Jilid 04

SUNGGUH tak enak Balghangadar mengakhiri pembicaraan- nya. Dia mengakhiri kata-katanya dengan sebuah tantangan. Sungguh aneh.

―Balghangadar   terlalu   merendahkan   diri‖,   sahut   Auwyang Siang   Yong.   ―Aku   sendirilah   yang   justeru   kuatir,   bahwa   aku bukanlah tandinganmu. Nah, silahkan‖.

Auwyang Siang Yong mengakhiri pembicaraannya sambil majukan kaki kirinya setengah tindak, untuk ditekuk kemudian dengan sikap pelayan raja mempersembahkan sebuah angcoh, dengan hudtim dilintangkan didepan dada ia memberi hormat.

Lalu dari tangan kiri hudtim itu dipindahkan ke tangan kanan. Sedang tangan kirinya dengan dua jari menjepit ujung hudtim. Dengan demikian, ia bersiap sambil mempertunjukkan cara memberi hormat dari silat Tiongkok. Ternyata dengan sikapnya ini dia telah menghormat orang dari luar daerah Tionggoan ini, yang harus diperlakukan selayaknya sebagai seorang tamu. Balghangadar yang agaknya juga mengerti tata cara ini, dengan mencekal senjatanya, dengan tubuh tetap tegak, kepalanya sedikit dibungkukkan. Akan kemudian dengan suara teriakan keras, senjatanya dikibaskan kemuka. Cahayanya berkeredepan. Sesudah itu ia bertindak untuk mulai berputaran.

Sungguh luar biasa cara memberikan hormat ini !

Dengan memutar kekiri, Auwyang Siang Yong bersiap sedia. Kedua pihak bergerak cepat luar biasa, mereka sekarang bebas,

tidak lagi dipuncak pohon akan tetapi diatas sebuah dataran yang

luas.

Setelah bergerak beberapa putaran, mendadak Auwyang Siang Yong menghentikan tubuhnya untuk memutar balik, untuk kemudian dengan ginkaag yang luar biasa cepatnya ujung hudtim yang menjadi kaku telah mengancam tenggorokan lawan.

Melihat gerakan lawan yang tiba-tiba berubah itu, Balghangadar sambil memekik keras mengibaskan pedang bengkoknya kemuka sambil mengerahkan tenaga lweekang ke ujung senjata.

Sudah menjadi kebiasaan agaknya, bahwa setiap bergerak mulutnya pasti berteriak keras, hingga Sin Hong yang menyaksikan ini menganggap orang itu seperti orang gila.

Sementara itu. Auwyang Siang Yong yang bergerak terlalu dahulu ia mendahului lawannya mendekat. Cepat luar biasa bagaikan ulat ia mulai serangannya yang pertama mengancam dada lawan.

Pedang bengkok ditangan Balghangadar ini, sebenarnya termasuk sejenis pedang pusaka, yang dapat memapas putus berbagai barang logam. Akan tetapi menghadapi hudtim Auwyang Siang Yong yang ia tahu bukanlah hudtim sembarangan. Balghangadar tak berani main coba-coba. Maka begitu serangan datang, Balghangadar cuma berkelit kekanan, dari sini ia sodorkan pedang bengkoknya diantara bulu-bulu hudtim, untuk membabat lengan lawan.

Auwyang Siang Yong menyusuli serangan yang baru saja tidak membawa hasil. Tidak ayal pula, dengan ujung hudtimnya yang lancip, iapun menangkis senjata lawannya untuk membuat pedang bengkok itu terlepas dari cekalan.

Balghangadar cepat-cepat menarik kembali pedang bengkoknya, untuk meloloskan diri dari tangkisan lawan yang dapat menotok jalan darahnya. Dengan cara itu dia mendahului, menyerang penjagaan sang lawan yang lowong, dada musuhlah yang menjadi sasaran.

Orang kate dari dataran Tionggoan utara itu berkelit kekiri. Kemudian dengan senjatanya ia benturkan kearah senjata lawan, menyusul kemudian serangannya diteruskan, senjatanya diluncurkan mengancam kepada lawan. Untuk itu dia gunakan tipu pukulan im-yang-kun.

Kebutan itu, yang tampaknya biasa saja, sebenarnya mengandung dua serangan yang sangat dahsyat. Dengan serangan pertama, lembaran-lembaran benang hudtim bergabung menjadi satu, dalam bentuk perkakas tulis Tionghoa serta menghantam dengan tenaga yang keras.

Dan apabila serangan ini gagal, benang-benang hudtim itu seperti mempunyai alat akan lantas terbuka untuk menusuk jalan darah musuh dengan tenaga im-ciu (tenaga lembek).

Kedua serangan ini hebat bukan main sehingga kalau serangan ini ditujukan kepada seorang ahli silat yang tanggung-tanggung, tentu kematianlah akibatnya. Namun, orang yang diserang bukanlah ahli silat sembarangan. Balghangadar adalah seorang petualang. Dia ini dalam menghadapi serangan sehebat itu, sama sekali tidak gentar, malah bergemingpun tidak.

―Apakah    benar-benar    kau    dapat    menahan    seranganku?‖ Auwyang Siang Yong membentak.

Justeru saat itulah benang-benang hudtim sedang terbuka, dan tengah menyambar kemuka Balghangadar.

Pada detik itu, diam-diam Auwyang Siang Yong terperanjat. Dia juga menyesal, karena kalau serangan itu mengenai sasarannya maka pastilah lawan akan binasa seketika itu juga. Dan hal ini berarti ia menanam bibit permusuhan dengan orang-orang dari pulau sembilan. Namun apa daya, ia tidak dapat lagi mengendalikan serangannya.

Demikianlah, bagaikan kilat, ribuan benang itu menyambar. Pada saat yang sangat berbahaya bagi dirinya, Balghangadar telah membuka mulutnya dan meniup sekeras-kerasnya. Hingga disaat itu juga, benang-benang hudtim tersapu buyar.

Ternyata Balghangadar telah menggunakan tenaga dalamnya yang terdahsyat dari perguruannya untuk meniup sekeras mungkin. Mutlak, serangan lawan telah dipunahkan.

Auwyang Siang Yong terkejut sekali, dengan sekali mengibas, maka ia membalikkan cepat sekali. Ia membuat lembaran-lembaran benang itu dengan berbareng berdiri seperti jarum-jarum saja, berbalik menyambar tenggorokan dan kedua biji mata lawan.

Pertempuran ini berlangsung dengan sangat seru sekali. Sehingga membuat keempat orang yang rupa-rupanya dari golongan yang berlainan, menjadi kuncup sedangkan Lie Sin Hong hanya berdiri terpaku karena kagumnya. Sementara itu, hampir pada detik yang beramaan. Sekonyong- konyong berkelebat sinar terang serta dingin, diiringi teriakan Balghangadar : ―Bagus ! Sambutlah balansanku !‖

Dengan kedua tangannya Balghangadar memegang keras gagang senjatanya. Kemudian dengan mengeluarkan pekikan yang memekakkau telinga ia membabat tekanan dan kekiri, keatas maupun kebawah.

Belum habis serangan yang pertama, serangan yang kedua menyusul. Demikianlah selagi Auwyang Siang Yong memikir untuk balas menyerang, serangan yang ketiga telah menyambar datang.

―Bagus!‖ seru si orang kate seraya menggeser kakinya dengan tak kalah gesitnya. Auwyang Siang Yong menyingkir kekiri lawan, untuk ke mudian hudtimnya bekerja, kali ini ia mengancam seluruh jalan darah ditubuh lawannya dari leher sampai keujung kaki.

Unruk menolorg dirinya, Balghangadar memindahkan tubuhnya kekiri sambil dimendakkan. Untuk kemudian dengan mengerahkan tenaga lweekangnya keujung pedang bengkoknya, ia menyapu musuhnya dengan gerakan tui-cung bong-goat atau membuka jendela menengok rembulan. Dapatlah dimengerti hebatnya tenaga sapuan ini yang dilakukan sambil mendak.

Melihat serangan lawan, yang dilakukan dengan tenaga yang dikerahkan ribuan kati, si orang kate keponakan Auwyang Keng Liak menjejakkan kakinya untuk kemudian badannya mengapung naik,  mencelat  dengan gerak tipu  ―Burung Hoo menerjang  langit‖. iapun telah menyingkir kearah sebelah kiri.

Si petualang dari pulau sembilan itu, melihat serangannya gagal, tak mau tinggal diam sampai disitu saja. Cepat melebihi kecepatan angin tangannya dibalikkan, untuk kemudian ia menyapu membarengi lawan yang sedang melayang turun keatas tanah. Dalam pada itu, serangannya ini masih dielakkan dengan tubuh direndahkan sehingga Balgbangadar masih dapat mengerahkan tangannya seluas-luasnya, hingga dapatlah dibayangkan betapa hebatnya serangan ulangan ini.

Auwyang Siang Yong baru meletakkan kakinya ditanah ketika serangan lawan datang. Cepat-cepat mendahului datangnya serangan musuh kepalanya dilengskkan keatas, kemdian kedua ta

tangan diacungkan keatas kembali tububnya mencelat keatas dengan ilmu simpanannya sepuluh jari memecah angin.

Cepat sekali, begitu serangan lewat, diatas udara dia membalikkan rubuh dengan kepala dibawah. Sedangkan tangannya, dengan kebutannya ia mendesak, mengirim totokan mengancam batok kepala lawan.

Oleh karena dibalai diserang, maka Balghangadar tak dapat mengulangi sapuannya untuk ketiga kalinya Sebaliknya ia harus melindungi dirinya, maka degan cepat luar biasa ia harus melompat mundur, hingga karma kesempatan ini, sikate she Auwyang itu dapat turun kembali ketanah dengan aman. Dan keduanyapun telah berhadapan kembali dalam keadaan terpisah siap melanjutkan serangan masing-masing.

Sedangkan Balghangadar karena kuatir dirinya akan didesak lebih jauh, maka iapun memutar pedang bengkoknya. Begitu besar tenaga putarannya itu menimbulkan angin yang menderu-deru pasir dan batu-batu tertiup berterbangan menimbulkan rasa ngeri. Hingga Sin Hong sendiri terpaksa harus cepat-cepat berlindung dibilik sebuab pohon besar, tanpa terasa pula ia meletkan lidahnya.

Menyaksikan gerakan lawan yang begitu dahsyat, maka Auwyarg Siang Yong memutar hudtimnya. mencegah dirinya agar jangan sampat kena didesak. Keduanya sama-sama merasa sangsi. Oleh karena itu mereka segan untuk mengadu senjata. Keduanya sama-sama belum dapat menduga sampai dimana kesaktian lawan.

Demikianlah pertempuran kedua tokoh sakti itu. silih berganti saling gempur, gesit lawan gesit, tipu dilawan tipu, tampaknya mereka seimbang benar.

Suatu ketika Auwyang Siang menarik kembali senjatanya sambil kaki kanannya mundur untuk kemudian memutarkan tubuh, hingga dengan demikian ia dapat lansung meneruskan ayunan hudtitmnya, menyetang kearah betis atau paha lawan.

Untuk menghindarkan diri Balghangadar berkelit kekanan. Dengan sekali melompat, cepat-cepat ia bergerak menjauh hingga ia berada dibelakang sebelah kanan lawannya. Tetapi hudtim telah menyambar terus sebab Auwyang Siang Yong dengan tubuhnya yang berputar itu ia dapat bergerak leluasa.

Untuk mengelakkan ancaman bahaya itu, Balghangadar dengan kedua tangan mengenggam senjatanya keras, langsung menangkis dengan pengerahan tenaga lwerang sebesar-besarnya untuk membentur senjata lawan. Kecuali itu masih juga ia sempat melayangkan kaki kanannya untuk menyerang lawan. Begitulah Balghangadar lelah melakukan dua gerakan secara bersamaan, menangkis dan menyerarg. Itulah gerakan yang disebut Thay peng- Thian atau burung garuda pentang sayap.

Auwyang Siang Yong adalah tokoh yang telah berpengalaman dua puluh tahun, walaupun ia berada dalam ancaman bahaya, tetapi ia tidak menjadi gugup. Lekas-lekas ia menurunkan senjala hudtimnya untuk menghindari beturan, dan serempak pula dengan meneruskan gerakan hudtimnya yang meluncur turun hirgga ketanah, ia mengerahkan tenaga melalui hudtimnya itu, tubuhnya meloncat keatas, menghindarkan tendangan kaki sijago dari pulau sembilan itu.

Namun demikian karena cepatnya gerakan Balghangadar, ujung hudtim Auwyang Siang Yong toh kena tersampokpedang bengkok, Tetapi dengan sikap Tui-cung tong-goat atau membuka jendela memandang rembulan, Auwyang Siang Yong dengan badan masih terapung diudara, segera mengumpulkan tenaganya ditangan untuk mempertahankan senjata dttangannya. Maka setelah secepatnya terjadi benturan, Auwyang Siang Yong melayangkan senjatanya menggempur batok kepala Balghangadar.

Begitulah penarungan kedua orang ini sama-sama hebat, kuat, bergantian saling serang dan tangkis secara cepat. Auwyang Siang Yong bergerak dengan tipu dalam kekalahan mencari kemenangan. Dikatakan demikian sebab walaupun kedudukan si orarg kate ini masih berada diatas udara dan terancam bahaya, akan tetapi serangan hudtimnya dapat merubah keadaan Balghangadar telah bergerak dengan dua macam gerakan, yaitu tangan dan kakinya. Akan tetapi ia dibalas serangan. Dengan cepatnya Balghangadar mengangkat kedua tangannya, pedang bengkoknya tanpa ragu-ragu digerakkan untuk menangkis hudtim lawan yang mengancam dirinya.

Lie Sin Hong yang pengalamannya baru beberapa bulan saja serta baru mempelajari tujuh bagian dari ilmu kepandaian ayahnya, selama kedua orang itu bertempur dengan hebat dia hanya berdiri terpaku belaka. Tidak demikian dengan keempat orang yang walaupun semangatnya telah dibikin runtuh oleh Balghangadar dan Auwyang Siang Yong, namun didalam kalangan kang ouw tergolong kelas utama.

Keempat orang ini sangat terkejut melihat keberanian Balghangadar, sebab itu dapatlah diduga betapa besarnya tenaga yang lelah dikerahkan Auwyang Siang Yong. Sebab pukulannya adalah merupakan ayunan dari atas ke bawah, sedangkan hudtim adalah senjata yang ringan yang dapat digerakaannya yang sangat mendadak itupun dimaksudkan untuk mendahului gerakan lawan.

Dalam keadaan begitu terdesak Balghangadar tokoh dari pulau sembilan itu, ternyata masih sempat memutar otak untuk bertindak cerdik. Demikianlah, sebaliknya dari memperkokoh kuda-kudanya untuk menahan gempuran musuh, ia justru memindahkan kedua kakinya dengan secepatnya menggeser tubuhnya kekiri.

Terdengarlah suara nyaring, dua senjata berlainan bentuk itu berbenturan dengan sangat kerasnya.

Akibatnya hudtim terpental balik, karena meskipun benar kedua pihak sama-sama mengerahkan tenaga masing-masing akan tetapi seperti kita telah mengetahui Balghangadar adalah murid seorang ahli lwekang.

Dan dengan kesudahan itu, nyatalah bahwa Auwyang Siang Yong berada pada pihak dibawah angin. Hal ini Sin Hongpun mengetahuinya.

Tetapi manusia kate itu sangat penasaran, ia menurutkan segala nafsu hatinya. Ia tidak menyadari bahwa selain dia berdua dengan lawannya masih ada lima orang lain yang menyaksikan pertarungan itu dari awal sampat saat ini.

Tanpa memperdulikan tangannya yang tergetar akibat benturan tadi, ia bernafsu besar untuk melakukan pembalasan, merobohkan lawannya, agaknya untuk segera dapat mencari sesuatu yang dipesan oleh pamannya. Dengan menahan sakit pada kedua tangannya yang terluka itu ia menggenggam keras hudtimnya, lain dari arah kanan ia bergerak pula. Sambil bergerak, tubuhnya memutar sedikit lalu memajukan letak kakinya sedikit untuk mendekati lawan. Dilain pihak. setelah dapat membenturkan pedang bengkoknya pada senjata lawan, Balghangadar dengan cepat menggeser tubuhnya kekanan lalu dengan sikap Leeh-ta teng atau ikan tambera membalikkan tubuh, ia melengak untuk kemudian melompat berjumpalitan. Secara demikian, maka ia lebih dahulu telah bersiap sedia untuk dapat melihat seluruh gerakan lawan.

Balghangadar tidak berani memandang ringan pada lawannya siorang kate itu, walaupun pada babak pertama ia telah berhasil melukai telapak tangan lawannya itu.

Demikianlah, setelah dapat melihat gerakan Auwyang Siang Yong, Balghangadar memutar kaki kanannya kekiri setindak hingga dengan bergerak secara demikian ia telah menjauhkan dirinya dari lawan sejauh lima kaki.

Walaupun demikan musuhnya dapat bersiap-siap lebih dahulu, dengan sabetannya Auwyang Siang Yong masih dapat menyambarkan hudtimnya dengan mengancam pundak lawan.

Kalau serangan itu dapat mengenai lawannya, dapatlah dipastikan kebinasaan bagi Balghangadar. Sedangkan Balghangadar sendiri memang menghindar tidak terlalu jauh. Malah berseru, ―Kau gembrengi aku untuk hak waris yang ditinggalkan oleh nenek moyangku. Baik, aku akan mengadu jiwa denganmu agar dikubur bersama ditempat ini‖.

Sambil berseru demikian Balghangadar melintangkan pedangnya diatas kepalanya, ia tidak menggunakan tenaga besar, sebab itu hanyalah tangkisan belaka. Melainkan mengiringi hal itu tenaga lweekangnya disalurkan penuh-penuh kedalam dua telapak tangannya.

Suara nyaring mengaung bagaikan beradunya sebuah martil besar menempa besi, akibat bentrokan dahsyat itu. Bunga api muncrat berhamburan kesana-kemari. Sekali ini, walaupun dia adalah seorang ahli ginkang dan memiliki tenaga besar melebihi tenaga orang biasa, Auwyang Siang Yong tidak sanggup untuk mempertahankan hudtimnya lebih jauh.

Karena baru saja ia menderita luka pada telapak tangan, jadi kekuatannya hanya ada pada kelima jarinya belaka. Kini ia tergempur pula, hingga tidak ampun lagi senjatanya terlepas dari genggaman, dan senjatanya jatuh terbanting berkelontrangan.

Dengan muka pucat pias menahan malu, Auwyang Siang Yong berdiri tertegun. Kemudian wajahnya berubah merah padam kembali, tangannyapun masih dirasakan nyeri bukan alang kepalang. Sambil memutar tubuh ia berseru :

―Balghangadar!‖ katanya. ―Untuk sepuluh tahun aku menuntut ilmu dibawah pengawasan pamanku. Dan telah dua puluh tahun aku berkelana dikalangan kang-ouw, aku belum pernah bertemu tanding, tetapi tidak disangka dalam perjalananku ini ke tanah barat untuk mencari lukisan-luksian aku berbentrok denganmu. Dasar mungkin bukan jodohku, aku urungkan saja niatku untuk memiliki lukisan-lukisan itu, karena hari ini aku telah dapat kau robohkan, maka kuanggap hal ini, disebabkan kebisaanku yang belum sempurna. Akan tetapi dalam hal ini, kuharap dengan sangat agar pada kesempatan sepuluh tahun yang akan datang, kau sudi mengunjungi daerah sebelah utara sungai besar untuk memperebutkan gelar jago kelas satu bagi seluruh daratan Tiongkok. Haruslah kau ketahui, bahwa pada hari itu nanti akan datang Alilah, Telumuju shin dari Mongol, kedua naga Sucoan Utara dan Selatan yaitu Liong-kang hiap Ciu Cin Lie dan Cu Giok Liong Cek Thoa Thong serta sipemillk pulau Tho Liuto Shia hiap Gouw Bian Tie, bahkan mungkin masih banyak lainnya lagi. Pada hari itu pula aku akan mencoba kehebatan pedang bengkokmu. Nah, sampai ketemu lagi''. Manusia kate itu terus merangkapkan kedua tangannya kepada lawanya itu untuk kemudian memberi hormat setelah itu ia berpaling kearah Lie Sin Hong, untuk kemudian berseru:

―Anak  muda,  maafkan  aku  kalau  tadi  aku  telah  menuduhmu yang bukan-bukan‘‘.

―Tetapi   kepandaianmu   tadi   sungguh   mengagumkan.   Tidak pernah kusangka bahwa didunia ini ada orang yang masih semuda kau dapat memiliki kepandaian demikian tingginya. Maka pergiatlah latihanmu, dan dinanti juga kuharap kedatanganmu di sebelah utata sungai besar, sepuluh tahun bukanlah waktu yang pendek!‖

Setelah berkata demikian, kembali ia berpaling pula kearah empat orang lainnya, untuk memberikan undangannya pula.

Setelah itu segera manusia kate itu memutar tubuhnya untuk bertindak keluar, meninggalkan daerah pegunungan itu, dan dalam sekejap iapun telah menghilang dibalik pohon-pohon yang rindang. Sedangkan Balghangadar setelah kepergian manusia kate itu, segera melangkah menghampiri Sin Hong.

―Anak muda! Siapa namamu?‖ Tanyanya.

―Sin    Hong,    she    Lie‖,    pemuda    itu    menjawab    sambil merangkapkan tangannya memberi hormat. Sementara itu, keempat orang yang telah menjadi kuncup semangat itu kini menghampiri Lie Sin Hong dan Balghangadar. Ternyata mereka adalah orang- orang yang mempunyai maksud yang sama dengan Auwyang Siang Yong.

Mereka adalah Tok gan (si Mata Tunggal) Gouw Ceng dari Bie Bie Ciu, Gin-piauw (si piauw perak) Giok Seng Toan seorang ahli menggunakan senjata rahasia dari Siuciu. Sedang dua orang lainnya adalah dua saudara Sin eng (si Garuda Sakti) Kin Bian Liu dan Kim pian (pian emas) Kian Bian Eng dari Tin pa. Mereka adalah ahli- ahli kangouw yang usianya sudah hampir mencapai limapuluhan. Sedang kepandaiannyapun sudah boleh dikatakan tinggi.

Keempat orarg ini setelah mengucapkan selamat berpisah, segera mengambil jurusannya masing-masing, meninggalkan tempat itu.

―Lo  jin-kee,  untuk  urusan  apakah  sehingga  kau  bertempur melawan si manusia kate tadi !‖ tanya Sin Hong yang jadi bersimpati  kepada  orang  asing  berpedang  bengkok  itu.  ―Apakah yang dimaksudkan dengan lukisan-lukisan itu?‖

―Sin  Hong‖   jawab  Balghangadar   yang   langsung   menyebut nama   pemuda   itu.   ―Disini   bukanlah   tempat   yang   baik   untuk berbicara. Apakah kau mempunyai rumah disekitar ini, atau barang kali kau hanya seorang pelancong saja?‖

Sio Hong menggelengkan kepalanya.

―Aku  tidak   mempunyai  rumah  disekitar   ini  juga  bukanlah seorang pelancong.‖

―Habis,   mengapa   kau   berada   ditempat   ini?‖   Balghangadar berkata memotong, yang menjadi heran karenanya.

―Aku datang kemari bukan hanya sendirian tetapi berdua‖.

―Berdua? Ditama dia sekarang yang seorang lagi?‖

―Dia    hilang    entah    kemana‖    sahut    Sin    Hong    sambil menundukkan  kepalanya  ―Dua  hari  yang  lalu  aku  berdua  menaiki pegunungan ini. Tiba-tiba kami disergap oleh segerombolan beruang. Seorang diri setelah aku berhasil menyingkirkan seorang temanku itu, aku bersihkan binatang-binatang pegunungan itu, kecuali beberapa ekor yang melarikan diri. Segera akupun menghampiri gua di mana temanku tadi kusingkirkan, tetapi kemudian aku menjadi kaget sekali ketika ternyata di luar maupun didalam gua tidak kutemukan dia lagi. Karena penasaran, segera aku mencari hingga ditempat ini sampai aku terlibat dalam pertempuran dengan kedua orang Ceng- hong-pay dan orang asing itu !‖

Menerangkan sampai disini, barulah Sin Hong sadar bahwa ia telah beberapa saat melupakan Siu Lian.

―Kasihan‖ orang pulau sembilan itu menggumam seorang diri

―Siapakah nama temanmu itu?‖

―Dia  seorang  gadis  bernama  An  Siu  Lian‖  jawab  Sin  Hong tanpa tedeng aling-aling.

―Lantas untuk apakah kalian mendaki tanah pegunungan ini?‖ Balghangadar  tertawa  kecil.  ―Apakah  kalian  penganten  baru  yang sedang berbulan madu?‖

―Tidak!‖ sahut Sin Hong agak tersinggung.

―Kami datang  kemari untuk  meyakinkan  ilmu  silat  yang  telah kami miliki‖, Sin Hong menyambung bicaranya.

―Oh,   maaf‖   Balghangadar   tersinggung.   ―Aku   telah   salah sangka‖.

―Lo-jin-kee‖,  seru  Sin  Hong  kemudian  tanpa  menghiraukan sikap orang asing itu. ―Biarlah aku permisi dulu sebentar, nanti aku kembali kemari pula mendapatkanmu. Aku hendak mencari kawanku itu‖.

Lalu tanpa menunggu jawaban iapun meninggalkannya. Tetapi baru saja ia berlari-lari belum berapa jauhnya, tiba-tiba Balghangadar berseru

―Sin Hong! Tunggu! Bolehkah aku membantumu?‖ Mendengar seruan itu Sin Hong berhenti sebentar dan berpikir.

Lalu tampak ia memanggutkan kepalanya ‘‘Baiklah!‖ katanya.

Selanjutnya dengan dikawani oleh orang asing yang baik hati itu, Sin Hong menjelajahi separuh dari pegunungan Than ala-aan. Namun sampai hari menjadi sore, mereka belum juga memperoleh hasil. Seorangpun tidak pernah dijumpai oleh mereka.

―Siu Lian ! Siu Lian !‖ Sin Hong berteriak-teriak seperti orang kalap. ―Siu Lian !‖

Namun walau bagaimanapun meski sampai kering tenggorokannya, tetapi Sin Hong tidak memperoleh hasil, hingga akhirnya karena sedih dan cemasnya Sin Hong menangis menggerung-gerung hampir ia putus asa dan membenturkan kepalanya pada sebatang pohon.

―Sin  Hong‖,  Balghangadar  berusaha  menghibur‖.  ―Sudahlah, jangan terlalu disedihkan. Kau toh laki-laki, sedangkan mati hidupnya kawanmu itu belum ketahuan, untuk apa membunuh diri. Bagaimana kalau nanti kenyataan dia masih hidup sedangkan kau telah mati membunuh diri? Apakah perbuatanmu itu tidak akan menjadi bahan tertawaan belaka? Maka lebih baik marilah ikut aku. Nanti akan kuterangkan tentang suatu benda yang luarbiasa !‖

―Barang  apakah  itu?‖  Tanya  Sin  Hong.  Hatinya  sudah  agak terhibur oleh kata-kata Balghangadar yang ternyata memang ada benarnya juga. Sebab tokh sakit hatinya belum terbalas.

―Bukan disini tempanya untuk berbicara. Mari ikut aku‖, sahut Balghangadar.

Maka sesaat kemudian tampak kedua orang itu berlarian menuruni gunung Than-ala-san. Seperti dengan sengaja Balghangadar berlari dengan cara memberi Sin Hong tak mampu melewati, hingga akan sia-sia saja apabila Sin Hong mengempos semangatnya untuk mempercepat larinya supaya dapat menyandak orang asing dari pulau sembilan itu.

Sesudah hari malam, sampailah kedua orang itu ke kaki gunung.  ―Lo-jin-ke,  kemana  saya  hendak  kau  bawa?‖  tanya  Sin Hong. Pertanyaan Sin Hong tersebut tidak memperoleh jawaban.

Bahkan Balghanradar terus membawanya berlari-lari memasuki sebuah kampung, dimana lantas muncul belasan ekor anjing yang menyambut mereka dengan gonggongannya yang riuh. Beberapa orang chunteng itu tampak keluar rumah.

―Siapa?‖  Chunteng  itu  menegur  dengan  nada  tidak  senang.

―Mengapa  memasuki  kampung  orang  dengan  berlarian,  membuat kegaduhan?‖ Tegur chunteng yang lain.

―Aku, Balghangadar dari pulau sembilan !‖ sahut Balghangadar dengan tegar.

Setelah mendengar jawaban orang asing ini segera sikap para chunteng itu berubah manis dan penuh hormat. Bahkan seorang diantara mereka berkata : ―Oh, kiranya tuan Balghangadar. Sungguh tidak kami kira — ‘‘

Beberapa Chungteng itu lantas maju memberi hormat. Dua diantaranya masuk kedalam rumah, untuk melaporkan kepada majikan mereka akan kedatangan tamu yang agaknya telah mereka kenal baik itu. Yang seorang lagi mengusir anjing-anjing yang tadi menggonggong, sedangkan yang lain lagi mengajak kedua tamu itu untuk masuk.

Didepan sebuah rumah besar, tampak dua orang tuan rumah yang datang menyambut. Dan Balghangadar sendiri juga sangat hormat kepada kedua tuan rumah itu.

―Inilah  kawanku‖  kata  Balghangadar  memperkenalkan  tuan rumah kepada Sin Hong. Siu Hong pun memberikan hormatnya selanutnya tuan rumah memimpin mereka untuk memasuki ruang tamu.

Kedua tuan rumah, usianya kurang lebih telah mencapai empat puluh tahun lebih. Yang seorang mukanya panjang kurus, matanya sipit, sedangkan yang seorang lagi mempunyai muka yang hitam dan gemuk. Dengan matanya yang bundar dan kulit muka yang sangat hitam, cambang bauknya kembrongsan kaku seperti kawat. Dia bertubuh kate kekar sebagai seorang yang mengerti ilmu silat.

―Kedua  chuncu  itu  adalah  paman  dan  keponakanku‖.  kata Balghangadar mengenalkan tuan rumah kepada kawan barunya. ―Ini Kim-say Uy Ban Lip dan itu Ui Hong Can. Kedua-duanya sangat termashur didaerah Thibet ini‖.

Sin Hong berlaku hormat kepada kedua tuan rumah itu. Dan diam-diam ia juga kagum kepada kawan barunya yang ternyata juga mempunyai pergaulan yang sangat luas. Sedangkan sebaliknya kedua tuan rumah itupun sangat tertarik pada tamunya yang muda itu. Mereka bertanya kepada Bilghangadar sejak kapan ia mempunyai sahabat muda itu, dan mengapa mereta belum pernah mendengar hal itu.

―Sebenarnya dia bukanlah kawan karibku‖, sabut Balghangadar menerangkan.  ―Aku  baru  mengenalnya  tadi,  Aku  menyukai  pada cita-citanya yang tinggi‖.

Balghangadar tidak melanjutkan kata-katanya, tetapi sambil melirik dan tertawa kearah Sin Hong, ia berkata pula :

―Sekarang tolong sediakan barang hidangan, Aku sudah sangat lapar, sebentar kita akan bicirakan hal ini perlahan-lahan‖.

Ui Bian Liep lantas menyuruh pembantu-pembantunya untuk segera menyiapkan barang makanan. Paman dan keponakan itu menyuguhi Balghangadar dengan arak wangi, akan tetapi tamu ini tidak menyukai minuman itu, maka ia menolaknya. Demikian pula dengan Sin Hong yang sejak kecil tidak dibiasakan minum-minuman keras. Ia juga tidak turut minum.

―Ah,    siauwte,    kau    minumlah!‖    kata    Ui    Hong    Gan mempersilahkan  tamu  mudanya,  ―Diantara  kita  janganlah  malu- malu!‖.

―Terima    kasih‖,    Sin    Hong    menampik    sambil    bangkit menghormat, ―Sesungguhnyalah aku belum pernah minum arak.‖

Hong Gan telah mengangkat cawannya, maka ia jadi minum sendiri.

Sementara itu, Balghangadar bercerita. bagaimana tadi kawan mudanya itu telah membuat pertahanan Tan Cian Po suami isteri kocar kacir, serta membuat Kana Gamalye harus berkelahi mati- matian menguras tenaga, untuk menghadapi Sin Hong.

Mendengar cerita itu tidak henti-hentinya paman dan keponakan itu memuji Sin Hong, kemudian tuan rumah itu dibuat makin tak henti-hentinya memberikan pujian ketika Balghangadar bercerita tentang bagaimana ia telah mengalahkan keponakan Auwyang Keng Liak setelah bertarung setengah harian.

Iapun menceritakan pula bahwa Auwyang Siang Yong telah menantang untuk mengadakan piebhu lagi, nanti sepuluh tahun yang akan datang. Dalam hal ini paman dan keponakan itu bersedia untuk memberikan bantuan.

―Setelah mengarungi lautan luas selama delapan hari, pada kira tujuh hari yang lalu aku mendarat didataran Tionggoan ini. Demikianlah atas perintah guruku, aku langsung pergi ke daerah Thibet untuk mendaki gunung Than-ala- san untuk menyerapi dan kalau mungkin membawa pulang sebuah patung emas yang menurut keterangan guruku adalah merupakan peninggalan diri seorang pendiri ilmu silat pedang negeriku. Siapa sangka, salah paham telah terjadi dengan Auwyang Siang Yong, hingga pertarunganpun tak dapat dihindarkan lagi !‖

Balghangadar berbicara dengan penuh semangat, sebaliknya kedua tuan rumah itu menjadi sangat terkejut dan heran.

―Balghangadar loosu‖, kata Hong Gan- ―Kau datang kedaratan Tionggoan ini untuk keperluan sebuah patung emas?‖

Balghangadar menganggukkan kepala membenarkan.

―Patung  emas  apakah  itu?Aku  belum  pernah  mendengarnya‖, tanya Ban Liep.

―Dan  salah  paham  bagaimana  itu,  loo-  jinke?‖  Sin  Hongpun ikut menimbrung.

―Marilah  kalian  dengarkan  perihal  riwayat  patung  emas  itu, akan kuceritakan pada kalian dengan sejelas-jelasnya agar sesudah kalian mengetahuinya, kalian dapat mewakili aku untuk menghindarkan salah paham, karena pada saat ini dalam dunia kang-ouw sedang terjadi sengketa besar mengenai perebutan sebuah tempat yang ditinggalkan oleh seseorang yang luar biasa. Mengenai hal ini dapat kau minta keterangan kepada Susiokmu!‖ sambil berkata demikianlah Balghangadar menunjuk kearah Ban Liep.

―Menurut   cerita   guruku.   Tsuzumi   Agakura‖,   Balghangadar memulai ceritanya.

―Pada kira-kira dua ratus tahun yang lalu, pada hari ulang tahun rajaku, beliau telah mendapat hadiah sebuah benda yang seluruhnya terbuat dari emas murni. Benda itu berbentuk sebuah patung. Yang memberikannya adalah seorang cianpwe kami yang telah berbasil menciptatan ilmu silat yang kini dianut dinegeri kami. Ketika itu raja kami yang telah berusia lanjut itu tidak mengetahui faedah dan rahasia apakah yang terkandung dibalik keelokan patung emas itu… ‖

―Apakah  yang  lo-jinke  maksudkah  adalah  patung  emas  yang membuat kau menyeberangi lautan luas itu !‖ tanya Sin Hong,

―Benar'‘ Balghangadar mengangguk,

―Akhirnya  patung  itupun  terjatuh  ke  tangan  putera  raja,  yang ketika itu menggantikan ayahandanya. Raja muda ini sangat menyukai patung itu‖, Balghangadar meneguk air tehnya, kemudian melanjutkah pula.

―Justru  pada  tahun  keempat  setelah  putera  kaisar  itu  menaiki tahta, maka cianpwe yang menghadiahkan patung emas itu meninggal dunia karena usianya yang sudah tua. Siapa duga beberapa tahun kemudian salah seorang muridnya menyebarkan berita bahwa dibalik patung emas itu terdapat tanda-tanda rahasia mengenai adanya suatu tempat, dimana tempat itu terdapat sesuatu yang luar biasa sekali. Dengan segera seluruh negeri kami jadi gempar, terutama para pahlawan-pahlawannya. Mereka masing- masing menggunakan kepandaiannya untuk memasuki istana kaisar. Hingga akhirnya walaupun penjagaan disitu sangat kuat, tidak urung dari penyimpanannya, patung emas itu lenyap tanpa meninggalkan bekas‖

―Kemana hilangnya loosu?‖ tanya Ban Liep.

―Tidak  ada   yang  tahu,   sampai  dua  ratus  tahun  kemudian, guruku memperoleh keterangan bahwa patung itu terdapat dideerah Thibet ini, didaerah pegunungan Than-ala san sini‖.

Dalam berita ini, Balghangadar menunjukkan sikapnya yang tidak menyembunyikan suatu apa. Kedua tuan rumah itu menjadi sangat tertarik sekali. Tidak terkecuali juga Sin Hong. ―Balghangadar   loosu‖,   kata   Hong   Gan.   ―Kau   pergi  hanya seorang diri, apakah tidak ke sepian?‖

―Kalau aku membawa kawan, aku kuatir akan terjadi bentrokan dikalangan kami sendiri‖, sahut orang pulau sembilan itu menjelaskan.

―Dan  kukira,  pastilah  sudah  ada  orang-orang  dari  pulau  kami yang telah datang mendahului aku‖, sambungnya, dengan penuh semangat.

―Aku  percaya,  Balghangadar  loosu  yang  akan  berhasil‖,  kata Ban    Liep.    ―Auwyang    Keng    Liak    sudah    tua,    sedangkan keponakannya telah dapat kau kalahkan. Lalu pula, bukankah segala jagoan-jagoan pulaumu ada dibawah kepandaian gurumu?‖

―Tapi  aku  tidak  memandang  rendah  pada  ketuaan  Auwyang Keng Liak‖ sahut Balgbangadar

―Memang aku tak usah kuatir kepada segala jagoan negeriku‖, sambungnya.  ―Tapi  aku  dengar  kecuali  Auwyang  Siang  Yong, dalam hal perebutan peninggalan yang cianpwe kalian tinggalkan. Butong-pai, Kongtong-pai serta Ceng-hong-pai ikut campur tangan‖.

