Jilid 11
CUMA sayangnya, aku tak akan membiarkan harapan mereka terkabul sesuai dengan apa yang diinginkan."
Akhirnya Hong-nio baru sadar sekarang, rupanya tujuan orang itu berbaring kaku dan tak bergerak barang sedikitpun bukan lantaran ingin menakuti-nakuti orang, melainkan jika racun yang mengeram dalam tubuhnya tiba-tiba menjadi kambuh.
Seperti orang mati ia hidup di bawah tanah, tinggal dalam peti mati seperti mayat, itupun bukan dikarenakan sengaja berbuat sok misterius dan menyeramkan, melainkan untuk menghindari kejaran dari musuh besarnya. Tiba-tiba saja ia merasa bahwa orang ini sedikitpun tidak menakutkan, bukan saja tidak menakutkan, lagi pula patut dikasihani.
Sebab walaupun ia belum mati, tapi keadaan tersebut sama halnya pula seperti dikubur hidup- hidup.
KEBEBASAN HONG-NI0
ARAKPUN terdiri dari aneka macam jenis.
Adasemacam arak berwarna merah seperti darah, itulah arak anggur dariPersia.
Cawan terbuat dari kaca itu lebih anggun dan menawan hati. Semacam keindahan yang misterius dan merangsang hati orang.
Pelan-pelan orang berbaju putih itu menghirup setegukan, di atas wajahnya yang putih ke pucat-pucatan seakan-akan diliputi pula oleh warna semu merah yang misterius dan merangsang hati.
Dengan suara yang lembut kembali ia berkata: "Meskipun jejakku agak rahasia, tapi belakangan ini tampaknya sudah mulai bocor dan diketahui oleb khalayak ramai, anak murid- musuh musuhku dimasa lalu secara beruntun telah berdatangan ke bukit Kiu hoa san untuk mencari jajakku."
Sengaja ia tidak memandang ke arah Hong nio, terusnya:
"Orang yang beshasil dilenyapkan oleh Lui cu hari itu misalnya, dia adalah anak murid dari seorang musuh besarku yang paling lihay.
Hong nio menundukkan kepalanya, berusaha keras menghilangkan bayangannya atas bocah aneh itu dan berusaha pula tidak membayangkan kembali kejadian pada malam itu.
Sekarang ia sudah mengetahui hubungan antara dia dengan manusia berbaju putih itu.
“Meskipun aku tidak takut kepada mereka,” kata orang berbaju putih itu lebih lanjut, "tapi racun yang mengeram dalam tubuhku setiap saat kemungkinan akan kambuh, bila sampai demikian adanya maka aku pasti akan tewas di tangan mereka"
Warna semu merah yang menyelimuti wajahnya lambat laun mulai luntur, akhirnya ia berpaling dan memandang ke arah Hong nio sambil berkata lebih jauh:
“Bila aku sampai tewas, malca semua pengikutku pasti akan mati semua, lagi pula mereka akan mati dalam keadaan yang mengenaskan sekali" Hong nio tidak bersuara, ia betul-betul tak tahu apa yang musti dikatakan, sesungguhnya persoalan-persoalan semacam ini tak sepantasnya kalau diceritakan kepadanya.
Kembali orang berbaju putih itu berkata:
“Aku beritahu kesemuanya ini kepadamu, karena aku . . . aku berharap agar kau tetap tinggal di sini menemani aku."
Ketika secara tiba-tiba ia mengucapkan kata-kata tersebut, Hong-niopun ikut merasa terkejut.
"Selama banyak tahun aku selalu kesepian, belum pernah kutemukan seseorang yang cocok menemani aku bercakap-cakap .
Memang tidak banyak jumlah perempuan yang begitu balus budi seperti Hong-nio dalam dunia ini.
“Akan tetapi aku sama sekali tidak menaruh maksud lain kepadamu," kata orang berbaju putih itu lebih jauh, "seharusnya kau sudah tahu bahwa aku adalah seorang manusia yang cacad.”
Sekalipun dia juga berusaha keras untuk mengendalikan diri, tapi suatu perasaan sedih dan menderita yang sukir dikendalikan telah memancar ke luar dari sepasang matanya yang dingin dan tak berperasaan itu.
Hong nio tidak membiarkan ia berkata lebih lanjut, tiba tiba sahutnya: “Kukabulkan permiataanmu itu!"
Tampaknya jawaban tersebut sangat mengejutkan hati orang yang berbaju putih itu, bisiknya gemetar:
“Kau...kau mengabulkan permintaanku?"
"Aku bersedia tinggal di sini untuk menemanimu!"
Sekarang ia masih belum dapat berjumpa dengan Bu ki, entah apapun alasannya, semuanya itu merupakan kenyataan yang tak bisa dirubah ataupun dibantah.
Ia percaya Cian-cian dan Ci Peng pasti dapat menjaga diri sendiri, mereka pasti tak akan ber-sedih hati karenanya.
Ia merasa bahwa satu-satunya pekerjaan yang dapat dilakukan olehnya sekarang adalah membuat orang yang sombong, tapi penuh penderitaan, penuh siksaan dan menakutkan serta mengenaskan ini hidup selama beberapa hari lagi dalam keadaan yang amat gembira. Warna semu merah kembali menghiasi wajwh orang berbaju putih itu, katanya kemudian: "Aku tidak bermaksud untuk memaksamu!"
"Tidak, kau tidak memaksaku, aku sendiri yang rela berbuat demikian, sebab perbuatan yang tak ingin kulakukan tak akan bisa dipaksakan oleh siapapun juga".
"Tapi kau. . ., Aku hanya berharap agar kaupun dapat menyanggupi sebuah permintaanku !" "Katakanlah!"
"Asal Bu-ki sudah ada kabarnya, kau harus membiarkan aku pergi dari sini". "Kau tidak mempunyai syarat lain?"
"Jika kau masih mengharapkan aku untuk mengajukan syarat lain, maka kau . . . kau berarti sedang menghina diriku".
Orang berbaju putih itu memandang ke arahnya, tiba-tiba saja di atas wajahnya yang pucat memancarkan cahaya tajam, seperti juga sebatang pohon yang telah layu tiba-tiba muncul kembali harapannya untuk hidup lebih lanjut.
Bagi sejenis manusia, "pemberian" selamanya jauh lebih senang dan bahagia dari pada "perampasan".
Hong-nio tak salah lagi adalah manusia semacam itu.
Si Buta masih berdiri agak jauh di tepi ruangansana, sekalipun sepasang matanya tak dapat melihat apa-apa lagi, tapi seakan-akan ia telah menyaksikan kembali suatu kesedihan dan ketidak beruntungan.
*****
Sampai waktu itu, Hong-nio masih tak pernah lupa untuk menulis catatan hariannya setiap hari.
Ia mencatat hari mengikuti "titik-titik" air yang berbunyi, sekalipun tidak cocok seratus persen, paling tidak setiap bulannya hanya selisih antara setengah jam belaka.
Menurut perhitungan penanggalan waktu itu, maka setiap tahun hanya terdiri dari tiga ratus enampuluh hari. Kehidupan di bawah tanah amat sederhana dan tawar, asal dapat memilih catatan dari tiga hari di antaranya, kita dapat memahami seluruh pengalaman serta kejadian yang telah menimpa dirinya selama beberapa bulan ini.
Tentu saja tiga hari tersebut adalah tiga hari yang terpenting dalam kehidupannya selama be-berapa bulan ini, sekalipun demikian sudah cukup untuk merubah nasib seseorang, dan perubahan tersebut justru terjadi dalam tiga hari itu.
Diantara kejadian-kejadian tersebut, tentu saja ada yang menguntungkan, tapi ada pula yang membawa ketidak beruntungan. Peristiwa yang tidak beruntung terjadi pada bulan sembilan tanggal dua puluh tiga.
*****
Bulan sembilan tanggal dua puluh tiga, hari terang. Walaupun di tempat seperti ini sulit untuk mengetahui apakah cuaca sedang mendung atau cerah, tapi aku tahu bahwa hari ini udara pasti terang.
Sebab ketika si tuan buta pergi ke luar, ia mengenakan baju yang tipis sekali dan sewaktu pulang telapak sepatunya kering dan bersih.
Ia pergi untuk mencari Siau-lui. Siau-lui telah minggat dari rumah.
Selama aku berada di sini, tak pernah satu kalipun kujumpai dirinya, Tee-cong seakan-akan secara sengaja menghindari pertemuan di antara kami berdua.
"Tee-cong" memang manusia aneh, Siau-luipun seorang bocah yang aneh pula. . . Walaupun demikian, sesungguhnya hati mereka itu ramah dan baik hati.
Terutama sekali Siau-lui, belum pernah aku membenci dirinya, sekdipun ia bersikap demikian kepadaku, mungkin saja disebabkan pada masa yang lalu belum pernah ia memperoleh kasih sayang dari ibunya mungkin juga wajahku agak mirip dengan wajah ibunya.
Dalam pandangan dan perasaan seorang bocah, ibu selamanya adalah perempuan yang paling cantik dan paling lembut di dunia ini.
Tapi, kenapa ia harus minggat dari rumah?
Aku ingin menanyakan persoalan ini kepada "Tee-cong," tapi secara tiba-tiba saja wataknya berubah menjadi kasar dan berangasan, ia bersikap galak dan ganas kepadaku. " Tapi akupun tidak menyalahkan dirinya, aku tahu ia sedang marah dan bersedih hati karena kepergian Siau-lui yang tanpa pamit itu.
Terlalu besar dan tinggi pengharapannya terhadap Siau-lui dimasa-masa mendatang.
Ketika mereka sedang pergi mencari Siau-lui, tiba-tiba kutemukan kembali suatu kejadian yang sangat aneh..
Di tempat ini seluruhnya terdapat enam belas buah ruangan, di belakangsanaterdapat pula se-buah pintu batu, dihari-hari biasa pintu batu itu selalu tertutup rapat, kalau dugaanku tak salah tempat itu pasti merupakan gudang mestika yang paling rahasia milik "Tee-Cong".
Hari ini, di tempat apapun sudah mereka cari, tapi tak pernah memeriksa ruangan itu, apakah mereka beranggapan bahwa Siau - liu tak mungkin bersembunyi disana, karena tempat itu tak boleh didatangi oleh siapapun jua ?
Akhirnya tak tahan lagi kutanyakan persoalan ini secara diam-diam kepada Sia-sianseng (tuan buta), tapi begitu mendengar perkataan itu, bagaikan dipagut ular berbisa, tanpa mengucapkan sepatah katapun ia berlalu darisana.
Belum pernah kusaksikan ia menunjukkan sikap begini takutnya, tapi apa yang ia takuti? Bulan sebelas tanggallimabelas.
Kalau dihitung-hitung maka hari ini semestinya bulan akan purnama lagi, entah di luar hari ini ada rembulan atau tidak? Entah rembulan itu masih tetap bulat seperti dulu?
Sudah empat kali bulan purnama aku berdiam di sini.
Seringkali aku teringat akan diri Bu-ki, setiap hari bahkan mernikirkannya, yaa, setiap waktu setiap detik selalu memikirkannya, tapi tak pernah kubicarakan tentang dirinya.
Sebab aku tahu, dibicarakanpun tak ada gunanya.
Agaknya Bu-ki sedang berada dalam suatu keadaan yang amat istimewa, aku harus menunggu sampai suatu saat tertentu sebelum dapat bertemu dengannya.
Aku mempunyai perasaan semacam itu, maka aku harus menunggu dengan hati yang sabar.
Lagi pula akupun percaya bahwa "Tee-cong" bukanlah seseorang yang tidak pegang janji, iapun sangat baik kepadaku, belum pernah ia ungkapkan kepadaku kalau "mempunyai maksud lain", dalam hal ini dia benar-benar memegang janji. Tapi semenjak kepergian Siau-lui tanpa pamit, wataknya makin lama berubah makin aneh, seringkali ia berbaring seorang diri di dalam peti matinya, sepanjang hari sepanjang malam tak mengucapkan sepatah katapun denganku, akupun hanya duduk termangu seorang diri di sana. .
Kehidupan semacam ini tentu saja bukan suatu kehidupan yang terlalu baik, tapi untunglah aku dapat melewatinya dengan baik.
Adaorang mengatakan bahwa aku terlalu lemah, ada pula yang mengatakan bahwa aku bagaikan sebuah benda antik, begitu dibentur segera akan hancur berantakan.
Selamanya aku tak pernah membantah atau mengucapkan sesuatu komentar tentang persoalan ini.
Benda paling lembek di tubuh manusia adalah rambut, sedang yang paling keras adalah gigi, tapi alat tubuh manusia yang paling mudah rusak justru adalah gigi, sebaliknya bila seseorang telah mati, sekujur tubuhnya telah membusuk dan hancur, rambutnya masih akan tetap utuh.
Benda paling lemah di tubuh manusia adalah mata, akan tetapi setiap hari setiap waktu dari pagi sampai malam yang selalu dipergunakan oleh manusia adalah mata, tak pernah orang me-ngatakan kalau matanya tak terpakai atau matanya tak digunakan lagi.
Matapun tak pernah lelah, kalau kau pergunakan mulutmu untuk berbicara terus tiada hentinya atau menggunakan tangan tak hentinya ataukah menggunakan kaki tak hentinya, maka sejak dulu-dulu kau sudah mampus karena lelah.
Oleh karena itu aku pikir bahwa "lemah dan lembut" serta "keras dan kuat" sesungguhnya bukan bisa dibedakan dengan nyata.
Hingga hari ini aku baru tahu bahwa kepergian Siau-lui sebenarnya adalah lantaran aku.
Kiranya sebelum pergi meninggalkan tempat itu, ia telah meninggalkan sepucuksurat, dalam suratnya ia hanya mengucapkan beberapa patah kata saja:
"Aku suka dengan Hong-nio, tapi kau telah merampasnya, maka aku pergi dari sini, aku ber-sumpah suatu hari aku pasti akan merampasnya kembali dari tanganmu".
Siau-lui benar-benar seorang anak yang aneh, aku selalu tak habis mengerti kenapa ia bisa bersikap demikian kepadaku.
Setiap bulan sedang purnama, tabiat Tee-cong pasti akan berubah menjadi begitu gundah, berangasan dan tak tenang. Lebih-lebih hari ini, wataknya benar-benar jelek sekali, apalagi setelah minum sedikit arak, oleh karena itulah ia mengeluarkansuratyang ditinggalkanSiau-lui dan memperlihatkannya kepadaku.
Sekarang aku baru mengerti, mengapa si Sia sianseng memandangku dengan sinar mata macam itu.
Ia pasti menganggap kedatanganku ke mari telah membawa bencana serta ketidak beruntungan, kepergian Siau-lui tanpa pamit tak lebih hanya salah satu contoh saja di antaranya.
Aku sama sekali tidak menguatirkan keselamatan Siau-lui, sebab bocah semacam dia tak akan menderita kerugian ke manapun ia pergi.
Aku hanya berharap agar ia jangan berjalan sesat, karena ia terlampau cerdik, ilmu pedangnya begitu lihay, kalau sampai jalan serong niscaya seluruh dunia akan kacau balau dibuatnya-.
Pada bulan delapan tanggal limabelas aku mulai belajar pedang, hingga kini sudah ada tiga bulan lamanya.
Aku sama sekali tidak memiliki dasar dasar belajar ilmu pedang, kecuali sewaktu kecil dulu aku pernah belajar sedikit ilmu semedi dan ilmu tenaga dalam dari paman Sam siok, hakekatnya sedikit kepandaian silatpun tidak kupahami.
Akan tetapi “Tee-cong” justru mengatakan bahwa aku boleh belajar ilmu pedang.
Ia bilang akupun sangat aneh, siapa tahu kalau pada akhirnya bisa berhasil mempelajari ilmu pedang Giok li kiam hoat yang sudah lama punah dari dunia persilatan, karena katanya watakku agaknya sesuai dengan ilmu pedang tersebut.
Aku selamanya tak pernah tahu kalau untuk belajar pedangpun harus meninjau pula watak serta perangai seseorang, sudah tiga bulan aku melatihnya dengan tekun, entah sampai pada batas apakah kepandaian yang telah kulatih sekarang.
Cuma saja “Tee-cong” memang seorang manusia yang luar biasa, ia bilang dahulu “dengan sebilah pedang ia malang melintang, dan tiada tandingannya dikolong langit”, aku lihat ia bukan sedang mengibul.
Ilmu pedang yang dimilikinya memang betul betul mengagumkan.
Suatu kali ia pernah berkata, ia dapat memutuskan kutung selembar rambut di kepalaku, kemudian mematas pula rambut yang telah terpapas itu menjadi dua bagian, dan kemudian ia dapat memapasnya pula beberapa bagian yang ia inginkan.
Ia tidak mengibul, ia benar benar dapat melakukannya. Sengaja kusisir rambutku kencang kencang, aku hanya melihat cahaya pedangnya berkilauan dan tahu tahu selembar rambutku telah terpapas kutung, menanti rambut itu terjatuh ke tanah, ia telah berubah menjadi tigabelas bagian.
Hanya sekilas cahaya pedangnnya berkelebat, ternyata rambutku telah terpapas kutung tidak lebih dan tidak kurang dari selembar saja, bahkan kemudian mematasnya kembali menjadi tidak lebih dan tidak kurang dari tigabelas bagian.
Meskipun aku tidak mengerti tentang ilmu pedang, tapi aku dapat melihatnya bahwa ilmu pedang yang dimilikinya itu pasti jarang sekali yang bisa menandinginya.
Karena caranya turun tangan benar benar terlalu cepat, sedemikian cepatnya membuat orang benar benar tak dapoat mempercayainya.
Ia bilang aku telah mempelajari seluruh rahasia serta intisari yang terkandung dalam ilmu pedang Giok li hiam hoat, asal dikemudian hari sering melatihnya, maka sekalipun orang lain sudah berlatih selama sepuluh tahun belum tentu sanggup untuk menandingi diriku.
Aku percaya dia adalah seorang guru yang pandai, tapi tidak percaya kalau aku adalah seorang muridnya yang begitu baik.
Tapi terlepas dari semuanya itu, asal ia sudah berbaring kembali dalam peti matinya, akupun mencari sebilah pedang dan mulai melatihnya dengan tekun.
Tentu saja aku tak berani menyentuh pedang yang terletak di atas meja sembahyang itu, bahkan ia sendiripun belum pernah menyentuhnya.
Seringkali ia berkata bahwa kini ia tidak pantas untuk mempergunakan pedang itu lagi, sebab dahulu pedang tersebut tak pernah kalah, tapi sekarang ia sudah bukan jago pedang tak terkalahkan yang dulu lagi.
Bulan tiga tanggal duapuluh delapan.
Tanpa terasa aku sudah hampir delapan bulan lamanya tinggal disini, hari ini adalah hari peringatan kematian dari ayah Bu Ki.
Hari ini ditahu silam, adalah hari perkawinanku dengan Bu Ki, setiap orang bilang bahw ahari itu adalah hari yang baik, hari penuh keselamatan dan rejeki.
Aaaai! Hari rejeki macam apakah itu? Pada saat itulah telah terjadi peristiwa yang mengerikan, bukan saja telah mencelakai jiwa loyacu, emnghancurkan masa depan Bu Ki, telah menghacurkan pula kehidupanku ini. Andaikata loyacu tidak mati, betapa bahagianya aku hari ini, betapa senangnya kehidupanku, bahkan siapa tahu kalau aku telah mendapatkan anak untuk Bu Ki.
Tapi hari ini...
Dibawah tulisan “hari ini” tampak ada bekas bekas basah yang lembab, agaknya ia telah banyak mengucurkan air matanya.
Apakah peristiwa yang telah terjadi hari ini jauh lebih menyedihkan dan lebih menakutkan dari pada hari ini ditahun silam?
Bila kau sempat membaca catatan rahasianya ini dan membaca sampai di sini, maka kau pasti akan membacanya lebih jauh.
Tulisan di bawah sana tampak jauh lebih awut awutan dari pada tulisan dihari hari biasa.
Pagi ini ternyata Tee-cong bangun jauh lebih cepat dariku, ketika aku bangun tidur, ia telah menungguku, sikapnyapun jauh lebih berbeda dari pada dihari hari biasa.
Ia mengatakan bahwa dalam istana bawah tanah ini masih ada satu tempat yang belum pernah ia mengajaknya kesana, maka hari ini dia akan mengajakku untuk meninjau tempat tersebut.
Tentu saja aku merasa sangat girang, sebab aku telah menduga bahwa tempat yang akan dikunjungi bersamaku ini pastilah gudang harta yang amat rahasia itu.
Ternyata dugaanku memang tak salah.
Ia benar benar memerintahkan orang untuk membuka pintu batu di sebelah belakang, ketika aku masuk mengikutinya, aku baru tahu bahwa dugaanku ternyata masih ada satu hal yang salah.
Tempat itu bukan saja bukan gudang harta, bahkan baunya minta ampun, ketika berjalan masuk ke gua itu, segera terendus bau busuk yang amat memuakkan tersiar ke luar dari sana, bau busuk itu macam bau busk dalam kandang babi.
Walaupun oleh bau busuk itu kepalaku dibikin pusing tujuh keliling dan rasanya ingin muntah, tapi rasa ingin tahuku semakin besar, dengan keraskan kepala aku ikut pula masuk ke dalam.
Tempat itupun merupakan sebuah ruangna yang terdiri dari batu granit, sebetulnya perabot di situ tidak jelek, tapi sekarang telah sama sekali berubah bentuknya, tirai merah berbunga emas yang semula melapisi dinding ruangan, kini hampir berubah menjadi hitam pekat, tong untuk buang air, tempolong untuk meludah serta sisa nasi dan sayur yang bercampur aduk hampir menumpuk dimana mana. Di atas dinding, di atas permukaan tanah, diamanpun penuh dengan lukisan manusia yang sedang melakukan suatu gerakan pedang, setiap lembar lukisan itu semuanya sudah kuno dan kumal.
Seorang manusia berambut panjang, mana dekil mana bau lagi duduk di sana sambil memperhatikan lukisan-lukisan pedang itu, adakalanya seakan-akan ia terkesima, kadangkala juga melompat bangun dan menggerak-gerakkan tangannya, siapapun tak tahu jurus macam apakah yang sedang ia perlihatkan itu.
Orang itu kurusnya bukan kepalang hingga tinggal kulit pembungkus tulang, lagi pula sudah beberapa bulan tak pernah mandi, rambutnya, jenggotnya kotor dan bau busuk, hakekatnya tak berani aku memandang ke arah wajahnya.
Iapun seakan-akan tak pernah tahu kalau ada orang berjalan masuk ke dalam ruangan, bahkan memandang sekejap ke arah kamipun tidak, sebentar-sebentar ia mencengkeram segenggam kitab ilmu pedang dan memeluknya sambil tertawa terbahak-bahak, lalu menangis pula tersedu-sedu.
Aku rasa orang itu pastilah seorang sinting.
"Tee-cong" mengatakan bahwa ia belum sinting, cuma sudah menjadi "Tidak waras" karena terpikat oleh buku-buku ilmu pedang tersebut, sedemikian terpikatnya oleh ilmu, sampai makanpun enggan, tidurpun tak pernah, apa lagi mandi, ia terpikat sampai melupakan segala- galanya.
Aku sendiri tak dapat membedakan apa perbedaan antara "sinting" dan "Tidak waras".
Entah dia sinting juga boleh, tidak waras juga boleh, yang pasti aku enggan berdiam lebih lama di tempat semacam itu.
"Tee-coug" masih juga mengawasinya lekat-lekat, seakan-akan menaruh perhatian yang khusus terhadap orang tersebut.
Diam-diam aku ngeloyor ke luar dari situ, sebab aku sangat mual dan benar-benar tak tahan untuk mau muntah, tapi akupun tak ingin muntah di hadapannya.
Sebab bagaimanapun jua, dia toh tetap seorang manusia.
Aku bersembunyi di dalam kamarku dan muntah hebat, setelah minum secawan air teh panas, "Tee-cong" pun datang.
Ia kembali menatapku setengah harian lamanya sebelum memberitahukan kepadaku bahwa sekarang adalah saat baginya untuk pergi mohon obat penawar bagi mencegah bekerja racun di dalam tubuhnya, setiap tahun ia harus minta obat penawar sekali, katanya pula bahwa per-jalanan yang akan ditempuh tidak dekat, paling tidak satu bulan kemudian baru akan pulang kembali ke sana.
Ia bertanya kepadaku, bersediakah mengikutinya? Ataukah ingin tetap tinggal di sini?
Sudah barang tentu aku lebih suka mengikutinya pergi, sudah terlampau lama aku berdiam di tempat ini, tentu saja aku ingin melihat lihat ke tempat luaran.
Siapa tahu setibanya di luar, aku akan mendapat kabar tentang Bu-ki, apalagi akupun ingin tahu keadaan dari Cian-cian serta Ci Peng.
Aku selalu merasa bahwa kedua orang itu adalah sepasang sejoli yang sangat ideal, watak Cian-cian kurang baik, Ci Peng pasti akan selalu mengalah kepadanya, Cian-cian selalu menerbitkan gara-gara di semua tempat dan Ci Peng pasti akan menyelesaikan semua kesulitan itu bagi dirinya ........
Sayang sekali Ciao-cian selalu bersikap dingin terhadap Ci Peng, selamanya tak pernah memberi kesan atau mimik wajah yang lebih baik kepadanya.
Ketika "Tee-cong" tahu bahwa aku bersedia mengikutinya pergi, ia merasa gembira sekali, aku diberi setengah cawan arak anggur untuk menghangatkan tubuh.
Setelah meneguk separuh cawan arak itu, akupun tertidur dengan nyenyaknya.
Menunggu aku telah sadar kembali dari tidurku, baru kuketahui bahwa kami telah meninggalkan gua dalam dasar bumi itu.
Aku duduk dalam sebuah kereta kuda dengan mengenakan pakaian berkabung, beberapa orang berbaju hitam sambil menggotong peti mati tembaga dari "Tee-cong” mengikuti di belakang kereta.
Aku tahu, ia pasti berada di dalam peti mati itu, dan akupun didandani demikian untuk mengelabui mata orang.
Malam itu kami mencari sebuah rumah penginapan yang kecil dan sepi untuk beristirahat seluruh penginapan itu kami borong semua.
Pelayan-pelayan dari penginapan tersebut samuanya mengira bahwa aku adalah janda yang baru kematian suami, pelayanannya terhadap segala keperluanku amat baik dan istimewa.
Aku menginap di dalam sebuah kamar besar seorang diri, aku selalu tidak tidur karena aku tahu bahwa "Tee-cong” pasti akan datang. Tengah malam itu, ia benar-benar telah datang, aku menemaninya makan semangkuk bubur dan diapun menatapku lekat-lekat.
"Kau benar-benar tidak kenali dia?" tiba-tiba ia mengajukan sebuah pertanyaan yang aneh sekali kepadaku.
Pada mulanya aku masih tidak mengerti, kemudian setelah menjumpai sikapnya yang aneh itu tiba-tiba saja aku merasa sedikit kalap, suatu ingatan yang menakutkan mendadak melintas di dalam benakku . .
Mungkinkah manusia yang kotor, busuk dan aku tak berani memandang barang sekejappun kepadanya itu adalah Bu-ki yang membuatku rela berkorban asal dapat bertemu sekejap lagi dengannya?
"Tee-cong” dapat meraba suara hatiku, tiba tiba ia menerangkan:
"Apa yang kau duga memang benar, dia adalah Bu-ki."
Aku hampir saja gila karena gelisah, aku ingin menangis sekeras-kerasnya, ingin menjerit sekuat-kuatnya, dan ingin mencekiknya sampai mati, tapi apapun tidak kulakukan.
"Tee-cong" memang tidak mengingkari janji, ia telah menepati janjinya dan mengajakku menjumpai Bu-ki.
Ia sama sekali tidak salah, akulah yang salah! ia tidak pantas mati, akulah yang pantas mati, akulah yang pantas mati!
Ternyata aku tak dapat mengenali kembali diri Bu-ki.
Siang malam aku ingin bertemu dengannya, tapi dikala aku telah berjumpa dengannya ternyata aku tidak mengenali lagi dirinya.
Apalagi yang bisa kukatakan kini?
Menanti perasaanku sudah jauh lebih tenang dan pergolakan darah dalam dadaku telah normal kembali, "Tee cong" baru beritahu kepadaku bahwa Bu ki datang mencarinya untuk belajar pedang, diapun menganggap Bu-ki mempunyai bakat untuk belajar pedang.
Tapi diantara mereka berdua berlaku suatu perjanjian, yakni sebelum Bu ki berhasil selesai dengan pelajaran pedangnya, ia tak boleh berjumpa dengan siapapun.
Bu-ki telah setuju dengan perjanjian itu dan menepatinya, maka setiap kali aku ingin bertemu dengan Bu-ki. ia selalu mengatakan belum sampai waktunya. Tee-cong berkata kembali:
"Kami telah berjanji dengan batas waktu setahun, pada waktu itu aku akan pergi untuk mencoba ilmu pedangnya, asal ia berhasil mengalahkanku, maka aku akan mempersilahkan ia pergi meninggalkan tempat itu . . .
Setelah ia mengucapkan kata-kata tersebut, aku baru tahu bahwa perjanjian di antara mereka berdua tidaklah sederhana.
Aku amat memahami jalan pemikiran Bu-ki.
Dia tahu bahwa "Tee-cong" tak nanti akan mewariskan ilmu pedangnya kepadanya, maka dia pasti telah mempergunakan suatu cara yang sangat istimewa untuk memaksa “Tee-cong" mau tak mau harus menyanggupi untuk mewariskan ilmu pedang kepadanya.
Oleh karena itu, ketika Tee-cong mengajukan syarat tersebut, diapun mau tak mau harus menerimanya.
Tapi dari mana mungkin ia bisa mengalahkan “Tee-cong”? Pada hakekatnya ia sama sekali tak punya kesempatan untuk menang.
Agaknya "Tee-cong" telah berhasil menebak pula apa yang sedang kupikirkan di hati, dengan dingin katanya kepadaku:
Ia bukannya tak punya kesempatan, sebab ilmu pedangkupun kupelajari dari kitab-kitab dan lukisan-lukisan tersebut, selamanya aku selalu bekerja adil.
Kemudian ia berkata lagi:
"Tapi setelah menjumpai dirimu, jalan pikiranku tiba-tiba berubah, aku kuatir kalau ilmu pedangnya benar-benar telah berhasil dan merebutmu dari sisiku, aku ingin sekali membunuhnya agar selamanya kau tak dapat berjumpa lagi dengannya."
Akan tetapi ia sama sekali tidak berbuat demikian, karena ia bukan seorang siaujin yang tak tahu malu seperti itu.
Maka hatinya penuh dengan perasaan sedih, tersiksa dan serba bertentangan, oleh sebab itu pula kadang-kadang wataknya akan berubah menjadi begitu berangasan dan aneh.
Ternyata kesemuanya itu adalah lantaran aku.
Sekarang aku baru mengerti kenapa si buta selalu beranggapan bahwa aku akan mendatangkan ketidak beruntungan bagi mereka. Tee-cong kembali berkata:
"Tapi, akupun tidak menyangka kalau ia dapat melatih ilmu pedang sehingga menjadi "tak waras," seakan-akan sama sekali telah berubah menjadi seseorang yang lain!"
Mungkin lantaran dia tahu kalau Bu-ki telah berubah, maka ia baru membawaku untuk pergi menjumpai Bu-ki.
"Tee-cong" menatapku tajam tajam, kemudian berkata lagi:
"Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan di dalam hati, tapi kau keliru kalau berpendapat demikian, karena aku telah bertekad untuk membiarkan kau kembali ke sisi Bu ki, sebab aku dapat melihat dan merasakan bahwa kau benar-benar telah mencintai dirinya, bila suatu hari kau tahu bahwa aku melarang kalian saling berjumpa, kau pasti akan membenciku sepanjang masa, aku tak ingin kau membenciku sepanjang masa!”
Kembali ia berkata:
"Tapi sekarang, setelah ia berubah menjadi begitu rupa, bila kau menjumpainya hari ini malah justru akan mencelakainya, bila ilmu pedangnya berhasil dikuasai maka belum terlambat rasanya bila kalian berjumpa kembali pada waktu itu.
Aku tidak bersuara, karena aku telah merasa bahwa apa yang dikatakan itu bukanlah kata-kata yang seratus persen jujur.
Aku tidak menyalahkannya, sebab tiap manusia tentu mempunyai watak serakah, lebih me-mentingkan diri sendiri dan ternyata diapun seorang manusia begini.
Harus menunggu sampai kapankah Bu-ki baru akan berhasil dengan ilmu pedangnya? Sampai kapan pula baru dapat mengalahkannya?
Hari seperti itu kemungkinan besar tak akan bisa dijumpai lagi untuk selamanya.
Tapi aku dapat menanti sampai dia kembali ke guanya, waktu itu akupun dapat bertemu kembali dengan Bu ki.
Perduli Bu ki sudah gila juga boleh, sinting juga boleh, tidak waras juga boleh, pokoknya setelah bertemu kembali dengannya, aku tak akan meninggalkannya lagi untuk selamanya.
*****
Hong nio meninggalkan bukit Kiu hoa sun pada bulan tiga tangga duapuluh delapan. Pada malam bulan empat tanggal satu, ketika para hwesio kuil Bwee-sham-wan sedang bersembahyang malam, tiba-tiba mereka menjumpai seorang manusia aneh yang kotor, bau, kurus dan kelelahan hebat sedang berbaring di atas undak-undakan batu di depan altar besar sambil memandangi bintang-bintang di angkasa, seakan-akan sudah lama, lama sekali ia tak pernah melihat sinar bintang hingga memandangnya dengan terpesona.
MENCOBA PEDANG
BULAN empat tanggal dua, udara sangat cerah.
Dihari-hari yang berudara segar seperti ini, perasaan Lau Pat selalu luar biasa baiknya. Terutama pada hari ini.
Hari ini ia bangun pagi sekali, setelah bersarapan pagi dengan hidangan yang lezat, diapun pergi menunggang kuda mencari angin.
Malam harinya ia terbiasa untuk minum banyak arak, kadangkala bahkan diwaktu makan siangpun akan minum, oleh karena itu dia selalu memperhatikan sarapan paginya ini.
Pagi ini dengan makan seekor ayam, ayam yang dimasak dengan arak, seekor ikan leihi hidup yang dimasak Ang sio dan semangkuk besar sawi hijau yang dimasak udang.
Kecuali dapat mempergunakan uang dalam jumlah besar, bermain perempuan cantik dan minum arak wangi, ayam, ikan leihi dan sawi hijau kemungkinan bssar adalah tiga macam hidangan yang paling disukai Lau Pat.
Pagi ini dalam waktu setengah jam ia telah mengitari tembokkotasatu kali dan kembali ke rumah.
Inilah rekor tercepat darinya dalam mengitari tembokkota.
Tentu saja ia bukan lari, dengan mempergunakan sepasang kakinya, ia lari dengan menunggang kuda.
Tentu saja kuda tunggangannya adalah seekor kuda cepat, sekalipun bukan kuda tercepat di-dunia, paling tidak merupakan kuda paling cepat di dalam wilayah delapan belaskotadi sekitarsana.
Kuda itu sesungguhnya bukan miliknya.
Sejak dengan mata kepala sendiri ia menyaksikanBu-ki membinasakan tiga orang saudara dari keluarga Tong di atas loteng Siu oh khang, tak seharipun ia dapat tidur dengan tenang. Iapun seorang jago persilatan, selama berkecimpungan dalam dunia persilatan, dendam sakit hati semalam ini ini harus dituntut balas.
Jika Bu ki datang untuk membalas dendam maka pada hakekatnya ia tak bertenaga untuk melakukan perlawanan.
Oleh karena itu selain ia mengutus orang untuk mencari jago lihay guna metindungi keselamatan jiwanya, diam-diam iapun menyelidiki jejak dari Bu ki.
Menanti ia dengar orang berkata bahwa Bu-ki munculkan diri untuk terakhir kalinya diTaypek ki di bawah bukit Kiu hoa san, ia segera membawa orang memburu kesana, tapi suami istri pemilik penginapanTaypek ki ternyata telah tewas dibunuh sehari sebelumnya.
Dia hanya menjumpai pelayan yang bernama Siau ting beserta kuda ini. Kuda dari Tio Bu ki.
Ia merasa persengketaannya dengan Bu ki sudah pasti akan berlangsung, maka apa salahnya kalau perselisihan itu ditambah lagi dengan perselisihan lain? Maka kuda itupun menjadi kuda miliknya.
*****
Selama setahun belakangan ini, kehidupannya boleh dibilang dapat dilewati dengan aman dan tenteram, Tio Bu ki yang dahulu merupakan momok baginya kini sudah makin dilupakan.
Satu-satunya hal yang membuat ia menjadi pusing sekarang adalah tiga orang jago lihay yang dipeliharanya selama ini dengan beaya yang amat tinggi itu.
Sesungguhnya dia ingin sekali menyuruh mereka pergi, tapi takut menyinggung perasaan mereka, terutama si Pincang Oh tersebut, ia paling takut untuk membuatnya menjadi tersinggung.
Ia telah bertekad untuk menyelesaikan masalah tersebut dalam beberapa hari ini juga, sekalipun harus kehilangan sejumlah uang lagi, diapun rela.
Beaya untuk memelihara tiga orang pelindungnya ini hakekatnya jauh lebih mahal dari pada memelihara tiga orang bini muda, ia sudah merasa agak kewalahan.
Sekarang ia baru tahu, bahwa persoalan yang paling membuang beaya besar di dunia ini bukan mencari `kesenangan`, melainkan "Dendam sakit hati".
Lantaran persoalan ini, dia telah kehilangan uang sebesar tigapuluh laksa tahil lebih, ditambah lagi uang yang dimenangkan Bu ki, walaupun sekarang ia tampaknya masih gagah dan mentereng, sesungguhnya isi koceknya sudah kian menipis. Untung saja "Tempat perjudian"nya masih ada, hasil yang dia perolehpun jauh lebih baik dari pada hasil tahun berselang, oleh sebab itu ia masih dapat bertahan sampai sekarang.
Selesai membersihkan badan dengan air dingin, persoalan yang sebenarnya memusingkan kepala itu seakan-akan telah berubah menjadi bukan suatu persoalan lagi.
Setelah berganti dengan satu stel baju yang bersih, ia bermaksud untuk memeluk bini mudanya dan mengajak ia tidur.
Pada saat itulah, Hui Iotau tiba-tiba muncul di situ.
*****
Hui lotau adalah pengurus dari tempat perjudiannya, dia adalah seorang rase tua yang
ber-pengalaman dan boleh diandalkan, sudah puluhan tahun ia bekerja di tempat perjudian, permainan busuk macam apapun ia kenal dan pahami dan kejadian dan peristiwa macam apapun pernah ditemuinya.
Tapi ia tampak agak kaget dan gugup pada hari ini, dengan napas tersengal-sengal ia lari masuk hampir saja jatuh terjerembab karena terkait palang pintu.
Sambil tertawa Lau Pat segera mendamprat:
"Hei, coba kau lihat tampangmu yang begitu gelisah, apakah bini tuamu lagi-lagi dibawa kabur orang?"
Hui lotau menghela napas dan tertawa getir, sahutnya:
"Tidak aneh kalau cuma bini tuaku dibawa kabur orang, tapi kejadian yang berlangsung hari ini baru betul-betul dibilang kejadian yang aneh dan luar biasa"
"Apakah terjadi peristiwa lagi di dalam rumah perjudian kita?" tanya Lau Pat dengan dahi berkerut.
“Yaa, bahkan tidak terhitung kecil peristiwa yang telah terjadi disana "
Peristiwa yang paling ditakuti tempat perjudian adalah jika secara tiba-tiba kedatangan seorang penjudi yang mempunyai rejeki luar biasa bagusnya, seperti juga Heng ing pa cu (macan kumbang yang mujur) tahun berselang.
Tapi manusia seperti Heng ing pa cu sudah tak akan bisa dijumpai lagi untuk selamanya dalam masa seperti ini. "Aturlah dulu pernapasanmu, duduk dan bicaralah pelan-pelan," kata Lau Pat pelan, "sekalipun langit bakal ambruk, kita masih sanggup untuk menahannya, buat apa kau musti gelisah?"
Agaknya untuk dudukpun Hui lotau tak sanggup, kembali katanya dengan gelisah:
"Hari ini rumah perjudian kita telah kedatangan lagi seorang jago lihay dan menggaet sejumlah uang kita secara meyakinkan."
"Menggaet," artinya adalah memenangkan. Apapun tidak ditanya Lau Pat, dia cuma bertanya:
"Apakah sekarang orang itu telah pergi?` "Belum!
"Heehhh "heeehhh ....heehhh. asal orang itu belum pergi, kita masih mempunyai cara untuk
menghadapinya" kata Lau Pat sambil tertawa dingin tiada hentinya. .
Asal bertaruh itu bukan terhitung suatu kekalahan, Hui lotau adalah seoraog ahli di dalam bidang perjudian, sudah barang tentu diapun memahami akan teori tersebut.
Akan tetapi hari ini ia tidak berpendapat demikian, katanya lagi:
"Oleh karena ia belum mau pergi juga, maka baru ada kerepotan buat kita semua." “Kenapa?"
"Sebab ia masih akan bertaruh terus, bahkan kelihatannya akan menang lebih jauh." "Kau dapat melihatnya?"
"Tentu saja! Ketika datang, ia hanya bermodal sepuluh tahil perak, sekarang ia sudah memenangkan empat belas kali taruhan."
"Berapa banyak yang dia menangkan dari ke empat belas kali taruhan ini ?"
"Enam belas laksa tiga ribu delapan ratus empat puluh tahil perak!" sahut Hui lotau. Paras maka Lau Pat segera berubah, sambil menggebrak meja keras keras teriaknya: "Apa pekerjaanmu disana? Kenapa kau biarkan ia menang sebanyak empat belas kali?” "Aku sama sekali tak berdaya untuk mencegahnya, karena setiap lemparan dadunya selalu menunjukkan angka enam tiga kali."
Kali ini Lau Pat melompat bangun saking kagetnya, dengan wajah berubah serunya:
"Apakah Heng in pa cu yang telah datang lagi?" "Sebenarnya aku memang mencurigai dirinya, tapi tampangnya sedikitpun tidak mirip dengan si macan tutul yang mujur!"
Setelah berpikir sebentar, kembali katanya:
"Kalau Heng in pacu adalah seorang pemuda yang bertampang ganteng dan menarik, maka ini tampangnya seperti orang yang kena penyakit t. b.c.!"
"Cara apa yang telah ia pergunakan?” Lau Pat meraung penuh kegusaran. "Aku tidak melihatnya!”
Lau Pat semakin berang.
"Masa di dalam empat belas kali lemparan dadunya, kau sama sekali tak tahu dengan sistim apa ia melepaskan dadunya itu!"
“Tampaknya ia seperti tidak menggunakan sistim apapun!"
Padahal dalam hati kecilnya diapun tahu bahwa dalam dunia tiada seorang manusiapun yang memiliki rejeki semujur itu dalam empat belas kali lemparan semuanya menunjukkan angka enam tiga kali.
"Sekalipun ia menggunakan sistim permainan, orang yang ada di sanapun tak dapat melihatnya" kata Hui lotau lebih jauh, "oleh sebab itu akupun tak berani mengusiknya, aku hanya membiarkan ia berdiam dulu untuk sementara disana."
Setelah berhenti sejenak, dengan wajah murung dan kesal katanya kembali:
“Sekarang dalam ruangan sudah tak punya uang lagi untuk membayar taruhannya itu, bukan saja ia sedang menunggu untuk mengambil uang bahkan masih akan berjudi terus: “Pat-ya! Coba lihat apa yang musti kita lakukan sekarang?”
Masakah kau tak tahu apa yang musti kita lakukan sekarang?” Lau Pat tertawa dingin.
"Tapi kalau dilihat dari keberaniannya untuk datang makan kita, sudah pasti ia mempunyai sedikit asal usul yang besar pula."
Lau Pat menjidi sangat gusar, serunya: "Perduli amat ia mempunyai asal usul yang besar atau tidak, pokoknya kau harus melakukannya begitu lebih dulu!"
“Sekalipun kita akan menangkap dia, paling tidak taruhannya musti kita bayar dulu !"
Hal ini memang merupakan peraturan permainan, jika peraturan dirusak maka siapakah yang berani datang bertaruh lagi dilain waktu?
Tentang soal ini Lau Pat bukannya tidak mengerti, sayangnya ia tak punya uang untuk meng-gantinya.
*****
"Kau pergilah untuk menahan dia lebih jauh, aku akan pergi mencari akal . . .
Satu satunya jalan yang dapat ditempuh oleh nya adalah pergi mencari Cia lakkonya, tapi diapun tahu bahwa jalan tersebut belum tentu bisa ditembusi.
Hubungan mereka telah makin menjauh, sejak modal sebesar duapuluh laksa tahil perak yang di tanamkan dalam tempat perjudiannya kena dilalap oleh Heng-in-pa-cu, hubungan mereka sudah sedemikian renggangnya sehingga nyaris tek pernah berhubungan lagi.
Benar juga, jawaban Cia Lak adalah begini: "Yaa, apa boleh buat, belakangan aku sendiripun agak kesulitan uang, malah akupun hendak mencarimu untuk mencari pinjaman."
Oleh karena itulah terpaksa ia harus pergi mencari Oh Po cu (si Pincang Oh).
Terhadap orang yang sudah mati, selamanya ia tak perlu membayar kemenangan dari taruh-annya lagi.
Sekalipun cara tersebut bukan peraturan dari rumah perjudian, tapi hal mana justru merupakan suatu kenyataan yang tak akan menimbulkan perdebatan orang.
Bila seseorang telah berada dalam keadaan tak punya uang, seringkali kenyataan tersebut dipandang jauh lebih dari pada peraturan macam apapun.
Dan terhadap banyak persoalan, diapun akan memandang jauh lebih penting dari peraturan.
Si Pincang Oh bukan cuma kakinya saja yang pincang sekali, bagian tubuh yang lainpun tumbuh kurang begitu sempurna. Ia kurus kecil, berkepala botak, hidungnya agak bengkok dan telinganya kurang sebagian, bukan saja wajahnya tak sedap, dekilnya bukan main, sama sekali tidak bertampang seseorang yang pantas dihormati.
Orang ini hanya mempunyai suatu kebaikan, yaitu kurang begitu suka banyak bicara.
Sewaktu ia datang untuk pertama kalinya, bukan Lau Pat saja yang tak pandang sebelah mata kepadanya, dua orang jago yang diundang Lau Pat dengan bayaran tinggipun lebih lebih tak pandang sebelah matapun kepadanya, bahwa mereka tak sudi untuk bersantap bersama di satu meja.
Dulu, kedua orang itu katanya adalah jago-jago hebat dari wilayah Lau-pak, terutama di kalangan Liok lim. "Ting Kang" dan "To Jiang” yang mereka pergunakan jelas bukan nama mereka yang sesungguhnya.
Ting Kang mempergunakan pedang Siang bun kiam sedang To Jiang menggunakan golok Yan ling to, ilmu silat yang mereka berdua miliki tergolong kepandaian "keras".
Tentu saja mereka tak sudi berada dalam satu pekerjaan dengan si pincang yang jelek dan memuakkan itu, maka bertekadlah kedua orang itu untuk baik-baik memberi pelajaran kepadanya, agar ia tahu keadaan dan mengundurkan diri.
Suatu malam setelah mereka minum beberapa cawan arak, dicarinya si pincang Oh untuk "ber-cakap-cakap" dalam lorong gelap di belakangsana.
Tapi keesokan harinya, Lau Pat menemukan bahwa sikap mereka terhadap si Pincang Oh telah berubah seratus delapan puluh derajat, bukan saja gerak geriknya amat sungkan dan munduk-munduk bahkan lebih mendekati ketakutan setengah mati.
Lau Pat bukan bodoh, tentu saja iapun dapat menerka sebab apa yang membuat sikap mereka berdua berubah menjadi begini rupa.
Maka, sikapnya terbadap si Pincang Oh pun seketika berubah pula seratus delapan puluh derajat.
Tapi si Pincang Oh sendiri sama sekali tak berubah, terserah bagaimana sikap orang lain ke-padanya, seakan-akan dia tak ambil perduli.
Sekalipun kau menempelengnya dua kali, mungkin diapun seakan-akan tak ambil perduli.
Sebulan setelah ia datang ke tempat itu seorang piausu yang telah kalah bertaruh dan mabuk karena arak benar-benar telah menoempelengnya .. . .
Malam itu, Piausu tersebut tahu-tahu sudah "lenyap" tak berbekas. *****
Sebenarnya Lau Pat mengira bahwa si Pincang Oh belum tentu akan bersedia untuk mengurusi persoalan tersebut, karena persoalan semacam ini sudah cukup diselesaikan oleh Ting Kang dan To Jiang.
Sungguh tak disangka si Pincang Oh secara sukarela menyatakan kesanggupannya untuk maju sendiri, sebab dia ingin melihat sepasang tangan yang dapat melemparkan empat belas kali angka enam tiga kali itu.
Bu-ki sedang memperhatikan sepasang tangannya.
Walaupun sepasang tangannya sedikitpun tak berubah, tapi ia tahu tampang wajahnya sekarang pasti telah mengalami banyak perubahan.
Itu terbukti dari tak seorang manusiapun di sana yang mengenali dirinya lagi. Hanya sepuluh bulan lebih sedikit, ternyata seseorang telah mengalami banyak sekali perubahan.
Ia sudah bercermin, alhasil hampir saja ia tidak mengenali akan diri sendiri.
Wajahnya telah berubah menjadi pucat dan berkilat karena sudah amat lama tak pernah tertimpa sinar matahari, sepasang matanya telah cekung ke dalam karena kurang tidur dan penggunaan otak yang berlebihan, bahkan rambutnya pun jauh lebih sedikit dari pada dulu.
Tapi yang aneh, jenggotnya justru tumbuh dengan kelewat cepatnya, bahkan kadangkala dapat menutupi codet di atas wajahnya.
Dia harus berendam diri hampir satu jam lamanya dalam air panas sebelum pada akhirnya bau busuk yang tersiar ke luar dari badannya dapat dilenyapkan.
Tapi ia tahu bahwa selama hidup jangan harap ia dapat pulih kembali seperti dulu.
Ya, barang siapapun manusia di dunia ini, asal ia telah mengalami penghidupan selama tiga ratus hari dalam keadaan seperti itu, pada akhirnya ia pasti akan berubah menjadi seseorang yang lain.
Ia dapat mempertahankan diri lebih jauh lantaran dia masih mempunyai rasa percaya pada diri sendiri, ia percaya dirinya pasti dapat berjalan ke luar dari tempat itu dalam keadaan hidup.
Karena dia tahu, manusia macam mayat hidup itu pasti akan meninggalkan tempat itu untuk minta obat penawar setiap bulan empat. Asal ia dapat meyakinkan manusia mayat itu bahwa ia benar benar sudah "tidak waras", maka dia pasti akan memperoleh kesempatan untuk melarikan diri.
Dalam hal ini tak bisa diragukan lagi ia telah melakukannya dengan sukses. Oleh karena itulah di menang.
Dengan jelas dia tahu bahwa sekalipun berlatih sepuluh tahun lagi, belum tentu ia mempunyai kesempatan untuk mengalahkan mayat hidup itu, ia telah mempertaruhkan kebebasan hidupnya dengan manusia aneh itu.
Karenanya dia harus menang.
*****
Sekarang, secara beruntun dia telah menangkan empat belas kali permainan, ia telah memenangkannya secara memuaskan.
Semua pertaruhan yang sedang berlangsung dalam rumah perjudian itu praktis telah berhenti, tapi tak seorangpun diantara mereka yang mampu pergi meninggalkan tempat itu.
Semua orang sedang menantikan perkembangan selanjutnya dari peristiwa tersebut. Bu-ki pun sedang duduk menanti.
Ia sedikitpun tidak gelisah, bahkan jauh lebih tenang dari pada siapapun juga.
Ketika To Jiang dan Ting kang masuk ke dalam, ia segera tahu bahwa pemain-pemain sandiwara telah datang.
Ketika berjalan masuk ke dalam ruangan, Ting Kang merasakan lambungnya seakan-akan ada gumpalan bara api yang sedang membakar perutnya.
Setiap kali sebelum membunuh orang, dia selalu mempunyai perasaan seperti itu. Dalam sekilas pandangan saja ia telah menemukan Bu-ki.
Rupanya Lau Pat telah melukiskan potongan tubuh orang itu dengan sejelas-jelasnya.
"Kalian harus pergi membunuhnya karena dia mempunyai dendam sakit hati dengan kalian bukan aku yang suruh kalian membunuhnya, tentang soal ini kalian harus mengingatnya baik- baik!"
Tentu saja Ting Kang dapat memahami maksud hati dari Lau Pat. Jikalau kedatangan mereka untuk membunuh orang adalah dikarenakan hendak membalas dendam, itu berarti peristiwa tersebut sama sekah tiada hubungannya dengan rumah perjudian tersebut, maka siapapun tak bisa mengatakan bahwa Lau Pat telah merusak peraturan rumah perjudian.
Orang itu tampaknya tidak begitu keren atau mengerikan, seakan-akan seorang manusia yang sama sekali tak berguna.
Dia hanya berharap bisa menyelesaikan parsoalan ini dengan cepat, agar diapun dapat cepat- cepat pergi mencari perempuan serta menyelesaikan persoalan sendiri.
*****
Jalan pemikiran To Jiang jauh lebih sempurna lagi.
Ia sedang berpikir apakah orang ini masih mempunyai pembantu ataukah mungkin ada orang diantara penonton yang tiba-tiba turut campur di dalam urusan mereka.
Ketika diperhatikan, dalam ruangan itu hanya ada dua orang manusia yang tampaknya agak menyolok.
Orang pertama adalah seorang laki-laki yang bertubuh tinggi, berwajah tampan dan berdandan perlente, walaupun usianya paling tidak sudah mencapai tiga puluh tahun, namun gayanya keren benar, tampaknya bukan saja sangat beruang, keluarganya pasti mempunyai kekuasaan besar.
Untung saja bila seseorang mempunyai asal usul yang besar, biasanya dia paling enggan untuk mencampuri urusan orang lain.
Lagi pula iapun dapat merasakan bahwa orang itu tidak mirip sahabat Bu-ki, maka To Jiang pun tak ingin mencari gara-gara dengannya.
Orang kedua tidak bertampang bagus, sewaktu tidak tertawa dapat pula kita temukan sepasang lesung pipitnya yang dalam, sepasang matanya besar dan lincah, dalam melihat benda apapun, ia selalu menunjukkan sikap seakan-akan ingin tahu.
Andaikata dia benar-benar adalah seorang pria, jelas ia merupakan seorang laki-laki tampan yang jarang ditemukan, cuma sayangaya rada kebanci-bancian.
To Jiang adalah seorang jago kawakan dari dunia persilatan, maka sekilas pandangan saja telah diketahui olehnya bahwa dia adalah seorang perempuan yang menyaru sebagai seorang pria. Pandangannya terhadap kaum wanita, ia selalu mempunyai pendapat yang sama dengan Ting Kang . . . Yang paling menakutkan buat perempuan ada diatas ranjang, bukan diujung kepalan.
Oleh sebab itu ketika dengan sekali lompatan lebar Ting Kang melompat kehadapan Bu-ki, diapun segera menyusulnya, kemudian sambil tertawa dingin serunya:
"Oooh, rupanya kau!"
*****
Bu-ki segera tertawa.
Dua orang ini betul-betul pandai bermain sandiwara, sejak semula ia telah menduga permainan sandiwara macam apakah yang bakal dipertontonkan oleh kedua orang itu.
Dengan wajah membesi Ting Kang berseru: "Sudahlimatahun lamanya kami mencarimu, sungguh beruntung jejakmu berhasil kutemukan pada hari ini, apa lagi yang bisa kau katakan?"
Bu-ki segera tersenyum.
"Kalau begitu kalian datang mencariku, karena ada dendam sakit hati denganku?" katanya. Pertanyaan yang diajukan itu persis seperti ucapan yang hendak mereka utarakan.
Dengan cepat Ting Kang menyahut:
"Tentu saja ada dendam, dendam sakit hati yang lebih dalam dari samudra "
"Oleh karena itu, kalian bertekad hendak membunuhku hari ini?" Bu-ki menyambung lagi. "Yaa, kami akan membunuhmu sampai mampus!"
"Bolehkah aku membalas?" Ting Kang tertawa dingin.
"Asal kau mempunyai kepandaian, mau membunuh kami berduapun juga boleh " katanya.
"Sungguh?"
Ting Kang sudah enggan untuk ribut lagi dengannya, golok Yan leng to yang tersoren di pinggangnya telah diloloskan dari sarung. To Jiang pun telah mencabut pula pedang Siang bun kiam miliknya.
Sesungguhnya dia tidak gemar membunuh orang seperti Ting Kang, tapi persoalan ini memang lebih cepat diselesaikan semakin baik lagi.
Bu-ki kembali berkata:
"Kalian ada yang menggunakan golok, ada pula yang menggunakan pedang, tentunya aku tak akan melayani dengan tangan kosong belaka bukan ?"
Dengan sinar mata yang tajam dia celingukan sekejap sekeliling tempat itu, kemudian serunya lagi:
"Apakah di antara kalian yang hadir ada yang membawa pedang? Bolehkah meminjamkan sebentar kepadaku?"
Tentu saja ada di antara mereka yang membawa pedang, tapi tak seorang manusiapun yang senang terlibat dalam persoalan semacam ini.
"Kaupun pandai menggunakan pedang?" To Jiang bertanya. "Yaa, bisa sedikit-dikit!"
To Jiang segera tertawa dingin.
"Ditanganku ada pedang, asal kau punya kepandaian, kau boleh mengambilnya sendiri!" "Baik!"
Begitu, ucapan tersebut berkumandang keluar, pedang To Jiang telah berputar kencang di tangannya, cahaya pedang yang menyilaukan mata segera memancar ke udara.
Menyusul kemudian Ting Kang dan To Jiang pun roboh terkapar di atas tanah. Ting Kang dan To Jiang sebenarnya bukan manusia yang gampang roboh ke tanah.
Sewaktu berada di wilayah Liau-pak, mereka sudah tersohor sebagai jago-jago aliran "keras", karena mereka benar-benar memiliki serangkaian kepandaian yang mengagumkan.
Tapi sekarang bukan saja mereka sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk menangkis ataupun menghindar, bahkan gerakan apakah yang dipergunakan lawannya tak sempat pula terlihat jelas, tahu-tahu seperti dua batang balok kayu yang dipegang orang, mereka roboh terkapar dengan begitu saja. Dalam waktu singkat itulah mereka berdua sama-sama sudah tertusuk oleh dua buah tusukan menusuk persis di atas bagian tubuh mereka yang membuat kedua orang itu mau tak mau harus roboh ke tanah.
Setelah terkapar di atas tanah, mereka masih tidak percaya kalau peristiwa itu adalah suatu kenyataan.
Bu-ki sendiripun hampir-hampir tidak percaya dengan kenyataan itu.
Sebenarnya dia tidak ingin memperguna-kan pedang, tapi dia benar-benar tak tahan untuk menjajalnya.
Dia ingin mencoba kepandaian ilmu pedangnya.
Terlalu besar yang telah ia bayar untuk mendapatkan kepandaian tersebut, maka dia ingin tahu seberapa besar hasil yang telah diperolehnya itu.
Sekarang ia telah tahu.
Perasaan Lau Pat makin lama semakin tenggelam, ia masih belum tenggelam sama sekali, sebab masih ada sebercik harapan yang dimilikinya.
Satu-satunya harapan yang dimilikinya yakni si Pincang Oh. Tiba-tiba si Pincang Oh berkata:
"Agaknya aku datang ke mari pada tahun berselang bulan tujuh tanggal duapuluh tiga bukan?"
" Yaa, agaknya memang benar!" Lau Pat mengangguk. Pelan-pelan si Pincang Oh berkata lagi:
"Bukankah hari ini adalah bulan empat tanggal dua?" "Benar!"
"Kalau begitu aku sudah berada di sini selama duaratus limapuluh hari tepat!" . "Yaa, memang begitulah!"
"Setiap hari aku bersantap dua kali, nasi berikut arak paling tidak juga bernilai tiga tahil perak". "Tapi aku tak pernah memperhitungkan-nya!" kata Lau Pat.
"Kau tak pernah memperhitungkannya, aku telah menghitung dengan sangat jelas, dari dulu sampai sekarang kau telah memberi delapan laksa tujuh ribu tahil perak, bila ditambah dengan tujuh ratus limapuluh tahil uang nasi berarti semuanya berjumlah delapan laksa tujuh ribu tujuh ratus limapuluh tahil perak"”
Tiba-tiba ia mengambil ke luar setumpuk uang dari sakunya dan diletakkan di hadapan Lau Pat, kemudian katanya kembali:
"Semua uang itu berjumlah sepuluh laksa tahil perak, anggaplah aku telah mengembali- kannya kepadamu, uang pokok berikut bunganya".
Walaupun jumlah itu selangit banyaknya buat rakyat kecil, bagi seorang bandar judi sepuluh laksa tahil perak tidak terhitung sejumlah uang yang besar.
Tentu saja Lau Pat merasa terkejut sekali dengan perbuatannya itu, cepat ia berseru: "Kenapa kau mengembalikan semua uang itu kepadaku?"
"Karena aku takut mati!" Ternyata jawaban dari si Pincang Oh cukup jelas dan gamblang. Setelah memandang sekejap ke arah Bu-ki, dia memberi penjelasan lebih jauh:
"Jika uang itu tidak kukembalikan kepadamu, berarti aku harus membantumu untuk membunuh orang, itu berarti aku harus pergi mengantarkan kematianku sendiri".
"Kau pergi mengantar kematian?" Lau Pat berkata dengan nada tidak habis mengerti.
"Benar, siapapun yang berani maju ke depan, itu berarti dia sedang mengantar kematian sendiri".
Paras muka Lau Pat berubah hebat. Kembali si Pincang Oh berkata lagi:
"Tahun ini aku telah berusialimapuluh tahun, sebenarnya aku mempersiapkan uang yang sepuluh laksa tahil perak itu untuk membeli tanah, mencari bini dan mempunyai beberapa orang anak sambil hidup selama beberapa tahun lagi "
Setelah menghela napas panjang, ia melanjutkan lebih jauh: "Tapi sekarang aku lebih suka mengembalikannya kepadamu, karena aku benar-benar takut mati!"
Lau Pat dapat melihat, bahwa ia bukan sedang berbohong, untung saja uang yang diberikan kepadanyapun bukan uang kertas palsu.
Terhadap seseorang yang sudah hampir jatuh bangkrut, uang yang sepuluh laksa tahil perak itu tentu saja sangat berguna sekali.
Sekali cengkeram Lau Pat telah mencopot uang yang sepuluh laksa tahil perak banyaknya itu, keadaannya ketika itu ibarat seseorang yang hampir mati tenggelam tiba-tiba berhasil
me-nangkap sebatang kayu balok untuk menyelamatkan diri.
Seharusnya uang modal yang berada dalam rumah judi ini masih ada tujuh delapan laksa tahil.
Maka dengan membusungkan dada, ia berjalan kehadapan Bu-ki dengan langkah lebar, katanya dengan suara keras:
"Taruhanmu segera akan kubayar, kemudian kita boleh berjudi lagi ........
*****
Sekali bertaruh, kembali ia kalah.
Ia berusaha untuk melemparkan dadu lebih dulu, dia ingin sekali bisa meraih angka "Pa-cu" yakni tiga enam tiga kali, sayang sekali dadu yang digunakan bukan dadu palsu, maka kembali ia merasa tegang sekali.
Ketika dadunya dilempar maka angka yang berhasil diraihpun dua angka enam dan satu angkalima.
Limatidak terhitung sebuah angka yang kecil.
Tapi ketika Bu-ki melemparkan dadunya dengan begitu saja, segera muncullah enam tiga kali, dadunya tidak palsu, caranya bermainpun tidak palsu.
Tentu saja diapun tak bisa membayar taruhan itu dengan uang palsu pula.
"Kali ini kau harus membayar tiga puluh dua laksa tujuh ribu enam ratus delapan puluh perak” demikian Bu-ki berkata.
Kali ini Lau Pat betul-betul sudah tenggelam, peluh dingin telah mengucur keluar dengan derasnya membasahi sekujur tubuhnya. "Bila kau ingin bertaruh lagi, maka kau musti membayar dulu semua kekalahanmu itu kepadaku!" Bu-ki kembali berkata.
Setelah tertawa ewa ia menambahkan lebih jauh: "Jika kau tidak bertaruh lagi, maka baik atau buruk kaupun musti membayar uang taruhan tersebut kepadaku."