Eps 21 : Sang Petaka
Di atas gubuk yang sudah tidak terpakai, pemuda gondrong bertelanjang dada itu sandar- kan punggungnya pada salah satu dari empat tiang penyangga gubuk. Dari atas ketinggian gu- buk si gondrong yang bukan lain adalah Pendekar Sakti 71 Gento Guyon ini seharusnya dapat meli- hat keindahan matahari yang hampir tenggelam di balik bukit. Tapi segala keindahan alam yang terdapat di sekitar tanah persawahan ini nam- paknya tidak menarik perhatian sang pendekar karena saat itu justru dia memejamkan matanya, mengatur jalan nafas dan aliran darah di sekujur tubuhnya yang sempat menjadi kacau akibat pu- kulan yang dilepaskan seorang nenek angker ber- nama Nyi Ronggeng, setelah sebelumnya nenek itu mendorong dirinya ke dalam lubang kubur.
Kini kesehatan Gento mulai pulih sebagai- mana sediakala. Walau Gento harus mengakui kepalanya terkadang masih terasa sakit akibat terlalu banyak menghirup uap racun yang dita- burkan nenek di liang kubur. Lebih kurang sepe- nanakan nasi lamanya Gento memulihkan tenaga dalam dan juga mengembalikan keseimbangan tubuhnya, beberapa saat kemudian murid kakek aneh dan gunung Merbabu itu pun membuka ma- tanya. Mula-mula sang pendekar mencium adanya bau harum ikan bakar. Bau begitu menu- suk membuat perutnya menjadi lapar. Gento ju- lurkan kepala ke arah pintu gubuk yang terbuka. Di bawah tangga gubuk dilihatnya gadis cantik berkulit putih yang bukan lain adalah Mutiara Pe- langi alias Puteri Kupu Kupu Putih nampak sibuk membolak-balik ikan yang hampir matang di atas panggangan.
"Matahari belum lagi tenggelam, tapi sete- lah mencium bau ikan bakar itu mendadak pe- rutku seperti digelitik. Pelangi, berapa lama lagi- kah aku harus menunggu?" tanya pemuda itu. Membuat wajah si gadis bersemu merah namun jauh dilubuk hatinya senang karena Gento yang berhasil ditolongnya dari liang kubur ternyata se- karang sepertinya sudah pulih sebagaimana se- diakala.
Cepat sang darah menoleh, dengan tatapan mata berseri-seri penuh sejuta makna gadis ini berkata. "Aih, Gento rupanya kau sudah sangat lapar. Tapi harap kau mau bersabar. Sebentar la- gi ikan ini baru matang." ujar gadis itu dengan nada penuh kemanjaan.
"Yang matang tidak ada, setengah matang pun bolehlah. Atau mungkin aku merasa perlu untuk membantumu?"
"Jangan, sebaiknya kau duduk di situ saja. Kau membutuhkan istirahat yang cukup untuk menyembuhkan luka dalammu." ujar sang darah penuh perhatian.
Mendengar ucapan Mutiara Pelangi Gento tersenyum. Dia lalu bangkit berdiri, kemudian berjalan menuruni anak tangga setelah itu ber- jongkok pula di belakang si gadis. Sejenak la- manya Gento menatap Mutiara Pelangi. Yang di- pandang tersipu malu, pura-pura menyibukkan diri sambil tangan kirinya membolak-balik ikan panggang yang dibakar diatas bara api.
Ketika jemari tangan si gondrong menyen- tuh lengannya, sang dara diam-diam merasakan debaran jantungnya berdetak lebih keras. Hati Mutiara Pelangi terasa berbunga-bunga. Sentu- han yang sekilas itu menimbulkan sejuta keinda- han sekaligus kesan yang sangat sukar dilu- kiskan dengan kata-kata.
"Pelangi, kau telah menolongku. Budi ke- baikanmu tak dapat kulupakan. Jika bukan ka- rena pertolonganmu mungkin aku sudah mati di dalam liang kubur itu!" kata Gento penuh rasa te- rima kasih dan haru.
Untuk pertama kali Pelangi memberanikan diri memandang Gento. Namun ketika mata me- reka saling bersitatap, sang dara kembali paling- kan wajahnya ke arah lain. Pelangi merasa betapa polos dan jujurnya Gento ketika mengucapkan kata-kata itu. Sepolos tatap mata di balik wajah- nya yang tampan.
"Kau tak usah bicara seperti itu, Gento. Apa yang aku lakukan tidak seberapa bila diband- ing dengan pertolongan yang pernah kau berikan pada keluarga pamanku Karma Sudira." ujar sang dara. Sambil berkata pula Pelangi sodorkan ikan bakar besar yang sudah masak pada Gento. "Ma- kanlah...!" katanya lagi penuh ketulusan.
"Ha ha ha. Kau amat baik, Pelangi. Aku be- lum pernah punya sahabat sebaik dirimu. Tapi rasanya tidak adil jika aku yang tidak berbuat apa-apa menikmati hasil jerih payahmu. Padahal kau sendiri belum mencicipi ikan yang lezat ini sama sekali!"
"Gento, mengapa sungkan. Untuk kesem- buhanmu aku bersedia melakukan apa saja. Te- rus-terang aku sangat mengkhawatirkan kesela- matanmu!"
"Hmm, aku tidak menampik kebaikan se- tiap orang. Apalagi gadis secantik dirimu!" kata Si pemuda sambil melahap ikan yang diberikan ke- padanya.
Melihat ini Pelangi merasa senang. Pertama senang karena melihat Gento telah pulih dari lu- ka-luka yang dia derita sedangkan yang ke dua senang karena hubungan diantara mereka kini terjalin semakin akrab. Sejenak kemudian kehe- ningan menyelimuti suasana di sekeliling pondok. Gadis dan pemuda itu melahap ikan yang masih mengepulkan uap panas.
Tak lupa sambil mengunyah ikannya Pe- langi ajukan pertanyaan. "Gento apakah kau ma- sih berkeinginan melakukan pengejaran terhadap nenek cantik yang bernama Nyi Ronggeng itu?"
"Nyi Ronggeng bukan nenek, umurnya pal- ing juga baru empat puluh tahun. Aku seperti yang kau lihat kena ditipunya malah nyaris ter- bunuh akibat ketololanku sendiri. Menurutmu apakah tidak aneh ada seorang perempuan me- mendam kebencian yang begitu mendalam pada seorang laki-laki?"
Mendengar ucapan Gento sang dara ter- diam. Tapi kemudian dia berkata. "Agaknya dia punya masa lalu yang sangat menyakitkan. Ba- gaimana dan apa yang telah terjadi dengannya itu yang tidak kita tahu!"
"Kau benar. Dia punya pengalaman pahit dengan laki-laki. Namun jika semua laki-laki hendak dibunuhnya apa yang akan terjadi dengan gadis yang belum punya suami. Sampai tua me- reka tidak akan pernah kawin, sampai mati mere- ka tetap gigit jari karena tidak pernah merasakan betapa indahnya sorga dunia! Ha ha ha!" kata sang pendekar disertai tawa tergelak-gelak.
Mendengar ucapan Gento, wajah Pelangi berubah memerah. Tapi sama sekali dia tidak me- rasa marah. Malah enak saja dia menimpali. "Pe- rempuan itu agaknya mempunyai gangguan inga- tan. Mungkin saja dia disakiti atau dikecewakan oleh laki-laki yang disebutnya. Tapi jika karena kesalahan seorang laki-laki harus ditanggung oleh mereka yang tak tahu apa-apa, itu tindakan gila namanya."
"Apa yang kau katakan memang benar. Menurut pendapatku alangkah baiknya jika kita melakukan penyelidikan. Nyi Ronggeng perem- puan berbahaya, apalagi dia baru saja berhasil mendapatkan ilmu Sesat Jiwa. Siapapun yang menjadi sasarannya jika tidak memiliki ilmu serta tenaga dalam yang tinggi tubuhnya jadi hangus, hancur menjadi debu!"
"Dan kau masih beruntung karena puku- lan Nyi Ronggeng tidak sampai membuatmu men- jadi kepingan arang!" ujar Pelangi disertai kerlin- gan penuh arti. "Ha ha ha. Aku mendapat untung dua kali. Keuntungan pertama aku selamat dari pukulan dahsyat Nyi Ronggeng. Sedangkan keuntungan kedua yang menolong diriku adalah gadis secan- tik dirimu."
Kembali gadis itu tersipu. Ucapan Gento yang polos paling tidak menimbulkan kesan yang begitu dalam di hati sang dara. Dan untuk yang kesekian kalinya pula Pelangi mencuri pandang ke arah si pemuda gagah. Gento kedipkan ma- tanya. Ah, sungguh kedipan mata itu membuat hati Pelangi diliputi kegelisahan.
Dan kedamaian serta keindahan yang ter- jadi di tempat itu nampaknya tidak berlangsung lama karena sekejap kemudian mereka dike- jutkan dengan terdengarnya suara gelak tawa se- seorang.
Gento Guyon melengak kaget, dia bangkit berdiri dengan masih menggigit ikan panggang di mulutnya. Sebaliknya sang dara bertindak lebih cepat. Menyadari Gento baru saja sembuh dari luka dalam yang dia derita gadis inipun bersikap melindungi dengan berdiri di hadapan pemuda itu.
Baik si gadis maupun Gento sama meman- dang ke arah terdengarnya suara tawa, tapi beta- pa kagetnya mereka karena orang yang tertawa sama sekali tak terlihat. Malah kini mereka men- dengar suara tawa itu seakan datang dari segenap penjuru arah.
"Orang itu agaknya memiliki ilmu memin- dahkan suara, Gento. Di rimba persilatan orang yang memiliki ilmu seperti itu dapat dihitung dengan jari. Agaknya kita perlu bersikap waspa- da!" kata sang dara dengan suara perlahan.
Gento Guyon tersenyum. Dia memutar tu- buh, lalu memperhatikan suasana disekeliling- nya. Setelah itu Gento tertawa membahak. Di tengah-tengah suara tawanya pula dia berkata. "Segala ilmu memindah suara kau pamerkan di hadapanku. Wahai orang yang tertawa menjelang malam buta. Jika sedang berbahagia mengapa ti- dak mau berbagi suka denganku. Datanglah ke mari. Kita bisa tertawa bersama, sementara sam- bil tertawa kau bisa menikmati sisa tulang ikan bakar ini. Ha ha ha!"
Suara tawa mendadak lenyap. Sesaat sua- sana di sekeliling pondok di tengah persawahan yang terletak di kaki bukit itu berubah sunyi. Kemudian terdengar ada satu suara berkata. "Memang asyik bercinta di keremangan malam sambil menikmati ikan panggang. Namun sung- guh kusesalkan kasih yang terpadu agaknya ha- rus diteruskan di alam roh."
Gento dan Pelangi saling berpandangan. Sementara itu di atas langit suasana dalam kea- daan terang benderang karena pada saat itu bu- lan sudah munculkan diri memancarkan ca- hayanya yang kuning kemilau.
"Gento, perasaanku mengapa jadi tidak enak begini?" bisik sang dara gelisah.
"Tenang saja. Yang datang cuma hantu ke- sasar yang tidak berani menampakkan diri. Men- gapa harus takut?" sahut si pemuda dengan sua- ra perlahan pula.
"Bukannya aku takut. Aku hanya mengkhawatirkan dirimu!" ucap Pelangi sambil menggigit bibir bawahnya.
"Ah, mengapa dia begitu risau akan kese- lamatanku? Apakah mungkin dia...?!" Gento membatin lalu mengusap wajahnya. Setelah itu dengan sikap tenang pula dia berteriak. "Orang yang bicara, dirimu hantu atau malaikat? Jika kau malaikat harap dapat mengirim roh kami ke surga. Terus-terang jika aku dan kekasihku ini te- tap berada di sini aku takut banyak orang yang merasa iri melihat kebahagiaan kami. Salah satu diantaranya adalah dirimu itu."
Apa yang dikatakan Gento sempat mem- buat perasaan Pelangi jadi terbuai. 'Kekasih', hanya sepatah kata yang diucapkan Gento secara bercanda. Namun Pelangi menanggapinya lain. Benarkah pemuda segagah Gento suka padanya? Pertanyaan itu sempat membuat hati sang dara jadi gelisah. Akan tetapi sang dara tidak lama tenggelam dalam perasaannya sendiri karena pa- da saat itu terdengar jawaban disertai berkelebat- nya satu sosok bayangan ke arah mereka.
"Siapa aku bukan suatu yang harus diper- soalkan. Yang harus kalian ingat kematian akan mencerai beraikan impian dan segala harapan! Ha ha ha!"
Begitu suara keras menggelegar itu lenyap, tak jauh di depan mereka berdiri tegak satu sosok berpakaian hitam bertelanjang kaki. Yang mem- buat Gento maupun si gadis jadi terkejut, sosok yang berdiri tak jauh di depan mereka bukannya sosok angker mengerikan sebagaimana yang me- reka bayangkan, melainkan hanya seorang pemu- da berusia sekitar lima belas tahun berwajah po- los dengan tatapan mata hampa seperti orang yang terbuai dalam lamunan.
2
Pemuda itu terkesan begitu bersahaja, ti- dak jauh berbeda dengan pemuda sebagaimana umumnya. Tapi ada sesuatu yang terasa lain, di bawah kedua alisnya yang hitam lebat, sepasang mata pemuda itu seakan menyimpan pijaran ca- haya yang setiap saat siap menghanguskan apa saja.
"Pelangi kau lihat, ada yang aneh dalam di- ri pemuda ini. Dia hadir di depan kita, tapi kurasa fikirannya menerawang entah kemana?!" ujar Gento.
"Ya, aku melihatnya." sahut Pelangi. Gadis itu kemudian melangkah maju. Setelah jarak di- antara mereka hanya tinggal dua tombak Pelangi hentikan langkah sambil ajukan pertanyaan. "Bo- cah ingusan, kami tidak mengundangmu datang kemari. Lalu, kau hadir begitu saja dan mengata- kan hendak mencabut nyawa kami. Tindakan itu tak mungkin kau lakukan jika kau tidak mempu- nyai urusan tertentu dengan kami!"
"Hei, mana bisa begitu. Aku sama sekali ti- dak kenal dengan bocah mata binyawak ini, ba- gaimana di antara kita bisa tersangkut segala urusan konyol?" kata sang pendekar memprotes.
Pemuda belasan tahun itu delikkan ma- tanya, mulut menyeringai. Kemudian dari mulut- nya terdengar suara tawa.
"Kau benar gondrong. Diantara kita me- mang belum pernah bertemu sebelumnya. Kau juga benar, tidak ada silang sengketa diantara ki- ta. Karena itu kalian dengar baik-baik. Aku hanya bisa mengampuni kalian bila kau dan gadis keka- sihmu itu mau melakukan sesuatu untukku!"
Gento melongo. "Kau bocah ingusan siapa- kah dirimu? Bicara seenaknya sendiri seperti seo- rang pangeran cilik yang memberi perintah pada pengawalnya. Kau mengatakan kami sepasang kekasih. Apakah kau lihat kami sedang berkasih- kasihan? Padahal yang kami lakukan sejak tadi cuma makan ikan sambil cari kutu. Ha ha ha!"
"Gento, bicara jangan ngaco." hardik Pelan- gi sambil menoleh ke belakang dan delikkan ma- tanya.
Dalam kesempatan itu si pemuda menja- wab. "Aku Kerabat Melamun, putera Sesepuh Tua dan Kerabat Perempuan. Beberapa waktu yang la- lu seorang kakek tua telah membunuh ayahku Sesepuh Tua juga kakakku Kerabat Menangis. Aku tidak perduli apakah kalian sepasang keka- sih atau cuma sepasang setan kesasar. Yang jelas kau dan gadis itu harus bisa membantuku men- cari pembunuh orang tua dan saudaraku!"
Mendengar penjelasan pemuda berpakaian hitam itu, Pelangi kerutkan keningnya, sedangkan Gento Tertawa membahak. "Oh, rupanya kau tu- runan para kerabat. Satu julukan yang aneh. Ka- lau boleh aku mengenalkan diri. Aku kerabat ba- pak ibuku, gadis ini kerabatnya si pulan. Jadi ki- ta masih sama-sama memiliki hubungan kerabat. Sesama kerabat tidak boleh memerintah seenak sendiri. Terkecuali minta tolong, tapi rasanya aku dan gadis ini tidak mau menolongmu. Terkecuali kau mengatakan siapa orang yang kau cari itu?" ujar Gento kemudian.
Pemuda belasan tahun itu tidak langsung menjawab. Dia diam sesaat dada di balik pakaian hitamnya bergetar, nafas memburu tersengal per- tanda Kerabat Melamun sedang berusaha mene- kan gejolak batin yang mendera perasaannya.
Tak lama setelah dapat meredakan pera- saannya Kerabat Melamun dongakkan wajahnya. Sepasang matanya yang menerawang kosong memandang ke langit, menatap ke arah bulan bundar dengan cahayanya yang indah. Setelah itu dia berkata. "Aku inginkan orang yang bergelar Tabib Setan!"
Ketika mendengar julukan yang dikatakan Kerabat Melamun, Pelangi tidak menunjukkan ekpresi apa-apa, karena dia memang tidak men- genal nama atau julukan itu. Lain lagi halnya dengan sang pendekar. Mendengar Tabib Setan disebut Kerabat Melamun dia berjingkrak kaget. Wajah pemuda itu sempat berubah, mata terbela- lak mulut ternganga. Tapi tentu saja semua ini ti- dak sempat terlihat oleh Pelangi karena gadis itu memunggunginya.
"Celaka! Tabib Setan, bagaimana bisa sam- pai kelayapan di tempat ini. Terakhir bertemu denganku dia mengatakan hendak mencari sau- daranya, Sesat Timur, Sesat Barat dan Sesat Uta- ra. Hmm, mengapa urusan jadi runyam begitu. Tabib Setan kuakui adalah seorang tabib sesat. Tapi setelah bertemu denganku untuk yang kese- kian kalinya, segala tindak tanduk dan semua perbuatannya telah berubah. Bahkan dia menu- runkan beberapa ilmu serta pukulan hebat juga memberiku senjata sakti Penggada Bumi. Tabib Setan kuyakini tidak mungkin menjatuhkan tan- gan jahat tanpa alasan yang kuat untuk melaku- kan semua itu." batin Gento.
"Gondrong, kulihat wajahmu berubah, mu- kamu pucat, matamu mendelik. Apakah ini berar- ti kau memang mengenal orang yang kucari?" hardik Kerabat Melamun.
Belum lagi sang pendekar sempat memberi jawaban, Pelangi sudah menoleh ke arahnya sambil bertanya. "Kau mengenal kakek itu Gen- to?" Pertanyaan itu bukan hanya sekedar perta- nyaan biasa. Tapi suatu rasa ingin tahu yang mengandung kecemasan di hati Pelangi.
Sebaliknya dengan suara lantang dan sam- bil tertawa Gento menjawab. "Jika Tabib Setan orang yang kau maksudkan. Aku bukan hanya sekedar mengenalnya, aku bahkan pernah hidup dalam suka dan derita dalam asuhannya. Nah, kau sudah tahu. Sekarang terserah dirimu, apa- kah kau tetap menyuruhku untuk menangkapnya atau bagaimana?"
"Gento, mengapa kau bicara terus terang begitu?" tanya Pelangi dengan suara perlahan se- kali.
"Tenanglah, sesekali dia memang perlu di- ajar adat agar tahu tata krama dan bagaimana seharusnya bersikap terhadap orang yang lebih tuaan." sahut Gento tenang.
Mendengar penjelasan Pendekar Sakti 71 Gento Guyon wajah polos pemuda itu sontak be- rubah. Bahkan tatap mukanya yang menerawang kosong kini nampak bengis, mencorong tajam memancarkan cahaya dendam kesumat dalam kebencian membara.
"Tak kusangka aku telah datang pada orang yang salah. Orang yang seharusnya ku- singkirkan malah kumintai pertolongannya, itu adalah suatu kekeliruan. Kubatalkan niatku se- mula, sekarang bagimu tidak ada jalan selamat terkecuali mati!" dengus Kerabat Melamun.
"Oalah, sengsara amat hidup ini. Yang membunuh kerabatmu adalah Tabib Setan, bu- kan aku atau gadis ini. Mengapa sekarang kami yang harus menanggung akibatnya?" Dia ber- tanya begitu, tapi mulutnya tersenyum mengejek.
"Setiap orang yang punya hubungan den- gan Tabib Setan, memang telah ditakdirkan mati untuk menebus dosa orang tua itu.'"
"Kerabat Melamun. Pemuda ingusan seper- timu bicara sesuka hati, apa kau mengira akan mudah melakukan semua apa yang kau inginkan itu? Jika kau berani mengganggu Gento apalagi membuat gugur rambutnya barang selembar, se- lamanya aku akan mencarimu. Kau tidak bakal hidup tenteram karena aku akan tetap membu- rumu!" kata Pelangi.
Kerabat Melamun tersenyum sinis. "Kau terlalu meremehkan aku, karena kau tidak kenal siapa aku yang sebenarnya!" sahut Kerabat Me- lamun. Habis berkata begitu Kerabat Melamun melompat ke depan, dua tangannya menyambar ganas ke arah wajah dan bagian perut Pelangi. Serangan yang tidak terduga datang begitu cepat. Namun dengan mudah si gadis dapat menghinda- rinya setelah melompat mundur ke belakang. Ma- lah kini dia melakukan serangan balik dengan melepaskan tendangan beruntun ke beberapa ba- gian tubuh pemuda itu.
Tendangan yang demikian cepat masih da- pat dihindari oleh Kerabat Melamun, namun Pe- langi memutar tubuhnya, lakukan satu lompatan setinggi setengah tombak lalu lancarkan tendan- gan kilat ke wajah Kerabat Melamun. Nampaknya pemuda ini sudah tak mampu menghindar atau berkelit dari serangan Pelangi.
Duuuuuk!
Tendangan keras membuat pemuda bela- san tahun ini jatuh terjajar, dagunya terasa sakit luar biasa sedangkan tulang lehernya seperti pa- tah. Hebatnya lagi dengan cepat dia bangkit, sea- kan tidak menghiraukan rasa sakit dikepalanya yang serasa mau meledak. Tiba-tiba saja Kerabat Melamun berteriak keras. Pada saat itu Pelangi telah menyerbu ke arahnya dengan kecepatan luar biasa sambil melepaskan serangkaian seran- gan beruntun ke arah Kerabat Melamun. Menda- pat serangan gencar begitu rupa dan datang bagai curahan anak panah, pemuda itu nampak terde- sak hebat. Dia hanya dapat menangkis, menghin- dar atau mementahkan serangan lawan, namun tak mampu melakukan serangan balasan. Satu kesempatan begitu Kerabat Melamun berkelit ke samping, dari arah sebelah kiri tangan Pelangi menghantam tulang rusuknya.
Buuuuk!
Hantaman yang cukup telak membuat pe- muda itu terjajar. Gento yang terus melihat jalan- nya perkelahian langsung menyeletuk. "Ternyata kau hanya pemuda besar mulut sama kentut. Ba- gaimana kau dapat bertarung dengan benar, usia baru seumur jagung, buang ingus masih belum becus dan kencing pun masih belum lempang! Masih bagus kau duduk di bawah pohon duduk melamun sambil memandang bulan. Coba kau renungkan bulan bundar bagus begitu yang menggantungkannya ke langit siapa?"
Kerabat Melamun sama sekali tak menja- wab, bibirnya terkatup. Tapi diluar dugaan sesua- tu yang mengerikan terjadi. Ketika Pelangi menye- rang dengan menggunakan pedang kembar pen- deknya. Pada saat itu pula Pelangi menjerit.
Dua pedang ditangan terpental lepas, mele- leh bagaikan perak yang mendidih, sedangkan tangannya melepuh. Dalam kagetnya Pelangi me- lompat mundur, lalu memandang ke depan dima- na lawan berdiri tegak disitu. Rasa kaget dihati Pelangi makin bertambah besar ketika dia melihat bagaimana sepasang mata Kerabat Melamun kini telah berubah putih total secara keseluruhan. Dan mata yang memutih itu memancarkan ca- haya putih berkilauan menyilaukan mata.
Gento sendiri walaupun sempat kaget me- lihat perubahan mata lawan yang sungguh aneh menggidikkan itu, namun rasa kejut itu hanya berlangsung sesaat saja. Kejab kemudian Gento tertawa.
"Pelangi, lihatlah! Nampaknya dia hendak meminjamkan suluh pada kita. Dalam malam be- gini, bagaimana kalau kita copot matanya. Den- gan menggunakan mata itu kita bisa melanjutkan perjalanan! Ha ha ha!"
"Gento, pemuda itu sangat berbahaya. Kau lihat kekuatan matanya membuat kedua pedang- ku jadi leleh. Hendaknya kau memikirkan semua itu!" Pelangi berteriak memberi ingat.
"Kalau begitu kau mundurlah!" sahut Gen- to. Dia melangkah lebih mendekati Pelangi. Tapi nampaknya Kerabat Melamun sudah tidak mem- berikan kesempatan lagi bagi lawannya. Terbukti dia cepat gelengkan kepala. Begitu kepala dige- lengkan, Pelangi melihat ada suatu pancaran yang memukau perhatiannya keluar dari mata Kerabat Melamun. Sang dara tertegun, justru pa- da waktu bersamaan dari sepasang mata si pe- muda melesat dua larik sinar maut. Kedua sinar maut itu satu mengarah ke bagian dada tepat searah dengan jantung, sedangkan satunya lagi menghantam batok kepala tepat di bagian kening. "Pelangi awas!" teriak Gento ketika melihat dua cahaya seterang matahari siap menghajar tu- buh Pelangi.
Teriakan itu membuat sang Pendekar ter- sentak. Mukanya menjadi pucat ketika melihat dua sinar maut sudah berada sejengkal di depan- nya. Sekejap lagi dada dan kening si gadis berlu- bang hangus mengerikan diterjang serangan la- wan. Pada saat itu pula Gento dari arah samping mendorongnya dengan keras hingga membuat Pe- langi terjungkal namun selamat dari hantaman sinar.
Dua sinar maut menghantam kaki pondok yang terdapat dibelakang mereka membuat pon- dok berderak, rebah miring dan terbakar dikobari api. Walaupun si gadis merasakan bahu kirinya sakit bukan main akibat dorongan Gento yang ke- ras, namun dia merasa bersyukur karena selamat dari hantaman kedua sinar tadi.
Pelangi cepat duduk bersila, mengatur na- fas dan mencoba melancarkan jalan darahnya yang kacau.
3
Sementara itu tak jauh di depannya sana di samping kiri Pendekar Sakti 71 Gento Guyon melihat segala apa yang terjadi leletkan lidah se- dangkan mata terbelalak memandang ke arah Ke- rabat Melamun penuh rasa tak percaya.
"Gondrong aku inginkan nyawamu seka- rang juga!" seru pemuda itu. Lalu serentak kepala digelengkan ke kiri. Begitu kepala bergoyang, se- pasang mata yang telah berwarna putih dan me- mancarkan cahaya itu membersitkan cahaya te- rang menghanguskan dan melabrak Gento secara susul menyusul. Mendapat serangan seperti itu murid Gentong Tertawa itu dengan mengandalkan kelincahan gerak serta ilmu mengentengi tubuh- nya melesat ke udara. Selagi tubuhnya berjumpa- litan di udara dia menghantam serangan sinar yang membersit dari mata lawan dengan pukulan Dewa Awan Mengejar Iblis. Begitu kedua tangan didorong ke arah sinar putih yang meluncur deras ke arahnya, terjadilah satu benturan yang sangat hebat hingga menimbulkan suara ledakan ber- dentum. Tanah persawahan menjadi bergetar lak- sana dilanda gempa. Batu dan debu berpentalan diudara, Kerabat Melamun nampak terhuyung. Tapi dia sama sekali tidak terluka akibat bentrok pukulan dengan lawannya.
Pelangi, gadis yang selalu mengkhawatir- kan keselamatan Gento, masih tegak di tempat- nya dengan wajah pucat dan mata mencari-cari.
Gento ternyata lenyap dari pandangan. Se- lagi Kerabat Melamun sibuk mencari lawannya, dia merasakan ada orang menepuk bagian tu- buhnya dari belakang disertai suara orang berka- ta. "Aku belum menjadi arwah sebagaimana yang kau kehendaki. Kekuatan matamu boleh juga, ta- pi seranganmu masih ngawur."
Laksana kilat dalam kagetnya pemuda re- maja itu balikkan badan. Tapi baru setengah ba- dan dia memutar tubuh satu pukulan menghan- tam bagian ubun-ubunnya.
Duuugh!
Pukulan keras itu membuat kepala Kerabat Melamun laksana mau meledak. Kedua kaki am- blas ke dalam tanah sampai ke bagian mata kaki. Pemuda itu menjerit kesakitan. Dia merasa men- dadak tanah yang dipijaknya berputar lebih cepat. Ternyata apa yang sedang terjadi pada dirinya bukan membuat Kerabat Melamun jatuh kehilan- gan keseimbangan. Sebaliknya secara tak terduga tubuh pemuda itu berputar. Seiring dengan ber- putarnya sosok Kerabat Melamun, dari kedua ma- tanya melesat sinar putih yang menghantam ke segenap penjuru arah.
"Gila, apa yang salah? Kupukul kepalanya agar perlawanannya terhenti karena aku tidak te- ga mencidrainya. Tapi mengapa hasilnya jadi be- gini?!" batin Gento bingung. Lebih bingung lagi ketika melihat kini sinar mata Kerabat Melamun menghantam dan menghanguskan apa saja yang terdapat di sekelilingnya. Melihat kenyataan ini melalui ilmu menyusupkan suara Gento mengisi- ki Pelangi.
"Bocah ini terlalu sia-sia jika harus mati muda. Aku tidak tega mencelakainya. Bagaimana jika kau tinggalkan tempat ini secepatnya. Tak jauh dari bukit itu di sebelah utara ada sebuah kuil. Kau tunggulah aku disana. Aku akan me- lumpuhkannya dengan menotoknya. Cepat laku- kan perintahku sebelum sinar mata Kerabat Me- lamun menghanguskan tubuhmu!"
"Gento, mana aku tega meninggalkanmu. Aku khawatir terjadi sesuatu yang tidak diingin- kan terhadap dirimu. Biarlah susah dan senang kita tanggung bersama!" jawab Pelangi.
"Jangan bodoh. Dalam keadaan seperti ini aku tak mungkin bertahan selamanya. Terkecuali jika aku menghabisinya, persoalan menjadi lain. Cepat pergi kataku! Jangan membantah, jangan pula keras kepala!"
Wuuut! Set! Set!
Kembali sinar putih menyilaukan meng- hantam Gento. Pemuda itu jatuhkan diri lalu ber- gulingan menghindari terjangan dua sinar panas yang menghantamnya secara bersilangan.
Buum! Buuum!
Dua sinar maut menghantam bagian rusuk Gento. Tapi pemuda itu sudah melompat, bangkit kemudian berkelebat mengitari lawannya. Sesaat Kerabat Melamun jadi kebingungan. "Aku ingin- kan nyawamu, Gondrong!" lagi-lagi Kerabat Me- lamun berteriak.
"Jika kau sanggup silahkan ambil sendiri, jangan berteriak melulu!" sahut sang pendekar. Sambil berkata begitu si pemuda bergerak men- dekati lawan, sambil bergerak dia lancarkan se- rangan berupa hantaman ke bahu dan tenggoro- kan Kerabat Melamun. Serangan ini sebenarnya hanya tipuan saja karena begitu lawan menghin- dar, kini tangan kirinya terjulur menghantam ba- gian punggung.
Tes! Tes!
Dua totokan yang bersarang di punggung- nya membuat Kerabat Melamun tak mampu ber- gerak lagi. Dia juga tak kuasa menggerakkan ke- palanya. Hingga secara praktis tak mampu laku- kan serangan berbahaya pada Gento maupun Pe- langi.
"Manusia pengecut jahanam. Kau mengira aku menyerah begitu saja setelah kau perlakukan seperti ini!" Kerabat Melamun keluarkan suara menggerung.
"Bocah ingusan, sudah dalam keadaan se- perti itu masih juga kau bermulut besar!" dengus Gento sambil mengusapi wajah lawannya yang basah bercucuran keringat.
"Ah Gento. Mengapa berlaku nekad seperti orang gila. Bagaimana bila Kerabat Melamun mampu membebaskan totokannya? Pemuda itu nampaknya mempunyai ilmu di atas kewajaran! Hemm, sekarang aku ingat. Tadi aku sempat ter- pengaruh oleh kekuatan sinar matanya. Mata itu seperti menyimpan sirap yang cukup berbahaya. Agaknya dia memiliki ilmu Sirap Pancaran Inti Matahari. Jika benar berarti totokan Gento tidak memiliki arti apa-apa." batin Pelangi. Ingat akan semua itu dengan wajah pucat sang dara berte- riak memberi ingat. "Gento Awas!"
"Hah, totokannya? Bagaimana dia bisa membebaskan diri dari totokanku secepat itu!" te- riak si pemuda yang mendadak tubuhnya terlem- par seperti dicampakkan. Pemuda itu jatuh ter- guling-guling.
Kejut di hati Gento bukan alang kepalang. Ketika dia merayap bangkit dan memandang ke depan dilihatnya sosok Kerabat Melamun kini te- lah berubah sama sekali. Sekujur tubuhnya be- rubah memutih sebagaimana yang terjadi pada matanya. Selain itu bagian tubuh si pemuda juga memancarkan hawa panas menghanguskan, hingga Gento yang berjarak tiga tombak dari la- wan merasakan tubuhnya laksana dipanggang.
"Pelangi, apa yang terjadi pada anak bi- nyawak ini?" tanya Pendekar Sakti 71 Gento Guyon.
"Berhati-hatilah, Aku berani memastikan, pemuda itu memiliki ilmu Sirep Pancaran Inti Ma- tahari!" kata Pelangi mengingatkan. Walaupun begitu dia sendiri sebenarnya merasa cemas me- mikirkan apa yang bakal terjadi. Tapi tak lama kemudian terlintas sesuatu dalam benaknya, ma- tanya pun mencari-cari.
Sementara itu Gento yang sudah bangkit berdiri kini mendapat serangan bertubi-tubi dari Kerabat Melamun. Setiap serangan yang dilancar- kan oleh Kerabat Melamun tentu saja sangat ber- bahaya karena kini sekujur tubuh pemuda itu seolah telah berubah menjadi api sehingga apa- pun yang menjadi sasarannya jadi terbakar. Men- dapat serangan seperti ini Gento tak mau men- gambil resiko dengan menyerang lawan dari jarak dekat. Kini ketika dilihatnya lawan melesat ke arahnya sambil kembangkan dua tangan dengan gerakan merengkuh, pemuda ini melompat mun- dur. Dua tangan yang siap dengan pukulan Iblis Ketawa Dewa Menangis dihantamkannya ke de- pan. Dua larik sinar pelangi menderu, hawa din- gin laksana es menghampar memenuhi udara dis- ekitarnya hingga membuat Pelangi yang saat itu sedang mengisi kendi yang ditemukannya di su- dut pondok terbakar menggigil kedinginan. Di de- pannya sana gerakan Kerabat Menangis nampak tertahan. Tubuhnya bergetar, cahaya putih mem- bakar yang memancar dari sekujur tubuh dan matanya sempat surut.
"Jahanam, kau tak mungkin sanggup me- nahan dan menghentikan amarahku! Heaaah...!" Sambil berteriak, pemuda itu lipat gandakan te- naga dalamnya. Tak lama kemudian tangan dige- rakkan kembali ke depan.
"Edan bagaimana dia mampu menembus pertahananku!" rutuk sang pendekar di dalam ha- ti.
Lalu Gento dorongkan kembali kedua tan- gannya ke depan. Satu letupan hebat terjadi. Tu- buh si gondrong tergetar, nafasnya terasa sesak sementara lawan tanpa dapat dicegah lagi terus bergerak mendekat ke arahnya sedang kedua tan- gan siap menyambar leher dan menghanguskan dada Gento.
"Aih, habislah sudah!" seru Gento tercekat. Diapun rundukkan tubuhnya hindari serangan lawan. Dalam keadaan seperti itu secara tak ter- duga kaki Kerabat Melamun bergerak ke atas menghantam perut Gento. Jika sampai Gento ter- kena tendangan kaki lawan, perutnya bisa men- jadi hangus gosong. Tapi dalam keadaan seperti itu Pelangi yang berhasil mengisi kendi di tepian sawah telah melompat ke arah Kerabat Melamun. Semakin lama tubuhnya melambung di udara, ke- tika gadis itu tepat berada di atas Kerabat Mela- mun, kendi langsung dipecahkannya. Air di dalam kendi bermuncratan kemana-mana, sebagian be- sar membasahi sekujur tubuh Kerabat Melamun. Ketika cairan itu mengenai tubuhnya terdengar suara seperti besi membara yang dicelupkan ke dalam air.
Apa yang terjadi akibat air yang diguyur- kan oleh Pelangi sungguh mengerikan. Kerabat Melamun menjerit kesakitan. Tubuhnya menge- pulkan asap tebal sedangkan bagian yang terkena siraman air nampak melepuh di sana sini. Kera- bat Melamun jatuh berkelojotan, sekujur tubuh mengelupas sehingga terlihat dagingnya yang ke- merahan.
Kerabat Melamun terus meraung, namun makin lama suara raungannya semakin bertam- bah perlahan. Seiring dengan itu pula gerakan tubuhnya juga tampak melemah sampai akhirnya pemuda belasan tahun itu diam tidak bergerak- gerak lagi.
Gento yang merasa tidak tega untuk men- jatuhkan tangan keji pada pemuda belasan tahun itu bangkit berdiri. Dia memandang ke arah Pe- langi dan Kerabat Melamun silih berganti. Lalu sang pendekar menarik nafas sambil gelengkan kepalanya.
"Apakah dia mati?" tanya Gento, Sang dara menggeleng.
"Dia tidak sadarkan diri dalam waktu yang
lama." "Mengapa kau lakukan ini padanya? Ba- gaimana pula kau bisa tahu air tadi merupakan kelemahannya?"
Pelangi tersenyum. Dia menatap ke arah Gento sesaat, selanjutnya alihkan pandangannya ke jurusan lain sambil berkata. "Guruku manusia misterius. Sampai sekarang aku tidak tahu wajah dan namanya. Dia banyak mengajarkan padaku berbagai macam kelemahan ilmu orang, tapi san- gat sedikit menurunkan ilmu saktinya padaku. Aku terpaksa menyiramnya karena aku menyada- ri Kerabat Melamun sulit dihentikan jika sudah berada dalam penerapan ilmu Sirep Pancaran Inti Matahari. Dalam keadaan seperti itu seorang to- koh sakti sekalipun tak bakal sanggup meng- hadapinya. Terkecuali kita memiliki ilmu yang ta- han terhadap kobaran cahaya panas." mene- rangkan Pelangi.
"Hebat. Kau mengetahui berbagai kelema- han ilmu lawan, kau sebenarnya lebih beruntung karena setiap berhadapan dengan musuh kau tak perlu bersusah payah. Hanya dengan melumpuh- kan ilmu lawan, mereka tidak dapat berkutik!" ce- letuk Gento.
"Ah, aku bukanlah apa-apa dibandingkan dirimu. Kau seorang pendekar yang memiliki ber- bagai ilmu kesaktian. Kau punya pengalaman luas. Sedangkan aku tidak memiliki kepandaian apapun yang patut dibanggakan!" ujar Pelangi lu- gu.
"Ha ha ha. Kau pandai menyenangkan pe- rasaan orang. Padahal jika kau mau, pasti kau dapat menggembosi atau mencabut segala kesak- tian yang kumiliki." kata Gento.
"Untuk seorang sahabat sebaik dirimu, mana aku tega melakukannya. Sudahlah jangan lagi kau persoalkan segala kepandaian picisan yang aku miliki. Sebaiknya kita lanjutkan saja perjalanan!"
"Aku setuju." sahut Gento.
Kemudian tanpa bicara apa-apa lagi kedua muda mudi itu lanjutkan perjalanannya. Semen- tara tanpa mereka sadari sesosok bayangan yang baru muncul di tempat itu diam-diam mem- bayangi dari jarak yang tidak begitu jauh.
4
Kakek berpakaian putih berambut dan ber- janggut putih panjang itu duduk sambil berkipas- kipas di bawah rumpunan pohon bambu. Kedua kaki di jelujurkan, sedangkan tak jauh disam- pingnya di ujung bambu pancing yang selalu di- bawa kemana pun dia pergi tergantung binatang langka yang daging dan darahnya dia yakini men- gandung khasiat meningkatkan tenaga dalam ser- ta penawar racun yang hebat. Binatang aneh yang punggungnya dipenuhi sisik besar berwarna pu- tih, berbulu putih, berbuntut panjang dan berke- pala seperti kepala musang itu tidak hentinya me- ronta. Sesekali terdengar pula suaranya yang aneh. Tapi si kakek yang bukan lain adalah Tabib Setan alias Tabib Sesat ini bersikap acuh tak acuh.
"Bocah edan! Entah berada dimana dia se-
karang. Sudah beberapa hari aku mencarinya tapi tidak ketemu," kata si kakek seorang diri. Dia ter- diam beberapa saat lamanya, kening berkerut otak berfikir. Kemudian sang tabib menyeringai. "Bocah itu kalau kupikirkan terus lama-lama aku bisa jadi gendeng. Dicari sudah, terkadang tidak dicari datang sendiri! Ha ha ha!" kata si kakek disertai tawa.
Tawa Tabib Setan mendadak lenyap begitu dia melihat satu sosok besar luar biasa berpa- kaian serba hitam berkelebat tidak jauh di de- pannya.
"Eh, orang gendut besar tadi bukan- kah...?!" Sang tabib tidak teruskan ucapannya. Wajah Tabib Setan sempat berubah, mulut tern- ganga sedangkan matanya berkedap-kedip. Ada rasa jerih membayang di wajah orang tua ini.
"Mungkinkah dia? Jika benar dia adanya, urusanku dengan Gento bisa jadi tidak aman? Heran... walaupun kini aku telah berubah bahkan telah menganggap Gento sebagai anak sendiri, masih saja dia tak percaya padaku. Mungkin dia selalu teringat tentang perlakuanku pada Gento ketika bocah itu kecil dulu." gumam si kakek. Se- kali lagi dia mengelus jenggotnya yang panjang sampai ke dada. "Mudah-mudahan dia tidak tahu aku berada di sini." kata si kakek penuh harap.
Tetapi segala apa yang diharapkan itu agaknya menjadi sia-sia karena pada saat itu ter- lihat satu bayangan berkelebat ke arahnya. Di lain saat hanya dalam waktu sekedipan mata saja berdiri tegak seorang kakek berbadan besar bu- kan main, berkening lebar berpipi tembem. Meli- hat kehadiran kakek dengan bobot lebih dari dua ratus kati berpakaian hitam ini untuk beberapa saat lamanya Tabib Setan jadi tergagap, keringat mengucur sedangkan perasaan jadi gelisah.
Sebaliknya si kakek gendut besar yang bu- kan lain adalah Gentong Ketawa guru Pendekar Sakti 71 Gento Guyon pandangi Tabib Setan den- gan mata mendelik.
"Tabib butut apa yang kau kerjakan dis- ini?" tanya Gentong Ketawa.
Dikatakan tabib butut sebenarnya pera- saan tabib itu jadi mendongkol juga. Tapi dia ta- hu diri hingga memilih mengambil sikap menga- lah. Dengan tenang dia menjawab. "Aku sedang istirahat dan tidak sedang mengerjakan apapun!"
Kakek gendut melirik ke arah bambu panc- ing di mana pada bagian ujung bambu tergantung seekor binatang aneh yang ke empat kakinya da- lam keadaan terikat.
"Jadi kau tidak melakukan apapun? Ba- gaimana jika kuminta binatang itu untuk kujadi- kan penangsal perutku?"
Air muka Tabib Setan sempat berubah memucat. "Jangan... binatang itu satu-satunya milikku. Lagipula dia sangat beracun?" kata Tabib Setan berbohong.
"Ha ha ha. Aku suka memakan segala se- suatu yang mengandung racun. Itulah sebabnya tubuhku jadi gembul begini." celetuk si kakek yang tahu dirinya telah dibohongi.
"Tapi... tapi yang ini lain. Racun yang ter- kandung di tubuhnya sangat jahat sekali. Jika kau makan sepotong dagingnya kau bisa mati se- ketika!" jawab Tabib Setan gugup.
"Tabib Setan, aku cuma bergurau. Tapi kau sudah berani membohongiku? Aku tahu binatang langka itu tidak beracun, hendak kau berikan ke- pada siapakah?" tanya Gentong Ketawa disertai seringai mengejek.
Mendapat pertanyaan yang tak pernah di- duganya itu Tabib Setan jadi melengak kaget. Ma- sih dengan berhati-hati dia menjawab. "Binatang ini sulit dicarinya. Aku membuang waktu mem- pertaruhkan nyawa untuk mendapatkannya. Sik- lututjang tidak akan kuberikan pada siapapun. Dia akan kujadikan teman dalam seperjalanan."
Mendengar nama binatang yang dianggap- nya aneh itu Gentong Ketawa bertanya. "Apa itu Siklututjang? Rasanya baru sekali ini aku men- dengarnya!"
"Siklututjang itu nama yang kubuat sendi- ri. Artinya binatang bersisik, mempunyai bulu ju- ga berbuntut panjang." menerangkan Tabib Se- tan.
"Tabib sial, kukira apa!" gerutu si kakek gendut, namun dalam hati orang tua ini tak mampu menahan tawa.
Dimaki begitu rupa Tabib Setan hanya di- am saja. Dalam hati dia berharap si gendut segera berlalu dari hadapannya. Keadaan dan perubahan sikap Tabib Setan yang lebih banyak mengalah memang merupakan suatu tanda bahwa si kakek benar-benar telah bertobat sebagaimana yang pernah dikatakannya pada Gento.
Jika beberapa tahun yang lalu Gentong Ke- tawa bicara seperti itu pada Tabib Setan, mung- kin guru Gento ini sudah dilabraknya.
"Gentong Ketawa sobatku, kalau boleh aku tahu engkau hendak kemanakah? Kulihat kau begitu tergesa-gesa, matamu menyimpan kegeli- sahan. Adakah sesuatu yang sedang kau cari?" tanya Tabib Setan.
"Sobat? Siapa bilang aku ini sobatmu? Aku tak pernah bersahabat dengan tabib butut seper- timu. Lagipula kemanapun aku pergi perduli apa? Aku tidak gelisah, aku juga tidak sedang mencari apapun?" jawab si kakek sinis.
Tabib Setan tersenyum, masih dengan sa- bar dan suara lembut sang tabib berkata. "Gen- tong Ketawa, jika di masa lalu masih ada ganjalan dalam hatimu, maka selamanya kau tetap bersi- kap memusuhi aku. Setiap manusia manapun pernah melakukan kesalahan. Karena sejak ma- nusia dilahirkan memang membawa sifat-sifat se- perti itu. Aku tahu mungkin kau sedang mencari muridmu Gento Guyon?"
"Ah kau terlalu sok tahu!" potong si gendut cepat. Tabib Setan gelengkan kepala.
"Aku tidak mengada-ada, apa yang kukata- kan ini adalah yang sebenarnya!" sergah sang ta- bib.
"Kalau benar kau mau apa?" tanya kakek gendut yang merasa terpojok. Dengan tenang Ta- bib Setan mengelus jenggotnya.
"Aku hanya sekedar bertanya. Siapa tahu bisa membantu menemukan muridmu. Lagipula bagaimana kau bisa terpisah dari muridmu?"
"Ha ha ha. Setelah kuajak bicara makin bertambah besar rasa ingin tahumu, tapi aku ti- dak akan pernah mengatakannya padamu!" kata Gentong Ketawa lalu cepat palingkan wajahnya ke arah lain.
"Baiklah, kalau kau tak mau berterus- terang tidak mengapa." Tabib Setan kemudian bangkit berdiri. Setelah itu sambil mengangkat dan meletakkan bambu pancing di bahu kirinya dia melanjutkan ucapannya. "Aku pun sekarang hendak pergi."
"Kau mau kemana? Apakah hendak men- cari muridku? Awas, kalau sampai kau mengu- siknya akan kupelitir lehermu sampai patah!" an- cam Gentong Ketawa.
"Buat apa aku mencari bocah edan itu. Masih bagus lagi aku mencari monyet untuk ku- jadikan teman!"
Mendengar ucapan Tabib Setan, Gentong Ketawa tertawa tergelak-gelak.
"Aku tidak menyalahkan bila kau berkata begitu karena tingkah lakumu memang sangat mirip dengan monyet. Tapi ingat bila suatu saat kau berani menemui muridku aku pasti tak akan memaafkanmu."
Tabib Setan tidak menjawab, setelah berka- ta begitu Gentong Ketawa berkelebat pergi ting- galkan orang tua berjanggut panjang itu seorang diri. Seperginya Gentong Ketawa, Tabib Setan menyeringai. "Dia bisa saja bicara begitu. Nanti jika sudah tiba masanya, mana dia tahu aku me- nemui muridnya atau tidak." kata si kakek. Orang tua ini gelengkan kepala, kemudian sambil mera- cau tak karuan dia tinggalkan tempat itu.
***
Di dalam bangunan yang sepenuhnya ter- buat dari batu dan berbentuk kerucut yang diberi nama Singgasana Abadi itu laki-laki tua bernama Dipati Durga duduk di depan seorang perempuan cantik berkulit putih bersih berusia sekitar empat puluhan. Perempuan itu tersenyum sambil me- lingkarkan tangannya di leher laki-laki berjubah hitam yang bagian dadanya dipenuhi bulu-bulu lebat.
"Dipati Durga," terdengar suara si perem- puan memecah keheningan suasana. "Suamiku Sesepuh Tua telah tiada. Sejak dulu semasa sua- miku masih hidup kita sering melakukan hubun- gan terlalu jauh. Kini setelah suamiku meninggal apakah tidak ada keinginan di hatimu untuk menjadikan aku sebagai seorang istri?"
Orang yang dipanggil Dipati Durga ke- rutkan alisnya yang tebal menyatu. Mendengar ucapan perempuan cantik itu dia langsung men- jauhkan diri, sedangkan mulutnya menyeringai.
"Memang kita seringkali bersenang-senang, sudah tidak terhitung berapa kali kita bercinta. Tapi bagiku, rasanya lebih suka menjadikanmu sebagai kekasih. Istri yang kuharap adalah Nyi Sekar Langit! Walaupun dia dalam keadaan begi- tu rupa, aku yakin dapat menyembuhkan penya- kitnya akibat salah penerapan ilmu." jawab Dipati Durga sambil benahi bagian depan jubahnya yang tidak terkancing.
Walaupun perempuan itu nampak kecewa mendengar jawaban laki-laki yang selama ini di- cintainya, namun dia tetap tersenyum. Lalu den- gan tersenyum pula dia berkata. "Konon kudengar Nyi Sekar Langit berubah menjadi nenek begitu karena ulah bekas kekasihmu yang bernama Nyi Ronggeng. Agaknya sebagaimana diriku, Nyi Ronggeng juga tidak rela melihat dirimu menjadi milik orang lain. Hik hik hik!"
"Kerabat Perempuan, hati-hati kau bicara. Ingat anak dan suamimu belum lagi tujuh hari meninggal. Aku tidak mau menyakitimu, tapi jika tidak ada pilihan lain mungkin aku terpaksa me- lakukannya!" tegas Dipati Durga sengit.
"Aih, mengapa sekarang kau gampang se- kali naik darah Dipati? Apakah kau tidak ingat dengan manisnya madu cinta yang telah kita nikmati tadi?" tanya wanita yang bergelar Kerabat Perempuan itu disertai senyum genit. Mendengar ucapan Kerabat Perempuan ketegangan di wajah Dipati Durga berubah surut. Dia menarik nafas pendek, lalu tangannya diulurkan hingga me- nyentuh bahu Kerabat Perempuan. Sambil terse- nyum pula dia berkata. "Segala budi baik serta kesenangan yang telah kau berikan padaku tidak akan pernah aku lupakan. Terus-terang walau- pun nantinya aku berhasil menjadikan Nyi Sekar Langit menjadi istriku kau tetap menjadi kekasih simpananku. Terus-terang aku memang memen- dam amarah dan rasa benci pada Nyi Ronggeng bekas kekasihku itu, karena ulahnya Nyi Sekar Langit jadi sangat menderita. Akibat apa yang di- alaminya, semakin sulit bagiku untuk mendekati Nyi Sekar."
"Lalu sekarang apa yang hendak kau laku- kan?" tanya Kerabat Perempuan.
"Sekali lagi aku ingin minta kepastian dari Nyi Sekar Langit sekaligus meminta pada Nyi Ronggeng agar dia mau memulihkan keadaan Nyi Sekar sebagaimana semula."
"Hik hik hik. Aku berani menjamin Nyi Ronggeng pasti tidak mau melakukannya!" kata Kerabat Perempuan.
Dipati Durga kepalkan kedua tangannya. "Jika dia tidak mau memulihkan Nyi Sekar, aku bersumpah akan membunuhnya!" tegas Dipati Durga.
"Baiklah," kata Kerabat Perempuan menga- lah. "Apapun keputusanmu aku pasti berada di pihakmu!"
Mendengar ucapan perempuan itu legalah hati laki-laki berjubah hitam itu. Dia kemudian bangkit dan berjalan di depan Kerabat Perem- puan. Dengan tidak sabar dia berucap. "Sekarang tunggu apa lagi? Bersiap-siaplah. Kita harus be- rangkat ke Teluk Rembang. Kuharapkan Nyi Se- kar Langit masih berada di sana."
"Jangan bodoh, menurutku sebaiknya kita ke Pati saja. Aku yakin gurunya Ambeng saat ini berada di sana."
"Aku tak membutuhkan gurunya? Ambeng Tatap Banyu orang ketiga, yang penting bagiku adalah Nyi Sekar bukan perempuan renta itu!" sergah Dipati Durga.
"Jangan bodoh, walaupun putraku Kerabat Melamun memiliki kesaktian tinggi, aku ragu dia mampu menuntut balas pada Ambeng Tatap Banyu yang hampir membuat kami menjadi pa- tung batu. Sebaliknya aku merasa yakin saat ini Nyi Sekar pasti minta perlindungan pada gurunya karena dia tak ingin kau mengusiknya terus. Lalu apa salahnya dalam sekali perjalanan dua tujuh pulau dapat kita capai sekaligus?"
"Kau benar. Bagaimanapun Ambeng Tatap Banyu jika masih hidup bisa menjadi ganjalan bagiku. Ilmu kesaktian nenek itu tak bisa dipan- dang sebelah mata. Baiklah, sekarang ini sebaik- nya kita pergi. Untuk mempersingkat waktu aku akan memanggil Makhluk Kutukan Neraka."
Mendengar Dipati Durga menyebut nama makhluk hitam yang menjadi tunggangannya wa- jah Kerabat Perempuan berubah pucat.
"Mengapa kita tidak berkuda saja. Aku ta- kut dengan ketinggian!" kata perempuan itu ter- bata.
"Ha ha ha. Tak usah takut, aku akan du- duk menjagamu di belakang!" kata Dipati Durga. Setelah berkata begitu dia bersuit tiga kali. Suara Dipati Durga melengking tinggi ke angkasa.
Tidak berselang lama setelah suara suitan- nya lenyap, sayup-sayup dikejauhan terdengar suara pekikan aneh yang disertai dengan terden- garnya suara bergemuruh hebat. Suara gemuruh makin lama makin bertambah jelas, Kerabat Pe- rempuan dongakkan kepalanya ke langit. Perem- puan itu tercekat begitu melihat makhluk besar berbulu hitam, berkepala seperti burung rajawali bersayap lebar bagaikan kelelawar. Binatang hi- tam bermata merah itu berputar-putar diangkasa. Setiap kepakan sayapnya menimbulkan gelom- bang angin yang nyaris membuat Kerabat Perem- puan jatuh terpental.
Dipati Durga dengan tersenyum lambaikan tangannya memberi isyarat pada Makhluk Kutu- kan Neraka. Binatang itu memekik, lalu bagaikan anak panah melesat turun hingga sampai pada ketinggian tidak kurang dari setengah tombak. Melihat binatang itu sudah berada dalam jang- kauannya, maka tanpa bicara lagi, Dipati Durga langsung menyambar lengan Kerabat Perempuan. Hanya dalam waktu yang amat singkat Kerabat Perempuan dan Dipati Durga telah berada diatas punggung binatang raksasa yang sosoknya dalam ujud kelelawar dan berkepala seperti burung ra- jawali itu.
"Sahabatku hitam, bawa kami ke Pati. Ka- mi ingin bertemu dengan Ambeng Tatap Banyu di Watu Cadas Hitam!" seru Dipati Durga.
"Kiiiiik...!"
Makhluk Kutukan Neraka meringkik keras. Dalam waktu singkat sosoknya melesat ke atas. Semakin lama membubung tinggi ke udara, sam- pai kemudian bergerak ke arah selatan dengan kecepatan luar biasa sekali.
5
Menjelang tengah hari setelah Gento dan Pelangi melewati kota Rembang, kedua orang ini mulai memasuki kawasan Kaliori dan hutan kecil yang terdapat di daerah itu. Beberapa saat setelah mereka tiba di satu dataran rendah Gento yang merasa selama dalam perjalanan selalu dibayangi oleh seseorang segera memberi isyarat pada Pe- langi. Sang dara tak perlu banyak bertanya, kare- na dia sendiri memang sudah tahu ada orang yang membuntuti perjalanan mereka sejak lama. Anehnya orang yang menguntit seperti sengaja menjaga jarak. Setiap kedua orang ini berhenti, maka penguntit itu pun ikut berhenti. Seolah di- rinya memang tidak mau dikenali.
Terdorong oleh rasa ingin tahu siapa yang telah menguntit mereka, sang pendekar dan Pe- langi akhirnya menyelinap di balik gerumbulan semak belukar.
"Aku ingin tahu setan mana lagi yang men- gikuti kita. Akan kutangkap dia. Setelah itu baru kutanya apa yang diinginkannya dari orang-orang seperti kita!" kata pemuda itu setelah berada di tempat persembunyian.
"Kurasa dia tidak bermaksud jahat. Jika dia membekal maksud buruk tentu sudah sejak tadi dilakukannya." sahut Pelangi dengan suara perlahan.
"Hem, mungkin kau benar. Bisa jadi dia hanya orang yang merasa iri melihat kita berdua selalu. Atau mungkin dia kekasihmu, hingga begi- tu melihat aku bersamamu dia menjadi cemburu lalu membayangi kita terus!"
Mata Pelangi membulat besar. "Jangan sembarangan kau bicara. Aku sama sekali belum pernah bercinta, apalagi memiliki seorang keka- sih." sahut Pelangi agak gusar.
"He he he. Rupanya kali ini aku bernasib baik. Kau belum punya kekasih dan aku juga be- gitu. Mungkin inilah yang dinamakan jodoh." kata Gento bergurau.
Walau Pendekar Sakti 71 Gento Guyon hanya sekedar bicara iseng, namun ucapan Gento bagi Pelangi menimbulkan kebahagiaan dan ha- rapan tersendiri. Disertai lirikan penuh arti gadis ini menyahut. "Semua laki-laki memang pandai merayu. Aku yakin kekasihmu ada dimana- mana."
Gento menyeringai lebar, lalu usap wajah- nya pulang balik. Belum lagi pemuda itu sempat berucap, di jalan setapak yang mereka lalui tadi muncul sesosok tubuh berpakaian serba hijau, bertubuh jangkung ramping. Melihat kehadiran sosok yang ternyata seorang gadis jelita ini baik Gento maupun Pelangi sama melengak kaget.
"Yang mengikuti kita ternyata bukan setan, tapi gadis secantik bidadari!" desah Pelangi seper- ti ada kegelisahan dalam ucapannya. Gento ber- sikap pura-pura tak mendengar. Enak saja dia bicara. "Dasar rejeki besar. Kukira yang mengikuti kita seorang nenek tua, ti- dak tahunya...!"
"Tidak tahunya gadis cantik luar biasa." dengan sewot Pelangi menyahuti.
Sementara itu gadis jelita berpakaian hijau begitu merasa kehilangan jejak orang yang diiku- tinya kini nampak kebingungan. Setelah meneliti suasana di sekitarnya dan tidak mendapatkan orang yang dikuntitnya sang dara berucap seten- gah mengeluh. "Aku merasa yakin dialah orang- nya yang dimaksudkan Nyi Sekar Langit. Lalu ga- dis yang bersamanya itu siapakah? Heran, ba- gaimana tiba-tiba mereka bisa menghilang seperti itu?"
Kembali si gadis kitarkan pandangan ma- tanya. Di saat itu mendadak sontak si baju hijau dikejutkan oleh berkelebatnya satu bayangan ser- ba putih berkelebat ke arahnya. Belum lagi hilang rasa kaget di hati si baju hijau segulung angin menderu melabrak tubuhnya. Walaupun kaget, namun gadis jelita ini masih sempat gerakkan tangannya ke atas menangkis serangan lawan.
Angin sedingin es bergulung-gulung keluar dari jubah si baju hijau. Lalu terdengar suara le- tupan keras menggelegar. Sosok berpakaian serba putih jejakkan kakinya dengan tubuh terhuyung. Sedangkan gadis berpakaian serba hijau tetap te- gak di tempatnya. Mata indahnya berkedip dan menatap orang yang menyerangnya dengan pan- dangan tidak mengerti.
Sementara itu Gento yang tidak menyang- ka Pelangi melakukan tindakan nekad dan mela- kukan penyerangan secara membabi buta, diam- diam dibuat kaget. "Ah, mengapa dia mendadak seperti orang yang kehilangan kendali. Melam- piaskan amarah pada orang yang belum tentu bersalah?" fikir Gento tak habis mengerti.
Pelangi sendiri kini memandang dengan mata mendelik pada dara berpakaian hijau. Dia yang biasanya bersikap lemah lembut kini nam- pak berubah bengis. Dengan suara keras pula dia membentak. "Gadis penguntit siapa kau yang se- benarnya, mengapa berani mengikuti perjalanan orang?"
Si baju hijau tersenyum, sebagai orang yang berpengalaman dia dapat merasakan ada kecemburuan dalam nada ucapan gadis berpa- kaian putih. Dia sendiri tidak dapat menduga ada hubungan apa antara pemuda gondrong tadi den- gan gadis itu. Tetapi dengan penuh santun si baju hijau menjawab. "Adik, aku mengikuti kalian bu- kan membawa maksud jahat. Oh ya... kemana sahabatmu pemuda rambut gondrong tadi?" tanya si baju hijau. Mendengar pertanyaan gadis itu semakin bertambah sengitlah Pelangi dibuatnya. Hanya sikapnya agak berubah begitu melihat Gento munculkan diri dari tempat mereka ber- sembunyi tadi.
"Aku tadi bersembunyi disana. Sekarang kau sudah tertangkap basah. Apa sebenarnya yang kau inginkan hingga terus membuntuti per- jalanan kami?"
Dengan nada lembut si jelita menjawab. "Namaku Nyi Besinga. Ketuaku memberi perintah padaku untuk mencari seseorang." menerangkan si jelita bernama Nyi Besinga seadanya.
"Apakah orang yang kau cari sudah kau temukan?" tanya Gento.
Nyi Besinga tersenyum, lalu gelengkan ke- pala. Walau senyum gadis itu terkesan wajar dan menunjukkan keramahan, namun membuat Pe- langi jadi mendongkol.
"Gadis ini entah apa yang diinginkannya. Tapi... jika sampai dia berani menggoda Gento, dia akan tahu rasa nanti." batin Pelangi dalam hati.
"Jadi kau belum menemukan orang yang oleh ketuamu diperintahkan untuk mencari?"
"Lalu mengapa kau mengikuti kami?!" har- dik Pelangi tidak sabar.
"Ketuaku, Nyi Sekar Langit sekarang se- dang menderita suatu penyakit akibat salah da- lam menerapkan ilmu baru. Jelasnya, seseorang yang menyaru sebagai gurunya telah menipu Nyi Sekar. Penipuan yang dilakukan oleh orang itu membuat ketua menderita. Sudah banyak tabib yang didatangkan namun tak satupun yang dapat mengembalikan ketua dalam keadaan sebagaima- na sediakala. Kemudian dia melakukan semedi selama berbulan-bulan. Dalam semedi dia men- dapat petunjuk, bahwa untuk mengembalikan keadaan Nyi Sekar sebagaimana sediakala hanya dapat dilakukan dengan cara yang sama yaitu menormalkan aliran darah serta tenaga dalam yang sempat berbalik arah dan mengacaukan ke- seimbangan otak kecil. Tidak ada manusia di rimba persilatan ini yang dapat membantunya melakukan itu terkecuali orang yang di dalam tu- buhnya telah mampu mengendalikan sekaligus menggerakkan tujuh pusat tenaga dalam yang konon kabarnya dikenal dengan nama Tujuh Ca- kra inti Manusia."
Mendengar uraian Nyi Besinga diam-diam Gento jadi terkejut. Tujuh pusat tenaga dalam, atau Tujuh Inti Cakra Manusia dia sendiri me- mang telah menguasainya. Dan tujuh sumber te- naga dalam yang dapat dikeluarkannya secara si- lih berganti itu didapatnya dari Manusia Seribu Tahun. Untuk lebih jelas (Ikuti Episode Ki Anjeng Laknat). Tapi selama ini sejak Gento berpisah dengan kakek yang umurnya hampir mencapai seribu tahun itu dia belum pernah mengguna- kannya. Karena selain sangat berbahaya, Manu- sia Seribu Tahun juga pernah berpesan, Gento hanya dapat menggunakan tujuh tenaga dalam yang bersumber dari tujuh titik di tubuhnya seka- li dalam tiga bulan.
Terdorong oleh rasa ingin tahu, Pendekar Sakti 71 Gento Guyon akhirnya ajukan perta- nyaan. "Apakah kau telah menemukan orang yang diharapkan oleh ketuamu dapat menyem- buhkan penyakitnya itu?"
Sekali lagi Nyi Besinga menggeleng. "Belum. Tapi melihat ciri-cirinya, mungkin
kaulah orangnya." ujar gadis itu dengan suara perlahan.
"Ha ha ha. Manusia geblek macamku tidak becus apa-apa, apalagi menyembuhkan orang yang telah kesalahan dalam menerapkan ilmu?" sahut sang pendekar disertai tawa tergelak-gelak.
"Dugaanku mungkin saja keliru. Tapi sebe- lum pergi, mungkin aku boleh mengetahui siapa dirimu adanya?"
Ditanya seperti itu Gento langsung melirik ke arah Pelangi seakan minta pendapat. Si gadis yang dibakar api cemburu dengan tegas geleng- kan kepala.
Belum lagi Gento sempat menjawab, Nyi Besinga mendesah dalam. "Kau tak mau menye- butkan nama tidak mengapa. Sayang jika ketua harus kecewa karena kepulanganku tidak mem- bawa hasil. Tapi yang lebih kecewa lagi kurasa kakek gendut yang bernama Gentong Ketawa itu. Aku jadi ragu, jangan-jangan diapun tidak dapat menemukan muridnya!" Selesai berkata Nyi Be- singa memutar tubuh siap hendak melangkah pergi. Tapi pada saat itu Gento yang sempat kaget mendengar nama gurunya disebut orang cepat berkata. "Nyi Besinga jangan pergi dulu!"
Gerakan langkah kaki sang dara jadi terta- han, dia kembali balikkan badan dan menghadap langsung ke arah Gento. Masih dengan suara lembut si gadis bertanya. "Masih ada lagikah yang hendak kau katakan padaku?"
"Betul sekali. Jika yang kau cari adalah orang yang bernama Gento, akulah orangnya. Ta- pi apakah betul kau bertemu dengan guruku?!" tanya pemuda itu ragu-ragu.
"Gento, jangan mudah terkecoh mulut ma- nisnya. Ingat, walaupun gadis ini bersuara lem- but, tapi suaranya seperti suara nenek tua lanjut usia. Aku curiga bukan mustahil dia hendak mengelabuhimu!" Pelangi memberi kisikan. Gento terdiam, apa yang dikatakan Pelangi memang ti- dak berlebihan. Gadis itu suaranya memang lem- but, namun nada suaranya seperti suara orang tua.
"Orang tua yang datang kepada kami ber- badan tinggi, pakaian hitam. Pipi tembem, hi- dungnya nyaris tenggelam bobotnya mungkin le- bih dua ratus kati!" menerangkan Nyi Besinga.
"Apakah orang itu berkumis dan berjeng- got?" tanya Gento ingin memastikan.
"Jenggotnya cuma beberapa helai. Kumis- nya juga, tidak ubahnya seperti ikan lele!"
"Ha ha ha. Memang seperti itulah guruku. kumis dan jenggotnya seperti ikan lele." sahut Gento. Dia lalu berpaling pada Pelangi "Ternyata dia tidak berdusta, Pelangi. Apa yang dikatakan- nya tentang guruku memang benar! Semua ini merupakan sesuatu yang tidak terduga. Sudah lama aku mencari guruku, tidak kusangka akhir- nya aku mendapatkan petunjuk!"
"Kalau begitu tunggu apalagi. Sebaiknya ki- ta ikuti saja dia!" usul Mutiara Pelangi. "Tapi awas, jika kau menipu kami. Kau akan mendapat ganjaran yang setimpal!" ancam si gadis.
"Aku tidak pernah bicara dusta. Mari ikuti aku!" kata Nyi Besinga. Gento dan Pelangi sama mengangguk setuju. 6
Bukit Cadas Hitam letaknya tidak jauh dari Pati. Di sebelah timur bukit beberapa pohon besar menjulang tinggi. Sedangkan pada bagian Si Bu- kit lainnya yang terlihat hanya kegersangan yang diwarnai dengan batu-batu bertonjolan. Di atas bukit di depan sebuah pondok buruk beratap ila- lang. Nenek berpakaian kuning duduk termenung sedangkan tatap matanya menerawang ke depan.
Cukup lama si nenek dalam keadaan se- perti itu sampai akhirnya dia menarik nafas da- lam-dalam.
"Terlalu lama aku pergi meninggalkan mu- ridku. Selama itu apapun yang tidak terduga bisa saja terjadi. Lalu sekarang kemana perginya Nyi Sekar Langit? Aku punya firasat telah terjadi se- suatu dengannya. Aku harus pergi aku harus mencari Nyi Sekar. Barangkali dia begitu ketaku- tan, Dipati Durga manusia kurang ajar. Sudah tahu muridku tidak menyukainya namun dia ma- sih saja mengejarnya." kata nenek itu seorang di- ri.
Terik matahari terasa semakin membakar puncak bukit. Si nenek bangkit berdiri. Dia ke- mudian melangkah masuk ke dalam kamarnya.
Tidak berapa lama kemudian si nenek yang bukan lain adalah Ambeng Tatap Banyu telah ke luar dari pondoknya. Orang tua ini agaknya siap melakukan perjalanan lagi terbukti di punggung- nya kini tergantung kantong perbekalan. Sedang- kan di pinggang sebelah kiri tergantung satu sen- jata aneh mirip bumerang yang tajam pada salah satu sisinya, dan bengkok pada bagian tengah- nya.
"Satu-satunya tempat yang harus kutuju adalah Teluk Rembang. Aku yakin muridku pasti berada disana. Tapi... apakah mungkin tiga pen- gasuh Nyi Sekar juga berada di sana?" fikir si ne- nek. Sejenak dia dibuai kebimbangan, sesaat dia diliputi keraguan. Namun akhirnya si nenek membulatkan tekad untuk menyusul sang murid. Pada saat itu pula dia mendengar suara gemuruh hebat di angkasa sana. Suara gemuruh semakin bertambah jelas disertai suara pekikan menggele- gar seperti suara burung besar.
Sontak Ambeng Tatap Banyu dongakkan kepala memandang ke atas. Si nenek tercekat, wajahnya berubah. Dia melihat saat itu di angka- sa sana satu sosok berwarna hitam bersayap le- bar bagaikan sayap kelelawar dan berkepala se- perti burung rajawali terbang berputar-putar di- atas ketinggian puncak bukit. Di punggung mak- hluk aneh yang sudah cukup dikenalnya itu du- duk dua sosok berpakaian hitam.
"Makhluk Kutukan Neraka. Pasti dia da- tang bersama Dipati Durga, tapi yang satunya lagi siapakah?" gumam si nenek heran.
Belum lagi lenyap keheranan di hati Am- beng Tatap Banyu, dari atas sana terdengar satu bentakan keras menggelegar. "Ambeng Tatap Banyu, lima purnama kau menghilang. Sekarang kulihat kau berada di tempat kediamanmu. Kebe- tulan sekali. Ha ha ha...!"
"Dipati Durga. Kau datang pada waktu yang kurang tepat. Aku tidak dapat menerimamu sebagaimana layaknya. Aku hendak pergi, harap kau suka kembali dilain waktu!" sahut si nenek.
Di atas sana kembali terdengar suara tawa bergelak. Lalu di tengah suara gemuruh kepakan sayap makhluk tunggangan Dipati Durga terden- gar teriakan laki-laki itu.
"Kau tidak akan pernah pergi kemanapun, nenek tua. Terkecuali kau mau membujuk Nyi Sekar Langit agar bersedia menjadi istriku. Jika kau menolak, nasib celaka akan terjadi padamu!"
"Hik hik hik. Agaknya kau ini wakil malai- kat yang dikirim dari neraka? Apa kau mengira aku mudah digertak?" dengus si nenek.
"Tua bangka busuk. Sebelum sahabatku ini mencabut nyawamu, kau juga harus menye- rahkan dua tangan dan kedua matamu!" kata sa- tu suara lain menimpali.
Ambeng Tatap Banyu berjingrak kaget mendengar suara itu. Rasanya suara yang baru dia dengar tidak begitu asing. Sesaat si nenek ter- tegun, otaknya dipacu untuk mengingat-ingat.
"Kau lupa padaku Tatap Banyu. Aku ada- lah Kerabat Perempuan!" Di angkasa kembali ter- dengar suara melengking. Mendengar orang me- nyebutkan gelarnya, nenek tua itupun tak mam- pu lagi menahan tawanya.
"Kau rupanya? Setelah suamimu tewas di tangan Tabib Setan, sekarang kau pasti bebas bergendak dengan Dipati Durga. Perempuan bu- suk penyeleweng, jika bukan karena bantuan Ta- bib Setan yang dapat kalian kelabuhi, sekarang ini kau dan kerabatmu yang lain pasti sudah membeku jadi patung batu. Hik hik hik!"
"Nenek keparat, apapun yang kulakukan bersama Dipati Durga bukan urusanmu, yang je- las sekarang kau harus menerima balasan dari apa yang pernah kau lakukan padaku, pada Em- pat Kerabat Siluman!"
"Hebat. Rupanya hari ini aku merasa perlu merubah dirimu menjadi siluman sungguhan. Hik hik hik!"
"Kerabat Perempuan kuberi kesempatan padamu untuk membalas rasa sakit hati dendam kesumat pada nenek itu. Sekarang bersiaplah kau!" berkata begitu Dipati Durga mengelus leher binatang tunggangannya tiga kali disertai seruan. "Makhluk Kutukan Neraka, turunkan kami!"
"Kraaak...!"
Makhluk besar yang menyerupai burung dan kelelawar memekik keras, laksana kilat tu- buhnya menukik tajam ke bawah. Melihat hal ini si nenek tidak mau tinggal diam. Begitu binatang itu bergerak dan dua penunggangnya siap me- lompat turun, Ambeng Tatap Banyu siapkan pu- kulan di kedua tangannya. Apa yang dilakukan- nya tidak kepalang tanggung. Begitu Kerabat Pe- rempuan melesat meninggalkan punggung Mak- hluk Kutukan Neraka yang kemudian disusul oleh Dipati Durga, nenek itu segera menyambut- nya dengan pukulan Waton Atos Loro. Seperti te- lah diceritakan pada episode sebelumnya Kerabat Perempuan dan tiga kerabat lainnya pernah di- buat tidak berkutik ketika tubuh mereka terkena pukulan ini. Malah begitu terkena pukulan tubuh mereka kemudian membeku dan berangsur- angsur menjadi gumpalan batu.
Kini Kerabat Perempuan yang tidak me- nyangka disambut dengan pukulan yang sama. Dia menjadi terkejut luar biasa. Dalam keadaan tubuh mengambang meluncur turun sedemikian rupa tentu sulit baginya untuk berbuat banyak. Tak ada pilihan lain, Kerabat Perempuan pun se- lagi tubuhnya meluncur segera hantamkan kedua tangannya menyambuti pukulan dahsyat yang di- lepaskan oleh lawannya. Selarik sinar merah mendera, melesat ke depan hingga terjadilah ben- turan hebat. Tapi sebagaimana yang terjadi bebe- rapa waktu lalu ketika Kerabat Perempuan berha- sil dipecundangi oleh si nenek, kali ini pun puku- lan yang dilepaskan Kerabat Perempuan amblas begitu saja. Jika waktu itu dia bersama tiga kera- bat siluman yang lainnya saja kalang kabut menghadapi nenek ini, apalagi kini.
Malah pukulan yang dilepaskannya terse- dot oleh pukulan Ambeng Tatap Banyu, kini dia terbetot ke bawah, sementara hawa dingin yang sangat hebat terus mendera dirinya.
"Dipati Durga..." seru Kerabat Perempuan. Dipati Durga tertawa mengekeh. Dia me-
mang sudah melihat pukulan lawan tak terben- dung oleh Kerabat Perempuan. Malah kalau di- biarkan kekasih gelapnya itu bisa menjadi korban keganasan pukulan Waton Atos Loro. Karena itu dia Dipati Durga yang berada dalam posisi sama seperti Kerabat Perempuan gerakkan tangannya ke bawah.
Wuut! Wuuut!
Dua kali tangannya menghantam, dari te- lapak tangan laki-laki itu melesat sinar biru. Si- nar biru berhawa panas luar biasa itu kemudian melebar begitu bersentuhan dengan udara, berge- rak cepat ke arah si nenek hingga untuk beberapa saat lamanya terjadi satu keanehan. Tubuh Dipati Durga seolah tertahan oleh satu tembok yang ti- dak terlihat. Sedangkan dibawah sana si nenek nampak berusaha menahan tekanan keras yang menghimpit dari bagian atas.
Sementara itu dengan ikut campur tan- gannya Dipati Durga, Kerabat Perempuan tentu saja terhindar dari maut, karena kini perhatian si nenek tercurah pada Dipati Durga, maka setelah berhasil membebaskan diri dari pengaruh sedotan pukulan lawan Kerabat Perempuan meskipun sempat terhuyung namun mampu jejakkan ka- kinya di atas tanah. Melihat salah satu lawan te- lah berdiri tegak di depannya bahkan siap meng- hantamnya dengan salah satu pukulan, maka dengan segenap tenaga yang dimilikinya Ambeng Tatap Banyu menghantam ke atas.
Buum!
Satu ledakan keras menggelegar laksana mengguncang puncak bukit. Dipati Durga yang menyerang dengan posisi mengambang tampak terpental dan jatuh dengan punggung menyentuh tanah. Si nenek terguncang hebat, dadanya terasa nyeri. Sementara itu melihat si nenek dalam kea- daan terhuyung-huyung, Kerabat Perempuan yang memang sangat mendendam pada orang tua ini tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dari balik pakaian hitamnya dia mencabut sebilah pedang tipis yang di bagian ujungnya berbentuk mata tombak. Dengan tombak terhunus Kerabat Pe- rempuan menyerang lawannya. Di tangan perem- puan cantik itu pedang tipis yang bagian ujung- nya bermata seperti tombak seakan berubah menjadi puluhan, menusuk dan membabat bebe- rapa bagian tubuh lawan yang paling mematikan. Mendapat serangan hebat begitu rupa, beberapa saat lamanya Ambeng Tatap Banyu tampak terde- sak. Beberapa kali dia coba menghindari seran- gan lawan yang ganas itu. Namun hebatnya ke- manapun dia menghindar pedang lawan selalu mengejar, hingga ruang gerak orang tua ini men- jadi sempit.
Tidak ada pilihan lain, sambil mendengus nenek itu melompat ke samping. Tapi pada saat yang sama belum lagi dia sempat melepaskan pu- kulan yang menjadi andalan, pedang ditangan Ke- rabat Perempuan bergerak lakukan babatan dari kiri ke kanan. Ujung pedang menyambar dada. Si nenek memekik kaget, namun dia masih sempat mundur satu langkah.
Breet!
Tak urung bahu kanannya robek besar ter- kena sambaran pedang lawan. Kulit dan daging di bagian bahu berserabutan, darah mengucur. Me- lihat ini Kerabat Perempuan semakin berseman- gat. Kini dia melompat ke depan sambil tusukkan pedang ke bagian perut. Serangannya yang terlalu berapi-api membuatnya lengah dari kemungkinan serangan balik yang dilakukan lawannya.
Di luar dugaan si nenek yang sudah terlu- ka ini melompat ke atas. Lalu dengan tangan ki- rinya dia menghantam Kerabat Perempuan den- gan satu pukulan berhawa panas luar biasa.
Kerabat Perempuan tercekat ketika merasa ada hawa panas luar biasa menyambar tubuhnya. Dalam kagetnya laksana kilat perempuan itu memutar pedang ditangan membentuk perisai di- ri.
Tapi pukulan si nenek seakan tidak ter- bendung dan terus menerobos pertahanan pe- rempuan itu.
Kerabat Perempuan menjerit histeris ketika tubuhnya diterjang pukulan si nenek. Tubuhnya roboh, pakaian hangus kulit gosong, sedangkan pedang ditangan Kerabat Perempuan terpental le- pas. Dia tidak berkutik lagi begitu sosoknya am- bruk ke tanah.
Melihat kejadian yang tidak pernah disang- ka ini, Dipati Durga keluarkan suara mengge- rung. Apa yang terjadi dirasakannya berlangsung singkat. Dengan dada dipenuhi kemarahan, Dipa- ti Durga bangkit berdiri. Dia lalu bersuit keras di- tujukan pada Makhluk Kutukan Neraka yang sampai saat itu masih terus berputar-putar di atas bukit.
"Sahabatku, mari kita bunuh nenek kepa- rat ini bersama-sama!" teriak Dipati Durga. Dia sendiri lalu menerjang ke arah si nenek sambil melepaskan pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Di angkasa terdengar pekikan keras, mak-
hluk bersayap kelelawar berkepala seperti rajawa- li mendadak lakukan gerakan menukik. Menyam- bar dengan kepakan sayapnya yang setajam pe- dang dan mematuk dengan paruhnya yang se- runcing tombak.
Si nenek yang sudah terluka yang tengah menghadapi serangan gencar Dipati Durga berta- han mati-matian. Sambil menghindari setiap se- rangan yang datang dia meraih senjata bengkok- nya tanpa gagang yang tergantung di pinggang ki- ri. Senjata itu kemudian disambitkannya ke atas searah kepala Makhluk Kutukan Neraka. Bina- tang ini sama sekali tidak menghindar ketika me- lihat cahaya putih berputar menghantam leher- nya.
"Binatang tolol itu segera mampus dengan kepala buntung dihantam senjataku!" kata Am- beng Tatap Banyu. Sambil berkata begitu dia menghantam ke depan dengan tangan kiri me- nyambuti pukulan lawannya.
Plak! Duuk!
Benturan keras terjadi, si nenek yang su- dah tak dapat menggerakkan tangan kanannya akibat adanya luka di bagian bahu jatuh bergu- lingan. Sementara itu di atas sana senjata si ne- nek begitu mengenai leher binatang berkepala bu- rung rajawali ternyata tidak membawa akibat se- bagaimana yang diinginkannya. Malah kini den- gan penuh kemarahan Makhluk Kutukan Neraka meluncur deras ke arahnya. Melihat semua ini Dipati Durga yang jatuh terduduk berteriak keras.
"Bunuh tua bangka itu sekarang!"
Teriakan laki-laki itu sangat berpengaruh bagi binatang tunggangannya. Sayap sebelah kiri binatang tersebut menyambar ke bagian kepala si nenek. Angin menderu akibat kepakan sayap makhluk itu. Si nenek merasakan tubuhnya te- rangkat ke udara lalu dihempaskan dengan keras. Tapi dia masih sempat melepaskan pukulan Wa- ton Atos Loro.
Pukulan si nenek seolah tak berarti bagi makhluk yang memiliki kekebalan ini. Karena be- gitu Makhluk Kutukan Neraka kepakan sayap kanan kirinya, pukulan Ambeng Tatap Banyu buyar seketika. Begitu berhasil menghancurkan serangan si nenek, tak terduga sang makhluk menukik tajam, paruhnya yang terbuka melesat ke bagian perut.
Dalam keadaan menderita cidera di bagian dalam akibat bentrok pukulan dengan Dipati Durga tadi ditambah luka akibat sabetan pedang Kerabat Perempuan tentu si nenek sulit menghin- dar. Sehingga tanpa ampun lagi paruh tajam Makhluk Kutukan Neraka menghunjam ke perut- nya tembus sampai ke bagian punggung. Si nenek menjerit setinggi langit. Ketika makhluk itu me- nyentakkan paruhnya, isi perut Ambeng Tatap Banyupun tanpa ampun berbusaan keluar. Darah menyembur, mata si nenek mendelik. Sang mak- hluk melesat kembali ke udara. Sedangkan Dipati Durga kini telah berada di atas punggung bina- tang tersebut.
"Kau telah menyingkirkan batu penghalang yang merintangi segala rencanaku selama ini, so- bat." kata Dipati Durga.
"Kraak!" seakan mengerti Makhluk Kutu- kan Neraka keluarkan pekikan pendek.
"Bagus. Kita sekarang harus pergi secepat- nya ke Teluk Rembang. Biarkan jenazah Kerabat Perempuan menemani mayat nenek sinting itu. Aku tidak butuh orang yang sudah mati, walau dia kekasihku sekalipun!" kata Dipati Durga. Seakan mengiyakan binatang itu kembali meme- kik, lalu membumbung tinggi dan melesat ke arah teluk.
7
Sejak Dipati Durga datang ke tempat ting- gal Nyi Sekar Langit yang berada di penanjung Te- luk Rembang, nenek renta ini memutuskan untuk menempati gua karang yang terletak di celah dua tebing curam. Tempat ini cukup tersembunyi dan merupakan tempat yang aman untuk menghinda- ri kejaran Dipati Durga. Sore itu air sedang pa- sang, deburan ombak yang sesekali bergemuruh diseling dengan suara burung camar.
Dalam suasana seperti itu dua sosok ber- pakaian serba hijau nampak berkelebat di antara batu-batu yang bertonjolan, lalu memasuki celah sempit menuju gua tersembunyi. Ketika mereka masuk ke dalam gua, kedu- anya segera jatuhkan diri berlutut di depan sosok nenek yang duduk di tengah ruangan gua itu. Se- saat dua sosok berpakaian serba hijau yang ter- nyata adalah gadis muda belia berparas cantik luar biasa nampak saling berpandangan. Kemu- dian salah seorang yang berbadan agak pendek anggukkan kepala.
"Nyi Sekar kurasa tidak mau diganggu!" "Nyi Arianti, sampaikan saja padanya bah-
wa sampai saat ini Nyi Besinga belum juga kem- bali."
"Aku tidak berani, Nyi Artawanti!" sahut Si Pendek.
Sosok nenek yang duduk dalam keadaan bersemedi di lantai ruangan gua dan cuma dite- rangi cahaya pelita merah temaram buka ma- tanya. Perlahan sepasang matanya yang bening indah memandang ke arah kedua gadis itu yang bukan lain adalah pengasuhnya sendiri. Melihat kemunculan kedua pengasuhnya ini, tahulah dia pengasuh pertama belum juga kembali.
"Kalian datang tanpa Nyi Besinga. Berarti dia belum menemukan orang yang kuinginkan. Sayang sekali, aku sendiri tidak bisa menunggu lebih lama. Jika sampai malam nanti Nyi Besinga tidak muncul bersama Gento berarti kita harus ke Bukit Cadas Hitam untuk menjumpai guruku!" berkata si nenek. Anehnya walaupun nenek itu sudah sangat tua sekali, namun nada suaranya tidak berbeda dengan suara gadis berusia dua pu- luhan, bahkan sepasang matanya juga berbeda dengan mata nenek tua pada umumnya. Menden- gar keputusan si nenek kagetlah kedua gadis itu. Salah seorang diantaranya yang bernama Nyi Arianti setelah menjura hormat cepat berkata.
"Nyi Sekar, bukan saya bermaksud lan- cang, menurut saya tempat itu sekarang sudah tidak aman lagi. Selain itu belum tentu guru Am- beng Tatap Banyu telah kembali dari perjalanan- nya."
"Nyi Sekar, kami selalu menyayangimu. Saya rasa apa yang dikatakan Nyi Arianti tidaklah keliru dan bukan sesuatu yang berlebihan. Bukit Cadas Hitam bukan hanya Dipati Durga saja yang mengetahui tempat itu, tapi Nyi Ronggeng paham betul tentang seluk beluk tempat tinggal guru ki- ta. Yang saya khawatirkan bagaimana kalau tiba- tiba mereka muncul disana?" ujar Nyi Artawanti.
Mendengar pengasuhnya menyebut nama Nyi Ronggeng bergetarlah tubuh si nenek. Pelipis nenek tua itu bergerak-gerak, hidung kembang kempis napas memburu sedangkan matanya ber- kilat tajam memancarkan amarah.
"Siapa takut pada perempuan itu? Kalau dia tidak menyaru sebagai guru, andai Ia tidak menipuku mana mungkin aku jadi begini? Sayang waktu itu dia berhasil meloloskan diri. Jika tidak tentu aku telah berhasil membunuhnya!" geram si nenek.
"Apa yang Nyi Sekar katakan memang be- nar. Tak satupun diantara kita yang takutkan dia. Kami berdua juga merasa tertipu olehnya. Walau- pun wajah kami begini rupa, semuanya tidak memberikan keuntungan apa-apa bagi saya pri- badi. Malah saya merasa malu dengan kenyataan yang sebenarnya!" kata Nyi Arianti.
"Baiklah, lalu apakah kita harus mende- kam di tempat ini selamanya bagaikan seorang pengecut? Tidak, bagaimana pun kita harus men- cari jalan agar dapat keluar dari kemelut yang ki- ta hadapi!" tegas Si nenek.
"Nyi Sekar benar, tapi hendaknya kita me- nunggu sampai Nyi Besinga kembali." Usul Nyi Artawanti.
Si nenek tidak menanggapi, sebaliknya dia miringkan kepala, kedua telinganya nampak ber- gerak-gerak. Tak berapa lama kemudian si nenek melompat bangkit. Berkelebat ke arah mulut gua dia berteriak. "Pengintai tengik, beraninya ikut mendengar pembicaraan orang!"
Lalu sambil berkelebat si nenek hantam- kan tangannya ke arah gundukan batu karang yang tersembul di mulut goa. Serangkum hawa panas bergulung melabrak batu besar itu. Sesaat lagi pukulan Nyi Sekar Langit menghantam batu yang dijadikan tempat persembunyian, satu sosok serba putih berkelebat menghindar sambil umbar tawanya.
Hantaman yang sangat keras membuat gundukan karang hancur berkeping-keping. Se- mentara itu kedua pengasuh si nenek kini begitu keluar menyusul majikannya langsung berpencar mengepung sosok berpakaian seperti pocong itu.
"Hik hik hik! Dicari kemana-mana tidak ta- hunya bersembunyi disini. Nyi Sekar, ternyata kau tidak berani menghadapi kenyataan hidup yang terjadi pada dirimu. Setelah tubuh dan wa- jahmu berubah begitu rupa, baru kau rasakan alangkah hidup ini tidak ada artinya bagi dirimu." dengus orang yang sembunyikan diri di balik se- lubung putih yang dipocong pada bagian atasnya.
Nyi Sekar Langit diam-diam jadi kaget ka- rena tidak menyangka orang berselubung putih itu ternyata mengenal dirinya. Begitu juga halnya dengan Nyi Arianti dan Nyi Artawanti.
"Kau siapa? Berani datang tapi tak berani tunjukkan wajah!" hardik Nyi Arianti.
"Mungkin dia memiliki wajah yang buruk sehingga malu memperlihatkannya pada kita!" Nyi Artawanti menimpali, lalu gadis jelita ini tertawa lebar.
"Dua gadis menyedihkan. Tampang kalian berdua adalah wajah palsu. Aku bahkan tahu keadaan kalian yang sebenarnya. Nasib kalian masih terbilang bagus dari nasib yang dialami Nyi Sekar. Ketahuilah, aku lebih cantik dari nenek itu. Jika kalian melihat gelagat seharusnya segera memohon ampun pada Tuhan karena tak lama lagi ajal akan datang menjemput! Hik hik hik."
"Tunggu, aku rasa-rasa kenal dengan po- cong kesasar itu! Tapi biarlah agar lebih pasti lagi, sekarang akan kubongkar dulu selubung kain pu- tih yang menutupi sekujur tubuhnya!" kata Nyi Sekar Langit. Bersamaan dengan ucapannya itu tanpa bergerak dari tempatnya si nenek tuding- kan jari telunjuknya lurus ke arah sosok berjubah putih yang dipocong pada bagian atasnya. Setelah itu jari digerakkan dari bawa ke atas. Secara mengejutkan terdengar suara robeknya kain yang menyelubungi sekujur tubuh di depannya. Satu gerakan lagi dilakukannya. Selubung kain putih itu seolah seperti ada tangan yang menggerak- kannya langsung melesat ke atas. Begitu selu- bung kain terbuka terlihatlah satu sosok tubuh berpakaian serba kuning berwajah cantik berusia sekitar empat puluh tahun. Kelabakan perem- puan itu mencoba menggapai kain selubungnya yang terbetot lepas, tapi gerakannya kalah cepat dengan gerakan si nenek. Selubung kain terus membubung tinggi, lalu bergerak ke arah pantai.
Merasa kedoknya telah terbuka, dalam ke- marahannya perempuan berpakaian kuning itu malah tertawa mengikik.
"Sejak semula sudah kuduga memang kau- lah orangnya Nyi Ronggeng!" kata Nyi Sekar Lan- git dengan suara dingin. "Setelah kau buat kea- daanku menjadi begini rupa, berani mati kau da- tang kemari?"
"Hik hik hik. Cacat serta perubahanmu masih belum membuat hatiku puas. Aku merasa Dipati Durga baru mau kembali kepadaku setelah kau dapat kubunuh! Hik hik hik!"
Si nenek tersenyum sinis. "Walaupun kea- daanku sudah begini rupa, jangan kau mengira aku sudi pada laki-laki bejat itu. Bagiku lebih baik mati daripada hidup dengannya. Jadi tidak ada lagi alasan bagimu untuk membuat perkara membesarkan persoalan denganku!" tegas si ne- nek. "Kau berkata begitu, tapi di hatiku tetap ada ganjalan. Aku tahu karena kehadiranmu ma- ka Dipati Durga berpaling muka dan kini men- jauhi diriku. Sekarang aku datang dengan tujuan ingin mengambil nyawamu!"
"Perempuan sundal! Kau telah membuat ketua kami menjadi sangat menderita. Seharus- nya kami yang menuntut balas atas segala yang telah kau lakukan. Dasar iblis! Ketua biar kami mewakilimu untuk meringkusnya!" kata Nyi Arianti. Gadis itu kemudian melangkah maju, siap lancarkan serangan ke arah Nyi Ronggeng.
"Kau mau mewakili nenek itu. Kuingatkan padamu sebaiknya mundurlah! Kalaupun kau dan temanmu maju berdua, kalian akan mati sia- sia!" kata perempuan itu sinis.
Merasa diremehkan Nyi Arianti dan Nyi Ar- tawanti serentak bergerak ke depan. Setelah sem- pat bentrok beberapa waktu yang lalu sebagaima- na telah dituturkan dalam episode sebelumnya. Keduanya tahu kehebatan yang dimiliki oleh Nyi Ronggeng. Sehingga begitu mereka bergebrak, langsung saja lancarkan pukulan yang memati- kan.
Begitu kedua pengasuh Nyi Sekar Langit hantamkan kedua tangannya, dari samping ka- nan dan sebelah kiri Nyi Ronggeng menderu hawa dingin yang sanggup membekukan tubuhnya. Namun Nyi Ronggeng yang baru saja berhasil mendapatkan sekaligus menguasai ilmu Sesat Ji- wa ini mendapat serangan cukup berbahaya hanya mendengus disertai tawa panjang. "Cuma ilmu pukulan rongsokan, Kemilau Bidadari Langit siapa takut?" seru Nyi Ronggeng.
Nyi Arianti terkejut tak menyangka lawan mengenali pukulan yang mereka lepaskan. Tapi dia dan sahabatnya terus bergerak ke depan sambil mendorongkan dua tangannya.
Tak pelak lagi kedua pukulan itu menghan- tam Nyi Ronggeng. Tapi aneh begitu pukulan membentur tubuhnya hanya dengan menggerak- kan tubuhnya dengan gerakan seperti orang me- nari pukulan yang dilepaskan oleh kedua penga- suh itu berbalik mental menghantam pemiliknya sendiri malah dengan kecepatan berlipat ganda.
Nyi Sekar tercekat, tak menyangka lawan mampu berbuat seperti itu. Dia menjadi heran mengapa kini lawan bisa memiliki tenaga dalam sehebat itu. Sebaliknya jika Nyi Arianti dan Nyi Artawanti tidak melompat ke samping jatuhkan diri yang diteruskan dengan gerak bergulingan menyelamatkan diri niscaya mereka menjadi sa- saran pukulan sendiri.
Dengan wajah pucat dan keluarkan kerin- gat dingin kedua gadis cantik itu bangkit berdiri. Sejenak lamanya mereka menatap ke arah lawan dengan pandangan seolah tak percaya.
"Ilmu apa lagi yang dipergunakan oleh pe- rempuan genit ini?" batin Nyi Artawanti heran.
"Celaka. Agaknya dia telah berhasil men- gamalkan suatu ilmu yang baru. Beberapa waktu yang lalu tenaga dalamnya tidak sehebat ini. Pan- tas saja dia berani datang kemari!" fikir Nyi Arian- ti. Di depan sana Nyi Ronggeng berdiri tegak sambil berkacak pinggang. Sepasang bibirnya menyunggingkan seulas senyum sinis hingga terkesan sangat meremehkan.
8
Melihat semua ini tentu saja Nyi Arianti dan Nyi Artawanti jadi terpancing amarahnya. Memang ini yang dikehendaki oleh Nyi Ronggeng.
"Kalian terkejut! Hik hik hik. Mendekatlah kemari, kau dan temanmu boleh memilih bagian tubuhku yang paling empuk!" seru Nyi Ronggeng penuh tantangan.
Dua gadis pengasuh itu saling berpandan- gan. Mereka lalu sama-sama anggukkan kepala. Secara bersamaan keduanya melepaskan lingka- ran cambuk yang tergantung di pinggang kiri masing-masing.
"Aku dan temanku akan menghela tubuh- mu tidak ubahnya seperti seekor kuda tunggan- gan!" seru Nyi Arianti.
"Aku khawatir malah kalian yang menjadi penghela mampus lebih duluan!" sahut Nyi Rong- geng. Sekali lagi perempuan cantik setengah baya ini umbar tawanya.
Kedua pengasuh berwajah jelita itu sama keluarkan suara menggerung. Cambuk ditangan mereka laksana seekor ular meliuk diudara, mele- cut dan melibat tubuh Nyi Rombeng dengan arah serangan yang sulit diduga. Akibatnya tentu san- gat luar biasa sekali, dalam waktu hanya bebera- pa jurus saja Nyi Rombeng terdesak hebat. Setiap serangan yang dilancarkannya untuk melemah- kan serangan cambuk kedua tawanya selalu kan- das di tengah jalan.
Karena cambuk itu terkadang dapat beru- bah kaku laksana kawat baja dan dilain saat da- pat melentur sesuai dengan keinginan pemiliknya. Yang lebih berbahaya lagi di bagian ujung cam- buk yang sengaja dipasangi mata tombak laksana kepala ular menyambar bagian-bagian tubuhnya Nyi Ronggeng. Jika sampai mengenai tubuhnya, atau mata tombak itu amblas menembus tubuh dan lawan menarik cambuknya maka bagian da- lam tubuh perempuan itu pasti berbusaian ke luar.
"Hem, serangan dua cambuk celaka itu sungguh tak dapat dibuat main. Aku harus bisa mengenyahkan senjata celaka itu!" rutuk Nyi Ronggeng. Tapi apa yang hendak dilakukannya itu tidaklah mudah. Begitu dia bergerak ke sebe- lah kiri dengan gerakan tangan menyambar cam- buk di tangan Nyi Arianti, dari arah belakangnya ujung cambuk Nyi Artawanti menderu menyam- bar punggungnya.
Sambil lontarkan makian Nyi Ronggeng tanpa menoleh kibaskan tangannya ke belakang. Tapi tangkisan yang dilakukannya mengenai tem- pat kosong karena ujung cambuk kini bergerak ke bawah menyambar bagian pinggang.
Breeet! "Agrh...!" Nyi Ronggeng menjerit keras, punggung ba- junya robek besar, kulit dan dagingnya tergores hingga mengucurkan darah.
"Jahanam keparat!" teriak perempuan itu kesakitan. Tak terperikan betapa marahnya pe- rempuan itu. Tiba-tiba dia dorongkan tangan ka- nannya ke arah Nyi Arianti. Begitu tangan dido- rong, Nyi Ronggeng cepat membalikkan tubuh menghadap langsung ke arah Nyi Artawanti.
Apa yang terjadi kemudian sungguh sangat luar biasa sekali. Begitu Nyi Ronggeng dorongkan tangan ke arah kedua lawannya melesat segulung angin berhawa panas luar biasa. Kedua pengasuh itu tercekat begitu merasakan adanya sambaran angin berhawa panas luar biasa. Laksana kilat mereka memutar cambuk di tangan masing- masing hingga membentuk perisai diri yang ko- koh. Tapi pertahanan yang mereka lakukan nam- paknya sia-sia saja karena kejab kemudian begitu angin pukulan Nyi Ronggeng melabrak cambuk mereka yang digunakan sebagai perisai terdengar suara.
Tess! Tess!
Cambuk di tangan pengasuh itu hancur menjadi bubuk, hingga kini mereka hanya meme- gang bagian gagangnya saja. Kejut di hati Nyi Arianti dan Nyi Artawanti bukan kepalang melihat kenyataan yang tak pernah mereka sangkakan ini. Sadar akan bahaya yang mereka hadapi me- reka melompat ke samping selamatkan diri. Sayang gerakan yang mereka lakukan terlambat. Bahkan Nyi Sekar Langit yang berusaha meno- long kedua pengasuhnya dengan melepaskan pu- kulan jarak jauh tak dapat berbuat banyak. Dua pukulan Nyi Sekar seolah amblas setelah mem- bentur pukulan lawan.
Bumm! Bumm!
Dua pukulan berturut-turut mengenai ke- dua pengasuh tadi. Mereka langsung terjungkal. Pakaian dan sekujur tubuh dikobari api. Anehnya begitu terkena pukulan mereka tidak mampu lagi bangkit berdiri. Tidak pelak lagi keduanya tewas seketika dalam keadaan hangus gosong menjadi arang.
"Nyi Arianti... Nyi Artawanti...!" Nyi Sekar Langit menjerit melihat kematian kedua anak buahnya yang mengenaskan itu. Dengan penuh kemarahan nenek renta ini melompat ke depan, lalu jejakkan kaki tak jauh di depan Nyi Rong- geng. Dengan tatap mata menyorot tajam penuh kebencian, Nyi Sekar Langit berteriak. "Nyi Rong- geng, kalau tak salah penglihatanku kau baru sa- ja membunuh kedua pengasuhku dengan puku- lan keji Sesat Jiwa. Kudengar bangsanya siluman sekalipun tak pernah menggunakan ilmu sekeji itu. Tak kusangka kau telah mengamalkan ilmu itu. Kau bunuh mereka secara kejam, padahal semua itu tidak seharusnya terjadi!"
"Nyi Sekar, kau dan para pengasuhmu itu memang orang yang harus kusingkirkan. Sayang sekali aku tidak melihat pembantumu yang ber- nama Nyi Besinga. Dua nyawa telah kuberang- katkan ke neraka, sekarang tiba giliranmu untuk menyusul mereka!" "Perempuan keparat! Apa kau mengira se- telah kau memiliki pukulan Sesat Jiwa aku jadi takut kepadamu?" berkata begitu si nenek gerak- kan tangannya ke depan dada. Dua tangan bersi- langan depan dada. Dalam kesempatan itu Nyi Ronggeng telah menggerakkan tangannya ke atas kepala. Beberapa saat kemudian begitu tangan terpentang lurus di atas kepala mulutnya berke- mak-kemik. Beberapa saat setelah mulut berko- mat-kamit, dari bagian kepala mengepul asap ti- pis berwarna hitam kebiruan. Perlahan tubuhnya bergetar, dua tangan yang kini telah berubah menjadi merah hitam membara perlahan ditu- runkan siap menghantam ke depan.
Akan tetapi sebelum Nyi Ronggeng sempat melepaskan pukulan Sesat Jiwa yang sangat di- andalkannya, pada saat itu Nyi Sekar Langit telah hantamkan kakinya ke tanah.
Duuk!
Begitu kaki kanan Nyi Sekar menghantam tanah, tubuh Nyi Ronggeng laksana ada satu ke- kuatan yang melontarkan dari dalam tanah nam- pak terpelanting ke udara.
Kejut di hati Nyi Ronggeng bukan alang- alang. Dalam keadaan berjumpalitan dia berusa- ha jatuhkan diri dengan kedua kaki terlebih da- hulu menginjak tanah. Baru saja kaki menyentuh tanah Nyi Sekar Langit kembali hantamkan kaki kanannya ke tanah.
Duuuk!
Seperti tadi Nyi Sekar tubuhnya. terpelant- ing ke udara akibat serangan aneh lawannya ini. Selagi tubuh perempuan itu terpelanting ke atas si nenek tanpa memberi kesempatan lawannya segera menghantam lawannya.
Wuuut! Wuut!
Sinar merah, putih dan kuning melesat da- ri telapak tangan Nyi Sekar Langit. Serangkum hawa dingin luar biasa menghantam Nyi Rong- geng. Perempuan itu memaki panjang pendek saat merasakan bagaimana sekujur tubuhnya laksana ditindih balok es. Tapi walaupun posi- sinya saat itu dalam keadaan tidak menguntung- kan dengan menggunakan daya gerak tubuhnya dia menghantam ke arah Nyi Sekar Langit.
Sinar hitam kemerahan menderu bergerak lurus dari atas ke bawah. Akibatnya bukan hanya menghancurkan pukulan berhawa dingin yang di- lepaskan si nenek, tapi juga terus bergerak me- luncur menghantam Nyi Sekar Langit. Jika nenek itu tidak melompat ke belakang selamatkan diri, tentu tubuhnya kini telah berubah menjadi arang. Tak urung sebagian pukulan yang dilancarkan Nyi Ronggeng masih menyambar bahunya. Si ne- nek menjerit kesakitan. Pakaian hijaunya diba- gian bahu hangus menjadi bubuk, kulit melepuh tembus hingga ke permukaan daging. Termiring- miring si nenek mencoba berdiri tegak, siap me- lancarkan serangan susulan. Tetapi pada waktu bersamaan Nyi Ronggeng yang masih mengam- bang di udara mempergunakan kesempatan ini untuk melepaskan serangkaian tendangan beran- tai ke bagian kepala dan punggung lawan.
Nyi Sekar Langit liukkan tubuh dan kepa- lanya menghindari tendangan bertenaga dalam tinggi itu. Walaupun begitu tak urung salah satu tendangan Nyi Ronggeng masih sempat mendera bagian belakang kepalanya. Si nenek jatuh mene- lungkup, dia merasakan pemandangannya jadi gelap. Tanah di tempat dia berada seolah berputar lebih cepat. Jika bukan nenek ini yang terkena tendangan dapat dipastikan kepalanya hancur, atau paling tidak pecah.
Sekejap lamanya si nenek tak mampu ber- gerak sama sekali. Nyi Ronggeng tertawa terba- hak-bahak. "Tercapai juga apa yang aku inginkan. Sekarang sampai sudah giliranku untuk mengi- rimmu ke neraka!" berkata begitu Nyi Ronggeng memutar tangannya di depan dada. Setelah itu dengan gerakan lurus tangan didorongnya ke de- pan. Dalam keadaan seperti itu Nyi Sekar Langit yang baru saja berusaha bangkit berdiri tentu sa- ja tidak dapat berbuat banyak. Dengan mata ter- belalak si nenek mencoba menggerakkan kedua tangan untuk menangkis serangan lawan. Tapi dia jadi kaget karena ternyata pukulan yang dile- paskan lawan datangnya lebih cepat dari yang dia perhitungkan.
Saat itu jiwa si nenek benar-benar berada dalam ancaman bahaya besar, namun sekejap la- gi tubuhnya hangus terkena pukulan lawannya pada saat itu pula satu bayangan berkelebat ke arahnya. Segulung angin dingin menderu mendo- rong si nenek, hingga membuat tubuhnya mence- lat ke udara, lalu jatuh terduduk di atas bukit ka- rang. Sekali lagi sosok bayangan putih gerakkan sesuatu yang belum jelas benda apa adanya ke arah pukulan Nyi Ronggeng.
Bruss!
"Walah, habis barangku...!" satu suara ber- seru. Pukulan Nyi Ronggeng buyar. Perempuan itu nampak terhuyung. Sedangkan di depannya sosok yang menyelamatkan Nyi Sekar Langit yang ternyata adalah seorang kakek berpakaian serba putih berjenggot panjang nampak kalang kabut kibaskan bagian hulu bambu pancingnya yang hangus terbakar hingga kini hanya tersisa tiga jengkal saja. Di bagian sisa bambu yang dipergu- nakan untuk menangkis itulah tergantung mak- hluk berbulu putih dengan punggung dipenuhi sisik berbuntut panjang.
Melihat binatang itu terkulai si kakek ber- teriak histeris seperti orang yang ditinggal mati anaknya.
"Sialan... walah, Siklututjang... jangan mati dulu... jangan mati jika aku belum bertemu den- gan si bocah edan." seru si kakek. Rupanya ketika mempergunakan salah satu ujung bambu untuk menangkis pukulan Nyi Ronggeng tadi telah ter- jadi satu benturan hebat. Hingga binatang itu pingsan.
Kini dengan sikap seolah tidak memperdu- likan Nyi Ronggeng, kakek berjenggot panjang itu sibuk meniup bagian dubur binatang itu.
"Jangan mati... phuh... puuuh...!" kata si kakek. Sedangkan pipinya yang kempot nampak kembang kempis.
Tak berselang lama kedua mata binatang berkedap-kedip disertai terdengarnya suara men- guik.
Lega hati si kakek. Dia tersenyum, sambil mengelus-elus punggung Siklututjang kini si ka- kek tertawa lebar.
"Ha ha ha! Ternyata nyawamu mendengar permintaanku, hingga tak jadi minggat mening- galkan ragamu. Terima kasih... terima kasih...!" kata si kakek yang bukan lain Tabib Setan adanya.
9
Posisi jatuh Nyi Sekar Langit yang seperti didudukkan membuat nenek itu sadar betul bah- wa dirinya telah diselamatkan orang dari sebuah petaka yang mengerikan. Kini dia memandang ke depan. Dia melihat seorang kakek berpakaian pu- tih yang tidak dikenalnya nampak sibuk meniup- niup bagian pantat binatang yang dibawanya. Se- telah meneliti dan memperhatikan kakek itu, ter- nyata dia memang tidak mengenali siapa si kakek adanya.
"Kakek aneh, rasanya baru kali ini aku me- lihatnya. Dia telah menolongku, tapi aku tidak yakin dia mampu menghadapi pukulan Sesat Ji- wa yang dimiliki oleh Nyi Ronggeng."
Sebaliknya Nyi Ronggeng sendiri diam- diam jadi kaget tak menyangka kakek itu mampu menahan serangannya. Tidak sampai di situ saja, dia juga bahkan mampu membuat tubuhnya ter- huyung dada bergetar mendenyut sakit.
"Siapa bangsat tua ini? Tenaga dalamnya tidak berada di bawahku. Jika tidak kuhabisi dia secepatnya, bukan mustahil aku tidak dapat membunuh Nyi Sekar!" membatin perempuan itu dalam hati.
"Ha ha ha. Binatangku selamat. Tapi bam- buku hangus nyaris tidak bersisa." kata si kakek. Sejurus dia memandang ke depan. Sepasang ma- tanya berkedip-kedip. Enak saja dia berucap. "Pe- rempuan cantik tapi keji. Bagaimana ini urusan- nya. Bambuku sudah kau hanguskan. Untuk memanggul binatang ini aku membutuhkan alat, kalau kuminta salah satu tanganmu yang mulus itu apakah boleh?"
Mendengar ucapan Tabib Setan pelipis Nyi Ronggeng bergerak-gerak. Mata mencorong tajam sedangkan mulutnya memperdengarkan suara menggeram.
"Tua bangka tak tahu gelagat, sudah tahu bersalah masih juga kau berani jual lagak di de- pan Nyi Ronggeng!" dengus perempuan itu sengit. Si kakek miringkan kepala, empat jemari tangan ditempelkan di belakang daun telinga, berlagak seperti orang tuli ia bertanya. "Maaf, aku belum tuli cuma agak budek saja. Tadi kau mengatakan namamu siapa? Nyi Serundeng? Serundeng itu makanan dari kelapa. Sayang... perempuan se- cantik dan menggiurkan seperti dirimu namanya kok seperti makanan. Ha ha ha!" Selagi si kakek tabib sedang tertawa seperti itu satu suara me- nimpali. "Dia bukan hanya sekedar makanan, ia juga tidak ubahnya seperti kuda tunggangan. Ji- ka kau tak percaya coba saja sendiri kakek peno- longku!"
Tabib Setan dan Nyi Ronggeng berpaling serentak ke arah suara. Ternyata yang baru bica- ra tadi adalah Nyi Sekar Langit. Mendengar uca- pan si nenek amarah Nyi Ronggeng jadi tak terpe- rikan. Sementara itu si kakek dengan tenang be- rucap. "Aku sudah tua, tak suka menunggang kuda, tidak yang jantan tidak pula yang betina, karena aku lebih suka jalan kaki saja." Setelah itu sang tabib kembali menghadap ke arah Nyi Rong- geng. "Eeh sobat cantik, kau tadi mengatakan aku telah melakukan kesalahan. Dapatkah kau men- gatakan dimana kesalahanku dan yang salah itu apaku?"
Semakin bertambah geramlah Nyi Rong- geng dibuatnya. "Tua bangka keparat rupanya kau tidak tahu kesalahan yang telah kau per- buat? Baiklah aku akan menunjukkannya pada- mu!" teriak perempuan itu. Diam-diam dia alirkan tenaga dalam ke bagian tangannya siap mengha- jar si kakek dengan pukulan mautnya.
Melihat gelagat seperti ini Tabib Setan ang- kat tangannya. "Jangan. Sebelum kau menggebuk tua ini apakah kau tak ingin mengenal siapa na- ma pangeranmu ini? Ha ha ha!" kata Tabib Setan. "Memangnya kau siapa tua bangka kepa-
rat!" hardik Nyi Ronggeng sengit. Masih dengan tertawa-tawa sang tabib berucap. "Nah, begitu. Aku masih belum terlalu tua untuk kau panggil aku kakang." Gurau si kakek. Tanpa memperdu- likan orang yang memandang mendelik padanya, Tabib Setan melanjutkan. "Kekasihku, nama aku tidak punya. Tapi orang-orang tolol dunia persila- tan memberiku gelar jelek Tabib Setan. Ha ha ha!" kata sang tabib.
Jika mendengar petir di siang bolong Nyi Ronggeng tidaklah sekaget mendengar si kakek menyebut gelarannya. Sejak lama dia mendengar kehebatan tabib yang satu ini. Dengan Ilmu pen- gobatannya nama Tabib Setan pernah menggetar- kan delapan penjuru rimba persilatan di tanah Jawa. Pengobatannya dalam menyembuhkan ber- bagai macam penyakit tidak perlu diragukan lagi. Sifatnya yang angin-anginan tak jarang orang be- robat kepadanya justru menemui ajal secara mengerikan.
Sebaliknya Nyi Sekar Langit sendiri walau- pun ketika mendengar si kakek menyebut siapa dirinya sempat dibuat tercekat tapi melihat kakek itu berada di pihaknya ia tidak begitu risau. Ma- lah kini jauh di lubuk hatinya muncul secercah harapan untuk mengobati penyimpangan menge- rikan yang terjadi pada dirinya.
"Tabib Setan, nama besarmu dulu sering aku mendengarnya. Tapi jangan mengira setelah mengetahui siapa dirimu aku mau membatalkan apa yang telah menjadi niatku. Pertama kubunuh dulu dirimu, setelah itu baru kuselesaikan nenek jelek yang satu itu!" kata Nyi Ronggeng.
"Tabib Setan, hati-hati. Dia memiliki ilmu pukulan Sesat Raga. Lengah sedikit tubuhmu bi- sa menjadi arang gosong!" teriak Nyi Sekar Langit. Tabib Setan berpaling sejenak pada nenek itu. Dia manggut-manggut. Sambil mengelus jenggotnya dia berkata. "Terima kasih atas perin- gatanmu nenek butut. Aku akan menghadapi pe- rempuan cantik ini dengan penuh kesabaran. He he he."
"Sialan, aku dibilangnya nenek-nenek bu- tut!" gerutu Nyi Sekar Langit sambil menggaruk keningnya.
"Lihat serangan!" teriak Nyi Ronggeng. Ber- samaan dengan teriakannya itu Nyi Ronggeng lancarkan serangan berupa cengkeram yang men- garah ke bagian wajah kakek itu. Serangan ganas ini sebenarnya hanya tipuan saja karena begitu Tabib Setan gerakkan kepalanya ke belakang. Tinju Nyi Ronggeng menderu menghantam da- danya.
"Walah, calon istri mengapa galak amat? Sudah habis mencakar kini malah menggebuk dada!" berkata begitu sang tabib melompat ke be- lakang, lalu dia dorongkan sepuluh jarum perak yang tersusun rapi di sela-sela jemari tangannya sambil berkata. "Biar kuobati tanganmu agar ti- dak jahil lagi!" ejek si kakek.
Ucapan sang tabib sebenarnya hanya gu- rauan saja karena jarum perak itu mengandung racun jahat yang dapat menghancurkan pembu- luh darah hanya dalam waktu sedetik.
"Keparat...!" maki lawannya begitu dia me- rasakan sambaran angin dingin mencuat dari ujung setiap jarum. Nyi Ronggeng tarik balik se- rangannya. Dia lalu melompat ke atas, tubuhnya berkelebat lenyap hingga kini hanya berupa bayangan saja. Tabib Setan bersikap tenang luar biasa. Walaupun matanya setengah terpejam, namun orang tua yang sudah sangat berpengala- man dalam berbagai tempat perkelahian itu dapat melihat keberadaan posisi lawannya.
Dengan sudut matanya dia melirik setiap gerak yang dilakukan lawan. Lalu ketika Nyi Ronggeng melesat ke bawah sambil gerakkan kaki menghantam dada dan kepalanya. Pada saat itu pula si kakek raup sesuatu dari balik kantong perbekalan obat yang tergantung di pinggangnya.
Ketika tangan ditarik ke atas dan dihan- tamkannya ke arah lawan. Maka melesatlah pu- luhan benda berwarna hitam sebesar ujung jari kelingking memenuhi udara. Nyi Ronggeng batal- kan serangan kaki, sebaliknya kini dia menghan- tam orang tua itu dengan pukulan Sesat Jiwa.
Puluhan benda yang disambitkan ke udara mengeluarkan letupan keras begitu membentur pukulan lawannya. Asap biru menebar di udara, menutupi pemandangan. Sementara sang tabib melompat menghindar selamatkan diri dari jang- kauan serangan lawannya.
Buum!
Si kakek tak urung menjerit begitu mera- sakan bahunya terasa luluh lantak terkena sam- baran sebagian pukulan yang dilancarkan lawan- nya. Tak jauh dari si kakek pendataran batu ka- rang nampak berlubang besar, hangus menghi- tam terkena pukulan Nyi Ronggeng.
Si kakek sendiri masih dapat berdiri den- gan bahu termiring-miring. Pakaian putihnya di- bagian bahu hangus mengepulkan asap. Semen- tara di tengah tebaran asap biru ada sosok tubuh yang terjatuh bergedebukan disertai terdengarnya suara batuk dan sumpah serapah.
Melihat keadaan si kakek, Nyi Sekar Langit langsung melompat ke arah Tabib Setan setelah sebelumnya tutup jalan nafasnya.
"Kakek tua kau tidak apa-apa...?" seru Nyi Sekar cemas.
Di tengah-tengah kepulan asap yang mulai menghilang Tabib Setan tertawa mengekeh.
"Aku... aku tidak apa-apa. Cuma posisi ba- huku saja yang letaknya jadi tidak benar. Terima kasih atas perhatianmu nenek butut. Kau ming- girlah sebentar, setelah kuracuni nafas perem- puan itu sekarang aku ingin menghadiahinya dengan jarum neraka! Ha ha ha!" Selesai dengan ucapannya Tabib Setan raup belasan jarum bera- cun dari balik pakaiannya. Nyi Sekar Langit me- lompat mundur. Sedangkan Nyi Ronggeng yang sekujur tubuhnya berubah membiru akibat me- nyedot asap beracun milik si kakek dengan nekad melesat ke depan.
"Aku mengadu jiwa denganmu, tua bangka jahanam!" teriak perempuan itu sengit. Dengan cepat dia berkelebat, dia dorongkan tangannya ki- ri kanan dengan segenap kemampuan yang dia miliki.
Melihat Nyi Ronggeng kembali melepaskan pukulan Sesat Jiwa, maka Nyi Sekar Langit tidak tinggal diam. Dari samping dia mencoba mema- paki pukulan lawan dengan satu pukulan yang tak kalah hebatnya dengan pukulan yang dilan- carkan oleh Nyi Ronggeng.
Cahaya putih laksana kilat berkiblat me- motong gerak sinar merah yang melesat dari tan- gan Nyi Ronggeng. Satu letusan mengguncang udara, Nyi Sekar terdorong mundur. Sedang Nyi Ronggeng tubuhnya terus meluncur ke arah Ta- bib Setan, sementara belasan jarum berwarna hi- tam datang menyongsongnya.
Lawan yang sudah gelap mata ini dengan menggunakan tangan kiri mencoba menghantam serangan jarum maut itu sedangkan tangan di- pergunakan untuk menghantam perut si kakek.
Tapi sangat disayangkan, tidak seperti yang dia duga, hanya beberapa batang jarum maut itu saja yang dapat dibuatnya terpental. Se- dangkan sebagian lainnya menancapi sekujur tu- buh Nyi Ronggeng.
Seakan ada kekuatan yang tidak terlihat, perempuan itu terdorong mundur ke arah semula. Dia menjerit setinggi langit. Tubuhnya jatuh ter- pelanting. Begitu sosoknya menyentuh tanah, dengan mata mendelik jiwanya pun tidak ketolon- gan lagi.
Hanya dalam waktu sekejap mata, sekujur tubuh Nyi Rombeng yang ditancapi puluhan ba- tang jarum nampak mengucurkan darah, seolah sekujur pembuluh darahnya pecah.
"Ha ha ha! Ternyata dia adalah perempuan jahat lagi keras kepala. Perempuan seperti itu mana bisa dijadikan seorang istri." kata si kakek sambil memandang mayat Nyi Ronggeng. Nyi Se- kar Langit yang saat itu mengurut dadanya belum lagi sempat menimpali ucapan sang tabib ketika secara tak terduga terdengar suara orang seperti mengomel yang disertai berkelebatnya tiga sosok bayangan hijau, putih dan cokelat ke arah mere- ka.
"Tua bangka setan, katanya kau udah ber- tobat. Mengapa kau membunuh orang dengan ca- ra sekeji itu. Padahal kau mengaku perempuan itu calon isterimu. Adakah di dunia ini calon su- ami sekejam dirimu?"
"Ah...!" sang tabib tercengang. Dia menoleh ke arah datangnya suara. Wajah sang tabib men- dadak berubah pucat, namun juga gembira begitu matanya membentur satu sosok tubuh yang se- lama ini dicarinya berdiri tegak diantara dua ga- dis cantik yang sama sekali tidak dia kenal.
10
Beberapa saat lamanya Tabib Setan berdiri termangu. Rasa girangnya melihat orang yang dia cari selama ini membuat si kakek tak mampu bi- cara walau barang sepatah katapun. Disisi lain, dia sebenarnya juga merasa tidak enak hati, ka- rena apa yang dilakukannya dilihat oleh pemuda itu. Pemuda konyol dimana si kakek pernah ber- janji untuk tidak lagi melakukan pembunuhan secara keji. Sementara itu Nyi Sekar Langit begitu mengenali salah satu dari tiga orang yang datang nampak begitu gembira.
"Nyi Besinga, mungkinkah pemuda yang datang bersamanya adalah Pendekar Sakti 71 Gento Guyon? Lalu gadis berpakaian serba putih itu siapa?" batin nenek itu. "Ciri-ciri pemuda itu sama persis dengan gambaran yang kudapatkan dalam semediku. Mudah-mudahan saja dia?" fikir si nenek. Diam-diam dia terpesona melihat kega- gahan pemuda bertelanjang dada itu.
"Tabib Setan.. kau telah melanggar pan- tangan membunuh dengan semena-mena. Seka- rang apa tanggung jawabmu?" Si Gondrong berte- lanjang dada membuka mulut ajukan pertanyaan. Tabib Setan jadi salah tingkah. "Gento...
kau... kau jangan salah paham. Kau lihat dulu keadaan serta pakaianku yang hangus begini. Bukannya aku membela diri. Aku lakukan semua ini karena demi membela nenek itu sekaligus me- nyelamatkan diri. Mana boleh kau marah pada- ku!"
"Ah, ternyata pemuda gagah itu memang pendekar sakti 71 Gento Guyon. Mudah- mudahan dengan kehadirannya aku dapat keluar dari gelapnya hati rumitnya fikiran dalam meng- hadapi kenyataan yang pahit ini" gumam Nyi Se- kar Langit merasa lega. Sampai sejauh itu dia masih tak ingin bicara apapun. Sementara gadis berpakaian putih yang tiada lain adalah Mutiara Pelangi alias Putri Kupu Kupu Putih sejak hadir di tempat itu perhatian lebih banyak tercurah pa- da Nyi Sekar Langit.
"Kalau cuma seorang nenek renta begitu yang harus ditolong Gento. Dengan senang hati aku merelakan Gento menolongnya," fikir sang dara.
"Tabib-tabib, ternyata sifat setanmu tidak berubah sampai sekarang. Tadi kau mengatakan perempuan itu kudengar calon istrimu. Mengapa kau sekarang malah berpihak pada nenek itu?" tanya Gento dengan mulut mengulum senyum.
Tabib Setan jadi salah tingkah. "Gento... kau seperti tidak mengenal bagaimana sifatku. Apa yang kukatakan tadi semua hanya bergurau saja. Tua bangka seperti diriku mana mungkin punya keinginan untuk mencari pendamping lagi. Tidak seperti dirimu, kulihat kau begitu serakah. Dua gadis cantik kau gandeng sekaligus. Ha ha ha!"
Si baju hijau Nyi Besinga dan Pelangi nam- pak tersipu. Sementara Gento hanya cengengesan dan sambil menyeka wajahnya. Sedangkan Nyi Sekar langit pada saat itu berkata. "Anak muda apakah kau yang bergelar Pendekar Sakti 71 Gen- to Guyon?"
Mendengar Nyi Sekar menyebut gelar Gen- to, Tabib Setan kerutkan keningnya. Kerut merut diwajahnya makin tajam ketika dia melihat se- buah kalung bermata batu berbentuk bulat lon- jong tergantung di leher pemuda itu. Kalung aneh itulah yang luput dari perhatiannya.
"Bocah edan kau punya gelar hebat itu kau dapatkan dari mana? Dan siapa pula yang mem- berimu kalung bermata batu butut itu?" tanya si kakek tiba-tiba.
"Walah pertanyaan nenek itu saja belum kujawab, kau malah ikut-ikutan bertanya. Jadi mana yang harus kujawab?"
"Lebih baik kau jawab pertanyaan nenek itu dulu." kata Pelangi.
"Hmm, sobatku Pelangi benar. Mendahulu- kan kepentingan seorang perempuan lebih afdol dari pada kepentingan kakek gila itu. Nek... terus- terang, namaku Gento Guyon. Mengenai gelarku, itu hanya pandai-pandainya seorang kakek berge- lar Manusia Seribu Tahun!"
"Hah... Manusia Seribu Tahun? Kau jangan bercanda. Manusia Seribu Tahun bukan orang biasa. Dia hidup antara ada dan tiada. Bahkan segala kehebatan serta ilmunya lebih tinggi dari para dewa. Dulu ketika aku masih kecil, aku ser- ing mendengar tentang Manusia Seribu Tahun, tapi semua itu hanya sebuah cerita legenda. Gen- to kau jangan main-main...!"
Gento tertawa, lalu menunjuk ke wajahnya sendiri.
"Kau lihat adakah aku sedang bercanda. Aku bertemu dengannya, tapi buat apa aku ceri- takan semua ini padamu. Ha ha ha!"
"Ah... jadi, apakah rajah berupa angka 71 di dada kirimu itu dia yang membuatnya?" tanya si kakek.
"Kau kira siapa, kakek tabib? Bukan hanya di dada saja, tapi di telapak tanganku juga di- buatnya rajah." kata Gento sambil menunjukkan telapak tangan kanannya dimana pada bagian te- lapak tangan itu tertera pula angka yang sama. "Tabib Setan, kalau aku menghendaki waktu itu mungkin di anuku juga sudah dibubuhi rajah angka, maksudnya supaya jangan tertukar den- gan punya orang lain. Ha ha ha!"
"Bocah edan. Kau ada-ada saja, kuharap kau mau menceritakan peristiwa hebat yang telah terjadi padamu." kata sang tabib penuh harap.
"Oalah, kau penasaran tabib? Rupanya in- gin pula kau bertemu dengan Manusia Seribu Ta- hun, apa kau ingin menjadi muridnya?" sindir Gento.
"Ah tidak, aku sudah terlalu tua untuk menjadi murid orang. Aku sudah cukup senang jika kau mendapat ilmu hebat dari Manusia Seri- bu Tahun, karena seingatku tidak pada semba- rang orang manusia setengah roh itu mau menu- runkan ilmunya. Jangankan memberikan ilmu untuk menemuinya saja rasanya tidak mungkin!"
"Kalau begitu aku termasuk orang yang be- runtung ya?"
"Kau bukan cuma beruntung, tapi bertemu dengannya merupakan suatu karunia." Berkata begitu Tabib Setan lalu mendekati Gento. Di ba- wah pandangan setiap orang sang tabib tanpa perduli lagi berbisik. "Gento... aku mencarimu ka- rena ada yang ingin kuberikan padamu. Sesuatu yang sangat langka mengandung khasiat luar bi- asa. Kita akan membuat acara kecil, kita pesta. Binatang ini akan ku sembelih, darahnya nanti kucampur dengan ramuan." ujar si kakek sambil menunjuk ke arah binatang yang ditentengnya. "Gento... darah dan daging binatang ini mengan- dung kekuatan yang mampu menambah daya ta- han tubuhmu terhadap racun, dengan meminum darah dan daging binatang ini segalanya dalam dirimu juga akan bertambah hebat. Termasuk yang itu...!"
"Itu apa?" tanya si pemuda dengan mulut melongo.
"Ah, jangan berlagak tolol, itu anu...!" Lalu tabib aneh ini menggerak-gerakkan jari telunjuk- nya. "Sudah tahu kan?"
"Ha ha ha. Dasar tabib edan, menikah saja belum, bagaimana bisa anu?"
"Paling tidak kau untuk sementara puasa dulu. Lagipula kau hanya tinggal memilih salah satu diantara dua gadis itu. Kalau kau mau men- gambil keduanya juga boleh." kata si tabib sambil kedipkan matanya.
"Ngaco. Aku belum berfikir sejauh yang kau bayangkan." sahut sang pendekar
"Ya sudah. Sebaiknya kau ikut denganku sekarang!" ujar si kakek, dengan suara keras.
"Tidak. Kakek tabib, kuharap kau tidak bi- cara melantur. Aku mempunyai kepentingan ter- sendiri dengan Pendekar Sakti 71 Gento Guyon. Harap kau mau memberi waktu agar aku dapat meminta bantuan Gento untuk menyelesaikan masalahku!" Yang berkata begitu adalah Nyi Se- kar Langit.
Gento dan Tabib Setan berpaling ke arah nenek itu. "Nenek jelek. Apa sebenarnya urusanmu. Apakah aku juga boleh mengetahuinya?" tanya Tabib Setan
Si nenek gelengkan kepala. "Kau orang luar tidak boleh ikut campur, karena kepentinganku tidak ada hubungannya denganmu!" tegas si ne- nek.
"Kalau begitu aku sangat kecewa sekali." celetuk si kakek bersungut-sungut.
"Silahkan nikmati rasa kecewamu sambil menunggu di sini!" berkata begitu Nyi Sekar Lan- git memberi isyarat pada Nyi Besinga dan Pelangi. Setelah itu dia berkata ditujukan pada Gento. "Gento... ada yang ingin kubicarakan. Harap kau ikut denganku tanpa kakek tabib!" Selesai berka- ta Nyi Sekar berkelebat menuju gua karang yang terletak tak jauh di belakangnya. Yang kemudian disusul oleh Nyi Besinga dan Pelangi.
"Kau sudah dengar sendiri Tabib Setan. Jauh sebelum datang kemari aku memang berniat menolong nenek itu. Jadi kuharap kau suka ber- sabar menunggu giliranmu!"
"Gento, mengapa kau lebih memilih meme- nuhi keinginan nenek butut itu dari pada berpes- ta denganku. Ingat binatang ini khusus kuper- sembahkan padamu. Jika kau mencarinya sendiri ke ujung dunia pun kau tak akan menemukan- nya."
"Kuhargai atas segala perhatianmu. Eng- kau tunggulah disini, aku tak akan lama. Begitu urusan selesai aku akan kembali menjumpaimu!"
"Gento, aku tidak bisa menunggu lama. Ji- ka gurumu muncul habislah aku dibuatnya!" kata si kakek.
Sepi tidak ada jawaban. Ketika Tabib Setan berpaling ke arah dimana sang Pendekar tadi ber- diri, ternyata Gento telah pergi meninggalkannya.
"Setan... apa sebenarnya yang sedang ter- jadi dengan nenek tadi. Suaranya begitu merdu seperti suara seorang gadis cantik jelita. Jangan- jangan dia sengaja hendak mengerjai Gento. Ada baiknya jika aku mengintai!" fikir Tabib Setan.
Tak lama kemudian sang tabib berjalan mengendap-endap mendekati mulut gua. Semen- tara itu hari mulai merembang petang. Hembusan angin laut menderu menghempas batu karang menimbulkan suara aneh seperti bisikan setan.
11
Di dalam ruangan yang hanya diterangi se- buah pelita merah temaram Nyi Sekar Langit du- duk berdampingan dengan Nyi Besinga pengasuh sedangkan Gento duduk di samping Pelangi menghadap langsung ke arah si nenek dan si jeli- ta Nyi Besinga. Gadis itu sendiri yang tidak meli- hat dua pengasuh lainnya segera ajukan perta- nyaan. "Nyi Sekar, kemanakah perginya Nyi Arianti dan Nyi Artawanti? Sejak tadi aku tak me- lihatnya!"
Nyi Sekar Langit tundukkan wajahnya sambil menarik nafas dalam. Dengan suara per- lahan pula dia menjawab. "Kedua sahabat penga- suhmu itu telah tewas di tangan Nyi Ronggeng. Beruntung Tabib Setan datang menolong, jika ti- dak mungkin aku juga turut binasa."
"Nyi Ronggeng...!" seru Gento dan Pelangi hampir bersamaan, sedangkan sepasang matanya terbelalak lebar.
"Tak pernah ku menyangka perempuan ke- parat itu telah datang kemari!" desis Gento.
"Kau mengenalnya?" tanya Nyi Sekar Lan-
git.
"Aku hampir saja terbunuh, setelah kena
ditipunya." sahut sang pendekar. Dia kemudian menceritakan segala sesuatunya yang terjadi ke- tika Nyi Ronggeng baru saja berhasil menguasai ilmu barunya. Untuk lebih jelas (baca episode Se- sat Jiwa).
"Perempuan iblis itu memang selalu bertin- dak membabi buta. Sejak kekasihnya berpaling pada diriku, dia begitu benci pada laki-laki. Ke- benciannya pada diriku malah lebih gila lagi, ka- rena dia menyangka aku yang telah merebut Di- pati Durga! Padahal sampai diriku menjadi cacat buruk rupa begini, sedikit pun aku tak pernah tertarik pada si hidung belang Dipati Durga. Tapi dia tetap tidak mau percaya. Setelah membuat rusak diriku, tadi dia datang lagi ingin membu- nuhku!" geram si nenek.
"Memangnya apa yang terjadi dengan diri- mu, nek. Kulihat kau dalam keadaan sehat saja tak kekurangan sesuatu apapun?" ujar Pelangi. Si nenek tersenyum getir. Dia tengadahkan wajah, lalu memandang ke langit-langit gua. Masih da- lam keadaan seperti itu dia berkata.
"Keadaanku yang sebenarnya bukanlah se- perti ini. Begitu juga keadaan Nyi Besinga yang aslinya bukan seperti yang kau lihat...!"
"Eh, apa maksudmu, nek?" tanya Gento tak mengerti.
"Begini... diriku sampai menjadi seperti ini karena Nyi Ronggeng yang menyaru sebagai guru kami telah melakukan penipuan. Dengan me- nyamar sebagai guruku dia mengajarkan suatu ilmu bernama Angin Sungsang Jiwa. Aku percaya, karena sudah lama guruku Sri Ambeng Tatap Banyu pernah menjanjikan ilmu itu akan ditu- runkannya pada kami. Tidak tahunya yang me- nemuiku itu bukan guruku. Tapi Nyi Ronggeng, perempuan iblis yang begitu mendendam pada di- riku."
"Memang gurumu kemana nek, mengapa kau sampai tertipu Nyi Ronggeng?" tanya Pelangi.
"Guruku pergi untuk menyelesaikan satu urusan. Tapi sampai sekarang belum kembali. Ke- tika Nyi Ronggeng datang, aku mengira dia adalah guru karena dia menyamar sebagai guru."
"Setelah Nyi Ronggeng mengajarimu ilmu baru apa yang terjadi nek?" tanya Gento.
"Yang terjadi adalah seperti yang kau lihat sekarang. Aku menjadi tua sebelum waktunya." sahut Nyi Sekar.
"Apa maksudmu?" tanya Pelangi.
"Umurku yang sebenarnya adalah sekitar dua puluh tahun. Mungkinkah orang seumur itu punya tampang seperti ini. Menjadi seorang ne- nek berusia sekitar tujuh puluh tahun?"
Mendengar jawaban Nyi Sekar Gento ter- cengang, lalu tertawa. Sedangkan Pelangi akhir- nya mulai diliputi perasaan tidak enak jika tidak boleh dikatakan cemburu.
"Hebat. Tapi sayang Nyi Ronggeng sudah mati. Jika tidak tentu dia dapat kumintai tolong untuk merubah sobatku Tabib Setan menjadi seo- rang bocah berusia tujuh tahun. Ha ha ha!"
"Gento, kau jangan bercanda. Terus-terang hidup dalam keadaan seperti ini aku selalu di- rundung duka. Aku ingin kembali seperti sediaka- la. Aku mau seluruh tenaga dalamku pulih, aku juga berharap wajahku kembali seperti semula, tidak peot begini rupa."
Pendekar Sakti 71 Gento Guyon menyerin- gai, lalu usap wajahnya yang berkeringat pulang balik. Baru kemudian membuka mulut. "Pertolon- gan apa yang dapat kau harapkan dari orang geb- lek seperti diriku ini nek? Aku ora iso opo-opo, ti- dak becus apapun."
"Dalam wangsit aku mendapat petunjuk hanya kau yang bisa menolongku. Untuk kembali seperti sedia kala memang tidak mudah, salah sedikit nyawaku menjadi taruhannya. Saat ini pe- redaran darahku kacau, tenaga sakti tidak bisa kuhimpun. Hingga aku kehilangan dua pertiga dari seluruh kekuatan yang kumiliki. Selama hi- dup, aku memiliki tenaga dari satu sumber yang berpusat di bagian pusar. Sedangkan kau memi- liki tujuh inti pembangkit tenaga, tujuh titik pem- bangkit kekuatan atau cakra. Ketujuh pusat pembangkit tenaga itu dapat kau manfaatkan dengan baik kapan saja kau mau. Konon menurut Nyi Ronggeng yang membuat kami cacat begini, aku dan Nyi Besinga telah menderita kerusakan pada bagian otak kecil. Kerusakan itu membuat aku dan pengasuhku ini kehilangan keseimban- gan. Hilangnya keseimbangan serta kacaunya pe- redaran darah di nadi besar membuat perubahan tubuh seperti yang kau lihat. Sedangkan kerusa- kan yang terjadi di bagian dalam membuat aku tak mampu menggunakan seluruh tenaga dalam- ku, tubuh menjadi rapuh dan dalam waktu ter- tentu urat-urat darah yang terdapat di sekujur tubuh kami rasanya laksana mau meledak, me- nimbulkan rasa sakit yang tidak terkirakan!" ujar si nenek.
"Tolonglah kami, Gento." desak Nyi Besinga yang sejak tadi hanya diam ikut mendengarkan.
"Gento... di dalam dirimu, terdapat tujuh pembangkit sumber tenaga yang oleh Manusia Seribu Tahun dinamakan Tujuh Inti Pembangkit Cakra. Karena sumber penyakit yang kuderita ini berada di bagian otak kecil. Maka kau dapat menggunakan pembangkit tenaga atau cakra yang ketujuh untuk menolong diriku. Rasanya aku tidak perlu menjelaskan apa dan bagaimana caranya kau membantu diriku. Karena kau lebih mengetahui apa yang harus aku lakukan!" ujar si nenek.
Sejenak lamanya suasana di dalam ruan- gan gua berubah sunyi. Gento pun terdiam, otak- nya mengingat. Dia tahu setelah bertemu dengan kakek setengah roh bergelar Manusia Seribu Ta- hun, kesaktian yang dimilikinya kini semakin ber- tambah tinggi. Dia bahkan dapat mengerahkan tenaga dalam dari tujuh bagian sumber tenaga di tubuhnya. Tujuh sumber tenaga yang dapat dike- luarkan secara serentak pada saat dibutuhkan. Semuanya tergabung menjadi satu di dalam jiwa raganya. Hingga Manusia Seribu Tahun membe- rinya gelar Pendekar Sakti 71.
Tapi tujuh inti kesaktian itu selama ini be- lum pernah dipergunakannya karena selain dapat membuat lawannya menjadi debu, juga ke tujuh inti kekuatan itu dapat dipergunakan sekali da- lam tiga purnama. Kini agaknya dia harus meng- gunakan inti yang berpusat di bagian otak kecil- nya untuk menolong Nyi Sekar Langit dan Nyi Be- singa.
Gento merasa tidak keberatan untuk me- nolong mereka, namun diam-diam perasaannya jadi tidak enak ketika dilihatnya Pelangi cemberut terus.
"Gento... apakah kau tidak bersedia meno- longku?" tanya Nyi Sekar Langit.
"Aku tentu saja mau menolong kalian. Bu- kankah begitu, Pelangi?"
"Yang dimintai pertolongan adalah dirimu dan yang punya kemampuan untuk melakukan- nya juga kau sendiri. Mengapa harus bertanya padaku?" jawab Pelangi ketus. Mendengar ucapan sang dara, Gento akhirnya berkata.
"Baiklah, aku akan membantumu. Seka- rang apa yang harus kulakukan? Perlu diingat, aku hanya akan menggunakan sumber tenaga yang berpusat di bagian otak kecilku cuma satu kali, jadi pengobatan akan kulakukan sekaligus. Jadi Nyi Besinga harap duduk bersila di depan, Nyi Sekar. Sedangkan aku sendiri berada di bela- kang kalian berdua!" tegas sang pendekar.
"Gento, apapun yang bakal terjadi dengan kami nanti, sebelumnya aku mengucapkan terima kasih kepadamu karena kau telah mau meno- long!" ujar Nyi Sekar.
"Aku juga berterima kasih pada Pelangi, karena beberapa waktu yang lalu dia telah me- nyelamatkan aku dari liang kubur. Kalau bukan karena bantuannya, mungkin kalian cuma bisa minta tolong pada arwahku. Itupun kalau arwah- ku kesasar kemari. Ha ha ha!"
Mutiara Pelangi dalam hati tertawa men- dengar ucapan Gento. Sebaliknya si nenek dan Nyi Besinga nampak sibuk melakukan apa yang diperintahkan murid kakek gendut Gentong Ke- tawa itu.
Kini Nyi Besinga duduk bersila dengan ma- ta terpejam. Dibelakangnya si nenek juga dalam keadaan yang sama. Bedanya tangan nenek itu, kanan kiri menempel ketat di kedua pelipis Nyi Besinga. Melihat ini Gento jadi tersenyum. "Lucu sekali keadaan mereka, tidak ubahnya seperti monyet mencari kutu." katanya dalam hati.
Tak begitu lama si pemuda duduk di bela- kang Nyi Sekar Langit. Kedua kaki dilipat, lalu dia berkata pada Pelangi. "Sobatku, tolong kau jaga kami. Siapapun jangan boleh mengganggu kami!" Si gadis anggukkan kepala.
"Bagus, Nyi Sekar Langit, ikutlah petun- jukku. Sesuai dengan petunjuk yang kuberikan lakukan pula terhadap Nyi Besinga. Pertama tarik nafas dalam-dalam, setelah itu kosongkan fikiran dan hati. Jangan kau fikirkan kekasihmu, kalau ada atau orang tua juga anakmu kalau punya. Selama aku menyalurkan dan memperbaiki pere- daran darahmu yang kacau jangan pula berani membuang nafas atau segala sesuatu yang ber- hubungan dengan angin. Nah... sekarang bersiap- siaplah!"
"Kami sudah siap," Nyi Sekar dan Nyi Be- singa menyahut serentak.
Gento tersenyum puas. Kedua tangan ke- mudian ditempelkan ke belakang kepala Nyi Se- kar Langit tepat di bagian otak kecil. Setelah itu perlahan kedua mata sang pendekar terpejam. La- lu, diapun mulai menggerakkan tenaga sakti yang bersumber di bagian otak kecilnya. Sesaat Gento tersentak, kepalanya seolah melembung besar. Hawa panas mengalir deras dari bagian otak ke- cilnya kemudian bergerak ke bagian leher, selan- jutnya terus menjalar ke bagian tangannya. Begi- tu tenaga sakti yang keluar dari pusat keseim- bangan tubuh menyentuh kepala Nyi Sekar Lan- git, tubuh sang pendekar bergetar. Wajahnya nampak memerah, urat-urat darah di bagian wa- jah bersembulan keluar sedangkan sekujur tu- buhnya nampak basah bersimbah keringat.
Di depannya sekali Nyi Besinga yang me- nerima hawa sakti yang tersalur lewat Nyi Sekar nampak menggeliat kesakitan. Kepala gadis jelita itu nampak mengepulkan asap tebal berwarna putih. Hebatnya lagi kepalanya laksana meledak, sedangkan perutnya terasa mulas hingga mem- buat si gadis tak dapat menahan kentut.
"But! But! But!
Terdengar suara kentut bertalu-talu. "Celaka siapa yang kentut?!" batin Gento
dalam hati. Tapi pemuda ini terus mengerahkan tenaga dalam yang bersumber pada bagian otak kecilnya. Nyi Sekar sendiri sebenarnya merasakan hal yang sama sebagaimana yang dialami oleh Nyi Besinga. Namun nenek berusaha sekuat tenaga agar dari bagian bawahnya tidak keluar angin.
Dia hanya mengerang, merintih tak berke- putusan menahan rasa sakit luar biasa yang mendera sekujur tubuhnya terlebih-lebih di ba- gian kepala. Sampai pada puncaknya sekujur tu- buh Nyi Sekar dan Nyi Besinga nampak mengge- lembung besar laksana balon. Bersamaan dengan itu pula bagian kepala dan wajahnya ikut melem- bung.
Pelangi yang melihat semua perubahan ini nampak terkejut setengah mati. Dengan wajah pucat dan mata terbelalak lebar dia berkata. "Ce- laka! Bagaimana seandainya tubuh mereka mele- dak?"
Sementara itu Nyi Sekar Langit dan Nyi Be- singa merasa seolah dunia ini bagai dijungkir ba- likkan. Bagian belakang kepalanya tidak ubahnya bagai dihantam palu godam. Mereka menjerit, bersamaan dengan terdengarnya suara jeritan mereka, dari bagian hidung, mulut serta telinga nampak mengeluarkan uap hitam menyerupai kabut yang terus menerus tiada henti.
Keluarnya uap berbau busuk itu membuat sekujur tubuh serta bagian wajah mereka men- ciut, kembali kepada keadaan semula. Tapi suatu kejadian aneh dan sulit dipercaya terjadi wajah Nyi Sekar yang semula dalam rupa nenek jelek kini nampak berubah cantik luar biasa. Sebalik- nya Nyi Besinga lain lagi. Wajah cantik gadis jelita itu kini dipenuhi kerut merut dan mengeriput di sana sini. Kulitnya yang putih mulus sama sekali lenyap berganti dengan wajah seorang nenek tua berkulit hitam berbadan kurus berpantat tepos.
"Ilmu tipuan iblis apa yang dipergunakan Gento. Mengapa bisa terjadi dua hal yang bertolak belakang?" batin Pelangi tak habis mengerti.
Pada saat itu Gento sudah menarik kedua tangannya yang ditempelkan ke bagian kepala be- lakang Nyi Sekar Langit. Namun pemuda yang te- lah kehilangan banyak tenaga sakti itu kini tetap duduk bersila. Wajahnya membayangkan keleti- han yang amat sangat, juga pucat seperti kehi- langan semangat. Sementara Nyi Sekar Langit yang telah pulih seperti sediakala kini membuka matanya, dua tangan yang menempel di pelipis Nyi Besinga ditarik lepas. Dia kemudian mengu- sap wajahnya sendiri. Lalu terdengar suara se- ruan. "Ah... aku telah kembali pada keadaanku yang sebenarnya. Terima kasih Gusti Allah, teri- ma kasih Pendekar Sakti 71." Begitu gembiranya dia karena telah mendapatkan kesembuhan. Hingga diapun bangkit, balikkan badan dan me- meluk Gento yang masih dalam proses pemulihan tenaga yang terkuras sambil menangis haru.
Melihat kejadian ini, Pelangi jadi berang dia bangkit berdiri. Lupa dengan segala pemandan- gan yang menakjubkan tadi dia membentak. "Ne- nek jelita. Jangan kau sentuh sahabatku. Perbua- tanmu bisa mencelakakan dirinya!"
"Ah... maafkan aku... aku... aku begitu ter- haru!" jawab Nyi Sekar dengan muka merah pa- dam menahan malu.
"Jika terharu apa harus seenaknya main peluk begitu saja?" dengus Pelangi. Rupanya ga- dis ini dibakar api cemburu. Terlebih-lebih setelah melihat sendiri bahwa setelah pulih seperti sedia- kala ternyata Nyi Sekar cantik luar biasa. Walau- pun dia sendiri memiliki kecantikan yang tak ka- lah menariknya, namun bila dibandingkan Nyi Sekar kecantikannya masih jauh berada di bawah nenek yang sesungguhnya adalah gadis cantik itu.
Sebaliknya bila memandang ke depan, Pe- langi masih juga dibuat tertegun. Nyi Besinga yang semula memiliki wajah cantik mempesona kini telah berubah menjadi seorang nenek jelek. Tapi perempuan itu tidak merasakan gusar kare- na keadaan yang sesungguhnya memang seorang nenek berusia sekitar enam puluh tahun.
"Nyi Besinga... kau...!"
Si nenek gelengkan kepala. "Tidak menga- pa. Aku tidak menyesal kembali pada keadaanku yang sebenarnya. Tapi mengapa kepalaku masih terasa panas begini?!" kata Nyi Besinga.
"Nyi, rambutmu mengepulkan asap seperti terbakar!" seru Nyi Sekar.
"Hah... apa?" Kalang kabut Nyi Besinga mengusapi rambut dikepalanya. Nenek tua ini ja- di kaget ketika mencium bau rambut terbakar. Ketika dia menarik rambutnya, si nenek pun langsung menggerung. Rambut di kepalanya han- gus rontok seperti terbakar. Ketika si nenek men- gusap seluruh kepala maka seluruh rambutnya rontok, hingga kini kepalanya jadi botak pelontos alias botak.
"Hai... hu hu hu. Matilah aku mengapa keadaan rambutku bisa jadi begini?" teriak Nyi Besinga. Suara teriakannya yang keras membuat Gento membuka matanya. Ketika dia memandang ke arah Nyi Besinga yang wajah dan kepalanya te- lah berubah demikian rupa, sang pendekar pun tidak lagi dapat menahan tawanya.
"Mengapa begini... mengapa...?" kata Nyi Besinga sambil bantingkan kakinya di lantai gua.
Pelangi yang melihat keadaan di nenek ce- pat palingkan wajah namun tak mampu sembu- nyikan senyum.
Gento Guyon bangkit, sambil mengusap wajahnya dia berkata. "Walah, bukankah kau Nyi Besinga yang cantik jelita. Mengapa wajahmu se- karang jadi peot babak belur begitu? Mana kepa- lanya botak lagi. Nenek yang malang, pasti tadi kau telah melakukan kesalahan."
"Pendekar gila. Kesalahan apa?" hardik si nenek dengan mata mendelik.
"Kau tadi telah melanggar pantangan. Aku sudah memberi ingat ketika aku mengerahkan tenaga saktimu jangan ada yang menarik atau membuang nafas. Tapi kau malah kentut. Akibat- nya ya seperti ini. Kau sekarang jadi neneknya para tuyul. Ha ha ha!"
"Bocah keparat! Kubunuh kau!" ancam Nyi Besinga. Mulutnya mengancam namun dia tak pernah beranjak dari tempatnya.
"Eeh, tadi sewaktu menjadi gadis cantik suaramu lembut nek. Mengapa setelah kembali ke asalnya kau jadi galak dan ceriwis begini rupa!" sergah Gento.
"Namanya juga nenek-nenek, jadi harap dimaklumi. Ha ha ha! Pertunjukan hebat."
Tabib Setan yang mengintai semua peristi- wa yang berlangsung berkelebat masuk ke dalam ruangan gua. Sambil cengengesan dan kedipkan matanya ke arah Gento dia ajukan pertanyaan. "To... melihat apa yang telah kau lakukan terha- dap mereka ini rasanya aku tak bakal melupakan semua kejadian langka ini seumur hidup. Tapi, To. Apakah kau mau menolongku..."
"Pertolongan apa yang dapat kuberikan pa- damu, kek...?" tanya Gento.
"Maksudku begini, tolong rubah rambutku yang sudah memutih ini jadi hitam kembali. Lalu wajah yang keriput ini menjadi kencang. Pokok- nya semua perabotanku yang kendur kau ken- cangkan, biar kalau bertemu dengan gadis atau janda segalanya jadi siap...!" kata Tabib Setan bersemangat.
"Ha ha ha! Kepalamu yang sip tabib. Ba- gaimana kalau kupindahkan saja anumu ke jidat kek? Pasti akan lebih bagus lagi. Ha ha ha!"
"Bocah edan sialan. Itunya sudah tidak ba- gus, tidak mulus malah ada panunya. Kau jangan membuat aku malu!" kata si kakek tersipu.
Nyi Sekar Langit tertawa merdu. Sedang- kan Pelangi palingkan wajahnya ke arah lain. Nyi Besinga walau tadi sempat gusar kini sambil me- rengut menimpali.
"Barang jelek saja disimpan. Mending di- buang. Hik hik hik."
"Walah nenek jelek, tidak sedih lagi kau rupanya. Tadinya aku sudah berniat menjodoh- kan kau dengan Gento. Tapi niatku terpaksa ku- telan kembali begitu melihat dirimu yang sesung- guhnya, ternyata nenek tua bangka. Ha ha ha...!"
12
Beberapa saat lamanya suasana di dalam ruangan gua itu dipenuhi dengan gelak canda dan tawa. Sampai kemudian Pendekar Sakti 71 Gento Guyon memandang ke arah nenek yang ditolong- nya. Pemuda ini tercengang, mata terbelalak, se- dangkan mulutnya berdecak penuh rasa kagum.
"Astaga! Tidak salahkah penglihatanku ini. Nyi Sekar Langit bagaimana bisa berubah begini cantik? Mungkinkah memang begini kenyataan yang sebenarnya? Kecantikan gadis ini hampir sama dengan Bidadari Biru. Bahkan wajah mere- ka memiliki banyak persamaan? Kalau tidak me- lihatnya sendiri mana aku percaya?!" desis sang pendekar. Beberapa kali dia mengusap matanya seakan tidak percaya dengan penglihatannya sen- diri. "Pantas saja ketika wajahnya berupa seorang nenek suaranya begitu merdu, tak tahunya dia memang gadis rupawan." batin Gento dalam hati. Mengenai Bidadari Biru agar lebih jelasnya (baca episode Bidadari Biru).
Sementara itu semua rasa kagum yang ter- pancar di mata Gento kiranya tidak luput dari perhatian Pelangi. Gadis cantik yang diam-diam menaruh hati pada Pendekar Sakti 71 Gento Guyon sejak pertama kali mereka bertemu kini merasa jadi tidak enak hati.
"Kecantikan Nyi Sekar Langit jelas bukan tandinganku. Menyesal aku mengijinkan Gento mengobatinya. Kini jelas dia tertarik pada Nyi Se- kar. Pemuda mata keranjang, semula aku mengi- ra dia benar-benar tertarik padaku sebagaimana aku tertarik padanya. Tak kusangka ternyata ha- tinya mudah tergoda. Menyesal sekali aku ikut bersamanya datang kemari." gerutu Pelangi jeng- kel.
"Gento, segala urusanmu dengan Nyi Sekar telah selesai. Sesuai janjiku tadi, sekarang kau harus pergi denganku. Kita akan membuat acara di suatu tempat yang tidak mungkin dapat dite- mukan oleh gurumu!" kata Tabib Setan beberapa saat kemudian.
Diingatkan akan gurunya, Gento Guyon tentu saja kaget. "Guruku... dimana kau bertemu guruku? Aku dan dia sudah lama terpisah. Sudah saatnya aku bertemu dengannya."
"Eit, kau tak boleh mungkir janji. Gurumu dalam keadaan baik, malah semakin gendut saja. Waktu bertemu denganku dia mengatakan ingin mencarimu."
"Tabib Setan siapa yang percaya dengan ucapanmu?" dengus Gento.
"Apa yang dikatakan Tabib Setan memang benar, Gento. Gurumu dalam keadaan baik saja. Beberapa waktu yang lalu dia malah bersama kami!" ujar Nyi Sekar. Dan tentu saja dia tidak mau menceritakan telah menculik Gentong Keta- wa melalui ilmu dasar Angin Sungsang Jiwa. Ke- jadian salah mengambil orang itu tentu akan memalukan jika sampai diketahui oleh orang ba- nyak.
"Benarkah apa yang kau katakan ini?" "Aku tidak berbohong Gento." jawab Nyi
Sekar serius.
"Oh, syukurlah kalau begitu. Mudah- mudahan guruku tidak kesasar atau putus asa mencariku!" kata Gento pula.
Sementara itu Pelangi yang merasa dirinya diabaikan oleh mereka yang berada di dalam ruangan gua itu, secara diam-diam dia menyeli- nap keluar. Di luar gua dia menyandarkan tu- buhnya pada salah satu tebing karang. Saat itu malam semakin larut, hembusan angin laut tera- sa begitu dingin menusuk menerpa wajahnya yang sendu. Sementara di langit bulan bersinar terang.
Dalam keadaan hati dilanda kegalauan se- perti itu Pelangi sama sekali tidak tahu kalau pa- da waktu bersamaan di atas sana satu sosok ser- ba hitam meluncur deras dengan kecepatan se- perti kilat ke arah gua.
Lamunannya buyar seketika begitu dia mendengar suara pekikan keras disertai gemuruh di atas kepalanya.
Wuuut!
Sambaran yang sangat keras membuat Pe- langi seperti dilontarkan. Dalam kagetnya sang dara bangkit dan memandang ke atas. Rasa kejut di hatinya makin menjadi ketika dia melihat satu sosok makhluk besar bersayap seperti kelelawar dan berkepala serta ekor seperti rajawali terbang berputar-putar mengitari bagian atas gua.
"Makhluk apa itu. Belum pernah kulihat makhluk seaneh dan sebesar ini!" gumam Pelangi dalam hati.
"Aku harus melakukan sesuatu, tapi apa- kah perlu memberitahu mereka yang berada di dalam? Tidak, Nyi Sekar sedang tenggelam dalam kebahagiaan, Gento sendiri nampaknya banyak mencurahkan perhatiannya pada Nyi Sekar Lan- git. Sedangkan Tabib Setan... orang tua itu tentu lebih mengutamakan kepentingannya sendiri!"
"Kreaaak!"
Di atas sana makhluk hitam raksasa men- geluarkan suara pekikan keras. Lalu di tengah- tengah suara gemuruh kepakan sayap sang mak- hluk terdengar suara teriakan keras menggelegar. "Nyi Sekar Langit, aku tahu kau bersembunyi di dalam gua itu. Kuharap cepatlah kau keluar, kau harus bersedia menjadi istriku!"
"Hmm, ada orang rupanya di punggung bi- natang itu. Dia menyebut nama Nyi Sekar, mung- kinkah orang itu kekasihnya?" batin Pelangi.
"Orang yang duduk di punggung makhluk jelek. Siapa dirimu? Berteriak di tengah malam membangunkan orang tidur, apa perlumu datang kemari?" tanya sang dara.
"Kau siapa? Bagaimana sampai tidak men- genal Dipati Durga?"
"Aku setan. Perlu apa kenal denganmu." "Hem, bukan Nyi Sekar, bukan pula pem-
bantunya. Aku tidak punya kepentingan dengan- mu, cepat panggil Nyi Sekar atau dia ingin aku menghancurkan gua itu!" teriak Dipati Durga.
"Sebelum gua kau hancurkan, tubuhmu yang kubuat hancur!" jawab Mutiara Pelangi tak kalah sengitnya.
"Jahanam, aku akan menyingkirlah kau gadis cilik. Jika kau tetap membangkang kuhan- guskan tubuhmu!"
Belum lagi Pelangi sempat menjawab, dari dalam gua berkelebat dua sosok bayangan berpa- kaian biru. Dia bukan lain adalah Nyi Sekar Lan- git dan Nyi Besinga yang kini sudah berubah menjadi nenek botak.
"Pelangi, menyingkirlah. Aku berterima ka- sih atas bantuanmu, tapi kau tak perlu mencam- puri urusan ini. Tua bangka itu sudah saatnya untuk disingkirkan!" kata Nyi Sekar. Ucapan gadis itu ternyata ditanggapi salah oleh Pelangi. Dia berkata:
"Nyi Sekar, kau mengusirku? Kau mengira cuma dirimu saja yang memiliki ilmu kepan- daian? Ingat, kalau bukan karena pertolongan yang diberikan oleh sahabatku Gento. Belum ten- tu keadaanmu pulih seperti sekarang ini. Atau kau memang ingin memisahkan aku dari Gento, baiklah. Aku mengalah! Tolong sampaikan salam- ku kepadanya!" kata Pelangi. Selesai berkata sang dara yang hatinya diguncang kecemburuan hebat berkelebat pergi.
"Hei, apa maksudmu?" tanya Nyi Sekar bingung bercampur rasa heran.
"Nyi, mungkin dia cemburu padamu. Dia merasa kau merebut penolong kita itu darinya!" ujar Nyi Besinga.
"Gadis tolol, cemburu membabi buta. Huh... ada-ada saja!" kata gadis secantik Bidadari itu disertai senyum sinis.
"Gadisku, kekasih belahan jantung. Yang kurindu sepanjang siang dan malam. Sekarang aku ingin membawamu ke Singgasana Abadi. Apakah kau sudah siap?" kembali terdengar sua- ra lantang Dipati Durga disertai tawa mengekeh.
"Walah... jika kau mau lebih baik kau bawa nenek botak itu saja. Nyi Sekar terlalu cantik un- tukmu. Lagipula aku ragu sebagai laki-laki kau tidak punya kemampuan apa-apa. Aku bisa me- nyarankan mintalah obat kuat pada sahabatku Tabib Setan. Setelah kau menjadi kuat lahir ba- tin, tak jauh dari sini ada beberapa ekor kuda, semuanya dalam keadaan mulus. Kau boleh me- milih salah satu diantaranya untuk kau jadikan istri. Ha ha ha!" satu suara tiba-tiba menimpali.
Dipati Durga yang duduk di atas punggung Makhluk Kutukan Neraka melengak kaget karena tak menyangka selain Nyi Sekar, pengasuh dan gadis yang pergi tadi ternyata masih ada orang lain.
Dalam kejut dan kemarahannya, Dipati Durga julurkan kepala memandang ke bawah. Dia melihat seorang pemuda bertelanjang dada be- rambut gondrong dan seorang kakek berpakaian serba putih berjanggut panjang nampak baru saja keluar dari dalam gua dan kini berdiri tegak tak jauh di belakang Nyi Sekar Langit dan Nyi Besin- ga.
"Gondrong jahanam siapa kau?" bentak Dipati Durga sengit.
Enak saja Gento menjawab. "Aku sahabat- nya Nyi Sekar, kalau tidak bisa dikatakan keka- sihnya. Sedangkan kakek yang janggutnya seperti kambing ini Tabib Setan kacungku!"
"Sialan kau, To...!" maki sang tabib begitu Gento mengatakan dia sebagai kacungnya.
Diam-diam Dipati Durga terkejut begitu Gento menyebut gelar si kakek. Sebagai orang yang sering berpetualang di rimba persilatan, ten- tu saja dia sudah tahu siapa Tabib Setan adanya. Tapi sama sekali dia tak pernah menyangka akan bertemu dan berhadapan dengan tabib itu di saat seperti ini.
"Tabib Setan. Aku senang bertemu den- ganmu. Sebagai tabib sesat kejahatanmu menjadi momok bagi kamu golongan hitam dan putih. Ko- non selain sangat ahli dalam berbagai ilmu pen- gobatan kau juga memiliki berbagai ilmu pukulan hebat! Sayang aku tidak membutuhkan dirimu, juga aku tak butuh dengan si gondrong gila itu. Yang kuinginkan cuma Nyi Sekar! Jika kau ingin panjang umur sebaiknya cepat minggat dari ha- dapanku!" teriak Dipati Durga lantang.
"Oalah, jadi kau sama sekali tidak mengu- bris ucapan sahabatku Pendekar Sakti 71 Gento Guyon. Mentang-mentang perabotan kita sama, kau jadi tidak menyukai kami. Baiklah, kami akan pergi. Bukankah begitu, Gento?" kata sang tabib sambil melirik ke arah Gento.
"Ya, aku setuju. Karena hari sudah malam kami tak tahu harus pergi ke mana. Tabib... kau dikenal sebagai orang yang memiliki banyak ilmu setan, walaupun kau bukan setan beneran. Aku ingin kau turunkan laki-laki tengik itu dari mak- hluk tunggangannya. Begitu dia turun aku akan menggebuknya. Setelah itu baru kita bersama- sama tinggalkan tempat ini dengan menumpang tunggangan miliknya!"
"Ho ho ho. Permintaanmu akan kuturuti dengan senang hati. Akan kuseret dia. Kau tung- gulah disini!" sahut sang tabib sambil tertawa- tawa.
"Kalian hendak berbuat apa? Jika Sri Am- beng Tatap Banyu dapat kubuat mampus. Apalagi cuma dua tikus comberan seperti kalian. Ha ha ha!" "Dipati Durga manusia jahanam, kau telah membunuh guruku! Aku bersumpah tidak akan mengampuni jiwamu!" teriak Nyi Sekar Langit
Nyi Besinga juga keluarkan suara mengge- rung marah begitu Dipati Durga mengaku telah membunuh Ambeng Tatap Banyu.
Nenek botak dan gadis jelita itu tiba-tiba memutar tubuhnya, begitu tubuh mereka berpu- tar hebat, tak lama kemudian keduanya melesat ke udara dengan gerakan lurus. Ke arah Dipati Durga. Laki-laki itu tertawa mengekeh. "Ah, ka- lian rupanya hendak menyerahkan diri. Bagus!" seru lawannya. Kemudian tangan Dipati Durga di- julurkan ke bawah, sementara Makhluk Kutukan Neraka seakan mengerti bergerak merendah hing- ga Nyi Sekar berada dalam jangkauannya.
Tapi di luar dugaan Nyi Sekar dan penga- suhnya lecutkan cambuk di tangan masing- masing ke arah Dipati Durga dan leher binatang tunggangannya. Kejut laki-laki ini bukan kepa- lang, dia tarik kedua tangannya yang menjadi sa- saran hantaman cambuk. Mulutnya semburkan makian.
"Jadah!"
Hantaman cambuk Nyi Sekar tidak menge- nai sasaran. Sebaliknya cambuk yang menghan- tam leher Makhluk Kutukan Neraka malah tidak dapat dibetot lepas oleh Nyi Besinga sungguh pun nenek itu telah menariknya.
"Lepaskan cambuk itu!" teriak Nyi Sekar pada pengasuhnya. Cambuk terlepas. Tubuh si nenek dan Nyi Sekar kembali meluncur deras ke bawah. Ketika makhluk raksasa itu kepakkan ke- dua sayapnya ke bawah. Tak pelak lagi sosok sang dara dan si nenek jatuh terhempas di atas pendataran batu karang.
"Kalian tidak punya sayap, bagaimana mungkin bisa terbang seperti tungganganku!" te- riak Dipati Durga.
"Tabib Setan giliranmu sekarang!" Gento berteriak memberi aba-aba.
Sang tabib keluarkan suara racau aneh se- perti membaca mantra. Sekujur tubuhnya tam- pak keluarkan asap tipis. Begitu salah satu kaki si kakek dijejakkan ke tanah terdengar suara le- tupan aneh dua kali berturut-turut.
Dess! Dess!
Letupan keras membuat sosok Tabib Setan laksana dilontarkan ke udara. Segala apa yang terjadi berlangsung sangat cepat sekali. Di lain kesempatan terdengar suara di belakang Dipati Durga.
"Dalam gelap tanpa cahaya, tak ada yang dapat dilihat. Dalam kebutaan, cahaya menjadi tidak berguna. Akan kubuat binatang yang kebal senjata ini jadi tidak bisa melihat, kalau perlu pe- nunggangnya pun kubuat menjadi buta. Asal ta- nah kembali menjadi tanah, yang berasal dari api kembali menjadi api. Puah...!" Dengan mengan- dalkan ajian Sakaning Hurip, sang tabib yang saat itu berada di belakang punggung Makhluk Kutukan Neraka menghembus ke arah Dipati Durga dan juga binatang yang menjadi tunggan- gannya. Dari mulut si kakek menderu angin api yang langsung menghantam lawan juga binatang itu. Akibatnya sungguh luar biasa. Makhluk Ku- tukan Neraka memekik keras. Tubuhnya mulai dari bagian kepala sampai ke bagian ekor dan ke- dua sayapnya dikobari api. Dipati Durga terpe- rangah, tak menyangka lawan dapat berbuat se- hebat itu. Tak ingin dirinya ikut hangus terbakar. Dipati Durga melesat tinggalkan binatang tung- gangan. Sedangkan Tabib Setan telah bergerak mendahuluinya.
Di udara makhluk aneh yang sekujur tu- buhnya terbakar kalang kabut melayang tak tentu arah. Suara pekikan tak berkeputusan. Makhluk Kutukan Neraka selanjutnya meluncur deras ke arah laut, bergerak ke arah air dalam upayanya menyelamatkan diri. Tapi begitu sosoknya me- nyentuh air terdengar suara ledakan dahsyat.
"Celaka sahabatku, Hitam!" teriak Dipati Durga yang saat itu tubuhnya terus meluncur ke bawah. Kemarahan Dipati Durga bukan kepalang, dia bertekad untuk menghabisi Tabib Setan. Tapi sayang sekitar setengah tombak lagi tubuhnya menyentuh tanah. Tabib Setan yang telah jejak- kan kakinya di atas batu karang menyambutnya dengan pukulan Dewa Langit Mengejar Iblis. Se- dangkan dari arah sebelah kanannya Gento menghantam lawan dengan pukulan Iblis Ketawa Dewa Menangis.
Dua pukulan menghantam Dipati Durga dalam waktu bersamaan, membuat awan tengge- lam dalam kobaran api. Dua puncak bukit karang berguncang hebat. Dipati Durga melolong langit. Suara lolongan lenyap. Ketika kepulan asap dan kobaran api hilang dari pandangan, baik Gento maupun Tabib Setan sama belalakkan mata.
"Dia menghilang!" seru sang pendekar. "Sulit dipercaya. Seharusnya dia tewas aki-
bat terkena pukulan mautku." kata Tabib Setan tak kalah kaget.
"Dia punya ilmu menghilang?" kata Gento. "Kau benar Gento. Dia memiliki ilmu
menghilang. Jika Dipati Durga tidak mati karena pukulan kalian itu. Kemunculannya yang kedua bisa lebih berbahaya lagi!" yang berkata ternyata Nyi Sekar Langit.
"Dalam hal ini aku tidak bisa disalahkan. Jika Gento tidak ikutan menghantamnya dengan pukulan sakti kujamin dia mampus olehku!"
"Tabib gila. Dua pukulan menghantam tu- buhnya, itupun masih membuatnya dapat melo- loskan diri, apalagi cuma satu pukulan!" sahut Gento. Pemuda itu kemudian kitarkan pandang. Melihat Gento seperti orang bingung Nyi Besinga ajukan pertanyaan. "Siapa yang kau cari? Pelan- gi?"
"Kau betul. Kemana dia?" "Sudah pergi sejak tadi."
"Ah... Mengapa tidak bilang padaku?"
"Dia merasa cemburu. Pelangi menyangka Nyi Sekar hendak memisahkan kau dengannya!" kata Nyi Besinga menimpali.
"Oh...!"
"Agaknya gadis itu suka padamu, Gento." sindir Nyi Sekar.
"Ha ha ha. Aku suka pada semua gadis, te- rutama yang cantik dan yang baik-baik."
"Apakah ini berarti kau cinta padanya?" tanya Tabib Setan sambil mengelus-elus janggut- nya.
"Mana aku tahu. Pelangi begitu baik, dia juga banyak menanam budi kepadaku. Bagaima- na aku bisa melupakan kebaikannya begitu saja?" "Kalau begitu maafkanlah aku, Gento. Dia
telah salah paham. Kelak jika kau bertemu den- gannya katakan aku minta maaf."
"Juga jangan lupa Gento. Bila kau bertemu gurumu, aku titip salam. Hik hik hik!" kata Nyi Besinga disertai tawa malu-malu.
"Semuanya tak kulupakan. Nenek botak apakah tidak ingin aku bertanya pada guruku kapan dia harus datang melamarmu! Ha ha ha." Dengan bibir bergetar si nenek menyahuti.
"Semuanya kuserahkan padanya. Sebagai seorang gadis tentu aku menunggu dengan segala pengharapan. Hik hik hik!"
"Oalah, sudah bau tanah begitu bukan memikirkan kuburan, tapi malah bicara segala asmara sialan. Gento... ayo kita pergi!" kata Tabib Setan tidak sabaran lagi.
Pendekar Sakti Gento Guyon tersenyum. Dia menghampiri Nyi Sekar. Memegang jemari tangan gadis jelita itu sambil berkata perlahan. "Nyi Sekar, inginnya aku bisa berdua denganmu lebih lama. Kecantikanmu tidak akan pernah ku- lupa. Inginnya aku menjadikanmu sebagai keka- sih, tapi apa iya orang geblek macamku ini pantas menjadi kekasihmu?"
Bergetar sekujur tubuh Nyi Sekar Langit mendengar ucapan si pemuda. Wajahnya merona merah, bukan karena marah. Tapi karena dia me- rasa terharu juga bahagia mendengar ucapan Gento. Lama dia tertegun, sedangkan bola ma- tanya berbinar indah. Begitu indahnya kata-kata yang diucapkan Gento sampai dia tak menyadari pegangan tangan Gento pada jemarinya terlepas karena Tabib Setan menarik telinga sang pende- kar.
Sebelum pergi Tabib Setan berbisik pada Gento. "Apa yang kau katakan padanya bocah edan sampai anak orang bengong seperti itu?"
Sambil berkelebat tinggalkan tempat itu Gento menjawab. "Aku katakan padanya, sebagai tabib puluhan tahun kau tidak pernah mandi. Aku juga katakan padanya walaupun kau ber- jenggot sebagaimana layaknya laki-laki, namun dirimu mempunyai anu dan anu seperti dirinya. Ha ha ha!"
"Bocah sial!" maki si kakek sambil memper- keras jewerannya.
Sang pendekar meringis disertai suara mengaduh tak berkeputusan. Sedangkan di de- pan mulut gua Nyi Besinga menepuk bahu Nyi Sekar, sambil senyum dia berkata. "Sudah jangan difikirkan, orangnya sudah minggat!" Nyi Sekar Langit terkejut dan tersipu malu. Ketika dia ba- likkan badan memasuki mulut gua satu perta- nyaan mengganjal di hatinya. Mungkinkah sang Pendekar bersungguh-sungguh dengan bisikan- nya tadi.
TAMAT