Mendengar cerita sampai disini, Sin Hong menundukkan kepalanya. Mendengar orang menyebut-nyebut nama Ceng-hong- pai, ia jadi teringat pada Siu Lian yang lenyap entah kemana. Dan lebih-lebih ia menjadi sangat geram bila ia teringat kematian ayahnya. Ia ingin segera berpamitan pada tuan rumah untuk kemudian meyakinkan segala lukisan-lukisan yang mengandung rahasia ilmu silat yang luar biasa itu, untuk dapat dengan segera membalaskan sakit hati keluarganya.

―Sesudah  beberapa  puluh  tahun  kita  berpisah,  baru  sekarang kita dapat bertemu lagi. Malah dalam  kunjunganmu malam ini, Balghangadar loosu membawa seorang kawan cilik‖ kata Ban Liep sambil  tertawa.   ―Saudara   muda  she  Lie   ini  sudah  mempunyai kepandaian yang luar biasa, aku yakin dikemudian hari dia akan termashur. Eh. adik Lie, siapakah gurumu?‖

Mendapatkan pertanyaan itu, Sin Hong tidak memberikan jawaban, kecuali menundukkan mukanya belaka. Hingga selanjutnya Ban Liep tidak bertanya lebih lanjut, bahkan memindahkan pokok pembicaraan.

―Balghangadar  losu,  sejak  sepuluh  tahun  yang  lalu,  kau  tidak pernah datang-datang pula kemari hingga tidak mengetahui kalau aku oleh Tuhan yang Maha Pengasih telah dikaruniai seorang puteri. Tentu loosu belum melihat dia — Bawalah adikmu kemari !‖ Ban Liep menyuruh Hong Gan. Dan sang keponakan segera mengundurkan diri.

Sin Hong juga ingin melihat roman gadit chungcu itu untuk dibandingkan dengan Siu Liannya.

Lekas sekali Hong Gan keluar. Dan bersamanya keluar pula seorang gadis kecil, pakaiannya mewah sekali, sedang wajahnya walaupun masih kanak-kanak telah kelihatan cantik sekali, berbentuk daun sirih, rambutnya dikuncir menjadi dua cabang.

―Mari  beri  hormat  kepada  Siok-hu-mu!‖  kata  Ban  Liep  pada puterinya  ―Bukaatah kau  ingin  dapatkan pelajaran  yang  istimewa? Untuk itu, tak dapat tidak kau harus angkat Siok-hu-mu ini sebagai guru !‖

Bocah itu memberi hormat, kemudian ayahnya menyuruh pula memberi hormat kepada Sin Hong akan tetapi anak itu diam saja. Malahan dia menjebikan bibirnya sambil mengawasi tamu cilik itu. Ban Liep kuatir kawan tamunya itu tersinggung. Cepat-cepat ia berkata  :  ―Adikmu  ini  sangat  nakal,  hal  itu  disebabkan  dia  belum pernah keluar rumah. Harap kau tidak kecil hati‖.

Sin Hong tertawa, ia tidak berkata suatu apa.

―Siapa nama putrimu ini? Hm, kelak kecantikannya tentu akan membuat  geger‖,  Balghangadar  memuji  sambil  tertawa.  ―Apakah kau sudah mengajarkan ilmu silat kepadanya? Kulihat dia ada mempunyai bakat untuk itu.‖

―Dia   kunamai  Bong   Ia.   Memang   seperti  kau   katakan  dia mempunyai bakat yang luar biasa. Otaknya sangat cerdas‖, kata Ban Liep  menerangkan  ―Apa  saja  yaog  kuterangkan  sudah  cukup,  dan aku telah mendidiknya sejak ia berusia enam tahun ―

―Hanya  anehnya,  entah  dia  tiru  siapa,  anak  ku  ini  menyukai warna merah. Dalam setahun tidak sekalipun ia pernah memakai baju yang berwarna lain‖, Ban Liep menambahi keterangannya.

―Hebat  !  Hebat  sekal  !‘'  puji  Balghangadar  ―Mudah-mudahan nanti sepuluh tahun yang akan datang didunia kang-ouw akan muncul seorang dara berbaju merah…..‖ Dan Balghangadar tertawa-tawa gembira.

―Hanya  sayangnya,  pelajaran  silat  kaumku  adalah  pelajaran yang membutuhkan tenaga besar luar biasa, sedangkan anakmu ini adalah seorang seorang gadis, kurang cocok kalau dia aku angkat sebagai murid.‖, Balghangadar masih menyambung pembicaraan- nya. 

―Maka  lebih  baik  jika  dia  kau  bawa  pada  salah  seorang  naga dari Secuan. Kudengar Liong kang hiap Ciu Cin Lie dan Cu giok liong Chek Thoa Thong adalah dua orang murid utama dari Butong- pai dan Kunlun-pai yang telah bertukar pikiran. Dan kedua orang itu terkenal ilmu silat menotok jalan darahnya yang disebut Sip-cie-hiat atau ilmu menotok jalan darah sepuluh jari, sedangkan ilmu itu tidak sembarang orang dapat meyakinkan……‖

Ban Liep diam, berpikir.

―Baik,   terima   kasih   banyak   atas   petunjukmu.   Aku   akan kirimkan dia pada orang-orang tua itu untuk belajar lebih jauh.‖ katanya.  ―Sebab  kalau  dia  tetap  ikut  aku,  dia  takkan  mendapat kemajuan.‖

―Kau  pandai  merendahkan  diri‖,  kata  Balghangadar  sambil tertawa. Ban Liep pun ikut tertawa pula, Ia menyuruh anaknya duduk bersama.

―Lip-heng‖,  tiba-tiba  Balghangadar  memulai  pembicaraannya yang terhenti. ―Kuharap kerelaanmu menceritakan sebab musabnya hingga terjadinya pertikaian mengenai perebutan tempat rahasia itu, yang sampai-sampai para locianpwe ikut turun tangan.‖

―Hmm,  apakah  hal  itu  Balgha  loosu  belum  mengetahuinya?‖ kata Ban Liep seraya meneguk arak.

―Tahu  sih  tahu,  akan  tetapi  aku  baru  tahu  sekedar  kulitnya saja‖, Balghangadar menjelaskan.

Sementara itu, Hong Gan telah menyuruh para pembantu menukar hidangan yang sudah mulai dingin itu dengan hidangan- hidangan yang masih hangat.

―Sebagaimana  loosu  yang  tentunya  juga  sudah  mengetahui‖, demikianlah Ban Liep yang memulai ceritanya.

―Pada  kira-kira  dua  puluh  tahun  yang  lalu,  dunia  kang  ouw telah digemparkan oleh adanya sebilah pedang yang ditinggalkan oleh seorang cianpwe yang kepandaiannya tidak duanya dikolong langit ini. Ketika itu banyak sekali orang-orang gagah yang mempertaruhkan jiwanya untuk memperebutkan pedang peninggalan itu, hingga sampai-sampai Auwyang Keng Liak dan salah seorang naga Secuan ikut pula ambil bagian. Kau tahu Balgha loosu, apakah keistimewaan pedang itu hingga demikian hebatnya diperebutkan oleh orang-orang berilmu tirggi?‖

―Ah Liep heng ada-ada saja‖, kata Balghangadar sambil tertawa Aku toh seorang penduduk pulau sembilan, bagaimana kau tanyakan hal itu kepadaku?‖

―Balghangadar   loosu  tidak   mengetahui,   tidak   menjadi  apa. Kuharap kau tidak berkecil hati, maafkan pamanku‖ Hong Gan menyeletuk.

―Mengenai  keistimewaannya‖  Ban  Liep  melanjutkan,  ―pada pedang itu kata orang diseluruh badannya terdapat ukir-ukiran yang melukiskan gerakan-gerakan ilmu silat yang diciptakan seorang yang luar biasa yang meninggalkan pedang itu….‘‘

―Begitu bebatnya?'' Sin Hong menyeletuk saking kagumnya.

―Siapa  nama  orang  yang  luar  biasa  itu?‖  tanya  Balghangadar tidak kurang pula kagumnya sambil tak lupa memasukkan sepotong bakpau ke dalam mulutnya.

Ban Liep menggoyangkan kepala, lalu berkata :

―Sebegitu  jauh  semua  lapisan orang-orang  kaog-ouw  berkeras memperebutkan pedang pusaka itu tidak seorangpun yang pernah tahu siapakah orangnya yang ilmu kepadaiannya sangat tinggi itu. Hanya menurut kabar angin, dia adalah seseorang yang telah berhasil menciptakan ilmu silat gubahan sendiri………‖

―Ilmu silat apakah namanya itu?‖ tanya Balghangadar dan Sin Hong hampir serempak.

―Dinamakan  ilmu  ciptaannya  itu,  dari partai Angin  Sakti atau Sin-hong-pai‖. ―Nama  yang  luar  biasa  sekali‖,  Balghangadar  menggumam seorang diri memuji ―Tentulah ilmu silatnya juga luar biasa sekali‖.

―Yah, begitulah anggapan kami dan semua orang-orang gagah kalangan kang-ouw zaman itu. Hanya, saja………‖

―Hanya bagaimana saudara Ban?‖ tanya Sin Hong cepat.

―Hanya  sayang,  akhirnya  pedang  pusaka  itu  kemudian  akhir akhirnya terjatuh ke tangan seorang ahli Yoga bangsa India. Aku ingat benar ketika itu Auwyang Keng Liak dan lain-lainnya tengah hebat bertempur satu sama lain hingga berkali-kali benda puaaka itu berpindah tangan. Sampai akhirnya benda pusaka itu terjatuh ketangan seoang India yang bernama Hek Mabie…….‖

―Jadi  Auwyarg  Keng  Liak  jatuh  ditangan  orang  India  itu?‖ tanya Balghangadar.

Kembali Bian Liep menggelengkan kepalanya. Diwajabnya terlukis sikap sangat menyesal.

―Pada  waktu  itu,  walaupun  Auwyang  Keng  Liak  belum  sah memegang gelar ahli silat kelas utama, tetapi kepandaiannya sangat luar biaia. Jangankan baru seorang Hek Mabie, meskipun sepuluh belumlah tentu dapat menandingi‖ cerita sampai disini Bian Liep berhenti sejenak untuk memasukkan sepotong kue phia kedalam mulutnya Kemudian dengan mulut menguyah, dan penuh semangat ia melanjutkan penuturannya.

―Balgha  loosu,  Auwyang  Keng  Liak  maupun  beberapa  orang gagah dari daratan Tioaggoan ini bukanlah dikalahkan oleh ahli Yoga itu, melainkaa mereka telah kena tipu yang licin sekali. Celakanya sampai sekarang ini tidak seorangpun yang mengetahui bagaimana orang India she Hek itu menjalankan penipuannya.‖

―Apakah para orang gagah di negerimu ini lantas diam saja?‖ Mendengar pertanyaan Balghangadar itu kembali Ban Liep menggoyangkan kepalanya.

―Untuk  waktu  lima  tahunan  kami  semua  berusaha  mencari orang India tersebut. Hingga akhirnya setelah berpayah-payah tidak memperoleh hasil kamipun menjadi putus asa. Hingga diantara kami orang-orang kang-ouw banyak yang beranggapan bahwa Hek Mahie tentu tengah mempelajari rahasia-rahasia ilmu silat yang terdapat dalam badan pedang itu, sambil menyembunyikan diri !‖

Untuk menyelingi ceritanya Ban Uiep kembali mengambil sepotong kue dan memasukkannya kemulut.

―Namun  setahun  kemudian  setelah  lima  tahun  lamanya  kami bersusah payah tanpa hasil, tersiarlah kabar angin yang berasal dari Thibet ini, bahwa katanya pedang itu bukanlah terdapat lukisan- lukisan pelajaran ilmu silat, melainkan disitu terdapat lukisan- lukisan yang berupa tulisan yang menerangkan bahwa katanya pada gunung Than-ala-san ini terdapat entah kitab entah tempat pertapaan yang didalamnya terkandung suatu rahasia ilmu silat, sehingga beberapa tahun kemudian dunia kembali telah digemparkan oleh berkecamuknya pertempuran yang satu sama lain saling bunuh. Dan dalam hal ini orang-orang gagah dari angkatan tuapun tidak mau ketinggalan.‖

―Liep heng‖ kata Balghangadar memotong pembicaraan. ―Kau katakan tadi para orang gagap telah saling bunuh?‖

Bian Liep menganggutkan kepala.

―Apakah    diantara    orang    gagah    itu    sudah    ada    yang menemukannya?‖ tanya orang pulau sembilan itu pula.

―Balghangadar  loosu,  pertanyaanmu  ini  beralasan  juga‖,  kata Bian  Liep.  ―Tetapi  menurut  kabar  yang  kami  dengar  hingga  kini, belum ada seorangpun yang pernah mendapatkannya. Hanya cerita- cerita mengaitkan bahwa tempat rahasia itu berada di puncak gunung Than ini menjadi semakin samar, hingga pada tahun yang lalu pernah terjadi pada kira-kira jarak dua ratus lie dari rumahku ini terjadi suatu perkelahian hebat yang meminta korban kira-kira delapan atau sembilan puluh orang gagah…..‖ demikianlah Bian Liep mengakhiri ceritanya.

―Liep  heng,  siapakah  diantara  orang-orang  gagah  itu  kecuali Auwyang Siang Yong dari tingkatan tua lainnya yang juga turut terjun kedalam kancah sengketa itu?‖ tanya Balghangadar.

―Menurut   apa   yang   berdua   kami   pernah   dengar,   kecuali keponakan Auwyang Keng Liak, katanya salah seorang Naga Sucoan dan salah seorang murid Hek Mahie juga turut turun tnogan. Dan kabarnya murid Hek Mahie yang telah turut ambil bagian itu adalah seolang Turki yang memiliki Ilmu Kepandaian sangat tinggi‖,

―Dan dalam urusan ini, aku yang mempunyai persoalan sendiri ikut dicurigai oleh Auwyang Siang Yong, hingga ditantang untuk mengunjungi daerahnya nanti pada sepuluh tahun yang akan datang‖, kata Balghangadar pula sambil tertawa.

Blan Liep tertawa pula, tidak lupa ditelannya sepotong bakpau. dan memakannya dengan lahap.

Setelah selesai bersantap dan bercerita tuan rumah perintahkan pembantunya untuk menyediakan sebuah kamar bagi kedua tamu itu.

Keesokan paginya tuan rumah beserta anak memberikan ucapan selamat jalan bagi tamunya yang hendak meninggalkan tempat bermalam itu.

Sementara itu, sesudah meninggalkan rumah kira-kira sepuluh lie jauhnya Balghangadar dan Sin Hong pun berpisahan. ―Anak Sin Hor.g‖, kata Balghangadar sebelum keduanya saling mengucapkan    selamat    berpisah.    ―Kuharap    kau    benar-benar mewujudkan cita citamu. Dan nanti kalau kau telah menjadi seorang dewasa, datanglah kepulauku untuk nanti kuuji kepandaianmu dengan muridku Sun Siauwji.‖

Lie Sin Hong tertawa. Dia menganggukkan kepalanya, kemudian tubuhnva berpaling kekanan. Sesaat kemudian diapun sudah berada di lereng gunung yang menuju ke puncak.

Sedangkan Balghangadar melangkah kearah barat, ke Thibet. untuk melanjutkan usahanya mencari patung emas, yang mana beberapa tahun kemudian setelah melakukan beberapa pertempuran dimana ia harus mempertaruhkan jiwanya melawan orang-orang yang berada di pulaunya sendiri, akhinya iapun berhasil membawa pulang patung emas itu untuk kemudian diserahkan kepada gurunya.

****

LIE SIN HONG setelah melakukan pula pendakian beberapa lama, iapun beberapa saat kemudian telah tiba di puncak Than-ala- san.

Disepanjang jalan, diatas puncak gunung yang banyak ditumbuhi pohon cemara itu tidak sesaatpun pikirannya melupakan An Siu Lian. Hingsa akhirnya, karena rasa rindunya, dia merasa seolah- olah disekelilingnya dibalik pohon-pohon cemara ia melihat An Siu Lian sedang menyembunyikan diri. Hingga akhirnya seperti orang gila, ia menghampiri dan memeriksa setiap pohon cemara, itu yang tentu saja tidak memberikan hasil suatu apa. Ketika itu haripun telah naik tinggi, Matahari tepat berada diatas kepala. Berjam-jam sudah Sin Hong menjelajahi setiap penjuru hutan. Hingga akhirnya ia memasuki setiap lubang gua, memeriksanya, sampat hari lobor, barulah ia tersadar bahwa sejak pagi buta ia belum mengisi perutnya sama sekali.

Sesaat ia teringat atan hal itu maka perutnya jadi keruyukan minta diisi.

Lie Sin Hong segera menghampiri sebatang pohon. Lalu dengan golok kecilnya ia membacok. Namun ketika bacokannya tepat mengenai batang pohon itu, tiba-tiba ia merasakan telapak tangannya kesakitan, hingga ngilu sampai juga ke tulang belulangnya.

Sebentar kemudian dengan menahan sakit, kembali tangannya diayunkan dengan tenaga dua tali lebih besar dari bacokan yang pertama. Namun kembali ia dibuat kesakitan karenanya. Malahan kali ini ia merasakan otaknya seakan tergetar. Sedangkan pohon cemara itu sedikitpun tidak bergeming.

Sin Hong merasa dibikin penasaran oleh ketangguan pohon itu. Hatinya matin panas. Diayunkannya pula goloknya satu, dua, tiga, empat kali hingga peluhnya berbutir-butir membasahi mukanya, sedangkan giginya menahan sakit. Tekun juga ia membacok, lima kali, enam kali, tujuh delapan. Tetapi pohon itu sedikitpun tidak lecet, atau menampakkan bekas kacokan.

Sampai pada bacokan yang kesebelas. Sin Hong tak tahan lagi. Terlalu banyak tenaga yang dihamburkannya, akhirnya ia terjatuh pingsan di bawah pohon cemara itu yang puncaknya meliuk-liuk seakan menari-nari mengejek kepada si-pemuda.

Setelah beberapa lama iapun telah sadar kembali. Terbayang dimatanya, bagaimana orang dari pulau sembilan itu, dengan hanya tenaga sambarannya saja telah sanggup merobohkan pucuk sebatang pohon yang sejenis dengan cemara ini. Timbul kekagumannya makin besar atas diri Balghangadar orang asing yang sakti itu. Dan dibalik itu, terasa olehnya bahwa dirinya masih terlalu dangkal ilmunya.

Ketika itu, sedang ia menundukkan kepala memikirkan senjata apa yang harus dipakainya berburu. Tiba-tiba dirasakan olehnya diatas kepala ada angin keras yang menyambar.

Mengira pada senjata gelap maka dengan cepatsekali Sin Hong meletik dengan menggunakan tipu ikan leehi meletik. Tubuhnya dilenggakkan meletik untuk menghindarkan senjata rahasia itu. Namun ia masih kurang cepat. ―Senjata rahasia‖, itu ternyata sangat

cepat gerakannya, sehingga tak ampun lagi kepala pemuda itu terhantam tepat.

Sin Hong terkejut juga cemas. ―Kurang ajar!‖ Makinya. Ia telah melesat kesamping sambil menghunus pedang, sedangkan kepalanya masih juga terasa puyeng akibat serangan gelap itu.

Namun setelah menantikan beberapa lamanya, ia tidak melihat suatu apapun yang mencurigakan. Keadaan disitu tenang, tiada tanda-tanda adanya orang atau binatang.

Ia menjadi heran dan timbul dugaannya yang bukan-bukan. Segera karena cemas senjata rahasia itu ada mengandung racun, cepat-cepat Sin Hong meraba kepalanya untuk mencabutnya. Ia menduga bahwa kalau benar itu adalah senjata rahasia setidak- tidaknya senjata itu terbuat dari logam yang berat. Maka bukan main terperanjatnya ia ketika melibat kenyataan bahwa benda itu ternyata bukanah senjata rahasia ataupun logam, akan tetapi hanyalah sekeping kayu yang panjangnya tidak lebih dari tiga inci.

―Ah…….‖, tanpa terasa Sin Hong mengeluh karena heran. Dan iapun menengok keatas, mencari arah datangnya sambaran kayu itu. Justeru pada saat itu kira-kira dua atau tiga keping potongan kayu sedang meluncur turun dari puncak pohon. Cepat sekali, serta mantap tidak melayang, keping-keping kayu itu dalam sekejap saja telah berada kira-kira dua tombak diatas kepalanya.

Namun kali ini Sin Hong melihat datangnya ―serangan‖ itu. Ia telah siap sedia, maka dengan mudah saja dapat menghindari sehingga kepingan kayu itu meluncur lewat disisi tubuhnya, menghajar tanah.

Hebst sekali tenaga hantaman kayu itu kira-kira delapan atau sembilan bagiannya ambles kedalam tanah.

Sin Hong bingung. Apakah diatas pohon itu bersembunyi seorang musuh gelap? Dengan segera Sin Homg menggunakan ilmu cecak, merayap keatas memanjat pohon itu.

Sebentar saja Sin Hong telah mencapai puncak. Karena kuatir dirinya akan dibokong orang maka ia menghunus pedangnya untuk menjaga diri.

Demikianlah dengan pedang terhunus Sin Hong mencaci maki. Namun ia tidak memperoleh jawaban. Ketika ia menengok kesisi kanannya ia melihat pada sebuah dahan pohon yang besarnya sepelukan anak-anak, terdapat duri-duri yang jumlahnya sangat banyak sekali. Bentuknya serupa benar dengan tiga keping kayu yang tadi menyerang kearahnya, panjang serta tumpulnya.

Segera ia mendekati dan mencabut dua tiga diantaranya. Ia mendapat kenyataan kalau selain batang kecil itu timbul serta mantap ternyata juga duri-duri itu mempunyai bentuk sebagai senjata rahasia yang biasa dipakai oleh ahli-ahli silat.

Tepat disaat Sin Hong sedang menimang-nimang duri-duri pohon itu, diatas kepalanya tampak beberapa ekor burung pemakan bingkai terbang melintas mengepak-ngepakkan sayapnya. ―Ha! Makanan!‖ seru Sin Hong. Dan seketika perutnya kembali keruyukan kembali. Segera dicabutnya pedang, hendak dilontarkan ke arah salah satu binatang itu. Tetapi seketika pikirannya tergerak. Ia batal menggunakan pedangnya untuk melontar burung-burung itu, melainkan tangan kirinya yang menggenggam duri-duri itu diayunkan. Tiga batang duri telah meleset ke arah burung yang terbang dibagian belakang.

Kiranya benda-benda alam itu mempunyai gaya berat yang istimewa sekali. Demikianlah sesaat kemudian dengan diiringi suara gegaokan kesakitan, maka tiga diantara burung-burung itu, telah melayang jatuh. Setelah menggelepar-gelepar sebentar diatas tanah, maka binatang-binatang itupun tidak bergerak lagi.

Sio Hong menjadi kegirangan melihat kehebatan duri-duri itu. Selanjutnya iapun memeriksa duri-duri pohon yang lain, ternyata hampir pada setiap dahan sampai ke cabang-cabangnya penuh ditumbuhi duri-duri tumpul. Segera ia mencabuti pula beberapa batang, untuk kemudian melorot turun lagi.

Setibanya dibawah ia segera menghampiri ketiga korbannya yang ternyata sudah tak bernyawa lagi. Dan dibawah pohon itu pula, ia membuat sebuah api unggun, untuk memanggang burung- burung itu.

Tidak lama antaranya maka Sin Hong telah sibuk melahap daging burung panggang. Pada saat itulah, kenangannya pada Siu Lian kembali muncul. Teringat ia waktu ia bersama gadis itu di Ie pin bersama-sama makan daging kelinci.

Tanpa terasa, Sin Hong telah menghabiskan seekor penuh. Karena masih lapar juga, maka ia pun memanggang seekor lagi, dan memakannya dengan lahap. Barulah, setelah menghabiskan dua ekor burung itu, perutnya terasa kenyang, Akan tetapi sebaliknya tenggorokannya jadi kering, dan haus. Iapun pergi mencari-cari. Setelah beberapa lama mengelilingi hutan cemara itu, akhirnya dapat pula ia menemukan sebuah sumber air yaitu sebuah anak sungai.

Karena hausnya, tanpa memeriksa apakah air itu kotor atau jernih tubuhnya ditengkurapkan dan dengan menggunalan kedua belah telapak tangannya itu telah menceguk air beberapa tegukan. Habis minum, terasa tubuhnya kembali segar, perutpun tidak panas pula.

Sedang ia merebahkan tubuhnya untuk melepas lelah, tiba-tiba matanya tertarik pada sebuah pemandangan tidak jauh dari tempatnya berbaring itu. Di tempat itu, tampak setumpukan kain yang mirip sebuah baju. Dengan segera dihampirinya benda itu. Dan betapa terkejutnya Sin Hong demi melibat bahwa kain itu adalah baju tebal, sebuah baju tebal yang beberapa bulan yang lalu pernah diberikannya kepada Siu Lian di Soatang ! Sin Hong tertegun, diam mematung !

Beberapa saat kemudian setelah ia dapat menguasai dirinya, dengan tangan gemetar, dijumputnya pakaian itu. Hancur luluh hatinya ketika ia mendapatkan bagian dalam dari baju tebal itu, penuh dengan noda-noda darah. Hampir disaat itu juga ia jatuh pingsan.

Segera dicucinya baju itu. Lalu dibuntalnya. Dan segera pula, dengan hati hancur, dibawanya baju itu menuju kesebuah gua yang dua hari yang lalu pernah ditemukannya.

Disepanjang jalan tidak henti-hentinya pikirannya bekerja. Ia heran, mengapa pada hari-hari terakhir ini ia selalu terlibat pada pengalaman-pengalaman yang hebat-hebat dan aneh-aneh.

Sore hari tibalah ia kembali di guanya. Setelah memeriksa ia mendapatkan  kenyataan  bahwa  ―tempat  pusaka‖  itu  tidak  kurang suatu apa tanda bahwa tidak ada seorangpun, orang lain yang pernah tiba ditempat itu.

Esoknya. ia menggali lubang , lalu menanamkan baju tebal yang membuat ia ingin meratap itu didasar gua.

―Lian-jie‖,  demikianlah  Sin  Hong  berkemak  kemik  sendirian.

―Ternyata  kau  berumur  pendek.  Setelah  ayahmu  dibinasakan  oleh muridnya sendiri, ternyata kau sebelum sempat menunaikan tugasmu telah ditimpa oleh kejadian begini, mungkin kau telah menjadi korban binatang-binatang keparat. Akan tetapi kau yang didalam baka, kuharap beelega hati. Aku Sin Hongmu pasti akan mewakilkan kau untuk membalaskan sakit hatimu, ―Tunggulah aku akan menghabiskan semua beruang-beruang yang berada ditanah pegunungan ini. Lian jie, legakanlah batimu. ‖

Setelah itu tanpa terasa pula Sin Hong menangis tersedu-sedu Berjam-jam ia menangis tanpa seorangpun yang menghiburnya. Hingga setelah hari sudah tidk pagi lagi, barulah ia puas dan berhenti menangis.

Dan siang itu juga, kembali ia mengelilingi guuuag Than-ala- san. Hanya sekali ini ia bukannya mencari Siu Lian melainkan hampir seluruh beruang yang berada didaerah sekitar itu dibunuhnya.

Untuk keperluan melampiaskan dendamnya ini Sin Hong telah menghabiskan waktu tiga hari tiga malam. Barulah pada hari-hari berikutnya ia kembali keguanya.

Enam bulan kemudian, ia hampir telah membersihkan seluruh ukiran-ukiran yang banyak memenuhi ruangan dalam gua itu. Namun ketika ia hendak mempelajarinya, ia menjadi bingung, karena tak tahu harus dari sebelah mana ia memulai. Ia bingung dan gelisah, dan akhirnya putus asa setelah seharian ia menyelidiki, tetap juga ia tidak dapat memecahkan yang mana pangkal dan ujungnya. Namun mujur baginya, sedang ia dalam kesulitan demikian, terjadilah sesuatu yang kebetulan baginya.

Lie Sin Hong pergi mendaki gunung untuk mencari makanan. Pikirannya sedang dalam bimbang dan keraguan. Hingga tanpa disadari ia telah tiba dipinggang gunung yang sangat curam. Tengah asyik-asyiknya berjalan tiba-tiba kakinya terpeleset, hingga tidak ampun pula pegangannya terlepas dan ia terjatuh.

Tembok gunung itu adalah sebuah jurang yang dalamnya kurang lebih empat puluhan tombak, Sin Hong terkejut dan cemas, rasanya ia sudah tak mungkin berharap akan hidup lebih lama.

Akan tetapi sungguh mujur, tubuhnya tersangkut pada sebuah cabang pohon yang tumbuh pada sebuah gua yang mulutnya kering berlumut. Dengan harap-harap cemas, Sin Hong menjangkau mulut gua, kemudian dengan menjatuhkan diri ia melompat kedalam gua itu.

Ketia ia telah berada di mulut gua, tiba-tiba ia merasakan kedua telapak tangannya sakit. Ia heran sekali ketika ia melihat pada kedua telapak tangannya menancap dua macam benda yang bentuk luar biasa sekali. Ketika ia mencoba mencabutnya, ternyata tidak berhasil, benda-benda itu menancap sangat keras, dan disamping itu rasa sakit yang disebabkannya semakin menghebat.

Diam-diam ia merasa heran, karena ketika tadi terjatuh, ia tidak lihat barang seorangpun. Dengan tinggal masih keheranan anak muda itu mencabut benda yang menancap ditelapak tangan itu dengan giginya. Lebih aneh dan mengherankan, kecuali darah yang mengucur keluar dari lukanya sama sekali ia tidak merasa sakit.

Kedua potong benda rahasia itu panjangnya masing-masing dua cun sembilan bun, berbentuk kepala burung hong dengan patuk yang luar biasa tajamnya. Seluruh bagian kepala burung hong itu berwarna hitam kelam. Kotor dan berlumut, Tapi bila ia mengerik lumut itu dapatlah sepotong benda mengkilap……. emas!

―Pantas begini berat‖, pikir Sin Hong.

Didepan mulut gua, Sin Hong berdiri termangu. Ia tidak berani lancang memasuki gua itu, tetapi melongokkan kepalanya. Terlihat kabut, hingga tidak terlihat tegas apa yang berada dalam gua itu, Diam-diam hatinya tercekat. Ia yakin bahwa gua itu pasti dalam sekali, Dan terpikir olehnya apakah tubuhnya dapat masuk ke dalamnya atau tidak.

Sin Hong pantang menyerah, Ia Bungkus tangannya lalu dimasukannya kedalam gua. Ia menduga tentu didalam terdapat benda-benda rahasia yang terbentuk kepala burung hong itu. Dan ternyata benar, ia berhasil mencabut dengan tanagannya dan terbawa olehnya enam belas biji. Diulurkannya tangannya lebih dalam, hingga hidungnya merapat mulut mulut gua, akan tetapi ia tidak meraba lain benda, maka iapun berhasil meraba-raba,

―Heran  !‖  pikirnya,  ―Mungkinkah  ditempat  yang  lebih  dalam terdapat pula benda-benda macam lainnya?‖

Akhirnya ia mengambil keputusan untuk memasuki gua itu. Iapun membuat sebuah obor dari tumbuhan kering. Apabila api telah berkobar pertama kali disodorkannya obor itu kedalam gua. Ternyata ia tidak padam, dan membuat hati Sin Hong kegirangan. Dengan hati-hati ia segera merayap masuk.

Untuk menjaga segala kemungkinan, maka obor dipegang di tangan kiri, tangan kanannya menghunus pedang, Dengan cara merayap, perlahan-lahan ia memasuki dalam gua.

Kira-kira telah mencapai jarak sepuluh tombak lebih maka gua yang berbentuk mirip terowoagan itu mulai mendaki. Ia maju terus hingga kira-kira puluhan tombak lagi, hingga ia tiba pada suatu tempat yang terbuka dan ia dapat berdiri.

Sin Hong tidak takut. Ia maju terus perlahan dengan hati-hati, sebentar kemudian maka pemuda itu melihat jalan didepannya membelok. Menghadapi tempat itu, Sin Hong semakin waspada. Pedang ditangannya semakin erat digenggam. Ketika beberapa tombak kemudian ia berjalan, maka ia tiba pada sebuah kamar batu, Sin Hong mendekati pintu kamar itu, dan dengan obornya ia menyuluhi kedalam.

Tiba-tiba saja Sin Hong terperanjat, dan sekujur tubuhnya menjadi dingin. Ditengah kamar batu itu tertunduk sebuah jerangkong! Rangka manusia yang lengkap dengan kedua lengannya rebah diatas pangkuan.

Segera terbayang dihadapannya, ketika pada beberapa minggu yang lalu Sin Hong dan Siu Lian pernah menjumpai adegan yang serupa, kerangka manusia, kerangka manusia Mie Ing Tiangloo. Pada saat itu, Sin Hong bersama Siu Lian, sedangkan sekarang ia seorang diri sehingga tidak ada kawan yang dapat membesarkan hatinya. Mau tidak mau hatinya terpukul keras.

Dihadapan rangka manusia itu terdapat belasan senjata rahasia berkepala burung hong. Di sisi kanan, tergeletak sebilah pedang. Senjata itu berkilauan ketika tertimpa oleh cahaya api obor.

Ditembok kamar, terdapat sebaris ukiran gambar monyet yang lengkap, hanya sikapnya sa tu dengan yang lain berlainan. Ada yang tangannya diangkat, dengan kedua kaki berjongkok, ada yang sebelah kakinya terangkat dengan kedua tangan menyilang didepan badan dan lain sebagainya.

Guratan ukiran monyet ini dengan gambar ukiran yang didapatkan oleh Sin Hong tempo hari hampir sama, hanya disini berbeda gerakannya lebih ruwet. Sin Hong mengawasi semua gambar itu, diperhatikannya dengan teliti. Akan tetapi beberapa lama ia berbuat demikian, tak dapat ia memahami artinya.

Pada ujung dari gambar ukiran yang terakhir, terdapat beberapa baris huruf yang diukir pula, jumlahnya ada sembilan belas huruf.

Sin Hong mendekati dan membacanya. Bunyinya demikiaan :

―Angin  mustika  rahasia.  Berlindung  kepada  yang  berjodoh jangan penasaran siapa binasa memasuki pintuku!‘‘

Sin Hong tak mengerti apakah arti surat itu. Akan tetapi bila melihat jerangkong dan lukisan-lukisan yang berjejeran didinding, pastilah rangka manusia itu adalah rangka manusia seorang cianpwe, orang tua yang sudah seharusnya dihormati,

Maka untuk pertama kali Sin Hong menggali lubang didekat pintu-pintu untuk menegakan obornya, sehingga tidak usah selalu dipegangi dengan tangan. Selesai itu, ia menghadapi rangka manusia, memeriksanya dengan teliti.

Tiba-tiba terlintas dalam ingatannya akan cerita Ban Liep yang mengatakan bahwa didunia Kang-ouw pada akhir-akhir ini sedang digemparkan oleh adanya suatu tempat yang didalamnya terkandung suatu rahasia yang besar. Dan bukankah ilmu silat yang diciptakan oleh orang luar biasa itu dinamakan ilmu silat Angin Sakti? Tidak mustahilkah kata-kata Angin Mustika Rahasia itu senama dengan Angin Sakti?

Mengingat yang demikian, maka pemuda ini lantas menjatuhkan diri berlutut untuk paikut.

―Teecu bernama Lie Sin Hong‖, kata Sin Hong dalam hatinya. Setelah dia manggut-manggut beberapa kali, maka ia berbisik;

―Dengan secara kebetulan saja teecu dapat menemui jenazah taihiap ini. Hari ini ingin teecu mengubur jenasah taihiap, harap selanjutnya taihiap dapatlah beristirahat dengan tenang.

Baru selesai Sin Hong membisikkan kata-kata itu, dari luar gua tiba-tiba menghembus angin dingin, yang agaknya bertiup dari dalam jurang.

Angin dingin itu begitu derasnya, hingga membuat Sin Hong bergidig, bulu kuduknya berdiri. Sin Hong mulai menggali tanah kubur pada lantai kamar batu. Tanah disitu ternyata tidak keras, begitu ia menggali dengan pedangnya, maka tidak lama kemudian kuburan itupun telah hampir dapat diselesaikan.

Tiba-tiba ia sedang menggali terasa pedangnya membentur suatu benda yang keras hingga terbit suara yang membeletuk. Segera Sin Hong mengambil obornya untuk menyuluhi dekat-dekat. Segera terlihat olehnya bahwa benda berat itu kiranya adalah selembar lempeng tembaga. Setelah menggalinya sejenak, maka lempeng itu dapat diangkatnya.

Dibawah lembaran itu terdapat sebuah peti besi, yang besarnya kira-kira tiga kaki persegi. Tak perlu banyak pikir lagi, maka Sin Hong mengangkat keluar peti besi itu, yang tingginya kira-kira satu setengah kaki. Peti ini tidak terlalu berat, agaknya isinyapun tidak terlalu banyak.

Dengan susah payah akhirnya Sin Hong dapat membuka tutup peti itu. Ternyata ruangan dalam peti itu dangkal saja, tak sampai setengah kaki tingginya Sedang di tengah-tengahnya berlubang sedalam kira-kira seperempat kaki. Sin Hong heran melihat bentuk- bentuk yang aneh ini.

―Peti  besar  dan  tinggi,  mengapa  dalamnya  begini  dangkal?‖ tanyanya dalam hati. Setelah mengorek-orek sebentar, maka ia dapatkan dua buah sampul   surat    yang    bertuliskan   :    ―Boleh    baca,    siapa    yang mendapatkan surat‖.

Segera Sin Hong mengeluarkan surat dari dalam salah satu sampul itu, yang telah kumel dan kotor, akan tetapi masih terbaca tulisannya, bunyinyapun pendek saja;

―ANGIN   SAKTI   diwariskan   kepada   yang    berjodoh. Hanya siapa mendapatkannya, kuburkanlah dulu kerangka tubuhku!‖

**** 

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar