Bab 26
Dalam pada itu, Kiang Tiong-bing dan Ham Gwat masih berpelukan dan bertangisan entah berapa lama kemudian. Kiang Tiong-bing tertawa serta berkata, “Nak. sudah jangan bertangisan lagi. Coba kulihat kau!”
Lalu ia cekal kedua pundak Ham Gwat dan dipanpangnya dihadapan mukanya dengan cermat ia amati wajah Ham Gwat yang aju rupawan itu, berselang lama baru terdengar pula suaranya tertawa girang, “Dua puluh tahun lamanya, kau sudah tumbuh sedemikian besar, sungguh mirip benar-benar dengan ibumu semasa muda. malah kecantikan ibumu rasanya masih kalah tiga bagian dibanding kau sekarang!”
Pertama Kali mendapat pujian dan yang memuji justru ayahnya sendiri Ham Gwat menjadi kegirangan dan malu-malu kucing, lekas ia menunduk dan memukul lengan ayahnya dengan aleman.
Kiang Tiong-bing terlongong memandangi muka Ham Gwat, akhirnya ia menghela napas, ujarnya, “Tapi. entah dimana sekarang dia berada!” — Ucapannya penuh nada derita dan pilu.
“Benar-benar ayah, dimanakah ibu sekarang berada?” tanya Ham Gwat.
Pelan-pelan Kiang Tiong-bing menggeleng kepala. sahutnya tertawa getir, “Ma Gwat-sian adalah seorang anak yang baik, aku sudah menerima dia sebagai putri angkatku. Gurunya tadi pun sudah menolong jiwamu kelak jangan kau membuatnya kecewa!”
Ham Gwat mengiakan, dipandangnya Ma Gwat-sian.
Ma Gwat-sian maju menghampiri katanya tersenyum, “Ham Gwat Cici, selamat akan pertemuan kalian ayah dan anak!”
“Teriina kasih padamu Gwat-sian!” sahut Ham Gwat terharu.
Sekarang terasa oleh Ma Gwat-sian bahwa sebenar-benarnyalah Ham Gwat jauh lebih sjmpatik dan gampang bergaul dari dugaannya semula. Memang lahirnya bersikap kaku dan berwibawa tidak boleh sembarangan diganggu usik, dia punya keagungan yang suci dan dapat melumpuhkan semangat orang, tapi bila sudah dapat berdekatan dengan akrab akan terasakan bahwasanya iapun mempunyai perasaan luhur yang wajar Tidak congkak atau sombong oleh perasaan sementara orang yang segan kepadanya.
Kata Ma Gwat-sian, “Tadi ayahpun telah melindungi aku, kalau tidak mungkin sejak tadi aku sudah mampus oleh keganasan Bu-bing Loni!”
Ham Gwat pandang muka Gwat-sian lalu menunduk berpikir, teringat olehnya akan penuturan Poci itu. sadar ia cara bagaimana ia harus bersikap dalam persoalan ini. Meski pun Ma Gwat-sian sangat pintar, tapi dalam hal buah pikiran dia masih belum cukup matang.
Sesaat kemudian baru Ham Gwat membuka suara, katanya, “Hun Thian-hi sekarang sedang mencari kau, hati kecilnya sangatlah merindukan kau. soalnya karena kau terlalu baik terhadapnya. Kau harus tahu, bila seorang laki-laki merasa sangat berterima kasih dan jatuh cinta, ada kalanya ia tidak berani menyampaikan rasa cintanya itu secara berhadapan terhadap kekasihnya!”
Ma Gwat-sian tertunduk dalam, ucapan Ham Gwat terlalu mendadak bagi relung hatinya untuk menerima dengan nalar dan pikirannya. malah iapun merasa rada kurang senang karena anggap Ham Gwat hanya membujuk dan ngapusi dirinya sebagai anak2 yang mendambakan kasih sayang dan cinta kasih.
Namun setelah ia mendongak melihat sorot mata Ham Gwat tulus ikhlas, hatinya menjadi menyesal pula, menyesal akan perasaan curiganya terhadap kebaikan Ham Gwat.
Terdengar Ham Gwat telah berkata pula, “Kau sudah lama bergaul bersama dia, seharusnya kau tahu, bahwa ia terlalu banyak menerima budi kebaikan orang lain, maka dia tidak mau lagi menerima budi pertolongan orang lain, inilah yang dinamakan harga diri dan gengsi. Adalah aku murid dari musuh besarnya!”
Ma Gwat-sian tertawa, ujarnya, “Ham Gwat Cici, kumohon kau tak perlu membicarakan persoalan ini!”
Ham Gwat manggut-manggut, segera ia menghampiri Poci, katanya, “Cianpwe terluka parah, aku bisa bantu kau berobat diri, marilah lancarkan jalan darah dulu!” ~tanpa menanti jawaban Poci kedua telapak tangannya segera menempel dipunggungnya, segera ia kerahkan tenaga dalamnya disalurkan melalui telapak tangannya menembus berbagai jalan darah ditubuh Poci yang buntu.
Sebenar-benarnya Poci hendak menolak, tapi belum sempat membuka mulut orang sudah bekerja dengan cekatan, ia tahu bahwa tindakan Ham Gwat ini memang dapat membantu penyembuhan dirinya lebih cepat, tapi akan banyak menguras tenaga Ham Gwat, apalagi bila Bu- bing Loni datang kembali pada saat yang genting ini, mungkin tiada seorang pun yang bisa menyelamatkan diri dari keganasannya.
Kira-kira gelombang hawa panas mengalir tiga putaran, seluruh jalan darah dan hawa murni Poci sudah lancar dan bekerja secara normal kembali. Tapi tak urung mereka berdua pun lemas tak bertenaga. Saat itu pula terdengar lambaian baju melayang masuk ke dalam kamar batu itu, tahu-tahu Bu-bing Loni telah muncul pula diambang pintu.
Keruan semua yang hadir dalam kamar batu sama terkejut, sekilas Bu-bing melirik ke arah Poci dan Ham Gwat lalu jengeknya dingin, “Kalian heran kenapa aku balik kembali bukan?” — ia tertawa terkekeh-kekeh lalu sambungnya, “Selamanya aku tidak pernah menyerah kalah, dan memang tidak pernah kalah, hari ini seumpama aku yang kalah, aku tidak akan begitu saja lantas mengundurkan diri”, sampai disini mulutnya menggeram dan hidung mendengus, ejeknya pula, “APalagi aku belum lagi kalah, luka-luka yang kau derita jauh lebih berat dibanding luka-lukaku!”
Lalu ia berpaling ke arah Ham Gwat, katanya pula, “Sejak kau lahir lantas kuasuh dan kurawat sehingga kau dewasa, kau anggap aku tidak menyelami watak dan perangaimu? Kau pasti akan memberi pertolongan dengan cara pengobatan khusus, sudah kuperhitungkan waktunya, meski aku datang terlambat setindak, tapi masih keburu waktu.” Seringainya semakin beringas, mukanya masam dan biji matanya sudah berubah buas seperti binatang kelaparan.
Ham Gwat pelan-pelan bangkit berdiri, katanya, “Tahukah kau siapa yang menolong Hun Thian- hi dari tanganmu? Itulah aku adanya!”
Bu-bing Loni rada melengak heran, mulutnya menggeram gusar.
Terdengar Ham Gwat melanjutkan kata-katanya, “Kau heran bukan? Kau kira kau hanya takut terhadap Ka-yap Cuncia atau Ah-lam Cuncia, jangan kau melupakan seorang yang lain, orang inilah yang merupakan tandinganmu setimpal, seharusnya kau sadar siapakah orang yang kumaksudkan ini. Dan yang lebih penting kau harus menyadari kenapa aku harus meninggalkan kau, kenyataan bahwa kau tidak mampu menemukan jejakku.”
Bu-bing Loni tertawa sinis, katanya, “Ham Gwat! Sejak kecil kau kubesarkan, sekarang kau mengkhianati aku, malah sekongkol dengan orang luar melawan aku. Bagaimana sepak terjangmu dahulu aku tidak peduli, yang jelas sekarang kau harus mampus ditanganku!”
Dengan tenang dan bersikap tetap dingin Ham Gwat balas menjengek tanpa gentar. “Kau masih ingat Thay-si Lojin tidak?” Berubah air muka Bu-bing Loni, ia tahu bahwa Thay-si Lojin tidak gampang dilayani. Masih segar dalam ingatannya pada dua puluh tahun yang lalu Thay-si Lojin telah menolong seseorang dari cengkeraman tangannya, ia tidak akan melupakan peristiwa itu, itulah tragedi rahasia pribadinya yang disembunyikan kejadiannya, kalau toh Ham Gwat menyinggung soal itu, pasti ia sudah tahu seluk beluk peristiwa itu, sejak waktu itu selama dua puluhan tahun terakhir ini ia sedapat mungkin mengekang diri, tidak lagi mengumbar nafsu dan sifat jahatnya, hari ini betapapun harus menghindari bentrokan dengan orang tua itu.
Dahulu Mo-bin Suseng bekerja sama dengan dirinya, hasil dari intrik mereka ia dapat mencapai keinginannya, dan semua itu adalah hasil tipu daya yang diatur oleh Mo-bin Suseng, sekejap saja dua puluh tahun telah berselang, segala akibat yang dihadapi sekarang adalah karena kesalahan pikiran belaka, adalah karena Mo-bin Suseng yang mensetir segala kejadian itu dari belakang.
Berkilat-kilat sinar mata Bu-bing Loni, katanya, “Apa gunanya kau katakan itu semua, kau sangka aku takut? Bagaimanapun nanti kesudahannya kau harus mati lebih dulu dari aku!
Camkanlah, dengan kedua tanganku inilah aku bimbing kau sampai besar, tapi dengan sepasang tanganku ini pula akan kurenggut jiwamu, memangnya kau anggap aku hendak melepas kau pergi begini saja?”
Sikap Ham Gwat juga tidak kalah dinginnya, ujarnya, “Hun Thian-hi juga berada disekitar tempat ini, demikian juga Giok-lan, Hun Thian-hi sudah mengenal burung rajawaliku, bilamana mereka menyusul tiba janganlah saat itu kau menyesal. Wi-thian-cit-ciat-sek latihan Hun Thian-hi sudah jauh lebih maju lagi setelah mendapat petunjuk dari orang tua itu. Kau kan tahu bila Wi- thian-cit-ciat-sek sudah sempurna jauh lebih hebat dan unggul dari tiga rangkaian pedang kepandaianmu itu!”
Bu-bing Loni menjemput pedangnya yang menggeletak di tanah tadi, pelan-pelan ia maju menghampiri ke arah Ham Gwat.
Diam-diam Ham Gwat menarik napas panjang, tenaga dalamnya belum lagi pulih, ia tahu bahwa Bu-bing Loni tidak akan mau menyerah kalah begitu saja, pedang panjang ditangannya sementara itu sudah terbang menyamber tiba. yang diarah adalah tenggorokan Ham Gwat.
Begitu Bu-bing Loni menggerakkan pedangnya lantas Ham Gwat dapat meraba jurus tipu apa yang dilancarkannya. Tapi tidak mudah untuk menangkis atau melawan, bila ia lancarkan serangan balasan atau menangkis tentu Bu-bing Loni sudah tahu juga jurus apa pula yang dilancarkan dirinya. Antara guru dan murid sama membekal kepandaian yang serupa, betapapun sang murid bukan menjadi tandingan sang guru.
Beruntun ia menangkis dua kali, Bu-bing Loni mandah menjengek dingin, mulutnya, haha….hehe…. mengejek, tapi sebetulnya iapun heran dan takjup akan kemajuan ilmu silat Ham Gwat yang diluar ukurannya, tapi kenyataan sekarang Ham Gwat membekal Lwekang yang tinggi diluar tahunya.
Sementara itu Bu-bing Loni sudah melancarkan lima gelombang jurus pedangnya, jurus demi jurus semakin gencar dan ganas, baru saja Ham Gwat angkat pedangnya untuk menangkis tahu- tahu pedang Bu-bing sudah menyelonong tiba menutup jalannya mundur, begitulah berulang kali terjadi, sedang Ham Gwat sendiri tidak berani menggunakan kekerasan, terpaksa ia mandah terdesak mundur, begitu lima jurus kemudian Ham Gwat sudah terdesak mundur dan mundur terus mepet dinding.
Poci menjadi kaget, cepat ia rebut harpa yang dipegang Ma Gwat-sian terus jari-jarinya dimainkan, dengan gelombang suara harpa ia berusaha menyerang Bu-bing Loni. Bu-bing menyeringai dingin, tiba-tiba pedangnya berputar balik terus disambitkan ke arah Poci, dimana selarik sinar pedang menyamber tiba kontan harpa dipangkuan Poci tertusuk pecah menjadi dua.
Setelah menyambitkan pedangnya Bu-bing Loni menyeringai bengis, Poci sampai merinding melihat tampangnya yang sadis itu. Bahwa Bu-bing berani putar balik pastilah dia sudah bertekad bulat, meski dirinya pun sudah terluka parah betapapun ia tidak rela melepas beberapa orang yang merupakan makanan empuk ini, betapa hebat Lwekang yang dibekalnya itu sungguh sangat mengagumkan memang sulit dicari tandingan.
Begitu Bu-bing Loni menyambitkan pedangnya, Ham Gwat menjadi berkesempatan balik menyerang, beruntun ia lancarkan serangan pedang yang hebat. Tapi Bu-bing Loni berani menyambitkan pedangnya pasti dia mempunyai perhitungan yang matang, setiap jurus setiap tipu permainan Ham Gwat adalah hasil ajarannya, dimana badannya berkelebat dan melejit sana melompat sini ia hindari setiap rangsakan Ham Gwat yang hebat, soalnya iapun sudah apal benar- benar jurus apa yang akan dilancarkan Ham Gwat selanjutnya. Meskipun ia sudah tumplek seluruh kepandaiannya kepada Ham Gwat, tapi sedikit banyak masih ada lobang kelengahan yang belum sempurna terlatih oleh Ham Gwat, dan kelemahan2 itu sampai saat itupun belum lagi disempurnakan, justru adanya kelemahan itu pula menjadi kebetulan pula bagi Bu-bing sekarang.
Apalagi Ham Gwat sekarang mengkhianati dirinya, meski gencar rangsakan Ham Gwat seenaknya saja seperti berlenggang Bu-bing Loni dapat menghindarkan diri.
Sekejap mata puluhan jurus sudah berlangsung. tiba-tiba Ham Gwat lancarkan pula sejurus ilmu pedang, mendadak badan Bu-bing mencelat mumbul ke atas, berbareng kaki kanannya mendadak menendang ke arah jidat Ham Gwat. Terpaksa Ham Gwat harus menolak badan atas ke belakang berbareng ujung pedangnya menusuk ke atas pula tak duga kaki kiri Bu-bing ternyata pun sudah menyusul dengan tendangan yang telak pula, ‘Tring’. Ham Gwat tak kuasa menyekal pedangnya lagi, kontan terbang ke tengah udara dan menancap di atas dinding batu.
Bu-bing terloroh-loroh panjang, tubuhnya jumpalitan hinggap di tanah, dengan nanar ia pandang Ham Gwat. Tanpa gentar Ham Gwat juga mendelik pandang, ia insaf kekalahan hari ini menjadikan harapan untuk hidup semakin mengecil, bagaimana cara Bu-bing Loni menghadapi musuhnya ia tahu jelas.
Apalagi kalau dirinya tertawan hidup2, untuk mencari kematian sendiripun tidak mungkin lagi, bagi dirinya sih tidak menjadi goal, bagaimana dengan keadaan ayahnya, Poci dan Ma Gwat-sian? Akhirnya ia berkeputusan dengan suatu akibat yang cukup mending.
Terdengar Bu-bing menjengek dingin, “Tidak berguna, kau kan tahu bagaimana kesukaanku. Dulu waktu aku menempur Soat-san-su-gou bukankah kau juga hadir, dengan Gin-ho-sam-sek mereka berempat mengepung diriku, akhirnya kuberi kelonggaran bagi mereka untuk bunuh diri, kau kira persoalan itu begitu gampang dan begitu sederhana? Sebenar-benarnyalah bahwa aku sebelumnya sudah ada perjanjian dengan Mo-bing Suseng, dia minta supaya aku memberi cara kematian yang cukup nyaman bagi mereka, meskipun mereka berempat tidak tahu siapakah Mo- bin Suseng itu sebenar-benarnya, tapi adalah sebaliknya dia tahu siapa mereka berempat. Karena mereka berempat adalah sahabat kentalnya.”
Ham Gwat masih bungkam. Bu-bing melanjutkan, “Bagaimana juga diantara kau dan aku masih ada hubungan guru dan murid, akupun tidak akan berlaku keterlaluan terhadap kau, cukup dengan minyak mendidih akan aku goreng daging dan tulang-ulangmu sampai mati.”
Lagi-lagi ia terloroh-loroh panjang seperti sudah kesetanan, tapi tiba-tiba sebuah suara tawa dingin yang menggiriskan terdengar pula bergelombang dalam ruang batu itu, keruan Bu-bing Loni tersentak kaget bukan main, sebat sekali ia memutar tubuh dilihatnya di ambang pintu sana berdiri seorang nenek peot yang tua renta.
Begitu melihat orang ini timbul setitik harapan dalam benak Ham Gwat, karena nenek tua ini bukan lain adalah Kiu-yu-mo-lo, segera ia menghela napas lega. Tapi ia masih bingung kenapa orang tua itu bersikap begitu baik terhadap dirinya, dalam hal ini pasti ada latar belakang yang cukup rumit.
Bu-bing Loni membalik ke arah Kiu-yu-mo-lo, dengusnya dingin, “Siapa kau?”
Kiu-yu-mo-lo terloroh-loroh katanya, “Jangan kau pura-pura alim, sebenar-benarnyaJah hatimu lebih jahat dari ular, jauh lebih jahat dari aku dulu, terhadap murid sendiri pun kau begitu jahat”
Menjengkit alis Bu-bing Loni, ada orang berani bicara begitu takabur padanya, tapi kalau ia begitu besar nyalinya berani bicara besar tentu dia punya pegangan untuk datang kemari, maka selagi ia mendesak, “Siapa kau? Untuk apa kau kemari?”
“Akulah Kiu-yu-mo-lo dari salah satu Si-gwa-sam-mo,” sahut Kiu-yu-mo-lo, “Konon kabarnya belakangan ini kalangan Kangouw muncul pula seorang tokoh macam tampangmu ini. tapi mengandal kau masih berani kau mengagulkan she dan nama busukmu ya!”
Bu-bing tertawa dingin, tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas mencabut pedang Ham Gwat yang menancap dilangit2, disaat tubuhnya meluncur turun pedang ditangannya diobat-abitkan langsung menerjang ke arah Kiu-yu-mo-lo, sinar pedangnya laksana bianglala. menungkrup ke atas kepala Kiu-yu-mo-lo.
Bukan dia takut menghadapi Kiu-yu-mo-lo, tapi nama Kiu-yu-mo-lo sebagai salah setorang Si- gwa-sam-mo bukanlah diperoleh secara kebetulan belaka, maka dia harus bertindak lebih dulu dan lebih ijepat. Apalagi Ham Gwat masih ada kemampuan untuk berkelahi, kalau ia tidak bertindak secara kilat mengakhiri pertempuran disini, mungkin dia sendirilah yang bakal dikeroyok dan akibatnya pasti konyol bagi dirinya.
Sebenar-benarnyalah hatinya masih dirundung keheranan, kenapa Kiu-yu-mo-lo bisa ikut campur dan menolong keadaan Ham Gwat yang terdesak ini, hakikatnya Ham Gwat tidak pernah saling berkenalan dengan Kiu-yu-mo-lo dan tidak punya sangkut paut apa-apa. Demikian juga dirinya tiada punya dendam permusuhan dengan Si-gwa-sam-mo, kenapa dia meluruk kemari mencari permusuhan. Demikian Bu-bing berpikir2 dalam hati.
Setelah memasuki Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin pikiran sesat Kiu-yu-mo-lo akhirnya dapat digugah dan sadar dari penyelewengannya dan karena kembali kejalan lurus dengan pikiran yang sudah jernih itulah maka ia dapat keluar dari sana, setelah mendapat petunjuk serta petuah dari si orang tua itu lantas ia menyusul kemari.
Dengan pedang berada ditangan Bu-bing Loni seperti harimau tumbuh sayap, adakah ilmu Hui- sim-kiam-hoat terkenal hebat sekali. maka ribuan sinar pedang Bu-bing bukan kepalang lihaynya dalam gebrak permulaan Kiu-yu-mo-lo rada memandang rendah musuh sehingga ia terdesak mundur terus.
Terdengar Bu-bing Loni mendengus hina, hatinya membatin; Si-gwa-sam-imo kiranya juga cuma sebegini saja kemampuannya.
Begitulah sinar pedangnya berputar, kontan ia lancarkan Lian-hoan-Ban-kiam, jurus ilmu pedang terakhir dari Hui-sim-kiam-hoat yang terdahsyat dan terlihay, besar hasratnya dalam gebrak terakhir ini ia bikin mampus jiwa Kiu-yu-mo-lo, adalah gampang nanti untuk membereskan yang lain.
Begitu sinar pedang Bu-bing menimbulkan gelombang sinar berlapis2 lekas-lekas Ham Gwat menjemput pedang Bu-bing Loni yang ditimpukan tadi. langsung ia merabu dari belakang ke arah Bu-bing. Disebelah depan sana Kiu-yu-mo-lo juga menarikan sepasang telapak tangannya untuk menjaga diri dan balas menyerang.
Bu-bing menjengek dingin, tanpa berpaling ia sudah tahu jurus dan tipu serangan apa yang akan dilancarkan Ham Gwat, adalah mudah sekali ia dapat memunahkan serangan bokongan ini. Tapi baru sekarang pula ia mendapatkan bahwa Lwekang Kiu-yu-mo-lo ternyata tidak serendah seperti yang dikiranya tadi bila dalam waktu singkat ia tidak mampu mengalahkan kedua musuhnya ini, akibatnya pasti sangat fatal bagi dirinya karena dikepung dari muka dan belakang.
Biji matanya berjelilatan, bagaimana juga ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang sangat pendek ini untuk mengambil kemenangan, menurut perhitungannya meski Ham Gwat ikut menerjunkan diri dalam pertempuran. tapi mereka belum dapat bergabung dan bekerja sama dengan rapat, diantara lobang kelemahan yang sulit didapat ini bila aku tidak memanfaatkan dengan tepat, aku sendirilah yang bakal cidera.
Sebagai seorang tokoh nomor satu dalam kalangan persilatan pandangan Bu-bing sudah tentu cukup luas, seiring dengan keputusan tekadnya, gerak badannya mendadak berhenti, tahu-tahu membalik tubuh tangkas sekali tumit kakinya melayang ke atas menendang batang pedang Ham Gwat. Tujuan Bu-bing adalah sementara mengendorkan dulu tekanan serangan Ham Gwat dari belakang dengan kesempatan ini ia tumplek seluruh kekuatan dirinya untuk merangsak dan merohohkan Kiu-yu-mo-lo.
