Jilid 09
Bie Liek sendiri sebetulnya juga heran melihat bahwa di dalam waktu yang sangat singkat begitu si nenek telah melarikan diri. Menurut penglihatan dari Bie Liek, maka dia sebetulnya mengetahui, nenek itu sedang menderita luka-luka, maka tak mungkin dia melarikan diri jauh-jauh.
Tetapi, memang lebih baik lagi kalau memang si nenek sudah meninggalkan rumah penginapan itu, karena dengan sendirinya si nenek dan cucu itu dapat menghindarkan diri dari kejaran orang-orang itu. Sedang orang-orang dari tamu-tamu yang tak diundang itu sedang berunding dengan suara yang perlahan sekali, terdengar suara tertawa dingin. Tampak di balik sebatang pohon yang tumbuh di sudut taman rumah penginapan itu, duduk si nenek dan anak gadisnya.
Hati Bie Liek waktu melihat si nenek dan cucunya itu jadi berdebar agak keras. Dia kaget dan heran, mengapa si nenek tidak melarikan diri dan sekarang dikala musuh- musuhnya itu mau pergi meninggalkan tempat tersebut, si nenek malah telah menampakkan dirinya?
Sedangkan orang-orang yang memang sengaja datang ingin menyatroni si nenek dan si gadis yang menjadi cucu si nenek itu telah meluruk mengurung si nenek. Mereka girang berbareng heran juga. Tak mereka sangka sedikitpun bahwa si nenek bisa menampakkan diri. Tadi mereka telah menduga bahwa si nenek tentu telah melarikan diri dan pasti mereka akan sulit mencari jejaknya si nenek lagi!
Tetapi dengan tidak diduga, tak hujan tak angin, si nenek telah memperlihatkan dirinya! Inilah yang disebut rejeki nubruk kita memeluknya. Salah seorang diantara orang yang mengurung si nenek dan cucunya itu, telah melompat maju, dia membolang balingkan goloknya.
“Nenek tua yang sudah mau mampus!” bentak orang itu dengan suara yang aseran sekali. “Bagus kau memperlihatkan dirimu, hmmm jadi tuan-tuanmu ini tidak perlu capai-capai untuk mencarimu lagi! Hmmm, ternyata kau memang harus dikirim ke neraka, karena biar bagaimana kau tetap tidak bisa hidup di permukaan bumi ini!!” Si nenek membawa sikap yang tenang, biarpun wajahnya masih pucat, toh sikap dan pancaran matanya, memperlihatkan kewibawaannya, memperlihatkan keagungannya, keren sekali.
“Kalian adalah kurcaci yang mencari mampus dengan percuma!” bentak si nenek dengan suara yang bengis. Walaupun tampaknya dia masih pucat disebabkan luka- lukanya itu, toh tetap saja sikapnya keren sekali. “Hmmm, apakah kalian kira hari ini kalian masih bisa mempermainkan dan sesumbar dengan mulut besar di depan nyonya besarmu ini?”
Salah seorang diantara pengepungnya itu telah tertawa dingin.
“Bisa kau berkata begitu, tetapi nanti kenyataannya kalian nenek dan cucu harus bergelimpangan di tanah dengan bermandikan darah!” kata orang itu dengan suara yang bengis, goloknya juga telah diputar-putarnya dibolang balingkan, mengancam benar. “Bersiap-siaplah kau dan cucumu itu untuk pergi menghadap ke Giam-lo-ong!”
Si gadis yang menjadi cucu si nenek, telah mementang matanya lebar-lebar, dia gusar sekali melihat lagak orang itu. Dia mendelik kepada orang-orang yang sedang mengurung mereka. Melihat lagak si gadis, maka lelaki itu telah tertawa dengan suara yang gelak-gelak.
“Kau adalah seorang gadis yang manis, sebetulnya aku merasa sayang kalau memang kau harus menemui kebinasaan menemani nenekmu itu untuk pergi ke Giam- lo-ong! Maka dan itu, kalau memang kau masih ingin hidup terus, menyingkirlah, nanti kami akan mengajakmu menghadap kepada Kongcu kami, apakah kau masih bisa dimaafkan atau tidak!” kata orang itu.
Mendengar perkataan orang tersebut, kawan-kawannya, orang yang mengepung si nenek, telah tertawa semua. Malah ada beberapa orang diantara mereka yang telah ikut berkata dengan kata-kata yang kotor. Si gadis jadi bergusar benar, tubuhnya sampai menggigil menahan kegusarannya itu.
Si nenek juga bergusar melihat kekurang-ajaran dari orang-orang tersebut, tahu- tahu dia telah mengangkat tangannya, yang didorongkan ke arah muka dengan jari-jari terpentang lebar, juga nenek ini telah membentak : “Rubuh!!”
Orang-orang yang mengepung si nenek, yang berdiri dimuka, jadi terperanjat. Hal ini disebabkan mereka merasakan sambaran angin serangan dari si nenek yang kuat sekali. Hal itu menandakan bahwa si nenek telah menyerangnya dengan menggunakan Lweekang yang tinggi sekali.
Cepat-cepat beberapa orang yang berdiri paling depan telah membolang- balingkan senjata mereka untuk memunahkan tenaga serangan dari si nenek. Tetapi, bukannya mereka dapat memunahkan tenaga serangan si nenek, malahan tahu-tahu tubuh tiga orang diantara mereka telah terpental, dan malah yang hebat, mereka terpental untuk lantas menubruk kawan-kawan mereka yang berdiri di belakang mereka, sehingga mereka semuanya mengeluarkan seman kaget.
Dengan bergulingan, mereka cepat-cepat telah melompat berdiri. Sedangkan beberapa orang kawan mereka yang berdiri dibagian kiri dan kanan, begitu melihat keadaan kawan mereka, maka dengan cepat mereka telah meluruk menyerbu menyerang si nenek. Senjata mereka teracungkan menyerang kearah si nenek dan gadis yang menjadi cucunya.
Serangan mereka itu menyambar dengan menimbulkan angin serangan yang kuat sekali, yang menyambar dengan berkesiutannya angin tajam. Senjata-senjata tajam itu menyambar ke arah si nenek dan cucunya dengan tak bisa dibendung.
Tetapi sikap si nenek sangat tenang sekali. Dia tidak menjadi gugup melihat serangan yang datangnya secara serentak begitu. Dengan tak terduga, tahu-tahu si nenek telah mengibaskan lengan bajunya. Begitu lengan bajunya bergerak, tahu-tahu beberapa orang diantara mereka, orang-orang yang mengepung si nenek, telah menjerit kesakitan dan melompat mundur.
Malah ada beberapa orang yang menjerit kesakitan sambil melemparkan senjata mereka ke tanah. Wajah mereka semuanya pucat sekali. Kawan-kawan dari orang-orang itu jadi bingung dan heran melihat keadaan mereka. Mereka jadi saling memandang.
Sedangkan beberapa orang yang tadi telah melepaskan senjata mereka jatuh ke tanah, telah bergulingan di tanah sambil menjerit-jerit dengan suara yang menyayatkan hati. Mereka memegangi tangan mereka, tetapi mereka juga bergulingan di tanah, seperti juga mereka itu menderita sekali.
Beberapa orang kawan mereka yang tidak kenapa-kenapa dan juga tidak terluka, telah menghampiri salah seorang diantara keempat orang yang bergulingan ditanah itu. Dia menanyakan mengapa orang tersebut bergulingan begitu, dan di bagian mana yang telah kena terserang oleh si nenek pada diri mereka.
Ternyata, dengan suara yang terputus-putus orang itu menceritakan, bahwa tubuh mereka seperti juga dirayapi oleh beribu-ribu semut yang menggigit tubuh mereka, sakit dan gatal, hampir tak tertahan. Mereka ternyata telah terserang oleh jarum-jarum si nenek yang mengandung racun. Tadi waktu si nenek hendak diserang oleh orang-orang itu, dia telah mengibaskan lengan bajunya. Dari lengan bajunya itulah telah meluncur puluhan jarum-jarum yang beracun.
Dengan kenanya terserang oleh jarum-jarum beracun yang bisa bekerja dengan cepat itu, maka dengan sendirinya orang-orang itu jadi menderita sekali, karena jarum itu memang telah diborehkan oleh racun ‘Sian-ceng-tok’, biarpun tidak akan membahayakan jiwa si korban, toh tetap saja racun dari jarum-jarum itu bisa menimbulkan perasaan gatal yang sangat menyiksa sekali. Maka dari itu, orang-orang yang mengepung si nenek jadi berdiri ragu-ragu untuk menerjang lagi. Mereka menduga bahwa tadi si nenek telah menggunakan ilmu siluman, ilmu hitam, sebab tak keruan juntrungannya, kawan-kawan mereka itu telah berjatuhan, dengan menderita sekali. Dengan sendirinya, orang-orang itu tidak mau kalau memang mereka sampai mengalami hal seperti itu.
Sekarang, biar bagaimana mereka baru menyadari, walaupun dari wajah si nenek dapat diketahui bahwa dia sedang terluka dan juga tampaknya tidak bertenaga dengan wajah yang pucat, namun ternyata dia masih mempunyai kepandaian yang tinggi. Sebab itulah, maka orang-orang tersebut, orang-yang mengepung si nenek, jadi berlaku hati- hati.
Sedangkan si gadis yang menjadi cucu si nenek, yang masih berdiri di sisi si nenek, berulang kali mengeluarkan suara tertawa dingin. Bie Liek jadi mengawasi terus dengan penuh kewaspadaan. Karena biarpun tampaknya si nenek bisa menguasai keadaan dan orang-orang itu, yang telah berhasil dibuatnya jeri, namun tetap saja perlahan-lahan dan lama kelamaan, si nenek pasti akan dapat dikalahkan.
Maka dari itu, Bie Liek mengetahui benar, dia tidak boleh lengah. Biar bagaimana disaat si nenek membutuhkan bantuannya, maka dia akan memberikan pertolongannya.
Lebih-lebih dia melihat jumlah dari pengepung si nenek yang berjumlah begitu banyak, maka dengan sendirinya dihati Bie Liek telah timbul perasaan tidak senang, karena sebagai seorang yang berjiwa luhur dan penuh kasih, Bie Liek tidak mau melihat seorang nenek sampai dikepung begitu banyak orang. Biarpun seumpamanya si nenek atau gadis yang menjadi cucunya itu mempunyai kepandaian yang tinggi, toh tetap saja Bie Liek tidak mau melihat pengeroyokan begitu macam.
Maka Bie Liek dengan sendirinya telah bersiap-siap disembarang waktu akan turun tangan guna memberikan ganjaran yang setimpal kepada orang-orang yang telah mengepung dan ingin mengeroyok si nenek dan cucunya, yang tampaknya tak berdaya disebabkan lukanya itu!
PADA saat itu tampak dengan muka yang beringas ringis sekali, empat orang pengepung si nenek telah maju perlahan-lahan mendekati si nenek dan cucunya itu.
Si nenek masih tetap duduk tenang di bawah pohon itu, sedangkan cucunya masih berdiri di sisinya, mengawasi keempat orang yang sedang menghampiri dengan sikap mengancam itu. Si gadis yang menjadi cucu si nenek juga telah mengambil keputusan di dalam hatinya, kalau memang nantinya neneknya itu, Poponya, tidak sanggup lagi memberikan perlawanan, maka gadis ini akan mengadu jiwa dengan orang-orang itu untuk membela neneknya dari penghinaan orang-orang tersebut. Sedangkan si nenek sendiri tetap mengawasi keempat orang yang sedang maju untuk menyerang dirinya. Diwajahnya si nenek tidak memperlihatkan sikap takut atau jeri, dia memandang dengan kilatan mata yang tajam sekali.
“Hmm kalian semuanya akan mampus!” menggumam si nenek dengan suara yang tawar. “Sebetulnya nyonya besarmu ini sudah tak mau bentrok dengan golongan kalian, tetapi pihak kalian terlalu mendesak, sehingga mau tak mau nyonya besarmu ini harus turun tangan menyelesaikan jiwa kalian masing-masing!!”
Setelah berkata begitu tahu-tahu si nenek telah mengulurkan tangannya, jari telunjuknya telah menekan tanah, kemudian dengan mengeluarkan seruan yang tinggi melengking, maka dia telah mengerahkan tenaga Lweekangnya pada jari telunjuknya itu, tubuhnya jadi mencelat tinggi, ke arah keempat orang pengepungnya dengan cepat sekali.
Dikala tubuhnya sedang terapung begitu, dia telah menggerakkan tangannya yang dikibaskan menyerang ke arah keempat orang tersebut! Keempat orang pengepung si nenek, dan pengepung-pengepung lain-lainnya jadi kaget bukan main waktu melihat tahu-tahu tubuh si nenek telah meluncur begitu tinggi.
Dan keempat orang pengepung si nenek yang paling depan itulah yang paling terkejut, karena mereka melihat si nenek tahu-tahu telah mengibaskan lengan jubahnya menyerang mereka. Yang hebat lagi, kibasan dari lengan jubahnya si nenek itu mengandung tenaga serangan yang kuat sekali, yang menyambar dengan santer.
Keempat orang itu cepat-cepat melompat mundur untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan si nenek. Tetapi telah terlambat! Dengan telak dada mereka telah kena dihajar oleh kibaran lengan jubah si nenek.
Walaupun lengan jubah itu hanyalah kain belaka, baju belaka, toh waktu digerakkan oleh si nenek, dengan disertai oleh Lweekangnya, maka lengan jubah itu telah berooah menjadi semacam senjata yang keras sekali, lengan jubah itu seperti juga berobah dari kain yang lunak menjadi besi lempengan yang keras.
Dengan mengeluarkan suara jeritan kaget, keempat orang itu telah terpental. Mereka secara beruntun ambruk di tanah dengan mengaduh, disamping kaget dan terperanjat, mereka juga kesakitan sekali.
Maka dari itu, dengan cepat keempat orang tersebut telah bergulingan untuk menjauhkan diri dari si nenek. Mereka takut kalau memang nanti si nenek membarengi menyerang mereka lagi dengan serangan yang membahayakan jiwa mereka. Kawan- kawan dari keempat orang itu, waktu melihat keempat kawan mereka kena diserang begitu oleh si nenek, dengan cepat mereka meluruk menyerang si nenek.
Pada saat itu tubuh si nenek sedang meluncur turun ke tanah lagi. Cucunya, si gadis, waktu melihat neneknya itu, Poponya diserang secara mengeroyok oleh musuh- musuhnya dimana tubuh si nenek sedang meluncur turun begitu, dengan penuh rasa kuatir akan keselamatan si nenek, si gadis telah melompat maju untuk memberikan pertolongan.
“Su-jie mundur!!” si nenek telah berteriak begitu waktu melihat cucunya mau melompat maju.
Si gadis jadi membatalkan maksudnya dia jadi mengawasi saja jalannya pertempuran antara neneknya dengan musuh-musuhnya yang berjumlah banyak itu. Si nenek kala itu sudah bergerak dengan cepat. Dia telah berdiri dengan tegak, walaupun tubuhnya agak bungkuk, toh gerakannya sangat gesit sekali.
Waktu pedang, golok, Poan-koan-pit, dan senjata-senjata lainnya menyambar kearah dirinya, maka si nenek telah berkelebat-kelebat cepat sekali menghindarkan setiap serangan yang menyambar ke arah dirinya. Tubuh si nenek berkelebat-kelebat dengan cepat dan gesit sekali, tangannya juga bergerak-gerak mengincar setiap bagian yang berbahaya di tubuh lawannya.
Hal itu membuat lawan dari si nenek yang terdiri dari beberapa orang pengeroyok itu, jadi keiabakan juga, mereka kewalahan menghadapi si nenek yang gesit dan lincah itu. Kepandaian si nenek memang tinggi luar biasa, namun disebabkan si nenek sedang dalam keadaan terluka, maka dengan sendirinya dia tidak bisa cepat-cepat merubuhkan lawannya itu. Coba kalau memang sedang dalam keadaan biasa, sedang dalam keadaan sehat dan tidak terluka, tentu si nenek telah siang-siang dapat merubuhkan lawan- lawannya itu.
Pengeroyok si nenek yang tadi terserang oleh jarum-jarum yang mengandung racun dari si nenek, telah dapat melompat berdiri. Dengan nekad dan penuh kemurkaan orang-orang itu telah melompat menyerang si nenek.
Mereka masing-masing telah memungut senjata mereka masing-masing dan menyerang si nenek dengan serangan-serangan yang telengas sekali. Sekali saja si nenek kena diserang oleh salah seorang pengeroyoknya, niscaya dia akan terbinasa di situ juga!
Tetapi berhubung si nenek memang mempunyai kepandaian yang tinggi dan kosen sekali, maka dengan sendirinya biarpun dia dikeroyok begitu banyak musuhnya, toh tetap saja dia bisa menghadapinya. Hanya, sebagai seorang nenek, yang tenaganya memang sudah berkurang, dengan sendirinya lama kelamaan tenaga si nenek jadi berkurang dan letih sekali.
Gerakan-gerakannya jadi lembut dan lamban, dengan begitu, menimbulkan kekuatiran yang sangat pada diri si Su-jie, si gadis yang menjadi cucu dari si nenek. Begitu juga si nenek sendiri. Dia merasakan perobahan dirinya itu. Dia merasa letih sekali, juga gerakannya tidak bisa begitu cepat seperti apa yang tadi dilakukannya. Tangan dan kakinya seperti juga tidak mendengar perintah hatinya lagi! Lebih-lebih keempat orang yang tadi telah berhasil dirubuhkan oleh kibasan lengan jubahnya itu telah meluruk menyerang dan mengepung dirinya, sehingga orang-orang yang mengeroyok si nenek itu berjumlah belasan orang. Dengan sendirinya napas si nenek jadi memburu keras, karena dia harus bergerak dengan cepat dan selalu dapat menghindarkan diri dari serangan-serangan yang mematikan dari lawannya.
Sedikit saja dia terlambat mengelakkan serangan lawannya, jiwanya tentu akan putus di situ juga! Maka dari itu si nenek tidak berani berlaku ayal atau lambat, dia selalu berusaha mendahului setiap serangan-serangan dan lawannya. Sebagai seorang nenek yang mempunyai kepandaian sangat tinggi, biarpun dia sedang dalam keadaan terluka, toh tetap saja dia dapat bergerak dengan gesit dan bertenaga.
Lawannya itu belasan orang banyaknya, berusaha untuk merubuhkan si nenek. Tetapi berhubung kepandaian mereka terpaut agak jauh dengan si nenek, maka dengan sendirinya mereka jadi tidak bisa cepat-cepat merebut kemenangan.
Su-jie, si gadis yang menjadi cucu dari si nenek mementang matanya lebar-lebar. Dia mengawasi jalannya pertempuran dengan penuh perhatian, karena dia bermaksud begitu neneknya itu terdesak hebat, maka dia akan segera turun tangan untuk memberikan bantuannya, agar neneknya itu tidak mengalami ancaman bahaya maut.
Bie Liek yang mengawasi jalannya pertempuran, telah melihat, bahwa napas nenek itu telah memburu. Kalau membiarkan terus, pertempuran itu berlangsung terus, maka dengan sendirinya hal itu akan menyebabkan kekalahan dipihak si nenek.
Mungkin karena lengah atau memang sudah letih, dan juga lawan-lawannya menyerang si nenek dengan menggunakan senjata-senjata tajam, suatu kemungkinan si nenek akan terbunun oleh mereka! Disebabkan itulah maka Bie Liek tidak tidak berani berlaku ayal.
Dengan cepat dia telah melompat turun dari payon tiang penglarian rumah penginapan itu, dia melompat turun dengan gesit sekali. Gerakannya indah dan cepat luar biasa, menyerupai hanya sesosok bayangan yang berkelebat dengan cepat sekali,
Bie Liek bukan hanya melompat turun belaka, begitu dia melompat, begitu dia menerjang ke arah lawan-lawannya dari si nenek. Kedua tangan Bie Liek bergerak-gerak kekiri dan kekanan, maka terdengar beruntun suara jeritan dari orang-orang yang terpental dengan keras, kemudian ambruk ke tanah. Malah ada salah seorang diantara mereka yang telah terpental dan dan punggungnya membentur dinding kamar dari rumah penginapan tersebut, sehingga dia menjerit dengan suara yang menyayatkan hati benar!
Hal itu membuat kawan mereka jadi terkejut, karena segera juga mereka melihat kawan mereka itu yang punggungnya menubruk tembok, dari mulut dan telinga serta hidungnya, telah mengalir darah merah yang segar, nyawanya juga telah terbang melayang ke akhirat menghadap Giam-lo-ong. Melihat itu, mereka semuanya jadi berdiam diri sesaat, dengan begitu pertempuran untuk sementara waktu jadi terhenti. Mereka juga terkejut waktu tahu-tahu di depan mereka itu telah berdiri seorang anak muda tanggung yang mempunyai muka cakap sekali, dengan mata yang memancar tajam dan juga dengan mulut yang tersungging senyuman ramah, tetapi keren dan berwibawa, sedang memandang mereka satu-persatu, seorang demi seorang dengan tatapan mata yang berkilat.
Semua orang-orang, itu, yang tadi mengepung si nenek telah memandang anak muda tanggung itu, yang tak lain dari pada Bie Liek, dengan tatapan mata yang mengandung kemarahan yang sangat. Sedangkan Su-jie, si gadis yang menjadi cucu dari si nenek, telah berlari dengan cepat ke arah si nenek. Dia mencekal kedua lengan poponya.
“Popo kau tidak apa, bukan?” tahyanya dengan penuh kekuatiran.
Si nenek menggelengkan kepalanya, dia juga telah mencekal lengan cucunya itu
“Popomu tidak akan dapat dihina oleh monyet-monyet kecil seperti mereka!” katanya dengan suara yang perlahan, tetapi napasnya masih juga agak memburu. “Kau tidak perlu kuatir akan keselamatan Popomu ini, Su-jie!”
Si gadis mengangguk, dia telah menoleh memandang kearah Bie Liek yang kala itu sedang menghadapi belasan orang-orang yang tadi telah mengeroyok neneknya. Tampak beberapa orang pengeroyok dari poponya si Su-jie, telah maju menghampiri Bie Liek dengan sikap yang mengancam benar.
Mata mereka memancar dengan cahayanya yang mencorong bengis, rupanya memang mereka telah mengambil keputusan untuk membunuh Bie Liek. Sedangkan Bie Liek membawa sikap yang tenang sekali. Dia hanya memandangi saja sikap dari orang- orang itu.
Sedikitpun dia tidak memperlihatkan rasa takut pada wajahnya. Malah Bie Liek telah tersenyum senyum. Sikapnya tenang luar biasa. Dia seperti juga tidak memandang sebelah mata kepada orang-orang yang sedang mengepung dirinya.
Dengan melangkah setindak-setindak menghampiri ke arah orang-orang yang sedang mengurung dirinya, maka Bie Liek telah menghampiri dengan sikapnya yang acub tak acuh itu.
“Kalian adalah jago-jago yang mempunyai kepandaian lumayan, tetapi jiwa kalian sangat kotor sekali, terlalu kejam, terhadap seorang nenek saja kalian telah berlaku begitu bengis, ingin membunuh dengan cara yang rendah sekali, yaitu main keroyok!” berkata Bie Liek dengan suara yang tenang. “Dan hari ini tuan muda kalian akan memperlihatkan sesuatu yang menarik, menghajar anjing-anjing kecil yang tidak tahu diri!!” Dan setelah berkata begitu, dengan cepat Bie Liek telah mencelat dengan ringan, dia menjejakkan kakinya agak kuat, sehingga tubuhnya jadi melayang ke arah orang- orang yang mengepung dirinya. Disaat tubuhnya sedang melambung begitu, maka kedua tangan dari Bie Liek telah bergerak juga.
Tampak dengan cepat tangan kiri dan kanan dari Bie Liek telah berhasil mencekal baju dari kedua orang pengepungnya itu, dengan cepat dan sambil mengeluarkan suara bentakan yang cukup keras, dia telah membentak. Tangannya itu terayun. Tampak dua sosok tubuh yang melayang dengan cepat dan terbanting!
Keras sekali bantingan dari Bie Liek, sehingga kedua orang itu jadi jatuh pingsan tak bisa bergerak lagi setelah mengeluarkan suara ‘ngeekkk!’ yang keras sekali.
Tubuh Bie Liek yang telah meluncur ke tanah lagi, tampak bergerak dengan cepat.
Dia jadi seperti juga berlari berkelebat-kelebat dengan kecepatan yang sangat.
Orang-orang yang mengepung Bie Liek, yang kala itu sedang terpaku memandang kejadian yang terpentang di depan mata mereka, maka jadi pada menjerit kaget waktu tahu jalan darah mereka masing-masing tertotok, sehingga tanpa daya lagi mereka jadi terpental dan ambruk di tanah tanpa bisa bergerak. Ternyata jalan darah Ma-hiat hiat mereka telah berhasil ditotok oleh Bie Liek.
Ada dua orang yang masih berusaha untuk melarikan diri, tetapi dengan hanya sekali menjejakkan kakinya, maka Bie Liek berhasil mengejar mereka, dia telah mengulurkan tangannya untuk menotok jalan darah dari kedua orang itu.
Kedua orang tersebut jadi ketakutan sekali, mereka jadi mengeluarkan seruan kaget, dan berusaha menjatuhkan dirinya bergulingan di tanah. Tetapi gerakan Bie Liek sangat cepat sekali, dia juga telah menduga sebelumnya bahwa kedua orang ini akan berusaha mengelakkan totokannya dengan jalan membuang diri kesamping dan bergulingan di tanah.
Maka dari itu disaat tubuh orang akan terbanting di tanah, bergulingan di tanah, dengan cepat Bie Liek telah menggerakkan tangannya menotok jalan darah Tian-pie- hiatnya kedua orang tersebut, sehingga seketika itu juga kedua orang itu jadi kejang kaku tidak bisa bergerak.
Setelah merubuhkan semua orang itu, Bie Liek menoleh kepada si nenek. Dilihatnya si nenek bersama Su-jie, cucunya si nenek itu sedang berdiri memandang ke arah Bie Liek dengan tatapan mata yang kagum. Mereka seperti juga tidak mau mempercayai apa yang telah mereka lihat itu, karena kalau dilihat dari wajahnya, maka usia si anak muda tanggung itu paling tidak baru belasan tahun.
Bie Liek telah melangkah menghampiri nenek dan cucu tersebut. Dia merangkapkan kedua tangannya memberi hormat kepada si nenek, yang sedang berdiri terbungkuk-bungkuk sambil dipegangi oleh cucunya. ''Boanpwee Bie Liek menghunjuk hormat kepada Loocianpwee!!” kata Bie Liek sambil menjura hormat sekali kepada si nenek.
Si nenek cepat-cepat telah membalas pemberian hormat dari si anak muda tanggung ini.
“Terima kasih atas bantuan yang telah diberikan oleh Siauwhiap!! Kalau memang tadi tidak ada Siauwhiap, entah apa yang telah terjadi didiri kami nenek dan cucu!!” kata si nenek dengan gembira. '“Oya, Su-jie hayo kau menghunjuk hormat kepada In-kong kita ini!!”
Su-jie, si anak Su, yang menjadi cucu si nenek telah berlutut ke arah Bie Lik, dia telah menghunjuk hormat kepada Bie Liek.
“Bie Siauwhiap Siauwmoy Bian Tie Su mengunjuk hormat!!” kata si Su-jie atau nama lengkapnya itu Bian Tie Su dengan suara yang perlahan. Dia juga membahasakan dirinya dengan sebutan Siauwmoy, adik perempuan, padahal kalau memang dilihat dari usianya, maka jelas Bian Tie Su lebih tua dua atau tiga tahun dari Bie Liek, tetapi berhubung orang adalah tuan penolongnya, maka dia telah memanggil Bie Liek dengan sebutan Siauw-hiap, pendekar muda, dan dua dia sangat menghormati sekali.
Bie Liek jadi repot sendirinya. Dia jadi kikuk, karena orang selain berusia lebih tua darinya, juga dia dipanggil dengan sebutan Siauwhiap, sedangkan gadis itu malah telah membahasakan dirinya dengan sebutan Siauwmoy.
“Jangan begitu, Siocia!!” kata Bie Liek dengan cepat. “Jangan begitu, Bian Siocia!!
Bangun!! Bangun Bian Siocia!!”
Dan Bie Liek cepat-cepat menyingkir ke samping.
Bian Tie Su telah bangun berdiri dengan jengah, dia memang agak malu juga memanggil orang dengan sebutan Siauwhiap dan membahasakan dirinya dengan sebutan Siauwmoy, adik.
Sedangkan si nenek telah tertawa lagi.
“Terima kasih atas pertolongan yang telah diberikan oleh Siauwhiap, bolehkah aku si tua mengetahui nama guru Siauwhiap yang mulia?” tanya si nenek.
Bie Liek bimbang sesaat untuk menyebutkan asal usulnya, akhirnya dia merangkapkan kedua tangannya, dia menjura memberi hormat kepada si nenek.
“Maafkanlah Loocianpwee, bukannya Boanpwee tidak mau menerangkan siapa In- su, guru yang berbudi, kepada Loocianpwee, tetapi memang Boanpwee mempunyai suatu kesulitan yang benar-benar tidak bisa dijelaskan!!”
Mendengar perkataan Bie Liek, si nenek tertawa.
“Oh tak menjadi soal!” katanya cepat. '“Kalau memang kau mempunyai kesukaran
untuk menerangkan siapa gurumu itu, hal itu tidak menjadi soal!!” kata si nenek. tanah. Bie Liek menoleh kepada orang-orang yang tertotok menggeletak tak berdaya di
“Apa yang akan Loocianpwee lakukan untuk menghukum orang-orang itu?” tanya Bie Liek sambil menunjuk ke arah orang-orang itu.
Si nenek menghela napas.
“Persoalan ini bukan akan habis sampai disini saja!” kata si nenek. “Harus diketahui bahwa persoalan tersebut memang bersumber dari persoalan beberapa tahun yang telah lalu, sehingga mau tak mau kami, nenek dan cucu, jadi hidup terlunta lunta didalam kalangan Kangouw.”
Bie Liek menganggukkan kepalanya.
“Memang Boanpwee tidak perlu mengetahui persoalan Loocianpwee maka dari itu, dengan bisa menolong Loocianpwee, asal Loo cianpwee telah terlolos dari bahaya, maka hati Boanpwee telah puas. Untuk selanjutnya Boanpwee harap Loocianpwee berdua tidak akan menghadapi kesulitan lagi!!” kata Bie Liek.
Si nenek menghela napas lagi.
''Memang kami harapkan bisa begitu, tidak menemui gangguan lainnya lagi. Tetapi bisakah kami memperoleh ketenangan hidup seperti apa yang kami harapkan?” Dan setelah berkata begitu, maka si nenek telah menghela napas lagi.
Bie Liek tidak memberikan komentar atas perkataan si nenek, dia hanya berdiam dri saja mendengarkan semua perkataan nenek itu.
Begitu juga si gadis, Bian Tie Su itu telah berdiri dengan menundukkan kepalanya.
“Kalau memang Siauwhiap tidak keberatan, mau membuang waktu sedikit, maka mau juga aku si nenek tua menceritakan apa yang baru saja kami alami!” kata si nenek lagi dengan suara yang tetap.
Sambil berkata begitu, dia juga menatap ke arah si anak muda tanggung ini.
Waktu itu kebetulan Bie Liek juga sedang mengangkat kepalanya, sehingga matanya jadi bentrok dengan cahaya mata si nenek yang tajam sekali.
Bie Liek kaget sekali, dia melihat sinar mata si nenek memancarkan cahaya yang benar-benar mengejutkan sekali.
Cahaya dari mata si nenek itu bisa menimbulkan getaran dihati orang yang melihatnya.
Tetapi Bie Liek cepat-cepat tersenyum.
“Ya memang Boanpwee ingin sekali mengetahui kesulitan apa yang sedang dihadapi oleh Loocianpwee berdua!” kata Bie Liek dengan cepat. “Kalau memang Boanpwee bisa menolong, akan Boanpwee bantu sekuat tenaga itupun kalau memang nanti Loocianpwee membutuhkan bantuan dari Boanpwee!!”
Mendengar perkataan si anak muda tanggung bernama Bie Liek ini, si nenek tersenyum.
“Jangan berkata begitu, Siauwhiap!” katanya dengan cepat. “Biarpun sampai nanti, kami tidak akan melupakan budi dari Siauwhiap yang telah melepaskan budi dan bantuan yang sangat berharga sekali kepada kami! Maka dari itu, kalau memang bukan kepada Siauwhiap, tak nantinya kami akan menceritakan riwayat kami kepada orang lain!!”
Bie Liek cepat-cepat merangkapkan kedua tangannya.
“Terima kasih atas kepercayaan Loocianpwee terhadap diri Boanpwee!!” kata Bie Liek. “Apa yang akan diceritakan dan akan didengar oleh Boanpwee, biar langit runtuh tak nantinya Boanpwee bicarakan kepada orang yang ketiga!!”
Setelah berkata begitu, Bie Liek juga menjura kepada langit dengan membungkukkan tubuhnya tiga kali.
Si nenek tersenyum melihat si anak muda tanggung berrama Bie Liek ini.
Begitu juga Bian Tie Su, si Su-jie, cucu si nenek, yang mempunyai muka cantik
sekali.
Dengan menghela napas, nenek itu akan memulai ceritanya, tetapi belum lagi dia
membuka mulut, tahu-tahu dari pintu rembulan di pekarangan rumah penginapan itu, tampak mendatangi tiga orang, yang langkahnya tergesa-gesa menghampiri mereka.
Melihat kedatangan ketiga orang itu yang menuju ke arah mereka, wajah si nenek jadi berobah, dia jadi batal membuka mulut.
Sedangkan Bie Liek begitu melihat ketiga orang itu, dia jadi berseru girang. o
o o
SIAN LOOPEH, mari kuperkenalkan kepada Bian Siocia dan Loocianpwee ini!” kata Bi'e Liek dengan girang. Dia menyambut kedatangan orang itu, karena mereka ternyata tak lain dari Sian Tauw Bun, Sian Su Ling dan Mie Kong.
Setelah mengetahui bahwa ketiga orang yang datang menghampiri ke arah mereka itu adalah kawan dari tuan penolongnya, wajah si nenek jadi cerah lagi. Begitu juga wajah Bian Tie Su, jadi berobah cerah. Tadinya mereka menduga bahwa telah datang musuh lainnya yang ingin membuat keonaran lagi kepada mereka.
Sedangkan Sian Tauw Bun, Sian Su Ling dan Mie Kong datang ketempat itu disebabkan mereka mendengar suara ribut-ribut. Sebagai jago-jago silat yang mempunyai kepandaian tinggi, maka mereka tidak mengenal takut, mereka ingin melihat keributan apa yang sedang terjadi.
Dan waktu sampai di tanah rumah penginapan itu, maka mereka melihat Bie Liek sedang menghadapi seorang nenek dan seorang gadis, sedangkan di sekeliiing mereka tampak menggeletak banyak sekali orang-orang yang tertotok jalan darahnya.
Mereka jadi menduga bahwa Bie Liek sedang menghadapi satu persoalan, maka mereka cepat-cepat keluar untuk memberikan bantuannya kalau memang Bie Liek membutuhkan bantuan mereka.
Setelah memperoleh keterangan dari Bie Liek, dengan sendirinya mereka baru mengerti, dan tanpa bisa ditahan lagi mereka semuanya jadi tertawa gelak-gelak.
Bie Liek memperkenalkan mereka satu dengan yang lain.
Si nenek ternyata biasanya dipanggil Ceng Popo, dan di dalam dunia persilatan dia diberi gelaran sebagai It kun It-hoa, satu pukulan satu bunga, berarti setiap si nenek Ceng Popo itu memukul, maka dengan sendirinya akan berguguran satu bunga, berarti lawannya akan terbinasa.
Nenek ini, Ceng Popo sebetulnya merupakan seorang tokoh di rimba persilatan yang benar-benar mempunyai kepandaian yang tinggi dan sempurna, dia disegani oleh kawan dan lawan.
Maka dari itu, keadaan si nenek yang telah dikejar-kejar oleh belasan orang yang telah berhasil ditotok oleh Bie Liek dalam keadaan terluka, sangatlah mengherankan sekali.
Sedangkan, belum lagi Sian Tauw Bun menanyakan hal ikhwal dari si nenek, Ceng Popo telah mengajak semua orang itu ke kamarnya.
Setelah berada di dalam kamarnya itu, si nenek menceritakan riwayatnya, sebuah kisah yang cukup seru dan akan membawa akibat yang panjang sekali, berekor terus di dalam rimba persilatan.
o o o
PADA dua tahun yang baru lalu, secara kebetulan Ceng Popo telah datang ke kota Tiang-sie-kwan.
Maksud dari Ceng Popo datang ke kota itu untuk menghadiri pesta ulang tahun dari kawannya, yaitu seorang jago golok dari aliran Tay-khek, yang bernama Siu Bun Lay. Tetapi waktu Ceng Popo sampai di kota Tiang-sie kwan, di rumah dari jago golok she Siu itu, maka dia jadi terperanjat sekali. Dia menemui bahwa rumah kawannya itu telah menjadi abu dan puing-puing dimakan api.
Dia jadi terperanjat melihat keadaan itu, cepat dia menanyakan keadaan rumah kawannya itu kepada tetangga-tetangga dari sekitar tempat itu. Dari penduduk disekitar rumah Siu Bun Lay, maka Ceng Popo mengetahui bahwa rumah jago golok she Siu itu sebetulnya telah diserbu oleh penjahat berkedok pada dua bulan yang lalu.
Waktu Ceng Popo menanyakan siapakah penjahat-penjahat yang telah menyerbu rumah keluarga Siu itu, penduduk semuanya menggelengkan kepalanya.
Mereka tampaknya takut-takut untuk menjawab pertanyaan dari Ceng Popo.
Mungkin ada suatu rahasia yang tersimpan dihati para penduduk disekitar rumah Siu Bun Lay yang telah menjadi puing-puing abu itu.
Tetapi biarpun tampaknya para penduduk di sekitar tempat itu tidak mau membuka mulut untuk memberikan keterangan kepadanya, Ceng Popo tidak putus asa, dia menyelidiki terus, dan dia telah mengadakan penyelidikan.
Berkat penyelidikan yang terus menerus, yang tak hentinya, tanpa mengenal lelah, akhirnya Ceng Poao dapat juga mengumpulkan keterangan-keterangan dari beberapa orang penduduk yang ikut menyaksikan pembakaran rumah dari Siu Bun Lay oleh beberapa orang penjahat.
Penjahat-penjahat yang datang menyerbu rumah keluarga Siu adalah penjahat- penjahat dari perkumpulan Cong su-kay. Perkumpulan ini memang terkenal paling jahat di kota Tiang-sie-kwan.
Mungkin disebabkan sesuatu hal, karena anak gadisnya diminta oleh Pangcu perkumpulan itu, yang terdiri dari orang yang berpakaian seperti pengemis itu, muka Siu Bun Lay telah bentrok dengan perkumpulan pengemis di kota tersebut.
Bentrokan itu semakin lama jadi semakin keras, dan juga jadi semakin keras diantara orang-orang Cong-su-kay dengan orang-orangnya jago golok Siu Bun Lay tersebut, mereka jadi sering saling bentrok satu dengan yang lainnya.
Sampai akhirnya, dengan tidak terduga, pada suatu malam orang-orang Cong-su- kay telah menyerbu rumah Siu Bun Lay, mereka mengamuk didalam jumlah yang sangat banyak sekali, seperti juga mereka tidak mau memberikan kesempatan hidup walaupun kepada seekor anjing dari keluarga Siu itu.
Korban pada berjatuhan, dan Siu Bun La y sendiri juga jadi korban, dia terbunuh oleh keroyokan orang-orang itu, begitu juga isteri dan putera-puterínya, yang terbunuh semuanya oleh orang-orangnya Cong Su-kay.
Memang orang-orang Cong su-kay itu umumnya merupakan orang-orang yang mempunyai perangai sangat kasar sekali, juga merupakan pengemis-pengemis yang tidak mengenali aturan, selain orang-orang dari keluarga Siu Bun Lay yang dibunuh semuanya, pun harta benda dari keluarga Siu tersebut telah digarong oleh mereka dengan tidak memandang apakah benda itu berharga mahal atau tidak. Mereka juga setelah itu telah membakar rumah gedung dari keluarga Siu tersebut. Hal itu telah membangkitkan kemarahan orang-orang yang menjadi tetangga dan keluarga Siu Bun Lay.
Tetapi mereka tidak berdaya, karena kalau memang mereka itu mau turut campur tangan atau campur tahu, tentunya mereka itu akan menjadi sasaran yang empuk bagi pengemis-pengemis itu, maka dari itu mereka seperti juga membutakan pandangan mata mereka, mereka tidak ingin menerjunkan diri mereka di dalam kancah kekacauan itu.
Mendengar hal ikhwal dari persoalan keluarga Siu dengan Cong su-kay tersebut, si nenek Ceng Popo jadi bergusar sekali.
Biar bagaimana dia murka benar mendengar bahwa keluarga Siu yang menjadi kawan dan sahabatnya itu, telah dihancur leburkan oleh perkumpulan Cong su-kay.
Hal itu benar-benar telah membuat darah si nenek Ceng Po-po jadi meluap dan dia hampir saja tidak bisa menahan golakan hatinya.
Maka dari itu, malam itu juga Ceng Po po telah berusaha menyatroni markas dari perkumpulan Cong su-kay tersebut, dia bermaksud akan membalaskan sakit hati dari sahabatnya itu.
Juga dari mulut-mulut orang-orang itu, si nenek telah mengetahui bahwa perkumpulan Cong su Kay memang sering sekali melakukan perbuatan jelek dan jahat sekali.
Maka dari itu si nenek Ceng Popo jadi tidak ragu-ragu lagi untuk melakukan pembalasan dendam diri sahabatnya she Siu itu, biar bagaimana kematian Siu Bun Lay sekeluarga itu telah menyebabkan hati si nenek jadi sakit sekali.
Ceng Popo percaya dan yakin bahwa Bun Lay tidak mungkin melakukan kejahatan, karena memang dia mengetahui benar sifat dari sahabatnya itu, dan juga memang dia mendengar bahwa Cong su-kay itu merupakan sebuah perkumpulan brengsek yang suka mengacaukan keluarga orang, maka dengan sendirinya si nenek telah menetapkan bahwa perkumpulan itulah yang memang telah bersalah!!
Ceng Popo merupakan seorang jago yang mempunyai kepandaian yang tinggi sekali. Biarpun usianya itu telah mencapai tinggi dan telah tua, toh tetap saja semangat dan tenaganya masih kuat dan bersemangat sekali. Malam itu juga Ceng Popo telah menyatroni markas dari perkumpulan Cong su-kay. Markas dari perkumpulan Cong su- kay itu merupakan sebuah rumah gedung yang besar sekali.
Si nenek dengan tidak memperdulikan beberapa orang yang sedang berjaga-jaga di muka gedung itu, dia telah melompat masuk melalui dinding belakang dari gedung itu.
Gesit sekali gerakan si nenek, dia dapat melompati genting rumah itu tanpa diketahui oleh orang-orang yang sedang berjaga jaga itu. Hanya dalam beberapa kali lompatan saja, maka Ceng Popo telah berada di tengah taman dari gedung tersebut, yang menjadi markas dari Cong su-kay.
Rumah gedung itu terdiri dari bangunan yang mewah dan megah.
Juga waktu Ceng Popò memandang ke dalam gedung itu, dia melihat bahwa gedung itu diperlengkapi oleh alat-alat rumah tangga yang benar-benar lux dan mewah.
Rumah yang dijadikan markas dari Cong su-kay tersebut, markas dari perkumpulan pengemis itu, ternyata mewah sekali, tidak mirip-miripnya sebagai markas dari pengemis-pengemis yang miskin dan tidak mempunyai harta. Rumah itu seperti juga rumah seorang hartawan atau juga rumah seorang pangeran.
Ceng Popo yang melihat hal ini juga jadi heran. Dia sebetulnya hampir tidak mempercayai akan mata dan penglihatannya.
Tetapi karena penghuni dari gedung itu memang terdiri dari para pengemis yang berpakaian compang camping, maka mau tak mau Ceng Popo jadi mempercayai juga penglihatannya itu.
Ceng Popo telah menyelidiki terus keadaan gedung tersebut. Dilihatnya setiap satu ruangan pasti akan dijaga oleh tiga atau empat orang pengemis.
Tetapi diantara mereka itu, para pengemis yang sedang mengadakan penjagaan tersebut, tidak tampak di wajah mereka rasa kuatir akan kemasukan seorang musuh.
Mereka tampaknya berjaga-jaga hanya sambil lalu saja, tidak begitu serius. Hal tersebut menyebabkan Ceng Popo jadi lebih leluasa bergerak. Dia ingin menyelidiki sampai mengetahui ketua dari perkumpulan tersebut, sebab ketua dari Cong Su-Kay inilah yang telah mengerahkan anak buahnya untuk memusuhi Siu Bun Lay.
Sedangkan si nenek menyelidiki satu ruangan keruangan lainnya, tiba-tiba dia mendengar suara tangisan dari seorang gadis. Menyedihkan sekali suara tangisan dari gadis itu. Hal itu telah menarik perhatian dari si nenek Ceng Popo.
Dia memasang telinganya untuk mendengarkan asal dari suara tangisan itu. Sampai akhirnya dia mengetahui bahwa suara tangisan itu berasal dari sebuah ruangan yang terletak tak begitu jauh dari tempatnya berdiri.
Cepat-cepat Ceng Popo menghampiri kamar itu. Didengarnya suara tangisan gadis itu semakin terdengar tegas. Menyedihkan sekali, sehingga menggerakkan hati dari Ceng Popo.
Dilihatnya penerangan di dalam kamar itu masih menyala, maka Ceng Popo telah mendekati jendela kamar itu. Dengan menggunakan ujung lidahnya, dia telah melobangi kertas jendela. Dia membuat lobang pada kertas jendela itu untuk mengintip ke dalam. Dilihatnya di atas pembaringan, seorang gadis berusia diantara sembilan belas tahun yang sedang tidur menelungkup menangis dengan sedih sekali. Rupanya gadis itu sedang diliputi oleh kesedihan yang luar biasa sekali.
Di dalam ruangan itu hanya si gadis saja tidak terdapat orang lainnya lagi.
“Lebih baik aku mati lebih baik aku mati!” mengoceh si gadis diantara sendat tangisnya dengan suara yang gemetar sekali. “Aku lebih baik mati dari pada menyerah dengan orang-orang yang menjadi anggota perkumpulan pengemis ini!”
Mendengar ocehan dari anak gadis itu, seketika itu juga Ceng Popo telah dapat menarik kesimpulan yang matang.
Dia segera mengetahui dan dapat menduga, bahwa si gadis tentu telah ditawan oleh orang-orang Cong Su Kay, dan mungkin pengemis-pengemis itu telah memaksa si gadis untuk melakukan sesuatu hal yang benar-benar tidak disenangi oleh si gadis
Timbul rasa iba dihati Ceng Popo.
Dia segera mengambil keputusan, bahwa dia datang ke tempat itu karena dia ingin membalas dendam dari Siu Bun Lay, dan sambil membalaskan sakit hati dari kawannya itu, apa salahnya kalau memang dia ini juga sekalian menolong gadis yang bernasib malang dan telah terjatuh ke dalam tangan dari pengemis-pengemis Cong Su Kay yang terkenal jahat itu?
Karena berpikir begitu, maka Ceng Popo jadi mengambil keputusan akan segera menolong gadis itu. Dia telah menggunakan tenaga Lweekangnya untuk menarik terbuka daun jendela. Disaat daun jendela itu dapat terbuka, maka dengan gesit dan cepat sekali dia telah melompat masuk ke dalam kamar.
Si gadis yang sedang menangis menelungkup di atas pembaringan jadi terkejut sekali mendengar suara yang berisik berasal dari terbukanya daun jendela itu secara paksa. Dengan wajah yang pucat, dan air mata yang masih membasahi pipinya, dia melompat bangun.
Ketika dia melihat daun jendela kamarnya itu telah terbuka dan dari luar telah melompat masuk sesosok tubuh dengan gerakan yang gesit sekali, dia jadi tambah terkejut. Tetapi disamping terkejut, si gadis juga bergusar dan murka.
Dia duga salah seorang pengemis itu telah ada yang melompat masuk untuk menganggu kehormatan dirinya.
Maka dari itu, tanpa menunggu dia dapat melihat tegas rupa dan wajah orang yang telah melompat masuk itu, gadis telah mencabut pedang yang tergantung di pinggangnya.
“Srettt!” pedang itu telah tercabut dengan cepat sekali.
“Akan aku adu jiwa denganmu!” teriak si gadis dengan suara yang nekad. Ceng Popo jadi terkejut waktu dia melihat tahu-tahu si gadis menyerang dirinya dengan menggunakan pedangnya. Pedang adalah senjata tajam. Dan senjata tajam seperti pedang yang ada di tangan si gadis tidak boleh dibuat main.
Kalau memang sampai dirinya kena diserang oleh pedang si gadis, jelas sudah tak bisa dibantah lagi bahwa tubuhnya akan terluka atau juga suatu kemungkinan jiwanya bisa melayang.
Maka dari itu si nenek tidak main-main lagi, dia juga tidak memandang rendah atas tusukan pedang orang.
“Tunggu!!” kata si nenek Ceng Popo sambil berusaha mengelakkan tusukan orang.
Si gadis tidak menghentikan tusukan pedangnya. Dia malah telah membentak lagi, berkata dengan suara yang mengandung hawa kegusaran yang sangat.
''Aku akan mengdu jiwa! Tak guna aku hidup! Biarlah kita mati bersama untuk menghadap ke raja akhirat!” kata si gadis dengan suara yang tergetar di antara sendat tangisnya. Sambil berkata begini, si gadis tidak berhenti menyerang Ceng Popo.
Pedangnya itu telah bergerak dengan cepat dan ganas sesali.
Kalau memang si nenek terlambat saja mengelakkan setiap serangan dari si gadis, maka dia akan menjadi korban dari tusukan pedang dari si gadis.
“Tunggu dulu! Aku tidak bermaksud jahat kepadamu!” Kata Ceng Popo dengan cepat. Tetapi si gadis mana mau mendengar perkataan si nenek Ceng Popo.
Dia memang telah menduga bahwa yang masuk ke dalam kamarnya ini melalui jendela kamarnya, tentu salah seorang diantara orang-orang yang telah menawan dirinya.
Maka dari itu, dia berpikir, tentu orang yang menerobos masuk itu akan merusak kehormatan dirinya atau juga mungkin dia akan mengganggu dirinya.
Disebabkan itulah maka dia telah menyerang terus menerus tak hentinya.
“Hentikan! Aku bermaksud baik! Aku datang untuk menolongmu!!” teriak Ceng Popo dengan suara yang diperlahankan, karena dia takut nanti orang-orang di luar yang sedang berjaga jaga itu akan mendengar bentakannya itu.
Si gadis seperti juga tuli. Dia menyerang terus. Malah pedangnya itu telah bergerak dengan jurus-jurus yang lebih liehay dan berbahaya. Hal ini membuat si nenek Ceng Popo jadi kewalahan sekali.
Sebab kalau memang dia melakukan dan melawan kekerasan atas serangan si gadis, tentu gadis itu akan celaka di dalam tangan nenek tersebut. Itulah yang tidak diinginkan oleh si nenek sebab dia datang dan masuk ke dalam kamar si gadis adalah untuk memberikan pertolongan kepada gadis itu jadi bukan untuk mencelakainya.
Tetapi kalau memang dia terus menerus hanya mengambil sikap membela diri belaka, dan si gadis telah menyerang terus menerus dengan serangan-serangan yang berbahaya sekali, tentu dirinya juga akan repot sekali.
Disamping dia akan bisa celaka di tangan gadis itu, si gadis yang selalu menyerang dengan gerakan-gerakan dan serangan-serangan yang ganas dan berbahaya, juga jangan-jangan nanti orang-orang dari Cong Su-kay akan mendengar suara ribut-ribut itu.
Kalau memang orang-orang Ceng Su Kay itu telah datang secara berbondong- bondong, hal itu akan menyulitkan si nenek Ceng Popo.
Sebab mereka itu selain main keroyok, juga kepandaian dari orang-orang Cong Su Kay tersebut liehay-liehay dan kosen-kosen sekali.
Maka dari itu, akhirnya si nenek Ceng Popo jadi mengambil keputusan untuk turun tangan agak keras terhadap diri si gadis ini.
Disebabkan itulah maka dengan mengeluarkan dan mengerahkan tenaga dalam pada lengannya, maka dia telah menotok jalan darah dari si gadis.
Juga tangan kirinya, telah menanskis serangan dari gadis itu, dia menyampok lengan gadis tersebut.
Terdengar suara ‘Dukkk’ yang keras sekali, disusul oleh jeritan kaget si gadis.
Dan belum lagi kaget gadis ini lenyap atau segera dia merasakan jalan darah pada lengannya telah tertotok oleh Ceng Popo, si nenek yang menjadi lawannya itu.
Dan untuk lebih kagetnya lagi, maka si gadis segara juga merasakan tangannya kaku, dan dia tidak bisa menjerit!
Dia berusaha untuk mengerahkan tenaga dalamnya guna menyalurkan jalan darahnya itu secara wajar membuka totokan dari si nenek, namun selalu saja gagal, dia tidak bisa menbuka totokan si nenek pada jalan darahnya.
WAKTU tubuh dari si gadis akan rubuh terguling ke lantai, maka Ceng Popo telah cepat-cepat menubruk dan mencekal tangan si gadis, agar tubuh gadis itu tidak rubuh ambruk di lantai
Setelah itu, Ceng Popo membisikkan si gadis dengan kata-kata : “Dengarlah! Aku datang untuk menolongmu, aku tidak bermaksud jelek! Kau jangan salah paham!!”
Dan setelah berkata begitu, Ceng Popo membuka jalan darah si gadis lagi. Kemudian dia melepaskan cekalannya pada lengan si gadis, dia lalu melompat menjauhi si gadis, karena Ceng Popo takut nanti si gadis saking mendongkolnya, waktu dia sedang membuka totokannya itu, dikala jalan darahnya telah terbebas, si gadis akan membarengi menyerang dirinya, sehingga hal itu akan membawa kerugian bagi dirinya.
Tetapi si gadis rupanya sudah melihat bahwa si nenek ini memang benar-benar tidak bermaksud buruk terhadap dirinya. Maka dari itu, dikala jalan darahnya terbebaskan dari totokannya, dia tidak menyerang lagi. Malah dia berdiri mengawasi Ceng Popo dengan tatapan mata bertanya-tanya.
Ceng Popo telah menatap gadis itu yang dikala dia telah dapat berdiri tetap.
“Aku datang bermaksud baik untuk menolongmu, maka dan itu, janganlah kau mempunyai dugaan yang tidak-tidak, aku ingin sekali membantu kau keluar dari kesulitanmu! Apakah kau sekarang sedang ditahan oleh orang-orang Cong Su Kay?” tanya Ceng Popo kemudian.
Gadis itu tidak lantas menyahuti. Dia menatap si nenek sesaat lamanya dulu. Baru kemudian dia mengangguk.
''Benar!” dia menyahuti. “Aku memang sedang ditawan oleh orang-orang Cong Su Kay!” dan dia masih tetap menatapi si nenek dengan cahaya mata bertanya-tanya, karena sampai detik itu, dia masih belum mengetahui, siapa adanya nenek yang berdiri dihadapannya ini, yang katanya mau menolongnya.
“Apa sebabnya maka kau ditahan oleh orang-orang Cong Su Kay itu?” tanya Ceng Popo lagi, nenek ini telah melangkah menghampiri si gadis.
Tampak gadis itu ragu-ragu. Tetapi akhirnya rupanya dia mau juga mempercayai bahwa nenek itu memang benar-benar ingin menolongnya.
Maka, setelah mendehem satu kali dia berkata : “Sebetulnya aku tidak mempunyai permusuhan dengan pihak Cong Su Kay, tetapi berhubung ada seorang anggota Cong Su Kay, yang duduk diperkumpulan pengemis itu sebagai penasehat, yang bernama Wang Sun Ku, yang telah berusaha untuk mengambil diriku untuk dijadikan isterinya yang ketujuh, maka kami jadi saling bentrok. Aku telah menolak lamarannya waktu Wang Sun Ku mengirim orang-orangnya menghadap pada ayahku, mereka ingin meminangku, tetapi ayahku telah mengetahui bahwa aku memang tidak senang terhadap orang-orang Cong Su Kay itu. Dengan sendirinya ayahku telah menolaknya juga.”
Setelah berkata begitu, si gadis telah berdiam diri dulu sesaat, dia mengawasi Ceng Popo lagi sesaat, dilihatnya si nenek sedang mendengarkan ceritanya.
Si gadis telah melanjutkan ceritanya lagi :
“Tetapi rupanya tolakan dari ayahku atas pinangan dari orang she Wang itu, telah
menyebabkan kegusaran pada orang-orang Cong Su Kay tersebut. Mereka jadi ganas dan telah menggunakan kekerasan mengancam ayahku. Tetapi ayahku memang mempunyai sifat yang keras dan tak akan mundur kalau menghadapi kebenaran, maka dari itu, dengan keras ayahku telah melawan kekerasan orang-orang Cong Su Kay tersebut. Aku dan ayahku telah menghadapi orang-orang Cong Su Kay itu, kami telah bertempur dengan seru.”
“Tetapi karena jumlah kami sangat sedikit sekali, disebabkan kami hanya berdua, maka dengan sendirinya kami terdesak dibawah angin. Malah yang hebat, orang-orang Ceng Su-kay itu telah dapat membunuh ayahku! Hal itulah yang telah menyebabkan aku jadi kalap dan mengamuk hebat, namun disebabkan tenagaku hanya seorang diri saja, dengan sendirinya aku kena dirubuhkan dan ditawan mereka! Aku dibawa ke markas mereka ini, dan dikurung terus disini sudah selama empat atau lima hari! Tadinya aku memang ingin membunuh diri guna menghindarkan diri dari orang Cong Su-kay yang sewaktu-waktu bisa mencemarkan diriku, tetapi telah kupikirkan lagi, kalau memang aku terbinasa, tentu sakit hati ini tidak akan terbalas, maka dari itu, aku tidak jadi mengambil keputusan yang nekad dan pendek itu!”
Dan setelah bercerita sampai di situ, maka si gadis jadi menangis. Dengan sendirinya dia menangis dengan sesenggukan di depan si nenek Ceng Popo.
Ceng Pono terharu mendengar cerita riwayat si gadis yang ada di depannya. Dia menghampiri.
“Jangan menangis, nak!” katanya menghibur.
Tetapi karena kata-kata si nenek itu keluar dengan suara yang lembut, dengan sendirinya hati si gads jadi tambah berduka, dia menangis cukup keras. Cjeng Popo telah membelai rambut anak gadis itu.
“Diamlah nak, sudahlah yang sudah, marilah nanti kita melakukan pembalasan dendam terhadap orang-orang Cong Su-kay itu. Aku akan membantu usaha mu untuk membalas sakit hatimu itu, dan aku memang mempunyai sangkutan dendam juga dengan orang-orang Cong Su-kay!!”
Mendengar perkataan si nenek, si gadis mengangkat kepalanya.
“Jadi jadi Popo juga mempunyai sangkutan dendam dengan orang-orang Cong Su-kay?!” tanya si gadis dengan suara yang tidak mempercayainya.
Si nenek, Ceng Popo, mengangguk.
“Ya!” dia menyahuti. “Dan aku memang ingin membasmi orang-orang Cong Su- kay yang biadab ini!”
Dan setelah berkata begitu, maka si nenek Ceng Popo telah menceritakan riwayatnya. Ceng Popo menceritakan tentang nasib kawannya, Siu Bun Lay, yang telah dihancur leburkan keluarganya oleh orang-orang Cong Su-kay tersebut. Mendengar cerita dari si nenek, maka akhirnya si gadis mau juga mempercayai diri si nenek. Dia juga telah menceritakan kepada Ceng Popo bahwa dia berasal dari keluarga Bian dan bernama Tie Su.
Karena merasa bahwa nasib si gadis harus dikasihani, maka akhirnya Ceng Popo menyatakan bahwa dia mau mengangkat diri si gadis menjadi cucunya. Dan usul dari si nenek itu disetujui oleh Bian Tie Su, si Su-jie.
Itulah, pada malam itu juga, si nenek dan Bian Tie Su telah mengobrak abrik markas dari Cong Su-kay, tetapi dengan tidak terduga, mereka jadi menghadapi orang- orang liehay yang mempunyai kepandaian luar biasa dari perkumpulan Cong Su Kay tersebut.
Akhirnya, mereka jadi bertempur dengan seru sekali. Tetapi, si nenek Ceng Popo dan Bian Tie Su terdesak hebat.
Malah, ketika menghadapi seorang Hweeshio yang menjadi anggota dari perkumpulan pengemis tersebut, yang mempunyai kepandaian luar bisa sekali, maka si nenek Ceng Popo telah berhasil dilukai oleh lawannya.
Hal ini telah mengejutkan Bian Tie Su.
Mereka, si nenek Ceng Popo dan Bian Tie Su berusaha untuk meloloskan diri dari kepungan orang-orang Cong Su Kay tersebut.
Dengan sendirinya, mereka dapat juga akhirnya menghindarkan diri dari kejaran orang-orang Cong Su Kay.
Itulah sebabnya, mengapa mereka akhirnya masih dikejar-kejar oleh orang-orang Cong Su Kay.
Di dalam keadaan terluka begitu, maKa si nenek tidak bisa memberikan banyak perlawanan, yang menyebabkan mereka jadi selalu diliputi oleh kekuatiran yang sangat.
Sampai akhirnya, disaat mereka sedang menghadapi bahaya dari kepungan orang- orang Cong Su Kay, maka telah datang tuan penolong mereka, yaitu Bie Liek, yang telah memberikan pertolongannya kepada mereka.
o
o o
“BEGITULAH riwayat kami!” kata Ceng Popo sambil menghela napas.
Bie Liek, Mie Kong, Sian Su Ling dan Sian Tauw Bun dan Bian Tie Su hanya mendengarkan semua cerita si nenek sambil mengawasi nenek itu.
Bie Liek juga telah menghela napas. “Kalau memang orang-orang Cong Su Kay itu kelewatan, dan terlalu jahat, maka biarlah kami yang akan menghadapinya!” Kata Bie Liek. “Kalau memang orang-orang Cong Su-kay itu tidak bisa diberi pengertian, maka kita harus menghajarnya!”
Ceng Popo mengangguk
“Ya tetapi, dengan sendirinya Siauwhiap tentu akan menghadapi kerepotan dan juga akan menghadapi banyak tokoh dari Cong-su-kay yang mempunyai kepandaian yang tinggi!” kata Ceng Popo.
Bie Liek tersenyum.
“Tetapi kalau memang kita berada dipihak benar, biar harus menghadapi siapa saja kita tidak perlu jeri!” menyahuti Bie Liek dengan suara yang tegas. “Dan Boanpwee kira Loocianpwee tentu berpendapat sama dengan Boanpwee!”
Ceng Popo mengangguk.
“Ya!” dia menyahuti. “Hanya aku si nenek tua takut kalau-kalau hal ini jadi merepotkan kau!”
Bie Liek cepat mengeluarkan kata-kata merendah : “Jangan berkata begitu Loocianpwee, kita sama-sama dari rimba persilatan, yang hidup berkelana, maka kita harus saling tolong menolong. Semua orang didalam rimba persilatan adalah sahabat dan saudara-saudara kita!”
Mendengar perkataan Bie Liek, yang lainnya jadi tersenyum. Mereka kagum akan sifat dan watak serta pribadi Bie Liek. Biarpun usianya masih sangat muda-remaja, toh pikiran bocah ini panjang dan dalam sekali.
Ceng Popo juga telah menghela napas, kemudian nenek ini tersenyum.
“Baiklah!” katanya. “Besok kita akan menyatroni markas Cong-su-kay lagi untuk menuntut pembalasan dendam dari kawanku, Siu Bun Lay, dan juga sakit hati cucuku ini, si Su-jie, yang keluarganya telah dibasmi oleh orang-orang Cong Su-kay itu!”
Bie Liek mengangguk.
“Besok kita berangkat!” kata Bie Liek dengan bersemangat sekali.
Mendengar begitu, Su-jie, Bian Tie Su, jadi terharu sekali, dia sampai menitikkan air mata terharu, dan tahu-tahu dia berlutut di depan Bie Liek.
“Terima kasih atas kesediaan Siauwhiap yang mau menolong untuk membalaskan sakit hati kami ini dengan begitu, dengan adanya Siauwhiap, tentu sakit hati kami akan terbalas impas!”
Dan setelah berkata begitu, Bian Tie Su mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Bie Liek jadi bingung, dia berusaha untuk mengelakkan diri ke samping menghindarkan diri dari penghormatan anak gadis yang menjadi cucu si nenek.
Tetapi orang telah memberi penghormatan begitu padanya, cepat-cepat dia menggoyang-goyangkan tangannya.
“Bangun Bian Siocia! Bangun!” kata Bie Liek dengan suara yang bingung. “Jangan begitu!!”
Tetapi Bian Tie Su telah memberikan penghormatannya itu.
Setelah menganggukkan kepalanya tiga kali, barulah gadis tersebut bangun berdiri.
“Nah Siauwhiap, kami menantikan perintah dari Siauwhiap saja! Apa yang akan diperintahkan oleh Siauwhiap akan didengar oleh kami!”
Bie Liek jadi likat diperlakukan begitu.
“Benar Bie Siauw-hiap! Kami akan mendengar setiap perintahmu!” kata Bian Tie Su juga.
Hal ini membuat Bie Liek jadi tambah jengah.
“Begini saja!” kata Bie Liek akhirnya, “Kalian tunggu saja di sini, biarkanlah aku yang akan menyatroni markas dari Cong-su-kay ini. Di dalam waktu satu bulan, aku sudah akan kembali kemari!”
Yang lainnya mengiakan.
“Jadi sambil menantikan kembalinya diri Boanpwee ini, Ceng Popo Loocianpwee bisa sekalian merawat diri dari luka yang Loocianpwee derita itu! Tentu Sian Loocianpwee dan Sian Siocia juga tidak keberatan, bukan?'
Sian Tauw Bun dan Sian Su Ling mengangguk mengiakan.
“Begitu juga boleh!!” kata mereka ayah dan anak hampir berbareng.
Setelah menetapkan keputusan begitu, maka mereka lalu berpasang omong sampai hampir mendekati fajar.
Sedangkan orang-orang Cong Su-kay yang tertotok oleh Bie Liek, masih menggeletak tak berdaya di tanah.
Akhirnya, setelah mendekati fajar begitu, Bie Liek dan yang lainnya menggusur orang-orang itu ked alam kamar, mereka diikat dengan erat.
Menjelang lohor, Bie Liek meminta diri, dia melakukan perjalanan seorang diri ke kota Tiang-sie-kwan untuk menyatroni markas dari Cong-su-kay.
Perjalanan itu memakan waktu yang cukup lama jarak Tiang sie-kwan sebetulnya cukup jauh, namun Be Liek telah melakukan perjalanannya itu dengan menggunakan
seekor kuda yang baik. Bie Liek telah mengambil keputusan untuk pergi seorang diri itu, hanyalah untuk mempermudah setiap langkah yang akan diambilnya, agar lebih leluasa, karena kalau memang Sian Su Ling atau juga Bian Tie Su ikut bersamanya menyatroni markas dari Cong-su kay, mungkin bukannya dapat membantu dirinya, malah hanya akan menambah kerepotannya belaka.
Itulah sebabnya Bie Liek telah mengambil keputusan untuk menyatroni markas pengemis tersebut dengan berseorang diri.
o
o o
TIANG SIE K WAN di waktu malam.
Keadaan di kota ini sangat sepi sekali, karena sudah mendekati kentongan ketiga. Angin malam juga sangat dingin sekali.
Pada petang itu Bie Liek telah sampai dikota tersebut, dia mengambil sebuah kamar di sebuah rumah penginapan, karena dia mau menunggu waktu sampai menjelang malam.
Dan disaat telah sampai pada kentongan ketiga itu, maka Bie Liek keluar dari dalam kamarnya itu, dia melalui jalan di atas genteng dari rumah penduduk.
Gerakan diri Bie Liek ringan dan gesit sekali, dia dapat bergerak dengan cepat di alas genting penduduk.
Dengan mengikuti petunjuk yang pernah diberikan oleh Ceng Popo, Bie Liek mencari markas dari Cong Su Kay tersebut.
Sedang Bie Liek melompati dari rumah ke rumah lainnya, disaat dia hampir sampai di pintu kota, maka tahu-tahu muncul beberapa sosok tubuh yang menghadang dirinya.
“Berhenti!” bentak salah seorang penghadangnya dengan suara yang bengis.
Bie Liek menahan langkah kakinya. Dia mengawasi ke arah orang-orang yang menghadangnya itu. Dilihatnya bahwa mereka itu adalah orang-orang yang berpakaian serba merah. Dilihat dari cara berpakaan mereka itu, yang seragam semuanya, maka bisa diduga bahwa orang-orang ini adalah anggota dari sebuah perkumpulan. Orang- orang itu semuanya berjumlah tujuh orang.
Bie Liek telah menatap orang-orang itu dengan berani.
“Ada apa tuan-tuan menghadang jalanku?” tanyanya dengan suara tak senang.
Salah seorang diantara ketujuh orang itu, yang mempunyai tubuh lebih tinggi dari yang lainnya, telah maju. Dia mengawasi Bie Liek sesaat. Atau dengan tiba-tiba matanya jadi berbinar. “Akh, memang benar dia!” tiba-tiba orang tersebut berteriak kepada kawan- kawannya.
Dengan tidak terduga keenam orang kawannya dan orang itu telah menubruk Bie
Liek.
Bie Liek jadi terkejut. Dia mau mengelakkan.Tetapi gerakan ketujuh orang itu aneh
sekali, tanpa berdaya, tahu-tahu kedua tangan Bie Liek telah kena ditelikung oleh ketujuh orang itu. Malah seorang diantara mereka telah menotok jalan darah Bie Liek.
Hal itu menyebabkan si bocah menjadi lumpuh. Dengan mudah ketujuh orang itu telah menawan Bie Liek.
Hal ini membuat hati Bie Liek jadi mencelos. Dia bingung mengapa ketujuh orang itu dapat bergerak begitu cepat. Padahal Bie Liek sendiri mengetahui bahwa dirinya mempunyai kepandaian yang tinggi sekali, maka tak mungkin dan tak seharusnya dirinya tertangkap begitu mudah oleh ketujuh orang tersebut.
Hanya di dalam kenyataannya, memang dia telah kena ditawan!
Tanpa dapat berkutik lagi, salah seorang diantara ketujuh orang itu, telah mengempit tubuh Bie Liek, yang dibawa lari dengan pesat sekali.
Keenam orang lainnya juga berlari-lari mengikuti perbuatan kawannya.
Bie Liek bingung sekali, apa maksud ketujuh orang ini menangkap dirinya, dan lagi pula siapakah mereka ini? Kalau dilihat dari cara mereka menangkap Bie Liek maka bisa diketahui bahwa kepandaian ketujuh orang tersebut sangat tinggi sekali. Juga waktu mereka berlari-lari dengan cepat, bisa dilihat sempurnanya Ginkang mereka.
Hal ini membingungkan Bie Liek benar, karena dia tidak mengetahui dan tidak mengenal ketujuh orang yang tahu-tahu telah menangkap dirinya itu.
Ketujuh orang itu masih berlari terus. Walaupun didalam keadaan tertotok, tetapi Bie Liek masih dalam keadaan tersadar. Dia bisa melihat, bahwa dirinya dibawa menuju keluar kota
Hati Bie Liek masih bertanya-tanya, kemana dirinya akan dibawa oleh ketujuh orang itu.
Tak lama kemudian, dikala mereka sampai disebuah rumah gedung yang bertingkat, dan pintunya yang dicat berwarna hitam, dipinggir kanan dari pintu besar itu terdapat singa-singaan dari batu yang besar sekali.
Ketujuh orang itu berhenti berlari dan berdiam diri di muka pintu itu. Salah seorang diantara mereka, yang bertubuh paling besar itu, telah mengetuk pintu besar itu.
Suara ketukan, antara gelang pintu yang bergoyang itu menimbulkan suara yang agak keras. Tak lama kemudian tampak pintu itu terbuka perlahan, dari dalam muncul kepala seorang gadis kecil. “Oh rupanya chit ya telah kembali?” kata si gadis cilik itu dengan suara yang girang. Dia membahasakan diri orang dengan sebutan chit-ya, ketujuh tuan-tuan.
Pintu segera dibuka lebar-lebar.
Ketujuh orang itu telah melangkah masuk dengan langkah yang lebar. Mereka menuju ke ruangan tengah dari rumah itu, kemudian mereka masing-masing duduk dikursi yang ada di ruangan tersebut, yang memang jumlah semuanya itu tujuh buah kursi.
Sikap mereka agung dan angkuh sekali. Sedangkan si gadis cilik yang tadi membukakan ketujuh orang itu pintu, telah berlari masuk ke dalam. Bie Liek telah diletakkan di atas lantai.
Mata Bie Liek mengawasi dan menatap orang-orang itu seorang demi seorang. Dilihatnya wajah ketujuh orang itu memperlihatkan sikap mereka yang bengis dan mengandung hawa amarah yang sangat. Bie Liek jadi heran. Dia tidak mengenal ketujuh orang tersebut, mengapa mereka seperti juga memusuhi dirinya ini sama memusuhi musuh bebuyutan mereka?
Sedang Bie Liek terheran-heran, dari dalam ruangan tersebut telah melangkah keluar seorang wanita. Wanita itu berusia diantara dua puluh sembilan tahun, wajahnya pucat sekali, memperlihatkan perasaan duka yang sangat, kepalanya terangkat tinggi- tinggi, dia memandang ke arah Bie Liek dengan pancaran mata yang tajam sekali, aneh luar biasa, mengerikan bagi Bie Liek.
Sepasang alisnya berkerut, menandakan bahwa si wanita ini mempunyai persoalan yang benar-benar mendukakan hatinya. Ketujuh orang yang tadi telah menawan Bie Liek, semuanya berdiri begitu wanita tersebut keluar.
“Wu Hujin apakah bocah ini yang telah menyebabkan keonaran itu?” tanya salah seorang diantara ketujuh lelaki tersebut. Dia memanggil si wanita dengan sebutan Wu Hujin, yang berarti nyonya Wu.
Wanita itu mengawasi Bie Liek dengan tajam sekali, dia kemudian mengangguk.
“Ya! Memang dia!” menyahuti wanita ini dengan suara yang bengis.
Ketujuh orang lelaki tersebut, telah menoleh menatap Bie Liek. Salah seorang diantara mereka, yang mempunyai tubuh paling besar, telah menggerakkan kakinya menyepak kepada dada Bie Liek.
Bie Liek sedang dalam keadaan tertotok, maka dari itu sepakan orang mengenai tepat dadanya.
“Dukkkk!”
Bie Liek menderita sakit luar biasa pada dadanya, dia merintih menahan rasa sakitnya itu. Sedangkan lelaki itu telah tertawa dingin. ''Bocah busuk! Kau rupanya telah mempunyai sepuluh nyawa maka berani mengganggu keluarga Ang-ie Pat sian, heh?” katanya dengan suara yang parau dan agak menyeramkan.
Dia menyebut tentang Ang ie Pat-sian, yang berarti delapan dewa berbaju merah. Dan tentu yang dimaksud dengan Pat-sian itu, delapan dewa berpakaian merah, adalah mereka sendiri, tetapi jumlah mereka hanya bertujuh. Mengapa hanya bertujuh, kemana yang satu lagi? Bie Liek tidak bisa berpikir lama-lama, karena salah seorang dari Pat-sian lainnya telah menggerakkan kakinya lagi menyepak lambung Bie Liek.
Bie Liek tidak bisa mengelakkan sepakan itu, karena dia sedang dalam keadaan tertotok. Maka diri itu, dengan sendirinya lambungnya itu kena terserang. Kembali Bie Liek menderita kesakitan yang hebat. Be Liek mendelik kepada ketujuh lelaki berpakaian serba merah itu.
Dia memaki, tetapi mulutnya seperti juga terkancing karena dia berada dalam keadaan tertotok. Coba kalau memang tadi dia tidak kena diselomoti, tentu dia akan melabrak ketujuh lelaki berpakaian serba merah ini. Kepandaian ketujuh orag itu, masih berada disebelah bawah dari kepandaian yang dimiliki oleh Bie Liek.
Hanya saja tadi, karena dia memang tidak menduga bahwa ketujuh orang itu bermaksud lain padanya, dan juga diserang dengan cara yang luar biasa, yang tidak diketahui caranya oleh Bie Liek, maka dia kena ditawan ketujuh orang itu. Coba kalau seandainya dia berada dalam keadaan bebas, tentu ketujuh orang itu akan berhasil dilabraknya.
Ketujuh lelaki berpakaian serba merah itu telah mengawasi Bie Liek dengan sorot mata yang bengis sekali, mereka mendelik pada Bie Liek
“Bocah akuilah bahwa engkau yang telah membunuh keponakan kami!!?” bentak salah seorang diantara ketujuh lelaki berpakaian serba merah itu. “Kalau memang kau mengakui secara terus terang, tentu kau akan mampus dengan tidak menderita kesakitan yang hebat, tetapi kalau memang kau bermaksud akan membantah kenyataan itu, membantah kejahatan yang telah kau lakukan, maka dengan menyesal kami harus melakukan penyiksaan dirimu!”
Dan setelah berkata begitu, ketujuh orang ini telah mendekati kearah Bie Liek. Bie Liek sangat heran. Dia tidak tahu kejahatan apakah yang telah dilakukannya menurut tuduhan dari ketujuh orang itu. Yang membuatnya jadi lebih heran lagi ialah, mengapa dia dipaksa untuk mengakui dirinya telah membunuh keponakan dari ketujuh orang itu?
Sedangkan kenal ketujuh orang ini saja tidak, dia baru pertama kali bertemu. Maka dari itu, Bie Liek jadi mendongkol dan gusar sekali.
“Tak hujan angin kalian menuduh aku telah membunuh keponakan kalian, dan tanpa periksa lagi kalian telah menyiksa diriku begini macam, maka kalau nanti aku memperoleh kebebasan dirku, hmmm akan kuberikan hajaran yang setimpal pada kalian!” pikir Bie Liek dengan mendongkol.
Salah seorang chit sian itu telah maju selangkah.
“Kau adalah seorang bocah, tetapi hatimu jahat melebihi iblis. Keponakan kami dan saudara tua kami, Toa-sian, telah kau bunuh dengan menggunakan racun! Hmm sekarang kalau memang hati dan jantungmu tidak dikorek untuk menyembahyangkan arwah dari Toa-sian dan keponakan kami, tentu mereka akan penasaran sekali! Nah, bersiap-siaplah untuk menerima kebinasaanmu!”