Jilid 15
MUNGKIN iapun teringat bahwa dimasa lalupun ia pernah mengalami masa indah seperti itu, tapi musim semi lewat musim gugurpun tiba, masa seindah itu sudah lewat lama, kini yang tinggal hanya masa ketuaan yang makin mendekat.
Selama masa-masa begini, mungkin saja suaminya mencari hiburan perempuan lain di luaran, sedang ia harus duduk dalam dapur dengan pakaian yang kotor sambil melewatkan hidupnya.
Selain mereka, terdapat pula seorang laki-laki berpakaian perlente yang tinggi besar sedang berdiri bergendong tangan dibelakang pagar sambil menikmati air telaga yang jernih seakan- akan ia sedang menikmati keindahan senja itu.
Diantara orang-orang itu tak mungkin ada orang-orang dari keluarga Tong, tidak ada pula diri Tio Bu-ki.
Selama ini ia tak berhasil menemukan Bu-ki, diapun tak ingin mencarinya dengan teliti, pokoknya ia tahu bahwa Bu-ki pasti berada disekitar tempat itu.
Sepoci air teh sudah hampir habis diminum, setelah menempuh perjalanan sejauh itu, sedikit banyak ia merasa haus juga.
Baru saja dia hendak memanggil orang untuk menambah air.
Pada saat itulah, ia menyaksikan ada tiga orang munculkan diri dari jalanan sempit beralas batu itu dan berjalan dan menghampiri kearahnya.
Ketiga orang itu semuanya mengenakan baju berwarna hijau dengan celana putih, yang seorang bertubuh gemuk sedang yang lain bertubuh kurus seperti monyet.
Orang ketiga adalah seorang kakek ceking yang amat tinggi dengan membawa sebuah huncwe, pinggangnva amat panjang lagi lurus seperti kayu, ketika berjalan tubuhnya sama sekali tak bergoyang, mukanya yang hitam kelihatan serius dan tanpa emosi.
Menyaksikan kemunculan ketiga orang itu, kelopak mata Samwan Kong segera berkerut kencang.
Ia telah mengenali kembali orang-orang tersebut, diantara mereka bertiga paling tidak ada dua orang diantaranya adalah mereka yang menguntilnya sejak dari Cuan-tiong. Terutama sekali pemuda bertampang monyet itu, sekalipun ia menyaru sebagai seorang perempuan yang lagi meteng tua, dalam sekilas pandangan saja ia pasti dapat mengenalinya kembali.
Sekarang rnereka benar-benar telah datang.
Pemuda maupun si gemuk itu tak perlu dia risaukan, jelas orang yang paling sukar dihadapi adalah kakek pembawa huncwe tersebut.
Bahkan Samwan Kong merasa agak kuatir.
Sebab ia mencurigai kakek pembawa huncwee itu kemungkinan bear adalah Tong Ji- siangseng yang namanya amat menggetarkan dunia persilatan itu ...............
*****
WALAUPUN kakek itu bukan Tong Ji siangseng, dia adalah Tong Ci-tham. Dalam hati kecilnya ketika itu ia sedang tertawa dingin tiada hentinya.
Sebab sekalipun Tong Giok bertekad tak akan membiarkan mereka untuk mengenalinya juga hanya dalam sekilas pandangan.
Dalam sekali pandangan saja, ia telah menyaksikan dua buah titik kelemahan yang pantas dicurigai.
bocah kecil yang menangis terus menerus itu hanya memakai kaus dan tidak bersepatu . . .
tangis bocah itu terlalu keras.
Seorang bocah yang keluar rumah bersama neneknya, tidak semestinya kalau menangis sekeras itu.
Seorang nenek yang berhati welas dan teliti, tak akan mengajak cucunya bermain tanpa memakai sepatu, apalagi hanya mengenakan kaus kaki belaka.
Oleh sebab itu, dengan cepat Tong Ci-tham mengambil kesimpulan: Nenek itu adalah penyamaran dari Tong-Giok .
Bocah itu sedang tertidur nyenyak ketika "dipinjam" oleh Tang Giok. Tong Ci-tham ingin sekali menghampirinya dan memberi pelajaran yang setimpal kepada pemuda itu, agar ia sedikit mengetahui sopan santun, agar ia tahu bahwa orang yang berusia lanjut pantas menerima penghormatannya.
Tentu saja perbuatan semacam ini tak akan ia lakukan secara sungguh-sungguh, karena bagaimanapun juga mereka sama-sama adalah orang-orang dari keluarga Tong.
Walaupun dalam keluarga Tong seperti juga keluarga keluarga lain, tak akan terhindar dari suatu perebutan kekuasaan.
Tapi dikala mereka sedang menghadapi orang luar, selamanya mereka akan bersatu padu. Sekarang orang yang harus mereka hadapi adalah Tio Bu ki.
Entah bagaimana pun juga, ia bisa mempunyai idee untuk "meminjam" seorang anak kecil milik orang lain untuk melindungi diri, hal ini terhitung pula sebagai suatu perbuatan yang cerdik.
Tong Ci-tham percaya baik Tio Bu ki maupun Samwan Kong, tak nanti akan menduga sampai ke situ.
Oleh sebab itu ia lebih mantap dan yakin atas keberhasilan operasinya kali ini.
Tetapi diapun tidak mengetahui siapakah diantara sekian banyak orang adalah Tio Bu ki.
Tiga orang yang sedang membicarakan soal dagangan terlampau gemuk, dua orang kakek yang sedang bermain catur terlalu tua dan loyo.
Mereka-mereka itu tak mungkin bisa ditirukan . Dua pasang suami istri itupun tidak mirip.
Dua orang istri itu betul-betul perempuan tulen, sedangkan dua orang suami itu yang muda terlalu loyo dan seram sinar matanya, jelas karena pengantin baru terlalu banyak "bekerja keras", sebaliknya yang berusia setengah umur bermuka kaku, jelas bukan manusia-manusia yang tahu akan ilmu silat.
Sisanya tinggal dua orang penjajah makanan serta seorang pelayan yang membawa sepoci besar air panas.
Dari tiga orang yang bersisa, seorang bermuka burik, yang seorang kehilangan separuh telinganya, sedang pelayan yang siap menambah air panas dalam poci Samwan Kong itu bertangan kasar berkaki besar, jelas merupakan seseorang yang sudah terbiasa kerja keras. Tio Bu-ki bukan berasal dari pekerja keras, telinganya tidak tinggal separuh bagian, dia lebih- lebih tidak bermuka burik.
Lantas siapakah sebenarnya Tio Bu- ki.
Tong Ci-tham ingin sekali memeriksa orang-orang itu sekali lagi dengan teliti, sayang pada saat itulah mereka sudah tiba dihadapan Samwan-Kong.
Seandainya ia tahu keadaan yang sebenarnya, maka ia pasti akan merasa amat terperanjat. Sebab pada saat itu hakekatnya Tio Bu ki sama sekali tidak hadir di Hoa gwat-sian.
*****
SAMWAN KONG memperhatikan terus diri Tong Ci-tham dengan seksama.
Langkah kaki kakek itu enteng dan mantap sepasang keningnya menonjol amat tinggi, sewaktu berjalan sepasang bahunya sama sekali tak bergoyang.
Itu semua adalah ciri-ciri khas dari seorarg jago yang berilmu sangat tinggi.
Jika seorang jago persilatan berpengalaman bersiap sedia akan menghadapi seseorang, tentu saja seluruh perhatian dan pikirannya akan terhimpun pada tubuh orang itu.
Sekarang sasarannya adalah Samwan Kong, tapi ia tidak terlalu memperhatikan Samwan Kong, sebaliknya ia amat tertarik sekali untuk memperhatikan sang nenek yang bermain dengan cucunya itu.
Peduli bagaimana tuanya seorang kakek, tak nanti dia akan tertarik terhadap seorang nenek.
Biasanya hanya anak-anak gadis remaja yang akan menimbulkan rasa tertarik bagi seorang kakek.
Apakah nenek itu mempunyai sesuatu keistimewaan.
Samwan Kong tak sempat lagi untuk memperhatikan dengan teliti, karena pada waktu itu Tong Ci-tham sekalian telah tiba dihadapannya.
*****
AGAKNYA pelayan sedang menambah air dalam poci itu merasakan juga maksud jahat dari kedatangan ketiga orang itu, dengan terperanjat ia melompat mundur ke belakang. Ternyata Samwan Kong amat sebat dan tenang sambil tertawa kepada mereka katanya "Silahkan duduk"
Tentu saja mereka tak akan duduk.
Dengan suara dingin Tong Ci-tham berkata:
"Tahukah kau, mau apa kami datang kemari?" "Tidak tahu!"
Setelah tertawa, ia berkata lagi:
"Seandainya kau adalah seorang nona, aku pasti akan mengira kau telah tertarik kepadaku, maka dari tadi menatapku terus menerus, sayang kau lebih tua daripadaku lagipula tampangmu jelek amat.
Paras muka Tong Ci-tham yang kaku seperti peti mati, belum juga menunjukkan reaksi apa- apa, dia bukan seseorarg yang gampang dibuat marah, karena itu diapun tak ingin bersilat lidah.
Tong Kau sebaliknya tak tahan, tiba-tiba ujarnya:
"Kami memang tertarik sekali oleh semacam benda milikmu dan kami bersiap-siap untuk membawanya pulang"
"Bukankah kalian tertarik oleh batok kepalaku ini?" "Tepat sekali!"
Samwan Kong segera, tertawa terbahak-bahak.
"Haaahhhh. . . . . haaahhh. . . . haaahhh. sudah cukup lama aku bosan dengan batok
kepalanya itu, kalau kalian menginginkan, ambit saja secepatnya, lebih cepat lebih baik!" Tapi mereka sama sekali tidak turun tangan.
Tiba-tiba saja mereka lepaskan jubah luarnya yang berwarna hijau, sehingga tampaklah sebuah kantong kulit Yang tergantung disisi pinggangnya ........
Disamping kantong kulit itu, tergantung pula sebuah sarung tangan dari kulit menjangan, milik Tong Ci-tham sudah tampak mengkilap dan halus. Itulah lambang dari keluarga Tong, kebanyakan orang persilatan akan ketakutan setengah mati bila menjumpai kantong-kantong kulit semacam itu, mungkin saja nyawa mereka serasa melayang saking takutnya.
Samwan Kong tiduk takut, ia malah tertawa tergelak.
Dugaan Bu ki ternyata sama sekali tak meleset, sasaran mereka bukanlah dia, melainkan Tio Bu ki.
Sekarang mereka seperti juga dirinya, sengaja mengulur waktu sambil menunggu Tio Bu ki munculkan diri.
Mengapa Bu ki masih belum turun tangan? Apalagi yang sedang ia nantikan? Sambil tertawa Samwan Kong kembali berkata:
"Apa isi dari kantong-kantong kalian itu? Apakah. . .”
Ia tidak melanjutkan kata-katanya, hatinya mulai tercekat dan seakan-akan terjatuh kedalam jurang yang beratus-ratus kaki dalamnya.
Akhirnya ia menemukan juga diri Tio Bu-ki.
Ternyata Tio Bu-ki tidak berada di warung Hou gwat sian, ternyata ia berdiri jauh di atas gunung-gunungan sana, seakan-akan sedang siap menyaksikan suatu adegan seram.
Ia tidak habis mengerti menapa Bu-ki harus berbuat demikian? Dia hanya tahu cepat atau lambat ketiga orang itu pasti akan turun tangan.
Asal mereka telah turun tanagn, itu berarti dia bakal mati konyol !
*****
SISA SISA matahari sore masih memancarkan sinarnya memenuhi seluruh udara.
Permukaan air telaga bergoyang keras, seorang gadis remaja diam-diam sedang memetik sekuntaum bunga Botan.
Waktu itu, Oh Po cupun berada disekitar sana berada di suatu tempat yang aneh, yang istimewa dan sama sekali tak terduga oleh siapapun.
Ia percaya tak akan ada orang yang dapat melihat dirinya, tapi ia dapat melihat orang lain dengan jelas. Setiap orang dapat ia lihat dengan amat jelasnya.
Ia melihat Tong Ci-tham bertiga masak ke dalam warung Hoa gwat sian, iapun melihat Tong- Ci-tham memandang kearah nenek tersebut dengan sinar mata yang sangat aneh.
Diam-diam ia merasa geli sekali.
Satu-satunya hal yang tidak ia pahami adalah mengapa hingga kini Tio Bu ki masih belum juga munculkan diri.
Sekarang Tong Ci-tham bertiga telah mengenakan sarung tangan kulit menjangan mereka, wak-tu sudah tak bisa diulur lebih jauh.
Perduli apakah Tio Bu ki akan turun tangan atau tidak, mereka bertiga akan melancarkan serangannya.
Pada saat seperti itulah tiba-tiba berlangsung suatu kejadian yang sangat aneh, suata peristiwa yang mimpipun tak pernah disangka oleh Po cu.
Selama hidup belum pernah ia merasakan rasa kaget yang sedemikian hebatnya seperti sekarang.
Hampir saja ia tak tahan dan ingin melarikan diri.
Tapi ia tak boleh berkutik, iapun tak boleh menunjukkan wajah kaget yang luar biasa. Kalau tidak, diapun akan mati konyol!
Pelan-pelan Tong Ci-tham telah mengenakan sarung tangan kulit menjangan. Kulit lama yang terasa hangat lagi empuk.
Sarung tangan itu terbuat dari kulit menjangan, kulit dari seekor anak menjangan. Pada usia tujuh belas tahun, ia membunuh sendiri anak menjangan tersebut.
Dan seorang nona kecil yang gemar mengikat sepasang kuncirnya dengan pita kupu merah menjahitkan sendiri sarung tangan itu baginya.
Dia dan jikonya sama-sama menyukainya.
Kemudian meskipun ia berhasil mempersunting nona itu, tapi jikonya berhasil mendapatkan nama dan kedudukan dalam dunia persilatan. Sekarang si nona kecil yang suka mengikat kuncirnya dengan pita kupu merah itu sudah berada di dalam tanah, sebaliknya nama besar dan kejayaan Tong Ji-sianseng makin cemerlang bagaikan matahari di tengah hari.
Waktu itu seandainya nona berkuncir itu bersedia kawin dengan jikonya, entah bagaimana pula keadaannya sekarang?
Mengapa begitulah kehidupan manusia, di saat kau mendapatkan suatu benda, sering kali kau pun akan kehilangan benda yang lain.
Oleh karena itu ia tak pernah menyesal.
Setiap kali ia kenakan sarung tangan itu, segera akan timbul suatu perasaan yang aneh dalam hatinya, ia selalu akan terbayang kembali kenangan-kenangan lama yang tak akan terlupakan untuk selamanya, teringat bagaimana syahdunya suasana ketika itu, dikala nona kecil terkuncir itu menjahitkan sarung tangannya dibawah sinar lentera.
Dalam keadaan seperti itu, seberanrnya ia tidak memiliki hasrat untuk membunuh orang. Tapi setiap kali ia kenakan sarung tangan tersebut, dia harus pula membunuh orang.
*****
Pada saat itulah, suatu perubahan yang mengerikan tiba tiba saja berlangsung.
Pelayan bertangan kasar berkaki besar itu, mendadak mengankat poci air panasnya dan digurukan keatas kepala Cu ciangkwe.
Si muka burik penjajah makanan kecil tiba tiba meloloskan sebuah pisau tajam dari balik keranjangnya danlangsung ditusukkan ke pinggang Cu ciangkwe.
Orang yang kehilangan separuh teligannya mengangkat keranjang isi gula gulanya dan diguyurkan ke wajah Tong Kau, ternyata dibawah gula gula itu adalah batu kapur.
Tong Kau meraung keras, tubuhnya melompat keudara, tangannya segera meraup segenggam pasir beracun.
Belum sempat pasir beracunnya ditebarkan keudara, tiga orang pedanga gemuk yang bersitegang tadi telah menubruk tiba dengan kecepatan luar biasa.
Ternyata gerakkan tubuh ketiga orang itu cepat dan gesit, kerja sama mereka sungguh bagus sekali, seorang menggunakan meja sebagai tameng, yang kedua membawa kolongan tali yang siap menjirat kaki Tong Kau, sedangkan yang ketiga menghimpun tenaga dalamnya dan....
“Duuuk!” sebuah pukulan dahsyat bersarang telak diatas punggung Tong Kau, kekuatannya mengerikan sekali. Seketika itu juga tulang punggung Tong Kau terhajar remuk, ketika tubuhnya terjatuh ketanah, sekujur tubuhnya telah terkulai lemas seperti segumpal daging.
Pada detik itu juga, dua orang kakek yang sedang bermain catur telah turun tangan pula, ternyata mereka pergunakan ilmu timpuk mengarah jalan darah untuk menghajar jalan darah penting ditubuh Tong Ci tham dengan ketiga puluh dua biji caturnya.
Serangan itu bukan cuman cepat saja, mana berat, ganas, tepat lagi, tak malu disebut sebagai seorang tokoh sakti didalam melepaskan senjata rahasia.
Dalam pada saat itu, sebuah sikutan Tong Ci tham berhasil merobohkan laki laki bermuka burik itu, bunyi tulang yang terhajar remuk berkumandang memecahkan keheningan.
Tubuhnya seperti anak panah yang terlepas dari busurnya telah meluncur kedepan selapis pasi beracun yang hitam pekat dengan membawa empat batang Tok ci li bersama waktunya ditebarkan ke depan.
Apakah serangannya itu akan medapatkan hasil atau tidak, saat itu sudah tak terpikirkan lagi olehnya, tujuannya sekarang bukan untuk melukai orang, melainkan untuk menolong diri sendiri.
Otot otot badan orang tua ini meski sudah mulai kaku, tapi mungkin dikarenakan latihannya yang tekun selama banyak tahun, membuat gerakan tubuhnya tetap gesit dan lincah.
Sesudah berkelejitan ditengah udara bagaikan ikan ynag terpancing, segesit seekor burung ia telah melayang keluar melewati pagar pagar kebun disekitarnya.
Ia sudah memperhitungkan dengan tepat, hanya sungai kecil dibelakangnya merupakan satu staunya jalan mundur yang bisa ia pergunakan.
Ia amat yakin dengan ilmunya bermain dalam air, keyakinan tersebut sama seperti keyakinannya didalam ilmu meringakan tubuh, ia percaya tak akan kalah dari pemuda manapun juga, asal ia dapat melompat masuk ke air, maka selembar jiwanya pasti selamat.
Siapa tahu, pada saat itulah tiba tiba terdengar bentakkan nyaring menggelegar diudara: “Kembali!”
Laki laki berpakaian perlente yang selama ini berdiri ditepi sungai sambil bergendong tangan itu memutar tubuhnya secara mendadak, lalu tangannya dikebaskan ke depan, segulung tenaga pukulan yang maha dahsyat segera berhembus keluar dari balik ujung bajunya yang lebar itu. Waktu itu tenaga lompatannya telah habis termakan oleh pukulan yang maha dahsyat tersebut, serta merta tubuhnya mencelat kembali ke belakang, bahkan ketika melayang turun kembali keatas permukaan tanah, tubuhnya sudah mulai sempoyongan.
Simuka burik yang benar dihajar tulang iganya hingga parah itu masihb erbaring disana, skaing sakitnya peluh dingin sebesar kacang telah membasahi seluruh wajahnya, pada saat itulah tiba tiba ia menggigit bibir dan berguling diatas tanah, pisaunya bagaikan seekor ular berbisa langsung ditusukkan ke ats pinggangnya.
Mata pisau yang dingin dan keras, bagaikan ujung lidah sang kekasih dengna mudah dan licin langsung menembusi kulit tubuhnya, bahkan ia sama sekali tidak merasa kesakitan. Tapi hatinya sudah mulai dingin.
Dengan pengalamannya selama banyak tahun, tentu saja ia tahu tempat manakah merupakan tempat mematikan yang fatal, tusukan tersebut hakekatnya jauh lebih beracun daripada seekor ular beracun.
Serangan dari simuka burik itu betul betul amat keji.
Setelah berhasil menyarangkan pisaunya dipinggang musuh, siburik telah melepaskan pedangnya dan berguling kembali ketempat semula.
Ia tahu kakek itu tak akan melepaskan dirinya dengan begitu saja, tapi ia tak menyangka kalau senjata rahasia tersebut bakal datang secepat ini, cahaya kilat baru saja berkelebat lewat, dua biji Tok ci li telah bersarang telak dileher bagian kirinya.
Diapun merasa sakit, tapi hatinya ikut menjadi dingin.
Bagaimanakah akibat dari mereka yang terkena senjata rahasia beracun itu, sudah cukup banyak ia dengar selama ini.
Mendadak tubuhnya menubruk kembali kedepan, dirampasnya golok yang berada di tangan si telinga kutung dan sekali ayun ia menggorok leher sendiri.
Bukan saja ia keji kepada orang lain, ternyata diapun keji terhadap diri sendiri.
Seperti sebatang tombak, Tong Ci-tham masih berdiri tegak disitu, saat golok itu tidak segera dicabut, maka diapun tak akan roboh.
Asal dia masih bisa berdiri, ia tak sudi membiarkan tubuhnya roboh ke tanah. Tiada seorangpun yang melancarkan serangan lagi. Biasanya terhadap orang yang berhati keras, baik dia menang atau kalah, hidup atau mati, akan menerima rasa kagum dan hormat dari orang lain.
Tiba-tiba laki-laki perlente yang tinggi besar itu menghela napas, katanya:
“Kau betul-betul seorang lelaki jantan, baik kau mati atau hidup orangku tak akan mengusik dirimu lagi.”
Tong Ci-tham menatapnya lekat-lekat lalu bertanya:
“Siapa kau?”
“Aku she Thio, bernama Thio Yu hiong!”
“Thio Yu hiong dari Lam-hay jit heng-te (Tujuh bersaudara dari laut selatan)?” Tong Ci-tham menegaskan dengan suara parau.
“Benar.”
”Apakah diantara kita ada dendam?” “Tidak ada!”
“Jadi kau berbuat demikian demi Tio Bu-ki” “Benar!”
“Kenapa kau musti melakukan perbuatan semacam ini baginya?” Kau tidak takut pembalasan dendam dari keluarga Tong?”
“Yaa, lantaran dia telah menganggapku sebagai sahabat, maka demi sahabat apapun akan kulakukan”
Bagi umat persilatan, alasan tersebut sudah merupakan suatu alasan yang kuat dan lebih dari cukup.
Tiba-tiba Tong Ci-tham menghela napas panjang.
“Aaai. . . sayang sekali aku tidak bisa berkawan dengan seorang sahabat seperti kau!”
Dia sudah hampir mati ditangan orang ini, anehnya ia sama sekali tidak merasa dendam atau benci terhadap orang itu.
Yang benar-benar ia benci adalah seorang yang lain, seorang manusia yang mundur secara pengecut dari medan pertarungan, seorang yang telah menghianati dirinya. Agaknya sang cucu itu sudah ketakutan setengah mati sehingga menangispun tak berani lagi, sang "nenek" pun tampaknya ketakutan setengah mati hingga seluruh tubuhnya menggumpal menjadi satu.
Sebenarnya untuk memandangpun Tong Ci-tham sudah merasa segan sekali, coba kalau ia turun tangan pula, tadi, sebenarnya mereka bukannya sama sekali tiada kesempatan lagi.
Sebenarnya Tong Ci-tham masih menaruh harapan kepadanya, sungguh tak disangka ternyata dia adalah seorang pengecut.
Sekarang Tong Ci-tham benar-benar merasa putus asa, tapi dia masih tak ingin menghianati dirinya.
Bagaimanapun juga mereka toh sama-sama berasal dari keluarga Tong, kalau memang begitu takut mati, kenapa tidak ia penuhi saja keinginannya itu?
Tapi bagaimanakah perasaannya ketika menyaksikan mereka mati konyol lantaran dia? Dikemudian hari, apakah dia tak akan menyesal hidup seorang diri didunia ini?
Akhirnya Tong Ci-tham tak tahan juga untuk tidak menengok sekejap kearahnya, pandangan terakhir ini penuh pancaran rasa dendam, marah dan mendongkolkan, tapi tercakup pula rasa kasihan dan sayang.
Pada saat itulah ia mulai merasa bahwa darah dalam jumlah banyak mulai mengalir keluar dalam tubuhnya, darah tersebut tidak meleleh keluar lewat mulut lukanya, tapi mengalir keluar melalui mulutnya.
Tiba tiba ia tertawa.
Karena pada saat itulah ia berhasil mendapatkan suatu jawaban atas suatu pertanyaan yang selama ini tak sanggup dijawab oleh nya .....
Dia tak akan memperoleh sebuah peti mati yang terbuat dari kayu Ci-thaw sebagai tempat beristirahat.
Maka diapun mencabut keluar pisau yang menghujam diatas pinggangnya itu!
Ketika pisau itu dicabut keluar, darah segar bagaikan sebuah pancuran segera menyembur keluar, hampir saja menodai baju yang dikenakan Bu ki.
Samwan Kong melihat ketika ia masuk, walaupun tidak ia jelaskan mengapa sampai sekarang baru datang, tapi Samwan Kong yakin bahwa ia pasti menjumpai alasan yang sangat baik. Sekarang, Ketiga orang jago dari keluarga Tong telah roboh terkapar, peristiwa yang mengerikan pun akhirnya telah barakhir.
Sang bini yang masih muda itu bersembunyi dalam pelukan suaminya, muka yang pucat pias tiba-tiba berubah menjadi semu merah.
Ia mana takut, mana malu, gelisah lagi sehingga hakekatnya tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan.
Ia tak boleh membiarkan orang tahu kalau celananya telah basah kuyup.
Sang suami yang berusia setengah umur itu lebih payah lagi keadaannya, hampir setiap orang yang berada disekitar sana dapat mengendus bau busuk yang keluar dari pantatnya.
Istri laki-laki itu ternyata malah jauh lebih tenang dan tabah, waktu itu ia sedang mencari akal untuk mengajak suaminya bangun berdiri.
Si nenek telah membopong cucunya dan selangkah demi selangkah sedang berjalan meningalkan tempat itu.
"Harap tunggu sebentar!" tiba-tiba Bu-ki berseru.
Nenek itu seakan-akan tidak mendengar teriakan itu, ia masih melanjutkan langkahnya menuju kedepan.
Tapi dengan suatu lompatan, tahu-tahu Bu ki telah menghadang dihadapannya. Dengan terkejut nenek itu mendongakkan kepalanya memandang ke wajah Bu ki. "Nenek tua, siapa namamu?" Bu-ki telah menyapa sambil tertawa.
Nenek itu menggerakkan bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi tak sepotong suarapun yang terdengar.
"Apakah bocah ini adalah cucumu .?" Bu-ki kembali bertanya.
Nenek itu manggut manggut ia memeluk bocah itu semakin erat.
"Udara malam makin lama semakin dingin, kenapa kau tidak memberi sepatu kepadanya?" tanya Bu-ki. Nenek itu tampak sangat terkejut, seolah-olah sampai sekarang ia baru tahu kalau cucunya tidak bersepatu. .
Bocah itu kembali menangis dalam pelukannya, meski senyuman menghiasi wajah Bu ki, namun sepasang matanya lebih tajam dari sebuah mata pisau.
Nenek itu membungkukkan badannya, mendadak dia mengangkat bocah itu dan di timpukkan ke wajah Bu-ki dengan sekuat tenaga.
Bu-ki hanya menyambut timpukan itu dengan sepasang tangannya, sementara si nenek yang bungkuk itu sudah melesat kearah pagar bambu dengan kecepatan bagaikan sambaran petir.
Bocah itu yaa, menangis, yaa berteriak, yaa memukul, yaa menendang dalam bopongan Bu ki. "
Ketika melesat kedepan tadi, ternyata nenek itu telah mengeluarkan ilmu meringankan tubuh Cing ting-sam sau sui (kecapung menutul air tiga kali), dalam tiga lompatan saja menyeberangi pagar kebun bunga, ia telah barada enam tujuh kaki jauhnya dari tempat semula."
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seseorang membentak nyaring. "Ikan didalam jaring hendak kabur kemana kau?"
Ditengah bentakah, sesosok bayangan manusia melompat keluar dari balik kebun bunga dan menyongsong kedatangan nenek itu, kepalanya langsung di jotoskan ke muka.
Berjumpa dengan orang itu, nenek itu seperti ketakutan setengah mati sehingga tenaga untuk menangkis dan menghindarpun tak punya, belum lagi jeritan kagetnya berkumandangan, tulang lemas dan tulang leher dibawah tenggorokarnya sudah terhajar remuk.
Sekarang, walau rahasia apapun yang diketahui olehnya, selamanya tak akan bisa diceritakan lagi.
Ketika roboh ke tanah, air mata ternyata bercucuran keluar membasahi pipinya.
Karena mimpipun ia tak menyangka kalau orang itu bakal turun tangan sedemikian keji terhadapnya.
Yaa, siapapun tidak menyangka kalau orang itu bakal turun tangan sedemikian keji dan bengisnya!"
Kalau dilihat dari bentuk muka maupun bentuk badannya, diapun tidak akan percaya kalau dia adalah seorang manusia yang berhati bengis dan kejam. Dia mana masih muda, sopan santun, lembut, tampan lagi, bahkan sekulum senyuman yang hangat dan lembut selalu tersungging diujung bibirnya yang mungil.
Si nona kecil yang secara diam-diam memetik sekuntum bunga mawar tadi, selalu memperhatikan wajahnya dengan lirikan mata yang tajam, seakan-akan ia sudah terkesima, dibuat terpesona oleh kelembutan dan kegantengannya.
Dia pun mamandang ke arahnya, menatap wajah si nona yang cantik dan mata kucing itu. Seakan-akan pemuda tampan yang muda dan gagah itupun sudah tertarik kepadanya.
Lama kemudian, ia baru menggapai ke arah Bu-ki sekalian, lalu teriaknya dengan lembut: "Siapakah diantara kalian yang akan kemari dan menggotong pergi nenek ini?"
*****
RAHASIA
SEKARANG, jenasah sinenek sudah digotong masuk, pemuda yang tampan dan halus budi itu ikut pula masuk.
Begitu masuk ke dalam, ia lantas memperkenalkan diri:
"Aku she Li, bernama Li Giok tong!
Nama itu suatu nama yang masih terasa asing, diapun seorang yang amat asing, tapi setiap orang bersikap bersahabat kepadanya.
Karena ia telah membantu mereka untuk menangkap seekor ikan besar yang hampir lolos dari jaring.
"Nenek ini sesungguhnya tidak terlampau tua, tentu saja dia bukan seorang nenek sungguhan!" kata Li Giok tong.
Kemudian sambil memandang wajah Bu-ki dan tersenyum, katanya lagi:
"Kalian tentunya sudah mengetahui bukan, bahwa seorang nenek yang sayang kepada Cucunya tak mungkin akan lupa untuk memakaikan sepatu untuk cucunya, hanya berdasarkan hal ini sebenarnya belum dari cukup untuk menunjukkan bahwa dia adalah seorang nenek gadungan, maka kalianpun belum turun tangan juga"
"Apa yang berhasil kau lihat atas dirinya?" tanya Bu ki tidak tahan. "Padahal aku sendiripun tidak berhasil melihat apa-apa, aku hanya secara kebetulan saja mengetahui siapakah nenek yang sebenarnya dari bocah ini "
"Kau kenal dengan dia?"
Li-Giok-tong manggut-manggut.
"Bukan cuma kenal, bahkan kenal-sekali!"
Ternyata tampak lebih riang dan gembira, lanjutnya:
"Kebetulan sekali nenek dari bocah ini adalah A-ih (bibi) ku!" Bu ki segera menghembuskan napas lega, serunya:
°Ooh. sungguh kebetulan sekali, lagipula bagus sekali!"
Walaupun bocah itu sudah lelah menangis dan untuk sementara waktu menjadi tenang kembali, akan tetapi selama ia berada dalam bopongannya maka dirasakan seakan-akan membopong ssbuah bungkusan besar yang berisi obat peledak yang setiap saat dapat meledak.
Selema hidup ada dua persoalan yang paling tak tahan dihadapinya, yakni laki-laki yang cerewet dan perempuan yang cengeng.
Tapi sekarang ia baru mengetahui bahwa seorang bocah yang cengeng sesungguhnya sepuluh kali lipat lebih susah dihadapi daripada perempuan yang cengeng.
Jika perempuan yang menangis, dia masih punya akal untuk membuat mereka tutup mulut, tapi kalau anak anak yang menangis, kepalanya segera terasa menjadi besar secara tiba-tiba.
Oleh karena itulah ketika Li Giok-tong membopong bocah itu dari dukungannya, ia seperti merasa berterima kasih sekali sehingga sepatah katapun tak mampu diutarakan lagi.
Sesaat kemudian dia baru berkata:
"Ada sepatah kata, bila sudah kuucapkan nanti, aku harap kau jangan marah!"
“Apakah aku mirip seseorang yang gampang menjadi marah?" tanya Li Giok tong sambil tertawa.
Dia memang sedikitpun tidak mirip. "Kami benar-benar tak tahu bagaimana musti mengucapkan terima kasih kepadamu" kata Bu ki.
"Dapatkah kau memberi tahukan kepada kami, dengan cara apakah kami harus menyampaikan keinginan ini?"
"Bila kalian bersikeras ingin menyampai-kan rasa terima kasihnya kepadaku, sebetulnya hanya ada satu cara"
"Coba katakan!"
"Angggaplah aku sebagai teman!"
Senyuman yang tersungging diujung bibirnya tampak lembut, hangat dan bersungguh- sungguh.
"Aku suka sekali berteman, akupun sangat membutuhkan teman!" Bu-ki segera mengeluarkan tangannya.
“Siapa yang bisa menampik untuk bersahabat dengan seorang seperti Li Giok tong?
*****
AKHIRNYA Li Giok tong telah pergi membawa bocah itu, ia buru-buru hendak menghantar bocah itu ke rumah A-ih-nya, karena sekarang A-ih tentu kuatirnya setengah mati"
Tidak menunggu sampai ia berjalan lewat dari jalan kecil beralas batu itu, dengan tak sabar Samwan Kong telah bertanya kepada Bu ki:
"Kau benar-benar percaya kalau bocah itu adalah keponakannya? Kau benar-benar percaya ka-lau didunia ini terdapat kejadian yang begitu kebetulan?"
"Aku percaya!"
"Kau benar-benar bersedia untuk bersahabat dengannya?" "Aku bersedia!"
Walaupun jawaban itu sudah jelas dan meyakinkan, akan tetapi Samwan Kong seolah-olah masih merasa agak curiga.
Akan tetapi bahkan dia sendiripun tidak habis mengerti dengan alasan apakah Samwan Kong membohongi mereka. Sekalipun ia benar-benar telah membohongi mereka, yang berhasil ditipupun tak lebih hanya seorang bocah yang cengeng.
Nenek itu ternyata belum mati, dari tenggorokannya yang remuk masih terdengar bunyi mendesis yang amat nyaring, seperti seekor ular yang sudah hampir sekarat.
Orang-orang yang menggotongnya kembali itu berhasil menemukan sebuah kantong kulit dari balik pakaiannya, isi kantong kulit itu tak lain adalah senjata rahasia khas dari keluarga Tong, meskipun jumlahnya tidak banyak tapi kwaliteitnya ternasuk lumayan.
Teringat kembali sorot mata Tong Ci-tham menjelang kematiannya, tak bisa diragukan lagi orang ini pastilah Tong Giok.
Samwan Kong kembali bertanya:
“Apakah kau telah memperhitungkan kalau Tong Giok pasti telah datang ”
“Benar”
“Kaupun telah memperhitungkan bahwa ia pasti berusaha untuk memancing kemunculanmu lebih dulu sebelum turun tangan, karena sasarannya bukan aku, melainkan kau”
“Benar!”
“Dan kaupun hendak menunggu sampai ia munculkan diri lebih dahulu baru turun tangan, karena sasarnmu juga dia?”
Bu-ki manggut-manggut.
“Oleh sebab itu, terpaksa aku harus pergi mencari Thio jiko!”
Thio Yu hiong adalah seorang lelaki yang pendiam dan jarang sekali berbicara.
Seseorang yang mulai belasan tahun sudah mulai memegang tampuk kekuasaan besar, tentu saja ia tak akan seseorang yang banyak bicara.
Ia tak pernah menggunakan perkataan untuk memperlihatkan rasa persahabatannya dengan orang lain, sedikit bicara banyak bekerja barulah prinsip hidup yang sebenarnya.
Hingga sekarang ia baru buka suara:
“Bila seseorang mencari teman dikala ia sedang mengalami kesulitan, sesungguhnya hal itu bukan suatu perbuatan yang memalukan" Ia maju kedepan menghampiri Bu ki dan menggenggam tangannya kencang-kencang, kemudian katanya lagi:
"Kau bisa berpikir untuk datang mencariku, aku merasa gembira sekali"
Sehabis mengucapkan perkataan itu, ia pun pergi dari situ, pergi sambil membawa serta segenap anak buahnya.
Tiga orang pedagang yang gemuk itu telah kembali pada kebebalan dan kelambanannya, pelayan berkaki besar bertangan kasar serta penjajah makanan yang bertelinga sepotong itupun berubah kembali menjadi biasa dan sederhana seperti sedia kala.
Dengan mulut membungkam mereka menggotong pergi jenasah rekannya.
Sorot mata tajam yang mereka perlihatkan dalam peristiwa menegangkan belum lama berselang? kini sudah hilang dan lenyap tak berbekas.
Bagi mereka, peristiwa ini tidak ada harganya untuk dibanggakan atau disombongkan, tidak pula untuk disedihkan dan dimurungkan.
Setiap waktu setiap saat mereka bersedia untuk melakukan perjalanan apapun bagi majikannya, seperti pula majikan mereka yang setiap waktu setiap saat bersedia melakukan pekerjaan apapun untuk sahabatnya.
*****
BU KI tidak berkata apa apa lagi.
Kalau toh mereka adalah sahabat, perduli bicara apapun juga adalah percuma saja. Tak tahan lagi Samwan Kong menghela napas panjang, katanya:,
"Bisa bersahabat dengan seorang teman semacam ini, hakekatnya ini merupakan kemujuran bagiku!"
"Bisa bersahabat dangan teman semacam kau, hal inipun merupakan keberuntunganku” sambung Bu-ki sambil menatapnya tajam-tajam.
"Tapi Li Giok-tong itu ”
"Apakah dia adalah seorang sahabat yang baik atau bukan, dengan cepat kau akan mengetahui dengan sendirinya" "Apakah dalam waktu yang amat singkat kau dapat berjumpa lagi dengannya. "Seratus persen tak bakal salah!"
"Kau sangat yakin?” "Sangat sekali!"
Samwan Kong menatapnya tajam-tajam, lama sekali ia baru menghela napas panjang. "Tahukah kau, bahwa dirimu adalah seorang manusia aneh?"
"Tidak tahu!"
"Yang paling aneh dari dirimu agaknya adalah kau selalu memgetahui hal-hal yang orang lain tidak ketahui, bahkan aku sendiripun juga tak tahu kenapa kau bisa memiliki kepandaian semacam ini"
Bu ki tertawa.
"Kalau kaupun bisa mengetahuinya, maka hal itu pasti dikarenakan aku sama sekali tidak me-miliki kepandaian seperti itu"
Samwan Kong segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaahh . . . . haaahh. . . . haaahh. . . perduli apapun yang kau katakan, paling tidak aku berhasil mengetahui akan satu hal"
"Hal yang mana?"
"Jika dikemudian hari masih ada orang yang menginginkan kau masuk perangkap, jelas hal ini bukan suatu pekerjaan yang terlalu gampang.”
Sambil tertawa ia lantas bangkit berdiri, tapi tiba-tiba ia duduk kembali sambil berkata: “Masih ada satu hal lagi yang tidak kupahami”
“Persoalan apa lagi?”
“Kau selalu mempunyai perhatian yang besar terhadap diri Tong Giok, sekarang ia sudah berada disini, kenapa kau tidak memperdulikannya lagi?”
“Sebab pada hakekatnya dia bukan Tong Giok” Samwan Kong kembali merasa terperanjat.
“Dia bukan? Darimana kau bisa tahu kalau dia bukan?” “Karena secara kebetulan kutahu siapakah dia”
“Siapa dia?”
“Dia adalah seorang pincang, orang lain menyebutnya sebagai Oh Po-cu. ”
*****
SETIAP peristiwa yang terjadi dirumah makan Hoa gwat sian dapat diikuti oleh Oh Po-cu dengan jelas, karena ia berada disana.
Ketika Tong Ci-tham sekalian belum sampai disana, ia telah tiba ditempat itu, membawa seorang bocah yang "dipinjam" nya dari rumah orang lain ....
Seorang nenek yang berwajah welas, membawa cucunya berjalan-jalan mencari angin karena lelah masuk warung minum teh dan makan kueh, sesungguhnya hal ini tak akan menarik perhatian orang lain.
Ia dapat mempergunakan cara ini untuk melindungi indentitas sendiri, bahkan ia sendiripun merasa amat bangga.
Ia percaya orang lain tak akan mengetahui rahasia penyamarannya. sedang dia dapat melihat orang lain.
Satu-satunya yang paling mengesalkan hati adalah bocah itu terlalu cengeng, suka menangis, tangisannya bisa membuat pikiran dan perasaannya menjadi kalut.
Ketika Tong Ci-tham memandang kearahnya dengan sorot mata aneh tadi, iapun merasa amat tak enak.
Untung saja Samwan Kong tidak memperhatikan sampai ke hal-hal yang demikian. maka hingga saat itu, ia selalu menganggap dirinya berada dalam keadaan yang aman.
Sungguh tak disangka jalannya peristiwa ternyata jauh diluar dugaannya semula, ia lebih- lebih tak menyangka kalau Tio Bu-ki bakal mengetahui penyamarannya.
Untung saja ia tidak menjadi gugup dikala menghadapi bahaya, tindakan yang dilakukan pun cukup cekatan. ia telah mempergunakan bocah yang cengeng dan suka menangis itu untuk menghadang pengejaran dari Tio Bu-ki. Tampaknya dia bisa segera meloloskan diri dengan selamat dan menyelamatkan selembar jiwanya dari kematian, sungguh tak disangka muncul seorang Li Giok- tong ditengah jalan.
Mimpipun dia tak menyangka kalau Li Giok tong tersebut bakal turun tangan keji terhadap dirinya.
Ketika menyaksikan Tio Bu-ki menjulurkan tangannya pertanda kalau bersedia menjadi sahabat dengan Li Giok-tong, hampir saja ia tak tahan untuk tertawa terbahak-bahak, tapi hampir pula ia tak tahan untuk menangis tersedu-sedu.
Karena hanya dia seorang yang tahu kalau berteman dengan manusia semacam itu sesungguhnya adalah suatu kejadian yang menakutkan.
Karena mereka sebenarnya bukan teman saja, bahkan jauh lebih akrab daripada seorang teman.
Hanya dia seorang yang tahu bahwa Li Giok tong tersebut tidak lain adalah Tong Giok.
Sayang sekalipun pada saat ini dia ingin memberitahukan rahasia ini kepada Tio Bu-ki, ia sudah tak sanggup berkata apa-apa lagi.
Ia percaya cepat atau lambat Tio Bu-ki pasti akan mengetahui rahasia ini dan mungkin juga disaat ia sudah hampir mati nanti.
Ketika Oh Pocu menhembuskan napasnya yang penghabisan, suara tersebut kedengarannya seperti sebutir batu yang tercebur ke dalam kolam yang berisi lumpur.
Tiba-tiba Samwan Kong bangun berdiri, kemudian berjalan keluar dari situ.
Ia tak tahan menghadapi kejadian semacam ini, tapi ia justru tak tahan untuk berpaling kembali.
"Kau telah memperhitungkan bahwa Tong Giok, pasti telah datang kemari ?" katanya.
Bu ki tidak menjawab, sekalipun demikian orang tahu bahwa ia telah mengakui akan kebenaran dari ucapan tersebut.
"Sekarang, dimanakah Tong Giok berada... ?" Samwan Kong bertanya lagi. Bu ki memggelengkan kepalanya berulang kali.
"Aku tidak tahu!" ia menjawab.
"Agaknya kau sama sekali tidak bermaksud untuk pergi mencarinya ” Bu ki mengakui atas kebenaran dari perkataan itu.
"Yaa, karena pada hakekatnya aku tak tahu kemana harus pergi mencari dirinya"
"Lalu apa yang telah siap kau lakukan sekarang?" Samwan Kong coba untuk mendesaknya lebih jauh.
Bu ki tertawa.
"Biasanya, jika aku berada dalam keadaan tak mampu menemukan jejak seseorang, maka aku selalu menggunakan sebuah cara "
"Apakah caramu itu?" tanya Samwan Kong ingin tahu. Bu-ki kembali tertawa.
"Apa lagi? Tentu saja menungu sampai dia yang datang mencari diriku!"
*****
BAYANGAN SETAN
BULAN empat tanggal enam, udara mendung. Diam-diam tanpa sepengetahuan orang lain, Tio Bu ki telah kembali ke perkampungan Ho hong san ceng.
Sesungguhnya ia tidak bermaksud pulang ke rumah, tapi setelah mempertimbangkannya lama, selama sekali ia telah berubah jalan pemikirannya ini.
la sangat rindu dengan Hong nio, sangat rindu dengan Cian-cian, rindu kepada semua anggota keluarganya yang selalu setia kepadanya.
Rasa rindu yang terasa terukir dalam hatinya ini ibaratnya sebaskom air hangat, walau pun dapat membuat seseorang melupakan penderitaan hidupnya yang sedang dihadapinya untuk sementara waktu dapat pula membuat semangat seseorang menjadi kendor.
Maka ia selalu berusaha mengendalikan diri, berusaha keras untuk tidak memikirkan mereka.
Tapi setiap malam yang sepi telah tiba, disaat tubuh sudah penat, rasa rindu seringkali menbelenggu hatinya bagaikan laba-laba yang membuat sarangnya. makin ia meronta makin kencang ia terlibat.
Cuma saja hal itu bukan merupakan sebab utama darinya dalam mengambil keputusan untuk pulang ke rumah. Ia tak pernah mendengar berita tentang Hong-nio serta Cian-cian, tapi lamat-lamat ia telah merasa bahwa mungkin mereka semua sudah tidak ada lagi disitu.
Waktu itu ketika Tee-cong membawa Hong-nio memasuki ruang rahasianya, ia tidak melihat akan kehadirannya.
Ia tak berani berpaling.
Karena secara lamat-lamat diapun merasa bahwa orang yang diajak Tee-cong memasuki ruang-an tersebut, mungkin adalah seorang sanak keluarganya.
Ia kuatir kehadiran orang itu bisa membuat dirinya tak sanggup mengendalikan diri, ia tak boleh membiarkan Tee cong menaruh perasaan was-was kepadanya, walau hanya sedikitpun.
Akhirnya, sekarang ia pulang kerumah, pulang secara diam-diam tanpa mengejutkan siapapun.
waktu itu senja telah menjelang tiba.
*****
PERKAMPUNGAN Ho-hong san-ceng sendiri sesungguhnya adalah suatu tempat yang pantas dikenang, terutama dikala senja menjelang tiba, keindahannya bagaikan sebuah lukisan.
Ho hong san-ceng jauh berbeda dengan benteng Sangkoan Po, berbeda pula dengan Tay hong tong dari perkampungan Hui im ceng dimana lm Hui yang berdiam.
Tay hong tong dibangun dengan suatu bangunan yang kokoh, kuat dan keren, persis seperti semangat Im Hui-yang yang berkobar-kobar.
Benteng Sangkoan Po dibangun dalam medan yang membahayakan, dibalik kesederhanaan justru tersimpan semacam hawa pembunuhan yang dingin dan mengidikkan hati.
Sebaliknya perkampungan Ho-hong- san-ceng adalah sebuah tempat yang tenang dan nyaman, tidak terlihat hawa menyeramkan apalagi diwaktu sore yang sejuk, dikala angin berhembus sepoi-sepoi, matahari senja memancarkan sinar akhirnya, waktu itu suasana amat tenang penuh kedamaian, membuat orang jadi terbuai ke alam impian.
Oleh katena itu, Sugong Siau-hong yang hidup membujang, kecuali tinggal di Tay-hong-tong untuk sesuatu keperluan atau tugas, ia selalu menyisihkan waktunya untuk berdiam disitu, menjadi tamu selama berapa hari dan menikmati kedatangan dan kehangatan selama berapa waktu ...... Tapi semenjak Tio Jiya meninggal, Bu-ki kabur, Cian-cian serta Hong nio ikut pergi, tempat itupun ikut berubah.
Seperti juga seorang manusia, bangunan gedung itupun dapat berubah menjadi tua, lemah, kusut, kesepian dan keletihan.
Apalagi disuatu senja dalam hari yang mendung seperti ini.
Setiap kali musim hujan telah tiba, encok Lo ciang pada tulang-tulang persendiannya akan berubah seperti seorang istri yang judas, jahat dan bengis. Ia mulai mempergunakan pelbagai cara dan akan untuk menyiksanya secara kejam dan tak kenal ampun.
Walaupun ia sudah tak tahan menghadapi sakit semacam ini, apa lacur nyawanya belum mau juga terbang meninggalkan raganya.
Hari ini dia merasa lebih menderita lagi, sepasang lutut kakinya seolah-olah ditusuk oelh beribu-ribu batang jarum yang sangat tajam, membuat ia sedemikian kesakitan sehingga hampir saja selangkahpun tak mampu berjalan.
Ia ingin tidur lebih awal, apa mau dikata justru tak dapat tidur.
Pada saat itulah pelan-pelan Bu ki membuka pintu kamarnya yang tertutup dan menyelinap masuk kedalam ruangannya.
Lo Ciang segera melompat bangun dan menggenggam tangannya kuat kuat. Tak kusangka kau benar-benar telah kembali!”
Menyaksikan air mata Lo-Ciang yang membasahi wajahnya, hampir saja air mata Bu-ki ikut bercucuran.
Dulu ia selalu menganggap Lo-Ciang terlalu lamban, terlalu keras kepala, terlalu cerewet, bahkan agak memuakkan.
Tapi sekarang, dikala ia berjumpa dengan orang yang dibencinya ini, tiba-tiba ia merasa begitu terharu, begitu gembira.
“Setelah kau pergi, nona Hong dan Toa siocia ikut pergi, hingga kini belum ada kabar beritanya tentang mereka, semenjak Sugong toaya mengundang datang seorang yang bernama Ci Peng, mereka ”
Mendengarkan keterangan yang digumankan Lo-Ciang, Bu-ki merasakan hatinya amat sakit bagaikan ditusuk-tusuk dengan pisau. Kemanakah mereka telah pergi? Kenapa hingga kini tiada kabar beritanya?
Apakah orang yang diajak Tee cong masuk ke ruangan rahasia hari itu adalah Hong-nio? Agaknya Lo-Ciang merasakan juga kepedihan hatinya, ia segera tersenyum seraya berkata:
“erduli bagaimana juga, kau toh telah kembali lagi kemari, sebenarnya aku masih tak percaya, sungguh tak disangka kau benar-benar telah kembali kemari”
Sudah dua kali ia mengulang perkataanya itu. Bu-ki menjadi keheranan, tak tahan ia bertanya:
“Apakah seseorang telah memberitahukan kepadamu, bahwa aku bakal pulang kerumah?”
“Yaa, sumoaymu dan sahabatmu semuanya berkata demikian, katanya paling lambat malam ini kau pasti sudah sampai dirumah”
Bu-ki tak punya sumoay, diapun tak bisa menebak siapa gerangan temannya itu.
Tapi dia tak ingin membiarkan Lo-Ciang merasa kuatir, maka dengan suara hambar tanyanya: “Kapankah mereka tiba disini?”
“Yang seorang kemarin sore baru sampai, sedangkan sumoaymu datang agak lambat” Apakah sampai sekarang mereka masih berada disana”
"Agaknya sumoaymu itu lagi tak enak badan, setibanya disini lantas mengurung diri didalam kamarnya dan tidur sepanjang hari, ia melarang kami semua untuk mengganggunya"
Kemudian ia menambahkan lagi:
"Aku telah memberikan kamar yang biasanya dipakai Sugong toaya kepadanya " "Bagaimana pula dengan sobatku itu?"
"Agaknya kongcu itu tak bisa tenang barang sekejap pun, tiada hentinya ia berjalan mondar- mandir kesana kemari, sekarang. . ."
Ucapan tersebut tidak ia selesaikan, tiba-tiba wajahnya menampilkan suatu perubahan yang sangat aneh, seakan-akan ada orang yang menyumbat mulutnya dengan segumpal tanah liat. Bu-ki menatapnya tajam-tajam, kemudian bertanya lagi:
"Sekarang, ia telah pergi ke mana?"
Lo Ciang masih tampak ragu, seakan-akan sangat tak ingin membicarakan persoalan itu, tapi ia tak bisa tidak harus berkata juga:
"Sebenarnya aku tidak membiarkan dia pergi, tapi dia bersikeras hendak pergi juga maka akupun tak bisa lain kecuali membiarkan ia pergi kesana"
"Pergi untuk apa?" "Menghajar setan!"
Bu-ki berusaha keras untuk tidak menampilkan suatu sikap yang bisa membuat Lo-Ciang merasa malu dan serba salah.
Ia dapat menangkap sikap Lo-Ciang tersebut bukan saja amat bersungguh-sungguh, lagipula benar-benar merasa ketakutan sekali.
Tapi persoalan ini betul-betul tak masuk akal, mau tak mau ia musti bertanya juga sampai jelas:
"Maksudmu dia pergi menghajar setan?"
Lo-Ciang menghela napas panjang, katanya sambil tertawa getir:
"Aku juga tahu, kau pasti tak akan percaya, tapi disini benar-benar ada setannya" "Setan itu berada dimana?"
"Bukan satu setannya, tapi banyak sekali, mereka berada di halaman gedung di mana nona Hong berdiam dulu"
"Sedari kapan setan-setan itu datang kemari dan menghuni disana ?" tanya Bu-ki.
"Tak lama setelah kepergian nona Hong, sering kali orang mendengar serentetan suara yang sangat aneh di tempat itu, lebih-lebih kalau malam sudah menjelang tiba, bahkan kadangkala ada yang pernah melihat cahaya lentera dan bayangan manusia disana"
"Pernahkah ada orang yang kesitu dan melakukan pemeriksaan?
"Sudah banyak orang yang masuk ke situ dan melakukan pemeriksaan, tapi perduli siapapun dia, asal sudah memasuki halaman gedung itu, maka tanpa sebab dia akan roboh tak sadarkan diri, ketika sadar kembali, kalau bukan badannya sudah digantung diatas pohon, tentu berbaring diatas air pencomberan beberapa li jauhnya dari sini, malahan ada pula yang pakaiannya dilepas sampai telanjang bulat, dan mulutnya disumpal dengan tanah liat"
Apa yang dikatakan adalah suatu kejadian yang benar-benar telah terjadi, diapun benar-benar merasa amat takut, karena diapun pernah mengalami pengalaman yang menakutkan itu.
Bu-ki sudah dapat menduga, kenapa mimik wajahnya menunjukkan sikap yang aneh sewaktu hendak berbicara tadi.
Terdengar Lo Ciang kembali berkata:
"Sikap mereka terhadap diriku ternyata cukup sungkan, aku tidak digantung diatas pohon, pakaianku juga tidak dilepaskan sampai telanjang bulat"
Tapi mulutnya sudah pasti dijejali dengan segumpal lumpur yang kotor.
Setelah melampaui pengalamannya yang mengerikan itu, ia berkata lebih lanjut: "Sewaktu aku sadar kembali, ketemukan secarik kertas ini"
Kertas itu merupakan secarik kertas surat yang langka sekali, diatasnya tercantumlah beberapa baris tulisan yang meliuk-liuk tak karuan hingga tampak aneh sekali, tapi maksudnya amat jelas:
"Kalau orang tidak mengganggu aku, Akupun tak akan mengganggu orang, Kalau masing- masing tidak saling mengganggu, Keluarga tentu akau aman dan bahagia.”
Setiap orang mengharapkan keluarganya aman, senang dan bahagia, asal keluarganya aman dan bahagia, walaupum bertetangga dengan setan juga tak menjadi soal.
Setan-setan itu rupanya amat pandai mendalami perasaan manusia.
"Setanpun terdiri dari pelbagai macam jenis" kata Bu ki, "agaknya setan-setan yang menghuni disini bukan termasuk jenis setan bengis"
"Perduli setan dari jenis maupun, mereka semua memiliki semacam kebaikan" sambung Lo Ciang
"Apa kebaikannya?"
"Setan tak dapat membohongi orang, hanya orang baru bisa membohongi setan" Bu ki tertawa getir. Benar juga perkataannya itu dan siapapun rasanya tak dapat meyangkal.
"Asal kita tidak berkunjung kehalaman gedung itu, merekapua tak akan keluar meninggalkannya, belum pernah mereka mengganggu tempat lain barang seuntai rumputpun" Lo Ciang menerangkan.
Oleh karena itu merekapun tak pernah berkunjung lagi kehalaman gedung itu untuk melakukan pemeriksaan.
Bu-ki cukup memahami akan hal ini, ia tak akan menyalahkan mereka, sebab jika dia adalah Lo Ciang, diapun tak akan pergi kesana lagi.
Dia bukan Lo Ciang, maka dia harus kesana untuk melakukan pemeriksaan, bukan cuma mengunjungi setan-setan itu saja. diapun akan mengunjungi temannya dan sumoaynya.
*****
DI musim penghujan begini senja selalu berlangsung amat pendek, tiba-tiba saja hati menjadi gelap ketika angin dingin berhembus lewat. orang akan merasa seolah-olah musim semi masih berada ditempat yang jauh sekali.
Bu ki menghindari tempat-tempat yang ada sinar lampunya, mengitari beranda yang sempit dan terpencil dari masuk ke kebun belakang lewat pintu samping.
Dia tak ingin mengganggu orang lain, lagipula bersikeras tidak membiarkan Lo Ciang menemaninya.
Seringkali ada banyak persoalan yang tak bisa kau lakukan jika ada orang lain menemanimu, sering juga ada hanya persoalan yang harus kau selesaikan seorang diri.
Ia tidak percaya kalau didunia ini benar-benar ada setan, tapi ia percaya didunia ini masih terdapat manusia yang justru jauh lebih menakutkan dari pada setan.
Ada kalanya seorang teman jauh lebih menakutkan dan berbahaya daripada sekawanan setan. Selamanya ia tak suka membiarkan orang lain menemaninya menyerempet bahaya.
Halaman gedung, kebun bunga terasa lenggang, gelap dan dingin, kehangatan, ketenuangan dan kelembutan tempo hari kini telah berubah menjadi sepi dan menyeramkan.
Sejak ayahnya mati, bahkan tempat itupun seakan-akan diliputi oleh bayangan kematian. Tapi bagaimanapun juga, tempat ini adalah tempatnya ia dibesarkan, terdapat banyak kenangan lama yang membuatnya tak akan melupakan untuk selamanya.
Jangkerik di musim panas, comberat di musim gugur, salju dimusim dingin, semua kenangan yang menggembirakan dan menyenangkan, sekarang hanya mendatang-kan perasaan sedih dan pedih saja untuk dikenang kembali.
Ia berusaha keras untuk tidak mengenang semua persoalan itu sekalipun hendak me- ngenangnya kembali, tak ada salahnya untuk dikenang kembali esok hari.
Ia tak ingin membiarkan siapapun manusia yang masih hidup di dunia ini menyaksikan kelemahan dan kesedihannya, diapun tak ingin membiarkan setan manapun mengetahui akan hal ini.
Gedung dimana Hong-nio berdiam dulu, letaknys di paling sudut perkampungan yang sepi dan terpencil, hakekatnya gedung itu berdiri sendiri, sehingga jalan lewat kesanapum tetap sama jauhnya.
Sejak ayah ibunya meninggal dunia, Tio jiya telah mengajaknya pindah kesana, sebelum mereka menikah secara resmi tentu saja antara dia dengan Bu ki harus dijaga suatu jarak tertentu.
Tapi itu bukan berarti Bu ki tak pernah berkunjung ke sana.
Dulu sewaktu ia datang kesana asal menyeberangi jembatan kecil ditepi hutan bunga Tho, dia akan menjumpai sinar lampu yang memancar ke luar dari balik jendela dan memantulkan bayangan manusia dibawah sinar lampu tersebut.
Jendela itu letaknya diatas loteng, loteng yang berada diantara beberapa ratus batang bambu dan beberapa puluh batang pohon bunga bwee.
Bayangan manusia itu selalu menantikan kedatangannya.