Tapi begitu kakinya melayang. Ham Gwat juga sudah tahu kemana tujuan serangan Bu-bing ini, maka sengaja ia buang pedangnya, tahu-tahu telapak tangannya yang menyelonong ke depan menepuk keleher Bu-bing Loni.
Begitu tendangannya. luput lantas Bu-bing bercekat hatinya. seketika ia rasakan dua arus gelomhang pukulan dahsyat melandai tiba dari belakang dan depan. Terdengar ‘mulutnya berpekik panjang dan nyaring, pedang panjangnya berputar disekitar tubuhnya, dengan seluruh sisa tenaganya iapun berondong keluar kekuatannya untuk menangkis.
“Blang” pukulan dan pedang saling beradu ditengah jalan. Ham Gwat dan Kiu-yu-mo-lo tersurut mundur dan berputar-putar, sebaliknya air muka Bu-bing kelihatan tambah pucat pias, ia terhujung dua langkah baru bisa berdiri tegak lagi, pedang panjang ditangan kanannya tergetar mengeluarkan su-ra mendenging.
Setelah berdiri tegak dan memasang kuda-kuda Kiu-yu-mo-lo dan Ham Gwat saling pandang sebentar, serempak mereka berjongkok dua telapak tangan masing-masing didorong ke depan memukul ke arah Bu-bing dari dua jurusan yang berlawanan.
Tiba-tiba badan Bu-bing Loni melejit mumbul ditengah udara badannya berputar satu lingkaran, gerak geriknya cukup sigap sehingga ia dapat terhindar dari benturan tenaga yang dahsyat dan begitu kaki hinggap pula tubuhnya sudah berdiri diambang pintu air mukanya masih pucat dan kaku tanpa menunjukkan perasaan hatinya.
Ham Gwat dan KAu-yu-mo-lo merasa diluar dugaan, sungguh mereka tidak nyana dalam keadaan terluka dalam begitu berat Bu-bing Loni masih mampu bergerak begitu lincah menghindari diri dari serangan yang dahsyat itu. Bu-bing maklum bahwa dirinya hari ini tidak akan dapat menang, tapi demi nama dan gengsinya ia tidak rela tinggal pergi begitu saja, apalagi mandah menyerah kalah, terlebih pula bila membebaskan hukuman mati orang-orang dihadapannya ini. Begitulah sambil menenteng pedangnya ia berdiri di ambang pintu dengan pandangan mata berapi-api.
Kiu-yu-mo-lo menjadi murka, dengan sengit ia terjang ke arah Bu-bing. sebetulnyalah ia tidak pandang sebelah mata Bu-bing Loni. tapi baru saja bergebrak lantas ia kena terdesak di bawah angin. Sergapan Bu-bing selanjutnya yang lebih hebat tadi kalau dirinya tidak memperoleh bantuan Ham Gwat mungkin tubuhnya sudah berlobang dan mampus oleh tusukan pedang lawan. Adalah sekarang Bu-bing sendiri sudah terluka parah. ia harus mengambil keuntungan secara licik mengadu kekuatan dengan satu lawan satu ingin ia menjajaki sampai dimana tinggi kepandaiannya.
Melihat hanya Kiu-yu-mo-lo seorang yang mendesak madiu. dengan pandangan dingin Bu-bing menanti, dalam hati rada menganggap ringan, maka matanya segera menantang ke arah Ham Gwat, maksudnya supaya kau pun maju sekalian memang aku gentar?
Tapi Ham Gwat tahu maksud Kiu-yu-mo-lo yang ingin bertanding sendiri melawan Bu-bing Loni. maka iapun tinggal diam saja berdiri ditempatnya, bila Kiu-yu-mo-lo memang terdesak dan hampir kalah terpaksa aku harus bantu dia. Bu-bing sendiri sudah terluka dalam betapapun Kiu-yu-mo-lo tidak bakal kena dikalahkan dalam gebrak permulaan. Maka ia jemput pula pedangnya dan berdiri siap waspada.
Sementara itu Kiu-yu-mo-lo sudah semakin dekat. Bu-bing mendengus hidung, pedang panjangnya teracung tinggi ke samping terus membabat miring ke arah Kiu-yu-mo-lo. Bu-bing sendiri juga maklum begitu Kiu-yu-mo-lo terdesak pasti Ham Gwat akan segera menerjunkan diri dalam pertempuran ini, luka dalamnya cukup parah, betapapun ia pantang menggunakan tenaga dalam yang berkelebihan untuk melawan kekerasan dengan Kiu-yu-mo-lo, kiranya cukup ia hadapi dengan kelihayan gerak pedangnya untuk merobohkan musuh saja. Memang bila perlu harus terluka lebih parah juga tidak jadi soal, asal dengan kekuatan terakhir dapat merobohkan atau membunuh Kiu-yu-mo-lo. Demikian Bu-bing sudah bertekad dalam hati.
Kiu-yu-mo-lo juga sudah kerahkan tenaganya, kedua telapak tangannya terangkat naik kesamping menyampok batang pedang, ia insaf dalam keadaan terluka parah tentu Bu-bing cukup mengandalkan kehebatan permainan pedangnya, maka ia harus tumplek seluruh perhatiannya kebatang pedang musuh yang hebat itu. Apalagi setelah luka parah Bu-bing tidak ngacir pergi, pastilah ia bertekad untuk gugur bersama. Kalau musuh ingin mati adalah ia masih ingin hidup, maka telapak tangannya bergerak lincah memngiringi serangan permainan pedang lawan, disamping main sergap ia pun mencari kelemahan musuh untuk bertindak. ingin dia bentrok secara kekerasan untuk menetukan siapa unggul dan siapa asor.
Permainan pedang Bu-bing memang sangat lihay, kelihatannya pedangnya melayang miring dengan babatan biasa saja, namun sebetulnya mengandung tusukan berlainan yang cukup mematikan bila mengenai sasarannya. Kiu-yu-mo-lo tahu akan kelihayan perubahan permainan pedang ini, maka kedua tangannya menyamping dan ditekuk ke atas menggetar batang pedang Bu-bing, sehingga serangan lawan kena dipunahkan ditengah jalan.
Bu-bing menggeram gusar, ia tarik kembali pedangnya, ia tahu cara permainan Kiu-yu-mo-lo hendak mengulur waktu dan menguras habis tenaganya, cara bertempur begini sangat tidak menguntungkan pihaknya, kalau tidak menggunakan kekerasan sulit dapat memperoleh kemenangan. maka ia harus memancing supaya Kiu-yu-mo-lo menyerang edan2an dengan seluruh kekuatannya. Pikiran ini berkelebat dalam benaknya, sebat sekali mendadak ia lancarkan pula sebuah tusukan yang berbahaia, cara tusukannya ini sengaja diperlihatkan seperti tenaganya sudah hampir habis ditengah jalan dan tak bisa menyambung lagi, tapi ia masih berlaku nekad melancarkan serangannya untuk menutupi kelemahan sendiri!
Melihat keadaan Bu-bing, sebagai seorang kawakan Kangouw Kiu-yu-mo-lo maklum akan tipu pancingan lawan, teringat olehnya tadi Bu-bing dapat meloloskan diri dari serangan gabungan yang begitu dahsyat, sekarang dia berbuat demikian bukan mustahil memang sengaja hendak menjebak dirinya.
Tapi kenyataan Bu-bing memang sudah terluka parah, tapi toh ia masih dapat lolos dari rangsakan, yang hebat tadi.
Sesaat lamanya Kiu-yu-mo-lo menjadi bimbang.
kalau Bu-bing terluka pasti lambat laun tenaga dalamnya pasti bakal terkuras habis, kenapa aku tergesa-gesa, yang penting berlaku hati-hati jangan sampai tertipu olehnya,.
Begitulah gebrak2 selanjutnya kedua belah pihak masih sama dalam taraf coba-coba dan saling memancing saja, beruntun beberapa jurus sudah berlalu, selama ini Bu-bing Loni belum lagi menunjukkan keletihannya dalam gebrak2 yang berlalu itu kedua belah pihak belum lagi menggunakan tenaga yang berarti.
Akhirnya Kiu-yu-mo-lo yang berangasan itu menggerung gusar, kedua telapak tangannya dengan deras melancarkan pukulan sengit, setelah tangannya mencengkeram pundak sedang tangan yang lain menjojoh lambung.
Tubuh Bu-bing mendadak bergerak dengan gesit, beruntun ia berloncatan menghindar berbareng pedangnya berputar memunahkan kekuatan tenaga serangan Kiu-yu-mo-lo. Melihat serangannya yang lihay kena dipunahkan musuh, hati Kiu-yu-mo-lo menjadi lesu, mendadak dilihatnya pula gerak pedang Bu-bing Loni mengendor dan gemetar.
Berkilat biji mata Kiu-yu-mo-lo, sekarang ditemukan titik kelemahan Bu-bing Loni, sudah berulang kall Bu-bing sengaja menutupi titik kelemahannya ini, tapi sekarang ia tidak mudah lagi dikelabui. Maka sambil menjengek dingin mendadak sepasang telapak tangannya menyerang ketiak dari lambung Bu-bing Loni dengan dilandasi seluruh kekuatannya.
Girang hati Bu-bing Loni bahwa pancingannya berhasil, tapi air mukanya malah mengunjuk rasa gugup yang dibuat-buat. Semenbara sepasang telapak tangan Kiu-yu-mo-lo memberondong dengan serangan berantai yang ketat, beruntun Bu-bing menyambut dan menangkis dengan tajam pedangnya.
Sekonyong-konyong Kiu-yiu-mo-lo merasakan suatu keganjilan, tadi ia tidak kerahkan setaker tenaganya, sebaliknya Bu-bing mengunjuk rasa kejut dan gugup, sekarang setelah dirinya menggempur mati-matian dengan penuh kekuatannya, sedikitpun tiada berhasil mendesak mundur setapakpun kepada Bu-bing Loni. jelas sekali bahwa mungkin dirinya sudah masuk dalam perangkap kelicikan musuh. Karena rekaannya ini serta merta hatinya menjadi was-was dan gerak geriknya menjadi lamban.
Waktu ia angkat kepala mengawasi Bu-bing tampak sorot matanya tetap tajam tidak kelihatan rasa keletihan sedikitpun juga, sebaliknya orang seperti tumplek seluruh perhatian untuk mencari titik kelemahannya sendiri, keruan terperanjat ia dibuatnya. Begitu merasakan tekanan serangan lawan mengendor lantas pedang Bu-bing teracung ke atas, tapi Kiu-yu-mo-lo berlaku nekad tanpa memikirkan keselamatannya, sepasang telapak tangannya ia menindih kebatang pedang Bu-bing Loni.
Dasar licik sedikitpun Bu-bing tidak kena kecundang, sebat sekali ia menyurut mundur berbareng pedang ditarik mundur terus terbang ke belakang. Keruan sepasang telapak tangan Kiu-yu-mo-lo menindih tempat kosong. terdengar Bu-bing menyeringai dingin dari jarak yang cukup jauh itu tiba-tiba ia timpukkan pedang panjangnya, pedang meluncur ketenggorokan Kiu- yu-mo-lo.
Sudah tentu kejut Ham Gwat bukan main, meski ia dapat meraba bahwa Kiu-yu-mo-lo masuk dalam perangkap Bu-bing Loni. tapi sungguh diluar dugaannya bahwa situasi bakal berubah begitu buruk.
Karena tidak bersiaga sebelumnya. tahu-tahu pedang Bu-bing sudah meluncur ditengah jalan, untuk menolong terang tidak sempat lagi, terpaksa ia pun timpukkan pedangnya sendiri ke arah Bu-bing Loni, berbareng tubuhnya juga mencelat terbang menyusul ke arah Kiu-yu-mo-lo, sedapat mungkin ia harus selamatkan jiwa orang tua ini.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan tubuh manusia berkelebat masuk dari luar, tepat sekali kedatangannya, begitu tiba kedua telapak tangannya segera menyamber miring memukul jatuh pedang sambitan Bu-bing Loni, tahu-tahu dalam gelanggang tambah seorang laki-laki tua.
Waktu Kiu-yiu-mo-lo angkat kepala dengan jantung berdebar, serta merta ia berteriak kegirangan
“Samte, kaukah itu!” Pendatang ini bukan lain adalah tokoh terkecil dari Si-gwa-sam-mo yaitu Pek-kut-sin-mo Pek Si-kiat.
Pek Si-kiat tertawa, sahutnya, “Ya, ditengah jalan tadi kulihat kau, maka kuikuti jejakmu kesini”
Dalam pada itu Bu-bing Loni berkelebat kesamping menangkap kembali pedangnya yang disambitkan, oleh Ham Gwat, inilah pedang miliknya yang tadi ditimpukkan untuk menghancurkan harpa itu kembali ketangannya. Air mukanya berubah ganti berganti. dari pucat menjadi merah dan berubah hijau pula. sorot matanya penuh kegusaran mendelik ke Pek Si-kiat yang telah menggagalkan usahanya.
Pek Si-kiat juga angkat kepala mengawasi Bu-bing lekat-lekat ujarnya, “Kau anggap tiada tandingan di seluruh kolong langit. Jangan kau lupa, bukan melulu kau seorang hidup dalam dunia, ini.”
Tiba-tiba laksana kilat Bu-bing melejit ke tengah gelanggang beruntun pedangnya berkelebat laksana bianglala memencar ketiga jurusan menyerang mereka bertiga dengan sembilan taburan kilat pedang yang hebat.
Ham Gwat bertiga menjadi kelabakan membela diri dengan tarian sepasang telapak tangan masing-masing. Sungguh mereka sangat terkejut akan kehebatan Lwekang Bu-bing Loni yang tigggi ini, tidaklah malu ia berani malang-melintangdi Kangouw dengan bekal kepandaiannya ini, sudah terluka parah, namun masih berani melancarkan serangan kekerasan yang mengandung banyak risiko.
Pelan-pelan Ham Gwat bertiga berpencar ketiga jurusan, kedududkan mereka berbentuk segi tiga, dari jurusan masing-masing mereka bergantian menggempur dengan gencar. Rangsakan kesembilan jurus kilatan pedang Bu-bing Loni tadi maki hebat, dan ketiga musuhnya terkejut akan kehebatan lwekangnya yang tiada taranya itu, namun Bu-bing sendiri maklum bahwa tenaga sendiri sudah hampir ludes, sekarang ia harus gunakan sisa tenaganya u8ntuk bertahan supaya mengelabui musuh, tapi pengerahan tenaga yang berkelebihan sudah ia rasakan akibatnya, dalam tubuh, urat nadinya sudah semakin lemah, semakin lama ia rasakan hawa murni sudah tak mampu disalurkan kembali. Jelas harapan untuk menang tidak mungkin lagi.
Si-gwa-sam-mo sudah muncul dua diantara tiga, ditambah Ham Gwat yang cukup lihay, bila pertempuran diteruskan, mungkin jiwa sendiri bakal melayang secara konyol ada lebih baik gugur bersama, cuma kuatir usahanya bakal sia-sia.
Timbul niat melarikan diri secara teratur, diam-diam ia menerawang keadaan, hari masih cukup panjang, tanpa harus tergesa-gesa dalam waktu singkat ini. kalau Poci dengan suara harpanya tadi itulah yang menyebabkan keadaan menjadi fatal, kalau tidak dengan dua lawan satu jelas ia akan unggul berkelebihan. Getaran senar putus yang hebat itu telah membuat kedua pihak terluka berat, menurut pendapatnya kekuatannya jauh lebih hebat tiga bagian dari perbawa Wi-thian-cit- ciet-sek yang dipelajari Hun Thian-hi.
Sekarang Bu-bing berdiri tegak mengkonsentrasikan seluruh perhatian dan semangatnya. Ham Gwat bertiga juga was-was akan kehebatan rangkaian sembilan jurus pedang kilatnya itu sehingga tak berani sembarangan bergerak. Untung Bu-bing sudah kelelahan dan cukup payah, kalau tidak betapa hebat Lian-hoan-sam-kiamnya itu, terang tak mungkin mereka bertiga mampu terhindar dari bencana.
Begitulah empat orang sama berdiri diam, tekad Bu-bing Loni untuk mengundurkan diri semakin besar, dirinya tidak rela berkorban secara konyol dan sia-sia, tapi sebelumnya ia harus menggempur ketiga musuhnya ini pontang-panting, ia tidak percaya mereka bertiga mampu bekerja sama menjalin kekuatan yang tak terpecahkan.
Setelah tetap keputusannya serta tenagapun sudah terhimpun kembali mendadak Bu-bing angkat pedangnya di depan dada, matanya menyapu pada tiga musuhnya.
Bercekat hati ketiga lawannya, dengan rasa tegang mereka meningkatkan kewaspadaan.
Sekonyong-konyong badan Bu-bing terbang ke tengah udara. dimana pedangnya berputar dan membacok turun serta membabat miring, beruntun ia lancarkan pula Lian-hoan-sam-kiam yang paling diandalkan, tiga jurus ilmu pedang sekaligus meluncur laksana lembayung menukik turun menyapu deras ke arah lawannya,
SerempaK Ham Gwat bertiga kerahkan tenaga dan menggabungkan tenaga pukulan telapak tangannya untuk membendung rangsakan tenaga kibasan pedang yang hebat itu, sementara mereka repot membela diri, tahu-tahu badan Bu-bing terus meluncur keluar hendaK tinggal merat.
Ham Gwat sudah maklum akan sepak terjang Bu-bing ini sebelumnya, maka ia pula yang mendahului mengejar ke arah Bu-bing, begitulah Pek-si-k-at berdua juga segera mengejar datang, mereka insahari bila b ini Bu-bing sampai berhasil melarikan diri, gelombang pertikaian dikalangan Kangouw tidak akan pernah berhenti.
Begita tiba diambang pintu gua terdengar Bu-bing bersuit nyaring panjang, dari luar seekor burung dewata segera menukik turun.
Ham Gwat sudah hampir dapat menyusul, tiba-tiba dilihatnya langkah Bu-bing Loni sempoyongan sejalur darah segar menyembur dari mulutnya. tubuhnya pun tersungkur ke depan dan kebetulan jatuh jatas punggunng burung dewata, dalam kejap lain burung itu sudah terbang tinggi tak terkejar lagi. Ham Gwat menjadi melongo, ia tidak” mengejar lebih lanjut. Betapapun Bu-bing Loni adalah bekas gurunya yang mengasuh dirinya sejak kecil. dulu ia malang melintang tiada tandingan, namun hari ini ia harus terima kekalahannya secara total malah terluka parah lagi. tak tertahan lagi hatinya menjadi tidak tega dan bersedih.
Sementara burung dewata sudah melesat terbang pesat sekali. dalam kejap lain tinggal setitik bayangan yang menghilang dibalik awan.
Ooo)*(ooO
MendadaK melihat Giok-yap Cinjin muncul dihadapannya, malah berada di dalam Jian-hud-tong lagi, karuan kejut Hun Thian-hi seperti arwahnya luput dari badan kasarnya, beruntun ia menyurut mundur ketakutan.
Waktu ia mempertegas memang raut wajah orang ini persis benar-benar dengan, Giok-yap Cinjin, cuma rada pucat dan sepasang biji matanya pun rada lesu. seperti muka mayat hidup. Tapi sepasang matanya itu dengan tajam menatap lempang kepada dirinya, seakan-akan sedang menyeringai dingin.
Tiba-tiba hidungnya dirangsang bau amis yang memualkan. serta merta Hun Thian-hi menyurut mundur lagi, dari pinggangnya dicabutnya seruling jade, dengan nanar ia awasi orang di hadapannya ini.
Mendadak dilihatnya di atas muka orang itu terdapat bundaran benang merah, mendadak ia julurkan keluar kedua telapak tangannya seperti cakar setan, setiap jari-jarinya berwarna hitam, begitu kesepuluh jarinya saling jentik bergantian, segulung kabut hitam kontan menyerbu ke arah Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi terperanjat, entah siapakah orang ini sebenar-benarnya, tapi jelas bahwa orang ini bukan
Giok-yap Cinjin yang sudah meninggal itu. Ia membekal ilmu jahat yang sangat berbisa, sungguh sangat menggetarkan sukma dan nyali orang.
Cepat ia tepukkan telapak tangan kiri untuk menangkis dengan dilandasi Pan-yok-hian-kang, seketika kabut hitam itu bujar tercerai-berai tersapu balik.
Gerak-gerik orang itu cukup cekatan, mendadak ia berkelebat. Lagi-lagi Thian-hi kaget dibuatnya, ia tahu lawan sengaja hendak mencegat jalan mundurnya. sebat sekali ia melompat mundur, telapak tangannya melintang dengan pukulan angin yang cukup keras, ia berusaha merintangi sepak terjang orang,
Tapi dalam gerak berkelebat ini orang dapat menerobos lewat dari jurusan tidak terduga sama sekali oleh Hun Thian-hi, sekarang berbalk Hun Thian-hi yang tercegat jalan mundurnya, malah. Sejenak Hun Thian-hi terlongong, dengan pandangan rasa keheranan dan was-was ia pandang orang itu. Sungguh ia tidak mengerti darimana Tok-sim-sin-mo dapat mengundang tokoh aneh macam ini, sungguh menggiriskan dan menciutkan nyali manusia….
Betapa aneh dan lihay ilmu silat orang ini benar-benar belum pernah dilihatnya, bilamana ilmu silatnya memang tinggi dan aneh, tak mungkin ia mandah dikurung begitu saja di tempat itu, benar-benarkah ia terbelenggu oleh Tok-sim-sin-mo, masih merupakan tanda tanya, entah mengapa ia rela tinggal menetap di tempat itu? Setelah dapat mencegat jalan mundur Hun Thian-hi dengan seksama orang itu juga mengamatinya. sorot matanya mengunjuk rasa keheranan, sekian lama mereka beradu pandang, tiba-tiba orang itu berkelebat pula merangsak maju pula.
Melihat orang begitu berani bertangan kosong menempur senjata serulingnya, mau tak mau Hun Thian-hi merasa kagum, seumpama Bu-bing Loni sendiri juga tidak akan berani begitu takabur memandang pada dirinya.
Seruling Hun Thian-hi mendadak terangkat ke atas ujungnya telak sekali mengarah jalan darah Hou-kiat-hiat. Tapi baru saja ia bergerak, tiba-tiba serasa pandangan matanya kabur, berbareng serumpun angin keras menerjang ke arah badannya, entah cara bagaimana tahu-tahu orang itu sudah mendesak tiba sampai dekat sekali dihadapannya, sebelah telapak tangannya menyelonong tiba terpaut satu dim dari tulang iganya.
Keruan Hun Thian-hi terkejut, cepat ia tarik serulingnya terus putar balik menutuk punggung orang, berbareng kakinya menggeser mundur mencari posisi yang lebih menguntungkan, dalam jarak yang hanya terpaut beberapa mili saja secara untung2an ia berhasil terhindar dari pukulan musuh. Tapi tak urung keringat dingin sudah membasahi punggungnya saking kagetnya. Gerak gerik yang begitu aneh benar-benar belum pernah dilihat selama ini, apalagi orang aneh ini membekal racun berbisa yang teramat jahat, sedikit kena seumpama tidak mati pasti celaka jiwanya.
Melihat Hun Thian-hi dapat berkelit dari rangsekan pukulannya orang itupun mengunjuk rasa heran, adalah sangat mustahil ada orang yang bisa lolos dari serangan jahat yang sangat berbisa dan ampuh dari pukulan mautnya.
Tidak heran kalau Hun Thian-hi mengalirkan keringat dingin, tujuan Tok-sim-sin-mo cukup keji, jelas ia sengaja menjebak dirinya kemari supaya dirinya mampus di tangan manusia berbisa yang lihay ini. Begitulah dengan pandangan mata berkilat warna kebiruan, beruntun ia lancarkan pula tiga pukulan berantai yang aneh, Hun Thian-hi menjadi kelabakan tak tahu dia cara bagaimana ia harus menghadapi atau melawan ilmu silat yang aneh dan lucu itu, terpaksa ia mundur dan menjaga diri.
Semakin dalam, keadaan gua di dalam semakin gelap gulita, kelima jari sendiripun tidak kelihatan lagi. Tiga pukulan berantai musuh berturut-turut telah disambut oleh Hun Thian-hi secara kekerasan sembari mundur, sampai babak terakhir ini baru Thian-hi mendapatkan bahwa Lwekang musuh ternyata tidak sehebat seperti permainan pukulannya yang lihay dan aneh itu, orang tidak lain cuma mengandalkan gerak tubuh dan langkah kakinya yang aneh.
Dalam pada itu, orang laki-laki itu telah melancarkan pula sebuah pukulan kepada Thian-hi.
Sekonyong-konyong Hun Thian-hi merasakan sesuatu keganjilan. terasa olehnya orang ini merabukan serangkaian pukulannya dengan gencar tujuannya tak lain tak bukan hanya mendesak dirinya masuk mundur ke dalam gua yang lebih gelap sana, cepat timbul rasa was-was dalam hatinya, entah ada apa di dalam gua gelap dibelakangnya sana, betapapun harus hati-hati supaya tidak terjebak oleh musuh.
Karena kekuatirannya ini segera ia layangkan serulingnya dengan jurus Liu-si-jian-tiu melintang ke depan, sekonyong-konyong ia mendapat firasat jelek, betapapun ia tidak bisa mundur lebih lanjut ke dalam gua gelap sana.
Jurus permainan seruling Thian-hi ini punya ragam yang berlainan, dapat menyerang juga dapat menjaga diri, tapi lagi-lagi orang itu menggerakan badannya dengan kelakuan yang teramat aneh, tahu-tahu sebelah telapak tangannya sudah menyelonong tiba, tiba-tiba pula tubuhnya sudah menyelundup masuk ke dalam taburan sinar serulingnya. Semakin ciut nyali Thian-hi, sungguh tidak habis otaknya berpikir cara rangsakan serulingnya yang rapat itu tidak mampu merintangi gerak tubuh lawan menurut penilaiannya jurus Liu-si-jiang- tiu merupakan tipu penjagaan yang teramat rapat dan ketat sekali tiada jurus tipu permainan silat lainnya yang dapat dibanding dengan kehebatannya. Tapi kenyataan dihadapi olehnya sendiri bahwa musuh begitu gampang menyelundup masuk ke dalam tabir sinar serulingnya yang ketat itu, betapa hatinya takkan ciut dan gentar.
Terpaksa Hun Thian-hi mencelat jauh ke belakang, baru saja kakinya menyentuh tanah. mendadak segulung angin keras menerjang tiba dari arah belakangnya, terjangan angin keras ini begitu pesat dan besar sekali, sehingga Hun Thian-hi tambah terkejut. Cepat seruling diayun ke belakang dengan seluruh kekuatannya ia sambut terjangan angin keras itu.
Tapi terjangan angin keras itu seperti hidup saja mendadak membelok ke atas mengarah jalan darah mematikan dipunggung Thian-hi, jaraknya terpaut tiga dim saja. Jantung Thian-hi seperti hampir meledak saking kejut dan takutnya, cara gerak serangan yang membokong dari belakang ini hakikatnya sama dengan permainan Tosu di hadapannya ini, malah cara serangan dan tenaganya yang aneh itu jauh lebih hebat….
Untuk berkelit terang tidak sempat lagi, terpaksa Hun Thian-hi menghardik keras secara reflek serulingnya menyendal ke atas pula melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek, dengan kekuatan jurus ilmu pedang yang tiada taranya ini. segulung tenaga Lwekang yang ampuh berputar menggulung balik menyongsong serangan musuh.
Betul juga usahanya rada berhasil, terjangan angin keras di belakang itu sementara kena dibendung mundur, cepat Hun Thian-hi berdiri mepet dinding dan memiringkan badannya, waktu ia berpaling ke arah sana dilihatnya yang menyerang dari belakang tadi kiranya seekor ular warna putih laksana salju. Panjang ular ini tidak lebih tiga kaki, kedua biji matanya merah darah menyorong menakutkan, pelan-pelan badannya melingkar dan melata dari tempat yang gelap sana, dengan tajam kepalanya terangkat mengawasi Hun Thian-hi, mulutnya terpentang dan lidahnya terjulur keluar.
Tosu tinggi besar itu mencegat jalan keluar, dengan pandangan keheranan ia awasi Thian-hi, kesudahan dari gebrak terakhir antara Hun Thian-hi melawan ular putih itu sungguh diluar perhitungannya. Sungguh hebat Hun Thian-hi dapat menangkis serangan si ular putih kecil yang hebat itu. Tidaklah berkelebihan rasa kejutnya itu karena ia pun mengenali Wi-thian-cit-ciat-sek yang dilancarkan oleh Thian-hi.
Semakin mencelos hati Thian-hi, si Tosu seorang sudah begitu lihay dan sulit dilayani, kini ketambahan seekor ular yang tidak kalah hebatnya, betapapun dirinya tidak akan mampu melawan, untuk lolos dari kepungan seorang manusia dan ular berbisa yang lihai ini, boleh dikata sesulit memanjat ke atas langit.
Sambil memicingkan mata setindak demi setindak si Tosu tinggi besar itu mendesak maju. Hun Thian-hi berdiri tegak melintangkan seruling di depan dada dan otaknya beruntun memikirkan berbagai persoalan yang tidak terpecahkan olehnya. Ia curiga akan pengalaman yang aneh ini, masakah aku harus mati secara konyol di tempat ini? Bagaimana mungkin Tosu tinggi besar ini berbentuk begitu mirip dengan Giok-yap Cinjin, apakah dia punya sangkut paut dengan Ciangbunjin Bu-tong-pay itu? Mungkin seperti Hwesio jenaka dan Mo-bin Suseng mereka adalah saudara kembar.
Tengah pikirannya melayang, Tosu itu sudah mendesak dekat, Hun Thian-hi mengertak gigi seruling ditangannya teracung miring ke depan dengan setaker tenaganya ia lancarkan pula Wi- thian-cit-ciat-sek seiring dengan gerak serulingnya badannya pun menerjang maju ke depan. sergapan mendadak Hun Thian-hi memang cukup dahsyat. Tosu besar itu rada terkejut dan menyurut mundur ke belakang. Dengan melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek tujuan Thian-hi bukan melukai orang, maka begitu badannya terbang ke depan terus menerjang kemulut gua. Tapi ular putih kecil di belakangnya itupun tidak tinggal diam laksana anak panah iapun terbang mengejar, secepat kilat mematuk kepunggung Thian-hi.
Keruan Thian-hi menjadi merinding dan terperanjat, ia tahu bahwa ular macam itu pasti sangat beracun, sedikit kulit kena terluka oleh giginya jelas tidak akan tertolong lagi jiwanya, terpaksa ia harus membalikan tubuh dengan Wi-thian-cit-ciat-sek untuk membela diri mendesak mundur siular putih itu.
Sedikit merandek karena gangguan serangan siular kecil ini kesempatan lolos Hun Thian-hi menjadi sia-sia, ia terkepung pula diantara gencetan si Tosu dan ular putih kecil yang lihay itu. Kedua belah pihak sama berdiam diri sama memikirkan cara untuk merobohkan lawan, ketegangan mencekam sanubari mereka.
Tanpa berjanji sebelumnya, mendadak si Tosu dan ular kecil itu sama bergerak dari dua jurusan menerjang kepada Hun Thian-hi. Bercekat jantung Thian-hi, terpaksa serulingnya ditaburkan pula dengan Wi-thian-cit-ciat-sek, tujuh gelombang angin dahsyat menerpa hebat ke arah si Tosu dan ular kecil itu.
Gesit dan lincah sekali tiba-tiba ular putih melejit lebih tinggi dan menyendal maju melesat ketenggorokan Hun Thian-hi. Keruan bukan kepalang kejut Thian-hi, bahwa si ular kecil tidak takut keterjang tenaga pukulan Wi-thian-cit-ciat-sek yang dahsyat itu, ia berdiri mepet dinding untuk mundur sudah tidak bisa lagi, terpaksa hanya mengandal keampuhan Wi-thian-cit-ciat-sek saja untuk menggempur dan merintangi serangan ular putih itu.
Diluar dugaan ular kecil itu tersapu mental tiga tombak jauhnya oleh ketukan seruling Hun Thian-hi, tapi karena sampokan kepada ular putih itu sehingga gerakan seruling Hun Thian-hi rada lamban. dan kesempatan ini dipergunakan pula oleh si Tosu untuk mendesak maju dengan tepukan kedua telapak tangan kedada Hun Thian-hi.
Tanpa banyak pikir Hun Thian-hi berkelit kesamping, tapi sudah terlambat, pukulan lengan orang itu telak sekali mengenai pundak kiri Hun Thian-hi, seketika Thian-hi rasakan seluruh pudaknya kiri kesemutan dan hilang rasa. Waktu ia menoleh dalam sekejap waktu seluruh lengan kirinya sudah melepuh besar tiga kali lipat.
Thian-hi insaf bahwa ia telah kena racun yang teramat jahat, mungkin jiwa sendiri sudah tidak tertolong lagi, dengan rasa kecewa dan lesu perlahan-lahan ia meloso duduk bersimpuh.
Begitu pukulannya berhasil melukai Hun Thian-hi Tosu itupun lantas mundur. gesit sekali ia melejit ke arah ular putih serta memeriksanya dengan teliti. Ular putih itu rebah dengan lemas, agaknya jatuh pingsan, rada lama kemudian baru bisa bergerak dan melata dengan amat payahnya.
Melihat siular putih sudah dapat bergerak baru si Tosu berdiri lagi. dengan pandangan dingin mengancam ia awasi Hun Thian-hi.
Sementara itu Thian-hi kerahkan lwekangnya untuk mendesak hawa racun supaya tidak menjalar lebih jauh ke dalam tubuhnya. Tosu itu menyeringai, jengeknya, “Ilmu silatmu cukup tinggi, tapi akan kubuat kau mati berangsur-angsur. Kau sudah terkena racunku, kau kira kau bisa mendesaknya supaya tidak menjalar ke dalam tubuhmu?”
Dengan tajam Thian-hi pun pandang orang itu, sesaat kemudian ia bertanya, “Siapa kau sebenar-benarnya? Kenapa kau harus bunuh aku?”
“Jangan kau peduli siapa aku,” jengek orang itu pula. “Siapapun yang masuk kemari jangan harap bisa hidup ditanganku, dan kenapa sebabnya kau tidak perlu tahu!”
Waktu berkata-kata sedikitpun Tosu ini tidak menunjukkan perasaan hatinya, semakin mencelos hati Thian-hi menghadapi manusia sadis yang tidak diketahui asal-usulnya ini. Dari nada perkataan orang kedengarannya jiwa sendiri terang tidak tertolong lagi. Terpaksa ia tinggal diam saja dan memejamkan mata, ia duduk bersimpuh dengan tenang dan mengerahkan tenaga.
Orang itu mengamat-amati Thian-hi lagi, hatinya rada heran, dengan usia Hun Thian-hi yang masih begitu muda, ilmu silatnya ternyata begitu lihay, betul-betul sangat mengejutkan hatinya, kalau tidak menghadapi sendiri ia tidak akan mau percaya.
Mendadak hatinya seperti semakin menciut dan mencelos, air muka Hun Thian-hi tadi sudah berubah ungu dan membiru, tapi sekarang lambat laun semakin menghilang dan segar bugar kembali, ini boleh dikata suatu hal yang luar biasa dan tidak mungkin terjadi. Barang siapa yang terkena racunnya, mana dapat hidup? Ia yakin betapapun tinggi ilmu silat orang itu umpama setinggi langitpun jangan harap bisa mendesak bujar racun yang mengeram dalam tubuhnya.
Apalagi racun itu adalah racun ciptaannya yang teramat jahat,
Saking tidak percaya akhirnya ia bertanya pada Thian-hi, “Siapa kau? Apa tujuanmu kemari?” Dengan Lwekangnya Thian-hi berusaha membendung menjalarnya racun dalam tubuhnya,
namun hasilnya tetap nihil karena hawa racun terus merembes masuk melalui sendi urat nadinya tersebar luas di seluruh tubuh, ia menjadi putus asa, dengan, membuka mata ia berkata tawar, “Sekarang baru kau bertanya, apa gunanya?”
Orang itu mendengus, katanya, “Ingin aku tahu siapa kau sebenar-benarnya?”
Thian-hi pejamkan mata lagi tanpa bersuara. sesaat kemudian baru ia berkata dengan kalem, “Apa kau ingin mendirikan batu nisanku? Kukira tidak perlulah.”
Orang itu rada terkejut, katanya dingin, “Kau tidak akan mati. Cuma aku ingin tahu dengan cara apa kau dapat memunahkan racunku itu.”
Thian-hi tersentak kaget sambil membelalakkan matanya, lambat laun memang ia merasakan semangat semakin segar dan pulih kembali seperti sedia kala, dengan cermat ia menepekur sekian lamanya ia belum mendapat jawaban yang tepat. Sekonyong-konyong hatinya seperti sadar. Buah ajaib! Tentu oleh khasiat buah ajaib itulah. Bukankah ia pernah menelan beberapa butir buah ajaib, maka seluruh tubuhnya sekarang tidak perlu takut menghadapi segala bisa atau racun.
Hatinya menjadi girang, katanya riang, “Kalau kau ingin tahu sudah tentu boleh kuberitahu kepada kau. Tapi kau harus beritahu lebih dulu padaku, siapa kau sebenar-benarnya. Kenapa bentuk wajahnya serupa benar-benar dengan Ciangbunjin Bu-tong-pay?”
Raut muka orang itu berkerut-kerut agaknya ia menjadi berang, dengusnya, “Tapi akupun perlu tanya kau lebih dulu. Untuk apa kau kemari? Untuk mencari harta benda itu bukan?”