Bab 34
Begitu Bian-hok Lojin menyendal pedangnya, sementara Hun Thian-hi masih belum kerahkan tenaga pendamnya, sehingga seluruh tubuhnya ikut terangkat naik. Agaknya Bian-hok Lojin sangat bangga, ia sudah kerahkan seluruh tenaganya untuk menjungkir balikkan tubuh Thian-hi berbareng kirim sebuah tusukan dengan getaran pedangnya yang dahsyat untuk mencelakai jiwa Hun Thian-hi.
Thian-hi sudah meraba jalan pikiran Bian-hok Lojin, tapi ia pun segan mengerahkan kekuatan Wi-thian-cit-ciat-sek untuk menggetar balikkan kekuatan lawan supaya membinasakan jiwanya, seluruh batang pedangnya sudah gemetar dan melengkung, seluruh batang Cu-hong-kiam memancarkan cahaya merah dadu, itulah pertanda bahwa kekuatan Wi-thian-cit-ciat-sek sudah dikembangkan menggempur lang-sung ke arah Bian-hok Lojin.
Sekonyong-konyong Bian-hok Lojin merasa segulung tenaga besar laksana gugur gunung meluruk ke arah dirinya dari berbagai jurusan yang berlawanan, keruan kejutnya bukan kepalang, baru sekarang ia menyadari kejadian apa yang bakal terjadi akan keselamatan jiwanya.
Hawa pedang segera bergolak ditengah udara, tanpa kuasa pedang panjang kena tersedot dan terpental terbang ke tengah udara, terdengarlah suara gemeratak batang pedang itu tergempur putus berantakan ditengah udara menjadi beberapa potong, sementara tubuhnya juga terdorong pontang-panting oleh terjangan tenaga besar yang melandai.
Belum lagi Bian-hok Lojin sempat berdiri dan bernapas Cu-hong-kiam di tangan Thian-hi sudah membabat tiba mengarah tenggorokannya. Tampak mata Bian-hok Lojin memancarkan rasa kejut dan ketakutan, tapi dalam kejap lain mendadak ujung mulutnya mengulum senyum kegirangan pula.
Thian-hi jadi melengak, bersama itu terasa angin dingin menyampok tiba dari belakangnya, sigap sekali ia menggeser kaki seraya memutar tubuh, ternyata Ce-hun Totiang tengah meluncur datang, keruan ia jadi kaget, ia sadar dirinya telah tertipu lagi, waktu ia membalik lagi sementara Bian-hok Lojin sudah terbang keluar rumah seraya tertawa gelak-gelak. Thian-hi menghardik keras, badannya mencelat mengejar.
Disaat badan Bian-hok Lojin melayang turun kebetulan Bun Cu-giok sedang memburu datang, ditengah gelak tawanya Bian-hok Lojin mengebutkan lengan bajunya, jaraknya dengan Bun Cu- giok kira-kira setombak lebih, kontan Bun Cu-giok tergetar sempoyongan oleh tenaga kebutan lengan baju orang, dalam kejap lain si orang tua sudah menghilang pula di dalam rumah.
Bagai terbang Hun Thian-hi mengejar dengan ketat, tapi ia tidak berhasil menyandak musuhnya, begitu mengejar masuk ke dalam rumah, keadaan gelap gulita, jejak Bian-hok Lojin sudah menghilang. Mau tak mau ia memuji dalam hati, mimpi juga tak terduga olehnya dikala Ce- hun Totiang mengejar datang malah dia mengunjuk senyum dikulum, daya pikiran dan ketenangan hatinya yang besar ini sungguh harus dipuji, serta merta ia menghela napas gegetun.
Kejap lain Ce-hun Totiang juga telah tiba, dengan geregetan ia berkata, “Saking gugup Pinto sampai berbuat ceroboh, usaha Siauhiap yang mendekati hasil gemilang menjadi berantakan oleh kecerobohanku!” -saking sesal ia banting kaki.
“Totiang tidak perlu salahkan diri sendiri, aku sendiripun belum tentu dapat berhasil mengalahkan dia, cuma ia salah perhitungan mau jajal adu kekuatan sehingga kena kecundang, kecerdikan otaknya betapa pun sangat mengagumkan, meski ia berhasil lolos pun tidak perlu dibuat getun, yang terang dia masih berada di dalam gedung ini! Cepat atau lambat kita akan menemukan dia pula!”
Hari sudah terang tanah, Hun Thian-hi bertiga semalam suntuk ubek2an menjelajahi segala pelosok gedung besar itu tanpa menemukan jelak Bian-hok Lojin, mereka jadi gemes dongkol, kalau Bian-hok Lojin sengaja menyembunyikan diri tidak mau keluar, mereka tidak mampu berbuat apa-apa.
Sinar matahari menerangi semua pelosok gedung itu, kata Hun Thian-hi kepada Ce-hun Totiang, “Cuaca terang benderang, kita bisa melihat dan memeriksa.lebih teliti, aku akan periksa sekali lagi, aku tidak percaya masa dia menyembunyikan diri tanpa bisa diketemukan.” Ce-hun Totiang insaf dirinya sudah terluka, ilmu silat Bun Cu-giok terpaut jauh sekali dibanding Thian-hi, mereka cuma bakal merupakan beban saja, maka ia mengangguk setuju, katanya, “Kalau begitu menyulitkan Siauhiap saja, Siauhiap harus hati-hati jangan sampai dijebak!”
Thian-hi manggut-manggut, di lain saat ia sudah mulai pencariannya dengan teliti. Di bawah penerangan sinar matahari, keadaan dalam gedung bobrok jelas sekali, kelihatannya seperti sudah ratusan tahun tidak pernah dihuni atau diperbaiki lagi, banyak tempat yang sudah keropos dan mulai gugur.
Thian-hi memasuki sebuah serambi panjang dari serentetan kamar2 yang terdiri dari papan, sekian lama Thian-hi ubek2an dalam rumah papan ini tanpa menemukan sesuatu yang mencurigakan, lambat laun hatinya menjadi kecewa dan putus asa. Baru saja ia bergerak hendak kembali keluar, tiba-tiba didengarnya suara keresekan yang lirih sekali. Thian-hi terkejut, cepat ia membalikkan tubuh, dilihatnya si tua Kelelawar sedang berdiri di belakangnya.
Mengawasi orang tua di hadapannya Hun Thian-hi melongo dibuatnya, ia heran kenapa selama ini dirinya ubek2an Bian-hok Lojin sengaja menyembunyikan diri, sebaliknya kini muncul secara mendadak membuat kaget orang saja.
Sekian lama mereka beradu pandang tanpa bergerak dan tidak bersuara, akhirnya Thian-hi jadi rikuh sendiri, katanya sambil menatap tajam si orang tua di depannya, “Kau harus segera membebaskan Nona Ciok Yan!”
Pandangan Bian-hok Lojin dingin tanpa perasaan, sahutnya, “Kaukah Hun Thian-hi yang mulai menanjak namanya di Kangouw akhir2 ini?”
“Ya, aku yang rendah memang Hun Thian-hi.”
“Bagus, memang tidak bernama kosong. semalam hampir saja aku terjungkal dalam tanganmu karena kurang hati-hati. Ternyata kau adalah ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek!”
“Kalau kau tahu itulah baik,” sahut Thian-hi dengan nada mengancam, suaranya berat, “Kau bukan kaum keroco yang tidak bernama, kenapa tanpa sebab menculik bini orang!”
“Tiga puluh tahun lamanya belum pernah aku melakukan perbuatan yang mengotori nama dan mendurhakai sanubariku. Meski sudah ratusan manusia yang binasa di tanganku, tapi mereka mati bukan tanpa sebab atau alasan yang cukup setimpal.”
“Kalau begitu mohon keteranganmu, apa alasan dan tujuanmu kau menculik nona Ciok Yan?” “Ciok Yan? Hahaha, siapa yang bernama Ciok Yan hakikatnya aku tidak tahu, tiga puluh tahun
lamanya aku belum pernah meninggalkan gedung ini setapakpun, orang yang kukerjain tiada seorang pun yang masih ketinggalan hidup dari mana aku menculik orang? Kau sedang kelakar agaknya!”
“Apa benar-benar?” tanya Thian-hi terkejut.
“Memangnya aku orang yang suka ngobrol?” jengek Bian-hok Lojin kurang senang.
Waktu Thian-hi kebingungan, tiba-tiba didengarnya derap langkah mendatangi dari sebelah belakang, tahu ia bahwa Ce-hun Totiang dan Bun Cu-giok sudah menyusul tiba. Setelah mendengar percakapan mereka. Timbul pertanyaan dalam benak Thian-hi, ia berpaling hendak bertanya, tapi dilihatnya Ce-hun Totiang sudah menerjang masuk langsung menubruk ke arah Bian-hok Lojin.
“Totiang nanti dulu!” teriak Thian-hi.
Baru saja suaranya lenyap lantas dilihatnya air muka Ce-hun Totiang rada ganjil, kontan ia mendapat firasat jelek, seolah-olah sesuatu peristiwa bakal terjadi, cepat ia memutar tubuh lagi, tapi dalam sekejap itu bayangan Bian-hok Lojin sudah lenyap tak keruan parah.
Ce-hun Totiang melesat kesamping menghindari rintangan sebelah tangan Thian-hi terus menggempur dinding papan disebelah depan sana. “Blum!” seluruh rumah menjadi hureg hampir ambruk, debu beterbangan memenuhi seluruh rumah. Tapi dinding papan yang kena pukulan itu sedikitpun tidak bergeming ambrol.
Bercekat hati Thian-hi, ia tahu dikala Ce-hun Totiang menerjang masuk ke dalam rumah ini kebetulan melihat Bian-hok Lojin melarikan diri kebalik dinding papan ini, maka ia mengejar datang sambil mengirim pukulan, tak terduga gerak gerik Bian-hok Lojin jauh lebih cekatan.
Tidak heran sekian lama tadi ia mencari ubek2kan tanpa menemukan jejak Bian-hok Lojin, kiranya rumah ini ada dipasang alat rahasia. Tapi yang peniting sekarang bukan cepat-cepat menyusul atau menemukan jejak musuh, ia harus mencari tahu dulu duduk perkara yang sebenar- benarnya.
Maka tanyanya kepada Ce-hun Totiang, “Cian-pwe, tadi Bian-hok Lojin sudah bicara dengan Wanpwe, ada berbagai persoalan aku mohon penjelasan secara terperinci!”
Bian-hok Lojin berhasil lari, hati Ce-hun jadi gegetun dan kecewa, kini mendengar pertanyaan Thian-hi lagi, ia jadi terkejut dan tegang, entah untuk persoalan apa. Dengan penuh tanda tanya ia pandang Thian-hi, katanya, “Ada urusan apa silakan Siau-hiap bicara saja?”
“Totiang, aku ingin ketegasan, apakah benar-benar nona Ciok diculik oleh Bian-hok Lojin?”
Agaknya Ce-hun tidak menduga Thian-hi bakal mengajukan pertanyaan ini, dengan kurang mengerti ia balas bertanya, “Benar-benar! Adakah sesuatu yang kurang beres?”
“Dari mana Totiang bisa tahu bahwa penculik itu adalah Bian-hok Lojin?”
Ce-hun Totiang merasa urusan kurang beres, nada pertanyaan Thian-hi sudah mempertegas dugaannya bahwa peristiwa ini jauh menyimpang dari dugaan semula, sejenak ia berpikir lalu sahutnya, “Kami mendapat tahu dari penuturan Hoan-hu popo sebelum pingsan!”
“Tadi Bian-hok Lojin berkata padaku, hakikatnya ia tidak tahu siapakah nona Ciok itu, ia tidak pernah menculik orang. Tiga puluh tahun lamanya belum pernah ia meninggalkan gedung ini setapak pun.”
Ce-hun Totiang melengak, sekian lama terlongong tak bicara.
Sebaliknya Bun Cu-giok menjadi gusar dan uring-uringan, teriaknya, “Dia bohong!” “Cu-giok!” cegah Ce-hun, matanya menatap tajam pada Bun Cu-giok.
Bun Cu-giok menjadi lemas dan tertunduk, air mata mengalir membasahi pipinya. “Wanpwe sendiri masih kabur akan duduk persoalan ini yang sebenar-benarnya, tapi dari raut mukanya waktu bicara aku yakin dia tidak membual, tapi bagaimana juga kupikir pasti urusan ini ada sangkut pautnya dengan dia. Jejak nona Ciok tentu dapat kita temukan dari keterangannya, untuk ini kalian tidak usah kuatir!”
“Sungguh aku tidak menduga urusan bisa berlarut dan ruwet, aku cuma mengharap dapat menemukan Ciok Yan saja!”
“Lebih baik Totiang dan saudara Cu-giok tetap diluar saja, biar aku sendiri mencari Bian-hok Lojin.
“Tidak” sahut Ce-hun tegas, “ini adalah lurusan perguruan kami, membikin Siauhiap ikut bercapai lelah kami sudah rikuh dan tak enak hati, kalau Siauhiap boleh meski ilmu silat kami terlalu rendah. kami ingin ikut menerjang ke dalam lebih lanjut!”
“Kenapa Totiang bicara begitu sungkan, aku cuma kuatir luka-luka Totiang yang perlu perawatan, gerak-gerik kurang leluasa lagi, kalau Totiang memang ingin meluruk ke dalam itulah memang amat baik!”
Thian-hi melolos Cu-hong-kiam, tenaga dikerahkan terus menusuk ke dalam dinding papan, begitu ditekan pada ujung pedang pelan-pelan lalu menggores telak, pedangnya menusuk masuk seketika Thian-hi dibuat terkejut heran, rumah papan ini kelihatannya sudah keropos dan hampir roboh kenyataan masih sedemikian kokoh dan kuat serta keras sekali dindingnya, mengandal ketajaman Cu-hong-kiam sudah mengerahkan setaker tenaganya lagi, hampir saja pedangnya tidak berhasil menusuk masuk.
Dimana ia gerakkan tangannya, Cu-hong-kiam menggores sebuah lingkaran bundar sebesar mulut sumur akhirnya dengan sedikit tenaga sendalaan seketika papan yang tergores bundar itu jatuh di tanah mengeluarkan suara kerontangan yang nyaring, kiranya itulah papan hitam yang terbuat dari logam keras. Thian-hi melengak heran, waktu diraba tangannya menyentuh dinding keras yang dingin, kiranya terbuat dari papan besi, tak heran pukulan Ce-hun Totiang yang dahsyat tadi tidak membuatnya cebol berantakkan.
Dilain kejap satu persatu mereka sudah masuk melewati lobang bundar itu, Thian-hi berada paling depan sambil jalan ia celingukan ke kanan kiri, kiranya dalam lobang ini ada ruangan lain, terdapat tiga terowongan bersilang yang menembus ke tempat lain entah kemana!
Thian-hi meneliti sekitarnya lalu memilih jalan tengah, didapati oleh Ce-hun dan Cu-giok bahwa sepanjang jalan lorong ini dibuat dari dinding besi semua, hati mereka jadi gundah dan was-was, selama mereka masuk ke dalam rumah gedung ini, Ban-hok Lojin selalu main bokong dan bertahan, belum pernah melancarkan serangan yang sesungguhnya kepada mereka, entah si orang tua apa benar-benar mempunyai kepandaian sejati.
Jalan punya jalan mendadak Bian-hok Lojin muncul lagi disebuah tikungan tak jauh di depan sana, matanya berapi-api memandang ke arah mereka. desisnya geram, “Berani kalian meluruk sedemikian jauh kesini!”
Bun Cu-giok menghardik keras terus menerjang ke arah musuh.
Thian-hi tidak menduga Bun Cu-giok berlaku begitu gegabah, raihan tangannya luput, sementara Ce-hun Totiang juga berseru, “Cu-giok!”
Tapi Bun Cu-giok sudah seperti serigala kelaparan terus menubruk dengan kalap, Thian-hi mengeluh celaka, sebat sekali ia melompat maju mengejar, Bian-hok Lojin mandah tersenyum dingin, kedua telapak tangannya dikembangkan lalu ditepukkan pula bersama, segulung tenaga kontan menyongsong kedada Bun Cu-giok.
Keruan bukan kepalang kaget Bun Cu-giok, dengan menggembor sekeras-kerasnya ia dorong kedua telapak tangan balas menyerang. Thian-hi jadi keripukan lekas-lekas sebelah tangannya mengebas berbareng tangan kanan bergerak miring memotong ke depan, sekaligus ia punahkan terjangan dua tenaga yang bakal saling bentur, sementara tubuhnya ikut menubruk maju pula, tapi dalam kejap itu pula setelah ia berdiri tegak bayangan Bian-hok Lojin sudah lenyap entah kemana.
Bun Cu-giok menjublek kesima, Ce-hun mengejar tiba, katanya menghela napas ringan, “Hun- siauhiap untung kau keburu menolong! Bikin susah kau pula!”-lalu ia geleng-geleng kepala.
“Tak menjadi soal, mari kita kejar ke depan!” sahut Thian-hi sambil mendahului lari ke depan.
Sesal dan haru pula Bun Cu-giok dibuatnya, sanubarinya terketuk dan hampa, sesaat ia terlongong tak bersuara. Urusan mengenai keselamatan istrinya, bukan saja ia main gagah2an, celakanya bukan saja tidak berhasil malah lebih malu lagi, Bian-hok Lojin berkesempatan melarikan diri pula.
Entah berapa panjang mereka menyelusuri lorong gelap tiba-tiba di depan sana tampak cahaya terang, sebuah gedung besar yang lain bentuknya tiba-tiba menjulang tinggi dihadapan. mereka, Hun Thian-hi menghentikan langkah, hati-hati ia maju beberapa langkah, seraya melongok ke dalam. gedung yang terbuka lebar, seketika ia berjingkrak kaget dibuatnya.
Seorang orang tua berambut uban tengah duduk samadi ditengah pendopo dalam gedung itu, tangan kanannya menyekal sebilah pedang panjang, dimana tangan kanannya bergerak ke atas, beruntun ia obat-abitkan pedangnya ditengah udara sebanyak puluhan jurus dengan tipu-tipu yang aneh dan menakjupkan, setiap kilasan sinar pedangnya mengeluarkan deru angin yang santer tanda betapa besar tenaga tabasan pedang itu, begitu cepat puluhan jurus itu dilancarkan, tahu-tahu dalam kejap lain sudah ditarik kembali, terlihat mukanya berseri-seri tawa, lalu menghela napas pula.
Terkejut dan bertanya-tanya benak Thian-hi, di tempat yang tersembunyi ini sungguh tidak kira ia menjumpai seorang ahli pedang yang begitu lihay, entah siapakah si orang tua berambut uban ini, kepandaian Lwekangnya yang hebat itu kiranya tidak di bawah kemampuan Bian-hok Lojin!
Terutama permainan ilmu pedangnya yang aneh dan sulit diraba alirannya itu sungguh menakjupkan.
Berulang kali si orang tua mengulangi latihannya, akhirnya ia letakkan pedangnya di pangkuannya lalu memejamkan mata.
Tiba-tiba Bian-hok Lojin muncul dari pintu sebelah samping sana, katanya sambil memandang ke arah mereka, “Kalian sudah berani kemari, kenapa tidak keluar unjukan diri?”
Thian-hi rada ragu-ragu, akhirnya melangkah keluar dan masuk ke dalam gedung itu.
Si orang tua beruban membuka mata mengamati Thian-hi, katanya kalem, “Apa maksud kalian datang kemari?” — mendadak sorot matanya berubah setajam ujung pisau.
Dari samping segera Bian-hok Lojin menanggapi dengan tersenyum ejek, “Untuk apa? Pasti untuk barang-barang itulah. Bocah itu mengagulkan diri sebagai ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek, anggapnya ia tanpa tandingan dikolong langit, berani main terjang di tempat terlarang ini, masih pura-pura gunakan alasan menuduh aku menculik orangnya!” “Bohong!” tak tahan lagi Bun Cu-giok membentak gusar. semprotnya, “Terang kau yang menculik isteriku. masih pura-pura mungkir. Kami menyusul dari tempat jauh di gurun utara kemari, masa kami kau anggap kelakar belaka?”
“Kalian menyusul dari gurun utara?” si orang tua beruban menegas dengan penuh perhatian. “Silakan kau tanya dia saja!” sahut Bun Cu-giok sambil menuding Bian-hok Lojin.
“Begitu?” seringai Bian-hok Lojin, “Baik, tak peduli kalian sengaja meluruk kemari atau cuma kebetulan tidak menjadi soal, yang terang kalian sudah sampai disini, demi Suhengku ini, jangan harap kahan bertiga bisa keluar dengan nyawa masih hidup!”
“Sute!” ujar si orang tua beruban, “kali ini tidak perlu kau bersitegang leher, kalau rekaanku tidak meleset, tuduhan mereka memang cukup beralasan!”
“Apa!” teriak Bian-hok Lojin, “Suheng jadi kau anggap akulah yang menculik gadis itu?” “Bukan begitu,” sahut si orang tua beruban sambil geleng kepala, “Gadis itu memang diculik
orang kalau rabaanku benar-benar, tamu agung dari gurun besar tentu sudah menyelundup ke dalam gedung kita ini!”
Mendengar uraian si orang tua beruban bercekat hati Ce-hun, teringat olehnya; ‘mungkinkah si orang tua beruban ini adalah Sin-heng-siu Pek Kong-liang dari gurun besar yang kenamaan itu?
Menurut berita yang pernah didengarnya dulu Sin-heng-siu Pek Kong-liang dari gurun besar merupakan jago silat nomor satu dari luar perbatasan pada jamannia dulu, tapi karena ia memiliki sebilah senjata pusaka yang menjadi incaran dari berbagai golongan sesat akhirnya ia dikepung dan dikeroyok puluhan musuhnya, sejak itu jejaknya menghilang peristiwa ini sudah terjadi puluhan tahun yang lalu, tak kira, hari ini ia bersua di tempat ini.’
Baru saja suara si orang tua beruban lenyap, orang laki-laki pertengahan umur yang mengenakan pakaian sastrawan tiba-tiba muncul dari balik gedung sebelah lain, tangan kirinya mengempit Ciok Yan yang sedang dicari ubek2an itu.
Seketika Bian-hok Lojin menggeram gusar, serentak ia melolos pedang.
Bun Cu-giok juga sudah bergerak hendak melabrak kepada laki-laki pertengahan umur itu.
Keburu sastrawan itu berkata, “Bocah gendeng, istrimu berada ditanganku, terima kasih kuucapkan kau telah bantu aku mendatangkan seorang pembantu yang berkepandaian tinggi!”
“Cay Siu!” ujar si orang tua beruban dengan nada rendah, “Akhirnya kau datang juga!”
Ce-hun Totiang sendiri sudah lama bersemajam di daerah gurun utara, bagitu mendengar nama ‘Cay Siu’ disebut seketika berubah air mukanya. Cay Siu, Leng-bin-siu-su Cay Siu. Dulu Cay Siu dan Pek Kong-liang merupakan dua tokoh tandingan yang paling lihay dari kalangan putih dan hitam, masing-masing tidak mencocoki satu sama lain, mereka sudah bentrok berulang kali, kaum persilatan umumnya mengira mereka sudah sama-sama mati, tak kira ke-dua2nya muncul bersama di tempat ini.
Terdengar Leng-bin-siu-su Cay Siu tertawa sinis, sahutnya, “Benar-benar! Dulu aku ikut keroyok kau, untung kau dapat melarikan diri dan belum modar sampai sekarang…. Hari ini kebetulan hadir pula ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek disini, maka Kiam~hoan-kiam-boh milikmu itu harus kau serahkan kepadaku!” Mencelos hati Thian-hi, sungguh licik dan ganas pula hati sastrawan bermuka dingin ini. cara kerjanya cukup keji pula, dengan meringkus Ciok Yan, sebagai sandera ia mengancam kami bertiga untuk beKerja bagi kepentingannya.
Dengan penuh kebanggaan Leng-bin-siu-su angkit alis…. katanya kepada Hun Thian-hi, “Bagaimana? kalian bertiga bantu aku, setelah Kiam-hoan-kiam-boh itu dapat kurebut, gadis ini segera kubebaskan!”
“Cay Siu, sungguh picik dan rendah amat perbuatanmu ini!” demikian maki si orang tua. “Picik dan rendah?” Leng-bin-siu-su menyeringai sadis, “Saudara Pek yang mulia apakah tidak
keterlaluan kau maki aku! Ini kan cuma suatu usaha demi mencapai tujuan belaka.”
“Kau bicara begitu pengecut dan hina.” demikian timbrung Thian-hi. jengeknya lebih lanjut, “Kau bukan tandingannya bukan?”
“Siapa tahu mana yang lebih unggul?” demikian sahut Cay Siu dengan seringainya, “Mungkin kau belum pernah dengar nama besarku, lihatlah sepasang kaki Sin-heng-siu Pek Kong-liang sudah buntung, mengandal apa dia berani turun tangan dengan aku. sayang seorang diri aku tidak bisa membagi tubuh untuk melawan dua musuh!”
“Sedemikian sombong kau mengandal lidahmu, seolah-olah mereka berdua sudah menjadi mangsa makan perutmu. Apakah kau tahu sudikah kami bantu kau?”
Cay Siu pandang Hun Thian-hi lekat-lekat, katanya tawar, “Kau berani tidak tunduk pada perintahku.”
“Pikiranmu terlalu jenaka, kalau kejadian bisa terjadi menurut jalan pikiranmu, jangan karena kau menawan orang kami sebagai sandera lantas mau main perintah dan dapat menguasai Bulim, kalau begitu anggapanimu kenapa pula kau harus merebut Kim-hoan-kiam-boh itu?”
Berubah paras putih Cay Siu. tapi sekilas saja wajahnya berubah wajar pula, serunya, “Apapun yang kau katakan tidak berguna lagi, kalau hari ini kau tidak bisa merebut Kim-hoa-kiam-boh itu, gadis ini bakal mampus dihadapan kalian!”
Amarah Bun Cu-giok kelihatannya sudah sukar berunding lagi, berulang kali ia sudah bergerak hendak melabrak musuh, tapi selalu dapat ditekan oleh Ce-hun Totiang, sebenar-benarnyalah jantung Ce-hun Totiang juga kebat-kebit, bila Hum Thian-hi tidak mampu menghadapi persoalan yang gawat ini, jiwa Ciok Yan pasti celaka, bagaimana juga mereka tidak mungkin bantu Cay Siu. tapi juga serba sulit untuk menggunakan kekerasan.
“Jangan kau main gertak! Kami tidak perlu gentar!” sahut Thian-hi dengan suara tawar, diam- diam ia sudah menerawang situasi yang terjepit ini, terpikir olehnya suatu cara yang cukup sempurna, ia harus berusaha untuk mengendalikan situasi menjadi lebih tenang.
Dalam berkata-kata diam-diam ia sudah kerahkan Pan-yok-hian-kang, tiba-tiba sebelah tangannya mencomot kedinding yang keras itu, dimana jari jemarinya mencengkeram dinding besi yang keras itu seketika menjadi remuk berhamburan, seperti meremas lempung saja, disusul ia gosokkan kedua telapak tangannya, secomiot besi ditangannya itu hancur lebur menjadi bubuk besi.
Cay Siu dan lain-lain berubah pucat melihat demontrasi kekuatan yang hebat sekali, tiada seorang pun yang hadir menyangka bahwa Thian-hi membekali ilmu sakti yang tiada taranya ini. Thian-hi menenangkan hati dan mengatur pernapasan sebentar lalu berkata kepada Leng-bin- siu-su Cay Siu, “Jangan kau lupa, akulah ahli waris dari Wi-thian-cit-ciat-sek.”
Tambah terkejut Cay Siu dibuatnya, nada Thian-hi secara tidak langsung balas mengancam padannya, betapapun ia tidak mandah diancam semena-mena, mengandal Lwekang Thian-hi yang mengejutkan itu, ditambah permainan pedang Wi-thian-cit-ciat-sek yang sakti pula, para hadirin tiada seorangpun yang menjadi tandingannya, menang atau kalah jelas tergenggam ditangannya.
Cay Siu berusaha mengendalikan rasa Kejut dan takutnya, dengan tertawa dibuat-buat ia berkata, “Pembantu yang kuperlukan justru orang macam kau yang punya kepandaian tinggi, kalau kau yang menghadapi orang tua she Pek itu, persoalan pasti tidak akan berbuntut panjang.”
“Jadi ada persoalan kalau menghadapi kau?” “Kau berani!” bentak Cay Siu dengan muka pucat.
“Darimana kau tahu aku tidak berani. Hari ini terhitung kau masuk ke dalam jala dan menempuh jalan buntu, seluruh hadirin kalau bekerja sama, meski ditambah lagi seorang Leng- bin-siu-su juga bakal mampus dibuatnya!”
Semakin pucat muka Cay Siu, ancamnya, “Sedikit kau berani bergerak, jiwa Ciok Yan segera kutamatkan!”
“Eh, kenapa sih kau Leng-bin-siu-su! Sudah ketakutan ya?” demikian sindir Bian-hok Lojin, “Sayang sampai hari ini luka-lukamu dulu baru sembuh, tapi begitu muncul lantas ketemu batunya.”
“Urusan masa begitu gampang sesuai dengan bacotmu,” demikian balas jengek Cay Siu, “Persoalan Kim-hoan-kiam-boh itu hari ini harus dibikin penyelesaian.” -lalu ia berpaling ke arah Thian-hi dan sambungnya, “Sekarang juga kau harus turun tangan atau jiwa Ciok Yan segera kubikin tamat!”
Meski terkejut Thian-hi masih bisa berlaku tenang, sahutnya tertawa wajar, “Cukup sedetik saja jiwanya melayang, maka jiwamu juga segera akan menyusul ke akhirat. Cobalah kau pikir sekali lagi lebih masak, terserah bagaimana keputusanmu nanti!”
Selamanya belum pernah Leng-bin-siu-su Cay Siu dibikin terdesak serba runyam begini, hatinya menjadi gundah pikirnya, “Apakah bantuan yang kupancing kemari dengan daya upaya yang memeras keringat ini menjadi hampa sama sekali?” — lalu terpikir pula, “Dengan jerih payah kuculik gadis ini, apakah harus kuserahkan kembali begitu saja? Tidak mungkin terjadi!” — pikir punya pikir gengsinya merasa terpukul, ia tidak percaya Hun Thian-hi punya nyali begitu besar, cepat ia angkat sebelah tangannya serta mengancam kepada Hun Thian-hi, “Apapun yang kau ucapkan tiada gunanya lagi, orang ini berada di tanganku, hidup atau mati akulah yang menentukan, sebelum aku menghitung sampai sepuluh kalau kau tidak turun tangan menggasak bangsat she Pek itu, akan kuhabisi jiwanya!” lalu ia mulai menghitung, “Satu…. dua…. tiga….”
Thian-hi tidak menduga Cay Siu berani memilih jalan keras, kalau ancamannya ini berani dilaksanakan, pihak sendiri menjadi terdesak malah, biji matanya dipicingkan ia mencari akal, jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah menolong dulu Ciok Yan dari belenggu Cay Siu, urusan lain gampang diselesaikan.
Kalau Hun Thian-hi kebat-kebit, adalah Bian-hok Lojin lebih gelisah, mendadak ia bersuit panjang, “sreng!” pedangnya terlolos keluar badannya lantas mencelat naik ke tengah udara, dimana sinar pedangnya terayun ia membacok dan menusuk, sekaligus ia lancarkan tiga serangan pedang yang hebat kepada Leng-bin-siu-su.
Leng-bin-siu-su tertawa gelak-gelak, dimana tangannya membalik sebat sekali iapun sudah melolos pedangnya terus mencelat terbang pula memapak ditengah udara.
Bian-hok Lojin berada di sebelah atas menyerang dengan musuh. Hun Thian-hi merasa takjup juga melihat permainan pedang kedua musuh yang sallng seiang itu, begitu lincah dan cukup ganas pula, selayang pandang sukar dinilai siapa lebih unggul dan asor.
Tapi posisi Bian-hok Lojin lebih menguntungkan karena menyerang dari sebeiah atas, sehingga gebrak pertama ini sama kuat, jadi kalau dinilai secara wajar, dengan posisi yang lebih menguntungkan tapi ia tidak berhasil berada di atas angin, ini berarti ia sudah kalah seurat.
Kejap lain mereka sudah melompat mundur dan hinggap di tanah pula. Tanpa menanti Bian- hok Lojin menyerang lebih lanjut Leng-bin-siu-su membentak ke arah Hun Thian-hi, “Lekas turun tangan, kau dengar tidak?”
“Begitu saja kau menghendaki aku turun tangan?” Thian-hi balas bertanya dengan suara datar, “Gampang saja bagi aku, cuma setelah mendapatkah Kim-hoan-kiam-boh itu lalu bagaimanaa penyelesaiannya? Kau inginkan Kiam-boh Wi-thian-cit-ciat-sek sekalian?”
Sementara itu Bian-hok Lojin sudah melabrak pula kepada Leng-bin-siu-su, ia tahu persoalan ini tidak gampang diselesaikan, dalam waktu singkat ini tak mungkin tersimpul cara penyelesaian yang sempurna oleh Thian-hi.
Melihat Bian-hok Lojin menerjang pula, Leng-bin-siu-su menjadi gusar, bentaknya, “Orang tua keparat, ingin modar kau!” — pedang panjangnya mendadak berputar memuntir laksana lembayung yang melingkar2 dengan cahaya yang menyala, “trang!” cukup sekali gentak ia berhasil menggetar lepas pedang panjang Bian-hok Lojin dan menancap di atas belandar.
Si orang tua berubah tertawa dingin, selanya, “Selama tiga puluh tahun ini kiranya kau tidak buang-buang waktu, jurus Hwi-hong-kian-jit (lembayung terbang menggulung matahari) yang merupakan kebanggaanmu ini kiranya berhasil kau latih dengan sempurna!”
Leng-bin-siu-su menyeringai bangga, sindirnya dengan sinis kepada Bian-hok Lojin, “Bagaimana, masih ingin coba-coba?”
Diam-diam terkejut juga Hun Thian-hi melihat permainan pedang dengan jurus Hwi-hong-kian- jit yang hebat itu.
Kali ini Leng-bin-siu-su menghadapi Hun Thian-hi pula, katanya, “Jangan kau kira Wi-thian- cit~ciat-sekmu itu cukup berharga dan menjadi rebutan semua insan persilatan, ketahuilah meski ilmu pedangmu itu tinggi dan hebat, Kim-hoan-kiam-boh ini pun bukan kepalang lihaynya. Kim- hoan itu sendiri dapat mengobati segala racun. kau kira aku sudi mengincar Wi-thian-cit-ciat- sekmu itu?”
Thian-hi tertawa besar, ujamja, “Siapa tahu obrolanmu ini benar-benar atau tidak, Wi-thian-cit- ciat-sek merupakan pelajaran pedang tingkat tinggi yang tiada bandingannya, masa kau rela kehilangan kesempatan yang baik ini?”
“Sudah diangan cerewet.” sentak Leng-bin-siu-su, “Apa yang kuperintahkan harus kau lakukan, kalau tidak diangan kau salahkan aku tidak sungkan-sungkan lagi!” Thian-hi menjadi naik darah, ancamnya, “Berani kau menyentuh seujung rambutnya akan segera kubuat badanmu dedel dowel.” — Gagah dan penuh wibawa pula kata-katanya yang tandas itu, pelan-pelan ia pun sudah melolos Cu-hong-kiam.
Mimpi pun Lengbin-siu-su tidak mengira reaksi Hun Thian-hi begitu ketus, melihat sikap Thian- hi yang berapi-api, sesaat ia jadi kesima. dan mematung sekian saat, mau tidak mau ia harus berpikir kembali dua belas kali menghadapi sikap keras Hun Thian-hi ini, bila ia sembarangan bergerak bukan mustahil jiwanya bakal segera melayang di bawah ujung pedang Hun Thian-hi!
Sin-heng-siu Pek Kong-liang memperdengarkan gelak tawa yang terkial-kial, serunya kepada Hun Thian-hi, “Hun-siauhiap harap kendalikan dulu amarahmu!”
Leng-bin-siu-su berkesempatan mengendalikan ketenangannya…. dengan kebencian yang meluap-luap dia main ancam lagi, “Aku tidak percaya kau tidak akan tunduk padaku, jikalau Ciok Yan mampus, cara bagaimana kau ada muka bertemu dengan orang-orang gagah di seluruh kolong langit?”
Thian-hi pun tidak mau kalah gertak, dengan lantang ia balas menyindir, “Aku cuma, merasa kalau aku bantu kau merebut Kim-hoan-kiam-boh itu, cara bagaimana aku harus memberi keadilan terhadap seluruh manusia dikolong langit ini!”
Sin-heng-siu Pek Kong-liang menghela napas panjang, katanya kepada Hun Thian-hi, “Siauhiap sambutlah ini!” — Berbareng ia sambitkan tangan kanannya, dua butir bola emas sebesar telur angsa melesat terbang dari telapak tangannya langsung terbang ke arah Thian-hi.
Semula Thian-hi tercengang, namun dalam sekilas itu lantas ia paham tentu bola emas yang ingin direbut Leng-bin-siu-su itulah, cepat ia ulur tangan kirinya meraih ketangah udara.
Terdengar Leng-bin-siu-su menggertak gusar, tiba-tiba tubuhnya mencelat secepat kilat menubruk ke arah Thian-hi, berbareng pedang panjangnya menusuk dan menyontek kebawah ketiak kiri Hun Thian-hi.
Begitu memgulurkan tangan kiri Thian-hi berhasil menyambut kedua bola emas itu, berbareng ia rasakan angin tajam sudah menerpa tiba, keruan bercekat hatinya secara reflek kedua kakinya menggeser kedudukan melesat kesamping, tepat ia meluputkan diri dari tusukan pedang musuh yang sangat ganas.
Sudah tentu Leng-bin-siu-su tidak menyia-nyiakan kesempatan yang bagus dalam inisiatif penyerangan ini, lagi-lagi pedang panjangnya bergerak lebih lanjut, begitu membalik sinar pedangnya memetakan kuntum demi kuntum titik sinar kemilau yang merabu keseluruh badan Hun Thian-hi tujuannya hendak merebut bola emas yang digenggam ditangan kiri Thian-hi.
Terdengar Bian-hok Lojin menggertak nyaring, sebat sekali ia meluruk pula ke dalam gelanggang pertempuran, kedua telapak tangannya menggablok dan menghantam dari dua jurusan.
Baru saja Thian-hi berhasil menghindari tabasan pedang Leng-bin-siu-su, jurus kedua serangan lawan tahu-tahu sudah menggasak tiba pula, serangan jurus kedua ini jauh lebih keji ganas dan mematikan.
Amarah Hun Thian-hi sudah berkobar, terdengar ia menggeram murka, laksana kilat mendadak badannya melambung tinggi ke tengah angkasa, disaat tubuhnya melesat keataa kaki kanannya menendang ke arah pergelangan tangan Leng-bin-siu-su. jurus ini dia lancarkan kepada musuh sehingga pihak lawan berbalik terdesak harus membela diri lebih dulu. Sementara kaki kirinya pun tidak tinggal diam mendepak kemuka orang.
Cukup dengan menekuk dengkul dan menundukkan kepala Leng-bin-siu-su menghindari mukanya dari tendangan kaki lawan, berbareng pedangnya diputar untuk membabat kedua kaki Thian-hi.
Hun Thian-hi sudah memperhitungkan jurus balasan Leng-bin-siu-su ini, sejak tadi ia sudah siaga. sementara pedang ditangannya pun tidak tinggal diam, laksana seutas sabuk panjang tiba- tiba pedangnya menukik turun menyapu kemuka Leng-bin-siu-su pula, maka terdengarlah lengking panjang laksana pekik naga, kontan pedang panjang Leng-bin-siu-su kena dipapas kutung menjadi dua potong, dimana lembayung merah melandai tiba pula, tersipu-sipu Leng-bin- siu-su jejakkan kedua kakinya mencelat mundur sejauh mungkin. meski selamat tak urung mukanya pucat pias, terang ia sudah jeri.
Dalam pada itu serangan Bian-hok Lojin kebetulan sudah menghantam tiba pula dari sebelah belakang. menghadapi serangan bokongan yang dahsyat dari arah belakang ini Leng-bin-Siu-su memutar badan secepat gangsingan terus menerobos miring Ke arah kiri, untung ia berhasil menerobos lewat dari gencetan kilasan ujung pedang dan samberan pukulan telapak tangan.
Meski jiwanya selamat, ujung pedang Thian-hi toh berhasil memapas kutung lengan bajunya.
Dalam pada itu. menyusul Leng-bin-siu-su menjejakkan kedua kakinya menjulang tinggi kebetulan mencapai pedang Bian-hok Lojin yang menancap di atas belandar, waktu ia meluncur turun lagi sambil menenteng pedang kebetulan ia hinggap pula ditempatnya semula…. Dengan beringas ia awasi Thian-hi.
Serangan, jotos dan samberan pedang ketiga lawan ini terjadi dalam waktu yang teramat singkat Bun Cu-giok dan Ce-hun Totiang yang menonton disamping sampai berkeringat dingin dan berdebur jantungnya, baru pertama kali seumur hidup mereka menyaksikan pertempuran yang begitu dahsyat begitu mempesonakan dan tegang.
Si-heng-siu Pek Kong-liang sijago kawakan dari gurun utara pun sulit menekan perasaan hatinya yang tegang dan takjup, alisnya yang putih bertaut dalam. Adalah Bian-hok Lojin mau tidak mau harus mengakui kelihayan dan takjup pada Leng-bin-siu-Su yang berhasil meluputkan diri dari gencetan dua pukulan tingan dan sejurus serangan pedang yang hebat itu, setelah berputar-putar menjauh dan berdiri tegak lagi dengan waspada ia awasi Leng-bin-siu-su, berjaga- jaga menghadapi sergapan balasan musuh yang jahat ini.
Sementara Hun Thian-hi juga sudah meluncur turun, tak urung hatinya heran dan terperanjat juga, jurus pedangnya tadi meski lanjutan dari permainannya yang berhasil memapas kutung pedang lawan, tapi perbawanya bukan olah-olah hebatnya. Dari hasil adu kepandaian segebrak ini Thian-hi dapat menilai bahwa kepandaian Lengbin-siu-su agaknya tidak di bawah Tok-sim-sin-mo,
Bahwa sergapannya tidak membawa hasil malah jiwa yang hampir saja dikorbankan, sunggun membuat Leng-bin-siu-su giusar tak terperikan. Saking marah mukanya sampai pucat bersemu hijau dan berdiri mematung. Ia harus memeras otak cara, bagaimana menghadapi Hun Thian-hi lebih lanjut.
Sin-heng-siu Pek Kong-liang berkata kalem kepada Leng-bin-siu-su Cay Siu, “Kau tidak perlu menyebul jenggot mendelikkan mata, diantara kita tiada seorang pun yang menjadi tandingannya, menurut pendapatku kau terima takluk saja!”
Leng-bin-isau-su Cay Siu menyeringai ejek, belum sempat ia membuka suara Pek Kong-liang sudah berkata pula, “Aku punya cara penyelesaian yang lebih menguntungkan bagi kau, bukankah kau pandang rendah diriku? Sekarang tibalah giliran kita untuk menyelesaikan urusan ini sendiri, kita tentukan satu babak pertempuran, pihak yang menang boleh mengambil Kim-hoankiam-boh itu bagaimana pendapatmu?”
Leng-bin-siu-su menyeringai iblis, katanya sambil menetap tadiam ke arah Pek Kong-liang, “Kau bukan berkelakar bukan!” — Agaknya ia belum yakin akan kebenar-benaran kata-kata Pek Kong- liang.
Pek Kong-liang tertawa besar, ujarnya, “Kapan kau pernah melihat aku guyon-guyon, bicara terus terang mengandal kepandaian permainan pedangmu yang tidak berarti itu, tidak kupandang sebelah mataku, hayolah maju, kau tak usah kuatir!”
“Jangan kau menyesal dan pungkir janji ya?” Leng-bin-siu-su menegas.
“Pelajaran ilmu dari bola emas itu sudah tercetak dalam otakku, kenapa aku harus takut pada kau. Besarkan nyalimu, cuma aku kuatir kaulah nanti yang bakal terjungkal!”
Mau tak mau termakan juga kata-kata Pek Kong-liang oleh Cay Siu. pikirnya, “Bola emas itu sudah tiga puluh tahun digembol olehnya, bukan mustahil dia sudah apal diluar kepala seluruh pelajaran silat itu. Aku harus waspada!”
Menganalisa situasi yang dihadapi sekarang, pihak Hun Thian-hi jelas tidak kena digertak, kedua kaki Pek Kong-liang sudah cacat, seumpama ilmu silatnya maju berlipat ganda, perbawanya juga pasti banyak berkurang. Apalagi dirinya pun tidak pernah berhenti berlatih selama tiga puluh tahun terakhir ini, meskipun karena luka-lukanya dulu sehingga latihannya belum mencapai titik kesempurnaannya, tapi ia yakin bahwa hasil yang dicapainya pun cukup hebat, menghadapi seorang lawan yang cacat sepasang kakinya kiranya cukup berkelebihan bekal ilmu silatnya, dengan keyakinan yang teguh ini berlipat ganda pula keberaniannya!.
Sambil menengadah Leng-bin-siu-su bergelak tawa. serunya, “Begitupun baik, urusan kami biar kami berdua yang menyelesaikan sendiri, tak perlu orang lain ikut campur dalam penyelesaian urusan ini. Kau sudah mempelajari ilmu dalam bola emas itu, begitupun tiada jeleknya, supaya orang tidak menyebar kabar angin mengatakan aku menghina seorang yang sudah buntung kakinya.” — Lalu ia, tertawa lebih keras lagi.
Mendengar Leng-bin-siu-su bernada menghina, tak tahan bergelora amarah Pek Kong-liang, sambil mengeluarkan pedangnya ia menantang, “Jangan cerewet! Silakan mulai!”
Leng-bin-siu-su terkial-kial, tawanya semakin menggila bernada dingin mengandung pada menghina, Ciok Yan yang dikempit ditangan kirinya tidak mau dilepaskan, begitu pedang panjangnya bergerak langsung ia menyerang kepada Pek Kong-liang.
Diam-diam Hun Thian-hi kuatir bagi keselamatan Pek Kong-liang. tadi ia sudah mengukur sampai dimana tingkat kepandaian Leng-bin-siu-su, Sin-heng-su Pek Kong-liang sudah buntung kedua kakinya. untuk menghadapi rangsakan pedang lawan yang begitu hebat rasanya tidaklah mudah. Gebrak yang menentukan menang dan kalah, pertaruhan jiwa antara hidup dan mati ini. sulitlah dibayangkan bagaimana kesudahannya nanti.
Dengan segala kekuatan dan kemampuannya Leng-bin-siu-su mulai lancarkan serangan pedangnya. tapi Sin-heng-su Pek Kong-liang mandah tertawa ejek, “Cay Siu, jangan kau takabur!”
Sikap Leng-bin-siu-su tidak berubah hakikatnya ia anggap tidak dengar cemoohan lawan, pedang panjangnya malah bergerak semakin kencang dengan serbuan yang mematikan, menusuk menabas dan menggores dengan berbagai kembangan yang rumit, terakhir ujung pedangnya menyelonong keluar menusuk diantara kedua mata, Pek Kong-liang.
Sin-heng-siu Pek Kong-liang cukup menegakkan pedangnya terus digentak kesamping, tapi pedang Cay Siu tidak berhenti sampai disitu, beruntun ia ganti pula dengan empat lima jurus tipu pedang yang lihay dan licik, namun semua serangannya menjadi kandas ditengah jalan dipatahkan oleh perlawanan Pek Kong-liang yang mainkan pedangnya tidak kalah lihay dan hebatnya, akhirnya ia jadi gugup dan kaget juga. Sungguh ia tidak nyana setelah kedua kakinya cacat Sin- heng-siu masih membekal Lwekang yang begitu tinggi, perbawa ilmu pedangnya jauh lebih hebat dibanding masa mudanya dulu, rasanya malah setingkat lebih tinggi.
Giris hati Leng-bin-siu-su, pedang panjangnya tidak bergerak selincah tadi, sekarang ia amat hati-hati pada setiap gerak pedangnya, setiap kali ia mengganti posisi dan kedudukan pedang panjang baru pelan-pelan ditusukkan, setiap tusukan dan tabasan pedangnya selalu mengarah tempat penting yang mematikan ditubuh Sin-heng-siu Pek Kong-liang.
Hun Thian-hi menonton dengan cermat. Beberapa gebrak kemudian baru hatinya jadi tentram, didapatinya bahwa kepandaian silat Sin-heng-siu Pek Kong-liang dari gurun besar itu tidak kalah hebatnya dari Leng-sin-siu-su Cay Siu. Dalam hal ilmu pedang dan Lwekang malah setingkat lebih tinggi, terutama permainan ilmu pedangnya yang begitu ketat, rapat dan hebat itu terang Leng- bin-siu-su tidak mungkin dapat menyamai.
Tanpa bergerak dari tempat duduknya Sin-heng-siu Pek Kong-liang menggerakkan pedangnya melawan musuh, sekejap mata ratusan jurus sudah lewat, tiba-tiba tergerak hatinya, sambil bersuit nyaring panjang sebeiah telapak tangan kirinya menepuk tanah, kontan badannya melejit mumbul ke tengah udara, laksana bintang meteor langsung menubruk ke arah Leng-bin-siu-su, pedang panjang ditangannya tergetar memetakan berlapis2 sinar pedang yang berkembang melebar laksana sapu jagat. Kiranya ia sudah kembangkan jurus Pat-hong-hong-hi (hujan angin didelapan penjuru angin) dari pelajaran Kim-hoan-kiam-boh itu.
Lapisan sinar pedangnya semakin melebar besar laksana jala berkilauan menyilaukan mata, lalu merangsak bersama dari delapan penjuru angin ke arah Leng-bin-siu-su.
Tercekat hati Leng-bin-siu-su, untung pengalaman tempurnya sudah matang, dalam keadaan yang kurang waspada dan tidak bersiap ini, seluruh tubuhnya sudah terkenang oleh jurus Pat- hong-hong-hi. Apa boleh buat demi keselamatan jiwa sendiri secara licik ia lemparkan tubuh Ciok Yan ke tengah udara.
Dengan seksama Hun Thian-hi menonton dipinggir gelanggang, begitu tubuh Ciok Yan terlempar ke tengah udara, laksana naga meluncur tangkas sekali ia melesat terbang mengejar sekali raih tepat ia dapat mengempit tubuh orang.
Dengan akal liciknya ini memang Leng-bin-siu-su berhasil menyelamatkan jiwanya. Sementara Thian-hi langsung menyerahkan Ciok Yan yang ditolongnya kepada Bun Cu-giok,
cepat Cu-giok membuka jalan darahnya serta mengurut urat2nya, melancarkan darah yang tersumbat sekian lamanya….
Kuatir melukai orang lain waktu lawan dengan akal licik melemparkan tubuh orang bagi umpan pedangnya, syukur Sin-heng-siu cukup cekatan dan waspada pula, luar biasa cepatnya ia tarik balik dan batalkan seluruh kembangan serangannya lalu melayang balik kembali ke tempat duduknya semula. Diam-diam girang hatinya, baru pertama kali ini ia mengembangkan pelajaran baru yang dipelajari dari Kim-hoan-kiam-boh, nyata hasilnya luar biasa sekali, cukup sejurus dengan mudah ia sudah memaksa Leng-bin-siu-su melemparkan Ciok-Yan. Setelah berdiri tegak dengan nanar Leng-bin-siu-su mengawasi Sin-heng-siu, sungguh ia tidak habis berpikir ternyata begitu gampang ia terjungkal di bawah tekanan pedang lawannya yang buntung ini, semakin dipikir semakin berkobar amarahnya, geram sekali ia membentak, “Pek-lo- thau, tak nyana selama tiga puluh tahun ini kiranya kau sudah menggembleng diri, pelajaran Kim- hoan-kiam-boh itu terhitung sudah dapat kau curi belajar sebagian.”
Sin-heng-siu tertawa besar, ujarnya, “Jangan sungkan! Ilmu kebanggaanmu sendiri belum lagi kau kembangkan, kenapa begitu cepat mengaku asor?”
“Jangan kau takabur”, semprot Leng-bin-siu-su, “lihat saja nanti, aku masih berkelebihan dapat membereskan kau!” — ia insaf bahwa posisinya sudah mulai terdesak di bawah angin, Ciok Yan yang tadi dijadikan sandera kini sudah tertolong oleh Hun Thian-hi, harapan satu-satunya sekarang ia harus berhasil mengalahkan Pek Kong-liang, kalau tidak tiada jalan hidup bagi dirinya.
Dalam pada itu Ciok Yan sudah pelan-pelan siuman, betapa girang ia melihat dirinya di dalam pelukan suaminya, BUn Cu-giok.
Dipihak lain, Leng-bin-siu-su sudah tak sabar lagi, dengan memekik seperti kesetanan pedangnya dibolang balingkan mengeluarkan deru angin yang ribut, dengan kepandaian permainan pedangnya yang hebat ia menyerbu pula kepada Sin-heng-siu Pek Kong-liang, Gebrak kedua ini ia betul-betul sudah kerahkan segala tenaga dan kemampuannya, bertekad untuk mengadu jiwa sampai titik darah penghabisan.
Cukup sejurus ilmunya yang hebat tadi Sin-heng-siu memperoleh kemenangan, keyakinan hatinya semakin teguh, menghadapi rabuan pedang lawan ia mencelat naik keudara lagi, tak ketinggalan pedangnya pun berkelebat menyongsohg kemuka Leng-bin-siu-su.
Leng-bin-siu-su sudah bertekad untuk gugur bersama, begitu Sin-heng-siu maju memapak justru sesuai dengan keinginannya, terdengar ia terkekeh dingin, seluruh tenaga dikerahkan di atas pedangnya, tanpa mau kalah wibawa iapun songsongkan pedangnya ke depan.
Dua batang pedang saling bentrok ditengah udara, terdengarlah suara nyaring yang menusuk telinga bergema sekian lamanya, dua belah pihak mengerahkan setaker tenaga, kesudahannya tetap sama kuat. Sekonyong-konyong sebelum tubuh meluncur turun Sin-heng-Kiu percepat gerak pedangnya memberondong dengan serangan pedang yang cukup dahsyat, yang terlihay justru tiga jurus tabasan pedang terakhir yang mengarah muka tenggorokan dan dada Leng-bin-siu-su.
Semula Leng-bin-siu-su tidak mengira begitu dua pedang saling bentrok, Sin-heng-siu pura- pura menarik pedang dan meluncur turun, disaat ia tercengang itulah mendadak Pek Kong-liang sudah lancarkan tiga serangan pedangnya. Tiada tempo bagi Leng-bin-siu-su untuk memeras otak, sambil kertak gigi sebisa mungkin ia ayunkan pedangnya dengan jurus Hwi-hong-kian-jit, inilah jurus pedang kebanggaannya yang dilancarkan dengan tenaga besar dilandasi terbakarnya rongga dadanya, cuma satu harapannya berusaha menangkis atau menyelamatkan jiwa dari tabasan pedang Pek-Kong-liang yang hebat itu.
Sebetulnya posisinya jauh lebih menguntungkan bagi Sin-heng-siu, sayang ditengah jalan ia ragu-ragu, kalau tidak tentu pedangnya sudah berhasil mencopot kepala Leng-bin-siu-su dari badannya.
Cuma sedikit merandek itulah kedua pedang paling bentrok lagi, tapi suaranya tidak senyaring tadi, sebaliknya malah terdengar suara “cras, cras!” lalu didengarnya pula gerungan mereka seperti babi disembelih. Kiranya jurus Hwi-hong-kian-jit Leng-bin-siu-su betapa pun tidak kuasa menandingi ilmu pedang lawan, keruan kejut hatinya bukan main, Lwenkang Sin-heng-siu bahwasanya sudah jauh melompat lebih tinggi dibanding beberapa tahun yang lalu, keruan bercekat sanubarinya. Tapi dasar licik sekilas dilihatnya kedua kaki Sin-heng-siu yang buntung itu. kontan ia mengulum senyum dingin diujung mulutnya. Bentrokan kedua pedang lawan sama-sama tidak mau mengalah, agaknya Sin-heng-siu juga sudah terhanyut dalam mengejar kemenangan, semangat diempos hawa murni dikerahkan tenaga dalam pun kontan melandai keluar. Sekali tekan kebawah ia bikin badan Leng-bin-siu-su terdesak turun kebawah.
Tapi Leng-bin-siu-su sendiri sudah nekad dan melawan sekuat tenaga, ia insaf bila gebrak ini kalah, untuk meloloskan diri dengan selamat tidaklah mudah, mau tidak mau ia harus berusaha mati-matian.
Karena sama-sama mau menang, kedua belah pihak sudah mempertaruhkan jiwa masing- masing, Hun Thian-hi yang menonton diluar gelanggang jadi kebat kebit dan kuatir, jikalau lintasan selanjutnya Sin-heng-siu Pek Kong-liang tidak berhasil memperbaiki posisinya yang lebih unggul, alhasil ia sendiri yang bakal terjungkal kalah, apalagi kedua kakinya sudah buntung, bagaimana juga ia tidak akan kuasa bertahan lama.
Sudah tentu Pek Kong-liang sendiri juga sudah menginsafi kelemahannya ini, hatinya pun semakin gelisah, menurut perhitungannya saat itu ia pasti sudah berhasil mengalahkan Leng-bin- siu-su, kenyataan sukar sekali diluar perhitungan.
Dia sudah tidak mampu bertahan lebih lama lagi, pedang panjang ditangan kanannya ditekankan sekuat tenaga, lalu ia mengirup hawa mengganti napas, baru ia berusaha menarik pulang pedangnya, lalu disusul dengan melancarkan tipu Kim-in-ho-tong (bayangan emas berkelebatan) menggasak musuhnya. Tak nyana Leng-bin-siu-su sudah dapat meraba jalan pikirannya sekuat tenaga ia pun kerahkan tenaganya mendempel pedang lawan dan tidak dilepaskan sehingga lawan tak berkesempatan membebaskan diri merubah posisinya.
Dalam perang batin dan pikiran ini Leng-bin-siu-su terang berada di atas angin, serta merta ia mengumbar rasa hatinya dengan tertawa panjang, pedang panjangnya masih bertahan sekuat2nya, sedikitpun ia tidak beri kesempatan Sin-heng-siu- Pek Kong-liang menghirup napas.
Semakin gundah hati Pek Kong-liang, sekali kurang hati-hati atau lena jikalau sampai kena dikalahkan lawan, bagaimana baiknya nanti? Apakah secara rela menyerahkan Kim-hoan-kiam-boh kepada Leng-bin-siu-su yang jahat ini? Tidak mungkin terjadi! Dalam keadaan bertahan adu kekuatan tenaga dalam ini, meski ia membekali tipu pedang yang beraneka ragam dan lihay juga tidak berguna lagi.
Leng-bin-siu-su juga maklum dirinya tidak akan mampu balas menyerang, tapi ia pun tidak akan membiarkan Pek Hong-liang melepasKan diri, begitulah kedua musuh ini saling berkutat, kalau posisi begini berlangsung terus jelas pihak sendiri yang bakal menang. Beberapa saat sudah berselang, Pek Kong-liang jelas tidak kuasa lagi mempertahankan diri, otaknya diperas akhirnya tersimpul suatu cara, kecuali cara yang nekad ini ia tidak bakal memperoleh kemenangan.
Setelah mantap tiba-tiba ia dorongkan pedangnya ke depan dengan sisa tenaganya, Leng-bin- siu-su mandah menyeringai dingin, tanpa menanti Leng-bin-siu-su Cay Siu menduga-duga atau menyimpulkan pikiran lain, Sin-heng-siu Pek Kong-liang melanjutkan usahanya supaya orang menyangka bahwa dirinya berusaha meloloskan diri, secara tiba-tiba telapak tangan kirinya secepat kilat menggablok kebawah ketiak Leng-bin-siu-su, serangan kali ini ia lancarkan dengan seluruh sisa tenaganya. Mimpi juga Leng-bin-siu-su tidak menyangka bahwa Pek Kong-liang bakal berani menyerang dirinya dengan menempuh resiko besar. Keruan ia terkejut, tapi bagaimana juga ia pantang mundur, sekali ia tersurut mundur jelas dirinya pasti terjungkal, tapi bagaimana kalau tidak menyurut mundur meluputkan diri? Tiada tempo berkelebihan memberi kesempatan otaknya berpikir, dalam kejap yang hampir sama telapak tangan kirinya juga balas menggempur kelambung Pek Kong-liang, terpaksa ia harus menempuh cara adu jiwa. Kalau Pek Kong-liang masih sayang pada jiwanya sendiri pasti ia lekas-lekas batalkan serangannya.
Terdengar Pek Kong-liang menggerung pendek, ia insaf bila ia batalkan serangannya pasti ia kalah, jelas Kim-hoan-kiam-boh harus terjatuh ketangan Leng-bin-siu-su, akibat apa yang bakal terjadi sungguh ia tidak berani bayangkan.
Ia cukup bijaksana untuk memilih akibat yang berat dari pada yang ringan, demi kepentingan ribuan jiwa manusia ia rela mengorbankan jiwa sendiri, cepat ia kerahkan hawa pelindung badan menjaga tubuhnya, sementara telapak tangan kiri bukan saja tidak ditarik balik tidak kendor malah dipercepat dan kekuatan pun dilipat gandakan.
Mata Leng-bin-siu-su memancarkan rasa takut dan jeri, sungguh ia tidak nyana bahwa akibatnya bakal begini fatal, apa boleh buat terpaksa ia harus menyambut dengan kekerasannya. Maka terdengar pula dua suara menguak yang keras seperti hampir muntah2, seketika bayangan dua orang terpental jauh lepas kedua jurusan, seluruh hadirin sama terkejut, tiada seorang pun menyangka pertempuran adu jiwa ini bakal berakibat begitu parah, sesaat saking kesima mereka jadi lupa memburu maju memberi pertolongan.
Luka yang diderita Leng-bin-siu-su jauh lebih parah, terbanting lagi dengan keras di atas tanah, kontan ia semaput tak sadarkan diri.
Pek Kong-liang sendiri juga muntah darah, setelah mengatur pernapasannya ia berkata tertawa, “Untung aku tidak sampai kalah!” habis berkata ia menyemburkan darah lagi, selanjutnya ia pejamkan mata istirahat.
Dengan menggeram Bian-hok Lojin memburu maju ke arah Leng-bin-siu-su, kaki sudah terangkat hendak menginjak hancur batok kepala Cay Siu.