Eng Djiauw Ong Jilid 08

 
Jilid 08

Waktu itu Kang Kiat telah dihadapi pada Lie Hian Tong. Dua orang senantiasa dampingi pada nya yang lainnya berdiri dtempat penjuru. Ia berdiri dengan tak menampakkan sedikitpun kejeriannya.

“Kang Kiat, Kau masih begini kecil tapi jiwamu kau bikin seperti barang mainan saja,” Lie Hian Tong lantas kata. “Kenapa kau berani memasuki Hoen coei kwan untuk intai gerak gerik kami? Kau ada punya berapa batok kepala? Pasti orang telah gunai kau sebagai perkakas! Pasti kau telah temahai upah besar! Dengan begini, kau pandang kami terlalu enteng! Boca, hari kau mesti rasakan liehay nya kaum Hong Bwee Pang!”

Tapi Kang Kiat tidak takut akan ancaman itu.

“Tutup mulutmu!” Ia membentak. “Kau pandang terlalu enteng pada aku si orang she Kang! Benar aku masih kecil tatapi aku sudah insyaf artinya kesesatan dan pri kebenaran! Benarkah kaum Hong Bwee Pang, tidak merampok tapi perbuatanmu tetap melanggar undang2. Walaupun aku melarat, aku tetap ada turunan orang berpangkat, aku telah terima pengajaran dari ibuku, hingga aku sedar akan jalan yang benar. Tidak berguna kau ber ulang2 bujuk aku masuk Hong Bwee Pang. Bagiku, siapa berlaku baik kepada kami ibu dan anak, kami akan hormati padanya, lainnya urusan aku tak mau pusing! Kau ada rakyat jelata tapi di Hoen coei kwan kau dirikan benteng serta segala jebakannya, kalau itu bukannya pemberontak, apa artinya? Dan sekarang, bagaikan menjadi harimau, kau bawa sikapmu sebagai hakim untuk takuti aku, apa artinya ini? Aku telah ditangkap tapi jangan kau harap aku nanti manggut2 untuk minta ampun! Siapa kesudian berlaku demikian hina didepanmu? Baik kau kacai diri akan tengok wajahmu yang tak sedap untuk dipandang! Dasar aku yang apes, hidup2 aku melihat hantu! Kau lekas merdekakan aku, kita tidak bermusuhan, kita tidak kenal satu pada lain, kau memberontak, kau melanggar aturan, itu urusanmu, aku tak perduli, tetapi jikalau kau tetap hendak tahan aku, awas, jagalah akibatnya!”

Bukan kepalang mendongkol nya Lie Hian Tong. Siapa orang nya yang berani main gila terhadap dia, Seecoan Siang Sat yang pernah malang melintang dalam dunia kang ouw. Dan sekarang satu boca berani caci padanya!

“Hm, binatang, kau berani menghina aku!” Kata ia dengan dingin. “Kau ada punya berapa batok kepala? Kalau tidak ku pandang kau boca dan belum mengerti apa2, pasti kau tidak peroleh ampun! Awas, Kang Kiat, kalau kau berani main gila pula, aku Lie Hian Tong tidak akan sia2kan tempo lagi akan bikin habis jiwa anjingmu!”

“Jangan kau gertak aku!” Kata Kang Kiat tanpa takut. “Jikalau kau ambil jiwaku, kau juga tidak bakal hidup lebih lama pula! Apakah kau sangka lain orang tak dapat ambil nyawamu? Siauwyamu telah rubuh. Ditanganmu, sekarang segala apa terserah kepadamu!”

“Ah, boca, kau tidak tahu maksud baikku!” Kata Lie Hian Tong dengan bersenyum tawar. “Kau omong terus terang, nanti aku tolong padamu, didepan Pang coe aku akan tutup rahasia. Aku juga nanti ajarkan ilmu silat seperti apa yang aku bisa. Coba pikir, apa ini bukan nya keberuntungan? Kau masih muda tapi kau mesti bisa pikir. Mustahil kau tidak ketahui kebaikanku?” Kang Kiat angkat kepalanya, ia tertawa dingin.

“Biarnya masih muda, aku sudah dapat bedakan kejahatan dan kebaikan,” ia jawab. “Tidak nanti aku turut perkataanmu, aku tak sudi tersesat!”

Siauw Lin lihat kekerasannya hati orang.

“Hiocoe, jangan pandang enteng akan usia muda boca ini,” ia kata pada Lie Hian Tong, ia mendongkol terhadap boca itu.

“Jikalau kita anggap dia sebagai boca melulu, kita kena terjual! Kau memeriksa ia secara demikian manis budi, mana dia mau mengaku.”

“Aku memang tahu dia licin,” Lie Hian Tong jawab. “Sekarang tidak ada lain jalan, dia mesti diserahkan pada Pang coe, biar Pang coe yang nanti ambil putusan sendiri.”

Lantas Kwie lian coe berikan titahnya, ia sendiri turut naik keperahu yang sudah lantas disiapkan.

Tatkala itu baharu jam lima, cuaca masih gelap, kecuali diatas perahu dimana ada cahaya api.

Lioe Tong dan Eng Jiauw Ong, dari tempat gelap mengikuti kepinggir sungai. Mereka percaya Kang Kiat akan dibawa ke Cap jie Lian hoan ouw. Inilah hebat, sebab pusat Hong Bwee Pang itu mesti terlebih kuat daripada Hoen coei kwan ini.

“Soeheng, apa kita mesti antap Kang Kiat dibawa kesarang mereka?” Lioe Tong tanya soeheng nya, tangan baju siapa ia tarik. Ia berbisik.

“Mana bisa aku antap dia bawa anak itu?” Eng Jiauw Ong jawab. “Jikalau dia sampai dibawa ke Cap jie Lian hoan ouw, tidak gampang untuk dia keluar lagi. Mari kita lihat ketika untuk turun tangan” “Nah, marilah kita rampas pulang boca itu untuk sekalian kasi mengerti kawanan ini agar jangan terlalu katak. Seecoan Siang Sat liehay dia mesti dikasi insyaf akan keliehayan kita. Kita harus dekati perahu, tapi masing2 mesti bisatempatkan diri sendiri.”

Ong Too Liong mupakat. Maka keduanya lantas lari akan dekati perahu.

Malam itu angin ada bagus, walaupun mesti lawan aliran air, dengan dipasangkan layar, perahu bisa laju pesat. Satu anak buah ditugaskan urus layar. Cahaya api dari dalam perahu menyorot keluar, kedepan dan kebelakang, karena pintu ditutup, cuma molos dari celah2 pintu saja. Ini ada baiknya untuk kedua jago Hoay Yang Pay, yang menguntit perahu.

Ban Lioe Tong telah memikir, buat bisa naiki perahu, pengemudinya mesti disingkirkan dahulu. Inipun ada pikirannya Eng Jiauw Ong, sang soeheng. Karena itu, keduanya lekas2 dekati perahu, untuk terus loncat. Lioe Tong dahului soehengnya. Ia baharu taruh sebelah kakinya dilantai perahu, atau ada angin samber ia. Ia segera jumpalitan akan tempat balik kedarat, setelah mana, ia menoleh, hingga ia tampak satu bayangan baharu saja tempat naik kebelakang perahu. Bayangan itu tidak terbitkan suara apa juga hingga dengan gampang saja dia bisa cekuk pengemudi, yang seperti mati kutunya, tubuhnya lantas diletaki dipinggiran!

Selagi Siok beng Sin Ie mengawasi dengan kekaguman dan keheranan, ia tampak bayangan itu menggape kearah ia, hingga ia jadi semakin heran. Perahu pun jalan terus dengan tetap.

Eng Jiauw Ong, yang ketinggalan oleh soeteenya. Batal loncat keperahu, sebab ia segera lihat ada satu bayangan mendahulua tempat, selaga merandak, ia tampak Lioe Tong tempat kembali Kemudian, sedangnya ia menduga ia dapatkan soetee itu bertempat ketepi, untuk segera tempat pula kebelakang perahu.

Lioe Tong tidak sangsikan lagi bahwa bayangan tadi bukannya musuh, karena orang gapekan ia, ia sambut undangan itu. Tapi justeru ia tempat keperahu bayangan itu membarengi tempat kedarat, hampir mereka saling sampok, diwaktu mana, bayangan itu kata “Lioe Tong kau pegang kemudi dulu!”

Kapan Siok beng sin Ie tempat ditempat kemudi, ia dapatkan tali layar diikat pasak kemudi hingga ia kagum atas kecerdikannya bayangan tadi. Memenuhi pesan bayangan itu, ia lantas perhatikan kemudi dan layar itu. Disamping ia rebahkan si pengemudi perahu, tubuhnya tidak bergerak, bagaikan orang tidur nyenyak. Ia tahu jurumudi ini pasti sudah kena ditotok.

“Benar2 dia liehay,” ketua dari Kwie in po kata dalam hatinya. Tapa mengerti, kecuali Yan tiauw Siang Hiap, tentu ada lain orang pandai yang sedang bantui pihaknya. “Dia tinggalkan aku, rupanya dia mau antap aku layani Lie Hian Tong. Mana soeheng? Aku tidak lihat dia”

Ia mengawasi kedarat. Sampai perahu telah maju beberapa tumbak jauhnya, baharu ia tampak satu bayangan ber lari2 ditepi sungai bayangan dari soehengnya itu.

Sekarang, tak ragu lagi, Eng Jiauw Ong tempat naik keperahu. Tapi baharu ia injak lantai, atau pintu perahu dibuka dari dalam, hingga Ban Lioe Tong kaget dan lekas mendek, supaya wajahnya tidak sampai tersorot api. Too Liong pun segera mendekam.

Satu anak buah muncul sambil menggerutu, rupanya ia baharu habis didamprat Kang Kiat. Syukur dia tidak terus kebelakang, hanya kedepan. Dilain pihak, Eng Jiauw Ong lihat penjaganya Kang Kiat ada tiga orang.

“Soeheng kemana, kenapa baharu sampai?” Lioe Tong tanya.

“Aku sembunyi karena aku tampak satu bayangan tempat keperahu dan membikin mati kutunya si jurumudi,” sahut Too Liong dengan pelahan. “Dia ada seorang liehay, entah dia siapa dan dari golongan mana. Aku tahu, dia tidak lihat aku, maka aku kuntit padanya. Dia sangat gesit, dengan dua kali tempatan dia menghilang dari depanku, tidak dapat aku cari padanya, karena itu aku lekas susul kau. Terang dia sedang bantui kita. Aku percaya, kita sedang mendekati Cap jie Lian hoan ouw, maka perlu kita turun tangan di sini.”

“Kau benar, soeheng. Tapi kita bekerja jangan sampai Lie Hian Tong mengetahuinya supaya pekerjaan kita lebih lancar.”

Lioe Tong mengawasi kedepan dan sekitarnya. Cuaca masih gelap.

“Mari Soeheng,” kata dia, yang tambat pula dadung layar, lalu dia hampirkan pintu perahu.

Eng Jiauw Ong ikuti soetee ini.

Waktu itu, Kang Kiat sedang damprat penjaga, hingga mereka tak berdaya, saking hilang sabar, satu antaranya mengancam “Jikalau kau tak mau berhenti memaki, aku nanti terpaksa langgar pesan Hiocoe, aku akan hajar kau, boca cilik! Kau berani coba?”

Dengan tangan kirinya, Lioe Tong tolak daun pintu, sambari nyelusup masuk, ia hunus pedang nya, yang bersinar berkeredepan, hingga tiga penjahat jadi terperanjat. “Diam!” Lioe Tong menitah. “Jangan berisik!”

Tiga penjaga itu melongo melihat masuknya dua orang tua yang sikapnya keren itu.

Justeru itu, Kang Kiat berontak, hingga putuslah tambang belengguannya. Dia memang sudah siap untuk minggat, dan dia memang sengaja mencuci maki penjaga2nya. Untuk bikin mereka kewalahan. Begitulah satu penjaga telah pergi keluar niat melaporkan pada Lie Hian tapi ia didahului oleh Lioe Tong berdua.

“Jiewie soecouw,” Kang Kiat kata pada kedua kake guru itu, “penjahat berwajah iblis itu berada di sebelah depan, apakah dia hendak dibereskan?”

Eng Jiauw Ong tidak menyahuti, hanya dia totok tiga penjahat itu.

“Sekarang tak perlu kita perlihatkan diri dulu,” Lioe Tong menjawab. “Pergi kau kekemudi.”

Kang Kiat menurut, ia lantas pergi keluar, untuk sekalian gerak geraki kaki tangannya yang kaku, bekas terbelenggu lama.

Waktu itu, penjaga yang satu nya masih belum kembali Dilain pihak, Too Liong dan Lioe Tong sudah berdamai. Tindakan mereka adalah Eng Jiauw Ong membakar gubuk perahu dan Lioe Tong gunai pedangnya menobloskan dasar perahu supaya air sungai masuk. Dengan jalan itu, mereka cuma mau beri peringatan pada Seecoan Siang Sat.

“Mari!” Kata Eng Jiauw Ong, ketika mereka hendak meninggalkan perahu. Ia hendak kempit Kiang Kiat, untuk dibawa bertempat.

“Tak usah, soecouw,” kata si anak muda. Ketika itu perahu terpisah cukup jauh dari tepi, Kang Kiat pasti tidak sanggup loncat ke tepi, tapi Eng Jiauw Ong percaya boca ini ada punya daya sendiri, maka ia tidak memaksa, ia cuma pesan “Ingat, jangan bikin onar!”

Setelah mana, soeheng dan soetee enjot tubuh, loncat ke darat.

Kang Kiat awasi kedua soe couw itu angkat kaki, lantas ia mengawasi kesekitarnya, keperahu juga. Ia dapati, perahu mestinya nikung kekiri, tapi di situ air deras, maka lekas2 ia geraki kemudi, untuk bikin kendaraan itu menuju kekanan. Ia sendiri segera nyelosor turun di belakang perahu itu, untuk turun keair.

Justeru itu, penjaga yang ktempat, baharu balik dari depan, ia kaget lihat tujuan perahu itu, hingga ia menjerit “Eh, Lim Soe, kau mau mampus? Lekas putar kemudi!”

Berbareng dengan itu, ia lihat asap mengepul dari dalam perahu, ia jadi tambah kaget, ia segera berteriak “Hiocoe, lekas kemari!”

Lie Hian Tong dengar suara kaget dan ketakutan itu, ia lari keluar, maka iapun tampak asap dan api mulai berkobar. Sebagai seorang ulung, ia segera mengerti, maka tidak tempo lagi, setelah samber golok anakbuahnya itu, ia melesat ketihang layar, untuk tabas kutung dadung, hingga layar rubuh dengan segera. Dengan begini, jalannya perahu jadi tertahan, tubuh perahu jadi bergoyang kekiri dan kanan. Setelah itu, ia hampirkan gubuk perahu yang terbakar dimana ia lihat tiga anak buahnya rebah tak berdaya.

“Kurang ajar!” Ia berseru. “Aku sumpah untuk tidak hidup bersama dia!” Karena lajunya perahu kena tertahan, kepala perahu mengenai bentur keras, tapi disebelah itu, air telah masuk banyak, maka Kwie lian coe jadi ibuk, lekas, dengan dua kali bulak balik, ia angkat anak2 buahnya yang rebah bagaikan mayat, untuk dibawa kedarat yang aman. Iapun menyambar barang2 yang perlu.

Cepat sekali, perahu karam tenggelam.

“Lekas cari!” Lie Hian Tong kasi perintah pada lain anak buahnya. Ia ada sangat malu dan gusar. Teranglah sudah, ia telah kena dirubuhkan. Ia masih punyakan harapan, bahwa musuh belum keluar dari Hoen coei kwan.

Eng Jiauw Ong dan Ban Lioe Tong masih sembunyi ditempat nya, mereka bisa saksikan ke sibukannya hiocoe dari Hong Bwee Pang itu. Diam2 mereka puji kecerdikannya Kang Kiat, yang rupanya berniat membalas dendam. Kang Kiat sendiri, bagaikan seekor ikan, telah selulup dan berenang ketepi, akan timbul dimuka air dimana gesit sekali mendarat, selagi ia hendak cari jurusan, Lioe Tong beri tanda padanya dengan suara cetrekan tangan, maka ia lantas menghampirkan.

“Sekarang tak dapat kita berayal lagi, mari kita keluar,” kata Eng Jiauw Ong.

“Kita masih ada tempo, soeheng,” nyatakan Ban Lioe Tong. “Kita sudah sampai disini, baik kita teruskan masuk ke Cap jie Lian hoan ouw,” Kang Kiat usulkan. “Dengan maju terus, tak sia2lah perjalanan kita kali ini. Bukankah soecouw telah bekal rangsum? Kita boleh cari satu tempat dimana kita bisatempatkan diri untuk lewatkan sang siang, nanti malam baharu kita keluar pula. Kita cari Lwee Sam Tong, untuk kemudian kita memenuhi undangan secara terang.” “Tak usah kita bertindak demikian,” Lioe Tong bilang. “Penjagaan disini sangat kuat, jebakannyapun banyak, malam masih tidak apa, tapi siang, rasanya sukar untuk kita sembunyikan diri. Tempat yang kita tobloskan tadi, kecuali diperiksa terliti, tidak akan ketahuan bekas tabasan pedang, maka tempat itu kita boleh pakai untuk keluar masuk. Sekarang kita mundur, besok malam kita bisa datang pula, dengan tempo cukup. Kita bisa bekerja dengan lebih leluasa. Bagaimana pikiran soeheng?”

Eng Jiauw Ong mengarti bahwa Lioe Tong beratkan Kang Kiat, yang cuma bisa menghambat mereka tetapi bantuannya tidak akan seberapa, tapi ia tidak mau buka rahasia hati soetee itu, ia manggut.

“Baiklah, mari kita keluar dulu,” ia jawab.

Kang Kiat tidak berani banyak omong, ia lantas ikuti kedua ketua itu. Mereka baru jalan sepanahan jauhnya, dari arah perahu yang tenggelam terdengar suitan tiga kali, yang segera disambut dtempat penjuru, makin lama makin jauh. Kedua jago Hoay Yang Pay mengarti, pasti Lie Hian Tong gunai dayanya untuk kerahkan semua pusat penjagaan, untuk cegat musuh. Sekarang mereka insaf bagaimana bagus penjagaannya pihak Hong Bwee Pang itu.

LXXXI

“Seecoan Siang Sat ada kenamaan, menurut derajatnya tidak seharusnya mereka gunakan ini, sebab ini menunjukkan kelemahan mereka, tetapi dasar sudah lumrahnya, siapa putus asa, dia samber segala jalan, begitupun mereka ini” Berkata Eng Jiauw Ong yang bersenyum ewa. “Memang begitulah biasanya,” membenarkan Siok beng Sin Ie.

Mereka jalan terus, ambil jalan diwaktu masuknya. Kadang saja mereka gunai boen louw cio, “batu untuk tanya jalan,” guna cegah mereka terjebak dalam perangkap. Tatkala mereka sampai digudang, garam, sekarang disana gelap petang dan perahupun tak ada sebuah juga. Mereka jalan terus, dengan cepat. itu waktu sudah jam lima, maka mereka insaf, selewatnya itu, langit akan sudah terang, mereka akan terancam bahaya. Selewatnya gudang garam, disungai kelihatan perahu peronda mundar mandir.

“Hati2,” Kang Kiat diberi ingat.

Kapan mereka mendekati Hoei coei kwan lagi setengah lie, disungai muncultempat buah perahu yang memasang obor terang2. Selagitempat buah perahu itu hampir sampar dipintu air, di udara melesat anak panah yang ihitkan suara mangaung.

“Rupanya orang telah terima titahnya Boe Wie Yang untuk cegat kita,” Lioe Tong nyatakan dugaannya pada soehengnya. Mereka merandek dengan tiba2. “Kelihatannya kita mesti juga tempur mereka”

Sinar apipun sampai kepada pagar bambu.

“Soeheng, kecewa kalau kita kena digertak oleh cara penjagaan ini,” Lioe Tong nyatakan itu.

“Jikalau terpaksa, apa boleh buat, soetee,” sahut Eng Jiauw Ong. “Aku lihat, untuk keluar tak usah kita kukuhi pagar bambu yang telah kita tabas itu. Lebih baik kita menaiki puncak sana, akan tengok disana ada penjagaan macam apa lagi dan orang bagaimana yang berjaga2 disana!”

Ban Lioe Tong setujui pikirannya soeheng ini. “Mari kita maju!” Katanya.

Baharu saja jago dari Kwie in po hendak maju atau tiba2 terdengar kekalutan. Didekat pagar bambu dan dimuka air, semua lentera dan obor padam satu demi satu, semua pada jatuh. Dalam gelap gulita, dua jago Hoay Yang Pay ini lihat bayangan dari beberapa orang, yang telah gunakan potongan batu gunung sebagai senjata rahasia, tak pernah ada serangan yang luput. Terutama didekat pagar, gelap petang meliputi seluruhnya.

“Mari kita gunai ketika ini untuk keluar,” kata Eng Jiauw Ong. “Jangan kita siasiakan bantuannya orang!”

“Marilah!” Sahut Ban Lioe Tong. “Beruntunglah kawanan bandit ini!”

Sehabis mengucap demikian. Lioe Tong lantas maju dkuti oleh Too Liong dan Kang Kiat, mereka hampirkan pagar benteng bekas ditabas, mereka buka itu dan molos keluar, sesudah mana, Siok beng Sin Ie pasang pula dengan rapi.

“Dipihak Hong Bwee Pang, suasana ada kacau dan berisik sekali, suitan berbunyi nyaring disana sini, perahu2, besar dan kecil, mundar mandir. Obor dan lentera telah dinyalakan disemua kendaraan air itu, hingga Hoen coei kwan jadi terjaga kuat. Sementara itu, Lioe Tong bertiga sudah berada diluar.

Eng Jiauw Ong heran, begitu cerdik adanya. Seecoan Siang Sat, kenapa penjagaan didarat diabaikan. Ia utarakan rasa herannya itu pada Lioe Tong. Sebelum Siok beng sin Ie bilang apa, Kang Kiat telah sodorkan dia dua potong batu.

“Ah, boca nakal!” Kata jago Kwie in po. “Hampir orang keset kulitmu, kau masih tidak mau jinak!” Kang Kiat tidak menjawab, dia melainkan tertawa tertahan.

Too Liong mengerti, boca ini mau minta, soecouw itu “tanya jalanan.”

Lioe Tong genggam batu pada kedua tangannya masing2, setelah itu ia menimpuk dengan berbareng, tangan kanan kekiri, tangan kiri kekanan, ia telah gunai tenaganya hingga batu terlempar jauh kesamping tanjakan bukit, menyusul mana, dikedua tempat itu lantas terdengar bunyi suitan beruntun2, disusul oleh bergerak nya enam atau tujuh bayangan, senjata tajam mereka berkilauan. Kemudian, muncultempat orang, yang segera ambil tempat nya masing2 sedang diatas puncak,tempat orang lain lantas mainkan sorotan mereka. Maka sekarang ternyata, didaratpun penjagaan ada kuat.

“Mari kita pulang!” Lioe Tong mengajak soehengnya, sesudah mereka “menonton” sekian lama.

Eng Jiauw Ong manggut seraya menyahuti “Marilah!”

Kang Kiat, tanpa bantuan lagi, lantas saja ikuti kedua soecouw itu, ia bisa bertindak gesit, kecuali kapan mesti loncati tempat berbahaya, ia mesti dikempit juga. Dengan begitu, diakhirnya, sampai juga mereka ditempat dimana perahu mereka disembunyikan.

Kang Kiat, yang tadinya berada dibelakangnya Lioe Tong, hendak buka tambang ikatan perahu tatkala dengan tiba2, dari semak disampingnya, ada terdengar suara “Kambing gembel sisa mulut harimau, hampir saja kau!. Jangan terlalu percaya Liong Tauw Pang coe, atau penyesalan akan datang belakangan! Jikalau kau niat

tolongi dua muridmu yang tersayang, mari ikut aku!” Eng Jiauw Ong dan Ban Lioe Tong melengak, tapi mereka segera insyaf.

“Pergi ambil jalan air pulang ke Gan Tong!” Ketua Hoay Yang Pay lantas titahkan Kang Kiat. Ia tidak bersangsi lama. “Ada orang pandai hendak bantu aku, aku hendak tolongi kedua murid yang tertawan. Kau sembunyikan perahu itu, lekas kau berangkat!”

Selagi Eng Jiauw Ong berkata2, Ban Lioe Tong sudah tempat kearah dari mana suara tadi keluar, ia telah gunakan kepandaiannya entengi tubuh. Sedari tada telah pasang mata, ia percaya orang belum berlalu. Selagi tubuhnya turun ketanah, kembali dengar suara tadi, yang serak “Kau berdua suka terima kata2 ku, suka sekali aku menjadi pengunjuk jalan. Silahkan ikuti aku!”

Suara itu dibarengi dengan melesatnya satu tubuh, tinggi tiga tumbak, turun ketanjakan disebelah depan. Kepesatan itu membuat jago Kwie in po kagum sekali.

“Lekas susul!” Ia kata pada soehengnya, yang telah telad

ia.

Maka berdua, soeheng dan soetee   ini segera   susul

bayangan tadi, meskipun mereka liehay. Mereka toh ketinggalan satu tingkat. Lioe Tong telah gunakan antero tenaganya, ia ingin tengok wajahnya orang tak dikenal itu, tapi maksudnya itu tak bisa lantas diwujudkan.

Selama itu, jalanan yang diambil semua ada jalanan berbahaya.

Karena lari mereka cepat, sebentar saja mereka sudah lewati satu lie. Jalanan pegunungan sekarang nampaknya tak kurang berbahayanya. Tujuan ada Barat selatan. Makin lama jalanan makin naik. Orang didepan itu ber lari2 dengan sikap aneh, umpama ada jalanan kecil, ia tidak ambil jalan itu, ia hanya terabas semak2. Nampaknya ia kenal baik keadaan tempat itu. Tapi Eng Jiauw Ong mengerti, disitupun mesti ada pelbagai perangkap.

Dugaan ketua Hoay Yang Pay ini terbukti dengan lantas. Satu kali orang didepan itu beratkan tindakannya, lantas dia melesat jauh. Dia pun sengaja sampok pepohonan hingga menerbitkan suara berisik. Menyusul itu, dari kiri dan kanan ada datang serangan yang mengaung dan berkeredepan jatuhnya kearah bekas tindakan kakinya orang itu.

Eng Jiauw Ong dan Siok beng sin Ie merandek, saking, tercengang. Merekapun ingin saksikan cara bagaimana penunjuk jalan itu nanti hindarkan bahaya lebih jauh.

Bayangan itu demikian si “penunjuk jalan” lenyap didalam semak2 disebelah depan, kemudian disamping, kelihatan bergerak geraknya semak2, seperti tabrak tubruknya seekor binatang alas. Atas itu, kembali datang serangan senjata gelap. Tapi serangan ini gagal, bayangan itu lari kearah selatan, saban2 dia terjang semak.

Dari tempat sembunyi, muncul tiga orang, pakaiannya ringkas, senjatanya lengkap dengan kantong piauw.

“Entah binatang apa itu?” Kata satu diantaranya. “Bisa jadi bukannya binatang,” kata orang yang kedua. “Mari kita kejar!” Mengajak yang ketiga.

Dan semuanya lantas lari menguber.

Selagi Ban Lioe Tong dan Eng Jiauw Ong men duga2, Lioe Tong dengar suara angin disampingnya, disusul oleh suara orang “Aku telah usir pergi kawanan anjing tolol itu! Mari kita berangkat!” Lioe Tong rasakan angin dari kanan, ia berkelit kekiri, tapi suara datangnya dari kiri, ketika ia menoleh, satu bayangan melesat lari, pesat sekali.

Eng Jiauw Ongtempatkan diri misah dari Lioe Tong, jaraknya enam atau tujuh kaki, karena orang bicara pada sang soetee, ia jadi bisa mengawasi dengan merdeka. Samar2 ia tampak, bayangan itu mengenakan juba suci dari hwee shio, penganut agama Buddha, juba itu lebar dan besar, warnanya agak gelap, gerakannya sangat gesit.

“Apakah dia bukan si niekouw dari See Gak?” Ia tanya dirinya. Tapa segera menyangkal sendirinya. Coe In Amcoe bersenjatakan pedang, orang ini menggendol semacam toya berujung lebar dan tajam, yalah hong pian san, senjata umum untuk kaum pendeta. Akan tetapa tidak bisa berpikir lama, ia segera tempat untuk menyusul.

Lioe Tong juga lantas menyusul. Ia kagum dan heran, ia ingin ketahui siapa adanya orang liehay Ini.

Mereka berlari kira2 setengah lie, sampai mereka kehilangan penunjuk jalan yang mereka tidak kenal itu, entah kemana perginya dia. Sebaliknya, beberapa tumbak didepan mereka, mereka dapati sebuah pekarangan lebar yang terkurung tembok tinggi setumbak lebih, yang dikitari kali sebagai kali pelindung kota, alirannya deras sekali.

“Inilah tempat aneh, soeheng,” kata Ban Lioe Tong, yang kumpul dengan saudaranya itu. “Di sepanjang jalan, kita menemui tegalan dan rimba, tapni ada bagaikan ladang terbuka. Bangunan ini tanpa alingan, berdirinyapun sendirian. Mesti ini ada sarang penjahat. Disekitar tembok, tidak ada tempat untuk sembunyikan diri, tapi mari kita masuk, tanpa memasuki sarang harimau, tak nanti kita peroleh anak macan!”

Lioe Tong benar2 lantas maju. Eng Jiauw Ong mengikuti tanpa bersangsi.

Sebentar saja mereka sudah sampai ditepi kali yang tidak lebar. Orang biasa tidak nanti bisa tempati kali itu, tidak demikian dengan soeheng dan soetee ini. Dikaki tembokpun ada tanah luas lima kaki. Diatas tembok tidak tertampak rintangan patok besi atau kait.

Lioe Tong tempati kali, terus ia menyamber ujung tembok, untuk angkat naik tubuhnya, hingga ia bisa mengintai kedalam pekarangan. Ia merasa heran atas apa yang ia tampak. Selagi ia berpikir, Eng Jiauw Ong susul ia, hingga soeheng ini turut tercengang sebagai ia.

Nyatalah pekarangan dalam itu bukannya daratan, hanya air semua, ada ranggon, ada paseban, semuanya berada diatas air, jadi untuk masuk kesitu, orang mesti menggunakan perahu sebaliknya, disitu tidak kedapatan sebuah kendaraan air jugapun. Jarak nya semua ranggon dan paseban rata2 tigatempat tumbak, ada juga yang belasan tumbak jauhnya. Pekarangan .dalam itu ada luas, air itu pun hidup. Eng Jiauw Ong bingung juga.

“Kenapa orang berilmu itu pimpin kita ketempat luar biasa ini?” Ia berbisik pada soeteenya. “Tidak bisa jadi kalau dia cuma inginkan kita pandang air ini melulu! Mari kita turun, diam saja diatas tembok ini, kita terlalu menyolok mata.”

Ban Lioe Tong setuju, ia lantas ikut soeheng itu tempat turun. Tanah dikaki tembok tersebarkan batu, rupanya untuk bantu menguatkan dasar tembok.

“Lihat, soetee, itu sisa pohon teratai dimuka air,” Eng Jiauw Ong kisiki saudaranya, tangan baju siapa ia tarik. “Aku kuatir itu ada artinya.” Lioe Tong lihat benar ada sisa daun teratai, yalah daun2 teratai kering dimuka air, keletakannya semua berjejer kira2 satu kaki, nampaknya seperti teratur.

Selagi mereka ini mengawasi sambil otak dikasi kerja, tiba2 ada satu bayangan orang, tempat turun kepada daun teratai kering itu. Bayangan itu muncul disebelah kiri mereka, jauhnya lima atau enam tumbak, ketika kaki nya mengenai daun teratai, nampaknya nempel saja, tubuhnya sudah mencelat pula, hingga dengan beberapa tempatan secara demikian, dengan lekas dia sampai disatu peseban Pat kwa teng, dini mana samar2 kelihatannya dia menggape2.

Lioe Tong ada tabah dan getas mengambil putusan, tanpa ragu2 sedikiit juga, ia enjot tubuhnya akan tempat keair, kedaun teratai itu. Akan bertempat seperti si bayangan tadi. Ketika pertama kali ia injak daun teratai kering itu, ia girang bukan main, karena benar seperti ia duga, daun teratai itu adalah daun palsu, daun daunan yang ditunjang disebelah bawah untuk injak injakan. Ia lantas menunda di satu tangga batu.

Eng Jiauw Ong pun tempat turun akan susul soeteenya. Tapi ia berlaku sangat hati2, ia tak mau percaya sepenuhnya pada pesawat rahasia itu, ia kuatir ada yang dipasang sebagai perangkap2 guna menjebak musuh.

Dua2 saudara ini gunakan ilmu entengi tubuh “Yan coe Coan in ciong” atau “Burung walet terbang melayang didalam mega”, hingga tak kuatir mereka akan kecebur kedalam air. Keduanya berhenti ditangga batu dari satu paseban. Mereka lihat jembatan dan paseban tetapi disitu tidak ada cahaya api. Karena ini, mereka berlaku waspada.

Disaat kedua saudara ini hendak melakukan penyelidikan, tiba2 mereka lihat satu bayangan berkelebat didepan gunungan palsu, bayangan mana mencelat keair, berlompatan kebelakang.

“Kita sudah sampai disini, tak dapat kita mundur pula,” Eng Jiauw Ong berbisik pada soeteenya. “Tetapi kita mesti hati2, jangan kita pandang tak mata pada musuh.”

Lioe Tong manggut, lantas ia menunjuk pada satu gunung2an dimuka air, kemana ia lantas lari, dengan kembali injak daun teratai palsu.

Eng Jiauw Ong susul soetee ini, lalu digunung palsu itu, mereka melindung diri, sembari berbuat demikian, mereka mengawasi kearah Selatan dimana, sepanahan jauhnya ada tertampak cahaya api, yang sebentar2 lenyap, entah tempat apa itu, karena tidak terlihat tegas. Kecuali itu, semua, ada gelap disekitar mereka.

Sinar bulan sisir dan bintang2 cuma membantu mereka melihat di tempat2 dekat. Walaupun demikian, tanpa bersangsi keduanya lari menghampirkan tempat dimana ada cahaya api itu.

Baharu mereka lari belasan tumbak, Eng Jiauw Ong yang lari belakangan, mendengar suara air menjubiar disebelah belakangnya. Diwaktu begitu, ia tak dapat memutar tubuh, maka ia tempat kesebuah pulau2an, kemana pun Lioe Tong mampir. Kaduanya segera tempatkan diri seraya memasang mata.

Sekarang terlihatlah satu bayangan kecil yang gerakannya sangat gesit. Lekas sekali, bayangan itu sudah mendekati sepuluh tumbak lebih.

“Dia rupanya seorang perempuan, soeheng….” Lioe Tong berbisik.

Eng Jiauw Ong segera lihat seorang dengan baju dan celana biru yang ringkas, ikat kepalanya pun biru, punggungnya terselip sebatang golok. Ia tak usah mengawasi lama, ia keluarkan seruan tertahan “Ah perempuan celaka ini pun datang kemari!”

Ban Lioe Tong juga lantas kenali Lie touw hoe Liok Cit Nio, si perempuan genit.

Kedua saudara ini lantas dapat serupa pikiran, untuk sama menguntit perempuan genit itu.

Dengan lekas mereka telah sampai ditempat yang ada apinya tadi, yalan sebuah rumah besar dengan pekarangan lebar, tetapi sesampainya disitu, Liok Cit Nio sudah lantas hilang lenyap.

Diantara sinar bulan yang suram, dua saudara itu perhatikan bangunan yang dikitari air itu, hingga tempat itu surup benar untuk orang sucikan diri. Mereka tidak bisa duga tempat apakah itu, maka lebih dahulu mereka memutari untuk periksa seputarnya. Tidak ada suara apa juga terdengar dari dalam gedung itu.

Dengan berpencar kekiri dan kanan, Eng Jiauw Ong dan Lioe Tong mencelat keatas tembok, hingga segera mereka lihat bentuknya gedung. Pekarangan depan ada lebar, gedungnya besar, ada rumah kecilnya dikedua samping, di manapun ada masing2 satu pintu gang. Eng Jiauw Ong tidak lihat apa2, tapi Ban Lioe Tong tampak sinar api disebelah Timur, kesana ia lantas menghampirkan.

Ruangan Timur punyakan tiga buah kamar, di Selatannya ada satu pintu model bulan. Cahaya api keluar dari jendela kamar Timur, jendela itu lantas didekati. Memasang kuping, Lioe Tong tidak dengar suatu apa, dari itu, ia pecahkan kertas jendela untuk mengintai kedalam.

Di tengah kamar ada meja dan kursi bambu, diatas meja ada lilin yang menyala. Menghadapi jendela ada sebuah pembaringan kate diatas mana ada duduk numprah seorang tua, yang sedang bersamedhi.

Dengan sekali melihat saja. Lioe Tong bisa duga bahwa orang itu ada satu ahli silat, maka ia jadi tambah ber hati2. Ia insyaf benar2 yang Hong Bwee Pang punyakan orang2 liehay. Ia mencelat naik ketembok kate sebelah Selatan. Disini, ruangan ada serupa, hanya apinya tidak ada hingga ia sangsi, kamar itu ada penghuninya atau tidak. Ketika ia hendak membalik tubuh, ia rasakan samberan angin, maka ia segera tempat ketempat gelap, apabila ia putar tubuhnya, ia tampak soehengnya. Lantas ia melambaikan tangan. Eng Jiauw Ong segera dekati soetee itu.

“Soeheng lihat api disebelah Barat?”

“Kelihatannya segala apa ada sederhana, dibeberapa kamar apinya belum padam, penghuninya ada orang yang usianya telah lanjut,” sahut Too Liong. “Ada juga boca umur belasan, yang kacung2 pelayan.”

Mendengar keterangan soeheng itu. Tiba2 Lioe Tong ingat sutau hal. Bukankah Hong Bwee Pang itu ada punya Hok Sioe Tong cabang Bahagia? Bukankah ini gedung termaksud, salah satu dari Lwee Sam Tong? Ia baharu mau sebut nama gedung itu, atau ia merandek.

“Soeheng, boleh jadi ada ini ada gedung rangsum,” kata ia kemudian. “Boe Wie Yang liehay, dia pandai mengatur persiapan….”

Sebab dari ke ragu2annya Lioe Tong, adalah ia ingat soehengnya ada punya musuh besar, yalah Houw Hio coe dari Hong Bwee Pang ini, siapa telah lukai dia dengan cara membokong, hingga soeheng ini keram diri di Lek Coh Tong untuk persiapan menuntut balas, sedang selama itu, kabarnya musuh itu berdiam di dalam Hok Sioe Tong. Kalau di sini sang soeheng ketemu musuh besar itu, apa urusan tak bakal jadi beres? Tidakkah gedung ini punyakan semua penghuni yang lihay?

Memang juga, dugaannya Bun beng Sin Ie ada tepat.

LXXXII

“Soetee, tempat ini luar biasa,” Eng Jiauw Ong berbisik. “Entah dair mana, Liok Cit Nio datang kemari, oleh seorang tua dari sini, dia dibawa kedalam kamar yang ketiga. Nampaknya dia menurut saja. Mari turut aku, keadaan ada penuh rahasia….”

Liong Tong ikut soeheng itu yang terus ajak dia kekamar disebutkan. Mereka sembunyi dibawah jendela. Dipintu angin, mereka lihat satu boca dengan sepasang konde kecil. Kamar ada sederhana sekali, tidak ada barang berharga disitu, kecuali meja patsianto berikut sepasang kursi haksoe ie. Penerangannya adalah dua batang lilin yang tinggal setengah. Meja tulis ada disebelah Timur. Pembaringan terletak disebelah Barat, sudah rapi, siap untuk dipakai tidur. Sebuah meja kecil ada didepan jendela Barat, diperuntukkan tehkoan dan cangkirnya dengan dua kursinya.

Diatas pembaringan itu ada bercokol seorang tua, kepalanya botak, sepasang alisnya panjang, dibawah alisnya itu ada sepasang mata yang tajam. Dia ada punya satu mulut besar dengan hidung bengkung, kumis jenggotnya abu2. Baju thungshanya mirip baju pendek, gedombrongan, tangan bajunya longgar, kancing nya besar. Dia berkulit hitam, tubuhnya masih kekar, pada muka nya ada kulit warna merah. Dia duduk bersamedhi dengan mata meram bukannya meram. Didepan orang tua ini berdiri satu perempuan muda. Pakaian nya biru dan ringkas, dipunggung nya ada satu batang golok terselip, dipinggangnya tergantung kantong piauw. Ia berdiri dengan hormat, kepalanya tunduk.

Si orang tuapun diam saja, melainkan tangannya ada buat main sebuah peluru besar, tangannya dibuat main kedepan, kebelakang, kekiri dan kanan, lalu terdengar suaranya pembaringan yang bergerak atau tertekan.

Menampak gerakan orang itu. Kedua jago Hoay Yang Pay kagum. Itu adalah khiekang yang telah sampai dibatasnya.

Sehabis buat main peluru itu, si orang tua angkat kepalanya, hingga kelihatan matanya bersinar, ini membuktikan sekali lagi bahwa dia mestinya liehay.

Eng Jiauw Ong berdua terus berdiam.

Si boca bertindak, rupanya ia sudah ngantuk sekali, tindakan nya ayal dan limbung, dilain pihak, si orang tua telah turun dari pembaringan dan berjalan ke ujung Timur, sembari ayalan dia teeur boca itu “Makhluk tidak punya guna, cuma bisa makan dan tidur! Pergi, disini aku tidak membutuhkan kau! Pergi tidur!”

Boca itu samber selimutnya, dia berlalu dengan cepat.

Dua2 Eng Jiauw Ong dan Lioe Tong mencelat keatas payon, akan bergelantungan, untuk kasi boca itu lewat, kemudian mereka turun pula akan mengintai lagi.

Si orang perempuan sekarang menoleh, benarlah dia ada Lie touw hoe, tampangnya mentereng sekali, cuma pada matanya ada sinar dari kekuatiran. Muka nya bersemu merah, dihidungnya ada sedikit keringat. Si orang tua masih jalan mundar mandir, ke Timur, dari Timur ke Barat, lalu kembali, kemudian ia hampirkan meja, sambil angkat kepalanya. Ia pandang Liok Cit Nio.

“Ah, anak celaka, kau masih hidup!” Kata ia pada perempuan centil itu. “Syukur aku si orang tua peroleh kebaikan Pangcoe, bisa undurkan diri ke Hok Sioe Tong hingga aku terpisah dari dunia kang ouw. Sekarang ini aku seperti mencuri hidup. Kenapa kau berani datang kemari? Apakah kau hendak suruh aku seperti menjelma pula? Kalau benar, kau keliru! Tak dapat aku dibikin mendapat malu pula! Kau telah datang kemari, kau seperti diutus oleh malaikat, maka kau tidak boleh keluar pula dari Hok Sioe Tong ini!”

Lie touw hoe kaget, air mukanya berubah.

“Ayah, kau dengar omongan siapa?” Tanya ia, suaranya gemetar. “Anakmu tidak lakukan apa2 yang sesat, tetapi benar tabeatku berangasan, aku terlalu suka umbar hati, hingga bisa kejadian aku lakukan suatu kekeliruan, yang tidak berarti. Rupanya orang telah lihat aku bertindak tak selayaknya, dia lantas siarkan cerita yang bukan2. Didepan aku, orang bungkam, dibelakang aku, lantas orang berkata lain. Tapi mereka boleh bikin apa mereka suka, aku harap ayah jangan percaya obrolan mereka itu. Sejak Liok long menutup mata, lantaran aku tidak punyakan anak baik lelaki maupun perempuan, memang aku hidup merdeka, tetapi ayah jangan heran, aku toh seorang perempuan, yang mengerti silat, mana bisa aku hidup seperti janda lainnya, keram diri saja didalam rumah? Lagipun sebagai anggauta Hong Bwee Pang, aku niat berbuat jasa terhadap kaum kita. Sebagai ketua bagian Barat dari Keng Liang San, banyak orang yang berdengki terhadap aku. Karena pihak Hoay Yang Pay menghancurkan Liok kee po, aku tidak punya tempat taruh kaki lagi. Ketika ini digunai oleh orang2 dengki untuk membokongku supaya karena bikin hilang orang aku nanti dihukum. Syukur Pang coe tidak persalahkan aku, namun sudah tentu Pang coe tidak dapat beri tugas terlebih jauh padaku. Coba pikir, ayah, jikalau anakmu benar tidak berarti, mustahil pe hoe antap aku berdiam di Ciatkang Selatan ini ? Lain dari itu pe’em, dengan keluarkan uang simpanannya sendiri sudah tutup juga ketekoran….”

Orang tua itu perdengarkan suara dihidung.

“Anak celaka, kau boleh bicara sesukamu, tapi tidak nanti kau dapat dustakan aku!” Kata ia. “Memang sudah lama aku telah dengar tentang kau! Kau bilang kau terfitnah, tetapi coba jawab, untuk apa itu kuil keluarga Liok dipuncak Sin Lie Hong     ng Seng San? Bagaimana dengan itu murid she Soe touw dari Hoay Yang Pay? Kenapa kau tawan padanya? Untuk apa? Hee houw Kie dari Say louw Bok to, ada sangkutan apa dia dengan kau? Kenapa kau kasi dia berdiam di Liok kee po? Apa pun perbuatannya satu janda ter ? Anak celaka,

kau justru bikin rusak nama baik keluarga Lo. Sekarang kau datang kemari - siapa titahkan pada kau ? Kenapa kau lancang pergi kepaseban Coei Sim Teng?” Dimana ada dua ekor kambing gembul yang dimestikan ditahan, kau ada punya sangkutan apa dengan mereka berdua? Hayo kau bicara terus terang!”

Paras Liok Cit Nio berubah pucat.

“Ayah, sejak kejadian atas diriku itu, hatiku tidak tenang lagi, dari itu, tidak heran kalau tindak tandukku ada yang bertentangan satu dengan lain,” ia akui. “Orang luar bisa tak memberi maaf kepadaku, tetapi mustahil ayahpun bersikap sebagai orang luar itu? Melulu karena kangen pada ayah maka aku telah datang kemari, tetapi aku telah keliru jalan hingga ayah sangka bukan2 padaku” Orang tua itu kembali kepembaringannya, ia angkat kepalanya akan awasi orang yang mengaku anak terhadapnya.

“Kau bicara seenakmu!” Berkata ia dengan tertawa dingin. “Aku tinggal di Hok Sioe Tong, kau anggap aku telah berada diluar garis, dalam segala hal kau boleh kelabui aku. Inilah anggapan keliru! Kau datang kemari justeru seperti antarkan jiwa. Baik kau ketahui, aku dan beberapa orang tua lain telah terima budi Couwsoe, dan ditempatkan di Gedung Bahagia ini, untuk dirawat dan dihormati oleh angkatan muda, meskipun begitu, kami masih ber cita2 untuk bekerja untuk kaum kita. Disini kami semua tidak abaikan ilmu silat, masing2 melatih diri terus untuk menambah kepandaian, untuk digunakan pada suatu saat. Apakah kau kira aku tidak dengar suatu apa tentang dirimu? Kau datang kemari dengan niat culik dua murid Hoay Yang dan See Gak Pay! Apakah yang kau kerjakan? Dengan Hauw Kiat si jahanam tak berampun itu? Jikalau maksudmu kesampaian, sungguh kau bikin celaka pada ayahmu ini, sebab umpama Pang coe tegur aku, aku toh malu, aku mesti potong leherku sendiri.....! Syukur aku masih beruntung, segala perbuatanmu gagal. Apa kau kira kau sanggup memasuki paseban Coei Sim Teng? Jikalau kau tidak sampai tertawan, sedikitnya kau akan kecewa. Beruntung tadi aku dapat candak kau, andaikata kau masuk lebih jauh, kau bakal ganggu ketenteramannya Hio coe Siang ciang Hoan thian Coei Hong. Apa tidak menghinakan apabila kau rubuh ditangan lain orang? Nah, aku telah bicara habis, maka sekarang, hayo, kau turun tangan sendiri atau mesti aku si tua bangka?”

Eng Jiauw Ong dan Ban Lioe Tong tertarik hatinya. Mereka tidak sangka, cabul sebagai Liok Cit Nio, dia punyakan ayah demikian putih bersih. Ini rupanya yang dibilang, “naga beranak sembilan, semua lain sifatnya.” Mereka kagum untuk putusannya orang tua ini. Maka itu, disebelah ingin tahu akhirnya urusan ini, mereka tambah benci pada Lie touwhoe, yang sampai dibenci oleh ayahnya sendiri.

Mukanya Cit Nio jadi pucat, ia ketakutan sangat. Sambil menangis ia berlutut didepan ayahnya.

“Ayah, anakmu telah tuturkan semua hal ikhwalnya, biar bagaimana, tak nanti anakmu berani main gila,” ia meratap. “Mengenai murid muridnya Hoay Yang Pay dan See Gak Pay, Hoa In Hong dan Yo Hong Bwee, dengan sebenarnya anak hendak bawa dia minggat, aku ingin gunakan antero kebisaanku untuk bujuki mereka masuk Hong Bwee Pang, supaya dengan begitu, mereka membuat malu kedua kaum itu. Dengan ini anakmu ingin membalas dendaman di Liok kee po. Aku sekarang sudah runtuh, aku percaya, apabila aku mohon dengan berterang, pasti Pang coe akan menampiknya, dari itu, terpaksa aku bertindak sendiri. Demikian, ayah, disebelah untuk kepentingan diri sendiri, separuh aku berbuat untuk Hong Bwee Pang, dari itu, tolong ayah lindungi aku. Kalau tadinya aku tidak menghadap dahulu pada ayah, itulah disebabkan aku tidak ingin ganggu ketenteraman ayah disini….”

Selagi anak itu bicara, si orang tua sering tunduk, tapi sekarang ia angkat kepalanya, ia memandang dengan tajam.

“Sekarang aku hendak tanya kau,” demikian ia tanya dengan bengis, “sebelum murid2 Hoay Yang Pay dan See Gak Pay itu masuk Hong Bwee Pang, cara bagaimana kau bisa bawa mereka lari?”

“Untuk itu, aku telah siapkan kawan” Jawab liok Cit Nio, suaranya ayal2an. Belum Cit Nio tutup mulutnya, mata si orang tua telah bercahaya, lalu ia tertawa dingin. Siapa pun bisa lihat, sikap itu ada sikap dari keputusan tetap.

Melihat sikap ayahnya itu, Liok Cit Nio jadi takut, ia tunduk.

“Anak celaka, kau telah memikirkan yang tidak2!” Kata si   orang tua kemudian.   “Sebenarnya,   walaupun  kau mampus, kau masih mpunyai muka untuk menemui leluhur keluarga Lo di dunia baka…. Seharusnya, sekarang juga aku mesti binasakan padamu, akan tetapi sejak memasuki Hok Sioe Tong, hatiku telah berubah, tak lagi aku memilih untuk membunuh orang, muka kau pilihlah, kau mau mampus atau hidup, asal kau masih  ingat untuk berbuat baik, cauwsoe barangkali akan linduni padamu…. Jangan bikin aku mendongkol lebih lama, kau pergilah!”

Liok Cit Nio terkejut dan berbarengpun berlega hati, lekas2 ia menekuk lutut karena girangnya mendapat keampunan.

“Terima kasih, ayah, aku janji mulai hari ini aku akan ubah kelakuan,” kata ia seraya mangut ber ulang2, sesudah mana ia berbangkit dan putar tubuhnya untuk bertindak keluar.

Too Liong dan Lioe Tong heran bukan kepalang. Kenapa ayah itu ubah pikiran demikian getas? Tadi dia bersikap keras, sekarang kenapa jadi lembek? Benar2 hatinya tak dapat diduga!

Meski juga mereka berpikir demikian, berdua mereka lantas umptkan diri, untuk saksikan liok Cit Nio benar2 menyingkir atau tidak. Disaat perempuan genit itu tolak pintu, ia dengar ayahnya menghela napas dan berkata “Anak celaka, aku hendak lihat bagaimana kau bisa angkat kaki….”

Cit Nio sudah lantas keluar, dia menuju kedepan. Too Liong dan Lioe Tong segera menguntit.

Liok Cit Nio jalan terus, ia lewati ruangan pertama, lalu ruangan kedua, kemudian ia menuju terus keruangan ketiga, disini mendadakan melesat anak panah dari sudut tembok depan, beruntun tiga kali. Ia ada sangat gesit, ia berhasil kelit serangan gelap itu. Karena ini, ia tidak berani maju terus, ia segera mundur.

Too Liong dan Lioe Tong mundur kekedua samping akantempatkan diri. Dari situ, mereka terus pasang mata.

Cit Nio tidak mundur untuk lari, hanya ia bersiap guna lakukan penoblosan yang kedua kali. Ia tidak lihat orang, tetapi selagi maju, kembali diserang panah, demikian gencar, hingga ia mesti mundur pula.

Too Liong berdua dengar orang kertek gigi, suatu tanda Lie touwhoe ada sangat gusar. Mereka pun lihat wanita ini memutar tubuh. Mereka heran. Bukankah dibelakang ada kamarnya Coei Hio coe? Apa itu bukan berarti cari celaka sendiri? Dan aneh juga, selama itu, si ayah seperti tak dengar, tak ketahui suatu apa.

Too Liong niat kuntit Liok Cit Nio, tapi Lioe Tong mencegah nya, soetee ini kata “Sabar, soeheng. Kita awasi dia dari jauh saja. Mari kita lihat sepak terjang lebih jauh kawanan disini.”

Eng Jiauw Ong suka turut pikirannya soetee ini. Maka dengan jalan mutar, mereka naik kewuwungan, untuk sembunyi di situ. Dugaannya Lioe Tong berbukti. Ketika Liok Cit Nio bertempat naik kegenteng, dari belakang dia, dari kiri kanan, segera terdengar teguran “Awas!” Yang disusul dengan menyambernya dua benda berkeredepan.

Kaget perempuan ini, sambil berkelit ia hunus goloknya, tapi menyusul penyerangan gelap itu, muncullah empat bayangan dari tempat penjuru, sesuatunya bersenjatakan pedang.

“Orang bernyali besar!” Demikian satu bentakan. “Apakah kau tidak mau segera serahkan senjatamu? Apakah kau hendak membangkang!”

Cit Nio mengerti ia telah terjebak, ia jadi sengit sekali. “Aku ada anak perempuannya Lo Hio coe!” Kata ia

dengan nyaring. “Aku sedang pulang untuk menyambangi orang tua. Adakah ini melanggar aturan perkumpulan?

“Tapi aturannya Coei Hiocoe ada sangat keras! Siapa berani bantah?” Demikian seorang menjawab. “Jangan kau banyak bicara, aku kuatir kau menyesal sesudah kasep.”

Menyusul ucapan itu, Cit Nio lemparkan goloknya keatas genteng hingga senjata itu berbunyi nyaring.

“Aku tidak langgar undang perkumpulan, apa maksudmu mencegat perjalananku?” Ia tanya.

“Jikalau kau anggap dirimu putih bersih, mari turut kami menghadap Hiocoe,” kata salah satu daritempat orang itu.

Cit Nio tertawa dingin.

“Aku suka menghadap Hiocoe! Hayo jalan!” Kata ia.

Baharu nona itu tutup mulut nya, atau cahaya terang sekali muncul dari samping kiri dan kanan, dari sana tampak serombongan orang dengan tubuh besar, yang masing2 menyekal sebatang obor, mereka berbaris di timur dan barat, setiap barisnya terdiri dari delapan batang obor. Dari rumah besar, pun segera terlihat menyalanya dua lentera angin yang besar. Hingga dengan begitu, gedung itu jadi tertampak nyata.

Cit Nio segera dapat lihattempat pengurungnya ada anak2 muda umur kira2 dua puluh lebih, seragamnya warna hijau, tangan menyekal pedang, romannya gagah. Ia lantas tunduk, ia diam saja.

Daritempat anak muda itu, satu antaranya pungut goloknya Lie touwhoe, kemudian mereka menuju ke thia, pertengahan. Cit Nio ragu2, ia nampaknya jeri.

Dimuka thia ada delapan pengawal, seragamnya pun hijau kepala mereka dibungkus. Senjata mereka yang ada dipunggung nya, adalah golok kwie tauwtoo.

Dimuka thia orang merandek. Satu pemuda bicara, lalu satu yang lain bertindak kedalam.

Eng Jiauw Ong dan Lioe Tong pindah tempat sembunyinya untuk bisa menyaksikan dengan terlebih nyata. Maka itu sekarang mereka bisa lihat satu ruangan bagaikan tempat sembanyangi malaikat, disitu ada sebuah meja panjang dengan diatasnya ada hio, bunga, lilinnya nyala, hionya bergulung asapnya, dari atas ada tergantung selembar rantai untuk menggantung empat buah lentera. Dikiri kanan meja ada masing masing sebuah kursi hoksoe ie. Ketika si anak muda masuk kedalam, ia jalan terus ke timur.

Dua saudara Hoay Yang Pay tidak bisa melihat lebih jauh kebelah dalam, tapi syukur, pemuda tadi keluar pula dengan cepat, terus ia berdiri dipintu, akan bicara kepada kawannya diluar, entah apa yang dibicarakan karena suaranya pelahan. Cuma Cit Nio lantas diantar masuk, sambil diapit. Dua pemuda nyalakan sepasang lilin besar, lalu dari belakang piuhong, mereka keluarkan satu nampan merah. Dalam mana ada empat batang hio yang telah di bungkus kertas yang terus di letaki dipinggir hiolouw.

Ruangan ada sangat sunyi walaupun disitu ada kedapatan beberapa orang. Selagi api lilin bergoyang goyang membuat bayangan, dari dalam tertampak keluar satu orang jangkung dengan rambut dan kumis jenggot sudah putih semua, bajunya panjang abu2, walaupun tua tetapi roman nya gagah, hingga tak berupa satu kakek2. Ia lantas duduk dikursi sebelah kiri, untuk segera menegur liok Cit Nio, yang berdiri diam dimuka pintu.

“Kau ada anggauta Hong Bwee Pang, kenapa dihadapan Couwsoe kau berani bersikap demikian kurang ajar? Apakah kau tidak mengarti aturan perkumpulan kita?” Demikian tegurannya. “Apakah mungkin kau belum pernah mendapati belas kasihan Couwsoe!”

Eng Jiauw Ong berdua pasang kuping, mereka berlaku hati2, agar Hio coe Coei Hong itu dan orang orangnya tak ketahui adanya mereka disitu. Mereka mengarti, sekalipun anak anak muda itu, ilmu silat mereka mestinya tak sembarangan. Mereka pun mesti waspada terhadap lain lainnya anggauta Hong Bwee Pang yang berada diluar. Dalam kesunyian, mereka dapat dengar cukup tegas kata katanya hiocoe she Coei itu.

Cit Nio bertindak maju, kepalanya tunduk, setelah dua tindak, ia berlutut didepan meja hiolouw, yang berupa altar atau tempat pemujaan bagi couwsoe kaumnya. Ia jalankan kehormatan seperti kaumnya itu, sesudah mana, iapun kasi hormat pada hiocoe didepannya, seraya ia kata “Teecoe Liok Lo dari Cap jie to bahagian rangsum dari rombongan Barat mohon belas kasihan Hiocoe” LXXXVIII

Siang ciang Hoan thian Coei Hong, Hiocoe dari Hok Sioe Tong, duduk diam laksana patung, air mukanya tenang diam, tidak kentara dia girang atau gusar, kulit matanya pun tidak bergerak, melainkan sepasang matanya yang liehay tetap mengawasi perempuan muda didepan meja suctu.

Setelah rnenjalankan kehormatan, diam2 Cit Nio melirik, apabila ia telah saksikan wajah nya Hiocoe itu, ia berlutut terus, tidak berana segera berbangkit.

“Liok Tocoe!” Tiba Coei Hong berkata, “kita kaum Hong Bwee Pang, tidak perduli laki2 atau wanita, semua sama saja, sama2 menerima belas kasihan nya Couwsoe, semua menerima perlakuan yang sama, akan tetapi disamping itu, semua mesti taat pada aturan kita, tidak boleh ada yang bertentangan walau bagaimana kecil pun juga. Tocoe, tahukah kau tempat ini tempat apa!”

“Ini ada Hok Sioe Tong, gedung bahagia untuk kaum tertua yang telah berjasa untuk Hong Bwee Pang kita,” sahut perempuan muda ini.

“Kau tahu ini, itulah bagus,” kata Coei Hong. “Sekarang jawab, dalam perkumpulan kita, tempat apa yang dipandang paling suci?”

“Itulah Hok Sioe Tong sahut Cit Nio. “Lwee Sam Tong adalah pusat yang menguasai aturan2 Hong Bwee Pang, akan tetapi Lwee Sam Tong tidak berhak untuk mencampuri Hok Sioe Tong”.

Tiba2 air mukanya Coei Hio coe menjadi seram sekali. “Liok Kim In, kau tidak lekas keluarkan surat titah dari Liong Tauw Pangcoe, kau hendak tunggu apa?” Menegur hiocoe , itu dengan angker.

Eng Jiauw Ong berdua tidak, lihat tampangnya Cit Nio yang sedang berlutut itu, akan tetapi mereka saksikan tubuh orang bergerak, gemetaran, suatu tanda wanita ini kaget dan berkuatir.

“Mohon belas kasihan Hiocoe, aku, aku, aku… tak punya kan surat titah dari Pangcoe,” ia menyahut dengan tidak lancar.

“Aku datang kemari untuk sambangi ayahku, Lo Hiocoe. Mohon belas kasihan Hiocoe, teecoe tidak berani malam2 datang ke tempat suci dari Couwsoe ini ”

Sepasang matanya Coei Hiocoe berputar, hingga terbelalak.

“Oh, Liok Kim In yang bernyali besar!” Ia berseru. “Kau ada satu tocoe, kau telah peroleh budi kebaikannya Liong Tauw Pangcoe, karena sebagai seorang wanita, kau dikuasakan mengurus rangsum bahagian Barat. Seharusnya kau mentaati kewajibanmu menurut aturan kita, siapa tahu kau justeru tidak puas, kau jadi bersifat hina. Kenapa kau jadi gila paras cakap dan cabul? Kenapa kau tidak hargai lagi nama baik Hong Bwee Pang? Kenapa kau cemarkan kehormatan kedua keluarga Lo dan Liok? Hampir saja kau terjatuh ditangan nya Eng Jiauw Ong, hingga sekarang kau alami keruntuhan! Seharusnya kau insyaf, kau menyesal dan ubah itu, dengan begitu, walaupun kaum kita tidak puas terhadap kau, dengan memandang saudara Lo, tidak nanti kau diganggu dan dibikin susah. Pe hoemu, Siang chio Kim piauw Lo Sin, ada jadi pengrus rangsum dari Soen loan Cap jie to, dia berkedudukan tinggi, dia mampu lindungi padamu, akan tetapi perbuatan jahat dan busuk dari kau sudah sukar untuk diperbaiki! Sejak kau kabur dar Liang Seng San, sampai di Ciat Kang Selatan ini, kau tetap masih tidak sadar, bahkan kau semakin menjadi jadi! Terang sudah kau terlalu andalkan pengaruh pe hoemu suami-isteri, yang dapat kau kelabui. Binatang, kau bernyali terlalu besar, kejahatanmu telah melewati batas! Bagaimana berani kau malang melintang didepan matanya Liong Tauw Pangcoe, kau tak lihat mata sama sekali pada empat puluh lebih orang gagah lainnya dari Hong Bwee Pang! Kau anggap kami yang telah masuk ke Hok Sioe Tong, sebagai kuil tua saja, yang tak tahu apa2 juga! Kau telah menghina Couwsoe. Karena tanpa perkenan dari Pang coe, kau telah lancang memasuki Hok Sioe Tong, lebih2 kau telah pikat Hauw Kiat jang kena kau bujuk, dan kau berniat culik juga murid Hoay Yang Pay dan See Gak Pay yang sedang ditahan disini! Perbuatanmu ini adalah perbuatan2 rendah hina, perbuatan busuk yang tak diterima langit dan bumi! Kenapa kau merusak aturan perkumpulan dan merusaki juga prikebejikan? Bagaimana tak malu akan main gila dengan satu murid musuh? Binatang, kau ada punya beberapa batok kepala? Jikalau aku tidak wakilkan Liong Tauw Pang coe menjalankan aturan perkumpulan, akan bersihkan rumah tangga, guna lindungi nama baik perkumpulan, pastilah kau bakal bikin musnah Hong Bwee Pang yang didirikan Pangcoe dengan susah payah! Hok Sioe Tong ada tempat suci,tempat terlarang, kau telah lancang masuk kemari, kau mesti dihukum! Umpama kau tidak datang sendiri, kau memang hendak dicari! Hayo bilang, dimana kau sembunyikan Hauw Kiat?”

Tubuhnya Cit Nio bergemetar lebih keras, karena orang telah beber perbuatan dan rahasia hatinya, ia berkuatir dan berduka sekali, air matanya turun mengucur. “Mohon Hiocoe mempunyai belas kasihan,” ia memohon. “Tidak berani teecoe suruh dia lancang masuk kemari, dia hanya diminta menantikan digili gili….”

Cit Nio tetap menyangkal mengenai Hauw Kiat, sedang sebenarnya dia hendak culik In Hong dan Hong Bwee untuk ganggu kesucian mereka, sesudah mana, ia berniat bersama Hauw Kiat kabur akan meninggalkan Hong Bwee Pang dilain pihak ia harap orang2 Hoay Yang Pay dan See Gak Pay memasuki Cap jie Lian hoan ouw, supaya terjadi pertempuran mati hidup diantara kedua kaum ini dengan Hong Bwee Pang. Sebenarnya ia belum pernah memasuki Sioe Tong, melainkan ia penah dengar yang gedung bahagia itu ada sebuah bangunan istimewa. Iapun tidak tahu Coei Hoacoe demikian liehay, sampai orang ketahui semua perbuataru nya yang busuk. Maka sekarang ia seperti sendirinya mengantarkan jiwa….

Kapan Coei Hong dengar pengakuannya Cit Nio bahwa Hauw Kiat diperintah menantikan digili gili, ia lantas tertawa dingin, ia kata “Tetamu yang terhormat telah datang berkunjung, cara bagaimana bisa aku sambut dia dengan dingin? Hayo undang sahabat baik dari Liok Kim In ini, supaya mereka berdua bisa berangkat sama2!” Ia perintahtempat pemuda yang berdiri dekat pintu.

Empat pemuda itu lantas berlalu, tidak lama, mereka sudah muncul kembali dari pintu samping sambil menggotong sepotong daun pintu diatas mana ada berbaring satu orang, yang seperti sedang tidur, karena dia tidak bergerak atau bersuara, setelah sampai didalam, gotongan itu di lepaskan mendadak didepannya Liok Cit Nio, daun pintu itu jatuh terbanting, hingga orang yang rebah diatasnya sedar sambil menjerit, suaranya tidak sewajarnya, hingga suara itu mirip dengan jeritannya iblis

…. Liok Cit Nio terperanjat sampai iapun perdengarkan seruan tertahan, tetapi segera dia manggut pada Coei Hong dan kata “Hio coe, Hauw Tocoe telah langgar aturan apakah maka ia dihukum potong kaki secara demikian hebat? Hiocoe, walaupun didepan Couwsoe, tidak nanti dia dibikin jadi orang bercacat!”

Dalam keadaan seperti itu, tak lagi Cit Nio dapat mengatur kata nya.

Siang ciang Hoan thian Coei Kong, si Tangan Membalik Langit, berseru “Liok Kim In, kau berani tegur aku berlaku kejam? Ingat, apa yang kau berdua lakukan adalah pelanggaran paling jahat, paling dipantang oleh kaum kang ouw! Sebenar nya kematian saja masih tak dapat lunaskan kejahatan itu! Tetapi aku masih berlaku murah hati, aku hukum dia menurut aturan umum, karena kau berdua lancang memasuki Hok Sioe Tong, aku telah kebiri dia dan kutungi kedua kakinya. Liok Kim In, kau telah lakukan apa yang disebut lima pelanggaran besar, kau mesti mendapat hukuman yang kau harusnya dapat. Mengenai kelancanganmu memasuki Hok Sioe Tong, apabila itu terjadi diwilayah lain Hio coe itu adalah lain, tapi disini akulah yang berkuasa, aku berhak untuk hukum padamu! Hayo siap untuk upacara!”

Coei Hiocoe segera berbangkit untuk bertindak kemeja.

Cit Nio kaget bukan kepalang. Kalau hiocoe ini sampai dimeja, jangan harap dia bisa lolos lagi, dia mesti binasa, atau dia bakal bercelaka seperti contoh didepan matanya. Maka itu. Ia lantas hampirkan hiocoe itu didepan kaki siapa ia menghalau, sembari menangis ia kata “Hiocoe, kau berlakulah murah, kau ampuni jiwaku ini.... Aku sekarang insyaf, aku akan ubah sifatku, tidak nanti aku main gila pula, umpama kata aku tak kapok, biarlah aku mati dengan tak ada tempat untuk mengubur mayatku” Dengan air muka muram, Coei Hiocoe membentak “Liok Kim In, apa kau hendak bersikap bagai seorang perempuan tidak berguna? Apakah kau tetap menghina undang2 kita? Jikalau kau tetap bandal, aku nanti ringkus padamu untuk kau jalankan hukumanmu!”

Sambil mengucap demikian Coei Hong mengelakkan diri dari si nona. Untuk sampaikan meja suci.

Liok Cit Nio tidak gubris ancaman itu, ia rangkul kakinya hiocoe itu, untuk cegah dia maju mendekati meja, atas mana Coei Hong menjadi sangat gusar.

“Perempuan celaka, kau berani kurang ajar?” Dia membentak. Dia terus angkat kakinya dengan apa dia dupak pundaknya si nona, hingga tubuhnya Cit Nio bergulingan seketika, tapi dia paksa bangun pula, dengan mahan sakit, kembali dia samperi hiocoe itu, akan rangkul kembali kakinya.

“Hiocoe, kau adalah sahabat ayahku dan menjadi pe hoeku juga….” Ia meratap. “Hio coe, walaupun aturan perkumpulan keras, aku toh tetap ada orang perempuan, dari itu aku mohon sukalah kau berlaku murah hati, tolonglah jiwaku …. Sejak saat ini, apabila aku tersesat pula, tak usah pe hoe yang hukum, aku akan hukum diriku sendiri!”

Lantas si nona manggut hingg dahinya mengenai lantai. “Perempuan celaka!” Coei Hiocoe berseru. Kemudian ia

menoleh pada si anak2 muda “Siapkan pedang! Dia mesti

dihukum!”

Empat anak muda sambil menyahuti “ya!” Sudah lantas hunus pedang mereka, kemudian dengan dua jari tangan kiri, mereka menuding si nona sambil kata “Kau tidak taat kepada peraturan perkumpulan kita, kau langgar titahnya Hiocoe, maka kami akan lebih dulu bikin kau tidak bebas, setelah mana, Hio coe nanti umumkan kedosaan mu!”

Dengan bikin “tidak bebas” adalah bikin anggauta tubuh tampadaksa (cacad).

Liok Cit Nio lihat bagaimana empat anak muda itu hunus pedang mereka, sebagai seorang licin, ia insaf bahaya, maka itu segera ia putar tubuhnya, dengan mukanya yang cantik manis, yang wajahnya menggiurkan, ia awasi mereka bergantian. Iapun perlihatkan roman untuk menarik rasa kasihan orang terhadap nya.

“Soe wie soeheng,” kata ia, “dengan memandang persaudaraan kita, tolong kau beri ketika untuk aku ubah kelakuanku yang tersesat, tolonglah kau kasi jalan baru untuk aku perbaiki diri. Soeheng, tolong kau mintakan keampunan dari Hiocoe…”

Empat pemuda itu dapat titah, mereka mesti jalankan titah itu, tetapi saat menjalankannya, kadang2 cepat kadang2 lambat sedikit. Selama mereka berdiam didalam Hok Sioe Tong, Gedung Bahagia, mereka senantiasa hadapi orang2 tua dengan tampangnya berlainan dan luar biasa, jarang sekali mereka lihat orang luar, sekarang tiba mereka tampak Cit Nio yang begitu cantik dan manis, yang pandai membawa aksi, tanpa merasa hati mereka tergerak. Tidak lantas mereka gilai nona ini tetapi toh timbullah rasa kasihannya, hati mereka jadi lemah sendirinya karena mana, turunnya tangan merekapun jadi tertunda.

Cit Nio lihat itu, segera ia kata pula pada Coei Hong “Hiocoe, tolong kau pandang Soe couw, tolong kau sempurnakan aku si orang buruk. Sukalah kau berikan aku satu jalan baru untuk aku bertobat? Bukan saja aku ingin jadi orang baik2, aku juga berniat menebus dosa. Aku nanti bekerja setia untuk Hong Bwee Pang. Umpama aku tidak mampu perbaiki diri, aku rela nanti bunuh diri sendiri, guna balas kemurahan hati Hiocoe ini”

Lantas Lie touwhoe manggut2 pula sambil menangis ter isak2, sedih sekali nampaknya.

Coei Hiocoe yang bengis menjadi limbung juga. Ia adalah satu hiocoe. Ia mesti taat kepada aturan, ia mesti jalankan aturan. Untuk hukum Cit Nio iapun tak perlu sangsi2 lagi, karena Lo Hiocoe juga telah minta dia binasakan anak perempuannya ini untuk si anak tidak lagi lakukan perbuatan2 yang memalukan kedua keluarga Lo dan Liok. Sekarang ia lihat orang punya kelakuan itu.

“Buat apa aku musuhi dia mati2an?” Ia berpikir kemudian. Iapapun tidak boleh bersangsi lama maka ia tegur si nona “Jikalau kau bisa menyesal sekarang. Mengapa kau berbuat keliru? Jikalau kau benar hendak bertobat, dengan memandang Couwsoe, aku suka berikan ketika padamu. Ini ada soal sulit bagiku, maka itu kau mesti berani tanggung jawab! Kau harus ketahui, satu kali kau bertindak keliru pula, pasti celakalah perkumpulan kita ini! Sekarang lekas kau sembanyang terhadap Couwsoe, kau akui kesesatanrnu dan janjilah untuk bertobat dan perbaiki diri. Kau bersumpah, aku akan kasi ampun padamu kali ini! Anak celaka, mengertikah kau?”

Mendengar putusan itu, tidak kepalang lega hatinya Cit Nio, tanpa ayal lagi ia manggut2, seraya menghampirkan meja suci, ia ambil seikat hio untuk disulut, sesudah mana, sambil memasang hio ia kata “Teecoe Liok Kim In, dengan kemurahan hatinya Hiocoe, telah diampuni semua kesalahannya, maka sekarang teecoe janji untuk bertobat, untuk perbaki diri, apabila teecoe janji melainkan dimulut saja, biarlah nanti teecoe dikutuk Thian!” Sehabis bersumpah, Cit Nio menoleh kebelakang, akan tetapa tidak dapati Coei Hong, yang entah kapan perginya dan setahu pergi kemana, yang masih ada adalahtempat anak muda, yang masih asyik menghunus pedang nya masing2.

Dengan cepat dari luar masuk empat orang, untuk gotong pergi Hauw Kiat.

Segera setelah itu, empat anak muda itu kata pada si nona “Kau luput dari kematian, kau beruntung sekali, tetapi apabila kau tidak ubah kelakuanmu, lain kau tak akan dapat keampunan pula!”

Hatinya Cit Nio mulai lega karena tidak adanya Coei Hong itu.

“Soe wie soeheng, Hio coe ini kasihan kepadaku, aku pasti akan hargai kebaikannya ini,” Ia kata pada mereka itu. “Soeheng, kemana perginya Hiocoe? Hauw coe itu bukankah akan jalankan hukumannya?”

Pemuda yang usianya lebih tua, menyahuti sambil tertawa dingin “Tanpa titah dari Hiocoe, siapa berani ganggu dia? Kaupun mesti tahu diri! Kau tunggu saja, bila sudah datang saatnya untuk kau diperintah pergi, kau baru dimerdekakan. Hauw Tocoe benar sudah dihukum, akan tetapi rupanya, dengan melihat kau, dia tidak akan dihukum mati, malah dia akan diberikan obat, dirawat. Kau jangan kuatir, dia sekarang ntu sudah dibawa keluar dari Hok Sioe Tong.”

Paras Cit Nio berubah2, agaknya jengah.

“Aku telah bertobat, pasti aku tak akan berbuat keliru lagi. Mengenai Hauw Tocoe, dia sebenarnya lebih baik binasa daripada bercacat demikian, mati tidak, hidup tidak keruan. Bukankah hidupnya sudah tidak berarti lagi? Menurut aku lebih baik ia mati, lebih cepat lebih baik pula!”

Baharu ia mengucap demikian, atau Cit Nio sudah menyesal bukan main. Bukankah dirinya sendiri masih belum ketentuan? Kenapa ia mesti ibuki lain orang? Ingat itu, ia terus tutup mulut dan tundukkan kepala, ia tunggui putusan lebih jauh dari Coei Hong.

Tidak antara lama, dari pintu angin keluar satu boca umur sepuluh tahun lebih. Dia membawa sebuah nenampan kayu diatas mana ada kertas, pit, bak dan bakhie, juga selembar kertas yang huruf2nya masih basah.

Cit Nio bisa juga membaca dan menulis, akan tetapi itu waktu ia sedang bingung, ia tidak memikirkan lain kecuali kemerdekaannya, supaya ia bisa lekas berlalu dari gedung itu, maka ia tak tempat perhatikan bunyinya surat, begitu lekas ia baca namanya tertulis disitu. Ia bubuhi tanda tangannya juga cap jempolnya. Kemudian ia menoleh kekiri dan kanannya, masih ia tak lihat Coei Hong, hatinya tidak tenteram.

Setelah boca itu pergi dibelakang pintu angin, si anak muda angkat tangannya seraya terus berkata pada nona ini “Hiocoe menitahkan Liok Tocoe lekas berlalu dari Hok Sioe Tong ini, tak boleh berayal lagi.”

Pemuda itupun kembalikan goloknya si nona.

Baharu sekarang Cit Nio rasakan ia terlepas dari hukumannya, iapun merasa beruntung yang goloknya dikembalikan dan kantong piauwnya tidak diganggu. Tapi ia berlaku sabar, setelah tancap goloknya, ia menjura pada keempat anak muda seraya berkata “Hiocoe menaruh belas kasihan padaku dengan ia berikan aku keampunan, tidak nanti aku lupai budinya yang besar ini. Aku hendak berlalu sekarang, tak sempat lagi aku pamitan sendiri dari Hiocoe, maka dengan hormatku ini, aku mendoa keberkahan Hiocoe. Ciong wie soeheng, terima kasih!”

Lagi sekala menjura dalam dalam, lantas ia putar tubuh, untuk undurkan diri.

Selama itu, Eng Jiauw Ong dan Ban Lioe Tong telah saksikan semua itu. Nyata tempat itu benar Hok Sioe Tong, pun tempat murid Hoay Yang Pay dan See Gak Pay ditahan, teranglah penunjuk jalannya, yang tidak dikenal, sudah pimpin mereka kemari guna berdaya menolongi muridnya. Kebetulan sekali, mereka ketemu Liok Cit Nio. Diam2 mereka mesti kagumi kecerdikannya nona Lo ini, yang bisa mengetuk hatinya Coei Hong. Di lain pihak, mereka tidak percaya nona itu benar tobat.

“Soetee, tak dapat kita bikin lolos perempuan cabul ini,” Eng Jiauw Ong bisiki adik seperguruanya. “Aku hendak kuntit padanya.”

“Tetapi soeheng, waktu tinggal sedikit sekali,” Lioe Tong kata pada saudara tua itu. “Tak dapat kita ayal2an lagi. Untuk sementara, jiwanya perempuan busuk ini baik dikasi tinggal hidup. Kalau soeheng hendak kuntit dia, kuntit saja untuk cari tahu dia benar hendak meninggalkan Hok Sioe Tong ini atau tidak, atau dia masih berniat ganggu murid kita. Apabila dugaanku benar, benar benar dia tak dapat dikas ampun lagi!”

“Kau sendiri, soetee, kau hendak bertindak bagaimana?” “Aku ingin dapatkan surat pengakuannya Liok Cit Nio

tadi.” Jawab Lioe Tong. “Itu bukan cuma surat bertobat, tetapi juga adalah pengakuannya.”

“Ya, kau benar!” Kata Eng Jiauv Ong, yang baharu ingat pentingnya surat bertobat itu. “Tapi baiklah kau ber hati2 terhadap tua bangka she Coei itu. Dia dijuluki Siang ciang Hoan thian, Tangan Membalik Langit, dia pasti bukan orang sembarangan. Jangan kita sia2 kan bantuannya penunjuk jalan kita, tak boleh kita datangkan bahaya karena temahai jasa.”

Lioe Tong manggut akan berikan janjinya untuk waspada, setelah tentukan tempat dimana mereka akan berkumpul pula, keduanya lantas berpisahan. Yalah Too Liong menuju kedepan, dia sendiri kebelakang, hingga dia dapatkan satu pekarangan dengan bangunan kamar2nya, tiga buah. Justeru itu, ia lihat satu bayangan dijendela, segera ia menghampirkan untuk mengintai. Ia duga itu ada kamar tidurnya Coei Kong. Ia berlaku sangat hati2. Bayangan itu rupanya berpakaian singsat dan menggendol pedang dibebokongnya. Ketika ia dengar suara orang, lekas2 ia pecahkan kertas jendela untuk mengintai ke dalam.

Didalam ada satu kamar yang bersih dan teratur perabotannya. Menempel pada tembok ada sebuah pembaringan kayu, didepan ini tergelarkan permadani. Didepan meja ada sebuah meja tulis lengkap dengan alat2nya dan sejumlah buku. Penerangan adalah lilin sebuah ciaktay bercabang tiga, lilinnya tinggal separuh. Ditas pembaringan bercokol Coei Hong dengan didepannya ada satu kacung. Penghuni Hok Sioe Tong itu sedang membaca surat bertobatnya Cit Nio, sesudah mana, ia serahkan itu pada kacungnya, seraya kata “Taruh disana.”

Kacung itu sambuti surat itu, untuk diletaki dimeja, ditindih.

“Apa semua soehengmu sudah bubaran?” “Ya, semuanya.”

“Sekarang kau pergilah, tak usah kau tunggui aku,” Coei Hong kemudian menitah. Kacung itu manggut, ia undurkan diri.

Lioe Tong tempat ke payon, untuk sembunyi dari kacung itu, yang lewati dia. Setelah itu ia lompat turun pula, akan mengintai lagi. Ia dapatkan Coei Hong sedang duduk semedhi. Demikian biasanya satu akhli silat, tak usah dia rebahkan diri lagi. Karena ini, adalah sulit untuk mencuri surat pengakuan Cit Nio itu. Maka ia pikirkan akal, akal yang luar biasa, sebab orang tua itu sendiri ada seorang luar biasa. Selaga berpikir keras, ia dengar suara angin dibelakangnya, cepat ia menoleh. Ia lihat soeheng nya sedang me lambai2kan tangannya dan terus menunjuk kearah Timur, ia percaya soeheng itu mempunyai urusan penting, segera ia menuju ketempat yang ditunjuk kemana soeheng itupun sudah lantas pergi. Itu adalah atas rumah.

“Bukankah ini kamarnya Coei Hong?” Eng Jiauw Ong berbisik.

“Ya,” Lioe Tong manggut.

“Cit Nio bukannya bertobat, agaknya ia hendak menuntut balas,” kata Eng Jiauw Ong. “Dia ada sangat licin. Dia tidak lantas berlalu dari Hok Sioe Tong ini, ia hanya pergi pada Hauw Kiat, tidak perduli orang telah bercacat, dia rupanya masih menyintai. Dia berdamai dengan Hauw Kiat, siapa berikan ia satu bungkusan kecil, yang dia simpan secara hati2. Coei Hong tidak mau bikin Hauw Kiat mati, dia ini malah diobati. Setelah itu, Cit Nio kembali, rupanya dia hendak lakukan suatu apa.

Lioe Tong ketarik, ia mendengarkan terus. LXXXIV “Cit Nio dapatkan hio pules dari Hauw Kiat, dengan itu ia asapi dan bikin pules enam hio coe, berikut ayahnya sendiri,”

Eng Jiauw Ong menuturkan lebih jauh. Terang sudah bahwa ia telah kuntit terus perempuan cabul itu. “Kemudian Cit Nio menuju kesini, rupanya dia hendak rubuhkan semua orang. Tadi baru saja dia rubuhkan orang2 disebelah depan. Aku kuatir kau kepergok dia, maka aku lantas datang kemari…”

Eng Jiauw Ong belum tempat tutup mulutnya, ia telah kutik soeteenya, ia sendiri segera menyingkir ketempat gelap. Lioe Tong mengerti, ia turut contoh soehengnya itu.

Segera mereka lihat satu bayangan. Yang menghampirkan kamarnya Coei Hong. Mereka lantas lihat nona itu, kedua mata siapa tersiar tajam. Rupanya dia sedang bergusar, tetapi gerak geriknya hati2. Dari atas genteng dia hampirkan payo, lantai dia loncat turun kebawah, kedua kskinya tak terbitkan suara apa juga. Ia pasang kuping dijedela, lantas ia membuat sebuah lobang kecil untuk mengintai kedalam.

Eng Jiauw Ong berdua ber diam sambil memasang mata.

Sesudah mengintai, Cit Nio naik keatas genteng akan rogo sakunya. Sebentar saja, sinar api berkelebat. Nyata ia sulut hio nya yang liehay, setelah mana, ia loncat turun pula kebawah, menghampirkan pintu. Disini ia jongkok. Untuk lantas tiup asap hio masuk kedalam kamar, dua kali ia meniup, lalu ia berdiri menantikan.

Setelah beberapa saat, kamar tetap sunyi. Maka dengan ber hati2 Lie touwhoe menolak daun pintu. Akan nyelusup masuk. Melihat itu, Lioe Tong jemput sepotong genteng, ia niat serang perempuan itu, bukan karena ia ingin tolongi Coei Hong, hanya ia hendak cegah orang curi surat pengakuan itu. Tapi belum ia turun tangan, ia lihat berkelebat nya satu bayangan kearah pintu kamar.

Cit Nio benar liehay, ia menoleh dengan tiba2, rupanya ia lihat orang, terus ia lompat naik ke genteng sebelah barat.

Itulah Coei Hong, maka bisa dimengerti takutnya si perempuan centil itu.

“Pastilah dia. Tak bakal lolos lagi,” pikir Eng Jiauw Ong berdua.

Coei Hong lihat orang kabur, ia gusar bukan kepalang. “Binatang, kau masih  hendak lari?” Siang ciang Hoan

thian berseru. “Aku hendak lihat kau hendak lari kemana!”

Ia tempat naik untuk mengejar, gerakannya sangat gesit, hingga hampir ia candak si nona, hanya ketika kakinya injak genteng, terdengarlah satu suara, tubuhnya limbung, terus ia kembali ketanah, agaknya ia hendak pertahankan diri, tapi setelsh mundur dua tiga tindak, ia jatuh duduk, lantas tubuhnya terlentang, tidak bergeming lagi.

Jikalau Cit Nio kembali, dengan gampang ia bisa bikin habis jiwanya hiocoe yang liehay ini, yang rupanya telah kena sedot asap hio, yang tadinya dia masih bisa pertahankan diri, akan tetapi setelah berlompatan, habis juga tenaganya, dia rubuh sendirinya. Beruntung bagi Coei Hong, karena Cit Nio terutama pikirkan Hoa In Hong, ia kabur terus ke paseban Coei Sim Teng, untuk culik murid Hoay Yang Pay itu.

Lioe Tong segera minta soehengnya susul Cit Nio. Itulah kebetulan, sebab mereka asing dengan paseban yang liehay itu. Ia sendiri, katanya, hendak ambil surat pengakuannya Cit Nio, yang ada penting untuk kelak mereka hadapi Boe Wie Yang.

Maka berdua mereka berpencaran pula.

Walaupun ia tahu Coei Hong rebah tidak berdaya, Lioe Tong tidak mau berlaku sembrono. Dengan ber hati2 tetapi sebat, ia hampirkan jendela, ia bentet itu untuk dibuka, lalu ia lompat masuk. Dengan gampang ia dapat suratnya Cit Nio, maka ia lekas jemput itu buat dibawa lari ke luar pula. Ia lihat Coei Hong tetap rebah, ia menghela napas untuk orang liehay ini yang di perdayai oleh seorang perempuan licin. Tapa tidak boleh berlambat, lekas2 ia pergi kebelakang untuk cari soehengnya. Ketika sampai dibelakang, ia bingung, ia menghadapi muka air, yang air nya ber goyang2. Tatkala ia mengakasi, ia dapati tiap setumbak lebih ada daun teratai kering, dalam tiga jurusan. Ia tidak bisa melihat tegas jauh kedepan yang gelap, dikiri ada alangan batu karang munjul bagaikan bukit, disebelah kanan ada sebuah ranggon, rupanya tempat untuk memancing ikan….

“Entah soeheng telah menyusul kemana?” Pikir ia seraya merandek, alisnya mengkerut. Tapi ia tak usah bersangsi lama, atau di sebelah kiri itu, ada bayangan ber lari2 kearah dia, gerakannya bagaikan burung besar terbang melayang, segera ia kenali soe hengnya hingga hatinya jadi terbuka tidak terkira.

“Soeheng!” Ia segera memanggil.

Eng Jiauw Ong melambaikan tangannya kepada soetee itu, yang segera hampirkan ia dikaki tembok.

“Soetee, Coei Sim Teng ini benar2 liehay,” berkata soeheng itu. “Kau lihat itu tiga jalanan, kalau bukan orang Hok Sioe Tong, sulit untuk lintasi itu. Yang tengah dan kanan itu adalah jalanan2 yang palsu, airnyapun dalam, siapa injak daun teratai kering itu, dia bisa terpeleset dan kecemplung. Syukur aku kuntit perempuan cabul itu, tak sampai aku terkena perangkap, melainkan sukarnya aku tidak bisa dekati padanya. Pasebannya sendiri terkurung tembok, hingga cuma tertampak wuwunganrga saja. Pasebanpun bukannya satu. Lihat tindak tanduknya, Cit Nio juga belum pernah datangi paseban itu, dari itu, akupun terus awasi dia. Ia telah punguti batu, yang ia simpan dikantong kulitnya, lalu dengan itu saban2 ia timpuk daun teratai kering. Secara demikian, ia maju dengan pelahan2, menghampirkan Coei Sim Teng. Ketika ia sampai dikaki tembok, ia diserang oleh penjaga paseban itu. Aku tidak lihat nyata, tapi rupanya ia berhasil merubuhkan si penjaga. Hanya kemudian, ia nyelindung diri, rupanya masih ada penjaga lainnya. Kesempatan ini aku gunakan untuk menyusul kau, soetee, karena aku kuatir, kau tidak tahu rahasianya. Daun2 teratai itu. Apakah kau berhasil?”

“Ya,” sahut Lioe Tong. “Surat ini akan bikin Boe Wie Yang tak bercahaya tampang mukanya, dan membikin suram pamornya Hong Bwee Pang. Baguslah soeheng sudah menyusul aku, jikalau tidak, aku bisa menampak kesulitan. Nah, mari kita pergi ke Coei Sim Teng.”

Eng Jiauw Ong manggut, lantas keduanya berlalu. Karena keduanya gunai ilmu enteng tubuh “Ceng teng tiam soei” atau “Capung rnenyamber air” dan “Yan tioe liang po” atau “Burung walet samber ombak” dengan lekas mereka telah sampai ditempat tujuan.

Eng Jiauw Ong ajak soetee nya sembunyi ditempatnya umpatkan diri tadi, untuk melihat suasana. Segera mereka lihat bergeraknya satu bayangan, tapi karena jauhnya jarak, tak bisa dikenali bayangan itu Cit Nio atau bukan.

“Soeheng, mari kita maju!” Lioe Tong mengajak. Soeheng itu sambut ajakan ini, maka itu, sebentar kemudian mereka sudah sampai dikaki tembok dari Coei Sim Teng dimana keadaan sunyi sekali. Mereka mendarat untuk umpatkan diri dari bayangan tadi. Mereka tidak usah menantikan lama. Akan tampak bayangan tempat turun ditembok sebelah kanan. Sekarang mereka dapat lihat nyata bahwa bayangan itu benar Cit Nio. Kelihatannya nona ini sedang cari suatu apa, dia celingukan, dia berputaran. Diam2 mereka menguntit.

Luasnya Coei Sim Teng adatempat puluh tumbak persegi, di sebelah utara ada sebuah pintu yang tertutup rapat. Disebelah selatan, ditepian, ada tertambat dua buah perahu kecil. Jadi di sini orang gunai juga kendaraan air.

Setelah jalan seputaran tanpa dapatkan suatu apa, Cit Nio tempat naik ketembok sebelah barat. Dari atas tembok ini, memandang kedalam, terlihat, runtunan rumah2 kate, yang mengitari paseban. Cit Nio berlari2 diatas rumah kate itu, agaknya ia seperti kenal baik tempat itu. Segera ia sampai didekat paseban itu, yang terkurung dengan yoneng di empat penjuru. Pasebannya sendiri penuh dengan jendela.

Disini Cit Nio maju dengan langsung, kesebelan selatan, ia seperti tahu disitu tak ada penjagaan. Dia hampiri sebuah jendela yang ia tolak terbuka, lalu ia tempat masuk.

Dengan tak kurang cepatnya, Eng Jiauw Ong berdua menguntit terus, dari celah jendela mereka memandang kedalam. itu ada sebuah ruangan kosong kecuali satu meja batu serta empat bangkunya dari batu juga, serta sebuah lentera beling tergantung ditengah2, cahayanya terang sekali.

Diatas sebuah bangku batu ada berduduk satu orang dengan rambut panjang dan kusut, kepalanya diletaki diatas meja, agaknya ia sedang tidur. Ia tidak terbelenggu. Cit Nio hampiri orang itu dan ia tepuk pundaknya. Orang itu mendusin dengan terkejut, ia angkat kepalanya mengawasi si nona, melihat siapa, ia agaknya terperanjat.

Segera Eng Jiauw Ong dan Ban Lioe Tong kenali Hoa In Hong, roman siapa kucel dan lesu.

“Siapa kau? Perlu apa kau datang kemari?” Pemuda itu menegur, sesudah ia mengawasi sekian lama. Ia rupanya sedar dan jadi tidak senang. Kemudian ia tertawa dingin dan menambahkan “Aku memang tahu. Kau orang2 Hong Bwee Pang, tidak ada yang benar! Aku telah ketemu Coei Hiocoemu. Dia bilang ada gedung Hok Sioe Tong yang paling suci dan agung, dia ancam aku untuk jangan minggat atau aku akan cari jalan mati sendiri. Dia kata, kesini tidak sembarang orang boleh masuk dan keluar. Ketika aku tegur dia, kenapa dia culik murid perempuan dari See Gak pay, dia larang aku bicara sembarangan, dia hunjuk, justeru Hok Sioe Tong ada tempat suci maka nona itu dibawa kegedung. Disini kami dikasi kemerdekaan, dua kacung layani kebutuhan kami, cuma kami dilarang buron. Tengah malam buta rata kau datang kemari, apa kau mau?”

Cit Nio tertawa dingin.

“Orang she Hoa, jangan kau main bentak2!” Ia kata. “Jangan menganggap aku tak boleh datang mari. Kau ada murid kepala dari Hoay Yang Pay, bicaralah manis sedikit. Aku datang dengan maksud baik datang2 kau sambut aku secara begini kasar…”

“Kalau begitu, bilanglah, apa perlunya kau datang kemari?”

“Orang she Hoa, aku datang kemari dengan tubuh berdosa tak berampun,” Cit Nio jawab. “Bicara terus terang aku adalah murid ke tujuh dari Pang coe. Pang coe Thian lam It Souw Boe Wie Yang itu adalah satu manusia luar biasa, dia hendak menjagoi diwilayah Kanglam ini, jika dia telah satrukan Hoay Yang Pay dan See Gak Pay yang dia pandang sebagai perintang. Kau harus ketahui, pangcoe kami ada sangat gagah dan dia banyak pembantunya yang gagah dan setia, dia telah kerahkan tenaga untuk hadapi kau kedua kaum. Kelihatannya kau memandang terlalu enteng pada pihak Hong Bwee Pang. Kau berdua telah dikurung disini, itu artinya jiwamu berdua ada dalam bahaya. Maka itu aku datang untuk menolongi kau. Aku ada orang Hong Bwee Pang tapi sekarang aku telah insyaf, aku lihat Hong Bwee Pang tidak bakal hidup kekal, aku hendak cuci tangan, aku ingin bisa menjadi orang Hoay Yang Pay. Aku masih punya beberapa kawan yang bersedia akan bantu pihakmu menghadapi Hong Bwee Pang. Dengan menolong kau, aku sendiri turut terancam bahaya, dari itu, aku ingin kau jangan tak berbudi. Aku hendak serahkan diriku padamu, maka kau berikanlah janjimu padaku.”

Eng Jiauw Ong dan Ban Lioe Tong kagum akan kepandaiannya bicara perempuan itu. Diam2 mereka berkuatir untuk Hoa In Kong, yang masih hijau. Maka itu, ingin sekali mereka dengar jawabannya murid itu.

“Buat aku, mati atau hidup bukan soal lagi!” Demikian terdengar jawabannya In Hong. “Kau omong dari hal yang benar, hanya sayang digunai terhadap aku, itulah keliru alamatnya. Aku telah terima ajaran guruku, melainkan gurukulah yang aku taati. Maka maksud baikmu itu kau baik haturkan kepada lain orang. Kau sendiripun harus sayang dirimu. Dengan berkhianat terhadap Hong Bwee Pang, kau perbahayakan dirimu. Orang Hong Bwee Pang tersebar diseluruh kolong langit, cara bagaimana kau bisa lolos dari tangan mereka? Kau jangan andalkan aku, kepandaianku masih sangat berbatas. Lagipun aku belum kenal kau, mana aku bisa ikut kau kabur?”

Lantas In Hong mengawasi meja batu saja.

Wajahnya Cit Nio berubah, matanyapun bersinar, sebentar kemudian baharu ia jadi tenang pula.

“Aku tidak mengerti kenapa kau jadi nekat begini?” Kata dia, separuh menyesali. “Kau ada satu pemuda berharga, dibelakang hari kau pasti akan punyakan kedudukan baik, maka janganlah kau berpikiran pendek. Aku Liok Kim In, Lo Hiocoe disini ada ayahku yang sejati. Suamiku ada orang she Liok, sayang ia menutup mata muda2 hingga aku jadi janda sejak beberapa tahun. Aku tidak ingin terus hidup merantau, maka sudah lama aku memikir untuk cari orang kepada siapa aku bisa serahkan diri, sekarang aku lihat kau, aku hendak tolong padamu, agar kemudian kita bisa hidup bersama. Aku bicara tanpa malu2 lagi. Sayang apabila kau mesti jadi kurbannya Hong Bwee Pang, itulah sangat kecewa.”

Hatinya In Hong tidak tergerak, ia diam saja. Cit Nio jadi kewalahan, dia sibuk sendirinya.

“Kenapa kau sukar dikasi mengerti?” Tanya dia. “Aku begini bersungguh2 tapi kau siram aku dengan air dingin… Mustahil kau benar2 tidak sayangi dirimu? Apa mungkin kau tidak percaya aku? Benar2 aku niat tolong kau, supaya kemudian kita bisa bekerja sama2. Apakah kau tidak insyaf bahwa kau sedang terancam bahaya?”

LXXXV Tiba2 In Hong jadi gusar, ia berbangkit akan terus sampok tangan orang yang diletaki kepada pnndaknya. Iapun menyingkir kesamping.

“Kau ada seorang perempuan, terutama kau ada satu janda, jangan kau tak hargai derajat mu!” Ia menegur. “Lekas kau ber lalu dari sini! Bukankah sesuatu orang ada punya pikiran sendiri? Maka jangan kau paksa aku! Keliru jikalau kau pandang rendah pada orang Hoay Yang Pay. Aku tak sudi bicara banyak denganmu, kematianku tidak ada sangkutannya dengan mu, tak usah kau buat pikiran!” Ia tertawa mengejek. “Kaupun tak usah kuatir Hoay Yang Pay nanti rubuh ditangan Hong Bwee Pang, kejadian malah akan kebalikannya. Pergilah kau! Tak usah kau bujuki aku…!”

Cit Nio mendongkol bukan main. Belum pernah ia terhina secara demikian. Ia ingin sekali dapati pemuda ini sebagai barang permainannya, supaya dengan begitu berbareng ia bisa membalas dendam terhadap Hoay Yang Pay, yang telah basmi Liok kee po. Ia tidak sangka orang ada demikian keras hati. Ia menahan sabar, ia pikirkan daya lain untuk menaklukinya, atau bikin rubuh pemuda ini.

“Orang she Hoa, kau benar tidak tahu kebaikan orang!” Kata ia sambil menunjuk. “Biasanya aku tidak berlaku sungguh2 terhadap siapa juga, siapa turut aku dia selamat, siapa menentang, dia celaka, adalah seja aku insaf buruknya Hong Bwee Pang, yang pasti tidak bakal hidup kekal, aku ingin ubah cara hidupku, aku mengharapkan satu orang kepada siapa aku bisa andalkan diri. Begitulah aku lihat kau ditawan, aku lantas saja ketarik kepadamu, hingga aku lantas ikuti kau sampai disini. Aku percaya kau sebagai satu pemuda yang penuh pengharapan aku ingin serahkan diriku padamu, agar kemudian kita bisa hidup beruntung bersama2. Untuk ini kau lihat, aku berani hadapi ancaman bahaya. Maka kenapa kau ucapkan kata2 kotor terhadapku? Apakah kau anggap aku tidak berdaya terhadapmu? Orang she Hoa, mari kau turut aku. Kita menyingkir sama2, jikalau tidak, jangan kau nanti menyesal!” Dengan tiba2 ia hunus goloknya dan dilintangkan dimuka orang, seraya tegaskan “Hayo bicara!”

In Hong tidak takut, ia malah mengawasi dengan tajam. “Apakah kau inginkan jiwa ku? ia tanya. “Aku sudah

bilang, jiwaku sekarang ada di luar garis, maka sekarang bunuhlah aku!”.

Tit Nio jadi sengit.

“Benar2 kau tidak berbudi!” katanya. “Kau berani menghina Cit Nio? Baik, sekarang hendak lihat kepandaianmu!”

Habis berkata begitu, nona ini tancap pula goloknya dibebokong nya, lantas ia bertindak keluar.

Melihat orang hendak pergi, Eng Jiauw Ong berdua lekas menyingkir sambil sembunyi, mereka ingin lihat tindakannya nona itu terlebih jauh.

Cit Nio tidak pergi jauh, sesampainya diluar, ia keluarkan serupa barang dari sakunya, terus ia nyalakan api dan menyulut. Nyata ia memasang hio, yalah hio obat pules. Sambil berbuat begitu, ia menggerutu sendirinya “Jikalau aku tidak kasi rasa, mana kau tahu keliehayanku!”

Ia lalu jalan mutar akan dekati jendela, dari celah mana ia tiup masuk asapnya hio. Setelah itu, lekas2 ia pergi kepintu akan berkata2 seorang diri, untuk sengaja ia kasi In Hong dengar suaranya. Kemudian, ia menuju pula kejendela, untuk kedua kalinya ia tiup masuk asap hio. Ia percaya, setelah dua kali, pemuda itu tidak akan lolos lagi dari tangannya. Eng Jiauw Ong dan Ban Lioe Tong mengerti akan maksud ini, mereka beranggapan, tak dapat tidak mereka mesti turun tangan, akan tolongi In Hong, yang sudah terang keras hatinya.

“Soeheng, apa tidak baik kita habiskan saja dia?” Lioe Tong tanya.

“Bukankah gampang sekali akan lakukan itu?” Too Liong balik tanya.

Ketika itu Cit Nio sudah siap pula dijendela, atau tiba2 ia terkejut dan lopa2 hionya terlepas jatuh, seperti juga ia terkena senjata rahasia. Menyusul itu, dipayon rumah ada bayangan berkelebat, bayangan mana tertawa pelahan.

Dalam keadaan seperti itu, Cit Nio masih ingat menggunai piauw, akan serang bayangan itu siapa sambil tertawa sambuti piauw itu.

Dengan cepat Cit Nio pungut hionya, lantas ia tempat naik ke atas paseban.

Dua2 Eng Jiauw Ong dan Lioe Tong batal turun tangan, karena ada orang yang dului mereka, hingga sekarang mereka ingin ketahui, siapa itu yang telah ganggu si nona. Mereka juga kagum untuk kegesitannya orang itu. Mereka lantas menguntit, sebab Cit Nio pun mencoba susul bayangan itu.

Sebentar saja mereka sudah sampai ditembok batu, dari mana Cit Nio susul terus bayangan itu.

Soeheng dan soetee itu juga hendak menyusul, tetapi baharu saja Lioe Tong hendak enjot tubuh, atau diatas tembok itu muncul satu bayangan, yang terus berkata “Hoaysiang Ceng hong Pocoe! Kian San Kwie in Po coe! Kenapa kau layani segala perempuan centil hingga kau antap murid sendiri terancam bahaya?” Dua saudara ini terkejut. Memang benar, In Hong dalam bahaya dan itulah saatnya untuk tolong dia, selagi paseban kosong. Tapi mereka masih ingin tahu bayangan itu.

“Kau siapa, tuan? Tolong kau perkenalkan diri!” Lioe Tong tanya.

Bayangan itu geraki kedua tangannya, hingga tertampak pakaiannya yang besar.

“Tak usah tanya, Hoay siang Siang hiap!” Begitu jawabnya. “Nanti saja di dalam Cap jie Lian hoan ouw kita bertemu pula!”

Lalu bayangan itu lari kearah selatan barat, sedetik saja, ia hilang lenyap.

Percaya bayangan itu ada seorang liehay dan kawan mereka, Eng Jiauw Ong ajak soeteenya kembali kepaseban dimana mereka dapati In Hong sudah terkena asap pules, dia rebah seperti pingsan, maka Lioe Tong lantas cari air dingin untuk sembur mukanya, atas mana, dengan lekas pemuda ini tersedar. Ia terperanjat karena heran dan girang berbareng melihat guru serta paman gurunya itu, kemudian, bahna terharunya, hampir ia kucurkan air mata. Lekas ia berlutut akan kasi hormat pada guru dan paman guru itu. Dengan berlutut, iapun bisa tempatkan mukanya yang sudah hampir menangis.

Eng Jiauw Ong terharu untuk penderitaan muridnya itu. “Kau bersengsara, In Hong,” kata ia. “Aku tidak sangka

Hong Bwee Pang ada demikian kejam. Sekarang mari kita

berlalu dari Hok Sioe Tong ini!”

“Baik, soehoe,” sahut sang murid. “Tapi apa soesiok sudah ketemukan nona Hong Bwee? Apakah gurunya nona Hong Bwee tidak datang bersama?” Too Liong tidak lantas sahuti muridnya, hanya ia menoleh pada soeteenya.

“Aku sangka Hong Bwee dikurung di lain tempat, ternyata dia pun ditahan disini.” Ia bilang ‘Entah dimana kamar tahanannya….”

“Mestinya di dekat2 sini, soe hoe” In Hong nyatakan. “Apakah   tenagamu telah   pulih?”   Lioe   Tong tanya

keponakan murid itu. In Hong manggut.   Selama disini,

kecuali penjagaan diluar, didalam kamar ini aku merdeka,” sahut pemuda itu.

Lioe Tong manggut. “Mari!” Ia mengajak.

Bertiga mereka keluar, kemudian In Hong jalan dimuka, akan cari Hong Bwee, yang ia percaya berada dekat, sebab pernah ia dengar penjaganya omong hal satu kamar lain yang kecil. Akhirnya mereka sampai disatu rumah kecil dari mana ada sinar api molos dijendela. Tidak terdengar suatu apa dari kamar itu.

Lioe Tong memasuki pekarangan seraya diturut Too Liong, In Hong ikuti mereka. Sampai disitu. Murid ini tidak berani mendahului, karena yang sedang dicari adalah murid perempuan dari See Gak Pay, hanya ketika sudah mendekati jendela, ia memanggil “Sioe Beng Soemoay! Soemoay!”

Tidak ada jawaban.

“Coba kau lihat didalam!” Too Liong perintah muridnya. “Mungkin dia sudah ada yang menolonginya.”

In Hong tidak berayal, ia lantas masuk kedalam, yang kosong, Hong Bwee tidak ada. Ia jadi berkuatir, ia segera teriaki guru dan paman gurunya. Too Liong dan Lioe Tong masuk kedalam, mereka heran juga, tapi segera diatas meja mereka lihat selembar surat, membaca mana, hati mereka jadi lega. Surat itu berbunyi begini

“Hoay siang Siang Hiap!

Sioe Beng sudah dapat ditolong, tetapi perempuan cabul itu biarlah dia lolos dahulu, kelak pasti dia dapat bagian nya. Silahkan Siang Hiap kembali ke Gan Tong San. Jangan takut untuk memasuki Cap jie Lian hoan ouw. Boe Wie Yang boleh punyakan banyak kawan tetapi kita berpokok kepada keadilan. Kami beramai akan turut melayani dia.”

Tanda tangan dari surat itu ada “To Cie”. Eng Jiauw Ong berdua bernapas lega.

“Beruntung kita peroleh bantuannya To Cie Taysoe,” kata mereka. To Cie adalah angkatan tua, atau cianpwee, dari See Gak Pay. “Dengan demikian, terang Tiat So Toojin pun sudah datang. Benar2 kita boleh layani Hong Bwee Pang.”

Lioe Tong manggut, ia benarkan soeheng itu.

Sampai disitu, mereka ajak In Hong meninggalkan paseban Coei Sim Teng. Mereka gunai perahu, yang telah disediakan itu.

“Sayang semua tetua yang ber istirahat didalam Gedung Bahagia ini,” kata Eng Jiauw Ong sambil menghela napas. “Dengan mudah mereka kena dipermainkan satu perempuan nakal. Mereka adalah bagaikan mayat saja, tak sukar buat kita menghabiskan mereka. Mungkin diantara mereka terdapat musuh besarku. Tapi kita sudah dapatkan surat pengakuannya Liok Cit Nio, juga kita sudah berhasil menolongi murid2 kita, inipun sudah suatu peringatan bagi Boe Wie Yang.”

“Kau benar, soeheng,” kata Lioe Tong. “Kita harus lekas kumpulkan orang untuk memenuhi undangannya Boe Wie Yang, akan datangi Cap jie Lian hoan ouw.”

Selagi bicara, mereka telah keluar dari daerah yang berbahaya tanpa suatu rintangan. Tadinya mereka hendak ambil jalan dari mana tadi mereka datang, tetapi se konyong2 satu bayangan muncul didepan mereka sambil menegur “Apa Ceng hong po Soe pe disitu?”

Eng Jiauw Ong dan Lioe Tong belum menyahuti, In Hong mendahului “Sioe Beng Soe moay?” Ia tanya.

Bayangan itu, yang mengham pirkan, benar Hong Bwee adanya. Ia memberi hormat pada Eng Jiauw Ong bertiga.

“Sudahlah, jangan pakai banyak peradatan,” Eng Jiauw Ong mencegah. “Sebenarnya aku malu terhadap kau, nona, karena aku antap pihak Hong Bwee Pang culik kau dan soehengmu. Mana Taysoe? Apa ia ada pesan apa2?”

“Tetapi aku tidak menyesal, soe pe,” sahut Hong Bwee. “Aku telah terima ajaran dari soehoe, aku tahu adanya takdir. Malah aku tidak sangka aku bisa lolos secara demikian gampang. Tadi adalah Soecouw To Cie yang tolongi aku, iapun telah tinggalkan surat untuk soepe, minta soepe lekas pulang ke Gan Tong San untuk berkumpul dirumahnya pemburu Hee Hong Lim, untuk bersedia2 memasuki Cap ji Lian hoan ouw. Karena ada urusan, soecouw sudah berangkat pula. Menurut soecouw, untuk memasuki Cap jie Lian hoan ouw kita membutuhkan perahu, terutama perahu yang besar. Perahu disini tak dapat diandalkan, karena disini orang telah terpengaruhi pihak Hong Bwee Pang. Cuma di Tong peng pa masih ada perahu2 yang boleh juga di pakai, tapi semuanya adalah perahu kecil. Kata soecouw, kita mesti waspada. Boe Wie Yang boleh akui dirinya satu enghiong tua dan kenamaan tapi orang nya terdiri dari perbagai macam dan banyak yang licin, sukar dicegah mereka ini main gila, dari itu, kita mesti siap sedia. Soecouw pun bilang, masih ada murid2 See Gak Pay yang akan bantu kita. Tentang persiapan perahu, soecouw minta kita jangan sibuk2, lagi dua tiga hari bakal datang empat puluh buah perahu nelayan dari Soe Soei dibawah pimpinan nelayan Kan In Tong. Dia ada satu nelayan, tapi dalam kalangan kang ouw, dia telah peroleh nama baik.”

“Bagus!” Kata Siok beng Sin Ie. “Inilah bantuan berharga yang kita tidak pernah sangka. Pasti sekali kita akan turut pesannya To Cie Loocianpwee. Tapi, nona. Apa ada pesan terlebih jauh?”

“Mengenai diriku, soe couw perintah aku pergi kekuil Kouw Sioe Am dikaki puncak Pek In Hong, untuk menemui guruku,” sahut Hong Bwee. “Soecouw pesan tak usah soepe beramai menemui lagi couwsoe dan guruku, karena pada saatnya, mereka akan datang bersama. Soecouw pesan untuk soepe waspada. Boe Wie Yang tidak hanya hendak membalas dendam, diapun ingin rubuhkan Hoay Yang Pay dan See Gak Pay, untuk dapat menjagoi sendiri. Sekarang dia telah undang dan punyai banyak kawan jago2 kang ouw dari pelbagai kalangan, banyak diantara nya yang liehay2.”

Dua2 Too Liong dan Lioe Tong manggut2.

“Kami nanti perhatikan pesan ini,” kata Eng Jiauw Ong. “Kami bersyukur kepada Taysoe. Tolong sampaikan bahwa kami tidak akan berlaku sembrono, karena ini adalah mengenai kehormatan kedua kaum kita. Aku harap nona sampaikan juga pada Taysoe agar ia datang siang2, sekarang mari kami antar kau ke Pek In Hong.” Hong Bwee memberi hormat.

“Tidak usah, soepe, terima kasih,” ia menampik. “Aku kenal yalanan kesana, aku bisa pergi sendiri. Letaknya tempat juga hanya satu lie lebih dan disana pasti soecouw akan memapakku.”

Sehabis berkata, Hong Bwee memutar tubuh, buat terus berlalu sambil ber lari2, sebentar saja sudah melalui lebih dari dua puluh tumbak.

“Pihak See Gak Pay ada punya orang2 liehay,” kata Lioe Tong, ia kagumi kegesitan si nona. “Hong Bwee bicara tentang takdir, tapi dia sebenarnya cerdik, tidak heran kalau gurunya sangat perhatikan padanya, sampai pun soecouwnyapun sayang sekali padanya. Dibelakang hari dia pasti peroleh kemajuan. Syukur dia tidak kurang suatu apa, jikalau tidak, mana kita ada punya muka untuk menemuinya?”

Eng Jiauw Ong benarkan saudaranya ini.

“Sekarang sudah siang, soeheng, mari kita lekas berlalu dari sini,” kemudian Lioe Tong kata pula.

“Mari, soetee!”

Lalu, bertiga, mereka menuju kepagar bambu. Napas In Hong sengal sengal akan ikuti guru dan paman gurunya itu, yang lari dengan pesat sekali. Ketika waktunya ayam2 jago berkokok, mereka sampai ditempat dimana Siauw Liong Ong sembunyikan perahunya, maka dengan naik kendaraan itu, dengan Lioe Tong yang menggayu, mereka menyingkir terus. Syukur mereka tidak jumpai rintangan suatu apa. Tatkala mereka sampai ditempat mendarat, dari semak tempat keluar satu bayangan.

“Siapa?” Menegur In Hong. “Lekas jawab atau kami nanti turun tangan!” Tapi Eng Jiauw Ong segera tanya “Kenapa kau masih belum pulang?”

“Hatiku tidak tenteram, tak berani aku meninggalkan tempat ini,” ada jawaban dari bayangan itu, yalah Kang Kiat.

Lioe Tong manggut2.

“Kau begini setia, kami tak akan sia2 kan padamu,” ia bilang.

“Mari kita lekas pulang. Perahuku ini boleh dtempatkan terus disini, untuk setiap waktu kita pakai, kau sendiri boleh ambil jalan dari goa nagamu”

“Aku mengerti, soecouw,” jawab boca itu sambil mengangguk. Kemudian ia menoleh pada In hong. “Apakah ini Koa Loo soe?”

“Benar.” Sahut Eng Jiauw Ong.

Dengan lantas Kang Kiat memberi hormat sambil berlutut seraya kata “Soehoe, terimalah hormat teecoe.”

In Hong bengong dengan tiba2 muncul orang yang panggil ia guru dan bahasakan diri murid tee coe, tapi Lioe Tong tertawa dan kata padanya “Kau jangan heran. Ini ada soal baharu bagimu, inilah ada kehendak Yan tiauw Siang Hiap, yang hendak sempurnakan padamu, supaya kau peroleh murid. Seharusnya kau bergirang!”

“Tetapi, soesiok,” In Hong bilang. “Mana aku berani terima murid? Kepandaianku sendiri masih belum sempurna, aku masih hendak melanjutkan lebih jauh. Pasti orang akan tertawai aku.”

“Kau jangan sibuk tentang itu, Ih Hong,” Eng Jiauw Ong turut bicara. “Inipun bukan kehendakmu sendiri. Tentang ini lain kali saja kita bicarakan lebih dayuh. Sekarang mari kita pulang.”

“Silahkan jiewie soecouw balik ke Cie hoed tong,” kata Kang Kiat, “aku sendiri hendak pulang dulu akan menemui ibu. Segera nanti aku menyusul.”

Tanpa tunggu jawaban, si Raja Naga Kecil hampirkan tempat yang tingginya dua tumbak lebih dari muka air, ia enjot tubuhnya akan terjun keair dengan kepala terlebih dahulu, hingga ia segera selam, tatkala ia muncul pula. Ia sudah terpisah belasan tumbak jauhnya, setelah mana, bagaikan ikan ia berenang pergi, selulup dan timbul bergantian.

Eng Jiauw Ong dan Lioe Tong kagum, sedang In Hong tetap bingung, tetapi kemudian ia turut menjadi kagum kapan ia dijelaskan bahwa boca itu pandai berenang dengan belajar sendiri, karena bagusnya akan bakatnya.

“Nah, mari kita pulang!” Mengajak Eng Jiauw Ong.

LXXXVI

Hari telah jadi terang benderang ketika Eng Jiauw Ong bertiga sampai dimulut jalan dekat Cio hoed tong dimana, dari semak2, mereka disambut oleh empat anak muda yang terus mengucapkan “Oh, loosoe baharu pulang! Selama kepergian loosoe hati kami kurang tenteram”

Mereka adalah Soe touw Kiam, Ciok Bin Ciam, Hee houw Eng dan Kam Tiong.

“Dan semalaman kau menantikan disini,” kata Lioe Tong. “Syukur kami berhasil menolong Hoa Soehengmu!” Empat pemuda itu segera hampiri soeheng mereka, yang jalan dibelakangnya Eng Jiauw Ong, untuk memberi hormat, sedang In Hong dengan tergesa 601-602 ???

sekarang dia datang dengan satu kabaran penting. “Ada apa?” Eng Jiauw Ong t.ului menanya.

Kam Hauw menjawab bahwa selama ditempat tugasnya tidak pernah ia lihat orang, hanya baharu selang setengah jam, perhatiannya tertarik dengan berterbangannya sejumlah burung dara. Selama satu dua ekor yang terbang, ia tidak perhatikan, tapi yang terakhir, sampai enam atau tujuh belas ekor, dan semuanya telah kembali , dari itu ia sangka, musuh rupanya sedang mengatur suatu apa atau disana ada terjadi apa2.

Baharu Kam Hauw kasikan keterangannya atau diantara pintu orang lihat terbangnya empat ekor burung dara, yang terbang tinggi sekali. Lioe Tong segera lari keluar untuk memperhatikan, ia segera dapat kenyataan, itu benar ada burung2 dara pembawa berita, sebagaimana dikakinya ada dkatkan gulungan atau lepitan kertas.

Khoe Beng, Ciong Gam, Loo piauwsoe Hauw Tay dari Shoatang Selatan dan yang lain2 turut ke luar, akan melihat burung2 dara itu.

“Soeheng, aku lihat inilah burung burung yang balik dengan kabar balasan,” Ciong Gam berkata. “Semua mereka bukan datang dari arah Cap jie Lian koan ouw, maka mungkin sekali ia tempat sembunyi didekat ini.”

“Apa tak baik kita pergi menyelidikinya?” Hauw Tay usulkan.

Eng Jiauw Ong setuju. “Mari” ia mengajak. Dengan Kam Hauw sebagai penunjuk jalan, orang pergi ke tempat dimana burung terlihat terbang naik dan turun. itu adalah sebuah puncak. Disini Hauw Tay mendaki paling dulu, untuk mana ia mesti perlihatkan keentengan tubuhnya. Yang lain2nya ikuti dia. Tapi, sia2 belaka mereka mencari tempat sembunyi nya burung dara itu.

Siok beng Sin Ie Ban Lioe Tong bersama Tiongcioe Kiam kek Ciong Gam dan Eng Jiauw Ong mengawasi kemuka air dimuka bukit, disana mereka dengar suara terompet dan bunyinya pohon2 gelagah, yang bercampur baur menjadi satu. Yang lain2 pun menoleh kesana, karena mereka merasa aneh.

Memandang dari atas, mereka semua lihat pemandangan bagaikan gambar lukisan saja.

Dimuka air tertampak rerotan perahu2 nelayan, yang terpecah dalam dua baris, yang didepan yang jumlahnya belasan, layarnya dua, yang disebelah belakang, layarnya satu. Nampaknya semua ada perahu2 baru. Kemudian mereka lihat bendera2 persegi tiga dengan lukisan mirip seekor burung, berkibar2 diatas tihang layar, entah huruf apa itu.

Selagi semua kendaraan air itu mendatangi kelihatan nyata anak buahnya. Diantaranya dikepala setiap perahu ada dua pemuda umur dua puluh lebih, romannya gesit, berpakaian baju mandi. Dibaris kiri, semua anak buah bersenjatakan tempuling cagak tiga, dan yang dikanan, bersenjata kan tumbak kait pendek. Semua pakaian mereka serupa. Semua perahu adatempat puluh buah, ia junya mirip dengan majunya sekawanan naga. Tujuan perahu2 itu adalah muara didepan bukit.

“Soeheng, mungkin mereka adalah murid See Gak Pay seperti katanya To Cie Taysoe,” menya takan Khoe Beng. “Itulah tentu Soe Soei Hie kee Kan In Tong, yang datang untuk bantu kita….”

“Eh, lihat, soeheng!” Kim too souw menambah, dengan suara terperanjat. “Lihat kawanan Hong Bwee Pang itu, mereka muncul, rupanya hendak menghalangi orang memasuki muara! Jangan2 mereka akan bentrok”

Rombongan perahu nelayan itu benar2 berhenti dengan tiba2, dari antaranya lantas maju sebuah yang besar, dikepala perahu ada berdiri seorang yang mukanya semu merah, tudung rumputnya yang lebar, yang disebut tudung ma lian po, tergantung dipunggungnya, tetapi dia mengenakan thungsha biru dengan sabuk putih dan sepatu hijau, hingga dia tak mirip nya dengan satu nelayan, dia lebih menyerupai satu guru sekolah. Mendampingi dia ada empat pemuda yang roman nya gagah, masing2 bersenjatakan golok pek soei too. Benar dia adalah Kan In Tong, si Nelayan Soe Soei.

Dari pihak pencegat, yang menjadi kepala, perahunya sudah dimajukan, untuk bicara kepada pemimpin rombongan. Pihak ini rupanya telah pakai aturan, karena bentrokan tidak terjadi. Rupanya pihak pencegat tidak berani mencegah, dia hanya melepaskan burung dara, yang terbang kebukit ditempat yang tak terlihat tegap, dari mana segera muncul burung pembawa balasan kabar, atas mana. Pihak Hong Bwee Pang undurkan diri, tidak merintangi barisan perahu nelayan itu.

Eng Jiauw Ong semua berlega hati, lantas mereka turun gunung.

Sementara itu dari rumah nda datang orang menyampaikan kabar bahwa dari pihak See Gak Pay ada pembawa surat untuk ketua Hoay Yang Pay, surat mana, dia bawa sekalian. Eng Jiauw Ong beramai baca surat itu. Yang datang dari To Cie Taysoe, bunyinya menganjurkan agar mereka ini jangan ayal pula, mesti lekas berkunjung ke Cap jie Lian hoan ouw. Telah didapat keterangan lebih jelas bahwa benar Boe Wie Yang telah undang banyak kawan Rimba Hijau, yang liehay semuanya, diantara siapa ada dua jago kang ouw yang liehay sekali, tapi dua orang ini masih belum sampai, apabila mereka keburu datang, sungguh sulit akan hadapi mereka itu. Jadi ada lebih baik Hong Bwee Pang digempur sebelum bantuan itu tiba. Karena itu, Kan In Tong diperintah lekas berangkat untuk membantu.

“Mana utusan See Gak Pay itu?” Eng Jiauw Ong tanya. “Dia tengah ditemani oleh Hee houw Eng.”

Karena ini, orang perlekas tindakan mereka, hingga tidak lama sampailah mereka dirumah Hee Hong Lim, akan lantas bertemu kepada si pembawa surat, seorang umur kurang lebih tigapuluh tahun, romannya cakap dan gagah, tadinya ia sedang duduk, melihat rombongan Eng Jiauw Ong, dia lantas bangkit. Hee houw Eng lantas perkenalkan tetamu itu, yalan See Soei Hie kee Kan In Tong, si Nelayan Soe Soei.

Kedua pihak saling memberi hormat, tetapi pihak tuan rumah tidak duga nelayan itu beroman demikian, tadinya mereka sangka akan menemui satu nelayan asli yang sederhana saja.

“Teecoe adalah Kan In Tong, yang dengan kemurahan hatinya To Cie Taysoe telah diterima bernaung dibawahannya,” demikian tetamu itu. “Inilah ada untung baik bagiku. Taysoe katakan, teecoe berjodoh dengannya, kalau tidak, Taysoe tak akan terima murid orang biasa, sedang murid pertapaannya sendiri tak sembarangan diwariskan pelajaran ilmu silat. Selama lima tahun teecoe diasingkan disebuah gubuk dibelakang kuil Tiat Hoed Sie di Hong tek kwan, belum pernah teecoe menginjak kuil, sampai saatnya teecoe djinkan keluar dari gubuk baharu teecoe dibawa kekuil untuk diperkenalkan kepada semua soeheng. Inilah sebabnya, tidak ada orang kang ouw yang teecoe kenal, tidak juga mereka dari Pek Tiok Am di Siang Thian Tee, See Gak San. Dengan lantas teecoe dititahkan bawa empat puluh buah perahu nelayanku kemari, katanya untuk membantu kepada Hoay Yang dan See Gak Pay, untuk sekalian mencari pengalaman. Sekarang teecoe mohon Ong Soepe perkenalkan aku kepada semua soepe dan soe siok disini, agar aku tidak sampai berlaku tidak hormat.”

LXXXVII

Eng Dauw Ong kagum akan sikap hormat dari orang itu.

“Kan Jie tee, jangan kau panggil soepe kepadaku,” ia menampik. “Aku dan gurumu ada sahabat kekal, maka marilah kita jadi kakak beradik saja. Percayalah, bukannya aku seejie.”

Kan In Tong tetap merendahkan diri, katanya ia masih muda dan baharu keluar dari perguruan, dari itu ia inginkan persahabatan dan pengajaran dari orang2 yang terlebih tua. Lalu ia ulangi permintaannya akan diajar kenal kepada semua orang yang hadir. Mendengar perkataan dan melihat sikapnya orang, semua kawannya Eng Jiauw Ong tidak berayal untuk ajar kenal kedua pihak, sesudah itu ia silahkan In Tong berduduk pula akan minum teh. Sembari bicara, ia tanya kalau kalau To Cie Taysoe ada punya pesan lain.

“Soehoe pesan, biar bagaimana, kita mesti tetap gunai perahu kita ini,” Kan In Tong menjawab. “Soehoe ambil sikap demikian karena soehoe tahu, orang2 Hong Bwee Pang tercampur aduk, tak dapat kita percaya habis kepada mereka, sedang permusuhan hebat sekali. Umpama pihak sana memaksa, kita tidak dapat berbuat lain daripada segera melayani nya.”

“Boe Wie Yang hendak menjagoi, semangatnya itu harus dikagumi, nyatakan Ciong Gam, “melainkan sayang ia keras kepala, ia tak sudi beri ketika pada lain golongan. Sekarang mari kita kumpulkan orang kita, kita pilih hari untuk memasuki Cap jie Lian hoan ouw. Kepada Yan tiauw Siang Hiap kita mesti minta supaya diatur agar semua angkatan tua, yang hendak bantu kita, yang bekertiya diam2 pun diberitakan.”

Eng Jiauw Ong setujutu. Maka ia lantas bertindak, antara nya kabar segera dikirim kekuil Kouw Sioe An di Pek In Hong. Hanya, mengenai Yan tiauw Siang Hiap, ia belum tahu dimana adanya mereka itu.

“Kemana kita bisa kirim kabar?” Tanya Lioe Tong. “Kita kirim kabar saja ke Tat Ho Sie, kesana mereka

suka pergi,” sahut Eng Jiauw Ong. Siapa telah tetapkan hari

keberangkatan lagi tiga hari.

Setelah itu Eng Jiauw Ong ajak soeteenya, Khoe Beng dan Hauw Tay pergi ketepi sungai, akan tilik empat puluh perahu nelayan, yang diberi nama Hoei Cioe Hie coan si Garuda Terbang.

Kan In Tong antar mereka ini akan hunjukkan perahu2nya itu.

Eng Jiauw Ong tidak tahu sebabnya kenapa Kan In Tong datang cepat luar biasa, waktu ia tanyakan nelayan itu, nyata muridnya To Cie Tay soe ini telah dapat tahu jalan air rahasia yang didapati Kang Kiat. Jadi pasukan perahu ini tidak ambil jalan Ngo liong peng, hingga kedatangannya tidak siang2 diketahui sekalipun oleh penjaga2 pihak Hoay Yang Pay sendiri. Hal inipun menjadi satu peringatan bagi Eng Jiauw Ong semua untuk lain kali berlaku terlebih hati2. Maka ia lantas minta perhatian semua kawannya untuk waspada, terutama didalam Cap jie Lin hoan ouw nanti agar mereka jangan tinggi hati.

Untuk membuktikan keterangan nya, Kan In Tong ajak empat jago itu pergi kemulut jalan rahasia dengan menaiki perahu yang laju sekali, hingga tidak lama mereka sampai didekat tempat kediamannya Kang Kiat.

Semua perahu dari Soe Soei tidak dapat gangguan dari perahu perahu nelayan setempat, akan tetapi mereka ini nampaknya seperti memasang mata, rupanya itu adalah penilikan secara diam2.

Kemudian dengan perahu kecil itu Kan In Tong hampiri perahu besarnya, untuk ajaktempat ketua itu menaikinya. Dua pemimpin, yang jadi wakilnya In Tong, menyambut dengan hormat pada empat tetamu itu. Disini In Tong tuturkan kepada Eng Jiauw Ong perihal sekalian anak buahnya, yang Terdiri seratus lebih anak muda, yang sudah terdidik baik, hingga latihan mereka sebanding dengan latihan serdadu2 air negara.

Eng Jiauw Ong dan Khoe Beng berikan pujian mereka.

Kan In Tong panggil dua orangnya, akan menanyakan ada gerakan apa dipihak Hong Bwee Pang. Memang ia awasi pihak musuh itu, untuk berjaga2. Ia peroleh keterangan, bahwa Hong Bwee Pang beruntun2 melepas burung dara, belasan ekor, entah apa maksudnya, kemudian ada keluar enam rombongan perahu cepat, setiap rombongan terdiri dari empat buah perahu, dan setiap perahu ada empat anak buahnya, semua perahu itu ditujukan ke gumbolan gelagah ditimur dan barat dan menghilang kedalam rupanya disana ada tempat sembunyi mereka. Sampai itu waktu, dimuka sungai masih ada enam buah perahu yang berlainan dan beberapa perahu kecil agaknya memasang mata terhadap mereka. Rupanya itu ada perahu perahu nelayan asal Tong peng pa.

“Kita tidak puas dengan sikap mereka itu, maka kita telah beritahukan mereka, kecewa Hong Bwee Pang berkenamaan tetapi sikapnya itu seperti cara lakunya bangsa siauwjin,” demikian ke dua anak buah itu tutup keterangannya.

“Biarlah mereka bawa caranya sendiri,” kata In Tong, yang teruskan kata2nya pada Eng Jiauw Ong “Terang sudah disini ada banyak perahunya Hong Bwee Pang, tetapi kita tak usah melayaninya, kita lihat saja, apa mereka hendak perbuat.”

“Asal kita waspada, kita dapat menghadapi akal bulus mereka,” ban Lioe Tong peringatkan. “Kita harus jaga supaya mereka tidak menyerang dengan api untuk membakar habis perahu2 kita.”

Eng Jiauw Ong bersenyum. “Kau benar, soetee,” kata ia. “Begitu kita berbuat kepada lain orang, kita mesti jaga

kalau2 lain orang balas kita secara begitu juga.”

Kan In Tong mengawasi jago Hoay Yang Pay itu, ia tidak mengerti tetapa tidak berani menanyakan.

“Kan Soehoe, kau tentu belum mengerti,” Too Liong bilang. “Sebenarnya kami pernah bakar perahu musuh, dari itu, sekarang kita mesti jaga. Agar dia jangan membokong kita.”

“Itu benar,” kata In Tong, yang baharu mengarti. “Memang kita mesti jaga diri.” Sementara itu, suasana telah menjadi genting. Pihak Hong Bwee Pang sudah larang perahu2 berlabuh dimuka Gan Tong San, hingga perhubungan jadi mandek.

Tak lama kemudian Eng Jiauw Ong ajak rombongannya pulang. Kan In Tong tidak turut, ia hendak berdiam didalam pasukan airnya itu.

Sesampainya dirumah Hee Hong Lim, Eng Jiauw kasi perintah untuk mengadakan rapat sebentar malam sedang Soe touw Kiam ditugaskan mencatat semua orang, yang terdiri dari Eng Jiauw Ong, Ban Lioe Tong, Ciong Gam, Khoe Beng, Hauw Tay, Wie Sioe Bin, Kim Jiang, Chio In Po, Louw Kian Tong, Ke Siauw Coan, Teng Kiam, Lioe Hong Coen, Kee Giok Tong, Kim Hoo, Soen Giok Koen, Soen Giok Kong, Soe ma Sioe Ciang, Ngo Cong Gie, Soe touw Kiam, Coh Heng, Ciok Bin Ciam, Kam Tiong, Kam Hauw, Kee Pin, Hee houw Eng, Phang Yok Boen, Phang Y ok Sioe, Ciok Liong jing”, dan Hoa Tn Hong. Padu ini dimasukkan Na Pek dan Na Hoo berikut Kang Kiat begitupun Coe In Am coe serta lima muridnya, Sioe Seng, Sioe Sian, Sioe Yan, Sioe Hoei dan Sioe Beng ialah Hong Bwee. Jumlah semua ada tiga puluh delapan orang.

Malamnya, sehabis bersantap, Eng Jiauw Ong periksa daftar nama2 itu, untuk mengatur dan berikan pesanan. Yan tiauw Siang Hiap berikut Kang Kiat dan rombongannya Coe In Am coe tidak hadir, mereka diantap pada caranya sendiri. Kan In Tong pun akan urus anak buahnya sendiri, tugasnya adalah untuk antar masuk rombongannya kedalam Cap jie Lian hoan ouw.

Lioe Tong heran, entah bagaimana dengan Yan tiauw Siang Hiap, Tiat So Tojin dan To Cie Taysoe, tapi Ciong Gam bilang, mereka itu tentu tahu sendiri bagaimana harus bertindak, jadi mereka itu tak usah dipikiri, malah mungkin mereka sudah masuk terlebih dahulu. Eng Jiauw Ong anggap, Cio hoed tong tidak bisa ditinggal kosong, perlu sedikitnya tiga orang berdiam disitu, akan tetapi semua orang ingin turut, tidak terkecuali anak2 muda, malah anak2 muda ini lebih gembira dan bernapsu.

Melihat demikian, Hee Hong Lim lalu berkata bahwa ia sendiripun sudah cukup.

Eng Jiauw Ong terima baik tawaran ini, untuk itu ia menghaturkan terima kasih.

Kemudian ditetapkan, dihari ke dua, semua akan naik koperahu, untuk membiasakan diri.

Ban Lioe Tong lalu tulis karcis nama, untuk kunjungan kepada musuh.

Sehabis rapat, Eng Jiauw Ong tugaskan orang2 bcrjaga didaerah Ngo liong peng dan sekitarnya, untuk cegah gangguan mendadak. Tapi malam itu lewat dengan tenang.

Keesoknya pagi, Kang Kiat muncul dengan air muka terang sekali, tanda hatinya gembira, begitu menemui Eng Jiauw Ong, ia memberi hormat seraya menghaturkan terima kasih. Ketika ditanya, kenapa dia nampaknya girang, dengan gembira dia beri tahu bahwa Na Pek sudah antarkan ibunya, sebab ini ada penting, untuk jaga keselamatan nya ibu itu, karena permusuhan hebat sekali dan tak dapat diduga tindakan apa Hong Bwee Pang bakal ambil terhadapnya. Ia kasi tahu juga, yang lindungi, ibunya adalah Cia Piauwsoe dari Seng Kie Piauw Tiam dari Hong yang hoe, sebab kebetulan sekali piauwsoe itu menyambangi soe couwnya.

“Oleh karena ini, sekarang hatiku tak berkuatir suatu apa akan ikut pergi ke Cap jie Loan hoan ouw,” Kang Kiat nyatakan akhirnya. Eng Jiauw Ong pun girang mendengar keterangan cucu murid itu.

Khoe Beng sementara itu menitahkan untuk tarik pulang semua pengawas, untuk siap pergi keparahu. Untuk itu, nama semua orang dibacakan. Karena ini, malam itu penjagaan dilepaskan. Besoknya pagi2 orang telah siap, terutama Kan In Tong dikabarkan bahwa rombongan mereka akan segera datang, tapi sebelum mereka pamitan dari Hee Hong Lim, datang laporan tiba Coe In Am coe dari Kouw Sioe Am.

Eng Jiauw Ong segera minta Lioe Tong bersama Khoe Beng dan Ciong Gam sambut ketua dari See Gak Pay itu, yang datang bersama lima muridnya, yang semua memakai juba abu2, dang rambutnya Hong Bwee di bungkus dengan pelangi hijau, kelihatan alim sekali.

Kemudian Eng Jiauw Ong keluar menyambut tetamu itu, sembari memberi hormat pada Coe in Amcoe, ia kata “Am coe, selama ini kau pasti bercapai lelah. Aku malu, aku menyesal sudah tak mampu menolongi murid mu…”

“Jangan seejie, soeh eng, Coe In kata seraya rangkap kedua tangannya. “Anak itu mememang tertakdir mesti menderita, tidak apa dia peroleh pengalaman “

Too Liong silahkan Coe In berenam masuk untuk duduk di dalam, hingga mereka bertemu kepada semua anggauta rombongan.

Coe In Amcoe mengatakan bahwa ia datang untuk persatukan diri, bahwa ini ada saat rubuh atau bangunnya Hoay Yang Pay dan See Gak Pay.

“Memang ini ada saat terakhir untuk kaum kita,” nyatakan Eng lauw Ong, yang terus utarakan syukurnya bahwa To Cie Taysoe telah membantu banyak, anteranya dengan datangkan pasukan air dari Soe Soei.

“Loocianpwee To Cie Taysoe beringatan tajam, pin nie sendiri sampai lupai Kan Soetee,” Coe In akui.

Eng Jiauw Ong tanya, apa Coe In siap untuk segera pergi keperahu.

Coe In Am coe mengangguk. “Marilah,” ia mengajak.

Segera orang semua bangkit untuk berangkat kesungai dimana sudah siap delapan buah perahu dengan Kan In Tong menyambut ditepi.

“Soetee, adakah kau masih kenalkan pin nie?” Tanya Coe In sambil mendekati beberapa tindak pada kepala nelayan itu, yang sekarang jadi Hoei Cioe Coen coe, pemimipn pasukan perahu Garuda Terbang.

Kan In Tong melengak, tapi sebentaran saja.

“Soe cie toh Coe In Am coe, ketua See Gak Pay?” Ia menegaskan.

“Kau masih ingat, soetee, benarlah aku.”

“Ah, sepuluh tahun kita telah berpisah sejak di Hong tek kwan,” kata coencoe itu. “Apakah Am coe tidak beserta guruku?”

“Ya, sepuluh tahun bagaikan air mengalir,” kata pendeta wanita itu. “Soetee, aku girang mendengar kau dipercayai Taysoe untuk mengepalai usaha perikanan di Soe Soei dimana kau peroleh kemajuan, hingga kau telah bantu angkat nama See Gak Pay.” Murid2nya Coe In maju untuk kasi hormat kepada soe siok itu, nama siapa mereka pernah dengar tapi orangnya baharu sekarang mereka dapat lihat.

Kemudian semua orang dipecah naik kedelapan perahu Garuda akan saksikan semua perahu lainnya, yang berbaris rapi, yang dirantai menyambung satu dengan lain, disetiap perahu telah naikkan bendera dengan huruf2 “Hoay siang Ceng Hong Po.” Inipun adalah tanda bahwa Hong Bwee Pang tak boleh main sembunyi sembunyi lagi terhadap musuh undangannya.

Untuk Coe In Am coe dan murid2 telah disediakan sebuah perahu besar, selagi perahu berlabuh, anak buahnya ditiadakan, untuk tidak mengganggu ketenteramannya sekalian orang suci itu.

Hari itu orang beristirahat, tapi diwaktunya orang akan bersantap sore, ada sebuah perahu asing mendatangi, hingga perahu itu diperintahkan berhenti untuk tidak datang terlalu dekat, atau dia nanti diserang.

“Jangan galak, kami ada dari Cap jie Lian hoan ouw,” kata seorang dari perahu asing itu. “Kami datang untuk sambut semua loosoehoe. Disini ada surat untuk Pocoe, agar dia lekas membalas kabar.”

Dua saudara Phang, Yok Boen dan Yok Sioe, adalah yang mencegat. Karena mereka belum tahu, orang macam apakah utusan Hong Bwee Pang itu, mereka kirim sebuah perahu kecil untuk dekati padanya.

“Inilah surat untuk Po coe, lekas serahkan dan minta jawabannya, kami menantikan,” kata utusan Hong Bwee Pang, seorang berumur kira2 tiga puluh tahun.

Anak buah dua saudara Phang sambuti surat itu. Dilain pihak, diam2 perahu asing  itu telah di awasi oleh pihak Garuda Terbang. Surat itu dibawa langsung keperahu besar, kepada Eng Jiauw Ong, Nyata itu ada suratnya Boe Wio Yang, yang menyatakan tahu kedatangan ketua Hoay Yang Pay, hanya karena Hong Bwen Pang belum dikabarkan bila kunjungan bakal dilakukan, ketua itu jadi kirim suratnya ini untuk mewartakan bahwa ia telah mengirim satu perjamuan guna sambut tetamunya. Bahasa surat itu manis budi sekali.

Setelah membaca habis, Eng Jiauw Ong perlihatkan surat itu pada Coe In Am coe, Khoe Ben dan Ban Lioe Tong, pada yan lain2 juga.

“Lihat, bagaimana liciknya Boe Wie Yang,” kata Ong Too Liong. “Bagaimana sekarang sikap kita?”

“Kita terima saja, supaya Hong Bwee Pang tidak anggap kita cupat pemandangan,” Lioe Tong menyarankan. “Bagaimana pikiran soeheng dan Am coe?”

“Baik kita terima, walaupun pada barang makanannya ada racunnya,” jawab Coe In Am coe, yang sebal untuk kelicinannya Boe Wie Yang.

Selama pihak Hoay Yang Pay datang tanpa pemberitaan, Thian lam It Souw sudah atur orang2 nya untuk merintangi, tetapi sekarang, sesudah dapat tahu datangnya barisan perahu dari Soe Soei, ketua Hong Bwee Pang ini tidak bisa diam2 saja, maka itu mendahului kirim suratnya berikut hidangan pesta, selaku sikap menghormat dari tuan rumah.

LXXXVIII

“Ong Soeheng, mari kita terima menghadapnya utusan Boe Wie Yang itu. Kata pula Coe In Am coe, yang menambahkan. Kita haturkan terima kasih padanya sekalian minta dia menyampaikan balasan kabar kita pada ketuanya.”

Khoe Beng dan Ciong Gam udah lantas nyatakan akur, begitupun Ban Lioe Tong setuju, dari itu Eng Jiauw Ong lantas titahkan ijinkan perahu Hong Bwee Pang maju terus, akan persilahkan utusannya menemui mereka, sedang barang antaran ia harus diterima. Barang hidangan itu adalah arak serta dua belas rupa barang makanan.

Begitulah utusan Hong Bwee Pang itu menghadap Eng Jiauw Ong, siapa lantas haturkan terima kasihnya, terus ia berikan jawabannya untuk Boe Wie Yang. Iapun kasi presen dua puluh tail pada utusan ini, yang disilahkan lekas balik untuk menyampaikan kabar pada ketuanya. Kemudian, seperginya utusan itu, Eng Jiauw Ong benar2 ajak semua saudaranya bersantap, begitupun sekalian anak muda. Di lain pihak, penjagaan tidak diabaikan. Kang Kiat ditugaskan meronda bersama dua puluh anak buah, guna berjaga2 kalau2 Hong Bwee Pang kirim setan2 air nya untuk bokong perahu2 mereka. Tugas ini digilir setiap jam.

Mulai jam tiga, giliran jatuh pada Kim Jiang dan Wie Sioe Bin. Belum lama, Wie Sioe Bin lihat satu bayangan melesat di gili2 kiri, terus tempat keperahu besar ditengah. Gerakannya bayangan itu sangat enteng, sampai perahu tak bergoyang sedikit juga. Ia terkejut, ia bisiki Kim Jiang. Keduanya berkuatir, justeru giliran mereka, sekarang ada tetamu berkunjung. Tapi, selama belum diketahui siapa bayangan itu, mereka tidak berani sembrono, untuk tidak bikin kaget pihaknya.

Dengan hati2 tetapi gesit, Sioe Bin lantas susul bayangan itu, setelah datang dekat, ia dapati bayangan itu ada kate dan kecil, ia tidak tempat untuk menanya lagi, ia segera menyerang mukanya orang itu. Orang kate dan kecil itu cuma egoskan sedikit kepalanya, ia luput dari serangan. Tapi Sioe Bin tidak mau mengerti, sambil tarik pulang tangan kanannya, tangan kirinya membarengi menyamber ke iga kanan orang itu. Ia percaya, sekali ini tak akan gagal lagi, tapi untuk kekagumannya, orang kate kecil itu lompat melejit. Karena ini, ia segera insyaf bahwa bayangan itu licin sekali. Ia jadi penasaran, maka ia maju akan menyusul.

Tiba2 bayangan itu perdengar kan suaranya “Eh, Wie Soehoe, tanganmu liehay sekali, iga kananku si orang she Na tak sanggup menahan itu….. Sudahlah, soehoe!”

Berbareng dengan, itu disam ping perahu besar, muncul satu orang dari muka air, sampai air nya muncrat naik, lantas orang itu, yang bertubuh kecil dan kurus, tempat naik keatas perahu, gerakannya sangat gesit. Tapi sekarang bisa terlihat nyata, dia adalah Kang Kiat, yang berpakaian baju mandi.

“Wie Soesiok, jangan turun tangan,” kata Kang Kiat, yeng lihat orang she Wie itu hendak ulangi serangannya. “Inilah Na Soecouw.”

Sioe Bin terkejut.

“Oh, Na Toa hiap?” Ia menegasi. “Loocianpwee, maafkan aku,” ia lantas mohon.

Suara mereka sementara itu telah menyadarkan orang didalam perahu, Lioe Tong sudah lantas muncul, ia girang bukan main akan kenali Twie in chioe Na Pek, lekas2 ia menyambut. Untuk terus mengundang masuk.

Kang Kiat loloskan pakaian luarnya, ia ikut masuk.

Kim Jiang dan Wie Sioe Bin pun pergi akan melanjutkan perondaan mereka Eng Jiauw Ong bersama Kim too souw Khoe Beng dan Tiong cioe Kiam kek Ciong Gam sedang bersamedhi, mereka pun dengar suara diluar itu, mendengar disebutnya Na Toa hiap, ketua Hoay Yang Pay itu segera berbangkit dan bertindak keluar untuk menyambut. Khoe Beng dan Ciong Gam turut ketua ini.

Demikianlah Na Pek disambut orang banyak, tapi melihat Khoe Beng, Bang soeheng, ia mendahului maju mendekati untuk beri hormatnya. Memang dalam kalangannya, Khoe Beng adalah toa soeheng, saudara seperguruan yang tertua.

“Soeheng, beberapa tahun kita telah berpisah, aku jadi rindu sekali kepadamu,” nyatakan Eng Jiauw Ong. “Aku girang sekali dengan kedatangan soeheng ini. Aku sedang hadapi Hong Bwee Pang, untuk itu, walaupun terbinasa, aku tidak menyesal, tetapi ini mengenai Hoay Yang Pay, inilah lain. Tak puas aku bila aku mesti menyebabkan rubuhnya kaum kita. Maka itu, dengan terpaksa aku mengirimkan undangan kepada semua saudara. Soeheng, aku bersyukur sekali atas kedatanganmu ini. Didalam urusan kita ini, pihak See Gak Pay pun telah berikan bantuannya. Soeheng, aku minta segala bantuanmu.”

Selagi Eng Jiauw Ong berkata begitu, Kan In Tong datang, buat terus minta ketua Hoay Yang Pay ini ajar ia kenal dengan tetua Yan tiauw Siang Hiap, yang ia kagumi. Ia heran akan saksikan jago itu bertubuh kate dan kecil, kumisnya seperti janggut kambing gunung, tetapi yang menyolok mata adalah sepasang matanya yang bersinar tajam luar biasa.

Na Pek pernah dengar nama nya nelayan dari Soe Soetu. Maka iapun girang dengan pertemuan ini, ia suka sekali berkenalan.

Kemudian semua orang mengambil tempat duduk. Karena terus bicara kepada Kan In Tong, Eng Jiauw Ong ulangi kata2nya kepada Twie in chioe untuk mohon bantuannya, yang ia sangat harapkan. Ia hunjuk pula syukurnya atas kedatangannya soeheng ini.

Na Pek tertawa gelak2.

“Too Liong Soetee!” Berkata ia. “Baharu beberapa tahun, nyata kecuali kepandaianmu telah maju pesat, pengetahuanmu pun bertambah, laga lagumu mirip dengan satu sasterawan! Sebalik nya dengan aku, si orang kasar, kepalaku rasanya sakit mendengar kata2mu yang teratur itu! Soetee, terhadap seorang kasar, kau bicara saja secara langsung!”

Orang tertawa mendengar perkatannya jago ini yang jenaka.

“Na Soeheng, kenapa kau datang sendiri saja?” Tanya Lioe Tong. “Mana Jie hiap? Apa iapun telah datang ke Gan Tong San ini?”

Kembali Na Pek tertawa.

“Kami berdua bekerja masing masing!” Dia jawab. “Dia datang atau tidak, bagiku tak ada sangkutannya, mana aku punyakan banyak tempo senggang akan perdulikan dia? Tapi Thian lim It Souw Boe Wie Yang, Liong Tauw Pang coe dari Hong Bwee Pang, berlaku hormat, dia mengantar barang hidangan, jikalau aku tidak terima kebaikan budi itu, nanti dia katakan aku tidak tahu aturan. Aku tidak membawa banyak bekal dari Hoay siang, akan tetapi toh aku berniat membalas kebaikannya itu, aku sudah sediakan dua pucuk surat untuk menghaturkan terima kasih. Aku tidak sampai memasuki Lwee Sam Tong, baharu masuk di Cap jie Lian hoan ouw saja, tapi itu sama saja, aku telah sampaikan Cong to, pusatnya, untuk sampaikan karcis nama. Sekarang kita telah terima antaran barang hidangannya, aku tidak niat ganggu dia lagi. Mari keluarkan itu, bibirku memang masih kering….”

Orang semua bersenyum, kecuali mereka yang belum kenal tabeatnya jago ini, yang omongannya kebanyakan tidak keruan jurusannya. Dua piauwsoe dari Kanglam, yalah Sam cay kiam Soe ma Sioe Ciang dan It tauw Kan pang Tin Kanglam Ngo Cong Gie, sudah lihat sendiri liehaynya Yan tiauw Siang Hiap, yang telah permainkan Cin tiong Sam Niauw, mereka dapat mengerti tabeatnya ini. Dari kata2nya Twie in chioe Ini mereka tahu, rupanya baharu saja jago ini masuk dan keluar dengan merdeka dari Cap jie Lian hoan ouw yang kuat penjagaannya, untuk sampaikan karcis namanya.

“Soeheng,” Lalu Eng Jiauw Ong kata pula, “kita sekarang hendak memasuki Cap jie Lian hoan ouw untuk memenuhi undangan, tolong kau berikan pikiranmu, pengajaranmu kepada kami. Jangan kau sungkan2!”

Na Pek tidak lantas menjawab, ia hanya melihat kepada semua orang.

“Aku dengar Loo piauwsoe Siang ciang Tin Kwansee Sin Wie Pang beserta muridnya, Hoei. Thian Giok Niauw Hang Lim telah datang ke Lek Tiok Tong, kenapa sekarang aku tidak tampak mereka disini?” Dia tanya.

“Dia benar telah datang pada kami tetapi dia sekarang tidak ada disini,” sahut Eng Jiauw Ong. “Ber sama2 muridnya, Sin Loo piauwsoe sedang bekerja untuk mendamaikan kita. Dia ada sangat jiatsim.”

Eng Jiauw Ong lalu jelaskan bagaimana Sin Wie Pang tugaskan diri jadi perantara. Ia juga ceritakan hal kedatangannya Thian pauw chioe Bin Tie ke Ceng hong po, hingga terbit salah mengerti antara Sin Wie Pang dengan Cie Too Hoo, setelah mana, piauwsoe itu pergi ke Cap jie Lian hoan ouw. Dia memang ada saudara seperguruan dari Boe Wie Yang.

“Kami tak dapat cegah kehendaknya Sin Loo piauwsoe itu,” Eng Jiauw Ong tambahkan keterangannya. “Sejak itu, kami tidak dengar suatu apa lagi mengenai dia. Apakah soeheng ada dengar suatu apa tentang Loo piauwsoe itu?”

Na Pek tergerak hati mendengar keterangannya soetee itu. Walaupun Sin Wie Pang ada jadi saudara dalam perguruan dengan Boe Wie Yang, keadaannya memang mencurigai, ia kuatir Wie Yang turun tangan terhadap saudaranya itu. Wie Pang pun ada menjadi sahabatnya juga, karena kejujurannya piauwsoe itu. Dalam hal ini, Twie in chioe sesali Cie Too Hoo, yang sikapnya kurang jantan, tapi karena Too Hoo tidak ada disitu, ia tak dapat menegornya.

“Aku percaya Sin Loo piauw soe tidak dalam bahaya jiwa,” kata ia kepada Ban Lioe Tong, “tetapi karena kedudukannya ini, aku kuatir dia. Tak akan dikasi keluar pula dari Cap jie Lian hoan ouw. Untuk itu Boe Wie Yang terlalu licin. Atau mungkin dia sekarang dalam tahanan halus.”

Mendengar ini, Kam Tiong dan Kam Hauw jengah sendirinya. Merekalah yang mulai mencurigai Sin Wie Pang. Siapa tahu, sekalian jago tua ini, dia ada taruh kepercayaan besar terhadap piauwsoe itu. Mereka merasa lebih tak enak, sebab waktu itu juga Eng Jiauw Ong mengawasi mereka. Mereka malu sendirinya.

Eng Jiauw Ong lihat sikapnya dua anak muda itu, ia insyaf mereka menyesal, ia diam saja. Kalau ia banyak omong, sedikit nya dua saudara Kam itu bakal ditegur hebat oleh Twie in chioe yang tabeatnya luar biasa itu. Akan tetapi Na Pek benar2 liehay, ketika ia menoleh kesekitarnya, segera ia dapati roman luar baisa dari dua saudara itu, matanya lantas bersinar.

“Kita orang kang ouw, terutama kaum Hoay Yang Pay, mesti berlaku jujur dan terhormat,” kata jago tua ini, “teristimewa disebabkan kejujurannya ketua kita, kita telah punyakan nama dan kedudukan baik, membuat lain orang hormati kita. Karena ini, kita mesti semakin jaga diri, jangan kita banyak omong hingga menyebabkan terbitnya hal yang tidak2. Jikalau kita bicara sembarangan, untuk kita tidak berarti, akan tetapi bagi lain orang, barangkali itu ada penting ia. Ini sebabnya kenapa aku paling jemu terhadap mereka yang suka bicara tidak keruan. Maka itu, aku sangat harap anggauta Hoay Yang Tay jangan memiliki tabeat demikian, siapa kedapatan main gila, dia tak nanti dapat ampun lagi!”

Kam Tiong dan Kam Hauw tunduk, takut mereka akan awasi jago tua itu.

Ban Lioe Tong kuatir Twie in chioe nanti marah keterusan, ia lekas menyimpangkan pembicaraan.

“Soeheng, apakah Hok Mo Too jin dari Kioe Leng Kiong ketahui urusan kita ini dengan Hong Bwee Pang?” Ia tanya. “Dia ada seorang suci tetapi diapun ada satu hiapkek.”

“Oh, itu toojin hidung kerbau!” Berkata Na Pek. Dia adalah sahabat kita, kepadanya aku telah diterangkan segala apa. Dia memang tak dapat peluk tangan, untuk menonton saja dari pinggiran. Tapi dalam hal kita ini, dia punya sikap sendiri. Dia ingin tunaikan, kewajibannya selaku sahabat, karena juga dengan Boe Wie Yang dia kenal baik, dia tak mau tanam bibit permusuhan dengan ketua Hong Bwee Pang itu. Walaupun dia tidak menjelaskannya kepadaku, namun aku ketahui bahwa dia berniat akuri kita kedua pihak sebelumnya kita bertempur. Aku tidak utarakan terkaan ku ini kepadanya. Aku tidak hendak minta bantuannya toojin hidung kerbau itu, aku tak perduli dia suka membantu atau tidak, hanya lihat saja dibelakang hari, kalau perlu, aku nanti bikin perhitungan dengannya!”

“Imam itu utamakan pelajarannya, memang sudah sejak lama ia senantiasa jauhkan diri dari keruwetan kaum kang ouw,” Lioe Tong bilang. “Pada sepuluh tahun yang lampau, Hok Mo Toojin telah malang melintang dengan pedangnya ditujuh propinsi Selatan, tidak ada orang yang tidak menyingkir dari padanya, dimana dia sampai.” Kaum Rimba Hijau pasti jadi kuncup Ya, selama berdiam di Kioe Leng Kiong, dia jadi seperti orang yang lain, bukan lagi. Hok Mo Toojin yang dulu… Tapi aku percaya, mesti dia datang ke Cap jie Lian hoan ouw, karena loocianpwee Tiat So Toojin adalah sahabat karibnya.”

Kan In Tong turut bicara. Ia utarakan kegirangannya dapat bertemu dengan. Twie in chioe, yang ia pernah katakan orang yang paling dikaguminya, yang namanya besar ia dengar selama ia kepalai barisan nelayannya. Ia beritahukan bahwa ia diam di Soe Soei menurut tugas yang diberikan To Cie Taysoe, gurunya, untuk lindungi kaum nelayan dari gangguannya kawanan bajak. Dikatakannya, iapun girang ditugaskan untuk berbuat apa2 guna Hoay Yang Pay

“Aku harap Toa hiap nanti berikan pengajaran apa kepadaku,” katanya akhirnya.

LXXXIX

“Kan Loosoe, kau terlalu memuji aku,” kata Na Pek seraya awasi pemimpin nelayan dari See Soetu. “Kau bikin aku malu. Apakah kemampuanku? Kita dari golongan Rimba Persilatan, baik secara kaum maupun secara perseorangan, satu kali kita bersahabat, kita mesti usahakan agar kehinaan dan kehormatan kita menjadi kehinaan dan kehormatan bersama, umpama orang2 yang naik dalam sebuah perahu, sama saja nasibnya, maka dimana bantuan dibutuhkan, kita mesti berikan. Kan Loosoe, asal kau hargai aku, pasti aku Na Pek akan suka bersahabat denganmu. Setelah selesai urusan Cap jie Lian hoan ouw ini, aku nanti hendak berkunjung ke Soe Soei, itu waktu, harap kau tidak sia2kan aku. Aku paling tidak punya guna, kesukaanku adalah barang cair didalam cawan, maka sukalah kau sediakan aku banyak2! Aku tahu, Soe soei mengeluarkan arak yang jempol. Disana aku akan berdiam untuk beberapa hari.”

Bukan main girangnya Kan In Tong akan dengar janji itu, ia memang paling gemar bergaul, terutama ia paling suka orang2 yang polos, yang utarakan segala apa tanpa malu palsu. Dan Na Pek ini, si Tangan Kilat, adalah macam orang yang ia paling hargai itu.

“Baiklah, Toa hiap, aku nanti siap sedia untuk memenuhi pengharapanmu!” Katanya.

Demikianlah mereka bercakap2, sampai jam lima, setelah mana, semua orang siap untuk berangkat. Sehabis bersantap pagi, semua lau menantikan perintah.

Didalam perahunya sendiri, Coe In Am coe dan lima muridnya juga sudah siap, ia pergi keperahunya Eng Jiauw Ong hingga disitu ia jadi bertemu dengan Tetua dari Yan tiauw Siang Hiap. Keduanya memang kenal satu sama lain, pertemuan ini ada menggirangkan mereka. Kemudian Amcoe tanya Eng Jiauw Ong, jam berapa mereka akan mulai berangkat.

Eng Jiauw Ong tidak lantas menjawab, lebih dulu ia tanya Khoe Beng dan Na Pek, kedua soehengnya itu. “Ong Soetee, jangan kau see jie,” Twie in chioe bilang. “Urusan kita ini sangat penting, kau menjadi ketua, dalam segala hal kau yang harus berikan putusan, maka itu, jangan kau ragu2 untuk bertindak. Kami semua kenal tempat, kami bersedia akan dengar segala putusanmu. Disini, segala titahmu tak dapat dibantah, dengan begitu, usaha kita tidak bakal gagal. Disini adalah mengenai urusan Hoay Yang Pay dan See Gak Pav. Di sebelah kau, kamipun mesti taat kepada titah2nya Am coe! Khoe Soeheng, tidakkah benar demikian?”

“Na Soetee benar!” Jawab Kim too souw Khoe Beng. “Memang akhliwaris kita harus pegang pimpinan.”

“Tetapi mengenai aku, harap aku diberi maaf,” Kan In Tong turut bicara. “Kami datang atas titah guruku, buat bekerja untuk Hoay Yang Pay dan See Gak Pay, disini pun ada ketua kami, Coe In Am coe, yang ada akhli waris See Gak Pay, tetapi walaupun demikian, sudah enam puluh tahun sejak aku memimpin sekalian anak buahku, maka untuk cegah salah mengerti, aku harap aku diberi ijin akan tetap memimpin orang2ku. Asal aku diberi titah, aku akan lakukan tugas itu sebaik2nya. Dalam hal ini harap dimengerti dan percalalah bahwa kami akan tunaikan tugas kami.”

Eng Jiauw Ong hendak jawab ketua nelayan ini, atau Coe In Am coe dului ia.

“Kan In Tong Soehoe ada mu ini tersayang dari To Cie Tay Soe dari Hong tek kwan,” kata pendeta ini, “dia ada orang kenamaan dari See Gak Pay, dari itu, segala tindakan tetap menuruti pesannya Taysoe. Inilah pasti akan dimengerti. Dalam hal kita sekarang, aku lihat, baik Ong Soeheng pegang sendiri tapuk pimpinan, kami semua turut segala perintah. Dan kau, Kan Soetee, kau harus terima titah langsung dari Ong Soeheng, kemudian kaulah yang atur orang2 mu. Secara begini, kebaikan jadi ada dikedua pihak. Tidakkah Ong Soeheng akur dengan usulku ini?”

“Bagus begitu,” kata Na Pek mendahului akhliwaris, ciang boen jin dari Hoay Yang Pay. “Aku percaya Kan Soehoe akan setujui ini, sebab seperti aku telah utarakan tadi, kita bekerja bersama, disini mengenai kehormatan atau kehinaan kita kedua kaum. Dalam tindakan pokok, biarlah Ong Soetee memimpin bersama Am cooe.”

Sedari tadi Eng Jiauw Ong berdiam saja, tapi sekarang, setelah ada kesesuaian paham, ia tidak mengatakan apa2 lagi.

Na Pek pun segera minta ketua Hoay Yang Pay itu lantas tetapkan jam keberangkatan karena semua sudah siap. Karena pusat tak dapat ditinggal kosong, Eng Jiauw Ong minta empat buah perahu ditinggal dimuara itu untuk sesuatu keperluan, lebih2 untuk menyambut kawan2 yang datang belakangan.

Kan In Tong setuju, dari itu, ia gerakkan cuma tiga puluh enam buah perahunya.

Disetiap perahu, kecuali bendera See Gak Pay, ada dipancar juga bendera Hoay Yang Pay, dari itu pasukan air ini nampaknya angker sekali. Perahu perahupun dikasi maju dengan pesat.

Begitu lekas barisan dari Soe Soei mulai berlayar, dipihak Hong Bwee Pang orang lantas lepas burung2 dara, rupanya sebagai tanda atau pembawa berita untuk pelbagai pos penjagaan dan pusatnya juga, hingga dari sana sini datang sambutan serupa, hingga, diudara tertampak sejumlah burung dara itu. Lain dari itu, tidak ada gerakan apa2 lagi, maka barisan Hoei Cioe Hie coen maju terus belasan lie, sampai didekat Liong kauw chung, batas daerah berbahaya dari Hoan coei kwan. “Soeheng, apa disini kita mesti laporkan diri?” Eng Jiauw Ong tanya Na Pek.

“Ini ada pos bahagian luar dari Hong Bwee Pang, bukan tempat penjagaan resmi, kita lewati saja,” jawabnya Twie in chioe. “Umpama kita hendak dirintangi disini, dia pasti sudah tempatkan barisannya.”

Eng Jiauw Ong manggut.

“Baiklah,” kata ia. “Kita maju terus sampai di Hoen coei kwan, disana baharu kita perkenalkan diri secara resmi.”

Lantas ketua ini kasi titah untuk maju terus.

Dalam rombongan ini, ada dua perahu besar, segala titah keluar dari kedua perahu ini.

Begitu perahu2 mulai melewati Liong kauw coen, dari pohon gelagah yang lebat terbang dua ekor burung dara, setelah itu, keadaan sunyi pula, tidak ada sebuah perahu atau satu anggautapun dari Hong Bwee Pang yang perlihatkan diri. Akan tetapi orang tahu, adalah mustahil kalau disitu tidak ada pefijagaan atau penjagaanya yangtempatkan diri. Buktinya adalah dilepaskannya burung dara tersebut.

Rombongan perahu maju terus, tanpa perdulikan ada penjagaan atau tidak. Kan In Tong pimpin barisan perahunya itu dengan tenang. Ketika mereka mulai mendekati Hoen coei kwan, lantas terdengar suitan panjang, lalu disebelah belakang mereka, kelihatan perahu yang mengikuti, entah dari mana munculnya perahu perahu itu. Tapi bisa diduga tentu dari gombolan gelagah dikiri dan kanan.

Eng Jiauw Ong terima laporan beruntun dari Kam Tiong dan Kam Hauw, dan Hee houw Eng juga, tentang munculnya perahu perahu Hong Bwee Pang itu, maka ia keluar untuk menyaksikan sendiri, hingga ia dapati, semua ada perahu2 cepat, setiap empat buah perahu jadi satu rombongan yang berada dibawah pimpinan satu tauwbak. Disebelah itu, disetiap gerombolan segera ditempatkan tempat buah perahu lain, rupanya sebagai daya untuk mencegat jalan keluar.

“Jangan perdulikan mereka, kita anggap seperti kita tidak melihat dan tak dengar mereka,” Eng Jiauw Ong berikan pesan, “hanya jaga agar mereka tidak datang terlalu dekat.”

Sementara itu didepan, di Hoen coei kwan, sudah tertampak barisan perahu2.

Kang Kiat bersama Ciok Liong Jiang mengawal dipintu perahu besar, mereka lapurkan ketuanya bahwa dimuka Hoen cioe kwan ada belasan perahu tetapi di puncak bukit Hoen coei kwan sendiri tidak ada gerakan apa juga. Tidak tampak seorangpun.

Kan In Tong pun datang untuk minta keterangan, barisan mereka berhenti disitu atau terus.

“Soeheng,” kata Eng Jiauw Ong pada Khoe Beng dan Na Pek sebelum ia jawab Soe Soei Hie kee Kan In Tong, “kita sudah sampai di Hoen coei kwan, apa disini kita singgah untuk kirim karcis nama kita?”

Ketua ini bukannya berdamai tapi ia tak hendak lewati kedua soeheng itu.

Khoe Beng dan Na Pek manggut seraya menyahut “Baiklah.” Dengan begitu, mereka paserah pada ketua itu, yang berhak untuk ambil tindakan sendiri.

Maka Eng Jiauw Ong lantas kata pada Kan In Tong “Kita jangan tunggu sampai musuh cegat kita, barisan depan baik lantas berhenti, untuk diturut oleh yang lain2nya.” In Tong manggut, ia segera pergi keluar, hingga dilain saat segera terdengar dua kali suara gembreng, tanda untuk turunkan layar dan melepas jangkar, untuk berlabuh. Atas itu, sebentar saja semua perahu berhenti laju, berlabuh secara rapi, tidak ada yang membuat berisik. Semua anak buah bekerja dengan sebat dan tertib.

Perahu Coe in Am coe direndengkan dengan perahu Eng Jiauw Ong, ketua See Gak Pay itu lantas ketahui, mengapa perahu ditunda, maka tak ayal lagi, ia tugaskan muridnya yang ke dua, Sioe Seng, dan murid ke tiga, Sioe Sian, menjadi wakil, akan turut wakilnya Hoay Yang Pay membawa karcis nama See Gak Pay, untuk kunjungan resmi kepada pihak Hong Bwee Pang. Eng Jiauw Ong sendiri sudah siapkan karcis namanya Juga Kan In Tong turut memberikan karcis nama sebagai kehormatan kaumnya sendiri, nelayan2 dari Soe Soei. Ia berbuat begini karena sering kejadian orang2 Hong Bwee Pang, yang tersebar luas, apabila sedang lewat di Soe soei, senantiasa mengirim karcis nama kepadanya, maka sekarang ia mesti balas kehormatan itu. Iapun telah lantas siapkan tiga buah perahu, satu untuk utusan Hoay Yang Pay, satu untuk pihak See Gak Pay, dan yang ke tiga untuk dia sendiri. Setiap perahu ada empat anak buahnya.

Dipihak Hong Bwee Pang, delapan buah perahu lantas muncul untuk menyambut. Disetiap perahu ada delapan anggauta yang berdiri diam laksana patung, tangan mereka masing2 menyekal kantong panah dan gandewanya.

Dipihak tetamu, perahu Hoay Yang Pay berada ditengah, utusannya adalah Soe touw Kiam. Dia ini tunggu sampai terpisah tinggal tiga tumbak dari pihak Hong Bwee Pang, lantas ia siap untuk perkenalkan diri, buat kasi tahu maksud kedatanganya dan serahkan karcis nama. Akan tetapi belum sempat dia buka mulut, atau dari pihak Hong Bwee Pang sudah lantas terdengar seruan “Perahu yang mendatangi, tahan dulu! Atas titahnya Liong Tauw Pang coe, kau mesti berhenti dimuka ambarom, dimana kau boleh serahkan karcis namamu. Jikalau kau tak pandang mata kepada Hong Bwee Pang dan berani maju mendekati kami, kami nanti lantas bikin tenggelam perahumu semua, sebagai pemberian ingat! Apabila itu sampai terjadi, jangan kau katakan kami tidak punya perasaan persahabatan!”

Soe touw Kiam tidak senang dengan cara penyambutan itu.

“Kau ada tuan rumah, kenapa kau begini tidak kenal tata hormat?” Dia menegur. “Aku hendak tanya, karcis kami hendak disambuti atau tidak? Kami tak dapat menanti lama2!”

“Sahabat, kau tunggu saja!” Kata orang Hong Bwee Pang tadi.

Soe touw Kiam berdiam, dia mengawasi bersama2 Kam Tiong dan Kam Hauw dan Kee Pin, yang ditugaskan menemani pada nya.

Segera terlihat dari atas puncak ada seorang berlari2 turun, gcrakannya gesit sekali. Orang itu bertubuh kecil dan kurus, potongannya mirip dengan Yan tiauw Siang Hiap. Dengan cepat dia sampai diambaro dari mana dia perdengarkan suaranya kepada Soe touw Kiam beramai “Harap kau mundur sedikit!” Menyusul itu, tubuhnya mencelat sebagai burung walet laut ke arah perahu Hoay Yang Pay, setelah jumpalitan, ia turun di kepala perahu, secara enteng sekali.

Soe touw Kiam betempat telah mundur, meski demikian, mereka tetap mengawasi, maka itu sekarang terlihat tegas, orang kecil kurus itu, yang berumur lima puluh lebih, mirip seekor kunyuk, sepasang alisnya gundul, sepasang matanya dalam, tapi sepasang biji matanya mengeluarkan sinar tajam. Dia mengenakan pakaian biru yang sepan, kaos kakinya putih, sepatunya ber hurufkan “Hok” (rejeki). Seluruhnya, dia mirip dengan seorang kang ouw.

Dengan agak curiga, Soe touw Kiam bertindak maju menghampirkan, kedua tangannya, yang menyekal karcis nama, diangkat tinggi, lalu ia kata “Sahabat, atas namanya ciang boen jin dari Hoay Yang Pay, aku menghaturkan karcis nama.”

Orang tua itu membalas hormat.

“Dan aku” jawabnya, “atas titah Liong Tauw Pang coe, aku menyambut kedatangannya ciangboenjin dari Hoay Yang Pay dan See Gak Pay. Pangcoe kami ingat pada aturan penjagaan nya yang keras, dia kuatir itu nanti melanggar kehormatan pihak tetamu, dari itu dia mohon pihak tetamu sukalah memakai aturan, akan tunggu pengunjukan terlebih jauh untuk mulai memasuki Hoen coei kwan”.

Soe touw Kiam beramai tahu orang mencoba untuk perlihatkan keangkaran, akan tetapi mereka tidak ambil pusing, tetapi Sioe Seng dan Sioe Sian mendongkol, maka ketika mereka memberi hormat, satu diantaranya kata dengan keras “Kami ada utusannya ciangboenjin dari See Gak Pay dari Pek Tiok Am di Siang Thian Tee. See Gak Hoa San, untuk kunjungi Liong Tauw Pang coe dari Hong Bwee Pang, disini ada karcis namanya, tolong kau sampaikan!”

Wakil Hong Bwee Pang pandang kedua pendeta wanita itu, lantas ia sambuti karcis nama mereka.

Sioe Seng adalah yang menyerahkan karcis, selagi ia angsurkan tangannya, tiba2 ia bersuara sendirinya, dengan roman terkejut “Eh ini toh Kwie eng coe Tong Siang Ceng Loosoehoe si Bayangan Iblis dari Soe coan!”

XC

Utusannya Boe Wie Yang itu, yang kulit mukanya kuning, wajahnya menjadi bersemu merah, rupanya karena jengah, karena diapun terperanjat atas kata2nya Sioe Seng. Akan tetapi kejab saja, ia sudah lantas tersenyum.

“Siauw amcoe tak kelupaan, dengan sebenarnya aku ada si orang she Tong!” Ia menjawab. “Aku, Tong Siang Ceng ada linglung sampai aku lupakan urusan dulu hari di Kim Hoed Sie diperbatasan Soe coan. Aku ingat, Siauw amcoe, ketika itu kita ketemu dipuncak Tiat Cian Hong di waktu malam, cuma satu kali, dan kejadianpun telah berselang banyak tahun, aku tidak sangka kau masih ingat aku! Dalam kalangan kang ouw ada sedikit sekali orang yang ingatannya tajam seperti siauw amcoe ini. Siauw amcoe, kau sekarang sedang ikuti Hian Cin Soe thay atau ciangboenjinmu? Mengenai budi kebaikannya Hian Cin Soe thay, selama bertahun? Tak pernah aku lupakan, tapi karena aku tidak berhasil mengusahakan sesuatu, beda dengan Soe thay sendiri, yang telah angkat nama, sebenarnya aku malu kan menemui Soe thay!”

Sioe Seng puas melihat lagaknya bandit besar ini yang dulu biasa malang melintang diperbatasan propinsi Soe coan, sekarang dengan menghadapi ia sendirinya menjadi kuncup, tak lagi jumawa seperti mula. Karena orang merasa malu, ia percaya bandit ini masih punyakan liang sim. Karena ini, lekas2 ia rangkap kedua tangannya, untuk memberi hormat, kemudian ia kata “Kau terlalu merendah, Tong Loosoe. Sekarang ini aku sedang ikuti ciangboenjin dari See Gak Pay. Hian Cin Soe thay sendiri telah pulang ke Tanah Barat sejak beberapa tahun yang lalu. Loosoe sendiri biasa berdiam diperbatasan Soe coan, sekarang loosoe berada disini, apakah loosoe telah masuk organisasi Hong Bwee Pang? Atau apakah Pang coe Thian lam It Souw Boe Wie Yang itu ada sahabat kekal loosoe?”

Inilah pertanyaan yang sukar dijawab bagi Tong Siang Ceng, tetapa tak dapat tidak menjawabnya, maka dengan roman agak ke malu2an, ia kata “Liong Tauw Pang coe itu ada sahabat kekalku, sekarang ini aku datang ke Ciatkang secara kebetulan saja, maka aku memikir dengan gunai ketika ini untuk menemui orang2 gagah, hingga tak kecewalah yang aku hidup daiam kalangan kang ouw. Akupun kuatir nanti ada sahabat2 kekal lainnya yang datang kemari, maka itu aku telah wakilkan Pang coe bikin penyambutan, supaya tidak sampai terjadi perlakuan kurang hormat. Aturan disini ada keras sekali, berhubung dengan kunjungan Siauw amcoe beramai, aku minta sukalah Coe In Am coe dari See Gak Pay, sahabat2 karib Eng Jiauw Ong Loosoe dari Hoay Yang Pay, dan Soe Soei Hie kee Kan Loosoe, menanti sebentar, perlu aku menu bawa karcis nama ini untuk disampaikan kepada Pang coe supaya Pang coe sendiri yang membikin penyambutan. Maka, maafkanlah aku.”

Tong Siang Ceng menjura kepada ketiga utusan, lalu ia putar tubuhnya, untuk dengan satu gerakan “Liong heng it sie”, atau” Gerakan Naga berlompat balik keambaro” dari atas mana dia ber lari2 mendaki bukit, hingga dilain saat ia telah lantas lenyap dari pandangan mata.

Soe touw Kiam adalah murid lulusan, dengan perkenan Eng Jiauw Ong, ia sudah boleh keluar merantau, akan tetapi kapan ia saksikan kegesitannya Tong Siang Ceng, mau tak mau, ia menjadi kagum sekali. Itulah kepandaian keentengan tubuh yang berimbang dengan kepandaiannya Yan tiauw Siang Hiap, itu pun menyatakan, bandit dari Soecoan itu tak boleh dipandang ringan.

Juga anak2 muda yang lain, tak terkecuali murid2 See Gak Pay, turut merasa kagum.

Menyusul lenyapnya Tong Siang Ceng, tiga ekor burung telah dilepas terbang dari gombolan, burung2 itu terbang cepat sekali kearah Cap jie Lian hoan ouw.

“Sungguh burung2 yang terdidik sempurna!” Kan In Tong memuji ketika ia lihat kecerdikannya tiga ekor burung dara itu.

Kemudian orang semua menantikan, menantikan balasan kabar.

Lekas sekali, dari dalam Hoen coei kwan kelihatan terbang ke luarnya tiga ekor burung dara putih, yang semuanya bersayap hitam, tubuhnya lebih besar dari pada burung2 yang biasa, dan terbangnya lebih pesat pula. Hampir menyusul turunnya tiga ekor burung itu, dari dalam ambaro, yang merupakan pagar bentengan, ada terdengar tiga kali suitan, yang lalu disambut dengan suara suitan lainnya saling menyusul. Ini rupanya ada satu pertandaan, karena pintu bentengan segera terpentang. Lalu kelihatan ke luarnya delapan buah perahu enteng, diluarnya setiap satu perahu ada dua anak muda dengan pakaian singsat. Di belakang delapan rerahu kecil itu ada sebuah perahu besar dimuka mana berdiri seorang berumur kurang iebih tiga puluh tanun, romannya gagah, tapi tubuhnya tertutup thungsha, baju panjang, hingga ia tampaknya, militer bukannya militer, sipil bukaan ya sipil. Maka teranglah ia ada seorang kang ouw yang tak biasa dengan pakaian orang sekolahan, hingga ia nampaknya tak sedap dipandangnya. Selagi mendekati, dia angkat tangannya dan berseru “Liong Tauw Pang coe dari Hong Bwee Pang berikut sekalian Sam Tong Hio coe menyambut dengan hormat kedatangan Po coe dari Ceng Hong Po, Coe In Am coe dari See Gak dan Soe Soei Hie kee! Pang coe sendiri sebagai ketua tak leluasa untuk meninggalkan kedudukannya, dari itu dia utus aku yang rendah untuk menyongsong, maka silahkan Eng Jiauw Ong Loosoe, Ciangboenjin dari Hoay Yang Pay, mengajak semua kawannya pemimpin, ber sama2 pasukan perahu dari Soe soei, memasuki Hoen coei kwan ”

Soe touw Kiam bersama Sioe Seng dan Kan In Tong membalas hormat.

“Ketua kami tidak ingin melanggar tata tertib Hong Bwee Pang, dari itu kami diutus untuk menghaturkan karcis nama.” Berkata Soe touw Kiam, “setelah sekarang Liong Tauw Pang coe berikan perkenannya untuk kami memasuki Hoen coei kwan, baiklah, kami hendak kembali dahulu untuk menyampaikan kabar.”

Lantas utusan ini kasi titah untuk putar balik perahu mereka, buat kembali kedalam rombongan, guna sampaikan kabar.

Waktu itu, Eng Jiauw Ong sendiri beruntun telah terima ia poran tentang aksi Kwie eng coe Tong Siang Ceng, si bandit dari Soe coan, serta cara penyambutan dari Boe Wie Yang, yang hanya mengirim wakil, maka tempo Soe touw Kiam kembali, ia sudah ketahui laporannya murid ini.

“Marilah kita maju!” Kata Eng Jiauw Ong pada Kan In Tong. “Kita jangan bersangsi, jangan kita perlihatkan kelemahan!”

Kan In Tong setuju, ia lantas berikan titahnya, maka diantara riuhnya suara gembreng, barisan perahu dari Soe soei lantas bererot maju dua yang didepan mendahului, tiga puluh empat yang dibelakang menyusul. Sesampainya didalam, segera kelihatan bahwa pihak Hong Bwee Pang telah mengatur rapi, dimana terlihat dua puluh empat buah perah cepat dengan setiap perahunya ada lima anakbuahnya, yalah satu jurumudi,tempat tukang penggayunya, semua mengenakan pakaian mandi. Dengan tenang semua laskar air Hong Bwee Pang itu mengawasi masuknya perahu2 tetamu.

Selagi perahunya berlayar maju, Kan In Tong berdiri bersama Twie in chioe. Na Pek mengawasi keseluruh Hoen coei kwan disepanjang tempat yang dilalui. In Tong belum pernah datang kemari, tidak demikian bagi Na Pek, yang sudah pernah masuk keluar tiga kali, tetapi diwaktu malam. Dimatanya Kan In Tong, Hoen coei kwan benar2 berbahaya, pantas Boe Wie Yang berani menjagoi dan laganya sombong. Disebelah itu, ia toh harus kagumi ketua Hong Bwee Pang itu, yang pandai mengatur, cocoklah dia menjadi ketua, sebab dia cerdik dan pandai, gagah juga.

Diam2 Kan In Tong memerintahkan pada semua orangnya untuk waspada, terutama untuk ber jaga serangan gelap dari dalam air. Umpama ada bokongan,tempat puluh orang mesti segera terjun kesungai untuk melindungi.

Kemudian Na Pek masuk kedalam gubuk perahu, akan memasang mata dari antara dua jendela. Setelah melalui satu lie lebih, ia dapatkan pandangan yang mengherankan padanya, tapa masih bersabar, sampai lagi satu lintasan. Akhirnya ia keluarkan seruan “Eh!” Kemudian ia teruskan pada Eng Jiauw Ong “Soetee, mari lihat! Inilah aneh! Jikalau mataku tidak kabur, ini toh tegalan belukar! Apa mustahil orang hendak main gila?”

Eng Jiauw Ong segera hampirkan Na Toa hiap, yang dengan tangannya terus menunjuk ke arah kiri “Lihat, itulah terang ada tempat penggaraman,” kata ia, “dan itu disana adalah gudang garam. Bukankah Seecoan Siang Sat Kwie lian coe Lie Hian Tong dan Shong boen sin Khoe Leng serta mereka punya garis Pat kwa sesat telah kita kenal baik? Lihat pelabuhannya itu, disana sekarang tidak ada barang sebuah perahunya. itu disana ada dua baris hutan yang lioe serta jalanan di tengah2nya. Tidak, aku tidak keliru mengenalinya!”

Na Pek dapati dua baris pohon sudah tidak ada dan muara garam juga merupakan tanah datar. Ini bukan lagi penggaraman, hanya tanah tegalan atau ladang kosong. Dikejauhan, pekarangan penuh pepohonan dan bangunan rumahnyapun turut tidak ada, yang nampak adalah rumah2 gubuk beratap rumput. Tidak ada lagi apa yang tertampak diwaktu malam!

Dimuka rumah gubuk ada dua orang tani yang sambil tunduk sedang mengawasi rombongan2 bebek yang asyik cari makanan diantara tanah berumput. Di ujung gubuk itu ada lapangan.

Mau atau tidak, Eng Jiauw Ong geleng kepala.

Akan tetapi semua perahu laju dengan cepat, sebentar saja pemandangan tempat itu telah dilewatkan.

“Mari kita keluar!” Eng Jiauw Ong mengajak kedua saudara seperguruannya. “Benar2 aneh! Jikalau tidak kita pernah melihat sendiri, aku tidak akan percaya apa yang aku lihat sekarang ini!”

Lioe Tong dan Na Pek saling mengawasi, mereka bersenyum. Mereka ikut ciang boen jin mereka, akan memandang lebih jauh keadaan disekitarnya, terutama kekedua gili2. Dijurusan Timur selatan, gudang garam lenyap tanpa bekas2nya, yang tampak sekarang adalah sebuah kampung kecil dengan penduduknya satu dua gelintir.

Perahu2 Garuda Terbang maju terus tanpa sesuatu rintangan, mulai meninggalkan daerah penggaraman itu.

“Daerah ini berubah rupa karena kepandaiannya Seecoan Siang Sat,” kemudian Twie in chioe kata kepada kedua saudaranya.

“Dengan andalkan jumlah konco yang banyak, dalam satu malam mereka singkirkan gudang garam dan Kioe kiong Pat kwa tin. Disini ada bagian luar. Maka dibagian dalam keadaan mesti terlebih luar biasa lagi”

Eng Jiauw Ong lihat beberapa penduduk, yang terpencar, yang nampaknya senggang sekali, tetapa percaya mereka sedang ber pura2 saja.

Mereka telah maju lima atau enam lie jauhnya, tetap mereka tidak hadapi gangguan, tetapi ini justeru membuat mereka semakin curiga dan waspada. Selama itupun tidak ada pihak, tuan rumah yang muncul pula, akan pimpin mereka.

Soe Soei Hie kee Kan In Ton berlaku waspada sekali, keadaan ada mencurigai, ia jadi merasakan akan besarnya tanggung jawabnya. Ia tahu, kecuali Kang Kiat, disitu tidak ada orang yang pandai berenang dan selulup, semua orang Hoay Yang Pay dan See Gak Pay ada mengandal padanya seorang. Pasti ia akan jadi malu sekali apabila ada terjadi sesuatu terhadap mereka itu.

XCI

Kemudian In Tong pergi kedepan akan hampirkan Kang Kiat siapa, sebagai Eng Jiauw Ong bertiga, juga heran sendirinya tertampak perubahan keadaan dari Hoen coei kwan itu. Terang pihak Hong Bwee Pang sudah gunai kecerdikan dan ketangkasannya akan ciptakan keanehan itu. Ia tuturkan pada In Tong tentang berubahnya keadaan daerah itu.

“Ya, Kang Lauwtee, ini menunjukkan liehaynya orang2 Hong Bwee Pang,” Kan In Tong membenarkan. “Tetapi karena ini tidak membahayakan kita, baik kita antap saja. Kita betul sedang hadapi musuh akan tetapi kita semua belum bentrok, kita harus pakai adat istiadat, kita mesti perlihatkan diri sebagal tetamu yang kenal aturan sopan santun. Hanya harus berjaga2 saja untuk mencegah kita kena dirubuhkan”.

“Memang, Kan Loosoe, malu apabila kita sampai kena dipermainkan,” Kang Kiat bilang, “Sika pku adalah, umpama musuh main gila, kita mesti kasi rasa padanya, supaya dia jangan pandang enteng pada kita.”

Semua perahu laju terus hingga mereka berada ditempat yang terlebih sepi pula, sedang dikiri dan kanan, hutan gelagah ada sependirian orang tingginya. Disini perahu2 musuh disembunyikan diantara gelagah, tidak ada perahu yang kelihatan tegas kecuali bayangannya yang bergerak secara samar2.

Lagi kesebelan depan, nampaklah sawah2 dengan pemandangannya yang indah, tegalan dengan rumput dan bunga2 yang permai, dengan air yang bening mengalir dan mengitari kampung. Dijem batan, yang berloneng, ada dua petani tua asyik mengawasi bebek dan angsa berenang bermain dimuka air. Didepan beberapa rumah ada orang sedang menjemuri jaring atau jalanya. Dimuka kampung, ditepian, ada beberapa buah perahu kecil. Dari dalam kampung sendiri terdengar suara menenun. Sepanahan lagi barisan perahu dari Soe soei akan sampaikan kampung itu, dari aliran sungai disana muncul lima buah perahu yang anak buahnya masing2 dua tiga orang, tidak tentu, tapi semua berumur diatas dua puluh dan pandai mainkan penggayu mereka. Lantas saja mereka itu memencar dan melintangkan perahu mereka seraya terus lepaskan jaring. Dengan perbuatan nya ini, mereka jadi menutup muka sungai, menghalangi jalanannya perahu2 dari Soe soei.

Kan In Tong dan Kang Kiat segera mengerti bahwa orang sengaja hendak mengganggu majunya mereka. Kalau mereka tidak berhenti, perahu2 nelayan itu mesti ketabrak. Dan itu artinya gara2 atau onar. Jikalau bukannya sengaja, tidak nanti lima perahu itu melintang ditengah jalan.

In Tong segera perdengarkan suaranya yang nyaring buat minta nelayan2 itu lekas minggir sambil tenggelamkan jaring mereka, disebelah itu, perahunya laju terus, maka sambil menoleh kebelakang, ia memberi tanda, atas mana, semua layar dikasi turun separuh, hingga lajunya perahu2 jadi kendor dengan sendirinya, kalau tidak, tabrakan tak dapat dicegah lagi, karena jawaban si nelayan tak dapat ditunggu.

Semua nelayan itu mengawasi, mereka dengar teguran tetapi tak menghiraukannya.

“Lihat, Cian A Sie, ini ada perahu2 dari mana?” Tanya satu nelayan kepada kawannya. “Kenapa mereka begini kurang ajar, masuk dengan nerobos saja? Tak dapat kita cegah mereka, pasti mereka akan terjang rusak perahu2 kita! ”

Lebih dari itu, mereka tidak berbuat suatu apa.

Kang Kiat insaf orang benar hendak main gila, maka bersama Kan In Tong ia beri tanda akan barisannya berhenti. Dengan layar telah dikasi turun, mereka bisa berhenti dengan cepat.

Dari perahu besar segera muncul boesoe Wie Sioe Bin dan Kim Jiang, untuk melihat keadaan, ketika mana lapuran sudah datang hal gangguan musuh yang menyamar jadi nelayan.

“Nanti aku lihat,” kata Na Pek. Ia bersama2 Eng Jauw Ong, memang sudah curiga. Walaupun nelayan, semua penduduk situ mesti ada orangnya Hong Bwee Pang. Ia ajak kedua boesoe itu pergi kedepan, di sini loncat naik atas sebuah perahu kecil, yang dipanggil datang.

Wie Sioe Bin dan Kim Jiang terkejut melihat Twie in chioe naiki perahu kecil sambil berlompat, mereka duga, perahu itu pasti akan tenggelam, maka akhirnya mereka jadi kagum akan saksikan tubuh sangat enteng dari si Tangan Kilat.

Dengan cepat perahunya Na Pek sampai dibelakang perahu In Tong dan Kang Kiat. Mereka ini lihat tetua itu, mereka hendak memberi hormat, tapi Na Pek lekas mencegah.

“Jangan pakai banyak adat peradatan,” kata Twie in chioe. “Bagaimana? Apa benar mereka berani rintangi kita?” Dia tanya.

“Rupanya mereka kurang ajar sekali,” sahut Kang Kiat. “Kelihatannya kita mesti terpaksa gunakan kekerasan.”

“Kalau benar mereka berani main gila, ingin aku saksikan ke liehayannya!” Kata Na Toa hiap sambil bersenyum.

Ketika itu, Sioe Bin dan Kim Jiang telah datang menyusul dengan sebuah perahu lain. Merekapun lihat tegas lima perahu nelayan itu, malah sekarang, semua nelayan lepaskan jaring di kedua tempat, kepala dan buntut perahu, dan jaringnya ada jaring kerap untuk tangkap ikan besar berikut ikan kecil.

Kawanan nelayan itu diam saja, sikap mereka congkak ketika mereka ditegur In Tong, mereka mengejek.

Na Toa hiap awasi kelima perahu, setelah itu ia panggil nelayan yang perahunya dekat pada gili2.

“Sahabat, kau tangkap ikan atau tangkap orang?” Ia tanya. “Nelayan melepas jaring, itulah umum, tapi caramu ini adalah kelicinan, gangguan! Ketahuilah bahwa kami sedang menuju ke Cap jie Lian hoan ouw dengan pakai aturan, secara terang, untuk bereskan perhitungan lama! Apakah kau hendak cegah masuknya kami?”

Dipihak nelayan itu ada seorang tua dengan baju dan celana pendek dan sandal rumput, muka nya kisut, kepalanya sampai di muka sebatas mata, ketutupan tudung lebar, tetapi ketika ia angkat kepala akan awasi rombongan Soe Soei Hie kee, Na Pek dapat lihat padanya. Jago ini melengak.

“Jikalau mataku tidak kabur dan tidak melihat salah,” pikir dia. “Dia ini mestinya ada Biauw kiang San coe, Tan ciang Kay pay Hiap too Thong In. Dengan adanya dia disini, terang aku bakal tambah repot.”

Hiaptoo Thong In, sibandit budiman, julukannya Tan ciang Kay pay, si Tangan Liehay, ada dikenal sebagai Biauw kiang San coe yalah ketua dari suku bangsa Biauw. Na Pek tahu baik tentang dia ini, yang mulanya menjagoi didaerah bangsa Biauw dimana dia berani masuk jauh kepedalaman, dengan sebelah tangannya yang liehay, dia telah berhasil menakluki dua puluh lebih rombongan bangsa Biauw golongan Ko Ko hingga akhirnya dia dipandang sebagai dewa, hingga dia diangkat jadi san coe, ketua. Tetapi karena ia tak cocok dengan cara hidup bangsa Biauw itu, dia tampik penghormatan atas dirinya, dia tetap suka bekerja diperbatasan Seecoan dan Inlam, dia selalu bekerja seorang diri. Biasanya, sehabisnya bekerja, ia sembunyikan diri bersama hasilnya itu sampai setengah atau satu tahun, hingga sulit untuk cari padanya. Dia gemar membegal tapi dia disebut hiaptoo, maling budiman, sebab dia gemar musuhi pembesar2 rakus dan hartawan hartawan jahat, dan uang hasil pencuriannya biasanya disebarnya diantara orang melarat. Karena perbuatannya, yang dianggap keterlaluan, pernah ia dimusuhi oleh sejumlah orang Rimba Hijau hingga dia didesak kabur, sedang bangsa Biauw diasut untuk jangan puja padanya. Begitulah ia singkirkan diri jauh dari daerah Biauw. Dia dapat membalas sakit hati, beberapa boesoe, ahli silat, di selatan dan utara Sungai Besar, dia telah binasakan. Karena ini, kemudian ia dimusuhi pula.

Na Pek “berkenalan” dengan Thong In pada suatu malam, di kota Hongyang kwan. Dalam perja lanannya ke Lek tiok tong. Dan Thong In sedang kuntit Wie Sioe Bin dan Kim Jiang dua boesoe dari pihak Hoay Yang Pay, yang dia hendak binasakan, untuk melanjutkan usahanya menuntut balas. Tentu sekali, kedua boesoe itu bukan tandingannya san coe ini. Syukur bagi mereka, Na Pek datang sebagai penolong tak disangka2. Dengan Ilmu pukulannya Sha cap lak Kim na hoat, yang dibarengi de ngan kegesitan tubuh Hengkang Tee ciong soet, Na Pek dapat pecundangi hiapto itu. Dengan sendirinya Toa hiap jadi dapat tolongi kedua boesoe itu.

Thong In tetap hendak menuntut balas. Ia tahu ada belasan boesoe yang tersebar di selatan dan utara sungai Besar, ia pergi cari mereka. Ia baharu berhasil membinasakantempat boesoe. Selaga kuntit Sioe Bin dan Kim Jiang, apa lacur, ia berjumpa dengan Yan tiauw Siang Hiap. Karena gagal, dengan mendongkol, ia berlalu dari Kanglam. Sudah sekian lama ia “menghilang,” sekarang tahu2 ia muncul di Cap jie Lian hoan ouw. Dan kebetulan sekali, ia berhadapan pula dengan Na Toa hiap, siapa sebenarnya sudah lupa tentang dirinya adalah selama yang belakangan ini, Toa hiap tahu orang mendendam sakit hati padanya.

Begitu mengenali Thong In yang liehay ini, Na Pek lantas kasi tanda pada In Tong dan Kang Kiat untuk mereka ini tidak banyak omong pula terhadap musuh itu.

Menampak sikap luar biasa dari jago tua itu, In Tong segera ajak Kang Kiat undurkan diri kepintu perahu dimana ia beritahukan kawan itu untuk waspada dan siap sedia. Soe Soei Hie kee heran atas perubahan sikap jago tua ini terhadap si nelayan didepannya itu.

Twie in chioe sendiri, dengan roman sungguh2 sudah lantas angkat kedua tangannya memberi hormat pada si orang tua.

“Sahabat, sejak perpisahan kita, apa kau ada baik?” Demikian ia menegur. “Apakah kau masih ingat sahabat karib Rimba Persilatan dari rumah penginapan Phang Kee Tiam dimuka kota Hongyang kwan?”

Diam2 orang tua itu terkejut sendirinya untuk mata liehay dari Toa hiap. Ketika dulu mereka bentrok, diwaktu malam yang gelap petang. Ia dapat mengenal Toa hiap karena roman dan potongan tubuhnya yang istimewa, tetapa heran orangpun masih kenali padanya, apapula sekarang ia dandan lain rupa. Karena ina jadi kagum. Iapun pikir, tak usah ia “umpatkan” diri lagi. Maka ia singkap tudungnya, ia lantas membalas hormat. “Na Toa hiap, aku kagum terhadap kau!” Berkata dia. “Sebenarnya aku tahu tenang tingginya ilmu silat istimewa Keng kang Tee ciong soet darimu, sedang malam itu aku menyesal telah bentrok denganmu. Aku pernah pikir cari kau untuk memohon maaf, sayang aku tidak ketahui alamatmu, hingga tak tahu ke mana dan dimana aku dapat mengunjunginya. Aku ada satu boe beng siauw coet, aku bersyukur yang Wie Boesoe dan Kim Boesoe, begitupun beberapa jago Rimba Persilatan dari perbatasan Soecoan telah berbuat baik kepadaku, hingga aku tak punyakan tempat lagi dimana aku bisa menaruh kaki. Budi itu, cara bagaimana aku si orang she Thong bisa lupakan? Pertemuan di Hong yang itu membuat aku insaf atas kekeliruanku, yang hidup berandalan, hingga aku menerima pengajaran darimu. Aku tidak bermaksud lain kecuali untuk mohon pengajaran terlebih jauh darimu, guna habiskan perhitungan dari kekeliruanku itu. Aku tidak ingin mohon maaf, aku melainkan hendak minta supaya kepadaku dibagi tempat dimana aku bisa menancap kaki. Ini adalah satu budi yang besar sekali.”

Thong In bicara dengan hormat tetapi sifatnya keras, berbarengpun ia tegur kelancangannya pihak Hoay Yang Pay yang sudah usul seterusnya, sampai ia dikepung kepung, sedang dalam kejadian di Hongyang itu, ia telah pancing mendatangi hotel Phang Kee Tiam, hingga ia terjebak dan mendapat malu, sehingga ia mesti angkat kaki dan sembunyi. Ia telah muncul disini, ia tidak sangka kembali bertemu Na Pek.

“Thong Loosoe, kau terlalu memuji aku,” Na Pek bilang. “Sebenarnya aku tidak campur urusan usahamu diperbatasan Soecoan dan Inlam, tidak pula tersangkut dengan kaum Rimba Persilatan, malah aku tidak pernah mendengarnya, tapi mengenai kejadian dihotel Phang Kee Tiam, disitu aku hanya melindungi dua orang Hoay Yang Pay, sebab aku bukan ketua Hoay Yang Pay, aku tidak berhak ambil tindakan apa2, malah aku tidak tahu aku bakal berhadapan kepada Thong Loosoe sendiri yang kenamaan diperbatasan Soecoan lnlam dan didaerah Biauw kiang. Aku tidak sangka yang kita bisa bertemu disini, Thong Loosoe. Sebenarnya, untuk menegur pihakku, sebagai seorang kenamaan, dengan gampang kau bisa cari kami dua saudara didusun Na Chung di Coe cioe, Kie lam, atau ke Lek Tiok Tong di Ceng hong po, Hoay siang. Aku percaya disana ketua kami akan bisa berikan keadilan kepadamu. Tapi kau telah tidak berbuat demikian, sekarang kau mencoba pinjam tenaganya Thian lam It Souw Boe Wie Yang, kau gunai ketika selagi kami memasuki Hoen coei kwan atau Cap jie Lian hoan ouw, kau hendak merintangi kami. Apa perbuatanmu ini tidak terlalu lancang? Kami datang untuk memenuhi undangan, tak semestinya, sebelum sampai di Cap jie Lian hoan ouw, kami timbulkan lain urusan. Jikalau kau tak dapat melupakan urusan dihotel itu, kasilah ketika sampai urusan kami dengan Hong Bwee Pang ini sudah beres, nanti aku bersedia akan menemui kau. Bagaimana loosoe pikir?”

XCII

“Na Toa hiap, kau terlalu menghargai aku!” Kata Thong In dengan tertawa dingin. “Aku sudah bilang, aku ada satu boe beng siauw coet, maka itu tak berharga aku bagi Hong Bwee Pang. Aku datang kemari untuk suatu maksud lain, tentang itu, maafkan aku, tak dapat aku beritahu. Tetapi urusan kita penting, pun sukar dicari ketika sebaik ini, maka itu, mari disini saja kita membereskannya, tak usah kita tunggu sampai lain hari! Mungkin disinilah tempat aku bakal pulang kerakhmaltullah…. Sulit untuk kau takluki aku dengan kata2 saja, maka itu, tak usah kau banyak omong lagi. Di Phang Kee Tiam aku rubuh dibawah Sha cap lak Kim na hoat, disini aku mohon pelajaran tentang Keng kang Tee ciong soet, ilmu mengentengi tubuh supaya aku tambah pengetahuan!”

Mendengar tantangan itu, Na Pek pun tertawa dingin. “Tong Loo enghiong, kau terlalu puji aku,” kata ia. “Kau

memaksa hendak bikin pertemuan persilatan, jikalau aku tetap menampik, kau akan katakan aku keterlaluan, aku jadi sia2kan maksud baikmu. Tapi sekarang aku ada bersama dengan kedua kaum Hoay Yang Pay dan See Gak Pay, tak berani aku berlalu lancang, lebih dahulu aku mesti menjelaskan sesuatu kepada kedua kaum itu. Kau toh cegah aku ditengah jalan dan memaksa menantang aku. Coba kau jelaskan, kau tantang aku berikut Hoay Yang Pay dan See Gak Pay atau tidak?”

“Ini ada urusan kita sendiri, aku tidak ingin bawa2 lain orang!” Jawab Thong In. “Kita pun baik gunai beberapa perahu ini saja sebagai tempat main2, sama sekali kita tidak boleh dapatkan bantuannya anak2 buah perahu, tapi siapa terpeleset dan kecemplung, dia yang kalah, dia mesti akui kekalahannya itu!”

Thong In tunjuk empat buah perahunya sebagai medan pertempurannya itu, sesuatu perahu panjang lima atau enam tumbak. Semua perahu itu mengambang dimuka sungai yang airnya deras, karena itu, semua bergoyang2 setiap waktu.

Na Pek pandangtempat perahu itu, ia mengerti maksudnya Thong In, siapa rupanya tahu dipihak Hoay Yang Pay tidak banyak orang yang pandai berenang, sedang dia sendiri bisa main diair dengan baik. “Baik, Thong Loo enghiong, aku bersedia akan temani kau,” kata Twie in chioe, yang tidak takut karenanya. Kemudian, ia bicara kepada Kang Kiat, siapa sudah lantas pergi keperahu besar, untuk melapurkan pada Eng Jiauw Ong.

Sebenarnya Na Pek hendak berikan pesan pada Kan In Tong, tapi tanpa ketahuan lagi Soe Soei Hie kee telah undurkan diri dari situ. Sementara itu, Thong In telah berikan pesan pada anak anak buah dari ketempat buah perahunya. Ia kata “Pisahkan perahumu, aku hendak terima pelajaran dari loocianpwee dari Hoay Yang Pay ini, yang kesohor akan ilmunya Sha cap lak Kim na hoat dan Keng kang Tee ciong soet. Na Toa hiap pun punyakan Ilmu Teng peng Touw soei, dari itu jangan kau mencoba untuk merintangi, kau boleh menyaksikan saja dari dalam perahu.”

Anak2 buah itu, nelayan dan tukang perahu, menyahuti dan mundur, kecuali tukang kemudi nya. Semua perahu bergerak, walaupun ada jaring yang menahannya.

Thong In sudah lantas pergi kesebuah perahu yang terdekat.

Na Pek lihat lawan bersiap, ia lekas2 rapikan bajunya, setelah itu, ia lompat keperahu nelayan yang jaraknya dara setumbak lebih, ia injak perahu dengan sikapnya “Kim kee Tok lip”, atau “Ayam emas berdiri dengan sebelah kaki,” kemudian sambil memberi hormat pada Thong In, ia berkata “Thong Loo enghiong, aku yang tak punya kepandaian berarti dan hendak memperlihatkan kejelekan dihadapnmu”

Thong In maju empat tindak. “Kau hendak memberi pelajaran, loocianpwee, pasti kau akan menambahkan pengetahuanku,” ia kata. “Sekarang silahkan Toa hiap mulai!”

Ucapan ini dibarengi dengan mencelatnya tubuhnya mendekati lawan, akan segera menyerang. Ini ada semacam bokongan. Tangan kanannya dimajukan dalam gerakan “Tek seng hoan tauw,” atau “Menjemput bintang untuk mengganti bintang.” Ia menggertak berbareng menyerang benar2. Menyusul ancaman ini, ia gunakan pula pukulan “Siong Yang Tay kioe chioe” dan “Lo Kong Pat it sie.”

Dengan mendadakan diserang secara demikian, Na Pek terkejut. Ketika dahulu bertempur di Hongyang kwan, Thong In tidak gunakan kepandaiannya ini, yang cepat dan hebat bagaikan guntur menyamber. Maka tak ayal lagi ia lantas berkisar, untuk melayani, langsung dengan keluarkan Sha cap lak Kim na hoat, hingga mereka merupakan satu tandingan yang setimpal. Kelihayan nya mereka jadi makin ternyata karena mereka bertempur diatas perahu yang sempit sedang ke duanya adalah ahli kegesitan.

Tanpa merasa dua puluh jurus telah dikasi lalu, sesudah mana, mulai nampak kelicinannya Thong In. Sekarang ia tak lagi menggunai sebuah perahu sebagai medan pertempuran, ia berlompatan keke empat perahu dengan bergantian, hingga dengan cara demikian, terlihat tegas tubuhnya yang enteng dan gerakannya yang gesit sekali.

Na Pek tetap melayani dengan tenang tetapi tidak kalah sebat nya, ia segera mengerti akan maksudnya orang, didalam hatinya ia kata “Bangsat tua, jikalau aku sampai berikan ketika kau menang diatas angin, sungguh aku kecewa disebut Twie in chioe!”

Masih saja Thong In bertempatan kesana kemari, karena maksudnya adalah akan membuat lawannya salah tindak dan terpeleset, supaya jatuh kedalam sungai. Menampak demikian, Na Pek gunakan ilmu Sha cap lak Kim na hoat bahagian atas, “Siang chioe,” yalah “Menuntun harimau” dan Naga sembunyi.” Segera ia sampai di sampingnya lawan, sembari berseru, “Sahabat, kau hendak pergi kemana? Kau turunlah!” Tangannya diulur dengan gerakan “In liong tam jiauw” atau “Naga mengulur kuku.” Bagaikan cepatnya angin tangannya itu telah sampai dibaju musuh.

Ban san coe Thong In memang sengaja berlaku lambat, di saat serangan sampai ia putar tubuhnya akan berkelit kesamping, gerakannya sebat sekali, dengan begitu ia jadi terluput dari serangan. Disebelah itu, tubuhnya Na Pek maju kedepan, karena serangannya yang gagal itu. Ini adalah suatu kedudukan yang herbahaya sekali. Kedudukan ini biasa terjadi disebabkan serangan terburu napsu. Na Pek insaf ini, dan ia merasa kecewa kalau ia sampai kena dipermainkan musuh karenanya. Bukankah ia ada punya pengalaman latihan kira2 empat puluh tahun? Maka berbareng menahan kuda2nya, ia berbalik dengan segera, tepat di saat serangan sampai. Lantas saja ia menangkis dengan tangan kiri, dengan “Hong in toh goat” atau “Awan merah menampa rembulan, sedang dengan tangan kanannya menyusul menyerang juga.

Kesehatan musuh ini diluar dugaan Thong In. Selagi serangannya gagal, ia balas diterjang secara hebat sekail. Ia terkejut, karena ia tidak tahan akan beradu tangan dengan lawan yang kenamaan itu. Segera ia berseru seraya melenggakkan kepalanya, hingga tubuhnya lempang kebelakang. Ini ada ilmu kelitan “Tiat poan kio,” atau “Jembatan besi.” Tapi ia tidak hanya melenggak, ia terus jatuhkan diri kelantai perahu, dimana dengan satu gerakan susulan, ia gulingkan tubuhnya. Ia bergerak luar biasa cepatnya dan keras tubuhnya menggelinding hebat sekali, tahu ia telah berada dipinggir perahu, hingga ia jadi sangat kaget sendirinya. Kalau ia kecebur, itulah tanda nya ia kalah. Maka lekas2 ia menyamber. Dengan kedua tangannya untuk pertahankan diri, tetapi sementara itu, kedua kakinya sudah mengenai permukaan air! Dalam kagetnya, ia tarik naik tubuhnya, untuk berloncat bangun.

Menurut perjanjian, itu berarti kekalahan, pertandingan seharusnya sudah selesai, dan menurut pantas, Thong In mesti ucapkan kata untuk mengakui kekalahannya itu. Akan tetapi tidak demikian. Jago dari daerah Biauw ini justeru jadi mendongkol, ia jadi gusar sekali. Dengan satu enjotan tubuh, ia tempat naik keatas gubuk perahu.

Na Pek mendongkol melihat perbuatan orang yang tak tahu malu itu, ia tidak mau menegur, ia hanya mengejar. Dengan memutar tubuh kekanan ia tempat menyusul, untuk naiki juga wuwungan gubuk perahu itu.

Thong In telah kandung maksud jelek, selagi berada diatas gubuk, dia telah siapkan dua belas batang panah tangannya yang beracun, mulanya ia tolak kantongnya kekiri, lalu jadi tangan kanannya menjemput ke dalam kantong senjata rahasia itu. Segera ia dengar angin me nyamber, tanda musuh sudah kejar ia dan musuh telah datang cukup dekat, dengan se konyong2 ia putar tubuhnya dan tangan kanannya bergerak ber ulang2, menyamberkan tiga batang panah.

Selagi mengejar, Twie in chioe berlaku waspada, karena ia curigai bandit kesohor itu, yang sudah melupai malu. Karena ini, ia dapat lihat gerakan tangan musuhnya. Dengan tangannya ia sambuti dua batang panah yang menyamber keatas dan tengah, dan panah yang ke tiga, yang mengarah kaki, ia jepit itu dengan kedua kakinya seraya terus ditimpukkan balik! Serangan panah tangan tu liehay sekali, semua orang dip haknya Twie in chioe kaget dan kuatir, maka itu, bukan kepalang syukur mereka setelah lihat bahaya telah lewat.

Seharusnya Thong In kenal gelagat dan segera undurkan diri. Akan tetapi hawa amarah telah pengaruhi sangat padanya hingga ia lupakan segala apa. Ketika panahnya kembali, ia lompat keperahu yang ke dua, ia mencelat pula wuwungan gubuk perahu. Disini ia segera menoleh akan lihat lawannya, Na Pek menyusul terus, ia tak jeri akan panah beracun dari lawannya itu. Ia sebenarnya hendak tempat menyusul keatas gubuk tatkala ia disambut dengan sembilan batang panah beruntun, yang menyamber keatas, tengah dan bawah, kekiri dan kanan juga, hingga tak lagi ada tempat untuk berkelit.

“Celaka!” Berseru Siauw Liong ong Kang Kiat, yang lihat soecouwnya itu terancam bahaya. Ia menyesal, karena tidak mengerti silat, ia tak dapat membantu atau menolong kakek guru itu.

Dalam ancaman bahaya itu, karena jalan lain tidak ada, Na Pek tempat kemuka air, dalam sekejab saja ia luput dari bahaya. Jikalau ia kecemplung ke air, kalahlah ia. Tapi ia tidak ceburkan diri, kakinya segera injak dadung jaring yang masih terpasang didalam air. Jaring itu bukan untuk tangkap ikan hanya guna rintangi lawan. Ujung dadung muncul diatasan air dan bagian inilah yang dijejak jago Hoay Yang Pay itu, yang pandai ilmu “Teng peng touw soei,” hingga dilain saat ia sudah lompat menaiki perahu yang ke dua.

Kemurkaannya Thong In menjadi2 sebab kembali serangannya gagal, maka itu, dengan nekat ia loncat turun akan menjemput lawan yang naik keperahunya itu. “Na Toa hiap, kau benar liehay!” Ia memuji, tapi diam2 ke dua tangannya menyerang kepada jalan darah hoa kay hiat, batok kepala.

Na Pek segera kenali serangan “Siang yang ciang chioe,” lekas lekas ia injak perahu dengan kaki kirinya, sebelum kaki kanan turut menancap, kedua tangannya sudah digeraki, dalam tipu nya “Han hoo pay hoed,” atau “Burung hoo memuja Buddha,” kedua tangannya itu dirangkap.

Nampak lawan sudah siap, Thong In tarik pulang serangannya, ia terpaksa mundur, tapi ini hanya untuk cari ketika akan ubah gerakan, lalu dengan “Ya ma hoen ciong” atau “Kuda liar memecah suri,” ia menyerang pula. Mulanya kedua tangannya ditaruh didepan dada, lantas dengan tiba2 tangan kanannya me ninju.

“Bagus!” Berseru Toa hiap seraya mengelakkan diri kekiri sambil kakinya dimajukan, berbareng dengan mana, tangan kanannya menotok nadi lawannya. Inilah tipu pukulan “Kim tiauw tian cie” atau “Garuda emas pentang sayap.”

Melihat bahwa ia terancam bahaya, Thong In segera tempat kesamping sambil tarik tangannya itu, sesudah mana, ia enjot tubuh untuk loncat pula naik keatas gubuk perahu itu ada gerakan “Yan coe to hoan in” atau “burung walet jumpalitan didalam awan,” yang gesit sekali.

Twie in chioe telah dapat pengalaman dengan panah tangan lawan, ia kuatir lawan ini gunakan lain daya, dari itu, ia tidak mau menguber dan mendesak, sebaliknya, ia melesat keperahu yang ke dua, yang berada disampingnya.

“Sahabat, jangan sungkan2,” ia kata. “Apapun kepandaianmu yang mengagumkan, silahkan keluarkan, aku si orang she Na suka sekali menerima pelajaran darimu!”

Sambil mengucap demikian, Na Pek bergerak terus, kali ini untuk naik keatas gubuk perahu, guna hampirkan lawan itu. Setelah bersiap sedia, ia tak kuatir akan dibokong pula.

Ban san coe Thong In benar ada punya maksud tersembunyi, disaat orang hendak taruh kaki, ia lompat menyingkir, hingga lawannya tubruk tempat kosong.

Diperlakukan secara demikian, Na Pek tertawa gelak. “Kau telah rubuh, sahabat!” Berkata dia. “Kau benar

berniat membuat orang sulit! Apakah kau sangka aku si orang she Na tak dapat berbuat suatu apa? Kau keliru! Jikalau aku tidak buat kau kenal baik padaku, kecewa aku menjadi Yan tiauw Siang Hiap!”

Sambil mengucap demikian, Na Pek berniat loncat turun, tapi justeru itu, dibelakang perahu yang dinaikinya itu, ia dengar suara air, kapan ia mengawasi, ia tampak munculnya separuh muka orang dimuka air siapa terus kata padanya “Na Toa hiap, jangan perdulikan urusan diair. Layani saja mereka yang diatas perahu!”

Berbareng dengan itu, dilain sudut dari perahu itu, muncul satu tubuh anak buahnya Hong Bwee Pang, yang dilemparkan keluar dari dalam air, terlempar kedalam jaring!

Tidak kelihatan orangnya yang melemparkan anak buah itu.

XCIII Menyusul itu lantas terlihat gerakan lain didalam air, sebagaimana ternyata air yang jadi bergelombang. Itulah tanda bahwa didalam air orangpun sudah mulai bergebrak.

Soe Soei Hie kee Kan In Tong dan Siauw Liong Ong Kang Kiat, tanpa diketahui lagi, sudah pimpin orang2nya turun kedalam air, menyambut serangan musuh, hingga air dipermukaan sungai jadi seperti bergolak.

Orang Hoay Yang Pay dan See Gak Pay sudah lantas pergi keluar perahu, untuk saksikan pertempuran didalam air itu, yang tidak tertampak nyata, hanya kelihatan saja airnya yang tepercik dan berbusa. Tiga musuh muncul dengan luka, beberapa orang dari Soe soei muncul, untuk mengeluarkan napas.

Ban san coe Thong In telah nyebur kedalam air, dari mana ia keluar pula, untuk bunyikan suitan lidahnya, maka menyusul itu tertampak belasan anak buah perahu dengan pakaian minyak nya, muncul dari perahu2 nelayan, untuk terjun keair. Mereka itu ada bersenjatakan pahat dan martil, tubuh mereka gesit semuanya. Setelah itu, Thong In selulup pula, dari gerakannya diair, terang ia menuju keperahu2 tetamu.

Na Pek sendiri sudah mencelat ketiang layar, dari mana ia memandang kesekitarnya dimuka air. Ia mengerti baik bahwa musuh kandung maksud tidak baik, ia jadi mendongkol sekali, hingga ia berseru “Kawanan penjahat yang bernyali besar, kau berpikir yang tidak2, inilah tanda bahwa saat mampusmu sudah tiba!”

Kemudian ia menoleh pada pihaknya, ia serukan “Anak dari Soe Soei, kau masih belum mau turun keair, apakah kau hendak antap penjahat bikin rusak dan tenggelamkan perahumu?” Na Pek buka suara dari atas, suaranya terdengar nyata, akan tetapi pihak anak2 Soe Soei nampaknya seperti tak terlalu perhatikan itu. Malah Sin koen Ke Siauw Coan dan Siauw hiap Ciok Liong Jiang, yang berada dimuka perahu, turut diam saja, mereka tidak perintah anak buahnya turun tangan.

Melihat demikian, Twie in chioe heran, tetapi segera ia menduga, tentu ada sebabnya maka pihaknya, masih diam saja.

Ia tidak usah menunggu lama, akan saksikan satu perubahan lagi. Ia dengar suara keras pada perahunya, sampai dua kali, lantas perahu itu goncang, limbung kekiri dan kanan. Ia jadi gusar sekali, hingga kembali bersuara “Kawanan boca, kau berani main gila didepanku si orang tua? Baiklah, kau sekalian mesti dikasi rasa, jikalau tidak, kau tidak akan mengerti!”

Baharu Na Pek tutup mulutnya atau perahunya bergerak pula, dengan keras, menyusul mana ada gerakan air menuju kehulu, meluncurnya pesat sekali. Itulah tanda tanda bahwa orang didalam air itu liehay selulupnya, besar nyalinya.

Selagi jago ini mengawasi, karena ia tak bisa menyerang dengan senjata rahasianya, di samping perahu yang dinaikinya itu muncul satu kepala orang yang kemudian ternyata Kang Kiat adanya. Cucu murid Ini segera berkata “Soe youw, kawanan penjahat bernyali besar, mereka main gila, mereka hendak bikin tenggelam perahu soecouw ini! Aku telah rubuhkan satu, masih ada dua tiga lagi, maka tolong soe couw jaga, jikalau mereka muncul dimuka air, harap jangan soe couw kasi mereka lolos!”

“Liong jie, jikalau kau bikin lolos kawanan itu, kecewa kau jadi Siauw Liong Ong!” Jawab Na Pek pada cucu murid itu. Tapi justeru itu, perahunya bergerak pula dengan keras, jikalau ia tidak cekal keras tiang layar, mungkin ia jatuh. Ia jadi gusar sekali, hingga ia berseru pula “Kawanan tikus, benar benar kau berani! Baik, aku tak akan kasi ampun pula pada kamu semua!”

Sementara itu, Kang Kiat sudah selulup pula. Tadi ia nyebur bersama Kan In Tong sebab mereka telah lihat gelagat musuh hendali membokong dari dalam air, lantas mereka berhadapan kepada musuh. Mereka memecah diri. Kang Kiat ingat soe couw nya, yang tidak pandai berenang, maka ia perlukan muncul untuk memberi peringatan.

Perahu Na Pek terus ber goyang2, karena anak anak buah nya telah menyingkir semua. Ia insyaf, Thong In hendak bikin karam perahunya itu.

“Kawanan tikus, kau tak sayang barangmu lagi, aku juga!” Kata jago tua ini. Ia cekal terus tiang layar, aipun bikin berat tubuhnya, ia bikin patah tiang layar itu, hingga karenanya, perahunya jadi terbalik, karam, ia sendiri membarengi tempat keperahu yang ke tiga, dimana terus ia panjat tiang layar. Sebab ia hendak bikin tenggelam lima2 perahu musuh itu, disini pun ia beratkan tubuh, ia bikin patah tiang layar, hingga perahu terbalik, ia sendiri tempat keperahu yang ketempat. Dengan demikian, dengan bergantian, kesampaianlah maksudnya. Setelah lima perahu masuk kedalam air, ia loncat keperahunya sendiri.

Kang Kiat didalam air telah lukai lagi tiga musuh, hingga mereka ini kabur.

Diantara gelombang, kelihatan cahaya merah, yalah air yang bercampur darah.

Hiaptoo Ban san tioe Tan ciang Kay pay Thong In lihat sepak terjangnya gagal, dengan berenang dengan ilmunya “Lee hie coan po sie,” atau “Ikan leehio terjang ombak,” ia pergi jauhnya belasan tumbak dari perahu2nya Kan In Tong. Disini ia muncul dimuka air, akan melihat kemedan pertempuran, hingga ia tampak Na Pek, yang telah loncat kedarat, sedang dipapaki oleh empat buah perahu kecil dari pihaknya sendiri, hingga musuh itu naik atas sebuah perahu. Ia lekas2 mendarat, ia bunyikan suitan, atas ini, dengan saling susul orang2nya datang berkumpul untuk diajak menyingkir lebih jauh. Jumlah mereka ini, kecuali yang rubuh atau terluka, tinggal dua puluh lebih. Mereka berlari2 digili2.

Na Pek mengawasi mereka seraya tertawa dingin. “Sahabat, aku si orang she Na berterima kasih yang

kembali disini kau mengalah kepadaku,” kata ia. “Sampai

disini urusan kita sudah beres. Kapan saja kau ada tempo, untuk datang ke Lek Tiok Tong atau Na Chung di Coe cioe, aku siap sedia akan sambut padamu, pasti sekali aku tidak akan perlakukan jelek kepada tetamuku. Asal kau datang bukan sebagai sipenagih hutang, tentu aku akan terima baik budi kebaikanmu!”

Mukanya Thong In menjadi merah padam, karena mendongkol nya.

“Orang kate she Na, tak usah kau mengejek aku,” kata ia. “Aku si orang she Thong tidak pernah ubah kata2nya. Sampai ketemu pula!”

Lantas ia menyingkir kearah kampung.

Ketika itu Kang Kiat muncul dimuka air, ia masih dapat dengar perkataannya orang she Thong itu, dengan roman mengejek, ia berkata “Sahabat, jangan pergi dulu! Mari, didarat juga siauwyamu sanggup layani padamu! Jangan pergi, sahabat!”

Thong In tidak menoleh, ia jalan terus dengan cepat. Menampak orang tidak memperdulikannya, Kang Kiat loncat naik keperahunya Na Pek.

“Anak muda tak boleh tak tahan sabar, jangan tak dapat mengampuni orang,” kata kakek ini. “Golongan kita belum pernah menindas orang sampai habis, walaupun kita tidak segan2 membunuh orang, asal orang mau kenal kita, itulah cukup.”

Kang Kiat tidak kata apa2, ia terus pergi akan bantui In Tong kumpulkan anak buahnya.

Nyata diantaranya, mereka dapat tawan hidup2 dua musuh. Tawanan ini hendak diserahkan pada ketua Hoay Yang Pay dan See Gak Pay, tapi Hee houw Eng sudah lantas datang memberitahukan, katanya ketua mereka menyuruh memerdekakannya saja, dan perintahkan supaya pasukan perahu lekas maju terus, jangan ayal2an. Dikatakannya juga, mungkin pencegahan tadi dilakukan di luar tahu Liong Tauw Pangcoe, dari itu, jangan mereka layani orang2 itu. Karena ini, setelah memeriksa sebentar, In Tong bebaskan dua musuh itu, kemudian ia titahkan anak buahnya maju.

Sekarang keadaan disebelah depan makin belukar dan sunyi.

Na Pek telah pergi pada Eng Jiauw Ong dan Coe In Am coe, mereka bicarakan Ban san coe Thong In, yang sebenarnya ada satu jago Rimba Hijau yang dimalui.

“Mungkin dia menghalangi kita supaya dia dapat membanggakan jasanya didepan Boe Wie Yang,” kata Eng Jiauw Ong. “Tetapi dia gagal! Aku percaya, tidak nanti dia berani datang ke Lek Tiok Tong atau Na chung” Ketika itu, Kang Kiat datang melapurkan hal keadaan sunyi di tempat2 yang mereka sedang lalui, bahwa dikedua gili2 penuh dengan rumput dan gelagah.

“Walaupun Thong In kena di kalahkan, kita masih belum boleh bergirang,” Coe In Am coe nyatakan. “Aku percaya orang bekerja atas titah rahasia dari Boe Wie Yang, untuk saban2 rintangi kita selama kita belum sampai di Cap jie Lian hoan ouw. Pasti akan menyusul lain2 kejadian pula…..”

“Itulah mungkin,” kata Eng Jiauw Ong. “Aku pikir, menghadapi segala kurcaci, tak usah kita main pandang2 lagi. Ada alasan bagi kita umpama Boe Wie Yang nanti majukan teguran.”

“Memang, tidak perduli orang dapat titah atau tidak dari Boe Wie Yang, kalau ada yang menghalang2i kita, mesti kita hajar,” Na Pek turut menyalakan. “Umpama kita kena dirubuhkan dite ngah jalan, sungguh memalukan. Tidakkah demikian, Am coe?”

Ketuadari See Gak Pay mengang gukkan kepalanya. “Benar,” ia jawab. “Orang mulai mengganggu kita, tidak

ada jalan lain, kita mesti melayaninya.”

Kan In Tong mendengar pernbicaraan diantara ketua mereka itu, ia insaf bahwa mereka sedang memasuki daerah berbahaya, karena itu, ia lantas undurkan diri sambil mengajak Kang Kiat. Ia suka betul kepada boca ini, kepandaian berenang dan menyelamnya dapat menandingi ia, hingga ia sangat kagum. Ia menjadi lebih heran karena boca ini tidak, mempunyai guru. Keduanya pergi kemuka perahu, akan melihat kedepan.

Waktu itu matahari sudah condong ke Barat. “Kan Loosoe kau menghargai aku, maka itu, ijinkanlah aku berbicara terus terang” kata Kang Kiat. “Menurut aku, semakin aman perjalanan kita ini, semakin besar adanya ancaman bahaya. Aku tidak percaya musuh akan diam saja. Pun aku melihat, jalan kita masih jauh. Dari Hoen coei kwan sampai di Cap jie Lian hoan houw, jaraknya ada tiga puluh lie atau lebih, dari itu, harus kita waspada.”

“Kau benar, Kang Soetee,” kata In Tong. “Maka apabila ada orang rintangi kita pula, baik kita hajar mereka tanpa memberi warta lagi pada ketua kita. Beranikah kau bertindak demikian?”

Kang Kiat manggut.

“Kalau kau inginkan itu, aku bersedia akan mengiringi,” nyatakan dia.

Mendengar jawaban itu, In Tong girang sekali.

“Nah, ini baharulah orang Hoay Yang Pay!” Katanya.

Tidak lama, Na Pek muncul, maka In Tong berdua dengan Kang Kiat menyambut jago tua itu.

“Kita sekarang sudah ada dalam daerah Hong Bwee Pans, dengan sendirinya kita ada dibawah pengaruh mereka,” Twie in chioe berkata. “Karena ini, kita boleh tak usah sungkan2 lagi. Kita mesti perhatikan jalanan yang kita ambil ini, supaya kita tidak sampai kesasar.”

Kang Kiat dan In Tong membenarkan. Kemudian Kang Kiat perhatikan kiri kanan, didepan juga. Ia dapatkan suatu tempat yang banyak bedanya dengan apa yang ia tampak di waktu malam. Ia utarakan keheranannya kepada In Tong, umpama tentang semak2 yang dibabat, perihal pepohonan yang ganti rupa. Heran nya semua itu terjadi dalam satu malaman. In Tong belum pernah memasuki Hoen coei kwan, ia tidak dapat berkata apa2.

Selagi mereka berbicara, mereka mendengar suara air kayuh keras, lalu tampak dari tikungan di Timur laut, dua perahu cepat sedang mendatangi. Diperahu pertama ada dua anak buahnya dengan seorang duduk ditengah sambil tunduk, karena dia memakai tudung lebar, wajahnya tak kelihatan. Didalam perahu kedua cuma ada dua. Anak buahnya semua anak muda. Mereka itu gagah sekali memainkan pengayuh. Kang Kiat, sambil mengedipi mata.

Semua anak buahnyapun melihat kedua perahu itu, mereka bersiap sedia.

Kedua perahu itu jalan terus dengan cepat, melewati rombongan dari Soe soei, tapi kemudian keduanya balik pula, jalan nya perahu pesat sekali. Karena ini, mereka menduga mesti adalah perahu2 Hong Bwee Pang.

XCIV

Perahu Garuda yang dibelakang yang lihat kedua kendaraan air itu kembali, satu anak buah lantas melepaskan sebatang panah berbulu merah, yang bisa bersuara nyaring. Ini ada panah buatan To Cie Tay soe, tidak saja buatannya, pun lain orang sukar bisa menggunainya dengan jitu, suara nya suka bungkam. Maka itu, begitu lekas panah melesat keudara dengan bersuara nyaring, perahu2 ditengah dan depan lantas mengerti pertandaan.

“Tentu kedua perahu tadi menerbitkan kecurigaan”, kata In Tong pada Kang Kiat. “Rupanya ada usaha datang, mari kita bersiap”. Soe Soei Hie kee keluarkan leng kie, untuk memberi titah.

Dengan cepat dua perahu tadi kelihatan mendatangi. In Tong lantas Kang Kiat memanggil, setelah mana, ia tempat kesebuah perahu kecil, dan Siauw Liong Ong naik atas sebuah perahu kecil lain. In Tong pun perintah dua perahu lainnya “Datangkan delapan perahu dibelakang, cepat kedua perahu itu apabila mereka sampai, jangan kasi lolos!”

Dua buah perahu kecil bergerak dengan segera dkuti delapan perahu lainnya yang dikerahkan ke belakang.

“Kang Kiat, disini kita tegur mereka,” kata In Tong setelah sampai ditengah sungai, selagi dua perahu Hong Bwee Pang nyelusur terus.

Semua perahu lantas berbaris.

Dua perahu itu mendekati tinggal lagi lima atau enam tumbak, mereka lihat rintangan didepan, lantas satu anak perahunya menegur, ia minta bicara.

“Sahabat, jangan main gila dengan kami,” jawab In Tong sambil tertawa dingin, “Apa yang kau lakukan, kami tiru, maka jangan kita saling mengelabui. Bagaimana dengan ketuamu? Kami telah diundang, kenapa kedatangan kami tak disambut secara baik2? Kalau sudah tiba saatnya kita toh bisa adu kepandaian? Itu waktu, siapa lebih liehay, dia menang, habis perkara. Kenapa sekarang kau bersepak terjang begini rupa, apa tidak malu? Ini bukan caranya satu laki2. Rupanya kau bertindak diluar tahunya Boe Pang coe! Kalau benar, kau menurunkan derajat ketuamu itu! Aku telah berbicara, sekarang terserah kau hendak memandang kami sebagai lawan atau kawan! Aku Kan In Tong dari Soe soei, aku yang pimpin rombongan perahuku ini, aku ingin kenal kau siapa, apa jabatanmu disini, dan siapa yang menitahkan kau? Jikalau kau hendak menjemput, silahkan jalan didepan!”

Hal 640—642 ga ada ???

-ooo0dw0ooo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar