Jilid 02
“Baik!” katanya dengan cepat. “Rupanya kau memang benar-benar berkepala batu! Aku mau lihat, kau bisa menahannya atau tidak!” dan setelah berkata begitu, si gadis lalu mencabut jarum emasnya itu, dia menusukan pada jalan darah lainnya di tubuh Khu Hie.
Begitu ujung jarum menusuk jalan darah itu, seketika itu juga Khu Hie menjerit dengan suara yang menyayatkan, dia seperti juga sedang dikeset kulitnya, dan saking sakitnya dia tidak dapat menahan suara jeritannya itu.
Si gadis ketawa dingin. “Kau masih tetap mau menutup mulut?” bentaknya tawar. “Boleh kau rasakan
hukuman yang lainnya!!”
Khu Hie tidak bisa menyahuti, dia hanya merintih menahan perasaan sakit yang meliputi dirinya.
“Baik, coba kau rasakan ini!!” kata si gadis lagi dengan muka yang dingin. Dia juga
mencabut jarum emasnya, yang ditusukkan pada jalan darah Khu Hie lainnya.
Kembali Khu Hie menjerit dengan suara yang menyayatkan, seperti juga seekor kera yang akan disembelih, dia merasakan setiap sudut dengkul, lutut dan siku-siku lengan maupun tangannya seperti juga ditarik-tarik dan dikerik oleh pisau! Itulah suatu perasaan yang menyakitkan sekali dan tidak dapat ditahannya.
Maka, waktu si gadis memasukkan jarumnya pada jalan darahnya yang lain lagi, siksaan itu semakin hebat, dan setelah menjerit satu kali dengan suara yang keras luar biasa, akhirnya Khu Hie rubuh pingsan tidak sadarkan diri lagi!
Lama juga anak muda she Khu itu tak sadarkan diri, sampai akhirnya dia menggeliat dengan tubuh yang diliputi oleh perasaan sakit luar biasa.
Waktu Khu Hie membuka kelopak matannya, maka dia memperoleh kenyataan bahwa dirinya masih berbaring pada tempat yang semula, yaitu pembaringan batu yang menggigilkan tubuh.
Khu Hie berusaha untuk menggerakkan kaki dan tangannya, tapi dia memperoleh kenyataan bahwa dirinya masih tertotok, sehingga tetap saja dia tidak dapat bergerak.
Malah yang hebat, Khu Hie merasakan tubuhnya sakit sekali, nyeri menusuk tulang. Dan, yang paling sakit dirasakan oleh anak muda she Khu itu, ialah tempat dijalan darah yang ditusuk oleh jarum emasnya si gadis pada beberapa saat yang lalu.
Sedang Khu Hie tenggelam di dalam alam khayalan penderitaan sakit yang sakit luar biasa, tiba-tiba samar-samar dia mendengar suara tertawa dingin dari seseorang.
Khu Hie terkejut, dia berusaha menoleh, tetapi kepalanya tetap saja tidak dapat digerakkan. Terdengar lagi suara tertawa yang tawar dan menyakitkan pendengaran. Khu Hie tidak mau melayaninya, dia memejamkan matanya pula.
Setelah terdengar sekali lagi suara tertawa dingin yang tawar sekali, terasa ada tangan yang mencengkeram jalan darah Kie-mie-hiatnya, sehingga anak muda she Khu tersebut menjerit kesakitan.
Sedang dia menjerit, dikala mulutnya menganga terbuka lebar, terasa ada sesuatu benda yang masuk ke dalam mulutnya dan tanpa dapat dicegah oleh Khu Hie, benda itu tertelan.
Setelah benda bulat yang dirasakannya agak bau amis itu tertelan, jalan darah Kie-mie-hiatnya juga terlepas dari cengkeraman orang. Khu Hie mementang matanya lebar-lebar, dia memperoleh kenyataan bahwa si gadis yang tadi telah menyiksanya sedang berdiri disisi pembaringan dengan mimik muka yang dingin tidak menunjukkan suatu perasaanpun. Mulutnya sedang tersenyum dingin, dan sikapnya sangat mengejek sekali.
Si gadis sendiri waktu melihat Khu Hie telah dapat memandang dengan jelas dan sedang menatap pada dirinya, kembali memperdengarkan suara tertawanya yang tawar.
“Bagaimana? Apakah kau tetap akan menutup mulut?” tanya si gadis dengan suara
yang tawar, mulutnya tetap tersenyum mengejek.
Khu Hie murka sekali dirinya diperlakukan begitu macam, darahnya bergolak dengan hebat.
“Kalau memang kau mau membunuh, bunuhlah!!” bentaknya dengan suara yang keras, “Hmmm kau iblis betina, kalau memang kau benar-benar seorang pendekar, bunuhlah aku! Hmm, jangan harap aku akan bicara!”
Si gadis ketawa dingin waktu melihat sikap orang yang tetap berkepala batu.
“Hmm kau benar-benar keras kepala bocah!!” kata segadis dengan suara yang hambar. “Baiklah! Dengan jarum emas kau masih tetap membandel, sebarang aku ingin mencoba dengan cara yang lain!!” dan setelah berkata begitu, si gadis merogoh saku bajunya mengambil sesuatu, tiba-tiba, dia menarik keluar seekor ular kecil, berukuran tiga dim, digoyang-goyangkan ular itu di depan mata Khu Hie,
Melihat ular itu yang berwarna hijau lumut, tubuh Khu Hie menggigil.
Dia bukan takut mati. Sedikitpun dia tidak jeri menghadapi kematian, namun penyiksaan yang akan dilakukan oleh gadis itu benar-benar di luar perikemanusian. Kalau sampai ular itu menggigit korbannya, pasti racun ular itu akan menjalar keseluruh tubuh korbannya.
Malah yang hebat adalah ular yang dipegang oleh gadis itu ternyata ular yang disebut Ceng-coa, ular hijau, maka kalau sampai terkena gigitannya, korban yang menjadi gigitan ular tersebut tidak bisa menjadi manusia dan tidak bisa mati! Dapat dibayangkan penderitaan yang akan diderita oleh Khu Hie.
Si gadis tertawa tawar melihat perobahan wajah Khu Hie, “Takut?” tegurnya dingin. Mata Khu Hie mendelik
“Kau mau bunuh, bunuhlah!” teriaknya dengan suara yang kalap.
Si gadis tertawa mengejek.
“Bunuh?” tanyanya dingin “Untuk mati memang mudah, tapi aku ingin kau mati dengan perlahan-lahan!!” Menyeramkan suara gadis itu, sampai membikin tubuh Khu Hie jadi menggigil.
“Bagaimana? Aku memberikan kau kesempatan satu kali lagi! Kau mau memberitahukan asal-usulmu atau tidak? Kalau kau tetap membandel, hmmm, ular ini akan segera kuperintahkan untuk menggigitmu!” kata si gadis lagi waktu dia melihat anak muda she Khu itu mengawasi terus ularnya dengan tatapan mata yang menunjukkan perasaan jeri.
Khu Hie tersadar dengan cepat pada keadaan dirinya, dia mendelik pada si gadis, kemudian, dengan cepat dia memejamkan kedua matanya, dia sudah nekad. Lebih baik mati dari pada dihina begitu macam.
Melihat lagak orang, si gadis tertawa mengejek lagi sambil menggoyang- goyangkan ularnya.
“Hmmm kau keras kepala!!” katanya dengan suara yang tawar.
Perlahan-lahan diangkatnya ular yang ada di dalam cekalan tangannya.
“Kau tetap tidak mau bicara?!” tegurnya sebelum dia menurunkan ularnya itu. Khu Hie tidak melayaninya lagi, dia hanya tetap memejamkan matanya,
menantikan maut yang akan menjemput dirinya. Dia sudah pasrah akan mati.
Si gadis mendongkol melihat orang tetap memejamkan matanya tanpa meladeni perkataannya.
Ularnya diturunkan perlahan-lahan, sedangkan ular itu melenggang-lenggok dengan gerak badannya yang licin berlendir, kemudian waktu si gadis menurunkan lebih dekat lagi, ular itu berusaha untuk mencatok menggigit lengan Khu Hie, tetapi si gadis masih membatasi jaraknya, sehingga ular itu berulang kali tidak berhasil menggigit lengan anak muda itu.
Akhirnya, waktu melihat Khu Hie masih tetap memejamkan matanya, si gadis menarik pulang ularnya, dimasukkan ke dalam sakunya lagi sambil menarik napas.
Khu Hie yang menantikan gigitan ular itu, dia jadi heran juga, karena sampai sebegitu jauh, masih tetap tidak terjadi apa-apa terhadap dirinya.
Dia membuka kelopak matanya perlahan-lahan, tampak si gadis sedang menatap dirinya dengan pandangan mata yang dingin.
Anak muda she Khu itu ketawa dingin.
“Kenapa kau tidak memerintahkan ularmu itu untuk menggigitku?” ejeknya.
Wajah si gadis jadi berobah, tetapi sesaat kemudian telah pulih kembali seperti biasa. Dia ketawa mengejek dengan suara yang tawar.
“Hmm tanpa gigitan Ceng coa kau kira kau masih mempunyai kesempatan
untuk hidup?” ejeknya. “Tadi aku telah memasukkan Pek Hun Tan, pil tengkorak putih, kau telah menelannya. Dalam waktu dua kali dua puluh empat jam, tulang-tulangmu akan bercopotan dan kau akan terbinasa dengan menderita sekali!” dan setelah berkata begitu, si gadis ketawa gelak-gelak.
Menyeramkan sekali perkataan gadis itu. Tetapi Khu Hie telah nekad. Bagian mati memang sudah untuk dirinya, maka dia sudah tidak mengenal perasaan takut lagi.
Waktu si gadis sedang tertawa gelak-gelak, si anak muda she Khu mengumpulkan air ludahnya, kemudian disemburkan pada gadis itu.
Gadis itu terkejut waktu Khu Hie menyemburkan air ludahnya, dia sampai mengeluarkan seruan tertahan dan melompat ke samping untuk mengelakkannya.
Tetapi walaupun gesit dan hebat gerakan si gadis, toh dia terkena juga percikan air ludah. Hal ini membikin darah si gadis jadi meluap, dia murka bukan main. Dihampirinya Khu Hie, dan gadis itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi, kemudian diayunkan untuk menghajar remuk batok kepala Khu Hie. Khu Hie telah memejamkan matanya lagi.
Si gadis mengayunkan tangannya dengan disertai oleh tenaga Lweekang, Khu Hie juga merasakan menyambarnya tenaga Lweekang yang kuat itu. Tetapi anak muda she Khu itu tetap memejamkan matanya menantikan kematiannya.
Si gadis yang sedang murka terus juga mengayunkan tangannya, telapak tangan gadis itu terus juga meluncur meluncur semakin dekat, wajah si gadis yang putih serta
tidak menunjukkan suatu perasaanpun sangat menyeramkan sekali. Mengandung hawa pembunuhan.
Tetapi disaat jiwa Khu Hie sedang terancam bahaya kematian, terdengar bentakan
yang nyaring : “Tahan tahan Ouw-jie!”
Si gadis jadi terkejut dan menarik pulang tangannya dan menoleh kebelakangnya.
KHU HIE tidak mengetahui siapa yang telah mencegah si gadis, yang tadi dipanggil sebagai Ouw-jie itu. Dia hanya mendengar suara langkah kaki yang mendekati.
Khu Hie membuka kelopak matanya, maka dia melihat bahwa yang mencegah perbuatan si gadis tadi, tidak lain dari Mie Mie Tata.
Wajah nenek tua yang berambut panjang terurai menyeramkan itu memperlihatkan sikap tidak tenangnya.
Cepat-cepat si gadis, Ouw-jie, membungkukkan tubuhnya memberi hormat kepada Mie Mie Tata.
“Ada apakah Suhu?” tanyanya. “Hmmm aku tidak mengeluarkan perintah padamu menyiksa orang itu, mengapa kau ingin menurunkan tangan keras kepadanya?” tegur Mie Mie Tata dengan suara yang dingin, tawar sekali, matanya juga memain tak hentinya!
Si gadis terkejut ditegur begitu, cepat-cepat dia menjatuhkan dirinya berlutut sambil memanggut-manggutkan kepalanya.
“Murid memang salah!” katanya cepat. “Murid memang bersalah patut menerima hukuman dari Suhu!”
Mie Mie Tata ketawa dingin lagi, wajahnya tetap tidak sedap dipandang,
Khu Hie tetap mengawasi nenek bermuka seram dan berpakaian aneh itu yang diduga oleh anak muda she Khu ini, Mie Mie Tata tentunya seorang nenek gila, yang mempunyai kepandaian tinggi sekali
“Bangun kau!!” bentak si nenek.
Dengan masih takut-takut, si gadis bangun dan berdiri di belakang nenek itu. Dengan langkah perlahan-lahan Mie-mie Tata menghampiri pembaringan batu,
dimana Khu Hie masih rebah tertotok tidak dapat bergerak.
“Hmmm kau sudah sadar!!” kata si nenek waktu dia melihat si anak muda she Khu itu sedang menatap dirinya.
Khu Hie memang sudah tidak menyukai si nenek dan si gadis yang dipanggil Ouw- jie itu, dia memang sudah mempunyai kesan yang tidak baik terhadap kedua orang itu, maka waktu ditegur oleh si nenek, dia berdiam diri saja.
“Apakah kau tuli, hei bocah!!?” bentak si nenek dengan suara yang keras. Rupanya dia mendongkol pertanyaannya tidak disahuti oleh Khu Hie.
Khu Hie tetap tidak menyahuti, malah anak muda she Khu ini memejamkan matanya.
Si nenek jadi tambah mendongkol, dan saking mendongkolnya, tiba-tiba dia menangis, sehingga mengejutkan si gadis, Ouw-jie, yang cepat-cepat menghampirinya.
“Kenapa Suhu kenapa Suhu?” tanyanya gugup, “Apakan bocah itu menyakiti hati Suhu?”
Si nenek, Mie-mie Tata menggeleng.
“Tidak! Tidak! Dia mengingatkan aku kepada gurunya!” menyahuti si nenek
dengan suara yang parau. “Hai dia tentu muridnya situa bangka Kie Ceng!!”
Si gadis Ouw-jie jadi bingung, dia jadi mengawasi gurunya itu dan sesaat lagi mengawasi Khu Hie. Ouw-jie jadi tidak menyatakan sepatah katapun.
Khu Hie sendiri jadi heran waktu melihat si nenek menangis. Dan dia jadi lebih heran dan bingung waktu orang menyebut nama gurunya. Tiba-tiba Mie-mie Tata menoleh kepada Khu Hie.
“Bocah, katakanlah, bukankah kau ini murid dari si Kie Ceng tua bangka yang
sudah mau mampus itu?!” tegur si nenek lagi dengan suara yang sember.
Mendengar gurunya dikatakan sebagai si Kie Ceng tua bangka yang sudah mau mampus, Khu Hie jadi meluap darahnya, dia mendongkol sekali.
“Nenek tua, kau jangan menghina guruku!” bentak Khu Hie dengan gusar. “Kalau memang kau mau membunuhku, bunuhlah, untuk apa kau memaki-maki guruku?!”
Wajah si nenek jadi berubah tambah muram.
“Benar! Benar!” katanya setelah menghela napas. “Kau memang benar murid si Kie Ceng tua bangka yang sudah mau mampus itu!! Hai, duapuluh lima tahun telah lewat begitu saja, dan hari ini memang menjadi hari perjanjian kami untuk bertemu! Ha, tetapi rupanya tetap dia tak mau bertemu denganku lagi, dia hanya mengutus kau seorang!!”
Khu Hie tidak mengetahui apa yang dioceh oleh si nenek, dia berdiam diri saja. Semakin lama dia semakin bingung, lebih-lebih dilihatnya si nenek telah menangis lagi.
Sedang Khu Hie dan Ouw-jie kebingungan melihat lagak si nenek, dan setelah mengoceh beberapa saat lamanya lagi, tiba-tiba si nenek menoleh kepada Ouw-jie. Dia mengibaskan lengan jubahnya yang lebar gedombrongan.
“Bebaskan bocah itu!!” kata si nenek.
Ouw-jie tampak ragu-ragu.
“Suhu ini ini mana bisa?” kata si gadis dengan suara yang bimbang. Muka si nenek jadi berubah hebat.
“Ouw-jie, apakah kau sudah mulai berani membangkang perintahku?” bentak si
nenek.
Tubuh Ouw-jie jadi gemetar seperti orang kedinginan, dia cepat menjatuhkan
tubuhnya berlutut dihadapan si nenek.
“Mana berani Teecu membangkang perintah Suhu?” katanya ketakutan, “Hanya
saja bagaimana nanti kita mempertanggungjawabkan bocah ini terhadap Kauwcu?”
“Itu tanggung jawabku!! Bebaskan bocah itu!!'' bentak si nenek dengan suara
yang keras.
Si nona Ouw-jie tidak berani membantah lagi perintah si nenek, dia bangun dan menghampiri Khu Hie, dia mengulurkan tangannya menotok membuka beberapa jalan darah si anak muda she Khu yang telah tertotok itu.
Seketika itu juga Khu Hie merasakan jalan darahnya terbuka dan berjalan normal kembali.
Dengan cepat anak muda she Khu ini dapat menggerak gerakkan kaki tangannya. Dia melompat turun dari pembaringan batu yang dingin itu.
Si nenek sudah mengawasi dengan pancaran mata yang tajam luar biasa.
“Bocah, kuharap begitu kau sampai di rumah perguruanmu dan bertemu dengan Kie Ceng si tua bangka, kau sampaikan pesanku, bahwa Mie-mie Tata menantikan sangat kedatangannya! Aku memberikan batas waktu satu tahun padanya dimusim chun yang akan datang, dia sudah harus kemari!”
Khu Hie merangkapkan tangannya memberi hormat kepada si nenek.
“Akan boanpwee sampaikan!” kata anak muda she Khu ini cepat. “Dan ada pesan apa lagi, Loocianpwee?”
Tiba-tiba wajah si nenek berubah, dengan tidak terduga dia mengayunkan tangannya, dan 'plokkkk!' pipi Khu Hie yang sebelah kanan kena ditempelengnya.
Khu Hie sendiri jadi terkejut, sebetulnya dia ingin mengelakkan tempelengan si nenek itu, namun gerakan si nenek sangat cepat, sehingga dia tidak keburu untuk mengelakkannya, sehingga pipinya kena terhajar telak.
“Kau kau ” Khu Hie sangat mendongkol.
Sedangkan si nenek telah tertawa bengis. “Kalau aku tidak perintahkan, kau jangan banyak bertanya, seperti seorang nenek tua saja kau!”
Khu Hie mendongkol sekali, namun baru saja dia ingin menyahuti, tiba-tiba terdengar suara tertawa yang panjang dan nyaring sekali seakan-akan dapat menggetarkan dinding goa itu.
Wajah si nenek dan si gadis Ouw-jie jadi berubah pucat.
“Dia telah datang!!” kata si nenek dengan suara yang berubah parau.
Ouw-jie mengangguk.
“Ya, dia datang ” dia menyahuti.
Melihat lagak si nenek dan si gadis Ouw-jie, Khu Hie jadi heran, dia jadi memandang melengak kepada kedua orang itu.
Pada saat itu suara tertawa yang nyaring menggetarkan goa Gerbang Tengkorak itu telah berhenti, diganti oleh perkataan yang yang keras: “Hai nenek tua! Keluarlah untuk menyambut tamu agungmu ini! Apakah demikian cara penyambutan yang diberikan oleh kalian?”
Si nenek berubah lagi wajahnya, dia menoleh kepada Ouw-jie.
“Ayo kita sambut orang itu!” kata si nenek sambil melangkah keluar.
Ouw-jie mengangguk, dia mengikuti si nenek setelah melirik dengan mata mendelik kepada Khu Hie. Anak muda she Khu juga jadi ingin mengetahui, dia mengikuti si nenek Mie-mie Tata beserta gadis Ouw-jie itu keluar dari ruangan itu. Setelah melalui lorong-lorong yang berliku-liku, akhirnya mereka sampai dimuka goa Gerbang Tengkorak itu. Khu Hie mengenali tempat itu.
Di luar goa, tampak berdiri seorang laki-laki tua berpakaian seperti seorang nelayan, kumis janggutnya berkibar-kibar tertiup angin.
Si nenek Mie-mie Tata waktu melihat kakek tua itu, jadi mendengus mengeluarkan suara tertawa dingin.
“Hei Lotoa ternyata kau mempunyai keberanian untuk datang kemari!” kata si
nenek dengan suara yang mengejek dan menghampiri mendekat.
Kakek itu ketawa nyaring sekali, rupanya dia gusar benar mendengar perkataan Mie-mie Tata.
“Hmm biarpun goamu ini sarang naga, aku tidak jeri! Orang lain boleh jeri datang kemari, tetapi aku situa Pek Ie San-jin, orang gunung baju putih, tidak akan gentar terhadap kalian tikus-tikus kecil yang tidak tahu malu!”
Wajah si nenek berubah hebat.
“Kurang ajar!!” bentaknya dengan murka. “Kau terlalu mementang bacot! Apakah kau tidak takut nanti mulutmu itu aku keset menjadi dua?”
Si kakek yang menamakan dirinya Pek Ie San-jin tertawa keras sekali.
“Majulah kalau memang kau telah mempunyai kepandaian yang boleh diandalkan!” bentak kakek itu. “Hmmmhari ini adalah hari yang kita janjikan!! Aku mau lihat, apakah pihak kalian bisa melarang aku mengambil buah Siang-tho itu?”
Si nenek sangat gusar, dia tidak mengatakan sepatah katapun, hanya kakinya yang menjejak tanah dengan kuat, sehingga tubuhnya melambung tinggi, kedua tangannya juga diulurkan akan mencengkeram kepala si kakek. Sikap dan serangannya itu seperti juga gerakan seekor garuda.
Pek Ie San-jin tidak jeri melihat datangnya serangan si nenek, malah dia mengeluarkan suara dengusan yang hambar. Digeser kaki kirinya, kemudian dengan memutar tangannya sedikit, dia dapat menghindarkan serangan si nenek Mie-mie Tata.
Si nenek jadi tambah gusar, belum lagi tubuhnya meluncur turun ketanah, tangannya telah ditarik pulang dan dipakai menyerang lagi dengan gerakan yang lain.
Hebat kali ini serangan si nenek, karena selain hebat dan cepat, serangan tersebut juga disertai oleh tenaga Lweekang yang kuat sekali.
Kakek itu sebetulnya liehay sekali, tetapi dia tidak berani memandang rendah kepada Mie-mie Tata. Maka disaat dia melihat orang menyerang dengan tidak memberikan kesempatan padanya, dia tidak berani berlaku ayal lagi. Dengan cepat dia mengulurkan tangannya menangkis serangan itu, sehingga tangan mereka jadi saling terbentur dengan keras, menimbulkan suara 'dukkk!' yang nyaring sekali, tampak tubuh kedua orang itu tergoncang.
Namun Mie-mie Tata benar-benar liehay belum lagi tubuhnya turun ke tanah dia telah merobah serangannya lagi, dia telah menyerang kembali dengan tipu ‘Say-liong Say-kim-kong’, suatu serangan yang hebat sekali dari Kun-lun-pay!
Si kakek terkejut melihat orang begitu nekad, dia sendiri belum dapat menarik pulang tangannya, tetapi orang telah menyerangnya lagi, maka terpaksa dengan berani si kakek menyambut serangan lawannya, sehingga tangan mereka saling bentur lagi dengan mengeluarkan suara benturan yang keras. Tubuh mereka tidak bergeser dari tempat masing-masing, mereka masing-masing mengeluarkan seluruh tenaga Lweekang mereka, sedangkan tubuh si nenek Mie-mie Tata turun sedikit-sedikit sampai akhirnya kaki nenek itu menyentuh tanah.
Semakin lama mereka jadi semakin mengerahkan tenaga Lweekang mereka, ini terlihat dari mengepulnya uap putih di atas kepala kedua orang tersebut.
Mie-mie Tata berubah mukanya dari merah kehijauan, lalu berobah menjadi pucat, sedangkan Pek Ie San-jin juga sama keadaannya.
Hanya perlahan-lahan, tampak juga bahwa diantara kedua orang itu yang kepandaiannya lebih tinggi satu tingkat adalah Pek Ie San-jin, ini terlihat dari caranya yang semakin lama jadi semakin tenang.
Sedangkan Mie-mie Tata jadi semakin gelisah, wajahnya jadi berubah kelabu gelap. Ouw-jie yang menyaksikan keadaan gurunya itu jadi gelisah sekali.
Sebentar-sebentar dia melirik kepada Khu Hie, dan mata mereka sering bertemu, karena Khu Hie juga sering mengawasi si nona Ouw-jie.
Khu Hie sering tertawa di dalam hati melihat kegelisahan nona Ouw-jie itu, tetapi anak muda she Khu ini lebih tertarik melihat jalannya pertempuran antara kedua jago yang luar biasa itu.
Pertempuran antara Pek Ie San-jin dengan Mie-mie Tata semakin hebat. Walaupun mereka tidak menggerakkan kaki dan tangan mereka, toh pasir dan batu-batu kecil saling berterbangan terpukul oleh hawa Lweekang mereka yang membanjir keluar.
Butir-butir keringat sudah membanjiri muka kedua orang itu. Semakin lama tampak juga keletihan pada kedua orang itu.
Pek Ie San-jin sendiri mengetahui, kalau pertempuran itu diteruskan, pasti mereka akan sama-sama terluka. Maka si orang tua gunung berbaju putih ini memutar otaknya untuk mencari jalan keluar untuk mengalahkan si nenek Mie-mie Tata. Begitupun keadaan Mie-mie Tata.
Nenek tua inipun memutar otak dengan cepat. Dia mengetahui, kalau dia melayani terus kakek tua dari gunung berbaju putih itu, dia pasti akan kena dikalahkan, dirubuhkan di dalam tangan si kakek, maka dia memutar otak untuk mencari jalan untuk merobohkan Pek Ie San-jin.
Pertempuran tenaga dalam itu masih berlangsung terus dengan hebat, hal ini menyebabkan Khu Hie tidak berkedip memandang jalannya pertempuran.
Tiba-tiba, sedang seru-serunya pertempuran antara Pek Ie San-jin dan Mie-mie Tata berlangsung, dari balik sebuah pohon terdengar suara irama seruling yang lembut sekali, iramanya sayu menyayatkan hati.
Entah kenapa, semua orang yang mendengar suara seruling itu jadi tergoncang hati mereka.
Pek Ie San-jin sendiri dengan tidak terduga mengeluarkan suara jeritan yang keras dan melompat ke belakang dibarengi oleh jeritan Mie-mie Tata juga, yang mengikuti cara melompat si kakek.
Dengan sendirinya, dengan melompatnya mereka ke belakang, pertempuran antara kedua jago itu jadi selesai tanpa membawa korban.
Khu Hie jadi memandang tajam kepada peniup suling yang baru muncul dari balik pohon.
“Siapa dia? Mengapa suara serulingnya dapat memisahkan kedua jago yang sedang bertempur mati-matian itu? Apakah orang ini seorang jago yang luar biasa juga?” pikir Khu Hie.
Dilihatnya orang yang baru keluar dari balik pohon itu seorang anak lelaki berusia diantara dua belas tahun, parasnya cakap dan tubuhnya kurus kecil. Hanya matanya yang memancarkan cahaya yang tajam sekali.
“Pertempuran yang akan membawa korban jiwa tidak akan menguntungkan!!” kata bocah yang baru muncul itu, tangannya membawa seruling bambu, yang tadi ditiupnya, “Bukankah lebih baik kita saling mengikat tali persahabatan?”
Semua mata memandang bocah itu. Melihat semua orang memandang dirinya, bocah itu tertawa sambil mengacung-acungkan serulingnya.
“Boanpwee she Bie dan bernama tunggal, yaitu Liek!” kata si bocah memperkenalkan dirinya. “Suhuku memerintahkan agar mendamaikan persoalan Gerbang Tengkorak ini!”
Wajah Mie-mie Tata dan Pek Ie San jin jadi berubah hebat. “Siapa gurumu, bocah?” bentak Pek Ie San-jin dengan gusar. “Mengapa dia begitu tidak memandang mata kepada kami? Apakah kau ada harganya untuk ikut mencampuri persoalan kami?”
Si bocah dapat membawa sikap yang tenang wajahnya juga tidak menunjukkan perubahan apa-apa. Dia malah tersenyum dengan ramah.
“Jangan salah paham, Loocianpwee!!” kata si bocah, Bie Liek, dengan cepat. “Memang Teecu tidak pantas untuk ikut mencampuri urusan para Loocianpwee, namun guruku merasa bahwa persoalan di Gerbang Tengkorak ini sangat kecil, dan tidak pantas para Loocianpwee sampai saling adu jiwa hanya untuk memperebutkan buah Siang-tho itu! Sudahlah pesan guruku, lebih baik para Loocianpwee kembali ke tempat kediaman kalian masing-masing untuk memulihkan tali persahabatan!”
Muka Pek Ie San-jin dan Mie-mie Tata jadi berubah hebat, mereka gusar sekali.
Bayangkan saja, seorang bocah cilik bau ingusan, telah berani memberikan wejangan-wejangan kepada mereka yang sudah menjadi seorang kakek dan nenek! Betapa gusarnya hati mereka, sampai tubuh mereka menggigil menahan perasaan murka itu.
“Siapa gurumu?” bentak Pek Ie San-jin dan Mie-mie Tata hampir berbareng. Si bocah tertawa manis, sikapnya tenang sekali.
“Apakah kalau Boanpwee menyebutkan nama guru Boanpwee itu para Loocianpwee tidak takut untuk mendengarnya?" tanya si bocah dengan suara yang lembut.
Kemurkaan Mie-mie Tata dan Pek Ie San-jin jadi tambah meluap.
“Sebutkan! Kalau memang gurumu itu bukan orang yang berarti, kepalamu yang
akan menjadi gantinya untuk kami tabas dengan senjata kami!!”
“Bagus!!” si bocah malah menyahuti begitu. “Dengarlah baik-baik guruku ialah It Kun Tiong-goan!!”
“Ha?” Mie-mie Tata dan Pek Ie San-jin jadi melengak mendengar disebutnya gelaran guru bocah itu, wajah mereka pucat dan tubuh mereka menggigil!!
KHU HIE dan Ouw-jie yang melihat perobahan Mie-Mie Tata dan Pek Ie San-jin yang begitu bebat, jadi heran. Mengapa mendengar disebutnya gelaran guru bocah itu tampaknya kedua orang tua itu, Mie-mie Tata dan Pek Ie San-jin, ketakutan sekali.
Siapakah It Kun Tiong-goan, pendekar pukulan tunggal di daratan Tiong-goan itu? Dan Khu Hie beserta Ouw-jie jadi lebih heran serta terperanjat waktu Mie-mie Tata dan Pek Ie San-jin dengan tidak terduga menjatuhkan dirinya berlutut dihadapan si bocah.
“Ampunkanlah dosa-dosa kami!!” kata Mie-mie Tata dan Pek Ie San-jin hampir berbareng. “Kami tidak mengetahui bahwa Tay-siauw-jin adalah orangnya It Kun Tiong- goan!!” dan tampaknya kakek dan nenek itu ketakutan sekali.
“Oh jangan banyak peradatan! Jangan banyak peradatan!” kata bocah itu dengan repot. “Bangunlah! Boanpwee tidak bisa menerima pemberian hormat dari Loocianpwee berdua!!” dan Bie Liek, bocah itu, mengibas-ngibaskan serulingnya.
Aneh!! Biarpun Pek Ie San-jin dan Mie-mie Tata bukan jago nomor wahid, tetapi kepandaian mereka tidak terlalu lemah. Dan yang mengherankan sekali ialah begitu si bocah mengibaskan serulingnya, maka tubuh kedua orang itu, Mie-mie Tata dan Pek Ie San-jin seperti terangkat oleh suatu dorongan tenaga yang besar sekali dan di luar dari kemauan kedua orang tersebut, tubuh mereka jadi terangkat berdiri!
Semua yang menyaksikan hal itu jadi heran berbareng kagum kepada bocah Bie Liek tersebut.
Khu Hie sendiri sampai mementang matanya lebar-lebar. Sedangkan Mie-mie Tata dan Pek Ie San-jin telah berdiri dengan hormat dengan kepala tertunduk menghadap pada Bie Liek.
“Ada perintah apakah dari It Kun Tiong-goan yang Tay-siauw-jin bawakan untuk kami?” tanya Mie-mie Tata dan Pek Ie San-jin hampir berbareng.
Bocah Bie Liek tertawa manis.
“Tidak ada perintah apa-apa untuk kalian, Loocianpwee!!” kata si bocah menyahuti. “Guruku hanya memnta agar Loocianpwee hidup rukun tanpa saling bunuh disebabkan soal kecil saja.”
“Kami akan mendengarkan setiap perkataan dan pesan dari It Kun Tionggoan!!” kata Mie-mie Tata dan Pek Ie San-jin dengan cepat. “Kami tidak akan saling bertempur lagi!!”
''Bagus! Nah, Boanpwee mengucapkan selamat kepada Jiewie Loocianpwee yang telah mau memberi muka kepada guruku itu! Kalau demikian, Boanpwee permisi saja untuk berlalu!”
Mie-mie Tata dan Pek Ie San jin ingin berlutut lagi untuk memberi hormat, tetapi si bocah telah mengulapkan tangannya sambil katanya: “Jangan banyak peradatan!” Lalu dengan hanya beberapa kali jejakan kaki saja, tubuh kecil itu telah lenyap dari pandangan orang-orang tersebut. Khu Hie kagum sekali pada kepandaian yang dimiliki oleh Bie Liek, dia sampai menggeleng-gelengkan kepalanya tanda kekaguman yang sangat.
Sedangkan Mie-mie Tata telah melambaikan tangannya memanggil Ouw-jie. Mereka lalu masuk ke dalam goa Gerbang Tengkorak tanpa mengatakan sepatah katapun.
Pek Ie San-jin juga sudah patah semangatnya, tanpa mengucapkan sepatah kata juga, dia telah menjejakkan kakinya dan berlalu dari tempat itu.
Tinggal Khu Hie seorang diri yang masih berdiri dimulut goa Gerbang Tengkorak
itu.
Untuk masuk ke dalam Gerbang Tengkorak lagi, pasti dia harus bertempur
melawan Mie-mie Tata, sedangkan kepandaiannya di bawah kepandaian si nenek. Maka si anak muda she Khu ini jadi berdiri ragu-ragu di tempatnya.
Tetapi kalau untuk pulang ke rumah perguruannya, tentu gurunya akan murka, karena tugas yang dibebankan padanya itu tidak bisa dilaksanakan dengan benar.
Sedang si anak muda berdiri ragu-ragu, tiba-tiba terdengar suara orang bersenandung dengan suara yang perlahan sekali.
“Air sungai tak hentinya mengalir, musim demi musim saling berganti, Raja demi raja berguguran,
Muncul raja baru menggantikan singgasana, Dan, hujan turun disebabkan mega yang tebal,
Tangis perempuan disebabkan meninggal puteranya, Perut lapar disebabkan tak makan,
Tak ada penderitaan lagi didunia ini,
Bumi berputar disebabkan getaran tangis itu.
Dan, suara tertawa hanyalah membikin hati tambah berduka. Hai Siuchay dan orang-orang cerdik pandai,
Kemana pit dan kertasmu,
Tak ada lagi penderitaan di dunia ini,
Bumi berputar disebabkan getaran tangis itu
Khu Hie heran mendengar senandung yang menyedihkan itu, dia menoleh kebelakangnya, tampak seorang pengemis tua yang sedang jalan dengan tubuh terbongkok-bongkok.
Si pengemis sendiri telah melihat Khu Hie, dia menghampiri anak muda she Khu itu dengan langkah yang terseok-seok.
“Hei anak muda, mengapa kau berdiri di situ seperti patung?” tegur pengemis
tersebut sambil mengawasi Khu Hie dengan sorot mata yang tajam.
Khu Hie segan meladeni pengemis tua itu, dia memutar tubuhnya untuk berlalu.
Tetapi, baru saja dia melangkah beberapa tindak, didengarnya si pengemis telah menghela napas lagi sambil bersenandung seperti tadi : Tangis perempuan disebabkan meninggal puteranya, Perut lapar disebabkan tak makan,
Tak ada lagi penderitaan didunia ini,
Bumi berputar disebabkan getaran tangis itu,
Dan, suara tertawa hanyalah membikin hati tambah berduka, Hai Siuchay dan orang-orang cerdik pandai,
Ke mana pit dan kertasmu,
Tak ada lagi penderitaan dibumi ini,
Bumi berputar disebabkan getaran tangis ini Dan, kau anak muda bodoh tak punya guna, Hanya bisa berdiri mematung tanpa daya, Perintah guru dilalaikan,
hanya dapat mengagumi kepandaian orang!
Darah Khu Hie jadi tersirap. Dia terkejut, karena di dalam bersenandung itu, Khu Hie mengetahui orang sedang menyindir dirinya.
Maka dari itu, Khu Hie memutar tubuh. Ditatapnya si pengemis dengan pandangan yang tajam. Kemudian dengan merangkapkan tangannya dia menjura kepada pengemis itu.
“Siapakah Locianpwee?” tanyanya dengan suara yang menghormat. “Apakah ada suatu pelajaran untuk Boanpwee?”
Si pengemis membawa sikap yang acuh tak acuh, dia hanya melirik pada Khu Hie.
“Hmm kau anak muda yang tidak punya guna, kenapa kau harus jeri terhadap Mie-Mie Tata atau Pek Ie San-jin itu?” tegur si pengemis dengan suara yang dingin.
Muka Khu Hie jadi berubah merah,
“Tetapi ini ini ” katanya dengan suara tidak lampias.
Si pengemis tertawa dingin, sikapnya tetap tak acuh sama sekali.
“Kau ingin mengatakan bahwa kau juga jeri pada It Kun Tionggoan, heh?” tanya
si pengemis lagi.
Disanggapi begitu, muka Khu Hie jadi tambah merah.
“Atau kau jeri terhadap murid si nenek tua itu, si Ouw-jie gadis manis itu?” kata si
pengemis lagi.
Muka Khu Hie jadi tambah merah, dia jadi canggung sekali menghadapi pengemis ini, karena selain malu, hatinya juga mendongkol sekali.
Melihat orang berdiam diri saja, si pengemis jadi mendengus tertawa dingin lagi.
“Hmm bocah tadi, yang berusia dua belas tahun, yang memperkenalkan dirinya bernama Bie Liek, memang mempunyai kepandaian yang tinggi. Itu memang kuakui dan kau harus melatih diri selama tujuh tahun lagi kalau memang mau menandingi kepandaian si Bie Liek itu!!” Wajah Khu Hie jadi tambah merah seperti kepiting direbus, dia malu bukan main, malu berbareng mendongkol, karena orang terus menerus menghina dirinya. Dan, kalau melihat cara-cara berkata si pengemis itu, Khu Hie mau duga bahwa pengemis tersebut adalah seorang jago yang luar biasa, yang mempunyai kepandaian yang tinggi sekali.
“Bolehkah Boanpwee mengetahui nama Loocianpwee?” tanya Khu Hie dengan
suara ragu.
Si pengemis tidak lantas menyahuti, dia hanya menatap Khu Hie sesaat lamanya, baru kemudian dia berkata dengan suara yang perlahan : “Bukankah kau ini muridnya Kie Ceng Siansu? si tua bangka itu?”
“Ya!” menyahuti Khu Hie dengan cepat membenarkan perkataan si pengemis.
“Dan kau kemari diperintahkan oleh si tua bangka itu untuk mengambil buah Siang-tho, bukan?” tanya si pengemis lagi.
Kembali Khu Hie membenarkan perkataan si pengemis, walaupun dihati anak muda she Khu itu bingung luar biasa mendapatkan si pengemis mengetahui tempat tujuannya, keadaan dirinya dan tentang buah Siang-tho.
“Apakah selama dalam perjalanan kau tidak bertemu dengan penghadang?” tanya
si pengemis pula.
Khu Hie menceritakan perihal dia dikepung oleh orang-orangnya anak muda berpakaian pelajar tak dikenal itu, yang mana dia berhasil menghalaunya.
“Oh dia juga datang?” menggumam si pensemis dengan suara yang parau, dia menundukkan kepalanya sesaat, kemudaan mengangkat kepalanya menatap Khu Hie dengan sorot mata yang tajam sekali.
“Tahun ini Kie Ceng akan memasuki usia yang ketujuh puluh tiga tahun, bukan?”
tanya si pengemis lagi.
Kembali Khu Hie terkejut, si pengemis mengetahui persis tentang umur gurunya. Dan, anak muda ini jadi mau menduga bahwa setidak-tidaknya pengemis ini tentu kawan gurunya itu, Maka cepat-cepat dia membenarkan pertanyaan si pengemis.
“Apakah kau akan meneruskan maksudmu untuk mengambil buah Siang-tho itu?”
tanya si pengemis lagi.
Khu Hie mengangguk.
“Ya!” dia menyahuti. “Boanpwee akan meneruskan maksud Boanpwee.”
Si pengemis tiba-tiba tertawa agak keras.
“Percuma, percuma!!” katanya dengan cepat, “Kau tidak mungkin bisa mengambil buah Siang-tho. Lebih baik kau pulang dan minta gurumu sendiri yang turun tangan mengambilnya. Kepandaian Mie-mie Tata bukan rendah, belum lagi Kauwcunya, kau
tidak mungkin memperoleh buah itu!”
Khu Hie jadi berdiri ragu, dia mengawasi si pengemis beberapa saat lamanya. Pengemis itu ketawa lagi waktu melihat anak muda ini berdiam diri saja.
“Kau percayalah perkataanku, bocah!!' kata si pengemis. “Aku tidak pernah main- main!!”
Khu Hie menghela napas, dia merangkapkan tangannya memberi hormat kepada si pengemis. Sebagai seorang yang cerdik, dengan sendirinya Khu Hie menyadari bahwa kata-kata si pengemis itu merupakan kisikan pada dirinya agar kembali pulang saja, karena memang kenyataannya dia tidak akan mampu memperebutkan buah Siang-tho itu.
“Bolehkah Boan-pwee mengetahui nama Loocianpwee yang harum?” kata Khu Hie
dengan menghormat.
Si pengemis ketawa keras lagi sambil mengusap-usap perutnya.
“Sudah jarang ada yang memanggil namaku, maka aku sendiri juga telah melupakannya, maka akhir-akhir ini orang biasa memanggilku dengan sebutan Kauwkay, si pengemis monyet.” kata si pengemis dan dia tertawa lagi aengan suara yang keras.
Kho Hie melengak mendengar orang menyebut gelarannya sebagai Kauwkay, si pengemis monyet, hampir dia tertawa. Untung saja anak muda she Khu ini dapat mengendalikan dirinya.
“Baiklah Loocianpwee, kalau begitu Boanpwee akan pulang saja..... terima kasih atas nasehat-nasehat Loocianpwee!” kata Khu Hie sambil merangkapkan tangannya memberi hormat kepada si pengemis, kemudian berlalu.
Kauwkay mengangguk, dia tertawa saja waktu melibat kepergian anak muda itu.
Setelah Khu Hie lenyap dari pandangan matanya, dia tertawa lagi, dijatuhkan dirinya dibawah sebuah pohon dimuka goa Gerbang Tengkorak, duduk di situ sambil menyenderkan kepalanyan, matanya dipejamkan, dan dalam waktu hanya beberapa detik saja, telah terdengar suara mengerosnya.
MARI kita melihat Bie Liek, si bocah yang berusia dua belas tahun tapi mempunyai kepandaian yang tinggi sekali itu.
Dari Gerbang Tengkorak, dengan ilmu entengi tubuh yang sempurna, Bie Liek berlarian terus dengan kecepatan seperti terbang. Waktu dia sampai dicelah pegunungan Siongsan itu, di sebuah lembah yang banyak ditumbuhi oleh pohon-pohon yang rimbun, dia berhenti sesaat.
Dipandangnya pemandangan disekitar tempat itu dengan pandangan mata mengagumi.
Akhirnya terdengar dia menghela napas.
“Suhu memerintahkan aku untuk mengembara menambah ilmu, tetapi dalam usia sebesarku ini seharusnya belum dapat berpisah dengan Suhu!” menggumam bocah itu dengan mata tetap memandang keindahan di lembah gunung Siongsan tersebut. “Lebih- lebih akhir ini Suhu sering sakit-sakitan, maka kalau sampai kesehatan Suhu semakin memburuk, siapa yang akan merawatnya?”
Dan terdengar lagi suara helaan napas bocah itu.
Kemudian dengan langkah yang perlahan-lahan dia meninggalkan lembah gunung Siongsan.
“Biar bagaimana aku harus kembali menemani Suhu!” pikirnya, “Tetapi ach, Suhu dulu telah mengatakan kalau aku kembali sebelum tiga tahun, pasti Suhu akan memutuskan hubungan antara guru dan murid! Biarlah, selama tiga tahun ini aku akan mengembara di dalam kalangan Kaug-ouw, dan setelah tiga tahun aku akan melewati hari-hari disisi Suhu!” dan setelah berpikir begitu, dengan sekali menjejakkan kakinya, maka tubuh si bocah she Bie itu melambung tinggi sekali, dan beberapa kali jejakan kaki, dia sudah berada di atas tebing gunung, dan berlari dengan gesit serta lincah.
o o o
KITA menengok kebelakang sepuluh tahun yang lalu, dimana pada saat itu Bie Liek, bocah luar biasa tersebut baru berusia antara dua tahun.
Keluarga Bie Liek sangat susah penghidupannya, ayah Bie Liek, yang bernama Bie Song Gie, bekerja sebagai buruh kasar di rumah Pie Wang-gwee, Pie Chung si hartawan kaya raya.
Namun gaji yang diterima oleh Song Gie tidak cukup untuk menutupi kebutuhan hari-hari keluarganya, maka isterinya juga berusaha mencari tambahan dengan menerima cucian pakaian.
Tetapi, walaupun penghidupan keluarga Bie tersebut sangat miskin, toh mereka hidup sangat bahagia sekali. Lebih-lebih Bie Liek pada saat itu yang telah berusia dua tahun sangat lucu sekali.
Tetapi kebahagiaan keluarga Bie rupanya hanya sampai di situ saja, karena pada suatu hari dikala Bie Song Gie sedang pergi ke rumah majikannya untuk bekerja, pagi itu kebetulan Pie Bu Lay, putera Pie Chung, lewat di depan rumah Bie Song Gie, di mana dia melihat isteri Song Gie sedang mencuci pakaian. Bu Lay terkenal sebagai anak orang kaya yang bebogoran, maka melihat wajah Sam Nio, isteri Bie Song Gie, yang cantik dan menarik, walaupun tidak mengenakan pakaian yang bagus, hati anak muda ini jadi tertarik.
Kebetulan pada saat itu Bie Liek sedang bermain-main dimuka rumahnya. Bu Lay menghampiri.
“Adik...siaapa namamu?” tanya Bu Lay sambil berjongkok disamping Bie Liek.
Bocah she Bie itu memandang curiga kepada Bu Lay, tetapi anak hartawan she Pie itu telah keburu mengeluarkan beberapa bungkus bunga gula, yang diangsurkan kepada bocah itu, sehingga Bie Liek jadi kegirangan dan cepat-cepat mengucapkan terima kasih.
“Kau tinggal dimana?” tanya Pie Bu Lay selang sesaat.
“Itu tu di situ!” menunjuk Bie' Liek ke arah rumahnya,
Bu Lay jadi girang, karena segera juga dia melihat bahwa rumah yang ditunjuk oleh Bie Liek adalah rumah dimana dia melihat tadi adanya si nona cantik.
“Kau mempunyai ibu?” tanya Bu Lay lagi.
Bie Liek mengangguk.
“Itu yang sedang mencuci pakaian, ibuku!” kata Bie Liek sambil menunjuk pada
Sam Nio.
Bu Lay jadi tambah girang lagi, dia mengangguk-angguk sambil menyipitkan matanya, dan dihatinya telah terkilas semncam ingatan untuk mempersunting Sam Nio.
Sebelum pulang, Bu Lay memberikan beberapa chie kepada Bie Liek, sehingga Bie Liek jadi kegirangan bertemu dengan Susiok yang baik hati ini.
Dengan langkah cepat Bu Lay pulang ke rumahnya.
Dipanggilnya Ong Toa, penasehatnya, seorang lelaki tua dengan memakai kaca mata tebal dan licik sekali.
“Duduk Ong Toa!” kata Bu Lay waktu melihat Ong Toa telah datang.
Penasehat dari Bu Lay itu duduk sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, mulutnya menyeringai tertawa dan matanya yang seperti mata tikus itu berulang kali menatap Bu Lay.
“Rupanya Kongcu sedang menghadapi suatu peristiwa yang menggelisahkan!”
kata Ong Toa sambil menyeringai lagi dan matanya memain tidak hentinya.
“Benar! Aku memang sedang menghadapi kesulitan!!” kata Bu Lay dengan suara
yang perlahan. “Dan aku ingin minta pertolonganmu!” “Oh sebutkan saja! Sebutkan saja!” kata penasehat itu dengan cepat. “Ong Toa
selalu siap akan membantu Kongcu keluar dari kesulitanmu itu! Kau berkelahi lagi?”
Bu Lay menggelengkan kepalanya.
“Tidak! Bukan itu!!” dan dia menatap penasehatnya dengan pipi yang berubah merah.
Melihat itu Ong Toa segera mengerti bahwa yang akan dibicarakan oleh majikan mudanya itu pasti tentang perempuan.
“Katakan Kongcu, Ong Toa pasti akan mengeluarkan seluruh tenaga dan pikiran
untuk membantu Kongcu!” kata Ong Toa sambil menyeringai penuh arti.
Bu Lay merogoh sakunya mengeluarkan serenceng uang chie yang terdiri dari beberapa tail, kemudian dia memberikannya kepada Ong Toa.
Yang jelas kakek penasehat itu jadi kegirangan sekali, dia mengucapkan terima kasih berulang kali.
“Ong Toa, aku sedang menemui kesulitan lagi!” kata Bu Lay kemudian. “Aku telah
jatuh hati pada seorang perempuan.” Ong Toa tertawa.
“Sudah dikebut saja!!” kata penasehat ini sambil tertawa menyeringai.
“Tunggu dulu!” kata Bu Lay dengan cepat. “Soal kebut memang mudah, tetapi aku menemui kesulitan.”
“Siocia mana yang beruntung mendapat perhatian dari Kongcu?” tanya Ong Toa cepat. “Inilah kesulitan yang sedang kuhadapi!” kata Bu Lay dengan lesu.
“Katakan katakan!!” kata Ong Toa cepat. “Tak ada soal sulit bagi Ong Toa!”
Bu Lay tertawa.
“Nah itulah sebabnya aku ingin meminta pertolonganmu!” kata Bu Lay cepat. “Wanita itu bukan perawan lagi, dia sudah menjadi isteri orang!”
“Oh apa lagi begitu, itu lebih mudah!!” kata Ong Toa menimpali. “Sungguh!” tanya Bu Lay girang.
“Mengapa tidak?” balik tanya Ong Toa. “Tadinya Ong Toa kira Kongcu jatuh hati pada seorang Siocia dikampung ini, tak tahunya hanya tong sampah bekas.”
Bu Lay tersenyum.
“Jadi kau berani jamin bisa menggaet perempuan itu?” tanya Bu Lay.
Ong Toa mengangguk. “Beres semua beres di tangan Ong Toa!” kata Ong Toa. “Coba Kongcu ceritakan perempuan yang beruntung mendapat perhatian Kongcu itu tinggal di mana?”
Bu Lay menceritakan semuanya, juga tentang Bie Liek dan Sam Nio sampai sejelas-jelasnya. Letak rumah dan jalanan yang dilalui, semuanya diceritakan kepada Ong Toa.
Mendengar itu, Ong Toa seperti berpikir.
Melihat penasehatnya terpekur, Bu Lay jadi berdebar hatinya. Dia duga si penasehat tua ini menemui kesulitan setelah mengetahui perihal Sam Nio.
“Kenapa Ong Toa?” tanya Bu Lay.
“Oh tidak!!” dan Ong Toa tertawa lagi. “Aku sedang mengingat-ingat! Kalau tidak salah suami perempuan itu bekerja pada Pie Wang-gwee, ayahmu!!”
“Oh?”
“Benar dan ini lebih mudah lagi!” kata Ong Toa. “Aku bisa membujuk Pie Wang- gwee agar memberikan tugas kepada suami perempuan itu untuk tugas keluar daerah beberapa saat, misalnya dua atau tiga bulan dan selama ini Kongcu boleh memboyong isterinya!!”
Mendengar perkataan Ong Toa, Bu Lay jadi kegirangan, dia sampai mengeluarkan seruan yang keras.
“Bagus Ong Toa! Bagus!!” serunya. “Dan kalau berhasil, kau akan kuberi hadiah yang banyak!!”
Si tua ketawa menyeringai, dia meminta diri dari majikan mudanya ini untuk menemui Pie Chun, ayah Bu Lay untuk membujuk guna membuang Bie Song Gie ke suatu daerah untuk suatu tugas, agar si kakek tua ini menjalankan rencana kejahatannya terhadap keluarga Bie tersebut lebih mudah lagi.
SORE itu Song Gie pulang ke rumahnya dengan muka yang murung.
Sam Nio yang melihat perobahan suaminya yang begitu pulang dan sampai menjelang malam selalu duduk termenung, jadi heran.
Dia menghampiri suaminya.
Dipegang bahunya, sambil mencium pipi Song Gie.
“Kenapa Koko?” tanya sang istri.
Song Gie menghela napas.
“Sam Nio, mungkin satu atau dua hari lagi aku akan di kirim Pie Wang-gwee ke daerah Kanglam mengawal barang-barangnya!” kata si suami dengan suara yang lesu. “Kau kau akan di kirim ke Kanglam?' tanya Sam Nio terkejut. Song Gie mengangguk.
“Ya dan mungkin untuk waktu selama lima bulan atau secepatnya empat bulan!!” menyahuti si suami dengan lesu tak bersemangat. “Dan sebetulnya aku ingin menolak perintah Pie Wang-gwee, tetapi aku takut nanti aku dipecatnya, dan kita bisa celaka!”
Sam Nio jadi lemas badannya, dia menjatuhkan dirinya dikursi. Ditatapnya suaminya itu. Song Gie yang melihat keadaan isterinya itu, jadi menghela napas.
“Sam Nio.” katanya sambil mencekal tangan isterinya itu. “Kau harus jaga Bie Liek baik-baik dan kukira kepergian aku itu akan membawa kemajuan juga, karena Pie Wang- gwee telah menjanjikan, kalau memang aku berhasil membawa barang-barangnya dengan selamat tiba di Kanglam, sekembalinya dari sana, aku akan dinaikkan menjadi Mandor kebun dan gajiku akan dinaikkan.”
“Tetapi Koko mengawal barang-barang bukan suatu pekerjaan yang ringan, lagi pula kau tentu tak akan kuat melakukan perjalanan yang begitu jauh karena tubuhmu sangat lemah sekali, sering terserang penyakit!!”
Song Gie tersenyum pahit.
“Aku hanya ikut para Piauwsu mengawasi barang itu, kalau memang ada penjahat yang ingin merampok barang-barang itu, Piauwsu-piauwsu itu yang akan menghadapinya!” menerangkan Bie Song Gie cepat.
Sam Nio tetap tidak tenang ingin melepaskan suaminya. Malam itu waktu mereka akan tidur, Sam Nio memeluki suaminya terus menerus, seakan-akan dia takut terjadi sesuatu.
Paginya, dikala suaminya akan pergi bekerja, Sam Nio memesan padanya, kalau Pie Wang-gwee pagi ini juga mengirim Song Gie, maka Sam Nio minta agar Song Gie secepatnya memberi kabar.
Si suami memberikan janjinya.
Bie Liek dan Sam Nio mengantarkan Song Gie sampai beberapa puluh meter dari rumah mereka, berat sekali perpisahan antara suami isteri serta putera itu!
Dan, malapetaka sedang mengancam rumah tangga keluarga Bie itu!!
KEBERANGKATAN Bie Song Gie memang sudah diatur oleh Ong Toa.
Maka pada hari itu setelah Song Gie berangkat mengikut para Piauwsu mengawal barang-barang yang akan di kirim Pie Wang-gwee ke Kanglam, Ong Toa dan Bu Lay jadi repot. Anak hartawan she Pie itu sudah lantas repot berpakaian yang bagus-bagus dan sebentar-sebentar memandang dirinya di muka cermin yang terbuat dari baja murni itu.
Menjelang senja, dengan diantar Ong Toa, Pie Bu Lay mengunjungi rumah Bie Song Gie.
Pada saat itu pintu muka sedang tertutup, rupanya Sam Nio dan Bie Liek telah siang-siang akan tidur.
Hati Bu Lay jadi berdebar-debar keras, dia menoleh dan mengedipkan matanya memberi tanda kepada Ong Toa agar si tua itu mengetuk daun pintu.
Ong Toa mengerti apa yang diperintahkan oleh majikannya itu, cepat-cepat dia maju ke depan, dia mengetuk pintu itu.
Sepi, tidak ada sahutan. Ong Toa mengetuk lagi. Tetap tidak ada sahutan.
Ong Toa menoleh kepada Bu Lay yang kala itu sedang berdiri gelisah, dan Ong Toa kemudian, mengetuk lebih keras lagi.
Tetap tidak ada sahutan. Ong Toa menoleh lagi sambil mengangkat bahu.
Bu Lay tambah gelisah. Kongcu orang kaya ini maju dan mengetuk pintu sendiri. Tetap tidak ada sahutan.
Ong Toa dan Bu Lay jadi tambah gelisah.
Sedang mereka gelisah itu, dari arah selatan tampak mendatangi seorang laki-laki
tua.
Waktu melihat Ong Toa dan Bu Lay berdiri di depan rumah Song Gie yang tertutup
pintunya itu, dia menghampiri.
“Kongcu cari siapa?'' tanya lelaki tua itu.
“Bie Song Gie!” menyahuti Ong Toa dengan cepat.
“Orang she Bie itu telah pergi di kirim majikannya ke Kanglam!!” menyahuti orang
tua itu dengan cepat-cepat
“Oh dan kami memang sudah tahu itu!!” kata Ong Toa cepat. “Dan ini putera Pie Wang-gwee, Pie Siauwkongcu, yang di kirim kemari oleh Pie Wang-gwee untuk mengantarkan uang gaji dari orang She Bie itu!”
Lelaki itu mengkerutkan alisnya sambil menatap Pie Kongcu, dia bimbang. Tetapi akhirnya dia berkata juga. “Sam Nio dan puteranya sedang pergi kepasar untuk keperluan mereka nanti selama suaminya berada di Kanglam.” menerangkan laki laki itu.
Ong Toa mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Dengan kesal dan jengkel, Bu Lay pulang kembali ke rumah diiringi oleh Ong Toa.
Selama dalam perjalanan Bu Lay selalu memaki di dalam hati, karena rencananya telah gagal.
Selama dalam perjalanan Ong Toa selalu menghiburnya dengan segala macam janji-janjinya. Dia juga mengatakan bahwa nanti malam pasti Bu Lay akan berhasil dengan maksud hatinya mempersunting Sam Nio.
Tetapi Bu Lay tetap uring-uringan.
Dan, menjelaag malam, dikala sang bulan sudah menunjukkan dirinya, dikala sang binatang malam mulai memperdengarkan suara berdendangnya, maka Ong Toa mengajak Bu Lay untuk mengunjungi Sam Nio lagi.
Dengan hati yang berdebar-debar Bu Lay mengikuti Ong Toa ke rumah Bie Song Gie lagi.
Waktu sampai di sana, diiihatnya, penerangan di dalam rumah sudah dinyalakan.
Bu Lay jadi girang, karena dengan sendirinya dia segera mengetahui bahwa Sam Nio tentu sudah pulang.
Dengan hati yang agak berdebar Bu Lay mengetuk pintu rumah itu, agak keras.
“Siapa?” terdengar teguran dari dalam dan hati Bu Lay jadi semakin berdebar karena yang menanya itu suara seorang wanita yang merdu sekali, dan Bu Lay segera juga dapat menduga bahwa yang menanya itu pasti Sam Nio.
“Kami dari Pie Wang-gwee!” Ong Toa telah menyahuti mewakili Kongcunya.
Sunyi Sesaat.
Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki yang mendekat.
Hati Bu Lay semakin berdebar. Ong Toa melirik majikan mudanya sambil tersenyum.
Waktu pintu terbuka, tampak Sam Nio dengan wajah yang agak pucat.
“Mari silahkan masuk Koanya!” kata San Nio dengan ragu, dia memanggil orang dengan sebutan Koanya, yang artinya tuan. “Ada pesan apakah dari Pie Wang-gwee?”
Ong Toa masuk ke dalam, sedangkan Bu Lay hanya mengikuti dari belakang dengan mata tak hentinya memain memandang kecantikan Sam Nio.
Mereka duduk dikursi yang sudah agak reot.
Sam Nio jadi repot menyediakan mereka teh, lebih-lebih Bu Lay selalu membawa sikap yang angkuh dan agak tinggi diri, membuat Sam Nio jadi lebih gugup lagi. Waktu dia membawakan dua cangkir air teh untuk kedua tamunya itu, Ong Toa memperkenalkan Bu Lay kepada Sam Nio, dan juga menyebutkan bahwa Bu Lay adalah putra dari Pie Wang-gwee, majikan suami perempuan itu.
Sam Nio jadi tambah menghormat.
Setelah batuk-batuk beberapa kali, barulah Ong Toa berkata dengan suara yang penuh kelicikan : “Begini Hujin, maksud kedatangan kami kemari sebetulnya diutus oleh Pie Wang-gwee untuk membawakan hadiah berupa uang guna melewati hari-hari selama suami Hujin sedang tugas di luar daerah!!” dan Ong Toa mengeluarkan serenceng uang, diserahkan kepada Sam Nio.
Perempuan itu jadi gugup berbareng girang, karena dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa dia akan menerima hadiah dari majikan suaminya itu.
Apa lagi kalau dilihat, jumlah uang yang diserahkan oleh Ong Toa itu sangat besar sekali, dan mungkin kalau suaminya bekerja selama satu tahun, belum tentu dia dapat mengumpulkan uang sebanyak itu.
Dengan cepat Sam Nio ingin berlutut menyatakan terima kasihnya. Tetapi telah dicegah oleh Bu Lay.
Ong Toa tertawa-tawa.
“Hujin, kukira perlu juga aku menerangkan kepada Hujin, bahwa semua ini berkat jasa kasihan dari Bu Lay Kongcu yang telah membujuk Pie Wang-gwee untuk memberikan hadiah kepada keluarga Hujin, karena Kongcu ini kasihan melihat keluarga Hujin yang agak sulit di dalam penghidupan!!”
Kembali Sam Njo menyatakan terima kasihnya dengan hati yang berdebar.
Dan perempuan ini juga tidak tenang hatinya, karena sebagai seorang perempuan yang mempunyai hati yang halus dan mempunyai perasaan yang tajam, Sam Nio memperoleh kesan bahwa Kongcu muda itu selalu mengawasi dirinya dengan mata yang tajam dan agak liar.
Tetapi karena orang datang membawakan hadiah untuknya, dia tidak berani membawa sikap yang sembarangan.
Dan, lama juga Bu Lay bersama Ong Toa berada di rumah Sam Nio, sampai akhirnya hampir menjelang tengah malam, barulah mereka pamitan.
Sebetulnya selama ini Sam Nio jadi tambah gelisah, semakin mendekati tengah malam, dia semakin tidak tenang. Untuk diusir terang tidak bisa, maka dia berdiam diri. Hatinya baru tenang setelah kedua tamunya ini minta diri untuk pulang.
Tetapi waktu Ong Toa dan Bu Lay akan meninggalkan rumahnya, Bu Lay telah menyampaikan undangannya yang mengundang Sam Nio untuk makan-makan di rumah gedungnya. Sam Nio ingin menolaknya, tetapi belum lagi dia menyampaikan tampikannya, Ong Toa telah mendesaknya, sehingga akhirnya dia menerima undangan dari Bu Lay.
Dengan hati yang dipenuhi perasaan gembira, Bu Lay pulang ke rumahnya.
Dan, selama malam itu, dia mengatur rencana berdua Ong Toa, setelah jauh malam, baru mereka berpisah untuk tidur.
Malam itu dalam tidurnya, Bu Lay bermimpi bahwa dia sudah bisa memiliki Sam Nio, perempuan yang cantik dan menjadi isteri Song Gie, lelaki yang menjadi pegawai ayahnya!
SORE itu di muka rumah Sam Nio berhenti sebuah kereta yang di kirim oleh Bu Lay. Sam Nio agak tak tenang waktu menaiki kereta itu bersama Bie Liek.
Dengan hanya menggunakan pakaian yang sederhana, perempuan itu memenuhi undangan Bu Lay. Dia sengaja tidak memakai pakaian yang indah-indah, walaupun sebetulnya dia bisa, karena Bu Lay telah memberikan hadiah yang cukup banyak. Namun karena melihat sikap orang mencurigakan, Sam Nio sengaja tidak mau mempergunakan dulu uang hadiah itu.
Selama dalam perjalanan ke rumah Bu Lay dengan kereta yang di kirim oleh anak hartawan itu, perasaan Sam Nio semakin tidak tenang.
Dia seperti mempunyai perasaan yang membisikkan padanya bahwa Kongcu muda dari hartawan Pie itu tidak mempunyai maksud yang baik.
Tetapi Sam Nio juga tidak berani tidak memenuhi undangan dari anak majikan suaminya, karena kalau sampai Bu Lay tersinggung, tentu suaminya akan dipecat atau setidak-tidaknya akan dimusuhi, maka dengan terpaksa Sam Nio menekan perasaan tidak tenangnya.
Dalam waktu yang singkat, kereta yang dinaiki oleh Sam Nio bersama puteranya telah tiba dimuka rumah Bu Lay, rumah gedung keluarga hartawan she Pie itu.
Hati Sam Nio semakin berdebar keras juga hatinya tambah tidak tenang. Lebih- lebih kedatangannya itu disambut oleh Ong Toa. Sam Nio dan puteranya diajak kebelakang gedung, dan di situ telah menunggu Bu Lay.
Dengan gembira Bu Lay mengajak Sam Nio ke sebuah ruangan yang mewah, dimana di tengah-tengah ruangan telah terdapat sebuah meja makan yang dipenuhi oleh hidangan-hidangan yang serba lezat dan tentunya Sam Nio belum pernah makan.
Waktu duduk dikursi yang mewah itu, perasaan Sam Nio jadi semakin tidak tenang.
“Aku sangat gembira Hujin mau memenuhi undanganku!!” kata Bu Lay setelah
masing-masing mengambil tempat duduk. “Dan, mari kita mulai bersantap!” Sam Nio cepat-cepat mengeluarkan kata-kata merendah dan mengucapkan terima kasih. Selama bersantap itu, mata Bu Lay tak hentinya menatap kecantikan yang dimiliki oleh Sam Nio.
Juga matanya sering bernaung di dada Sam Nio yang tampak masih besar dan padat, walaupun sudah mempunyai seorang putera, yaitu Bie Liek.
Dan bocah Bie Liek yang tidak mengetahui sesuatu apapun, sudah makan dengan lahap. Dia hanya mempunyai perasaan bahwa paman, Siok-siok, yang telah mengundang mereka makan itu, sangat baik sekali.
Setelah mereka makan-makan, maka Bu Lay mengajak Sam Nio dan Bie Liek mengelilingi gedungnya untuk menyaksikan keindahan dan kemewahan dari keluarga hartawan she Pie tersebut.
Selama itu Ong Toa tetap mengawal mereka. Dan, terakhir Bu Lay mengajak Sam Nio ke taman, dimana telah tersedia sebuah meja untuk minum-minum. Sam Nio ingin menolaknya, karena perasaannya semakin tidak tenang. Namun, dia takut nanti si Kongcu muda ini jadi tersinggung, maka dia masih berdiam diri.
Terakhir kali, Bu Lay mengangsurkan secawan minuman, yang dikatakannya sebagai penghormatan Bu Lay kepada perempuan tersebut.
Sam Nio semakin tidak tenang, dia menolaknya, dengan mengatakan bahwa dia tidak biasa meminum minuman keras.
Tetapi Bu Lay mendesaknya, sehingga terpaksa Sam Nio meneguknya.
Begitu cairan warna coklat itu memasuki mulutnya, dia merasakan bahwa perasaan panas meliputi mulutnya, perlahan-lahan turun keperutnya.
Bu Lay mengawasi dengan tajam.
Dan, dia tertawa menyeringai mencurigakan. Melihat itu Sam Nio berdiri sambil mengatakan bahwa dia mau pulang karena telah jauh malam. Bu Lay berusaha mencegahnya, tetapi Sam Nio tetap berkeras ingin pulang juga.