Bab 30
Karena kekuatirannya. ini maka Thian-hi tidak maju lebih lanjut, pelan-pelan ia membungkuk menjemput serulingnya. Dengan nanar ular aneh itu mengawasi Thian-hi sambil memainkan lidahnya, setelah mengalami kekalahan tak berani ia menerjang pula dengan nekad. Ia tak tahu apakah tingkah laku Thian-hi ini merupakan pancingan belaka, bila pertahanan dirinya kendor dan Thian-hi lantas menyerang pasti runyam akibatnya. Maka ia mendelong saja mengawasi Thian-hi menjemput serulingnya, tak bergerak dan tak berani menyerang pula.
Setelah seruling berada di tangan, Thian-hi melirik ke arah si ular, dia tak bisa terlalu lama berada di tempat ini, Ma Gwat-sian yang terkurung di dalam lembah sana perlu segera ditolongnya, maka ia harus cepat-cepat menerjang masuk. Tengah ia berpikir2 mendadak dari jauh sana terdengar lengking suara panjang, ular aneh itu seketika menegakkan badannya tinggi2, kepalanya celingak-celinguk, seperti tengah mendengarkan apa.
Beruntun suara lengking itu semakin dekat dan keras, si ular menjadi bersitegang leher, cepat- cepat ia putar balik ke arah datangnya semula dan merajap cepat sekali sekejap saja sudah menghilang dari pandangan mata.
Thian-hi terheran-heran, sesaat ia menjadi kesengsam dan lupa melancarkan serangan, sementara itu si ular aneh sudah pergi dengan cepat.
Thian-hi bertanya-tanya dalam hati; ‘peristiwa apakah yang telah terjadi disana, kenapa begitu tegang, ia celingukan ke empat penjuru, sedemikian banyak ular yang tersebar dimana-mana itu sekarang sudah lenyap sama sekali.
Baru saja Thian-hi berniat memburu ke arah depan, sekonyong-konyong hidungnya dirangsang bau harum semerbak terbawa angin, bau harum ini begitu merangsang membuat ia seperti hampir mabuk, disadari oleh Thian-hi bahwa mungkin disekitar sini terdapat sesuatu rumput sakti yang sudah tiba saatnya masak.
Waktu Thian-hi berpaling memandang kebawah lembah, kejadian yang lebih aneh seketika terbentang di depan matanya, dimana bau harum itu tersiar terbawa angin, rumput-rumput ular di bawah sana seketika menjadi lemas dan rebah semua.
Thian-hi heran dan bertanya-tanya, cepat ia melayang turun begitu berada di dalam lembah didapati semua rumput-rumput ular itu seperti lumpuh sama sekali, tak bergerak lagi rebah dengan lemas lunglai. Demikian juga laba-laba hijau itu semua sama menggeletak seperti sudah mati semua.
Semakin besar rasa heran Thian-hi, entah benda apakah yang dapat. menundukkan rumput dan laba-laba berbisa ini? Begitu lihay, sedikit merandek cepat ia melayang masuk ke dalam lembah sebelah dalam sana terus menerjang ke arah gubuk batu itu.
Belum lagi ia mencapai gubuk batu itu, di tengah jalan sekonyong-konyong didengarnya suara aneh di sebelah depan samping, tiba-tiba seekor laba-laba warna merah darah merangkak keluar dari sela-sela rumput lebat, sepasang matanya yang besar dengan garang menatap ke arah Thian- hi.
Kejut Thian-hi bukan kepalang, selamanya belum pernah dilihatnya makhluk aneh sebesar ini, serta merta ia menyurut mundur dengan gentar.
Laba-laba yang teramat besar seperti gantang merangkak maju ke arah Thian-hi, kelihatannya sembarang waktu ia sudah siap menyerang. Dengan menenteng serulingnya Thian-hi siap waspada, segala gerak-gerik si laba-laba besar ini tak lepas dari pandangan matanya.
Setelah maju dua langkah pula laba-laba merah besar itu mendadak mencelat menubruk, ditengah udara mulutnya lantas menyemburkan gelagasi warna merah yang bertaburan seperti hendak menggubat seluruh badan Thian-hi.
Thian-hi mendengus hidung, gesit sekali ia melompat menyingkir, sambil mengertak gigi serulingnya ia jojohkan menutuk kelambung laba-laba yang gendut besar. Sementara Laba-laba besar itu meluncur turun hinggap di belakang Thian-hi, bersama gelagasinya yang disemburkan semakin banyak berusaha mengepung Thian-hi. Terpaksa Thian-hi melejit ke atas. Agaknya si laba-laba merah ini sudah tahu bahwa Thian-hi tentu akan menghindar dengan jalan mencelat ke atas, cepat iapun melejit tinggi pula, gelagasinya laksana jala bertaburan di tengah angkasa menungkrup ke badan Thian-hi.
Thian-hi sudah waspada bila ia tidak cepat-cepat lolos dari kepungan, gebrak selanjutnya tentu lebih sukar untuk menerjang keluar dari kepungan gelagasi ini, jelas pula bahwa gelagasi itu pasti mengandung racun yang teramat jahat, sedikit mengenai kulit badannya jiwa pasti melayang.
Tanpa ragu-ragu mulutnya menggertak nyaring, serempak serulingnya ditaburkan dengan jurus Bangau terbang menembus awan mega, selarik sinar putih kemilau menembus tinggi menerjang ke berbagai penjuru, sementara itu hawa murni Thian-hi pun sudah dikerahkan untuk melindungi badannya yang turut menerjang pula.
Seketika hawa udara bergolak seperti terjadi angin ribut, laba-laba merah itu kena terpental mundur terdesak oleh kehebatan kekuatan permainan tenaga Thian-hi. Thian-hi jadi mendapat kesempatan terbang melesat keluar, di tengah udara ia jumpalitan setengah lingkaran terus terbang lurus ke depan.
Laba-laba merah itu mengeluarkan jerit aneh, kelihatan badannya kembang kempis, secepat kilat tiba-tiba melesat maju, gelagasi menyembur pula dari mulutnya merintangi jalan mundur Thian-hi.
Bau harum itu semakin tebal memenuhi udara dalam lembah agaknya laba-laba merah itu terpengaruh oleh bau harum ini, serangannya semakin gencar, seolah-olah ia ingin menelan Thian-hi bulat2.
Karena kena dihalangi terpaksa Thian-hi putar balik melawan lagi. Sementara laba-laba merah sudah melejit tiba pula dihadapan Thian-hi, badannya seperti gentong, terutama perutnya semakin membesar menyedot gelagasi ke dalam perutnya, matanya yang besar madelik ke arah Thian-hi.
Dalam keadaan genting dan saling bertahan ini tiba-tiba kuping Thiah-hi mendengar gelak tawa yang nyaring, tampak Ang-hwat-lo-mo tengah lari mendatangi bagai terbang.
Diam-diam Thian-hi meningkatkan kewaspadaan, benar-benar diluar dugaannya bahwa Ang- hwat-lo-mo bakal muncul pula dalam situasi yang gawat ini, entah apakah maksud tujuannya, kalau dia bersikap memusuhi dirinya tentu sulit dihadapi bagaimana pun aku harus lebih hati-hati. Demikian batinnya.
Sambil bergelak tawa Ang-hwat-lo-mo berseru ke arah Thian-hi, “Sungguh beruntung kau, tepat kedatanganmu!”
Tergerak hati Thian-hi, tahu dia bahwa dalam lembah ini pasti terdapat sesuatu rahasia yang tersembunyi, mungkin Ang-hwat menyusul datang karena mengendus bau harum itu, dapatlah diterka kemana tujuan kedatangannya ini. pasti karena sesuatu benda mestika itulah.
Adalah sebaliknya tujuan dirinya bukan kesana. tujuannya hanyalah ingin menolong Ma-Gwat- sian yang terkurung di dalam gubuk batu itu, sejenak ia merenung lalu katanya kepada Ang-hwat- lo-mo, “Dengan cara apa laba-laba merah ini dapat ditaklukkan?”
Ang-hwat-lo-mo menggeram, serunya, “Tiga puluh tokoh-tokoh Kangouw dulu semua sama menemui ajal oleh keganasannya, menurut hemadku tiada sesuatu benda yang kuasa menundukkan binatang ini.” Sekilas laba-laba merah melirik ke arah Ang-hwat-lo-mo, badannya sudah bergerak hendak menyerang tapi diurungkan.
Thian-hi tahu bahwa Ang-hwat-lo-mo pasti membual belaka, kalau benar-benar kata-katanya kenapa pula dia harus muncul pula disini? Jelas bahwa diapun punya tujuan tertentu, sedang dirinya cuma diperalat belaka.
Kata Ang-hwat-lo-mo, “Ma Gwat-sian berada di dalam gubuk batu itu, coba kau pikir kenapa dia bisa. masuk kesana. dari sini mungkin kau dapat menyimpulkan sesuatu.”
Thian-hi tidak tahu maksud kata-kata Ang-hwat-lo-mo dia bungkam tak bersuara lagi. Dalam hati ia menerawang cara bagaimana ia harus bertindak lebih lanjut.
Tahu-tahu sesosok bayangan manusia meluncur turun pula dalam lembah, sedikit mengerlingkan mata hati
Thian-hi lantas bercekat, pendatang baru ini bukan lain adalah Bok-pak-it-koay (sianeh dari gurun utara) yang dulu berebutan buah ajaib dengan Hwesio jenaka. Lama tak ketemu tak duga beliau mendadak muncul di tempat ini, entah apa pula tujuannya kemari.
Begitu menginjak tanah Bok-pak-it-koay menyapu pandang ke arah Thian-hi berdua, ujung mulutnya mengulum senyum sinis, agaknya ia tidak pandang sebelah mata mereka berdua.
Ang-hwat-lo-mo mendelik ke arah. Bok-pak-it-koay, hatinya rada gusar dan kejut, diam-diam ia kagum akan kepandaian orang yang dengan cepat dapat mendengar kabar ini lantas meluruk datang, agaknya kedatangannya ini memang punya tujuan tertentu, dari rona wajahnya dapatlah diandalkan bahwa dia punya cara untuk mengatasi laba-laba merah ini. Dugaannya ini bukanlah tidak beralasan karena sebenar-benarnya Bok-pak-it-koay juga kenal dirinya kalau tidak punya andalan tidak mungkin ia bersikap begitu memandang rendah dirinya.
Dasar licik dengan tertawa cengar-cengir ia menyapa lebih dulu, “Tak duga kaupun menyusul datang!”
Dengan sikap congkak dan menengadah Bok-pak-it-koay melirik ke arahnya, ia menggendong tangan tanpa mengeluarkan suara, anggap tak mendengar sapaan Ang-hwat-lo-mO.
Sudan tentu bukan kepalang terbakar hati Ang-hwat-lo-mo tak nyana bahwa Bok-pak-it-koay begitu congkak berani memandang rendah dirinya, hampir saja ia sudah tak kuasa menahan gejolak amarahnya hendak melabrak Bok-pak-it-koay, tapi niatnya ia urungkan karena. ia berpikir, “Kenapa aku begitu goblok mencari perkara padanya. Lebih baik kutonton saja cara bagaimana ia menghadapi laba-laba merah itu, bila ia berhasil membunuhnya, belum terlambat aku turun tangan kepadanya. Seumpama ia tidak kuasa melawan laba-laba merah itupun tiada jeleknya bagiku.”
Dalam pada itu Bok-pak-it-koay sudah menghampiri dekat ke arah laba-laba merah itu.
Agaknya laba-laba merah menjadi murka, ia delikkan matanya semakin besar. kakinya bergerak- gerak siap menyerang. Kelihatannya Bok-pak-it-koay tidak gugup dan tidak gentar, agaknya ia yakin benar-benar akan kepandaiannya, kakinya beranjak semakin dekat.
Tiba-tiba laba-laba merah menubruk maju dengan kecepatan kilat, mulutnya menyemburkan gelagasi warna merah yang bertaburan laksana benang sutra, seluruhnya beterbangan menggubat keseluruh badan Bok-pak-it-koay. Mulut Bok-pak-it-koay mengeluarkan suara aneh, nadanya rendah dan serak, tiba-tiba tubuhnya melambung tinggi ke tengah udara lantas berputar satu lingkaran terus melesat melampaui atas kepala laba-laba merah, dan berlari bagai terbang ke arah lembah yang sebelah dalam sana.
Agaknya laba-laba merah sudah siaga, seperti sudah tahu bahwa Bok-pa-it-koay bakal bertindak begitu licik menerobos lewat dari penjagaannya, maka begitu serangan luput, badannya lantas berputar terbang mengejar dengan kencang, puluhan jalur gelagasi laksana rantai disemburkan menungkrup ke badan Bok-pak-it-koay.
Mulut Bok-pak-it-koay menggerang rendah, tangan kanannya diayun seketika bertaburanlah bubuk-bubuk putih laksana kabut pagi menerpa ke arah laba-laba merah.
Agaknya laba-laba merah sangat takut dan terkejut, cepat-cepat ia mencelat mundur sejauh mungkin.
Sementara Bok-pak-it-koay merandek sejenak, ia berpaling ke arah Ang-hwat-lo-mo dan Hun Thian-hi sambil unjuk seringai dingin lalu berlari bagai terbang ke dalam lembah.
Belum lagi Bok-pak-it-koay memutar tubuh Ang-hwat-lo-mo juga sudah melejit dengan kecepatan bagai anak panah meluncur ke depan langsung menerjang dengan pukulan berat ke punggung Bok-pak-it-koay.
Bok-pak-it-koay menggertak gusar, tanpa membalik tubuh dengan kaki masih berlari ke depan sebelah telapak tangannya menepuk ke belakang. Ia tahu seorang lawan Ang-hwat-lo-mo saja sudah terlalu berat baginya, apalagi ada Hun Thian-hi pula jelas dirinya bukan tandingan, saat mana obat bubuknya masih berhamburan semakin luas di tengah udara, laba-laba merah pasti tidak akan berani sembarangan bergerak, jikalau mereka berdua bergabung mengeroyok dirinya, tentu usaha yang sudah diatur dan direncanakan sempurna bakal gagal total.
Di lain pihak, begitu melihat dua belah sudah bergebrak Thian-hi tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, dua harimau saling cakar justru merupakan kesempatan dirinya untuk menerobos kesana, kalau daya kekuatan bubuk obat itu sudah punah laba-laba merah itu tentu akan menerjang lagi merintangi mereka, dengan kekuatan mereka bertiga juga belum tentu mampu membunuhnya, demikian terpikir dalam benak Thian-hi laksana kilat tiba-tiba badannya melambung ke tengah udara terus menerobos ke depan.
Dalam pada itu dengan sebelah tepukan tangan ke belakang Bok-pak-it-koay meminjam tenaga benturan yang kuat itu tiba-tiba badannya jumpalitan ke arah sebelah depan dalam jarak yang lebih jauh lagi. Tapi serta dilihatnya pula Hun Thian-hi juga tengah menerobos ke dalam sana, ia sangka tujuan orang sama dengan kemauannya, saking gugup segera ia gentayangan mencegat di depan Thian-hi.
Ang-hwat-lo-mo menyeringai, sudah tentu iapun ingin berkesempatan menerjang masuk dulu kelembah, tapi ia cukup licik bila ia menerjang langsung ia harus menghadapi rintangan dua orang di depannya, ini akan memakan banyak waktu dan tenaga, setelah berpikir sebentar tiba-tiba ia menubruk maju kedua telapak tangannya berbareng menepuk ke jalan darah mematikan di punggung Thian-hi.
Gesit laksana kera Thian-hi menggenjot dan menendang mundur Bok-pat-it-koay lalu menggeser kaki dua langkah kesamping dengan sedikit memutar tubuh, ia tahu bahwa dirinya sudah terkepung dan sedang digasak dari dua jurusan depan dan belakang, tanpa sempat berpikir, dua tangannya berkembang kedua arah yang berlawanan, masing-masing menangkis serangan Bok-pak-it-koay dan hantaman Ang-hwat-lo-mo. Begitu tenaga tiga belah pihak saling bentur badan Thian-hi lantas mencelat terbang menghindari benturan telak yang mungkin bisa menghancur leburkan isi perutnya, untung ia cukup cerdik. dengan pukulan gabungan musuh yang berlawanan ini ia malah berhasil lolos dan terhindar dari elmaut.
Tak nyana bahwa pukulan telapak tangan Ang-hwat-lo-mo tadi juga cuma gertakan sambel belaka, begitu tenaga pukulannya kebentur oleh perlawanan Thian-hi, orangnya pun sudah mental ke atas seperti kena pegas meluncur lempang ke depan, dilain kejap kakinya sudah berlari-lari kencang ke dalam lembah.
Sedikit kurang siaga Bok-pat-it-koay menjadi mencak-mencak gusar bahwa Ang-hwat-lo-mo berhasil menerjang masuk ke dalam sana, dengan menghardik keras ia mengejar dengan kencang.
Adalah dengan tipu pukulannya tadi Ang-hwat-lo-mo berhasil masuk ke dalam sudah tentu girangnya bukan main, tanpa hiraukan Bok-pak-it-koay dan lain-lain, ia percepat gerak kakinya, anggapannya tentu kali ini ia bakal berhasil mencapai harapan.
Diluar tahunya burung dewata tiba-tiba muncul di atas udara, setelah pekik burung berkumandang ditengah udara semakin dekat, tiba-tiba kelihatan pula Bu-bing Loni meluncur turun, tepat ia menghadang di depan Ang-hwat-lo-mo.
Begitu melihat Bu-bing Loni muncul disini, bercekat hati Thian-hi.
Adalah Ang-hwat-lo-mo lebih kejut dan gusar pula, diam-diam ia mengumpat dalam hati, “Lagi- lagi tua renta ini kemari, setiap usahaku yang hampir berhasil selalu dihalangi olehnya!” namun Bu-bing Loni jauh sukar dihadapi maka ia hentikan kakinya tak berani sembarangan bertindak.
Bu-bing menyeringai lebar, katanya, “Kalian bertiga sama ingin mendapatkan Jian-lian-hok-ling itu bukan? Aku kuatir tiada seorang pun diantara kalian bertiga yang membabat untuk memperolehnya!”
“Jadi Suthay juga mau ikut merebut?” demikian jengek Ang-hwat-lo-mo.
Dengan hambar Bu-bing pandang mereka bertiga, ujarnya, “Setelah aku berada disini, kalian harus cepat-cepat keluar dari Bik-hiat-kok ini, tiada keperluan yang harus kalian kerjakan disini.”
Sambil menahan rasa amarah yang bergejolak dalam dada, Ang-hwat-lo-mo tertawa dibuat- buat. jengeknya, “Mampukah Suthay seorang diri menghadapi makhluk aneh itu?”
“Urusanku tak perlu orang luar ikut campur.” demikian sentak Bu-bing Loni.
Meski Bok-pak-it-koay pernah dengar ketenaran nama Bu-bing Loni, tapi melihat sikap dan tindak-tanduknya tidak merupakan pambek seorang tokoh persilatan nomor satu apalagi wataknya begini congkak dan takabur, hatinya menjadi terbakar gusar, ejeknya menantang, “Kau ingin memonopoli sendiri, coba kau hadapi aku lebih dulu.”
“Siapa kau?” tanya Bu-bing.
Rasa gusar Bok-pak-it-koay men-jadi2, nada pertanyaan Bu-bing Loni terdengar begitu hina dan memandang rendah dirinya, betapapun sabar hatinya tak kuasa lagi ia mengendalikan diri, serunya bergelak tawa, “Siapa aku? Aku adalah aku, jangan harap kau dapat memonopoli Jian- lian-hok-ling itu. Agaknya kau sedang berangan2 kosong!”
Berjangkit alis Bu-bing Loni, matanya beringas memancarkan nafsu membunuh. Hati Bok-pak-it-koay menjadi ciut, tapi kekuatan lain menyanggah dirinya untuk memberanikan diri melawan Bu-bing Loni lebih lanjut, katanya dingin, “Laba-laba merah segera bakal menerjang datang pula, ingin kulihat cara bagaimana kau dapat merobohkannya!”
Bu-bing Loni mandah melirik saja, memang Laba-laba merah saat itu sudah mulai bergerak menghampiri ke arah mereka berempat.
Sekilas pandang saja Bu-bing Loni lantas tersenyum dingin. jengeknya, “Kau sangka cuma kau saja yang mampu menunjukkan dia?” — pelan-pelan ia malah menghampiri ke arah laba-laba merah itu.
Bok-pak-it-koay menggendong tangan, dengan acuh tak acuh ia perhatikan Bu-bing Loni bertindak, ingin dia melihat cara apa yang digunakan Bu-bing Loni untuk membekuk laba-laba merah yang jahat itu.
Begitu Bu-bing Loni muncul hati Ang-hwat-lo-mo menjadi jeri, tapi ia dapat berpikir dengan kekuatan gabungan tiga orang masa gentar menghadapi Bu-bing Loni. Terutama Wi-thian-cit-ciat- sek menurut anggapannya tidak bakal kalah dibanding ilmu pedang Bu-bing yang Lihay itu…. apalagi Ang-hwat berdua membantu dari samping tentu tidak sulit mengalahkan Bu-bing seorang. Tapi bila perlu saja mereka tiga orang bergabung mengeroyoknya, tiga buah pihak sama-sama adalah musuh kebujutan, bukan mustahil bila masing-masing ingin mencari keuntungan sendiri2.
Adalah jalan pikiran Hun Thian-hi lain pula, yang terpikir olehnya hanyalah cara bagaimana supaya dia dapat menerjang masuk ke dalam gubuk batu itu untuk membuktikan apakah benar- benar Ma Gwat-sian beserta gurunya ada di dalam sana. Entah cara bagaimana mereka berdua bila digelandang masuk ke dalam sana, bagaimana Ang-hwat-lo-mo bisa keluar masuk mengantar mereka, justru sekarang dirinya tidak kuasa masuk ke dalam lembah.
Dalam pada itu laba-laba merah itu sudah maju semakin dekat ke arah Bu-bing Loni. Bu-bing Loni berdiri diam siap siaga, bahwasanya ia sendiri pun tidak berani memandang rendah musuh binatangnya ini, kalau toh dirinya sudan datang dan bersikap takabur adalah aib bila ia mundur dan tak kuasa melawan.
Agaknya laba-laba merah itu juga merasa bahwa musuh yang dihadapi kali ini rada kuat dan merupakan lawan berat, sedikit pun ia tidak berani ceroboh, segala tindakan harus diperhitungkan lebih dulu.
Pancaran biji mata Bu-bing Loni semakin tajam dengan lekat ia perhatikan setiap gerak-gerik kedelapan kaki2 panjang laba-laba merah itu, pelan-pelan setapak demi setapak ia menggeser maju lebih dekat.
Dalam jarak kira-kira setombak lebih laba-laba merah menghentikan langkahnya, agaknya ia belum pernah melihat seorang manusia yang berani menantang dirinya, sesaat seperti ragu-ragu apakah musuh dihadapannya ini punya andalan untuk mengalahkan dirinya ataukah merupakan gertak sambel belaka. Demikian ia bertanya-tanya dalam hati.
Lambat dan pasti ujung mulut Bu-bing mengulum senyum dingin. Tiba-tiba laba-laba merah merangkapkan seluruh kaki2nya kontan badannya yang segede gantang itu mencelat terbang, ditengah udara kakinya berkembang pula langsung menubruk kebatok kepala Bu-bing Loni.
Bu-bing menggerakkan badan tanpa menggeser kaki seolah-olah ia bergaja hendak berkelit kesebelah kiri,laba-laba merah lantas menyemburkan gelagasinya ke sebelah kiri, tapi secepat itu pula Bu-bing Loni merubah arah kekanan seperti hendak menghindar, laba-laba merah lagi-lagi menyemburkan gelagasinya membendung jalan mundur Bu-bing Loni, beberapa kali Bu-bing bergerak ke berbagai arah selalu dirintangi atau dicegat oleh gelagasi, suatu ketika mendadak ia melesat langsung menubruk ke arah laba-laba merah itu.
Berulang kali laba-laba merah menyemburkan gelagasinya untuk merintangi Bu-bing melarikan diri, kini mendadak melihat Bu-bing menubruk langsung ke arah dirinya, agaknya ia tercengang, tanpa sempat banyak pikir iapun mencelat maju menyongsong ke arah Bu-bing Loni.
Ditengah jalan tangan kiri Bu-bing Loni merogoh ke dalam lengan bajunya, selarik sinar hijau kemilau berkelebat tiba-tiba Badik buntung melesat keluar dari timpukan tangannya langsung meluncur ke arah tengah-tengah diantara kedua mata laba-laba merah, sementara tangan kanan Bu-bing sendiri juga memutar pedang panjang, gelombang hawa pedangnya sekaligus menangkis dan memental balikkan seluruh gelagasi yang membendung dirinya hingga ia sempat mencelat keluar.
Sambitan Badik buntung Bu-bing Loni adalah begitu telak dan cepat luar biasa, belum lagi laba- laba merah menyadar dan tidak sempat berkelit, lagi kontan Badik buntung amblas seluruhnya ditengah kedua matanya, seketika ia menjerit keras dan aneh, lambat laun badainya menjadi lemas dan roboh mati.
Setelah mencelat keluar dan berdiri tegak Bu-bing Loni unjuk tawa dingin yang sangat bangga.
Sebenar-benarnyalah hatinya pun kebat-kebit, caranya menghadapi laba-laba merah memang teramat berbahaya sekali, seumpama sambitannya tadi tidak mengenai sasarannya, pasti seluruh tubuhnya bakal terlibat gelagasi yang beracun itu, ini berarti jiwanya tidak akan tertolong lagi.
Melihat Bu-bing sudah mengunjuk kepandaiannya sejati membunuh laba-laba merah, tengkuk Bok-pak-it-koay jadi berkeringat dingin. Betapa lihay dan tinggi kepandaian Bu-bing Loni, mengandal kemampuan sendiri masa kuasa melawannya?
Dasar licik dan berpengalaman luas Ang-hwat-lo-mo dapat meraba kemana jalan pikiran Bok- pak-it-koay. ia tahu bila ia bantu Bok-pak-it-koay menghadapi Bu-bing tentu orang akan berhutang budi pada dirinya, tapi yang penting sekarang dengan cara, apa pula sampai Hun Thian-hi sudi berpihak pada mereka,
Sekilas ia melirik Thian-hi otaknya mendapat akal, lalu katanya tawar pada Bu-bing Loni, “Bukankah yang kau gunakan tadi Badik buntung?”
Tujuan Ang-hwat-lo-mo adalah mengadu domba antara Hun Thian-hi dengan Bu-bing Loni, bila mereka sudah saling berhantam baru dirinya ikut terjun ke dalam gelanggang, begitulah rencananya.
Saat mana Bu-bing sedang mendelik ke arah Bok-pak-it-koay, tiba-tiba mendengar pertanyaan Ang-hwat-lo-mo, sebagai kawakan Kangouw masa ia tidak tahu kemana juntrungan pertanyaan ini, dengan geram ia pandang Ang-hwat-lo-mo dengan tajam.
Sudah tentu Hun Thian-hi sendiri juga maklum akan maksud Ang-hwat-lo-mo, ia cuma tersenyum belaka tanpa bersuara. Laba-laba merah sudah mampus, bila Bu-bing Loni saling gebrak melawan Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay, tentu dirinya berkesempatan menerobos kesana.
Maka terdengarlah Bu-bing Loni mengancam, “Kuperintahkan kalian segera keluar dari lembah ini!” Melihat Hun Thian-hi tidak menunjukkan reaksi apa atas adu dombanya, sedang Bu-bing sudah unjuk gigi. dengan tertawa tawar ia bertanya kepada Hun Thian-hi, “Apakah kau sudi keluar?”
Dengan kalem Thian-hi tertawa, ia tahu bahwa Ang-hwat-lo-mo sedang mendorong dirinya terjun ke dalam pertikaian ini, demi tujuannya sudah tentu ia tidak sudi keluar, namun bila ia bicara secara langsung, bukankah berarti ia berdiri dipihak Ang-hwat-lo-mo? Tadi ia sudah melihat gerak gerik Bu-bing Loni sudah tidak begitu gesit dan tangkas seperti dulu waktu bertempur melawan laba-laba merah, sahutnya tertawa, “Lihat keadaannya dulu!”
Diam-diam Ang-hwat-lo-mo mengumpat Thian-hi akan jawabannya yang licin ini, hidungnya mendengus, lalu serunya kepada Bu-bing Loni, “Benar-benar, kami akan bertindak setelah melihat situasi selanjutnya!”
Thian-hi jadi dongkol, dengan jawaban Ang-hwat-lo-mo ini berarti dirinya sudah diseret kepihaknya secara paksa.
Bu-bing Loni menyapu pandang mereka bertiga, ia insyaf bahwa luka dalamnya belum lagi sembuh, tujuan kali ini merebut Jian-lian-hok-ling justru untuk mengobati luka-luka dalamnya ini, sudah tentu dalam keadaan sekarang ia tidak ingin bersikap bermusuhan dengan Thian-hi yang merupakan lawan paling berat, bila mereka tiga musuh bergabung betapapun dirinya bukan tandingan.
Sebentar ia berpikir lalu katanya dingin kepada Ang-hwat-lo-mo, “Baik! Akan kulihat cara bagaimana kau bertindak menurut situasi. Sekarang kau mau keluar tidak?”
Ang-hwat-lo-mo menyeringai, ujarnya, “Masa sekarang?” — lalu ia berpaling ke arah Hun Thian-hi. Ia tahu bahwa Bu-bing Loni bertujuan membereskan mereka satu persatu.
Tidak menanti Ang-hwat-lo-mo banyak bacot, Bu-bing bertindak lebih cepat mengambil posisi yang menguntungkan, tanyanya kepada Hun Thian-hi, “Aku ada sebuah urusan hendak kuselesaikan dengan kau, kau boleh tetap tinggal, setelah mereka berdua pergi baru kita bicarakan!”
Bercekat hati Ang-hwat-lo-mo, ia tahu bahwa Bu-bing sedang memelet Thian-hi ke pihaknya, bila Thian-hi sampai akur dan kerja sama dengan Bu-bing Loni, maka mereka berdua pasti menghadapi rintangan terbesar untuk keluar dari lembah ini. Ia dapat memastikan kemungkinan ini karena tujuan Bu-bing Loni dan Hun Thian-hi berbeda, bila sampai mereka saling mengutarakan tujuan masing-masing, bukan mustahil mereka bisa bersekongkol.
Namun masih ada setitik harapan, yaitu bahwa Hun Thian-hi dengan Bu-bing Loni adalah musuh kebujutan, tak perlu disangsikan bahwa Hun Thian-hi tentu tidak mengharap Bu-bing bisa memperoleh Jian-lian-hok-ling itu, demikian juga Bu-bing tidak akan membiarkan Hun Thian-hi mencapai tujuannya, hanya selisih paham inilah yang dapat membuat mereka berdua saling bermusuhan.
Cepat Ang-hwat-lo-mo berkata kepada Thian-hi dan Bu-bing Loni, “Kepandaian silat kalian terpaut tidak banyak, siapa yang dapat memperoleh Jian-lian-hok-ling itu kelak pasti dapat menjagoi Kangouw sebagai tokoh Bu-lim nomor satu yang tiada tandingannya?”
Bu-bing Loni mendengus ringan. Jikalau Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay tidak hadir disini, ia tidak perlu kuatir menghadapi Hun Thian-hi, dengan adu domba Ang-hwat-lo-mo ini ia menjadi sukar membuka suara lebih lanjut…. Setelah berpikir Hun Thian-hi lantas menimbrung dengan suara tawar, “Tujuanku ke Bik-hiat- kok ini bukan karena Jian-lian-hok-ling. Aku cuma ingin menolong orang belaka!” — ia tahu bila ia turut campur merebutkan Jian-lian-hok-ling jelas ia tidak punya harapan, tujuan semula adalah menolong Ma Gwat-sian, kenapa pula harus ikut campur urusan tetek bengek?
Bu-bing rada tercengang mendengar penjelasan Thian-hi, dengan lekat ia pandang rona wajah Thian-hi agaknya ucapannya memang sungguh-sungguh, hatinya menjadi girang, namum ucapan Thian-hi ini tidak bisa dipercaya seratus persen, bagaimana juga ia harus hati-hati dan berjaga, sesaat setelah ia berkata, “Itu tidak menjadi soal….”
Tanpa menanti orang bicara habis tiba-tiba Ang-hwat-lo-mo menukas, “Tidak menjadi soal?
Belum tentu
ia insyaf bila, situasi berkembang terus demikian tentu tidak menguntungkan bagi dirinya, terpaksa harus mengubah keadaan, betapapun Hun Thian-hi harus diadu domba supaya menempur Bu-bing Loni.
Melihat Ang-hwat-lo-mo begitu berani menukas kata-katanya, malah nada ucapannya mengejek dan menyindir, serta merta menegak tinggi kedua alisnya, sorot matanya juga lantas beringas.
Dengan sikap kasar dan tukasan kata-katanya terhadap Bu-bing Loni ini, sudah tentu Ang- hwat-lo-mo sudah punya ancang2 dan pegangan, maka ia berkata lebih lanjut, “Jangan kau tergesa-gesa. Bagaimana juga Hun Thian-hi harus masuk ke dalam lembah, memang tujuannya hendak menolong orang, tapi siapa dapat menduga bahwa dia tidak akan mengincar Jian-lian-hok- ling itu? Bila sekarang kau hendak main paksa terhadap kami kurasa tidak gampang terlaksana.
Hun Thian-hi masih berada disini, dia tidak akan begitu goblok, bukan mustahil kau nanti bakal menghadapi gebrak terakhir yang menentukan nasibmu!”
Bu-bing termakan oleh profokasi Ang-hwat-lo-mo, sesuai dengan perkataan Ang-hwat tidak mungkin ia menyampingkan Hun Thian-hi untuk menghadapi Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it- koay. Benaknya lantas bekerja, terpikir olehnya cara yang sempurna bagi kedua belah pihak yaitu; ‘kecuali dapat memastikan bahwa Hun Thian-hi benar-benar tidak mengincar Jian-lian-hok-ling, urusan selanjutnya gampang diselesaikan.’
Setelah dipikir bolak balik akhirnya Bu-bing bertanya kepada Thian-hi, “Siapa yang terkurung di dalam rumah batu itu?”
Thian-hi tahu maksud pertanyaan Bu-bing ini, bicara sejujurnya sebenar-benarnya ia tidak rela membiarkan Bu-bing Loni merebut Jian-lian-hok-ling itu, tapi situasi dapat membenar-benarkan cuma dia saja yang ada harapan, jawahnya, “Seorang kawan!”
Sebelum angkat bicara lagi Bu-bing menatap Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay katanya kepada Hun Thian-hi, “Marilah kuiringi kau masuk kesana, setelah kau tolong keluar kawanmu itu kau harus segera keluar dari Bok-hiat-kok, tak kuijinkan kau ikut andil dalam perebutan ini, apakah kau setuju?”
“Begitupun baiklah!” sahut Thian-hi tersenyum.
Sudah tentu Ang-hwat-lo-mo menjadi gugup mencak-mencak, naga-naganya Thian-hi tidak ambil perhatian bila Bu-bing memperoleh Jian-lian-hok-ling itu, malah setuju kerjasama dengan Bu-bing Loni, bila ini benar-benar terlaksana, pihak dirinya dengan Bok-pak-it-koay bakal terjepit
dan takkan tertolong lagi, entahlah bila muncul suatu kejadian ajaib. Situasi sudah terbalik, apakah memang sudah nasib dirinya hari ini bakal terjungkal. Adalah hati Bu-bing menjadi senang, harapannya segera bakal terkabul, bila luka-luka dalamnya sembuh, ditambah Lwekangnya maju berlipat ganda, masa gentar menghadapi Hun Thian-hi. Setelah ia lirik ke arah Ang-hwat-lo-mo lalu ia ajak Thian-hi masuk ke dalam gubuk batu itu.
Sudah tentu Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay tidak mau tinggal diam, setelah saling beradu pandang, cepat mereka maju mengejar di belakang mereka, cepat atau lambat hal ini bakal terjadi, kenapa harus bimbang dan takut?
Tak lama kemudian mereka sudah berada di dalam gubuk batu itu, namun gubuk batu itu kosong melompong, sesaat Thian-hi mendelong, tiba-tiba ia berpaling mengawasi Ang-hwat-lo-mo sambil memicingkan matanya.
Ang-hwat-lo-mo sendiri rada diluar dugaan, agaknya heran bagaimana mungkin kedua orang kurungannya itu bisa lenyap tanpa bekas. Tiba-tiba tergerak hatinya, ujarnya tertawa, “Bagaimana? Ketemu tidak?”
Geram dan dogkol hati Thian-hi, katanya menyeringai, “Ang-hwat, jangan kau main bacot dan ngelantur. Dimana mereka kau sembunyikan?”
“Urusan ini kita kesampingkan dulu,” demikian ujar Ang-hwat, main ulur waktu, “Mari kita selesaikan dulu urusan Jian-lian-hok-ling itu.”
“Apa-apaan maksudmu ini?” sentak Hun Thian-hi berang.
Bu-bing Loni tersenyum ejek, ia tahu Ang-hwat-lo-mo sedang berusaha menarik Thian-hi kepihaknya, betapapun ia tidak akan tinggal diam, kalah atau menang gebrakan kali inilah yang bakal menentukan. Tapi Hun Thian-hi cuma ingin menolong orang yang terkurung disini tanpa perduli dengan Jian-lian-hok-ling, adakah ia punya akal supaya Thian-hi tidak memihak kepada Ang-hwat-lo-mo?
Waktu matanya mengerling tiba-tiba dilihatnya diujung dinding sana ditempel secarik kertas.
Tiba-tiba terbayang oleh Bu-bing akan sikap Ang-hwat-lo-mo tadi, tahu dia bahwa urusan tidaklah sederhana begitu saja, jelas kedua orang itu memang tadi ada disini, tapi sekarang sudah pergi, hal ini mungkin Ang-hwat-lo-mo sendiri juga belum tahu. Maka ia bertanya kerada Ang-hwat, “Maksudmu mereka berdua tidak berada di dalam gubuk batu ini?”
“Sudah tentu tidak disana.” demikian sahut Ang-hwat sambil bergelak tawa, “Bila ada matamu kan tidak lamur masa tidak melihat mereka berada disitu.”
“Waktu masih berada di mulut lembah tadi apakah kau tahu bila mereka sudah tidak lagi berada di dalam gubuk ini?” demikian jengek Bu-bing Loni.
“Begitukah anggapanmu?” seru Ang-hwat masih bergelak tawa, “Bila benar-benar mereka ada di dalam lembah, cara bagaimana bisa pergi meninggalkan tempat ini?”
“Jadi maksudmu bahwa hakikatnya mereka tidak pernah terkurung di dalam gubuk ini?” demikian Bu-bing Loni menegas.
Ang-hwat-lo-mo merasakan betapa genting urusan ini, ia maklum bahwa Bu-bing pasti menemukan sesuatu bukti di dalam gubuk itu, sudah tentu ia sudah membayangkan bagaimana akibatnya nanti. Maka dengan tajam biji matanyapun main selidik ke dalam ruangan gubuk sana, ingin dia tahu benda apakah yang telah ditemukan oleh Bu-bing.
Thian-hi sendiri juga sudah berpikir ke arah itu, bila Gwat-sian dan gurunya tidak terkurung di dalam gubuk ini, adalah mustahil Ang-hwat-lo-mo berani memancing dirinya untuk datang kemari, dan urusan tidak bakal berlarut-larut sampai sekarang.
Sorot mata mereka berbareng ketumbuk pada secarik kertas yang tertempel didinding itu.
Begitu melihat secarik kertas itu, tanpa ayal Ang-hwat-lo-mo lantas mencelat maju, bila ia dapatkan kertas itu, cukup untuk menekan dan mengancam Hun Thian-hi pula.
“Jangan bergerak!” Bu-bing Loni menghardik rendah seraya melolos pedang.
Apa boleh buat Ang-hwat-lo-mo harus berlaku nekad. ditengah jalan pedangnya pun dikeluarkan langsung menyongsong ke arah tabasan pedang Bu-bing dari arah samping, sementara tubuhnya tiba-tiba melambung tinggi, dengan kekerasan ia coba terjang kesana.
Pedang Bu-bing Loni ditaburkan sekencang kitiran, tiba-tiba ujung pedangnya menyelonong keluar langsung menusuk ke depan mengarah tenggorokan Ang-hwat-lo-mo.
Karena serangan gencar yang mematikan ini Ang-hwat-lo-mo terdesak mundur berulang-ulang, sungguh hatinya teramat kejut dan ciut bahwa sekali turun tangan Bu-bing tidak tanggung2 melancarkan ilmu pedangnya yang ganas untuk merangsak dirinya, taburan sinar dan hawa pedang yang menyamber dingin membuat semangatnya seolah-olah tersedot kaluar dari badan kasarnya.
Selama itu Hun Thian-hi masih berdiri tenang menonton Bu-bing Loni melabrak Ang-hwat-lo- mo, tiba-tiba tergerak hatinya, terpikir olehnya bukan mustahil kertas itu tertulis sesuatu hal yang tidak boleh diketahui orang lain. Maka tanpa ayal cepat ia lantas bertindak. seruling jade teracung miring, Wi-thian-cit-ciat-sek ia lancarkan dengan segala kemampuannya. serempak ia serang Bu- bing Loni berdua.
Sudah tentu Bu-bing menjadi gentar, tak disangka olehnya bahwa Thian-hi bakal menyergap dirinya, apalagi disaat ia tumplek seluruh tenaga untuk merangsak Ang-hwat-lo-mo, tak sempat menangkis terpaksa ia berkelit ke arah samping kiri.
Tujuan serangan Thian-hi ini memang hendak mendesak Bu-bing menyingkir rada jauh dari tempat kertas itu. maka sekali lompat Thian-hi berhasil meraih kertas itu, sekilas pandang ia dapati tulisan di atas kertas itu berbunyi sebagai berikut, “Untuk mengetahui jejak kedua perempuan ini, datanglah ke pesisir Ni-hay di Thian-lam!” — tulisan ini tidak dibubuhi tanda tangan atau nama terang, qaja tulisanaja sama dengan tulisen yang ia baca diluar hutan tadi.
Thian-hi berdiri terlongong. otaknya jadi berpikir, siapakah sebenar-benarnya orang ini? Sejak kecil ia dibesarkan di Thian-lam tak diketahui olehnya tokoh siapakah yang punya kepandaian silat sedemikian tinggi dapat menolong keluar dua orang dari Bik-hiat-kok, kejadian, ini benar-benar suatu hal yang luar biasa. entah apa pula kepentingannya ia menghendaki aku menyusul kesana?
Melihat Hun Thian-hi berhasil merebut kertas itu Bu-bing membanting kaki, baru saja ia hendak membuka mulut. tiba-tiba rona wajahnya berubah, agaknya ia sedang dirundung sesuatu kesulitan.
Dilain pihak Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay juga sama berdiri diam. rona wajah mereka bertiga mengunjuk mimik yang berlainan, ada yang gusar ada yang rada keheranan tercampur aduk. Adalah Hun Thian-hi sendiri mengerutkan kening, sekonyong-konyong ia seperti sadar peristiwa apa yang telah terjadi, hawa harum yang mengembang luas ditengah udara lambat laun sudah sirna. segera teringat olehnya kejadian apa pula yang bakal terjadi. Baru sampai disini jalan pikiran Thian-hi, tiba-tiba Bu-bing Loni, Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay sama menyerbu ke arah dirinya, tujuan mereka sama hendak merebut kertas rampasannya, cepat Thian-hi gosokkan kedua telapak tangannya, kontan kertas itu remuk berhamburan, berbareng kakinya menjejak tanah tubuhnya mencelat mundur berulang-ulang.
“Hun Thian-hi!” seru Bu-bing Loni dengan geram, “Besar benar-benar nyalimu, berani kau berlawanan dengan aku, apa yang tertulis di atas kertas itu?”
Thian-hi tersenyum sinis tak bersuara, tahu dia bahwa Ma Gwat-sian dan gurunya sudah tertolong orang, dan tuan penolong itu, sekaligus telah mencangking Jian-Lian-hok-ling sekalian. Tiba-tiba terpikir sesuatu olehnya, katanya, “Kalau kita terlalu lama tinggal di tempat ini, mungkin takkan dapat keluar pula dari sini!”
Sudah tentu Ang-hwat-lo-mo dan lain juga maklum akan hal ini, tapi Bu-bing Loni menjengek dingin, “Aku tidak menjadi soal, burung dewata akan cepat membawaku terbang keluar, tak usah kau kuatir lagi keselamatanku.”
Ang-hwat-lo-mo bergelak tawa, serunya, “Suthay! Kalau begitu maaf kami berdua harus mundur lebih dulu, kami nantikan Suthay dimulut lembah untuk berundingkan caranya untuk menyelesaikan hal ini.” — habis kata-katanya cepat mereka lantas berlari-lari kencang kemulut lembah.
Mendengar kata-kata Ang-hwat-lo-mo Bu-bing tahu kemana juntrungannya. cepat ia berseru, “Nanti dulu! Maksudmu kalian hendak mengejar orang itu?”
“Suthay dapat menyelamatkan diri menunggang burung dewata, apakah kau ingin kita menunggu ajal secara konyol?”’
Betapapun Bu-bing Loni tidak suka orang lain mendahului dirinya mengejar orang itu, maka dengan mendengus ia berkata pada, Thian-hi, “Kau harus ikut kami kesana, setelah tiba diluar Bik- hiat-kok biar Kami membuat perhitungan dengan kau!”
“Apakah Suthay tidak merasa tindakanmu ini terlalu berbahaya? Hun Thian-hi merupakan lawan yang tidak gampang diatasi, seumpama terjadi sesuatu diluar dugaan apa pula yang dapat kau perbuat?”
“Itu urusanku dan aku yang bertanggung-jawab. Kau tak usah cerewet!” begitulah semprot Bu- bing.
Begitulah akhirnya Ang-hwat mengalah bergegas mereka barlari keluar dari Bik-hiat-kok. sepanjang jalan ini kelihatan laba-laba hijau dan rumput-rumput ular sudah mulai bergerak- gerak…. terlambat sedikit lagi pasti sulit untuk keluar.
Begitu tiba diambang mulut lembah Bu-bing Loni. Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay sama menghadang ditengah jalan, tanya Bulbing kepada Hun Thian-hi, “Siapakah orang yang meninggalkan catatan kertas itu?”
Bila Bu-bing menunggang burung dewata mengejar tuan penolong itu pasti bisa kecandak dan orang itu belum tentu mampu meloloskan diri, maka Thian-hi menyahut tertawa, “Akupun tidak tahu, tulisan kertas itu tidak tertanda penulisnya!” Bu-bing mencak-mencak gusar. ia tahu dengan menunggang burung dewata ia mampu mengejar, tapi kalau niatnya ini sampai kentara, pasti tiga orang lawannya ini berusaha merintangi dan menyerang dirinya, kesempatan untuk tinggal pergi pun tiada lagi.
Akhirnya ia bertanya pula dengan suara rada kalem, “Sebenar-benarnya apa yang tertulis di atas kertas itu?”
Thian-hi sengaja main ulur waktu, sahutnya tertawa, “Aku tahu, tapi tak sudi kukatakan.
Bukankah kau bisa mengejar naik burungmu?” ia mendongak memandang kelangit tampak burung dewata terbang berputar-putar ditengah udara.
Semakin berkobar amarah Bu-bing Loni, menurut perhitungannya semula memang disaat mereka tiga orang tidak siaga ia hendak mencelat naik ke punggung burung dewata, tapi setelah dibeber terang-terangan oleh Thian-hi kesempatan ini menjadi hilang.
Akhirnya Bu-bing berkepastian hendak berlaku nekad, bagaimana juga ia harus berhasil merebut Jian-lian-hok-ling itu, waktu tidak boleh berlarut-larut lagi.
Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay juga sudah menaruh perhatian, mereka tahu bahwa harapan untuk memperoleh Jian-lian-hok-ling adalah kosong belaka, namun merekapun tidak rela bila Bu-bing
Loni yang bakal mendapatkan, serempak mereka melolos pedang, rona wajah mereka memperlihatkan tekad yang besar untuk merintangi Bu-bing Loni supaya tiada kesempatan tinggal pergi naik burung dewata.
Bu-bing mundur kesamping bersiaga, posisi dirinya menjadi serba sulit, namun lahirnya ia berlaku tenang dan mengulum senyum dingin.
Kata Ang-hwat-lo-mo sembari tertawa, “Bu-bing Suthay, bila kau benar-benar hendak tinggal pergi, bukankah kau terlalu memandang rendah kami bertiga?”
Bu-hing mendengus sambil mengertak gigi, mau tak mau ia harus berkeputusan menempur tiga musuhnya bersama, asal dia dapat mencapai punggung burung dewata, segala urusan ini pasti tak perlu direwes lagi.
Ia tahu ketika itu burung dewata sedang terbang rendah berputar di atas kepalanya cepat ia bergaja hendak mencelat naik. Serentak Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay sama menggerakkan pedangnya, yang satu membabat perut yang lain menusuk dada, kilauan tabir pedangnya sangat menyolok mata, serangan dua pedang yang hebat ini mandah dianggap enteng oleh Bu-bing Loni, yang menjadi perhatiannya paling utama cuma Hun Thian-hi melulu, melihat Hun Thian-hi tidak turut menyerang, hatinya menjadi rada hambar dan seperti kecewa, soalnya ia tidak tahu kapan Thian-hi baru akan bertindak menghalangi perjalanannya.
Sedikit ia beragu sementara serangan pedang kedua musuhnya menyerang tiba terpaksa Bu- bing tidak berani anggap enteng, dimana pedangnya panjang berputar lalu disendal keluar segulung hawa pedang yang berkilauan kontan menindih ke depan, sekaligus memunahkan rangsakan kedua pedang musuhnya. Sementara mendapat peluang ini tubuhnya mendadak melambung tinggi terus meluncur ke arah punggung burung dewata
Tiba-tiba dalam waktu yang sama Hun Thian-hi juga melejit ke atas, serulingnya teracung- acung ke atas melancarkan jurus Wi-thian-cit-ciat-sek, ia serang punggung dan lengan kiri Bu-bing untuk merintangi orang melarikan diri. Bu-bing Loni menggerung murka, pedang panjangnya membalik dengan setaker tenaganya menyongsong ke arah gelombang tenaga pancaran dari Wi-thian-cit-ciat-sek yang hebat itu.
Baru saja ujung pedangnya saling sentuh di tengah jalan, kontan Bu-bing merasa aneh dan kejut bukan main, bahwa tingkat latihan Wi-thian-cit-ciat-sek dan Lwekang Hun Thian-hi sekarang benar-benar diluar perkiraannya semula. Kekuatan Wi-thian cit-ciat-sek laksana angin lesus yang bergelombang tinggi sukar ditembus, hampir saja pergelangan tangannya yang memegang pedang tergetar lepas dari tangannya.
Tak berani berayal lagi Bu-bing cepat merubah permainan pedangnya, beruntun ia lancarkan tiga rangkaian ilmu pedangnya yang paling diagulkan, sinar pedangnya bagai lembayung memancarkan sinar kemilau menggasak ke arah muka Hun Thian-hi.
Tiba-tiba Hun Thian-hi jadi heran, kelihatannya Bu-bing Loni tidak mampu lagi melancarkan serangannya yang hebat ini dengan landasan tenaga dalamnya yang kuat itu, tapi waktu terlalu mendesak untuk ia banyak pikir, harapan satu-satunya cuma ingin merintangi perjalanan Bu-bing Loni belaka.
Cepat ia pun merubah permainan serulingnya dengan jurus Tam-lian-hun-in-hap salah satu jurus dari ilmu pedang Gin-ho-sam-sek ajaran Soat-san-su-gou yang ampuh sekali untuk mengurung dan membendung jalan keluarnya.
Diluar dugaan seiring dengan perubahan permainannya ini, tiba-tiba pedang panjang Bu-bing melesat terbang dan berhasil membobol keluar, sedikit terlambat saja pertahanan Hun Thian-hi menjadi pecah, sehingga Bu-bing Loni berkesempatan mencelat terbang ke atas dan tepat sekali hinggap di punggung burung dewata, kejap lain ia sudah menghilang di tengah udara.
Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay jadi berdiri melongo, semula mereka beranggapan bahwa Hun Thian-hi cukup berkelebihan untuk merintangi Bu-bing Loni, sungguh diluar dugaan akhirnya toh Bu-bing berhasil lolos.
Bagi Hun Thian-hi sendiri juga tidak menyangka begini kesudahan usahanya, begitu tubuhnya meluncur turun dan menyentuh tanah, dalam hati ia sudah berkeputusan untuk tetap menghadang perjalanan Bu-bing Loni, maka tanpa ayal cepat ia berlari-lari kencang melesat keluar lembah.
Ang-hwat-lo-mo insaf tiada manfaatnya ia merintangi cepat ia menyingkir kesamping. Tapi justru Bok-pat-it-koay berteriak dan mengejar di belakangnya, “Hun Thian-hi tunggu dulu, ada suatu hal hendak kuberitahukan kepada kau!”
Thian-hi sudah berhasil melampaui mereka di sebelah depan, ia tidak perlu kuatir apa lagi, terpaksa ia hentikan langkahnya, tanyanya, “Ada urusan apa lagi?”
Ang-hwat-lo-mo awasi Bok-pak-it-koay dengan pandang heran tak mengerti, entah urusan apa yang dimaksud dengan Bok-pak-it-koay untuk menahan Hun Thian-hi.
Kata Bok-pak-it-koay, “Tujuanku merebut Jian-Lian-kok-ling bukan untuk kepentingan sendiri, soalnya ada orang lain membutuhkan, tapi Jian-lian-hok-ling sekarang sudah lenyap gara-gara kalian!” sampai disini ia menyapu pandang Hun Thian-hi dan Ang-hwat-lo-mo lalu sambungnya, “Selanjutnya mungkin beliau bisa mencari perkara pada kalian, maka hati-hatilah!” — habis berkata ia berkelebat lari ke arah timur sana.
“Nanti dulu!” teriak Ang-hwat-lo-mo menyusul. Bok-pak-it-koay berhenti dan membalikan badan ke arah Ang-hwat-lo-mo.
Ang-hwat-lo-mo beranjak mendekati, Bok-pat-it-koay menjadi tidak sabar, serunya, “Ada omongan lekas katakan, berani maju lagi kutinggal pergi aku tidak akan gampang kau tipu.”
Ang-hwat-lo-mo ingin tahu siapa yang dimaksud oleh Bok-pak-it-koay itu, sangkanya bila ia dapat membekuk Bok-pak-it-koay tentu orang itu tidak akan mampu berbuat apa-apa atas dirinya, tapi sekarang terpaksa ia harus berhenti, tanyanya, “Siapa orang yang kau katakan tadi?” — ia tahu Bok-pak-it-koay bukan sembarang tokoh persilatan yang bernama kosong, kalau toh dia dikendalikan orang lain pasti orang itu teramat lihay.
Sebelum membuka suara Bok-pak-it-koay menyeringai tawa sinis, ujarnya, “Kukatakan juga tidak menjadi soal, beliau adalah Sin-jiu-mo-ih!” kali ini ia benar-benar berlari pergi tanpa rintangan.
Rada bercekat benak Thian-hi, sepak terjang Sin-jiu-mo-ih pernah ia saksikan sendiri, bilamana ia mau menimbulkan gelombang persengketaan di dunia persilatan, mungkin kalangan Kangouw bakal geger dan tiada seorang tokoh pun yang mampu mengatasinya.
Sesaat lamanya Ang-hwat-lo-mo terlongong ditempatnya, ia tahu siapa Sin-jiu-mo-ih dan apa pula kerjanya, dengan hambar ia mendongak keangkasa, akhirnya ia tersenyum pahit dan berkata pada Hun Thian-hi, “Sudah puluhan tahun aku berkecimpung dalam Kangouw, tapi tahun2 terakhir ini sering terjungkal dan gagal total, selamanya aku belum pernah dikalahkan sekian kalinya!” ia tertawa pula dengan hambar.
“Kenapa kau begitu berputus asa. Bila tadi kau tidak masuk ke dalam lembah sana kau tidak akan mengalami segala pahit getir ini.” demikian ujar Thian-hi.
Sesaat merenung Ang-hwat-lo-mo berkata pula tawar, “Yahhhhh! Mungkin tidak seharusnya aku muncul kembali dalam dunia ramai ini!” ia tenggelam lagi dalam alam pikirannya, lalu tambahnya tertawa, “Tapi kenyataan aku sudah naik kemari!” ~lalu ia berpaling ke arah Thian-hi serta katanya, “Selamat bertemu dilain kesempatan!” — ia tinggal pergi dengan langkah goyang gontai.
Membayangi punggung Ang-hwat-lo-mo yang menghilang dikejauhan sana. tiba-tiba terasa sesuatu keanehan dalam benak Thian-hi, terasa olehnya bahwa Ang-hwat-lo-mo ini membekal suatu sifat atau watak manusia yang ganjil dan istimewa. Meski berulang kali dirinya hampir menjadi korban akan keganasannya, namun ia tidak pernah merasa dendam terhadap Ang-hwat, Thian hi sendiri juga heran akan perasaan hatinya dan sulit untuk memberi jawaban akan pertanyaan diri sendiri…. Mungkin dalam sesuatu hal ada titik persamaan atas dirinya dengan Ang- hwat-lo-mo ini.
Begitulah Thian-hi melayangkan pikirannya dengan berdiri terlongong. Tak lama kemudian sudah berlari-lari di dalam hutan langsung menuju dimana ia berpisah dengan burung dewata. Setelah tiba tampak burung dewata sedang berbaring di atas rumput, segera ia naik kepunggung burung dewata terus terbang ke atas langit.
Burung dewata terbang berputar mengitari sekeliling lembah berbahaya itu, namun tiada sesuatu yang mencurigakan, tiada kelihatan jejak orang dari Ni-hay itu, juga tidak kelihatan bayangan Bu-bing Loni, Diam-diam ia merasa heran, akhirnya terpaksa ia turun lagi kebumi. Sesaat Thi-hi menjadi bingung, apakah harus menyusul ke Ni-hay? Atau mengerjakan apa lagi, kalau sekarang juga langsung menyusul ke Ni-hay mungkin Ni-hay Lojin itu belum sampai disana, lalu apa yang harus diperbuat dalam waktu senggang ini?
Waktu ia berdiri kebingungan tiba-tiba sesosok tubuh manusia getajangan menerobos keluar dari dalam hutan, muka orang ini berlepotan darah segar. puluhan langkah kemudian tak tahan lagi ia tersungkur jatuh ke depan.
Begitu melihat keadaan orang itu lantas Thian-hi berjingkrak kaget seperti disengat kala, sungguh tak duga bahwa dia bakal menghadapi peristiwa yang menggiriskan ini, karena orang yang terluka parah ini bukan lain adalah Ang-hwat-lo-mo yang baru belum lama berpisah.
Cepat ia memburu maju, tampak Ang-hwat-lo-mo rebah celentang, raut mukanya sudah tak dikenal lagi, mulutnya terlihat kemak-kemik tapi suaranya samar-samar tak jelas.
Jantung Thian-hi kebat-kebit dan badan gemetar saking seram, entah siapakah orang yang sampai hati melukainya sampai sedemikian rupa, Ang-hwat-lo-mo bukan tokoh sembarang tokoh, tapi kenyataan ia telah dilukai berat sekali, bukanlah tidak beralasan rasa kejut dan keheranan Thian-hi
Sedang ia berpikir2 ini sementara Ang-hwat-lo-mo sudah tidak bergerak lagi, jiwanya telah melayang.
Hun Thian-hi terlongong mengawasi jazat Ang-hwat-lo-mo, hatinya kosong entah betapa perasaan hatinya, kejadian berubah begini cepat, sehingga ia sulit mempersiapkan diri untuk menanggung akibatnya.
Tiba-tiba terdengar kesiur angin serta lambaian baju orang. Thian-hi sadar bahwa telah kedatangan seorang musuh yang kuat, tanpa berani angkat kepala, ia mencelat mundur lempang ke belakang.
Tampak seorang tua yang mengenakan jubah putih tengah berdiri tenang diluar hutan sebelah sana, orang tua ini angkat kepala menghadap kelangit, mulutnya terdengar menggumam, “Setindak terlambat aku jadi kehilangan Jian-lian-hok-ling!”
Menghadapi orang tua berjubah putih ini Thian-hi merasakan hatinya tertekan berat, tenggorokannya menjadi sesak, ia duga bahwa orang tua ini pasti Sin-jiu-mo-ih Lam In yang telah membunuh Ang-hwat-lo-mo.
Naga-naganya kepandaian silatnya tidak begitu hebat tapi kenyataan Ang-hwat-lo-mo sudah ajal ditangannya dalam waktu yang begitu singkat, mungkin dia punya suatu ilmu luar biasa yang ganas sekali, maka aku harus lebih hati-hati.
Seorang diri Sin-jiu-mo-ih menggumam lalu dengan sikap acuh tak acuh Lam In mengerling ke arah Thian-hi, tanyanya, “Apakah kau ini yang bernama Hun Thian-hi?”
Pelan-pelan Thian-hi manggut-manggut.
Terdengar Sin-jiu-mo-ih Lam In tertawa kering dua kali, katanya sambil menunjuk jenazah Ang- hwat-lo-mo, “Kau lihat dia? Dia sudah mati bukan?”
Dengan was-was Thian-hi pandang orang lekat-lekat. entah apa yang hendak dia perbuat atas dirinya. Terdengar Sin-jiu-mo-ih Lam In berkata pula, “Kau sedikit lebih pintar dari dia, kalau tidak kau pun sudah mampus sejak tadi. Aku rada takabur sehingga dia masih kuasa lari puluhan langkah baru roboh sampai disini.”
Bergidik badan Thian-hi, tengkuknya jadi merinding, diam-diam ia bersyukur bahwa jiwanya telah lolos dari lobang elmaut, untung Ang-hwat-lo-mo gentayangan puluhan langkah kemudian baru roboh, jika dirinya tadi memburu maju memajang tubuhnya pasti jiwanya pun sudah celaka dikerjain oleh Tabib iblis bertangan sakti Lam In ini.
Dalam pada itu tabib sakti bertangan sakti Lam In berkata pula, “Betapa pun kau tidak akan lolos dari tanganku, segera kau pun bakal terkapar di tanah tanpa jiwa.” — sampai disini tiba-tiba biji matanya memancarkan sinar hijau berkilat seperti mata srigala kelaparan yang haus darah.
Thian-hi menenangkan hati, katanya, “Mengandal apa kau berani bicara begitu pasti? Kejadian selanjutnya tidaklah bakal berakhir seperti apa yang kau bayangkan.”
“Coba kau lihat. Apakah Ang-hwat benar-benar sudah mati?” seringai Lam In. Thian-hi tertegun, entah apa tujuan Lam In mengucapkan kata-katanya ini.
Lalu terdengar Lam In tertawa dingin, katanya, “Salah dugaanmu!” — sembari berkata ia mengeluarkan sebuah buntalan kertas dari buntalan kertas ini ia menjemput dua butir pil warna hitam terus membungkuk tubuh dijejalkan kemulut Ang-hwat.
Sebetulnya Thian-hi hendak maju mencegah, namun kuatir Lam In sengaja mengatur tipu daya ia tidak berani semharangan maju, terpaksa ia saksikan saja setiap gerak gerik Sin-jiu-mo-ih Lam In yang aneh ini.
Sebenar-benarnya Ang-hwat-lo-mo memang sudah meninggal, tapi saat mana kelihatan mulai bergerak-gerak, Thian-hi tersentak mundur lalu berdiri dengan kesima, hampir ia tidak mau percaya akan pandangan matanya. Ternyata Lam In mampu menghidupkan orang setelah jiwanya melayang.
Pelan-pelan Sin-jiu-mo-ih Lam In berkata kepada Ang-hwat-lo-mo, “Kau majulah, bereskan manusia kerdil itu!”
Lagaknya Ang-hwat-lo-mo sudah kena dipengaruh kata-kata Sin-jiu-mo-ih, pelan-pelan ia berdiri dan terus melangkah maju ke arah Thian-hi dengan kaku.
Bahwasanya hati Thian-hi gentar setengah mati. namun sedapat mungkin ia berlaku tenang, dengan sikap acuh tak acuh ia menatap ke arah Ang-hwat-lo-mo yang sedang menghampiri dirinya, pelan-pelan ia berkata kepada Lam In, “Gertak sambelmu ini hanya cukup menakuti bocah kecil belaka, beranikah kau menempur aku?”
Sin-jiu-mo-ih menggerung gusar, tahu dia bahwa tipu muslihatnya gagal, maka sekali mengayunkan tangan, jazat Ang-hwat-lo-mo kontan roboh terbanting di tanah, serunya dingin, “Tapi seluruh kejadian ini benar-benar berada diluar dugaanmu bukan?”