Jilid 13 : Catatan Akhir
Musim gugur telah tiba, inilah saat bunga. seruni mulai berbunga. Arak merah yang harum mulai dihidangkan, memenuhi cawan di atas meja.
Phoa Ki seng sudah meneguk tiga cawan besar.
"Leng Kongcu, silahkan!" katanya. Leng Giok hong juga telah meneguk habis tiga cawan arak. "Silahkan Phoa tayjin!"
Mereka berdua sama sama angkat kepala saling memandang, empat mata saling beradu sampai lama tanpa berkedip. Tampaknya banyak sekali persoalan yang ingin dibicarakan, namun tak sepatah kata pun yang terucap keluar.
Yang terdengar saat ini hanya suara dedaunan yang saling bergesek tertiup angin, seekor burung camar terbang melintas di udara meninggalkan suara pekikan yang panjang dan nyaring.
KAWANAN SERIGALA
I. Dua Sisi Uang Logam
Pedang mestika mempunyai dua mata pedang yang tajam. Uang tembaga juga mempunyai dua sisi. Tidak demikian dengan golok.
Bila kau periksa dua sisi dari uang tembaga tersebut, dari sisi mana pun kau periksa, kecuali gambar yang berbeda hampir semuanya berbentuk sama.
Begitu juga dengan dua mata pedang dari pedang mestika. Dari sudut mana pun kau periksa, mata pedang tetap terasa dingin dan tajam.
Tapi bagaimana dengan golok? jika kau periksa dari sudut mata golok, bentuknya pasti setipis kertas. Kau akan merasa seperti berada di ujung kematian. Sebaliknya bila kau pandang dari sudut punggung golok, maka kau tak akan merasakan datangnya ancaman yang bisa membahayakan jiwamu. Bahkan untuk melukai tangan pun tak mungkin.
Oleh karena itu meski golok tidak setajam pedang, lebih lamban ketimbang gerak pedang, namun dalam kenyataan golok masih memiliki keistimewaan lain, kelicikan serta kepandaian untuk menyembunyikan identitas sendiri. Dan di dunia ini agaknya terdapat sejenis manusia yang mempunyai sifat persis seperti itu.
Kisah yang akan diceritakan berikut adalah kisah dari manusia jenis itu.
Semua orang tahu perjudian adalah satu organisasi yang maha besar dan sangat rahasia sepak terjangnya. Bahkan belakangan ini perkembangan perjudian sudah mencapai pada masa yang paling gemilang. Organisasi ini telah berkembang melampaui perkembangan partai maupun perguruan mana pun di dunia persilatan. Tapi tak ada yang tahu kepedihan serta kesulitan mereka.Penderitaan terbesar dari seorang bandar judi adalah harus terus berjudi. Di saat kau tak ingin berjudi pun kau tetap harus berjudi. Selama ada orang memasang taruhan maka kau harus menerima taruhan tersebut, kendati pun kau tahu kalau pertaruhan itu berat sebelah, tak adil dan pihaknya pasti akan mengalami kekalahan.
Dalam keadaan ini, taruhan toh tetap harus berlangsung, judi tetap harus dilaksanakan. Paling banter kau hanya bisa berusaha untuk memperkecil kekalahan yang diderita.Itu semua dikarenakan kau adalah "Tempat Perjudian." Tempat perjudian yang tak berjudi sama artinya seperti rumah pelacur yang tidak menyediakan pelacur.
"Hanya bicara tanpa pelaksanaan," "hanya memukul genderang tanpa menjual minyak," semuanya merupakan pantangan terbesar bagi orang persilatan.
Taruhan yang harus dilaksanakan dalam perjudian kali ini. merupakan satu taruhan yang sangat tidak adil. Datanya adalah sebagai berikut:Tanggal pelaksmaan : Bulan sembilan tanggal sembilan.
Tempat pelaksanaan : Tebing naga Ciong liong leng di puncak gunung Hoa san. Sistim pertaruhan : Tiga lawan satu.
Peserta taruhan : Tong Ci, Ni Siau ciok. Acara taruhan : Ilmu meringankan tubuh.
II. Terbang Ke Gunung Hoa san
Musim gugur di bulan sembilan tanggal sembilan, matahari bersinar terang di tengah udara.
Angin yang berhembus di atas gunung sangat kencang, kabut tebal hampir menyelimuti seluruh permukaan. Gunung Hoa san dengan anak bukitnya sepanjang tiga li membentang bagai seekor naga sedang tidur. Tebing tebing yang curam setinggi ribuan kaki tampak dari kejauhan bagai sebilah golok yang sangat tajam, menancap dari balik awan putih.
Orang bilang Hoa san adalah gunung tercuram di kolong langit. Tempat ini adalah tempat tercuram dari bagian gunung Hoa san. Di antara tebing tebing curam yang terjal itulah kini sudah terbentang selembar karpet bulu kambing dari Persia yang berwama hijau tua, sehijau tanah lapang berumput yang subur. Tiga orang manusia sedang duduk di atas karpet itu, mengelilingi sebuah meja pendek, sebuah khim kuno dan sepoci air teh pahit.
Kabut tebal berwama putih bagai susu kambing menyelimuti permukaan, mengitari ketiga orang itu; seorang hwesio, seorang tosu dan seorang preman.Sang padri adalah seorang pendeta berjubah putih, berwajah kuning pucat, tampangnya seperti orang penyakitan seakan akan sudah banyak tahun tidak melihat cahaya matahari dan lagi kekurangan gizi.
Si tosu berwajah angker dan sangat berwibawa, wajahnya mirip sekali dengan cousuya mereka Lou Cu. Selain pakaiannya rapi dan bersih, tubuhnya pun tegap. Sebilah pedang tersoren di punggungnya, pita kuning di ujung gagang pedangnya terlihat menari kian kemari terhembus angin.
Si orang preman adalah seorang kakek berambut putih yang memakai jubah berwama merah. Sebetulnya dia punya perawakan badan tinggi besar. Tapi sekarang walaupun sudah agak bungkuk seperti udang yang digoreng, namun masih, menimbulkan satu kesan yang aneh bagi yang melihatnya, seakan akan secara mendadak mereka berjumpa dengan sejenis makhluk aneh yang sangat langka. Walaupun tahu kalau dia tak akan melukai dirimu, tapi tetap mendatangkan kesan aneh, misterius dan seram yang sulit dilukiskan dengan kata kata.
Si baju hijau pemusnah sukma, si jubah merah pembetot nyawa.
KaIau orang ini adalah It kiamto mia (Pedang sakti pembetot nyawa) Toa li si jubah merah, lalu siapa pula tosu dan padri itu?Dalam dunia persilatan saat ini sudah tak banyak orang yang bisa duduk sejajar dengan kakek berjubah merah itu. Kebanyakan mereka sudah pada mati atau tak tahu kabar beritanya lagi.
Yang tersisa berapa orang pun kalau bukan seorang sesepuh perguruan besar, dia pasti seorang bulim cianpwee yang sangat tinggi dan terhormat kedudukannya.
Tentu saja orang orang semacam itu bukan orang goblok, Tapi apa yang sedang mereka lakukan? Kenapa mereka jauh-jauh datang ke puncak gunung Hoa san hanya untuk duduk, seperti orang goblok?Selisih tak jauh dari mereka bertiga tumbuh sebuah pohon cemara kuno. Pohon itu tumbuh persis di samping sebuah tebing karang yang curam, akar pohon yang besar tampak mencengkeram permukaan tanah kuat kuat.
Sesosok manusia terlihat berdiri bersandar pada batang pohon itu. Dia mengenakan jubah berwama hitam, bertelanjang kaki dan menggantungkan sepasang sepatu berwama kuning emas yang berbentuk aneh dan terbuat dari karung jerami di lehemya, sementara di tangannya memegang sebuah kantung arak terbuat dari kulit kambing yang biasa dipakai para petemak di luar perbatasan.
Waktu itu, orang berbaju hitam tersebut sedang meneguk arak dengan lahapnya. Arak putih seperti susu kambing, manis rasanya tapi begitu sampai dalam perut segera akan berubah jadi gumpalan api yang panas sekali.
"Putra sulung harus ternama, arak harus memabukkan." "Lantunan setelah mabuk, pasti kata kata yang jujur!"
Irama nyanyian itu kedengaran sangat memilukan, selain terkandung juga gejolak perasaan yang tak terlukis dengan kata. Dia
seolah olah menganggap dahan pohon yang kecil itu sebagai sebuah dataran yang sangat luas.
Angin lembut menggoyang rerumputan, dia seakan akan melihat gerombolan domba dan kerbau sedang berlarian di padang rumput yang luas.
Si pelantun lagu seperti sedang membayangkan kembali tempat kelahirannya, tempat yang tak mungkin bisa dikunjungi lagi.
Po Ing.
Dari atas dahan pohon yang lebih tinggi, tiba tiba terjulur sebuah tangan yang putih mulus. Dengan lima jari tangannya yang lembut sedang menggenggam serenteng anggur, buah yang tak mungkin bisa terlihat dalam situasi dan kondisi seperti ini; anggur hijau yang kelihatan begitu segar penuh cairan, tapi mirip juga dengan anggur tiruan.
Orang itu pun kelihatan seperti orang tiruan, dia memiliki rambut panjang yang hitam pekat terurai di sepasang bahunya.
Dia pun mengenakan satu stel jubah berwama hitam, satu-satunya bagian yang berbeda dengan jubah yang dikenakan Po Ing adalah pada ujung bajunya.Ujung baju yang dia kenakan dipenuhi dengan sulaman bunga, Sulaman bunga dari benang berwama emas.
Buas bagai harimau Kwan Giok-bun, ringan bagai walet Oh Kim siu!Setiap orang yang hidup dalam dunia persilatan pasti akan tahu kalau dia adalah satusatunya
kekasih dari Po Ing, sang bandar judi nomor wahid di kolong langit. Memang tidak banyak lagi perempuan di dUnia ini yang mampu bertahan berpacaran selama tiga hari dengan Po Ing.
Sebenamya kemampuan Oh Kim siu yang lebih hebat sehingga dapat menaklukan Po Ing, atau sebalikriya, kemampuan Po Ing yang jauh lebili hebat sehingga bisa menaklukan Oh Kim siu?
Tak seorang pun yang bisa menjawab persoalan ini.
Ketika buah anggur jatuh ke dalam mulut Po Ing, suara Oh Kim siu kedengaran somakin merdu, merdu bagai suara keleningan.
"Wah, tampaknya perjudian yang diadakan kali ini betul-betul sangat ramai! Coba lihat, si jubah merah u dan si jubah kuning Tu sampai ikut datang untuk ikut memeriahkan pertaruhan ini!"
"Mereka bukan datang untuk ikut memeriahkan keramaian ini, sahut Po Ing. "Mereka khusus diundang pihak keluarga Tong dengan biaya tinggi untuk bertindak sebagai juri."
Setelah menghela napas panjang, kembali tambahnya, "Coba kau bayangkan sendiri, kalau tidak dibayar dengan uang perak dalam jumlah besar, mana mungkin si setan tua berjubah merah itu mau mengejakan?”
"LaIu siapakah padri itu?"
"Dia adalah seorang tokoh persilatan yang punya nama besar," jawab Po Ing, "Cia gu hwesio yang tinggal di biara Gu-ciok sie, hutan Gu ciok lim lautan timur, adalah dirinya!""Waaah... kedengarannya Cia-gu hwesio betul betul seorang padri yang cia gu (makan kesengsaraan)," desis Oh Kim Siu sambil menghela napas.Po Ing segera tertawa.
"Padalial di Tong hay (samudra timur) sama sekali tak ada daerah yang bemama Hutan Gu-ciok lim. Sekalipun ada, hwesio gundul itu juga tak pemah mendatangi karena semua nama julukan itu tak lebih hanya karangan dia sendiri!"Setelah tertawa ringan, kembali Lanjutnya, "Dan satu hal lagi, menurut apa yang kuketahui hwesio ini cia (makan) apa saia, namun ada satu yang tidak di cia yaitu cia gu alias makan kesengsaraan."
Oh Kim siu tertawa geli.
"Padahal manusia semacam itu bukan cuma dia! Banyak sekali orang, di dunia ini yang berbuat persis seperti dia. Saban hari di mulut berkaok kaok bilang dirinya cia gu, padahal orang yang benar benar cia gu itu orang lain, sedang diri sendiri tak pemah merasakan."
Persoalan yang mereka bahas saat ini kelewat dalam dan mengandung kritikan yang kelewat tajam, sangat gampang menyinggung perasaan orang lain. Tentu saia Po Ing dan Oh Kim siu tak mau berbuat begitu. Sekarang mereka sedang gembira, karena itu pokok pembicaraan segera dialihkan ke persoalan lain."Menurut dugaanmu, siapa yang bakal keluar sebagai pemenang dalam pertaruhan kali ini?"
"Menurut kau?" Po Ing balik bertanya. "Nona besar Oh yang bisa terbang seringan burung walet merupakan seorang jago paling tangguh dalam soal ilmu meringankan tubuh. Semestinya perkiraanmu jauh lebih akurat ketimbang dugaanku."
Oh Kim siu memang sangat yakin kalau ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sangat hebat dan tiada tandingan. Tanpa berpikir lagi ia segera menjawab, "Walaupun keluarga Tong dari jwan pak dan keluarga Tong dari jwan tiong punya hubungan sebagai saudara Tong, tapi andalan ilmu silat kedua keluarga ini sangat berbecda."
Dalam masalah ini kebanyakan orang persilatan sudah tahu dengan jelas bila keluarga Tong dari wilavah tengah sangat mengandalkan senjata amgi yang beracun. Asal orang sudah melihat kantung senjata rahasia milik khas keluarga Tong beserta sarung tangan kulit menjangannya, kebanyakan orang persilatan akan mengambil langkah seribu untuk menyingkir jauh jauh.
Sebaliknya keluarga Tong yang berasal dari utara lebih mengandalkan ilmu meringankan tubuh. Mereka sangat menguasai ilmu ginkang dan seringkali menggunakan ilmu kuno yang sudali lama punah dari dunia persilatan. "Yang lebih penting lagi adalah setiap anggota keluarga Tong dari utara memiliki kesabaran yang luar biasa. Apalagi mereka sudah terbiasa hidup di
daerah pegunungan, tentu saja sifat tersebut berhubungan sangat erat dengan kondisi tempat kelahiranya."
"Betul, jalanan di wilavah Yunnan sangat sulit dilewati, sulit seperti jalan menuju langit," imbuh Po Ing cepat. "Karenanya orang orang di wilayah itu sangat kuat dalam berjalan kaki."
"Tapi aku dengar orang yang dikirim keluarga Tong dari Utara kali ini adalah Tong Ci. Konon dia merupakan jago paling tangguh dari angkatan ke dua perguruan itu. Wajahnya sangat ganteng. Orang memanggilnya si macan kumbang kemala."Po Ing tertawa.
"Jika seorang pria berwajah tampan, maka apa pun yang dia lakukan, dalam pandangan kaum wanita dia selalu tampak lebih hebat dan luar biasa," katanya. "Bagaimana dengan kau sendiri? Masa kau tidak menjagoi Ni Siau ciok, si burung gereja dari keluarga Ni?"
"Apa salahnya jika kujagoi Ni Siau ciok?"
"Keluarga Ni terkenal sebagai satu keluarga maling. Biarpun ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kaum maling selalu hebat, tapi tak bagus dalam prakteknya. Bila aku mesti bertaruh, tak bakalan aku menjagoinya."
"Bukan cuma kau yang tidak pegang dia. Orang lain pun tak ada yang menjagoinya," Ujar Po Ing sambil menghela napas. "Dalam kenyataan, tidak seorang manusia pun yang mau membeli dia."
"Cuma kau seorang?"
Kembali Po Ing menghela napas panjang.
"Yah, apa boleh buat? Kalau semua orang pegang Tong Cu dan aku pun memegang dia, lantas pertaruhan ini mana bisa jalan?"
"Tanpa taruhan berarti tak ada arena perjudian." "Betul!"
"Kalau mau buka arena perjudian berarti kau harus terima taruhan dari orang lain. Tong Ci telah memenangkan angka taruhan ini." "Betul."
"Kau sudah terima berapa banyak uang taruhan?" "Kurang lebih delapanratus ribu tahil."
"Emas atau perak?"
"Kali ini perak. Kalau tidak, mungkin kau sudah kalah habis-habisan sampai mesti menjual rumah untuk nombok!""Siapa bilang aku pasti kalah?" "Memangnya kau masih punya harapan untuk menang?"
"Paling tidak harapan tetap ada, meski sedikit," sahut Po Ing tertawa. "Kalau dagang potong kepala saja ada yang mau kerjakan, masa kau mau melakukan pekerjaan yang pasti merugi? jika taruhan ini betul betul bakal kalah dan tak ada harapan lagi untuk menang, biar kau potong kepalaku pun aku tak bakal akan mengerjakannya! "
III. Siasat Jitu
Sistim pertaruhan yang berlaku dalam perjudian kali ini adalah kee tiga, atau tiga lawan satu. Artinya bila kau ingin memegang Tong Ci, maka jika Tong Ci kalah kau mesti bayar tiga tahil, sebaliknya jika menang hanya menang satu tahil.
Biarpun begitu, ternyata masih banyak orang yang membeli Tong Ci, sebab semua orang menganggap Ni Siau ciok sama sekali tak punya peluang untuk menangkan pertaruhan kali ini. Biar mesti kee tiga, dapat dipastikan si bandar judi bakal kalah habis-habisan hingga mesti jual celana sendiri.Yang menjadi bandar dalam perjudian kali ini adalah Po Ing.
Si bandar judi segera akan menjadi seorang pecundang, tapi sekarang dia nampak masih berdiri santai bahkan senyumannya masih begitu lepas dan ringan.
Di bawah pohon cemara, di atas permadani, hampir semua orang yang berada di situ termasuk tiga orang yang duduk mengelilingi meja kecil sedang berbicara seputar taruhan yang diadakan kali ini. Semua orang tak pernah lepas membicarakan nama kedua orang tersebut.
"Sungguh tak nyana Po Ing berani mengadakan pertaruhan ini dengan sistim kee tiga. Mungkin dia masih punya keyaknian untuk bisa menangkan taruhan ini," kata si baju kuning Tu sambil berkerut kening. "Tapi aku betul betul tak habis mengerti, dengan cara apa Ni Siau ciok bisa menangkan Tong Ci?"
"Banyak sekali cara untuk membuat seseorang menderita kekalahan," jawab Cia gu hwesio perlahan. "Siapa tahu dia sudah mencampuri obat racun ke dalam arak yang diminum Tong Ci, sehingga sepanjang jalan Tong Ci mesti berak berak sampai tujuh delapan kali. Bisa juga dia telah kirim seorang wanita
cantik ke ranjang Tong Ci dan semalam perempuan itu sudah menguras habis semua tenaga dan energi yang dipunyai Tong Ci.”"Aku benar benar tak habis pikir," Tu berjubah kuning tertawa getir. "Bagaimana mungkin seorang hwesio macam kau bisa berpikir sejauh itu?"
Cia gu hwesio tetap santai, setelah meneguk araknya satu tegukan, lanjutnya "Aku si hwesio saja bisa berpikir sampai ke situ, masa Po Ing tak bisa berpikir begitu?"
"Tapi aku yakin dia tak bakal berbuat begitu." "Kenapa?"
"Po Ing bukan manusia macam itu, sedang Tong Ci juga bukan seorang tolol.
Setolol tololnya Tong Ci, anggota keluarga Tong
yang lain pasti tak akan membiarkan dia masuk perangkap dengan begitu gampang."
Cia gu hwesio tidak bicara lagi, dia menghirup cawannya dengan amat santai, seolah olah dia memang seorang padri yang Saleh.
"Bagaimana dengan orang-orang keluarga Ni? Masa mereka rela membiarkan si burung gereja kecil itu kalah habis habisan di tangan orang lain?"Si jubah
merah Li melirik hwesio itu sekejap, tiba tiba timbrungnya, "Kalau kau si hwesio adalah anggota keluarga Ni, aku rasa memang sudah tak punya cara apa apa lagi."
"Ya, kalau aku memang tak punya cara lain, tapi secara kebetulan aku tahu kalau Ni Siau-ciok sesungguhnya punya saudara. kembar, saudara kembamya
bemama Siau cong, jika sebelum pertandingan dimulai Siau cong sudah sembunyi di sisi lain dari gunung ini, kemudian ketika si burung gereja mulai bertanding dan sembunyikan diri lalu Siau-cong munculkan diri dan mulai memetik khim di sini, aku pikir si pemenang pastilah keluarga Ni!""Ehm, memang satu muslihat yang jitu!" kata si jubah merah Li dingin. "Cuma ada satu yang perlu disayangkan."
"Apa?"
"KaIau kau saja tahu jika Ni Siau ciok punya saudara kembar, memangnya orang orang dari keluarga Tong tidak mengetahui juga rahasia ini?"
Cia gu hwesio baru saja meneguk habis isi cawannya, mendengar perkataan tersebut ia jadi sangat mendongkol hingga sepasang matanya mendelik besar. Di sisi lain, Po Ing yang berada di bawah pohon sudah tertawa terbahak bahak saking gelinya, sehingga arak yang ada di dalam mulut nyaris tersembur keluar. Tentu saja keluarga Tong sudah memperhitungkan sampai di situ, bahkan sudah tahu kalau belakangan ini Ni Siau cong selalu berada di daerah Chi lam. Bahkan tahu juga kalau mereka telah berjanji akan bertemu di loteng Im bun lo di kota Chi lam pada bulan sembilan tanggal sembilan fajar. Bila sampai waktunya
Siau-cong tidak datang, keluarga Ni pasti akan menelan kekalahan dalam pertandingan kali ini."Cara kerja keluarga Tong dari Yunnan selalu teliti bagai air dalam tempayan, tak mungkin akan terjadi kebocoran di sana-sini," Oh Kim siu menyela sambil tertawa. "Sungguh tak disangka si keledai gundul itu bisa berpikir sampai ke situ."Po Ing ikut tersenyum, satu senyuman yang mengandung sesuatu maksud tertentu. Orang lain tak akan tahu apa arti dari senyuman itu, tapi bagi Oh Khim-siu, hanya sekali kerlingan mata saja ia sudah memahami apa yang dipikir kekasihnya.
"Apa yang sedang kau tertawakan?" tegumya. "Rencana busuk apa lagi yang sedang kau persiapkan?"
"Aku cuma menemukan sesuatu secara tiba tiba. Ternyata perhitungan yang dilakukan orrang dari perguruanang kenamaan tak bisa menangkan perhitungan dari kaum maling (Ngo bun)!"
"Maksudmu?"
"Sekalipun cara kerja keluarga Tong sangat teliti dan tak ada bocornya, pihak yang benar benar meraih keuntungan tetap adalah keluarga Ni," jelas Po Ing. "Kedatangan Ni Siau cong ke kota Chi lam kali ini, terlepas apa yang hendak dia lakukan, yang pasti dia bisa mencapai keberhasilan dan pulang dengan selamat." "Kenapa?"
"Sebab kali ini dia berhasil menemukan sebuah tulang punggung yang sangat kuat dan tak mungkin meleset. Dijamin dunia pasti aman dan tenteram." Akhimya Oh Khim-su mengerti juga apa yang dia katakan.
"Demi pertaruhan kali ini, orang yang diutus keluarga Tong ke kota Chi lam
pasti seorang jagoan yang sangat tangguh dan setiap saat setiap detik pasti akan selalu mengawasi gerak gerik Ni Siau-cong. Orang lain yang tidak mengetahui duduk perkara tentu masih mengira Ni Siau cong berhasil mengundang seorang jagoan tangguh dari keluarga Tong untuk menjadi pengawalnya. Dalam
keadaan demikian, siapa lagi yang berani mengganggunya?"Setelah tertawa cekikikan, kembali Oh Kim siu melanjutkan, "Tampaknya si ulat kecil dan si burung gereja kecil dari keluarga Ni bukan lentera yang kehabisan minyak." Tiba tiba Po Ing bertanya, "Tahukah kau dari lima partai yang dianggap sembilan tianglo dari dunia persilatan di masa lalu sebagai kelompok maling, kini tinggal berapa partai?"
"Masa tinggal partai dari keluarga Ni?"
"Tepat sekali! Yang tersisa cuma aliran partai mereka," Po Ing menghela napas panjang. "Bila sebuah aliran partai sudah dicap sebagai kelompok maling,,, maka urusan untuk melanjutkan hidup akan berubah menjadi satu pekerjaan yang tak gampang. Coba bila kesembilan orang tianglo tersebut bisa berpikir akan hal ini tempo dulu, mungkin mereka tak akan menuduh satu aliran partai sebagai kelompok maling hanya gara gara aliran tersebut bisa menggunakan dupa pemabok Kie ming ngo ku huan-hun hio (dupa wangi pembalik, sukma yang memabukkan hingga fajar.)"
Nada suaranya masih kedengaran sangat dingin dan tawar, terusnya, "Padahal kalau mau bicara jujur, banyak sekali aliran partai yang tak pandai menggunakan dupa pemabuk, tapi perbuatan serta sepak terjangnya justru jauh lebih busuk dan memuakkan ketimbang aliran aliran yang dicap sebagai kelompok maling.”"Aku tahu kalau selama ini kau amat bersimpatik terhadap mereka," kata Oh Kim siu sambil menatap wajahnya lekat lekat. "Sayang sekali... keluarga Ni tetap akan menjadi pihak pecundang dalam pertaruhan kali ini." "Hmmm, aku rasa belum tentu," sahut Po Ing sambil tertawa dingin.
Pada saat itulah tiba tiba terlihat sesosok bayangan manusia meluncur datang dari balik tebing karang di puncak naga. Gerak geriknya amat lincah bagai monyet yang berlompatan, dengan empat lima kali salto ia sudah melayang turun dengan kecepatan tinggi.
Tiba tiba gerak monyet yang gesit berubah jadi gerakan burung walet yang sangat ringan. Dengan gerakan "dada mungil menembus awan" ia melayang di udara lalu meluncur turun persis di atas permadani berwama hijau itu, dengan setengah berlutut dia raih khim kuno di meja.
"Cring... cring. . .," dentingan nyaring bergema membelah angkasa dan mengema hingga menembus jauh ke atas awan, ini membuktikan bahwa jari tangan yang memainkan senar khim itu mengandung tenaga dalam yang luar biasa.
Orang itu bertubuh ramping, berwajah kurus dan mimik mukanya seperti orang yang hidup dalam ketakutan. Hanya sepasang matanya yang memancarkan sinar tajam, membuktikan kalau dia adalah seorang yang cerdas.
"Aaah, rupanya dia!" Oh Kim-siu berseru tertahan."Yaa, memang dia, memang dialah orangnya. Ni Siau ciok, si burung gereja kecil!" sahut Po Ing dengan suara dingin. "Kali ini kelompok maling yang berhasil memenangkan pertarungan ini!" Hingga berapa tahun kemudian setelah peristiwa itu, setiap kali Po Ing bercerita tentang hal tersebut ia selalu berkata bahwa ada satu kejadian yang tak akan terlupakan olehnya, yaitu secara tiba tiba si Li berjubah merah bangkit berdiri, berjalan ke hadapannya lalu dengan wajah yang serius dan sikap yang sangat menghormat, berkata kepadanya, "Tuan Po, kau memang luar biasa. Aku kagum kepadamu!"
Po Ing bercerita pula, "Dalam tiga puluhan tahun dia mengembara di dalam sungai telaga, mungkin baru pertama kali itu Li berjubah merah menyebut orang lain sebagai Tuan. Mungkin kali itu adalah kali pertama juga merupakan kali terakhir dia berkata begitu."
"Kemudian? Bagaimana ceritanya setelah itu?" ada orang bertanya kepada Po Ing.
"Kemudian, tentu saja aku dan Ni Siau ciok pergi minum arak kemenangan," jawab Po Ing sambil tertawa. "Sewaktu kami pergi dari situ, orang orang dari keluarga Tong terus menerus mengawasi aku, jika sorot mata orang orang keluarga Tong itu sama beracunnya dengan senjata rahasia yang mereka miliki, mungkin hari itu aku sudah mati keracunan!"
Oh Kim siu menghela napas panjang dan ikut menimbrung, "Waktu itu, sejujumya aku agak menaruh simpati terhadap mereka, sebab mereka sama seperti aku. Sampai kejadian telah berakhir pun masih belum mengerti dari mana Po Ing bisa menduga kalau Ni Siau ciok lah yang bakal memenangkan pertarunan itu."
Di kemudian hari ada orang yang sempat bertanya kepada Ni Siau ciok, "Kalau mesti menjawab secara jujur, ilmu meringankan tubuh siapa yang lebih tangguh, kau atau Tong Ci?"
"Tentu saja dia lebih tangguh!"
"Siapa yang lebih besar kemungkniannya untuk menang?" "Tentu saja peluang dia lebih besar."
"Tapi kau berhasil menangkan pertarungan itu?" "Rasanya memang begitu."
"Ilmu meringankan tubuhnya lebih tangguh ketimbang kau, kemungkinan menang juga dia lebih besar, lantas kenapa justru kau yang keluar sebagai pemenang?"
Ni Siau ciok tidak menjawab, dia hanya tertawa, tertawanya sama sekali tidak mirip seekor burung gereja. Senyuman itu lebih mirip seekor rase kecil, penuh kelicikan.
IV. Arak Kemenangan
Pada malam hari tanggal sembilan bulan sembilan, di kaki bukit Hoa san telah didirikan sebuah tenda panjang. Aneka ragam lentera menyinari setiap sudut tenda, belasan meja perjamuan juga telah dipersiapkan. Perjamuan ini sebetulnya dipersiapkan untuk merayakan kemenangan Tong Ci serta para petaruh yang memegang Tong Ci.Sejak tengah hari, para enghiong hohan yang datang dari pelbagai sudut sungai telaga sudah mulai minum arak di dalam tenda itu. Sambil minum mereka menunggu, menunggu datangnya kabar gembira.
Apa mau dikata, berita yang datang dari puncak gunung ternyata sangat tidak menyenangkan; Ni Siau ciok yang berhasil naik ke puncak gunung duluan sambil memetik khim. Mana mungkin bisa terjadi hal demikian?Meskipun para petaruh yang berkumpul di dalam tenda mulai merasa kikuk, tapi semua orang masih setengah percava setengah tidak.
Sampai kemudian Tong Ting, jago tangguh dari keluarga Tong yang khusuIs datang dari utara guna menyelenggarakan pertarungan ini turun dari gunung, berita burung itu baru mendapat kerastian."Tong Ci betul betul sudah kalah, bahkan hingga sekarang masih belum ketahuan ke mana dia telah pergi.” Meskipun paras Muka Tong Ting telah berubah sangat berat dan serius, namun punggungnya masih berdiri tegak, setegak sebatang tombak.
Memang beginilah sikap kebanyakan jago tangguh dari keluarga Tong. Sewaktu menang sikapnya begini, sewaktu kalah pun mereka tetap bersikap demikian.
Tidak banyak anggota keluarga Tong yang bersikap macam Tong Ci, ketika menderita kekalahan langsung melenyapkan diri dari hadapan orang lain.
Seperti juga apa yang pemah dikatakan Coh Liu hiang, "Semakin hebat seseorang mempelajari ilmu meringankan tubuh, semakin lemah perasaan orang itu. Mungkin hal ini disebabkan reaksi yang timbul dalam perasaan orang semacam ini jauh lebih cepat daripada orang lain."Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Coh Liu hiang terhitung nomor satu di kolong langit. Tentu saja apa yang ia jelaskan dalam masalah ini sangat masuk di akal dan mempunyai dasar serta fakta yang kuat.
Apalagi pada dasamya dia memang termasuk seseorang yang sangat lemah dan sensitif dalam berperasaan.
Ketika Tong Ting tiba di kaki gunung, dengan cepat ia telah membuktikan akan dua hal.
Tong Ci memang kalah dalam pertarungan ini, dia ketinggalan tigaratus jari dari Ni Siau ciok. Satu sentilan jari dianggap sebagai “satu jari," maka tigaratus jari berarti satu jarak waktu yang panjang sekali. Konon sistim menghitung waktu macam ini diciptakan oleh Coh Liu hiang di masa Iafu. 'Sekalipun tak diakui oleh masyarakat umum, namun orang persilatan telah menggunakan sistim perhitungan seperti ini.... Ni Siau cong masih tetap berada di kota Chi lam, pagi tadi Tong Ting baru saja menerima surat yang dikirim lewat merpati pos oleh anak buahnya yang ditugaskan di kota Chi lam. Bahkan dalam surat itu ditulis juga bahwa belakangan di kota Chi-lam telah terjadi serangkaian pembunuhan berantai yang amat misterius dan pembunuhan itu ada sangkut pautnya dengan Ni Siaucong. Maka untuk sementara waktu Orang itu tak bisa pergi meninggalkan kota.Meskipun berita buruk yang disampaikan Tong Ting ini sangat melukai selera makan para petaruh yang memegang Tong Ci, tapi karena koki sudah datang, perjamuan pun telah dipersiapkan, mau tak mau hidangan tetap harus dimakan. Cuma saja mereka harus menyantap hidangan itu tanpa mengerti bagaimana rasa hidangan tersebut.Sepanjang perjamuan kemenangan
itu berlangsung, si pemenang yang sesungguhnya serta si pecundang sama sama tak diketahui kabar beritanya. Bahkan bayangan tubuh mereka pun tidak kelihatan.Ke mana mereka telah pergi?
Dalam pertaruhan kali ini, si pemenang yang sesungguhnya tentu saja bukan hanya Po Ing seorang. Kim si burung elang tersebut sedang mengajak si burung gereja memasuki sebuah lorong kecil. Di tengah lorong sempit itu terdapat sebuah warung kecil. Sebuah tirai kain yang tebal dan sudah menghitam terkena asap minyak terbentang di depan pintu.Oh Kim siu, si nona besar yang pada hari hari biasa suka akan kebersihan, kini ikut hadir juga dalam warung tersebut. Belakangan ini dia seperti tak bisa mengambil keputusan sendiri, selalu mengekor di belakang Po Ing.Seorang perempuan yang telah berusia tigapuluhan tahun bisa mengambil keputusan macam ini, rasanya keputusan tersebut bukan hal yang keliru.
Di dalam warung hanya terdapat tiga buah meja persegi yang sudah berubah warna. Suara pisau di dapur yang sedang mencincang daging terdengar memecahkan keheningan. Hidangan sudah Mulai dimasak. Po Ing periksa empat penjuru sekejap, melihat tak ada tamu lain ia segera bertanya, "Hanya dia seorang sedang memasak?"
Ni Siau ciok tertawa sambil mengangguk.
"Tampaknya ia sedang gembira hari ini. Dia bersikeras ingin turun tangan sendiri untuk mempersiapkan hidangan," katanya.Po Ing segera tertawa, wajahnya berseri seri. Kelihatannya ia sedang gembira sekali, lebih gembira daripada berhasil memenangkan taruhan sebesar delapanratus ribu tahil perak, "Bagus, bagus sekali. . ," serunya pelan. Kemudian setelah tarik napas panjang, lanjutnya, "Masakan apa yang dia hidangkan pertama nanti? Dadar telur?""Ya, yaaa. . ., dadar telur," si burung gereja tertawa. "Dadar telur adalah aturan kunonya. Kalau pingin minum arak, mesti makan dadar telur lebih dulu!"
Po Ing tertawa tergelak, sebaliknya Oh Kim siu gelengkan kepalanya berulang kali. Dia tak tahu siapakah "dia" yang sedang memasak dadar telur itu?
Mungkinkah orang itu bisa memasak sepiring dadar telur yang luar biasa? Konon bila usia seseorang bertambah tua maka mulutnya akan berubah makin rakus. usia Po Ing memang sudah tak muda, tak heran kalau belakangan ini dia seperti makin menjaga jarak dengan dirinya.
Sementara Oh Kim siu masih melamun, dadar telur telah dihidangkan; sepiring dadaran telur berwarria kuning tua dengan rajangan daun brambang disebar di atasnya. Selain wangi, juga empuk, lembut dan sangat menggiurkan hati.
Sebenamya Oh Kim siu hanya pingin mencicipi satu sumpitan. Tapi begitu telur dadar dicicipi, mata dan sumpitnya seakan akan tak bisa meninggalkan hidangan itu lagi.
Menyusul kemudian dihidangkan terong masak pedas, hati sapi masak kecap, tahu masak udang cacah, misoa masak gambas dan lainnya. Walaupun semuanya terdiri dari hidangan sehari hari, tapi hidangan yang dimasak seorang ahli mendatangkan kelezatan yang jauh berbeda; bikin napsu makan orang bertambah saja.Sekarang, mau tak mau Oh Kim siu harus mengakui juga akan kehebatan sang "koki" itu.
Tapi siapakah "koki" itu? Kenapa Po Ing tampak begitu misterius dan sangat mencurigakan gerak geriknya ketika menyinggung soal "orang" itu?Sampai ketika "dia" selesai cuci tangan, cuci muka dan berjalan keluar dari dapur sambil tertawa, Oh Kim siu baru betul betul terperanjat.
"Koki" yang masak telur dadar di dapur bukan Ni Siau ciok, siapakah dia?
V. Rahasia
Bagaimana pun juga, dalam dunia ini cuma ada satu orang yang benama Ni Siau ciok. Kalau dibilang orang yang memasak telur dadar adalah Ni Siau ciok, lalu siapakah orang yang memetik khim di puncak gunung Hoa san kemudian diajak datang ke warung itu oleh Po Ing?
Dengan pandangan melongo Oh Kim siu mengawasi orang itu tanpa berkedip, lalu memandang pula orang yang berada di sampingnya lekat lekat.
"Kau pastilah Ni Siau cong!
Temyata secara diam diam kau telah tinggalkan kota Chi lam dan menyusup kemari!" katanya.
"Bukan, aku bukan Ni Siau cong.
Siau cong masih berada di kota Chi lam," jawab orang itu polos. "Aku bemama Siau bu."
"Siau bu?"
"Betul, Siau bu," jawab orang itu. "Bu artinya tidak ada." "Tidak ada apa?"
"Tidak ada aku," sahut orang itu. "Di dunia ini cuma ada Siau-ciok dan Siau cong, tak pemah ada Siau bu!""Tidak ada Siau bu artinya tidak ada kau?" "Betul!"
"Kalau tak ada kau, lantas siapakah kau?"
"Aku tak lebih hanya seseorang yang sama sekali tak ada."
Bukan saja ia tak nampaksedih, malahan sambil tertawa gembira terusnya, "Orang lain pun tak ada yang tahu kalau di dunia saat ini masih ada seseorang macam aku."
Makin berkata, ucapannya semakin membingungkan. Oh Kim siu benar benar tak habis mengerti.
Rupanya keluarga Ni mempunyai "kembar tiga." Siau-ciok si burung gereja, Siau cong si ulat kecil dan Siau bu si tak ada. Tapi orang persilatan hanya tahu dua di antaranya, sementara Siau-bu belum pernah tampil di depan umum. Hingga detik terakhir di mana kehadirannya sangat dibutuhkan ia baru munculkan diri. Menggunakan kesempatan orang lain belum tahu apa yang sebenamya telah terjadi, ia kacaukan pertaruhan itu dan selesaikan persoalan pelik yang membelenggu keluarganya.Padahal mereka sendiri pun kadang kadang tak bisa membedakan secara jelas mana yang Siau bu, mana yang Siau- cong dan mana si burung gereja.Oh Kim siu menghela napas panjang, gumamnya, "Po Ing, sekarang aku benar benar merasa kagum kepadamu.
Rupanya sedari awal kau sudah tahu kalau dalam pertaruhan kali ini mereka tak bakal kalah."
Po Ing tersenyum.
"Aku toh sudah berkata kepadamu; jika tahu pasti kalah dan tak punya peluang untuk menang, biar mesti potong kepala pun aku tak bakal menerima pertaruhan ini.”
“Tidak mungkin. Kau masih tetap akan pergi bertaruh karena kau memang sorang penjudi sejati,” ujar Oh Kim-siu dengan nada sedih. “Jika seseorang baru akan bertaruh bila yakin seratus persen akan menang, dia tak bisa dianggap seorang penjudi sejati.”
Ni Siau-ciok si burung gereja ikut menghela napas panjang.
“Perkataan semacam ini benar-benar merupakan kata yang tak pernah berubah sejak jaman kuno; siapa pun yang pernah mendengar pasti akan selalu mengingatnya di dalam hati.”
“Padahal aku belum pantas disebut sorang penjudi sejati, karena kemampuanku belum mencapai taraf itu,” kata Po Ing tertawa.
“Kalau kau tidak pantas, siapa yang pantas?”
“Kwan Ji, Kwan Giok-bun. Padahal aku mengira dia pasti akan datang kali ini.” Asal ada kesempatan untuk bisa bertaruh dengan Po Ing, Kwan Ji memang selalu tak akan melewatkan peluang itu, hanya sayang….
“Kwan Ji masih berada di kota Chi-lam saat ini. Seperti halnya Siau-cong, ia sedang terlibat dalam satu kasus pembunuhan berantai yang sangat menghebohkan, “ jelas Ni Siau-ciok. “Tapi semalam aku telah menerima surat yang dikirim Siau-cong lewat burung merpati, konon si pembunuh sudah tertangkap. Ternyata orang itu adalah keponakan Kwan Ji-ya, putra tunggal dari nyonya muda ke-tiga keluarga Kwan yang bernama Thia Siau-cing.”
“Thia Siau-cing?” Po Ing mengerutkan dahinya. “Masa Thia Siau-cing bisa bunuh orang? Aku tidak percaya!”
“Kabarnya dia bukan hanya bunuh satu orang saja, bahkan ketika ditangkap ia masih berada di tempat kejadian,” jelas si burung gereja. “Malahan kedengarannya orang yang berhasil membongkar kasis pembunuhan ini adalah seorang jago nomor wahid dari Lak-san-bun, kepala kejaksaan Leng Giok-hong.” Po Ing mengerutkan dahinya semakin kencang. Setelah termenung sesaat ia baru bertanya lagi, “Bukankah pengusaha kota Chi-lam adalah seorang bermarga Phoa?”
“Mungkin saja. Konon dulunya dia adalah seorang pembesar tinggi pemerintahan yang bertugas mengontrol sembilan propinsi dan mempunyai pedang Sio-hong pokiam hadiah dari kaisar. Dia punya wewenang untuk menghukum mati orang terlebih dulu sebelum membuat laporan.”
“Berarti dia sudah menghukum mati Thia Siau-cing?”
“Sementara ini belum, tapi hukuman akan segera dilaksanakan secepatnya.” “Ayoh berangkat!” tiba-tiba Po Ing bangkit berdiri, “kita berangkat dulu ke Chilam, di situ sedang berlangsung satu pertunjukkan menarik, kita tak boleh
sampai ketinggalan kereta.”
Ni Siau-bu yang selama ini jarang berbicara tiba-tiba menyela sambil tertawa, “Kakak Ing, bila kau cuma pingin bertemu Kwan Ji-ya, rasanya tak perlu jauhjauh pergi ke kota Chi-lam.”
Waktu itu Kwan Ji sudah tiba di gunung Hoa-san, ia sedang duduk di dalam tenda panjang di kaki bukit sambil minum arak. Arak yang diminum jauh lebih banyak dari hidangan yang disantap.
VI. Rekor Yang Spektakuler
Keluarga Ni memang merupakan sebuah keluarga yang penuh misteri. Mereka seringkali menggunakan cara yang aneh dan penuh misteri untuk melakukan sesuatu perbuatan atau pekeraan yang tak bakal dipahami dan dimengerti orang lain.
Urusan yang menyangkut Kwan Ji merupakan satu contoh yang paling bagus. Po Ing pernah bertanya kepada Siau bu, "Kau bilang Kwan ji sudah datang?
Kapan datangnya?" "Barusan!" "Barusan kapan?"
"Sewaktu kau menyinggung masalah Phoa tayjin.” "Waktu itu ada orang memberi kabar kepadamu?" "Benar!"
Po Ing segera tertawa.
"Biarpun mataku kurang jelas, paling tidak aku beluim buta. Biar telingaku kurang bagus, aku belum sampai tuli. Kalau waktu itu ada orang menyampaikan berita kepadamu, kenapa aku tidak tahu?"
Tentu saja dia tidak buta tidak tuli. Dia mempunyai sepasang mata yang lebih tajam dari mata elang, punya pendengaran yang lebili peka dari pendengaran harimau, bahkan mempunyai indera ke enam seperti seekor serigala. Tapi waktu itu, ia sama sekali tidak melihat, tidak mendengar dan tidak merasakan apa apa. Namun dia pun tahu Ni Siau-bu bukan seseorang yang suka berbohong. Maka dia lebih tercengang, lebih keheranan, lebih tak habis mengerti. Itulah sebabnya ia mendesak terus."Kenapa? Kenapa aku sama sekali tak tahu?"
Akhimya Ni Siau bu menjawab, jawaban yang amat jitu, katanya, "Tentu saja kakak Ing tidak tahu, sebab kakak Ing bukan anggota keluarga Ni. Keluarga Ni masih mempunyai banyak kemampuan yang sangat aneh. Mungkin masih banyak yang kakak Ing tak ketahui."
Setelah berhenti sebentar, kembali ia menambahkan, "Tegasnya, persoalan yang menyangkut keluarga Ni tak akan diketahui siapa pun di dunia ini. Bahkan termasuk juga kami tiga bersaudara."
Kembali Po Ing tertawa. Kali ini dia benar benar tertawa, suara tertawanya pulih kembali seperti semula, nyaring dan lantang.
"Bagaimana pun juga, aku merasa sudah lebih dari cukup asal tahu akan satu hal," ia memberi penjelasan untuk diri sendiri. "Asal aku tahu kalau tiga bersaudara dari keluarga Ni adalah sahabatku, biar lagi tidur di tengah malam pun aku bisa merasa sangat lega."Bagaimana dengan Kwan ji?
Waktu itu, Kwan ji betul betul sudah berada di seputar gunung Hoa san. Di manakah dia saat itu? "Kalian tiga bersaudara adalah satu jenis manusia, tapi Kwan ji merupakan jenis manusia yang lain," ujar Po Ing.
"Jenis manusia macam apa?"
"Di dunia saat ini masih ada sejenis manusia di mana jika dia adalah sahabatmu maka jangan harap kau bisa tidur nyenyak di malam hari," jelas Po Ing. "Hal ini. bukan lantaran kau bisa dicelakai sewaktu sedang tidur, melainkan kau harus menguatirkan dia setiap saat setiap waktu, takut kalau dia bisa melakukan satu perbuatan yang bodoh dan memusingkan kepala."
"Masa Kwan Ji ya adalah jenis orang yang selalu membuat sahabatnya menguatirkan keselamatan jiwanya?"
"Ya, tepat sekali!"
Setelah menghela napas panjang, lanjutnya, "Orang ini sudah tersohor ketika masih berusia belasan tahun. Dengan mengandalkan ilmu pukulan baja serta kekuatan saktinya ia malang melintang di sungai telaga hampir puluhan tahun lamanya. Konon sepanjang hidup belum pemah ketemu tandingan. Anehnya orang semacam dia temyata kalau bekerja sangat ngawur dan berangasan seperti tingkah laku anak muda saja.”“Ing toako adalah sahabatnya?”
“Bukan, aku bukan sahabatnya. Aku tak lebih hanya tempat penampungan baginya."
“Tempat penampungan? Tempat penampungan apa?"
"Tempat penampungan ada banyak macam. Kalau pingin minum kau harus punya tempat penampungan untuk peminum. 'Mau kongkouw, kau harus punya tempat penampungan untuk kongkouw. Bahkan kalau pingin berjudi pun kau harus punya tempat penampungan bagi kaum penjudi. Bila seseorang ingin hidup senang di dunja ini maka sebuah tempat penampungan yang bagus tak boleh tak ada!"
"Sayang sekali mencari sebuah tempat penampungan yang baik jauh lebih susah ketimbang mencari seorang bini yang baik!" "Ya, memang jauh lebih susah!" "Oleh sebab itu kakak Ing tak mau membuat dia menderita dan bersedih hati. Lebih lebih tak ingin dia mengalami satu peristiwa di luar dugaan, bukan begitu?" tanya Ni Siau ciok.
"Betul, tepat sekali perkataanmu itu!"
"Berarti kakak Ing pasti sudah tahu juga dia berada di mana sekarang?" lanjut Ni Siau ciok sambil tersenyum. "Jika kakak Ing tidak tahu, berarti kau bukan satu tempat penampungan yang baik baginya.”
Tiba tiba Ni Siau bu menghela napas sambil menyela, "Sayang untuk menjadi satu tempat penampungan bagi orang mati bukanlah satu pekerjaan yang menggembirakan!"
"Utung saja untuk satu dua jam ke depan, dia belum bakal mati." Ni Siau bu jkut tertawa.
"Ya, bila seseorang sudah mempunyai tempat penampungan macam kakak Ing, pingin mati pun rasanya tak bakal mati!"Saat ini Kwan Ji memang benar benar punya keinginan untuk segera mati, sebab hampir semua Jagoan tangguh yang paling susah dihadapi di dunia persilatan saat ini telah menjadi musuhnya semua.Memang bukan satu pekerjaan yang gampaog untuk menjalin permusuhan dengan begitu banyak orang dalam waktu teramat
singkat. Tapi Kwan Ji telah melakukannya.
Dalam bidang ini, tampaknya dia memang ahlniya. Dan mungkin tak ada orang kedua yang bisa mengunggulinya dalam melakukan tugas sejenjs ini.
Menurut perhitungan orang tani, hanya dalam sehari, semalaman ini, dalam waktu yang relatif amat singkat bahkan sesingkat orang lain belum selesai menghabiskan secawan air teh, dia telah menjungkir balikkan tujuhbelas buah meja, menghancurkan tujuhpuluh mangkuk besar, dua ratus tiga buah mangkuk kecil, duaratus dua puluh satu buah cawan arak, tigaratus tujuh buah piring, ditambah lagi merusak empat puluh dua buah bangku dan tigabelas
buah meja bulat besar.Selain itu, dia masih sempat sempatnya menjotos gepeng hidung duapuluh sembitan orang dan merompalkan gigi tigapuluh empat
orang. Bila semua gigi yang rontok ke lantai dijumlah semuanya, maka akan diperoleh seratus enampuluh lima biji potongan gigi. Rekor yang ia buat saat ini bukan saja spektakuler dan belum pernah dibuat sebelumnya, bahkan orang macam Po Ing pun mau tak mau harus ikut merasa kagum.
"Kadangkala aku merasa orang ini seolah olah mempunyai tujuh delapanbelas pasang tangan Saja," kata Po Ing. "Coba lihat sewaktu dia makan sesuatu, orang itu seperti mempunyai tujuh-delapanbelas buah mulut dan tujuh delapanbelas lambung!"Takaran makan Kwan Ji memang seakan akan tak ada habisnya.
Walaupun berhadapan dengan sekelompok manusia yang baru saja dihajar hingga kocar-kacir, nafsu makannya masih tetap sama besamya seperti semula.Setelah memecahkan rekor spektakuler seperti yang tercatat di atas tadi, ia sudah menghabiskan seekor ayam panggang utuh, seekor bebek panggang utuh, dua mangkuk besar sup bibir ikan, semangkuk nasi delapan wama serta duapuluh delapan biji mantao.
Padahal saat itu dia sedang berhadapan dengan sekelompok jagoan tangguh. Dari kelompok itu paling tidak terdapat duapuluhan orang yang mampu membunuh seseorang dalam sekejap mata.
Di atas tebing bukit di sisi seberang sana masih ada tiga orang sedang duduk di atas permadani berwama hijau rumput sambil mengelilingi sebuah meja kecil; seorang padri, seorang tosu, seorang preman, sepoci air teh, seguci arak dan sekeranjang buah-buahan. Sebuah perpaduan lukisan yang sangat indah.Di belakang bukit, di tempat kegelapan yang tak tembus oleh cahaya bintang dan lentera, terlihat pula sesosok bayangan manusia sedang berdiri seorang diri di atas batu cadas. Yang terlihat hanya sepasang matanya yang tajam, sepasang lengannya yang kuat bagai baja, sepuluh jari tangan yang satu kali lipat lebih besar dari jari tangan biasa serta sebuah kantung arak terbuat dari kulit kambing yang tergantung di pinggangnya.
Dipandang dari balik kegelapan malam yang mencekam, ia mirip sckali dengan malaikat bengis yang datang dari langit.... Masih untung tak ada yang melihat goloknya, golok itu tersoren di pinggangnya.
Tentu saja para kawanan jago tangguh yang bisa bunuh orang dalam sekejap mata juga membawa senjata. Aneka ragam senjata yang mereka gunakan rata rata tergantung di pinggang mereka.Bagian pinggang yang ramping memang seringkali digunakan jago jago kalangan persilatan untuk menyembunyikan senjata yang dibawa. Karena itu pinggang orang persilatan rata rata membesar bagai ular.
Orang biasa menyebutnya "Pinggang ular."
Tiba tiba Kwan Ji mengalihkan pandangan matanya dari cawan berisi arak ke wajah seorang lelaki setengah umur yang punya bahu lebar dan pinggang gemuk. Lalu dengan mata melotot bentaknya, "Si pinggang ular Ting Jin cun mahir dalam jarum, beracun, ilmu lembek, menyusut tulang dan Kin na jiu.
Konon ilmu silatnya hebat dan merupakan satu di antara tiga jagoan tangguh dari gerombolan perampok asal gunung Ing san. Apa kau adalah Ting Jin cun?" "Benar!" jawab Ting Jin cun lantang. Bukan cuma mengakui nama sendiri, balikan tambahnya, "padahal julukanku yang sebenamya adalah Si Pinggang ular Bersisik Merah."
Walaupun ular bersisik merah belum terhitung sebagai ular yang paling beracun, paling tidak ular jenis Itu merupakan salah satu dari ular beracun yang punya nama.
Kata Ting Jin cun lagi dengan pongah, "Tidak lucu kalau aku dipanggil orang si pinggang ular sanca. . ."
"Bagus, bagus sekali! Si pinggang ular bersisik merah, nama ini memang cocok untukmu! Coba kalau dipanggil si pinggang ular sanca, jelas sangat tidak bagus. . ."Ting Jin cun tertawa terkekeh-kekeh. Kwan Giok bun ikut tertawa tergelak juga. Mereka berdua saling tertawa keras; satu keras, satu lunak, membuat yang mendengar jadi bergidik, peluh dingin pada bercucuran dan bulu kuduk pada bangkit berdiri.Untung saja gelak tawa Kwan Ji segera berhenti. Kembati tanyanya kepada Ting Jin cun, ""Kau pemah bunuh orang?" "Tentu saja!"
"Sudah bunuh berapa orang?"
"Tiga orang!" jawab Ting Jin-cun sambil tertawa seram. "Setiap hari tak lebih dari tiga orang!"Sekali lagi Kwan Ji menatapnya tajam tajam. Sesaat kemudian
ia baru mendongakkan kepalanya dan tertawa keras."Bagus, satu kebiasaan yang sangat bagus! Tiap hari hanya membunuh tiga orang, rasanya satu jumlah yang tidak kelewat banyak, juga tak terlalu sedikit."
"Kadangkala aku bisa melanggar kebiasaan, bisa membunuh hingga tujuh delapan-sembilan orang!""Kalau begitu jumlah orang yang telah kau bunuh sudah mencapai seratus duaratus orang?""Bisa lebih, mustahil kurang!" "Bagaimana dengan kau sendiri? Sudah mati belum?"
"Rasanya aku sih masih hidup," sahut Ting Jin cun. "Setahuku, orang yang sudah mati tak bisa berbicara lagi."
Dia masih tertawa, tertawa dengan suara yang menyeramkan karena dia belum melihat kalau mimik wajah Kwan ji telah berubah. Kwan ji seolah olah sudah berubah menjadi orang lain, otot otot hijau sudah mulai menongol pada lengannya, garisgaris darah pun mulai terlihat dari kelopak matanya.Inilah pertanda awal Kwan ji sebelum membunuh orang. Dia selalu berubah jadi macam begini tiap kali sebelum membunuh banyak orang.
Sebetulnya jarak Kwan ji dengan Ting Jin cun masih ada sekitar dua kaki lebih, bahkan terhalang sebuah meja bundar. Tapi sekarang tangannya tiba tiba menjulur ke depan, terdengar suara "kroook, kroook, kroook," bagai suara rentetan mercon bambu. Terlihat sesosok bayangan manusia melambung ke udara lalu berhembus segulung angin keras yang tajam sekali. Ketika menengok lagi ke arah Kwan ji, ternyata dia sudah balik ke tempat duduknya semula.
Hanya kali ini dia tidak duduk melainkan masih berdiri dengan satu kaki menempel di tanah, kaki yang lain menginjak di atas bangku. Di tangan sebelah dia masih memegang paha ayam goreng, sementara di tangan yang lain memegang sebuah lengan.
Itulah lengan milik Ting jincun.Si pinggang ular bersisik merah yang nampak sangat menyeramkan bagai wajah setan iblis itu, kini sudah berkerut seperti ular yang sedang melingkar. Tubuhnya tertelungkup di atas meja bundar di depan Kwan ji, sebelah tangannya mulai pangkal lengan sudah terbetot kutung oleh serangan Kwan ji tadi.
"Hmm, orang ini betul betul bedebah," katanya dengan suara parau. "Sudah bunuh ratusan orang, bukan saja masih bisa hidup bebas dan jauh dari jangkauan hukum, sekarang malah berani memamerkan keberingasannya!"Suaranya makin lama semakin parau dan penuh kepedihan, lanjutnya, "Padahal ada orang yang cuma membunuh tiga lima orang, tapi sekarang terancam hukuman mati. Setiap saat jiwanya bakal melayang, benar benar tidak adil…, sangat tidak adil. . ."
Setelah tarik napas panjang, teriaknya lebih lanjut, "Coba kalian jawab, apakah ini adil?"
Tak ada yang menjawab, tak seorang pun berani buka suara. Lewat lama kemudian dari atas tebing di seberang sana baru kedengaran seseorang menghela napas panjang.
"Hai... tahun ini lohu sudah mencapai usia delapanpuluh tiga tahun, tapi baru sekarang aku memahami akan satu hal."
Suaranya lemah seperti seseorang yang tak bertenaga, dia memakai jubah berwama merah cerah, warna kegemaran gadis muda belia. Wajahnya kurus kering dan pucat kekuning-kuningan, malahan ia seperti memakai pupur di wajahnya yang berkerut itu."Hei setan tua berjubah merah, apa yang sedang kau katakan?" bentak Kwan Ji. "Apa yang telah kau pahami?"
"Akhirnya aku benar benar paham bahwa di kolong langit ini benar benar terdapat banyak orang bloon macam kau," ujar kakek Li berjubah merah itu perlahan. "Sebab hanya orang bloon macam kau yang bisa menuntut keadilan di dunia macam begini!""Apakah di dalam dunia saat ini betul betul sudah tak ada keadilan?"
"Ada sih tetap ada, seperti misaInya kejadian yang barusan kau bicarakan itu. Rasanya kejadian itu sedikit lebih adil daripada kejadian lainnya."
"Kejadian apa yang kau maksud” tanya Kwan ji, satu pertanyaan yang sedikit bodoh. Tapi dalam keadaan seperti ini mau tak mau harus ditanyakan juga. "Setelah membunuh ratusan orang, Ting si ular bersisik merah masih bisa hidup segar bugar dan bersombong ria dengan bangganya, sedangkan keponakanmu Thia Siau cing, gara gara membunuh tiga sampai lima orang, bahkan masih belum pasti apakah benar dia yang membunuh semua orang itu, sudah dijatuhi hukuman mati selepas musim gugur nanti dan sekarang harus membersihkan tengkuknya setiap hari dalam penjara sambil menunggu mati!"Sambil berpaling ke arah Kwan Ji, terusnya, "Bukankah kau anggap kejadian ini sangat tidak adil?"
Tidak menanti Kwan ji buka suara, kembali dia melanjutkan sambit menghela napas panjang.
"Padahal kejadian ini adil sekali!"
Kwan ji sangat gusar, tak tahan teriaknya, "Atas dasar apa kau mengatakan kejadian ini sangat adil?"
"Karena keponakanmu pingin mati, dia sendiri yang ingin mati! Jika seseorang sudah mengambil keputusan untuk mati, apa lagi yang bisa dikatakan orang lain? Buat apa lagi kita berbicara soal adil atau tidak?"
"Darimana kau tahu kalau dia sendiri yang pingin mati?" Kakek Li berjubah merah tersenyum.
"Bila ia sendiri tak ingin mati, dengan kau berada di sampingnya, siapa yang bisa membuat dia mati?"
Kwan ji tertegun, ia tak bisa menjawab lagi.
VII. Taruhan Kepala
Kwan ji tak mampu menjawab, tapi dari kejauhan ada seseorang yang menjawab.
"Aaah, belum tentu begitu," jawaban orang itu penuh mengandung daya pikat yang sangat kuat. "Secara kebetulan aku tahu masih ada seorang lagi yang bisa menolong jiwanya.".
"Siapa?"
"Aku?!"
"Po Ing!" seru kakek Li berjubah merah sambil tertawa licik. "Sudah kuduga kau pasti akan muncul di sini. Aku selalu menunggu kehadiranmu."
"Mau apa menunggu aku?"
"Bukan menunggu kau, tapi menunggu sekian juta tahil perak yang berhasil kau raih belakangan ini.”
Po Ing tertawa tergelak.
Dengan langkah lebar ia muncul dari balik kerumunan orang banyak. Kepalanya yang botak memantulkan cahaya terang ketika tertimpa cahaya lentera, Persis seperti pasir kuning di tepi sungai, memantulkan cahaya keemas emasan.
"Kau keliru besar, uang yang berhasil kuraih belakangan ini tak lebih dari sekian ratus ribu tahil. Sayang sekali, bukan pekerjaan yang gampang bila ada orang ingin mengambilnya, biar cuma satu dua tahil perak!"
Suara tertawa kakek Li berjubah merah semakin nyaring, wajahnya kelihatan semaki licik. Selanya, “Kebetulan sekali aku telah menemukan satu cara yang sangat hagus.”
"Cira apa?" "Berjudi!"
Po Ing segera merasa semangatnya bangkit kembali. Setiap kali mendengar kata "judi," semangatnya selalu berkobar dan meningkat tajam.
"Kau ingin bertaruh denganku?" tanya Po Ing. "Benar!"
"Apa taruhannya?"
"Taruhannya? Kau pun tak mampu menolong Thia Siau-cing!""Baru bertaruh berapa banyak?"
Sepasang mata Kakek Li berjubah merah yang selama ini seperti orang mengantuk tiba tiba memancarkan cahaya tajam.
"Aku tahu kau adalah seorang kaya raya, bahkan makin lama semakin berduit. Tapi aku tak ingin menangkan terlalu banyak."
Setelah berhenti sejenak, dengan mata melotot kakek Li berjubah merah melanjutkan, "Bagaimana kalau kita bertaruh satu juta limaratus ribu tahil saja?" Suasana gempar segera menyelimuti hadirin yang berada di seputar arena.
Sebaliknya Po Ing menghela napas panjang.
"Angka satu juta limaratus ribu tahil hanya diucapkan begitu mudah dan santai, kau anggap sedang dagang kueh talam atau gimana?" kata Po Ing sambil gelengkan kepalanya dan menghela napas panjang. "Kelihatannya orang ini sama sekali tak punya gambaran tentang satu angka yang menyangkut masalah duit. . ."
"Kau anggap jumlah itu kelewat banyak?" "Tidak, tidak banyak," Po Ing menggeteng. "Dalam bertaruh uang aku selalu anggap jumlah segitu adalah jumlah yang sangat kurang. Tidak, tidak banyak. Justru makin besar angka taruhannya semakin asyik rasanyal"
“Kalau begitu bagus sekali!"
Tiba tiba terdengar Kwan ji berteriak keras, "Po Ing, kenapa kau mesti bertaruh denganya? Apakah kau hendak pakai alasan itu untuk menolong Thia Siau- cing?""Dengan Thia Siau cing, aku sama sekali tak kenal. Sanak keluarga pun bukan. Kenapa aku mesti menolongnya?" sahut Po Ing santai. "Aku hanya ingin menangkan sedikit tahil perak milik tua bangka berbaju merah itu."Setelah tersenyum, tambahnya, "Aku tahu dia pun termasuk seseorang yang berduit banyak. Bila dia kalah taruhan kali ini, mungkin kekayaannya akan berkurang sedikit."
VIII. Muncul Tersangka Baru
Suara roda ketera Yang bergelinding di atas jalan berbatu menggema memenuhi angkasa. Kereta yang ditarik kuda jempolan itu berlari sangat kencang, tujuannya adalah kota Chi lam.
Soal kuda, Po Ing sama sekali tak tertarik. Berminat pun tidak. Tapi Oh Kim siu adalah pakarnya. Kuda hasil pilihannya bukan cuma dari ras kenamaan, bahkan selalu merupakan kuda jempolan kelas atas. Bedanya, dia memilih kuda jempolan hanya untuk menarik kereta. Tapi setelah dilatih secara ketat, keempat ekor kuda dengan enambelas buah kakinya bisa berlari dengan satu gerakan Yang sama.
Kereta itu berlari sangat stabil, demikian stabilnya sampai arak dalam cawan yang berada dalam genggaman Po Ing pun tak sampai tertumpah keluar biar hanya setetes pun.
Dia sedang duduk bersandar dalam ruang kereta, sepasang kakinya yang cuma memakai kaus kaki itu diangkatnya tinggi tinggi. Untung saja dia tak punya bau kaki yang kurang sedap; dan lagi belum pemah ada orang yang menuduh kakinya sangat bau.
Oh Kim siu sudah setengah harian melototi wajahnya tanpa bicara. Tapi akhimya ia tak tahan, tiba tiba ujarnya, "Aku sama sekali tidak menduga kalau kau akan bertaruh denganva. Kau yakin bisa menang?"
"Tidak," sahut Po Ing sambil tertawa santai. "KaIau yakin menang, aku tak perlu bertaruh lagi."
... Tepat sekali perkataan itu. Bila yakin pasti menang, pertaruhan itu jadi tak menarik lagi. Bila tak ada daya tariknya lagi, buat apa mesti bertaruh?
Ada sementara orang tak pemah akan melakukan pekeraan yang tidak yakin akan keberhasilannya. Tapi seorang penjudi sejati tak pemah akan melakukan pertaruhan yang diyakini pasti menang. Teori semacam ini sangat dipahami oleh Oh Kim siu.
"Tapi yang kau pertaruhan kali ini adalah Thia Siau cing! " seru Oh Kim siu. "Aku saja ikut jadi beriba hati setelah melihat mimik muka Kwan ji. Aku yakin dia tak pemah begitu emosi, terharu dan berterima kasih kepada seseorang selama ini!"
"Kau anggap dia emosi dan terharu lantaran aku?" "Tentu saja!"
"Jadi kau anggap aku bertaruh dengan kakek Li berjubah merah lantaran aku benar benar ingin selamatkan jiwa Thia Siau cing?"
"Betul!"
"Jadi kau mengira aku menolong Thia Siau cing hanya demi Kwan ji?" "Betul!"
"Betul, betul. . . betul kentutmul" seru Po Ing sambil tertawa dingin. "Kwan ji tak lebih hanya tempat penampungan bagiku untuk berjudi. Dan lagi dia adalah tempat penampungan yang sangat baik bagiku. Selain berani bertaruh, berani juga menerima kekalahan, bahkan sanggup membayar untuk kekalahannya.
Selain itu memangnya aku punya hubungan kentut anjing dengannya? Kenapa aku mesti menolong keponakannya?"Oh Kim siu tertawa lebar hingga terlihat dua baris giginya yang putih bersih. Entah ia betul-betul sedang tertawa atau hanya pura pura tertawa."Memang paling baik begitu. Kalau tidak, aku masih menduga dia adalah sahabat karibmu," kata Oh Kim siu sambil tertawa paksa. "Bila seorang penjudi menganggap lawan tandingnya adalah seorang sahabat, sudah pasti pertaruhan ini jadi sama sekah tidak menarik!"Sebetulnya dia sudah mengupas sebuah jeruk untuk diberikan kepada Po Ing, tapi sekarang, ia kirim jeruk yang telah dikupas itu ke dalam mulut sendiri.Dia seakan akan beranggapan bahwa seseorang yang tidak punya teman, tidak pantas untuk makan biar cuma sebiji jeruk pun. Karena itu tanyanya lagi, 'Lalu dengan cara apa kau hendak menangkan pertaruhan ini?"
"Bila ingin menangkan pertaruhan ini, maka kita mesti menolong Thia Siau cing lebih dahulu." jawab Po Ing. Dan untuk berhasil menolong Thia Siau cing maka kita mesti pecahkan dulu kasus pembunuhan ini."
"Membongkar kasus pembunuhan? Kau anggap kasus pembunuhan ini belum terbongkar?"
"Tentu saja belum!"
"Jadi Thia Siau cing bukan pembunuh sesunggulmya?" "Pasti bukan""
"Kenapa dia mengaku dirinya sebagai pembunuh?"
"Mungkin lantaran dia melihat kekasihnya sudah mati, hingga secara tiba tiba merasa kecewa dan putus asa, maka dia anggap mati lebih baik ketimbang hidup." jelas Po Ing. "Seringkali di dunia ini memang terdapat satu jenis manusia bloon semacam ini."
"Atas dasar apa kau berpendapat demikian?"
"Walaupun kelihatannya kasus pembunuhan ini telah terbongkar tuntas, padahal masih terdapat banyak hal yang sangat mencurigakan."
"Apa saja?"
"Kecurigaan terbesar adalah dalam kasus ini; kelebilian satu orang yang tidak seharusnya ada di kejadian ini, dan kekurangan satu orang yang seharusnya ada dalam kasus ini."
"Siapa yang kau maksud dengan kelebihan satu orang yang tidak seharusnya ada di kejadian ini?"
"Phoa tayjin dari kota Chi-lam!""Lantas, siapa pula kekurangan satu orang yang seharusnya ada dalam kasus ini? Apa Wan wan?" tanya Oh Kim siu.
"Tepat sekali jawabanmu!"
Wan wan adalah dayang kepercayaan nona Ang. Setiap kali Ang ang mengadakan perjamuan, dia selalu berada di samping majikannya serta melayani semua kebutuhannya. Sekalipun ketika mengajak tamu naik ranjang, dia hanya kebagian berdiri di luar pintu kamar. Tapi sesaat sebelum dan sesaat setelah kematian Ang ang, dia sama sekali tak terlihat batang hidungnya."Terus terang saja, hingga kini aku masih belum begitu jelas tentang kasus ini," ujar Oh Kim siu. "Maukah kau mengulang sekali lagi cerita tentang kasus pembunuhan ini?"
IX. Kisah Di Balik Asap Berwama ungu
Untuk bercerita tentang kasus ini maka kita harus berbicara dari dua hal. Pertama tentu saja menyangkut masalah asap berwama ungu.
Bulan lalu, di kota Chi lam setiap fajar selama beberapa hari di udara di kota itu selalu tampak asap berwama ungu yang muncul secara tiba tiba.
Kejadian semacam ini total teradi sebanyak enam kali. Setiap kali sumber muncuinya asap berwama ungu itu selalu berbeda, dan tiap kali asap berwama ungu sudah muncul maka ada seorang kenamaan di kota Chi lam yang mati terbunuh. Antara korban yang satu dengan lainnya sama sekali tak ada sangkut paut atau hubungan khusus apa pun.
Tapi di antara para korban mempunyai satu kesamaan yaitu sehari menjelang munculnya asap berwama ungu itu, mereka pernah dijamu dan menginap dengan seorang pelacur kenamaan dari kota Chi lam yang bemama Ang-ang. Bahkan mereka semua selalu mati dibunuh oleh seorang pembunuh gelap bertangan kidal. Kematian dalam satu serangan, bersih, cepat dan tidak meninggalkan jejak.Masalah kedua adalah kisah asmara yang melibatkan Tlna Siau cing dengan Ang ang.
Percintaan mereka mendapat halangan. Sejak Ang ang kawin dengan orang lain, lalu kembali, ke rumah orang tuanya dengan predikat janda, perempuan itu tak pemah berhasil mengikat tali perkawinan dengan Thia Siau cing.
Dalam keputus asaan dan kekecewaan yang berat, perempuan itu bukannya masuk biara menjadi nikoh, ia justru menempuh jalan yang radikal yaitu menjadi seorang pelacur tingkat tinggi; satu tindakan menghancurkan diri sendiri. Tampaknya dia ingin mencari pelepasan dengan melakukan tindakan menghancurkan diri.
Melihat kekasihnya jadi pelacur, tentu saja Thia Siau cing sakit hati. Apa mau dikata, dia sendiri pun tak sanggup mencegah niat bekas kekasihnya itu karena penghalang utama bagi perkawinan mereka justru terletak pada diri ibu kandung pemuda itu, yakni adik perempuan Kwan ji, Kwan Giok bun. Orang persilatan mengenalinya sebagai nyonya muda ke tiga dari keluarga Kwan, Oleh sebab itulah, dia melampiaskan semua kemarahan dan sakit hatinya kepada para tamu yang telah meniduri Ang-ang. Oleh sebab itulah di kota Chi- lam terjadi serentetan pembunuhan berantai yang sangat menghebohkan.Semua korban pembunuhan adalah orang orang kenamaan, bahkan semuanya kaya raya. Karena menyangkut banyak orang kenamaan, kasus ini pun jadi satu kasus pembunuhan yang menggemparkan.
Untuk membongkar kasus pembunuhan yang menggemparkan ini, pihak pengadilan khusus mengutus seorang jagoan yang sudah amat tersohor di kalangan Lak san bun sebagai penyelidiki nomor wahid saat itu, Leng Giok- hong, untuk melakukan penyelidikan.Dengan sistim kerja yang teliti dan cermat, Leng Giok hong berhasil mengungkap banyak bukti seperti yang diceritakan di atas. Bahkan berkat jasa Ni Siau-cong yang bertindak sebagai perantara, dia berhasil menjadi tamu agung dari Ang ang.Malam itu, ketika Phoa Kiseng,
Phoa tayjin dari kota Chi lam sedang bercakap cakap dengan Ni Siau cong, tiba tiba dari tengah bangunan rumah yang dihuni Ang ang kembali muncul asap berwama ungu.Pada saat itulah Phoa tayjin yang dikenal orang sebagai seorang sarjana yang lemah lembut temyata menggunakan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi untuk meluncur ke arah sumber asap ungu itu dengan kecepatan tinggi, disusul kemudian oleh Leng Giok hong dan Ni Siau CongSaat itulah mereka kembali mendengar jeritan ngeri dari Ang-ang, dan ketika mereka menyusul ke dalam kamar tidumva, tampak nona Ang yang cantik jelita itu sudah tergeletak mati di atas ranjangnya. Mati dibunuh seseorang.Ada satu orang masih berdiri di tepi ranjang sambil memegang pisau yang penuh noda darah. Orang itu temyata tak lain adalah Thia Siau cing.Yang aneh, pada waktu itu dayang kesayangan Ang ang, yaitu Wan wan, sama sekali tak kelihatan batang hidungnya.
"Apa mungkin ini yang dikatakan orang lantaran cinta kembali jadi kebencian?" ujar Oh Kim siu sedih. "Orang kuno sering berkata, batasan antara cinta dan benci itu mirip sekali dengan mata pisau, dan batasan seperti inilah yang paling sukar dipertahankan secara baik."
Setelah tertawa lebar, terusnya lagi sembari melirik ke arah Po Ing, "Maka dari itu kau mesti hati-hati, siapa tahu suatu hari nanti aku pun bakal bunuh kau?!""Tapi pembunuh yang menghabisi nyawa Ang ang bukan Thia Siau cing!" kata Po Ing.
"Bukan? Buktj maupun orangnya sudah ada, bahkan tertangkap basah. Kenapa kau masih berkata bukan dia pembunuhnya?"
"Sekalipun ada orang menyaksikan dengan mata kepala sendiri drama pembunuhan berdarah itu, aku tetap akan mengatakan bahwa pembunuhnya bukan dia!""Kenapa?" tanya Oh Kim siu keheranan. "Apakah dikarenakan kau selalu menganggap dalam kasus ini kelebihan seseorang dan kekurangan seseorang?"
"Benar!"
"Tapi... Phoa tayjin memang pembesar yang ditugaskan di kota Chi lam untuk membongkar kasus pembunuhan ini. Kenapa kau bilang kelebihan seseorang?" "Karena dulunya dia adalah satu orang tapi kemudian berubah jadi dua orang. Satu orang sebagai pembesar eselon empat yang terpelajar dan lemah, dan seorang lagi sebagai jagoan dunia persilatan yang memiliki ilmu silat sangat tinggi!"
Setelah termenung berpikir sejenak, kembali Po Ing berkata, "Yang tidak kuketahui, sebenamya dia jenis manusia yang mana? Seorang pembesar lemah yang tahunya hanya baca buku dan belajar? Ataukah seorang jago dari sungai telaga yang sudah terbiasa bunuh orang dalam hidupnya?"
Oh Kim siu ikut termenung sambil peras otak, sampai lama kemudian ia baru berkata, "Terlepas dia merupakan orang yang kau anggap sebagai kelebihan atau bukan, yang pasti tidak seharusnya gadis kecil bemama Wan wan tidak berada
di tempat kejadian. Menurut kau, mungkinkah dia dibunuh si pembunuh yang sesungguhnya karena sewaktu terjadinya pembunuhan berdarah, dia hadir di situ sebagai saksi mata?"
"Kecurigaanmu memang sangat beralasan, oleh sebab itu sisa pertanyaan yang harus dijawab tinggal satu."
"Soal apa?"
"Kalau betuI dia telah dibunuh untuk membungkam mulutnya mayatnya berada di mana?"
"Mayatnya tidak ditemukan?"
"Tidak ditemukan," jawab Po Ing. "Bahkan seluruh bangunan dan halaman sudah dibongkar, tapi jejaknya tetap tak ketahuan."
"Ya, padahal waktu itu Phoa Ki seng dan Leng Giok hong berada di situ. Tak mungkin si pembunuh setelah melakukan pembunuhan berdarah masih punya cukup waktu untuk membawa kabur jenasah Wan-wan, karena waktu untuk dirinya sendiri pun tidak banyak.""Betul!"
"Oleh karena itu analisis yang mengatakan Wan wan dibunuh sama sekali tak masuk diakal."
"Benar!"
"Lalu. . . mungkinkah dia sendiri yang mengambil keputusan untuk melarikan diri? Kenapa dia kabur sementara nona yang begitu dekat hubungannya dengan dia mati terbunuh? Bahkan sampai kini jejak tubuhnya tidak ketahuan?
Mugkinkah si dayang cilik ini mempunyai satu rahasia?"Oh Kim siu tahu, hanya Wan-wan sendiri yang bisa menjawab teka teki ini.Tapi Wan wan sudah
lenyap. Dia menjadi orang yang disebut Po Ing sebagai "kekurangan seseorang." Mustahil dia bisa menjawab pertanyaan itu.
"Masih untung kita masih mempunyai kelebihan seseorang," kata Oh Kim siu. "Selania ini Phoa Ki seng dikenal sebagai seorang pembesar yang punya kemampuan besar. Paling tidak terhadap kasus ini dia pasti mempunyai rahasia yang lebih banyak ketimbang yang diketahui orang lain."
"Tapi kita mesti bertanya kepada yang mana?" kata Po Ing. "Bertanya kepada Phoa tayjin, atau bertanya kepada Phoa tayhiap?"