Eps 20 : Makhluk Kutukan Neraka


Pondok sederhana di tengah hutan bakau yang terletak di penanjung Teluk Rembang itu ma- sih sepi. Sedangkan sang surya mulai mengganti- kan kegelapan malam. Pintu pondok yang terbuat dari jalinan daun nipah juga dalam keadaan tertu- tup rapat. Sesekali kesunyian diwarnai dengan su- ara deburan ombak laut Jawa.

Ternyata kesunyian tidak berlangsung lama karena dari arah pantai di sebelah selatan teluk terdengar suara langkah orang berlari cepat menu- ju pondok panggung yang terlindung daun dan re- ranting pepohonan. Tak berapa lama semak belu- kar tersibak. Tiga bayangan serba hijau berkelebat mendekati pondok, lalu jejakkan kaki dan berhenti di depan pintu pondok.

Ketiga bayangan itu ternyata tiga orang ga- dis berpakaian serba hijau berambut panjang dige- lung, berkulit putih bersih wajah cantik segar ke- merahan. Di bagian pinggang masing-masing ter- gantung sebuah cambuk yang dijalin melingkar seperti lingkaran. 

Di depan pondok ketiga gadis jatuhkan diri berlutut. Salah seorang diantaranya yang berba- dan tinggi langsing segera berucap mewakili dua temannya. "Nyi Sekar Langit. Kami tiga pengasuh datang menghadap ingin menyampaikan satu ka- bar penting."

Sesaat suara si tinggi langsing lenyap. Dari dalam pondok terdengar desah nafas tersendat. Lalu ada suara merdu seorang perempuan me- nanggapi. "Nyi Besinga kabar yang kau bawa per- tanda baik atau hanya sekedar penambah rasa ke- cewa? Kau ingin menyampaikan kedatangan orang yang kutunggu, atau kehadiran orang lain yang sangat tidak kusukai?"

Gadis berbadan tinggi langsing menjadi gu- gup. Dia melirik ke arah dua gadis cantik lainnya yang bersimpuh di sebelah kiri. Kedua gadis yang dilirik juga menampakkan wajah bingung, namun serentak mengangguk. Si tinggi yang dipanggil Nyi Besinga dongakkan kepala memandang ke atas pondok, lalu menjawab. "Yang datang adalah orang yang Nyi Sekar tunggu. Kesaktian yang Nyi Sekar kirimkan pada orang dimaksud nampaknya sudah sampai pada alamat yang dituju. Kalau Nyi Sekar berkenan saat ini juga kami bisa membawanya kemari!" ujar Nyi Besinga.

"Hi hi hi. Aku senang, semoga aku bisa meminta petunjuk darinya. Semoga dengan keha- dirannya aku dapat memusnahkan ilmu laknat yang telah menyatu dengan darah dan dagingku. Hidup dalam keadaan seperti ini memang sangat menyiksa perasaan dan mengoyak batin." kata su- ara di dalam pondok semakin mengeluh. Dia lalu melanjutkan ucapannya. "Sekarang bawa dia ke- mari. Aku ingin lihat dan bertemu langsung den- gan Pendekar Sakti 71 itu!"

"Nyi Sekar Langit. Perintahmu akan kami laksanakan. Kami mohon pamit dan segera kem- bali lagi kesini!" kata Nyi Besinga. Dari dalam pon- dok tertutup terdengar suara gumanan tidak jelas. Tiga gadis berpakaian serba hijau menjura dalam, bangkit berdiri dan membalikkan badan. Sekali mereka jejakkan kaki, tubuh mereka melesat di udara, lalu cepat berkelebat melewati pucuk- pucuk pepohonan dan lenyap dari pandangan ma- ta.

Tak lama setelah tiga gadis pengasuh le- nyap, di dalam pondok orang yang suaranya mer- du berfikir. "Pendekar Sakti 71 Gento Guyon. Se- lain ilmunya tinggi, berwajah cakap, tentu dia pe- muda yang memiliki pengalaman luas. Sesuai pe- tunjuk dalam semediku, hanya dia yang dapat mengembalikan diriku seperti keadaan semula. Orang segagah dia apakah mau bertemu diriku, menolong diri ini dari pengaruh ilmu gila celaka? Kuharap dia punya kemuliaan hati yang agung. Mau menolong tanpa memandang siapa dan ba- gaimana orang yang hendak ditolong!"

Hanya beberapa saat kemudian diluar sana tiba-tiba terdengar suara bergemuruh hebat seper- ti hembusan angin topan. Pucuk-pucuk pepoho- nan bergoyang keras, di atas ketinggian angin ber- putar laksana badai puting beliung. Menyertai berputarnya angin itu terlihat cahaya putih yang terus bergerak turun menuju ke depan pondok. Tak jauh dibelakang pusaran angin putih tiga ga- dis berpakaian hijau nampak mengikuti.

Mendekati permukaan tanah pusaran angin yang membungkus cahaya putih kekuatannya makin melemah. Tiga gadis tudingkan jari telun- juknya ke arah cahaya putih besar. Tiga jari telun- juk serentak digerakkan ke bawah dengan satu sentakan keras.

Bruk!

Terdengar suara bergedebukan seperti ada benda berat yang terbungkus cahaya putih terja- tuh. Lalu ada suara orang mengeluh kesakitan.

"Aduh sakitnya. Kepalaku pusing, perutku mual. Aku seperti dibawa angin topan, walah seka- rang aku sampai dimana mengapa pemandangan- ku gelap amat!"

Dari dalam pondok terdengar satu suara, memberi perintah ditujukan pada tiga dara jelita pengasuhnya. "Nyi Besinga, Nyi Arianti dan Nyi Ar- tawanti, kalian bertiga cepat buka tabir putih yang telah mengusung tamu kita...!"

"Perintah dilaksanakan...!" Tiga dara jelita menyahut berbarengan. Mereka kemudian mende- kat ke arah pancaran cahaya putih yang ujudnya seperti karung yang di ikat pada bagian mulutnya. Setelah itu tangan kiri kanan diangkat diatas ke- pala. Dari bagian tangan masing-masing menda- dak sontak membersit udara biru yang memiliki ketajaman laksana mata pedang. Sinar melesat menghantam cahaya putih.

Reet! Breet! Breet!

Terdengar seperti suara robeknya karung. Hantaman tiga sinar biru membuat cahaya putih dalam ujud seperti karung lenyap. Begitu sinar le- nyap tiga gadis keluarkan seruan kaget, berlompa- tan mundur sambil dekap mulutnya masing- masing.

"Ah...!"

"Apa yang terjadi? Mengapa kalian seperti orang yang melihat hantu?" Dari dalam pondok terdengar teguran.

"Ka... kami bukan melihat hantu, Nyi Sekar.

Kami melihat orang!" sahut Nyi Arianti.

Memang saat itu ketiga gadis jelita setelah pecahnya cahaya putih melihat satu pemandangan luar biasa. Pemandangan itu berupa hadirnya seo- rang laki-laki setengah baya dengan dahi lebar berbadan gemuk besar lebih dari dua ratus kati. Laki-laki yang baru terbebas dari sungkupan ca- haya putih berpakaian hitam tidak terkancing, pe- rut gendut luar biasa berpipi tembem, bukit hi- dung nyaris rata dengan pipinya.

Orang tua itu bertampang lucu, wajahnya basah mandi keringat. Kini setelah terbebas dari sungkupan cahaya putih si kakek nampak seperti orang bingung. Matanya yang sipit celingukan mencoba mengenali daerah di sekitarnya. Si kakek jadi kaget begitu tatap matanya membentur tiga sosok gadis jelita yang berdiri disekelilingnya.

"Ha ha ha. Semula aku jadi bingung dan ta- kut karena jatuh kesasar di tengah rimba belanta- ra pantai ini. Tak disangka ternyata nasibku mu- jur. Aku bisa bertemu dengan tiga bidadari cantik." celetuk si kakek sambil memperhatikan ketiga ga- dis pengasuh itu dengan tatapan penuh rasa ka- gum.

"Nyi Besinga. Apakah kalian sudah dapat memastikan orang yang datang adalah pendekar yang kumaksudkan?" tanya orang dalam pondok dengan suaranya yang merdu.

Si kakek yang tadinya hendak tertawa da- lam kagetnya segera memandang ke arah pondok panggung tinggi.

"Nyi Sekar Langit. Kami tidak dapat memas- tikannya. Orang yang datang memenuhi panggi- lanmu mungkin cuma orang gila gemuk berlemak. Kami lihat dia tersenyum melulu. Saya sendiri cu- riga, jangan-jangan ilmu sakti yang kau kirimkan untuk menjemput orang salah comot, telah terjadi satu kekeliruan!" jawab Nyi Besinga.

Mendengar orang menyebutnya orang gila berlemak, si kakek jadi tidak tahan untuk tidak bertanya. Sehingga sambil tersenyum dan me- ngusap keningnya yang lebar si kakek membuka mulut berucap. "Tiga bidadari cantik. Siapakah orang yang mendekam di dalam pondok rombeng itu? Apakah bidadari cantik seperti kalian juga. Atau cuma hantu kesasar yang malu tunjukkan diri. Ha ha ha!"

Tiga pengasuh sama delikkan mata dan siap angkat tangan jatuhkan pukulan. Si kakek unjuk- kan wajah ketakutan, lalu lindungi kepala dari hantaman orang.

"Ampun jangan bunuh aku!" seru si kakek.

Nyi Besinga yang berdiri di sebelah kirinya mendengus. "Tidak mau mati jangan berani bicara sembarangan!"

"Nyi Besinga, tunda kematiannya. Aku ingin melihat bagaimana tampang orang yang bicara ngaco itu!" kata orang di dalam pondok.

"Tampangku begini adanya. Siapapun yang melihatku pasti jatuh cinta. Ha ha ha." Enak saja si kakek menyahuti. Dari dalam pondok terdengar suara tawa pendek disertai dengus mencemo'oh. Tak lama kemudian ada suara menggemuruh, pondok ber- goyang keras seperti hendak roboh. Si kakek gen- dut besar dongakkan kepala memandang ke atas pondok.

Hembusan angin lenyap, pintu pondok ter- buka. Satu kepala terjulur keluar. Orang yang ke- palanya terjulur keluarkan seruan tertahan, seba- liknya si kakek gendut besar juga ikut berseru.

"Ah...!"

Si gendut palingkan wajahnya ke arah lain. Mukanya pucat. Dia yang semula menduga orang di dalam pondok adalah seorang gadis yang tak kalah jelita. Ternyata dugaannya meleset, karena perempuan yang julurkan kepala tadi tidak lebih hanya berupa seorang nenek renta. Wajahnya di- penuhi keriput, kedua pipi carut marut seperti be- kas terluka. Sepasang mata cekung, bibir hitam kulitnya juga hitam.

Sebaliknya nenek bersuara merdu itu juga tak kalah kecewanya. Semula dia merasa yakin orang yang datang adalah seorang pemuda gagah tampan berambut gondrong sebagaimana yang di- lihatnya dalam semedi. Tidak dinyana lain yang diharap lain pula yang datang. 

Kini berdiri tegak di depan pintu pondok. Nenek berpakaian serba hijau itu memandang ke arah si kakek dengan tatap matanya yang aneh.

"Tidak kusangka apa yang kubayangkan ti- dak sesuai dengan kenyataan yang kulihat. Sung- guh aku kecewa?!" kata nenek itu dengan wajah murung.

"Sama. Aku juga membayangkan begitu mendengar suara yang merdu kukira orang yang bicara adalah gadis yang sangat jelita. Tidak ta- hunya cuma seorang nenek butut yang tubuhnya dipenuhi kerut merut. Ha ha ha! Sungguh aku ke- cewa!" kata si gendut besar menirukan ucapan si nenek.

"Orang tua gendut sinting. Jangan berani bicara sembarangan kau pada ketua kami. Ku- sumpal nanti mulutmu!" hardik Nyi Artawanti. Gadis jelita ini melangkah menghampiri si gendut. Tapi dari atas pintu pondok terdengar seruan si nenek. "Wanti tahan! Membuat dia menjadi apa sa- ja yang kita sukai adalah suatu persoalan mudah. Namun aku merasa perlu mengajukan beberapa pertanyaan pada kakek gendut itu!"

Nyi Artawanti walaupun merasa kesal meli- hat segala tingkah dan ucapan si gendut, namun agaknya dia sangat menghormat dan patuh pada nenek di atas pondok, sehingga tanpa banyak bi- cara diapun surut mundur ke belakang.

Di atas pondok si nenek lakukan satu gera- kan. Kemudian laksana kilat tubuhnya melesat dan tahu-tahu berdiri tegak di depan si gendut.

Melihat cara orang dalam bergerak tadi, ka- kek ini sadar siapapun adanya nenek jelek itu dia pasti orang yang memiliki kepandaian tinggi. Tapi dasar sudah menjadi watak dan tabiatnya, tetap saja dia tertawa sambil menyeletuk. "Kukira ada bidadari yang datang menghampiriku. Tidak ta- hunya cuma bidadari kesasar yang baru pulang dari kubangan kerbau!" Wuuuut!

Plak!

Satu tamparan keras mendarat di pipi si gendut. Yang ditampar golengkan kepala dan ma- sih tetap mengumbar tawa. Nenek yang menampar jadi melengak kaget. Tamparannya tadi bukan tamparan biasa. Batu karang sekalipun pasti han- cur terkena tamparannya. Tapi kakek ini sungguh luar biasa. Tamparannya membekas pun tidak. Si gendut bahkan tetap duduk mengejelepok diatas tanah. Jangankan tersungkur, bergemingpun ti- dak.

Hebatnya lagi seakan tak merasakan tam- paran orang si gendut tetap saja tertawa. Begitu tawanya mereda si kakek gendut berucap. "Ku- bayangkan yang menamparkan tadi salah satu da- ri tiga gadis jelita. Tidak tahunya yang punya ulah si butut lagi... butut lagi...!"

Wajah hitam si nenek nampak mengelam, sorot matanya memancarkan rasa tidak suka. Se- dangkan tiga gadis jelita yang menjadi pengasuh si nenek nampak tidak sabar lagi ingin melabrak si gendut.

"Gendut gila, jika mau bercanda aku tidak melarang. Tapi bercanda bukan pada waktu dan tempatnya bisa membuat jiwamu melayang per- cuma disini!" Si nenek baju hijau menghardik.

Si gendut mendadak katupkan mulutnya. Tawa ditahan hingga membuat kedua pipinya kiri kanan menggelembung besar.

Sejenak dia pandangi nenek jelek di depan- nya. Dia gelengkan kepala berulang-ulang. "Aneh...!" katanya. "Bukannya aku suka menghina orang, kalau dilihat kau dengan tiga gadis itu ke- cantikannya seperti langit dengan bumi. Pantasnya kau yang menjadi pengawal mereka, bukan seba- liknya. Agaknya dunia ini sudah terbalik, hingga otak manusia juga jadi ikutan terbalik."

2

Nyi Besinga bukan main gusar mendengar ucapan orang tua itu. Tapi dia hanya bertegak di- am ditempatnya tanpa berani mengambil tindakan. Sebaliknya si nenek entah mengapa kini malah menyeringai.

"Sesuai petunjuk wangsit yang kuterima se- harusnya orang yang datang bukan seperti dirimu. Kau siapa?" tanya si nenek. Dalam hati dia jadi bi- cara sendiri. "Mungkinkah telah terjadi kekeliruan pada ilmuku? Mungkin kekuatan yang kukerah- kan untuk menjemput orang yang kuhendaki da- tang pada orang yang salah. Atau apakah orang tua ini yang bergelar Pendekar Sakti 71 Gento Guyon."

Di depannya si kakek tersenyum. Si gendut ini mengusap mukanya setelah itu baru menjawab. "Aku Gentong Ketawa, kau sendiri siapa. Kau bica- ra tentang segala macam wangsit dan menyalah- kan kehadiranku. Apa kau mengira aku suka be- rada di tempat ini. Huh... gara-gara angin celaka itu jadinya aku sampai terpisah dengan bocah edan itu!" dengus si kakek.

Si nenek terdiam, dia memandang ke arah si gendut Gentong Ketawa. Dengan mimik serius dia berucap. "Gentong Ketawa. Namamu asing be- nar kedengarannya di telingaku. Jelas kau bukan orang yang kumaksudkan. Ilmu kekuatan yang kukerahkan untuk menjemput seseorang seperti kukatakan salah mengambil orang."

"Nyi Sekar, jadi orang tua ini tidak berguna untuk menyembuhkan keadaan diri Nyi Sekar juga termasuk kami bertiga. Bagaimana kalau Nyi Se- kar pergunakan ilmu Mencari Arah Membawa Tu- juan sekali lagi. Barangkali kali ini tidak akan ter- jadi kekeliruan!" usul Nyi Besinga.

"Ilmu itu hanya bisa dipergunakan satu kali dalam satu bulan purnama. Untuk menggunakan- nya lagi baru dapat dilakukan satu purnama yang akan datang. Selama hidup, belum pernah terjadi kekeliruan. Aku yakin ada kendala, ada rintangan. Mungkin ada orang berkepandaian luar biasa me- nahan pendekar itu, atau mungkin ilmuku tak sanggup mengatasi ilmunya. Sehingga usahaku ti- dak membawa hasil yang kuharapkan, sebaliknya ilmuku telah gentayangan tak karuan lalu mem- bawa orang tua gendut ini kesini!" kata si nenek nampak kecewa.

Si gendut yang merasa pertanyaannya tidak dihiraukan orang berkata. "Nenek jelek, kau tak mau menjawab siapa kau adanya. Malah anak buahmu mengatakan aku orang tua tidak bergu- na. Baiklah, sekarang aku pergi. Terus-terang aku sendiri bingung bagaimana ada angin topan tiba- tiba memulas diriku dan mencampakkan aku sampai sejauh ini. Kalau terjadi satu kesalahan sebagaimana yang kau katakan. Maka aku bisa mengambil kesimpulan, aku kesasar ke tempat ini semata-mata karena kesalahanmu. Seharusnya aku menuntutmu agar mengembalikan aku ke tempat dimana aku berada, namun mengingat kau sudah tua aku jadi tidak tega. Aku tidak bisa ber- lama-lama disini, walau kuakui tiga gadis jelita ini merupakan satu pemandangan bagus. Tapi bila melihat tampangmu mataku jadi sepat juga."

Selesai berkata si kakek bangkit berdiri, se- telah itu dia balikkan badan dan siap melangkah pergi. Tapi pada saat itu si nenek yang bernama Nyi Sekar Langit goyangkan bahu kirinya. Begitu bahu diguncang, si kakek Gentong Ketawa menda- dak merasakan seperti ada tekanan yang sangat berat mengganduli kedua kakinya. Si kakek gerak- kan kakinya, anehnya kaki tidak dapat diangkat tidak pula dapat digerakkan. Tentu saja kenyataan yang terjadi ini membuatnya kaget.

"Gila, bagaimana kaki sendiri bisa ngadat begini. Aku yakin pasti nenek jelek ini yang telah mengerjai aku. Jika tidak kubalas belum tahu rasa dia!" kata si kakek dalam hati.

Diam-diam si gendut yang bukan lain ada- lah guru dari Pendekar Sakti 71 Gento Guyon ini salurkan tenaga saktinya ke bagian kaki. Karena kaki tak dapat digerakkan maka si kakek goyang- kan pinggulnya. Begitu pinggul bergoyang dari ba- gian pusatnya melesat satu tenaga berhawa dingin luar biasa yang langsung menuju ke arah kaki, kemudian menjalar ke tanah dan....

Desss!

Si nenek memekik kaget begitu merasakan bagaimana serangan si kakek yang dilakukan se- cara sembarangan itu menghantam kedua kakinya hingga mendadak si nenek merasa kakinya menja- di lumpuh. Jika nenek itu tidak cepat-cepat alir- kan tenaga dalam ke bagian kaki dapat dipastikan dia sudah jatuh terjengkang. Walaupun si nenek pada akhirnya dapat menguasai diri sekaligus memunahkan hawa dingin yang menyerang ka- kinya. Gebrakan yang dilakukan oleh si gendut se- lanjutnya sungguh sesuatu yang sulit dipercaya. Tiba-tiba saja tubuh nenek itu seperti dicampak- kan ke udara, seakan ada satu kekuatan yang dari bagian dalam tanah yang telah mendorongnya ke atas dengan kecepatan luar biasa sekali.

"Ketua...!" Tiga gadis jelita sama keluarkan seruan tertahan. Sebaliknya si nenek begitu tu- buhnya terlempar di udara masih sempat berjum- palitan demikian rupa. Kemudian jatuh tegak se- cara menakjubkan. Tak disangka begitu kaki men- jejak tanah si nenek diam-diam melakukan seran- gan balik tak kalah sengitnya.

Gendut Gentong Ketawa yang baru saja da- pat menggerakkan kakinya mendadak dekap ba- gian bawah perutnya. Wajah mengerenyit mena- han sakit, mata terpejam. Dari mulutnya terdengar rintih tak berkeputusan. "Celaka biyung. menga-

pa mendadak perutku jadi mulas begini. Menda- dak aku jadi ingin buang hajat dan pengin kenc- ing. Walah biyung aku sudah tidak tahan. Aku in- gin pamit sebentar ke belakang. Awas jangan ada yang mengintip!" kata si kakek. Dengan terbung- kuk-bungkuk si gendut melangkah lebar menuju ke balik semak yang terdapat di samping pondok.

Tapi langkah si kakek jadi tertahan karena Nyi Besinga bergerak menghalangi. "Berani mam- pus kau hendak mengotori lingkungan tempat tinggal ketua kami?"

Si gendut tertawa lebar walaupun hatinya sebenarnya kesal mengingat rasa mulas sudah tak dapat ditahannya lagi.

"Rupanya kau tidak rela aku berhajat di tempat tersembunyi. Rupanya kau ingin aku anu di sini...!" si gendut mengomel. Lalu dia kibaskan tangan kirinya ke depan. Segulung angin menderu. Nyi Besinga terkesiap begitu merasakan mendadak tubuhnya seperti diangkat oleh satu kekuatan yang tak terlihat ke tempat dimana tadi dia berdiri.

Grosak!

Begitu berhasil memindahkan gadis ini den- gan cara yang aneh hingga mengundang kagum bagi dua gadis temannya si gendut menerobos ma- suk ke balik semak belukar.

"Ketua... gendut itu sudah keterlaluan, mengapa ketua tidak mengambil tindakan?" Den- gan wajah pucat Nyi Besinga mengajukan protes.

Tenang saja si nenek berwajah dipenuhi ca- rut-marut menjawab. "Aku telah menghukumnya. Perutnya kubuat mulas, bukan mulas biasa tapi yang dapat membuat seluruh isi perutnya terkuras keluar. Biar dia tahu rasa, biar dia sadar aku tak mau dipermainkan!" Dari balik semak belukar Gentong Ketawa merintih. "Sial, segala yang tidak perlu sudah di- buang, mengapa mulasnya tidak juga hilang. Ku- rang ajar, semua ini bukan cuma kebetulan. Ada orang yang mengerjai aku. Awas pasti akan kuba- las." ancam si kakek.

Tiga gadis jelita tertawa tertahan mendengar ucapan si kakek. Sebaliknya Nyi Sekar Langit ci- birkan mulut sambil mendongak ke langit. Tapi mendadak terdengar suara menggemuruh hebat hingga membuat si nenek tercekat dan membuat tiga gadis pengasuh keluarkan seruan kaget, "Nyi Sekar... dia mengirimkan bala kemari?!"

"Kalian sembunyi cari perlindungan!" teriak si nenek.

Tiga gadis tertegun di tempatnya. Saling berpandangan dan serentak gelengkan kepala.

"Tidak Nyi....'" kata Nyi Arianti."Kami sudah bosan menjadi manusia pengecut, kami juga su- dah bosan bersembunyi. Jika sekarang segalanya harus terjadi, kami akan menyabung nyawa demi Nyi Sekar!"

"Nyi Sekar. Apa yang dikatakan Nyi Arianti memang benar. Kau adalah orang satu-satunya yang paling baik pada kami selama ini. Karena itu marilah kita tanggung susah dan senang bersama- sama!" ujar Nyi Besinga. Si nenek merasa terharu mendengar ucapan para pengasuhnya.

"Kalian memutuskan begitu. Tidak menga- pa. Kalau mau membantu, sebaiknya kalian jaga tua gendut yang sedang buang hajat itu, jangan sampai dia meloloskan diri. Sebagai tamu kesasar kuharap dia tidak menjadi sasaran serangan membabi buta!"

"Nyi Sekar, dia bukan orang yang Nyi ingin- kan. Kalau sampai menjadi korban utusan manu- sia jahanam itu tak ada yang menangisi!" kata Ar- tawanti.

"Kerjakan apa yang aku perintahkan!" teriak si nenek.

Tiga gadis tak berani membantah. Di balik semak bakau walaupun si kakek mendengar suara menggemuruh di angkasa sana, tapi dasar kakek konyol enak saja dia berucap. "Hebat... raja sekali- pun kalau sedang ke belakang tidak pernah dijaga, tapi aku dikawal oleh tiga gadis cantik. Kalau aku tidak punya kelebihan, mana mungkin tiga gadis jelita diperintahkan mengawal diriku. Ha ha ha."

Suara gelak tawa si kakek mendadak ter- henti ketika dia merasakan ada sambaran angin keras yang disertai kelepak sayap raksasa yang mendera bagian pucuk pohon. Tiga gadis juga ter- masuk si nenek sama dongakkan wajahnya dan sama pula memandang ke sana.

"Makhluk Kutukan Neraka!" teriak Nyi Be-

singa.

Seketika wajah ketiga gadis mendadak be-

rubah pucat, tubuh menggigil mata terbelalak le- bar.

Nyi Besinga berseru. "Cari tempat persem- bunyian!"

Walaupun si nenek berkata begitu, tapi dia tetap tegak ditempatnya. Sementara tiga gadis jeli- ta nampak ragu melihat pimpinan mereka tetap berdiri di depan pondok.

Si gendut Gentong Ketawa begitu mendon- gak ke atas mendadak hilang mulasnya. Sama se- perti tiga gadis pengasuh orang tua ini juga me- nunjukkan rasa kaget yang luar biasa. Tapi sambil tarik celananya ke atas dia cepat bangkit berdiri. Sekali lagi dia memandang ke atas. Saat itu dia melihat satu bayangan hitam besar seperti raksa- sa, terbang berputar-putar diatas pondok dengan kepakan sayapnya yang lebar panjang dan hitam. Si kakek belum dapat memastikan makhluk rak- sasa apa adanya yang terbang diatas sana. Tapi kepakan sayap makhluk raksasa itu membuat pondok porak poranda, pepohonan disekitar pon- dok bertumbangan. Dan dia kemudian melihat sa- tu bayangan biru berkelebat menyambar ke arah- nya. Si kakek lalu merasa tubuhnya tersentak, lalu melayang mengikuti bayangan biru yang menarik lengannya.

Di atas pondok yang porak poranda mak- hluk hitam raksasa keluarkan suara pekikan keras menggeledek. Dua sayap raksasa mengepak, angin berhembus melabrak apa saja. Membuat batu dan pasir berpentalan, daun-daun berhamburan di udara. Sosok si kakek lenyap, tiga gadis pengasuh juga lenyap. Begitu juga halnya dengan si nenek.

Kemudian di udara sana, di tengah suara deru angin akibat kepakan sayap makhluk raksasa terdengar pula suara tawa menggeledek.

"Sekar Langit! Kau tidak mungkin terus menerus menghindar dariku. Kelak pada suatu saat akan hilang kesabaranku. Atau kau rela hi- dup dalam keadaan buruk rupa seperti itu. Atau kau ingin kembali seperti sediakala. Waktumu hanya tinggal satu purnama lagi. Setelah itu jika kau tidak mau menyerah, segalanya akan kulaku- kan secara paksa. Kau harus percaya, tidak ada orang yang dapat menolongmu. Tidak ada satu kuasa dan kesaktian apapun yang mampu men- gembalikanmu dalam keadaan seperti semula. Ha ha ha!"

Sunyi, tidak ada jawaban.

Di atas terdengar satu teriakan. "Makhluk Kutukan Neraka, tinggalkan tempat ini. Kita kem- bali ke Singgasana Abadi!"

"Kreaaaakkk...!"

Makhluk Raksasa yang belum jelas mak- hluk apa adanya dan biasa dipanggil Makhluk Ku- tukan Neraka itu melesat tinggi ke angkasa, berpu- tar-putar dan bergerak semakin tinggi, kemudian lenyap dari pandangan mata.

3

Di sebelah selatan kaki gunung Muria ter- dapat empat patung batu duduk dalam ujud se- perti manusia. Masing-masing patung batu ini mempunyai keunikan tersendiri. Patung pertama berupa seorang pemuda seusia lima belas tahun, patung ini wajahnya menengadah ke langit, tatap matanya kosong seperti menerawang atau mela- mun. Sedangkan patung yang kedua yang berada di sebelah kiri merupakan seorang gadis jelita, rambut panjang terurai. Hampir setiap saat dari mata patung mengalir cairan bening seperti air mata. Cairan itu hampir tiada henti menetes se- panjang hari. Sedangkan patung ketiga dan ke empat. berupa patung laki-laki dan perempuan be- rusia sekitar empat puluhan. Agaknya patung ini merupakan pasangan suami istri.

Tak ada yang tahu persis apakah ke empat patung yang nampaknya terdiri dari orang tua dan anak ini patung batu sungguhan atau penjelmaan dari satu keluarga tertentu. Yang jelas pada saat- saat tertentu di saat bulan purnama di kaki gu- nung dimana ke empat patung ini berada selalu terdengar suara tangis atau suara orang tua yang memarahi anaknya. Uniknya lagi, masing-masing tangan patung menyentuh bahu patung yang be- rada di depannya. Sehingga keadaannya tidak jauh berbeda dengan orang yang sedang mengerahkan tenaga dalam secara berantai.

Walaupun banyak orang menganggap ba- gian sebelah selatan kaki gunung Muria sebagai suatu tempat yang angker. Namun siang itu dima- na panas matahari terasa terik membakar seorang kakek tua berpakaian serba putih berambut dan berjenggot putih melakukan perjalanan menyisir daerah itu. Sesekali si kakek yang memanggul bambu sebesar lengan mirip pancingan ini menye- ka keringat yang membasahi wajahnya. Di ujung bambu yang biasa dipergunakan orang untuk memancing itu tergantung seekor binatang aneh, sejenis binatang langka yang tidak mungkin dite- mukan di tanah Jawa. Binatang berbulu putih ini di bagian pung- gungnya ditumbuhi sisik keras berwarna putih se- besar ibu jari. Kepalanya lancip seperti kepala lan- dak, daun telinga besar panjang dibagian atas ke- pala mencuat satu tanduk berwarna hitam runc- ing. Sedangkan gigi bergerigi, panjang badan tidak lebih dari tiga jengkal, sedangkan panjang ekornya lebih dari lima jengkal, berkaki empat berkuku sa- tu seperti ladam kuda.

Binatang aneh dan langka yang tergantung diujung bambu si kakek hampir tidak pernah ber- henti melenguh. Suaranya memang mirip kerbau, tapi terlalu lirih dan pelan.

Sambil terus melangkah, si kakek berpa- kaian serba putih dengan sumpit besar tergantung dipinggang kiri ini sering melirik ke arah ujung bambu dimana binatang aneh tadi tergantung. Seakan dia takut binatang itu hilang atau melo- loskan diri walaupun dia tahu ke empat kaki bina- tang dalam keadaan terikat.

Sampai disatu tempat si kakek yang bukan lain adalah Tabib Setan adanya hentikan langkah. Bambu sepanjang tiga depa dimana pada bagian ujungnya tergantung binatang langka tadi diletak- kannya diatas tanah. Binatang aneh meronta dan keluarkan suara lenguh seperti kerbau. Si kakek tersenyum sambil mengipas wajahnya dengan jali- nan daun lontar kering. Lalu mulut si kakek men- decap, tenggorokan turun naik membayangkan makanan yang lezat. Masih dengan mulut mengu- rai senyum si kakek berucap. "Aku belum bertemu dengan bocah Edan itu. Nanti bila sudah bertemu, kau akan kurubah menjadi makanan yang sedap. Bocah itu nantinya bukan saja menjadi sehat. Tapi berkat dagingmu, tenaga dalam dan kesaktiannya bisa semakin bertambah hebat. Bagaimanapun aku ingin dia menjadi yang terbaik diantara yang paling baik. Sayang sekali aku merasa kesulitan untuk menemukannya!" keluh Tabib Setan. Untuk lebih jelasnya siapa adanya Tabib aneh ini (baca episode Tabib Setan).

Beberapa saat lamanya si kakek terdiam, berfikir sambil mengusap jenggot putihnya yang panjang menjulai. Apa yang difikirkan si kakek mendadak lenyap, gerakannya mengipas dengan daun lontar jadi terhenti begitu dia mendengar sayup-sayup isak tangis seseorang. Si kakek pen- tang telinganya dengan menggunakan ujung kipas. Suara tangis yang didengarnya tadi mendadak le- nyap. Yang terdengar saat itu justru suara desir angin yang membuat pucuk dan daun pohon ber- gesekan menimbulkan suara aneh di telinga.

"Umurku memang sudah tua, tapi telingaku belum rusak. Jelas tadi kudengar isak tangis. Tan- gis seorang perempuan. Mengapa mendadak le- nyap?" batin Tabib Setan. Si kakek kitarkan pan- dangan matanya. Walaupun saat itu panas terik membakar, namun karena tempat di sekitar kaki gunung terlindung daun pepohonan yang rindang jadi membuat suasana di tempat itu menjadi agak gelap.

"Mungkin memang telingaku yang salah mendengar. Aku tak melihat apa-apa. Sebaiknya sekarang kuteruskan saja perjalananku." Tabib Se- tan kemudian melangkah sambil memikul bambu di bahu kirinya. Tapi baru beberapa tindakan dia melangkah, saat itu pula gerakannya kembali ter- henti begitu telinganya menangkap suara tangis yang lebih keras, tangis perempuan. Si kakek me- mandang ke arah terdengarnya tangis. Sekali ka- kek ini berkelebat dia sampai di bawah pohon di kaki gunung.

"Hah... sungguh tak masuk akal!" Seko- nyong-konyong Tabib Setan tahan gerakan ka- kinya sekaligus berseru kaget. Dengan mata ter- pentang lebar si kakek memandang ke depannya dimana dia melihat empat patung duduk berjejer dengan posisi saling memunggungi, sedangkan masing-masing tangan patung memegang erat ba- hu patung yang berada di depannya.

"Aneh, sungguh luar biasa. Juru ukir mana yang telah membuat satu lelucon hebat ini. Ta- pi...!" Mulut si kakek mendadak terkancing rapat. Ada sesuatu yang tidak wajar dilihatnya terjadi pada diri patung. Salah satu dari patung yang be- rupa seorang gadis nampak menangis. Kemudian yang berada di depannya memandang ke langit dengan tatap matanya yang seolah penuh keham- paan. Sedangkan duanya lagi yang berupa seorang laki-laki dan perempuan setengah baya ekspresi wajahnya seperti menahan rasa sakit yang luar bi- asa.

"Patung aneh, manusia beneran atau cuma batu yang dibentuk seperti manusia. Sungguh aku tidak percaya jika tidak melihatnya sendiri."

"Kami bukan patung. Kami manusia seba- gaimana dirimu. Bukankah kau Tabib Setan, tabib aneh penyembuh dari segala macam penyakit. Ju- ru obat yang namanya kesohor di delapan penjuru mata angin. Tabib Setan tolonglah kami. Tolong dengan obatmu yang mujarab itu, jika tidak kami berempat, ibu, bapak dan anak bisa mati membe- ku menjadi batu!" kata salah satu dari patung da- lam rupa seorang gadis.

Seperti mendengar gelegar petir di siang ha- ri begitulah rasa kaget di hati tabib yang dulunya banyak melakukan kejahatan ini. Seumur hidup rasanya baru kali ini dia melihat dan mendengar ada patung bisa menangis dan bicara.

Seakan tidak percaya dengan apa yang di- dengarnya. Setelah letakkan bambu dan gantung- kan binatang langka yang dibawanya Tabib Setan melangkah menghampiri. Dia bungkukkan badan, tangan kanan dijulurkan, jemari tangan mengelus sekaligus menyeka air mata yang bergulir di pipi gadis patung.

"Kakek tabib, jangan kau berani lancang menyentuh pipi anakku. Seperti yang dikatakan- nya kami bukan patung sungguhan, tapi manusia yang disirap dengan ilmu aneh yang membuat se- seorang menjadi seperti yang kau lihat!" Patung laki-laki setengah baya yang duduk di bagian pal- ing belakang berseru keras. Saking kagetnya si ka- kek berjingkrak mundur. Mulutnya mengguman tak berkeputusan seperti orang latah.

"Gusti... Gusti. Terlalu banyak keanehan terjadi di dunia ini. Ada manusia berubah menjadi patung. Siapa yang punya ulah, siapa pula yang bersalah?" batin sang tabib. "Jika ada manusia punya kehebatan setinggi itu, tidak dapat ku- bayangkan betapa dia dapat berbuat apa saja!"

"Tabib, berikan obat Perampas Kebebasan Pelancar Darah. Konon kau memiliki obat sakti itu. Hanya dengan obat yang kau miliki kami dapat membebaskan diri dari pengaruh pukulan Waton Atos Loro." kata gadis patung.

"Bagaimana kau tahu aku Tabib Setan? Ba- gaimana kalian bisa tahu aku memiliki obat Pe- rampas Kekebalan Pelancar Darah?" tanya Tabib Setan bertambah kaget.

"Orang yang telah memperlakukan kami se- perti yang kau lihat mengatakan begitu pada ka- mi!" sahut gadis patung.

"Aku Tabib Setan, dugaanmu memang be- nar. Tapi apakah kau tidak tahu siapa dan bagai- mana watak tabib sepertiku. Seandainya aku memberikan racun, tentu jiwa kalian tidak keto- longan. Ha ha ha."

"Tabib Setan. Kami sudah pasrah, jika sete- lah meminum obatmu kami berempat mati. Biar- lah, kami anggap itu sebagai suatu kesialan!" ja- wab patung perempuan setengah baya,

"Seumur hidup, aku cuma sekali mencipta- kan obat yang kalian minta. Satu obat membutuh- kan waktu satu tahun untuk membuatnya. Aku pun bahkan terpaksa mempertaruhkan nyawa un- tuk mendapatkan ramuan yang kubutuhkan. Se- karang kalian enak saja memintanya. Aku minta maaf karena tidak dapat memberi. Kalian cari ta- bib lain. Masih banyak tabib yang lain, mengapa kalian meminta pada Tabib Setan.?"

Untuk pertama kalinya setelah mendengar jawaban sang tabib patung sosok pemuda belasan tahun yang matanya menengadah ke langit ikut pula berucap. "Dunia ini penuh kemegahan. Sega- la cipta milik yang mana kuasa. Buat apa jadi ma- nusia pelit, karena apa yang kita miliki sesung- guhnya hanya pinjaman Gusti Allah. Tabib... kami ini para pesakitan. Mengapa kau tidak memberi- kan obatnya? Apa yang kau cari tabib dalam perja- lananmu ini? Musuh atau sahabat, saudara atau orang yang kau rindu?"

"Hah... jadi mereka ini bukan patung. Apa yang harus kulakukan! Aku tak mengenal mereka. Tapi jika tidak kutolong, andai bocah edan itu sampai mendengarnya pasti dia marah besar. Ke- mudian seumur hidup dia tidak mau lagi menjum- pai aku. Bisa celaka aku!" fikir si kakek. Sejenak Tabib Setan melirik ke arah patung gadis menan- gis. Si kakek melihat saat itu tangis si gadis makin menghebat. Walaupun patung gadis itu sama se- kali tidak bergerak, namun dia dapat merasakan penderitaan gadis itu.

"Tabib Setan, jika kau tidak mau menolong cepatlah pergi. Jangan sampai kau menjadi korban perempuan itu!" kata gadis patung. Nada suaranya membayangkan rasa cemas luar biasa.

"Eeh, aneh. Biasanya perempuan jadi kor- ban laki-laki, mengapa sekarang bisa jadi terba- lik?" tanya si kakek.

"Orang tua, kami tak mau melibatkan diri- mu dalam persoalan ini. Lekas kau tinggalkan tempat ini!" kata patung perempuan setengah baya.

"Aku bukan raja tega. Jika kalian bertemu denganku belasan tahun yang silam. Bisa jadi permintaan kalian itu akan berakhir dengan kema- tian. Sekarang segalanya telah berubah. Kalian te- lah bertemu dengan Tabib Setan yang baik. Obat akan kuberikan, tapi berhubung obat yang kalian minta hanya satu. Maka obat itu akan kubagi menjadi empat bagian. Masing-masing dari kalian akan mendapatkan seperempatnya.

Kemudian tanpa merasa curiga sang tabib mengeluarkan sebuah buntalan kecil yang diam- bilnya dari kantong perbekalan. Dari buntalan ke- cil dia mengeluarkan batang padi yang biasa di- pergunakan untuk menyimpan obat itu. Begitu ba- tang padi dijungkirkan, maka ditelapak tangan Ta- bib Setan bergulir sebuah benda bulat berwarna hitam kecoklatan. Benda yang besarnya tidak lebih dari ujung kelingking itu dibagi empat. Setelah itu obat yang telah terpecah jadi empat bagian dima- sukkannya ke masing-masing mulut patung ma- nusia.

Tabib Setan kembali ke tempatnya semula. Hanya beberapa saat setelah sang tabib mema- sukkan obat ke mulut ke empat patung. Pada saat itu pula terdengar suara mendesis seperti air men- didih. Ke empat patung bergetar disertai menge- pulnya asap putih tebal yang seakan keluar dari sekujur badan patung. Empat patung mendadak lenyap diselimuti asap tebal yang bergulung- gulung ke udara. Melihat semua keanehan ini Tabib Setan kerutkan keningnya. Cuping hidungnya kembang kempis mengendus tebaran asap yang sebagian bergerak ke arah dirinya.

Belum lagi hilang rasa heran di hati si ka- kek, mendadak sontak dari balik kepulan asap tebal terdengar suara tawa panjang sekaligus tan- gis keras, setelah itu dengan kecepatan laksana ki- lat pula dari balik asap tebal menderu tiga pasang tangan yang disertai berkelebatnya tiga sosok tu- buh ke arah si kakek.

Walaupun perasaan kaget orang tua ini tak menyangka mendapat serangan secepat itu bukan kepalang, tapi dia masih sanggup melompat mun- dur kemudian jejakkan kakinya sejauh satu tom- bak. Tapi tak urung salah satu serangan yang mendera dirinya masih mengenai bagian dadanya.

Terhuyung-huyung si kakek mencoba men- gembalikan keseimbangannya. Dengan mata men- delik dia memandang ke depan di mana empat pa- tung berujud manusia tadi berada.

Asap tebal saat itu telah lenyap. Tabib Setan melengak kaget begitu menyadari empat sosok pa- tung tadi lenyap. Sebaliknya sebagai ganti di tem- pat itu di atas satu ketinggian pohon dimana pa- tung-patung manusia tadi berada berdiri tegak dengan sikap mengancam empat manusia aneh berwajah angker berpakaian hitam. Dua dianta- ranya adalah seorang pemuda dan laki-laki seten- gah baya, sedangkan yang dua lagi, satu dianta- ranya berupa seorang gadis dan seorang pemuda setengah baya. Rambut panjang awut-awutan, alis matanya hitam tebal, sedangkan disudut bibir me- reka mencuat sepasang taring yang runcing dan tajam. Yang lebih mengerikan lagi ketika ke empat orang ini menyeringai dan julurkan lidahnya. Li- dah itu ternyata bercabang dua berwarna merah kehijauan.

Melihat semua ini dalam kagetnya si kakek tak mampu bicara atau bergerak dari tempatnya. Kenyataan yang dia lihat merupakan sesuatu yang sulit dipercaya.

4

Di depannya sana diatas reranting cabang pepohonan secara mengagumkan empat sosok yang tadinya berupa patung batu berdiri tegak. Hebatnya lagi walau mereka berempat dan hanya menginjak ranting kecil, ranting yang dijadikan pi- jakan sama sekali tidak bergoyang apalagi patah. Seakan tubuh mereka tidak memiliki bobot sama sekali.

"Hi hi hi kau telah berbuat jasa besar pa-

da keluarga Empat Kerabat Siluman, Tabib Setan. Jika bukan karena obatmu mungkin kami akan menjadi patung benaran dalam dua bulan menda- tang. Kau telah menolong, jasamu akan kami ke- nang. Tapi kami terpaksa membunuhmu, karena kami tidak suka tabib hebat sepertimu memberi- kan pertolongan pada manusia!" kata si gadis ber- pakaian hitam transparan disertai tangis dan tawa. Tiga kepala mendongak ke langit, tiga pa- sang mata menatap teriknya surya. Secara seren- tak tiga mulut mengumbar tawa.

Untuk sejenak lamanya Tabib Setan dibuat terperangah, tapi akal pikiran sang tabib tak teng- gelam dalam lamunan. Begitu dia mendengar siapa adanya ke empat laki-laki dan perempuan itu mendadak langkahnya jadi surut. Wajah pucat, tubuh bergetar sedangkan tengkuk tidak rasa tengkuk lagi melainkan telah berubah dingin lak- sana es.

Tabib Setan sering mendengar tentang Em- pat Kerabat Siluman itu. Belasan tahun mereka hidup gentayangan, malang melintang di laut sela- tan. Kejahatan yang mereka lakukan tidak terhi- tung. Konon mereka juga pernah meracuni sumber air minum penduduk gunung Kidul hingga mene- waskan ribuan penduduk. Manusia seperti Empat Kerabat Siluman ini tidak segan melakukan apa saja yang terpenting mereka mendapat imbalan tinggi. Yang membuat Tabib Setan merasa heran siapa yang telah membuat mereka seolah menjadi patung batu? Jelas Empat Kerabat Siluman ta- dinya dalam keadaan terluka parah. Setidaknya tubuh mereka nyaris membeku menjadi batu aki- bat pukulan Waton Atos Loro sebagaimana penga- kuan mereka sendiri.

Kini silih berganti Tabib Setan memandang orang diatas pohon. Walau baru kali ini mereka pertama kali bertemu tapi melihat penampilan me- reka Tabib Setan dapat memperkirakan siapa na- ma masing-masing. Dasar si kakek memiliki sifat sulit ditebak, jika tadinya terkejut maka sekarang jadi tertawa tergelak-gelak. "Hari masih begini siang. Aneh, mengantuk tidak mabuk apalagi. Da- lam keadaan otak melek dan fikiran waras bagai- mana pandanganku bisa menipu? Kalau tak salah, bukankah gadis cantik yang menangis adalah ma- nusia siluman yang berjuluk Kerabat Menangis? Kemudian pemuda yang bengong menatap langit bergelar Kerabat Melamun. Kalau tak salah pula, yang tua bulukan berambut jabrik bergelar Tua. Dan perempuan itu pasti istrinya si jabrik biasa dipanggil Kerabat Perempuan. Hemm... sepanjang hidup baru kali ini Tabib Setan kena tipu oleh para siluman jahat. Kurang ajar, aku benar-benar keti- wasan. Menyesal aku telah berikan obat Perampas Kekebalan Pelancar Darah pada orang yang salah!" kata si kakek.

Laki-laki setengah baya berambut jabrik ter- tawa bergelak. Begitu tawanya lenyap dia berucap. "Terkadang manusia memang suka melakukan ke- tololan. Tapi kau tak perlu risau, walaupun kau segera menemui ajal ditangan kami. Aku Sesepuh Tua akan mengenang budi baik jasa pertolongan yang telah kau berikan." kata si rambut jabrik. Dia melirik ke arah gadis berpakaian hitam transparan lalu anggukkan kepala.

Gadis bergelar Kerabat Menangis itu tahu makna anggukkan kepala si laki-laki. Dengan te- nang dan senyum bermain dimulut Kerabat Me- nangis menjawab. "Aku akan lakukan perintah ayah. Sesepuh Tua!"

Tabib Setan tersenyum. Dia sadar diantara ke empat kerabat siluman itu tentu yang paling berbahaya adalah pemuda belasan tahun yang bergelar Kerabat Melamun. Walaupun tampang pemuda remaja itu seperti orang bodoh putus ha- rapan. Tapi berkat kebiasaannya memandang ma- tahari, konon sekarang dia berhasil menguasai il- mu aneh bernama Ilmu Sirap Pancaran Inti Mata- hari. Dengan ilmunya itu dia dapat menjatuhkan burung yang beterbangan di angkasa. Dengan il- munya pula dia mampu membuat balok baja men- jadi leleh. Walaupun dia memiliki ilmu hebat luar biasa, namun terkadang Tiga Kerabat Siluman su- lit mengharap bantuannya. Semua ini karena fiki- ran, perasaan dan hati si pemuda sering melan- glang jauh entah kemana.

"Tidak pernah ku menyangka habis meno- long malah terkena pentung. Ingin kulihat apa yang hendak dilakukan oleh gadis itu!" batin Tabib Setan. Diatas reranting pohon Kerabat Menangis sunggingkan senyum, sepasang mata dikedip- kedipkan.

"Tabib Setan, kau lihat kemari, pandang wajahku baik-baik!" seru si gadis. Nyata sekali se- ruan Kerabat Menangis bukan seruan biasa. Na- mun dalam getaran suaranya berisi kekuatan mantra-mantra hebat yang mengandung kekuatan gaib yang melenakan.

Tabib Setan tanpa sadar seperti yang dipe- rintahkan si gadis memandang ke arahnya. Sang tabib tercengang begitu melihat gadis diatas pohon dalam pandangan matanya mendadak berubah cantik, kulit putih mulus. Yang membuat perasaan sang tabib sempat bergetar gadis itu kini seperti tidak memakai pakaian alias polos.

Apa yang terlihat begitu menantang, apalagi Kerabat Menangis julurkan lidah basahi bibir dis- ertai senyum memikat menggoda.

Sayang yang dihadapi gadis ini adalah seo- rang Tabib Setan. Manusia Sakti yang bukan saja dikenal tentang kehebatan ilmu pengobatannya. Tapi juga orang tua yang memiliki kepandaian tinggi, bahkan jurus dan pukulan saktinya pernah diturunkan pada Pendekar Sakti 71 Gento Guyon. Di luar semua itu Tabib Setan juga dikenal banyak memiliki ilmu gaib yang bersumber dari kekuatan setan.

Hanya sesaat saja pemandangan menan- tang itu terlihat olehnya. Begitu si kakek alirkan tenaga sakti yang kemudian disalurkan ke bagian kedua matanya. Apa yang dilihatnya tadi menda- dak raib. Dalam pandangannya kini Kerabat Me- nangis kembali seperti sediakala. Rambut terurai, pakaian hitam transparan.

Si kakek pun tertawa panjang. "Segala ilmu siluman kau pamerkan didepanku. Apa kalian ti- dak sadar, gelarku Tabib Setan. Sebagai tabib aku menguasai seribu macam ilmu pengobatan. Seba- gai setan aku menguasai berbagai jenis ilmu setan. Kerabat Menangis, melihat kau menangis, aku jadi tidak tega untuk melukaimu. Bagaimana jika ku- tawarkan obat yang mampu menyembuhkan tan- gismu! Ha ha ha!"

Bukan hanya Kerabat Menangis saja yang dibuat kaget. Terkecuali Kerabat Melamun, maka Sesepuh Tua dan Kerabat Perempuan tak kalah kagetnya. Tapi kejut Kerabat Menangis tak ber- langsung lama. Karena kejab kemudian dia sudah berteriak.

"Tabib Setan jaga auratmu!"

"Kurang ajar, agaknya aku merasa perlu menghadapinya dengan ilmu setanku!" batin Tabib Setan.

Sementara itu selesai dengan teriakannya Kerabat Menangis dengan kecepatan laksana kilat melesat ke bawah. Dua tangan dipentang. Satu bergerak lakukan cengkeraman ke bagian bawah perut, sedangkan tangan kanan yang tiba-tiba mencuat kuku panjang berwarna seputih perak bergerak ke arah dada.

"Gadis kurang ajar. Menyerang dibagian ter- larang, jika tidak kukerjai bisa runyam jadinya!" teriak si tabib, dalam hati.

Melihat serangan yang datang begitu rupa sang tabib menggerung. Diapun pentang tangan- nya menangkis serangan lawan dan balas lakukan serangan dengan cara yang sama.

Tangan kanan mencengkeram ke arah dada, sedangkan tangan kiri mencengkeram ke bagian bawah perut si gadis.

Jika serangan si gadis yang mengarah ke bagian perut sang tabib dapat membahayakan ke- selamatan tabib itu. Maka sebaliknya serangan Tabib Setan yang mengarah kebagian dada si gadis dapat membuat celaka gadis itu pula. Sekitar seu- jung kuku lagi masing-masing serangan mengenai sasarannya, tiba-tiba Kerabat Menangis sambil menggerung mengumbar tangis batalkan seran- gan. Lalu tubuhnya melesat ke udara, membum- bung tinggi melewati pucuk pepohonan sambil mengumbar sumpah serapah.

"Tabib kurang ajar!"

"Kau juga gadis mesum kurang ajar. Sudah tau aku tua bangka bau tanah enak saja kau hen- dak mencomot perabotan orang!" tak kalah sinis- nya si tabib mendengus. Si kakek lalu dongakkan kepala memandang ke atas pohon. Terkecuali Tiga Kerabat Siluman. Maka lawannya tadi lenyap sama sekali. Tabib Setan tertawa mengekeh. "Kau men- gajak aku bertarung diatas awan pun pasti ku- layani!" teriak Tabib Setan. Sekali orang tua ini menggenjot tubuhnya sosok si kakek melesat ting- gi di udara. Kemudian diatas pohon sosoknya le- nyap dari pandangan. Melihat kemampuan yang dimiliki oleh si kakek, Sesepuh Tua menoleh dan berbisik pada istrinya, Kerabat Perempuan.

"Tabib itu ternyata memiliki ilmu setan. Ke- rabat Melamun tak bisa diharap bantuannya. Ba- gaimana jika kita keroyok saja tabib itu bersama- sama." kata Sesepuh Tua.

"Aku setuju. Jika kita dapat membunuhnya, kita pasti bisa mendapatkan ratusan jenis obat. Selain itu konon kudengar dia memiliki sejenis ki- tab ilmu Pengobatan yang hebat!" sahut Kerabat Perempuan.

Sementara itu di atas sana diantara pucuk pepohonan, Kerabat Menangis dan Tabib Setan tengah terlibat satu pertempuran sengit. Saat itu pertempuran yang berlangsung cepat telah mele- wati belasan jurus. Dua sosok yang bertempur berkelebat bagaikan setan gentayangan. Setiap ge- rakan yang mereka lakukan berlangsung sangat cepat hingga rasanya sangat sulit diikuti kasat ma- ta. Nampaknya Kerabat Menangis memang bukan lawan sang tabib. Sungguhpun dia berulang kali melepaskan pukulan saktinya yang memancarkan cahaya kebiru-biruan. Namun setiap pukulan yang dilepaskannya dapat dihindari oleh si kakek. Ma- lah pada jurus yang ketiga puluh, Tabib Setan yang merasa jengkel akibat telah ditipu oleh Empat Kerabat Siluman itu segera meraup sesuatu dari balik kantong perbekalan sebelah kiri. Setelah itu sang tabib merubah gerakan silatnya hingga lawan menduga dia telah banyak kehilangan tenaga.

5

Melihat kenyataan ini Kerabat Menangis ti- dak menyia-nyiakan kesempatan lagi. Dia merang- sak ke depan, dua tangannya yang telah teraliri tenaga dalam dan nampak berubah merah kehi- taman dihantamkannya ke dua bagian tubuh si kakek. Seandainya lawan sampai kena dihantam pukulan ini dapat dipastikan tubuhnya pasti han- gus gosong.

Tapi apa yang dilakukan si gadis memang sesuatu yang sangat ditunggu oleh si kakek. Begi- tu si gadis mendekat sambil menghantamkan dua pukulan mautnya, maka Tabib Setan gerakkan tangannya yang menggenggam sesuatu dengan ge- rakan menyilang dari bawah ke atas. Wuuuur!

Pukulan si gadis melenceng dari sasaran begitu serbuk putih bertabur di udara hingga membuat pemandangan bukan saja hanya menja- di gelap, tapi Kerabat Menangis merasa matanya mendadak menjadi pedih dan sudut mata kucur- kan darah.

Melihat lawan kelabakan sambil menjerit dekap matanya yang meneteskan darah sekali lagi si kakek tidak sia-siakan kesempatan. Tangannya berkelebat menghantam dengan pukulan 'Seribu Setan Melolong Di Neraka'.

Buuuuk! "Huarkh...!"

Jerit si gadis disertai jatuhnya sosok Kera- bat Menangis, melayang di atas cabang. Dari satu cabang ke cabang lain. Tidak lama setelah suara berkerosakan lenyap, terdengar suara bergedebu- kan. Dengan gerakan berjumpalitan Tabib Setan mengikuti jatuhnya Kerabat Menangis. Hingga dia jejakkan kakinya tidak jauh disamping sosok Ke- rabat Menangis yang mulai ujung rambut sampai ke ujung kaki dalam keadaan matang seperti di- panggang.

Sesepuh Tua dan Kerabat Perempuan menggerung melihat kenyataan yang tidak pernah mereka duga ini.

"Anakku...!" jerit Kerabat Perempuan histe-

ris.

"Tabib Setan jahanam! Kau telah membu-

nuh putriku Kerabat Menangis!" seru Sesepuh Tua. Laksana kilat mereka melesat turun. Kerabat Perempuan begitu jejakkan kaki langsung menu- bruk anaknya sambil menangis menggerung. Se- dangkan suaminya Sesepuh Tua berdiri berkacak pinggang, dua matanya merah angker memandang mendelik pada Tabib Setan.

Di atas cabang pohon sana seakan tidak ada kejadian apa-apa, Kerabat Melamun yaitu orang yang paling berbahaya dari tiga lainnya tetap memandang ke langit.

Geram setelah menyaksikan kematian Ke- rabat Menangis, Sesepuh Tua kini palingkan wajah memandang ke arah mana Kerabat Melamun be- rada.

Pada putranya yang paling muda ini dia berteriak. "Anakku Kerabat Melamun, tabib tua ini telah membunuh saudaramu Kerabat Menangis. Tunggu apa lagi mari kita bunuh manusia keparat satu itu!"

Masih berdiri bertengger di ujung reranting pohon pemuda belasan tahun itu tetap tegak da- lam posisinya. Dua tangan dilipat di depan dada, wajah mendongak ke atas dan mata menerawang memandang ke langit. Malah kemudian dengan tersenyum pula Kerabat Melamun berucap. "Pe- mandangan disini begini indahnya. Inilah satu ke- hidupan yang penuh damai, tidak ada rasa dengki mendengki, tidak ada dendam tidak ada kemara- han. Setiap orang memperlakukan sesamanya se- perti saudaranya sendiri. Kedamaian seperti ini sangat kurindu!"

"Celaka, agaknya Kerabat Melamun mem- bayangkan kehidupan di sorga. Saudaranya dibu- nuh orang dia tetap tenang saja." umpat Sesepuh Tua.

Tabib Setan tersenyum. "Sesepuh Tua, agaknya kau lupa kalau dalam setiap obatku ku- campur dengan sejenis ramuan yang membuat se- seorang jadi terlena. Anakmu makin asyik dalam lamunannya. Biarpun petir mencerai beraikan anggota tubuhnya, fikiran dan hatinya tetap mem- bayangkan suatu keindahan yang sangat luar bi- asa. Ha ha ha!"

Terdorong oleh hawa marah, Sesepuh Tua hantamkan tangannya ke arah ranting yang dija- dikan tempat berpijak oleh Kerabat Melamun.

Hawa panas menderu, sinar merah berkib- lat, ranting pohon rambas dihantam pukulan, hingga tubuh pemuda itu meluncur deras ke ba- wah dan jatuh dalam keadaan berdiri.

Walaupun terjatuh sedemikian rupa. Kera- bat Melamun tetap tidak bergeming. Seolah dirinya terlena dalam tidur yang nyenyak. Melihat semua ini Sesepuh Tua merutuk sejadi-jadinya.

Pada saat itu Kerabat Perempuan sudah bangkit berdiri. Kedua pelupuk matanya bengkak sebab, bola mata merah memancarkan duka dan amarah. Kepada suaminya dia berkata. "Kakang mengapa mengharap bocah itu. Mari kita bunuh Tabib gila ini."

Sesepuh Tua anggukkan kepala. Mendadak tanpa terduga pasangan suami istri itu mengang- kat dan menghempaskan kaki kirinya ke atas ta- nah. Hantaman yang keras pada tanah menimbul- kan getaran juga mengepulkan asap. Akibatnya sungguh sangat luar biasa. Tubuh Tabib Setan laksana dilontarkan terpelanting ke udara. Sang tabib terkejut luar biasa. Selagi tubuhnya jungkir balik sedemikian rupa, Sesepuh Tua dan Kerabat Perempuan hantamkan kedua tangannya ke uda- ra. Dua larik sinar kuning laksana mata pedang saling bersilangan menderu dan menghantam sang tabib. Tapi kakek ini begitu melihat dua bahaya yang mengancam dengan menggunakan daya lun- cur tubuhnya sendiri si kakek berjumpalitan.

Wuut!

Dua serangan yang dilancarkan oleh kedua lawannya tidak mengenai sasaran dan amblas le- nyap dalam ketinggian. Sesepuh Tua merasa ge- ram melihat kenyataan ini. Diapun melesat ke atas lalu menghantam si kakek dengan satu pukulan mengandung tenaga sakti berhawa dingin luar bi- asa. Masih dalam keadaan meluncur di udara si kakek yang merasakan sambaran hawa dingin tanpa melihat, gerakkan dua tangan menyambuti.

Dess! Duuuuk!

Dua benturan terjadi membuat keduanya sama terpelanting, masing-masing terpental sejauh tiga tombak. Sesepuh Tua jatuh terbanting dalam keadaan menelungkup. Sedangkan Tabib Setan ja- tuh punggung ke tanah. Orang tua ini menggeliat kesakitan. Belum lagi si kakek sempat berdiri te- gak dari arah sampingnya menderu angin dingin membabat ke bagian pinggang. Ketika Tabib Setan menoleh tercekatlah dia. Orang yang lancarkan tendangan adalah Kerabat Perempuan. Hebatnya saat melepaskan tendangan perempuan itu tetap berdiri tegak ditempatnya. Dalam jarak sejauh li- ma tombak, tendangan Kerabat Perempuan yang masih sempat dihindari sang tabib mendera ba- gian punggungnya. Tabib Setan-berteriak kesaki- tan, sosoknya terlempar ke udara. Tapi di udara tanpa menghiraukan rasa sakit di bagian pung- gungnya dia melepaskan pukulan ‘Para Setan Me- nebar Angkara’.

Dua pukulan menderu, satu mengarah ke arah Sesepuh Tua dan satunya lagi meluncur de- ras ke arah Kerabat Perempuan.

Kedua suami istri ini sempat tercekat. Na- mun tidak tinggal diam. Dengan cepat mereka ge- rakkan tangan kanan menangkis pukulan lawan dengan ilmu Tameng Siluman

Breng! Breng!

Dua pukulan laksana membentur logam ke- ras mengeluarkan suara berisik disertai bertebar- nya bunga api di udara.

Kedua suami istri itu terdorong mundur, kaki amblas sedalam sejengkal. Tapi walau pasan- gan siluman ini mengalami guncangan di dalam dada bahkan tangan yang dipergunakan untuk menangkis laksana terpanggang. Kini sambil kelu- arkan suara teriakan keras mereka menyerbu ke depan.

Sang tabib tercekat, walau begitu dia masih sempat mengumbar tawa. Mendadak suara tawa kakek ini lenyap begitu melihat cahaya putih me- nyilaukan menderu secara bergulung-gulung me- labrak dirinya dari dua arah. Hawa panas mene- bar, Tabib Setan sontak merasa sekujur tubuhnya laksana digarang diatas bara panas luar biasa.

Sambil berkomat-kamit tanpa beranjak dari tempatnya berdiri Tabib Setan cangkapkan dua tangannya diatas kepala, lurus sejajar dengan ubun-ubun. Detik berikutnya sebelum dua sinar maut itu menyentuh tubuh si kakek, mendadak dari bagian bawah ketiak orang tua itu menderu angin laksana topan prahara. Angin bersibak ter- bagi dua. Satu menghantam ke samping kanan sa- tunya lagi bergerak kesebelah kiri.

Hawa panas dan hawa dingin saling tindih menindih. Kemudian terjadi satu ledakan yang ke- ras luar biasa. Si kakek lesatkan diri ke udara, se- dangkan kedua lawannya jatuh terguling-guling.

Bentrokan tenaga sakti tadi membuat me- reka mengalami cidera dibagian dalam. Sang Tabib sendiri sempat mengalami guncangan hebat, tapi kesempatan selagi dirinya mengapung di udara ti- dak disia-siakannya. Tangan kiri kanan menyeli- nap ke balik pakaiannya. Setelah itu tangan ditarik dan dihantamkan ke arah Sesepuh Tua dan Kera- bat Perempuan.

Melihat serangan ini Sesepuh Tua tidak sempat lagi menghindar. Begitu puluhan benda putih yang bukan lain adalah jarum perak beracun menghantam tubuhnya Sesepuh Tua menjerit.

Sebaliknya Kerabat Perempuan sempat ber- jibaku selamatkan diri setelah kebutkan ujung lengan bajunya. Begitu dia lolos dari serangan sen- jata rahasia sang tabib. Tanpa menghiraukan su- aminya dan dengan membawa beban batin yang berat Kerabat Perempuan sambar Kerabat Mela- mun yang berdiri di sebelah kirinya.

Hanya dalam beberapa kali gerakan sosok perempuan setengah baya itu telah lenyap dari pandangan Tabib Setan. Kakek ini sendiri tidak punya keinginan untuk mengejar.

Dia pandangi sosok Sesepuh Tua yang ter- geletak dengan sekujur tubuh ditancapi senjata rahasianya. Bagian yang terkena sambitan jarum itu nampak menghitam, berlubang dan cepat seka- li membusuk. Tabib Setan usap janggut panjang- nya yang memutih. Seakan menyesali sang tabib berucap. "Pada suatu keadaan jarum-jarum itu memiliki kehebatan untuk menyembuhkan penya- kit orang lain. Disisi lain, dengan sangat menyesal aku terpaksa menggunakannya untuk memperta- hankan diri. Seharusnya semua ini tidak perlu ter- jadi. Tapi terkadang pertolongan yang diberikan oleh seseorang malah menjadi racun bagi kehidu- pannya sendiri. Empat Kerabat Siluman, aku ya- kin dia bekerja untuk seseorang. Tentu dengan imbalan yang sangat tinggi. Yang membuat aku ti- dak habis mengerti, mengapa setelah kutolong me- reka malah menghendaki nyawaku? Obat kuberi- kan, nyawaku juga mereka minta sungguh keterla- luan!" gerutu si kakek.

Orang tua ini kemudian mengambil bambu pancingan. Dia melirik ke arah binatang langka yang digantungkannya di cabang pohon rendah. Mendadak wajah si kakek berubah pucat laksana kertas. Mata terbelalak, mulut ternganga.

"Celaka.... Binatang itu. Akh.... siapa yang telah mengambilnya? Siapa yang telah mencuri Siklututjang? Akh... aku ketiwasan. Celaka, habis sudah harapanku, lenyap sudah rencana pestaku dengan bocah edan itu." kata si kakek kalang ka- but.

Tidak ubahnya seperti orang yang telah ke- hilangan bungkahan emas permata Tabib Setan mundar-mandir, matanya jelalatan mencari-cari. Bagaimanapun Tabib Setan tidak ingin kehilangan binatang langka yang dagingnya memiliki khasiat luar biasa itu. Letih mencari kian kemari, si kakek terdiam. Berdiri termangu sambil mengomel. "Sial betul hidup ini. Binatang itu kucari dengan susah payah, bahkan beberapa kali aku hampir menga- lami nasib celaka. Tak kunyana gara-gara berkela- hi dengan Empat Kerabat Siluman, Siklututjang diembat orang!" kata si kakek bingung. Selagi Ta- bib Setan mundar mandir dengan perasaan bin- gung. Pada waktu bersamaan pula mendadak son- tak terdengar suara seseorang. Tidak jelas apakah orang yang bicara laki-laki atau perempuan karena orang itu menggunakan suara perut.

"Tabib Setan, kau telah melakukan kesala- han dengan membebaskan Empat Kerabat Silu- man dari pengaruh ilmu Waton Atos Loro. Kau mencari kesulitan untuk dirimu sendiri. Karena itu kau harus siap menerima hukuman. Jika kau me- nolak, binatang ini akan kubunuh. Kau tidak akan pernah mendapatkan milikmu ini walau cuma se- helai bulu atau kotorannya. Ha ha ha!" kata suara itu keras melengking.

Tabib Setan tercengang. "Hei jangan kau bunuh Siklututjang. Aku tahu diri telah melaku- kan satu kekeliruan. Aku mohon maaf dan berjanji akan mencari Kerabat Perempuan dan Kerabat Me- lamun!" jawab si kakek.

"Begitu. Jika kau berkata begitu, sekarang ikuti aku untuk menjalani hukuman pertama!"

"Sial. Kau kira aku ini seorang bocah. Kalau binatang itu tidak kau kembalikan padaku, kema- napun aku akan mengejarmu!" teriak Tabib Setan. Dalam kemarahannya dia kemudian berkelebat mengejar ke arah mana suara tadi terdengar. Di kejauhan sana terdengar suara tawa mencemo'oh.

6

Malam gelap gulita, bulan yang seharusnya munculkan diri tertutup sekelompok awan putih. Di tepi sungai Oyo di sebelah tenggara Pati sesosok tubuh yang belum jelas apa adanya tergeletak di- atas keranda kayu yang dilintangkan di atas mulut kubur menganga. Bagian liang kubur dalam kea- daan gelap pekat. Sementara sosok yang berada di atas kayu keranda terbuka baik bagian wajah maupun tubuhnya sama sekali tidak terlihat kare- na tertutup selembar kain putih yang diikat pada bagian atas kepala juga bagian kain di ujung kaki. Di lihat sepintas lalu sosok yang tergeletak diatas keranda tidak ubahnya seperti pocong, atau mayat yang siap dikuburkan.

Ada yang aneh, jika sosok diatas keranda benar-benar jenazah orang yang sudah mati dan siap dikuburkan, tentu ada pengantar dan pengir- ing jenazah berada di sekitar lubang makam. Tapi di tempat itu tidak ada orang lain. Tidak terlihat pelayat atau mengiring mayat. Bahkan waktu su- dah lewat tengah malam.

Di tempat itu tidak ada makam lain seba- gaimana umumnya tanah pemakaman. Lubang kubur itu satu-satunya, terletak membujur meng- hadap ke kali.

Di langit sekelompok awan yang mengha- langi pantulan cahaya bulan bergeser. Perlahan kegelapan di pinggir kali mulai diterangi cahaya kuning temaram. Kesunyian terasa mencekam, apalagi daerah disekitar sungai ditumbuhi dengan pepohonan besar. Sehingga sepintas lalu tidak ubahnya seperti hantu yang berdiri mengangkang.

Segala pemandangan ganjil yang terjadi di tepian sungai itu semuanya terlihat jelas oleh seo- rang pemuda berambut gondrong yang kebetulan berada di daerah sekitar situ. Si gondrong berte- lanjang dada yang bukan lain adalah Pendekar Sakti 71 Gento Guyon menjadi heran juga curiga. Tanpa pikir panjang si pemuda jejakkan kakinya kemudian melesat ke atas pohon, jejakkan kaki pada salah satu cabangnya dan mendekam disitu. Dari balik kegelapan pohon diatas ketinggian sang pendekar terus memperhatikan ke pinggir sungai dimana sosok seperti pocong berada di situ, terge- letak diatas keranda kayu yang terbuka.

Perhatian si pemuda agak terganggu ketika dia mendengar suara kelepak sayap kelelawar yang melintas di atas pohon dimana dirinya berada. Ca- haya bulan menjelang pagi kini bertambah terang, sinarnya yang kuning keemasan memancar kese- genap penjuru arah, menerangi tepian sepanjang sungai berbatu termasuk juga sosok pocong yang tergeletak diatas keranda.

Gento Guyon hampir saja melompat turun dari tempat persembunyiannya ketika matanya menangkap adanya satu gerakan pada sosok yang dipocong. Seakan tidak percaya pemuda itu men- gusap matanya tiga kali.

"Tidak salah penglihatanku, orang dibalik kain putih itu bukan mayat atau jenazah seseo- rang yang sudah meninggal. Aku yakin orang itu pasti masih hidup." fikir si pemuda. Di hatinya mendadak muncul kebimbangan, dalam benaknya muncul pula keraguan. "Jika manusia hidup perlu apa dia memocong diri? Ataukah seseorang memo- congnya atau mungkin dia sedang menjalani sum- pah pocong?"

Selagi benak si pemuda dipenuhi berbagai macam pertanyaan. Pada saat itu terdengar suara menggemuruh di langit. Suara bergemuruh yang terdengar ternyata bukan saja datang dari langit, tapi juga dari dalam tanah terdengar pula suara yang sama. Murid kakek gendut yang berada di- atas pohon tercengang. Di langit kilat menyambar tiga kali berturut-turut ke arah sosok diatas ke- randa. Dari dalam kubur cahaya putih mencuat dan sama menghantam sosok keranda pula.

Terjadi satu keanehan. Bertemunya dua ca- haya yang datang dari atas dan dari dalam lubang kubur menganga menimbulkan pijaran-pijaran aneh berupa cahaya putih, biru, merah kuning dan hitam yang berkelok-kelok laksana cambuk yang dilecutkan menjalari sekujur tubuh sosok da- lam pocongan.

Lima cahaya warna warni itu dengan gera- kan bagai lipan merambat begitu sampai ke bagian ujung bagian kepala langsung melesat ke udara dan akhirnya lenyap setelah terjadi letupan lima kali berturut-turut. Satu keanehan terjadi. Kain putih yang membungkus sosok-sosok didalamnya yang dalam keadaan terikat pada bagian kedua ujungnya kini tidak putih lagi, melainkan telah be- rubah hitam, hangus menjadi bubuk.

Apa yang seharusnya terjadi maka terjadi- lah. Dari dalam kain putih yang kini telah menghi- tam hangus terdengar suara tawa panjang, lalu tangan dan kaki dibalik selubung kain bergerak. Serpihan kain pocong bertaburan di udara. Kemu- dian dibalik kain yang hancur Gento dapat melihat satu sosok tubuh seorang perempuan berkulit kuning langsat berusia sekitar empat puluhan. Pe- rempuan itu berwajah cukup cantik, walau usianya tidak lagi terbilang muda, berpakaian kuning ringkas dalam keadaan menelentang ba- gian dadanya nampak demikian menonjol. Perla- han perempuan itu bangkit dan kemudian duduk diatas keranda. Bibirnya yang kemerahan mengu- rai senyum sedangkan sepuluh jari tangannya yang berkuku panjang bersilangan di depan dada.

"Terkabul sudah apa yang menjadi ke- inginanku. Dua puluh satu hari-hari telah kujalani Tapa Pocong. Kini satu ilmu dahsyat telah kuda- pat. Hik hik hik!" Perempuan diatas keranda ber- kata disertai tawa dingin menyeramkan. Sesaat se- telah itu suara tawanya lenyap. Wajah cantiknya mendadak berubah bengis. Dua tangan dikepal- kan, lalu diangkat ke atas, setelah itu sepuluh jari dijentikkan.

Wuuut!

Dari sepuluh ujung jemari tangannya mem- bersit sinar merah angker. Sepuluh sinar menderu melesat menghantam sepuluh batu cadas yang terdapat dipinggiran sungai.

Terjadi sepuluh letupan berturut-turut. Wa- lau hanya berupa letupan kecil akibat yang ditim- bulkannya sungguh sangat luar biasa. Sepuluh batu yang menjadi sasaran serangan langsung menyusut sebesar kepalan tangan, hangus meng- hitam kepulkan asap.

Diatas pohon Gento yang melihat semua ini jadi belalakkan mata dan keluarkan keringat din- gin.

"Perempuan ini siapakah? Kekuatan ujung jemarinya saja mampu membuat batu sebesar kerbau jadi menciut. Bagaimana bila yang menjadi sasarannya adalah manusia?" batin si pemuda.

Diatas keranda perempuan itu menyeringai. Dia merasa puas atas apa yang telah didapatnya. Dengan mata berbinar dia dongakkan wajah ke langit. Kembali tawanya bergema. Sebaliknya Gen- to jadi tercekat begitu melihat satu lubang men- ganga mengerikan terdapat dibagian tenggorokan perempuan itu.

"Astaga, perempuan itu tenggorokannya su- dah berlubang bagaimana masih dapat bertahan hidup!" desis sang pendekar tercekat.

Di bawah sana perempuan baju kuning te- rus saja tertawa. Seperti tadi tawa perempuan itu mendadak lenyap, wajah cantiknya berubah ben- gis. Setengah menggeram dia berkata. "Perempuan keparat itu? Perampas kekasih orang, penghancur segala kebahagiaanku. Hemm... Dipati Durga. Kau campakkan diriku setelah kau reguk sari maduku. Kini enak saja kau lari pada perempuan lain. Agaknya aku merasa perlu membunuh semua laki- laki yang ada didunia ini!"

Di atas pohon Gento menyeletuk. "Kalau semua laki-laki kau bunuh, lalu dia mau hidup dengan siapa. Kalau tak ada laki-laki bagaimana perempuan bisa bunting, bagaimana bisa mene- ruskan keturunan. Agaknya perempuan itu manu- sia yang sudah miring otaknya. Siapa perempuan yang dibencinya itu? Ah... ada-ada saja!" Gento mengusap hidungnya sambil menyeringai.

Di luar sepengetahuan Gento ternyata ke- hadirannya tercium oleh perempuan yang duduk diatas keranda.

Si cantik setengah baya menyeringai. Tiba- tiba dia sengaja berkata dengan suara keras. "Se- kar Langit... kau tunggu pembalasanku. Kau telah membuat tenggorokanku berlubang begini rupa. Kau merebut kekasihku, aku tidak terima! Rasa sakit di hatiku baru terobati jika aku dapat me- rampas nyawamu!"

Si baju kuning kembali menyeringai, kemu- dian tangannya digerakkan ke atas. Dia lakukan gerakan seolah hendak bangkit berdiri, namun pa- da saat itu lubang kubur di bawahnya mendadak bergetar hebat. Getaran dan guncangan dapat di- rasakan oleh Gento. Di saat sang pendekar melihat semua kejadian yang berubah tak menentu itu pe- rempuan baju kuning keluarkan suara jeritan ke- ras. Tubuh perempuan itupun kemudian jatuh terbanting ke dalam lubang.

"Ahk... tolong...!" teriak si baju kuning. So- sok perempuan itu lenyap. Tapi didalam kegelapan lubang suara teriakannya terus terdengar, sedang- kan suara bergemuruh laksana gempa tadi kini ti- dak terdengar lagi. Bulan makin merendah disebe- lah barat, pertanda malam tak lama lagi berganti dengan pagi. Di atas pohon Gento nampak ragu antara ingin memberikan pertolongan atau tidak. Tapi jeritan perempuan tadi mengundang rasa iba di hatinya. Apalagi kini si baju kuning mulai me- nangis ketakutan.

"Tolong, siapapun yang mendengarkan sua- raku ini tolonglah aku. Tanah dilubang kubur ini terbelah, tubuhku terperosok ke dalamnya, terjepit diantara celah lubang aku sudah tidak lagi mampu bergerak." rintih si baju kuning dengan suara ter- sendat-sendat. 

Gento menyengir. "Tadinya hendak membu- nuh semua laki-laki. Kini tidak tahunya butuh pertolongan laki-laki. Dasar tolol, bicara seenaknya sendiri!" gerutu si pemuda bersungut-sungut.

Tak berselang lama, suara perempuan itu makin melemah, Gento jadi tidak tega untuk membiarkannya. Sehingga diapun melesat me- ninggalkan cabang pohon dan terus bergerak tu- run lalu jejakkan kakinya di tepi lubang kubur di- mana keranda yang membelintang diatasnya telah roboh miring siap meluncur ke bawah.

Sang pendekar singkirkan keranda dari da- lam mulut lubang kubur. Setelah itu dia julurkan kepala melongok ke dalam. Tapi perempuan ber- pakaian kuning tadi tidak terlihat karena suasana di lubang kubur itu dalam keadaan gelap gulita.

"Akh... adakah seseorang diatas sana?" Pe- rempuan itu keluarkan suara mengerang.

"Apa yang terjadi dengan dirimu, nisanak? Apakah kau tidak dapat keluar sama sekali?" tanya Gento.

Dari dalam lubang kubur terdengar suara erangan. "Tid... tidak. Tubuhku terjepit. Pinggang serasa remuk. Nampaknya aku tidak dapat berta- han lebih lama lagi!" keluh si baju kuning.

"Jangan khawatir. Aku akan menolongmu. Kau dengar. Aku akan ulurkan cabang pohon, kau pegang ujung rantingnya aku akan menarikmu ke- luar. Kau mengerti?" tanya si pemuda lagi.

Dengan suara tersendat-sendat perempuan itu menjawab. "Ya... aku mengerti. Sebelumnya kuucapkan terima kasih atas bantuanmu. Oh kau baik sekali, dengan apa aku harus membalas budi kebaikanmu?!"

"Tak usah kau fikirkan semua itu. Aku bah- kan belum melakukan apapun."

Gento lalu mencari ranting pohon basah yang dianggapnya kuat untuk menarik beban. Se- telah apa yang diinginkannya dia dapatkan, kem- bali pemuda itu dekati mulut lubang. Ranting diju- lurkan, semakin lama semakin ke dalam dan ter- nyata lubang itu memiliki kedalaman tidak lebih dari dua kali tinggi manusia biasa.

Sementara di sudut utara sungai Oyo dalam jarak hanya belasan tombak dari lubang makam. Sepasang mata yang turut mengawasi segala apa yang terjadi di makam sejak tadi kini menjadi he- ran melihat apa yang dilakukan oleh sang Pende- kar. Dia hendak mencegah, tapi niatnya urung da- lam keraguan.

Nampaknya sepasang mata itu begitu mengkhawatirkan keselamatan Gento. Dibalik ke- gelapan semak belukar beberapa kali dia sempat menarik nafas.

"Apa yang hendak dilakukannya? Apakah dia tidak mendengar, tadi perempuan itu mau membunuh setiap laki-laki yang dia jumpai. Cari penyakit! Siapa tahu perempuan itu hanya meni- pu. Siapa bisa menduga perempuan itu cuma ber- pura-pura?" batinnya.

Di tepi lubang kubur Gento kini sudah membungkuk, rupanya ranting kayu yang diam- bilnya masih kurang cukup untuk menjangkau orang yang hendak ditolongnya. Sampai tangan yang memegang ranting ikut terjulur ke dalam lu- bang. Barulah dia merasa ada tangan menggapai bagian ujung ranting itu.

"To-lo-ng tarik ke atas...!" kata perempuan di dalam liang kubur.

Tanpa merasa curiga dengan tenaga kasar Gento coba menarik pangkal ranting seperti yang diminta oleh si perempuan di bawah sana. Perla- han ranting bergerak naik. Tak lama kemudian sa- tu kepala tersembul. Kemunculan bagian kepala diikuti oleh bagian tubuh lainnya. Sampai kemu- dian tanpa terduga perempuan berpakaian serba kuning lakukan gerakan melentik ke udara tidak ubahnya seperti udang. Di udara tubuhnya ber- jumpalitan ke belakang Gento. Setelah itu....

Dess! Desss!

Satu hantaman keras menderu punggung sang pendekar hingga membuat tubuh si pemuda tanpa ampun lagi meluncur deras ke bagian lu- bang, lalu jatuh berdebum di dasar liang makam.

Apa yang terjadi tadi berlangsung sangat cepat sekali, hingga Gento yang tidak pernah me- nyangka akan dibokong orang tidak lagi mampu berkelit atau menyelamatkan diri.

Jika Gento di bawah sana menggeliat kesa- kitan dengan punggung serasa remuk. Sebaliknya di tepi lubang kubur perempuan berpakaian kun- ing tertawa terkikik-kikik.

"Dasar pemuda tolol, mau saja ditipu orang. Untuk keluar dari liang kubur bekas tempat tapa- ku bagiku sangat mudah. Tapi tidak demikian hal- nya dengan dirimu. Aku telah menaburkan berba- gai jenis racun berbahaya di dasar liang kubur itu. Kau akan mati sengsara, terkubur di tempat ini se- lamanya. Hik hik hik." kata si baju kuning.

"Perempuan edan, siapa dirimu? Sebelum- nya kita tidak pernah bertemu, mengapa kau men- celakai aku?" tanya sang pendekar marah sekali.

"Hik hik hik. Seharusnya aku tidak mem- perlakukan dirimu begitu rupa. Kau masih muda, gagah dan tampan. Tapi aku sudah terlanjur membenci semua laki-laki. Kau dengar, namaku Nyi Ronggeng. Hanya itu yang kau perlu kau keta- hui. Pemuda cakep, selamat berkubur dalam Pem- baringan Abadi. Selamat bertemu di akherat." Pe- rempuan itu menjelaskan disertai tawa tergelak- gelak.

"Manusia jahat. Bebaskan diriku! Tidak se- mua laki-laki berhati jahat seperti yang kau sang- kakan. Aku sendiri walau sudah tahu wajahmu seperti bokong kuda tapi merasa jatuh cinta pa- damu pada pandangan pertama. Ha ha ha!" kata Gento lalu tertawa.

Wajah Nyi Ronggeng merah kelam. Senda gurau Gento benar-benar membuat hati wanita itu jadi tersinggung, membangkitkan amarah dan rasa benci yang begitu mendalam pada laki-laki.

"Pemuda edan, katakan siapa namamu. Bi- ar mudah bagiku untuk mengingatnya!" hardik si Nyi Ronggeng.

"Kau bertanya tentang nama, apakah ini be- rarti cintaku bersambut. Aku sih senang saja, tapi kurasa sahabatku si Pairin lebih cocok dengan- mu."

"Jahanam siapa itu Pairin?"

"Pairin bandot tua tukang kawin, sudah bau tanah. Kakek itu bekas suami Painam. Ha ha ha." sahut Gento.

"Jahanam! Benar-benar ingin cepat mam-

pus!"

Sambil berteriak keras Nyi Ronggeng gerak- kan tangannya ke atas. Setelah itu laksana kilat tangannya melesat ke bawah menghantam ke ba- gian dasar.

Cahaya merah menggidikkan berkiblat di dalam lubang terdengar ledakan berdentum dis- elingi dengan jeritan menyayat sang pendekar. Asap tebal mengepul dari bagian dasar lubang. Nyi Ronggeng tertawa. Sedangkan dibalik semak belu- kar sosok yang terus mengawasi belalakkan mata sambil dekap mulutnya agar jangan sampai kelua- rkan pekikan yang mengundang perhatian Nyi Ronggeng.

"Oh Gusti Allah.... tewaskah dia...!" tanpa sadar pemilik sepasang mata itu mengeluh. Se- mentara dia tidak berani unjukkan diri karena dia sudah sering mendengar kehebatan yang dimiliki oleh perempuan itu.

Di tepi liang kubur Nyi Ronggeng berdiri berkacak pinggang. Sesaat julurkan kepala me- mandang ke dalam lubang yang menganga hitam. Setelah itu dia balikkan badan, lalu berkelebat pergi. Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara ta- wa Nyi Ronggeng disertai ucapan. "Tidak akan ku- biarkan semua orang menghinakan diriku. Dengan Ilmu Sesat Jiwa yang baru kudapat, akan kubu- nuh dulu semua orang yang kubenci!"

7

Untuk sementara kita kembali pada si ka- kek gendut Gentong Ketawa yang dibawa pergi ke tempat aman oleh nenek tua berambut hitam ber- nama Nyi Sekar Langit.

Sampai di suatu tempat masih di sekitar daerah Teluk Rembang Nyi Sekar Langit memper- lambat larinya sampai akhirnya berhenti di bawah tebing karang. Dia lepaskan cekalannya pada len- gan si kakek. Sementara tiga pengasuh nenek ini yang tertinggal jauh di belakang berlari datang menghampiri pada saat itu sambil mengusap tan- gannya si gendut sambil menyengir berucap. "Tak kusangka badan gemuk begini bisa melayang lak- sana terbang. Sungguh peruntunganku baik. Ber- lari dituntun orang seperti o-rang buta. Andai yang membimbingku adalah salah satu dari tiga gadis itu betapa dunia ini hanya milikku sendiri, se- dangkan yang lainnya membayar sewa padaku. Ha ha ha."

Mendengar ucapan si kakek Nyi Sekar Lan- git yang berdiri tegak di depannya delikkan mata. Tapi dia tidak tampakkan wajah marah. Malah kemudian dia menanggapi.

"Rupanya kau menyukai daun muda. Ba- gus... kau tinggal memilih salah satu dari tiga pen- gasuhku itu. Tapi ingat kelak kau jangan salahkan aku." kata nenek bersuara merdu itu lalu meman- dang ke jurusan lain.

Sementara tiga gadis jelita pengasuh Nyi Sekar Langit saat itu sudah berada dihadapan me- reka. Masing-masing wajah ketiga gadis masih menyiratkan rasa khawatir yang amat sangat, na- fas mengengah peluh bercucuran membasahi wa- jah yang cantik.

"Nyi Sekar... mengapa kita justru berlari ke tempat terbuka?" tanya Nyi Besinga, gadis berpa- ras jelita dibandingkan dua gadis lainnya.

Sesaat si nenek menatap anak buahnya, la- lu tersenyum. Masih dengan tersenyum pula dia berkata. "Tidak jauh dari tebing karang ini dicelah dua bukit karang ada sebuah gua. Gua itu cukup besar untuk kita pakai berlima."

"Berlima? Apakah ini berarti aku termasuk dalam hitungan dan sudah dianggap sebagai te- man sendiri?" tanya si kakek lalu tertawa lagi.

"Nyi Sekar... buat apa kita melindungi ka- rung butut ini. Menurutku lebih baik kita lempar- kan saja ke laut!" kata Nyi Arianti menunjukkan rasa tidak sukanya.

Si gendut Gentong Ketawa usap dagunya yang hanya ditumbuhi beberapa helai janggut. Enak saja dia menyeletuk. "Biar butut begini jika dikehendaki masih sanggup memberikan belasan anak!"

Wajah Nyi Arianti merona merah. Mulutnya cemberut, ketika si kakek menatap ke arahnya dia membuang muka ke arah lain. "Ha ha ha. Ru- panya marah dia." Nyi Sekar menahan senyum. Nyi Besinga dan Nyi Artawanti ikut pula terse- nyum.

"Tak usah berkecil hati, Nyi Arianti. Kakek gendeng ini otaknya memang kurang waras, jadi harap kau mau memakluminya!" hibur Nyi Besin- ga. Nyi Arianti si jelita yang berbadan sedikit pen- dek diam tak menanggapi. Sebaliknya Gentong Ke- tawa kembali usil. "Gadis jelita kau jangan besar hati mengira aku suka padamu. Terus-terang aku tak begitu tertarik pada seorang gadis pemarah. Jika aku mempunyai istri pemarah mulutku bisa terkunci karena tidak pernah tertawa. Terus- terang aku lebih suka dengan Nyi Besinga. Selain cantik tubuhnya tinggi, jadi nantinya dia bisa ku- suruh memetik buah kelapa. Ha ha ha."

"Gendut gila, siapa yang sudi padamu." hardik Nyi Besinga.

"Apakah pernyataanmu itu karena disini terlalu banyak orang yang ikut mendengar pembi- caraan kita. Kalau kau mau aku bisa mengusir mereka, atau kita pergi ke tempat lain. Disana kita bisa bicara empat mata di tempat sejuk dan nya- man!"

"Gendut... bicaramu semakin ngaco. Kubu- nuh kau...!" teriak Nyi Besinga kalap, namun dia tidak beranjak dari tempatnya.

Bersikap seakan tidak perduli Gentong Ke- tawa duduk mengejelepok diatas gundukan ka- rang. Wajah menghadap ke laut memunggungi Nyi Sekar Langit dan pengasuhnya.

Tak lama kemudian dengan nada sedih dia berucap. "Rupanya nasib peruntungan diriku me- mang jelek sekali. Sudah tua papa badan gembrot pula. Tiga gadis mentah-mentah menolakku. Duh... kemana aku harus mengadu. Muridku sa- tu-satunya yang kusayang entah kemana. Padahal walau otaknya rada miring dia masih menaruh ra- sa sayang dan hormat kepadaku. Aah... ah... ah!"

Si gendut usap pipinya yang tembem, pura- pura sedih padahal hatinya tertawa terpingkal- pingkal.

Nyi Sekar Langit adalah seorang perempuan cerdik. Mendengar si kakek menyebut-nyebut ten- tang muridnya, nenek ini langsung mendekati mencoba mengadu peruntungan. Tiga pengasuh- nya jadi terheran-heran melihat sikap si nenek. Nyi Arianti dengan sinis bahkan berbisik pada Nyi Be- singa dan Nyi Artawanti.

"Bagaimana mungkin Nyi Sekar tiba-tiba bersikap lunak pada kakek bakul nasi itu? Jan- gan-jangan kakek sinting itu mempunyai sejenis ilmu pelet!"

Nyi Besinga cuma diam tapi waspada. Se- dangkan Nyi Artawanti menanggapi. "Nyi Sekar ba- rangkali mengalami nasib apes. Guna-guna si gembrot telah meluluhkan hati dan pikirannya."

Dengan gemas Nyi Arianti menyahut. "Awas! Kalau gendut ini macam-macam akan kubuat ba- bak belur dia!"

"Bicaramu begitu bersemangat berapi-api, apakah ini berarti kau merasa cemburu dan mera- sa mendapat saingan untuk merebut hati kakek tembem itu?" sindir Nyi Besinga.

Mendengar sindiran itu Nyi Arianti kontan mendelik. "Hati-hati kau bicara jaga kau punya mulut. Buat apa aku bersaing mendapatkan si gembrot. Kalau aku mau sepuluh pemuda cakap masih bisa kudapat dalam sekejap." dengus gadis itu.

"Aku percaya. Selama mereka tidak tahu keadaan kita yang sebenarnya. Seandainya mereka tahu siapa kita, aku yakin mereka pasti minggat tunggang langgang!" celetuk Nyi Besinga sambil buru-buru tekap mulut agar jangan sampai terta- wa.

Sementara itu Nyi Sekar Langit telah berada disamping si gendut. Dengan sikap berubah sopan dan suara lembut merdu si nenek bertanya. "Orang tua, maafkan sikap dan tingkah laku kami. Sebenarnya kami bukan orang jahat. Kalau boleh aku bertanya, siapakah nama muridmu itu dan apa betul kau hidup sebatang kara?"

Melihat sikap orang yang berubah si gendut mendadak turunkan kedua tangan yang dipergu- nakan mendekap wajahnya. Seperti orang mengo- mel dia berucap memberi jawab. "Memang aku se- batang kara. Dulu aku hidup dengan muridku. Bahkan jika tidak ada topan puting beliung yang menyergap dan membawaku ke tempat ini pasti aku masih tetap bersama muridku."

"Siapa nama muridmu kakek Gentong Ke- tawa?" Nyi Sekar Langit mengulangi pertanyaan- nya.

Si gendut unjukkan tampang kaget. "Heh... kau memanggilku kakek? Padahal kau seorang nenek, usia kita barangkali sebaya."

"Kau tidak suka aku memanggilmu begitu?" "Ah, aku tidak begitu mempersoalkannya."

Gentong Ketawa gelengkan kepala. "Aku heran mengapa kau begitu ingin tahu nama muridku. Bocah itu bernama Gento Guyon."

Bukan hanya Nyi Sekar Langit saja yang ja- di terkejut begitu si kakek menyebut nama Gento. Tapi tiga gadis pengasuh sama melengak dengan mulut ternganga.

"Gento Guyon...!" Nyi Sekar Langit mengu- lang menyebut nama itu. Dia lalu memegang bahu si kakek penuh rasa bersahabat hingga si gendut merasa senang. "Apakah pemuda yang kau mak- sud adalah Pendekar Sakti 71 Gento Guyon?"

"Haeh, kau ini bicara apa. Setahuku Gento itu bocah edan, bagaimana kau menambahinya dengan embel-embel Pendekar Sakti 71, angka apa itu? Apakah tanda kematian atau apa?"

Dalam hati Nyi Sekar mengeluh kecewa. Dia berfikir mungkin orang yang disebutkan si gendut adalah Gento Guyon yang lain. Bukan Gento se- perti yang dilihatnya dalam tapa semedi. Kalau Gento yang dia harapkan pertolongannya adalah Pendekar Sakti 71, sebagai gurunya tentu kakek ini paling tahu bagaimana ciri-ciri muridnya.

"Bocah itu saat aku meninggalkannya bera- da di muara sungai Ronggo Topo Wates. Saat ini mungkin dia sudah gentayangan entah kemana." fikir si gendut tanpa memperdulikan keresahan si nenek.

Seperti telah dituturkan pada episode Ki An- jeng Laknat. Saat terpisah dengan muridnya, Gen- to belum lagi dibawa oleh kakek setengah roh ber- nama Manusia Seribu Tahun. Setelah dibawa oleh kakek Seribu Tahun, dan mendapat gemblengan lahir batin dan tambahan beberapa ilmu hebat ju- ga diberi kalung Batu Raja Langit, kemudian Ma- nusia Seribu Tahun memberinya gelar Pendekar Sakti 71. Angka tujuh adalah simbol penting dari unsur kehidupan sekaligus tenaga gerak manusia, sedangkan satu ada tujuh unsur kekuatan yang menyatu dalam raga manusia. Karena itu wajar saja jika si kakek menjawab seadanya. Setelah ter- pisah dengan muridnya dia tentu saja tidak tahu apa yang dilakukan oleh pemuda itu.

Untuk beberapa saat lamanya semua orang yang berada di tebing karang yang terletak di tepi pantai itu tenggelam dalam fikiran masing-masing. Si kakek ajukan pertanyaan begitu dia ingat den- gan makhluk besar hitam bersayap lebar yang me- nyerang mereka beberapa saat yang lalu.

"Nyi Sekar... sebenarnya aku heran, mak- hluk apa yang telah menyerang kita ketika berada di halaman pondok di teluk itu?" tanya si kakek sambil menunjuk ke arah teluk di kejauhan.

"Nyi Sekar Langit, jika Nyi Sekar ragu jan- gan katakan apapun pada kakek itu, Siapa tahu dia orang suruhan Dipati Durga!" ujar Nyi Besinga begitu melihat si nenek ragu-ragu.

"Dipati Durga, aku sama sekali tidak men- genal orang yang kau sebutkan. Mendengar na- manya saja baru kali ini." jawab si kakek tegas.

"Dipati Durga adalah orang yang meng- inginkan diriku selama ini. Aku selalu menghindar darinya, tapi dia terus mengejarku. Dia mengin- ginkan agar aku menjadi istrinya. Tapi mana mungkin, aku tak pernah menaruh rasa simpati padanya. Lagipula dia punya banyak istri. Salah satu diantara istrinya telah membuatku cacat be- gini rupa!"

"Ha ha ha. Manusia  aneh, banyak gadis cantik bertebaran di bumi, mengapa dia menghen- dakimu. Yang... maaf, aku sendiri terus terang saja tidak pernah tertarik pada nenek tua sepertimu." ujar si kakek.

Bukannya marah, Nyi Sekar Langit malah tersenyum. "Perihal kenyataan yang sesungguhnya kau tak usah tahu. Tapi nanti jika aku bertemu dengan Pendekar Sakti 71 Gento Guyon baru sega- lanya kuceritakan padanya. Sesuai dengan wangsit yang kudapat dari semediku, hanya dia yang bisa membantu menyembuhkan aku dari pengaruh il- mu sesat yang kuamalkan."

"Kalau kau tak mau menjelaskan padaku tidak mengapa. Tapi terus terang jika kau mencari Pendekar Sakti 71 Gento Guyon, kurasa sampai kiamat kau tak bakalah menemukannya. Tapi jika Gento Guyon yang kau maksud, kurasa aku sang- gup membawanya kemari. Tapi kau harus menje- laskan dulu padaku persoalan apa yang kau ha- dapi. Lalu siapa yang telah menyerang kita dengan makhluk anehnya itu."

"Aku tidak keberatan." sahut si nenek. Sete- lah menarik nafas dan diam sejenak dia melan- jutkan. "Yang menyerang kita adalah Makhluk Ku- tukan Neraka. Ujud yang sebenarnya tak dapat kujelaskan secara pasti karena makhluk hitam itu datang dan pergi dengan kecepatan laksana kilat. Sedangkan orang yang bicara tadi, dialah Dipati Durga. Laki-laki jahat yang terus saja memburu- ku."

"Orang itu datang dengan menunggang Makhluk Kutukan Neraka?" tanya si kakek. "Ya...!"

"Lalu mengapa kau mengharapkan kehadi- ran Gento?" si gendut ajukan pertanyaan.

"Jika kau ingin tahu baiklah. Tak salah jika aku mencoba menjelaskan padamu apa yang ter- jadi pada aku dan tiga pengasuhku sebelum ini." ujar Nyi Sekar Langit. Sejenak orang tua ini ter- diam. Kemudian sepasang mata dipejamkan se- dangkan kening berkerut seakan coba mengingat- ingat.

8

Lima tahun yang lalu di satu malam bulan purnama seorang gadis cantik duduk di depan pendopo tempat kediaman gurunya. Hati dan fiki- rannya benar-benar tidak tenang memikirkan ke- pergian gurunya yang sudah berbulan-bulan tidak juga kembali.

Sesaat gadis berparas cantik jelita ini me- mandang ke langit, menatap bulan bundar yang memancarkan cahaya kuning kemilau. Segalanya memang nampak begitu indah. Tapi segala kein- dahan malam itu seakan tidak dapat dirasakan oleh si jelita yang dirundung kegalauan.

"Lima bulan sudah guru pergi untuk men- dapatkan dan mengamalkan ilmu Selubung Angin Biru. Waktu yang dijanjikan telah lewat. Aku kha- watir telah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada dirinya." batin si gadis. "Anehnya lagi, tiga pengasuhku tiba-tiba saja pergi entah kemana. Mereka seperti raib di telan bumi."

Sekali lagi si cantik jelita menarik nafas, semakin dia berfikir tentang gurunya, maka kegeli- sahan semakin terasa menyesak di dalam da- danya.

Gadis itu baru saja hendak tinggalkan balai kayu yang didudukinya ketika dia melihat satu bayangan berkelebat dan jejakkan kaki tak jauh di depannya.

Melihat siapa yang datang gadis ini lang- sung jatuhkan diri berlutut dengan sikap meng- hormat, sementara dari mulutnya keluar seruan. "Guru... ah ternyata akhirnya guru kembali juga!"

Nenek berambut putih berpakaian serba kuning itu tersenyum. Sejenak dia pandangi gadis yang duduk bersimpuh di depannya. Setelah itu dia berucap. "Sengaja aku meninggalkan dirimu dalam waktu yang agak lama karena aku ingin ta- hu apakah kau sabar menungguku atau tidak. Ternyata kau adalah murid yang baik tahan uji dapat pula bersabar."

"Tapi guru... tiga pengasuhku, yang seha- rusnya setia melayani diriku telah pergi dari sini satu bulan yang lalu. Aku tak tahu mereka pergi ke mana?"

"Hi hi hi. Mengenai tiga pengasuhmu itu tak usah kau fikirkan. Terus-terang aku membawa mereka ke suatu tempat. Aku telah mewariskan beberapa ilmu pukulan hebat pada mereka. Agar kelak setelah kalian tidak lagi berada di Juwana ini kau dan tiga pengasuhmu itu dapat menjaga diri dari ganasnya hidup. Di dunia luar sana men- cari sahabat tidaklah mudah. Tapi musuh berteba- ran dimana-mana. Yang aku khawatirkan adalah Dipati Durga. Laki-laki itu nampaknya sampai se- karang masih tetap menginginkan dirimu. Walau- pun aku tahu ilmu kesaktian yang kau miliki su- dah sangat tinggi namun kesaktian Dipati Durga lebih tinggi lagi." ujar si nenek. Dia lalu melan- jutkan setelah melirik sang murid sekejap. "Nyi Sekar Langit, katakan terus-terang padaku apakah kau mencintai Dipati Durga?"

Mendapat pertanyaan seperti itu si gadis je- lita berpakaian hijau berjingkrak kaget. Wajah memerah sedangkan mata terbelalak lebar.

"Nenek Ambeng Tatap Banyu. Seujung kuku sekalipun tiada rasa suka dihatiku pada laki-laki itu. Aku malah membencinya. Kalau perlu aku akan menghindar sejauh mungkin."

Sang guru yang bernama Ambeng Tatap Banyu tersenyum. "Kau tak perlu menghindari persoalan. Justru setiap persoalan yang datang da- lam hidup manusia harus dihadapi dan diselesai- kan, bukan malah sebaliknya."

"Bagaimana aku bisa menang menghada- pinya, sedangkan segala ilmu yang kumiliki bebe- rapa tingkat berada dibawahnya." kata Nyi Sekar Langit seakan menyesalkan.

"Hik hik hik. Kau tak usah risau. Malam ini juga aku akan menurunkan ilmu Langkah Guntur sebagaimana yang telah kujanjikan dulu. Sekarang tak usah membuang waktu, ikuti aku."

"Guru benarkah apa yang kau ucapkan itu?" tanya Nyi Sekar Langit seolah tak percaya. Nenek itu tersenyum. Sambil melangkah ke belakang halaman pondok dia menjawab. "Kapan gurumu ini pernah berbohong?"

Terdorong oleh keinginannya untuk memili- ki ilmu dahsyat itu, tanpa menunggu lebih lama Nyi Sekar Langit segera mengikuti gurunya ke be- lakang pondok.

Ketika si cantik jelita sampai di belakang pondok. Dilihatnya si nenek telah duduk di salah satu batu bundar yang biasa dipergunakan untuk latihan dan menghimpun tenaga dalam. Orang tua itu dalam keadaan duduk bersila, kaki kanan ber- tumpu diatas kaki kiri, dua tangan diletakkan di atas lutut sedangkan matanya dalam keadaan ter- buka.

"Kau duduklah seperti yang kulakukan, dengarkan semua apa yang hendak kukatakan!" perintah si nenek.

Si jelita anggukkan kepala, lalu lakukan apa yang diperintahkan si nenek.

"Nyi Sekar muridku. Untuk menguasai ilmu Langkah Guntur, tenaga dalam yang kau miliki harus ditingkatkan lagi hingga menjadi dua kali li- pat dari seluruh tenaga yang kau miliki saat ini." berkata si nenek setelah Nyi Sekar Langit duduk di atas batu yang terletak di depannya. Setelah itu kembali bibirnya berucap melanjutkan. "Karena itu sekarang aku akan mengarahkanmu bagaimana cara menghimpun tenaga sakti itu."

"Guru... bukankah selama ini semua penge- rahan tenaga dalam bersumber dari bagian pu- sar?" tanya Nyi Sekar Langit heran "Kau keliru. Banyak orang beranggapan be- gitu. Tapi sesungguhnya mengerahkan dan meng- himpun tenaga sakti bukan dari pusar perut saja. Sekarang aku akan mengajarimu cara menghim- pun tenaga dalam hingga mencapai tingkatan ter- tinggi. Pusat yang dipergunakan untuk menghim- pun tenaga sakti itu bertumpu pada otak kecilmu. Otak keseimbangan yang terletak di bawah otak besar di bagian belakang. Kau sudah bisa menen- tukan dimana kira-kira letaknya, Nyi Sekar?"

"Sudah guru!" jawab si gadis sambil meraba bagian belakang kepalanya agak di bawah.

"Bagus. Sama seperti penghimpunan tenaga yang berada di bagian pusar kita. Maka begitu pu- la cara menghimpun tenaga sakti di bagian otak kecil. Yang membedakannya gerak pengerahan te- naga bertolak belakang dengan cara menghimpun tenaga dalam biasa."

"Maksudmu caranya menyungsang begitu guru?" tanya Nyi Sekar. Diam-diam dia jadi kaget. Dia tahu persis cara menghimpun atau mengerah- kan tenaga dalam seperti itu bila salah sedikit atau sampai gagal akibatnya sangat patal sekali. Orang yang melakukannya bisa lumpuh atau meninggal seketika. Seakan dapat membaca jalan pikiran muridnya nenek Ambeng Tatap Banyu berkata, membesarkan hati muridnya.

"Kau tak usah khawatir. Kau melakukannya berdasarkan petunjukku. Tak ada seorang guru di dunia ini yang tega mencelakakan muridnya! Yang penting jangan ada keraguan di hatimu. Segala se- suatu yang bersifat ragu-ragu tidak mungkin menghasilkan apa-apa, malah terkadang memba- wa kerugian dan mencelakakan diri kita." ujar si nenek.

Sekali lagi si jelita Nyi Sekar Langit angguk- kan kepala.

"Sekarang pejamkanlah matamu!" perintah si nenek.

Dengan polos tanpa prasangka apa-apa dan yakin atas kemampuan yang dimiliki oleh gurunya, Nyi Sekar Langit pejamkan matanya.

Dalam keadaan mata terpejam itulah Am- beng Tatap Banyu mulai memberi petunjuk. "Apa- pun yang kau rasakan, apapun kejadiannya kau tidak boleh bicara. Salah sedikit kau mengikuti pe- tunjukku akibatnya bisa fatal. Kau bisa menderita kelumpuhan seumur hidup, atau tewas seketika tanpa terduga." ujar si nenek. Mendengar penjela- san Ambeng Tatap Banyu, si jelita mendadak me- rasa tengkuknya menjadi dingin laksana es. Dalam pada itu si nenek mulai menutur memberi petun- juk. "Otak kecil adalah pusat dari keseimbangan seluruh tubuh. Perlahan kau tarik nafas, kosong- kan fikiran dan hati, lancarkan aliran darah, be- dakan dengan denyut jantung. Pelahan kumpul- kan seluruh kekuatan dan tenaga, satukan inti dingin dan kumpulkan di bagian otak kecilmu. Ge- rakan seluruh kekuatan yang ada di tubuhmu hanya ke atas, hanya pada satu tujuan yaitu ke otak kecil.!" kata si nenek.

Nyi Sekar Langit lakukan apa yang dipe- rintahkan padanya. Fikiran dan hati dikosongkan. Aliran darah digerakkan ke bagian kepala, satu te- naga besar mengandung hawa dingin luar biasa bergerak dari sekujur tubuh dan mengalir deras ke bagian otak kecil dibagian belakang batok kepala. Nyi Sekar tersentak, tubuhnya bergetar hebat. Dia merasakan satu sengatan hebat pada bagian otak kecilnya. Gadis jelita itu kemudian merintih. Ke- ringat mengucur deras membasahi sekujur tubuh- nya.

Asap putih mengepul dari bagian atas kepa- lanya, entah mengapa mendadak gadis ini merasa- kan pemandangannya mendadak menjadi gelap.

"Terus... himpun, jangan lengah...!" sayup- sayup dia mendengar suara gurunya seakan da- tang dari satu tempat yang sangat jauh. Saat itu pula telinga Nyi Sekar Langit berdengung kiri ka- nan, suara dengungan makin menghebat. Lalu tak lama setelah itu ada cairan yang menetes. Nyi Se- kar merasakannya namun dia tidak dapat mendu- ga cairan apa. Sementara kepalanya sendiri seolah mau meledak. Nyi Sekar menjerit, cairan yang ter- nyata adalah darah segar makin banyak yang me- netes. Bersamaan dengan itu pula tanpa disadari oleh si jelita, raut wajah dan sekujur tubuhnya mengalami perubahan berupa keriput yang ber- munculan secara singkat. Hanya dalam waktu ti- dak berapa lama, sosok cantik mulus itu kini telah berubah menjadi sosok nenek tua berusia sekitar tujuh puluhan. Sementara rasa sakit yang luar bi- asa makin mendera diri Nyi Sekar. Pada waktu bersamaan terdengar suara tawa melengking ne- nek di depannya. Dalam kagetnya Nyi Sekar Langit serta merta membuka mata. Matanya yang merah seperti berdarah terbelalak ketika melihat sosok gurunya kini berubah sama sekali.

"Kk... kau '"

"Hik hik hik! Kau terkecoh, kau tertipu Nyi Sekar! Aku bukan gurumu, aku Nyi Ronggeng ke- kasih Dipati Durga!" kata perempuan berbaju kun- ing yang kini telah berdiri berkacak pinggang. Nyi Sekar melihat ditangan kiri perempuan cantik pa- ruh baya itu tergenggam sebuah kedok tipis ter- buat dari semacam karet. Kedok dalam rupa guru Nyi Sekar Langit yang baru saja ditanggalkannya.

"Nyi Ronggeng keparat! Apa maksudmu dari semua ini?" teriak Nyi Sekar Langit geram.

Perempuan cantik yang telah tanggalkan kedoknya dongakkan kepala, mulut mengumbar tawa. Begitu tawanya lenyap, dengan sinis dia be- rucap. "Kau tak perlu bertanya. Semua tujuanku telah tercapai. Kau lihat dirimu!"

Dalam kagetnya Nyi Sekar Langit pandangi kedua tangannya. Mata gadis itu membelalak le- bar. Tak percaya dengan kenyataan yang terjadi dia raba wajahnya yang cantik mulus. Astaga! Wa- jah dan sekujur tubuhnya kini telah dipenuhi ke- rut merut dan keriput di sana sini.

Seakan tak kuasa menerima semua itu Nyi Sekar Langit menjerit sejadi-jadinya. "Wajahku...

akh... tubuhku, mengapa tiba-tiba saja aku men- jadi tua begini? Nyi Ronggeng jahanam katakan apa salah dan dosaku!" teriak gadis jelita yang kini wajah dan sekujur tubuhnya telah berubah tua, ti- ga kali dari usia yang sebenarnya.

"Kau dengar, Nyi Sekar. Kau telah menyerap ilmu yang salah. Kau korban dari ilmu Sungsang Jiwa. Tenaga dalammu kacau. Peredaran dan ali- ran darahmu terbalik. Mana ada manusia yang dapat hidup normal dengan aliran darah seperti itu. Hik hik hik." Nyi Sekar Langit menggeram. "Jahanam! Mengapa kau lakukan semua kekejian ini padaku?"

Perempuan cantik di depan sana umbar ta- wanya. Lalu dia menjawab. "Aku punya beberapa alasan, Nyi Sekar. Alasan pertama kekasihku Di- pati Durga kuketahui jatuh cinta dan tergila-gila padamu, hingga dia mengabaikan diriku. Aku ti- dak ingin kekasihku, orang yang kucintai menjadi milik orang lain. Sedangkan alasan kedua, setelah kutipu dirimu dan kubuat dirimu menjadi nenek- nenek begini, tentu kekasihku itu tidak lagi sudi kepadamu. Dia akan merasa jijik begitu melihat keadaanmu! Hik hik hik."

"Perempuan edan. Apa kau mengira aku suka pada Dipati Durga, laki-laki gila yang istri dan anak turunnya tercecer dimana-mana? Seu- jung rambut aku tidak pernah menaruh perasaan apa-apa pada diri tua bangka itu. Buat apa kau mencelakakan diriku, padahal aku sendiri tidak pernah merasa merebut gendakmu!"

"Nyi Sekar... tapi aku akan menyingkirkan setiap perempuan mana saja yang berani merebut kekasihku. Sekarang tercapai sudah apa yang kuinginkan. Nyi Sekar Langit, selamat menjalani hidup sebagai nenek tua. Dalam keadaanmu yang seperti sekarang ini kau pasti tersiksa seumur hi- dup. Kelak kau jadi putus asa, lalu mati bunuh di- ri secara menggenaskan! Selamat tinggal Nyi Se- kar!" berkata begitu Nyi Ronggeng balikkan badan siap melangkah pergi. Tapi tanpa pernah terduga laksana kilat Nyi Sekar Langit gerakkan kaki, lak- sana kilat tubuhnya berkelebat mengejar sambil berteriak. "Mau pergi, silahkan pergi. Tapi jangan lupa tinggalkan dulu kepalamu!"

Nyi Ronggeng terkejut begitu merasakan ada sambaran angin mendera bahunya. Cepat dia menoleh dan gerakkan tangannya lakukan tangki- san. Tapi pada saat itu, jemari tangan berhasil menyusup dan menembus tenggorokannya.

Jross! "Ahk...!"

Sambil menjerit dan tekap tenggorokannya yang berlubang, Nyi Ronggeng masih sanggup me- lepaskan tendangan ke perut Nyi Sekar, hingga gadis yang kini telah berubah menjadi nenek tua itu jatuh terhenyak. Kesempatan itu tidak disia- siakan oleh Nyi Ronggeng. Sambil membawa lu- kanya dia berkelebat tinggalkan tempat itu. Sebe- lum Nyi Ronggeng lenyap dari pandangan mata ti- ga sosok serba hijau melesat menghalangi gera- kannya disertai bentakan. "Perempuan penipu! Hendak kabur kemana kau?"

Nyi Ronggeng terkejut melihat kehadiran ti- ga gadis yang menghadangnya.

"Huh kalian rupanya. Bukannya berterima kasih padaku, malah membuat masalah!" dengus Nyi Ronggeng. Dia lalu raup sesuatu dari balik ba- junya. Ternyata adalah satu benda bulat berwarna hitam. Benda itu langsung dibantingkannya. Buuuum!

Tiga gadis berpakaian serba hijau langsung surut, lalu dekap hidungnya masing-masing. Asap tebal berwarna kebiruan memenuhi tempat itu hingga membuat pemandangan menjadi gelap.

Tak lama kemudian setelah pemandangan kembali seperti sediakala, sosok Nyi Ronggeng te- lah lenyap. Tiga gadis berlompatan mendekati Nyi Sekar Langit. Ketiganya belalakkan mata dan sama keluarkan seruan tertahan ketika melihat bagai- mana wajah Nyi Sekar Langit telah berubah men- gerikan begitu rupa.

"Nyi Sekar wajahmu?" seru salah seorang diantaranya yang bernama Nyi Besinga.

Nyi Sekar tundukkan kepala. "Kalian juga ternyata telah ditipunya. Cuma kalian lebih berun- tung karena keadaan kalian tidak seperti yang ku alami!" kata nenek itu sedih.

"Nyi Sekar, bagaimana kau bisa termakan muslihatnya?" tanya Nyi Arianti.

Nyi Sekar Langit kemudian secara singkat menceritakan segala sesuatunya pada tiga penga- suhnya.

Beberapa saat setelah Nyi Sekar Langit sele- sai menuturkan semuanya, Nyi Besinga bertanya. "Heran, bagaimana dia dapat mengetahui guru kita hendak menurunkan ilmu Langkah Guntur kepa- damu?"

"Itu yang aku tidak tahu. Semuanya perlu diselidiki. Yang aku herankan mengapa guru be- lum juga kembali!" keluh Nyi Sekar yang telah be- rubah menjadi nenek tua. "Maafkan kami karena telah meninggal- kanmu, Nyi Sekar. Sebenarnya kami tanpa sepen- getahuanmu telah menyelidik tentang keberadaan guru. Kami tidak berhasil mencarinya, kemudian tanpa terduga malah bertemu dengan Nyi Rong- geng tadi. Dia pun menyaru sebagai guru dan me- nipu kami dengan pura-pura mengajarkan ilmu itu. Cuma mungkin kami sedikit beruntung." ujar gadis berbadan sedang bernama Nyi Artawanti.

"Sudahlah, aku tidak mungkin hidup dalam keadaan begini rupa. Aku harus bisa memulihkan keadaanku hingga seperti semula. Jika sepekan lagi guru tidak juga kembali, kita pergi ke Teluk Rembang, aku akan bersemedi dan mencari petun- juk disana, sekaligus menghindar dari Dipati Dur- ga."

"Nyi Sekar, kami merasa prihatin. Seperti katamu kita memang harus mencari jalan keluar agar keadaanmu dapat kembali seperti sediakala." ujar Nyi Besinga pula.

Nenek itu mengangguk. Perlahan dengan wajah muram dia tatap tiga pengasuhnya satu persatu. Kemudian dengan perasaan sedih dia ma- suk ke dalam pondok.

***

Setelah nenek itu menuturkan segala keja- dian yang menimpa dirinya si gendut Gentong Ke- tawa berkata. "Nyi Sekar, nasib buruk yang kau alami mengundang rasa simpatiku. Jika memang muridku yang kau kehendaki aku akan berusaha untuk mencarinya dan membawanya kemari sece- pat mungkin!" kata si kakek. Setelah diam sejenak dia lalu melanjutkan. "Tapi harap kau jangan ke- cewa jika nantinya orang yang kubawa itu bukan Gento Guyon sebagaimana yang kau harapkan!"

Nyi Sekar tersenyum. "Aku yakin hanya sa- tu Pendekar Sakti 71 Gento Guyon yang ada di rimba persilatan ini. Kakek... terima kasih kuu- capkan jika kau memang mau membantuku."

"Semoga kau tidak mengecewakan ketua kami, kakek gendut." kata Nyi Besinga dengan su- ara lunak.

"Eeh... rupanya kau juga walau suaramu seperti nenek jelek ternyata adalah seorang gadis baik hati?" berkata begitu si gendut unjukkan wa- jah kaget, namun mulut sunggingkan senyum.

Dengan tersipu-sipu Nyi Besinga menjawab. "Kami semua orang baik. Tapi jika orang berlaku jahat, kami juga bisa bertindak kejam"

"Ah... ah... mengagumkan sekali." celetuk si kakek sambil kedipkan mata kirinya pada Nyi Be- singa. Tanpa terduga dara jelita itu diluar sepenge- tahuan yang lainnya membalas kedipan mata si kakek. Hingga Gentong Ketawa hidungnya makin melar saja.

"Nyi Sekar, aku mohon pamit. Aku berjanji bocah edan itu akan kubawa kemari untuk me- nyembuhkan penyakitmu!" kata si kakek. Dia lalu bangkit berdiri.

"Hati-hatilah kek, semoga cepat berhasil!" ujar nenek tua itu.

Si gendut anggukkan kepala sambil mengu- sap perutnya yang besar. Setelah itu dengan gera- kan enteng dia berkelebat tinggalkan si nenek dan tiga gadis jelita.

Seperginya Gentong Ketawa, Nyi Arianti ber- tanya. "Nyi Sekar, apakah gendut tadi dapat diper- caya?"

"Kita lihat saja nanti!" sambil melangkah memasuki celah sempit bukit karang Nyi Sekar Langit menyahuti.

Tiga gadis tanpa berani bicara apa-apa lagi segera menyusul mengikuti.

9

Suasana di tepi sungai Oyo mulai terang- terang tanah ketika sosok berpakaian serba putih berambut panjang keluar dari tempat persembu- nyiannya.

Sesaat dia tegak di tempatnya, sedangkan mata memandang ke setiap penjuru ingin memas- tikan apakah ada orang lain yang tidak diharapkan berada di sekitar tempat itu.

Setelah merasa aman, dengan tergesa-gesa sosok berpakaian serba putih yang ternyata adalah seorang gadis berwajah cantik ini mendekati lu- bang kubur.

Walaupun hari sudah berganti pagi, namun suasana didasar lubang kubur masih begitu gelap, hingga si gadis tidak dapat memastikan apakah Gento yang berada di bawah sana dan menjadi sa- saran pukulan Sesat Jiwa masih hidup atau seba- liknya.

Dengan perasaan ragu, hati cemas dan sua- ra bergetar gadis ini mulai memanggil. "Gento....

Pendekar Sakti 71 Gento Guyon. Apakah kau ma- sih berada disitu dan dalam keadaan selamat?"

Gema suara gadis itu memenuhi liang ku- bur, kemudian lenyap. Suasana kembali sunyi dari dalam liang kubur tak ada jawaban. "Jangan- jangan dia tidak selamat!" fikir gadis itu. Wajahnya membayangkan kekhawatiran yang begitu menda- lam. Terpikir pula olehnya untuk masuk ke dalam liang kubur yang gelap itu, namun keraguan men- genai kemungkinan munculnya bahaya lain yang tidak terduga mendadak muncul dalam benak ga- dis ini. Bagaimana bila Nyi Ronggeng mendadak muncul kembali ke tempat itu. Tentu dia tidak da- pat berbuat apa-apa.

"Gento... Gento aku Mutiara Pelangi, Pute-

ri Kupu-Kupu Putih datang ingin menolong. Ja- wablah aku ingin melakukan sesuatu!"

Dari dalam dasar kubur yang tidak diketa- hui seberapa dalamnya itu sayup-sayup terdengar suara erangan lirih. Seraut wajah yang dilanda ke- cemasan itu kini mendadak membersitkan kegem- biraan.

"Gento... kau dengar. Aku akan menolong- mu, kau hanya tinggal mengatakan apakah aku harus turun kesitu untuk mengangkatmu atau aku ulurkan tali. Kalau tali atau cabang pohon yang kuturunkan apakah kau bisa memegang- nya?" Si gadis ajukan pertanyaan.

Suara erangan di dalam liang kubur sema- kin keras diseling dengan suara batuk disertai se- suatu menyembur dari mulut Gento.

"Ark... yang bicara diatas itu siapa? Malai- kat atau setan kesasar. Kalau setan mengapa sua- ranya merdu. Kalau malaikat apakah sekarang aku sudah sampai di alam barzah? Aduh... kepa- laku seperti mau meledak. Kuping pengang, seku- jur tubuh seperti dicabik-cabik. Waduh, mengapa pandanganku gelap begini apa mataku sudah tak dapat melihat?!"

"Gento... jangan bicara begitu. Aku akan menolongmu, aku akan turun untuk mengang- katmu ke atas!" ujar si gadis merasa bahagia kare- na orang yang selalu mengusik perasaannya sela- ma ini ternyata dalam keadaan selamat. Dari da- lam liang kubur terdengar suara erangan Gento. "Memang aku ini berada dimana. Kau siapa? Ma- laikat yang ingin membawaku ke atas langit? Aku sih mau saja, tapi aku ingin bertanya apakah dis- ana banyak bidadari cantik?"

Mutiara Pelangi tersenyum sambil menggigit bibir. Saat itu dia menduga mungkin telah terjadi guncangan hebat pada bagian kepala Gento akibat pukulan yang dilepaskan Nyi Ronggeng sehingga bicaranya melantur.

"Gento, aku Mutiara Pelangi sahabatmu. ke- rabat Setan Sableng dan Iblis Edan."

"Ooh... jadi kau Mutiara Pelangi, kerabat dua pemuda gila itu. Eeh... mengapa kau gen- tayangan sampai kemari. Apakah kau tidak suka menduduki jabatan adipati Purbolinggo?" tanya si pemuda. Suaranya seperti orang mabuk. "Aku tidak tertarik menjadi adipati. Entah mengapa sejak bertemu rasanya bagiku sulit sekali untuk melupakanmu." tanpa sadar si gadis berte- rus-terang.

"Ah, bagaimana bisa begitu, padahal aku gampang melupakan orang yang pernah kutemui. Walah, kepalaku sakit. Perutku panas, rasanya pengin kencing pengen kentut. Tapi entah menga- pa ujungnya pada mampet. Walah mulesnya!" Gento lagi-lagi merintih.

"Gento katakan padaku, bagaimana aku bi- sa menolongmu?" tanya si gadis tambah cemas tambah khawatir.

"Kau tak perlu turun. Huk huk, ulurkan sa- ja kayu atau cabang pohon. Mungkin aku masih punya tenaga untuk naik ke atas!" ujar Gento.

"Baik. Kau tunggu disitu, aku akan me- nyiapkan ranting."

Tanpa menunggu jawaban Gento, Puteri Kupu Kupu Putih segera beranjak dari lubang ku- bur. Dia menghampiri semak belukar dimana ter- dapat banyak akar pepohonan merambat disitu. Dengan menggunakan salah dari pedang kembar- nya si gadis memutus akar menjuntai tumbuhan merambat. Setelah itu dia kembali mendekati mu- lut liang kubur.

"Gento kau masih berada disitu?" tanya Mu- tiara Pelangi sambil ulurkan akar pohon dan me- masukkannya ke dalam liang kubur.

"Aku masih disini dan memang tidak dapat kemana-mana!" Gento menyahuti.

Mutiara Pelangi baru hentikan gerakan mengulur akar panjang setelah ujung akar me- nyentuh sesuatu didasar liang kubur itu.

"Gento, berpegangan pada ujung akar ini. Aku hendak menarikmu ke atas!" perintah sang dara.

Gento gapaikan tangannya yang lemah tak bertenaga dan sakit luar biasa. Begitu ujung akar tersentuh dia memegangnya dengan erat.

"Aku sudah memegang sekarang hendak di- apakan?" tanya Gento.

"Aku akan menarikmu. Peganglah dengan kedua tanganmu agar kau tidak jatuh!"

Gento lakukan seperti apa yang dikatakan sang dara. Tak berapa lama kemudian Mutiara Pe- langi menarik akar panjang ke atas. Perlahan Gen- to pun ikut terangkat naik. Tak berapa lama kepa- la Gento muncul kepermukaan, kemudian diikuti dengan bagian tubuh lainnya, Melihat bagaimana tubuh dan wajah Gento yang hitam dipenuhi jela- ga, Mutiara Pelangi memekik kaget.

Sementara sampai diatas liang kubur Gento langsung rebah menelentang. Ada beberapa luka dibagian dada dan bahu. Mutiara Pelangi juga me- lihat banyak darah yang menetes dari mulut dan hidung sang pendekar.

Sementara dalam keadaan seperti itu murid si gendut Gentong Ketawa mengerang tak berkepu- tusan.

"Gento, kau mengalami cidera di bagian da- lam. Biar kubersihkan dulu tubuh dan lukamu. Setelah itu nanti aku akan mengerahkan hawa murni ke tubuhmu agar luka dibagian dalam cepat sembuh!" kata si gadis. Detik selanjutnya Mutiara Pelangi sudah bergegas ke sungai untuk mengam- bil air.

Gento tidak menjawab dan rasanya dia memang tidak perlu menjawabnya. Dia menarik nafas pendek, bagian dadanya terasa nyeri. Dico- banya untuk mengingat tentang segala sesuatu yang terjadi. Secara perlahan ingatan pemuda itu pulih kembali. Ya, dia ingat waktu itu perempuan cantik yang mengaku bernama Nyi Ronggeng su- dah dapat ditariknya keluar dari lubang kubur. Se- telah itu tanpa terduga Nyi Ronggeng lesatkan tu- buhnya ke atas, lalu berjungkir balik dan meng- hantam punggung Gento. Pendekar Sakti 71 Gento Guyon kemudian jatuh ke dalam liang kubur. Ti- dak sampai disitu saja, secara keji Nyi Ronggeng menghantamnya dengan Pukulan Sesat Jiwa yang baru saja berhasil dikuasainya setelah melakukan Tapa Pocong selama dua puluh satu hari.

Gento masih beruntung karena sebelum pukulan itu melabrak dirinya dia sempat menang- kis dengan pukulan Membelah Jasad, salah satu pukulan yang diwarisinya dari manusia sakti se- tengah roh, kakek Seribu Tahun. Sehingga dia ti- dak tewas seketika terkena pukulan itu. Walaupun demikian karena bagian liang kubur telah ditaburi dengan berbagai jenis serbuk beracun, tak urung membuat fikiran Gento sempat berubah seperti orang linglung.

Sementara itu Mutiara Pelangi telah kembali dari sungai. Dia mengeluarkan sehelai kain selebar sapu tangan. Kain itu dibasahi air, lalu disapukan ke sekujur tubuh Gento yang hitam dipenuhi jela- ga.

"Kau... tolong ambilkan kantong kecil dida- lam saku celanaku sebelah kiri!" pinta Gento begi- tu mengenali siapa adanya gadis cantik yang telah menolongnya ini.

Untuk lebih jelasnya mengenai pertemuan pemuda itu dengan Mutiara Pelangi (silahkan baca Episode Setan Sableng).

Si gadis melakukan apa yang diminta pe- muda itu. Dari balik kantong celana sang pende- kar sang dara mengeluarkan sebuah kantong kecil berwarna hitam.

"Buka kantong itu, ambil isinya yang ber- warna merah dan biru!"

Kantong dibuka, ternyata isinya beberapa jenis pel pemberian tabib sakti, yaitu Tabib Setan. Mutiara Pelangi mengambil pel berwarna merah dan biru. Kedua pel itu dimasukkannya ke dalam mulut si pemuda. Gento menelannya. Setelah me- nelan kedua benda itu beberapa saat kemudian ada hawa panas yang menyerang sekujur tubuh Gento. Pemuda ini mengerang, sementara itu sang dara kembali membersihkan tubuh Gento, hingga kini benar-benar bersih. Tapi dia menjadi heran ketika melihat bercak-bercak merah terdapat dis- ekujur tubuh Gento, mulai dari bagian wajah sampai ke ujung kaki.

Bercak merah sebesar jarum perlahan le- nyap begitu obat pemunah racun yang ditelan Gento bereaksi dengan sepenuhnya. Pemuda ini terbatuk beberapa kali, lalu muntahkan cairan berwarna hitam kebiru-biruan bercampur darah. "Gento, aku akan salurkan tenaga dalam ke

tubuhmu untuk mengusir pengaruh racun yang masih tersisa di dalam pembuluh darahmu. Kau duduklah!"

"Bagaimana aku bisa duduk, tubuhku tidak bertenaga!" keluh sang Pendekar.

"Kalau begitu kau menelungkup!" pinta Mu- tiara Pelangi sepenuh perasaan.

Sambil mengerang pemuda itu gerakkan tu- buhnya hingga dalam keadaan menelungkup. Mu- tiara Pelangi duduk bersila disamping Gento, dua tangan dijulurkan bagian telapak tangan ditempel- kan ke punggung Gento. Tak lama kemudian dia kerahkan tenaga saktinya yang digerakkan dari pusat pengendalian tenaga dalam di bagian pusar. Setelah tenaga dalam bergerak ke bagian dada dia menyalurkannya kedua lengannya. Perlahan Gento dapat merasakan adanya hawa hangat mengalir deras dari bagian tangan sang dara ke punggung- nya. Hawa hangat terus menjalar ke sekujur tu- buh. Mutiara Pelangi bergetar hebat, keringat ber- cucuran membasahi wajah dan pakaiannya. Se- dangkan dari bagian ubun-ubun asap putih me- nyerupai kabut mengepul.

Gento Guyon terguncang, mulutnya menge- rang kesakitan. Kembali dia muntah kali ini diser- tai menyemburnya darah segar kehitam-hitaman.

"Terus, keluarkan semuanya!" desis gadis

itu.

Tak kurang dari setengah jam Mutiara Pe-

langi baru hentikan penyaluran tenaga dalam ke tubuh Gento. Wajah sang dara nampak pucat, na- fasnya agak memburu.

Dia memutar tubuh menghadap ke arah lain. Masih dalam keadaan bersila dan dengan ma- ta terpejam dia atur jalan darah dan menarik nafas untuk menghimpun tenaga dalam kembali.

Gento sadar pengorbanan Mutiara Pelangi serta pertolongan yang diberikannya sangat besar artinya bagi keselamatan jiwanya. Walaupun tak pernah diucapkan tadi dia merasa sangat berteri- ma kasih sekali. Perlahan Gento duduk. Ketika dia menoleh ke samping dilihatnya Mutiara Pelangi masih pada sikapnya. Duduk dengan kaki terlipat mata terpejam.

Gento tidak mau mengusik, dia merasakan tubuhnya menjadi enteng. Bercak merah yang ter- dapat dipermukaan kulitnya lenyap. Dalam ke- sempatan itu sang pendekar berfikir. "Nyi Rong- geng, siapapun dia adanya jelas perempuan itu sangat berbahaya. Aneh, tenggorokannya berlu- bang besar, tapi masih dapat bertahan hidup. Dia mengatakan ingin mencari seseorang bernama Nyi Sekar Langit. Agaknya antara Nyi Ronggeng den- gan orang yang disebutnya memiliki perkara yang cukup besar. Aku perlu menyelidik persoalan apa yang ada diantara mereka!" batin Gento

"Bagaimana keadaanmu...?" satu suara ter- dengar disamping Gento, membuat pemuda itu melengak, menoleh dan tersenyum.

"Aku bersyukur, berkat bantuanmu dan pertolongan Gusti Allah aku tidak sampai celaka ditangan perempuan gila itu!" sahut Gento. "Nyi Ronggeng perempuan gila yang sangat berbahaya! Dulu aku sering mendengar berbagai macam kejahatan yang dilakukannya. Tapi melihat orangnya baru tadi!"

"Jadi kau sudah berada disini sejak Nyi Ronggeng terbungkus kain pocong?" Gento ber- tanya sambil belalakkan matanya.

Sang dara anggukkan kepala.

"Mengapa kau tidak mengingatkan aku? Aku telah berlaku tolol dengan menolongnya. Tak disangka dia rupanya hanya berpura-pura." gerutu si pemuda.

Mutiara Pelangi tersenyum, sekilas dia me- mandang ke arah Gento dengan tatapan penuh ar- ti.

"Bagaimana aku bisa memberi ingat. Kebe- tulan jarak diantara kita tidak memungkinkan un- tuk hal itu. Gento... sudahlah, kau perlu istirahat. Sebaiknya lupakan dulu tentang perempuan itu." kata Mutiara Pelangi lembut.

Sepasang mata Gento membulat besar. "Apa lupakan? Tidak bisa... sekarang juga kita harus berangkat mencari perempuan binyawak itu! Aku tidak apa-apa, berkat pertolongamu kini aku sehat kembali!" ucap Gento lalu kedipkan matanya.

Sang dara pun akhirnya mengalah. "Kalau kau sudah memutuskan begitu aku tidak bisa memaksamu." ujar si gadis.

Gento dan si gadis bangkit berdiri. Kemu- dian mereka berkelebat ke arah lenyapnya Nyi Ronggeng. 10

Pengejaran yang dilakukan oleh Tabib Setan akhirnya sampai ke daerah Pati. Di satu tempat di atas ketinggian bukit dia memperlambat larinya kemudian berhenti. Dia memandang ke jurusan depan dapat dimana dia sempat melihat orang yang telah melarikan binatang langka yang dida- patnya dengan susah payah melenyapkan diri. Si kakek menyeringai, lalu usap-usap jenggot putih- nya yang panjang.

Sambil terus memandang ke jurusan le- nyapnya orang si kakek berkata. "Siapa pun dia kuakui orang itu memiliki ilmu meringankan tu- buh dan lari cepat yang sangat luar biasa. Tapi wa- lau dia memiliki ilmu lari secepat setan, aku tak mungkin membiarkannya lolos begitu saja. Siklu- tutjang harus bisa kurebut. Binatang itu sangat berguna untuk meningkatkan tenaga dalam Gento. Pesta kecil harus kulakukan bersama bocah edan setelah sekian lama aku terpisah dengannya. Se- karang aku harus mengambil jalan memotong." fi- kir si kakek. Tabib setan tak perlu merenung lebih lama. Sekejap kemudian dia sudah menghambur menuruni bukit, lalu sosoknya lenyap di sebelah kiri deretan pepohonan dimana sosok serba kun- ing tadi melenyapkan diri.

Kira-kira sepenanakan nasi Tabib Setan berlari. Di salah satu tempat tak jauh dari lapan- gan rumput Tabib Setan berlindung di balik batu besar. Dia merasa yakin orang yang dikejarnya pasti melintas ditempat itu karena di sebelah ka- nan lapangan rumput terdapat jurang yang curam. Dugaan Tabib Setan tidak meleset, dia tidak perlu menunggu lebih lama. Karena tak lama menunggu dari arah depan sana dia melihat satu bayangan berkelebat ke arahnya. Si kakekpun langsung me- lompat ke atas batu yang dijadikannya tempat ber- sembunyi. Dia berdiri bertolak pinggang, sambil memandang lurus ke depan si kakek umbar ta- wanya.

"Pencuri tengik, hendak lari kemana kau hah?!" hardik si kakek masih saja terus tertawa.

Orang yang berlari melengak kaget, serta merta gerakan larinya terhenti. Ternyata dia ada- lah seorang nenek tua berpakaian serba kuning berambut putih bermata tajam. Di tangan nenek itu memegang tengkuk binatang aneh berbulu dan bersisik putih bertelinga lebar dengan tanduk tunggal di tengah bagian atas batok kepalanya. Bi- natang itu masih dalam keadaan terikat sebagai- mana adanya. Itulah Siklututjang, binatang langka milik si kakek.

Beberapa saat lamanya kedua orang tua itu saling berpandangan seakan ingin mengukur ke- mampuan yang dimiliki lawannya.

"Nenek pencuri, kembalikan binatang itu padaku jika tidak ingin kujewer telingamu!" perin- tah Tabib Setan lantang.

Si nenek tersenyum sinis. "Begitu berartinya binatang ini dibandingkan Empat Kerabat Siluman yang telah kau lepaskan, Tabib Setan?" dengus si nenek. Tabib Setan diam-diam terkejut tak me- nyangka orang mengetahui siapa dirinya. Tapi si kakek sengaja tak memperlihatkannya kepada orang.

"Kalau kau sudah tahu, katakan siapa diri- mu. Setelah itu letakkan Siklututjang ke tanah dan segera berlalu dari hadapanku!"

"Perlu apa kau tahu siapa diriku. Buat apa kupatuhi segala perintahmu. Apa kau tidak men- dengar bahwa kau harus menjalani hukuman aki- bat kesalahanmu membantu membebaskan Empat Kerabat Siluman?"

Karena nenek itu tidak mau perkenalkan nama dan tetap ngotot pula, marahlah sang tabib. Diapun membentak. "Nenek berpakaian kuning tahi. Dua kerabat Siluman telah terbunuh ditan- ganku, sedangkan yang duanya lagi jika kau beri- kan binatang itu pasti aku akan melakukan penge- jaran terhadap mereka. Namun kalau kau tetap keras kepala dan ingin jatuhkan hukuman pada diriku, katakan hukuman apa yang harus kujala- ni?"

"Hik hik hik. Akhirnya kau tahu diri dan sadar atas segala kesalahanmu. Mengingat kau seorang tabib sesat, maka hukuman yang harus kau lakukan adalah memotong kedua telinga dan mencongkel kedua biji matamu. Kau sudah men- dengar, sekarang cepat lakukan. Setelah itu kuja- min binatang bau ini kukembalikan padamu dan kau bebas mengejar Kerabat Perempuan dan Ke- rabat Melamun dengan mata tidak dapat melihat!" Nenek berpakaian kuning raba pinggangnya. Dia mencabut sebilah pisau kecil bergagang hitam berwarna putih berkilau dan tajam pada kedua si- sinya.

"Terimalah pisau ini, lakukan apa yang aku perintahkan!" Dan si nenek pun angsurkan pisau di tangan dengan posisi terbalik, gagang mengha- dap ke arah sang tabib sedangkan bagian ujung yang tajam menghadap ke arah dirinya.

Tabib Setan sama sekali tak bergerak dari atas batu, malah dia kemudian mengumbar ta- wanya.

Habis tertawa dengan sikap mengejek sang» tabib berucap. "Nenek tua sikapmu seperti seorang ratu edan. Memerintah seenak hatimu. Memang- nya dirimu itu siapa? Bukan istri bukan saudara- ku, bukan ratu bukan majikanku. Enak saja kau memberi perintah pada Tabib Setan. Ha ha ha!"

"Kau tidak mau melakukannya sendiri, biar aku yang mencongkel matamu dan memotong ke- dua telingamu. Lihat... binatang ini akan mati per- cuma!" berkata begitu tanpa terduga nenek berpa- kaian kuning lontarkan Siklututjang ke udara. Sa- tu lontaran yang keras membuat binatang itu me- lesat tinggi udara. Tabib Setan dapat membayang- kan lontaran setinggi itu jika sampai binatang langka itu kemudian meluncur ke bawah dan ja- tuh, pasti akan tewas seketika.

Seandainya mati, binatang itu tidak mem- punyai nilai apa-apa karena darahnya tak bisa di- manfaatkan lagi.

Sadar akan semua ini Tabib Setan kelua- rkan suara menggerung disertai makian panjang pendek. Tanpa menunggu binatang ini meluncur ke bawah, si kakek jejakkan kakinya hingga kini tubuhnya melesat di udara. Apa yang dilakukan oleh Tabib Setan memang sesuatu yang sangat di- tunggu oleh nenek berambut putih. Begitu Tabib Setan melesat ke udara, si nenekpun berkelebat mengikuti. Karena dia memiliki ilmu mengentengi tubuh dan gerakan cepat yang sudah sangat luar biasa, walaupun Tabib Setan lebih dulu bergerak ke atas, namun dengan cepat dia tersusul. Malah kini si nenek mampu melewati sang tabib. Di saat dirinya berpapasan dengan sang tabib itulah mata pisau berkelebat menyambar matanya.

Dalam kejutnya si kakek masih sempat ta- rik kepalanya ke belakang, gerakannya menyam- bar binatang miliknya jadi tertunda sedangkan mulutnya memaki.

"Ah... kurang ajar!" Dess!

Sambaran mata pisau dapat dihindarinya, tapi tendangan kaki kiri nenek itu menghantam perutnya. Tak ayal lagi si kakek terpelanting, na- mun masih sanggup lakukan gerak berjumpalitan sebelum jatuh ke tanah hingga dia dapat jatuh dengan kedua kaki menginjak tanah lebih dulu.

Walaupun begitu tubuhnya masih limbung. Bersikap tidak perduli si kakek laksana kilat men- dongak ke atas, saat itu dia melihat binatang mi- liknya telah kena diraih oleh nenek itu. Dengan ge- rakan yang indah tubuh lawannya berputar-putar di udara, melayang turun. Akan tetapi sebelum ke dua kaki lawannya sempat menyentuh tanah, bambu pancingan di tangan si kakek menderu ke arah si nenek disertai suara berdengung aneh, lalu berputar sedemikian rupa, menusuk membabat dan menggemplang bagian kepala.

Serangan yang berlangsung sangat cepat itu memang cukup merepotkan nenek itu. Tapi ru- panya dia termasuk tokoh silat yang sudah sangat berpengalaman. Melihat serangan bambu pancing datang bagaikan gelombang badai maka dia ang- surkan Siklututjang menyambuti serangan sekali- gus dijadikan perisai.

Dalam kagetnya tak menyangka lawan per- gunakan binatang miliknya untuk menahan setiap serangan, sambil semburkan sumpah serapah si kakek terpaksa batalkan serangan. Di depannya nenek berpakaian kuning kembali mengumbar ta- wanya.

"Hayo mengapa kau tidak teruskan seran- gan mu!" ejek si nenek.

"Tua bangka pengecut!" dengus Tabib Setan sambil lintangkan bambu pancingnya di depan dada.

Di ejek pengecut si nenek rupanya terpanc- ing kemarahannya.

"Kau mengatakan aku pengecut. Baik, kita berkelahi dengan tangan kosong. Dalam lima jurus jika ternyata kau kalah, kau tetap harus menye- rahkan kedua telinga berikut matamu." Si nenek lalu campakkan pisau di tangan kirinya. Sedang- kan binatang milik si kakek dilemparkannya begi- tu saja hingga jatuh menggelundung disertai suara menguik.

"Siklututjang, kau tak apa-apa kan?!" seru si kakek cemas.

"Jangan buang waktu, jika tidak binatang keparat itu kuinjak mampus!" teriak si nenek hi- lang sabarnya.

"Baik, tantanganmu kuterima. Jika aku menang?" tanya si kakek yang merasa tertantang. Dalam hati dia berkata. "Masa aku yang laki-laki bisa dikalahkan oleh nenek butut ini!"

"Jika aku kalah. Kau bebas pergi kemana kau suka asal kau jangan melupakan tugas me- nangkap Kerabat Perempuan dan Kerabat Mela- mun lalu menyerahkannya padaku!"

Si kakek jadi garuk-garuk telinganya. "Itu namanya enak di kau tak enak di aku!"

"Terserah apa tanggapanmu. Kau tidak punya pilihan lain, aku telah berusaha memperla- kukanmu secara adil!" Dengan muka masam si nenek menyahuti.

Tabib Setan terdiam sejenak, tak salah sete- lah itu dia anggukkan kepala.

"Baiklah, tantanganmu kuterima!" kata si

kakek.

"Kalau sudah terima bersiaplah untuk

mampus!"

Apa yang terjadi kemudian memang ber- langsung sangat cepat sekali. Si nenek baju kun- ing tiba-tiba melompat ke depan, lalu jatuhkan diri yang diteruskan dengan gerak bergulingan. Satu langkah lagi jaraknya dengan Tabib Setan, dua kakinya serentak menyambar. Satu dari sebelah kanan, satunya lagi dari sebelah kiri dalam gera- kan menggunting. Apa yang dilakukan lawan bu- kan serangan sembarangan, sekali kaki Tabib Se- tan kena dijepitnya maka kaki itu bisa patah men- jadi beberapa bagian, tidak dapat bersambung lagi, walaupun Tabib Setan memiliki ilmu Bubut Putih sekalipun.

Si kakek agaknya menyadari bahaya yang mengancamnya. Terbukti laksana kilat tubuhnya melesat ke atas, melesat terus ke udara, kemudian dia menangkring diatas pohon. Sambil berdecak penuh rasa kagum kakek ini tertawa.

"Kita sudah sama tua, badan tinggal rong- sokan mengapa hendak nekad mengadu tulang! Ha ha ha!" ejek Tabib Setan acuh.

Nenek baju kuning diam-diam sempat di- buat terkejut tak menyangka lawan bisa melo- loskan diri dari ajian Ismu Guntingnya. Dengan geram dia bangkit berdiri.

"Tua bangka berotak miring, lihat seran- gan!" teriak nenek itulah tang.

Dua tangan lalu didorong keras ke atas, si- nar biru membersit, melesat menghantam pohon yang dijadikan dudukan si kakek.

Craas!

Laksana mata pedang sinar biru membabat putus cabang pohon itu. Si kakek berseru, lalu melompat kalang kabut. Sementara nenek itu sen- diri begitu melepaskan pukulan langsung melom- pat ke udara, mengejar ke arah menghindarnya Tabib Setan.

"Eeh... ini betul-betul gila!" seru si kakek begitu melihat lawan telah berada di depannya da- lam gerak laksana bayangan setan. Tabib Setan tidak membiarkan dirinya mati konyol dihantam pukulan lawannya. Karena itu dia tekuk lengannya, dengan kedua sikunya dia memapaki pukulan lawan yang menyambar ke arah dada.

Plak! Plaaak!

Dua benturan keras membuat keduanya sama keluarkan pekikan kaget bercampur kesaki- tan.

Dua sosok tubuh sama terlempar lalu jatuh bergedebukan menghantam batu.

Yang pertama kali bangkit berdiri adalah nenek berpakaian kuning yang disusul dengan Ta- bib Setan. Wajah keduanya nampak pucat, kening mengernyit, keringat bercucuran.

Ketika nenek baju kuning memeriksa tan- gannya yang terasa nyeri, dia jadi kaget. Kedua te- lapak tangannya nampak membiru, menggembung bengkak.

"Tabib jahanam. Bagaimana tanganku bisa dibuatnya seperti ini!" rutuk nenek itu dalam hati. Ketika dia memandang ke arah lawannya, si nenek melihat Tabib Setan nampak sibuk mengusap ke- dua sikunya yang merah memar dengan air lu- dahnya sendiri. Dasar Tabib Setan, meskipun ke- sakitan dia tetap menyengir dan bicara pada tan- gannya sendiri. "Tangan tak berguna, percuma sa- ja aku menggemblengmu dengan berbagai ramuan berkhasiat. Agaknya aku perlu merendammu den- gan kotoran babi.!"

"Tabib Setan, tinggal satu jurus lagi. Kau atau aku yang berangkat ke akherat duluan." te- riak si nenek penasaran.

Tabib Setan unjukkan wajah terkejut. "Eh, masih penasaran rupanya dia, kau mau menga- muk lagi. Bagaimana kalau kita berangkat bersa- ma-sama ke akherat biar asyik. Nanti malaikat pasti menyangka kita adalah pasangan suami istri yang serasi! Ha ha ha!"

Tawa sang tabib serta merta lenyap begitu dia melihat lawan di depannya mendadak raib. Da- lam hati dia memuji kecepatan gerak si nenek yang sangat luar biasa.

Belum lagi kakek ini sempat beranjak dari tempatnya, ada deru angin disertai berkelebatnya bayangan kuning yang menyambar dari empat su- dut arah. Sang Tabib tidak menjadi gugup. Dia memutar badan, sedangkan tangannya yang men- gandung tenaga dalam penuh digerakkan pula ke empat arah sekaligus dan hampir dalam waktu bersamaan.

Buk... buk... buk... buuuk! Des! Des! Des!

"Akh...!"

Terdengar suara jeritan susul menyusul. Tabib Setan jatuh dengan kaki tertekuk. Dadanya terguncang akibat benturan keras, juga terkena pukulan lawan. Ada darah yang menetes dari su- dut bibir si kakek. Megap-megap si kakek masuk- kan tangannya ke dalam kantong obat. Tiga butir pel diambilnya lalu dia telan sekaligus. Setelah itu si kakek duduk ngejelepok mengatur nafas dan coba lancarkan jalan darah yang sempat kacau.

Di depan sana sejauh empat tombak, si ne- nek yang menjadi lawannya dalam keadaan rebah menelentang. Bentrokan pukulan tadi membuat persendian tulang belulangnya laksana tanggal. Nafas si nenek memburu, wajah memutih laksana mayat, hidung dan mulutnya mengucurkan darah. Dia mencoba bangkit, setengah merayap dia ak- hirnya dapat duduk. Bila dia memandang ke de- pan dia lihat Tabib Setan sibuk mengurut da- danya.

"Tua bangka itu bagaimana masih dalam keadaan segar bugar? Aku telah menghantamnya dengan tiga pukulan, tapi... tapi dia menghantam ku dengan empat pukulan sakti! Uh... uh, tua bangka sial!" maki si nenek.

Selagi nenek ini bersusah payah mengatur jalan nafas, Tabib Setan dengan langkah sem- poyongan datang menghampiri. Dia julurkan tan- gannya serahkan obat serupa yang tadi ditelannya. "Telanlah obat ini, luka dalammu tidak rin-

gan. Jika perkelahian kita teruskan, kita berdua bisa tewas bersama-sama. Aku mengaku salah te- lah melakukan satu kekeliruan. Jika kau ingin agar aku mencari Kerabat Melamun dan Kerabat Perempuan aku akan mencarinya. Nanti setelah ketemu pasti kuserahkan padamu!"

"Siapa sudi menelan obatmu!" dengus si ne- nek sambil palingkan wajahnya ke jurusan lain.

"Walah sudah tua malah besar adat!" gerutu si kakek. Tapi Tabib Setan tetap membujuk. "Aku hanya tak ingin melihatmu mengalami nasib cela- ka. Aku tahu kau memukulku dengan pukulan ke- ji. Dan aku membalasnya dengan pukulan Manis- nya Godaan Setan. Pukulan itu sama berba- hayanya dengan pukulan yang kau hantamkan padaku. Kau tidak percaya tarik nafasmu tiga kali!"

Si nenek jadi kaget. Tanpa sadar dia laku- kan apa yang dikatakan sang tabib.

"Uhk...!" Perempuan tua itu mengeluh sam- bil dekap dadanya yang terasa nyeri laksana mau meledak.

"Apa kataku. Makan obat ini jika tak mau celaka!"

Si nenek terdiam, namun akhirnya dengan agak ragu-ragu dia terima dan telan obat pembe- rian si kakek. Beberapa saat setelah menelan obat itu dia merasakan dadanya menjadi sejuk. Si ne- nek merasa lega, ternyata bukan racun yang dibe- rikan oleh tabib yang terkenal akan kesesatannya itu.

Tabib Setan sendiri tanpa menunggu segera mengambil Siklututjang lalu menggantungkannya di ujung bambu pancingnya.

"Nenek apakah kau masih hendak menghu- kumku?" tanya sang tabib dengan nada bersaha- bat.

Si nenek gelengkan kepala.

"Kalau begitu apakah ini berarti aku boleh pergi?"

"Kau boleh pergi. Tapi jangan kau lupakan tugasmu. Seandainya dua orang yang kuinginkan telah kau dapat kau harus membawanya ke bukit Juwana." suara si nenek berubah lunak.

"Nenek, kalau kau tidak keberatan apakah aku boleh mengajukan satu pertanyaan?"

Si nenek buka matanya yang terpejam sete- lah itu memandang lurus ke arah Tabib Setan. "Apa pertanyaanmu!"

"Pertama siapa namamu? Yang kedua sebe- narnya ada silang sengketa apa antara kau dengan Empat Kerabat Siluman?"

Mendapat pertanyaan seperti itu wajah si nenek mendadak berubah merah padam.

Dia menjawab dengan sengit. "Siapa saja yang punya hubungan sahabat dengan Dipati Durga memang patut dilenyapkan. Manusia itu hanya menjadi biang bencana saja bagi orang lain!"

"Dipati Durga... aku tidak kenal dengan nama itu." Membatin Tabib Setan. "Nek, Dipati Durga apakah musuhmu?"

"Pertanyaanmu banyak amat tabib. Padahal tadi kau mengatakan cuma ingin mengajukan satu pertanyaan. Tidak kujawab sekalipun nantinya kau akan mengetahuinya sendiri!"

Tabib Setan tersenyum mentertawakan ke- bodohannya sendiri.

"Baiklah, maafkan aku. Selamat tinggal nek!" kata sang tabib, lalu kakek ini memutar langkah dan langsung berkelebat pergi.

"Tabib Setan, dulu dia adalah tabib jahat dan sesat. Bagaimana kini dia bisa berubah?" fikir si nenek.

"Hem...aku harus kembali ke Juwana. Lima bulan muridku kutinggalkan. Entah bagaimana keadaannya kini." Berkata begitu perlahan si ne- nek bangkit berdiri, lalu melangkah tinggalkan tempat itu.

11

Bangunan yang bernama Singgasana Abadi itu berada di sebelah timur Kudus, terletak di satu pendataran yang luas di kelilingi oleh tebing yang curam. Bangunan itu sepenuhnya terbuat dari ba- tu, berbentuk seperti kerucut, bagian atasnya menjulang tinggi seakan hendak menggapai langit.

Di dalam bangunan itulah seorang tokoh sesat bernama Dipati Durga berdiam selama ber- tahun-tahun.

Pagi itu matahari belum lagi memperli- hatkan tanda-tanda munculkan diri ketika Kerabat Perempuan dan Kerabat Melamun melewati unda- kan anak-anak tangga yang terdapat di depan pin- tu depan Singgasana Abadi. Tidak berapa lama ke- dua ibu dan anak itu hentikan langkah setelah sampai di pintu utama.

Kerabat Perempuan tanpa membuang- buang waktu lagi segera mengetuk pintu yang se- penuhnya terbuat dari batu sebanyak tiga kali. Tak lama kemudian dia menunggu.

Setelah itu dari dalam terdengar suara se- seorang. "Siapa?"

"Kami sahabatmu. Kerabat Perempuan dan Kerabat Melamun!" kata perempuan berpakaian serba hitam itu menyahuti.

"Sahabat... diharap tidak kunjung datang, tidak ditunggu malah datang sendiri!" Orang di da- lam mengomel. Tak lama setelah itu terdengar su- ara berkerotakan seperti orang yang membuka pintu. Ternyata memang benar, pintu kemudian terbuka. Dari balik pintu batu dalam ruangan- ruangan yang terang temaram muncul seorang la- ki-laki angker berpakaian hitam panjang menjela seperti jubah. Orang itu berbadan tinggi semampai kedua alis matanya hitam kereng menyatu antara yang kanan dengan kiri. Wajahnya ditumbuhi ku- mis dan janggut lebat, bagian pipi juga ditumbuhi bulu-bulu halus, sedangkan sepasang matanya mencorong angker seperti mata burung hantu da- lam kegelapan malam.

Sejenak laki-laki berpakaian hitam itu pan- dangi si perempuan dan pemuda belasan tahun yang berdiri bengong seperti patung. Dengan sikap yang terkesan meremehkan orang lain orang itu ajukan pertanyaan.

"Kalian datang berdua sahabatku. Empat Kerabat Siluman biasanya selalu pergi kemana pun dalam keadaan kompak selalu. Kemana Kera- bat Menangis dan Sesepuh Tua?"

Kerabat Melamun hanya diam saja, tatapan matanya yang menerawang kosong memandang ke arah dinding tembok. Tapi tanpa dia sadari air ma- ta pemuda belasan tahun itu bergulir membasahi pipi.

Sementara Kerabat Perempuan sempat tun- dukkan kepala, wajahnya menunjukkan kesedihan yang begitu mendalam.

Dia lalu berkata. "Bolehkah kami masuk untuk menjelaskan segala sesuatunya?"

Laki-laki angker yang bernama Adipati Dur- ga itu tertawa bergelak lalu anggukkan kepala.

"Pintu kediamanku ini selalu terbuka bagi semua sahabatku. Terlebih-lebih kalian yang me- rasa bersimpati atas keinginanku untuk menda- patkan Nyi Sekar Langit. Gadis jelita yang selalu menyiksa perasaanku siang dan malam. Masuk- lah...!" Dipati Durga bungkukkan badan sambil kembangkan kedua tangan mempersilahkan sang tamu masuk ke dalam.

Kerabat Perempuan dan Kerabat Melamun memasuki ruangan luas bundar yang didalamnya dipenuhi dengan berbagai jenis perabotan yang se- luruhnya terbuat dari batu itu. Mereka duduk di tengah ruangan ini di atas kursi yang menghadap ke meja bundar yang sepenuhnya terbuat dari ba- tu.

Tak lama setelah Dipati Durga duduk di ha- dapan mereka, laki-laki itu kembali ajukan perta- nyaan.

"Kemana suamimu dan juga anak perem- puanmu yang cantik itu, Kerabat Perempuan?''

Yang ditanya menarik nafas pendek, setelah itu menghembuskannya dalam-dalam. Dia menco- ba menenangkan perasaan dan menabahkan hati akibat kehilangan orang yang dia cintai. Setelah itu dengan suara bergetar dia menjawab.

"Suamiku Sesepuh Tua dan putriku Kerabat Menangis tewas terbunuh di tangan seorang tabib sakti bernama Tabib Setan!"

"Hah... Tabib Setan?" seru Dipati Durga ter- kejut dan belalakkan matanya.

"Benar, apakah kau mengenalnya?" Laki-laki itu gelengkan kepala.

"Kenal langsung atau bertemu orangnya aku memang belum pernah. Tapi siapa yang tidak kenal Tabib Setan? Dia sangat ahli dalam hal ilmu pengobatan selain itu dia juga memiliki ilmu ke- saktian tinggi. Konon kudengar dia juga mempu- nyai beberapa saudara, yaitu Sesat Timur, Sesat Barat dan Sesat Selatan yang juga memiliki kesak- tian tinggi. Aneh... apa yang dicarinya di daerah ki- ta ini hingga dia gentayangan sampai kemari?"

"Aku tidak tahu." sahut Kerabat Perem-

puan.

Dipati Durga terdiam, pandangan matanya

tertuju lurus ke arah Kerabat Melamun, otaknya berfikir dan hatinya berkata. "Pemuda ini walau- pun masih terlalu muda, tapi matanya menyimpan kesaktian tinggi. Seandainya hati, jiwa dan fiki- rannya tidak selalu gentayangan kemana-mana, tentu kematian ayah dan kakak perempuannya menggoncangkan perasaannya hingga bisa diha- rapkan muncul perasaan marah dalam hatinya untuk membalas dendam. Agaknya nanti aku ha- rus melakukan sesuatu, mengembalikan hati dan fikirannya yang menerawang hingga dia dapat hi- dup sebagaimana manusia lain. Di samping itu tentu aku bisa memanfaatkan tenaganya untuk kepentinganku sendiri." batin Dipati Durga.

Kini pandangannya beralih pada Kerabat Perempuan. Setelah memperhatikan perempuan itu dia ajukan pertanyaan. "Tabib Setan membunuh dua kerabatmu, hal itu kurasa tak mungkin dia lakukannya tanpa sebab-sebab yang jelas, karena kalian pun sebe- narnya tidak mengenalnya!"

"Kau benar, terus-terang memang kami yang mencari perkara. Sebenarnya dia telah meno- long kami." ujar Kerabat Perempuan. Dia lalu menceritakan petaka yang dialaminya bersama ti- ga kerabatnya ketika seorang nenek bernama Am- beng Tatap Banyu menyerang mereka dengan ilmu pukulan Watos Atos Loro, hingga tubuh mereka hampir membeku menjadi patung. Mendengar Ke- rabat Menangis menyebut tentang Ambeng Tatap Banyu, Dipati Durga tampak unjukkan wajah ter- kejut.

"Jadi yang membuat kalian hampir menjadi batu tak berguna adalah Ambeng Tatap Banyu, nenek keparat guru Nyi Sekar Langit. Perempuan itu sungguh sangat berbahaya. Mungkin sekarang sudah saatnya untuk menyingkirkannya. Selama dia masih hidup, aku tidak akan pernah leluasa untuk mendapatkan muridnya. Yang kusesalkan mengapa kau mengambil sikap memusuhi Tabib Setan, padahal dia orang yang telah menyela- matkan kalian. Padahal jika kau mau mengajak- nya bersahabat, kita bisa mendapatkan satu keun- tungan besar. Paling tidak kau bisa belajar ilmu pengobatan, atau ilmu meramu racun. Seandainya semua ini telah kau dapatkan, tidaklah keliru jika kau kemudian membunuhnya!" sesal Dipati Dur- ga.

"Segalanya sudah terjadi, keluargaku ter- bunuh. Aku bersumpah untuk menuntut balas. Tabib Setan tak mungkin berkeliaran sampai ke daerah Pati ini jika dia tidak punya suatu kepen- tingan. Aku ingin bertanya padamu sahabatku, apakah kau mau membantuku untuk mele- nyapkan Tabib Setan atau tidak?"

Mendapat pertanyaan seperti itu mendadak air muka Dipati Durga berubah dalam seketika.

"Hanya menghadapi seorang tabib saja kau sudah tidak berdaya, Kerabat Perempuan. Percu- ma saja kau punya seorang anak yang memiliki kesaktian tinggi jika dia tidak dapat kau harapkan bantuannya untuk membela kepentinganmu."

"Kau sudah tahu keadaannya. Meskipun pe- tir menyambar kepalanya dia tetap dalam keadaan seperti itu. Diam tanpa ekpersi tanpa kemauan!" jawab Kerabat Perempuan seolah putus asa.

Dipati Durga menyeringai. "Aku tahu cara membuatnya terjaga agar dia tidak hidup dialam angan dan mimpi-mimpi. Nanti aku akan salurkan tenaga saktiku ke tubuhnya. Tapi kau jangan ter- lalu banyak berharap padaku untuk menangkap seorang tabib. Urusanku sendiri saat ini terlalu banyak sekali yang harus diselesaikan." kata laki- laki itu. Dalam hati dia memaki. "Perempuan ini dan suaminya punya otak. Namun hampir tak pernah mempergunakannya dalam hidup. Jika dia pintar, tentu dia bisa memanfaatkan kehadiran Tabib Setan untuk menyerang nenek keparat Am- beng Tatap Banyu.

"Sahabat... aku berterima kasih atas petun- jukmu. Biarlah segala persoalanku kuselesaikan sendiri berdua bersama Kerabat Melamun. Tapi kalau boleh aku bertanya bukankah kau punya satu ganjalan besar pada nenek itu?"

"Kau benar, tapi kurasa aku dapat menga- tasi persoalanku sendiri. Ambeng Tatap Banyu memang suatu kendala, dia juga adalah ganjalan yang merintangi dari apa yang kuinginkan. Tapi bagiku yang terpenting adalah bagaimana Nyi Se- kar Langit. Jika gadis itu menjadi istriku dan dia rela kukawini, gurunya bisa kubunuh."

"Dipati Durga... untuk kau ketahui. Kami sampai bentrok dengan nenek keparat itu semata- mata karena membela dirimu. Nenek itu mengata- kan pada kami, siapa saja yang mempunyai hu- bungan sahabat denganmu pasti akan disingkir- kannya. Karena itu menurut pendapatku alangkah baiknya jika kita bekerja sama dalam menghadapi musuh-musuh kita."

"Jika dia bicara begitu aku tidak keberatan. Tapi sampai saat ini sebenarnya aku masih dilan- da kebimbangan."

"Kebimbangan apa?" tanya Kerabat Perem-

puan.

"Aku baru tahu kalau orang yang kucintai

tertipu oleh bekas kekasihku, Nyi Ronggeng. Aku tidak tahu bagaimana bentuk penipuan yang telah dilakukannya. Yang jelas kini Nyi Sekar Langit wa- jah dan tubuhnya mendadak berubah menjadi ne- nek tua."

Mendengar pengakuan Dipati Durga, Kera- bat Perempuan nampak terkejut sekali.

"Apa yang kukatakan ini sulit kupercaya. Tapi hal seperti itu bisa saja terjadi mengingat Nyi Ronggeng merasa kau sia-siakan. Hingga dia men- dendam padamu, namun melampiaskan dendam- nya pada orang yang kau cinta. Jika Nyi Sekar Langit sudah dibuatnya cacat begitu rupa, dia ber- harap kau tidak mengejarnya lagi."

"Nyi Ronggeng memang perempuan terku- tuk. Ingin sekali aku membunuhnya dengan kedua tanganku. Tapi... entah mengapa aku jadi tidak te- ga. Setidaknya dia pernah membagi kebahagiaan bersamaku, menikmati manis madunya cinta!"

"Dia pasti masih mengharapkan dirimu dan merasa tidak rela kau jadi milik orang lain." ujar Kerabat Perempuan.

Dipati Durga tertawa bergelak.

"Agaknya aku begitu perkasa, hingga begitu banyak perempuan tergila-gila padaku. Tapi aneh, terhadap Nyi Sekar Langit mengapa aku menjadi seperti orang yang tidak berguna?"

Mendengar keluhan Dipati Durga, Kerabat Perempuan berkata menghibur. "Kau tak usah me- rasa berkecil hati. Cepat atau lambat kau pasti mendapatkan perempuan itu. Tapi bagaimana kau yang segagah ini mau menikahi gadis yang telah berubah menjadi nenek bau tanah."

"Ha ha ha. Aku tahu apa yang akan kula- kukan nanti terhadapnya. Sudahlah, sekarang se- baiknya kita selesaikan saja dulu masalah anakmu ini!" kata Dipati Durga, seraya lalu bangkit berdiri dan melangkah mendekat Kerabat Melamun.

Pemuda belasan tahun ini sama sekali tidak perduli melihat kehadiran Dipati Durga. Tatap ma- tanya tetap menerawang kosong seperti orang yang tenggelam dalam lamuan yang mendalam.

"Kerabat Perempuan, kau berjaga-jagalah di depan anakmu. Jika dia hendak melakukan sesua- tu atas apa yang kulakukan katakan bahwa aku bermaksud memulihkan semangatnya yang hi- lang!"

Kerabat Perempuan anggukkan kepala. Dipati Durga lalu duduk di belakang Kera-

bat Melamun. Dua tangan ditempelkan di bagian punggung pemuda berusia lima belas tahun itu. Setelah secara perlahan dan bertahap pula dia sa- lurkan tenaga dalamnya ke punggung Kerabat Me- lamun. Si pemuda tersentak, tubuhnya bergetar ketika hawa panas mengalir deras di sepanjang tu- lang punggungnya dari bawah dan langsung men- jalar ke bagian leher dan terus naik ke atas kepala. Tenaga dalam yang disalurkan dipati Durga menja- lar ke bagian otak kecil dan otak besar. Kembali terjadi sentakan hebat, Kerabat Melamun menjerit. Dari kepala di bagian ubun-ubun mengepul asap tipis menyerupai kabut berwarna kehitaman.

Di belakang Kerabat Melamun, Dipati Durga tubuhnya telah basah bersimbah keringat. Kedua tangannya menggeletar, namun dia tetap salurkan tenaga saktinya ke tulang punggung lawan yang terus dialirkan ke bagian kepala.

"Arggggkh...!"

Bekerjanya tenaga dalam di bagian otak Ke- rabat Melamun membuat pemuda itu akhirnya menjerit, menangis dan menggerung! Melihat si pemuda dalam keadaan histeris seperti itu, Dipati Durga segera tarik kedua tangannya. Dia kemu- dian bergerak menjauh dan berdiri disamping Ke- rabat Melamun. Mulut orang tua itu berkomat- kamit. Selanjutnya terdengar dia berucap.

"Kau harus terjaga dari lamunanmu. Ayah dan saudaramu tewas... kau harus melakukan se- suatu untuk membalasnya! Ingat satu nama, Am- beng Tatap Banyu dan Tabib Setan. Mereka orang yang harus kau bunuh!" tegas Dipati Durga.

Seakan baru terjaga dari sebuah tidur yang panjang, Kerabat Melamun menangis mendengar ayah dan kakaknya tewas. Dengan tatapan liar penuh amarah dia memandang lurus ke arah ibunya.

"Benarkah ayah dan kakak Kerabat Menan- gis telah meninggal, ibu?"

Perempuan itu dengan perasaan haru meli- hat anaknya terjaga dari lamunan langsung ang- gukkan kepala.

"Mengapa aku tidak mengetahuinya?" "Kau tahu, kau melihat tapi otakmu tidur." "Aku tidur selama itu?"

"Ya, karena tidurmu dalam lamunan!"

Kerabat Melamun kebingungan. Dia dekap wajahnya, lalu menangis tersedu-sedu.

"Saudara dan ayahku tewas dibantai orang, aku melihat tapi aku tak tahu. Oh betapa tololnya diriku ini." kata Kerabat Melamun.

Kerabat perempuan datang menghampiri, lalu memeluk anaknya yang hanya tinggal satu- satunya itu.

"Anakku, kau sedih hati ibumu ini lebih se- dih lagi. Janganlah kau melamun lagi, kau harus bisa membalaskan segala sakit hati dendam ke- sumat serta kematian saudara berikut ayahmu pada Tabib Setan. Jangan pula kau lupa untuk melenyapkan perempuan bernama Ambeng Tatap Banyu!"

"Hu hu hu. Ibu aku akan mengingatnya. Akan kubunuh mereka dengan kekuatan kedua mataku.!" sahut Kerabat Melamun.

"Bagus! Aku senang mendengarnya. Arwah ayah dan kakakmu pasti tidak akan tenang sebe- lum kedua orang tua dapat kau bunuh!"

Mendengar ucapan ibunya, tanpa menghi- raukan Dipati Durga, serta merta si pemuda bang- kit berdiri.

"Kalau begitu ibu, tak baik bagiku berada di sini lebih lama. Aku akan mencari mereka!" Selesai berkata begitu Kerabat Melamun melesat ke arah pintu depan. Karena pintu itu dalam keadaan ter- kunci. Tanpa pernah terduga Kerabat Melamun pergunakan kekuatan matanya. Begitu mata di- pentang lebar, dari kedua matanya membersit si- nar merah berhawa panas luar biasa. Sinar itu langsung meluncur deras ke arah pintu batu. La- lu....

Buuuum!

Terdengar ledakan berdentum. Pintu batu hancur berkeping-keping, diantara kepulan debu Kerabat Melamun melesat keluar lalu lenyap dari pandangan mata.

"Anakku!" seru Kerabat Perempuan ber- maksud mengejar, tapi langsung dicegah oleh Di- pati Durga.

"Biarkan. Tak usah dikejar. Biarkan bocah hebat itu menyelesaikan urusannya. Kau tetap be- rada di sini, tinggal bersamaku!" kata Dipati Durga lalu kedipkan matanya.

Kerabat Perempuan paksakan senyumnya. Dia tahu arti dibalik kedipan mata Dipati Durga. Bukankah selama ini dia sering mengadakan pe- nyelewengan dengan laki-laki itu. Dan tentu saja semuanya diluar sepengetahuan suami maupun kedua anaknya.

Tanpa sadar Kerabat Perempuan hampiri Dipati Durga, lalu sandarkan kepalanya di dada kekasih gelapnya yang bidang. Dipati Durga lang- sung merengkuh dan memeluk Kerabat Perem- puan.

TAMAT

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar