskan diri.

Akan tetapi ketika ia sedang bergembira karena pada pikirnya berada di atas, dengan kedudukan demikian ia dapat mengerahkan tenaganya, tiba-tiba senjata tulang-tulang yang dipergunakan oleh Cit Loo tahu-tahu telah terbang pula ke udara dengan tetap mengarah pada dua kapak itu. Seperti hidup dan bermata, senjata pecut ruas-ruas tulang itu meluncur. Hebatnya, senjata yang aslinya tidak sampai dua tombak, ketika ternyata dia tidak dapat mencapai lompatan Gouw Nio, dengan memperdengarkan suara mengkretek-kretek, bertambah panjang hingga belasan kaki. Lalu dengan sifatnya yang seperti ular hidup menyambar-nyambar. Dan kini ‗ular hidup‘ itu tidak hanya hendak menangkap kedua senjata Gouw Nio saja, melainkan mengarah ke seluruh bagian tubuh si nenek, malahan bagian jalan- jalan darah yang terpenting yang diarahnya.

Bukan alang kepalang terkejutnya si nenek Gouw Nio. Sat ini tubuhnya sedang melambung di udara, mujurnya ia dalak kedudukan biasa, kepala di atas dan kaki di bawah, hingga dengan demikian ia dapat memusatkan seluruh perhatiannya. Demikianlah ketika pecut sambungan tulang sedang menyambar kakinya, segera dengan gerakan yang mirip dengan gerakan kaki bangau, diputarnya kakinya sedemikian rupa, sehingga ketika sambaran senjata lawan datang, ia telah menghindarinya.

Lalu dengan cepat mendahului serangan Cit Loo. Selanjutnya bekas isteri ini menggerakkan tulang-tulang baharya dan kini dengan tenaga diceurahkan seluruhnya ia menyerang. Dalam keadaan Cit Loo kerepotan menghindari serangan, maka Gouw Nio melayang turun.

Demikianlah kedua bekas suami isteri itu tanpa mereka sadari telah bertarung dengan mati-matian, dimana di sudut lain seseorang telah mengintai.

Keduanya sama-sama memiliki gerakan simpaman yang aneh- aneh dan ganas, membuat Siu Lian yang walaupun telah memiliki kepandaian yang cukup tinggi, diam-diam merasa kagum juga. Berkat kecerdasan otaknya, dapat juga gadis ini menangkap beberapa gerakan kedua orang itu dan mencatatnya dalam hati. Tanpa mereka rasakan, dua ratus jurusan sudah mereka lewatkan. Salas seorang belum menunjukkan tanda-tanda akan mengalah. Mereka sama-sama tangguh karena agaknya mereka memiliki kepandaian yang seimbang. Ketika itu, hari telah berganti malam, rembulan telah muncul di langit, menggantikan kekuasaan matahari menyinari bumi dengan cahaya yang gemilang.

Suatu saat, tiba-tiba berkelebat suatu siasat di kepala Cit Loo. Ia ingat akan sifat-sifat isterinya ini, selama mereka bergaul sebagai suami-isteri. Bahwa Gouw Nio paling takut apabila beertemu dengan anjing, walaupun anjing itu masih kecil sekalipun. Gouw Nio akan lari-lari terbirit-birit sambil ketakutan. Minta perlindungan kepada Cin Loo. Kelemahan seperti ini akan dipeergunakan oleh Cin Loo untuk menaklukkan bekas isterinya yang sekarang ternyata sangat lihai.

Maka dengan gerakan-gerakan orang seperti memanggil anjing, Cin Loo berseru-seru.

―Belang!  Hitam!  Putih!  Hayo  kalian  sergap  kedua  kakinya!

Putih, terkam punggungnya! Cepat! Gigit!! Hayo!‖

Tentang nama-nama si Putih, si Hitam dan si Belang, saat ini adalah nama-nama yang biasa dipergunakan oleh orang untuk memberii naka pada anjing. Hasilnya ternyata betul-betul tak terduga.

**** 

Salam hangat untuk para Cianpwee sekalian,

Setelah melalui berbagai pertimbangan, dengan berat hati kami memutuskan untuk menjual website ini. Website yang lahir dari kecintaan kami berdua, Ichsan dan Fauzan, terhadap cerita silat (cersil), yang telah menemani kami sejak masa SMP. Di tengah tren novel Jepang dan Korea yang begitu populer pada masa itu, kami tetap memilih larut dalam dunia cersil yang penuh kisah heroik dan nilai-nilai luhur.

Website ini kami bangun sebagai wadah untuk memperkenalkan dan menghadirkan kembali cerita silat kepada banyak orang. Namun, kini kami menghadapi kenyataan bahwa kami tidak lagi mampu mengelola website ini dengan baik. Saya pribadi semakin sibuk dengan pekerjaan, sementara Fauzan saat ini sedang berjuang melawan kanker darah. Kondisi kesehatannya membutuhkan fokus dan perawatan penuh untuk pemulihan.

Dengan hati yang berat, kami membuka kesempatan bagi siapa pun yang ingin mengambil alih dan melanjutkan perjalanan website ini. Jika Anda berminat, silakan hubungi saya melalui WhatsApp di 0821-8821-6087.

Bagi para Cianpwee yang ingin memberikan dukungan dalam bentuk donasi untuk proses pemulihan saudara fauzan, dengan rendah hati saya menyediakan nomor rekening berikut:

  • BCA: 7891767327 a.n. Nur Ichsan
  • Mandiri: 1740006632558 a.n. Nur Ichsan
  • BRI: 489801022888538 a.n. Nur Ichsan

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar