Golok Naga Kembar Jilid 08

Jilid 08

KETIKA Giok Hong memandang sejenak, barulah diketahui bahwa perempuan muda itu bukan lain daripada isterinya sendiri, Lauw Cay In. Begitu mendengar para penduduk dan suaminya pergi menempur kawanan penyamun, diapun tak mau ketinggalan untuk keluar membantu.

Para penyamun yang semula menganggap Cay In adalah seorang wanita dan ilmu kepandaiannya tentu tak seberapa. Akhirnya meresa terkejut bukan main, ketika menyaksikan bagaimana dengan sepasang pedang itu, Cay In sanggup melawan 6 atau 7 orang laki-laki yang kasar dan kuat sekaligus. Setelah bertempur beberapa jurus lamanya, tidak sedikit diantara para penyamun yang hancur nyalinya dan segera kabur secepat-cepatnya.

Giok Hong yang menyaksikan kegagahan isterinya diam-diam jadi merasa bangga di dalam hatinya. Louw Tek Keng dengan secara terus terang sangat memuji dan memberi selamat kepada sahabatnya yang telah memperoleh seorang isteri yang tak kalah gagahnya, selain berparas elok juga mempunyai kepandaian silat yang tak ada di bawah tingkat jago-jago silat pria yang ia pernah kenal.

Si pemuda she Sun mengucap terima kasih atas pujian Louw Tek Keng yang begitu muluk. Mereka berdua mengajak Lauw Cay In dan orang banyak pulang ke desa Sun- kee-chung dan melihat kawanan berandal itu telah dipukul mundur itu sehingga lari pontang panting ke dalam rimba.

Setelah kabur 50 atau 60 lie jauhnya dari desa Sun-kee-chung, barulah Phang Tek dan kawan-kawannya berhenti di dalam rimba. Mereka bersembunyi sambil merawat orang-orang yang menderita luka-luka sebagai akibat daripada penyerbuan yang gagal itu.

Dalam keadaan begitu, Phang Tek baru mengetahui, selain Ciok Tiauw Beng dan Liok Houw yang terluka dan kena ditawan oleh pihak musuh, ada pula beberapa belas orang antara kawan-kawan mereka yang telah ketinggalan dan tidak diketahui bagaimana nasibnya.

Hal mana, telah mebuat Phang Tek jadi semakin gusar dan penasaran.

"Aku merasa amat tidak senang telah dilukai oleh piauw Sun Giok Hong di bagian punggungku!" gerutu Wan Gu, "maka buat itu aku bersumpah untuk menuntut balas!". "Sudah jelas bahwa pembalasan itu harus kita lakukan" kata Phang Tek, "hanya amat disayangkan bahwa pada petang hari ini kita telah mengalami kegagalan karena tidak mempunyai orang-orang yang berkepandaian cukup tinggi!".

"Kalau begitu, mengapakah kita tidak mengundang seorang yang berkepandaian tinggi untuk membantu kita sekalian?" selak Ong Kui yang merasa tersinggung dan disindir oleh omongan orang she Phang itu.

"Kita boleh kumpulkan sejumlah uang yang cukup besar jumlahnya untuk menyewa orang-orang gagah!".

"Siapakah gerangan orang gagah yang dapat menandingi Sun Giok Hong itu?" Phang Tek bertanya.

"Dialah kepala berandal di gunung Ngo-tay-san yang bernama Han Eng, yang di kalangan Kang-ouw terkenal dengan nama julukan Hui-san-houw atau si harimau terbang" menerangkan Wan Gu. "Oleh karena ia mahir ilmu pedang dan biasa merantau dengan berkuda sendirian di daerah sembilan propinsi, maka iapun digelari orang sebagai Kiu-seng-kiam-khek atau jago pedang dari sembilan propinsi. Ilmu pedangnya sama tingkatannya dengan Tiang-kang-tay-hiap (pendekar agung di sepanjang sungai Tiang-kang) yang bernama Oey Cu Sin. Oleh sebab itu, maka timbullah suatu peribahasa Lam Oey Pak Han atau Oey Cu Sin menjagoi di Selatan dan Han Eng menjagoi di Utara. Nama mereka berdua sangat tersohor di kalangan Kang-ouw, hingga tuan-tuan sekalianpun mungkin pernah mendengarnya".

"Oh, benar, benar!" sahut Phang Tek, "jika Wan Hian-tee tidak menyebut-nyebut namanya, aku hampir lupa dengan Hui-san-houw yang tergolong sebagai seorang ahli pedang kelas satu ini. Tapi sayang, tempat kediamannya kurang jelas, juga belum diketahui apakah ia sudi mendukung maksud kita untuk melakukan pembalasan atas diri Sun

Giok Hong?. Hal ini perlu juga kita selidiki dahulu dengan sebaik-baiknya". "Persoalan ini tak usah dikhawatirkan lagi" kata Wan Gu. "Aku dan Han Eng

mempunyai hubungan sebagai sanak saudara. Isteri kemenakan pamanku yang juga berdiam di desa Han-kee-chung, masih saudara sepupu dengan Hui-san-houw Han Eng. Dengan bantuan isteri kemenakan pamanku itu, bukan saja kita akan dapat mencari tempat kediaman Han Eng, juga aku berani pastikan bahwa Han Eng takkan menampik permintaan kita, asalkan kita sediakan uang yang cukup banyak untuk diberikan kepadanya sebagai tanda jasa".

Phang Tek jadi girang sekali mendengar keterangan Wan Gu.

"Kalau begitu, aku ada suatu sumber untuk kita mencari uang dengan secara mudah" katanya. "Kota Thay-goan dalam propinsi Shoasay terdapat banyak sekali Gin-chung atau bank-bank partikelir kecil dan besar. Dari Shanghai hampir setiap hari ada uang yang diangkut ke kota Thay-goan dengan melalui jalan gunung di daerah Thay-heng-san. Kita sekalian boleh menantikan di sana sambil beristirahat. Jika ada kereta-kereta yang mengangkut uang, kita serang dengan serentak dan rampok semua urang dan apa yang ada".

Semua orang menyatakan mupakat dengan usul Phang Tek itu.

Dengan meninggalkan beberapa belas orang yang terluka dan perlu dirawat terlebih dahulu, Phang Tek telah mengajak duapuluh orang kawannya yang masih segar untuk bersembunyi di suatu tempat yang terpisah 50 lie jauhnya di arah selatan dari pegunungan Thay-heng-san. Di situ terdapat sebuah jalan raya penting yang menghubungkan lalulintas antara propinsi-propinsi Shoasay dan Kangsouw. Tidak berapa jauh dari jalan itu ada sebuah anak bukit yang bernama Beng-houw-kong.

Daerah di sekitar anak bukit itu ditumbuhi oleh pohon-pohon besar yang rindang dan semak-semak yang lebat, hingga kawanan perampok dengan mudah mengintai keluar dari dalam rimba, tapi sukar sekali untuk orang melihat mereka yang bersembunyi di dalamnya.

Dengan berpura-pura mengantuk sambil meletakkan golok Toa-ma-to di pangkuannya, Phang Tek duduk melenggut di bawah sebuah pohon yang berdaun rindang. Keduapuluh kawan-kawannya bersembunyi di dalam rimba di bawah anak bukit Beng-houw-kong sambil menantikan mangsanya.

Tidak berapa lama, dari kejauhan Phang Tek tampak serombongan kereta-kereta yang tediri dari sepuluh buah lebih banyaknya, tengah mendatangi ke arah bawah anak bukit itu. Dengan girang ia memberi isyarat kepada kawan-kawannya sambil berkata, "Disana sudah tampak rombongan kereta-kereta yang sedang mendatangi!. Bersiap-siaplah untuk turun tangan begitu mendengar komandoku!".

Rombongan kereta-kereta pio yang sedang mendatangi itu, ternyata mengibarkan panji-panji yang bertuliskan lima huruf SHOA SAY ENG SIN TONG atau kantor angkutan Eng Sin Tong di Shoasay. Di muka kereta yang pertama tampak seorang pemuda yang menunggang seekor kuda besar dengan membahwa golok Tay-kam-to di tangannya.

Mula-mula Phang Tek sudah hendak mencegatnya sambil memberi komando untuk kawan-kawannya yang berjumlah banyak itu untuk keluar melakukan penyerbuan kilat. Tapi ia jadi kaget waktu melihat di pinggang pio-su muda itu menyoren sepucuk senjata api yang masih baru, maka ia batalkan maksudnya dan tinggal berpura-pura melenggut untuk menantikan saat yang baik untuk merampas senjata api itu dari tangan pemiliknya.

Si pio-su muda yang terlebih dahulu telah mengetahui bahwa Phang Tek sedang berlagak mengantuk, segera menahan tali kekang kudanya sambil tersenyum dan berkata, "Kawan, tak usah engkau berpura-pura mengantuk disini!. Enyahlah engkau dari situ, kalau tidak janganlah engkau mengatakan bahwa peluruku ini terlampau ganas!".

Phang Tek tetap tinggal bersandar pada pohon sambil menundukkan kepalanya.

Walaupun dengan "meram-meram ayam" ia telah melihat jelas segala gerak-geriknya pio-su muda itu.

"Kurang ajar!" pikir si pio-su yang menganggap peringatannya dianggap "sepi" oleh Phang Tek yang ia duga pasti bukan lain daripada seorang kepala berandal.

Segera saja dicabutnya senjata apinya itu, yang larasnya ditujukan ke arah Phang Tek dan menjalankan kudanya menghampiri ke jurusan Phang Tek yang sedang berpura-pura melenggut di bawah pohon.

Ketika ia berada tidak berapa jauh lagi dari si berandal, tiba-tiba dari dalam rimba melesat keluar puluhan anak panah yang ditembakkan dengan serentak ke diri pio-su muda itu. Dengan mengeluarkan jeritan ngeri, ia jatuh dari kudanya dan putus nyawanya seketika itu juga.

Sementara Phang Tek yang tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang terbaik itu, segera melompat bangun dan merampas senjata api pio-su muda itu dan mengancam setiap orang yang berani coba membuat perlawanan. Kemudian ia memberi komando supaya Wan Gu dan kawan-kawan yang lainnya merampas kereta-kereta pio itu, setelah terlebih dahulu mengusir tukang-tukang kereta yang bertugas mengangkut peti-peti uang itu dengan diancam akan dibunuh jika mereka sekalian tidak lekas- lekas meninggalkan tempat itu. Setelah masing-masing mengambil sebagian dari hasil rampokan itu, selebihnya yang berjumlah cukup besar akan mereka serahkan kepada Hui-san-houw Han Eng sebagai "uang jago" untuk membunuh Sun Giok Hong.

"Dengan sejumlah emas dan perak yang kita peroleh dan sediakan untuk Hui-san- houw ini" kata Phang Tek, "niscaya akan tamatlah riwayat hidup si bocah she Sun itu. Tapi kita belum tahu emas dan perak ini harus kita angkut ke mana, agar supaya mudah dipersembahkan kepada Hun-san-houw Han Eng?".

"Emas dan perak ini baiknya kau simpan saja dahulu" kata Wan Gu. "Jika nanti aku kembali dari Han-kee-chung dan telah mengetahui di mana ia berada, barulah kita beramai-ramai mempersembahkan kepadanya".

Orang banyak menyatakan mupakat dengan usul Wan Gu itu. "Kalau begitu, aku serahkan pekerjaan ini ke dalam tangan Wan Hian-tee saja" kata Phang Tek.

Wan Gu berjanji akan melakukan tugas itu dengan sebaik-baiknya dan kembali selekas mungkin. Kemudian ia berangkat ke desa Han-kee-chung hari itu juga.

Berselang dua atau tiga hari kemudian, benar saja Wan Gu telah kembali serta memberitahukan kepada Phang Tek dan kawan-kawannya. Hui-san-houw Han Eng telah menyatakan kesanggupannya untuk menumpas Sun Giok Hong di desa Sun- kee-chung, hingga semua orang jadi girang dan berangkat ke Ngo-tay-san pada keesokan harinya.

Oleh karena Wan Gu telah membuka hubungan antara mereka dan Hui-san-houw dengan menerangkan tentang "syarat-syaratnya" yang terpenting, maka sudah barang tentu hubungan itu menjadi "sangat licin". Kedatangan mereka sekalian telah disambut di muka pintu gerbang desa Han-kee-chung oleh Han Eng dengan senyuman paling lebar yang pernah ditunjukkan seumur hidupnya!.

Hui-san-houw Han Eng mengajak para tamunya berkumpul di kelenteng leluhur dari keluarga Han, dimana diadakan perjamuan untuk mengundang mereka sekalian untuk makan minum sepuas-puasnya.

Hui-san-houw Han Eng yang berusia tigapuluh dan bertubuh katai, tegap, wajahnya keren dan tenaganya kuat, sedang sinar matanya amat jeli dan tajam."

Sambil menyampaikan kata-kata yang bukan-bukan, orang banyak sengaja memanaskan hati si Harimau Terbang, yang katanya dianggap "sepi" oleh Sun Giok Hong, hingga Han Eng mendongkol bukan buatan.

"Kalau nanti aku berhadapan dengan bocah she Sun itu" kata Hui-san-houw, "niscaya akan kuputar lehernya sehingga tulang kepalanya copot dari tubuhnya!".

"Ya benar. Memang demikianlah ia harus dikasih pelajaran" Phang Tek sengaja membesar-besarkan hatinya. "Orang she Sun itu sering membual, ia punya nama julukan Ngo-seng-to-ong atau ahli golok dari lima propinsi utara. Tapi dia lupa, bahwa disamping dia masih ada orang lain yang punya nama julukan jauh lebih tinggi daripada dirinya. Apakah dia mampu menandingi Han Lo-su, yang mempunyai nama julukan Kiu-seng-kiam-khek (ahli pedang dari sembilan propinsi)?. Lima mana bisa menang dengan sembilan?. Tapi toh dia masih berani mengejek dan mencela orang.

Ilmu pedang Han Lo-su dikatakan boleh memungut dari keranjang sampah!. Apakah omongan itu bukan berarti menghina orang lebih dari aturan?".

"Apa betul bocah she Sun itu pernah menghina aku begitu rupa?" tanya Han Eng dengan hati mendongkol.

"Kata-kata ini bukan hanya aku seorang yang dapat mendengarnya" kata Phang Tek pula, "tapi banyak diantara saudara-saudara yang berkumpul di sini ada juga yang pernah mendengar". "Ya, ya, aku membenarkan apa kata Phang Toa-ko itu" kata beberapa orang dengan suara yang hampir berbarengan.

Karuan saja Han Eng jadi amat gusar, lalu mengambil pedangnya dan memberi hormat kepada sekalian tamunya sambil berkata, "Saudara-saudara, untuk menunjukkan sedikit ilmu pedangku yang rendah, dengan demikian engkau semua dapat melihat bahwa aku bukan memperoleh nama julukan Kiu-seng-kiam-khek yang kosong melompong. Kini perlu kiranya aku juga bermain-main untuk menyenangkan hati para saudara-saudara dengan pedangku ini".

Sesudah berkata demikian, Han Eng lalu mempererat angkinnya, menyingsingkan lengan bajunya dan bersilat di tengah ruangan kelenteng Han-sie-tay-tiong-su yang luas itu dengan bergerak bagaikan merak yang membentangkan sayap. Kemudian, dengan gerak-gerik yang hampir tidak kelihatan, ia putar pedangnya bagaikan baling- baling diterjang angin topan, bersuara menderu-deru dengan sinar pedangnya menyamber ke atas, ke bawah, ke kiri dan ke kanan. Begitu ia berseru, "Aku pergi!", dalam waktu sekejapan mata saja ia telah mencelat ke atas genteng. Kemudian dari sana ia berlompat sambil menukik dan kembali ke ruangan sembahyang bagaikan burung walet yang pulang ke dalam sarangnya, hingga Phang Tek dan kawan-kawan jadi bertepuk tangan riuh sebagai tanda amat kagum akan kepandaian permainan pedang Han Eng yang sangat lihay itu.

"Orang she Sun itu kerap membual bahwa dia Thian-he-tee-it atau paling jago di kolong langit" kata Phang Tek, "itu mungkin hanya ditujukan terhadap orang-orang penakut saja. Kali ini jika ia bertempur dengan Han Lo-su, niscaya ia akan 'kena batunya'. Dia pasti akan mewek bertempur dengan Kiu-seng-kiam-khek!. Ha, ha, ha!".

Han Eng jadi sangat bangga dan menganggap bahwa Phang Tek dan kawan-kawan baru pernah menyaksikan permainan pedang sehebat apa yang barusan dipertunjukkannya itu.

"Apakah kepandaianku ini kiranya cukup untuk meladeni bertanding bocah she Sun itu?" tanyanya bangga.

"Jangankan seluruh kepandaian Han Lo-su, jika ia mampu meladeni separuh saja dari itu. Aku boleh namakan dia pendekar agung It-ho-it atau nomor wahid dari yang nomor wahid!" ucap Wan Gu yang dalam keadaan separuh mabuk.

Hingga hari larut malam, barulah perjamuan itu ditutup dan para tamu dipersilahkan masuk beristirahat ke kamar masing-masing, yang memang telah disediakan oleh Han Eng pada beberapa hari di muka sebelum kedatangan mereka.

Begitulah, setelah menyimpan emas dan perak "hadiah" Phang Tek dan kawan- kawan, Han Eng segera bersiap-siap untuk berangkat ke desa Sun-kee-chung untuk "menjumpai" Sun Giok Hong di sana.

Dari desa Han-kee-chung mereka mengajak Han Eng ke desa Phang-kee-chung, dimana mereka beristirahat dua hari lamanya. Dengan membekal senjata, mereka berangkat ke Sun-kee-chung pada hari yang ketiga. Di perbatasan propinsi Ho-pak, karena hari sudah menjelang malam, maka terpaksa mereka menginap dalam sebuah rumah penginapan di desa Yo-bwee-kie, yang letaknya hanya terpisah 20 lie lebih jauhnya dari desa kelahiran Sun Giok Hong yang dituju itu.

Pada petang hari, hawa udara justru agak panas. Sambil duduk makan dan minum dengan asiknya, Phang Tek dan kawan-kawannya melayani Hui-san-houw Han Eng mengobrol dan terus memanaskan hatinya dengan cara yang licik, dengan harapan napsu amarahnya kepada Sun Giok Hong semakin menjadi-jadi. Tidaklah heran jika Han Eng yang kurang berakal jadi sangat gusar dan menggebrak meja di hadapannya sehingga roboh dan sesumbar, "Jika aku kalah dengan bocah she Sun itu, aku rela membuang nama julukanku, meninggalkan rumah tanggaku sendiri dan mencukur rambutkan dan menjadi hweeshio!".

Tapi apa mau dikata, suara Hui-san-houw yang begitu nyaring dan dapat didengar dengan jelas oleh setiap orang, telah menarik perhatian orang-orang yang berkumpul di luar kedai dalam rumah penginapan itu, tanpa mereka sekalian sadar. Banyak di antara orang-orang yang berada di situ adalah murid-murid Sun Giok Hong. Setelah mengetahui bahwa kawanan perampok itu hendak menyerbu ke tempat kediaman guru mereka, orang-orang itu segera melaporkan kejadian tersebut kepada Sun Giok Hong selekas mungkin. Giok Hong segera bersiap-siap mengatur penjagaan dengan dibantu oleh isterinya, Louw Tek Keng, Sun Giok Tien dan yang lain-lainnya.

"Dalam penyerangan yang pertama, kebanyakan dari mereka telah berhasil meloloskan diri" kata Sun Giok Hong sambil tertawa, "tapi kali ini kita tak boleh lagi mengampuni mereka, lagipula untuk menghindari bahaya yang mungkin mereka timbulkan dimasa-masa yang akan datang".

"Di antara keduapuluh orang penyamun itu" kata Louw Tek Keng, "kabarnya ada seorang yang bersenjatakan sepucuk pistol model yang terbaru dan sangat berbahaya. Saudara Giok Hong harus lebih waspada dan berhati-hati menghadapi orang itu dalam pertempuran nanti".

"Orang yang bersenjatakan pistol itu hanya Hui-san-houw seorang" kata Sun Giok Hong, "maka disamping dia, tak usahlah kita merasa khawatir apa-apa. Aku akan turun tangan sendiri untuk meladeni dia".

Selanjutnya, untuk mengetahui terlebih dahulu tentang kedatangan kawanan perampok itu. Giok Hong telah memerintahkan orang melepaskan beberapa belas ekor anjing galak di luar pagar tembok desa Sun-kee-chung. Kalau kemudian terdengar anjing-anjing itu menyalak, orang-orang seluruh desa dapat segera bersiap-siap untuk menyambut kedatangan musuh. Dengan demikian, mereka tak usah bersusah payah keluar meronda sendiri di sekitar desa itu.

Pada keesokan harinya di waktu tengah hari, beberapa keluarga Sun telah melaporkan kepada Giok Hong, bahwa ada seorang laki-laki yang bertubuh gemuk katai datang menantang Sun Chit-ya berkelahi satu lawan satu di luar desa Sun-kee- chung. Orang itu mengaku bernama Hui-san-houw dari Ngo-tay-san.

Tatkala Giok Hong menanyakan ada berapa orang yang turut dengannya, sanak saudara Giok Hong menjawab, "Hanya Hui-san-houw seorang diri".

"Orang telah memberitahukan kepadaku" kata Sun Giok Hong, "bahwa Hui-san- houw datang kemari dengan mengajak 20 orang lebih kawan-kawannya. Maka kalau ia datang hanya seorang diri saja, kawan-kawannya pasti bersembunyi di tempat- tempat yang berdekatan untuk membokong selagi kita berlaku lengah".

Begitulah, setelah memerintah Giok Tien supaya memberi komando untuk seluruh penduduk desa yang paham ilmu silat melakukan penjagaan di sekitar desa Sun-kee- chung, Giok Hong sendiri dengan diiring oleh isterinya, Louw Tek Keng dan beberapa orang sanak saudaranya keluar dari dalam desa untuk memenuhi tantangan Hui-san- houw itu.

Sun Giok Hong yang terlebih dahulu telah mendapat kabar bahwa Hui-san-houw Han Eng membawa juga senjata api modern, selalu berlaku waspada dan lebih banyak menaruh perhatian terhadap senjata asing tersebut.

Agar jangan dikatakan bahwa ia hendak mengeroyok musuh yang datang menantangnya bertempur satu lawan satu, maka Giok Hong telah minta isterinya, Louw Tek Keng dan yang lain-lainnya untuk pergi bersembunyi dan memperhatikan pertempuran itu dari kejauhan saja, sedang ia sendiri menghampiri Han Eng.

Setelah saling berhadapan, Hui-san-houw Han Eng telali mendahului menegur dengan suara bengis, "Apakah engkau yang bernama julukan Ngo-seng-to-ong Sun Giok Hong?" katanya dengan matanya yang menyala-nyala.

"Aku yang rendah memang kebetulan bernama Sun Giok Hong" sahut Giok Hong tenang.

"Apakah benar engkau telah mengatakan bahwa ilmu silat yang kupunyai berasal dari tong sampah!" bentak Hui-san-houw dengan gusar.

"Sepanjang ingatanku, belum pernah aku membuat atau menghina siapapun juga" jawab Giok Hong. Lalu ia menambahkan dengan berkata, "Tapi, janganlah engkau menganggap dengan jawaban ini aku hendak mengelakkan tantanganmu sehingga engkau jadi tidak puas nanti!".

Mata Han Eng jadi membelalak karena sangat gusar mendengar omongan Giok Hong yang "manis-manis pahit" itu. Dengan suatu gerakan yang hampir tidak kelihatan, ia telah menyerang dengan pedangnya dalam siasat Pan-ken-ciok-kiat atau mencabut arah dan membacok cabang. Pedangnya ganas sekali menusuk ke arah ulu hati si orang she Sun, yang jadi terperanjat sekali dengan serangan tiba-tiba itu. Giok Hong pernah mendengar bahwa Hui-san-houw Han Eng yang bernama julukan Kiu- seng-kiam-khek, pasti ilmu pedangnya tidak mengecewakan dan tak boleh dibuat gegabah. Sembari mencabut goloknya sendiri, ia telah menjejaknk kedua kakinya dengan siasat Tui-hong-hoa-tian atau mengejar angin memburu kilat. Tubuhnya segera mencelat tinggi di udara lalu turun dengan gaya yang manis sekali sambil mencekal Golok Naga Kembar di tangannya.

"Ilmu meringankan tubuh yang bagus sekali!" Hui-san-houw tanpa dapat ditahan telah mengucapkan kata-kata pujian itu. Ia tak mundur ketika untuk lawannya menyerang, segera ia menerjang lagi dengan siasat Hong-pai-yo-cit atau angin meniup patah cabang pohon, pedangnya menyabet batang leher Giok Hong dahsyat sekali.

Giok Hong lekas-lekas menangkis dengan belakang goloknya, lalu dengan siasat Pa-ong-keng-ciu atau Raja Co Pa Ong menyuguhkan arak, ia menusuk tenggorokan

Hui-san-houw. Si berandal harus mundur menghindari serangan itu, lalu pertempuran hebat lantas terjadi antara kedua jago silat itu.

Setelah pertempuran berlangsung selama sepuluh jurus lebih dan masih juga tak ada yang kalah, si berandal yang merasa khawatir tidak dapat mengalahkan musuhnya, sekonyong-konyong memekik keras dan menyerang berturut-turut dengan tiga tusukan maut. Ketiga tusukan itu mengarah ke bagian lawan yang terlemah, ulu hati, tenggorokan dan perut, yang dilancarkan dengan nekad sekali, tapi serangannya itu dapat dielakkan dengan baik sekali oleh Giok Hong.

Pada suatu ketika Hui-san-houw menyerang dengan siasat Kong-ciok-kai-peng atau burung merak membentangkan kedua sayapnya, pedangnya disabetkan ke tubuh Giok Hong ganas bukan main. Bersamaan dengan itu, terdengarlah suara berkontrangan dari kedua senjata yang saling beradu itu, lelalu api segera tampak muncrat kian kemari. Tubuh kedua orang itu tampak tergetar seluruhnya karena dengan sekuat tenaga mereka tengah mempertahankan keseimbangan diri masing- masing.

"Ah!" seru Han Eng dengan hati terkesiap, ketika melihat pedang mustika miliknya putus menjadi dua potong kena ditabas Golok Naga Kembar. Giok Hong segera masukkan goloknya ke dalam serangka, lalu tangannya merogo tiga batang piauw. Setelah itu ia bersiap sedia untuk menyerang Hui-san-houw, kalau-kalau dia ini menggunakan pistolnya.

Tepat sebagaimana dugaan Giok Hong semula, Hui-san-houw sudah berniat mencabut senjata api itu dari pinggangnya. Tapi, cepat bagaikan menyambernya sinar kilat, Giok Hong telah berhasil dapat mendahului menyambit dengan piauwnya ke arah tangan Hui-san-houw yang baru saja mencabut senjata api tersebut. Pistol itu jatuh ke tanah dan tampak tangan yang semula menyekal pistol itu terluka dan mengeluarkan banyak darah.

Hui-san-houw tidak mau menyerah mentah-mentah, lekas-lekas ia berjongkok untuk memaksakan diri memungut pistol itu. Tapi, piauw yang kedua telah menyamber dan nancap pada lengannya, hingga lengannya kembali tampak berlumuran darah. Hui-san-houw lekas bangun berdiri tatkala melihat Giok Hong telah berada di hadapannya, tanpa ia sendiri mengetahui bagaimana caranya Giok Hong dapat bergerak sedemikian cepatnya.

Dengan menggunakan salah satu serangan dari ilmu Eng-jiauw-kun, Giok Hong telah menerjang musuhnya dari tiga jurusan, atas, tengah dan bawah sekaligus. Begitupun kedua kakinya tidak dilupakan untuk dipergunakan dengan sehebat- hebatnya, menendang, menyapu atau menggaet kaki musuh dengan gerakan secepat kilat.

Hui-san-eng Han Eng terpaksa menangkis serangan-serangan Giok Hong dengan tangan kirinya, berhubung tangan kanannya telah dua kali dilukai oleh piauw-piauw si pemuda she Sun sehingga tangan itu basah dengan darah yang mengucur tidak henti- hentinya. Melihat demikian, Giok Hong terpaksa harus menyimpan sebuah piauwnya yang belum dipergunakan.

Ketika pertempuran berlangsung beberapa jurus lamanya, Hui-san-houw yang merasa tidak sanggup lagi melawan Giok Hong dengan hanya mempergunakan sebelah tangannya saja. Lekas-lekas Han Eng lompat mundur sambil mengelakkan jotosan yang meluncur ke arah dadanya. Tapi Giok Hong mendesak terus dengan amat dahsyatnya, sehingga akhirnya si Harimau Terbang kena juga ditendang punggungnya sehingga jatuh meringkuk di atas tanah dan tidak ingat orang lagi.

Tatkala Louw Tek Keng dan yang lainnya keluar dari tempat persembunyian mereka, Sun Giok Hong yang terlebih dahulu telah memungut senjata api yang jatuh di tanah itu, lalu minta supaya Tek Keng mengambil air untuk menyiram Hui-san- houw sehingga siuman. Dengan suara tenang ia berkata, "Hui-san-houw, mengingat bahwa kita tak pernah bermusuhan satu sama lain, maka aku tak mau menurunkan tangan jahat untuk membinasakan jiwamu. Mengapakah tanpa angin atau hujan engkau telah memusuhi aku?".

Hui-san-houw Han Eng tinggal membisu saja, tidak menyahut barang sepatah katapun.

"Apakah barangkali engkau disuap oleh para berandal dari gunung Thay-heng-san untuk mencelakai diriku?. Segeralah engkau jawab, agar aku ketahui duduk persoalannya".

Tapi Han Eng masih saja tinggal membisu, hingga Sun Giok Hong jadi gusar dan membentak, "Hui-san-houw, ternyata engkau tidak mengindahkan persahabatan di kalangan Kang-ouw, sehingga tampaknya lebih kemaruk pada harta daripada persaudaraan. Kalau dugaanku itu benar, niscaya pada suatu hari engkau akan mencelakai diriku dengan secara membokong. Karenanya, lebih baik aku mendahului turun tangan untuk mencelakai dirimu daripada membiarkan diriku dilukai olehmu di kemudian hari!". Sesudah berkata demikian, dengan tidak segan-segan lagi Sun Giok Hong segera ayun sebelah kakinya ke arah tubuh Hui-san-houw Han Eng dengan sehebat- hebatnya. Han Eng coba mengelakkan tendangan itu, tapi ternyata ia berlaku kurang sebat berhubung barusan ia telah tertendang punggungnya dan rasa sakitnya belum lagi lenyap.

Maka dengan memperdengarkan satu jeritan ngeri, tubuh si Harimau Terbang mencelat sampai 20 kaki lebih tingginya sambil muntah-muntahkan darah dan patah dua tulang iganya, jatuh keluar pagar tembok bagaikan pohon yang tumbang diterjang angin topan. Han Eng meringkuk dalam keadaan pingsan untuk kedua kalinya, hingga biarpun ia kelak dapat disembuhkan dari luka-lukanya, pasti ia akan menjadi seorang cacad yang tak mungkin mampu menuntut balas atau bersilat pula dengan sama lihaynya seperti pada sebelum ia menderita luka-luka itu.

Sementara Phang Tek dan kawan-kawan yang semula menganggap si orang she Sun akan tamat riwayat hidupnya pada hari itu juga, diam-diam" jadi heran juga tidak mendengar suara ledakan pistol yang telah diserahkannya kepada Hui-san-houw itu. Setelah mereka baru hendak menyelidiki lebih jauh hal apa yang telah terjadi di muka desa tempat kediaman Sun Giok Hong, tiba-tiba dari antara semak-semak mereka menyaksikan rubuh Hui-san-houw mencelat ke udara dan kemudian jatuh menukik di sisi pagar tembok desa Sun-kee-chung. Phang Tek sekalian jadi terkejut dan mengerti, bahwa Hui-san-houw telah kena dilukai oleh si orang she Sun, hingga mereka pikir lebih baik kabur daripada mereka dilabrak untuk kedua kalinya oleh orang-orang dari desa Sun-kee-chung.

Sebelum mereka keburu berbuat begitu, Sun Giok Hong dan kawan-kawan telah keluar mengepung mereka dari segala jurusan hingga kawanan berandal itu jadi lari pontang pancing bagaikan binatang-binatang buruan yang memberi jalan untuk kabur dari dalam hutan.

Adik Sun Giok Hong yang bernama Sun Boan yang telah diberikan senjata api untuk menjaga diri, dengan segera mempergunakan senjata tersebut dan menembak tiga kali ke arah Phang Tek dan Wan Gu. Dua peluru telah berhasil melukai musuh, yakni Phang Tek telah kena tertembak pada bagian belakang otaknya, sedang Wan Gu terluka pada bagian punggungnya. Sedang peluru yang satunya lagi meleset entah ke mana.

Setelah itu, Sun Boan telah menembakkan pula pistol itu hingga tiga kali, dengan mana ia telah dapat merobohkan pula tiga orang berandal yang hendak kabur itu.

Dengan demikian, diantara 20 orang kawanan berandal itu, ada 9 orang yang telah dilukai dan ditawan oleh kawan-kawan Sun Giok Hong, yang kemudian menyerahkan mereka semua kepada pihak yang berwajib. Tapi Hui-san-houw, Phang Tek dan Wan Gu yang menderita luka-luka parah, telah menghembuskan napas yang penghabisan sebelum sampai di kantor pembesar yang dituju.

Demikianlah riwayat penyerbuan Phang Tek dan kawan-kawan yang telah gagal, sebelum berhasil dapat membalas dendam kepada Sun Giok Hong yang menjadi musuh besar mereka.

Setelah berdiam kira-kira 3 bulan lamanya di desa Sun-kee-chung, barulah Giok Hong mengajak isteri dan para pelayannya kembali ke Shanghai melalui propinsi Shoatang, untuk melanjutkan tugasnya sebagai guru silat dalam gedung perkumpulan Ceng Bu Hwee.

Sesampainya di Shanghai, Giok Hong mendapat kabar bahwa Ho Su-ya Ho Goan Ka tengah menderita sakit, hingga tanpa beristirahat pula ia langsung datang menjenguk ke tempat kediaman pendiri rumah perguruan silat Ceng Bu Hwee itu untuk menanyakan kesehatan dirinya. Ketika itu Ho Goan Ka tengah berbaring di atas ranjang sambil memejamkan matanya, tatkala salah seorang pelayan melaporkan tentang kedatangan Sun Giok Hong. Ho Goan Ka perlahan-lahan membuka matanya sambil berkata dengan suara perlahan, "Silahkan Sun Chit-ya masuk".

Tidak beberapa lama kemudian Sun Giok Hong masuk ke kamar Ho Goan Ka dengan diantar oleh si pelayan tadi.

Giok Hong mendapati wajah Ho Goan Ka sangat pucat dan napasnya pun terengah- engah.

"Sun Hian-tee" kata Ho Su-ya, "engkau adalah salah seorang sahabatku yang cukup mengetahui segala riwayat hidupku, cara bagaimana aku telah berjuang untuk kebaikan kita bangsa Tionghoa, yang diejek orang asing sebagai Orang-orang Sakit dari Timur. Maka untuk menunjukkan kepada mereka bahwa kita bukan bangsa yang begitu lemah sebagaimana mereka duga, aku segera berichtiar mendirikan perkumpulan Ceng Bu Hwee untuk memberikan kesampatan kepada bangsa kita menghidupkan kembali ilmu silat yang menjadi warisan daripada leluhur kita, walaupun ilmu silat di negeri kita tidak bersumber dari satu cabang saja. Maksudku yang pertama-tama, adalah hendak menggabungkan semua cabang perguruan silat di seluruh Tiongkok dalam perguruan silat Ceng Bu Hwee kita ini. Supaya semua kepandaian silat dari pelbagai golongan tidak musnah karena tidak ada penganutnya atau kalaupun ada, hanya dianut oleh orang-orang dari golongan sendiri saja yang jumlahnya kian lama tentu akan menjadi kian berkurang hingga akhirnya ilmu silat itu musnah dengan sendirinya dari kalangan persilatan di kemudian hari".

Giok Hong manggut-manggu sebagai tanda mupakat dengan omongan Ho Su-ya itu.

"Tapi bangsa asing yang melihat gerakan kita ini" Ho Goan Ka melanjutkan bicaranya, "tampaknya jadi jerih dan lalu timbul aksi untuk memusnahkan dan merongrong kita dengan segala daya keji dan busuk yang mereka dapat pikirkan. Sebagai contoh yang pernah aku alami selama perguruan Ceng Bu Hwee didirikan, ada saja orang luar yang iseng hendak menjajal kepandaianku, antara lain aku pern.ili merobohkan orang kuat Rusia dan beberapa orang jago Judo Jepang Engkau sendiripun tentu telah mengetahuinya".

"Benar, benar" sahut Sun Giok Hong, "terutama jago Judo Ito dan kawan- kawannya".

"Peristiwa tersebut telah lampau dan hampir tidak kuingat lagi dalam pikiranku" kata Ho Goan Ka pula, "ketika pada 10 hari yang lampau aku lewat di Un-co-pin di Lam-sie, suatu pembokongan telah terjadi atas diriku. Tatkala itu, hari telah menjelang senja dan justru hujan turun rintik-rintik hingga di jalan tidak tampak terlampau banyak orang yang lalu lintas. Tidak kunyana bahwa disaat itu ada serombongan orang yang turun dari kereta dan sekonyong-konyong mengeroyok diriku dengan tidak banyak bicara pula. Hal mana, sudah barang tentu sangat mengejutkan sekali hatiku, lebih-lebih karena aku tidak membawa barang sepotong besipun di dalam tanganku".

"Aku dikeroyok pihak lawan yang terdiri dari beberapa belas orang banyaknya dengan mempergunakan besi potongan dan pentungan, hingga aku sibuk juga meladeni mereka. Meski 8 atau 9 orang yang menyerbu pertama telah dapat kuusir dengan tinju, tendangan atau kubanting sehingga ada beberapa orang yang patah kaki dan tangan serta tewas seketika itu juga. Biarpun demikian, aku sendiri tidak luput dari luka-luka karena terpukul besi potongan dan pentungan.

Kesudahannya, mereka kabur dengan membawa pergi beberapa orang mayat kawan mereka, sedang aku sendiri muntah-muntah darah akibat darpada pukulan-pukulan musuh itu. Aku telah berobat kepada dokter yang terkenal di kota Shanghai ini, tapi hasilnya ternyata nihil belaka. Aku hanya merasa sangat menyesal, bahwa aku menderita kecelakaan ini karena serangan gelap yang telah dilakukan oleh pihak musuh. Kalau tidak, aku takkan begitu penasaran seperti apa yang pernah kualami seumur hidupku ini".

"Apakah penyerang-penyerang itu adalah bangsa asing?" kata Sun Giok Hong dengan perasaan hati mengkelap.

"Benar" sahut Ho Goan Ka. "Karena biarpun hari sudah agak gelap, tapi aku masih dapat mengenali mereka semua. Mereka adalah bangsa Jepang dan beberapa orang buaya darat Tionghoa dan Korea yang menjadi kaki tangan mereka. Mula-mula aku tidak mengetahui, tapi setelah coba menyelidiki, barulah aku ketahui bahwa mereka semua kebanyakan mahir Judo dan Jiu Jit Su ".

"Apakah Ho Lo-su ketahui juga siapa nama mereka sekalian?" tanya Sun Giok Hong dengan sangat bernapsu.

"Waktu aku masih berdiam di Thian-cin" kata Ho Goan Ka, "aku pernah merobohkan seorang ahli Judo Jepang yang bernama Kawai Saburo. Sikap bangsa Jepang yang semula amat sombong dan tidak mengindahkan perikesopanan, semenjak itu telah kuncup dan tidak berani 'main kayu' atau menganggap orang 'sepi' lagi. Aku tidak tahu siapa nama-nama orang yang telah membokongku itu, tapi sudah pasti bahwa peristiwa ini ada sangkut pautnya dengan jago Judo Jepang Kawai Saburo yang telah kurobohkan itu. Namun yang aku ketahui, bahwa kawanan gelandangan Jepang itu adalah orang-orang yang baru datang ke sini dari Mishima".

Giok Hong gusar bukan buatan dan berjanji di hadapan Ho Goan Ka untuk menuntut balas kepada para penyerang gelap yang curang itu. Maka sekeluarnya dari rumah Ho Goan Ka, Sun Giok Hong lalu pergi keluyuran keluar dengan berkuda.

Ketika hampir sampai di Pek-touw-kio di konsesi Jepang, tiba-tiba dari tepi jalan ada seorang yang menghampiri dan menarik bajunya sambil bertanya, "Apakah Giok Hong Heng hendak masuk ke konsesi Jepang?".

Sesaat kemudian Giok Hong telah mengenali orang itu sebagai salah seorang sahabatnya Oey Hay Cee yang bertugas sebagai peronda yang berpakaian preman di dalam International Settlement atau Konsesi Internasional. Ia ini selain kenal baik keadaan di kota Shanghai, juga banyak kenalannya di antara para ahli silat yang berdiam di kota itu, antara mana Sun Giok Hong adalah salah seorang sahabatnya yang paling akrab.

Maka setelah mengenali siapa adanya orang itu. Giok Hong pun segera menahan tali kekang kudanya sambil menjawab, "Aku ada suatu urusan yang perlu dibereskan di konsesi Jepang".

"Kapan engkau pulang dari kampungmu?" tanya Oey Hay Cee.

"Baru kemarin" sahut Giok Hong. "Barusan aku habis berkunjung ke rumah Ho Goan Ka Lo-su".

Oey Hay Cee menatap wajah Giok Hong sambil mengerutkan kening, lalu tertawa. "Pada wajahmu tampak jelas sekali keberingasan" katanya, "maka kepergianmu ke

konsesi Jepang kali ini, niscaya di sana akan ada kejadian jiwa yang melayang!".

Sun Giok Hong jadi terkejut dan balas bertanya, "Mengapa engkau bisa mengetahuinya?".

Oey Hay Cee kembali tertawa dan menjawah, "Aku yang bertugas sebagai polisi sudah barang tentu dapat memperhatikan air muka orang. Aku percaya, bahwa dengan kepergianmu ke konsesi Jepang hari ini, niscaya maksudnya bukan lain daripada hendak membalaskan sakit hati Ho Goan Ka".

"Apakah engkau mendapat dengar juga bahwa Ho Lo-su telah dikeroyok kaum gelandangan bangsa Jepang sehingga menderita luka-luka?".

"Itu sudah pasti aku ketahui" sahut Oey Hay Cee. "Tapi aku nasehati agar Giok Hong Heng jangan berlaku semberono dalam urusan ini karena ada kemungkinan engkau juga akan mengalami pembokongan dari mereka itu. Sekarang paling benar kita pergi ke kedai kopi untuk minum kopi sambil berembuk bagaimana baiknya untuk membereskan persoalan ini".

Kemudian tanpa menantikan pula jawaban orang, ia telah menarik Sun Giok Hong turun dari kuda dan menuntun tangannya menuju ke sebuah kedai kopi yang terdekat.

Di situ, sesudah menambatkan kudanya di luar kedai, Giok Hong lalu memesan dua gelas kopi untuk Hay Cee dan dirinya. Sambil menghirup kopi yang harum, mereka berembuk secara diam-diam.

"Maksud Giok Hong Heng untuk membalaskan sakit hati Ho Lo-su" kata Oey Hay Cee, "memang suatu perbuatan yang harus dipuji. Amat disayangkan bahwa bangsa Jepang sangat mengeloni bangsanya sendiri, tak perduli apakah bangsanya benar atau salah, mereka selalu mau menang sendiri. Kini pengaruh orang Jepang di konsesinya sendiri ada begitu besar, sehingga mereka berani membawa senjata api bagaikan barang mainan, sedangkan jiwa orang lain yang bukan menjadi bangsa mereka dianggap jiwa semut atau kecoa belaka. Jika mereka berkelahi dan tak sanggup mengalahkan musuhnya satu lawan satu, mereka segera mengajak kawan- kawan untuk mengeroyok atau membokong secara keji. Syukur juga di waktu mengeroyok Ho Lo-su mereka tidak mempergunakan senjata api, jika tidak niscaya jiwa Ho Lo-su sudah tewas. Janganlah Giok Hong Heng menuruti napsu hati pergi menyatroni mereka ke dalam konsesinya, karena mereka dapat bertindak dengan seenaknya saja. Taruh kata^Giok Hong Heng berhasil membalaskan sakit hati Ho Lo- su, engkau pasti tak dapat menolong dirimu sendiri dari keroyokan dan mereka pasti belum mau berhenti jika belum mengeroyok Giok Hong Heng hingga binasa. Itulah sebabnya mengapa aku melarang Giok Hong Heng berlaku semberono".

Sementara Giok Hong yang mendengar demikian, barulah pikirannya menjadi terang dan mau mengakui bahwa apa kata sabahatnya itu memang sesungguhnya benar sekali. Lalu ia menanyakan apakah Hay Cee ada akal apa untuk dapat membantu membalaskan sakit hati Ho Goan Ka, yang baginya tidak berbeda daripada pelampiasan amarah bangsa Tionghoa selayaknya terhadap kesombongan dan sikap bangsa Jepang yang curang itu.

"Menurut pendapatku" kata Oey Hay Cee, "paling betul kita pancing bangsa Jepang masuk ke Konsesi Internasional, dimana engkau dapat melawannya bertempur tanpa khawatir dipedayakan atau dikeroyok mereka dengan curang dan keji. Lagi pula mereka agak segan terhadap bangsa Inggris, hingga mereka tak berani membawa senjata api ke dalam konsesi dimana bangsanya tidak mempunyai hak luar biasa.

Sedang polisi-polisi disitu adalah saudara-saudara kita sendiri yang pasti akan memihak pada kita daripada bangsa Jepang yang busuk itu. Kami dari golongan kepolisian akan bersiap sedia sebelum terjadinya perkelahian itu. Maka sesudah engkau berkelahi dan berhasil melukai mereka, Giok Hong Heng boleh berpura-pura kabur dan kami sekalian akan mengejar. Di mata umum kita berlomba untuk menangkapmu, tapi maksud sebenarnya adalah untuk melindungi Giok Hong Heng agar dapat kabur dengan selamat. Selain pihak kami tidak dipersalahkan. pihak Jepang pun tak dapat mengadukan perkara kerusuhan ini kepada pemerintah Tiongkok".

Giok Hong jadi sangat girang mendengar petunjuk sahabatnya itu, hingga dengan bernapsu ia bertanya, "Kapankah siasat ini dapat kita laksanakan?".

"Orang yang mengatur penyerangan gelap terhadap Ho Lo-su itu, bukan lain daripada Yasan, jago Judo kawakan. Gurunya Kawai Saburo diberi orang nama julukan Jago Judo dari Timur Jauh" menerangkan Oey Hay Cee. "Karena Saburo telah dikalahkan oleh Ho Lo-su di Thian-cin, maka Yasan jadi sakit hati dan menuntut balas dengan jalan melakukan penyerangan gelap terhadap Ho Lo-su. Jika Ho Lo-su belum binasa, ia bersumpah takkan menyudahi usahanya untuk menuntut balas karena gurunya sendiri telah meninggal dunia sesampainya di Jepang".

"Hay Cee Heng rupanya telah mengetahui keadaan pihak lawan dengan sejelas- jelasnya" kata Sun Giok Hong. "Disamping si Yasan, masih ada berapa orang pula berkepandaian Judo yang boleh dikatakan cukup lihay?".

"Mereka berjumlah 8 atau 9 orang" kata Oey Hay Cee, "yang kesemuanya adalah saudara-saudara seperguruan Yasan sendiri. Mereka semua terkenal sebagai jago- jago Judo yang disegani orang di negeri mereka. Untuk memancing mereka masuk ke Konsesi Internasional, bukan suatu perkara yang terlalu sukar".

"Aku belum paham dengan petunjuk Hay Cee Heng itu" kata Sun Giok Hong dengan rupa yang lebih bernapsu. "Aku mohon supaya saudara sudi memberikan petunjuk-petunjuk yang jelas kepadaku, agar siasat ini dapat segera dijalankan".

"Esok hari Giok Hong Heng boleh mencari salah seorang wartawan untuk minta dia memuat berita di suratkabar" kata Oey Hay Cee, "bahwa ilmu Eng-jiauw-kun bukan saja tersohor di seluruh negeri tapi teristimewa dapat dipergunakan untuk menaklukkan ilmu Judo Jepang. Biar jago Judo yang bagaimana lihaypun pasti akan roboh dalam beberapa gebrakan saja jika bertempur dengan seorang jago Eng-jiauw- kun. Yasan dan kawan-kawan yang membaca berita tersebut akan berjingkrak dan marah besar. Ia pasti akan sesumbar dan menantang hingga mudah untuk kita pancing dia dan kawan-kawannya masuk ke Konsesi Internasional. Disana Giok Hong Heng boleh hantam mereka habis-habisan agar mereka selanjutnya merasa kapok untuk omong besar dan berlaku sombong lagi".

Sun Giok Hong mupakat dengan saran sahabatnya itu. Kemudian ia membayar harga minuman dan berjanji kepada Oey Hay Cee untuk saling bertemu lagi jika berita untuk memanaskan hati Yasan itu telah disiarkan di suratkabar yang paling populer dan banyak dibaca orang dari segala lapisan.

Tidak berapa hari kemudian, dengan bantuan seorang wartawan yang menjadi sahabatnya, Sun Giok Hong melihat dalam suratkabar telah dimuat berita tentang dirinya sendiri, yang antara lain tertulis sebagai berikut:

"Guru silat Sun Giok Hong dari rumah perguruan silat Ceng Bu Hwee paham ilmu silat Eng-jiauw-kun, Thiat-see-ciang dan ilmu tendangan. Sedang permainan goloknya yang sangat lihay telah membuat ia memperoleh nama julukan Ngo-seng-to-ong atau ahli golok dari lima propinsi. Ho Goan Ka sangat mengaguminya dan mengundangnya untuk membantu sebagai salah seorang guru dalam rumah perguruan silatnya.

Sebelum menjadi guru silat di gedung Ceng Bu Hwee, ia menjadi pemilik dari kantor angkutan Hin Liong Pio Kiok di Thian-cin. Tatkala ia masih bertugas sebagai Kiok-cu, Sun Giok Hong pernah bertempur dengan ahli-ahli Judo Jepang kenamaan, yang kesemuanya telah dirobohkan dengan tidak banyak susah payah. Oleh karena adanya pengalaman bertempur ini, maka ia berani memastikan, bahwa ilmu Eng-jiauw-kun itu adalah khusus untuk menaklukkan ilmu Judo. Hal mana telah diberitahukan kepada para murid-muridnya dan para sahabat karibnya untuk meyakinkan Eng- jiauw-kun guna melawan ilmu silat bangsa asing dari daerah Timur itu".

Tatkala berita ini dapat dibaca oleh Yasan dan kawan-kawannya, sudah barang tentu mereka mendongkol bukan buatan hingga tak terasa pula Yasan telah memindahkan kegusarannya kepada suratkabar yang dibacanya itu, yang seketika itu juga segera dirobek-robek sehingga menjadi beberapa keping.

"Sungguh takabur sekali mulut bocah she Sun itu!" Yasan menumbukkan tinjunya yang besar dan kuat pada sebuah meja besar sehingga meja itu terbelah menjadi dua dan ambruk!. "Bocah ini kita harus bikin mampus, demi prestasi Judo kita yang telah dibuat guram oleh perbuatan si orang she Ho, yang telah membanting guru kita sehingga kemudian meninggal setibanya di Tokyo. Kepada Ho Goan Ka telah kita lancarkan pembalasan, sehingga dia kini menghadapi keadaan mati atau hidup.

Sekarang kita harus salurkan pembalasan kita kepada si orang she Sun yang sombong ini. Kita harus banting dia sehingga tulang belulangnya berantakan di muka bumi!".

Yasan ucapkan kata-katanya yang terakhir itu dengan suara menggeledek dan laku yang tak berbeda dengan seorang yang kemasukan setan. Suatu tanda bahwa dia gemas bukan main kepada Sun Giok Hong yang diberitakan mampu mengalahkan ilmu Judo dengan Eng-jiauw-kun yang disohorkan orang sangat lihay itu.

"Sekarang kita harus cari tahu tentang keadaan bocah sialan yang sombong itu!" kata Yasan dengan wajah gusar dan merah bagaikan kepiting rebus.

Para kawan-kawannya menyatakan mupakat dan menunjukkan kesediaannya untuk sama-sama mempertahankan ilmu Judo mereka, agar kekalahan guru mereka dapat dipulihkan dan ilmu Judo dianggap orang sedunia tidak kalah dengan ilmu silat Orang-Orang Sakit dari Timur.

"Kita harus selidiki dahulu sebelum menghajar si bocah she Sun itu sehingga setengah manusia!" kata Yasan pada kawan-kawannya.

"Untuk menghajarnya" kata salah seorang kawan Yasan yang bernama Noma Minoru, "boleh dikatakan sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangan!".

"Cobalah jelaskan" Yasan meminta dengan bernapsu.

"Aku nanti mengajak saudara-saudara sekalian untuk mencari bocah sombong itu" kata Noma Minoru. "Begitu bertempur, aku nanti bokong dia, biar dia terkuing-kuing bagaikan anjing kena pentungan. Jika ia masih sanggup melawanku, akan kukeroyok dia hingga dia modar sekalian.'. Coba saja engkau buktikan, bagaimana kami telah keroyok Ho "Goan Ka yang terkenal sebagai salah seorang ahli silat paling jempolan dalam kalangan persilatan di sini. Bukankah dia sekarang sudah tinggal beberapa hari lagi saja bisa hidup di kolong langit ini?".

"Aku tidak mupakat dengan usulmu itu" kata Yasan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sun Giok Hong boleh kita bikin mampus, tapi nama baik bangsa dan ilmu Judo kita jangan sampai jadi ternoda!. Aku pikir paling baik kita tantang dia bertempur di suatu tempat yang tertentu, dimana kita boleh hantam dia sehingga tamat riwayat hidupnya di kolong langit ini. Dengan begitu, orang seluruh dunia akan mengakui ilmu Judo kita sebagai ilmu bela diri Jepang yang tiada bandingnya!".

Noma Minoru dan kawan-kawannya menyatakan mupakat akan usul itu.

"Tapi tempat mana yang akan kita pilih?" bertanya seorang kawan Yasan yang bernama Naka Haruo. "Sun Giok Hong pasti takkan berani datang ke konsesi kita". "Tempatnya akan kita pilih dan tentukan nanti" kata Noma Minoru, "tapi yang pertama-tama kita perlu cari ialah bocah itu sendiri untuk dicoba sampai dimana kemampuannya".

Yasan mupakat dengan omongan kawannya itu.

Kemudian Noma Minoru menyuruh Ho Lo Ke untuk memata matai kemana Sun Giok Hong biasanya keluyuran pada waktu-waktu luangnya.

Ho Lo Ke seorang buaya darat Tionghoa yang menjadi alat d.m kaki tangan kawanan gelandangan bangsa Jepang itu.

Dua hari kemudian Ho Lo Ke telah melaporkan bahwa Sun Giok Hong kerap terlihat keluyuran ke Konsesi Internasional dan minum trli di kedai nasi Shanghai setiap lohor.

Padahal pihak Jepang tidah

mengetahui bahwa cara berkunjung Giok Hong ke Konsesi Internasional ini sudah terlebih dahulu mendapat petunjuk-petunjuk dari Oey Hay Cee, agar kalau nanti terbit kerusuhan, pihak Jepang takkan memprotes atau mengadukan kepada pemerintah Tiongkok. Sedang Hay Cee sendiri telah bersepakat dengan kawan-kawan sejawatnya untuk bertindak jika sampai Sun Giok Hong terlibat rusuh dengan kawanan gelandangan asal Jepang tersebut.

"Dengan siapa ia biasa keluar berjalan-jalan?" Noma Minoru bertanya kepada buaya darat Tionghoa itu.

"Ia biasa keluar berjalan-jalan hanya seorang diri saja" kata Ho LoKe.

Noma Minoru jadi girang dan lalu menyoren sebilah pisau kecil di bawah pakaiannya dan mengajak Ho Lo Ke dan dua orang kawannya yang bernama Sano Rin dan Yoshi Nakamura untuk menemaninya.

Ketiga orang Jepang itu semua bertubuh katai dan tegap, mahir ilmu Judo dan bertenaga sangat kuat.

Begitulah, dari konsesi Jepang mereka berempat lewat di jembatan Pek-touw-kio, melintasi sungai Souw-ciu-ho dan tiba di Konsesi Internasional.

Konsesi Internasional ini, atau apa yang umum dikenal dengan sebutan International Settlement, dikuasai oleh bangsa Inggris. Bangsa Jepang boleh tidak pandang mata pada pemerintah Tiongkok yang di masa itu sangat lemah dan lembek, tapi mereka agak segan terhadap bangsa Inggris yang berkuasa dalam Konsesi Internasional itu. Mereka tak berani melanggar tata tertib di situ, hingga mereka tak berani bawa senjata api yang biasa disoren mereka di konsesi Jepang.

Noma Minoru yang paham undang-undang bangsa Inggris di situ, jika mabuk arak kerap memukuli orang dengan seenaknya saja, dalam Konsesi Internasional itu dia tak berani sembarangan bertindak, maka di waktu memasuki kedai nasi Shanghai pada lohor itu, terlebih dahulu ia telah berpesan kepada Sano Rin, Yos'hi Nakamura dan Ho Lo Ke, agar mereka sekalian berlaku sopan dan jangan berbuat sesuatu yang melanggar peraturan.

Ketiga orang itu berjanji mentaati segala petunjuk Minoru itu. Kemudian mereka berempat masuk ke kedai nasi Shanghai, dimana mereka memesan Cognag, yang lalu mereka minum dengan amat asyiknya. Selagi duduk minum dan telah mulai sedikit mabuk, Ho Lo Ke yang tak sengaja menolah ke arah jendela di sisi kiri, tiba-tiba tampak terkejut lalu berbisik ke telinga Minoru, "Tengok, tengoklah orang yang duduk minum teh di sana sambil membaca suratkabar!". Minoru dan kawan-kawannya jadi turut memandang pada seorang tamu yang usianya lebih kurang 30 tahun, bertubuh tegap dan mengenakan thung-sha atau pakaian panjang yang sederhana sekali. "Dia itulah Sun Giok Hong yang kita sedang cari!" Ho Lo Ke menambahkan. Hal mana, sudah barang tentu telah membuat Minoru dan kawan-kawan jadi agak terkejut.

"Sun Giok Hongkah dia itu?" kata si jago Judo yang seolah-olah tidak mempercayai pendengarannya.

Ho Lo Ke manggut-manggut sambil mengedipkan matanya.

Noma Minoru turut mengangguk-anggukkan kepalanya, tatkala ia menoleh kepada Sano Rin dan Yoshi Nakamura.

Segera mereka bangkit dari tempat duduk masing-masing. Minoru membayar harga minuman, sedang yang lain-lainnya berpura-pura berjalan keluar dan berdiri di sana sambil melihat-lihat pada etalase yang memamerkan pelbagai macam barang- barang makanan dalam kaleng buatan luar negeri.

Dalam pada itu, Minoru menantikan Sun Giok Hong di muka kedai nasi itu untuk mencari masalah lalu berkelahi dengan si orang she Sun itu.

Sementara Sun Giok Hong yang memang kerap berkunjung ke kedai nasi itu dengan maksud tertentu, telah lebih dulu memperhatikan gerak gerik Minoru dan kawan-kawan, meski di luarnya ia tampak tenang-tenang saja. Minoru dan kawan- kawannya boleh berpakaian cara barat tapi pakaian tersebut tidak dapat menyembunyikan diri mereka, apalagi raut muka macam Jepang mereka yang dapat dilihat dengan jelas sekali. Giok Hong segera dapat mengenali dan jadi curiga, kalau- kalau mereka ini adalah komplotan bajingan Jepang yang pada beberapa waktu yang lampau pernah mengeroyok Ho Goan Ka secara keji sekali. Maka ia merasa perlu sekali berlaku waspada terhadap ketiga orang Jepang dan seorang bajingan Tionghoa ini.

"Ternyata dugaan Oey Hay Cee tepat juga" pikirnya. "Karena dengan siasat yang telah diberitahukannya itu kepadaku, benar saja komplotan bajingan Jepang itu telah kena juga terpancing datang ke sini. Sesudah dapat menerka maksud kedatangan mereka yang tidak baik itu, paling benar aku segera beritahukan hal ini kepada Oey Hay Cee yang duduk makan minum memisahkan diri di lain kamar".

Kemudian, sambil berpura-pura menjenguk ke kamar yang terletak di sebelahnya, Giok Hong memberi isyarat dengan kedipan mata kepada Oey Hay Cee, yang segera mengerti apa maksudnya dan lalu keluar ke jalan raya untuk berembuk dengan rekan-rekannya di sana dengan secara diam-diam.

Kepada rekan-rekan itu, Oey Hay Cee telah berpesan bahwa jika nanti ada orang Tionghoa dan orang Jepang yang berkelahi, mereka sekalian harus perhatikan. Jika dalam perkelahian itu pihak orang Tionghoa yang memperoleh kemenangan, mereka boleh tak usah ambil pusing. Tapi jika pihak Jepang yang menang, rekan-rekan itu boleh segera turun tangan untuk menangkap orang-orang Jepang itu.

Polisi-polisi dalam Konsesi Internasional yang kebanyakan terdiri dari orang-orang Tionghoa, sudah barang tentu lebih memihak kepada Sun Giok Hong, hingga merekapun diam-diam bersiap sedia untuk mengatur siasat seperti apa yang telah dituturkan oleh Oey Hay Cee tadi.

Setelah itu, barulah Giok Hong bangun dari tempat duduknya, membayar harga makanan dan minuman yang telah dimakannya tadi. Kemudian ia meninggalkan kedai itu dengan laku yang tenang dan tiada seorangpun yang dapat menyangka bahwa dia inilah bukan lain daripada jago silat yang bernama julukan Ngo-seng-to-ong, yang namanya telah sekian lama harum di kalangan persilatan Tiongkok Utara!.

0oo0 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar