Eps 27 : Sengkala Angin Darah
Gemuruh angin dan kobaran api menjilat- jilat melambung tinggi bagai hendak menggapai langit. Sesekali terdengar suara ledakan berden- tum. Bebatuan yang dikobari api muncrat di uda- ra. Suasana di sekeliling lapangan itu berubah te- rang benderang.
Tidak mengherankan akibat api yang keluar dari dalam lubang menghitam itu mencuat pepo- honan yang terdapat di sekitarnya jadi hangus menghitam.
Semburan api dan gemuruh angin yang me- nebarkan hawa panas itu memang berlangsung cukup lama. Tetapi kemudian kobaran api men- jadi surut. Bersamaan dengan itu hembusan an- gin panas mereda pula. Suasana di sekelilingnya kemudian berubah menjadi sunyi.
Kesunyian yang terjadi ternyata tidak ber- langsung lama. Sekejap kemudian di tempat itu muncul seorang kakek berpakaian kembang- kembang. Kakek itu berambut panjang, sedang- kan kedua matanya juling.
Orang tua ini membekal sebuah tombak ber- mata tiga. Ketika jejakan kaki di tempat itu dia pusatkan perhatiannya ke arah lubang yang men- ganga hitam terletak di depan sana.
Setelah memperhatikan lubang yang masih mengepulkan uap panas, si kakek menelan ludah. Orang tua berpakaian kembang-kembang ini dikenal dengan nama Saba Geni. Dia dalam hati berkata "Sengkala Angin Darah ... Hmmm, ternya- ta mahluk sakti yang sangat langka itu jatuh di tempat ini." Sekali lagi matanya yang juling me- nyapu pandang.
Dia melihat pepohonan yang hangus porak poranda. Saba Geni juga merasakan adanya hawa panas yang menyengat kepulan asap tebal yang keluar dari lubang tempat jatuhnya benda terse- but.
"Seperti yang telah kuduga, seperti yang dika- takan sahabatku pula. Sengkala Angin Darah ak- hirnya benar-benar munculkan diri. Ini berarti malapetaka tak mungkin dapat dihindari lagi. Aku harus mengambil benda itu. Aku tak mung- kin mau dekati lubang. Benda itu baru saja jatuh dari langit. Jika kupaksakan diri mau dekati lu- bang, tubuhku bisa hangus. Dari sini saja aku te- lah merasakan kedahsyatannya. Dari sini aku bi- sa menggunakan tenaga dalam, mengangkat Sengkala Angin Darah dari jarak yang jauh. Sete- lah benda yang ujudnya seperti manusia mini itu kudapatkan selekasnya aku tinggalkan tempat ini" Setelah berkata begitu si kakek angkat dua tangannya di atas kepala.
Tangan itu disilangkan antara satu dengan yang lainnya. Setelah itu secara perlahan namun pasti dia salurkan setengah dari tenaga dalam yang dia miliki ke arah kedua belah tangannya. Sekejap saja tangan Saba Geni bergetar keras. Tak lama kemudian si kakek segera arahkan dua tangannya yang teraliri tenaga dalam ke arah mu- lut lubang yang menganga hitam. Dari jarak jauh si kakek kemudian segera mengangkat benda yang berada di dalam lubang tersebut. Gambaran yang didapatnya selama ini hanyalah sekedar ka- bar yang sempat dia dengar dari dunia persilatan. Tetapi untuk mengeluarkan Sengkala Angin Darah dari dalam lubang menganga ternyata bu- kan pekerjaan mudah. Justru pada gebrakan per- tama ini saja si kakek sudah merasa ada satu ke- kuatan luar biasa yang keluar dari lubang itu mendorongnya. Saba Geni terhuyung tiga tindak ke belakang. Kakek ini terkejut bukan main, tu- buhnya keluarkan keringat dingin. Sambil meng- gerutu dalam hati dia kembali arahkan tangan- nya. Setelah dua tangan sejajar dengan perut, se- cara perlahan dia mengangkat kedua tangan ke
atas.
"Ups, celaka! Aku tidak ubahnya mengangkat benda yang beratnya ratusan kati. Benda itu memberontak. Dia melakukan perlawanan, na- mun aku harus mendapatkannya dengan cara apapun." fikir Saba Geni. Dan orang tua inipun akhirnya memaksakan diri. Justru apa yang dila- kukannya ini membuat tubuhnya makin tergetar sedangkan kedua kaki amblas ke dalam sampai tanah ke mata kaki.
Kejut di hati Saba Geni bukan kepalang. Te- tapi pada sisi lain dia juga merasa penasaran. Ka- rena itu tanpa fikir panjang lagi dia segera cabut tombak bermata tiga yang tergantung di pung- gung.
Dengan kekuatan penuh senjata dihunjam- kan ke tanah. Seketika terdengar suara menderu dan bersuitnya angin menggidikkan begitu tom- bak melesat ke bawah.
Ketika senjata yang menjadi andalan si kakek menghunjam ke tanah. Batu-batu sebesar kepala kerbau berpentalan di udara. Tanah sekawasan tempat itu bergetar hebat. Sedangkan Sengkala Angin Darah tampak bergerak naik ke permukaan dengan posisi kaki menghadap ke atas.
Dengan tubuh serta pakaian bersimbah ke- ringat si kakek dengan mata berkeriapan meman- dang ke arah lubang. Mulutnya mengurai senyum begitu melihat sebagian kaki Sengkala Angin Da- rah yang besarnya tidak lebih dari boneka itu ter- sembul mencuat di permukaan lubang. Saba Geni simpan tombaknya ke tempat semula. Setelah itu dia kembali salurkan tenaga sakti ke bagian tan- gan hingga ke dua belah tangan si kakek berwar- na merah kebiruan hingga sebatas siku.
Dua tangan yang telah berubah merah kebi- ru-biruan kemudian diangkat ke atas. Setelah itu dengan disertai teriakan melengking tinggi si ka- kek melompat di atas ketinggian lalu hantamkan tangannya ke arah lubang.
Wuuus, wuuus! Buuum!
Terdengar suara ledakan menggelegar begitu pukulan Saba Geni menghantam sisi lubang. Be- batuan porak poranda. Tanah di sekeliling lubang berhamburan di udara.
Tak lama setelah gelapnya debu yang menu- tupi pemandangan lenyap, terlihatlah satu pe- mandangan aneh namun melegakan hati sekali- gus mendebarkan.
Di mulut lubang hitam yang hangus porak poranda Saba Geni melihat satu sosok dalam ujud manusia. Besarnya sosok manusia dengan warna kulit kemerah-merahan ini tidak lebih be- sar dari boneka atau lengan bocah kecil. Sedang- kan panjang tubuhnya tidak lebih dari dua jeng- kal. Sosok seperti boneka itu berambut panjang namun kasar hampir tiga kali dari panjang tu- buhnya sendiri. Rambut itu berwarna putih, se- dang sepasang matanya dalam keadaan terpejam. Wajah angker perpaduan antara manusia dan monyet dan ditumbuhi bulu-bulu halus.
Sedangkan gigi mencuat, panjang sekaligus tajam mirip taring dua di atas dan dua di bawah. Kemudian bagian jemari mahluk aneh ini ditum- buhi kuku-kuku yang panjang, runcing setengah melingkar berwarna hitam. Begitu juga halnya dengan jari kaki sama dengan kuku tangan.
Meskipun sebelumnya Saba Geni sudah per- nah mendengar tentang ciri-ciri mahluk ini, tak urung dia sempat tercengang juga.
Saba Geni mengusap matanya. Mahluk aneh yang dilihatnya masih tetap berada di tempatnya.
Saba Geni terdiam, otaknya berfikir keras mencari cara terbaik untuk membawa benda sakti itu. Cukup lama si kakek dalam keadaan seperti itu. Dia menyadari andai dia mengambil Sengkala Angin Darah dengan tangan telanjang, meskipun disertai pengerahan tenaga dalam dapat dipasti- kan tangannya akan hangus gosong. Bukti nyata sudah ada di depan mata dengan adanya mayat- mayat hangus menghitam yang bertebaran di se- kitar tempat itu.
Satu-satunya cara adalah mengerahkan selu- ruh tenaga dalam untuk melindungi tubuh dari serangan ganas yang keluar dengan sendirinya dari tubuh mahluk itu.
Tapi ada satu hal yang mengkhawatirkan Sa- ba Geni. Bagaimana andai kesaktian yang dia mi- liki ternyata kalah kuat dengan pancaran hawa panas yang bersumber dari Sengkala Angin Da- rah?
Dia dapat memastikan nasibnya bakal tidak kalah menggenaskan dengan mayat-mayat yang bertebaran di sekitarnya. Andai itu sampai terjadi Sengkala Angin Darah pasti bakal jatuh ke tangan fihak ketiga. Dan ini sangat tidak dia ingini.
Selagi Saba Geni memutar otak memikirkan cara yang terbaik, pada waktu bersamaan terlihat dua bayangan berkelebat. Dua bayangan berpa- kaian serba kuning dan sangat menyolok beram- but panjang. Gerakannya cepat bukan main se- perti kilat.
Melihat kehadiran dua tamu yang tidak diun- dang ini tentu si kakek tidak tinggal diam. Apalagi salah satu diantaranya bergerak ke arah Sengkala Angin Darah.
"Pencuri busuk. Aku bersusah payah menge- luarkan benda itu. Sekarang enak saja kau hen- dak mengambilnya?" berkata begitu Saba Geni melesat ke depan. Selagi tubuhnya melesat sede- mikian rupa si kakek lepaskan satu tendangan ki- lat ke arah perut sosok yang berusaha meraih Sengkala Angin Darah yang tergeletak di atas ta- nah.
"Aih ... Tua bangka edan!" Orang itu kelua- rkan seruan kaget lalu batalkan niatnya dan ter- paksa melompat mundur menjauh dari benda sakti tersebut. Dengan begitu serangan Saba Geni tidak mengenai sasaran.
Dua sosok serba kuning sama jejakkan kaki di depan si kakek. Astaga! Ternyata mereka pe- rempuan semua dan merupakan gadis-gadis yang masih muda berpakaian transparan, berdandan menyolok.
Beberapa saat lama yang Saba Geni memper- hatikan perempuan itu. Sebaliknya yang dipan- dang malah pusatkan perhatiannya ke arah mah- luk aneh yang tergeletak dalam posisi terjungkir. "Saudaraku, lihat! Benda yang kita cari itu ter- nyata benar-benar ada di sini. Sebaiknya kita ambil sebelum ada orang lain yang mengacaukan rencana kita!" kata perempuan yang berbadan le- bih jangkung.
"Ah, aku gembira sekali, Larti. Ternyata untuk mendapatkannya tidak sulit. Guru pasti senang bila kita membawa benda itu kepadanya," sahut satunya lagi siap bergerak ke depan.
Saba Geni tidak tinggal diam. Dia segera menghalangi. "Jangan lakukan! Tak satupun di antara kalian yang boleh mengambilnya. Aku yang telah mengeluarkannya. Benda itu jadi mi- likku!" sergah si kakek.
Gadis yang bernama Laras dan Larti saling berpandangan. Lalu dongakkan kepala dan sama tertawa tergelak-gelak. Puas mereka tertawa pe- rempuan yang bernama Laras berkata ditujukan pada temannya. "Hem, kau dengar Larti? Dia ter- nyata mengaku sebagai pemilik benda sakti itu."
Yang diajak bicara tersenyum. "Benda itu sangat diinginkan oleh guru kita. Kalau dia men- gaku telah mengeluarkannya dari lubang. Kita wajib berterima kasih padanya karena secara ti- dak langsung dia telah membantu. Jadi tidaklah salah jika kita memberikan imbalan pada kakek ini!"
"Eh, apa maksudmu?" tanya Laras.
"Jangan bodoh! Apa salahnya jika kau mene- mani kakek ini barang satu malam. Sementara aku yang membawa benda itu untuk kuserahkan pada guru. Hi... hi... hi."
Laras tertawa lebar. "Aku tidak keberatan, ta- pi apakah laki-laki setua dia masih sanggup me- nyenangi diriku? Melihat penampilan dia sudah tak bisa lagi berbuat apa-apa, apa lagi memberi ku sorga yang indah. Hi... hi... hi."
"Kalau dia sudah tidak berguna alangkah le- bih baik jika kita bunuh saja! Sekarang kita ber- bagi tugas, kau hadapi dia dan aku mengambil Sengkala Angin Darah!" tegas Larti.
Melihat gelagat yang tidak baik ini, Saba Geni tidak dapat tinggal diam. Dengan suara melengk- ing dia berkata. "Berani kalian mengambil benda itu? Jangan salahkan jika aku terpaksa berlaku kurang ajar!" Dua perempuan itu saling pandang. Tanpa menghiraukan ancaman si kakek mereka sama anggukkan kepala. Kemudian laksana kilat Larti melewati bagian kepala si kakek.
"Perempuan kurang ajar. Kalian berdua ter- nyata mencari mati!" berkata begitu si kakek han- tamkan tangannya ke atas mencegah gerakan Larti yang berniat mengambil benda sakti yang tergeletak di belakangnya. Melihat temannya mendapat serangan, Laras pun tidak tinggal di- am. Dengan gerakan cepat perempuan itu le- paskan pukulan beruntun ke arah si kakek.
Hawa panas menyambar kaki Saba Geni juga di bagian dadanya. Kakek bermata juling kelua- rkan suara berdengus, lalu melempar diri ke samping. Selanjutnya orang tua ini berguling se- lamatkan diri. Serangan si kakek yang di arahkan ke atas tentu saja luput. Begitu Larti lolos dari pukulan tangan kosong lawan dia melesat ke ba- wah teruskan niatnya menyambar Sengkala Angin Darah, sedangkan sang teman terus mencecar kakek itu dengan serangan-serangan mautnya.
"Perempuan tidak tahu diri. Katakan kalian murid siapa biar kelak mudah bagiku untuk mengadakan perhitungan!" teriak Saba Geni sam- bil hindari serangan gencar yang dilancarkan La- ras. Orang tua ini kemudian balas lakukan satu serangan balasan dengan melepaskan pukulan saktinya. Di depan sana Laras malah mengumbar tawa. Begitu melihat selarik sinar merah melesat dari tangan si kakek dia melesat ke udara. Di atas ketinggian dia juga melepaskan satu pukulan yang tidak kalah dahsyatnya.
Dua pukulan bentrok di udara. Satu ledakan berdentum mengguncang tempat itu. Laras men- jerit keras, tubuhnya terpental dan jatuh tak jauh dari Sengkala Angin Darah. Di pihak Saba Geni, meski tubuhnya sempat terhuyung akibat bentrok pukulan dengan lawan, tapi begitu melihat lawan jatuh terkapar segera melesat ke arah Laras. Tan- pa memberi kesempatan pada perempuan itu dia hentakkan kakinya ke perut Laras. Dengan sekali pijak isi perut lawan pasti berburaian. Tetapi ge- rakan si kakek tiba-tiba tertahan begitu menden- gar suara jeritan Larti. Ketika si kakek meman- dang ke arah datangnya suara dia jadi tercekat. Di samping sebelah kirinya sana, agak jauh di de- pan dia melihat Larti yang berusaha mengambil benda sakti itu jatuh terkapar. Sekujur tubuhnya mengucurkan darah, sedangkan kedua tangan yang telah meraih benda sakti yang diperebutkan tampak melepuh. Larti tampaknya tidak sanggup bangkit lagi, nafasnya megap-megap sedang dari mulut dan hidungnya mengucurkan darah. Meli- hat kenyataan yang tidak terduga ini Laras men- jerit. "Larti, apa yang telah terjadi denganmu?" Laras memandang ke arah saudaranya dengan mata terbelalak, muka pucat dan mulut terngan- ga.
"Cepat... ambil benda itu, Laras.... lekas kau bawa pergi untuk diserahkan pada guru!" Seru Larti dengan nafas terputus-putus.
Ingat pada tugas yang diberikan oleh gu- runya, tanpa. pikir panjang lagi. Laras segera me- lesat ke arah dimana Sengkala Angin Darah terge- letak. Dalam keadaan seperti itu agaknya Laras sudah tidak lagi memikirkan resiko yang dia ha- dapi. Di depannya Saba Geni anehnya kini tidak berusaha mencegah atau menghalang-halangi niat perempuan itu. Dia hanya diam tegak sambil mengawasi.
Ketika Laras berhasil dekati benda itu dengan cepat dia mengambilnya. Tapi di luar dugaan La- ras, dari sekujur tubuh mahluk aneh yang telah berubah seperti mayat yang diawetkan ini mende- ru segulung hawa panas luar biasa. Hawa panas menghantam dadanya. Dada perempuan itu ber- lubang besar, hangus menghitam mengerikan. Sebagaimana saudaranya, Laras juga jatuh terka- par. Dia menemui ajal seketika dengan mata membeliak keluar. Sedangkan Sengkala Angin Darah yang telah banyak memakan korban jatuh terpental tergeletak tak jauh dari mayat kedua pe- rempuan itu. Saba Geni tercengang melihat keja- dian yang berlangsung cepat dengan akibat san- gat mengerikan itu. Tapi dia segera menyadari apa yang harus dilakukan. Ketika melihat Seng- kala Angin Darah terguling-guling di atas tanah. Dengan gerakan seperti kilat si kakek segera ber- kelebat dan menyambar benda itu. Tetapi belum lagi tangan si kakek yang teraliri tenaga dalam penuh berhasil meraih benda tersebut. Dari arah belakangnya terlihat ada satu bayangan berkele- bat menyambar ke arah benda di depan si kakek.
"Benda sehebat ini hanya pantas berada di tanganku!" Satu suara bergema di udara. Seketi- ka Saba Geni palingkan kepala ke belakang. Dia hanya sempat melihat satu tangan berkelebat menghantam bagian kepalanya, sedangkan tan- gan satunya lagi berkelebat menyambar Sengkala Angin Darah yang tergeletak di depan Saba Geni. Secepat kilat Saba Geni berusaha hindari seran- gan, sayangnya gerakan yang dilakukannya kalah cepat dari serangan lawan. Kakek berpakaian kembang-kembang inipun akhirnya menjerit begi- tu merasakan kepalanya mau meledak terkena pukulan lawan.
Seketika Saba Geni merasakan pandangan matanya berubah menjadi gelap. Dia jatuh ter- sungkur di tanah. Dia mengerang lirih. Dan keti- ka kakek mata juling bangkit berdiri dia tidak lagi melihat bayangan putih yang menyerangnya be- rada di sekitar situ. Kejut si kakek makin menja- di-jadi ketika dapati kenyataan Sengkala Angin Darah juga ternyata ikut raib bersama hilangnya bayangan tadi.
Marah dan kecewa Saba Geni tidak terkira. Dia segera melayangkan pandangan matanya ke segenap penjuru. Si kakek menggeram setelah benar-benar mengetahui tak ada lagi orang di tempat itu.
"Keparat! Aku telah bersusah payah mengelu- arkan benda itu dari lubang. Tak disangka akhir- nya aku harus gigit jari. Kunyuk berpakaian putih tadi siapa dia yang sebenarnya. Gerakannya san- gat cepat seperti setan. Sangat jarang aku berte- mu dengan orang yang memiliki kecepatan gerak seperti dia. Sayang sekali, tadi aku tidak melihat bagaimana raut wajahnya. Siapa pun dia aku ti- dak perduli. Benda itu harus kudapatkan. Aku tak perduli apapun yang akan terjadi. Bagiku yang terpenting Sengkala Angin Darah harus menjadi milikku!" dengus si kakek dengan tinju terkepal. Bagaimana pun si kakek jelas tidak bisa menutupi rasa kecewanya. Benda Sakti itu sudah ada di depan mata. Jika kini berpindah tangan dia menganggap hal ini sangat keterlaluan sekali.
Saba Geni sejenak terdiam sambil menarik napas. Kemudian orang tua ini segera bangkit berdiri. Belum lagi si kakek sempat beranjak dari tempatnya. Tiba-tiba terdengar suara tawa mero- bek kesunyian. Selagi suara tawa masih mengu- mandang di udara terdengar pula ada orang ber- kata. "Orang tua. Apa yang kau lakukan di sini? Kau bingung memikirkan perempuan montok yang telah menjadi bangkai itu atau memikirkan apa? Atau mungkin kau sedang berfikir bagaima- na cara membunuh diri yang paling enak agar kau bisa menyusul mereka. Ha ha ha!" 2
Walau yang sesungguhnya Saba Geni merasa kaget mendengar suara orang. Si kakek kiranya tidak bisa menerima ejekan orang apalagi dirinya saat itu sedang dilanda kemarahan. Saba Geni menjadi berang. Orang tua ini segera balikkan badan. Dia kemudian memandang ke arah da- tangnya suara. Si kakek melengak kaget begitu matanya membentur satu sosok laki-laki tua be- rumur sekitar lima puluh tahun, berambut dan berjanggut putih. Sosok itu berpakaian aneh ber- bentuk daster seperti pakaian yang biasa di kena- kan perempuan hamil. Sosok berpakaian serba biru ini berdiri menyender di sebatang pohon hangus di sebelah kiri lapangan.
Orang tua itu bersikap acuh tak acuh, mulut- nya selalu mengumbar tawa dan senyum. Ketika melihat Saba Geni menatap ke arahnya dengan mata mendelik tak urung laki-laki itu menyeletuk. "Orang tua yang sedang dilanda amarah dan bin- gung. Kau memandangku seperti melihat setan. Aku berada di sini mengapa matamu jelalatan ke arah lain? Aku yakin ada yang tidak beres terjadi pada matamu. Mungkin juga kau selalu memper- gunakan kedua matamu untuk mengintip perem- puan mandi. Kau jadi kualat, lalu matamu dibalik oleh setan. Hik hik hik. Mata jelek begitu menga- pa kau pelihara, mengapa tidak kau ganti saja dengan telur dadar mata sapi?! Ha ha ha!" Saba Geni menggeram, mulut terkatup rapat. Dua pipinya menggembung besar sedangkan peli- pisnya bergerak-gerak. "Keparat gila berdaster bi- ru. Memangnya kau monyet edan dari mana. Be- rani kau menghina orang apakah tidak takut ma- ti?" hardik Saba Geni dengan suara keras meng- geledek. Orang yang bersandar di pohon hangus bukannya kaget, sebaliknya malah tertawa terge- lak-gelak. Puas dia tertawa, si kakek gerakkan tubuhnya. Pada kesempatan lain pinggulnya me- lenggang lenggok, kaki bergerak lincah sedangkan kepala digolak-golek seperti orang menari. Sambil menari si kakek tertawa mengekeh. Meskipun si daster biru menari tanpa irama gendang namun dia kelihatan begitu menghayati tariannya terse- but. Lalu sambil melenggang lenggok dia berkata. "Ah... olala. Dari pada marah, lebih baik menari denganku sampai tua. Goyang pinggulmu ikut irama gerakanku. Anggap saja kau mendengar suara gendang di pukul bertalu-talu. Hayo gerak- kan kaki tanganmu, jangan malu-malu. Jangan kau fikirkan benda sakti itu, menari saja biar asyik..." kata si kakek sambil meliuk-liukkan tu- buhnya.
Saba Geni surut mundur satu langkah ke be- lakang. Sepasang matanya yang juling terus memperhatikan orang di depannya. Si kakek me- mutar otak, berfikir keras siapa adanya manusia satu ini. "Kakek geblek berpakaian seperti orang bunting ini, aku pernah mendengar tentang di- rinya. Tapi mana saudaranya yang lain? Aku tahu dia bukan manusia sembarangan. Dulu dia per- nah membuat kegegeran di beberapa wilayah di pulau Jawa ini. Aku harus berhati-hati. Dia ma- nusia aneh yang sulit ditebak kemauannya. Kalau terpaksa aku harus membunuhnya." geram si ka- kek dalam hati.
Selagi Saba Geni berfikir begitu secara tak terduga kakek berdaster biru hentikan tariannya. Dengan sikap seperti orang tolol dia ajukan per- tanyaan. "Kakek mata juling, mengapa kau tidak ikut menari!" Si daster biru kemudian pandangi wajah Saba Geni. Tiba-tiba dia tepuk keningnya sambil berkata. "Oh... ternyata fikiranmu sedang keruh. Kasihan...! Mengapa kau yang sudah tua mau dibuat pusing dengan segala urusan yang berbahaya?" Si kakek kemudian tertawa lebar.
Tingkah laku si daster biru membuat Saba Geni menjadi muak. Si kakek makin tambah jengkel. Dengan suara parau Saba Geni berkata. "Kalau tidak salah mata ini melihat bukankah saat ini aku tengah berhadapan dengan salah sa- tu dari tiga manusia kembar?"
Si daster biru bukan menjawab pertanyaan Saba Geni, sebaliknya kembali tertawa mengekeh. Setelah tawanya lenyap si kakek usap-usap pe- rutnya yang terbungkus daster longgar.
"Perut buncit seperti ini bukan berarti aku pe- rempuan yang lagi bunting. Biar matamu juling memandang tak karuan arah ternyata kau men- genali orang. Ha ha ha. Kau tidak salah melihat. Aku memang satu dari tiga manusia kembar. Aku adalah Ki Edan Samberata. Dan kau sendiri sia- pa?"
"Cuma manusia edan, pantas tingkahnya se- perti orang tidak waras." batin si kakek dalam ha- ti. Biarpun begitu tetap jawab pertanyaan orang. "Aku Saba Geni."
"Saba Geni...?" desis Ki Edan Samberata. Ma- ta kakek itu berkeriapan, kening berkerut, agak- nya dia sedang berusaha mengingat-ingat. Ki Edan Samberata kemudian gelengkan kepala.
"Rasanya aku tidak mengenalmu! Aneh... ba- gaimana kau bisa mengenal diriku?" Saba Geni sunggingkan seringai dingin. "Tiga manusia Kem- bar dikenal dengan segala perbuatannya yang gi- la-gilaan. Malah kudengar salah seorang diantara kalian sangat ahli dalam hal ilmu sulapan."
Ki Edan Samberata tampak tersipu seperti seorang gadis cantik yang malu-malu. "Ah, kau terlalu berlebihan. Yang punya ilmu sulapan ada- lah saudaraku Ki Comot Jalulata. Sedangkan aku dan saudara satunya lagi cuma punya kebisaan membetot dan menyambar. Tak usah kujelaskan kau pasti tahu apa yang aku maksudkan. Ha ha ha!"
"Manusia edan ada kepentingan apa kau da- tang kemari?' tanya Saba Geni ingin tahu. Si Ka- kek lagi-lagi tertawa mengekeh. "Kau seperti kura- kura dalam perahu. Sudah tahu pura-pura tak mengerti maksud kedatanganku. Tujuanku da- tang kemari kurasa sama saja dengan tujuanmu. Bukankah kau sendiri sedang berusaha untuk mendapatkan benda itu?" Sadarlah Saba Geni, ternyata orang-orang dunia persilatan sudah ba- nyak yang tahu tentang kemunculan benda itu.
Sesaat si kakek terdiam. Diamnya tidak begi- tu lama. Kemudian dengan berterus terang dia berkata. "Memang aku sedang mencari Sengkala Angin Darah. Aku bahkan hampir mendapatkan- nya. Sayang kemudian muncul dua perempuan tolol itu." kata Saba Geni sambil menunjuk ke arah dua mayat perempuan cantik yang telah te- was menjadi korban keganasan Sengkala Angin Darah. Celakanya lagi begitu aku berusaha me- raih benda sakti itu tiba-tiba muncul seseorang yang tidak kukenal berpakaian serba putih. Di- alah orangnya yang melarikan benda itu. Tapi dia tak bakal lari terus menerus dariku. Cepat atau lambat aku pasti akan menangkapnya."
"Ha ha ha. Bagaimana mungkin kau bisa mencari atau menangkap orang itu sedang wa- jahnya sama sekali tidak kau kenali." Ki Edan Samberata sunggingkan seringai sinis.
"Diam! Kau tidak berhak mencampuri uru- sanku. Aku muak melihat tingkahmu. Mulai saat ini kuharap kau tidak lagi bertemu denganku!" Ki Edan Samberata lagi-lagi tertawa. "Kau tak mau bertemu denganku? Mengapa? Padahal aku bisa mengajarimu menari?"
"Perduli setan dengan tarian gilamu itu!" damprat Saba Geni berang.
"Ah, ternyata kau gampang sekali naik darah, mata juling. Kau mengatakan tidak mau lagi ber- temu dengan diriku, ada apa rupanya?'
"Ha ha ha. Kau tidak mengerti rupanya? Ka- rena jika kita bertemu lagi untuk urusan yang sama aku pasti akan membunuhmu!"
"Ha ha ha. Apakah ini merupakan suatu an- caman?"
"Terserah kau mau menganggap apa. Sengka- la Angin Darah yang kemunculannya sudah ku- tunggu-tunggu sejak dulu. Tak akan kubiarkan benda itu jatuh ke tangan siapa pun!" Habis ber- kata begitu tanpa menoleh lagi kakek mata juling balikkan badan dan tinggalkan tempat itu. Saba Geni sama sekali tidak tahu kalau pada waktu di- rinya membalikkan badan Ki Edan Samberata mencomot sesuatu dari balik kantong bajunya.
Tak lama setelah Saba Geni pergi. Ki Edan Samberata buka jemari tangannya yang dikepal. Mata si kakek terbelalak begitu melihat benda hi- tam berbentuk bulat di tangannya. Si kakek men- gendus benda tersebut. Dia langsung bersin dan terbatuk-batuk. Wajahnya merah seketika se- dangkan darah laksana menggelegak dijalari pe- rasaan aneh. Setelah menenangkan debaran jan- tung serta perasaan aneh yang merayapi pera- saannya. Si kakek berfikir.
Benda itu dia amati. Dan seketika dia tertawa tergelak-gelak. "Ha.. ha... ha... Kakek bau tanah mata juling tadi. Bagaimana mungkin sudah mau mampus masih menyimpan pil pengungkit gai- rah? Gairah siapa yang hendak dia bangkitkan? Orang tua tak tahu diri, bukan mustahil nenek moyang pun disikatnya juga. Ha.. ha.. ha"
Sambil tertawa si kakek segera hampiri kedua mayat perempuan itu. Dia melihat bagaimana da- da Laras yang bolong. Dia juga melihat betapa kedua tangan Larti melepuh hitam. "Mereka me- nemui ajal akibat serangan benda yang sama. Ta- pi menemui ajal dengan luka yang berbeda. Aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Benda itu menyimpan kekuatan dengan daya bunuh yang berbeda. Apakah mungkin?" desis Ki Edan Samberata sambil gelengkan kepala.
"Aku harus menyelidik. Aku takut seseorang telah mengatur rencana untuk menjalankan se- buah tipu muslihat. Apapun rencana itu pasti bakal menimbulkan kekacauan di rimba persila- tan. Andai dugaanku tidak meleset, dunia persila- tan pasti berada di ambang bencana perang be- sar. Aku harus menghubungi dua kembaranku Ki Comot Jalulata dan Ki Betot. Setelah itu baru ku- hubungi kaum segolongan agar mereka tidak ter- libat dalam urusan Sengkala Angin Darah."
Setelah memutuskan begitu dia goyang- goyangkan pinggulnya. Tak lama kemudian dia tinggalkan tempat itu.
3
Kakek berpakaian hitam tak terkancing ber- tubuh gendut besar luar biasa nampak tercen- gang mendengar penuturan muridnya. Sama se- kali dia tak pernah menyangka sang murid ber- temu dengan Manusia Seribu Tahun. Kenyataan ini memang sulit untuk dipercaya, sebab selama ini keberadaan Manusia Seribu Tahun tidak ubahnya seperti sebuah legenda. Bahkan banyak yang meyakini kakek yang satu itu kehidupannya setara dengan para dewa-dewa. Lebih menghe- rankan lagi Gento mengakui Manusia Seribu Tahun menurunkan beberapa ilmu sakti yang sulit dicari tandingan yang di dunia ini.
"Ilmu Menitis Bayangan Raga dan ilmu Mem- belah Jasad bukan ilmu biasa. Bagi Gento kua- nggap ilmu yang diwariskan oleh manusia seribu tahun kepadanya merupakan sebuah harta yang tidak ternilai harganya." Batin si kakek. Dia me- mandang ke arah sang murid sejenak. Ketika me- lihat sebuah kalung tergantung di leher sang mu- rid kakek gendut Gentong Ketawa ajukan perta- nyaan. "Jadi kakek sakti itu juga telah memberi- kan kalung butut itu kepadamu." Sang pendekar tersenyum. "Kalung ini bukan kalung sembaran- gan, ndut. Manusia Seribu Tahun memberinya nama Batu Raja Langit. Kalau kau mau mencoba kedahsyatannya boleh saja. Silahkan kau berdiri di depan sana. Aku di sini dan cukup mengerah- kan sedikit tenaga dalam ke mata kalung. Setelah itu aku mengusap mata kalung tiga kali. Kujamin sekejap saja tubuh gendutmu jadi matang." Si kakek gelengkan kepala.
"Meski pun sudah tua, aku belum siap mati Gege...!" ujar si kakek menyebut nama panggilan muridnya sambil memandang ke arah kalung yang tergantung di leher pemuda itu dengan pe- rasaan takjub. Dia kemudian ajukan pertanyaan lagi. "Lalu apa arti rajah Angka 71 yang tertera di telapak tangan kanan dan dada sebelah kirimu itu?"
Gento tertawa tergelak-gelak mendapat perta- nyaan seperti itu. Sebaliknya tanpa menghirau- kan pertanyaan si kakek dia melirik ke arah gadis berpakaian serba kuning berkulit putih berwajah cantik yang duduk tak jauh dari hadapannya.
Setelah kedipkan matanya ke arah gadis itu barulah Gento menjawab. "Seperti yang telah ku- katakan Manusia Seribu Tahun telah berkenan membuka tujuh titik sumber pembangkit tena- ga dalam. Dia menamakannya tujuh inti Cakra. Tujuh titik pembangkit tenaga dalam itu dapat kugunakan sekaligus jika aku menghendakinya. Karena tujuh sumber pembangkit tenaga dalam bersumber dari seluruh bagian tubuhku dan di- pergunakan untuk satu tujuan yaitu menegakkan keadilan dan menumpas kezaliman. Maka antara tujuan dan yang satu itu tidak dapat di pisahkan antara yang satu dengan yang lain. Satu nama lain saling mengikat. Itulah antara lain arti angka 71" jelas Gento. Dia kemudian ajukan perta- nyaan. "Guru sendiri bagaimana? Sejak tergulung Angin putih itu aku kehilangan jejak dirimu. Se- mula aku menyangka tidak ada lagi harapan ba- giku bertemu dengan dirimu. Tapi ternyata kau panjang umur." "Murid geblek. Kau pasti mengatakan diriku sudah mati, bukankah begitu?" dengus si kakek dengan mata mendelik.
Gento tertawa mengekeh.
"Boleh saja kau bilang. Yang jelas aku merasa senang karena kita pada akhirnya bertemu kem- bali. Aku senang kau berumur panjang dan kuha- rap kau panjang segalanya."
"Heeh... apa maksudmu dengan panjang sega- lanya itu?"
"Tak perlu kujelaskan kupikir kau tahu sendi- ri. Ha ha ha!" jawab sang pendekar disertai tawa tergelak-gelak.
Gentong Ketawa mendamprat muridnya begi- tu mengetahui maksud ucapan Gento. Dengan wajah merah tanpa sadar si gendut dekap bagian bawah perutnya. Apa yang dilakukan si kakek tentu membuat gadis berpakaian kuning yang du- lunya adalah manusia raksasa Anggagini jadi ikut tertawa namun segera palingkan kepala ke juru- san lain.
"Ternyata dia tidak berubah." batin sang dara. Sementara itu Gentong Ketawa kemudian berkata. "Gege, kau adalah orang yang sangat be- runtung. Di rimba persilatan ini seingatku belum ada orang atau tokoh manapun yang bisa menge- luarkan tenaga sakti dari tujuh titik pembangkit tenaga dalam. Manusia Seribu Tahun agaknya te- lah memberikan satu kepercayaan kepadamu,
kau tidak boleh menyia-nyiakan amanat orang." "Aku mengerti guru. Bagaimana dengan diri- mu sendiri? Kau belum menceritakan pengala- manmu setelah terpisah denganku."
Sebagaimana telah dikisahkan dalam episode sebelumnya antara murid dan guru sempat terpi- sah beberapa waktu lamanya. Si kakek yang ter- bawa pusaran angin putih mempertemukan di- rinya dengan Nyi Sekar Langit. Sedangkan Gento sendiri dibawa ke alam Batas kehidupan atau alam Luar Pandang oleh manusia Seribu Tahun. Untuk lebih jelas (baca episode Ki Anjeng Laknat). Si kakek menarik nafas. Setelah memandang muridnya sejenak dia alihkan perhatiannya pada Anggagini. Tak lama orang tua itu membuka mu- lut. "Kejadian yang kualami kurang begitu mena- rik untuk kau ketahui. Pusaran angin putih yang menyergapku itu sebenarnya adalah sebuah ke- saktian yang dikerahkan oleh Nyi Sekar Langit untuk menjemputmu. Tapi rupanya telah terjadi satu kekeliruan. Sehingga bukan kau yang kena
dijemput melainkan aku."
"Tentunya kau senang bertemu dengan Nyi Sekar Langit. Orangnya cantik berambut panjang dan masih muda." sindir Gento. Wajah si gendut berubah cemberut. Dengan mata menerawang dia menyahut. "Cantik apanya? Kalau dibilang se- nang ya tidak juga. Aku sendiri malah dia minta untuk mencari dirimu. Sulit sekali menemukan kau. Dia pasti korban majikan Mahluk Kutukan Neraka." ujar si kakek unjukkan wajah sedih.
"Kau tak usah khawatir. Nyi Sekar Langit saat ini pasti dalam keadaan sehat selalu." "Heh...!" Gentong Ketawa terperangah. "Ba- gaimana kau bisa memastikan Nyi Sekar Langit selamat?" Sambil tersenyum Gento menjawab. "Aku dan Tabib Setan telah menolongnya ketika terjadi keributan besar di teluk Rembang."
"Apa kau masih juga mau meladeni tabib ce- laka itu? Aku tidak tahu kau telah menolongnya padahal selama ini aku mengkhawatirkan kese- lamatannya."
"Ah, agaknya kau telah jatuh cinta padanya. Jika benar. Aku muridmu cukup tahu diri mela- markan dia untukmu."
"Murid edan. Jangan bicara ngacok! Kupe- cahkan batok kepalamu nanti!" berkata begitu si kakek angkat tangannya lakukan gerakan hendak menggepuk kepala Gento. Tapi sang pendekar se- gera melompat, jatuhkan diri di samping Anggagi- ni. Setelah berada di samping gadis itu dia berbi- sik. "Anggagini maafkan aku. Sejak tadi aku tidak menegurmu karena aku harus menjawab perta- nyaan-pertanyaan kakek gendut itu" Anggagini tersenyum. Dia gembira bisa bertemu dengan Gento kembali. Dan gadis ini jadi semakin kagum pada Gento setelah melihat kenyataan ternyata ilmu kesaktian yang dimiliki pemuda itu semakin maju pesat.
"Tidak mengapa Gento. Aku bisa memaklumi. Sekian lama kalian terpisah tentu di antara kalian timbul kerinduan." ujar sang dara. Gentong Keta- wa turunkan tangannya batalkan niat. Dia kemu- dian malah menyahut. "Aku sebenarnya muak melihat tampang bocah edan ini." celetuk si gen- dut bersungut-sungut.
"Ha ha ha. Kita sama gendut. Aku juga mau mual melihat tampangmu. Tapi mengingat kau guruku aku jadi harus tahu diri!"
"Murid sialan. Mestinya kubunuh kau sejak dulu." maki si kakek. Gento malah ketawa. "Jadi sekarang kita hendak kemana?" tanya Anggagini mengalihkan pembicaraan.
"Aku terserah gendut saja. Asal tidak ke nera- ka aku pasti mau ikut." sahut sang pendekar. Murid dan guru akhirnya saling berpandangan. Si kakek kemudian malah menguap lebar. Sekejap kemudian si kakek sudah memejamkan matanya.
"Ah, ndut. Apa yang kau lakukan? Kalau kau mau tidur, aku dan gadis ini sebaiknya pergi sa- ja." Gentong Ketawa gelengkan kepala.
"Bocah, siapa yang tidur? Dengarkanlah baik- baik!" ujar kakek itu dengan serius. Gento cibir- kan mulut. Tapi tak urung ketika melihat kakek itu sepertinya tidak bercanda. Gento akhirnya menanggapi. "Jika ada hal penting yang hendak kau katakan lekas katakan!" ujar Gento. Kakek Gentong Ketawa masih dengan mata setengah terpejam kemudian berkata. "Beberapa purnama yang lalu dalam semediku, aku melihat malapeta- ka bakal terjadi di rimba persilatan. Aku melihat ada cahaya keluar dari dalam perut bumi. Kemu- dian kulihat orang-orang dunia persilatan saling bunuh memperebutkan benda itu. Tidak ada ja- lan lain, kita harus melakukan sesuatu untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah."
Bukan cuma Gento yang dibuat terkejut mendengar ucapan si kakek. Sebaliknya Anggagi- ni pun sama saja.
"Kek apakah yang kau lihat dalam semedimu itu bisa dipercaya?" tanya Anggagini.
"Guru. Aku bukannya meragukan apa yang kau lihat. Dulu pun kau sering mengatakan hal- hal yang tidak mungkin. Tapi pada akhirnya apa yang kau katakan ternyata memang terbukti."
"Ada kalanya aku suka bercanda. Tapi kali ini aku bicara yang benar. Ketahuilah benda yang di- perebutkan itu memiliki kekuatan yang sangat besar. Bentuknya seperti orang tua lanjut usia yang sudah mati dan telah diawetkan. Kehebatan benda yang bernama Sengkala Angin Darah dapat menghanguskan apa saja. Mahluk yang telah membatu itu berasal dari alam batu. Usianya ri- buan tahun dan muncul setiap seribu tahun se- kali. Ah... ah sungguh mengerikan sekali." berka- ta begitu tubuh si kakek tiba-tiba bergetar. Ke- mudian seolah ada satu kekuatan tak terlihat mendorongnya si kakek jatuh terjengkang.
"Guru... ada apa guru...!" seru Gento sambil menghampiri gurunya.
"Kek, bangun kek...!" ujar Anggagini pula yang telah berada di samping kanan kakek Gen- tong Ketawa.
Si kakek mengerang pendek. Kedua matanya kembali terbuka sedangkan tubuhnya bersimbah keringat dingin. "Guru ada apa sebenarnya, apa yang kau li- hat?" tanya si pemuda.
"Gento, kita harus memberi tahu para saha- bat di rimba persilatan." tegas si kakek tanpa menghiraukan pertanyaan muridnya.
"Guru...!'
"Kakek gendut apakah semua yang kulihat bukan cuma sekedar mimpi?" tanya Anggagini penasaran.
"Aku sama sekali tidak bermimpi kala itu. Yang kulihat dalam semedi itu kenyataan yang pasti." jawab si kakek tegas
"Benda yang kau lihat itu berupa mahluk hi- dup atau apa?" Gento ajukan pertanyaan.
Si kakek tidak segera menjawab. Dia berfikir sejenak baru kemudian berkata. "Benda sakti itu dulunya mahluk hidup. Suatu proses alam telah terjadi pada dirinya. Ujudnya bahkan seperti ma- nusia, cuma ukurannya lebih kecil. Dia juga punya hidung, rambut, kumis, kaki juga tangan. Cuma mahluk ini telah membatu. Biarpun telah berubah menjadi batu anehnya tetap hidup. Se- dangkan usianya mencapai ribuan tahun." jelas si kakek.
Anggagini tercengang. Seumur hidup rasanya baru kali ini dia mendengar ada mahluk seaneh itu. Belum lagi gadis berpinggul dan berdada ba- gus itu sempat bertanya. Tiba-tiba Gento ajukan pertanyaan. "Guru andai mahluk itu seperti ma- nusia apakah dia punya anu juga?"
Mata si kakek mendelik. "Bocah, bertanya bo- leh saja. Tapi pertanyaanmu jangan konyol." me- negur si gendut. "Anu apa maksudmu? Anu kepa- lanya? Anunya tentu saja ada. Cuma besar kecil- nya mana aku tahu." dengus si kakek. Dasar sa- ma sintingnya pernyataan Gento meski pun membuat si gendut marah tetap dia jawab juga. Sang dara gelengkan kepala melihat kekonyolan murid dan gurunya itu.
"Mahluk batu itu kira-kira sebesar apa?" "Hmm, kira-kira sebesar lengan bocah kecil." po- los saja si kakek menjawab. Gento manggut- manggut.
"Kalau cuma sebesar lengan bayi berarti anunya kira-kira sebesar lidi guru."
"Bocah kurang ajar. Ada-ada saja. Ha ha ha." si gendut tertawa. Gemuruh angin datang ke arah mereka. Tiga pasang mata sama layangkan pan- dang ke arah datangnya suara. Mereka jadi ter- cengang begitu melihat di atas ketinggian segu- lung awan hitam berputar putar secara cepat me- lintas di atas mereka.
"Menghindar! Cari tempat berlindung!" Kakek Gentong Ketawa keluarkan suara keras. Seperti dikomando ketiganya berlompatan menjauh dari awan yang berputar di pulau angin ribut. Sayang gerakan mereka kalah cepat dengan gerakan awan yang datang bersama hembusan angin. Tak terduga begitu pusaran awan lewat di atas kepala, mereka merasakan adanya satu sengatan hawa panas yang sangat luar biasa. Baik si kakek mau- pun Gento dan Anggagini sama dorongkan kedua tangannya ke atas menangkis sambaran maut itu. Tapi mereka berteriak kaget begitu merasakan te- naga yang datang dari atas sana ternyata jauh le- bih besar dari tenaga mereka bertiga.
Buumm!
Tiga ledakan terdengar berturut-turut disertai jeritan dan keluhan panjang. Tiga sosok tubuh sama terlempar ke udara, lalu jatuh bergedebu- kan dalam posisi tidak karuan.
Anggagini merintih. Dia menggeliat. Dia mera- sa sekujur tubuhnya laksana hangus. Ketika dia duduk, sang dara dapati ada darah meleleh dari mulutnya. Dengan cepat dia menghimpun tenaga untuk menyembuhkan si luka dalam yang dia alami. Tidak berselang lama setelah rasa menye- sak di dadanya berangsur lenyap dia bangkit ber- diri.
Dia memperhatikan sekelilingnya namun ti- dak melihat Gento dan gurunya ada di sekitar si- tu. Sedangkan pusaran angin yang datang dari awan hitam tadi lenyap. Ketika si gadis alihkan perhatian ke sudut matanya membentur satu so- sok bertubuh besar, tubuh gendut Gentong Keta- wa.
Kakek itu dalam posisi menungging seperti orang menyembah, tangan mendekap dada serta mulutnya mengerang tak berkeputusan.
"Uhuk... setan apa pula yang lewat tadi? Tak ada hujan tak ada silang sengketa, mengapa be- rani menyerang orang yang tidak berdosa? Aduh panasnya tubuhku ini. Rasanya seperti kambing yang dipanggang di atas bara." keluh si kakek. "Kakek gendut. Gento tidak ada di sini. Dia
entah jatuh dimana." seru sang dara yang merasa khawatir atas keselamatan si pemuda.
Si kakek terperanjat. Sambil meringis kesaki- tan dia bangkit. "Apa katamu? Muridku hilang? Jatuh kemana bocah gila itu?" desis si kakek.
Perasaan cemas meliputi dirinya. Dia lalu memandang ke arah lenyapnya pusaran awan ta- di. Dan tiba-tiba Gentong Ketawa berseru. "Ang- gagini sebaiknya kita ikuti jejak awan tadi."
Sang dara tampak kebingungan. "Diikuti ke- mana kek?"
"Sudah. Jangan banyak tanya. Ikut saja den- ganku!" tegas si kakek yang sempat melihat di ba- lik gumpalan awan hitam itu tadi seperti ada ju- bah melambai.
Tanpa fikir panjang sang dara segera mengi- kuti si kakek tinggalkan tempat itu.
4
Pelita kecil yang menerangi ruangan itu me- mancarkan cahaya merah temaram. Di atas ran- jang tergeletak seorang laki-laki bertampang ang- ker. Dalam keadaan polos laki-laki itu menatap langit-langit ruangan yang buram.
Tidak berselang lama pintu terbuka. Dari ba- lik pintu muncul seorang gadis cantik berpakaian hanya sebatas dada. Sambil melenggang lenggok dia hampiri laki-laki yang terbaring di atas ran- jang. Dia duduk di bibir ranjang sedang jemari tangannya yang lembut membelai dada si laki- laki.
Laki-laki itu menggeliat. Dia meraih gadisnya lalu memeluk gadis tersebut dengan erat. Si gadis merintih manja ketika tangan Laki-laki itu menge- lus punggungnya. "Kakang Pasadewa, kau adalah laki-laki perkasa. Aku ingin selalu bersamamu menikmati hangatnya cintamu sepanjang waktu. Kakang... oh..." suara manja si gadis mendadak lenyap karena si laki-laki mendadak tenggelam- kan wajah sang dara di dalam pelukannya.
Tetapi ketika sang dara mulai diamuk gairah, Pasadewa dorongkan tubuh gadis itu menjauh dari dirinya.
Dia memekik kaget tak menyangka diperlaku- kan sekasar itu.
Selagi dia terheran-heran laki-laki yang ber- nama Pasadewa itu meraih pakaiannya yang ber- tumpuk satu demi satu. "Kakang kau hendak kemana?" Pasadewa tidak menjawab. Selesai ber- pakaian dia berkata. "Kau dengar! Sudah dua hari berlalu. Seharusnya kedua muridmu telah kem- bali menemui kita di sini. Kenyataannya sampai selarut ini mereka tidak muncul. Aku punya fira- sat mereka tak dapat melakukan tugas. Aku ya- kin Laras dan Latri telah menemui ajal."
Wajah si gadis sama sekali tidak mancarkan perubahan. Malah dengan sikap tenang dia ke- mudian menanggapi. "Kakang Pasadewa, jika du- gaanmu benar sebaiknya kita tunggu sampai be- sok pagi. Malam masih panjang. Kita punya wak- tu untuk bersenang-senang." Gadis itu lalu me- raih tangan Pasadewa dan meletakannya di depan dada.
Darah Laki-laki itu berdesir, namun hanya berlangsung sesaat. Begitu dia berhasil menekan gejolak perasaannya, dengan cepat Pasadewa ber- kata, "Pandan Arum. Jangan kau halangi niatku untuk dapatkan Sengkala Angin Darah. Bagiku benda itu satu-satunya yang dapat kupergunakan untuk menundukkan tokoh-tokoh sakti di tanah Jawa. Jika mereka semua sudah dapat kubuat bertekuk lutut di bawah kakiku. Kurasa untuk menguasai dunia persilatan hanya tinggal persoa- lan waktu."
"Apapun rencanamu aku tetap mendukung kakang. Sudah lama kita hidup bersama. Bahkan jiwa ragaku pun telah kuserahkan. Setiap saat aku siap membantu. Satu pintaku penuhi keingi- nanku!" kata Pandan Arum disertai lirikan meng- goda.
"Kau tidak pernah puas. Kau baru bisa berse- nang-senang dengan diriku bila berhasil membu- juk Iblis Ular Sembilan agar mau membantu kita." Pandan Arum terkesiap begitu mendengar permintaan kekasihnya. Wajah cantik si gadis be- rubah pucat, sedang bola matanya terbelalak le-
bar.
Seolah tak percaya dia ajukan pertanyaan. "Apakah Iblis Ular Sembilan yang kakang mak- sudkan adalah kakek yang berdiam di Telaga Se- tan?"
"Ha ha ha. Tentu saja. Apakah di dunia ini masih ada Iblis Ular Sembilan yang lain?"
"Mengapa kau menyuruhku menemui mahluk jahanam itu? Aku rela melakukan apa saja asal jangan kau suruh aku bertemu dengannya." Kata si gadis tampak jerih.
Pasadewa kembali mengumbar tawa. Dia sa- dar sepenuhnya Pandan Arum tergila-gila kepa- danya. Setiap saat Pandan Arum selalu mendam- bakan belaian kasihnya. Dan kesempatan inilah yang selalu dimanfaatkan oleh Pasadewa. Setelah puas tertawa Pasadewa kemudian kembali mene- gaskan. "Perintahku tidak bisa ditawar lagi Pan- dan Arum. Jika kau benar-benar mencintaiku kau harus bersedia melakukan permintaanku."
"Bukankah selama ini aku telah banyak ber- korban untukmu, kakang?"
"Memang. Tapi semua itu belum cukup untuk mengetahui ketulusan hatimu." Kilah Pasadewa. "Lagi pula tugas yang kuberikan tidak berat. Kau cukup meminta Iblis Ular Sembilan bekerja sama denganku."
"Bagaimana jika seandainya dia marah dan membunuhku?"
"Orang seperti dia tak pernah membunuh wa- nita. Kau jangan takut. Dia tak mungkin membu- nuh perempuan secantik dirimu!" Pasadewa meyakinkan.
Pandan Arum terdiam. Sebenarnya dia mera- sa berat untuk melakukan permintaan Pasadewa karena menemui Iblis Ular Sembilan baginya sa- ma saja dengan melakukan tindakan konyol yang membahayakan diri sendiri. Tapi bagaimana pun dia mencintai laki-laki itu. Dia tidak dapat hidup tanpa laki-laki itu.
Dengan berat hati akhirnya dia berkata. "Ka- lau memang itu permintaanmu, baiklah kakang. Tapi setelah tugas ini selesai aku laksanakan kau harus menikahi diriku. Di samping itu kau juga harus mencari dua muridku!"
"Ha ha ha. Permintaanmu pasti kupenuhi.
Sekarang pergilah!" kata Pasadewa.
Setelah berpakaian rapi Pandan Arum segera tinggalkan ruangan itu. Sementara sepeninggal- nya sang dara Pasadewa duduk tertegun di bibir ranjang. Pemuda itu tersenyum membayangkan cita-citanya yang kelak bakal dia capai.
Laki-laki itu kemudian bangkit berdiri, na- mun belum lagi Pasadewa sempat beranjak ting- galkan kamar mendadak dia merasakan ada hawa sedingin es menerpa jendela kamar. Pasadewa terkejut. Sayup-sayup dia mendengar ada suara orang berkata. "Segala cita-cita manusia pasti akan tercapai selama orang itu berusaha keras untuk menggapai apa yang dia cita-citakan..."
"Siapa yang bicara?" desis Pasadewa. Dia lalu melangkah ke arah jendela.
Jendela itu segera dibuka. Dia memandang ke segenap sudut penjuru. Tak ada yang terlihat ke- cuali kegelapan. Dalam gelap kembali terdengar suara menge- keh. "Kau tidak perlu mencari diriku. Mengenai siapa diriku sebenarnya tidak penting. Kehadi- ranku di sini hanyalah untuk memberi kabar bahwa benda sakti yang bernama Sengkala Angin Darah itu kini berada di tangan seorang kakek sakti bernama Empu Barada Sukma. Jika kau berminat dengan benda itu sebaiknya kau segera pergi. Cari orang itu sebelum benda yang berada di tangannya berpindah ke tangan orang lain." Kata suara yang tak mau menampakkan ujudnya tersebut.
"Bagaimana aku bisa mempercayai kata- katamu?"
"Kau tak perlu percaya padaku. Kau manusia cerdik yang bisa mempergunakan otak. Aku hanya sekedar memberimu kabar agar kau tidak jadi pusing memikirkan benda itu. Pergilah! Atau kau akan menyesal tidak mendapatkan benda itu."
Pasadewa sejenak tampak bimbang. Tapi ke- mudian dia segera memutuskan untuk menuruti nasehat suara tanpa rupa itu.
"Baiklah. Tapi ingat, jika ternyata kau hanya menipuku. Aku bersumpah pasti akan mencari- mu." Kata Pasadewa.
Tidak ada jawaban. Suara yang didengarnya tadi lenyap. Kini kegelapan kembali diwarnai ke- sunyian.
"Empu Barada Sukma. Hmm, aku tahu dima- na harus menemukan kakek itu. Tapi untuk mencapai tempat itu aku membutuhkan tunggan- gan. Aku harus menggunakan Rajawali Siluman untuk mencapai tempat itu!" batin laki-laki terse- but.
Tanpa membuang waktu Pasadewa rang- kapkan kedua tangannya di depan dada. Bersa- maan dengan itu kedua matanya terpejam, se- dangkan mulut tampak berkemak-kemik.
"Rajawali Siluman, aku Pasadewa. Titisan Ra- ja Pedang Betala Surya memanggilmu. Cepat kau datang menghadap! Bawa aku pergi ke tempat tu- juan." Gumam Pasadewa.
Hanya beberapa saat setelah itu terdengar suara gemuruh angin dan pekik melengking da- lam kegelapan di atas sana.
Pasadewa dongakkan kepala memandang ke arah kegelapan langit. Kemudian dia melihat mahluk raksasa berupa seekor burung rajawali putih berkelebat di atasnya.
Burung siluman berputar-putar di atas ru- mah. Kepakan sayap mahluk itu menimbulkan deru angin hingga membuat pepohonan di seki- tarnya bertumbangan. Pasadewa tersenyum.
Dia bersuit tiga kali. Sang rajawali siluman memekik dan bergerak merendah.
Pemuda itu melesat keluar melalui jendela yang terbuka.
"Sahabatku apakah kau telah siap membawa diriku?"
Kikkk!
Mahluk raksasa itu keluarkan pekikan keras. Pasadewa tak mau menunggu lebih lama. Dia se- gera lentingkan tubuhnya ke atas. Dan di lain waktu Pasadewa sudah duduk di atas punggung rajawali raksasa itu.
Si pemuda bersuit tiga kali. Rajawali siluman kembali memekik. Kemudian bergerak membu- bung ke angkasa, lalu lenyap dari pandangan ma- ta.
5
Puncak gunung Kelud pagi itu diselimuti ka- but tebal. Hawa dingin terasa sangat mencucuk. Tapi tak jauh dari kaki gunung di tengah dingin- nya suasana di antara bebatuan terjal terlihat sa- tu bayangan berkelebat. Di satu tempat di depan mulut goa yang terlindung akar menjuntai dan te- tumbuhan merambat sosok itu hentikan lang- kahnya.
Dia ternyata adalah seorang Laki-laki berwa- jah angker, bagian kepala botak tepat di bagian ubun-ubun. Sedangkan di punggung Laki-laki itu tergantung sembilan golok besar berwarna hitam.
Sekejap si baju ungu berwajah mirip beruang memandang ke mulut gua. Sedang cuping hi- dungnya tampak kembang kempis mengendus. Kemudian muka beruang yang dikenal dengan ju- lukan si Tangan Besi itu tersenyum.
Dia mengendus bau sesuatu yang sangat khas, bau kemenyan. "Dia ada di tempat. Kuharap urusan berjalan lancar. Jika urusanku berhasil Raden Sobari pas- ti akan merasa senang."
Sekali lagi Laki-laki itu memandang ke mulut gua. Dia lalu berteriak. "Kertasona... aku Tangan Besi datang menyambangi. Ada urusan penting yang hendak kusampaikan kepadamu. Apakah aku boleh masuk?"
Mula-mula sunyi. Kesunyian yang amat men- cekam dan membuat Laki-laki itu merasa tidak enak hati. Membayangkan kekejian yang dilaku- kan sang dukun. Kesunyian ternyata tidak ber- langsung lama. Kejab kemudian Tangan Besi di- kejutkan oleh dentuman suara kentut.
Tangan Besi cepat tekap hidungnya. Tangan Besi masih saja mengendus bau tidak sedap hingga perutnya terasa mual.
"Jahanam kurang ajar. Bau isi perutnya bu- suk bukan main." Rutuk Tangan Besi dalam hati.
Muka beruang bersungut-sungut. Selagi di- rinya dalam keadaan seperti itu tiba-tiba dia dike- jutkan oleh terdengarnya pintu batu yang terbu- ka.
Samar-samar dia melihat ada cahaya biru te- maram membersit keluar dari dalam ruangan gua.
Seiring dengan terlihatnya cahaya. Dari ruan- gan dalam terdengar suara serak seseorang seper- ti dicekik setan.
"Matahari belum lagi menampakkan diri. Se- tan gila dari mana di pagi buta berani berteriak di depan tempat tinggalku?"
Tangan Besi biarpun tidak senang disebut Se- tan Gila tetap menjura ke arah gua.
"Mbah Dukun Kertasona, aku Tangan Besi orang kepercayaan Pangeran Sobari. Dulu aku ju- ga pernah kemari, apakah kau ingat,..?"
"Ha ha ha. Aku baru ingat sekarang. Bukan- kah kau kunyuknya yang pernah memberi ku ha- diah berupa lima perawan cantik dari kotaraja? Kemudian kelima perawan itu kulepas lima bulan sesudahnya dalam keadaan bunting. Ha ha ha. Terima kasih!"
"Aku senang Mbah Kertasona merasa se- nang."
"Ya ya... aku senang. Tapi apakah kini kau datang dengan membawa hadiah yang sama?" tanya suara di dalam.
"Tidak Mbah. Aku datang membawa maksud keperluan. Sebagai imbalan kau bakal menda- patkan barang yang tidak ternilai harganya." Sa- hut muka beruang.
"Tidak ternilai itu apakah ini berarti tidak ada nilainya sama sekali?" teriak orang di dalam gua.
"Barang yang kubawa justru memiliki nilai yang tinggi, terdiri dari permata dan jambrut."
"Hmm, jambrut aku sangat membutuhkan- nya. Kau tunggulah sebentar!"
Tangan Besi terpaksa menunggu, walaupun ini adalah hal yang tidak dia sukai.
Belum lama menunggu terdengar suara dari dalam. "Kau masuklah!"
Sekali berkelebat Tangan Besi telah berada di dalam ruangan gua. Dia melengak ketika melihat tiga perempuan cantik terlihat sibuk merapikan pakaiannya. Mereka pasti korban kebejatan Mbah Dukun
Ketiga perempuan itu selanjutnya pergi me- ninggalkan ruangan itu. Dengan wajah merah Tangan Besi balikkan badan menghadap ke arah sang dukun.
Di ranjang batu yang diberi nama Ranjang Pe- lepas Kesucian Mbah Dukun Kertasona yang juga dikenal dengan julukan Setan Santet Delapan Penjuru tampak duduk bersila dengan pakaian seadanya. Melihat kehadiran Tangan Besi, si ka- kek yang wajahnya ditumbuhi cambang bawuk lebat menatap ke arah tamunya sejenak.
"Sudah banyak perawan datang padaku. Se- gala macam santet dapat kulenyapkan. Sebagai imbalan mereka harus menyerahkan kehorma- tannya. Ha ha ha!" si kakek tertawa aneh. "Mere- ka orang bodoh, bertuhan tapi malah menyembah aku."
Merasa disindir Tangan Besi jadi tidak enak hati. Tapi dengan menebalkan muka dan mem- buang rasa malu jauh-jauh dia duduk. Tanpa sungkan dia ajukan pertanyaan. "Mbah apakah kita sudah bisa memulai sekarang?"
Si kakek batuk beberapa kali. Setelah itu dia bangkit, melangkah turun dari ranjang kemudian duduk di depan Tangan Besi. "Muka beruang, kabar apa yang kau bawa da- ri Kediri?" tanya si kakek dingin.
Tangan Besi tidak segera menjawab. Dia men- gambil sebuah kantong berukuran dua kepalan tangan. Pengikat kantong dibuka, isinya dikelua- rkan. Mata si kakek yang berwarna putih pucat seketika berbinar melihat batu jambrut dan per- mata bertebaran di atas lutut.
Dua dari batu jambrut kemudian diselipkan di balik topi songkok hitamnya. Sedangkan yang lain dia masukkan ke dalam kantong.
"Kau membawa hadiah begini banyak, namun yang paling kusukai adalah hadiah gadis pera- wan."
"Lain kali aku pasti membawa hadiah yang Mbah minta."
Si kakek manggut-manggut.
"Sekarang katakan apa yang harus aku laku- kan. Menyantet orang sampai mati, memelet seo- rang puteri atau mengobati orang sekarat?"
"Bukan... bukan itu Mbah." Ujar Tangan Besi. "Pangeran Sobari meminta pada Mbah agar sudi membantu kami mendapatkan benda sakti man- dra guna. Konon menurut laporan mata-mata kami, benda itu ada di hutan Pacitan. Jika Mbah berhasil mendapatkan benda langka itu Pangeran Sobari berkenan memberikan sebidang tanah di Blitar, berikut rumah termasuk istri. Mbah juga akan diangkat menjadi tumenggung.
"Ha ha ha, pangeranmu itu ternyata manusia ngaco. Kau rupanya tidak tahu aku tidak bisa membaca dan menulis. Lagipula aku tak akan mau menjadi tumenggung."
"Kalau Mbah tidak mau tidak mengapa."
"Aku memang tak menghendakinya. Aku lebih suka hidup dengan cara seperti ini karena begitu banyak kesenangan yang bisa kudapatkan. Tawa- ran itu aku terima. Tapi sebagai upahnya aku minta puteri adipati." Tegas si kakek.
Tangan Besi merasa lega mendengar keputu- san si kakek itu. Dengan cepat dia segera menja- wab. "Hadiah yang Mbah minta nanti akan aku sampaikan pada adipati. Pangeran Sobari pasti setuju."
Si kakek anggukkan kepala. Setelah itu dia mengambil sebuah pendupaan besar yang terletak di sudut gua. Pendupaan itu kemudian diletakkan di depan Tangan Besi.
Tangan Besi kaget juga. Rupanya dia takut pendupaan itu dituangkan ke atas kepalanya.
Dugaan Tangan Besi meleset karena pendu- paan itu kemudian diangkat tinggi melewati ba- gian atas kepalanya.
Si kakek duduk bersila. Mulut berkemak- kemik sedang dua matanya dalam keadaan terpe- jam.
Tidak selang berapa lama di tengah suara rancauannya tubuh si kakek tampak bergetar. Secara perlahan si kakek dongakkan wajahnya ke atas. Setelah itu mulut terbuka lebar. Begitu mu- lut terbuka pendupaan menyala berisi bara segera dituangkan ke dalam mulut. Jzzzth!
Terdengar suara potongan bara menyentuh li- dah, asap tebal mengepul. Lalu mulut yang penuh berisi bara dikatubkan.
Glek!
Bara menyala ditelan amblas ke dalam perut si kakek. Tangan Besi yang tidak sanggup me- nyaksikan kejadian ini segera palingkan kepala ke jurusan lain.
Setelah bara ditelan, kembali terdengar suara racauan si kakek. Dari mulut terlihat kepulan asap tipis keluar.
Meski sempat dilanda ketegangan Tangan Be- si nyaris tidak dapat menahan ketawa melihat apa yang dilakukan kakek itu. "Orang tua aneh. Bara dia makan seperti kerupuk, sungguh luar biasa."
Sementara asap tipis berwarna biru semakin lama semakin membubung tinggi ke udara. Ke- mudian bergulung-gulung membentuk sosok be- sar dalam bentuk samar.
Tapi makin lama makin jelas. Sosok itu tam- pak sangat angker, dua matanya mencorong ta- jam. Kedua alisnya yang hitam lebat mencuat ke atas, hidung tinggi. Ketika menyeringai terlihat dua pasang taringnya yang mencuat panjang.
Seiring dengan munculnya sosok transparan serba putih itu tiba-tiba terdengar suara hembu- san angin kencang. Tangan Besi menggigil. Ber- samaan dengan itu Mbah Dukun yang duduk di depan Tangan Besi berkata. "Wahai jin sesat pen- gabdi dari segala kesesatan. Aku junjunganmu Setan Santet Delapan Penjuru memberi perintah padamu untuk menyelidiki keberadaan benda sakti yang bernama Sengkala Angin Darah. Jika benda itu masih terpendam di dalam tanah, maka keluarkanlah. Andai benda itu telah berada di tangan manusia katakan padaku siapa manu- sianya. Perintahku tidak bisa dibantah. Karena aku adalah raja dari segala kesesatan. Pergilah! Bisikkan segala yang kau lihat padaku. Kau baru boleh kembali setelah kuberi tanda berupa ketu- kan. Jin sesat lakukan tugasmu!" perintah Mbah Dukun.
Hembusan angin makin bertambah keras ber- campur dengan busuknya bau bangkai. Kemu- dian terdengar raungan menggelegar menggetar- kan dinding gua. Asap yang muncul dari mulut si kakek lenyap ditiup angin. Begitu asap lenyap so- sok tinggi besar yang tercipta dari asap juga ikut lenyap.
Suasana di dalam gua kembali sepi mence- kam. Tangan Besi diam menunggu. Tidak berani bergerak atau bersuara. Hanya sepasang matanya saja melotot menatap ke arah Mbah Dukun. Ka- kek itu masih memejamkan matanya.
Tak lama Tangan Besi melihat daun telinga kiri si kakek bergerak-gerak. Mbah Dukun ke- rutkan keningnya sedangkan mulutnya mulai bertutur memberi penjelasan. "Jin sesat menga- takan, benda sakti itu sudah tidak berada lagi di tempatnya. Seseorang telah mengambilnya. Jin sesat tak dapat melihat orang itu. Orang yang menguasai Sengkala Angin Darah dilindungi se- macam tabir, dia memiliki kesaktian yang sangat tinggi. Bukan cuma itu yang menjadi kendala. Benda sakti yang diinginkan pangeranmu itu ter- nyata mempunyai daya tolak luar biasa. Huh, edan. Orang yang berlindung di balik tabir ternya- ta mengetahui kehadiran mahluk piaraanku ini. Dia bahkan hendak menangkap jinku." Seru si kakek. Suaranya timbul tenggelam, sedangkan tubuhnya bergetar keras. Tak lama setelah si ka- kek dapat menguasai diri. Si kakek memukul lan- tai gua satu kali. Dia juga berseru keras. "Jin se- sat, kembali...!"
Seketika itu juga di mulut gua terdengar sua- ra deru. Hembusan angin yang masuk ke dalam gua berputar-putar. Tangan Besi kembali men- cium bau bangkai. Kemudian muncul sosok tipis dalam ujud mahluk raksasa berambut lebat.
Secara perlahan sosok besar itu kembali me- mudar menjadi kabut. Kemudian segera bergerak masuk ke dalam mulut si kakek yang telah terbu- ka.
Dua tangan si kakek yang bersilangan di de- pan dada segera disentakkan. Bersamaan dengan gerakan tangan, mata orang tua ini terbuka. Wa- jah si kakek tampak letih dan bersimbah keringat. Kemudian dengan tatapan mata kuyu namun pe- nuh keyakinan dia berkata. "Pulanglah kau! Aku menyanggupi permintaan Sobari. Pembantuku jin sesat boleh tak sanggup menghadapi orang itu. Tapi aku Setan Santet Delapan Penjuru punya se- ribu cara untuk mendapatkan yang kuinginkan. Beri aku waktu beberapa hari. Jika dalam waktu yang kujanjikan aku tak datang menemui pange- ranmu, berarti jangan kau harapkan pertolon- ganku lagi."
Lega hati Tangan Besi mendengarnya.
Dia menjura hormat ke arah kakek di depan- nya. Setelah itu Tangan Besi berkata. "Baiklah. Sekarang aku mohon pamit." Ujar Tangan Besi.
Si kakek anggukan kepala.
Tangan Besi bangkit berdiri. Kemudian dia segera tinggalkan ruangan itu. Seperginya Tangan Besi, Mbah Dukun tersenyum sinis. "Benda itu memang harus kutemukan, tapi begitu kuda- patkan tak mungkin kuberikan pada siapapun." Dengus si kakek.
"Hanya aku yang patut dapatkan benda itu, aku pula yang berhak menyimpannya. Ha ha ha!" kata si kakek sambil tertawa tergelak-gelak.
6
Ledakan yang demikian kerasnya membuat pendekar Sakti 71 terlempar sejauh belasan tom- bak. Pemuda ini lalu jatuh menggelinding ke arah lereng bukit.
Dia menggeliat, sedang mulutnya merintih tak berkeputusan. "Aduh sakitnya biyung. Kepalaku sakit seperti mau meledak, perut mual ingin kencing ingin berak."
Dengan terhuyung-huyung sambil bangkit berdiri dia pegang kepalanya. Sedang mata me- mandang jelalatan.
Dia tidak menemukan orang yang dicari. Gu- runya maupun Anggagini tak ada di sekitar situ. Karena kepala masih sakit dan matanya berku- nang-kunang, maka diapun duduk di atas rum- put. Beberapa kali dia gelengkan kepala untuk mengusir rasa pusing.
Pada saat dirinya dalam keadaan sedemikian rupa, tiba-tiba meluncur sebuah benda berwarna kuning menghantam kepalanya.
Blak!
Benda yang menimpa kepala itu kemudian ja- tuh di atas pangkuan. Setelah diteliti ternyata se- buah rambutan. Gento layangkan pandang ke se- genap penjuru arah. Tidak ada yang terlihat ter- kecuali pepohonan yang tumbuh di sekitar bukit.
"Siapa yang berani berbuat kurang ajar pada- ku?" fikir Gento. Dia kemudian berteriak. "Hei, siapa yang melemparku?"
"Hi hi hi. Pemuda tolol siapa yang melempar- ku? " kata satu suara.
Mendengar suara mencemo'oh Gento berkata. "Aku memang tolol. Lalu kau yang merasa orang pintar apakah begitu pengecut tak berani tunjuk- kan diri?" Gento mendengus disertai senyum mengejek.
"Kau mengatakan aku pengecut? Coba lihat baik-baik." Setelah berkata begitu satu bayangan putih berkelebat dari balik kelebatan pohon. Se- cepat kilat sosok itu bergerak ke arah Gento lalu lakukan serangkaian serangan gencar.
Gento terkesiap mendapat serangan yang ber- langsung cepat itu. Lebih kaget lagi begitu me- nyadari datangnya serangan begitu mematikan dan mengincar bagian tubuh yang lemah.
"Hebat agaknya kau setan gila, sehingga begi- tu datang menyerang orang yang tidak berdosa." Desis Gento.
Dengan gerakan tidak kalah cepat sang pen- dekar melesat ke udara, lalu berjumpalitan dekati lawan. Kemudian dengan cepat pula tangan si pemuda menyambar ke depan.
"Aih, pemuda sialan, manusia kurang ajar!" maki sosok berbaju putih sambil tekap bagian dada. Sosok ini kemudian balikkan badan lalu meluncur ke bawah dan jejakan kaki di atas ta- nah.
Melihat orang tidak menyerangnya lagi Gento pun melesat turun kemudian jejakkan kaki dua langkah di depan sosok berpakaian putih.
Sang pendekar memandang ke depan. Dia kemudian jadi melengak kaget begitu melihat so- sok berkepala botak itu.
"Kau... rasanya aku pernah mengenalmu, pemuda cakep berkepala botak. Jika tidak salah aku menduga bukankah kau orangnya yang ber- nama Takga alias Botak ke tiga?"
Sosok berpenampilan seperti seorang pemuda itu tertawa merdu. Dengan sinis dia berkata. "Kau salah mengenali orang. Otakmu yang miring ru- panya masih belum lempang hingga kau tak da- pat mengingat aku. Aku adalah Taktu alias Botak ke satu." menjelaskan pemuda berkepala botak itu. Untuk lebih jelasnya siapa Taktu, (silahkan anda baca episode tabib setan).
"Botak ke satu. Sekarang aku baru ingat bu- kankah kau orangnya yang bernama Ararini? Ka- sihan sekali, sejak dulu sampai sekarang ram- butmu botak terus. Yang tumbuh justru tonjolan bisul di dada. Ha ha ha."
"Kau tidak tahu keadaanku yang sebenarnya. Tak usah bicara sembarangan. Kau sendiri du- lunya adalah seorang pecundang. Apakah kau in- gat bagaimana ketika tabib setan menjitaki kepa- lamu ketika kau kalah bertarung denganku? Hi hi."
Gento terdiam, mulut tersenyum. Ingat pada peristiwa yang terjadi dimasa kecilnya memang membuat wajah sang pendekar jadi memerah. Tapi dia kemudian masih tertawa cengengesan.
"Waktu itu segalanya cukup memalukan. Tapi kau jangan lupa aku pernah menolongmu juga membantu gurumu Sang Cobra. Satu lagi yang tak boleh kau lupakan. Aku pernah berjanji akan menjajaki jurus-jurus silatmu."
"Pemuda sinting, aku tak akan pernah melu- pakan kejadian itu. Kalau kau mau menjadi pe- cundang lagi, silakan saja. Kau pasti tak bakal menang !" dengus Taktu.
"Tunggu, sebelum kita memulai aku ingin mengetahui sesuatu."
"Apa yang ingin kau ketahui?"
"Ee... aku tidak melihat dua saudaramu yang lain. Kemana Takwa dan Takga?" tanya Gento. Seperti telah diketahui Takwa dan Takga adalah saudara seperguruan Ararini.
"Buat apa kau tanyakan mereka?"
"Aku hanya ingin memastikan agar tidak ter- jadi kecurangan. Dulu kalian pernah menge- royokku! Ha ha ha."
Wajah cantik Taktu bersemu merah. Dengan suara lantang dia mendamprat. "Untuk mengha- dapi pemuda sepertimu perlu apa main keroyok. Dengan kedua tanganku sendiri aku bisa meng- gebukmu."
Gento tersenyum. "Kau nampaknya terlalu yakin dengan kemampuan yang kau miliki."
"Sejak dulu aku memang yakin dengan ke- mampuan diri sendiri. Sekarang tunggu apa lagi? Aku siap menghadapimu." Tantang Taktu.
"Hmm, sebenarnya saat ini aku sedang risau memikirkan guruku."
"Aku sudah tahu. Gurumu dan gadis baju kuning itu sudah pergi. Mungkin mereka me- nyangka engkau sudah mati dihantam pusaran angin hitam tadi." Dengus sang dara ketus.
Sang pendekar berjingkrak kaget. Dia tentu tak menyangka Taktu mengetahui kejadian aneh yang menimpa mereka.
"Jadi kau tahu pusaran angin dan awan tadi menghantam kami?" tanya Gento seolah tak per- caya.
"Dasar pemuda tolol. Rupanya kau masih be- lum tahu bahwa dibalik pusaran angin tadi ber- lindung seseorang yang dikenal dengan julukan Iblis Awan Hitam?"
Gento gelengkan kepala.
"Aku tidak tahu. Aku juga belum bisa memas- tikan apakah iblis itu yang telah mendapatkan Sengkala Angin Darah."
"Mengenai pertanyaanmu itu tak bisa kupas- tikan. Aku hanya mengikuti orang tadi." Jelas Taktu.
"Jika begitu aku harus menyusul guruku se- kaligus mencari tahu di tangan siapa benda maut itu kini berada." Setelah berkata begitu sang pen- dekar balikkan badan siap melangkah pergi. Te- tapi Taktu lakukan satu gerakan cepat. Di lain saat dia telah berdiri menghadang di depan Gen- to.
"Heh, kau hendak berbuat apa?"
Taktu tersenyum sinis. "Apakah kau telah lu- pa dengan ucapanmu sendiri? Bukankah kau menantang aku? Jika hari ini tidak kulayani, ke- lak di kemudian hari kau pasti mengatakan diriku manusia pengecut!"
"Untuk sementara kuharap kau melupakan masalah tantangan itu." kata Gento mengalah.
"Tidak bisa begitu. Kalau kau tidak mau aku pasti memaksamu!" tegas Taktu tetap ngotot.
Gento menarik nafas pendek. "Kau rupanya manusia keras kepala. Baiklah tapi jika kau kalah apakah kau mau menjadi kekasihku? Ha ha ha." Wajah Taktu bersemu merah. Matanya men-
delik memandang geram pada sang pendekar. "Sejak kecil sampai sekarang rupanya kau
masih saja bicara sombong bermulut besar. Tin- dakanmu yang meremehkan orang lain dapat mencelakakan dirimu sendiri. Lihat serangan...!" teriak Taktu. Sang dara tiba-tiba saja berkelebat ke depan.
"Hei... tunggu...!" Gento tidak sempat lagi me- lanjutkan ucapannya karena pada saat itu dua tangan Taktu telah menyambar tenggorokan dan ke dua matanya.
Meski sempat terkejut melihat serangan Tak- tu yang maju pesat, Gento tarik kepalanya ke be- lakang. Dia menggunakan jurus Congcorang Ma- buk untuk menghadapi lawan. Secepat kilat den- gan jemari tangan di tekuk dan tubuh bergoyang- goyang kaki si pemuda menyambar perut, se- dangkan tangan bergerak menghantam dagu.
Plak! Duk! Dess!
Dua serangan Taktu yang ganas dapat dipa- tahkan oleh si pemuda, sedangkan kakinya me- nyambar perut. Gadis itu terjajar ke belakang. Taktu tidak mengeluh, sebaliknya diam-diam menjadi kaget tak menyangka Gento yang dite- muinya belasan tahun yang lalu tidak sama den- gan Gento yang dia hadapi saat ini.
"Kau pasti kalah. Kau harus menjadi keka- sihku. Ha ha ha." Berkata pemuda itu sambil ber- kacak pinggang.
"Manusia sombong. Baru bisa membuatku terjajar bukan berarti kau telah mengalahkan aku!" belum lagi gema suara teriakan Taktu le- nyap. Laksana mata pedang dua kaki Taktu ber- gerak lincah. Setiap ujung kaki menyentuh batu, maka batu-batu itu melayang melesat menghan- tam sang pendekar.
Serangan batu yang datang laksana curah hujan ini bukan serangan biasa karena selalu te- rarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Dengan mengandalkan ilmu meringankan tu- buh dan gerak cepat laksana elang menyambar pemuda ini berkelebat di udara. Gento yang su- dah mengerahkan tenaga saktinya ke bagian tan- gan segera menghantam.
Dess! Dess!
Angin dingin menderu dari tangan pemuda itu, lalu bergerak sedemikian rupa sesuai dengan berputarnya tangan. Dan batu-batu itu segera berbalik menghantam ke arah Taktu dengan ke- cepatan berlipat ganda begitu membentur tangan Gento.
Selagi Taktu dibuat sibuk, sang pendekar me- luncur ke bawah. Tangan kiri terjulur terarah ke bagian kepala, sedang tangan kanan meluncur ke bagian dada.
Serangan yang mengarah ke bagian dada ini sebenarnya hanya tipuan saja karena begitu Tak- tu memaki sambil lindungi dadanya Gento belok- kan serangan ke bagian perut.
Dess!
Satu pukulan keras melabrak perut Taktu. Tapi tak terduga Taktu tanpa menghiraukan rasa sakit segera melompat ke atas. Sambil berkelebat tangannya masih sempat mengemplang kepala Gento. Gento memekik keras, dia merasakan ke- palanya yang dikemplang orang seperti mau mele- tus.
''Bagus, semula aku menyangka kau hanya membawa gunung. Tidak disangka ternyata kau membawa palu godam juga, ha ha ha."
"Pemuda keparat, sebaiknya kau mampus!" teriak Taktu sambil melepaskan pukulan tangan kosong.
"Ah teganya kau hendak membunuh kekasih sendiri. Dimana letak kasih sayangmu?" cibir si pemuda menggoda, namun dia tetap dorongkan kedua tangannya menyambuti pukulan lawan.
"Kasih sayang edan. Kurasa dia telah pergi ke akherat." Sahut Taktu geram.
Jauh di dalam hati sebenarnya Taktu merasa penasaran karena pemuda yang dimasa kecil per- nah dia pecundangi ternyata kini memiliki ilmu kepandaian yang sangat luar biasa.
"Kepada siapa setan gondrong ini berguru? Tak mungkin si gendut sinting itu mengajarkan ilmu sehebat ini."
Buum!
Benturan keras tidak dapat di hindari lagi. Lereng bukit bergetar. Akibat ledakan membuat Taktu terpental tinggi di udara. Sedangkan Gento amblas ke dalam tanah sampai setinggi lutut. Oh kekasihku. Bagaimana kau bisa terbang tinggi. Padahal kau tidak punya sayap. Mulut berkata begitu padahal dalam hati dia memaki karena ternyata tidak mudah membebaskan kedua kaki yang terjepit tanah. Tak punya pilihan lain si pe- muda segera kerahkan tenaga dalamnya yang bersumber dari bagian pusat, kening dan pung- gung.
Di atas sana Taktu kembali mendamprat. "Pendekar sinting sekarang bersiaplah menerima kenang-kenangan dariku."
Dalam keadaan mengambang di atas keting- gian gadis itu memutar tangannya. Setelah itu dengan cepat tangan dihantamkan ke arah Gento. Secara berturut-turut sinar merah, biru hitam kekuning-kuningan menderu dari telapak tangan si gadis. Berturut-turut pula sang pendekar me- rasakan adanya hawa panas dan dingin menyam-
bar tubuhnya.
Gento terkesiap, tapi dua jengkal lagi pukulan itu menghancurkan tubuhnya, pada waktu ber- samaan pula dari bagian kening Gento membersit sinar putih laksana perak memapas habis lima la- rik sinar maut yang dilepaskan Taktu.
