Jilid 23  

Tapi sekarang dia telah percaya.

Karena ia menyaksikan ada orang yang duduk diatas usungan tersebut.

Seandainya ia tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, dia tidak akan percaya kalau orang sebesar itu dapat duduk diatas usungan, lebih tak percaya lagi kalau dua orang tukang pikulnya yang kurus kering ibaratnya tinggal kulit pembungkus tulang itu sanggup untuk menggotong orang itu melalui jalan-jalan bukit yang curam.

Jarang sekali ia menjumpai orang segemuk oramg itu.

Orang itu bukan saja sangat gemuk, bahkan gemuknya luar biasa hingga kelihatan amat bodoh, bukan cuma bodoh biasa, bahkan bodohnya sudah kelewat batas.

Pada hakekatnya orang itu tak lebih seperti daging babi yang sedang bergerak, tapi pakaian seta dandanannya persis seperti seorang tuan tanah yang lalim, seakan-akan kalau bisa dia ingin memamerkan seluruh kekayaan yang dimilikinya seakan-akan takut kalau orang lain tak tahu jika dia kaya raya.

Rekan seperjalanannya adalah seorang lelaki tampan.

Tampan bukan dalam arti Tong Giok lemah gemulai serta membawa gerak gerik macam seorang banci.

Dia berperawakan tinggi besar tampan kekar, berbahu lebar pinggang ramping alis mata tebal, bermata besar dengan daya tarik seorang lelaki sejati. Sekarang kedua buah usungan itu telah berhenti kedua orang penumpangnya juga sudah masuk ke dalam barak tersebut.

Sambil menghembuskan nafas lega, sigemuk itu duduk di bangku kemudian pelan-pelan meluruskan tangannya yang putih gemuk serta mengenakan aneka macam cincin bermata berlian dan zamrud yang tak ternilai harganya itu.

Pemuda tampan yang tinggi kekar itu segera mengeluarkan selembar handuk berwarna putih bersih dan diangsurkan kepadanya.

Si gemuk itu menyambut handuk tersebut, seperti seorang nona yang mengusap keringat di wajahnya yang berpupur, dia menyekanya dengan sangat hat-hati, kemudian baru menghela nafas panjang.

“Aku tahu belakangan ini aku pasti bertambah kurus lagi, malah kurus banyak sekali”

Rekannya segera menganggukkan kepalanya berulang kali, dengan wajah yang bersungguh- sungguh dan penuh perasaan simpatik katanya:

“Belakangan ini mana kau repot, lelah, makannya sedikit lagi, siapa bilang tidak menjadi kurus?”

Dengan wajah murung dan sedih, kembali si gemuk itu menghela nafas panjang. “Aaaaaai ! Jika aku harus terus menerus menjadi kurus, mana aku bisa tahan?”

“Ya, kau harus berusaha untuk makan agak banyak!”

Usul tersebut segera diterima oleh si gemuk, maka diapun segera meminta kepada pelayan untuk mengusahakan empat lima ekor ayam gemuk serta dua tiga ekor tie te (kaki babi).

Ia cuma bisa makan “sedikit” karena belakangan ini nafsu makannya selalu kurang baik.

Tapi dia harus memaksakan diri untuk makan sedikit, karena belakangan ini ia benar-benar terlampau kurus sehingga tak karuan lagi bentuk badannya.

Sedang mengenai daging gembur yang berada di atas tubuhnya itu, dia bersikap seakan akan daging lebih itu bukan miliknya, bukan saja oa telah melupakannya, rekannya yang gagah dan tampan itupun seolah-olah sama sekali tidak melihatnya.

Sayang orang lain telah melihatnya.

Sesungguhnya orang ini gemuk atau kurus ? Daging lebih itu sebenarnya milik siapa? Semua orang menertawakannya secara diam-diam. Bu Ki tidak tertawa.

Ia sama sekali tidak merasa kejadian itu sebagai sesuatu yang menggelisahkan, dia merasa kejadian ini merupakan tragedi.

Tentu saja pemuda tampan itu juga tahu kalau perkataannya itu sangat menggelikan, akan tetapi dia toh berkata demikian, sebab dia harus hidup, dia membutuhkan si gemuk itu untuk menghidupkan dirinya.

Demi kehidupan, seringkali orang melakukan sesuatu yang mungkin akan menggelikan orang lain, mungkin ia sendiripun merasa sedih atas keadaan tersebut, tapi ia terpaksa untuk melakukannya juga, demi hidup, apapun terpaksa harus dilakukan.

Bukankah kejadian ini merupakan suatu tragedi ? Si gemuk itu lebih menyedihkan lagi.

Orang yang ia tipu bukan orang lain, melainkan dirinya sendiri.

Bila seseorang sudah tiba pada saatnya untuk menipu diri sendiri, sudah barang tentu kejadian itupun merupakan suatu tragedi.

Tiba-tiba Bu-ki merasa perutnya mual, ia merasa tak mampu untuk minum lagi. Selain Bu-ki ternyata masih ada seorang yang tidak ikut tertawa.

Ia tidak turut tertawa bukan lantaran diapun mempunyai perasaan seperti apa yang di bayangkan Bu-ki, tapi dia sedang mabuk hebat.

Ketika Bu-ki datang kesana, dia sudah berbaring di atas meja, beberapa buah teko arak kosong berada di sekeliling mejanya.

Ia tidak mengenakan topi sehingga kelihatan rambutnya yang sudah berubah mengenakan sebuah baju berwarna biru yang sudah luntur warnanya hingga tinggal putihnya.

Bila seseorang berkelana dalam dunia persilatan bila ia sudah lanjut usianya, apa manfaatnya kalau mabuk oleh arak ? apapula manfaatnya jika tidak mabuk ?

Tiba-tiba Bu-ki merasa ingin minum arak lagi.

Pada saat itulah dia menyaksikan ada enam orang manusia berjalan naik keatas bukit. Mereka adalah enam orang manusia berbaju hijau, bersepatu rumput warna kuning berkaok abu-abu dan mengenakan enam buah topi yang sangat lebar sedemikian lebarnya sehingga separuh bagian wajahnya hampir tertutup.

Langkah mereka berenam cepat sekali gerakan tubuhpun sangat enteng dengan kepala tertunduk dan langkah lebar mereka masuk ke dalam barak tersebut.

Dalam genggaman keenam orang itu masing-masing membawa sebuah bungkusan berwarna hijau, ada yang panjang buntalannya, ada pula yang sangat pendek.

Yang pendek hanya satu jengkal enam tujuh inci, yang panjang mencapai enam tujuh jengkal, sewaktu di genggam tampaknya sangat enteng tapi setelah diletakkan di meja ternyata meja tersebut tertindih sampai berbunyi gemericit.

Tak ada orang yang tertawa lagi.

Entah siapa itu orangnya, mereka pasti dapat melihat bahwa kepandaian silat yang dimiliki ke enam orang ini amat luar biasa, mereka pasti adalah jago-jago kenamaan dari dunia persilatan.

Dalam ke enam buntalan yang mereka bawa itu sekalipun bukan senjata pembunuh, sudah jelas juga bukan barang mainan yang sedap di pandang.

Enam orang itu datang bersama dan memakai dandanan serta pakaian yang sama tapi justru mereka menempati meja yang berbeda.

Enam orang ternyata menempati enam buah meja yang berbeda dan secara kebetulan sekali menyumbat semua jalan keluar dari dalam warung arak tersebut.

Hanya jago-jago kawakan yang sudah banyak berpengalaman serta pernah mengalami beratus-ratus kali pertempuran baru bisa memilih posisi sedemikian baik dalam waktu singkat.

Enam orang itu semuanya duduk dengan kepala tertunduk sepasang tangan mereka masih memegang buntelan di atas meja itu kencang-kencang.

Orang pertama yang masuk lebih dahulu adalah seorang lelaki yang tinggi besar yang amat kekar perawakan tubuhnya jauh lebih tinggi dari sebagian besar orang, buntalan yang di bawa pun terpanjang.

Pada sepasang tangannya yang memegang buntalan itu terutama pada ruas-ruas ibu jari, jari tangannya serta jari telunjuk tangan kanannya terdapat kulit tebal yang sangat keras.

Orang kedua yang masuk ke dalam warung itu adalah seseorang yang jangkung ceking dan berbadan bongkok, agaknya dia adalah seorang kakek. Buntalan yang dibawa paling pendek sepasang tangannya yang memegang buntalan itu kurus kering persis seperti cakar bukung elang.

Buki merasa seolah-olah pernah berjumpa dengan dua orang ini, tapi dia lupa dimanakah mereka pernah berjumpa.

Ia sama sekali tak berhasil melihat wajahnya. Tapi diapun tak ingin melihatnya.

Kedatangan orang - orang ini tampaknya seperti bermaksud untuk mencari gara-gara denganorang entah mereka hendak mencari gara-gara kepada siapa, Bu-ki tak ingin mencampuri orang lain.

Tak nyana tiba-tiba kakek kurus kering yang berbadan bungkuk itu tiba-tiba menegur : “Siapa yang membawa peti mati yang berada diluar itu?”

Orang yang semakin tak ingin mencari urusan biasanya urusan semakin gampang mendatanginya.

Bu-ki menghela nafas panjang, terpaksa sahutnya. “Aku!”

*****

SEKARANG Bu-ki sudah dapat mengingat kembali siapa gerangan orang itu.

WAlaupun ia belum menyaksikan raut wajahnya tapi dia sudah dapat mengenali suaranya. Kueh manis, kueh bergula pasir, pia kacang ijo pia kacang hitam.

Seorang kakek kurus kering, membawa sebuah pikulan penjajah kueh sambil menyanyikan lagu So-pak masuk kedalam hutan dan menuju ke sebuah tanah lapang.

Kemudian si penjajah sayur asin, penjual arak, penjual wedang tahu, penjual cah kue, penjual bakpao, penjual telur dadar, penjual daging kambing serta beraneka macam penjajah makanan lainnya berdatangan dari empat arah delapan penjuru.

Kejadian yang berlangsung pada malam itu tak pernah di lupakan Bu-ki untuk selamanya, terutama suara dari penjual kueh itu, dia masih dapat mengingatnya dengan jelas. Diapun masih teringat dengan perkataan Ban Tang Lo.

Dulu mereka adalah bekas anak buahku tapi sekarang mereka hanya seorang pedagang biasa.

Usaha dagang apakah yang dikerjakan si penjual kueh itu sekarang ? Mengapa ia bisa tertarik dengan sebuah peti mati ?

*****

SI ORANG bertubuh tinggi kekar dan tiga jari tangan kanannya yang tumbuh kulit tebal itu mendadak mendongakkan kepalanya dan menatap Bu-ki lekat-lekat.

Bu-ki segera mengenali orang itu.

Sepasang matanya bersinar tajam, semangatnya berkobar-kobar dan tampak segar karena semenjak berusia sembilan tahun ia sudah mulai melatih ketajaman matanya.

Kulit kerak yang tumbuh pada ke tiga buah jari tangannya bukan cuma tebal, kerasnya bukan kepalang, karena sejak berumur delapan sembilan tahun ia sudah mulai menarik gendewa dengan keriga buah jari tangannya itu.

Sudah barang tentu Bu-ki kenal dengannya, bukan hanya satu kali mereka berjumpa muka.

Kim kiong gin ciam ( Busur emas panah perak) Cu bu siang hui (tengah hari tidak bertemu tengah malam) lelaki kekar yang tinggi badannya mencapai delapan depa ini tidak lain adalah Hek Thi ban putra tunggal dari Hek Popo.

Siapakah Hek Po po itu?

Dia adalah seorang yang bisa membidik mata seekor lalat yang berada sepuluh kaki jauhnya dengan sebatang panah.

Benda yang berada di dalam buntalannya itu sudah barang tentu adalah Kim pat thi tay kiong (busur berpunggung emas berbadan baja) serta Cio yu ciam (panah berbulu perak) andalannya.

*****

Ternyata dia tidak mengenali Bu-ki. Dia hanya merasa seperti pernah kenal dengan pemuda bercodet ini, maka dengan nada menyelidiki ia bertanya:

“Dulu, bukankah kita pernah bersua ?” “Tidak!” “Kau tidak kenal dengan aku?” “Tidak kenal!”

“Bagus sekali!” seru Hek Thi-ban kemudian. “Bagaimana?” tanya si kakek penjual kueh.

“Ia tidak kenal aku, akupun tidak kenal dengannya!” jawab Hek Thi-ban pula. “Bagus sekali!”

Mendengar mereka berdua mengucapkan dua kali kat “Bagus sekali”, Bu-ki tahu kalau kesulitan telah datang.

Entah kesulitan macam apakah yang di bawa ke enam orang itu yang pasti kesulitan tersebut pasti tidak kecil.

Bu-ki dapat melihat akan hal ini, orang lainpun dapat melihatnya, maka sebagian besar tamu yang berada di dalam warung teh itu diam-diam beranjak, membereskan rekening dan ngeloyor pergi dari sana.

Hanya si kongcu gemuk yang kurang baik nafsu makannya itu yang masih bersantap dengan lahapnya disana.

tampaknya sekalipun langit bakal runtuh, dia baru akan angkat kaki bila ayam panggang tersebut sudah habis di makan.

Tentu saja manusia semacam ini tak akan senang untuk menyampuri urusan orang ini.

Tiba-tiba si penjual kueh itu mengambil buntalan dan pelan-pelan berjalan ke hadapan Bu-ki, lalu sapanya :

“Baik-baikkah kau?”

Bu-ki segera menghela nafas panjang.

“Aaai ! sampai detik ini masih terhitung bagus, tapi sayang agaknya kesulitan sudah mulai

berdatangan sekarang!”

Si penjual kueh itu segera tertawa lebar. Kau adalah seorang yang pintar, asal tidak melakukan pekerjaan tolol, tentu saja kesulitan tak akan datang.” katanya.

“Aku jarang sekali melakukan pekerjaan tolol” “Bagus sekali!”

Sambil meletakan buntalan itu keatas meja, da berkata lagi :

“Tentunya kau tidak kenal dengan diriku bukan ?” “Yaa, tidak kenal”

“Kenalkah kau benda apakah ini ?”

Ia melepaskan simpul ikatan pada tali buntalannya, sinar tajam segera memancar keluar dari balik bungkusannya itu, ternyata benda itu adalah sebuah senjata aneh yang terbuat dari baja asli. sekilas pandangan bentuknya mirip cakar ayam, tapi setelah diamati ternyata tidak mirip sebuah cakar ayam.

“Bukankah senjata itu adalah Thi eng-jiau (cakar elang baja) senjata andalan dari perguruan Eng Jiau-bun di wilayah Huay-lam?”

“Sungguh tajam penglihatanmu!” puji kakek penjual kueh itu. “Telingaku juga selalu amat tajam.”

“Oya !”

“Aku dapat menangkap dari nada pembicaraanmu bahwa kau bukan berasal dari wilayah Huay-lam atau sekitarnya.”

“Selama belajar dalam perguruan di Huay-lam yang kupelajari memang bukan dialek untuk bercakap-cakap.”

“Lantas apa yang kau pelajari?” “Cara membunuh orang!”

Setelah berhenti sejenak, dengan suara hambar dia melanjutkan :

“Asal aku dapat mempergunakan kepandaian perguruanku untuk membunuh orang, entah dialekku sewaktu berbicara berasal dari wilayah mana, hal itu sudah tidak penting lagi artinya.” “Ehmm   masuk diakal juga perkataan itu”

Tiba-tiba si penjual kueh itu mengambil senjatanya yang mirip cakar elang itu dengan sepasang tangan yang lebih mirip cakar elang tersebut.

Cahaya tajam berkelebat lewat, sepasang cakar elang tersebut telah meluncur ke depan dan ....

“Tringgg!”, cawan arak dihadapan Bu-ki sudah bertambah dengan empat buah lubang kecil, sedangkan sebatang bambu yang didirikan sebagai tiangpun tahu-tahu sudah tersayat hancur oleh sambaran cakar elang itu.

Cawan arak adalah benda yang terbuat dari tembikar, untuk menghancurkan bukan termasuk termasuk suatu pekerjaan yang susah, tetapi untuk membuat empat lubang kecil tanpa menghancurkannya jelas bukan suatu pekerjaan yang gampang.

Bambu adalah benda yang keras, untuk mematahkannya mungkin gampang, tapi untuk menyayat-nyayatnya menjadi lembaran yang kecil bukan suatu pekerjaan yang mudah.

Apalagi kekuatan yang dipergunakan untuk melaksanakan kedua pekerjaan itu berbeda, tapi dalam kenyataannya sepasang tangannya turun tangan bersama, tapi kekuatan yang dipergunakan ternyata bisa berlainan.

Bu-ki segera menghela nafas panjang-panjang, pujinya :

“Benar-benar suatu kepandaian yang sangat hebat!”

“Apakah kepandaian semacam ini termasuk juga kepandaian untuk membunuh orang ?” “Yaa, benar!”

“Inginkah kau menyaksikan aku membunuh orang ?” “Tidak ingin”

“Kalau begitu, cepat pergi dari sini!” “Kau bersedia membiarkan aku pergi?”

“Yang kuinginkan bukanlah manusia semacam kau.” “Lantas apa yang kau kehendaki ?”

“Aku menginginkan peti mati yang kau bawa itu.” *****

TEKA TEKI

PETI MATI itu dibeli sendiri oleh Bu-ki, terbuat dari kayu jati yang berkwalitas nomor satu bahkan di buat pula oleh seorang tukang kayu kenamaan.

“Ketajaman mata saudarapun sungguh mengagumkan” kata Bu-ki. “Peti mati ini memang sebuat peti mati yang bagus.”

“Aku dapat melihatnya” kakek penjual kueh itu menyahut.

“Tapi bagaimanapun baiknya kwalitet peti mati ini tidak ada harganya bagimu untuk menggerakkan begitu banyak orang untuk mendapatkannya.”

“Kau bilang tiada harganya, tapi aku justru mengatakan berharga sekali ”

“Bilamana kaupun sangat mengharapkan sebuah peti mati berkwalitet sebaik ini bisa saja kau suruh toko penjual peti mati itu untuk bikinkan sebuah lagi.”

“Tapi sayang peti mati itulah yang kuinginkan.” “Apa peti mati ini mempunyai keistimewaan lain ?” “Hal ini tergantung apakah isi peti mati itu?”

“Isinya hanya sesosok tubuh manusia.” cepat Bu-ki menerangkan. “Seorang manusia semacam apakah dia itu?”

“Seorang sahabat yang masih hidup, ataukah seorang sahabat yang telah mati?” Bu-ki segera tertawa lebar.

“Meski aku belum bisa di bilang sangat setia kawan, tapi aku tak nanti akan masukkan seorang sahabatku yang masih hidup ke dalam peti mati.”

Meskipun jabawan itu bukan jawaban yang jujur, namun tak bisa terhitun gpula sebagai sesuatu yang bohong.

Tong Giok memang belum mati.

Dengan tangannya sendiri ia memberikan tubuh Tong Giok ke dalam peti matu itu. Tong Giok bukan sahabat karibnya.

Tapi dalam peti mati itu memang hanya Tong Giok seorang diri.

Ia menutup sendiri peti mati itu, menyewa tukang pikul dan dengan mata kepala sendiri mengiringi tukang pikul itu membawa peti mati tersebut sampai disini.

Agaknya penjual kueh itu belum mau mempercayai seratus persen, kembali ia bertanya : “Sahabatmu itu sudah mati ?”

“Manusia hidup seratus tahun, akhirnya toh akan mati juga.” “Orang yang sudah mati apakah masih bisa bernafas ?”

Bu-ki segera menggelengkan kepalanya.

Ia sudah menjumpai titik kelemahan tersebut, tapi ia tak menyangka kalau orang lainpun telah menemukannya.

Sudah dapat dipastikan si penjual kueh tersebut telah menemukannya .....

Terdengar ia berkata sambil tertawa dingin.

“Kalau memang orang mati tak bisa bernafas lagi, mengapa kau harus membuat dua lubang hawa di atas peti mati itu ?”

Bu-ki segera menghela nafas panjang, sambil tertawa getir katanya :

“Karena aku benar-benar tak menyangka kalau ada orang yang menaruh perhatian terhadap peti mati ini.”

Jawaban tersebut adalah suatu jawaban yang jujur.

Jika ada sebuah peti mati terpampang di hadapanmu, orang meski akan menengoknya sekejap, jarang sekali ada orang yang akan meneliti peti mati itu dengan lebih seksama.

Lain kalau lubang itu terdapat di pakaian gadis cantik, semua orang bisa melihat dengan jelas, semua orang bisa memperhatikannya lebih dari sekejap, tapi jarang rasanya ada yang memperhatikan libang diatas peti mati.

Kembali Bu-ki berkata : “Tapi dalam peti mati ini benar-benar cuma satu orang, itu benar-benar adalah sahabatku, entah dia mati atau hidup, pokoknya dia adalah sahabatku.”

“Mengapa kau masukkan tubuhnya ke dalam peti mati itu ?”

“Sebab dia mengidap suatu penyakit, bahwa penyakit itu sudah amat parah sekali.”

“Apakah penyakit yang di terimanya itu adalah suatu penyakit yang tidak boleh diketahui orang ?”

“Jadi kau ingin melihatnya ?” Bu-ki balik bertanya.

“Aku hanya ingin membuktikan apakah ucapanmu itu jujur atau tidak. ”

“Andaikata isi peti mati itu benar-benar hanya satu orang ?”

“Maka dengan segala kehormatan aku akan menghantar kalian untuk menjalankan perjalanan, semua rekening arak disinipun akan kubayarkan untuk kalian!”

“Terlepas siapakah orang yang berada di dalam peti mati itu?”

“Sekalipun orang yang bersembunyi dalam peti mati itu adlaah biniku sendiri, asal dalam peti mati itu tiada orang yang laian, aku sama saja akan membiarkan kalian pergi.”

“Bisa dipercayakah perkataanmu itu ?”

“Anak murid perguruan dari Huay-lam tak ada seorangpun yang mengingkari janji.” “Kalau begitu bagus sekali!”

Pemuda ini selalu merasa kuatir bahwa orang yang mereka cari adalah Tong Giok.

Dia tidak ingin bertarung dengan mereka lantaran Tong Giok, tapi diapun tidak bisa membiarkan mereka pergi sambil membawa serta diri Tong Giok.

Sekarang walaupun dia sudah tahu kalau kedatangan mereka bukan lantaran Tong Giok, tapi ia masih belum bisa menduga karena apakah mereka menginginkan peti mati itu?”

Peti mati itu berada diluar barak di bawah pagar pekarangan.

Empat orang kuli panggul itu setelah memesan air teh berjongkok disisi peti mati dan minum air teh sambil makan kueh kering yang mereka bawa. Walaupun air teh dingin dan getir, walaupun kueh itu kering dan keras, tapi mereka masih menyantapnya dengan senang, minum dengan gembira.

Bagi manusia semacam mereka, kesenangan dalam kehidupan manusia sesungguhnya sudah tidak terlalu banyak, maka asal mereka bisa menemukan sedikit kegembiraan, kesempatan tersebut tak akan disia-siakan dengan begitu saja.

Itulah sebabnya mereka masih hidup.

Kegembiraan walaupun bukan merupakan sesuatu yang “mutlak”, hanya asal kau merasakan gembira, maka bergembiralah sepuasnya.

Yang lebih aneh lagi, bukan saja si penjual kueh itu tertarik pada peti mati itu, agaknya diapun tertarik kepada keempat orang kuli panggul itu.

Pakaian yang mereka kenakan amat dekil, tubuhnya kurus kering bagaikan kilit membungkus tulang, rambut kusut maka mukanya hitam dan kotor lagi, sesungguhnya ke empat orang itu tidak memiliki sesuatu keistimewaan yang berharga untuk diperhatikan.

Si penjual kueh itu memeperhatikan terus diri mereka, sepasang matanya seakan-akan terpaku dan memantek di tubuh mereka, mengawasi terus lekat-lekat, seakan-akan ia merasa berat hati untuk mengalihkan ke arah lain.

Walaupun dia berkata ingin memeriksa apakah isi peti mati itu hanya satu orang atau tidak, namum sepasang kakinya seakan-akan terpantek diatas tanah, bergeser setengah langkahpun tidak.

Bu-ki yang kemudian menegurnya lantaran tidak sabar :

“Hey, peti mati itu berada disini!” “Aku sudah tahu!”

“Mengapa kau tidak maju ke depan untuk memeriksanya ?”

Diatas wajah si Penjual Kueh yang kuning kepucat-pucatan dan kurus kering tersebut, tiba- tiba tersungging sekelum senyuman dingin yang aneh sekali. kemudian sepatah demi sepatah dia mengucapkan serangkaian kalimat yang hakekatnya jauh diluar dugaan Bu-ki.

“Sebab aku masih tidak ingin mampus diujung peluru peledak Pek lek tong dari mepat bersaudara keluarga Lui” “Bersaudara dari keluarga Lui ?” Bu-ki segera bertanya, “kau maksudkan Lui bersaudara dari Pek Leng tong?”

“Benar!”

“Apakah Lui bersaudara juga datang ?”

“Paling tidak ada empat orang yang telah datang.” “Dimana ?”

“Disini,, tepat dihadapanmu!”

Sesudah tertawa dingin, Si penjual kueh itu melanjutkan kembali kata-katanya :

“Empat saudara kita yang berjongkok di tepi peti mati sambil minum teh dan makan kueh itu bukan lain adalah Su toa kim kong (empat malaikat raksasa) dari Lui Ceng-thian!”

Paras muka Bu-ki segera berubah hebat.

Tentu saja ia tahu kalau dalam Pek lek tong terdapat Su toa kim kong, mereka adalah komplotan Lui Cheng-thian, musuh bebuyutan dari Tay hong-tong.

Betulkah ke empat orang kuli kasar yang miskin, kotor, dan bau itu tak lain adalah Su toa kim kong dari Pek Lek tong?

Mengapa mereka harus menurunkan derajat sendiri ? Mengapa mereka bersedia menggotongkan peti mati itu baginya ?

Sekalipun mereka sudah mengetahui kalau dia adalah Tio Bu-ki, juga tidak perlu untuk berbuat begitu.

Paling tidak mereka masih mempunyai suatu cara lain yang lebih bagus, setiap saat mereka dapat merenggut selembar jiwanya.

Si Kuli panggul yang paling tua usianya itu tiba-tiba menghela nafas, kemudian pelan-pelan bangkit berdiri.

Tangan kirinya masih memegang cawan air teh, sedangkan tangan kanannya masih memegang separuh potong kueh kering, pakaian yang di kenakan masih tetap baju yang dekil dan penuh robekan itu, bahkan bagian pantatpun penuh dengan tambalan.

Tapi dalam sekejap mata itulah, potongan maupun mimik wajahnya sama sekali berubah. Sorot matanya yang setajam sembilu dari seluruh badannya memancar kekuatan yang luar biasa, entah siapa itu orangnya, bila mereka bertemu dengan tampangnya sekarang, pasti tak seorangpun yang akan percaya kalau dia adalah seorang kuli kasaran yang paling rendah derajatnya serta kedudukannya dalam masyarakat.

Si Penjual kueh itu telah tertawa dingin, lalu ejeknya.

“Ternyata benar-benar memang kau, sedari kapan kau sudah berganti usaha menjadi seorang kuli panggul?”

“Selama setengah tahun belakangan ini kami bersaudara selalu melakukan pekerjaan ini.” “Apakah kalian selali memikulkan peti mati untuk orang lain ?”

“Bukan cuma peti mati, memikul tinjapun kami lakukan.” “Mengapa kalian harus melakukan pekerjaan semacam ini?”

Sebab kami dengar, bila pekerjaan semacam ini sudah dikerjakan cukup lama, maka watak sesorangpun akan mengalami perubahan.”

“Aku melihat wajah kalian yang justru banyak mengalami perubahan.”

“Itulah sebabnya aku merasa tak habis mengerti mengapa kau masih bisa mengenali kami.” kata si tukang panggul itu sambil menghela nafas panjang.

“Mungkin saja hal ini dikarenakan kami memiliki ketajaman mata yang luar biasa, tapi mungkin juga ada orang yang telah membocorkan rahasia kalian.” sahut si penjual kueh itu hambar.

Paras muka si kuli panggul itu segera berubah hebat, bentaknya dengan suara keras :

“Yang mengetahui rahasia ini hanya beberapa orang, siapa yang telah mengkhianati kami?” Si Penjual kueh itu tidak memandang lagi ke arahnya.

Hek Thi-ban segera melompat maju kemuka, katanya dengan suara dalam yang berat.

“Kami bersaudara tiada perselisihan dengan keluarga Lui, asal kalian bersedia meninggalkan peti mati itu, entah kemanapun kalian akan pergi, entah apapun yang hendak kalian lakukan kami pasti tak akan turut campur atau memperdulikannya.”

Setelah berpikir sejenak, kembali dia berkata, “Bila orang lain menanyakan tentang kalian, kamipun tak akan membocorkannya akan kami anggap seakan-akan hari ini tak pernah berjumpa saja.”

Ketika dihadapan Hek Popo, ia jarang sekali buka suara, tapi apa yang diucapkan kata-kata yang amat terlatih, malah tak kalah dari seorang jago kawakan, setiap perkataannya amat tajam tapi selalu memberi jalan mundur buat lawannya.

Sayang sekali kuli panggul itu tidak menerima kebaikannya itu, katanya dengan dingin :

“Kau membawa busur emas panah perak, seratus langkah membidik satupun takpernah meleset, sudah pasti kaulah si jago busur emas yang ternama dalam dunia persilatan dewasa ini, sedangkan orang yang berada di sisimu itu, meski logat bicaranya telah berubah, namum aku masih dapat mengenalinya sebagai ketua perguruan Huay-lam yang di namakan Eng Jiau- ong (raja cakar elang)!”

Ternyata si penjual kueh itu tidak bermaksud menyangkal. Kuli panggul itu kembali berkata :

“Ternyata kalian berdua bersedia untuk memberu sebuah jalan kehidupan kepadaku, seharusnya kamu merasa amat berterima kasih apalagi empat orang yang menemani kalian adalah jago-jago kelas satu, agaknya diantara mereka terdapat jago-jago dari Siang bun kiam yaiutu Ciong bersaudara dan Thi-ku (kepalan baja) Sun Hiong.

“Tajam amat pandangan matamu!”

“Dengan mengandalkan kemampuan dari kalian berenam, sesungguhnya tidak sulit bila ingin menahan kami berempat disini, cuma sayang seribu sayamg "

“Sayang kenapa ?”

Kuli panggul itu tertawa dingin terusnya.

“Sayang bila orangnya sudah mampus, kepalanya akan menjadi lemas dan merekapun tidak bisa memainkan pedang Siang bun Kiam lagi.”

Si Penjual kueh itu segera tersenyum.

“Untung saja mereka belum mampus!” katanya.

“Mereka belum mampus ? Kenapa kau tidak berpaling untuk memeriksanya sendiri ?”

Si penjual kueh itu segera berpaling, tapi senyuman yang semula tersungging diujung bibirnya segera berubah menjadi kaku. Ke empat orang rekannya yang sebetulnya duduk di belakang sana, kini telah roboh semua, di atas jalan darah Giok sin hiat di belakang kepalanya telah menancap sebatang sumpit bambu, sumpit itu panjangnya satu jengkal dan sudah menembusi batok kepala bagian belakangnya sedalam lima inci.

Sebenarnya batok kepala merupakan suatu daerah badan yang paling keras, bisa ditembusi oleh sebatang sumpit sekali tusukan, sesungguhnya kejadian ini sudah terhitung sebagai sesuatu kabar yang mengerikan sekali.

Yang lebih menakutkan lagi adalah keempat orang itu merupakan jago-jago kelas satu dalam dunia persilatan, ternyata mereka bisa direnggut nyawanya dalam sekejap mata tanpa menimbulkan sedikit suarapun, bahkan siapakah pembunuhnya juga tak tahu, bila bukan menyaksikan dengan mata kepala sendiri siapapun tak akan mempercayainya.

Kecepatan orang itu turun tangan, kejituannya dan kekejian benar-benar menakutkan.

Semua orang dalam warung teh itu sudah pada kabur, bahkan si pemilik warung beserta pelayannya entah sudah bersembunyi kemana.

Selain si penjual kueh, Bu-ki dan lelaki hitam pekat itu, dalam warung teh tersebut masih ada tiga orang yang masih hidup.

Si Kongcu yang gemuk yang katanya belakangan ini isi perutnya kurang baik itu meski masih hidup tapi ia sudah ketakutan setengah mati sehingga sekujur badannya hampir saja terperosok ke kolong meja.

Keadaan tak berbeda jauh dari rekannya itu.

Apalagi kedua orang itu selalu duduk dihadapan mejanya. Tiong bersaudara serta Sun Hiong tak bisa diasangkal lagi sumpit bambu itu tentu meluncur dari belakang mereka.

Di belakang mereka berdua cuma ada satu orang.

Orang itu belum pergi karena sejak tadi ia sudah mabuk, ketika Bu-ki datang kesitu, orang itu sudah mendekam di atas meja, diatas meja penuh dengan guci-guci arak yang kosong.

Ia tidak mengenakan topi sehingga rambutnya yang beruban kelihatan jelas usianya sudah lanjut.

Pakaian yang di kenakan itu bukan saja warna birunya sudah luntur menjadi putih, disana sinipun telah kelihatan beberapa buah tambalan. Apakah kakek rudin yang sedang mabuk itu seorang jago persilatan yang berilmu tinggi? apakah dia yang telah merenggut nyawa dua manusia dari jarang sepuluh kaki lebih tanpa menimbulkan sedikit suarapun ?

Sambil memegang erat-erat senjata cakar elang bajanya, selangkah demi selangkah sipenjual kueh itu mendekati si kakek tersebut.

Ia tahu tangannya sedang mengucurkan keringat, keringat dingin tentunya.

Cakar elang baja yang berada di tangannya merupakan suatu alat pembunuh yang sangat hebat, entah sudah berapa banyak jago gagah dan enghing-hohan yang tewas terbunuh di ujung cakar elang bajanya ini.

Tapi sekarang tangannya sedang gemetar keras, mungkin orang lain tidak melihatnya, tapi ia sendiri dapat merasakan hal tersebut.

Orang yang bisa menembusi batok kepala manusia yang keras hanya dengan sambitan sebatang sumpit, jelas sudah bahwa dia bukan seorang manusia yang gampang dihadapi.

Seseorang yang sudah hampir tiga puluh tahun lamanya berkecimpung dalam dunia persilatan, paling tidak dia sedikit harus tahu diri.

Tapi dia wak dapat mundur dari sana dengan begitu saja.

Sekalipun saat ini Huay-lam pay sudah bukan termasuk sebuah perguruan besar yang kenamaan, toh di masa lalu mempunyai sejarah yang cemerlang dan terkenal.

Entah bagaimanapun juga, dia toh tetap merupakan seorang ciangbunjin dari partai Huay-lam, demi kehidupan, demi mempertahankan nama serta martabatnya, ia bisa saja merubah wajah dan suaranya untuk menjadi seorang pembegal, tapi ia tidak dapat membiarkan nama baik Huay-lam pay hancur dan ternoda di tangannya.

Itulah tragedi dari seorang jago persilatan.

Sejarah kejayaannya dalam dunia persilatan seringkali terbentuk dari pelbagai tragedi yang bertumpuk menjadi satu.

Busur telah ditangan, panah sudah diatas busur.

Sambil menarik tali busurnya siap membidik, sepasang mata lelaki hitam itu mengawasi si kakek yang berambut putih itu tanpa berkedip.

Tiba-tiba kakek itu berbicara, kata-kata yang kacau tidak jelas, sepertinya lagi mengucapkan kata-kata mabuk, seperti pula sedang mengigau dalam impian. “Kenapa semua orang menghendaki peti mati itu? Apakah semuanya sudah bosan hidup dan ingin berbaring ke dalam peti mati!”

Kelopak mata si penjual kueh itu menyusut kecil, tangannya yang menggenggam senjadi makin dipererat.

Sekarang ia telah merasa yakin bahwa si kakek inilah yang barusan telah menembusi batok kepala rekan-rekannya dengan sebatang sumpit bambu.

Tiba-tiba ia menegur dengan suara lantang. “Cianpwe!”

Kakek itu masih tettelungkup di atas meja, nafasnya mendesis, agaknya tertidur lagi. Melihat itu, si penjual keuh tersebut segera tertawa dingin.

“Heeehhh...heeehhh...heehhhh,. dengan usiamu yang sudah lanjut sekali, sesungguhnya aku

harus menghormatimu sebagai seorang cianpwe, akupun belum melupakan peraturan dalam dunia persilatan maka lebih baik kau sendiripun jangan terlalu melupakan dirimu sendiri.”

Tiba-tiba kakek itu mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. “Haaahhh...haaahhh...haaahhh. baik, baik, aku akan berbicara.”

Diatas wajahnya yang kering dan penuh berkeriput itu penuh tumbuhan belang belang putih sebesar mata uang, bulu alis matanya sudah banyak yang rontok, matanya masih sipit karena mabuk, sewaktu tertawa tampangnya persis seekor kambing alas.

Ia mendongakkan kepalanya memandang si penjual kueh, kemudian ujarnya :

“Sungguh tak kusangka di dalam partai Huay-lam pay yang kecil masih terdapat seorang manusia macam kau, yang tahu akan peraturan dunia persilatan, bahkan masih membawa gaya dan kegagahan sebagai seorang ciangbunjin.”

“Aku bukan ciangbunjin dari partai Huay-lam pay!” bantah sipenjual kueh itu dengan cepat. “Kau bukan?”

“Ya, aku tidak lebih hanya seorang penjual kueh!”

“Oooh. , rupanya kau datang kemari untuk menjual kueh!” seru si kakek kemudian tertawa. Penjual kuehpun kadang kala bisa membunuh orang.” “Siapa yang hendak kau bunuh?”

“Kau!”

Sekali lagi kakek itu mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.

“Haaahhh...haaahhh....haaahhh... kau sendiri juga harus mengerti.” katanya, “sudah jelas kau bukan tandinganku, buat apa mesti datang untuk menghantar kematian?”

Tiba-tiba si penjual kueh itu juga tertawa terbahak-bahak.

“Haaahhh....haaahhh. haaahhh bila aku dapat membunuhmu, yang kubunuh adalah seorang

Bu lim cian pwe yang nama besarnya menggetarkan seluruh dunia persilatan, sebaliknya jika kau bunuh diriku orang yang kau bunuh tidak lebih hanya seorang penjual kueh, kenapa aku musti takut mati ?”

Ditengah gelak tertawanya yang amat keras cakar elangnya telah diayunkan ke depan melancarkan serangan.

Dahulu Eng Jiau Ong (raja cakar elang) turun dalam dunia persilatan dari kota Huay-lam dan berhasil mengangkat nama besarnya dalam waktu singkat, dia selamanya hanya mengandalkan sepasang kepalan baja serta Toan eng jiau lip yang dilatihnya selama tiga puluh tahun lebih, begitu pula kekita mendirikan Huay-lam Eng Jiau Bun belum pernah ia memakai senjata.

Sayangnya anak murid perguruannya tidak terdapat seorangpun yang memiliki kepandaian sedasyat itu, juga tidak ada yang memiliki tenaga sakti seperti miliknya, maka merekapun menciptakan sepasang senjata khusus utnuk menutupi kelemahan mereka dalam tenaga dalam.

Sebelum meninggalkan dunia, ketika ia menyaksikan senjata tersebut, iapun lantas sadar, cepat atau lambat perguruan Huay-lam pay akan musnah di ujung sepasang cakar elang baja ini.

Sebab dia tahu bagaimanapun bagus dan hebatnya senjata tajam tidak akan lebih lincah dan gesit daripada sepasang tangan sendiri. Bila ketiga puluh enam jurus toa eng jiau kangnya digunakan melalui senjata semacam itu maka kehebatan serta daya pengaruh yang terpancar keluar tak akan sesempurna bila di mainkan dengan tangan.

Diapun tahu, setelah ahli warisnya memiliki senjata semacam itu, mereka akan semakin enggan untuk melatik telapak tangan sendiri. Tapi tak bisa disangkal lagi sepasang senjata itu memang semacam senjata tajam yang gesit dan dasyat. cakar baja yang berbentuk cakar elang itu bukan saja memiliki ketajaman yang mampu merobek tubuh harimau, lagipula bisa digunakan secara hidup persis seperti cakar tangan manusia.

Apabila bisa digunakan secara sempurna bahkan cakar elang baja itu dapat pula dipergunakan untuk menangkap seekor kutu dari atas rambut orang.

Si penjual kueh itu sudah cukup banyak tahun melatih diri secara tekun dalam permainan senjatanya, serangan yang dilancarkan selain dilakukan dengan kecepatan luar biasa, cakar baja di tangan kiri bisa bergerak dengan lincah sementara cakar baja di tangan kanannya bisa dipakai secara kekerasan dengan memancarkan segenap kelihaian yang dimilikinya.

Dalam penggunaan tenaga, ada kalanya dipakai tenaga kasar untuk kekerasan, ada kalanya pula bertenaga lembut untuk kelincahan, serangan-serangan yang digunakan pun ada serangan tipuan, ada pula serangan sungguhan, tapi seluruhnya tertuju pada bagian-bagian yang mematikan di tubuh lawan.

Dari bali sinar mata si kakek yang masih sipit karena mabuk, tiba-tiba mencorong keluar cahaya tajam yang menggidikkan hati, dengan suara keras dia berteriak :

“Lepas!”

Di tengah bentakan nyaring, tubuhnya melejit ke tengah udara, sepasang ujung baja yang menggulung ke muka, dengan cepat cakar elang itu terlepas dari cekalan dan mencelat ke tengah udara, setelah melayang sejauh dua puluh kaki lebih akhirnya jatuh diatas bukit diluat pagar bambu sana.

Si penjual kueh itu sendiri ternyata tak sampai tergetar roboh, dia masih tetap berdiri tegak disana tanpa bergerak barang sedikitpun.

Tapi, sepasang biji matanya telah menonjol keluar, matanya merah berapi-api, sementara darah kental keluar dari ujung bibirnya.

Kakek itu menatapnya tajam-tajam mendadak ia menghela nafas panjang, katanya.

“Aaai...! Kau hendak membunuhku, maka aku pun tak bisa tidak harus membunuhmu juga.”

Si Penjual kueh itu menggertak giginya kencang-kencang tanpa mengucapkan sepatah katapun.

“Sesungguhnya kau harus tahu siapakah diriku ini.” kembali kakek itu berkata, “aku pun tahu siapakah dirimu yang sebenarnya.” “Siapakah aku ?” tiba-tiba penjual kueh itu bertanya.

Karena buka mulut dan bersuara, kembali ada darah kental menyembur keluar. Sambil menghela nafas, kakek itu menggeleng.

“Eng jiau ong, Ong Han bu, buat apa kau musti berkeras kepala terus... ?” tegurnya.

Dengan cepat si penjual kueh itu menyeka noda darah di ujung bibirnya dengan pakaian, lalu berteriak keras.

“Aku bukan Eng Jiau Ong, aku bukan Ong Han bu!”

Darah yang baru saja di seka itu kembali menyambar keluar, dengan nafas tersengal - sengal katanya kemudian :

“Eng Jiau ong, Ong Han bu sudah lama mati, tak seorang manusiapun yang dapat membunuhnya, dia... dia mati karena sakit, aku,.... aku. ”

Rasa kasihan dan iba segera memancar keluar dari balik mata kakek itu, ujarnya dengan lembut :

“Aku tahu, kau tidak lebih hanya seorang penjual kueh belaka ”

Pelan-pelan penjual kueh itu mengangguk, matanya segera terpejam dan tubuhnya pelan- pelan roboh terkapar di atas tanah.

Apa yang diharapkan telah terwujud, diapun bisa mati tanpa harus membawa rasa sesal.

Sebab dia bukan Ong Han bu, nama besar partai Huay-lam pay yang tak terkalahkan sama sekali tidak hancur di tangannya.

Maka tidak ada orang pula yang bisa mengalahkan Eng-jiau-ong, dahulu tidak, di kemudian haripun lebih-lebih tidak......

Air mata yang selama ini mengembang dalam kelopak mata Hek-th han atau si lelaki hitam pekat itu akhirnya tak tahan dan meleleh juga membasahi pipinya, mendadak ia membentak dengan suara yang keras menggelegar bagaikan guntur:

“Lepas!”

Busur berbunyi dan sebatang anak panah berbulu perak yang tiga depa enam inci panjangnya itu segera meluncur dari atas busur dan menyambar kemuka dengan membawa suara desingan tajam yang memekikkan telinga....... Hek thi ban tingginya mencapai delapan jengkal, kekuatan lengannya mencapai ribuan kati, busur baja berpunggung emas miliknya saja memiliki daya tempak lima ratus butir batu, meski panah berbulu peraknya masih belum sanggup untuk membelah rembulan, tapi cukup untuk menghancurkan batu karang.

Konon menurut berita yang tersiar di dalam dunia persilatan, jika ada tiga orang yang berdiri dengan punggung sampai punggung, dengan sekali bidikan dia sanggup menembusi badan ketiga orang itu sekaligus.

Tapi sekarang cahaya perak baru berkelebat lewat, tahu-tahu panah berbulu perak itu sudah berada di tangan si kakek, dia hanya menggunakan dua jari tangannya, panah yang mampu menembusi batu tersebut tahu-tahu sudah kena terjepit olehnya.

Dalam waktu singkat inilah air muka Hek thi han telah berubah menjadi pucat ke abu-abuan, sedangkan empat bersaudara dari keluarga Lui segera menunjukkan wajah berseri.

Sungguh tak disangka hanya dalam sekejap mata saja, secara tiba-tiba situasi telah mengalami perubahan kembali.

Mendadak paras muka si kakek menunjukkan suatu perubahan mimik wajah yang aneh sekali, seperti seorang nyonya muda yang terbangun di tengah malam dan tiba-tiba menemukan ada seorang lelaki asing sedang “menunggangi” tubuhnya.

Rasa kaget, seram dan takut yang luar biasa telah menyelimuti seluruh wajahnya.

Tiba-tiba ia melejit ke tengah udara, berjumpalitan beberapa kali dan melayang keluar dari tenda bambu itu, dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas.

Bila ingin belajar “membidik”, maka pertama-tama yang harus dilatih dulu adalah ketajaman mata.

Sejak berusia tujuh delapan tahun Hek thi han sudah melatih ketajaman mata, Ia harus melatih sampai dapat melihat seekor nyamuk di dalam sebuah kamar gelasp sejelas melihat burung elang di angkasa, latihan itu baru bisa di anggap berhasil.

Ketajaman mata Bu-ki boleh di bilang tidak selisih jauh daripada ketajaman matanya.

Tapi mereka semua tak ada yang menduga apa sebabnya kakek itu secara tiba-tiba melarikan diri, jago lihay seperti dia tidak mungkin merupakan seorang manusia yang gampang dibikin takut, kecuali secara tiba-tiba ia bertemu dengan setan atau secara tiba-tiba dipagur oleh ular berbisa.

Tapi disana tidak ada setan, disanapun tak ada ular berbisa. Apa pula yang dia takuti ?

Su kuli pikul itu berdiri dengan tangan sebelah memegang sepotong kueh keras, wajah mereka dari girang berubah menjadi kaget dan tercengang lalu dari kaget dan tercengang berubah menjadi seram akhirnya dari rasa seram berubah menjadi rasa curiga.

Sekarang paras muka mereka telah berubah menjadi dingin kaku tanpa emosi lagi, tiba-tiba serunya:

“Tauke !”

Bu-ki bukan seorang tauke.

Tidak sedikit memang kejadian aneh dilihat, dirasakan, dan dialaminya sepanjang hidup tapi ia belum pernah menjadi seorang tauke.

Tapi selama ini keempat orang tukang pikul itu selalu menyebutnya sebagai tauke. “Kau sedang memanggil aku?” tanya Bu-ki kemudian.

“Entah kami she apa yang pasti kami telah dicarter olehmu maka kau masih tetap merupakan tauke kami.”

Mau tidak mau Bu-ki harus mengakui akan hal itu. Kembali si tukang pikul itu berkata.

“Kau membayar lima renca uang perak sehari untuk menjadi tukang pikul dan membawakan peti mati ini sampai wilayah Szechwan. ”

“Benar”

“Sepanjang perjalanan sampai disini, pernahkah kami melakukan kelalaian atau pelanggaran

?”

“Tidak pernah!”

“Pernahkah kami malas atau mencuri waktu sehingga menunda perjalanan?” “Tidak pernah!”

“Kau membayar lima rence uang perak sehari kepada kami, apakah kau merasa berat hati untuk membayarnya ?” “Tidak, tidak berat!”

Ia tidak bisa tidak untuk mengakui hal ini, memang tidak gampang untuk menemukan tukang pikul macam mereka itu.

Kembali si tukang pikul itu berkata:

“Kau mencarter kami untuk membawakan peti mati ini sampai diwilayah Szechwan. kamipun dengan bersungguh hati membawakan peti mati ini sampai ke tempat tujuan, bahkan kami berjanji pasti akan membawa peti mati ini sampai tempat tujuan dengan aman dan selamat.”

“Bagus sekali!”

“Karenanya, aku harap kau jangan mengurusi persoalan-persoalan yang lain, sebab semua persoalan itu sama sekali tak ada hubungannya dengan dirimu.”

Ucapan tersebut sudah teramat jelas sekali maksudnya.

Mereka sama sekali tidak tahu akan asal usul dari taukenya ini, merekapun tidak ingin tahu, mereka hanya berharap taukenya ini juga tidak mencampuri urusan mereka.

Bu-ki hanya merasa kurang jelas akan satu hal. Tak tahan lagi dia lantas bertanya:

“Tahukah kalian siapa yang berada di dalam peti mati itu?” “Sahabatmu!”

“Tahukah kalian siapakah sahabatku ini?”

“Entah siapa pun sahabatmu itu, hal ini mana sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan kami.”

“Mengapa kalian bersedia memikulkan peti mati itu bagiku?” “Karena kami bersedia!”

Sesudah berhenti sebentar, dengan suara hambar dia melanjutkan :

“Asal kami telah bersedia, entah apapun yang kami lakukan, hal mana sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu.” Bu-ki segera menghela nafas panjang.

“Yaa, ucapanmu memang sangat masuk di akal”

Mau tidak mau dia harus mengakui bahwa perkataan mereka memang cengli, masuk diakal tapi dalam hati kecilnya justru merasa bahwa perkataan itu sama sekali tidak masuk akal.

Semua perbuatan mereka hampir tak bisa masuk diakal karena setiap perbuatan yang mereka lakukan tak dapat dijelaskan dengan akal yang pada umumnya berlaku.

Tapi semua perbuatan tersebut benar benar telah terjadi... malahan sudah ada lima orang yang mati lantaran persoalan ini.

Kehidupan adalah benar benar merupakan suatu kenyataan, demikian pula kematian.

Sekali lagi Bu ki menghela napas panjang, katanya: “Dapatkah kau memberitahukan kepadaku sebenarnya kalian ingin berbuatapa?”

Si tukang pikul itu mempertimbangkannya sebentar, akhirnya dia menjawab: “Kami tak lebih hanya ingin membunuh seseorang yang sama sekali tak ada hubungan atau sangkut pautnya dengan kita”

“Kalian ingin membunuh diriku?” tiba tiba Hek thi han bertanya. “Benar!”

Hek thin han tak bisa disebut sebagai sahabatnya Bu ki, tapi bagaimanapun juga Bu ki merasa masih berhutang budi kepada mereka ibu dan anak...

Empat orang tukang pikul itu sudah bersiap siap untuk turun tangan, dengan cepat mereka telah mendekati Hek thi han, lalu mengepungnya rapat rapat.

Busur besar anak panah panjang cuma bisa dipakai untuk menyerang jauh, makin dekat jaraknya makin terbatas daya kemampuan yang bisa dicapai.

Tak bisa disangkal lagi ke empat orang tukang pikul itu merupakan jago jago kawakan yang sudah berpengalaman dalam menghadapi beratus ratus kali pertempuran. Sudah barang tentu mereka cukup mengerti akan teori tersebut, dengan pengalaman serta ilmu silat yang mereka miliki, untuk membunuh manusia sperti hek thi han, pada hakekatnya hanya merupakan sesuatu pekerjaan yang dapat diselesaikannya dalam waktu sekejap mata.

“Tunggu sebentar!” tiba tiba Bu ki berteriak ekras. Sambil menarik muka si tukang pikul itu segera menegur: “Apakah kau bermaksud untuk mencampuri urusan pribadi kami?”

Bu ki tidak menjawab, sebaliknya malah bertanya:

“Apakah kalian bersikeras akan membunuhnya?” “Yaa, benar!”

Jawabannya amat tandas dan tegas terusnya: “Jika ada orang ingin menghalangi niat kami, tak ada halangannya buat kami untuk membunuh seorang lebih banyak lagi”

“Apakah disebabkan ia sudah mengetahui asal usul kalian? Maka kalian bersikeras akan membunuhnya untuk menghilangkan saksi?”

Tukang pikul itu tidak menyangkal. “Sekarang, akupun sudah mengetahui asal usul kamu sekalian” kata Bu ki kembali, “Apakah kalian juga akan membinasakan diriku?”

“Aku telah berkata, asal kau tidak mencampuri urusan ini, kami akan memikulkan peti mati ini sampai ditempat tujuan dengan selamat”

Bu ki segera menghela napas panjang. “Aaai...sekarang aku lebih tidak mengerti lagi” katanya, “Sudah jelas disini ada dua orang yang mengetahui rahasia kalian, mengapa kalian hanya membunuh seorang?”

“Karena kami menyukai dirimu” sahut si tukang pikul itu sambil tertawa dingin.

Tiba tiba paras muka Bu ki berubah hebat, ditatapnya wajah mereka dengan terkejut lalu serunya: “Kau...kau...”

“Kenapa dengan diriku?”

Bu ki memandang sekejap kearahnya, kemudian memandang pula ketiga orang rekannya, sorot matanya penuh pancaran sinar kaget, tercengang dan seram.

Hek thi han yang memandang keempat orang itu juga menunjukkan mimik wajah yang sama, seakan akan dalam waktu singkat ke empat orang tukang pikul itu telah berubah menjadi setan yang menyeramkan.

Mimik wajah semacam ini, sudah pasti tak dapat diperlihatkan dengan pura pura.

Sebenarnya apa yang mereka saksikan? Mengapa wajah mereka secara tiba tiba berubah menjadi begitu kaget? Begitu ketakutan? ORANG MATI KE SEPULUH

SIKAP ke empat orang tukang pikul itu juga menunjukkan kegugupan, gelisah dan tak tenang, barang siapa yang ditatap orang dengan mimik wajah seperti itu, sikap mereka pasti akan berubah menjadi gugup dan gelagapan.

Sebenarnya sinar mata mereka berempat selalu tertuju ke wajah Hek Thi han dan Bu ki, tapi sekarang tak tahan lagi mereka saling berpandangan sendiri.

Cukup dalam sekilas pandang saja, paras muka mereka berempat segera menunjukkan pula mimik wajah seperti yang diperlihatkan Bu ki, malahan jauh lebih kaget, jauh lebih gugup dan jah lebih ngeri dari pada apa yang diperlihatkan Bu ki.

Salah satu orang diantara mereka tiba tiba membalikkan badan dan menerjang kemuka, tangannya dengan cepat mencengkeram poci air teh yang berada di sisi peti mati itu.

Pelk Lek thong tersohor dalam dunia persilatan karena senjata rahasia obat peledaknya yang amat dahsyat, tangan dari orang orang yang sering bermain senjata rahasia obat peledak sebagai senjata andalannya, paling tidak harus lebih mantap dari pada orang lain.

Tapi sekarang jangan toh senjata rahasia bahan peledak, sekalipun memegang poci air teh saja sudah tak sanggup lagi, mendadak mulutnya terbuka lebar, dia seperti mau menjerit tapi tak sepotong suarapun yang dapat diteriakkan.

Dari dalam tenggorokannya hanya terdengar suara desisan yang sangat lirih, menyusul kemudian tubuhnya ikut roboh terkapa diatas tanah, roboh tak berkutik lagi.

Rekan rekannya juga telah membalikkan badan lari kedepan, dua orang diantaranya segera terjungkal setelah keluar dari warung sedang seorang lagi roboh dalam warung itu juga.

Begitu roboh terkapar keatas tanah sekujur badan mereka mulai layu, bagaikan selembar daun yang terkena api, dalam waktu singkat menjadi layu dan kusut.

Sore telah menjelang datang.

Sinar matahari sore dimusim semi seperti ini, biasanya cahaya keemas emasan itu tampak indah dan menarik, akan tetapi tanah perbukitan tersebut seolah olah telah diselimuti oleh selapis bayangan hitam yang menyeramkan.

Itulah bayangan hitam dari kematian, maut seperti datang dari empat arah delapan penjuru.

Bahkan Bu ki sendiripun merasakan tangan serta kakinya menjadi dingin, apalagi Hek thi han, peluh dingin sebesar kacang telah membasahi jidatnya, ujung hidungnya dan sekujur badannya. Detik terakhir menjelang kematiannya, mimik wajah yang diperlihatkan keempat orang tukang pikul itu sungguh menakutkan sekali.

Bukan untuk pertama kali ini Bu ki menyaksikan keadaan seperti itu.

Ketika Tong Giok keracunan, mimik wajahnya juga menunjukkan perubahan yang sama... sinar matanya lambat laun menjadi buram dan redup, kelopak matanya makin menyusut kecil, lalu ujung bibirnya, ujung matanya serta kulit pipinya mengejang keras dan kering retak retak, setelah itu lapisan hitam yang menyeramkan menyelimut seluruh paras mukanya.

Yang paling menakutkan adalah, disaat wajah mereka mengalami perubahan, mereka sendiri sama sekali tidak merasakan apa apa, daya kerja racun jahat tersebut sedemikian mematikannya sehingga sampai saat menjelang tibanya ajalpun ia tak akan merasakan apa apa.

Bukan cuman tak akan merasakan apa apa dikala racun mulai bekerja, di kala daya kerja racunpun mulai menyebar keseluruh anggota badan juga tak akan merasakan apa apa.

Dalam keadaan tanpa terasa itulah racun jahat itu akan menyusup masuk ke dalam setiap rongga tubuhmu, menghancurkan urat syarap yang menghubungkan anggota badan dengan otak dan akhirnya merenggut selembar nyawamu.

*****

Si KONGCU gemuk beserta rekannya yang semula duduk didalam warung, sekarang telah terjeglok dibelakang bambu, keempat tukang pikul tandunya saat itu juga secara diam diam tleah ngeloyor pergi.

Tak bisa disangkal lagi dibelakang warung itu terdapat sebuah jalan, bila bertemu dengan peristiwa semacam ini, asal orang itu punya kaki, mereka pasti akan mengambil langkah seribu.

Tiba tiba Hek thi han menghela napas panjang, katanya: “Masakah dalam poci air teh itu benar benar beracun?”

Ia sedang bertanya kepada Bu ki.

Ditempat itu tinggal dua orang yang hidup dia serta Bu ki, hal mana membuat hubungan mereka seakan akan berubah menjadi lebih akrab dan dekat secara tiba tiba.

Seandainya kaupun pernah mengalami pengalaman seperti apa yang mereka alami itu, maka kaupun akan mempunyai perasaan demikan juga. “Tampaknya dalam air teh tersebut pasti ada racunnya” sahut Bu ki sambil manggut manggut. “Tapi bukan aku yang melepaskan racun itu” kata hek Thi han.

“Aku percaya”

“Tapi siapa yang melepaskan racun?” “Aku tidak tahu”

Hek thi han termenung sambil membungkam. Wajahnya menunjukkan perasaan tersiksa dan menderita yang luar biasa, peluh dingin semakin banyak mengucur keluar dari tubuhnya.

“Apakah kau ada perkataan yang hendak disampaikan kepadaku?” tanya Bu ki kemudian.

Hek thi han kembali termenung sampai lama sekali, mendadak serunya dengan suara lantang: “Aku sama sekali tidak menginginkan nyawa mereka. Akupun tidak menginginkan peti mati ini. Aku sama sekali tak tahu kalau mereka berempat akan membawa sebuah peti mati”

Sedemikian kerasnya suara itu seakan akan sedang berteriak tapi ia bukan sedang berteriak kepada Bu ki, ia sedang berteriak kepada dirinya sendiri.

Bu ki dapat memahami perasaannya maka sepatah katapun tidak ia katakan, ia membiarkan dia sendiri mengucapkan kata kata tersebut.

Terdengar hek thian han berkata lagi: “Ada orang memberitahukan kepada kami bahwa dalam peti mati itu tersimpan sejumlah ‘bungkusan merah’ paling tidak nilainya mencapai lima puluh laksa tahil.

Yang diartikan sebagai “bungkusan merah” oleh kalangan persilatan tak lain adalah sejumlah mestika dan harta kekayaan yang besar sekali jumlahnya.

“Tempo dulu kami mempunyai kebutuhan mendesak dan meminjam sejumlah uang kepada seseorang” Hek thi han lagi, “tapi ia minta kami membayar hutang tersebut dengan ‘bungkusan merah’ ini, terpaksa kami hanya berusaha untuk mendapatkannya”

“Kebutuhan mendesak apakah yang kalian hadapi?”

“Bulan empat tanggal sebelas adalah ulang tahun seorang tuan penolong kami, setiap tahun kami harus mengirim sejumlah hadiah kepada dia orang tua”

Tentu saja Bu ki tahu siapakah tuan penolong yang dimaksudkan itu, sebab orang itu tak lain adalah Siau Tang lo yang misterius itu. Kembali Hek thi han berkata: “Sejak dulu kami sudah ada perjanjian dengan orang lain, bila ia mengetahui ada ‘bungkusan merah’ yang tidak jelas asal usulnya melewati daerah kekuasaanya, lantaran ia sendiri kurang leluasa untuk turun tangan, maka kabar itu selalu dia sampaikan kepada kami, bila berhasil maka hasilnya akan dibagi menjadi tiga tujuh”

Setelah berhenti sejenak, dia menambahkan: “Sekalipun kami adalah perampok, tapi kami hanya mengerjakan ‘bungkusan merah’ lagi pula harus suatu ‘bungkusan merah’ yang tidak jelas asal usulnya.

Sebenarnya perkataan semacam ini tak akan diberitahukan kepada Bu ki, tapi dibawah tekanan kematian, kekuatan dan kengerian yang luar biasa, tiba tiba saja ia merasa harus mengucapkannya keluar.

Jika kau yang berada dalam keadaan dmeikian, sudah pasti kau sendiripun akan melakukan perbuatan yang sama.

Bu ki sama sekali tidak bertanya, “Siapakah orang itu?”

Hal mana merupakan rahasia orang lain, ia tidak berhak untuk menanyakannya, selamanya dia enggan untuk menyelidiki rahasia pribadi orang lain...

Suara Hek thi han makin lama semakin rendah, makin bicara semakin sedih, akhirnya katanya dengan hati yang sedih,

“Sekarang walaupun aku sudah memahami apapun yang sebenarnya telah terjadi, sayang sekali keadaan sudah terlambat.”

“Sebenarnya apa yang telah terjadi ?” tak tahan Bu-ki bertanya.

“Kesemuanya ini hanya merupakan suatu perangkap, perangkap busuk orang untuk menjebak kami!”

“Suatu perangkap ? Perangkap apa ?”

“Dia ingin membunuh keluarga Lui bersaudara, tapi dia sendiri tak dapat turun tangan, maka diapun ingin membunuh kami untuk menghilangkan saksi”

“Mengapa dia harus membunuh kalian?”

“Sebab hanya kami yang tahu akan rahasianya, markasnya, dan gudang penyimpanan harta rampokannya!”

Dari sedih ia berubah menjadi amat gusar, terusnya : “Maka diapun menyiapkan siasat meminjam golok membunuh orang dan menjebak kami dengan rencana sekali timpuk dua ekor burung. Dia membiarkan kami saling bunuh membunuh, paling baik lagi jika kamu semua bisa mampus semua.”

“tapi kau tidak punya bukti, kau tidak bisa membuktikan bahwa peristiwa ini pastilah suatu perangkap.”

“Kau lah bukti yang paling jelas.” “Aku?” seru Bu-ki tercengang. “Benar!”

“Apakah kau telah menyimpan sejumlah barang mestika di dalam peti mati ini?” “Tidak!”

“Kalau toh dalam peti mati ini sama sekali tidak ada ‘bingkisan merah’, kalau peristiwa ini bukan suatu perangkap ? lantas apa namanya ?”

Sepasang tangannya memegang kepalanya kencang-kencang, kemudian lanjutnya :

“Sekarang Lui bersaudara telah mati, saudara-saudara kamu juga telah mati, rencana merekapun telah berhasil, cuma sayangnya "

“Cuma sayang kau belum mati”, sambung Bu-ki. Dengan penuh kebencian, Hek-thi han berseru:

Selama aku masih bernafas, selama hayat masih dikandung badan, aku bersumpah untuk membongkar intrik busuknya yang amat licik dan keji ini.

Bu-ki termenung sebentar lalu berkata :

“Sudah lama ku dengar akan nama besar Kim-kiong-gin-ciam, cu bu-siang hui (busur emas, anak panah perak, anak ibu terbang bersama), akupun tahu bukan saja ilmu memanah dari ibumu tiada ternyata, lagi pula seorang jago yang berotak cerdas, mengapa kau tidak mencarinya dan merundingkan persoalan ini dengannya ?”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar