Eps 24 : Perisai Maut
Dua bukit curam yang terletak di kawasan Imogiri masih diselimuti kabut. Suasana di pagi itu terasa amat dingin luar biasa. Diupuk sebelah timur matahari belum lagi menampakkan tanda-tanda akan munculkan diri. Dalam suasana terang tanah, lima sosok tubuh laksana bayangan setan berkele- bat memasuki celah sempit dua bukit di sebelah se- latan.
Lima bayangan itu terus bergerak seolah sal- ing bersirebut mendahului satu sama lain. Mereka baru hentikan larinya setelah sampai di depan se- buah mulut gua. Kemudian kelimanya menebar mengambil posisi bersiaga. Kelima sosok yang terdiri dari lima laki-laki berusia di atas empat puluh lima tahun ini saling pandang satu sama lain. Setelah itu seperti mendengar perintah mereka sama layangkan pandang ke arah mulut gua. Lalu salah seorang di- antaranya yaitu seorang kakek berpakaian hijau, berkulit hijau dan berambut hijau keluarkan satu seruan.
"Angin Pesut. Keluarlah! Kami datang ingin meminta seluruh kitab berisi pelajaran ilmu sakti yang pernah kau cari dulu!" kata si kakek. Suaranya demikian keras menyakitkan telinga pertanda kakek ini menyertakan pengerahan tenaga dalamnya selagi berteriak. Beberapa saat berlalu. Suara si kakek le- nyap, mereka yang hadir disitu menunggu. Setelah detik demi detik berlalu menegangkan. Ternyata tak terdengar jawaban dari dalam gua sebagaimana yang mereka harapkan. Kakek berpakaian merah bertubuh kurus ker- ing bermata lebar dan bertelinga panjang lancip yang berdiri di samping kakek bertubuh serba hijau jadi tidak sabar. "Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayan- gan. Kami tahu kau berada di dalam. Kami tahu kau mendengar, kuperintahkan keluarlah kau untuk mempertanggung jawabkan segala dosamu. Jika kau tak mau mematuhi perintah kami dengan sangat menyesal kami akan menguburmu hidup-hidup!" te- riak kakek kurus ini lantang.
Kemudian terdengar suara lain ikut menimpa- li. "Kalau dia tak mau keluar lebih balk kita seret sa- ja." Yang baru bicara adalah seorang kakek berba- dan gemuk pendek berperut besar seperti kodok berwajah polos.
"Jangan bertindak mengikuti amarah. Bicara- kanlah segala sesuatunya secara baik-baik. Siapa tahu dia sudah insyaf seperti yang kita dengar sela- ma ini!" kata kakek berpakaian hitam berambut lu- rus yang kepalanya terus bergoyang tak mau diam. Orang tua yang satu ini biasa dipanggil Tapa Gedek. Mungkin karena dia dulunya seorang pertapa dan kepalanya biasa golang goleng tak mau diam.
Ucapan kakek ini membuat si kakek kurus bertelinga panjang yang menjadi seterunya delikkan mata tidak senang. "Jangan hiraukan segala uca- pannya, para sahabat. Dia orang gila yang tak dapat dipegang ucapannya!" kata si kakek yang bernama Ki Menoreh ini sinis.
Tapa Gedek gelengkan kepala, lalu menyerin- gai. Dia sama sekali tidak menampakkan rasa ter- singgung. Malah dengan tenang Tapa Gedek me- nanggapi. "Ki Menoreh.... apakah kau lupa aku per- nah mengatakan kau adalah orang pertama yang bakal di jemput malaikat maut disini. Aku melihat awan kelabu, di balik awan ada bayang-bayang ke- matian yang mengintai, mengawasi gerak-gerik kita. Rasa tidak sabar serta apa yang aku ucapkan tadi mungkinkah ini berarti sebagai suatu pertanda kau sudah tidak sabar untuk menyongsong datangnya maut. Aneh memang.... begitu banyak orang yang inginkan umur panjang. Sebaliknya kau malah ingin cepat-cepat mati. Ha ha ha."
Wajah keriput Ki Menoreh nampak berubah tegang. Sepasang matanya yang lebar mendelik be- sar. "Tua bangka kurang ajar. Kalau bukan malai- kat, kuharap bisa menjaga mulut jika tidak ingin ce- laka. Ucapanmu itu membuat aku muak dan ingin cepat membunuhmu. Tapi mengingat segala uru- sanku dengan Angin Pesut belum terselesaikan, ke- matian untukmu rasanya harus ku tunda!" dengus Ki Menoreh sinis.
"Segala urusanmu tak akan pernah selesai. Niatmu untuk membunuhku tidak bakal terlaksana. Karena takdir sudah menentukan, kau bakal mene- mui ajal di tempat ini!" Sambil tersenyum dan geleng kepala Tapa Gedek menyahuti.
Makin bertambah gusarlah Ki Menoreh men- dengar ucapan Tapa Gedek. Dengan tatap mata mencorong penuh kebencian serta dada menggemu- ruh menahan amarah, Ki Menoreh angkat tangan kanannya yang segera diarahkan pada Tapa Gedek. Begitu telapak tangan digerakkan menderulah angin dingin laksana badai. Tapa Gedek tersenyum. Tan- gannya bergerak ke bagian kancing baju. Sekejapan bajunya terbuka lebar. Bersikap seolah seperti orang kegerahan dia berkata. "Matahari belum terlihat, ta- pi aku sudah kepanasan. Beruntung aku karena ada orang yang begitu berbaik hati mengipasi diriku. Ha ha ha!"
Melihat orang tak terpengaruh serangannya Ki Menoreh kertakkan rahang sambil lipat gandakan tenaga dalam. Sekejap saja hawa dingin berubah menjadi sangat panas luar bisa. Semua orang yang berada disitu jadi tercekat, terkecuali kakek berkulit dan berambut hijau yang dikenal dengan nama Batu Lemah Hijau. Datuk yang satu ini sebaliknya menja- di jengkel melihat para sahabatnya malah berbaku hantam dengan kawan sendiri. Sambil keluarkan suara gerengan marah si kakek melompat ke tengah kalangan, lalu dorongkan kedua tangannya, satu ke arah Ki Menoreh dan satunya lagi ke arah Tapa Ge- dek.
Ki Menoreh merasakan ada satu dorongan ke- ras yang membuat tubuh kurusnya tersapu mental tinggi, bergulingan di udara lalu jatuh menyerang- sang di atas pohon. Sebaliknya Tapa Gedek jatuh tertunduk dengan muka pucat dan dada berdenyut seperti ditindih batu besar. Tapa Gedek segera bangkit berdiri. Dia gelengkan kepala sambil usap dadanya. Sebaliknya Ki Menoreh melompat turun dari ketinggian pohon dengan muka pucat mulut cemberut. Di antara mereka berdiri tegak Datuk Le- mah Hijau. Wajah hijau orang tua itu makin ber- tambah hijau. Sedangkan tatap matanya silih ber- ganti memandang mendelik pada Tapa Gedek dan Ki Menoreh. "Dua tua bangka tak mengenal aturan. Aku ikut datang kemari bukan untuk menyaksikan pertunjukan tolol yang kalian suguhkan. Kita berada disini untuk suatu maksud, mengambil apa yang menjadi milik kita yang kini dalam kekuasaan Angin Pesut. Apapun persoalan pribadi yang menjadi gan- jalan diantara kalian, kuharap kalian berdua menye- lesaikannya di tempat lain. Jika kalian tidak mau patuh dengan perintahku ini. Tidak perduli sahabat aku pasti akan membunuh kalian berdua!" dengus Datuk Lemah Hijau.
Tapa Gedek menyeringai. Ki Menoreh tun- dukkan wajahnya, namun dalam hati dia memaki habis kakek yang menjadi seterunya. Sedangkan kakek berbadan seperti kodok cibirkan mulut pada sobat karibnya Tapa Gedek. "Apa yang dikatakan Datuk Lemah Hijau memang betul. Kita datang ke- mari untuk menyelesaikan satu persoalan besar. Ji- ka kau dan Ki Menoreh tidak dapat menggunakan otak, baiknya kalian membunuh diri saja." kata De- wa Kodok.
"Sudahlah, tak usah diperpanjang lagi masa- lah itu. Aku ingin meminta pada paman semua agar mau bersatu padu menghadapi Angin Pesut. Kalau kita terus berselisih musuh bisa menertawakan ke- bodohan kita!" kata si baju biru yang bukan lain adalah Kertadilaga.
Begitu ucapan Kertadilaga berlalu, sejenak suasana di tempat itu dicekam kesunyian. Datuk Lemah Hijau, orang yang paling disegani diantara mereka segera memutar badan dan sekarang meng- hadap ke mulut gua. Setelah memandang lurus ke mulut gua Datuk itu berseru. "Angin Pesut alias Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan. Kau pasti melihat kehadiran kami disini. Kau juga tahu apa yang kami inginkan. Aku Datuk Lemah Hijau yang bicara me- wakili empat sahabat yang lain. Kuharap kau keluar untuk mempertanggung-jawabkan dosa kejahatan- mu!" kata kakek itu dengan suara dingin tapi tegas.
Suara seruan Datuk Lemah Hijau menggema ke seluruh penjuru arah. Tak berselang lama gema suaranya lenyap dan suasana kembali di landa ke- sunyian. Tapi ini berlangsung sekejap, tak sampai satu tarikan nafas lamanya mendadak sontak angin bertiup kencang. Angin yang berhembus dengan ke- cepatan laksana Tapaan itu menyerang dan mempo- rak porandakan apa saja yang terdapat di sekitar gua. Puluhan batang pepohonan tercabut sampai ke akar-akarnya, lalu roboh disertai suara mengemu- ruh berisik. Selanjutnya bergulung-gulung, me- layang diudara kemudian tersapu mental dan lenyap terbawa angin.
Lima orang tua yang hadir di situ tercekat. Ki Menoreh yang berbadan paling kurus diantara em- pat orang lainnya sudah sejak tadi mencelat terbang sambil keluarkan jeritan panik. Masih untung dalam keadaan melayang dia masih sempat menyambar akar gantung yang menjuntai di lamping bukit. Se- hingga dia dapat bertahan disitu, walaupun tubuh- nya terombang-ambing di hempas angin.
Sedangkan Kertadilaga begitu mendapat se- rangan angin Tapaan segera tancapkan pedangnya di tanah. Sambil berpegangan pada gagang pedang dia jatuhkan diri hingga sama rata dengan tanah. Dewa Kodok lain lagi, kakek berbadan pendek gen- dut seperti ikan buntal itu segera melambungkan perut dan juga lehernya yang dapat menggembung besar seperti kodok.
Sedangkan dua kakinya terpacak di atas ta- nah. Jika dalam keadaan seperti itu Dewa Kodok ke- luarkan suara seperti kawanan kodok yang bersuka ria di tengah hujan. Lain lagi halnya dengan Tapa Gedek. Kakek ini begitu tancapkan dua kakinya di atas tanah, kepala digelengkan dengan keras. Se- mentara mulutnya keluarkan siulan sambil me- nyanyi. "Oh angin....kerasnya tiupanmu membuat tubuhku panas dingin. Tapi sayang, hembusanmu tak sanggup membawaku terbang tinggi. Oh angin, belaianmu membuat aku masuk angin. Angin ber- tiuplah lebih keras, agar kau dapat terbang me- layang ke langit tinggi. Uuhk... dinginnya. Aku jadi ingin kentut, ingin pipis."
"Kakek celaka. Satukan kekuatan kita! Kita harus menghantam ke depan!" teriak suara di sam- pingnya. Ketika Tapa Gedek menoleh, ternyata yang berbicara tadi bukan lain adalah Datuk Lemah Hi- jau. Saat itu Tapa Gedek melihat tubuh Datuk Le- mah Hijau mulai nampak miring ke kiri akibat han- taman angin Tapaan menggila yang melanda celah dua bukit itu. Wajah sang Datuk nampak tegang, sementara rambutnya yang panjang kehijauan ber- kibar-kibar disertai suara deru mengerikan.
Meskipun semua orang yang berada di tempat itu dalam keadaan panik mendapat serangan angin Tapaan yang makin menggila itu, tapi Dewa Kodok dan Tapa Gedek kemudian malah tertawa-tawa.
Dewa Kodok bahkan masih sempatnya berka- ta. "Sayang yang datang cuma angin. Kalau datang- nya angin disertai turunnya hujan bisa berpesta po- ra aku!"
"Dewa Kodok, apakah bisamu cuma me- lembungkan perut dan leher. Lebih baik kau yang menabuh gendangnya aku yang menari. Baru sua- sana jadi bertambah asyik!" kata Tapa Gedek.
Dewa Kodok tentu saja tahu yang dimak- sudkan Tapa Gedek menabuh Gendang adalah memperdengarkan suaranya sendiri yang memang mirip orang menabuh gendang. Karena itu tanpa banyak tanya dia mulai membuka mulut sedangkan tangannya melakukan gerakan seperti menabuh.
"Ku! kuk! Kuuung! Kuung!"
"Ha ha ha. Ini baru asyiik. Biarkan aku mulai menari!" teriak Tapa Gedek di sela-sela gemuruh an- gin yang menderu.
Kemudian Tapa Gedek nampak mulai laku- kan gerakan seperti orang menari. Tapi sebenarnya si kakek maupun Dewa Kodok bukanlah menari atau hanya sekedar keluarkan suara seperti gen- dang karena pada saat itu gerakan Tapa Gedek yang lemah gemulai menimbulkan gelombang hebat yang tak kalah dahsyatnya dengan angin yang meniup mereka. Sebaliknya suara Dewa Kodok yang tak be- raturan membuat orang yang menyerang mereka dengan kekuatan angin topan kehilangan kosentra- sinya. Sampai akhirnya terjadi ledakan menggelegar di udara dua kali berturut-turut.
Buum! Buum!
"Akh...!" terdengar satu suara berseru. Tapa Gedek yang menyerang dengan gerakan seperti orang menari jatuh terduduk. Dewa Kodok yang ke- luarkan suara seperti orang menabuh gendang nampak mendelik sambil dekap lehernya.
Datuk Lemah Hijau jadi tercengang. Dia sama sekali tidak menyangka kalau segala kegilaan yang dilakukan kedua kakek aneh itu sesungguhnya ada- lah suatu usaha untuk menghancurkan pusat ke- kuatan badai Tapaan yang menyerangnya. Terbukti setelah dua ledakan terdengar mendadak sontak hembusan angin mendadak sirna.
"Dewa Kodok, kau kelolotan apa kok sampai dekap leher segala?" tanya Tapa Gedek.
"Aku...aku, ah tidak. Gedangnya pecah, lalu menyangkut di tenggorokanku!" menyahuti Dewa Kodok, lalu tertawa mengekeh.
2
Pada saat itu begitu serangan angin topan le- nyap. Kertadilaga cepat bangkit berdiri sambil cabut pedangnya yang menancap di tanah lalu masukkan pedang itu ke rangkanya. Sedangkan Ki Menoreh sudah melompat turun dari akar rambat yang diper- gunakan untuk bergelantungan menyelamatkan diri. Kini mereka berkumpul lagi tak jauh dari de-
pan mulut gua. Datuk Lemah Hijau yang sudah ti- dak sabar membuka mulut berucap. "Siapa saja yang merasa dirinya bukan seorang pengecut harap ikuti aku...!"
Empat orang lainnya saling pandang menden- gar ucapan sang datuk. Kertadilaga melangkah ma- ju. "Apa maksudmu Datuk?" Laki-laki itu ajukan pertanyaan.
"Aku tak mau menunggu. Firasatku mengata- kan Angin Pesut ada di dalam. Dia bahkan baru saja menyerang kita dengan ilmu Gelombang Angin To- pan. Karena dia tak mau keluar, maka kita yang ha- rus masuk ke dalam!" tegas kakek berambut hijau. Kertadilaga dan Ki Menoreh yang sudah me- rasakan ganasnya serangan Angin Pesut kini se- mangatnya bangkit kembali. Mereka anggukan kepa- la siap mengikuti Datuk Lemah Hijau. Sebaliknya Dewa Kodok dan Tapa Gedek tidak memberikan tanggapan apa-apa. Mereka bahkan tetap berdiri te- gak di tempatnya.
Selagi Datuk Lemah Hijau siap langkahkan kakinya memasuki gua. Pada waktu bersamaan pula dari arah bagian ruangan dalam gua berkelebat satu bayangan hitam kemulut gua. Tak berselang lama di depan mulut gua berdiri tegak seorang kakek ber- tampang angker namun dengan tatapan mata lem- but. Orang tua ini beralis merah, rambutnya juga berwarna merah panjang menjela sampai ke bahu.
Di tangan kiri si kakek tergenggam sedikitnya lima buah kitab kuno yang keseluruhan kitab itu be- risi pelajaran ilmu silat dan juga pukulan sakti.
Hanya sekali melihat tentu saja mereka yang berada di depan gua dapat mengenali siapa adanya kakek itu. Dia bukan lain adalah Angin Pesut alias Kala Bayu dan lebih di kenal dengan julukan Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan.
Lima pasang mata sama memandang ke arah Angin Pesut. Datuk Lemah Hijau yang paling men- dendam pada Angin Pesut karena adiknya Datuk Lemah Hijau terbunuh ditangan kakek alis merah ini segera beseru. "Angin Pesut manusia laknat, pembunuh, pencuri berbagai kitab. Kami datang kemari ingin minta tanggung jawabmu. Kembalikan Nyawa adikku Datuk Lemah Abang!"
"Aku, Kertadilaga sengaja datang kemari ingin meminta Kitab Hitam Pembangkit Mayat." kata laki- laki berpakaian biru ikut membuka mulut.
"Ha ha ha. Angin Pesut, terima kasih kau te- lah menyambut kami dengan angin. Walau aku su- dah kekenyangan akibat banyak makan angin. Tapi tetap tidak melupakan untuk menuntut apa yang menjadi hakku. Angin Pesut, sudi kiranya kau men- gembalikan kitab butut milik guruku. Agar kau tidak lupa dan salah mengembalikan. Kitab yang kumak- sudkan itu adalah kitab ilmu Gelombang Naga. Cu- kup sekian penjelasanku. Kurang lebihnya harap dimaklum dan tak lupa aku mengucapkan terima kasih." Kata Tapa Gedek dengan mimik dan gerakan yang mengundang tawa.
Kakek beralis merah yang memang Angin Pe- sut adanya diam-diam jadi kaget. Sekarang dia baru tahu, kiranya kakek aneh yang suka geleng kepala inilah yang tadi telah membuyarkan serangan badai topan yang dia lepaskan dari dalam gua. Setelah mengetahui siapa adanya kakek itu Angin Pesut ak- hirnya menjadi maklum. Kiranya dia murid Manusia Selaksa Angin.
Kini setelah menatap Tapa Gedek sekian la- manya, Angin Pesut alihkan perhatiannya pada Ki Menoreh. Kakek bertubuh ceking, bermata lebar dan telinga lebar. Melihat orang memandang kepadanya Ki Menoreh langsung mendamprat. "Iblis durjana, kejahatanmu melampaui batas. Kau harus menye- rahkan nyawa busukmu pada kami. Tapi sebelum itu, kau juga harus menyerahkan kitab Guntur Bu- mi kepadaku!"
Angin Pesut tersenyum. "Kakek dengan tubuh menyedihkan. Mulutmu memang pintar bicara. Apa yang kau minta akan kukembalikan. Jika kau ingin- kan nyawaku pasti kuserahkan. Kau boleh men- gambilnya sendiri. Tapi... jika kau tak sanggup me- lakukannya, maka nyawamu harus ditukar dengan nyawaku. Bagaimana orang bertubuh kurus menye- dihkan?" tanya Angin Pesut. Tidak sebagaimana be- berapa tahun yang lalu, kini suara Angin Pesut begi- tu pelan dan tidak menunjukkan sikap permusu- han.
Ki Menoreh kertakkan rahang. Dengan mata mendelik dia menjawab. "Kau sendiri tak bakal lolos dari tangan kami. Bagaimana kau hendak menukar nyawaku dengan nyawamu?" ejek Ki Menoreh.
Angin Pesut tersenyum arif. Masih dengan tersenyum dan tunjukkan wajah prihatin dia berka- ta.
"Terkadang banyak kemungkinan yang tidak terduga bisa saja terjadi pada diri seseorang. Men- gapa terlalu yakin dengan kemampuan yang kau mi- liki?"
Masih dengan perasaan gusar penuh amarah Ki Menoreh hendak menanggapi ucapan si kakek. Namun pada waktu bersamaan Dewa Kodok sudah melangkah maju mendekati mulut gua dimana An- gin Pesut berdiri. Dengan gaya yang lucu dan setelah menjura sambil songgengkan pantatnya Dewa Kodok berucap. "Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan. Ku- rasa inilah saat yang paling bahagia dalam hidupku. Kebahagiaan itu karena aku pada akhirnya dapat bertatap muka dengan orang paling keji di rimba persilatan. Kau pembunuh paling keji, pencuri kitab paling tengik dan licik, juru fitnah paling memati- kan, juga pemerkosa paling biadab. Walaupun begi- tu Angin Pesut, jangan kau lupa untuk mengembali- kan kitab Mega Mendung milik leluhur kami. Kitab itu mungkin bagimu dan bagi orang lain kurang be- rarti apa-apa. Namun bagi kami... sejak kitab kau ambil hujan tidak lagi turun. Karena kami lupa ba- gaimana caranya meminta hujan pada Gusti Allah. Angin Pesut, kini di daerah kami di landa kekerin- gan, banyak orang yang mati. Angin Pesut, patutnya aku minta pertanggungan jawabmu. Tapi mengingat begini banyak orang yang menghendaki nyawamu, kau tidak mau repot. Kembalikan saja kitab Mega Mendung itu. Setelah itu kau bebas berbuat seke- hendak hatimu. Kau mau membunuh diri silahkan, malah ingin tobat itu kuanggap lebih baik!" ujar De- wa Kodok.
"Itu masih belum cukup. Aku tidak setuju dengan ucapan Dewa Kodok. Ketentuan tetap berla- ku. Pertama serahkan kitab, setelah itu dia juga ha- rus serahkan nyawanya!" dengus Datuk Lemah Hi- jau.
"Aku setuju!" kata Ki Menoreh. "Aku juga." ujar Kertadilaga.
Kakek beralis merah terdiam, sepasang ma- tanya meredup. Lalu dia angkat tangan kirinya yang memegang tumpukan kitab. Setelah memandang se- jenak pada kitab-kitab yang ada ditangannya dia berkata. "Lima kitab yang kalian minta ada di tan- ganku. Aku siap menyerahkannya pada kalian. Tapi kuminta setelah itu tinggalkanlah tempat ini. Aku tak ingin terjadi pertumpahan darah, aku juga tidak mau melihat salah seorang diantara kalian berlima terluka apa lagi sampai terbunuh. Jika dulu aku pernah membuat kesalahan besar, jika dulu aku te- lah merugikan kalian para orang gagah yang hadir disini, aku mohon diampuni minta dimaafkan." Kata Angin Pesut dengan suara bergetar dan teteskan air mata. Lima kitab di tangannya dilemparkan ke de- pan, hingga membuat lima orang yang berada di de- pannya saling bersikerut mengambil kitab miliknya masing-masing. Tak lama setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Datuk Lemah Hijau, Kertadi- laga bergerak ke arah Angin Pesut. Mendahului ge- rakan kedua orang ini adalah Ki Menoreh. Malah kakek ini telah mengeluarkan senjata andalannya berupa cambuk dengan ujung dicanteli peniti besar. Kehebatan senjata di tangan kakek ini tak perlu di- ragukan. Belasan orang persilatan golongan sesat pernah menjadi korban keganasan si kakek. Kini berdiri bertolak pinggang dengan senjata di tangan, Ki Menoreh berteriak keras.
"Angin Pesut... dosamu selangit tembus. Jika kau memang telah bertobat, sekarang mintalah pada setan neraka agar kau dapat hidup berdampingan dengan mereka. Kau layak mendapatkannya!"
"Kakek kurus, dengan apa kau hendak mem- bunuhku? Dengan cambuk cemeti yang ada ditan- ganmu itu? Ketahuilah, bukan aku me- nyombongkan diri atau bersikap takabur. Seratus jenis senjata yang sama, jika kau pergunakan seka- ligus belum tentu dapat menghancurkan tubuhku, apalagi membuat aku mati. Aku rela menanggung akibat dosa masa lalu, akupun tak takut mati jika kematian itu dapat menebus dosa kesalahanku. Bahkan aku patut mengucapkan rasa terima kasih pada kalian. Namun kusarankan padamu, jika kau punya senjata yang lain dengan daya bunuh yang mematikan sebaiknya pergunakan senjata itu. Aku tak akan melawan kalian, tapi jika kau gagal mem- bunuhku. Satu kenyataan yang harus kalian keta- hui, aku memiliki ilmu yang kunamakan ilmu Ratap Langit. Ilmu itu menyatu dalam tubuhku. Dia beker- ja dengan sendirinya di luar kemauanku, terlebih- lebih bila diriku merasa tersakiti. Aku sendiri sam- pai saat ini tak kuasa mengendalikan ilmu liar itu. Jadi pergunakanlah senjata yang paling tidak me- nyakitkan agar kalian semua selamat!" jelas Angin Pesut dengan mata bersimbah air mata.
Ki Menoreh tersenyum sinis dan menganggap ucapan Angin Pesut sebagai sesuatu untuk mena- kut-nakuti dirinya.
Sebaliknya Kertadilaga, setelah selipkan kitab Hitam Pembangkit Mayat nampak melirik ke arah Datuk Lemah Hijau sambil berbisik. "Apa yang dika- takannya itu memang benar adanya. Aku telah mendengar kabar tentang ilmu aneh itu."
"Kau tenanglah!" sahut Datuk Lemah Hijau. Di belakang mereka Dewa Kodok berkata pa-
da Tapa Gedek. "Jika apa yang dikatakannya benar. Kita tak bakal sanggup membunuhnya. Bagaimana pendapatmu tentang pengakuannya tadi?"
"Aku merasa takjub pada iblis yang satu ini. Dia mengakui kesalahannya, dia juga telah insyaf. Tidak patut aku turun tangan. Dan yang lebih me- nakjubkan lagi, dia mau memberi petunjuk tentang apa yang harus dilakukan terhadapnya."
"Sayang Ki Menoreh nampaknya sudah kesu- rupan setan. Hingga dia menganggap saran Angin Pesut sebagai gertakan belaka." ujar Dewa Kodok pula. 3
Dewa Kodok kedipkan matanya. Dengan sua- ra pelan sekali dia berkata. "Ki Menoreh matanya lamur tidak melihat tinggi rendah ilmu kesaktian yang dimiliki orang." katanya lagi.
"Sudahlah, mulutmu jangan berisik. Jika Ki Menoreh dengar ucapanmu dia bisa marah besar." kata Tapa Gedek.
Sementara itu di depan sana Angin Pesut te- lah melipat kedua tangan di depan dada. Sekali lagi dia menatap Ki Menoreh, kemudian pandangannya beralih pada Datuk Lemah Hijau dan Kertadilaga. Dengan penuh kesabaran dia berkata. "Siapa dianta- ra kalian yang merasa tidak sabar boleh maju seka- ligus. Kalian boleh menyerang bagian tubuhku yang mana saja. Aku tidak akan melakukan perlawanan sama sekali!"
"Kami orang-orang dari golongan lurus bukan manusia pengecut. Pergunakan seluruh ilmu yang kau miliki untuk menghadapi kami!" kata Kertadila- ga merasa tidak enak.
"Sejak dua tahun yang lalu aku telah ber- sumpah untuk tidak mengotori tanganku dengan darah!" sahut Angin Pesut.
"Kalau begitu, jangan salahkan kami. Seka- rang hadapilah Ki Menoreh!" ujar Datuk Lemah Hi- jau. Dia kemudian memberi isyarat pada Ki Menoreh untuk melaksanakan niatnya berupa anggukan ke- pala.
"Angin Pesut, bersiap-siaplah untuk mam- pus!!" teriak Ki Menoreh. Si kakek yang sudah sa- lurkan seluruh tenaga saktinya ke bagian senjata segera lecutkan cambuk kearah Angin Pesut. Lecu- tan cambuk yang disertai pengerahan tenaga dalam itu menimbulkan suara bergemuruh hebat. Karena Angin Pesut sama sekali tidak berusaha menghin- dar, maka dengan telak ujung cambuk yang dicante- li cemiti sebesar lengan itu menghantam tubuh An- gin Pesut.
Ctar! Tar! Tar!
Hantaman cambuk mencabik-cabik pakaian hitam si kakek. Dua ujung cemeti yang runcing membeset bahu dan dada orang tua ini. Darah men- gucur dari luka yang menganga. Tapi secara aneh dan sulit dipercaya luka itu kemudian bertaut kem- bali.
Apa yang terjadi tentu sama membuat semua orang yang berada di situ jadi tercengang dengan mulut ternganga. Sebaliknya Ki Menoreh rupanya semakin bertambah penasaran. Jika tadi dia menye- rang dari atas ke bawah kini arah serangannya jadi berbalik dari bawah ke atas.
Ctar!
Cambuk kembali menderu, meliuk-liuk di udara disertai ledakan-ledakan dahsyat pertanda se- rangan Ki Menoreh bukan serangan biasa. Laksana kilat cambuk di tangan Ki Menoreh menghantam paha Angin Pesut. Ujung cemeti mencabik kulit dan daging paha kakek itu. Dia menjerit, namun tetap tidak melakukan apapun untuk dirinya. Ki Menoreh sentakkan cambuk. Cambuk menggeletar, Angin Pe- sut seperti dilontarkan terpental di udara. Ki Meno- reh tidak membiarkan lawan begitu saja. Dia pun kemudian lesatkan tubuhnya mengejar Angin Pesut. Di udara selagi tubuh Angin Pesut jungkir balik dia hujani kakek malang ini dengan hantaman cambuk juga pukulan sakti yang dia miliki.
Beberapa saat lamanya Angin Pesut menjadi bulan-bulanan orang. Ketika dia jatuh ke tempat semula. Bukan hanya pakaian saja yang tercabik- cabik tak karuan. Tapi juga sekujur tubuhnya diba- luri luka mengerikan. Angin Pesut megap-megap. Ki Menoreh melihat lawan masih tegar, terlebih-lebih ketika melihat luka disekujur tubuh Angin Pesut le- nyap tanpa bekas jadi kaget tapi juga penasaran. Cambuk digulung, lalu di gantung kembali di ping- gang kiri. Kini dia mengeluarkan sebuah senjata aneh. Senjata itu berupa pedang, namun ujungnya mirip mata tombak. Sekali senjata berwarna hitam itu amblas ke tubuh lawan, begitu disentakkan kembali dapat dipastikan isi bagian dalam tubuh la- wannya berserabutan keluar. Berdiri berkacak ping- gang sambil lintangkan pedang di depan dada Ki Menoreh berteriak keras.
"Angin Pesut, lihat senjataku. Jika kau tidak melawan selamanya kau akan menjadi orang paling celaka. Pedang ini mengandung racun keji. Sengaja kubaluri keong beracun. Lawanlah, hadapi aku!" te- riak Ki Menoreh.
Angin Pesut tersenyum. "Demi menghormati pesan orang yang kupandang mempunyai watak dan jiwa ksatria. Apapun yang kau lakukan tak mungkin kulayani. Tapi hendaknya kau tanya dirimu sendiri. Sanggupkah senjatamu itu membunuh diriku?!"
"Manusia takabur. Kau segera merasakan- nya!" teriak Ki Menoreh. Lalu laksana kilat pedang ditangan di putarnya. Sinar hitam bergelembung disertai suara deru angin dingin luar biasa, pertanda senjata Ki Menoreh benar-benar mengandung racun jahat. Tapa Gedek sesungguhnya tidak setuju meli- hat Ki Menoreh pergunakan senjata beracun. Na- mun dia tidak mau mencegah karena khawatir para sahabatnya yang lain menduga dia berada di fihak musuh.
Dewa Kodok duduk termangu, lehernya yang dapat melembung besar kembang kempis, pertanda hatinya diliputi kegelisahan.
Pada saat itu Ki Menoreh telah babatkan pe- dangnya keleher lawan. Babatan kemudian dite- ruskan ke dada juga dua tusukkan di bagian perut. Asap tebal mengepul begitu senjata menyentuh ba- gian tubuh Angin Pesut. Kemudian terdengar suara berdenting tiga kali.
Ki Menoreh surut dua langkah, ketika dia memandang ke arah pedangnya sendiri si kakek ke- luarkan seruan kaget. Pedang andalan yang diper- gunakan untuk membunuh lawan ternyata patah menjadi tiga bagian. Patahan pedang berpelantingan entah kemana. Ketika Ki Menoreh memandang ke arah Angin Pesut kaget pula dia. Kakek itu sama se- kali tidak terluka, bahkan tergores pun tidak.
Melihat kenyataan ini Datuk Lemah Hijau yang mempunyai dendam kesumat pada Angin Pesut segera memberi aba-aba pada Kertadilaga.
"Kita cincang dia beramai-ramai!"
Kertadilaga begitu mendapat aba-aba segera cabut pedangnya. Dengan pedang itu kini dia ikut mengeroyok Angin Pesut.
"Celaka, seperti Ki Menoreh. Rupanya Datuk Lemah Hijau dan Kertadilaga ikutan kesurupan!" de- sis Tapa Gedek.
"Cara seperti ini yang paling tidak kusukai. Sudah jelas Angin Pesut telah menunjukkan itikad baik. Tapi mengapa mereka jadi gelap mata mengi- kuti hawa nafsu!" ujar Dewa Kodok.
"Biarkan saja. Biarkan mereka bertindak mengikuti nafsunya. Aku tak mau ikut-ikutan!" seru Tapa Gedek dengan muka masam sedangkan kepala terus menggeleng.
Pada saat itu Angin Pesut benar-benar dihu- jani serangan dari segala jurusan. Pedang ditangan Kertadilaga belasan kali menghantam sekujur tu- buhnya. Sementara Datuk Lemah Hijau melepaskan pukulan ganasnya. Sedangkan Ki Menoreh selain menggunakan pedang yang lain juga menghujani Angin Pesut dengan pukulan maut pula.
Akibatnya suasana di depan mulut gua itu diwarnai dentuman-dentuman menggelegar. Tubuh Angin Pesut tercampak kian kemari. Tak jarang so- soknya amblas ke dalam tanah akibat hebatnya pu- kulan yang mendera dirinya. Malah terkadang kakek beralis merah ini terpental tinggi ke udara. Selagi sosoknya melayang di udara, tiga pengeroyok segera mengejar. Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh serta daya mengapung di udara yang mereka miliki, sepuas hati mereka menendang atau meng- hantam tubuh Angin Pesut.
Kakek itu nampak menderita sekali. Rasa sa- kit di tubuhnya sudah tak tertahankan. Dari mulut, telinga, hidung, mata dan juga dari bagian bawah perutnya telah meneteskan darah.
Ketika si kakek jatuh terhempas sosoknya sudah tak karuan rupa. Sungguh memprihatinkan keadaan kakek itu. Tapa Gedek sendiri jadi tidak te- ga melihatnya. Malah Dewa Kodok palingkan muka ke arah lain, kasihan melihat Angin Pesut. Tapi sa- ma seperti Tapa Gedek dia juga tak berani menghen- tikan perbuatan para sahabatnya sendiri.
Dalam kesempatan itu terdengar sayup-sayup suara Angin Pesut. "Aku sudah hampir tak sanggup menahan rasa sakit. Aku tak dapat pula mengenda- likan ilmu Ratap Langit. Kalian bunuh aku cepat, atau menyingkir dari sini!" teriak si kakek.
Peringatan ini jika tiga pengeroyoknya mau mengerti sebenarnya merupakan suatu tanda Angin Pesut punya maksud itikad baik agar mereka tidak celaka menjadi sasaran ilmu liar yang dimiliki si ka- kek.
Tapi agaknya mereka memang sudah tak da- pat lagi menggunakan otaknya. Terbukti, Ki Meno- reh kemudian menghantam lawan dengan pukulan Membalik Bumi Menguras Laut.
Sinar biru menderu ke arah Angin Pesut dis- ertai hawa panas luar biasa. Selagi pukulan Ki Me- noreh melesat ganas ke arah lawan. Datuk Lemah Hijau juga ikut melepaskan pukulannya sambil ber- teriak. "Ilmu Pelebur Mayat!" kata Datuk Lemah Hi- jau menyebut nama pukulannya.
Begitu sang datuk lontarkan tangannya ke depan mendadak sontak terdengar suara mengge- muruh dahsyat luar biasa dari dalam tanah. Lalu dari bagian bawah dimana Angin Pesut berdiri men- cuat disertai hembusan angin panas membakar. An- gin api yang menyembur ganas itu membuat kakek alis merah seperti dilontarkan ke langit. Sebelumnya tusukan pedang yang dilontarkan Kertadilaga me- nancap di bagian punggung Angin Pesut sedangkan pukulan Ki Menoreh juga menghantam wajahnya. Di tambah lagi mendapat serangan dari Datuk Lemah Hijau, kini genaplah sudah penderitaan Angin Pesut. Kakek bekas datuk sesat rimba persilatan ini me- raung keras. Sekujur tubuhnya tidak ubah seperti ditusuk ratusan batang tombak membara.
Ketika dia meluncur ke bawah kembali, dia disambut dengan pukulan susulan.
Satu ledakan menggelegar membuat sosok yang tengah meluncur turun itu tergoncang. Pedang yang menancap di punggung terlepas dengan sendi- rinya. Angin Pesut jatuh dengan kepala menghantam tanah terlebih dahulu.
Begitu Angin Pesut terhempas, tubuhnya di- am tidak berkutik lagi. Ki Menoreh, Datuk Lemah Hijau maupun Kertadilaga begitu melihat lawan ti- dak bergerak, akhirnya sama mengumbar tawa.
Dengan bangga malah Ki Menoreh berkata. "Siapa bilang dia tidak bisa dibunuh. Buktinya dia mampus ditangan kami. Ha ha ha!"
"Tubuhnya terdiri dari tulang dan daging. Mustahil dia tak mempan senjata. Buktinya pedang- ku dapat menembus punggungnya!" kata Kertadilaga pula.
Selagi mereka meluapkan kegembiraannya. Sebelum sempat Tapa Gedek maupun Dewa Kodok memberi tanggapan. Pada detik itu pula terdengar suara erangan. Serentak mereka menoleh. Kejut di hati Ki Menoreh, Datuk Lemah Hijau dan Kertadila- ga bukan kepalang. Mereka melihat Angin Pesut bangkit berdiri, terkecuali pakaiannya yang hancur dia tak kekurangan sesuatu apa. Malah kini dari se- kujur tubuhnya tampak asap tipis mengepul. "Kalian gagal membunuh, akupun tak kuasa
mengendalikan ilmu Ratap Langit!" bersamaan den- gan ucapannya itu tubuh Angin Pesut memancarkan cahaya biru. Cahaya berhawa panas kemudian me- nyerang tak terkendali ke arah tiga orang yang me- nyerangnya tadi. Segala sesuatunya berlangsung sangat cepat luar biasa. Hingga baik Datuk Lemah Hijau yang memiliki ilmu kesaktian lebih tinggi dari dua lainnya, maupun Ki Menoreh dan Kertadilaga tidak sempat lagi menghindar.
Sedangkan Tapa Gedek dan Dewa Kodok begi- tu melihat bahaya maut langsung jatuhkan diri sa- ma rata dengan tanah hingga mereka tak terkena sambaran angin panas menghanguskan.
Tiga jeritan terdengar berturut-turut. Tiga so- sok tubuh terpelanting, lalu roboh dengan tubuh hangus dan jiwa melayang. Tapa Gedek bangkit ber- diri diikuti oleh Dewa Kodok. Sementara di depan mulut gua yang sudah tidak utuh lagi berdiri tegak Angin Pesut dengan tatapan mata redup tanpa den- dam.
"Kalian berdua menjadi saksi atas kematian mereka. Aku sama sekali tidak punya niat atau keinginan untuk membunuh. Tapi kalau kalian ber- dua merasa tidak dapat menerima atas kematian mereka, aku telah siap menerima segala apa yang hendak kalian lakukan terhadapku!" kata si kakek.
"Angin Pesut, kami bukanlah manusia pen- dendam. Sejak pertama hadir disini aku secara pri- badi tidak punya maksud untuk membalas dendam. Kukatakan semua ini padamu bukan karena aku takut mengingat ilmumu begitu tinggi. Kau telah bersedia mengembalikan kitab milikku, kuanggap itu sebagai suatu kesabaran. Dan semua dugaanku ini diperkuat lagi dengan yang kau tunjukkan den- gan tidak melakukan perlawanan sama sekali. Angin Pesut, syukurlah kalau kau sudah tobat. Betapapun banyak kesalahan serta dosa yang telah kau laku- kan, itu adalah urusanmu dengan Gusti Allah. Jadi bukan wewenangku untuk mengadili dirimu....!" ka- ta Tapa Gedek sambil geleng kepala.
"Terima kasih atas pengertianmu itu, Tapa Gedek. Kelak aku akan mengingatmu sebagai seo- rang sahabat yang kutuakan dan sangat kuhormati." kata kakek beralis merah sambil rangkapkan tangan lalu menjura hormat.
"Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan. Bicara dengan Tapa Gedek boleh-boleh saja. Tapi hendak- nya jangan abaikan diriku karena aku juga ingin bi- cara." kata Dewa Kodok sambil unjukkan wajah cemberut.
"Apakah yang hendak kau katakan, Dewa Ko- dok? Kepadamu aku mohon maaf. Semula kitab Mega Mendung kukira berisi pelajaran ilmu hebat. Tidak tahunya hanya berisi mantra-mantra cara mendatangkan hujan. Sekali lagi mohon dimaafkan, karena gara-gara kitab itu sendiri di tempatmu sama sekali tak pernah turun hujan."
"Kau memang keterlaluan. Selama kemarau panjang yang menderita bukan saja penduduk, tapi aku terpaksa mengencingi kolam mandi agar aku dapat berendam setiap hari." ujar Dewa Kodok sam- bil bersungut-sungut.
Mendengar ucapan kakek macam ikan buntal itu tentu saja Tapa Gedek tak dapat lagi menahan tawanya.
Masih sambil tertawa-tawa kakek satu ini menyeletuk. "Kepalang tanggung mengapa tidak kau minum saja air kencingmu sendiri Dewa Kodok."
Mendengar itu Dewa Kodok tersenyum. Seca- ra bergurau dia menjawab. "Khusus untuk minum kami menggunakan air kencing puteri."
"Dewa Kodok sialan." damprat Tapa Gedek.
Yang didamprat cuma menyeringai. Si kakek gemuk pendek perut besar kemudian berkata. "An- gin Pesut, kami mohon pamit dulu. Terus terang aku dan sahabat Tapa Gedek akan membawa tiga jena- zah teman kami untuk kami kuburkan disebuah makam di tepi Kaliurang."
"Aku tidak melarang juga tidak menghalangi. Untuk memudahkan perjalanan tak jauh dari telaga itu aku mempunyai beberapa ekor kuda berikut se- buah kereta. Sudah agak tua memang, tapi kuizin- kan kalian memakainya. Biarkan kubantu kalian membawa salah satu dari mayat itu."
"Tak usah, kami bisa membawanya sendiri." ujar Tapa Gedek. Lalu laksana kilat Tapa Gedek berkelebat hampiri mayat Datuk Lemah Hijau dan Kertadilaga. Sambil memanggul mayat kedua orang itu dia berkata pada Dewa Kodok. "Ikan Buntal, kau bawa mayat cacing kurus keras kepala itu."
"Tidak mengapa, aku malah lebih senang. Ki Menoreh tubuhnya kecil tentu saja lebih enteng!" ujar Dewa Kodok. Dia menghampiri mayat Ki Meno- reh. Begitu mendukung mayat si kakek terkejutlah dia.
"Sial mengapa mayat tua bangka ini berat amat.?!" rutuk Dewa Kodok. "Mayatnya menjadi berat karena sombongnya.
Ayo kita pergi!" kata Tapa Gedek.
Sambil mengomel tak karuan Dewa Kodok mengikuti Tapa Gedek menuju kuda milik Angin Pe- sut.
Orang tua itu pandangi dua tamunya sampai mereka menghilang dari pandangan mata.
"Akupun harus pergi. Aku tak mungkin ber- tahan di tempat ini selamanya. Aku akan mencari anakku. Mudah-mudahan aku bisa menemukannya sebelum ajal menjemputku!" desah Angin Pesut den- gan suara lirih dan mata berkaca-kaca. Tak lama dia masuk ke dalam gua, setelah itu keluar kembali. Di punggungnya tergantung kantong perbekalan. Sete- lah itu Angin Pesut berkelebat pergi.
4
Kakek gendut berpakaian hitam berkening le- bar itu berdiri tegak di ujung jalan kota Bantul. Se- pasang matanya memandang lurus ke arah jalan menuju kota. Dalam hati dia berkata. "Panas begini terik, aku haus dan lapar. Perjalananku guna men- cari anak Angin Pesut masih belum juga menemu- kan titik terang. Kasihan sekali orang tua itu, dela- pan belas tahun lebih terpisah dengan putrinya. Seandainya dia belum bertobat perlu apa aku repot membantu. Sekarang diriku yang dibuat susah. Apa- lagi mencari orang yang namanya saja tidak tahu. Cuma ada satu tanda berupa tahi lalat di bagian punggung. Berarti aku harus memeriksa punggung setiap gadis. Gadis mana yang mau tunjukkan punggungnya kepadaku? Gila betul. Mengapa aku begitu bodoh mau menyanggupi permintaan orang. Padahal sejak peristiwa gila yang menimpa diriku sampai sekarang aku belum lagi bertemu dengan Gege. Entah bagaimana dia sekarang. Apakah masih tetap konyol seperti dulu, atau makin bertambah sinting?"
Si gendut yang bukan lain adalah Gentong Ketawa terdiam. Otaknya berfikir keras. Dia tengah mempertimbangkan apakah akan terus mencari pu- teri Angin Pesut atau mencari murid sendiri.
Akhirnya si kakek memutuskan untuk men- cari puteri Angin Pesut. "Biarlah urusan mencari Gege ku tunda dulu. Bukankah mendahulukan ke- pentingan orang lain termasuk salah satu yang dian- jurkan Tuhan. Lagipula bocah sinting itu sudah de- wasa, ilmunya tidak rendah. Aku tidak terlalu menghawatirkan keselamatannya. Sekarang aku ha- rus ke Bantul dulu, makan minum sampai kenyang baru setelah itu kulanjutkan perjalanan." berkata begitu si kakek gendut kemudian berkelebat tinggal- kan tempat itu.
Tak berapa lama si gendut telah duduk di se- buah kedai makan yang penuh sesak dipadati pe- langgan. Dengan sikap acuh kakek ini memesan makanan kesukaannya berikut dua kendi tuak ke- ras. Sebentar kemudian apa yang dipesannya telah terhidang di atas meja kayu. Si gendut yang memili- ki bobot lebih dari dua ratus kati ini langsung me- nyambar salah satu kendi tua, lalu meneguknya hingga tuntas. Apa yang dilakukan kakek ini men- gundang decak kagum bagi belasan orang yang be- rada di dalam kedai. Cara minum si kakek memang terasa tidak wajar. Sangat jarang sekali ada orang yang sanggup menghabiskan sekendi besar tuak ke- ras sekaligus. Pemabuk berat sekalipun paling mampu menghabiskan satu kendi kecil, itu pun ti- dak langsung sekali teguk.
Hanya beberapa laki-laki yang duduk di meja paling depan saja yang memandang kejadian itu se- bagai hal yang biasa. Mereka meneruskan makan minumnya dengan tenang sambil sesekali diseling dengan senda gurau yang berbau mesum.
Suasana di dalam baru benar-benar berubah agak memanas ketika di siang yang terik itu muncul seorang gadis berparas cantik berpakaian merah muncul di pintu kedai. Tanpa bicara apa-apa gadis ini menghampiri pemilik kedai. Dia kemudian memesan makanan berikut air putih. Tak lama sete- lah itu dia menghampiri sebuah meja kosong di su- dut kedai tak jauh dari si gendut berada.
Kakek gendut Gentong Ketawa melirik tamu cantik yang satu ini sekilas. Memandang pada gadis itu dia jadi ingat dengan pesan Angin Pesut.
"Seandainya aku tahu nama anak Angin Pe- sut, mungkin aku bisa bertanya siapa pula nama gadis ini. Sungguh sayang, nama dan bagaimana bentuk wajahnya Angin Pesut sendiri tak tahu. An- gin Pesut, sesuai namanya dia mempunyai urusan berbelit-belit seperti kentut." Mengomel si gendut da- lam hati. Dia lalu meneruskan menyuap makanan. Selagi si kakek sibuk dengan makannya. Tiga laki- laki berpakaian hitam berwajah angker dengan se- buah pedang tergantung di punggung telah berdiri di depan meja si gadis. Salah satu diantaranya bahkan naikkan sebelah kaki di atas meja. Sedangkan dua lainnya berdiri berkacak pinggang. Salah seorang dari tiga laki-laki berusia setengah baya ini dengan nada angkuh berkata. "Gadis cantik, makanmu la- hap sekali. Jika kau mau kami punya makanan enak di meja sana. Silahkan bergabung dengan ka- mi!"
Si gadis berpakaian serba merah yang bukan lain adalah Indah Sari Purnama berhenti menyuap. Dia memandang pada orang yang baru bicara. Se- sungging senyum tersembul dibibirnya.
Sambil membasahi bibirnya hingga membuat ketiga laki-laki itu belingsatan dengan tenang gadis itu menjawab. "Kau baik sekali. Siapakah dirimu?" tanya Indah Sari.
"Aku, Suta dan adikku Sura yang satunya lagi Teja Kurap. Tambahan Kurap karena memang sejak kecil tubuhnya selalu dijangkiti penyakit kurap. Tak percaya lihat saja sendiri!"
Dengan tenang sang dara memandang ke arah laki-laki yang berdiri disampingnya. Memang benar, sekujur tubuh laki-laki itu dipenuhi kurap.
"Kurapan juga tidak mengapa. Kalian kua- nggap sebagai teman sendiri!" kata Indah Sari.
"Dara cantik kami senang mendengar penga- kuanmu. Tapi kau belum memperkenalkan nama. Siapakah namamu?" tanya Teja kurap disertai kedi- pan mata.
"Aku Indah Sari Purnama." kata gadis itu memperkenalkan namanya.
"Hemm, secantik dan sebagus orangnya." Tiga bersaudara itu memuji serentak.
"Terima kasih. Tapi... eh, bukankah tadi ka- lian hendak menjamuku dengan makanan lezat." "Tentu.... tentu. Mari ke meja kami...!" kata Suta. Dengan penuh suka cita tiga bersaudara itu dengan diikuti oleh Indah Sari Purnama kembali ke meja mereka. Namun betapa terkejutnya mereka be- gitu mendapati meja mereka kosong, makanan yang terhidang diatas meja bahkan lenyap entah kemana. Menyangka pelayan kedai yang telah membereskan- nya. Maka Suta berbalik menghampiri mereka. Tapi begitu mendekat dia makin tambah terkejut ketika melihat para pelayan itu dalam keadaan kaku terto- tok. Di kening mereka di tempeli daun lontar dengan tulisan tertera di atasnya. Tulisan itu berbunyi.
'Suta Muka Pantat Makananmu ternyata tidak enak. Mungkin duitnya hasil boleh mencuri'.
Begitu bunyi tulisan yang tertempel di kening pelayan pertama. Membaca tulisan itu saja sudah membuat telinga Suta jadi merah. Dengan penuh kegeraman dia membaca tulisan yang sengaja di- tempelkan pada bagian mulut pelayan ke dua.
"Tiga Monyet perayu enyahlah kalian ke nera-
ka'.
Semakin bertambah geram Suta dibuatnya.
dada kembang kempis. Patut diakui mukanya me- mang licin seperti pantat. Hidung, mulut pipi dan kening sama rata. Sedangkan adiknya yang bernama Sura wajahnya dilihat sekilas memang seperti muka monyet. Dengan tubuh bergetar menahan marah Suta membaca daun lontar ke tiga yang menempel di bagian leher pelayan ketiga.
"Kalau sudah kenyang makan sebaiknya membunuh diri."
"Hahaa...! Siapa orangnya begitu berani mati menghina utusan Empu Barada Sukma!" hardik la- ki-laki itu. Laksana kilat tinjunya melabrak tiga pe- layan itu. Terdengar suara tulang berderak tiga kali berturut-turut disertai dengan suara jeritan. Tiga sosok tubuh terpelanting, melabrak gerobok tempat menyimpan makanan lalu jatuh bergulingan. Satu kepalanya masuk ke dalam ember pencuci piring, satunya lagi hidungnya mencium tempat untuk menggiling cabai sedangkan satunya lagi setelah me- lewati pintu tersungkur dalam comberan.
Pemilik warung terbirit-birit selamatkan diri. Belasan pengunjung yang terdiri dari penduduk se- kitar berserabutan keluar puntang-panting menye- lamatkan diri.
Satu-satunya yang tinggal di dalam kedai adalah si gendut. Dia sendiri sebenarnya jadi terke- jut ketika Suta mengaku sebagai utusan Empu Ba- rada Sukma. Mendengar orang menyebut nama itu perasaannya jadi tidak enak. Tapi karena dasar sint- ing, kakek periang ini ditengah keheningan suasana bicara sendiri. "Makanan begini banyak. Mau dima- kan perut sudah kenyang tak dimakan jadi mubajir. Huuk...huuk. Kenyang betul" kata si kakek sambil tepuk perutnya dan julurkan kaki lalu sandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
Tiga bersaudara itu serentak menoleh me- mandang ke arah si kakek. Mereka jadi tercekat be- gitu melihat hidangan mereka telah berpindah tem- pat ke meja si kakek. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Ketika Suta adiknya sedang bicara dengan sang dara. Kesempatan itu dipergunakan si gendut memindah makanan yang ada di meja milik Suta bersaudara. Dengan menggunakan sedikit tenaga dalam cukup mudah bagi gendut memindah maka- nan itu, tanpa harus bersusah payah mendatangi. Rupanya perbuatan usil si kakek diketahui oleh tiga pelayan. Ketika mereka hendak mencegahnya maka si gendut melancarkan totokan jarak jauh hingga membuat si ketiga pelayan itu kaku tertotok. Dari balik pakaiannya si kakek keluarkan tiga lembar daun lontar, lalu menggurat ketiga daun itu dengan tulisan sekehendak hatinya. Daun dilemparkan dan masing-masing menempel di kening, mulut serta leher ketiga pelayan itu. Sama sekali si kakek tak menyangka perbuatan isengnya membuat tiga pe- layan warung jadi sengsara.
Kini si gendut memukul tangannya sendiri. "Sialan. Coba kalau tidak usil tadi tidak begini
kejadiannya" gerutu si gendut.
Dalam kesempatan itu tiga bersaudara tadi serentak berlompatan mendekati si kakek. Begitu mereka berdiri di depan meja orang tua itu. Salah seorang diantaranya yang berpenyakit kurap sambil garuk-garuk tubuhnya yang gatal berkata.
"Jika kau hanya mencuri makanan kami. Tentu kami masih bisa menganggapmu sebagai kere pasar yang kelaparan. Ulahmu membuat kakangku jadi sangat marah, apa sebenarnya yang kau per- buat dengan daun lontar tadi?"
"Ha ha ha. Aku cuma mengatakan yang sebe- narnya. Pertama, Suta muka pantat, makananmu ternyata tidak enak, mungkin uangnya hasil mencu- ri. Yang ke dua Tiga monyet perayu, enyahlah kalian ke neraka. Sedangkan yang ketiga. Kalau sudah ke- nyang makan sebaiknya membunuh diri! Ha ha ha!"
"Gendut keparat, kau memang minta mam- pus!" teriak Teja Kurap. Laksana kilat dia layangkan tinjunya ke wajah si kakek. Dia merasa yakin sekali hantam maka remuklah wajah si kakek gendut.
Wuuuus!
Tapi kemudian betapa kaget Teja Kurap begi- tu melihat kenyataan orang yang diserangnya men- dadak lenyap melesat terbang entah kemana.
5
Tiga bersaudara termasuk gadis jelita itu se- rentak layangkan pandang ke segenap penjuru ruangan. Tapi kakek gendut sama sekali memang lenyap pergi entah kemana.
Sambil kepal-kepalkan tinjunya Suta mengge-
ram.
"Jahanam pengecut itu jika tidak cepat kabur
aku pasti sudah mempesiangi tubuhnya.!"
"Aku menyesal tidak sempat memotong kedua tangannya!" kata Sura menimpali.
"Lupakanlah masalah jamuan makan enak. Aku tidak bisa menunggu. Aku harus pergi seka- rang!" ujar Indah Sari Purnama tiba-tiba, membuat tiga bersaudara itu jadi melengak kaget, lalu sama memandang ke arah si gadis dengan perasaan tidak mengerti.
"Mengapa secepat itu. Sebaiknya kau terus bersama kami. Terlalu berbahaya bagi seorang gadis pergi sendiri. "sergah Teja Kurap.
"Aku sudah terbiasa, lagi pula saat ini aku sedang melakukan suatu urusan yang sangat pent- ing!"
Tiga bersaudara itu menyeringai, satu sama lain saling berbisik. Entah apa yang mereka bicara- kan. Yang jelas laki-laki yang bernama Suta kemu- dian melompat ke depan menghadang langkah Indah Sari Purnama.
"Kau tidak bisa pergi kemanapun, Indah Sari.
Karena kau adalah milik kami!" tegas Suta.
Sang dara tersenyum, sejak semula dia sudah menduga di balik kebaikan yang mereka perlihatkan itu ternyata memang menyimpan niat-niat keji.
"Kudengar kalian tadi sedang melakukan sua- tu amanat dari seseorang bernama Empu Barada Sukma. Tugas itu agaknya sama penting dengan tu- gas yang aku lakukan. Kini aku menjadi heran sen- diri, setelah melihatku mengapa rencana kalian be- rubah?"
"Gadis cantik jangan banyak bicara. Tugas kami nantinya tetap akan kami kerjakan. Tapi masa- lah kesenangan terhadap perempuan itu adalah per- soalan lain. Kau ikutlah dengan kami. Kita bisa ber- senang-senang menikmati keindahan hidup yang tak pernah kau bayangkan selama ini!" ujar Suta.
Jika Suta berkata begitu, sebaliknya Sura ti- dak sabar lagi. Dengan cepat disambarnya tangan Indah Sari Purnama. Detik berikutnya lengan si ga- dis sudah kena dicekal oleh Sura. Baru saja tangan kiri laki-laki itu bermaksud lancarkan totokan ke bagian leher sang dara. Mendadak sontak Sura men- jerit lalu lepaskan cekalannya pada lengan gadis itu sedangkan matanya mendelik besar, dia lalu jatuh terhempas berkelojotan sedangkan tangannya nam- pak membiru. Warna biru dengan cepat sekali men- jalar ke sekujur tubuhnya, menyerang pembuluh darah dan menghancurkan bagian jantung. Melihat kejadian yang tak pernah mereka sangka itu, Suta maupun Teja Kurap untuk bebera- pa jenak lamanya hanya terpana. Tapi begitu rasa kaget di hati mereka lenyap Suta langsung berseru. "Adikku... bangsat itu ternyata beracun!" Seko- nyong-konyong Suta hendak menubruk mayat adik- nya. Tapi Teja Kurap menarik tangannya mencegah.
"Jangan disentuh. Tubuhnya keracunan!" "Kurang ajar! Rupanya tubuh gadis itu men-
gandung racun?!" seru Suta sambil memandang dengan mata melotot ke arah Indah Sari. Si gadis tertawa mengekeh.
"Siapa diantara kalian yang ingin cepat mati. Sebaiknya peluklah aku!" kata Indah Sari. Gadis itu lalu kembangkan kedua tangannya sambil julurkan lidah basahi bibir.
"Gadis keparat! Kau bunuh adikku dan se- mua ini telah merubah niat dan keinginan semula. Bersiaplah kau untuk mati." teriak Suta. Laksana kilat dia meloloskan pedang. Senjata itu kemudian menderu menghantam tiga bagian mematikan di tu- buh sang dara. Melihat ganasnya serangan yang di- lancarkan Suta, Teja Kurap sambil menggaruk ba- dannya merasa yakin gadis itu pasti tak dapat me- nyelamatkan diri. Dugaan laki-laki itu ternyata me- leset. Hanya dengan menggerakkan kaki dan liukkan tubuhnya serangan pedang luput. Kemudian tangan Indah Sari menyambar dari atas ke bawah.
Tep!
Badan pedang kini berada dalam cengkera- man si gadis. Tak menyangka lawan dapat berbuat seperti itu, Suta tarik pedangnya sekuat tenaga. Pa- da saat itulah satu kejadian yang luar biasa terjadi. Pedang ditangan Teja mendadak berubah membiru. Beruntung dia sempat melihat kenyataan yang ter- jadi. Dengan cepat dia melepaskan pedangnya sam- bil melompat mundur ke belakang. Kini dia menca- but pedang pendeknya. Dengan pedang itu dia kem- bali mengurung sang dara. Hanya dalam waktu singkat sinar putih bergulung-gulung mengurung ja- lan gerak si gadis. Walaupun begitu semua ini tidak membuatnya menjadi gugup. Menggunakan pedang rampasan Indah Sari menangkis setiap serangan yang datang, lalu balas menyerang hingga membuat Suta terdesak hebat.
Melihat apa yang terjadi jelaslah. Indah Sari bukan lawan Suta, sehingga Teja Kurap tidak lagi dapat diam berpangku tangan. Laki-laki ini kemu- dian meloloskan pedang, lalu melesat ke depan ber- gabung dengan Suta saudara tuanya. Perkelahian semakin bertambah seru. Meja, kursi dan perabotan lain yang berada di dalam kedai jadi porak poranda. Sedangkan si gadis yang mendapat dua serangan hebat sekaligus dengan mengandalkan ilmu merin- gankan tubuh serta kecepatan gerak berkelebat lak- sana bayang-bayang. Lima jurus berlalu, namun dua bersaudara ini tetap tak sanggup melukai la- wannya. Malah ketika Indah Sari balas melakukan serangan. Sekejap saja keduanya terdesak hebat. Indah Sari tak mau membuang waktu, pedang di- tangan diayunkannya ke kanan, lalu bergerak dari bawah ke atas mencari sasaran di bagian perut dan dada Suta.
Trang! Trang!
Benturan keras terjadi. Pedang di tangan Suta terpental, Suta terkesiap kaget kemudian cepat se- lamatkan diri dengan melompat ke samping. Tak terduga pedang di tangan sang dara berbalik arah dari samping kiri melesat ke kanan.
Tak terelakkan lagi senjata itupun menghan- tam perut Suta. Laki-laki itu menjerit kesakitan. Isi perutnya berburaian keluar. Darah menyembur. Terhuyung sebentar pada akhirnya Suta jatuh terpe- lanting. Melihat kenyataan ini Teja Kurap menjerit.
"Kakang !"
"Tak usah kau sesali. Kau ingin meyusulnya aku bersedia menolong!" dengus Indah Sari.
"Gaadis terkutuk! Kubunuh kau...!" teriak Te- ja Kurap. Tiba-tiba dia balikkan badan. Sambil kelu- arkan suara menggembor penuh amarah dia melesat ke arah sang dara. Serangan pedang yang dilancar- kannya kini berubah menjadi luar biasa, membabat menusuk silih berganti. Walau gadis yang diserang- nya sempat unjukkan wajah kaget. Hal ini pun ter- jadi hanya sekejap saja. Pada kesempatan yang lain gadis ini meniup ke depan sambil menghindari se- rangan yang datang. Dari mulut Indah Sari Purnama menyembur asap tipis berwarna kebiru-biruan per- tanda asap itu mengandung racun ganas memati- kan.
Melihat serangan berupa hembusan asap be- racun Teja Kurap terpaksa melompat mundur, tarik balik serangan. Namun dia lalu jatuhkan diri bergu- lingan merangkak ke arah lawan sedangkan pedang membabat ke bagian kaki Indah Sari.
Gadis itu keluarkan tawa dingin angker. Enak saja dia melompat ke udara sampai kepalanya me- nyandak langit-langit kedai. Selagi tubuhnya masih mengambang di udara dia lepaskan pukulannya ke arah Teja Kurap. Sinar biru berkiblat, hawa dingin menghampar membuat Teja Kurap tercekat lalu se- cepatnya melompat bangkit kemudian mundur jauh. Letupan kecil akibat serangan Indah Sari membuat lantai kedai berlubang besar, hangus dan mengepulkan asap. Teja Kurap menyaksikan keja- dian ini bergidik ngeri. Tapi dia tak dapat memikir- kan semua itu lebih lama, karena pada saat itu pu- kulan susulan yang dilepaskan Indah Sari melabrak
dirinya.
Teja Kurap putar senjata ditangannya. Sinar putih menggidikkan yang memancar dari pedang la- ki-laki itu menyelimuti dirinya. Tak dapat dielakkan lagi benturan keras pun terjadi.
Traang!
Teja Kurap keluarkan seruan kaget begitu mendapati pertahanannya hancur dihantam puku- lan lawan. Tanpa fikir panjang dengan tubuh kucur- kan keringat dingin dia melesat ke atas. Sebagian pukulan Indah Sari yang seharusnya mengenai ba- gian bahu menyambar meja di belakangnya. Meja hangus mengeluarkan suara berkeretakan. Tanpa menghiraukan semua apa yang terjadi Teja Kurap tusukkan pedangnya ke dada si gadis. Di saat itulah Indah Sari Purnama rundukkan kepala. Lalu tanpa pernah terduga kakinya melesat menghantam perut laki-laki itu.
Dess!
Tendangan yang amat keras membuat Teja Kurap meraung kesakitan. Sosoknya jatuh terpental. Tapi dia segera bangkit kembali. Disaat dia berusaha berdiri tegak itulah Teja Kurap merasakan perutnya yang kena ditendang lawan kini terasa sakit laksana ditembusi belasan batang tombak. Ketika Teja Kurap memeriksa perutnya. Mendeliklah mata laki-laki itu. Tendangan si gadis bukan saja hanya membuat pa- kaiannya hangus menjadi bubuk, lebih dari itu ba- gian perutnya hangus gosong membiru. Warna biru hanya dalam waktu singkat terus menjalar keseku- jur tubuh. Sambil mendekap luka dengan tangan ki- ri Teja Kurap menunjuk-nunjuk ke arah Indah Sari. Sebelum dia mampu bicara sepatah katapun. Teja Kurap jatuh tersungkur dan tidak bangun lagi.
Indah Sari tersenyum sinis. Bibirnya berge-
rak.
"Benar seperti apa yang dikatakan oleh guru,
laki-laki ternyata sangat jahat sekali!" kata gadis itu, lalu melangkah ke luar tinggalkan kedai.
6
Indah Sari Purnama melangkah tenang mele- wati halaman depan kedai yang sunyi, lalu berbelok ke jalan menuju ke arah timur. Sementara itu si gendut yang sejak meninggalkan tiga bersaudara ta- di duduk di bagian atas atap kedai tidak habis- habisnya mengusap hidungnya yang pesek. Apa yang dilakukan gadis itu tadi memang sesuatu yang sangat luar biasa sekaligus mengerikan.
Sambil memperhatikan kepergian sang dara kakek gendut itu berkata.
"Aku sama sekali tak menyangka tubuhnya mengandung racun ganas. Di balik kecantikannya dia bisa menjadi seorang pembunuh keji. Siapa dia? Kudengar tadi namanya Indah Sari Purnama. Murid siapakah dia? Belum pernah aku dengar ada tokoh dirimba persilatan ini yang memiliki racun sehebat itu. Indah Sari Purnama....!" Kakek Gentong Ketawa menyebut nama itu berulang-ulang.
"Sial, Angin Pesut di saat anaknya di culik orang belum sempat memberinya nama. Lalu gadis tadi anaknya siapa? Wajahnya hampir mirip dengan Angin Pesut. Mungkin aku harus mengejar, lalu memeriksa punggungnya. Siapa tahu di punggung gadis itu ada tahi lalatnya. Seandainya benar, apa- kah mungkin dia kenal dengan Angin Pesut?
Beberapa saat lamanya si gendut terombang ambing dalam kebimbangan. Sampai kemudian dia memutuskan untuk mengikuti gadis tadi.
Kakek ini lalu bangkit berdiri. Dengan gera- kan ringan dia berkelebat tinggalkan atap kedai lalu menyusul Indah Sari Purnama.
Sementara itu sang dara sudah jauh mening- galkan Bantul. Setelah melewati sebuah tikungan ja- lan dia menyelinap dibalik rerumpun semak belukar. Sesaat dia menunggu. Sejak tadi dia merasa ada se- seorang seperti sedang mengikuti dirinya. Orang itu telah menguntitnya. Cara mengikutinya juga terbi- lang aneh, dari jarak yang tidak begitu jauh, namun tak mau unjukkan diri.
Tak lama di tempat lenyapnya si gadis mun- cul satu sosok tubuh. Sosok berpakaian serba kun- ing, dengan wajah dan tangan dipenuhi sisik, se- dangkan jari tangannya hanya terdiri dari ibu jari, serta telunjuk yang menyatu dengan tiga jari lain- nya.
"Bangsat! Dia lagi rupanya. "gerutu Indah Sari begitu mengenali siapa orang yang menguntitnya. Sang dara melirik ke bagian pinggang pemuda itu. "Pedang itu... hem, ternyata Pedang Tumbal Pe- rawan masih ditangannya. Aku harus dapat meram- pas kembali pedang iblis itu. Tapi bagaimana ca- ranya? Kehebatan ilmunya tidak membuatku mera- sa gentar. Tapi jika dia sampai menggunakan pe- dang Tumbal Perawan untuk melawanku, salah- salah aku bisa celaka. Pedang itu bila telah keluar dari rangka tangannya akan bergerak sendiri menge- jar sasaran. Orang tolol sekalipun jika sudah meme- gang senjata iblis itu pasti berubah menjadi lawan yang sangat berbahaya." kata Indah Sari.
Sementara di tengah jalan pemuda berpa- kaian kuning nampak jelalatan kitarkan pandangan matanya ke segenap penjuru arah. Setelah tak meli- hat orang yang dia cari akhirnya dia jadi bicara sen- diri. "Tidak mungkin. Yang kulihat tadi jelas dia, bu- kan orang lain. Tapi mengapa tiba-tiba saja bisa menghilang?!"
Di balik semak belukar Indah Sari berucap
heran.
"Bukankah dia punya saudara yaitu Setan
Dua. Kemana saudaranya yang satu itu. Apakah mungkin ada seseorang yang telah membunuhnya, tapi siapa?"
"Gadis baju merah!" Tiba-tiba Indah Sari mendengar pemuda itu berteriak. "Aku tahu kau be- rada di sekitar sini. Kuharap kau mau menunjukkan diri. Bukankah kau ingin pedang ini kembali ke tan- ganmu? Kita masih bisa bicarakan. Pedang ini akan kukembalikan padamu, tapi kau harus menyenangi diriku semalaman suntuk. Ha ha ha!"
Indah Sari sunggingkan seringai. "Itu yang dia inginkan. Agaknya dia ingin mampus konyol seperti tiga bersaudara di dalam kedai tadi." batin si gadis. Tanpa pikir panjang Indah Sari kemudian lepaskan dua kancing bajunya di bagian atas. Hingga dadanya yang putih mulus tersembul menantang.
Wuut!
Gadis itu lakukan satu gerakan. Di lain kejap dia telah berdiri di atas semak belukar. Melihat cara berdiri gadis ini yang terkesan seenaknya jelas me- rupakan pertanda Indah Sari menggunakan ilmu mengentengi tubuh yang sudah mencapai puncak- nya. Ini dibuktikan reranting semak yang dijadikan- nya tempat berpijak tidak goyah apalagi patah.
Pemuda berpakaian serba kuning tersenyum. Tapi kemudian matanya terbelalak lebar ketika me- lihat bagaimana belahan dada si gadis dalam kea- daan terbuka.
"Beberapa hari aku mencarinya, tidak disang- ka dia sengaja mengundangku untuk !"
Kembali si baju kuning yang bukan lain ada- lah Setan Satu sunggingkan senyum.
"Katanya kau mau menyerahkan pedang itu padaku. Sekarang berikan....!" kata si gadis sambil basahi bibirnya.
"Ha ha ha. Tentu saja pedang akan kuserah- kan, asal kau menyerahkan dirimu kepadaku!"
"Kau menghendaki aku, datanglah kemari. Peluk... peluklah aku...!" Ucap Indah Sari dengan mata setengah terpejam sedangkan kedua tangan- nya terpentang lebar.
Setan Satu merasakan dadanya bergemuruh, jantung berdetak keras sedangkan darahnya meng- gelegak sampai ke ubun-ubun terbakar rangsangan hebat. Pemuda itu melangkah maju dan siap me- lompat ke atas semak belukar dimana Indah Sari berdiri menunggu. Tapi kemudian Setan Satu nam- pak ragu-ragu. Dia ingat kejadian di pinggir sungai. Terbayang pula apa yang terjadi pada orang yang bernama Jaran Kalabakan. Laki-laki berpakaian me- rah yang dibunuhnya. Untuk lebih jelas (baca Epi- sode Petaka Iblis).
"Gadis ini memiliki racun hebat. Tubuhnya mengandung racun, jika aku memeluknya tentu na- sibku akan sama dengan tiga bersaudara yang me- nemui ajal di dalam kedai." fikir Setan Satu.
"Manusia setan, mengapa tidak kau lakukan. Padahal aku telah menunggumu. Kau tidak suka melihatku, atau kau ingin aku menanggalkan selu- ruh pakaianku? Hi hi hi."
"Gadis siluman. Apa yang telah kuucapkan kutarik kembali. Aku bukan manusia tolol. Tubuh- mu mengandung racun, aku tidak ingin celaka aki- bat memperturutkan keinginan nafsu tolol."
"Kalau begitu kau serahkan saja pedang Tumbal Perawan kepadaku. Setelah itu dengan se- nang hati aku lupakan kesalahanmu."
"Kesalahan? Kesalahan apa?" tanya Setan Sa- tu heran.
"Hi hi hi. Apakah kau lupa, kau pernah men- gintip ku ketika aku mandi di sungai. Selain itu kau telah melarikan pedang milikku yang kini ada di tanganmu!" tegas si gadis.
Setan Satu berdiri berkacak pinggang. Dia pura-pura keluarkan seruan kaget. Tapi sebenarnya tidak, karena sesungguhnya Setan Satu tentu saja ingat dengan kejadian mengasyikkan di pinggir sun- gai itu.
Setengah bergumam dia berkata. "Sayang adikku terbunuh oleh tua bangka keparat bernama nenek Palasik itu. Jika tidak tentu melihat kehadi- ranmu dia akan senang sekali."
"Aku tidak perduli tentang adikmu yang su- dah mampus. Sekarang juga kembalikan pedang itu kepadaku!" bentak Indah Sari sambil kancingkan bajunya dibagian atas. Setan Satu dengan tegas ge- lengkan kepala,
"Tidak mungkin gadis cantik. Pedang Tumbal Perawan masih kubutuhkan. Aku memerlukannya untuk meringkus seorang tua bangka buronan ber- nama Gentong Ketawa?"
"Gentong Ketawa. Siapa dia?"
Tak jauh dari tepi jalan, tepatnya di atas ca- bang pohon si gendut yang namanya di sebut oleh Setan Satu diam-diam terkejut. Dalam hati dia ber- kata.
"Pemuda baju kuning muka bersisik macam ular kadut itu siapakah? Mengapa dia mencariku dan mengatakan aku ini buronan? Aku tak pernah mendekam dalam penjara kerajaan, tak pernah pula meloloskan diri dari rumah neraka. Bagaimana dia pandai-pandainya mengatakan aku seorang buro- nan? Kabar edan apa lagi ini?" maki si kakek.
Sementara itu Setan Satu menjawab perta- nyaan Indah Sari. "Orang yang kukatakan itu punya kesalahan besar sekaligus dosa yang tak mungkin terbayar pada seorang sesepuh dunia persilatan dari timur. Sesepuh yang sangat kami hormati itu ber- nama Empu Barada Sukma!"
Di atas cabang pohon si kakek tercekat, wa- jahnya sempat berubah pucat. Dahi mengerenyit, mulut berucap pelan sekali. "Empu Barada Sukma? Rupanya bangsat tua itu belum mati. Manusia sega- la keji, menggunakan kedok kebaikan untuk menu- tupi kejahatannya. Ilmunya tinggi, aku sendiri be- lum tentu sanggup menghadapinya. Lalu mengapa dia tak datang sendiri mencariku, mengapa meng- gunakan tangan orang lain? Apakah pemuda yang dipanggil Setan Satu itu muridnya. Lalu berapa se- tan yang dikirimkannya untuk menangkapku. Tiga bersaudara yang mampus dalam kedai tadi juga ada menyebut nama Empu Barada Sukma. Tapi melihat ilmu permainan pedangnya jelas ketiga laki-laki itu bukan murid Empu Barada. Sebaiknya aku me- nunggu apa yang dilakukan pemuda itu pada Indah Sari!" batin si kakek.
Pada saat itu Indah Sari yang memang tidak mengenal dua nama yang disebutkan oleh Setan Sa- tu tentu tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Malah dia kemudian dengan tegas berkata. "Apapun ala- sanmu aku tidak perduli. Apakah kau ini ditugaskan setan gundul untuk menangkap hantu, atau ditu- gaskan iblis, kau harus serahkan pedang itu pada- ku!"
"Jika aku tak mau?" tanya Setan Satu sambil bertolak pinggang.
"Jika kau menolak. Tidak ada jalan selamat bagimu terkecuali mati!" sentak Indah Sari.
Setan Satu tertawa bergelak. Semakin lama tawanya semakin bertambah keras membuat pen- gang telinga. 7
Tawa dingin Setan Satu mendadak lenyap. Dengan tatapan sinis pemuda ini kemudian berkata. "Lagak bicaramu keren amat, Indah Sari. Kau kira mencabut nyawaku semudah mencabut batang ke- lapa. Jika kau punya ilmu setinggi gunung belum tentu kau sanggup membunuhku! Dari pada kau mati muda bukankah lebih baik kau menjadi istriku saja? Ha ha ha!"
"Baik, kalau itu permintaanmu sekarang ber- siaplah kau menangkap diriku!" berkata begitu In- dah Sari melesat ke depan, lalu pura-pura jatuhkan diri dalam pelukan Setan Satu. Begitu tubuhnya me- luncur menubruk pemuda itu, dua jari telunjuknya berkelebat menghantam bahu Setan Satu.
Pemuda baju kuning ini semula memang menduga lawan memang ingin jatuhkan diri dalam pelukannya. Dia sempat merasa yakin dua tangan- nya yang bersisik tebal tentu dapat menahan racun yang terdapat di sekujur tubuh si gadis. Tapi kenya- taan yang terjadi kemudian benar-benar membuat Setan Satu jadi tercekat. Sikap yang dilakukan In- dah Sari bukan satu sikap memasrahkan diri. Tapi- melihat dua jari telunjuk siap menembus bahu Se- tan Satu ini merupakan suatu tanda lawan ingin membunuhnya. Tak pelak lagi Setan Satu jatuhkan diri, bergulingan menjauh. Kemudian bangkit sambil kibaskan ujung lengan bajunya.
Angin menderu dahsyat, belasan benda putih laksana panah berbentuk pipih berlesatan dari ujung lengan baju Setan Satu. Belasan senjata raha- sia itu kemudian menghantam Indah Sari, tapi hanya dengan melambaikan tangan kirinya saja sen- jata rahasia milik lawan dapat disapu mental, berba- lik menghantam pemiliknya sendiri.
Setan Satu sempat tercengang, tapi serangan senjata rahasia yang sempat membalik itu tidak membuatnya menjadi panik. Malah dia tertawa ber- gelak, pipi menggembung mulut berubah lancip. Se- lanjutnya Setan Satu meniup ke depan. Tiupan per- tama membuat senjata rahasianya hangus terbakar. Tiupan kedua melabrak tubuh Indah Sari hingga gadis itu jadi terhuyung, sedangkan tiupan ketiga membuat tubuh gadis itu laksana di hantam topan tersapu mental setinggi sepuluh tombak, lalu tergul- ing-guling di udara dan jatuh menyerangsang di pu- cuk pohon.
Sang dara bergelayutan di pucuk pohon, te- naga dalam dikerahkan. Dia lalu mengerahkan ilmu pemberat tubuh. Pohon dimana gadis ini terjatuh nampak melengkung, sampai bagian pucuknya hampir menyentuh tanah. Setan Satu tanpa menge- tahui kecerdikan si gadis begitu melihat lawan jejak- kan kaki sambil menggelayuti pucuk pohon segera melompat. Kali ini tangannya bergerak siap meng- hantam remuk kepala gadis itu. Tapi apa yang ke- mudian terjadi? Begitu salah satu kaki Setan Satu melewati batang pohon, Indah Sari dengan gerakan laksana kilat lepaskan pucuk pohon yang dijadikan- nya tempat bergelayut.
Karena pohon sebesar paha orang dewasa itu sangat lentur, begitu di lepas tentu saja melesat kembali ke udara.
Plak! Bagian ujung pohon menghantam selangkan- gan Setan Satu. Akibatnya sungguh mengerikan. Tubuh Setan Satu seperti dilontarkan terlempar pu- luhan batang tombak ke angkasa. Pemuda itu men- jerit kesakitan. Dalam keadaan jungkir balik tak ka- ruan, sambil menjerit dia dekap selangkangannya.
Di tempatnya mendekam si gendut Gentong Ketawa menyengir, garuk hidungnya yang pesek sambil menyetuk. "Ini baru hebat. Aku yakin buah jambu milik si muka bersisik itu remuk, bisa jadi malah hancur. Untung bukan buah jambuku yang kena. Kalau milikku yang jadi sasaran aku bisa me- rana seumur hidup. He he he." Tanpa sadar si gen- dut raba selangkangannya sendiri. "Ah, masih ada. Tetap utuh dan segar semuanya." Lalu si kakek kembali pentang matanya memperhatikan jalannya perkelahian.
Pada kesempatan itu Setan Satu sudah jatuh dengan kepala menjungkir di atas tanah. Rupanya rasa sakit yang mendera bagian bawah perut masih begitu hebat. Terbukti dia masih terus menggerung sambil bergulingan di atas tanah.
Melihat kejadian ini sambil tertawa mengikik Indah Sari tidak menyia-nyiakan kesempatan. Den- gan cepat dia melesat ke arah lawan. Tangan kiri berkelebat menyambar pedang yang tergantung di- pinggang Setan Satu, sedangkan tangan kanan di- pergunakan untuk menghantam kepala Setan Satu.
Sambaran angin dingin yang menerpa kepala dan pinggangnya membuat Setan Satu bergulingan menjauh. Dengan bertumpu pada punggungnya. Tubuh Setan Satu berputar, dua tangan berputar mengikuti gerakan badan sedangkan kaki melesat ke arah wajah lawannya.
Tak pernah menyangka lawan dapat melaku- kan serangan seperti itu tentu saja Indah Sari yang gagal sambar pedang dan hancurkan kepala lawan tak sempat lagi mengelak.
Dia hanya sempat jauhkan wajahnya dari hantaman kaki lawan. Tapi akibat yang harus dia te- rima lebih parah lagi karena kaki Setan Satu dengan telak menghantam dada sang dara sebelah kiri.
Si gadis jatuh terjengkang, dadanya laksana meledak. Sementara Setan Satu sudah bangkit ber- diri dengan mulut menyeringai menahan sakit
Lagi-lagi melihat kejadian itu kakak gendut nyeletuk. "Tadi buah jambu muka binyawak yang dibuat konyol, sekarang giliran bukit bagus itu hen- dak dibuat runtuh. Pertarungan menarik. Belum ke- tahuan siapa yang bakal keluar sebagai pemenang- nya!" kata si kakek sambil cengar-cengir dan tepuk- tepuk keningnya segala.
"Kau tak bakal lolos dari kematian!" seru Se- tan Satu. Berkata begitu laksana kilat kakinya ber- kelebat menendang. Saat itu jarak diantara mereka terpentang lebih dari lima tombak. Tapi sambaran angin tendangan membuat Indah Sari terguling- guling. Tubuh gadis itu baru terhenti setelah meng- hempas sebatang pohon besar di belakangnya. Po- hon roboh menghantam pohon di belakangnya. Po- hon yang kena hantaman pohon di depannya juga ikut roboh. Sedikitnya tujuh pohon besar roboh ber- tumbangan secara susul menyusul.
"Hebat. Gadis itu mungkin turunan gajah. Semua pohon jadi roboh begitu terhantam dirinya. Sebentar lagi akan ada lapangan luas, tinggal men- cari bibit. Aku siap menanam apa saja di sini!" kata si kakek sambil angguk-anggukkan kepala.
"Setan penasaran. Kau lihatlah ke sini! Kelua- rkan senjatamu. Aku akan tunjukkan padamu satu jalan. Jalan di mana kau dapat melebur dirimu da- lam kobaran api yang membakar!" kata Indah Sari yang kini telah silangkan kedua tangannya di depan dada.
Setan Satu balas membentak. "Gadis bera- cun. Aku akan meremukkan sekujur tubuhmu. Dengan Pedang Tumbal Perawan akan kubuat tu- buhmu menjadi daging cincang."
"Walah suasana kini berubah seperti sebuah pasar. Segala daging cincang dibawa-bawa. Mengapa tidak disebut tukang jagalnya sekalian!" kata si ka- kek sambil cengengesan.
Setan Satu benar-benar dibakar amarah. Dia kemudian melepaskan pedang yang bersarang pada potongan lengan mayat seorang gadis yang pernah dijadikan tumbal pemuda itu. Seperti telah dicerita- kan dalam episode Iblis Penebus Dosa. Pedang Tum- bal Perawan di buat oleh Ki Ageng Pamanakan. Seo- rang kakek sakti ahli pembuat senjata dari perak yang berdiam di Kotagede. Sebelumnya senjata sakti itu dilumuri racun jahat bahkan oleh peciptanya sempat direndam dalam Kendi Selaksa Racun. Ke- hebatan senjata itu bertambah dahsyat lagi dengan dikorbankannya seorang gadis. Sehingga pedang itu kini menjadi senjata pembunuh handal yang bila te- lah keluar dari rangka yang berasal dari potongan tangan mayat gadis perawan tak dapat dikendalikan lagi. Kelebihan senjata lain senjata ini bila sampai menancap di tubuh lawan, maka akan menyedot habis darah korbannya. Hingga orang yang menjadi korban akan mati dalam keadaan tubuh kering lalu hangus baru kemudian luluh lantak sampai ketu- lang belulangnya.
Si Gendut Gentong Ketawa sendiri sebelum- nya tidak pernah melihat senjata seperti itu. Dia ju- ga sempat kerutkan keningnya begitu melihat rang- ka pedang yang terdiri dari potongan lengan manu- sia.
Tapi dia menyadari, di samping sangat bera- cun, senjata itu pastilah mengandung kekuatan ib- lis. Sehingga dia berkata sendiri. "Kehebatan pedang itu terletak pada daya bunuh sekaligus daya serang yang tidak ada duanya. Dari sini aku melihat senjata di tangan Setan Satu nampak bergetar dan seakan meronta dari genggaman tangan Setan Satu! Ingin kulihat apakah gadis beracun itu sanggup bertahan sampai sepuluh jurus?"
Apapun yang menjadi pertimbangan si gen- dut, yang jelas saat itu Setan Satu telah melabrak ke arah lawan dengan kecepatan luar biasa. Pedang di tangannya menyambar ganas mengambil sasaran di bagian pinggang, perut dada serta kepala Indah Sari Purnama.
Gadis itu berteriak keras. Tiba-tiba tubuhnya melesat ke udara hindari serangan pedang yang da- tangnya laksana badai disertai suara bergemuruh menggidikkan.
Ngung! Ngung! Wuuus!
Meskipun pedang maut dapat bergerak men- gejar lawan seolah memiliki nyawa dan mata, na- mun kecepatan si gadis dalam menghindari seran- gan lawan sungguh luar biasa. Malah dia dengan kegesitan serta kelincahan yang dia miliki sempat je- jakkan kakinya di bahu lawan. Ini merupakan suatu penghinaan dan pertanda jika Indah Sari mau tentu sejak tadi dia sudah dapat mencelakai lawan.
Mendapat perlakuan itu rupanya masih be- lum juga membuka mata si pemuda. Dia kemudian mengejar lawan yang terus melesat ke udara sampai pada batas ketinggian tertentu Indah Sari balikkan tubuhnya dengan kepala menghadap ke bawah, dua tangan bergerak menyambut serangan senjata lawan yang seharusnya menghantam kakinya.
Begitu tangan gadis itu terjulur, pedang tiba- tiba berbelok menghindari tangan sang dara, kemu- dian secara tak terduga pula menusuk bagian lam- bung gadis itu.
Indah Sari Purnama tidak mau mati konyol. Sambil memaki dia tarik balik tangannya yang ber- maksud mencekal badan pedang. Dia sudah mem- perhitungkan dirinya tak mungkin keracunan kare- na di dalam tubuhnya sendiri mengandung racun ganas dengan kekuatan tiga kali lipat dari racun yang terkandung pada senjata lawan.
Gagal mencapai niatnya gadis ini kemudian luncurkan diri, hingga diapun jejakkan kakinya di- atas tanah. Tanpa menunggu selagi Setan Satu me- lakukan hal yang sama dia lepaskan pukulan maut- nya.
Sinar biru disertai menebarnya kabut tipis menderu dahsyat ke udara. Setan Satu tercekat, laksana kilat dia putar senjata di tangan. Terdengar suara letupan tiga kali berturut-turut begitu pedang membentur pukulan beracun yang dilepaskan oleh sang dara. Tapi akibat tangkisan yang dilakukannya membuat posisi jatuh Setan Satu jadi miring. Sang dara tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Laksana elang menyambar tangannya bergerak ke arah kaki lawan.
Tep! Tep!
Begitu kaki Setan Satu kena dicekal oleh In- dah Sari. Si gadis segera memutar tangannya, hing- ga ketika tangan si gadis berputar, maka tubuh Se- tan Satu ikut pula berputar laksana kitiran. Pemuda itu menjerit panik, pedang dibacokkannya ke arah lawan. Tapi akibat terlalu cepat daya putar yang di- lakukan Indah Sari membuat babatan yang dilan- carkan Setan Satu tidak mengenai sasarannya. Puas membuat pusing kepala Setan Satu. Tiba-tiba sang dara lepaskan tangannya yang mencengkeram kaki lawan. Tak ayal lagi tubuh Setan Satu meluncur de- ras ke arah sebuah batu besar. Sambil pejamkan matanya yang berkunang-kunang, pemuda itu beru- saha melakukan gerakan begitu rupa agar dia dapat jatuh sesuai dengan yang dia inginkan. Tapi sayang, daya luncur tubuhnya demikian deras hingga di- apun jatuh dengan punggung terhempas menghan- tam batu.
Terdengar suara tulang belakang berderak pa- tah disertai jerit kesakitan. Pedang di tangan Setan Satu terpental tak dapat dipertahankan. Pedang me- layang di udara, kemudian jatuh menukik mencari sasaran di bagian ubun-ubun Indah Sari.
"Benar-benar senjata iblis!" rutuk sang dara, seraya melompat mundur sejauh tiga tombak. Pe- dangpun kemudian menancap di tempat mana dia berdiri tadi. Indah Sari tidak menunggu lebih lama. Dia segera memungut potongan tangan yang dijadikan rangka pedang. Setelah itu dia cabut pedang yang tertancap di tanah, kemudian cepat menyarungkan- nya sebelum pedang iblis memperlihatkan reak- sinya.
Indah Sari Purnama gantungkan pedang di pinggang kanan. Setelah itu dengan hati-hati dia hampiri Setan Satu yang menderita cidera berat di bagian punggung. Sejarak dua langkah dari pemuda itu tergeletak sang dara hentikan langkah. Dia pan- dangi Setan Satu sejenak, baru kemudian bibir ba- gusnya terbuka. "Jika kau tak melakukan pekerjaan yang tidak-tidak mungkin kau dapat melakukan tu- gasmu. Mungkin juga orang yang kau cari telah kau temukan. Sekarang aku sengaja tidak ingin membu- nuhmu, agar kau dapat merasakan penderitaan yang berkepanjangan. Aku juga berharap semoga orang yang kau cari menjumpaimu kau pasti tak bi- sa berbuat apa-apa. Bisa jadi begitu kau utarakan niatmu orang yang bernama Gentong Ketawa itu langsung membunuhmu! Hi hi hi!"
Setan Satu menggeram. Sambil meludah dia berteriak lantang. "Aku sudah kalah. Kalau kau mau membunuhku cepat lakukan!"
"Cuh, buat apa aku berletih diri membunuh setan tidak berdaya. Aku juga sekarang tengah men- gemban suatu tugas yang tidak ringan. Selamat tinggal sampai jumpa di akherat!" kata si gadis. Dis- ertai tawa tergelak gelak dia tinggalkan Setan Satu.
Pemuda berkulit aneh itu berteriak memang- gil. Tapi sampai suaranya serak orang yang dipanggil tidak pernah kembali. Di atas pohon Gentong Ketawa yang sengaja tidak melakukan sesuatu apapun sejak tadi kini kembali berkata.
"Gadis itu tak jelas murid siapa? Tapi dia mengatakan hendak melakukan suatu tugas yang tidak ringan. Perasaanku jadi tidak enak, mengapa tiba-tiba aku jadi teringat pada Angin Pesut. Ahk... sebaiknya kutanyai pemuda muka ular kadut itu dulu. Setelah itu baru kukejar gadis tadi" fikir si ka- kek.
8
Nenek bertubuh luar biasa berambut hitam lebat awut-awutan dan berpakaian biru lusuh men- dadak hentikan langkahnya. Dua telinga bergerak- gerak. Kemudian dia mendengus ketika mendengar suara langkah kaki datang dari arah berlawanan.
Tangannya diangkat sambil menoleh ke bela- kang. Pemuda gondrong bertelanjang dada dan ka- kek berpakaian serba putih yang mengikuti si nenek ketika melihat isyarat itu ikut pula hentikan lang- kah.
"Mengapa bekas kakak iparku berhenti?" tanya si kakek berhidung pesek berwajah polos yang berada di belakang si gondrong.
Si gondrong tidak langsung menjawab. Dia dongakkan wajahnya ke langit cuping hidungnya kembang kempis. Kemudian si gondrong tersenyum.
"Aku tahu, nenek itu hentikan langkah kare- na mendadak mencium bau pesing. Bukankah sejak meninggalkan rawa tadi kau belum lagi sempat me- nukar celanamu, Ki." kata si gondrong sambil me- nahan tawa.
"Aku tidak punya celana yang lain." menang- gapi si kakek sambil bersungut-sungut.
"Hem, mungkin inilah yang namanya selem- bar kering di badan."
"Ssstt, bekas kakak ipar melirik kemari, Gen- to. Kurasa dia bukan mencium bau pesing. Aku mendengar suara langkah orang menuju ke sini!" ujar kakek baju putih yang tiada lain adalah kakek Sateaki adik seperguruan Angin Pesut.
"Kalian bersembunyi!" kata si nenek yang otaknya mengalami gangguan itu sambil menunjuk- nunjuk ke arah gundukan batu besar di samping kanan mereka.
Tiga sosok tubuh berkelebat ke arah batu, kemudian lenyap dari pandangan. Tak berapa lama pepohonan besar yang terdapat di depan gundukan batu tersibak. Kemudian muncul satu sosok tubuh dengan tinggi hampir sama dengan pucuk pohon. Sosok yang baru muncul itu ternyata adalah seorang gadis cantik berbadan tinggi semampai berambut panjang. Gadis raksasa itu tidak datang sendiri. Dia bersama seorang kakek berpakaian dan berambut putih. Kakek berjanggut panjang ini tidak berjalan melainkan di dukung oleh gadis raksasa.
Melihat kehadiran gadis itu, baik Gento mau- pun Sateaki sama tekap mulut masing-masing. Se- lanjutnya Pendekar Sakti Tujuh Satu Gento Guyon maupun Sateaki dengan muka pucat dan kucurkan keringat dingin mereka berbisik.
"Celaka. Gadis yang kita intip tempo hari kini muncul di depan kita. Dia pasti masih memendam amarah pada kita. Tapi... siapa kakek yang berada dalam dekapannya itu?" tanya Sateaki.
Gento terdiam, dia memandang ke arah gadis raksasa berpakaian serba kuning itu. Mata si pemu- da berkedap kedip mencoba mengenali. Walau pun saat itu dia dilanda perasaan kaget setengah mati, demi melihat siapa kakek yang berada di dalam pondongan gadis raksasa Gento jadi menggerutu.
"Sialan... kakek berjanggut kambing itu ada- lah Tabib Setan sahabatku. Ah, bagaimana dia bisa akrab dengan anak raksasa ini? Beruntung benar kakek konyol itu. Dia duduk dekat dada. Pasti sese- kali dia sempat mengintip dan memandang keinda- han bukit. Tidurnya kujamin jadi nyenyak bersandar pada dada gadis raksasa tidak ubahnya tidur dika- sur empuk."
"Bisa saja kau bicara seenakmu. Jika teman- mu melihat kehadiranmu disini, urusan bisa jadi runyam." Gento melengak kaget. "Eh, apa maksud- mu Ki?"
"Apa kau lupa kalau telah membohongi kakak iparku. Bukankah kau mengatakan padanya bahwa dirimu ini adalah adiknya yang pernah hilang raib ditelan derasnya air Bengawan.!"
Seakan tersadar Gento tepuk keningnya sen- diri. "Gawat! Jika nenek ini tahu aku membohon- ginya dia bisa marah besar." kata Gento cemas.
"Bukan saja marah. Dia bisa membunuhmu. Ingat, nenek ini otaknya tidak waras gara-gara kehi- langan anak."
"Belalang kecil. Inikah gadis yang hendak kau sembuhkan? Dia cantik sekali, pantasnya dia men- jadi istrimu. Belalang Kecil, kau sangat pintar sekali dalam memilih pasangan hidup." memuji si nenek tanpa alihkan perhatiannya dari si gadis raksasa. "Be... betul kakak. Dialah sahabatku."
"Lalu siapa kakek bangkotan yang digendong- nya itu. Anaknya atau apa?"
"Kakek itu sahabatku. Dia biasa kupanggil Tabib Setan." sahut Gento gugup.
Si nenek yang mengenal Gento sebagai adik- nya yang tenggelam terseret air Bengawan Solo ter- tawa mengikik. "Ah, adik suaramu bergetar, apakah ini kau cemburu karena gadismu memeluk bandot tua? Kau tak usah takut. Serahkan kakek tak tahu diri itu padaku. Dengan mudah aku pasti dapat membunuhnya! Hik hik hiik."
"Ja.. jangan."
"Mengapa kau melarang.?" tanya si nenek he-
ran.
Dengan sikap serius Gento menjawab. "Dia
sudah tua, sering pula sakit-sakitan. Tidak kau bu- nuh sekalipun karena sudah tua lama-lama pasti mati sendiri."
"Tapi aku tidak suka bandot berjanggut itu menyandarinya kepalanya di...di.... hik hik hik. Enak betul dia !" si nenek terganggu ingatan tidak
teruskan ucapannya, sebaliknya malah tertawa mengikik.
"Biarkan saja kakak? Dia biasa menyandar- kan kepala di mana saja. Dulu juga dia sandarkan kepalanya di gunung, lalu gunungnya meletus. Aki- batnya kepala dan janggut jadi memutih!"
Pada waktu itu si gadis raksasa begitu men- dengar suara orang berbisik-bisik nampak layang- kan pandang ke segenap penjuru sudut. Kemudian dia melihat di balik batu mendekam tiga sosok tu- buh. Dua diantaranya dia kenal sebagai orang yang pernah berbuat usil mengintai dirinya selagi berada di dalam sungai.
"Tabib cebol, aku dapatkan orang iseng itu." kata si gadis raksasa yang bernama Anggagini.
Tabib Setan sendiri sejak tadi memang sudah melihat Gento bersama seorang nenek berpakaian biru lusuh berambut riap-riapan juga seorang kakek berpakaian putih yang tidak dikenalnya. Tapi karena dasar sang tabib orang tua yang suka iseng. Dengan sengaja dia malah rebahkan kepala ke dada si gadis yang besar. Mata dikedipkan ke arah Gento sedang- kan tangan dilambaikan.
"Jangan kau sakiti dia, Gini." jawab sang ta- bib lirih.
"Pemuda sahabatmu itu laki-laki mata keran- jang. Setelah mengintaiku kini dia malah bergabung dengan kakek cebol baju putih. Padahal kakek itu juga ikut berbuat iseng." dengus Anggagini. Gadis dengan tinggi hampir menyamai pucuk pepohonan ini melangkah maju. Dia kemudian berkata dengan suara keras. "Gondrong cebol sialan. Sekarang kau hendak lari kemana bersama kakek itu hah...?"
"Bocah edan. Akui saja perbuatanmu, lalu minta maaf. Segala urusan pasti beres!" kata Tabib Setan yang berada dalam dukungan si gadis raksasa menimpali.
Kalau ada orang yang merasa kaget menden- gar ucapan Tabib Setan dan gadis raksasa itu tentu- lah si nenek baju biru Srimbi. Sejenak lamanya si nenek sakti ingatan ini nampak bingung. Dia me- mandang ke arah Gento dan Sateaki silih berganti. Sebagaimana telah diceritakan dalam Episode "Ra- cun Darah" untuk mendapatkan racun penawar Pe- rubah Bentuk, Gento terpaksa membohongi si nenek dengan mengaku untuk menolong sahabatnya. Bu- kan hanya itu saja, Gento juga terpaksa berbohong dengan mengaku bahwa dirinya adalah si Belalang Kecil adik nenek sakit ingatan itu. Agaknya rasa he- ran di hati si nenek saat itu karena dia melihat anta- ra Gento dan gadis raksasa Anggagini nampaknya seperti asing satu sama lain. Tidak terlihat adanya kesan sebagaimana seorang bersahabat pada umumnya.
Mendadak sontak tanpa pernah terduga si nenek menyambar dan mencengkeram rambut gon- drong Pendekar Sakti Tujuh Satu. Setengah mengge- ram si nenek ajukan pertanyaan.
"Belalang Kecil. Mengapa gadis itu memanggil mu Gondrong Cebol sialan?" berkata begitu si nenek sakit ingatkan delikkan mata.
"Kakak... dia, dia memang begitu. Otaknya agak terganggu. Mungkin karena akibat pengaruh Racun Perubah Bentuk. Kalau saja kau melihat ayah ibunya keadaannya lebih parah lagi. Ayah ga- dis itu suka memelintir kumis sambil menari. Me- makai pakaian saja suka terbalik. Celana dijadikan baju-baju dijadikan celana. Sedangkan ibunya ma- lah suka tertawa-tawa sendiri." kata Gento berbo- hong. Walaupun takut, namun masih sempatnya dia tertawa dalam hati.
Sedangkan Sateaki sendiri dalam hati beru- cap. "Kau rasakan Pendekar Sakti Tujuh Satu. Ber- bohong untuk kebaikan memang tidak ada yang me- larang. Tapi jika kau berdusta pada nenek-nenek terganggu ingatan persoalannya akan jadi lain. Aku sih jelas tidak ikutan!"
Di depan Gento, mata si nenek nampak ber- kedap-kedip. Nampaknya dia mempercayai ucapan Gento. Walaupun begitu cekalannya pada rambut murid si gendut Gentong Ketawa ini bukan mengen- dur. Sebaliknya makin bertambah erat hingga mem- buat si pemuda meringis kesakitan.
Perasaan lega pemuda itu tak berlangsung lama, karena kemudian si nenek ajukan pertanyaan lagi. "Lalu kakek jenggot kambing itu mengapa me- manggilmu bocah edan?"
"Walah mati aku." rutuk Gento dalam hati. Tapi dasar pemuda itu memang selalu banyak akal. Meskipun bingung dia tetap berlaku tenang. Setelah berfikir sejenak diapun berkata. "Antara aku dengan dia sama saja. Aku sendiri sering memanggilnya Ta- bib Setan. Padahal dia tabib baik, bukan setan pula. Jangan persoalkan masalah itu kakak. Kita kemari bukan untuk berdebat. Ingat, kita bersaudara. Eng- kau kakakku, aku adikmu si Belalang Kecil."
"Hem, untuk sementara aku percaya uca- panmu. Tapi jika nanti terbukti kau bukan sanak bukan kadangku, kau pasti akan kubunuh!" dengus si nenek lalu lepaskan cengkeramannya pada ram- but Gento.
"Mampuslah kau, Pendekar Sakti Tujuh Sa- tu!" kata Sateaki dalam hati.
"Pemuda gondrong cebol, apakah kau sudah siap menerima hukuman?!" kembali terdengar suara bentakan Anggagini.
"Hukuman apa?" kakek Sateaki demi tak in- gin rahasia mereka terbongkar cepat menyahuti.
"Apakah kau tak ingin obat Penawar Racun Perubah Bentuk? Bersusah payah kami mencarikan obat penawar itu untuk keluargamu, sekarang apa- kah kau masih ingin meributkan persoalan yang se- pele?" tanya Sateaki.
Ucapan si kakek paling tidak dapat menutupi kebohongan Gento pada nenek Srimbi.
Gadis raksasa itu terdiam. Kening berkerut.
Lalu dia memandang Tabib Setan. Pada kakek itu dia berkata. "Tabib apakah ucapan kakek baju putih itu bisa dipercaya?"
"Mana aku dapat memastikan. Kalau bocah edan itu yang bicara aku jamin dia tidak berdusta. Aku mengenal dirinya sama seperti mengenal tela- pak tanganku sendiri." sahut Tabib Setan.
"Kau tanyakan pada pemuda cebol itu. Apa- kah ucapan temannya memang benar!"
Tabib Setan lakukan apa yang diminta oleh Anggagini. Sang Tabib lalu berteriak. "Bocah edan, apakah yang dikatakan kakek itu benar?"
"Dia tidak berdusta Tabib Setan sial!" sahut Gento tak kalah kerasnya.
9
Raksasa Anggagini pandangi tiga orang di ba- lik batu beberapa saat lamanya. Setelah itu dia ja- tuhkan Tabib Setan dari dukungannya. Si tabib la- kukan gerakan jungkir balik beberapa kali setelah itu jejakkan kakinya tak jauh dari batu besar. Pen- dekar Sakti 71 Gento Guyon, Sateaki dan nenek Srimbi berturut-turut keluar dari balik batu yang di- jadikan tempat bersembunyi. Gento kedipkan matanya pada sang tabib. La- lu dia mengisiki. "Bagaimana rasanya digendong ga- dis itu? Empuk ya? Hei tabib... kau jangan memang- gil namaku."
"Hah...apa maksudmu?"
"Untuk mendapatkan obat penawar racun Pe- rubah Bentuk aku terpaksa berbohong pada nenek sinting itu dengan mengaku sebagai adiknya. Nenek itu ingatannya agak terganggu akibat kehilangan anak dan terlalu lama larut dalam guncangan batin yang berat!"
"Pemuda cebol bernama Gento Guyon!" Se- rahkan obat penawar racun Perubah Bentuk pada- ku!" kata si gadis raksasa tiba-tiba.
"Ah, celaka, bagaimana dia bisa mengetahui namaku?" kata Gento tercekat.
"Aku yang memberitahu." sahut Tabib Setan. "Tabib Setan. Kau bisa membuat celaka kami
semua!"
Sementara itu nenek Srimbi begitu menden- gar Anggagini menyebut nama Gento Guyon jadi ce- lingukan. "Gento Guyon... siapa orang yang dimak- sudkan gadis itu?" tanyanya sambil layangkan pan- dang ke arah Gento dan Sateaki silih berganti. Ka- kek yang wajahnya mirip dengan guru Gento ini ce- pat tundukkan kepala sambil menahan nafas. Seba- liknya Gento jadi kebingungan. Masih beruntung Tabib Setan cepat menangkap adanya gelagat yang tidak baik ini. Sehingga dia berkata.
"Gento Guyon itu adalah nama lain adikmu. Dulu ketika aku bertemu dengannya dia mengata- kan nama Belalang Kecil adalah sebuah nama yang kurang bagus. Akhirnya aku yang memberinya na- ma Gento Guyon." menerangkan si kakek. Dalam hati dia memaki. "Sial betul. Aku terpaksa ikutan berbohong. Padahal yang memberi nama Gento ada- lah gurunya sendiri Gentong Ketawa."
"Aku mencium ada sesuatu yang tidak beres. Aku melihat adanya satu kebohongan. Ingat, jika ternyata nanti kuketahui kalian memang berbohong. Tidak satupun diantara kalian yang kubiarkan hi- dup. Dan untuk membuktikan benar tidaknya du- gaanku ini, satu-satunya cara adalah dengan meli- hat kubur Angin Pesut."
Pucatlah wajah Sateaki. Sebaliknya Tabib Se- tan nampak lebih tenang. Terkecuali Gento. Pemuda ini nampak gelisah. Dia sama sekali tidak menyang- ka kebohongan yang terpaksa dia lakukan ketika be- rada di tempat kediaman si nenek di pulau terapung yang terletak di tengah rawa kini malah berakibat buruk bagi dirinya.
Membayangkan betapa orang yang diha- dapinya adalah orang yang mengalami guncangan batin dan sakit ingatan, Gento merasa tengkuknya menjadi dingin laksana es.
"Aku tidak takutkan dia. Tapi aku harus me- nyadari dia orang yang terganggu ingatannya. Lagi- pula kurasa sampai sekarang dia masih memiliki pukulan Racun Perubah Bentuk. Jika dia sampai menghantamkan dengan pukulan itu, tubuhku bisa membesar seperti gadis raksasa itu. Kalau sudah begitu keuntunganku cuma satu. Aku bisa kawin dengan gadis cantik ini. Ruginya aku tak mungkin bisa memadu kasih dengan gadis biasa." fikir sang pendekar. Sekilas terbayang wajah Bidadari Biru. Gadis cantik yang tubuhnya sebening kristal. Lalu dia juga ingat pada Mutiara Pelangi alias Puteri Ku- pu-Kupu Putih. Kemudian muncul pula sosok Nyi Sekar Langit yang periang dan begitu bersemangat.
"Tidak... aku tak mau menjadi raksasa. Nenek ini tak boleh memukulku." Gento gelengkan kepala berulang kali.
"Kepalamu menggeleng, apakah ini berarti kau tak mau mengantarku melihat kubur Angin Pe- sut?" hardik si nenek.
Gento berjingkrak kaget, dia menelan ludah basahi tenggorokannya yang mendadak terasa ker- ing. Baru kemudian membuka mulut berucap.
"Kakak... aku mau saja. Tapi sahabatku Sa- teaki harus ikut denganku. Dia yang menjadi petun- juk jalan!"
Tak menyangka Gento masih juga melibatkan dirinya, si kakek berjingkrak kaget. "Pendekar edan ini mengapa masih saja menyeret diriku dalam pe- rangkap kesengsaraan. Semua ini gara-gara salah- nya sendiri. Kakang Angin Pesut yang masih segar bugar dikatakannya sudah meninggal. Bagaimana nanti jika bekas kakak ipar mengetahui kalau yang sebenarnya bekas suaminya masih hidup? Dia bisa marah besar, dia mungkin akan membunuhku." ka- ta Sateaki cemas.
"Baiklah, sahabatmu itu boleh ikut." "Bukankah dia juga adik iparmu?" goda si
pemuda.
Nenek itu delikkan matanya.
"Hanya bekas. Seperti halnya Angin Pesut, dia juga kuanggap sudah mati!" sahut si nenek sinis.
Gento berpaling pada Sateaki, baru kemudian berkata. "Ki, kau sudah mendengar. Kau dinyatakan sudah mati. Jadi sekarang yang gentayangan cuma bangkainya saja. Ha ha ha!"
Sateaki tidak menjawab, hanya mulutnya bersungut-sungut tidak senang.
"Hayo, sekarang tunggu apa lagi. Kita harus berangkat ke makam bekas suami keparat Angin Pe- sut." berkata begitu si nenek balikkan badan siap berkelebat pergi.
Namun Gento cepat berkata. "Kakak... apakah kau lupa. Kau sudah berjanji mau memberikan obat penawar Racun Perubah Bentuk itu pada sahabatku gadis raksasa." sergah Gento.
"Ah, kau betul. Aku sampai lupa. Obat pena- war tetap kuberikan. Tapi seperti yang kukatakan hanya tinggal dua butir. Ini berarti hanya dua yang dapat kutolong. Sedangkan yang lainnya harus rela menerima nasib, menjalani sisa hidup sebagai rak- sasa."
"Kakak, apakah kau tidak mau membuatnya lagi?" tanya Gento.
"Buat apa? Untuk menolong orang? Yang membuat mereka celaka bukan aku. Tapi Angin Pe- sut, silahkan saja minta dibuatkan obat penawarnya pada dia."
"Kakak ipar, kakang Angin Pesut tidak bisa membuat obat penawarnya. Lagipula seperti yang dikatakan sahabatku itu, Angin Pesut mati." ujar Sa- teaki.
"Siapa kakak iparmu. Jangan lagi kau me- nyebut aku kakak ipar. Aku bisa membunuhmu, kakek buduk. Hik hik hik." damprat si nenek lalu tertawa terkikik-kikik. Masih sambil tertawa dia me- lanjutkan ucapannya. "Ini obat yang kalian minta." Nenek Srimbi keluarkan sebuah tabung kecil terbuat dari bambu, tabung dibuka. Isinya dikeluarkan. Lalu diserahkannya pada Gento.
"Terima kasih kakak." kata Gento setelah me- nerima dua butir pil berwarna pekat pemberian si nenek. Kemudian Pendekar Sakti 71 Gento Guyon menghadap langsung ke arah Anggagini. Pada gadis raksasa itu, setelah menjura hormat dia berkata. "Harap kau sudi kiranya memaafkan aku. Kejadian di pinggir sungai itu semata-mata hanya ingin me- mastikan kau memang membutuhkan pertolongan. Sehingga aku dan kakek itu kemudian berusaha mencarikan obat untukmu!"
Selanjutnya Gento julurkan tangan serahkan obat penawar racun di tangannya pada Anggagini. Sejenak si gadis nampak ragu untuk menerimanya. Dia pandangi wajah tampan sang pendekar. Ma- tanya yang bening bercahaya berkedip. Hatinya ber- kata. "Ternyata setelah memandangnya dari jarak dekat dia cukup tampan juga. Aku yakin ilmunya ti- dak rendah. Tapi mengapa tingkah lakunya seperti orang kurang waras? Lalu siapa nenek yang dipang- gilnya kakak itu? Mungkinkah dia yang bernama Srimbi. Orang yang sering disebut ayah sebagai sa- tu-satunya orang yang dapat melenyapkan racun Perubah Bentuk. Kalau benar dugaanku, berarti pemuda ini telah mempertaruhkan nyawa menyebe- rangi Rawa Buaya untuk menemui nenek itu!" fikir sang dara.
"Anggagini, terimalah obat pemberian saha- batku!" kata Tabib Setan yang melihat gadis raksasa itu cuma melongo memandangi Gento seolah penuh rasa kagum. Anggagini tersipu, wajah cantiknya yang putih mulus berubah kemerahan. Dia ulurkan tangannya. Gento memberikan obat penawar Racun Perubah Bentuk pada si gadis.
"Terima kasih! Mengingat kau telah bersusah payah menemui nenek ini. Aku maafkan kesala- hanmu." kata si gadis.
"Aku pun begitu. Dan kuharap...!'
"Belalang Kecil. Aku tak punya waktu me- nunggu lebih lama. Sekarang juga kau dan kakek itu harus ikut denganku. Kalian harus tunjukkan dimana kubur Angin Pesut!"
"Tapi kakak...!" Gento mencoba mengulur waktu, karena dia sesungguhnya ingin ajukan bebe- rapa pertanyaan penting pada Tabib Setan. Salah satu diantaranya adalah, bagaimana pemuda raksa- sa itu melepas diri si kakek. Malah kemudian mem- beri izin pada sang tabib untuk pergi dengan adik- nya yang cantik.
"Tak ada tapi-tapian. Hayo ikut...!" teriak si nenek.
Mendadak sontak Gento merasakan ada an- gin dingin yang menyambarnya. Dilain saat tahu- tahu dirinya juga diri Sateaki sudah dibawa berlari dengan kecepatan laksana terbang.
Gadis cantik itu hendak melakukan pengeja- ran. Tapi niatnya urung karena Tabib Setan lang- sung mencegah. "Tak usah dikejar. Untuk sementara selesaikan saja urusan keluargamu sendiri."
"Apa maksudmu, kakek cebol?" tanya Angga-
gini.
Si kakek tersenyum, mengelus jenggotnya ba-
ru kemudian menjawab. "Aku tahu bagaimana pera- saanmu. Dulu aku pernah muda. Kau pasti tertarik pada pendekar edan tadi. Tapi dengan besar badan seperti sekarang ini mana mungkin kau bisa men- dekatinya."
Anggagini jadi tersipu mendengar ucapan sang tabib. Dengan suara pelan dia berkata. "Orang tua mulutmu terlalu usil. Lalu sekarang apa yang harus kulakukan?" tanya si gadis. Ucapan Tabib Se- tan tadi sama sekali tidak membuatnya marah. Ma- lah dia nampak tersenyum gembira.
"Itu persoalan gampang. Dua butir obat ada di tanganmu. Jika kau ingin kembali ke bentuk manu- sia yang normal, maka kau harus telan salah satu obat penawar racun itu."
"Jika kutelan satu, berarti ayah ibuku tidak kebagian. Padahal aku ingin melihat mereka beru- bah kembali seperti manusia biasa."
"Kau bisa memberikan sisanya pada mereka." usul sang tabib.
"Lalu kakangku Anggagana bagaimana?" Mendengar ucapan sang dara membuat Tabib Setan jadi bingung. "Hem, obat penawar racun itu hanya bisa menyembuhkan dua orang. Jika kau sayang ayah ibumu, berarti kau tetap dalam keadaan seper- ti ini selamanya. Nenek sakit ingatan itu jelas tak mau lagi membuat obat yang sama. Lalu jika kau dan kakangmu Anggagana yang menelan obat itu, maka kedua orang tuamu tetap menjadi raksasa se- lamanya."
"Bukankah sangat membingungkan?"
"Benar, aku juga dibuat bingung." sahut si kakek manggut-manggut.
Anggagini terdiam, berfikir sebentar. Baru kemudian berkata. "Sebaiknya kita kembali ke bukit. Kita temui dulu orang tua dan kakangku. Mereka yang memutuskan siapa yang patut memakan obat penawar racun ini." Si kakek keluarkan suara seper- ti tercekik.
"Kembali ke bukit?!" "Benar. Mengapa?"
"Aku tak mau, mereka bisa menghukumku!" jawab si kakek ketakutan.
Anggagini tertawa merdu. "Mengapa harus ta- kut. Kalau mereka sampai marah aku yang akan menjelaskan pada mereka!" ujar si gadis raksasa. Setelah sekian lama terombang-ambing dalam kera- guan, akhirnya Tabib Setan mengangguk setuju. Anggagini balikkan badan, lalu melangkah menuju ke arah bukit dengan diikuti Tabib Setan yang ter- paksa berlari-lari di belakangnya.
10
Iringan kereta tua yang ditarik dua ekor kuda itu kini memasuki kawasan hutan di perbatasan Ka- lasan. Sais kereta yang tiada lain adalah Tapa Gedek terus mencambuk kudanya hampir tiada henti. Ka- rena kedua kuda penarik kereta sudah cukup tua di samping sudah kelelahan pula, tentu saja cambukan yang dilakukan bertubi-tubi yang dilakukan Tapa Gedek tidak membuat kuda berlari kencang seba- gaimana yang dikehendaki si kakek. Malah tak jauh dari kerapatan pohon di tepi hutan Kalasan dua ku- da penarik kereta mendadak berhenti.
Si kakek gelengkan kepala. Matahari saat itu sudah condong di ufuk barat. Tapi suasana di ping- gir hutan dengan cepat sekali berubah gelap. Sua- sana hutan yang sunyi, serta kerapatan pepohonan yang menjulang tinggi menimbulkan kesan angker, membuat si kakek merasa tidak enak sekaligus geli- sah.
Tapa Gedek menoleh ke belakang. Di dalam kereta kuda dia melihat Dewa Kodok tidur bergelung membaur dengan tiga sosok mayat sahabat mereka.
"Datuk Lemah Hijau, Kertadilaga dan Ki Me- noreh sudah menjadi mayat. Mereka sudah almar- hum. Kalau menurut kata hatiku rasanya aku malas mengantar mayat-mayat itu sampai di pemakaman di tepi Kaliurang. Kitab gelombang Naga telah kuda- patkan kembali. Mestinya aku segera kembali ke gunung Lawu untuk mengembalikan kitab ini pada guru Ki Saran. Tapi... mungkin Dewa Kodok tak akan setuju dengan pendapatku ini." batin si kakek sambil gelengkan kepala. Setelah memperhatikan dua kuda penarik kereta beberapa jenak lamanya, kakek ini berkata. "Setidaknya kuda itu memerlukan waktu istirahat satu malam. Berarti perjalanan baru dapat dilanjutkan besok pagi. Padahal pinggiran hu- tan ini bukan pilihan tepat untuk istirahat. Apalagi konon sering kudengar hutan Kalasan adalah tem- pat angker. Banyak arwah penasaran berdiam di tempat ini." berkata begitu si kakek merasa menda- dak tengkuknya meremang berdiri. Dia makin geli- sah kalau tidak dapat dikata takut. Aneh memang orang seperti dirinya yang selama ini dikenal seperti seorang tokoh pemberani, kini tiba-tiba merasakan takut yang luar biasa.
"Dewa Kodok...!" Tapa Gedek memanggil sa- habatnya yang tidur di dalam kereta membaur den- gan tiga mayat hangus mengerikan dan sudah mulai menebar bau tak sedap pula.
Tak ada sahutan dari dalam kereta. Yang ter- dengar cuma suara dengkur Dewa Kodok. Mungkin tidurnya terlalu nyenyak, bisa jadi Dewa Kodok me- mang keletihan setelah tiga hari melakukan perjala- nan berkuda.
"Dewa Kodok. Nampaknya kita tidak bisa me- lanjutkan perjalanan. Dua kuda penarik kereta su- dah kelelahan. Dewa Kodok... bangun...!" seru si ka- kek dengan suara keras.
Dari dalam kereta terdengar suara gigi berge- meletukan, lalu ada suara mengerang. Selanjutnya terdengar pula suara orang menyahuti. "Kalau perja- lanan tak dapat diteruskan jangan dipaksa. Kau isti- rahat saja, sobat Tapa Gedek."
"Enak saja kau bicara. Sekarang ini kita be- rada di pinggir hutan. Bagaimana mungkin aku bisa istirahat?" kata Tapa Gedek ketus.
"Memejamkan mata apa susahnya. Kalau ma- ta sudah mengantuk tidak perduli berada di pinggir hutan atau di dalam comberan rasanya tetap sama saja seperti di surga!" sahut Dewa Kodok.
Tapa Gedek merasa geram sekali mendengar jawaban Dewa Kodok yang seenaknya. Apalagi seha- bis menjawab dia tidur lagi.
Tapa Gedek menarik nafas, lalu terdengar si tua mengeluh. "Apa untungnya punya sahabat se- perti dia. Sepanjang perjalanan kalau tidak me- nyanyi kerjanya tidur melulu. Mestinya kutinggalkan saja Dewa Kodok dan mayat-mayat itu. Selanjutnya aku bisa melanjutkan perjalanan ke gunung Lawu untuk menjumpai guruku!" fikir si kakek. Walau dia sudah memutuskan begitu, namun dia masih tetap duduk di tempatnya. Dia kemudian memandang ke arah kegelapan hutan. Entah men- gapa perasaannya makin tidak enak.
Selagi kakek ini terombang ambing dalam ke- raguan. Pada saat itu dia merasakan ada angin din- gin menyambar ke arahnya. Hembusan angin itu da- tang dari arah bagian belakang kereta kuda.
Terkejut, Tapa Gedek cepat putar kepala dan memandang sejurus ke belakang kereta. Dia tak me- lihat apa-apa, tapi secara aneh tengkuknya kembali merinding.
Kereta kemudian bergoyang perlahan. Dua kuda penarik kereta keluarkan ringkikan gelisah. Bersamaan dengan itu pula sayup-sayup di kejau- han terdengar suara lolong serigala. Si kakek makin tak tenang, dia mencoba mempertajam pendenga- rannya sedangkan dua mata di pentang lebar. Suara lolong serigala mendadak lenyap. Suasana sunyi se- ketika. Kesunyian yang begitu mencekam, membuat si kakek merasa tak betah berada di tempat itu lebih lama.
"Dewa Kodok. Bangunlah, aku perlu bicara denganmu. Kalau kau tak mau bangun aku segera tinggalkan tempat ini. Silahkan kau melewatkan ma- lam bersama mayat-mayat para sahabat kita!" kata si kakek.
Beberapa saat si kakek menunggu. Suaranya yang perlahan kemudian lenyap. Angin dingin ber- hembus membuat dedaunan saling bergesekan me- nimbulkan suara aneh di telinga Tapa Gedek bagai alunan senandung setan di neraka.
"Mengapa perasaanku jadi begini? Aku mera- sa seperti sedang diawasi oleh sang maut. Akh... Dewa Kodok sungguh keterlaluan. Dia sengaja hen- dak mempermainkan aku rupanya. Suara dengkur- nya tidak lagi kudengar. Lalu apa yang dilakukan- nya di dalam kereta itu?" fikir si kakek.
Di tengah kesunyian yang amat mencekam mendadak Tapa Gedek dikejutkan oleh suara lolong serigala. Yang membuat orang tua ini cepat memu- tar tubuhnya hingga menghadap ke arah kereta, su- ara raungan serigala yang didengarnya tadi bukan dari dalam hutan. Tapi terasa begitu dekat seolah berasal dari dalam keretanya sendiri.
Menyangka sahabatnya Dewa Kodok yang punya ulah dengan perasaan jengkel Tapa Gedek berteriak. "Dewa Kodok. Kau jangan menakut-na- kuti aku. Aku telah memutuskan untuk meninggal- kan mayat dan kereta kuda ini disini. Jika kau mau membawa mayat mereka ke Kaliurang aku berterima kasih. Terus-terang aku hendak pergi ke gunung Lawu untuk menemui guruku sekaligus menyerah- kan kitab Ilmu Gelombang Naga ini pada beliau!"
Sebagai jawaban, kereta kuda bergoyang. Lalu pintu belakang kereta itu terbuka. Pintunya yang sudah tua mengeluarkan suara berkeretakan. Ke- mudian dari dalam kereta melesat satu sosok tubuh disertai menyemburnya cairan merah. Sosok itu me- lewati bagian atap kereta lalu jatuh bergedebukan tepat di atas pangkuan Tapa Gedek.
Rasa kaget melihat pintu belakang kereta yang terbuka saja belum lagi lenyap. Kini si kakek dikejutkan lagi dengan jatuhnya satu sosok tubuh gemuk pendek berperut besar ke atas pangkuannya. Dengan mata terbelalak dan mulut keluarkan peki- kan tertahan Tapa Gedek memandang ke pangkuan. Kakek berpakaian hitam ini begitu mengenali orang yang jatuh di atas pangkuannya langsung menjerit.
"Dewa Kodok...huah...huaaah...huaaah...Apa yang terjadi dengan dirimu sobatku. Siapa yang te- lah membunuhmu dengan cara begini keji!" tanya si kakek, setengah meraung dan meratap. Dia pandan- gi Dewa Kodok yang telah menjadi mayat. Mata ka- kek berperut seperti kodok itu mendelik besar, mu- lut ternganga, lidah terjulur. Darah mengalir dari sudut mata, hidung, mulut juga telinga. Ketika ka- kek itu memeriksa bagian dada dan perut sahabat- nya. Orang tua ini merasa semangatnya melayang, wajah pucat kucurkan keringat dingin.
Bagian dada serta perut Dewa Kodok tidak la- gi utuh. Dadanya robek besar. Paru-paru mencuat keluar, jantung lenyap entah kemana sedangkan pe- rutnya terkoyak, isi perut berbusaian keluar ber- campur darah yang masih menetes. Tak tahan si kakek melihat kekejian yang terjadi pada Dewa Ko- dok mendadak dia menjerit, menjerit lagi dan lagi. Sampai akhirnya dia terhenyak lemas. Lututnya goyah, sosok Dewa Kodok jatuh menggelinding dan terhempas di bawah kereta kuda.
Beberapa saat lamanya Tapa Gedek tak mampu bergerak juga tak kuasa bicara. Tapi begitu ingat dengan luka-luka mengerikan itu si kakek ti- ba-tiba melompat dari atas tempat duduk kusir. La- lu dengan mata nyalang dia perhatikan kereta kuda yang pintu belakangnya telah menutup kembali.
Dengan suara lantang kakek ini berteriak. "Pembunuh keparat. Apa salah dosa sahabatku De- wa Kodok. Mengapa kau membunuhnya secara keji. Keluarlah kau dari dalam kereta. Katakan siapa di- rimu dan apa pula maumu?"
Sebelumnya si kakek sempat mendengar sua- ra lolong serigala dari dalam kereta kuda. Kini dia beranggapan tentu orang yang membunuh Dewa Kodok pastilah serigala. Cabikan pada dada dan pe- rut Dewa Kodok jelas akibat hunjaman kuku-kuku yang tajam runcing makhluk yang keluarkan suara lolongan tadi. Dan kakek itu rasanya tak perlu me- nunggu lebih lama, karena beberapa saat kemudian dari dalam kereta terlihat ada kabut biru meresap keluar dari setiap celah sudut kereta. Kabut itu ber- gulung-gulung di udara, kemudian lenyap setelah sampai pada ketinggian tertentu. Bersamaan dengan lenyapnya sang kabut dari dalam kereta terdengar suara lolong panjang.
Lalu Tapa Gedek mengendus adanya bau bu- suknya bangkai.
"Asap keluar dari dalam kereta, mungkinkah tiga mayat di kereta itu bangkit. Hidup kembali?!" membatin Tapa Gedek. Kepala digelengkan, dia mencoba membantah pikirannya sendiri. "Orang yang sudah mati mana mungkin dapat hidup kem- bali. Namun ketika dia ingat dengan Kitab Hitam Pembangkit Mayat milik Kertadilaga. Bukan musta- hil apa yang diragukannya dapat terjadi.
Selagi si kakek berdebat dengan jalan fikiran- nya sendiri, suara lolongan kembali terdengar. Lalu dari dalam kereta mendadak terdengar suara benta- kan. "Kudengar kau tadi mengatakan apa salah dosa sahabatmu Dewa Kodok, bukankah begitu. Kau dengar baik-baik, Tapa Gedek... yang salah bukan hanya Dewa Kodok. Sebaliknya kau juga ikut mela- kukan satu kesalahan besar yang tak mungkin da- pat kumaafkan. Hik hik hik. Ha ha ha!"
Tapa Gedek sempat tercekat, namun setelah menenangkan hati dan menebalkan segenap seman- gat yang sempat tercerai berai akibat teror kematian Dewa Kodok akhirnya dia berkata. "Kau siapa? Jika aku melakukan kesalahan, kesalahan apa yang te- lah kuperbuat?" tanya Tapa Gedek.
Satu lolongan kembali terdengar sebelum ak- hirnya terdengar jawaban. "Kesalahannya adalah dengan membiarkan Angin Pesut tetap hidup. Kau tidak turun tangan ikut serta menyerangnya ketika tiga sahabatmu bertekat menghabisi Iblis Tujuh Ru- pa Delapan Bayangan."
"Kau siapa? Apa hubunganmu dengan Angin Pesut?" tanya Tapa Gedek.
"Apa hubunganku dengan keparat itu kau tak usah tahu. Untuk tidak membuatmu mati pena- saran ketahuilah aku adalah Si Tembang Kematian, aku juga dikenal sebagai Bayangan Maut!" mene- rangkan suara dari dalam kereta.
Tercekatlah Tapa Gedek mendengar ucapan orang. Bayangan Maut adalah momok paling mena- kutkan yang pernah menggegerkan dunia persilatan belum lama berselang. Beberapa purnama terakhir Tapa Gedek sering mendengar keganasan Bayangan Maut yang melakukan pembantaian terhadap kor- ban-korbannya tanpa memandang bulu. Pembunu- han yang dilakukannya tanpa sebab-sebab yang je- las. Biasanya korban yang tewas darahnya lenyap, tubuh kering penuh cabikan luka. Tapi sejauh ini Tapa Gedek tak melihat apa hubungan Bayangan Maut dengan Angin Pesut. Mendengar ucapannya tadi jelas dia sangat membenci Angin Pesut.
11
Untuk sekian lamanya suasana di tepi hutan Kalasan diselimuti kesunyian. Tapa Gedek meng- hembuskan nafas sekedar mengusir ketegangan yang merayapi perasaannya. Tapi kemudian dia ber- kata. "Bayangan Maut, kedatanganku ke selatan Ko- tagede bukan untuk melenyapkan jiwa orang lain karena aku bukan malaikat maut. Aku datang kesa- na untuk mengambil kitab ilmu Gelombang Naga yang telah dicuri oleh Angin Pesut belasan tahun yang silam. Karena kakek itu bersedia mengembali- kan kitab yang kuminta bahkan kulihat dia juga menunjukkan tanda-tanda telah bertobat, perlu apa aku membunuh orang seperti itu?" ucap si kakek.
Dari dalam kereta kuda terdengar suara lo- longan disertai gerengan marah. Lalu bayangan Maut memaki. "Tua bangka pengecut. Yang kulihat saat itu bukan rasa belas kasihan pada Angin Pesut. Justeru yang kulihat ketika itu adalah suatu bentuk kepengecutan. Kau sama sekali tidak punya nyali menghadapi laki-laki itu. Disaat kawan-kawanmu menghadapi bahaya besar, kau dan Dewa Kodok malah berdiri menonton. Malah kau kemudian ber- sikap seolah memberi maaf Angin Pesut. Jahanam... untuk segala ketidak perdulianmu itu aku akan membuatmu mati penasaran!"
"Boleh saja kau bicara begitu. Tapi sebelum- nya rasakan dulu pukulanku!" teriak Tapa Gedek. Kakek itu selanjutnya acungkan jemari tangannya ke depan tepat di bagian kereta kuda. Begitu tangan tertuju lurus ke arah kereta kuda itu. Mendadak sontak kereta berderak, lalu hancur berkeping- keping disertai suara ledakan berdentum.
Tiga mayat terpelanting dikobari api. Puing- puing menyala bertaburan di udara. Lalu terdengar seruan kaget. "Pukulan Tanpa Ujud?!"
"Ha ha ha! Jika sudah tahu sebaiknya cepat menyingkir dan tinggalkan tempat ini!" hardik Tapa Gedek.
"Tapa Gedek, jangan cepat berpuas diri. Eng- kau mengira pukulanmu sanggup menyentuhku. Li- hatlah kemari, aku di sini berdiri tak jauh dari bela- kangmu!" kata Bayangan Maut.
Tapa Gedek laksana kilat segera balikkan ba- dan, lalu memandang ke jurusan mana suara tadi didengarnya. Kakek itu tersurut mundur dua lang- kah begitu melihat tiga langkah di depannya berdiri tegak sosok seorang perempuan tua bertubuh bung- kuk berpakaian serba hitam diselimuti kabut putih berdiri tegak dengan wajah dingin serta tatap ma- tanya yang sangat angker. Tak percaya dengan pen- glihatannya sendiri Tapa Gedek menyeka matanya berulang-ulang. Mata Tapa Gedek mendelik besar. Sosok wajah angker itu kini sama sekali telah beru- bah. Yang dilihat kakek itu bukan lagi seraut wajah seorang perempuan, tapi sebentuk wajah serigala.
"Bagaimana mungkin. Mustahil sekali. Yang kulihat tadi jelas sosok seorang nenek rentah berwa- jah angker berkulit hitam. Tapi mengapa kini tiba- tiba berubah menjadi serigala?"
Tapa Gedek gelengkan kepala, matanya men- gerjap lalu kembali memandang ke depannya. Kem- bali kakek itu dibuat tercengang. Sosok serigala yang baru dilihatnya sebentar tadi sekarang telah kembali menjadi sosok seorang nenek tua sebagai- mana yang pertama tadi dilihatnya! Begitulah sosok yang diselimuti kabut itu terus berubah silih bergan- ti tiada putus-putusnya.
"Kau... kau bukan manusia, tapi makhluk se- rigala jejadian?!" desis Tapa Gedek. Saat itu dia siap menghantam sosok di depannya dengan pukulan Delapan Tinju Mabuk.
Makhluk berujud setengah manusia setengah serigala itu keluarkan suara lolongan yang kemu- dian disusul dengan tawa bergema. Sambil berdiri berkacak pinggang begitu tawanya lenyap dia berka- ta.
"Apapun dan siapapun diriku ini tidak menja- di soalan. Yang jelas saat ini juga aku akan meng- habisi manusia pengecut sepertimu!"
"Hem, begitu. Sebelum kau membunuhku, aku yang akan menghabisimu lebih dulu!" kata si kakek.
Lalu sambil berkata begitu dia menghantam Bayangan Maut dengan pukulan Delapan Tinju Ma- buk yang telah disiapkannya sejak tadi. Terhuyung kakek ini segera hantamkan kedua tangan yang ter- kepal delapan kali berturut-turut. Hantaman perta- ma mengincar sasaran di kedua kaki lawan, hanta- man ke dua mengarah pada bagian perut dan han- taman ketiga melesat ke bagian kepala. Untuk dike- tahui, biasanya benda atau makhluk apapun yang terkena pukulan ini pasti akan hancur berkeping- keping.
Sementara itu si nenek yang selalu berganti- ganti rupa nampak tertawa mengekeh begitu melihat Delapan Tinju Mabuk yang disertai menyambarnya sinar putih menghantam tiga bagian tubuhnya seka- ligus.
"Hanya Delapan Tinju Mabuk siapa yang ta- kut!" dengus si nenek. Lalu seakan tidak menghi- raukan keselamatan dirinya Bayangan Maut berdiri berkacak pinggang. Dibiarkannya Tiga bagian tu- buhnya menjadi sasaran lawan. Sedangkan si kakek sendiri terkejut tak menyangka lawan mengenali nama pukulan yang dilancarkannya.
Delapan Tinju Mabuk tak pelak lagi menghan- tam tiga bagian tubuh Bayangan Maut. Delapan le- dakan keras terjadi berturut-turut membuat sosok si nenek bergetar hebat. Lalu ujudnya lenyap diselimu- ti kabut tebal yang secara aneh bermunculan dari sekujur tubuhnya.
Tapa Gedek pentang matanya lebar-lebar, mencoba menembus kepekatan kabut tapi gagal. Dia pun akhirnya tingkatkan kewaspadaannya sambil menjaga segala kemungkinan yang tidak terduga.
Kabut tebal kemudian lenyap. Secara perla- han pemandangan menjadi terang kembali. Di depan sana Bayangan Maut masih tegak di tempatnya tan- pa kekurangan sesuatu apa.
Kaget di hati si kakek bukan kepalang.
Sepasang matanya mendelik besar mulut ternganga memandang lawan dengan tatapan penuh rasa tak percaya. Bayangan Maut melolong panjang disertai tawa panjang dingin menggidikkan. "Masih adakah pukulan lainnya yang kau miliki, Tapa Ge- dek. Keluarkanlah seluruhnya selagi masih ada ke- sempatan!" seru si nenek yang wajahnya terus saja berubah-ubah tak berkeputusan.
"Kuyakini kau pasti bukan manusia. Tapi iblis jejadian!" dengus Tapa Gedek. Saat itu dia melihat sosok Bayangan Maut mulai gerakkan kakinya me- langkah tindak demi tindak mendekati si kakek.
Tapa Gedek tidak tinggal diam. Dia hantam- kan tangan kirinya yang berisi pukulan Delapan Tin- ju Mabuk juga hantamkan tangan kanannya dengan menggunakan pukulan Tanpa Ujud.
Begitu dua tangan digerakkan ke depan men- dadak sontak terdengar suara deru angin dingin. Dari tangan kiri terlihat lima bayangan tinju men- gandung hawa panas disertai berkiblatnya sinar pu- tih menyilaukan mata.
Buum! Slassh...!
Hantaman dua pukulan berbeda yang mende- ra sekujur tubuh Bayangan Maut membuat tubuh nenek itu luluh lantak. Walaupun begitu secara aneh langsung melesat di udara kemudian berdiri tegak di atas sebuah cabang pohon. Memandang pa- da Tapa Gedek yang kembali dibuat tercengang, Bayangan Maut umbar tawa bergelak.
"Tapa Gedek. Kini saatnya bagimu untuk me- nerima seranganku. Sepuluh kuku jari tangan ini akan mencabik tubuhmu. Mulutku yang bertaring ini siap pula menyedot dan menghisap habis darah- mu. Tapa Gedek bersiaplah untuk mati!" berkata be- gitu seolah memiliki sayap Bayangan Maut dengan dua tangan terpentang lebar meluncur deras ke arah si kakek. Bukan main cepat gerakan Bayangan Maut. Hanya dalam waktu tak sampai sekedipan mata saja sepuluh jari tangannya yang berkuku ta- jam berwarna hitam pekat menyambar leher dan wa- jah Tapa Gedek.
Kakek tua itu terkejut setengah mati. Namun dengan gerakan aneh dan mustahil dapat dilakukan oleh seorang jago silat biasa dia sudah liukkan tu- buhnya ke belakang sambil berjumpalitan sela- matkan diri dan Tapa Gedek masih sempatnya le- paskan tendangan keras ke perut lawan.
Dess!
Tendangan itu tidak berakibat apapun bagi Bayangan Maut. Dia tetap berdiri tegak tak bergem- ing. Sebaliknya Tapa Gedek yang sudah berhasil se- lamatkan diri diam-diam dibuat heran. Tendangan yang dilakukannya tadi jelas mengenai perut lawan. Tapi ada satu hal yang dirasakannya aneh. Meski- pun tendangan tadi mengenai perut, tapi si kakek tidak ubahnya seperti menghantam angin.
"Mungkinkah dia bukan manusia sungguhan. Tubuhnya sangat lembut seperti kapas. Tendangan- ku tidak berakibat apa-apa, begitu juga dengan pu- kulan yang kulakukan. Sekarang apa dayaku...?!" Tapa Gedek membatin dalam hati.
"Ha ha ha. Tapa Gedek, jika maut sudah da- tang menjemput. Kemana badan hendak bersem- bunyi lindungi nyawa? Begitu banyak orang yang takut pada datangnya ajal, tapi jika akhir batas ke- hidupan telah sampai tak seorangpun yang mampu menundanya walau barang sedetik. Kakek tua, aku yang meminta. Serahkan nyawamu sekarang juga!" berkata begitu dengan kecepatan laksana angin ber- hembus Bayangan Maut menyerbu ke depan. Karena ujudnya merupakan sosok yang tidak wajar, hanya dalam waktu sekejap dia telah sampai pada sasaran yang dituju. Tapa Gedek yang sadar dengan keheba- tan yang dimiliki lawan tidak tinggal diam. Diapun melepaskan pukulan Tiga Topan Menggulung Bumi.
Akibatnya sungguh luar biasa. Deru angin laksana topan melesat dari telapak tangan si kakek. Membuat Bayangan Maut tersapu mental, dua kuda penarik kereta terpelanting ke udara melesat dan ja- tuh entah kemana. Tidak hanya sampai disitu saja, pohon-pohon besar yang dilanda pukulan Tapa Ge- dek berpelantingan tercabut sampai ke akar-akarnya lalu melayang di udara kemudian jatuh di kejauhan suara menggemuruh berkerosakan.
Sadar lawan sulit ditandingi, begitu melihat Bayangan Maut jatuh berguling-guling, Tapa Gedek segera balikkan tubuhnya. Kemudian tanpa menoleh lagi dia langsung berkelebat tinggalkan lawannya.
Ketika Bayangan Maut bangkit berdiri dengan tubuh tergontai-gantai dia tak melihat lawan masih berada di tempatnya. Tapa Gedek yang sebelumnya tak pernah dia duga memiliki ilmu setinggi itu sudah lenyap seperti ditelan bumi.
"Kurang ajar. Tua bangka itu tak seharusnya lolos dari tanganku. Baru kali ini Bayangan Maut merasa kecolongan, gagal membunuh lawannya." ge- rutu si nenek.
Masih kurang yakin lawannya benar-benar sanggup meloloskan diri, Bayangan Maut mengo- brak-abrik tempat di sekitarnya. Tapa Gedek yang dia cari, si kakek yang dia inginkan nyawanya ter- nyata tak ditemukan.
"Tua bangka itu memang berilmu tinggi. Sayang urusanku tak bisa ditunda, aku harus ikut menyaksikan pertempuran hidup matinya orang yang memiliki ikatan darah. Kejadian yang telah ku- susun puluhan tahun itu tidak boleh gagal. Aku in- gin melihat kematian Angin Pesut. Aku ingin dia ma- ti di tangan darah dagingnya sendiri!" kata Bayan- gan Maut. Lalu tak lama kemudian sosok yang sela- lu berubah-ubah ini dongakkan wajahnya ke langit. Langit mulai gelap, si nenek keluarkan suara tawa dan lolongan silih berganti. Setelah itu secara perla- han sosoknya pun diselimuti kabut, kemudian ka- but membubung tinggi lalu lenyap di udara. Bersa- ma lenyapnya kabut itu, maka sosok si nenek hilang raib tak berbekas.
Angin dingin berhembus dan kegelapan me- nyelimuti alam sekitar. Seiring dengan bergantinya suasana maka serangga malam mulai bermunculan menyanyikan senandung pilu menyedihkan.
12
Si gendut Gentong Ketawa ini melompat turun dari ketinggian pohon yang tadi dijadikan tempat bersembunyi. Setelah gadis beracun bernama Indah Sari Purnama pergi meninggalkan Setan Satu, si gendut segera menghampiri Setan Satu yang dalam keadaan terkapar, tulang pinggang remuk dan nafas megap-megap.
Begitu mendengar suara langkah kaki, Setan Satu sekaligus merupakan murid Si Pengemis Nya- wa dengan tubuh lemah Setan Satu berusaha pa- lingkan kepala memandang ke arah orang yang da- tang.
Karena pemandangan matanya agak menga- bur di samping kepalanya mendenyut sakit, Setan Satu tak dapat melihat orang yang datang secara je- las. Barulah setelah orang itu bergerak mendekati dan berdiri tegak dekat kepalanya dia melihat satu sosok gendut besar luar biasa. Sosok seorang kakek berhidung pesek berpipi tembem. Bibirnya selalu tersenyum riang ceria.
Setan Satu kerutkan keningnya, otak berusa- ha keras untuk mengingat sekaligus mengenali siapa adanya kakek ini. Setelah agak lama, barulah inga- tan dan jalan pikirannya seolah terbuka.
Diapun tercekat dan jadi merutuk dalam hati. "Kakek ini, bukankah dia Gentong Ketawa
yang oleh Empu Barada Sukma aku diperintahkan untuk meringkusnya hidup atau mati?! Sialan! Men- gapa dia muncul di saat diriku berada dalam kea- daan seperti ini?" kata Setan Satu. Kemudian dia berkata lagi. "Mudah-mudahan dia tidak tahu siapa adanya diriku ini. Dia bisa menghabisiku jika sam- pai tahu aku adalah orang yang diutus Empu Bara- da untuk menangkapnya!"
Setan Satu pejamkan matanya. Dia menge- rang tak berkeputusan. Si kakek yang tadinya me- nyaksikan apa yang terjadi di tempat itu tersenyum sambil elus-elus janggutnya yang cuma beberapa lembar. Kemudian dengan ramah dan setengah ber- gurau dia ajukan pertanyaan. "Anak muda apa se- benarnya yang telah terjadi dengan dirimu. Aku me- lihat kau sangat menderita sekali! Kalau saja ada yang dapat kulakukan untuk meringankan beban penderitaanmu...!" Setan Satu buka matanya. Dia pandangi Gentong Ketawa. "Seandainya saja aku dapat minta tolong kepadanya. Begitu sembuh den- gan mudah aku pasti dapat meringkusnya." fikir pemuda itu. "Orang tua, seseorang telah mencede- raiku begini rupa. Tulang punggungku berpatahan. Kalau boleh aku meminta, tolonglah aku." kata si pemuda.
Si kakek bersungut-sungut, pura-pura meme- riksa lalu berkata dengan nada prihatin. "Ah kasi- han sekali. Engkau ini pemuda aneh, wajahmu ber- sisik tangan juga bersisik sampai sebatas siku. Se- belum aku menolong dapatkah kau mengatakan pa- daku, dirimu ini turunan manusia atau ular?"
"Herh...herr...!" Setan Satu keluarkan suara erangan. Dengan nafas megap-megap dia menjawab. "Kakek gendut, aku... aku turunan manusia. Ibuku manusia, ayahku ular. Aku... aku sudah tak sang- gup lagi."
"Melihat keadaanmu rasanya aku tak sang- gup menolongmu. Kau mengatakan tulang pung- gungmu patah. Sayang aku bukan dukun patah tu- lang. Bagaimana jika kusambung tulangmu yang pa- tah dengan bambu?" tanya si kakek.
Setan Satu tentu saja jadi melengak menden- gar ucapan Gentong Ketawa.
"Kek... kakek apa maksudmu?" tanya si pe- muda. Dia nampak gugup juga panik.
Si gendut umbar tawanya sampai perutnya yang besar bergoyang-goyang. Tak lama kemudian begitu tawanya terhenti dia berkata." Maksudku? Ah masa' kau tidak tahu. Bukankah kau mengaku ber- gelar Setan Satu? Bukankah kau tengah mencari seorang buronan bernama Gentong Ketawa?" sindir si kakek. Pucatlah wajah Setan Satu. "Kk... kau... apakah kau yang bernama Gentong Ketawa?" tanya Setan Satu dengan suara tercekat.
"Ha ha ha. Benar... akulah Gentong Ketawa. Kakek tolol yang kau sebut-sebut sebagai buronan."
"Ah...!" Setan Satu keluarkan keluhan terta-
han.
"Mengapa? Kau kaget? Kudengar kau menga-
takan dirimu ini adalah utusan Empu Barada Suk- ma. Apakah betul?"
"Kakek gendut, memang aku utusan Empu itu." kata si pemuda berterus-terang.
"Bagus. Jika begitu aku ingin ajukan perta- nyaan, apakah kau tahu silang sengketa apa yang terjadi antara diriku dengan Empu itu?" tanya si ka- kek.
"Menurut Empu Barada, kau adalah manusia paling keji yang pernah membuat sengsara pendu- duk sekadipaten." kata Setan Satu.
Mendengar kata-kata yang diucapkan pemu- da itu, meledaklah tawa si kakek.
"Benar rupanya kata orang, lidah tidak bertu- lang. Dengan mudahnya orang memutar balik fakta dan kenyataan. Empu Barada Sukma, jika umurku panjang akan kucari dirimu, lalu kupotong lidahmu. Kau jelas-jelas berusaha menutupi kesalahanmu sendiri." ujar si kakek sambil menahan kegeraman- nya.
"Setan Satu. Ketika silang sengketa itu terjadi mungkin kau masih berupa air. Kau tak tahu keja- dian yang sesungguhnya. Sebenarnya aku ingin me- lampiaskan kekesalan hatiku padamu. Tapi mengin- gat cidera berat yang kau alami, aku masih mau memberi maaf. Silakan kau kembali, temui Empu keparat itu, katakan padanya jika dia ingin membu- nuhku silakan suruh dia datang sendiri menemui- ku!"
"Orang tua, tak mungkin...!" ujar Setan Satu. "Mengapa tak mungkin??" tanya si kakek. "Bukankah aku telah memberimu kesempa-
tan hidup?"
"Aku tidak mungkin kembali berhampa tan- gan!" kata pemuda itu.
"Kurang ajar keparat. Membawa diri sendiri kau belum tentu sanggup, konon kau berniat mem- bawa diriku. Dengan apa diriku hendak kau bawa? Dengan berkuda atau dengan kau dukung di pung- gungmu yang patah?!"
"Kakek gendut kau...?" Setan Satu belalakan matanya.
"Ya, aku menyerahkan diri padamu agar ha- timu menjadi puas. Sekarang kau bangkitlah, bawa aku kehadapan Empu Barada Sukma!" seru si Gen- tong Ketawa.
Setan Satu sangat gembira sekali. Seakan lu- pa dengan cidera yang dialaminya dia mencoba bangkit. Namun tiba-tiba dia teringat sesuatu. Da- lam keadaan menderita sakit begitu rupa mana mungkin baginya dapat membawa si gendut.
"Kurasa lebih baik kuhabisi saja dia di tempat ini agar aku tak repot membawanya kehadapan Em- pu Barada Sukma!" berfikir begitu Setan Satu diam- diam mengambil senjata rahasianya berupa seekor ular berwarna kuning. Ular sebesar kelingking ini kemudian disambitkannya ke arah si gendut. Meli- hat ini si kakek tentu saja terkejut bukan main. Dengan cepat dia kibaskan tangannya ke arah ular yang setiap gigitannya mengandung racun memati- kan itu.
Angin keras yang melesat dari telapak tangan si kakek membuat senjata rahasia yang disam- bitkan Setan Satu berbalik.
Setan Satu tercekat begitu melihat senjata rahasianya melesat kembali ke arahnya dengan ke- cepatan berlipat ganda. Tanpa sempat mengelak lagi ular kuning itu menghantam dada, tembus ke jan- tung. Setan Satu melolong panjang, tubuhnya menggelepar. Dalam waktu singkat seluruh badan- nya berubah membiru dan dia tewas detik itu juga.
"Kurang ajar, dikasih hidup malah hendak merampas nyawa orang!" dengus si gendut.
"Sebaiknya kususul saja gadis tadi!" kata si kakek lagi.
13
Angin Pesut alias Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan berlari kencang laksana dikejar-kejar se- tan. Semula dia yang berniat mencari anak satu- satunya begitu sampai di Wates tiba-tiba berhenti di sebuah pemakaman yang sudah tidak terurus. Ka- kek beralis dan berambut merah itu memandang ke satu pohon beringin putih yang terdapat di sudut sebelah kiri makam. Kemudian berjalan gontai menghampiri kubur yang terdapat di bawah pohon beringin itu.
Sampai di bawah pohon beringin si kakek hentikan langkah. Perhatiannya tertuju pada batu nisan dimana di atas batu itu tertera nama orang yang terkubur di makam itu.
Paladirja! Nama itu sempat terbaca oleh Angin Pesut. Membuat si kakek ingat pada kejadian sepuluh ta- hun yang lalu. Paladirja adalah kakek sakti pencipta ilmu Menyusup Bumi. Sepuluh tahun yang lalu An- gin Pesut pernah menemui orang tua itu dengan niat agar Paladirja bersedia mengajarkan ilmu Menyusup Bumi kepadanya. Tapi orang tua itu memberikan sa- tu syarat. Syarat yang tidak mungkin dipenuhi oleh si kakek, sampai akhirnya terjadi pertarungan sengit yang berakhir dengan kematian Paladirja.
Kini si kakek berdiri mematung, kepala ter- tunduk, sedangkan matanya nampak berkaca-kaca. Nampak jelas dia tengah berusaha menahan gun- cangan batin serta rasa kesal yang tiada tara.
"Paladirja, maafkan segala khilap dan salah- ku. Sama sekali aku tidak bermaksud membunuh- mu. Kau terlalu memaksaku, namun sayang aku tak dapat memenuhi segala keinginanmu!" ujar si kakek dengan suara bergetar.
"Agaknya kini aku harus menanggung segala akibat yang mestinya tidak perlu terjadi. Mungkin segala rasa penyesalan itu datangnya sudah sangat terlambat. Sahabat... kurasa akulah orang yang pal- ing celaka di dunia ini. Dalam sisa hidupku aku ti- dak rasakan ketenteraman lagi. Aku seperti dikejar- kejar dosa!"
Beberapa saat kemudian si kakek terdiam. Dia memandang ke arah nisan dengan tatap mata menerawang kosong.
Lalu Angin Pesut maju satu langkah, tangan terjulur bermaksud menyentuh kepala makam. Tapi mendadak sontak tanpa pernah terduga tanah dis- ekitar pemakaman itu bergetar keras diselingi den- gan suara berderak-derak aneh seakan ada sesuatu yang bergerak-gerak di bawah sana.
Si kakek tarik balik tangannya yang hendak menyentuh kepala nisan. Dengan perasaan heran dia pandangi tanah pemakaman yang terdapat di sekitarnya. Ternyata guncangan semakin menghe- bat, membuat Angin Pesut semakin kaget.
Mengira para penghuni kubur bangkit dari kematiannya, dengan cepat kakek ini melesat ting- galkan makam yang disambanginya. Kemudian di lain saat dia telah jejakkan kakinya di luar tanah pemakaman. Akan tetapi baru saja kakinya menyen- tuh tanah. Sejarak satu tombak di depannya men- dadak tanah rengkah terbelah. Dari balik tanah yang terkuak menganga melesat dua bayangan ber- turut-turut. Bayangan pertama berpakaian serba hi- tam, sedangkan bayangan kedua berpakaian serba putih. Angin Pesut dalam, kagetnya tersurut mun- dur dua langkah. Cepat sekali dia memandang ke depan. Kakek ini lebih kaget lagi ketika melihat di depannya sana berdiri tegak dua sosok tubuh. Yang satu adalah seorang gadis cantik berpakaian serba putih, rambut panjang terurai. Sedangkan satunya lagi adalah sosok seorang nenek angker. Bagian wa- jahnya nampak rusak dipenuhi bekas luka, gigi ber- taring, lidah terjulur. Hidung Sumplung, telinga le- nyap entah kemana, dadanya berlubang. Kaki runc- ing berbentuk kaki kuda sedangkan bagian ujung- nya runcing seperti mata tombak.
"Nenek Palasik?!" desis Angin Pesut begitu mengenali wajah dan penampilan orang. Terkecuali gadis yang tidak dikenal oleh Angin Pesut. Nenek itu tertawa dingin menyeramkan. "Kk... kau rupanya telah menguasai ilmu Me- nyusup Bumi?" kata kakek itu lagi. Nenek angker ini kembali perdengarkan suara tawa bergelak. Dia ke- mudian memandang pada Angin Pesut dengan tatap matanya yang belok lebar. "Angin Pesut... makam siapa yang kau jambangi. Makam Paladirja?" si ne- nek ajukan pertanyaan.
Di sampingnya gadis berpakaian serba putih yang bukan lain adalah Mutiara Pelangi murid ne- nek itu sendiri dengan suara perlahan bertanya. "Guru siapakah kakek aneh itu?"
Tanpa memandang pada sang murid nenek Palasik menjawab. "Dialah Angin Pesut, Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan yang kesohor itu. Dia pula yang telah membunuh uwa gurumu Paladirja."
"Memang benar aku sedang menyambangi kubur Paladirja sahabatku." terdengar suara perla- han Angin Pesut.
Nenek Palasik umbar tawanya.
"Setelah kau bunuh dia secara keji, masihkah kau mengaku dia sahabatmu. Tua bangka tak tahu diri, bukankah sepuluh tahun yang lalu kau datang padanya, mengemis ilmu Menyusup Bumi. Lalu ke- tika kakangku tak memberikannya kau langsung membunuhnya?!"
Angin Pesut tersenyum tipis. "Tidak begitu ce- ritanya, Palasik. Benar aku minta diajarkan ilmu Menyusup Bumi. Betul kuakui aku membujuknya. Tapi ketika dia mengajukan satu syarat, aku kebera- tan. Kemudian kubatalkan niatku untuk memiliki ilmu itu karena aku tak sanggup memenuhi persya- ratan yang diajukannya." jawab si kakek.
Mata belok nenek Palasik mendelik besar. "Satu syarat...? Syarat apa...?" hardik perempuan itu sengit.
"Dia meminta jika aku ingin mendapatkan il- mu itu, aku diharuskan menikahimu! Terus-terang aku menolak, karena aku merasa tak sanggup men- jalaninya. Tapi dia rupanya tersinggung. Penolakan- ku dianggapnya sebagai suatu penghinaan. Kemu- dian dia menyerangku. Begitulah kenyataan yang sebenarnya!"
Si nenek terdiam, mulutnya seolah terkunci. Pelipisnya bergerak-gerak, pipi menggembung se- dangkan tubuhnya bergetar menahan amarah. Den- gan suara keras dia berteriak. "Manusia penipu, tu- kang fitnah keji. Aku tahu kakangku bermaksud membuat aku bahagia, tapi apakah kau mengira aku suka denganmu? Manusia jahanam. Aku me- nyadari cacat diriku sepenuhnya, aku juga tidak pernahi bermimpi hidup bersama dengan dirimu!"
"Palasik. Aku bicara apa adanya."
"Persetan dengan omong kosongmu!" teriak si nenek gusar.
"Palasik, maafkanlah diriku. Pada saat itu aku terpaksa melawannya kalau tidak aku yang ter- bunuh!" ujar si kakek pelan.
"Minta maaflah pada setan di neraka."
"Aku mohon pengertianmu. Beri aku kesem- patan untuk menebus dosa kesalahan yang pernah kulakukan!"
"Pengertian? Pengertian apa. Apakah jika aku memberimu maaf, lalu saudaraku dapat hidup kem- bali?" tanya si nenek dengan mata mendelik.
"Belum pernah aku mendengar ada orang ma- ti bisa hidup kembali." kata si kakek pasrah. "Itu berarti kau berhutang padaku." "Hutang? Apa maksudmu?" tanya si kakek.
"Kau berhutang nyawa padaku dan hanya da- pat ditebus dengan nyawamu pula!" kata nenek Pa- lasik.
Mendengar ucapan orang tua itu, Angin Pesut tertawa tergelak-gelak. Beberapa saat kemudian ta- wa Angin Pesut lenyap. Kemudian dia berkata.
"Kau menginginkan nyawaku? Akh... kebetu- lan sekali. Sudah lama aku ingin mati. Tapi sayang malaikat maut rupanya masih belum bersedia men- jemputku. Sekarang lakukanlah. Tapi ingat, karena aku merasa tidak bersalah. Maka aku hanya mem- berimu kesempatan sepuluh jurus. Jika setelah se- puluh jurus kau tak mampu membunuhku, aku pasti akan melakukan perlawanan!" tegas si kakek.
Nenek Palasik semburkan ludah diatas tanah. "Aku tak memerlukan waktu selama itu kalau
cuma ingin membunuhmu. Cukup lima jurus jiwa- mu pun melayang!" kata perempuan itu sinis.
"Baiklah, permintaanmu kululuskan. Tapi sa- tu hal yang harus kau ingat, kakangmu tewas bukan karena kesalahanku. Dia terlalu memaksa dan per- kelahian yang terjadi diantara kami berlangsung dengan sangat adil!" jelas Angin Pesut.
"Mungkin aku dapat menerima pengakuanmu jika nanti kau sudah terbunuh di tanganku!" kata si nenek.
Perempuan angker itu lalu berpaling pada muridnya. Kepada sang dara dia berpesan.
"Pelangi, jangan kau campuri urusan kami. Apapun yang terjadi nanti pada diriku tak usah kau sesali. Kau menyingkirlah! Cari tempat yang aman!" Meskipun merasa berat hati Pelangi terpaksa turuti perintah gurunya. Dia menyingkir di bawah pohon besar, tegak disana sambil mengawasi.
Dalam kegelisahannya memikirkan keselama- tan sang guru, dalam hati sang dara berkata. "Angin Pesut, konon manusia keji paling terkutuk di dunia persilatan. Tapi mengapa kulihat dia seperti berasal dari kalangan baik-baik. Tutur katanya begitu so- pan, tidak ada amarah terlihat di wajahnya, walau guru memakinya dengan kata-kata menyakitkan!" batin sang dara.
Sementara itu nenek Palasik tanpa mem- buang waktu lagi diiringi satu teriakan melengking tinggi langsung menerjang ke arah lawannya. Seperti yang mereka sama sepakati tadi, dalam waktu sepu- luh jurus Angin Pesut sama sekali tidak melakukan perlawanan. Hal ini tentu membahayakan keselama- tan dirinya. Karena seperti diketahui, nenek Palasik adalah salah satu tokoh beraliran hitam dan putih berpendirian mendua yang memiliki kesaktian san- gat tinggi. Bahkan sepuluh tahun dia menggembleng diri lahir batin demi untuk membalaskan kematian saudaranya. Karena dia sadar, Angin Pesut adalah manusia yang memiliki segala ilmu segala kepan- daian.
Tak pelak lagi dalam gebrakan pertama yang tanpa perlawanan ini nenek Palasik berhasil menye- rangkan sepuluh kuku jemarinya yang hitam pan- jang beracun.
Wajah si kakek hancur seketika, darah men- gucur dari sepuluh luka yang mendera bagian wa- jahnya. Masih beruntung Angin Pesut kebal terha- dap serangan beracun sampai pada tingkatan ter- tentu. Dan racun yang terkandung pada sepuluh kuku si nenek belum sampai pada tingkat yang membahayakan keselamatan jiwanya.
Kakek itu terhuyung. Sepuluh luka di wajah secara aneh bertautan kembali begitu Angin Pesut menyeka wajahnya. Nenek Palasik tentu saja menja- di kaget. Tapi kemudian dia menggebrak lagi, kali ini dengan kecepatan luar biasa yang diserangnya ada- lah bagian perut, sedangkan yang dipergunakannya adalah jurus 'Sepuluh Tombak Kaki Kuda Menghan- tam Karang'. Akibat yang ditimbulkannya sungguh luar biasa sekali. Sepasang kakinya mendadak son- tak berubah menjadi sepuluh bayangan. Menghan- tam sekujur tubuh si kakek depan belakang dengan kecepatan sulit diikuti kasat mata. Bersamaan den- gan serangan Maha ganas yang dilancarkan nenek itu, maka terdengar pula suara seperti daging tubuh dicabik-cabik mata tombak.
Ketika lawan melompat mundur untuk meli- hat apa yang telah dilakukannya. Angin Pesut nam- pak jatuh terduduk. Sekujur tubuhnya dipenuhi lu- bang menganga. Darah bersimbah membasahi pa- kaiannya. Kakek itu mengernyit kesakitan.
Pelangi palingkan muka memandang ke juru- san lain tak tega melihat keadaan dan penderitaan si nenek yang menyedihkan itu.
Seperti luka di wajah, begitu Angin Pesut me- nyeka luka-luka menganga di sekujur tubuhnya, lu- ka itu seketika bertautan kembali. Terhuyung- huyung Angin Pesut berdiri tegak.
Dia memandang ke depan. "Tujuh jurus kau telah menyerangku. Masih ada tiga jurus lagi yang harus kau selesaikan. Jika lewat dari sepuluh jurus maka aku pasti melawanmu!" kata si kakek dengan suara perlahan penuh kesabaran.
"Keparat tengik. Kau mengandalkan ilmu se- tan untuk menghadapiku!" maki si nenek. Dalam hati dia merasa malu sendiri, karena tadi dia sempat sesumbar mau menghabisi Angin Pesut dalam lima jurus.
"Ilmuku memang kebanyakan ilmu sesat, Pa- lasik. Kau harus maklum karena aku mendapatkan kitabnya pun dari hasil mencuri!"
Nenek itu tidak menjawab. Dia katubkan mu- lutnya. Otaknya diputar hingga dia menemukan ca- ra. Mungkin Angin Pesut cuma dapat dibunuh bila lukanya tidak dapat bertaut kembali. Dengan begitu dia akan kehilangan banyak darah. Ini sama artinya dia harus membuntungi kedua tangannya.
"Tua bangka... lihatlah kemari!" seru lawan- nya. Begitu Angin Pesut memandang ke depan, ta- hu-tahu si nenek sudah berkelebat lenyap seolah tubuhnya berubah menjadi bayangan. Beberapa kali laksana setan gentayangan perempuan itu mengitari tubuh lawan. Setelah itu dua kakinya menyambar bahu kanan dan bahu kiri si kakek.
Cras! Craas! Pluk!
Laksana diterabas pedang kedua tangan si kakek terbabat putus oleh kaki kuda berujung tom- bak si nenek. Darah menyembur, Angin Pesut melo- long kesakitan. Dua potongan tangan jatuh bergede- bukan di bawah kaki si kakek malang. Sungguh mengerikan sekaligus menyedihkan keadaan kakek ini. Nenek Palasik tertawa puas melihat apa yang di- lakukannya. Namun perempuan itu mendadak ka- get, wajahnya berubah menjadi pucat. Dengan mata melotot tak percaya dia pandangi potongan tangan lawan yang kini telah melesat ke atas bahu dan me- nyatu dengan bahunya.
"Sepuluh jurus percuma telah terlewati. Ma- sih ada kesempatan bagimu untuk meninggalkan tempat ini. Jika kau tetap menyerangku, maka da- lam jurus selanjutnya aku terpaksa melawanmu!" kata Angin Pesut.
"Jahanam! Lawanlah aku. Ingin kulihat dalam perlawananmu kau sanggup mempertahankan diri!" Si nenek lalu sunggingkan seringai mengejek. Dia keluarkan bentakan keras, tubuhnya kembali berke- lebat lenyap. Masih dengan serangan tangan berupa pukulan ganas yang dapat menghanguskan apa saja nenek Palasik menyerang lawannya.
Yang diserang berkelebat ke udara, sosoknya terus melesat membubung tinggi. Empat serangan ganas lawan tidak mengenai sasaran. Serangan kaki menghantam batu nisan, batu itu hancur berkeping- keping. Sedangkan pukulan yang dilepaskan perem- puan itu menghantam pohon di seberang makam. Pohon hancur berderak lalu tumbang, bekas yang terkena pukulan dikobari api. Si nenek mendengus, hatinya penasaran. Dia pun jejakkan kaki hingga kini tubuhnya melesat cepat ke udara mengejar ke arah lawan. Pelangi yang menyaksikan semua itu dibuat tercekat. Seumur hidup dia belum pernah menyaksikan pertarungan hidup mati yang demikian hebat. Dan yang lebih membuat sang dara tambah tercengang. Baik gurunya maupun Angin Pesut yang kini terlibat pertarungan dalam ketinggian itu tak terlihat sama sekali. Mereka berubah menjadi bayangan.
Bentakan dan pukulan yang bertemu mengge- legar di udara, membuat pengang telinga. Pelangi terpaksa tutupi kedua telinganya. Sementara itu di- atas ketinggian, baik Angin Pesut dan lawannya sa- ma melepaskan serangan mautnya. Beberapa kali tendangan yang dilakukan nenek Palasik berhasil dimentahkan oleh si kakek. Tapi tak urung telapak tangan si kakek yang dipergunakan untuk menang- kis robek besar mengucurkan darah tersambar tom- bak di ujung kaki nenek Palasik. Tanpa menghirau- kan luka yang bertaut kembali. Kakek itu menghan- tam lawan dengan pukulan Iblis Berkejaran Di Da- lam Kuil. Tapi pada saat yang sama begitu kedua tangan kakek itu didorong ke depan, lawan mem- barenginya dengan pukulan 'Prahara Melanda Bu- mi'.
Diekh...! Duuk!
Bentrokan tenaga sakti yang sangat tinggi mengepulkan asap hitam disertai pijaran bunga api. Dua sosok tubuh sama terlempar ke belakang. Lalu mereka sama bergulingan di udara, kemudian me- luncur ke bawah. Nenek Palasik jatuh bergedebu- kan. Sedangkan Angin Pesut dengan gagahnya dapat jejakkan kakinya di atas tanah.
Nenek Palasik menggerung, tangannya yang berbenturan dengan tangan lawan bengkak meng- gembung seperti ada tulangnya yang remuk di ba- gian dalam. Sedangkan dari sudut bibir nenek ini meneteskan darah kental. Perempuan itu seka darah di mulutnya, sambil keluarkan suara menggembor dia meninju tanah di hadapannya. Seketika sosok nenek itu amblas lenyap di dalam bumi.
"Ilmu Menyusup Bumi...!" desis Angin Pesut menyebut ilmu yang dipergunakan oleh lawannya. Diapun bersikap waspada. Sementara pada saat itu tanah di bawah sepertinya ada angin terdengar ber- gemuruh. Begitu si kakek memandang ke bawah, tanah terbelah. Merekah. Kemudian ada tangan me- nyambar kakinya. Si kakek kerahkan tenaga dalam untuk menarik kakinya. Tapi satu sentakan yang luar biasa hebat malah membuat Angin Pesut am- blas ke dalam tanah, lalu lenyap dari pandangan mata.
Di dalam tanah terdengar suara bergedebu- kan seperti orang menggebuki anjing yang hendak dipotong. Terdengar pula lolongan tangis si kakek. Lalu permukaan tanah nampak bergejolak hebat. Rupanya Angin Pesut yang sempat diseret lawan ke dalam tanah meronta-ronta. Selanjutnya ada leda- kan-ledakan mengerikan disertai kobaran api yang muncul dari dalam tanah. Setelah itu tanah ter- bongkar. Angin Pesut melesat keluar dengan pa- kaian dan tubuh tercabik-cabik tak karuan.
Apa sebenarnya yang terjadi. Kiranya ketika nenek Palasik dengan ilmu Menyusup Bumi berhasil menyeret lawan ke dalam tanah. Dengan leluasa dia menghajar Angin Pesut. Sepuluh kukunya mencabik dada, wajah dan perut lawan hingga ke kaki. Angin Pesut tentu dibuat tak berdaya karena dia tidak memiliki ilmu sejenis. Hanya dalam waktu singkat dia menjadi bulan-bulanan lawan. Si kakek yang ter- luka parah merasakan penderitaan sakit yang luar biasa. Pada saat dia tersakiti seperti itu, maka seca- ra alamiah, ilmu liarnya yang bernama ilmu Ratap Langit bekerja dengan sendirinya menghantam si nenek hingga perempuan itu mencelat entah kema- na, kemudian sebagian reaksi ilmu itu bermunculan ke permukaan tanah berupa letupan lidah api yang membakar. Dengan bantuan ilmunya itu pula Angin Pesut dapat menyelamatkan diri dari dalam tanah.
Kini si kakek tegak berdiri dengan pakaian tak karuan rupa, si kakek bahkan nyaris bugil. Na- mun luka-luka di tubuhnya sebagaimana yang ser- ing terjadi telah bertautan kembali. Dia hanya men- galami guncangan yang hebat pada bagian dalam dada. Di tempat lain di samping si gadis tanah juga terbelah. Kemudian muncul satu kepala serta wajah si nenek yang sudah babak belur penuh luka. Salah satu tangannya menggapai, dilambaikan pada Pe- langi yang kebingungan mencarinya karena tadi sang guru tidak kunjung muncul.
"Guru... kau...!" hanya suara itu yang keluar dari bibir bagus sang dara.
"Muridku. Kita tinggalkan tempat ini. Guru- mu ini sudah babak belur, butuh waktu untuk me- mulihkan diri. Angin Pesut bukan manusia lagi, mungkin dia sudah jadi kakeknya gondoruwo. Aku tak sanggup menandinginya. Cepat pergunakan ilmu Menyusup Bumi, ikuti aku." perintah si nenek den- gan nafas kembang kempis.
Pelangi melongo. "Mengapa dengan cara me- nyusup, guru. Bukankah kita dapat berjalan seperti biasa di atas tanah?" tanya sang dara heran.
"Murid kurang ajar. Kita datangnya boleh be- gitu, sambil membusungkan dada seperti jangan tak tertandingi. Sekarang gurumu ini sudah keok, su- dah kalah. Aku bahkan merasa kehilangan muka, malu dilihat tua bangka itu. Padahal muka yang ada sudah tak karuan, lalu kini tambah tak karuan ujud. Ayo cepat kita minggat dari tempat ini. Datang seperti dewa, dan kini harus pergi seperti pencuri. Lewat jalan bawah...!"
"Ah, guru kau ternyata sangat menderita se- kali." kata Pelangi merasa iba dan cepat lakukan apa yang diperintahkan gurunya.
"Aku menderita lahir batin, muridku. Aku ju- ga kalah luar dalam dan atas bawah. Hiik...!" sahut si nenek disertai suara seperti tercekik. Lalu terden- gar suara gemuruh yang makin lama makin men- jauh, akhirnya lenyap dari pendengaran.
Angin Pesut tidak mengejar. Dia cuma berdiri tegak memperhatikan gerakan di permukaan tanah. Lalu sambil dekap dadanya yang berdenyut si kakek balikkan badan, melangkah perlahan dengan wajah murung dan pikiran kusut.
TAMAT