Gento melompat setelah menarik ke dua ka- kinya yang terpendam. Begitu dua kakinya berada di atas tanah dia gerakkan tangannya ke arah empat pohon besar di sebelah kanan, empat po- hon bertumbangan. Gento kembali sentakkan tangannya. Empat pohon besar yang masih beranting dan berdaun lebat melesat di udara menghantam ke arah Tak- tu secara susul-menyusul.
Si gadis jadi terkesiap, jantungnya seolah berhenti berdenyut. Dengan tubuh bersimbah ke- ringat dingin dia cabut pedangnya. Dengan pe- dang di tangan Taktu mengamuk seperti orang gi- la. Dalam waktu singkat daun maupun ranting- ranting pohon rambas berguguran. Empat pohon menjadi gundul. Kemudian ketika melihat ke em- pat pohon yang digunakan untuk menyerang be- rubah menjadi potongan kecil Gento pun tarik ba- lik tenaga dalamnya.
Empat batang pohon jatuh berdebum. Taktu sendiri segera jatuhkan diri. Dia duduk dengan nafas megap-megap, wajah pucat pakaian ber- simbah keringat.
Nampaknya Taktu terlalu menguras banyak tenaga ketika menghadap serangan pohon-pohon tadi.
Sekejap lamanya Gento memperhatikan seke- lilingnya yang porak poranda. Setelah itu dia be- ralih pada Taktu.
Gento tak dapat menahan tawa melihat Taktu yang kuyu, meski jauh di lubuk hati terselip juga rasa kasihan.
"Jurus pedangmu ternyata cukup hebat, Tak- tu. Tapi kau jelas tak bisa mengalahkan aku. Kini apakah kau telah siap menjadi kekasihku?" tanya Gento. Sekujur tubuh Taktu menegang, matanya mendelik sedang mulut terkatup rapat. Dia men- jadi kesal, marah dan jengkel pada diri sendiri. Sama sekali dia tak menyangka pemuda itu dapat menjatuhkannya. Jauh di lubuk hati dia memang harus mengakui kehebatan Gento, Ilmu pemuda itu sekarang sudah berada jauh di atasnya.
"Gondrong, sekarang dengan jujur aku men- gakui segala kehebatanmu. Aku mengaku kalah!"
Gento sama sekali tidak merasa tersanjung.
Sebaliknya dia malah menggoda.
"Apakah kini kau sudah bersedia menjadi ke- kasihku?"
Taktu tersipu, lalu palingkan wajahnya ke ju- rusan lain. "Dari pada bicara tidak berguna bu- kankah lebih baik kita cari gurumu atau benda sakti itu?" ucapnya tanpa berpaling pada Gento.
"Hhh, jadi kau mau ikut denganku? Tapi mengapa kau tidak mau menjawab pertanyaan- ku?"
"Buat apa aku melayani pertanyaan gila. Jo- doh, hidup matinya seseorang ada di tangan Gus- ti Allah. Maka lebih baik kau bertanya kepa- danya."
"Bagaimana aku bisa bertanya pada Tuhan?" "Gampang. Kau mati saja dulu." Sahut gadis
itu disertai tawa.
Gadis itu kemudian sarungkan pedangnya. Setelah itu dia melangkah pergi. Gento segera mengikutinya. 7
Telaga setan terletak di puncak bukit di sebe- lah selatan Kediri. Air di telaga itu demikian ke- ruhnya. Sewaktu-waktu air telaga bisa hilang raib entah kemana.
Saat itu matahari belum lagi menampakkan diri. Hawa dingin demikian mencucuk. Di pinggir telaga di atas altar batu bundar berwarna hitam terlihat satu pemandangan mengerikan. Sedikit- nya sembilan ekor ular dalam keadaan bergelung melingkari sosok tubuh berpakaian ala kadarnya.
Sementara itu di lereng bukit satu sosok ber- pakaian serba kuning nampak berkelebat menuju ke bagian puncak bukit, sosok berbadan ramping itu nampaknya dalam keadaan tergesa-gesa.
Tak lama setelah melewati semak belukar berduri sosok berpakaian kuning yang ternyata adalah seorang gadis berambut panjang sampai di tepi telaga. Sejenak si gadis mengatur nafas yang agak memburu, sedangkan mata memandang ke arah telaga yang mengepulkan uap kebiru-biruan. "Telaga ini yang dinamakan telaga setan. Aku tidak melihat Iblis Ular Sembilan ada di sekitar sini." Kata sang dara. Dia lalu melangkah ke sisi sebelah kanan telaga. Di satu tempat tak jauh da- ri batu bundar langkah si gadis mendadak ter- henti. Sepasang matanya terbelalak lebar me- mandang lurus ke arah batu dimana dia melihat sedikitnya sembilan ular hitam berbelang kuning menggelungi sosok tubuh bertelanjang dada. "Iblis Ular Sembilan?" desis sang dara kecut. Dengan perasaan jijik si gadis kitarkan pan-
dangan. Mata memandang ke segenap sudut pen- juru. Gadis ini jadi gelisah, pikirannya tidak te- nang. Kemudian dia memutuskan untuk me- manggil Iblis Ular Sembilan. Belum lagi dia laksa- nakan niatnya. Sembilan ular yang bergelung ke- luarkan suara desis. Ular-ular itu agaknya men- getahui kehadiran sang dara. Terbukti mereka se- gera bergerak, angkat kepala dan siap menyerang. Si gadis mengusap tengkuknya. Dia lalu kem- bali memandang ke arah batu bundar. Dia terke- jut ketika melihat seorang Laki-laki renta berwa- jah tirus berkulit hitam duduk di sana. Sosok itu
sama sekali tidak berpakaian.
Auratnya terbungkus secarik kain hitam. Se- dangkan wajahnya yang keriput nampak demi- kian kurusnya tidak ubahnya seperti tengkorak terbalut kulit.
Melihat penampilannya saja sang data ra- sanya sudah mau pingsan. Dia yang ingin bicara mendadak seperti kehilangan kata-kata.
Tapi akhirnya dia memberanikan diri juga. Dengan suara bergetar dia ajukan pertanyaan. "Aku Pandan Arum. Apakah benar saat ini sedang berhadapan dengan Iblis Ular Sembilan?"
Di depan sana kakek muka jerangkong mem- buka matanya yang cekung. Dua bola mata me- mandang lurus ke arah si gadis. Melihat siapa yang datang tenggorokan si kakek bergerak naik turun. Dua matanya timbul tenggelam, sedang- kan lidahnya yang bercabang dan berwarna hitam nampak terjulur.
"Tua bangka ini ternyata bukan cuma julu- kannya saja ular. Tapi lidahnya juga bercabang seperti ular." Batin Pandan Arum mendadak dia merasa tengkuknya menjadi dingin.
"Di pagi buta aku kedatangan seorang dara. Seorang gadis yang kuanggap dapat memanaskan hasrat yang menggelora. Rejekiku besar. Katakan siapa namamu tadi gadis cantik. Ha ha ha."
Meskipun geram mendengar kata-kata yang diucapkan si kakek, tapi Pandan Arum terpaksa memendam kemarahannya karena dia membu- tuhkan kakek itu. "Aku Pandan Arum. Kekasihku Pasadewa menyuruhku untuk bertemu dengan- mu."
"Kekasihmu... Pasadewa kekasihmu. Nama itu sepertinya tak asing di telingaku." Gumam si kakek.
"Pasadewa adalah pemuda sakti yang memili- ki tunggangan rajawali siluman. Dia dikenal di empat penjuru angin, mungkin kau juga menge- nalinya."
Kening si kakek berkerut. Dia kemudian ter- tawa. Tawa dingin yang membuat tengkuk Pan- dan Arum merinding.
"Pasadewa manusia cerdik yang punya ambisi dan cita-cita tinggi. Aku pernah mengenalinya. Lalu gerangan apa yang membuatmu datang ke- mari?" "Kekasihku berpesan agar kau sudi berga- bung dengannya guna mendapatkan Sengkala Angin Darah." Jelas Pandan Arum.
Lagi-lagi si kakek umbar tawanya mendengar ucapan si gadis.
"Seumur hidup aku belum pernah diperintah orang. Bagaimana mungkin bocah ingusan seperti kekasihmu itu berani-beraninya memerintahku?"
"Aku tidak tahu. Aku cuma ditugaskan. Aku cuma ditugaskan menyampaikan pesan. Setelah pesan kusampaikan setuju tidaknya semua terpu- lang kepadamu!"
Si kakek terdiam, nampaknya dia tengah ber- fikir. Dua matanya yang liar menjelajahi tubuh padat si gadis. Tak lama kemudian dia berkata. "Tawaran Pasadewa itu mungkin saja bisa kute- rima, asal kau bersedia memberi ku kesenangan." Berkata si kakek sambil tersenyum.
Pandan Arum tercengang mendengar ucapan kakek jerangkong itu. Dia tidak menduga si kakek meminta sesuatu yang tak mungkin dia kabul- kan. Melihat tampang Ular Iblis Sembilan saja Pandan Arum merasa hendak muntah, apalagi ji- ka harus melayani keinginannya.
"Kau tidak perlu memikirkan baik buruknya, Pandan Arum. Permintaanku kuanggap sebagai imbalan dari harapan Pasadewa." Ujar si kakek.
"Cinta suciku hanya kupersembahkan pada Pasadewa. Bagaimana mungkin aku tega mengkhianatinya?" dengus sang dara marah.
"Aku tidak meminta cintamu, aku hanya in- ginkan tubuhmu. Aku cuma sekali bicara, kalau kau menolak penolakanmu bisa membuat kau kehilangan kesempatan hidup!"
"Eh, apa maksudmu?"
Si kakek memungut ular hitam berbelang kuning di depannya. Dia lalu menciumi binatang menjijikkan itu sambil berkata. "Iblis Ular Sembi- lan cukup hanya memberi perintah. Kemudian salah satu ular ini akan mematukmu. Kau mati seketika dan tak mungkin lagi bertemu dengan kekasihmu."
Mendidih darah Pandan Arum mendengar an- caman si kakek. Ingin dia melabrak si kakek meskipun sadar dirinya tidak mungkin unggul menghadapinya. Tapi belum lagi sempat melaku- kan apa yang menjadi niatnya. Pada waktu itu li- dah si kakek yang bercabang terjulur panjang. Li- dah itu kemudian menjilat mulut dan hidung Pandan Arum.
Melihat gerakan lidah yang dapat memanjang bukan main kagetnya sang dara. Dia berusaha menghindar, namun gerakan yang dilakukannya kalah cepat dengan gerakan lidah Iblis Ular Sem- bilan.
Tak pelak lagi mulut dan hidung sang dara terkena sambaran lidah kakek itu.
"Tua bangka keparat!" damprat si gadis. Dia menyeka mulut dan hidungnya yang terkena air ludah. Pada saat itulah dia mencium bau sesuatu yang tidak sedap. Bau busuk yang membuat ke- palanya pusing seketika. Darah Pandan Arum menggelegak seperti ter- bakar. Ketika dia memandang ke depan dalam pandangannya sosok si kakek entah mengapa be- rubah menjadi pemuda tampan luar biasa.
Sang dara merintih lirih. Dia jatuh terduduk, sekujur tubuhnya menjadi panas diamuk rang- sangan. Iblis Ular Sembilan tertawa mengekeh.
"Pada akhirnya kau jatuh di dalam pelukan- ku. Sekarang kau baru mengerti lidahku dapat merubah keadaan. Mari kita bersenang-senang, setelah itu baru aku bersedia memenuhi permin- taan kekasihmu Pasadewa. Ha ha ha!"
Selesai berkata si kakek segera melompat ke depan Pandan Arum. Tubuh itu kemudian dibo- pongnya. Setelah Iblis Ular Sembilan berkelebat ke arah pondok tersembunyi tak jauh dari telaga dengan diikuti oleh kesembilan ularnya.
Sesampainya di dalam gubuk si kakek menci- umi Pandan Arum. Sebentar saja pakaian sang dara sudah tak karuan rupa. Anehnya sang dara tidak menolak. Dirinya yang sudah berada dalam pengaruh sirapan malah membalas tak kalah hangatnya.
Si kakek makin bersemangat. Ketika dia hen- dak melampiaskan kekejiannya tak terduga men- dadak terdengar suara suitan panjang. Suara sui- tan disusul dengan suara bergelak membuat gu- buk bergoyang berderak-derak seperti dihantam puting beliung.
Si kakek tersentak kaget. Cepat dia bangkit berdiri, lalu meninggalkan Pandan Arum yang be- rada dalam pengaruh sirapan.
Dia lalu berdiri tegak di mulut gubuk. Sepa- sang matanya timbul tenggelam memperhatikan keadaan di sekitarnya. Tapi dia tidak melihat ada orang di sekitar situ.
"Jahanam yang baru keluarkan siulan. Harap tunjukkan diri!"
Kembali suara siulan menyahuti ucapan si kakek. Kemudian ada angin berhembus yang dis- usul dengan suara ledakan. Semua itu terjadi di depan hidung si kakek. Asap dan debu membum- bung tinggi. Ketika kepulan asap yang menyeli- muti lenyap. Kini di depan Iblis Ular Sembilan berdiri tegak seorang kakek tua berambut putih. Kakek itu memakai daster seperti baju hamil ber- warna biru. Sementara di pinggangnya tergantung sebuah kendi terbuat dari perunggu berwarna pu- tih. Sedangkan dari mulut kendi mengepul uap putih seperti es.
Melihat dandanan serta penampilan kakek sa- tu in!, siapapun yang melihatnya pasti tidak da- pat menahan tawa. Betapa tidak. Begitu muncul si kakek tampak sibuk dan selalu kerepotan membenahi daster maupun topi tingginya yang kedodoran.
8
Biarpun penampilan si kakek berdaster biru selalu mengundang tawa, tapi Iblis Ular Sembilan yang merasa keinginannya tidak kesampaian ka- rena kehadiran si kakek daster biru malah men- jadi berang.
Dengan bengis dia membentak. "Kunyuk gila berdaster biru! Berani kau hadir di Telaga Setan. Kau bahkan berani mengganggu kesibukan orang apakah tidak takut mati?"
Si daster biru tidak bergeming, malah dia dongakkan kepala. Sejenak dia benahi topi ting- ginya yang berwarna biru. Setelah topi terpasang sebagaimana seharusnya dia tertawa tergelak- gelak.
"Mengobrak-abrik pakaian orang, ingin men- coba melampiaskan nafsu bejat apakah itu yang kau sebut sebagai kesibukan?" tanya si kakek sambil berkacak pinggang.
Merasa diremehkan dan sadar orang telah mengetahui perbuatannya Iblis Ular Sembilan membentak. "Pengintip tengik. Apa yang kami la- kukan atas dasar suka sama suka. Kau jangan bicara sembarangan di depanku!"
"Hak hak hak. Aku Ki Comot Jalulata, tukang sulapan dan seorang ahli sihir di tujuh penjuru bumi, mana mungkin kena dibodohi orang. Ter- nyata benar seperti kata pepatah lidah tidak ber- tulang. Benar pula kata orang lidahmu yang ber- cabang itu berlumur racun keji hingga setiap pe- rempuan lemah iman terperangkap bujuk rayu- mu. Iblis Ular Sembilan, kau jangan mencoba bersilat lidah denganku. Atau mungkin kau ingin aku merubah lidahmu menjadi sebuah tali yang melilit lehermu sendiri?"
Iblis Ular Sembilan terperangah. Sama sekali dia tak menduga orang mengetahui siapa dirinya. Di tatapnya kakek yang berdiri di depan sana dengan sorot mata menyelidik. Kini dia baru ingat ahli sihir yang satu ini sangat jarang sekali mun- cul di dunia persilatan. Konon dia lebih banyak mengasingkan diri di daerah Barat Jawa. Dia ta- hu selain ilmunya sangat tinggi. Ki Comot Jalula- ta sangat ahli pula dalam hal permainan sihir. Si daster biru ini tidak sendiri, dia masih punya dua saudara Laki-laki kembar yang sama miring otak- nya. Kedua saudaranya itu adalah Ki Betot Segala dan Ki Edan Samberata.
Iblis Ular Sembilan tidak melihat dua saudara Ki Comot Jalulata bersamanya. Baginya ini meru- pakan suatu keuntungan. Dia yakin dengan mu- dah pasti bisa menghabisi lawan secepatnya. Sambil tersenyum dia berkata. "Kakek gila kau datang sendiri? Begitu muncul kau berani men- gancam. Apakah kau tidak menyadari sedang be- rada dimana?"
"Ha ha ha. Sedang berada dimana ya?" gu- mam Ki Comot dengan lagak seperti orang bin- gung. Kalau tidak salah aku sedang berada di tempat mesum. Oh ya... mengenai saudaraku itu mereka punya kaki. Mereka pergi kemana buat apa kau bertanya?" setelah menjawab Ki Comot Jalulata mengumbar tawa. Iblis Ular Sembilan merasa darahnya mendidih. Kali ini dia benar- benar merasa diremehkan orang. Dengan suara bergetar dia menggeram." Kedatanganmu kesini tanpa seizinku. Kini kau berani mengusik kete- nanganku. Dua alasan itu sudah cukup bagiku untuk membunuhmu seratus kali."
Ki Comot Jalulata tersenyum. Kembali dia benahi topinya yang miring. Kemudian enak saja dia berkata. "Yang kuganggu bukan ketenangan- mu. Kau merasa terusik karena tak sempat ber- buat keji. Kau mengatakan aku datang tanpa izin, padahal aku telah memintanya pada seseorang."
"Kurang ajar, kau minta ijin pada siapa?" hardik Iblis Ular Sembilan berang.
Sambil tersenyum-senyum Ki Comot Jalulata menjawab. "Masa kau sudah lupa. Bukankah aku sudah minta ijin sama bapak emakmu yang mati penasaran dipancung perwira Kediri?"
Disambar petir Iblis Ular Sembilan rasanya tak akan seterkejut itu. Yang dikatakan Ki Comot Jalulata memang sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Ayah Iblis Ular Sembilan dulunya juga manusia keji yang banyak melakukan berba- gai kejahatan. Dan memang benar dia tewas di tangan perwira Kediri. Tapi bagaimana Ki Comot Jalulata bisa sampai mengetahui prihal ayahnya. Padahal kejadian itu telah berlangsung seratus tahun lalu.
"Kau tak usah bingung. Aku seorang ahli sihir yang selalu gentayangan di tujuh lapis bumi. Aku baru saja bertemu dengan ayahmu. Ha ha ha."
"Bertemu ayahmu? Dimana?"
"Di neraka... hahaha." Sahut Ki Comot Jalula- ta disertai tawa tergelak. Mata cekung yang men- jorok ke dalam rongga itu seperti mau melompat keluar. Iblis Ular Sembilan menggerung, tanpa bi- cara dia jejakkan kakinya dengan satu hentakan keras. Puncak bukit bergetar akibat hentakan ka- ki si kakek. Bersamaan dengan itu sembilan ular beracun melesat dari tiga penjuru arah. Di lain waktu dalam waktu sekejap tubuh si kakek telah dilingkari sembilan ular hitam berbelang kuning yang masing-masing kepalanya terdongak meng- hadap ke arah Ki Comot Jalulata.
Melihat sembilan ular bergelung melingkari tubuh lawan, Ki Comot Jalulata tertawa tergelak- gelak meskipun hatinya sempat tercekat. Tapi si kakek sendiri tetap bersikap tenang. Malah sam- bil tersenyum orang tua ini berkata. "Iblis Ular Sembilan, saat ini kau sedang berhadapan den- gan seorang ahli sihir. Nama besarmu boleh membuat gentar dunia persilatan. Kau bakal me- nyesal menggunakan ular-ular itu."
Iblis Ular Sembilan hanya mendengus.
Ki Comot Jalulata kerahkan ilmu menipu pandang. Dia segera tarik daster biru yang menu- tupi kaki. Di balik daster si kakek turunkan cela- na ke bawah. Astaga! Bagian bawah perut si ka- kek ternyata licin tanpa aurat. Ki Comot Jalulata turunkan kembali dasternya. "Kau tahu aku da- lam keadaan polos. Aku bisa memindahkan ke- punyaanmu jika aku mau."
"Kakek jahanam lebih baik kau mati!" berkata begitu Iblis Ular Sembilan jentikkan tangannya ke atas. Terdengar suara letusan dan kiranya itu adalah sebuah isyarat bagi sembilan ular peliha- raannya.
Sembilan ular buka mulutnya. Kemudian dengan gerakan laksana terbang sembilan ular melesat ke udara bergerak lurus menyerang Ki Comot Jalulata. Si kakek berusaha mengelak, tapi gerakan berkelit yang dilakukannya kalah cepat dengan gerakan ular-ular yang menyerangnya. Sembilan ular menghujam di tubuh si kakek membuat orang tua ini menjerit kesakitan.
Tak lama tubuh si kakek hancur tercabik- cabik digerogoti sembilan ular berbisa ini. Ketika tubuh itu ambruk, yang terlihat kini hanya beru- pa tengkorak dan tulang belulang yang berwarna putih kemerahan berlumuran darah.
Melihat kejadian ini meledaklah tawa Iblis Ular Sembilan. "Ternyata hanya begitu saja keku- atan yang dia miliki. Aku sudah tahu siapapun orangnya pasti tidak bakal sanggup mengalahkan serangan sembilan ular mautku. Ha ha ha." Den- gus si kakek jerangkong sinis.
Tapi selagi si kakek tertawa, saat itu pula ter- dengar suara ledakan keras.
Buus!
Begitu ledakan terjadi seketika terlihat kepu- lan asap di depan si kakek. Begitu kepulan asap lenyap, di depan iblis Ular Sembilan sekonyong- konyong muncul Ki Comot Jalulata dalam kea- daan segar bugar tidak kekurangan sesuatu apa.
Iblis Ular Sembilan terkejut bukan main. Dia tercengang, mata mendelik mulut ternganga.
Melihat kesempatan ini Ki Comot Jalulata se- gera gerakkan tangan kanannya ke bagian se- langkangan lawan.
Sreet!
Setelah dapatkan apa yang dia inginkan orang tua ini melompat mundur. Dia kemudian acung- kan tangannya yang memegang benda berlumu- ran darah. Sambil tertawa mengekeh Ki Comot Jalulata berkata. "Iblis Ular Sembilan, apakah kau lupa aku adalah seorang ahli sihir. Ular- ularmu itu cuma bisa menyerang bayanganku. Kau tak bakal sanggup membunuhku. Sebagai peringatan sekarang punyamu kutahan. Untuk sementara kau harus puasa, kelak mungkin aku akan mengembalikannya. Tapi jika ternyata kau tidak berubah, senjatamu ini akan kuhanyutkan di laut. Seumur hidup kau tak bakal lagi bisa me- rusak perempuan. Ha ha ha." Habis berkata Ki Comot Jalulata masukkan benda berlumur darah ke dalam kendi peraknya.
Iblis Ular Sembilan tersentak kaget. Dia tak menyangka orang telah mengambil miliknya tan- pa rasa sakit. Ketika dia singkapkan kain penu- tup aurat si kakek merasa nyawanya terbang. Benda yang berada di situ telah lenyap, polos licin tanpa bekas. Pucatlah wajah si kakek. Dia pun kemudian jadi kalang kabut berteriak tak karuan. "Manusia jahanam. Kembalikan... kembalikan punyaku...!"
Dia melabrak ke depan. Tetapi Ki Comot Jalu- lata yang diserangnya telah lenyap.
Sayup-sayup Iblis Ular Sembilan mendengar suara Ki Comot Jalulata di kejauhan. "Agaknya kau lupa, sesuai julukan Ki Comot. Aku selalu mengambil barang milik siapa saja yang kua- nggap tidak layak untuk dipelihara. Waktumu sa- tu purnama. Jika kau dapat menyerahkan benda sakti Sengkala Angin Darah, aku akan berikan milikmu. Kalau gagal pasti ada burung yang bakal kulepas terbang dan tidak bakal kembali lagi ke sangkarnya. Ha ha ha!"
"Kakek terkutuk. Aku pasti akan mencarimu!" teriak si kakek. Tapi suara teriakannya lenyap be- gitu saja. Si kakek pun menjadi marah. Dengan membabi buta dia melepaskan pukulan ke berba- gai sudut penjuru. Salah satu pukulan menghan- curkan pondok hingga Pandan Arum yang terbar- ing di atas ranjang terlempar. Sang dara jatuh ke atas tanah. Begitu dirinya terjatuh kesadarannya pulih kembali. Dia terkejut ketika dapati dirinya dalam keadaan polos. Dengan cepat dia mengam- bil pakaian dan segera mengenakannya. Semula dia berniat melabrak Iblis Ular Sembilan. Tetapi urung begitu melihat Iblis Ular Sembilan ternyata telah berdiri tegak di sampingnya dengan wajah kuyu dan mata menerawang kosong.
"Orang tua apa yang terjadi?" tanya Pandan Arum heran.
"Kau tidak pantas bertanya. Sekarang juga ki- ta temui kekasihmu. Aku..." Si kakek tidak lan- jutkan ucapannya. Pandan Arum tidak berani bertanya lebih jauh. Dia tahu kakek itu seperti te- lah kehilangan sesuatu. Sesuatu apa Pandan Arum tak dapat menduganya. Tak mau mencari perkara, Pandan Arum akhirnya memilih diam sambil mengikuti Iblis Ular Sembilan yang telah melesat ke arah lereng bukit.
9
Orang tua itu duduk di depan pintu gua. Se- sekali dia mengusap rambut, cambang serta jeng- gotnya yang putih panjang menjela.
Kemudian dia dongakkan kepala, mulut ter- senyum. Dia tidak menghiraukan keadaan di se- kitar gua yang gelap berselimut kabut. Cukup la- ma si kakek dalam keadaan seperti itu. Dia lalu memandang ke depan mencoba menembus kege- lapan. Tapi konsentrasinya terusik begitu telin- ganya mendengar suara berdesir serta gemerisik daun bergesekan. Dia palingkan kepala ke arah mana suara gemerisik terdengar. Lalu mulutnya yang tertutup kumis terbuka. "Mahluk tangan roh, apakah engkau yang datang?"
Tidak ada jawaban. Si kakek jadi gelisah. Se- kejap dia palingkan kepala melirik ke dalam gua. Menunggu dalam kesunyian membuatnya jadi ti- dak sabar.
Kemudian dia berteriak. "Mahluk Tangan Roh, aku ingin kau jawab pertanyaanku. Apakah kau sudah tuli bisu?" Suara si kakek lenyap. Pepohonan di depan mulut gua tampak bergoyang-goyang. Di kejau- han sama terdengar suara lolong panjang. Suara lolong kemudian lenyap berganti dengan suara je- rit menggidikkan. Setelah itu terdengar pula sua- ra tetabuhan. Suara itu demikian aneh bagai ira- ma yang tengah menjalankan acara persembahan. Suara tetabuhan lambat laun menghilang dengan sendirinya, bagai ditelan angin lembah. Sesudahnya sayup-sayup seakan datang dari ja- rak ribuan tombak terdengar jawaban pelan se- perti rintihan. "Empu Barada Sukma yang menja- di tugas telah kujalankan. Telah kusebarkan ka- bar bahwa Sengkala Angin Darah kini telah bera- da di tangan Gentong Ketawa. Kau tak perlu lagi mengotori tangan dengan darah musuh besarmu." Kata satu suara, kakek yang bernama Empu Ba- rada Sukma tersenyum. "Kau telah lakukan tugas dengan baik, tangan roh. Gentong Ketawa pasti akan diburu banyak pihak. Walau begitu kita tak boleh berpuas hati. Dia bukan manusia semba- rangan. Selusin orang berkepandaian tinggi be- lum tentu sanggup menghabisinya. Gendut gila itu mungkin bukan manusia. Apalagi kini kuden- gar dia punya seorang murid. Murid yang sama
sintingnya dengan gurunya. Kita harus waspada!" "Empu, kau adalah penguasa tunggal di lem- bah ini. Perintahmu selain dipatuhi oleh semua penghuni lembah sesat. Buat apa kau membuang tenaga. Lagi pula benda itu kini ada di tanganmu. Kau punya kesempatan memperluas daerah ke- kuasaan. Sementara muslihat kita telah termakan oleh mereka yang menginginkan Sengkala Angin Darah."
"Tidak, Tangan Roh! Kita justru harus mem- persiapkan satu kekuatan. Aku takut perburuan yang kita rencanakan mengalami kegagalan. Se- karang kumpulkan penghuni lembah. Setelah itu kita berangkat tinggalkan lembah ini!" belum lagi mahluk Tangan Roh sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara gemuruh datang dari selatan lembah.
"Tangan Roh, aku mendengar suara Rajawali Siluman. Mahluk itu hanya dimiliki oleh pemuda bernama Pasadewa. Gerangan apa yang mem- buatnya sampai datang kemari?" tanya Empu Ba- rada Sukma heran.
"Kau tidak pernah datang ke rumahnya?" tanya si kakek curiga kalau-kalau orang keper- cayaannya salah menyebar kabar.
"Aku sungguh tidak tahu." Sahut mahluk Tangan Roh serius.
Sementara suara kepakan sayap burung ma- kin bertambah jelas. Kemudian di tengah suara bergemuruh yang terdengar mendadak terdengar pula suara teriakan yang seakan datang dari lan- git, "Empu Barada Sukma, aku Pasadewa datang bersama Rajawali siluman. Kuharap kau menden- gar apa yang aku minta." Si kakek dongakkan ke- pala ke atas. Dia melihat sosok pemuda duduk di atas punggung rajawali putih.
"Jahanam!" sang Empu menggeram. Dia lalu berseru ditujukan pada mahluk Tangan Roh. "Ce- pat kumpulkan orang-orang kita, kemudian tung- gu di lorong rahasia." Perintah si kakek.
"Baiklah. Perintah segera kulakukan!" jawab mahluk Tangan Roh di gelapnya lembah.
Sementara di atas sana rajawali siluman ber- putar-putar. Makin lama terbangnya makin ren- dah. Setiap kepakan sayap sang burung membuat pepohonan di sekitarnya bertumbangan. Si kakek tentu saja tercengang menyaksikan kejadian itu. Selagi Empu Barada Sukma dibuat terkesima. Pada waktu itu terdengar suara Pasadewa.
"Empu Barada Sukma. Dari sini aku meli- hatmu. Kau berdiri di depan mulut gua itu. Men- gapa kau tidak menjawab pertanyaanku?" hardik Pasadewa kesal.
"Ha ha ha. Bocah tolol, berteriak seperti orang gila. Sebenarnya kau punya urusan apa datang kemari?"
"Empu Barada Sukma kau jangan berlagak pikun. Bukankah Sengkala Angin Darah ada pa- damu?" sahut si pemuda yang masih terus berpu- tar-putar di atas lembah.
"Sejak menetap di lembah ini belum pernah aku gentayangan di luar sana. Bagaimana mung- kin aku dapatkan benda itu?"
"Kau tak usah mungkir. Seseorang telah memberi tahu aku. Benda itu memang berada di tanganmu!"
"Yang kau katakan itu adalah sebuah fitnah keji. Menurut yang aku dengar justru benda itu telah didapatkan oleh seorang tokoh sakti berna- ma Gentong Ketawa. Jika kau menghendakinya mengapa tidak segera mencari kakek itu?"
Di atas burung tunggangannya Pasadewa sempat dibuat tertegun. Dia menjadi bimbang. "Gentong Ketawa? Siapa yang dimaksudkannya itu?"
Melihat Pasadewa ragu-ragu si kakek kembali menegaskan. "Kalau kau tak percaya dan masih saja curiga, kau turunlah kemari. Periksa guaku ini!" Pasadewa kembali terdiam. Tampaknya dia mulai termakan ucapan si kakek. Terbukti dia la- lu berkata.
"Baiklah... aku akan mencari orang yang kau maksudkan. Tapi bagaimana jika nanti kau ter- nyata membohongiku?"
"Aku sudah mengatakan, silahkan turun dan periksa tempat tinggalku ini. Aku sudah tua. Aku rela mempertaruhkan nyawa demi sebuah kejuju- ran, tunggu apa lagi. Turunlah..!" tantang si ka- kek.
Melihat sikap si kakek yang makin bersung- guh-sungguh Pasadewa jadi bertambah bimbang.
Dia akhirnya berkata. "Baiklah, sekali lagi aku mempercayaimu. Tapi ingat aku akan kemba- li jika yang kau katakan ini ternyata hanyalah se- buah dusta!"
Empu Barada Sukma anggukkan kepala.
Pasadewa sendiri kemudian bersama binatang tunggangannya segera pergi meninggalkan lem- bah itu. Seperginya Pasadewa si kakek tidak lagi dapat menahan tawanya. "Manusia bodoh. Mengaku cerdik tapi tolol. Ha ha ha."
10
Setelah melakukan pengejaran sekian lama, Saba Geni merasa sekujur tubuhnya letih bukan main. Dia kemudian berhenti lalu menghirup udara segar sepuas-puasnya.
Orang tua ini kemudian menyandarkan tu- buhnya pada sebatang pohon. Sementara kedua matanya memandang lurus ke depan.
"Agaknya untuk mendapatkan benda itu tidak akan mudah. Kalau bukan karena kedua perem- puan itu tentu urusanku tidak jadi begini. Kini aku tidak tahu kemana harus mencari orang ber- pakaian putih yang telah melarikan Sengkala An- gin Darah."
Kakek berpakaian kembang-kembang ini ter- cenung. Angannya melayang jauh entah kemana. Lamunan si kakek buyar seketika begitu dia mendengar ada suara gemeretak tak jauh di bela- kangnya.
Seketika itu juga Saba Geni palingkan kepala dan memandang lurus ke belakang.
Kakek ini kaget ketika melihat kehadiran ka- kek tua berambut panjang awut-awutan. Orang tua yang baru datang berpakaian serba hitam. Bagian kepalanya agak botak, wajah angker ber- mata tajam.
Saba Geni sama sekali tidak mengenali siapa adanya kakek yang satu ini. Tapi melihat cara orang menatapnya dia punya firasat siapapun adanya kakek jelek di depannya pasti membawa maksud dan tujuan buruk.
Saba Geni merasa tidak ada perlunya me- layani orang tua itu. Tanpa bicara apa-apa dia memutar tubuh lalu melangkah pergi. Baru saja beberapa tindak dia melangkah tiba-tiba kakek angker berambut panjang riap-riapan lakukan sa- tu gerakan dan di lain saat telah berdiri tegak di depan Saba Geni.
Melihat tingkah orang, Saba Geni yang sedang kalut ini menjadi marah. Dua matanya mendelik sedangkan mulutnya membentak. "Siapapun adanya dirimu aku tidak perduli. Kuharap kau segera menyingkir dari hadapanku!"
Bukannya patuhi perintah. Sebaliknya kakek berambut panjang itu malah bertolak pinggang. Dia kemudian dongakkan kepala sambil tertawa tergelak-gelak.
"Tua bangka tuli, apakah kau tidak menden- gar ucapanku?" hardik Saba Geni jengkel.
Kakek di depannya tiba-tiba hentikan tawa. Dia melangkah maju satu tindak. Setelah itu dia balas membentak.
"Tua bangka keparat, mestinya aku membu- nuhmu saat ini juga. Tapi tidak mengapa, mulut lancangmu yang telah berani memakiku dapat kumaafkan asal kau mau menjawab pertanyaan- ku!" ujar kakek berpakaian hitam dengan seringai bermain di mulut.
"Kau siapa hah...?"
"Bagus kalau kau ingin tahu siapa aku. Ha ha ha." Kata orang tua itu sambil tertawa mengekeh. Setelah tawanya lenyap kakek berbaju hitam ber- kata. "Kau dengar baik-baik. Namaku Dukun Ker- tasona biasa dipanggil Mbah Dukun. Aku lebih dikenal dengan julukan Setan Santet Delapan Penjuru, apakah sudah jelas?"
"Setan Santet Delapan Penjuru?" desis Saba Geni. "Siapa yang tidak mengenal manusia bejat satu ini? Dengan ilmu setannya dia membuat bencana. Banyak gadis-gadis cantik menjadi kor- ban kebejatan nafsunya. Dia bukan manusia sembarangan. Kabarnya dia juga memiliki jin pia- raan."
Setelah tahu siapa gerangan kakek itu Saba Geni diam-diam mulai berlaku waspada.
"Kulihat wajahmu berubah pucat. Kurasakan jantungmu berdetak keras. Apakah ini sebuah pertanda bahwa kau mengenali diriku? Ha ha ha." Suara Mbah Dukun memecah keheningan. Saba Geni tersentak kaget, tapi dia tersenyum.
"Dukun Kertasona, hhm... kenal rasanya ti- dak. Justru yang kudengar selama ini hanya ke- bejatanmu. Sekarang kau kulihat gentayangan tak karuan kejuntrungannya. Apa sebenarnya yang kau cari?"
Mendengar pertanyaan orang sebenarnya pa- nas juga hati Mbah Dukun Kertasona. Tapi kakek ini berusaha memendam perasaan, malah dia kemudian tertawa.
Begitu tawanya lenyap dia segera berkata. "Aku sendiri rasanya tidak perlu mengenal siapa dirimu. Yang ingin kutanyakan siapa orangnya yang telah melarikan Sengkala Angin Darah keti- ka kau terlibat perkelahian dengan dua gadis itu?"
Rasa kaget di hati Saba Geni tidak terkira. Dia menyangka kakek itu melihat kejadian yang berlangsung di tengah hutan Pacitan. Kemudian secara diam-diam dia mengikuti kemana Saba Geni pergi. Karena itu tanpa ragu dia berkata. "Jika kau melihat kejadian itu, mengapa kau ti- dak segera mengejar orang yang telah melarikan Sengkala Angin Darah?"
Mbah Dukun Kertasona tersenyum mengejek. "Aku tidak melihatnya secara langsung. Apa
yang kulihat semuanya melalui tali sambung ra- sa. Beberapa pembantuku telah kusebar, mereka telah meneliti. Dan selain Ki Edan Samberata, kau adalah dua orang yang dapat kutanyai." Jelas si kakek.
"Ha ha ha. Kalau aku tahu siapa bangsat yang telah melarikan benda itu apakah kau men- gira aku bersedia memberitahukannya padamu? Dan sayang kebetulan aku tidak sempat menge- nali siapa adanya orang berpakaian serba putih itu." jawab Saba Geni ketus.
Sayangnya orang seperti Mbah Dultun Kerta- sona tidak mudah dibuat percaya begitu saja. "Mulut pandai berdusta, Saba Geni. Siapa mau percaya dengan bualanmu? Bagaimanapun kau harus mengatakan padaku siapa yang telah membawa Sengkala Angin Darah!"
"Manusia keparat keras kepala! Kau pergilah ke neraka. Tanyakan pada penjaga di sana siapa yang melarikan benda itu!" kata Saba Geni kehi- langan kesabarannya.
Mbah Dukun Kertasona sunggingkan seringai dingin. Dengan tenang dia kembali berucap. "Apakah ini berarti merupakan suatu permintaan bahwa salah satu diantara kita harus ada yang mati? Ha ha ha!"
"Mungkin begitu. Kau yang mati sedangkan aku harus tetap hidup demi mendapatkan Seng- kala Angin Darah!" sahut Saba Geni.
"Bagus. Ha ha ha. Aku yang mati dan kau terpaksa kujadikan roh gentayangan." Dengus Mbah Dukun Kertasona sengit.
Saba Geni tidak lagi menanggapi. Kemudian kakinya bergerak cepat. Tak terduga kakinya di- hantamkan ke pasir.
Buum!
Hentakan itu menimbulkan suara ledakan ke- ras berdentum. Hamparan pasir muncrat di uda- ra, lalu menderu menghantam ke bagian wajah dan sekujur tubuh lawannya.
Serangan ini tentu bukan serangan biasa, ka- rena bila sampai mengenai mata, pasir yang telah berubah panas membara itu bisa membuat mata hancur menjadi buta. Andai sempat mengenai tu- buh akan dipenuhi lubang seperti ditembusi ja- rum.
Mbah Dukun menggeram. "Manusia licik pen- gecut!"
Si kakek lalu dorongkan kedua tangannya ke depan untuk menangkis serangan itu sementara dia sendiri melompat ke samping.
Seketika terdengar suara gemuruh dari tan- gan Mbah Dukun Kertasona. Angin seganas badai gurun melesat menyambut ribuan pasir yang me- nyerang ke arah dirinya.
Bess! Preesh!
Pasir-pasir itu berhamburan, mental ke sege- nap penjuru arah begitu terhantam pukulan si kakek. Malah sebagian diantaranya berbalik menghantam Saba Geni.
Tapi kakek berpakaian kembang-kembang itu telah lenyap. Ternyata dia melompat ke udara. Di udara orang tua ini lakukan gerakan berjumpali- tan sedemikian rupa. Setelah posisinya berada di atas kepala Mbah Dukun Kertasona, tiba-tiba dia meluncur deras ke bawah. Lalu dua tangannya dihantamkan ke bagian kepala lawan
Mbah Dukun yang baru lolos dari serangan pertama segera merasakan adanya hawa dingin menyambar ubun-ubunnya. Dia segera miringkan kepala lakukan gerakan menghindar. Tapi sayang gerakan yang dia lakukan masih kalah cepat den- gan gerakan lawan.
Tanpa ampun lagi pukulan Saba Geni meng- hantam di bagian kepalanya. Deees! Blees!
Hantaman cepat yang dilakukan lawan men- gandung tenaga dalam penuh. Sehebat-hebatnya Mbah Dukun Kertasona bertahan tak urung dia amblas ke tanah sedalam dada. Si kakek merasa kepalanya laksana mau meledak. Pandangan ma- tanya jadi berkunang-kunang. Dia mengerang sambil memaki. Sementara tangannya terus menggapai. Rupanya dia berusaha keluar dari da- lam tanah. Tapi usaha yang dilakukannya tak semudah yang dia bayangkan.
Sementara itu di lain pihak Saba Geni telah jejakkan kakinya tak jauh dari lawan. Ketika ka- kek itu memutar badan dan memandang ke arah lawan, Saba Geni benar-benar terkejut. Dia me- nyadari ketika menghantam kepala lawan tadi dia merasa tangannya seperti membentur bola besi. Tangan itu terasa sakit bukan main, celakanya kini tampak bengkak menggembung.
Si kakek memaki dalam hati, namun biarpun begitu kini tanpa menghiraukan sakit pada ba- gian tangan. Apalagi ketika melihat lawan masih belum dapat membebaskan diri dari pendaman. Saba Geni tidak menyia-nyiakan kesempatan.
Selagi Mbah Dukun Kertasona berjuang keras bebaskan diri, Saba Geni melepaskan satu ten- dangan ke arah lawan.
Wuuut! Wuuus!
Serangkum angin dingin berkiblat dari kaki si kakek. Sinar putih menyilaukan menghampar di udara membuat mata tak dapat melihat apa-apa. Mbah Dukun merutuk habis-habisan mendapat serangan beruntun seperti itu. Dia batalkan niat untuk bebaskan diri dari pendaman tanah yang menghimpitnya. Selanjutnya Mbah Dukun gerak- kan dua tangannya yang bebas. Tangan itu ke- mudian didorong dengan kecepatan luar biasa sambuti tendangan lawan.
Dari telapak tangan orang tua itu mencuat si- nar biru terang mengandung hawa panas luar bi- asa. Dua kekuatan bertenaga dalam tinggi ben- trok di udara.
Kawasan di pinggir sungai lagi-lagi dilanda goncangan hebat begitu terjadi ledakan berden- tum. Bentrokan kaki dengan dua tangan lawan membuat Saba Geni terlempar ke udara. Orang tua itu menjerit, namun begitu jatuh terjengkang dia segera bangkit kembali dan siap lakukan se- rangan.
Sementara akibat bentrokan tadi kini Mbah Dukun makin menderita saja. Tubuh si kakek ki- ni yang terlihat hanya bagian leher sampai kepa- la. Walau begitu Mbah Dukun Kertasona tidak merasa putus asa. Sekuat tenaga dia berusaha membebaskan diri dari dalam tanah yang hampir menguburnya hidup-hidup.
Melihat ini Saba Geni tertawa tergelak-gelak. Dengan sinis dia kemudian berkata. "Mbah Du- kun nampaknya kau akan segera mati. Aku cu- kup menghantammu dengan satu pukulan mema- tikan maka tamatlah riwayatmu. Ha ha ha!" Mbah Dukun tidak menjawab. Sebaliknya dia malah ikut tertawa. Tak lama setelah itu bahkan kedua matanya terpejam seolah dirinya telah siap menerima datangnya kematian. Padahal sesung- guhnya di dalam hati Mbah Dukun diam-diam tengah merapal mantra dari ilmu hitamnya.
Sementara melihat sikap lawan, Saba Geni sendiri sebenarnya siap menyerang kembali. Kali ini si kakek tak mau bersikap ayal. Si kakek sa- lurkan tenaga dalam bagian tangan hingga kedua tangan itu dalam waktu sekejap telah berubah merah hingga sebatas siku.
Rupanya Saba Geni telah siap melepaskan pukulan andalannya yang bersumber dari ajian Gelombang Geni. Sekedar diketahui siapapun yang terkena ajian pukulan si kakek tubuhnya pasti meleleh seperti timah dipanaskan.
Mbah Dukun Kertasona sendiri tentu tidak melihat perubahan tangan lawan karena waktu itu kedua matanya dalam keadaan terpejam. Se- mentara mulutnya berkemak-kemik membaca mantra. Satu-satunya yang dirasakan oleh Mbah Dukun udara di sekitarnya berubah menjadi pa- nas seakan dirinya berada dalam tungku bara menyala.
"Tua bangka, ajal dan kematianmu telah sampai saat ini. Bersiap-siaplah berangkat ke ak- herat!" Saba Geni berteriak melengking. Bersa- maan dengan itu dia melesat ke depan. Dua tan- gan dihantamkan ke bagian kepala lawan.
Sinar merah berkiblat. Api menyambar dan saat itu juga Mbah Dukun Kertasona tenggelam dalam kobaran api.
Tetapi pada waktu bersamaan terdengar pula suara raung menggelegar. Asap putih mencuat di sela-sela kobaran api yang membakar. Bersamaan dengan Itu terdengar suara ledakan tiga kali ber- turut-turut. Satu sosok melesat di udara.
Melesatnya sosok itu diikuti dengan muncul- nya satu sosok lainnya. Sosok tersebut dalam ujud mahluk raksasa berwajah angker, beralis tebal dan bermata merah bagai menyala.
Begitu muncul sosok itu menyeringai mem- perlihatkan gigi-giginya yang runcing mengerikan. Belum lagi hilang rasa kaget di hati Saba Geni, sosok mahluk raksasa yang sekujur tubuhnya di- tumbuhi bulu-bulu halus lebat meniup ke arah kobaran api.
Puuuh!
Angin dahsyat menderu dari mulut sosok rak- sasa. Seketika api yang membakar langsung pa- dam. Lubang dimana Mbah Dukun terpendam te- lah kosong bahkan telah hancur porak poranda.
Saba Geni tercengang.
"Aku di sini Saba Geni. Ha ha ha."
Saba Geni memandang ke arah datangnya suara. Si kakek jadi tercekat begitu melihat Mbah Dukun telah berdiri tegak di sebelahnya. Kakek itu tersenyum, sementara sedikitpun tubuhnya tidak terluka.
"Saba Geni! Tenaga dalammu boleh tinggi, il- mu kesaktianmu boleh hebat. Tapi kau tak bakal lolos dari tangan Jin Sesat mahluk gaib piaraan- ku. Ha ha ha."
"Aku akan membunuh mahluk terkutuk itu!" teriak Saba Geni. Dengan cepat dia mengambil senjatanya berupa tombak bermata tiga. Melihat lawan menghunus senjata lawan kembali tertawa mengekeh.
"Kau boleh juga menggunakan seribu tombak, Saba Geni! Ha ha ha!" si kakek kemudian berte- riak ditujukan pada Jin Sesat. "Bunuh dan habisi manusia bersenjata tombak itu!"
Jin Sesat keluarkan suara raungan. Sosoknya yang besar melesat ke depan. Dua tangan berge- rak, sepuluh jari berkuku tajam menyambar ke batang leher Saba Geni. Si kakek tidak tinggal di- am. Dia melompat ke atas kemudian tusukkan tombaknya ke dada lawan.
Sinar putih berkiblat menyilaukan mata. Jin Sesat segera lindungi dada dan matanya yang menjadi incaran serangan. Sedangkan tusukan yang mengarah ke bagian tubuh yang lain sengaja dibiarkan.
Braak! Craak!
Hunjaman tombak yang mengarah ke bagian pinggang tidak ubahnya seperti menghantam tembok baja. Saba Geni malah terdorong mundur. Lalu meluncur ke bawah. Belum lagi sosoknya ja- tuh ke tanah, Mbah Dukun menyambut dengan satu pukulan.
Desss! Hantaman keras melabrak punggung Saba Geni. Tubuh orang tua itu kembali terpental ke atas. Si kakek menjerit. Dan selagi si kakek men- jerit serta kehilangan keseimbangan, satu tangan menyambar lehernya.
Creep!
Sekejap saja leher Saba Geni telah berada di dalam jepitan Jin Sesat. Si kakek terkejut. Dia meronta, sedangkan tombak ditusukkan ke ba- gian dada mahluk angker yang menjepit lehernya.
Si kakek megap-megap. Tusukannya hanya menimbulkan suara berdentring.
"Jahanam celaka!" keluh si kakek sambil me- ronta.
"Bunuh dia sekarang!" seru Mbah Dukun Ker- tasona.
Secepat Mbah Dukun memerintah secepat itu pula Jin Sesat gerakkan tangannya yang men- cengkeram leher lawan. Tak lama kemudian ter- dengar suara tulang leher patah dan suara jerit tertahan.
Saba Geni berkelojotan. Darah menyembur dari mulut dan hidungnya. Orang tua itu tewas seketika dengan lidah terjulur dan mata mende- lik.
Melihat lawan tewas Jin Sesat lepaskan kor- bannya. Kakek itu jatuh terbanting dan tidak ber- kutik lagi.
Mbah Dukun Kertasona tertawa tergelak- gelak. Dia kemudian menyilangkan kedua tangan di depan dada, sedangkan mulutnya kembali ber- kemak-kemik. Setelah itu terdengar seruannya. "Jin Sesat, kembali !"
Mahluk angker itu kemudian melayang ke arah si kakek. Setelah berada di atas kepala Mbah Dukun ujudnya memudar, lalu lenyap be- rubah menjadi asap biru.
Wuus!
Asap pun masuk ke dalam mulut, lalu lenyap tidak meninggalkan bekas. Mbah Dukun Kertaso- na tertawa panjang. Dia hampiri mayat lawannya. Setelah merasa yakin lawan benar-benar tewas dia berucap. "Aku sudah menduga manusia den- gan kepandaian seperti dirimu tak mungkin sang- gup menghadapi Jin Sesat. Seperti yang kukata- kan kini arwahmu yang bergentayangan penasa- ran! Ha ha ha!" sambil tertawa panjang Mbah Du- kun Kertasona berkelebat tinggalkan mayat Saba Geni.
Tamat