Jilid 02
Menyinggung soal Lian lian, mau tak mau Bu Ki harus mengalihkan kembali pokok pembicaraannya.
“Hari ini apakah si tua sudah minum obat?” ia bertanya.
Masalah tersebut, selamanya merupakan masalah yang paling mereka perhatikan, sebab “si tua” yang dimaksud tak lain adalah ayah mereka.
Sebutan “si tua” sama sekali tidak mengandung maksud kurang hormat, panggilan itu hanya merupakan pertanda bahwa antara ayah dan anak bertiga sebernya mempunyai hubungan yang sangat akrab, hubungan yang luar biasa yang tak akan dipahami siapaun.
Dalam pandangan orang lain, mungkin ayah mereka adalah seorang manusia yang menakutkan, sebagian besar jago persilatan pasti akan merasa kagum, hormat dan bila menyinggung nama Kim Kiong Kiam (Pedang naga emas) Tio kian.
Tapi dalam pandangan kedua orang itu, bukan saja ia adalah ayah mereka yang tercinta, diapun sekaligus merupakan ibu mereka yang tersayang.
Tio hujin sudah lama meninggal dunia, Tio kian lah yang memelihara mereka hingga menjadi dewasa.
Bila musimn dingin telah tiba, bila salju turun dengan derasnya, dia akan bangun dari tidur untuk menyelimuti anak anaknya.
Bila musim semi tiba, dikala angin berhembus sepoi, dia pula yang menemani putra putrinya untuk bermain layang layang dikebun. Demi pendidikan serta memelihara putra putrinya ini, jago yang pernah malang melintang dalam dunia persilatan dengan pedang saktinya, serta pernah membantu sahabat karibnya Im Hui Yang untuk mendirikan Tay hong tong ini banyak mengalami perubahan, terutama dalam perubahan soal tabiat...
Walaupun belakangan ini wataknya berubah menjadi jauh lebih baik, namun tubuhnya justru bertambah lemah, ia berubah menjadi gampang lelah gampang kehabisan tenaga.
Bila urusan penting dalam tubuh Tay hong ton telah diselesaikan sering kali seorang diri ia duduk dalam kamar bacanya, ia tak mampu berkata kata karena kelelahan, bahkan kadangkala sekujur badannya mengejang keras, mengejang penuh derita.
Lambat laun putra putrinya mengetahui penderitaanya itu, mereka yakin kalau ayah mereka telah mengindap suatu penyakit yang sangat aneh.
Walaupun dengan bersusah payah putra putrinya berhasil juga memaksanya untuk memeriksakan diri pada seorang tabib, tapi si tua yang keras kepala seringkali tak mau minum obat.
Seringkali dia berkata begini:
“Hanya anak perempuan yang setiap malam minum obat, apakah kalian sudah menganggap diriku sebagai perempuan?”
Meskipun jalan pikiran seperti ini sama sekali tak benar, tapi asal ia bersikeras mengatakan benar, siapa lagi yang dapat merubah pendapatnya itu?”
Cian cian menghela napas ringan katanya:
“Diam diam, obat jatahnya untuk hari ini telah dibuang ke dalam selokan...”
Mendengar itu Bu ki tertawa getir.
“Aku sungguh tak habis mengerti, kenapa ia selalu saja berbuat seperti anak kecil? Hanya anak kecil yang takut minum obat”
“Konon orang yang telah menginjak usia tua, seringkali wataknya tak berbeda jauh dengan anak kecil”
“Apakah Toa sauya berada disini?”
Baik Bu ki maupun Cian cian segera mengenali suara terxebut sebagai suaranya Lo ciang.
Sudah puluhan tahun Lo ciang berdiam dalam gedung keluarga Tio, sejak sebagai seorang kacung bukunya Tio kian, kini dia sudah menjadi congkoannya perkampungan Ho hong san ceng, semula dia mempunyai sepasang kaki yang kuat, malah juara bermain “Kancu” (Sejenis permainan yang terbuat dari bulu ayam) tapi belakangan ini kakinya terserang rhematik, untuk berjalan saja susah apalagi bermain “kiancu”
Walaupun demikian dalam pandangannya sejak dulu, sekarang maupun nanti Tio kian tetap adalah “Toa sauya nya”. Malah panggilan itu tak pernah berubah.
Cian cian melompat bangun dari tanah, membuka daun jendela dan terlihat Lo cian yang selalu tenang, kini tampak agak gelisah meski napasnya sudah tidak tersengkal lagi.
Tak tahan lagi dia bertanya:
“Hei, apa gerangan yang telah terjadi? Mengapa kau tampak begitu gelisah?”
Sambil mengatur napasnya yang sedikit terengah jawab Lo ciang:
“Sugong toaya telah datang dari kota Po ting dan sekarang sedang menanti di ruang tengah untuk bertemu dengan toa sauya, tapi toa sauya tidak diketahui kemana perginya”
“Sudah kau cari?”
“Aku telah mencarinya kesana kemari, bukan saja toa sauya tidak kutemukan, sangkoan samya pun ikut lenyap tak berbekas”
Mendengar kabar tersebut, Cian cian ikut sedikit gelisah.
Sudah hampir empat puluh tahun lamanya Lo ciang mengikuti ayahnya, boleh dibilang semua tempat semua ruangan yang ada dalam perkampungan Ho hong san ceng dikenal olehnya.
Kalau manusia seperti Lo ciang pun tak dapat menemukan siapa lagi yang bisa menemukan? “Aku bisa menemukannya!” tiba tiba Bu ki menyela.
“Masa kau tahu dia ada dimana?” Lo ciang seperti kurang percaya.
Tio Bu ki tertawa lebar.
“Tempat itu hanya aku seorang yang tahu, biar kucarikan untukmu!” demikan katanya.
Pemuda itu tak ambil perduli apakah dia sedang berganti pakaian pengantin atau tidak, sekali melompat tubuhnya sudah menerjang ke muka.
Memandang bayangan punggungnya, Lo cian hanya bisa gelengkan kepalanya sambil menghela napas.
“Aaaai tabiat siau sauya persis dengna tabiat toa sauya dimasa mudanya dulu!”
Walaupun ia menghela napas, toh sinar matanya adalah sinar mata kagum bercampur girang. Selama hidupnya, toa sauya tak pernah melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, dan sekarang ia mendapat balasan untuk kebaikannya itu.... Bayangkan saja, siapa yang tidak berbahagia menyaksikan putranya tumnbuh menjadi dewasa, mempunyai istri dan melahirkan anak, siapakah di dunia ini yang tak ingin menimang cucu?
Lo cian hanya berharap siau sauyanya bisa cepat cepat menemukan toa sauya, lalu upacara perkawinan dilangsungkan dan sepasang pengantin masuk ke kamar.
Bila ucapan telah selesai, diapun bisa menemui rekan rekannya untuk minum arak sampai puas.
Cian cian kelihatan sedikit tak puas, dengan hati mendongkol ia berseru:
“Aku tidak percaya kalau ditempat ini terdapat suatu tempat yang tidak kuketahui.” “Aaaaiii,,,ada sementara tempat memang tidak seharusnya kita ketahnui..”sela Lo ciang. “Kenapa?”
“Sebab tempat itu pasti merupakan tempat rahasia dimana toa sauya biasanya menyelesaikan urusan perkumpulan, sauya selalu pandai memisahkan antara tugas umum dan kepentingan pribadi, tentu saja tempat rahasia semacam itu tak boleh kita ketahui”
“Lantas, kenapa Bu ki bisa tahu?”
“Siau sauya adalah ahli waris dari toa sauya setelah toa sauya mengundurkan diri lain hari, dialah yang akan meneruskan karier serta perjuangan toa sauya, sebab itu sudah sepantasnya kalau siau sauya ikut mengetahui segala sesuatu.”
“Apa yang dia andalkan sehingga cuma dia seorang yang boleh tahu?” teriak Cian cian tidak puas,
“Masa aku bukan anak kandung ayah?”
“Oooh...Sudah barang tentu kau adalah anak kandung toa sauya! Cuma, bagaimanapun juga kau toh seorang perempuan”
“Kalau perempuan lantas kenapa?”
“Kalau perempuan, maka cepat atau lambat kau bakal kawin, setelah kawin maka kau adalah orangnya keluarga lain”
Apa yang diucapkan memang ucapan yang sejujurnya, ia memang selalu berbicara jujur.
Cian cian ingin mendebat namun tak tahu bagaimana harus mendebatnya, terpaksa ia cuma bisa melotot sekejap kearahnya dengan gemas.
“Aku justru sengaja tak mau kawin, akan kulihat apa yang bisa kau perbuat” teriaknya. Lo ciang tertawa:
“Aku bisa apa? Tentu saja aku tak bisa apa apa” sambil picingkan matanya ia tertawa,
lanjutnya:
“Justru yang kukuatirkan, setelah sampai waktunya, mau tak mau kau harus menerima pinangan orang lain dan menikah”
***** Tay hong tong adalah suatu organisasi yang besar dengan peraturan yang ketat, bukan saja pengaruhnya meliputi seluruh dataran Tionggoan bahkan merembas pula hingga jauh keluar perbatasan.
Keberhasilan Tay hong tong seperti apa yang disaksikan pada saat ini, kecuali disebabkan karena ambisi serta kewibawaan Liang kian hong sintang in (angin sakti menggulung naga) Im Hui yang maha hebat, hal ini disebabkan pula oleh perjuangan tiga serangkai yang berani menantang segala kesulitan yang dihadapinya.
Ketiga serangkai tersxebut tak lain adalah Sugong siau hong, Tio Kian serta Sangkoan Jin.
Merekalah yang memerjuangkan Tay hong tong dengan keringat dan darah, maka sudah wajarnya kalau mereka juga yang menikmati kemenangan serta kemuliaan.
Sejak Im Hui yang, Im Laytacu menutup diri selama lima tahun untuk melatih sejenis ilmu pedang yang tiada taranya di dunia ini, tanggung jawab Tay hong tong serta otomatis terjatuh dipundak mereka bertiga.
Pada hakekatnya mereka adalah saudara sehidup semati, bukan saja menanggulangi bersama semua kesulitan yang dihadapi, emrekapun dapat menikmati bersama semua kebahagian yang berhasil diraih.
Oleh karena itu tak timbul perselisihan diantara mereka untuk saling menggeser dan menjegal untuk memperebutkan kekuasaan serta kedudukan paling tinggi, semua perhatian dan kekuatan mereka hanya ditujukan keluar: Menolong mereka yang lemah dan menantang kaum penindas.
Usia Sugong siau hong paling tua, tapi tabiatnya paling lembut dan ramah, dia tersohor sebagai seorang jago yang berotak “brilian”.
Sepanjang hidupnya ia enggan ribut denganorang, dia pun enggan melakukan perbuatan yang mengakibatkan mengalirnya darah.
Sebab menurut pendapatnya, segala persoalan dapat diselesaikan dengan mengandalkan kecerdasan otak, tak usah menggunakan golok tanpa kekerasanpun urusan bisa diselesaikan sama baiknya.
Karena wataknya ini, banyak orang persilatan yang secara diam diam memberi julukan kepadanya, mereka memanggilnya sebagai Sugong popo, si nenek Sugong! Anak murid perkumpulan Tay hong tong memang menaruh hormat kepadanya, tapi bukan berarti mereka benar benar puas dengna kebijaksanaan pemimpinnya.
Pemuda pemuda yang berdarah panas ini berangggapan bahwa cara kerja pemimpinnya ini terlalu berpura pura.
Mereka menghendaki suatu tindakan yang tegas dan keras, karena dengan begitu kobaran semangat mereka yang menyala nyala baru bisa terlampiaskan keluar.
Sayang apa yang mereka harpkan tinggal harapan, Sugong siau hong sudah mempunyai prinsip dalam perlawannya terhadap Pek lek tong, yakni:
“Bila orang lain tidak mengganggu aku, akupun tak akan mengganggu orang lain. Apabila keadaan tidak terlalu memaksa, mereka tak akan turun tangan secara gegabah!”
Barang siapa diantara murid murid Tay hong tong berani memasuki wilayah kekuasaan Pek lek tong, dia bakal dihukum mati!
Sangkoan Jin adalah seorang manusia emas yang tak pernah mengucapkan sepatah katapun walau menghadapi kejadian seperti apapun juga.
Sekalipun para pengikut setianya yang sudah banyak tahun mengiringi disisinya, belum tentu setahun mendengar suara perkataanya.
Dia selalu bernaggapan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk merahasiakan kepentingan pribadinya, ia tak perkenankan siapapun juga untuk menanyakan masalah pribadinya.
Ruangan tidurnya selalu dijaga dengan ketat, siapapun tak berani mendekati tempat itu secara gegabah.
Seperti juga Tio Kian istrinya sudah lama meninggal, putrinya yang cuma satu satunya itu sudah dikirim ke tempat yang amat jauh.
Sekarang, bukan saja ia tak punya sanak, teman akrabpun cuma satu dua orang.
Keangkuhannya, keanehannya serta kekerasan hatinya sudah diketahui siapapun, pada hakekatnya tak seorangpun yang dapat mendekatinya.
Oleh karena itulah diantara ketiga orang pemipin tersebut, Tio Kian yang paling banyak penggemarnya.
Semasa mudanya Tio Kian tersohor karena kebesaran jiwanya serta sifat kependekarannya yang suka menolong kaum lemah dan menentang kaum penindas. Sekalupun tabiatnya sekarang sudah jauh lebih lembut dan kalem, toh ia masih terhitung seorang jago yang berjiwa terbuka.
Asal kau adalah sahabat karibnya, sekalipun kepala harus dipenggal dan diberikan kepadamu tak nanti dia akan kerutkan dahi.
Manusia seperti inilah merupakan type manusia yang paling dihormati oleh orang muda.
Dan hari ini putra tunggalnya melangsungkan perkawinan, sudah barang tentu semuanya berdatangan untuk ikut minum secawan arak eegirangan.
Malah Im loyacu yang sedang menutup diri dipuncak bukit Cing siu san pun mengutus seorang untuk menyampaikan hadiah khusus.
Semua orang menunggu dengan tak sabar, semua orang ingin cepat cepat menyaksikan pengantin lelaki yang ganteng serta pengantin perempuan yang cantik jelita lagi lembut itu.
Ketika Bu ki mnculkan diri, semua orang mengerumuni dirinya.
Sekalipun ia tak sampai melangkah untuk ke ruang tengah, tapi dikebun belakangpun ada orang dimana mana penuh sesak dengan lautan manusia.
Ketika semua orang menyaksikan pengantin laki laki lari kesana kemari dengan “Baju kebesaran” nya sebelum upacara dimulai, semua orang merasa kaget, heran dan gembira, tak seorangpun yang menaggap perbuatannya itu melanggar adat kesopanan.
Putra Tio Kian memang sudah tersohor karena kebebasannya dari segala ikatan adat, dia adalah seorang pemuda yang berbuat bebas menurut suara hati sendiri.
Dengan susah payah akhirnya Bu ki berhasil juga melepaskan diri dari kepungan orang banyak. Sesudah menebusi hutan bunga tho dikebun belakang, dengan melewati sebuah jalan kecil yang berliku liku akhirnya sampailah dia dalam sebuah halaman kecil ynag penuh ditumbuhi bambu.
Angin berhembus sepoi sepoi menggoyangkan daun bambu, suasana disitu hening dan sepi suara gelak tertawa manusia diruang depan sama sekali tak terdengar disitu.
Dalam halaman kecil itu semuanya terdapat lima buah bilik, tiga buah bilik lebar dan dua bilik tersembunyi, disinilah biasanya pemilik perkampungan Ho hong san ceng membaca buku.
Tentu saja Lo ciang mengetahui tempat ini dan sudah barang tentu telah mencari pula disana. Tapi dia tidak menemukan toa sauyanya, sebab orangnya memang tak ada disana, dari depan sampai belakang ruangan tak seoang manusiapun yang kelihatan.
Walau begitu, Bu ki tidak kecewa, sebab ia tahu ditempat ini masih ada rahasianya. Dan rahasia terxebut hanya dia seorang yang tahu.
Kamar baca Tio Kian yang sebenarnya terletak di ruang paling belakang, sekeliling ruangan
penuh dengan rak buku yang tinggi, barang siapa masuk ke situ ibarat seseorang yang masuk kekota buku.
Tapi disanapun tak ada orang.
Dengan langkah lebar Bu ki masuk ke dalam ruangan, setelah yakin kalau disana tak ada orang bukan saja tidak gelisah malah sebaliknya justru ia merasakan lega hati.
Sebab ia tahu dibelakang rak buku sebelah kiri masih terdapat sebuah ruang rahasia, disitulah ayahnya mengatur segala sesuatu urusan Tay hong tong yang bersifat rahasia.
Ia percaya ayahnya pasti berada disana, bahkan kemungkinan besar sedang merundingkan suatu masalah besar dengna Sangkoan samya.
Ia tak langsung masuk, diambilnya sebuah pemberat kertas yang terbuat dari tembaga dan dketukkan perlahan pada rak nomor tiga dari rak buku tersebut.
Tiga kali sudah dia mengetuk rak tersebut, namun tiada suara jawaban yang kedengaran.
Sekarang hatinya baru gelisah, sekuat tenaga dia mendorong rak buku itu kesamping, lalu badannya menerobos masuk celah celah yang terbuka.
Ayahnya memang berada dalam ruang rahasia itu malah dia mengenakan jubah panjang bersulamkan naga indah, jubah indah yang khusus disiapkan untuk merayakan hari perkawinan putranya, dan huncwe kemala hijau kesayangan masih berada pula dalam genggamannya.
Cuma, ia tergeletak ditanah, tegeletak ditanah tanpa batok kepala!
Bu ki berlutut ditanah, ia tidak meraung raung tidak pula lemlelelhkan air mata. Dalam kelopak matanya tiada air mata, yang ada hanya darah!
Segulung angin berhembus lewat dari luar ruangan dan menyingkapkan kalender diatas meja seakan akan ada tenaga tak berwujud yang membaliknya, secara kebetulan kalender itu menunjukkan, bulan tiga, tanggal dua puluh tujuh, rejeki besar, cocok untuk mengadakan perkawinan. Kim Liong Kiam Khek (jago pedang naga emas) Tio Kian, orang kedua dari Tay-hong tong ternyata kehilangan batok kepalanya secara misterius dihari perkawinan putra kesayangannya.
Sudah barang tentu peristiwa ini menghebohkan segenap dunia persilatan.
Sekalipun tidak kenal atau belum pernah bertemu dengan Tio Kian, paling sedikit mereka pernah mendengar nama besarnya.
Dia punya teman, tentu saja punya musuh. Tapi baik itu temannya atau musuhnya, mereka rata rata merasa kaget bercampur tecengang oleh peristiwa tersebut.
Mereka yang agak mengetahui jelas duduknya peristiwa itu mendadak menjadi pusat perhatian orang, dimana saja mereka berada, semua orang memusatkan perhatiannya kepada mereka, dan orang orang itu hanya ingin mengajukan satu pertanyaan: Siapakah pembunuhnya?
Tak seorangpun dapat menjawab pertanyaan itu, tak seorangpun berani mengadakan penilaian sendiri. Sebab bila ada yang salah berbicara, kemungkinan besar mereka akan kehilangan pula batok kepalanya ditengah malam buta.
Oleh karena itu berbagai reaksi, berbagai pertanyaan berkecamuk dihati setiap orang.
“Benarkah Tio Kian telah mati? Benarkah dia mati lantaran kepalanya dipenggal orang?” “Benar! Memang itulah kejadiannya”
“Kapan peristiwa itu berlangsung?”
“Bulan tiga tanggal dua puluh tujuh, tepat disaat putranya hendak melangsungkan perkawinan”
“Konon hari itu adalah hari baik, paling baik untuk menyelenggarakan usaha apapun?” “Benar hari itu memang hari yang paling baik untuk melakukan pekerjaan apapun” “Untuk mencari menantu sudah tentu harus memilih hari baik, masa membunuh orangpun harus mencari hari baik juga?”
“Hari itu adalah hari baik untuk melakukan pekerjaan apapun, baik menyelenggarakan perkawinan ataupun membunuh orang”
“Makanya si pembunuh itu hingga sekarang belum juga ketahuan”
“Aku rasa bukan pekerjaan yang gampang untuk menemukan pembunuh tersebut” “Tapi sedikit banyak pihak keluarga Tio Kian sudah mempunyai titik terang bukan?” “Agaknya memang begitu”
Maka bermunculanlah berbagai lapisan manusia yang membantu keluarga Tio untuk melacaki jejak pembunuh tersebut.
“Tio Kian terbunuh dimana?” demikian pertanyaan itu berkumandang diantara kumpulan manusia.
“Katanya mati di perkampungan Ho hong san ceng” “Tapi orang hadir diperkampungan Ho hong san ceng waktu itu tentu banyak sekali, kenapa tak seorangpun yang menyaksikan peristiwa pembunuhan tersebut?”
“Sebab dia mati di ruang rahasia”
“Begitu rahasiakah ruang rahasianya itu?”
“Tentu saja rahasia sekali, bahkan aku dengar putrinya sendiri juga tidak tahu” “Lantas siapa yang tahu?”
“Konon kecuali dia sendiri yang pernah masuk ruang rahasia itu, hanya tiga orang yang tahu” “Siapakah ketiga orang itu?”
“Sugong Siau hong, Sangkoan Jin serta putranya”
“Apakah hanya salah satu diantara ketiga orang itu yang ada kemungkinan untuk membnunuhnya?”
“Aku rasa sulit untuk menemukan orang keempat” “Kenapa?”
“Tio Kian bukan manusia sembarangan. Sebelum berusia duapuluh tahun ia sudah mulai mengembara dalam dunia persilatan dengan mengandalkan sebilah pedang”
“Aku juga pernah mendengar, sebelum usia tujuh belas, ia telah membunuh Tiang an hau (Harimau Tiang an) di kota Tiang an”
“Ya, betul!” sambung yang lain,
“Dalam tiga tahun kemudian bahkan ia telah membinasakan juga Kwan tiong jit hiong (tujuh orang gagah dari Kwan tiong) Huang ho su ciau (empat ular sakti dari sungai kuning), malah mengalahkan juga siau tojin serta Tan tiong hiong yang merupakan jago pedang waktu itu.” “Tak aneh kalau namanya amat tersohor sebelum berusia dua puluh tahun” kata jago lain. “Konon sebelum berusia tiga puluh tahun, ia telah membantu Im Hui yang mendirikan Tay hong tong, bayangkan saja, amnusia tangguh semacam ini mana mungkin dipenggal kepalanya secara gampang.
“Aku merasa tidak habis mengerti”
“Seharusnya kau mengerti, orang yang bisa memenggal kepalanya pastilah seseorang yang sangat dikenal olehnya, sebab itu dia tidak bersikap waspada terhadap orang tersebut” 'Wah, kalau betul begitu, ilmu silat yang dimiliki orang itu tentu lihay sekali, dan caranya turun tanganpun sangat cepat”
“Betul, konon pada waktu itu si tabib pertapa dari Hoa san juga hadir disitu, malah dialah yang memeriksa jenasah Tio jiya”
“Apa yang dia katakan?”
“Dia yakin kalau alat senjata yang digunakan untuk membunuh Tio jiya adalah sebilah pedang, bahkan dalam sekali tebasan ia berhasil menguntungi batok kepala Tio jiya.” “Dan kebetulan Sugong Siau hong dan Sangkoan Jin adalah jago jago lihay yang menggunakan pedang”
“Yaa, mereka semua adalah jago silat kelas satu dalam dunia persilatan...!” “Putra Tio jin apakah pemuda yang bernama Tio Bu ki itu?”
“Benar dialah orangnya”
“Sudah barang tentu dia pembunuhnya?” “Tentu saja bukan”
“Kalau begitu, menurut pendapatmu pembunuhnya adalah Sangkoan jin”? Ataukah Sugong Siau hong?” “Aku tidak tahu!” “Coba terkalah!”
“Aku tidak berani menerka”
Perdebatan dan pembicaraan tersebut adalah pembicaraan bebas yang kedengaran dikalaangan umum.
Di tengah malam buta, baik dikaki lima, ditepi jalan maupun dalam warung makan yang memakai merek mentereng, masih kedengaran banyak orang yang membicarakan peristiwa itu.
Konon orang yang paling mecurigakan adalah Sugong Siau hong!” demikian mereka berkata. “Kenapa?”
“Sebab dia adalah orang terakhnir yang tiba diperkampungan Ho hong san ceng, ia baru tiba pada malam bulan tiga tanggal dua puluh tujuh”
“Kenapa dia yang dicurigai?” bantah yang lain.
“Justru orang terakhir yang datang seharusnya malah tak pantas dicurigai”
“Yaaa, kalau cuma begitu memang tak pantas dicurigai, tapi menurut hasil meneylidikan yang kemudian diadakan, katanya pada tanggal dua puluh lima ia sudah meninggal kota Po teng” “Jadi semestinya tanggal dua puluh enam ia sudah sampai di perkampungan Ho hong san ceng?”
“Yaaa, paling lambatpun sore itu harus sudah tiba”
“Lalu sejak sore tanggal dua puluh enam sampai malam tanggal dua puluh tujuh dia telah kemana?”
“Tak seorangpun yang tahu”
“Maka orang lantas menduga bahwa dialah yang paling mencurigakan?” “Begitulah!”
“Tapi aku dengar sejak sore hari tanggal dua puluh tujuh, hanya Sangkoan Jin seorang yang menemani Tio jiya hingga berlangsungnya peristiwa tersebut”
“Karena itu Sangkoan Jin juga seseorang yang patut dicurigai” “Sekarang,dimanakah orang itu?”
“Hingga kini mereka berdua masih tetap tinggal di perkampungan Ho hong san ceng” “Yaaa, betul! Siapa berani berangkat dulu, dialah yang pantas dicurigai sebagai pembunuhnya, tentu saja apapun diantara mereka tak ada yang berani berangkat meninggalkan tempat itu”
“Padahal mereka mau pergi atau tidak juga sama sja” “Kenapa?”
“Karena mereka berdua adalah saudara sehidup semati dari Tio jiya, tiada alasan buat mereka untuk melakukan pembunuhan keji tersebut, bila tidak menemukan bukti bukti yang kuat, siapakah yang berani mencurigai kedua orang itu?”
“Dan sekarang apakah mereka menemukan buktu buktinya?” “Belum”
***** Hari ini sudah tanggal empat bulan empat, peringatan hari ketujuh sejak kematian sudah lewat.
Malam sudah menjelang tiba, suasana sangat hening.
Sejak Tio Bu ki menemukan jenasah ayahnya hingga kini, tujuh hari lewat tanpa terasa.
Selama tujuh hari ini, Bu ki tidak pernah menagis, setitik air matapun tak pernah meleleh keluar membasahi pipinya.
Ia tidak minum, tentu saja tidak pula makan.
Bibir sudah mengering dan rretak retak, bahkan seluruh kulit badannya ikut kering dan pecah pecah.
Matanya cekung kedalam wajahnya yang semula merah segar telah berubah menjadi sepucat kertas.
Bukan begitu saja, badannya sudah kaku dan tak berkutik.
Tampangnya tersebut mengerikan sekali. Semua orang takut kepadanya, bahkan Cian cian juga takut.
Tapi tak seorang manusiapun yang mampu menghibur hatinya.
Pada hakekatnya ia seperti patung, apapun suara pembicaraan manusia ia tidak mendengar, apapun yang berada dihadapannya dia tidak melihat.
Tentu saja yang paling menderita adalah Wi Hong nio, ia menangis sepanjang hari, tapi sekarang air matanya telah mengering.
Selama tujuh hari ini, setiap orang jarang berbicara, setiap orang berusaha mencari mencari
jejak dari pembunuh tersebut.
Tapi mereka gagal untuk menemukannya.
Setiap jengkal tanah dan disekitar perkampungan Ho hong san ceng telah mereka geladah, tapi semua usahanya itu cuma sia sia belaka, mereka tidak berhasil melacaki jejak sang pembunuh tersebut.
Siapapun tak berani mencurigai Sangkoan Jin lebih lebih mecurigai Sugong Siau hong, tapi kecuali kedua orang itu tiada orang lain yang dapat mereka curigai lagi. Seandainya pembumuh itu adalah orang lain maka pembunuh tersebut tentu dapat datang tanpa wjud pergi tanpa bayangan, seakan akan setan iblis yang mengerikan.
Walaupun semua orang jarang berbicara, sedikit banyak mereka toh berbicara juga. Lain halnya dengan Sangkoan Jin boleh dibilang dia sama sekali tidak bersuara.
Iapun tidak memberikan alibinya, ia tidak menerangkan dimanakah dia berada, tak ada seorangpun yang berani minta penjelasan kepadanya.
Akhirnya orang lain baru tahu kalau waktu itu rupanya dia sudah mabok, oleh Cian congkoan, ia dibaringkan dalam kamar tamu.
Kamarnya terletak nomor lima dalam halaman yang terpisah, dia maupun pengikutnya semua berada disana.
Orang yang bertugas mengatur segala kebutuhan mereka adalah Tio Piau.
Tio Piau, bukan saja seorang pembantu tua dari keluarga Tio, dia masih terhitung famili jauhnya Tio jiya.
Tio Piau telah memberikan kesaksiannya pada tanggal dua puluh tujuh bulan tiga, sejak maghrib Sangkoan samya terus tidur didalam kamarnya.
Sekalipun sewaktu sadar dari maboknya, ia tidak menimbulkan suara apa apa, tapi setelah mabok, ia tidur sambil mendengkur, banyak orang mendengar suara dengkurannya itu.
Kebanyakkan orang persilatan beranggapan, keberhasilan Sugong Siau hong untuk mencapai kedudukannya seperti hari ini bukan lantaran ilmu silatnya yang hebat melainkan karena imannya yang tebal.
Tenaga dalamnya maupun ilmu pedang Sip ci hui kiamnya belum sampai mencapai puncak kesempurnaan, tapi soal ketebalan imam, soal kesabaran dan tahan uji dia adalah nomor satu di dunia.
Dia tahu banyak sekali jago Ho hong san ceng yang mencurigai dirinya, sebab pada tanggal dua puluh enam bulan tiga, seharusnya dia sudah harus sampai disana.
Walau begitu, ia sedikitpun tidak menunjukkan perasaan tak tenang, apalagi memberi sanggahan ataupun penerangan. Ia berangkat lebih awal dari tanggal yang sebenarnya, hal ini disebabkan karena persoalan lain.
Tapi soal itu adalah suatu rahasia besar, ia tidak akan membiarkan orang lain tahu.
Selama beberapa hari ini dia masih tetap tenang dan bersikap wajar seperti ini, seseorang harus tetap mempertahankan ketenangannya, dengan demikian urusan jadi tak sampai kalut.
Walau berada dalam keadaan seperti apapun, dia tak akan lupa untuk melakukan apa yang harus dilakukan.
Ia berusaha keras untuk mengaturkan upacara penguburan bagi jenasah Tio Kian, lalu menasehati anak murid Tay hong tong agar selalu bersikap tenang, ia percaya cepat atau lambat duduknya persoalan pasti akan menjadi jelas.
Terlepas dari apa yang dikatakan orang lain, siapapun mengakui bahwa dia memang memiliki daya ketenangan yang luar biasa.
Sebab itu, Tay hong tong selamanya tak bisa kehilangan dia.
Setelah upacara peringatan “hari ketujuh” lewat, sisa anggota Tay hong tong yang masih tertinggalpun telah kembali ke posnya masing masing.
Sekalipun Tio Kian adalah batu tonggak bagi Tay hong tong, namun Tay hong tong tak dapat roboh dan hancur hanya lantaran kehnilangan sebuah tongkat saja.
Yaa, jika pondasinya sudah kuat dan kokoh sekalipun kehilangan sebuah tongkatnya, hal ini tak menyebabkan bangunan menjadi roboh, walau ditiup oleh angin sekencang apapun.
Sugong Siau hong berhasil membuat anak muridnya memahami persoalan ini, dia berharap semua orang dapat merubah kesedihan menjadi kekuatan yang besar.
Yang masih tertinggal dalam ruangan waktu itu kecuali orang orang dari keluarga Tio, hanya sedikit saja orang luar.
Tiba tiba Sangkoan Jin bangkit seraya berkata:
“Ouyang sedang menunggu aku!”
Habis mengucapkan kata kata tersebut, dia berlalu dengan langkah lebar....
Empat kata itu terlampau singkat, kecuali Sugong Siau hong, yang lain boleh dibilang tak ada yang mengerti.
Sekalipun begitu asal satu orang bisa memahami, hal ini sudah lebih dari cukup. Yaaa, memang begitulah watak Sangkoan Jin, kalau dengan empat katapun bisa menjelaskan maksudnya maka tak akan dia gunakan kata kelima.
Ketika melihat Sangkoan Jin pergi, tak tahan lagi Cian cian segera berseru: “Apakah dia akan pergi dengan begitu saja?”
“Yaa, bagaimanapun juga dia harus pergi!” jawab Sugong Siau hong. “Kenapa?”
“Sebab dia sudah mempunyai janji dengan Ouyang untuk berjumpa” “Siapakah Ouyang itu?”
“Dia adalah Ouyang Peng an”
Ouyang Peng an adalah congpiautau dari delapan belas perusahaan ekspedisi di daratan Tionggoan, mereka telah berencana untuk membentuk perserikatan dengan pihak Tay hong tong.
Sudah barang tentu apa yang hendak dirundingkan antara Ouyang Peng an dengan Sangkoan Jin adalah suatu persoan yang amat penting.
Cian cian tidak bertanya lagi. Secara lamat lamat ia sudah mendengar tentang persoalan itu. Tay hong tong memang membutuhkan persekutuan yang tangguh untuk memupuk kekuatan.
Sejak mereka mengetahui kalau Pek lek tong telah mengikat hubungan berbesan dengan keluarga Tong dari sechuan, merekapun berharap bisa memperoleh persekutuan pula.
Senjata rahasia bahan peledak dari Pek lek tong sudah cukup menakutkan siapaun, sekarang bila ditambah pula dengan senjata rahasia dari keluarga Tong yang telah berusia seratus enam puluh tahun, keadaan tersebut ibaratnya harimau tumbuh sayap.
Persoalan inilah yang selalu menjadi ganjalan dihati Sugong Siau hong, ia selalu berharap agar Ouyang Peng an jangan membatalkan rencana semulanya karena peristiwa tersebut.
Suara derap kaki kuda secara lamat lamat kedengaran berkumandang diluar sana, rupanya Sangkoan Jin beserta anak buahnya telah meninggalkan perkampungan Ho hong san ceng.
Ketika suara derap kuda itu makin menjauh, suasana dalam ruang tengah kembali diliputi keheningan.
Bu Ki masih berlutut didepan meja abu ayahnya tanpa bergerak barang sedikitpun, bibirnya yang kering sudah pecah dan berdarah.
Saat itulah Sugon Siau hong berkata:
“Aku rasa semua persoalan disini telah dapat diatasi, satu dua hari lagi aku harus pergi meninggalkan tempat ini.” Tentu saja, cepat atau lambat dia memang harus pergi.
Im Hui Yang masih berada dalam masa pertappan, sedang Tio Kian telah tewas secara tiba tiba, Tay hong tong lebih lebih tak boleh kekurangan dirinya.
Cian cian tundukkan kepalanya, ia seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi niat tersebut akhirnya dibatalkan.
Diapun tak berani bicara sembarangan, dia tahu sepatah kata saja salah berbicara bisa mengkibatkan hancurnya keluarga mereka.
Namun pada hakekatnya dia sedikit merasa takut. Ayahnya telah tewas dan kakaknya berubah menjadi begini, dia merasa bagaimanapun juga perkampungan Ho hong seng harus dipertahankan.
Beban dan tanggung jawab yang amat berat ini tak bisa dibantah lagi terjatuh diatas pudaknya.
Lalu apa yang ia harus lakukan?
Sugong Siau hong memandang sekejap kearahnya, seakan akan dia dapat menebak suara hatinya.
“Aku tahu bahwa kau adalah seorang gadis yang berhati teguh” demikian katanya dengan lembut, justru yang kami kuatirkan adalah dia”
Tentu saja orang yang paling dikuatirkan adalah Bu Ki.
Setiap orang menguatirkan Bu Ki, semua orang berharap dia bisa bangkit berdiri dan membusungkan dadanya.
Tapi siapapun tidak tahu,s ampai kapankah pemuda itu baru bangkit berdiri dan membusungkan dadanya.
Ditengah keheningan yang mencekam ruang tengah, tiba tiba berkumandang suara langkah kaki yang berat dan mantap, tak usah berpalingpun Cian Cian tahu bahwa orang itu adalah Lo Ciang.
Napasnya tersengkal sengkal baru mukanya merah membara, dia lari masuk dengan tergesa gesa, ditangannya membawa sebuah cawan arak.
Apakah dia mabok karena arak? Tidak!.
Dalam cawan arak itu bukan berisi arak, melainkan selapis debu yang tebal. Dengan napas tersengkal teriak Lo Ciang:
“Benda ini kudapatkan dari dalam kamar yang ditempati Sangkoan samya”
Kemudian setelah berhenti sebentar, ia menerangkan lebih lanjut:
“Setelah Sangkoan samya pergi, aku lantas membawa orang untuk membersihkan kamar itu” Yang dimaksudkan melakukan pembersihan tentu saja hanya suatu alasan belaka!
Sangkoan Jin termasuk orang yang dicurigai, cuma selama orangnya masih berada disana, tak seorang manusiapun berani menggeledah kamarnya.
“Apa yang sebenarnya kau temukan itu?” tanya Sugong Siau hong. “Aku justru mohon toaya sudi memeriksanya sendiri”
Dalam cawan arak hanya terdapat separuh cawan bubuk berwarna kuning, bubuk itu seperti tanah lumpur yang baru diambil dari atas tanah.
Cuma anehnya, lumpur kuning itu menyiarkan sejenis bau harum yang aneh sekali.
Dengan sepasang jari tangannya Sugong Siau hong mengambil sedikit bubuk kuning itu, diremas remas dengan jari tangannya, lalu dicium.
Tiba tiba paras mukanya menunjukkan suatu perubahan yang aneh sekali... Lo Ciang kembali berkata:
“Lo Tan yang mengurusi pesta perjamuan adalah seorang ahli dalam penciuman, aku telah
menyuruh dia mencium bubuk tersebut katanya campuran tersebut bukan saja terdiri dari batu gamping tapi terdapat juga wangi wangian dan tanduk naga”
Mau tak mau dia harus mengakui juga atas ketajaman penciuman dari Lo Tan tersebut, diantara tanah liat memang terdapat wangi wangian, tanduk naga dan batu gamping.
“Semua benda ini kudapatkan dari dasar meja yang berada dikamar Sangkoan samya, aku berhasil mendapatkannnya setelah mengorek dengan memakai pisau belati”
Biji matanya seakan akan melompat keluar tanganpun agak gemetar, lanjutnya:
“Bukan ditanah saja terdapat benda itu, diantara celah celah mejapun ada, aku...aku menjadi tak habis mengerti, buat apa Sangkoan samya membutuhkan benda benda seperti itu?”
Bahkan suaranya kedengaran agak gemetar, sebab dia tahu apa gunanya benda benda itu.
Wangi wangian dan tanduk naga adalah bahan pengawet yang mahal harganya, bukan saja dipakai sebagai obat, dapat pula digunakan sebagai pencegah pembusukan. Dan batu gamping adalah bahan umum yang digunakan untuk menjaga keringnya suatu benda, sebab bahan itu anti kelembaban.
Lalu benda apa yang dimiliki Sangkoan Jin dalam kamarnya sehingga ia membutuhkan bahan bahan seperti itu untuk mencegah kelembaban dan pembusukkan?
Dalam peti mati Tio Kian terdapat pula benda benda tersebut, dan ketiga macam bahan itu digunakan untuk menjaga keringnya suasana dan utuhnya mayat tersebut.
Walau begitu, batok kepalanya tak berada didalam peti mati. Lalu ditangan siapakahn batok kepala itu?
Benarkah orang itu membutuhkan juga ketiga macam bahan tersebut guna menyimpan batok kepala yang diperolehnya?
Bila semua persoalan itu disangkut pautkan antara yang satu dengan yang lainnya, maka munculah suatu persoalan yang sangat mengerikan.
Benarkah Sangkoan Jin menyimpan bahan bahan tersebut karena dia membutuhkannya untuk menyimpan batok kepala Tio Kian?
Mungkinkah dialah pembunuh Tio Kian?
Hingga kini belum ada orang yang berani, bahkan berbicarapun tak berani.
Namun paras muka Cian Cian telah berubah mnenjadi pucat pias seperti mayat, sekujur badannya mulai gemetar malah.
Bukan dia saja, bahkan paras muka Sugong Siau hong pun ikut berubah hebat.
Sekuat tenaga ia berusaha memnepertahankan ketenangannya hatinya, dengan suara berat ia bertanya:
“Hari itu, siapakah yang melihat Sangkoan samya tidur didalam kamarnya?” “Tio Pian!”
“Bawa orang itu kemari!”
“Sudah kukirim orang untuk memanggilnya kemari”
Dia sudah mengutus dua belas orang, dua belas orang itu adalah jagoan paling baik dalam gedung keluarga Tio.
Dan sekarang mereka sudah datang menghadap. “Dimanakah Tio Pian?” Lo Ciang segera menegur. “Diluar!” “Suruh dia masuk!”
“Ia sudah tak mampu untuk masuk sendiri!” “Kalau begitu gotong dia kedalam”
Dengan sebuah daun pintu, empat orang menggotong masuk Tio Pian kedalam ruangan, sekalipun Lo Ciang adalah rekan sejawatnya, namun sekarang hampir saja ia tidak kenali kembali orang itu sebagai Tio Pian.
Sekujur badannya sudah berubah hitam dan membengkak, lagi mukanya besar membengkak dan berwarna hitam pula, panca indranya sudah sama sekali berubah.
Sewaktu digotong masuk dia masih terengah, tapi sesudah bertemu dengan Sugong Siau hong,nyawanya segera putus.
“Siapa yang membunuhnnya?” tanya Sugong Siau hong kemudian dengan wajah berubah. “Entahlah, didadanya terkena sebatang senjata rahasia tadi sepertinya tidak mengapa, tak tahunya dalam waktu singkat dia telah berubah menjadi begini rupa!”
Diatas wajah para jagoan yang menggotongnya masuk itu masih tertera jelas rasa ngeri dan takut yang amat tebal.
Walaupun dengan mata kepala sendiri mereka menyaksikan perubahan yang menakutkan itu, toh mereka masih belum mempercayainya.
:Ambil sebilah pisau!” perintah Sugong Siau hong dengan suara berat. Seseorang mencabut pisau belatinya dari balik laras sepatu.
Dengan ujung pisau Siau hong merobek pakaian dibagian dada yang dikenakan Tio Pian, tampaklah sebatang senjata rahasia berbentuk duri yang kecil sekali menancap didada sebelah kirinya, sekalipun sekitar mulut luka tiada darah, namun sudah berubah menjadi hitam dan membusuk lagi.
“Oooh...betapa kejinya snejata rahasia beracun ini!” pekik Lo Ciang sambil menghembuskan napas panjang.
Sugon Siau hong memeriksa sekejap ujung pisaunya, ujung pisau itu cuma terkena sedikit nanah beracun disekitar mulut luka, tapi sekarang pisau tersebut telah berubah menjadi hitam perak.
Paras mukanya berubah makin serius.
Dalam kolong langit dewasa ini, hanya semacam senjata rahasia yang membawa racun keji itu. Cian Cian mengigit bibirnya, darah nampak meleleh dari luka luka bibir, bisiknya agak gemetar:
“Bu...bukankah benda itu adalah duri beracun dari keluarga Tong di Siok tiong?”
Pelan pelan Sugong Siau hong mengangguk. “Benar!” jawabnya sepatah demi sepatah kata.
“Benda ini memang senjata rahasia dari keluarga Tong, duri beracun yang membunuh korban setelah terkena darah!”
Paras muka semua orang berubah hebat.
Semua orang sudah tahu, hubungan antara keluarga Tong di Siok tiong dengan Pek lek tong adalah hubungan berbesan. Dan sekarang, jago lihay dari keluarga Tong telah menyusup kedalam perkampungan Ho hong san ceng.
Peristiwa ini benar benar merupakan suatu peristiwa yang mengerikan!
Salah seorang jago muda yang ikut menggotong Tio Piau itu seperti hendak mengucapkan sesuatu, namun ia tak berani sembarangan berbicara, takut kesalahan.
Sugong Siau hong telah memperhatikan sikapnya itu, dengan cepat dia berseru: “Apa yang hendak kau katakan?”
Jago muda itu sedikit rada sangsi, tapi akhirnya ia berkata juga:
“Ada suatu persoalan, siaujin tak tahu harus dikatakan ataukah tidak...!” “katakan! Apa persoalan itu?”
Jago muda itu kembali tampak seperti sangsi,
Setengah harian kemudian ia baru memberanikan diri untuk berkata:
“Diantara pengiring yang dibawa Sangkoan samya, tampaknya ada seorang memang berasal dari wilayah Suzhuan sana!”
“Darimana kau bisa tahu?” tanya Sugong Siau hong dengan perasaaan agak tergetar. “Sebab siaujin juga berasal dari daerah Suzhuan, siaujin dapat pula dialek Suzhuan sana. Tanpa sengaja kemarin hamba mendengar orang itu sedang berbicara dengan dialek suzhuannya dalam kamar Sangkoan samya...!”
Ia berpkir sebentar, lalu katanya lagi,
“Selain itu orang Suzhuan sangat mengagumi kehebatan Cukat liang, dihari hari biasa mereka gemar mengenakan kain putih sebagai pengikat kepala. Siaujin saksikan sewaktu hendak tidur orang itu selalu mengenakan ikat kepala warna putih dikepalanya. Aku sebetulnya ingin berbicara dengannya memakai dialek Suzhuan, siapa tahu dia bersikeras tidak mengakui kalau dirinya orang Suzhuan bahkan sampai akhirnya hampir saja aku ribut dengan orang itu” “Yaa betul!” Lo Ciang menimbrung pula, diantara pengiring yang dibawa Sangkoan samya kali ini memang terdapat seseorang yang belum pernah kujumpai sebelumnya, sebetulnya aku ingin bertanya sejak kapan menjadi pengikutnya Sangkoan samya, tapi aku pun cukup memahami watak Sangkoan samya, maka pertanyaan tersebut tak berani kuajukan...”
Dan sekarang, tentu saja perkataan atau pertanyaan apapun tak perlu diajukan lagi.
Semua bukti, semua kenyataan yang tertera didepan mereka sudah lebih dari cukup untuk menerangkan siapakah pembunuh yang sebenarnya. Siapakah pembunuh keji yang telah membinasakan Tio Kian.
Rupanya Sangkoan Jin telah menyuap Tio Paiu agar memberikan kesaksian palsu baginya, kemudian memerintahkan pengiringnya yang berasal dari Suzhuan itu untuk membunuh Tio Pian.
Tetapi...bukankah anak murid keluarga Tong dari wilayah Suzhuan selamanya congkak dan tinggi hati, mengapa ia bersedia menjadi pengiringnya Sangkoan Jin?
Itu berarti dibalik kesemuanya itu sebetulnya masih terselip suatu rencana besar yang mengerikan.
“Mungkinkah Sangkoan Jin telah bersekongkol dengan keluarga Tong dan Pek lek tong?” “Apakah tindakannya membunuh Tio Kian, adalah demi untuk membaiki mereka?”
Persoalan persoalan tersebut, bukan saja tak berani diutarakan keluar, bahkan mereka tak berani memikirkannya.
Sugong Siau hong mengepal kencang kencang tangannya, peluh dingin telah membasahi tubuhnya.
Pada saat itulah Tio Bu Ki yang selama ini berlutut terus ditanah, tiba tiba melompat bangun dan menerjang keluar.
Sebenarnya sekujur badan Tio Bu Ki telah kaku, semua persendian tulangnya seakan akan sudah hampir rontok.
Anehnya, perasaannya waktu itu justru jauh lebih tajam dan reaksinya pun semaking sensitif, suara yang bagaimana lirihpun seakan akan merupakan guntur yang membelah bumi.
Dalam pendengarannya, semua pembicaraa orang orang tersebut seperti jeritan keras disisi telinganya.