Bab 24
Hwesio jenaka tertawa katanya, “Kau sekarang sudah menjadi murid Bu-bing Loni, apakah dia mau membiarkan kau pergi?”
Apa boleh buat Su Giok-lan pandang Hun Thian-hi katanya, “Bagaimanakah aku ini?” “Lam-siau dan Pak-kiam sekarang sama menetap di Jian-hong-kok dipuncak Ui-san. Kalau
dugaanku tidak salah dalam waktu dekat ini Bu-bing Loni tidak akan keluar, harus bagaimana kukira kau sendirilah yang mesti memutuskannya.”
Su Giok-lan tertunduk diam, otaknya bekerja. Lalu Hwesio jenaka berkata kepada Hun Thian-hi. “Hun-sicu, bila kau tidak anggap aku lancang mulut, menurut hemadku seharusnyalah segera kau berangkat ke Cian-hud-tOng.”
Tergetar hati Hun Thian-hi, kepalanya terangkat dan pandangannya penuh selidik batinnya, “Kenapa? Ada peristiwa apa pula yang terjadi? Gelombang pertikaian lama belum lagi menjadi tenang gelombang pertikaian baru bergejolak lagi, aku sendiri belum lagi menemukan Ma Gwat- sian, mana bisa pergi ke tempat yang begitu jauh? Apakah benar-benar terjadi perkara besar disana?” “Sudah tentu, pergi atau tidak terserah kepada kau!” demikian tambah Hwesio jenaka tertawa, “Tapi perlu kau ketahui, bahwa tuan penolong jiwamu sekarang sedang menempuh perjalanan kematian!”
“Siapa yang Siau-suhu maksudkan?”
“Seharusnya kau tahu, orang itu tak lain adalah Ling-lam-kiam-ciang Coh Jian-jo!”
“Coh Jian-jo,” keluar dengusan lirih dari mulut Thian-hi, dia merasa sedikit terkejut, dan karena kejutnya ini timbul rasa kecurigaannya….
Hwesio jenaka manggut-manggut mengiakan, “Bila tiada Coh Jian-jo sejak lama kau sudah mampus di bawah berondongan Pek-tok-hek-liong-ting, seharusnya kau paham. Tok-sim-sin-mo pun sudah tahu seluk beluk rahasia ini, maka cepat-cepat ia balik pulang ke Jian-hud-tong.
Tindakan Coh Jian-jo membuat segala rencananya gagal total, sekembali disarangnya dapatlah kau bayangkan tindakan apa yang akan dia lakukan terhadap Coh Jian-jo?”
Thian-hi terlongong, memang dia harus segera menyusul ke Jian-hud-tong. tapi bagaimana pula ia lega meninggalkan Ma Gwat-sian? Seorang diri Ma Gwat-sian menghilang. dapatkah aku tinggal pergi dengan lega hati?
“Nak,” ujar Hwesio jenaka menarik muka, “Jangan kau terbelenggu oleh ikatan asmara. segala perbuatan Bu-bing Loni itu justru karena dikejar oleh perasaan tali asmarat itu pula. Janganlah kau tenggelam menjadi pikun karena cinta. pula!”
“Siau-suhu” ujar Thian-hi menghela napas, “Ada kalanya sesuatu urusan yang tidak dapat kau selami dari pendirianmu, tapi aku akan bekerja menurut petunjukmu juga,” lalu ia berpaling ke arah Su Giok-lan, katanya, “Nona Su. selamat ketemu!”
“Nanti dulu,” seru Su Giok-lan, “Mari kuantar dengan burung dewata.”
Sesaat Thian-hi bimbang akhirnya manggut-manggut. “Urusan disini biarlah aku bantu kau menyelesaikan. hati-hatilah sepanjang jalan ini,” demikian Hwesio jenaka berpesan dan berjanji.
Lekas-lekas Su Giok-lan naik kepunggung burung dewata diikuti Hun Thian-h:. Kejap lain mereka sudah terbang tinggi ditengah angkasa dan menghilang di ufuk barat.
Hati masing-masing dirundung pikiran, sekian lama mereka terbang meninggi tanpa bicara, akhirnya Su Giok-lan yang membuka suara tanyanya, “Tahukah kau orang macam apakah sebenar-benarnya Hwesio jenaka itu?”
“Kurang jelas,” sahut Thian-hi menggeleng, “Tapi dia sering membantu banyak kepadaku, beberapa kali malah dia telah menolong- jiwaku.”
Su Giok-lan manggutZ, dengan suara penuh perasaan ia berkata, “Hun-toakO, setelah urusan di Jian-hud-tong selesai, kita bersama pulang ke Jian-hong-kok menengok guru kita bagaimana?”
“Sudah tentu baik sekali.” sahut Thian-hi tertawa dibuat-buat. “Kuatirnya waktunya sangat mendesak, aku masih perlu mengerjakan sesuatu di Siong-an.”
“Kenapa? Urusan penting apa lagi yang perlu kau kerjakan?” Sudah tentu Thian-hi tidak enak menjelaskan, sahutnya meng-ada2, “Urusan Kecil belaka, tapi cukup penting dan mendesak, kalau tidak aku bakal menyesal dan selalu akan mengganjal dalam sanubariku.”
Su Giok-lan terdiam, lapat-lapat ia merasa kemana juntrungan kata-kata Thian-hi ini. Bukankah tadi Hwesio jenaka ada memberi nasehat pada Thian-hi supaya jangan kelelap karena ikatan asmara, dan yang dimaksudkan sudah pasti bukan diriku, maka segera ia bertanya lebih lanjut.
Apakah urusan itu yang dimaksud oleh Hwesio jenaka tadi?”
“Giok-lan,” ujar Thian-hi menghela napas, “Aaa. ucapani yang perlu kukatakan pada kau, coba, Kutanya kau, sudikah kau selamanya menjadi adikku? Aku akan berusaha mencintaimu seperti engkohmu dulu.”
Merah mata Su Giok-lan, airmata meleleh keluar, ia tertunduk diam.
Thian-hi tahu urusan ini harus secepatnya dijelaskan, supaya kedua belah pihak tidak terjerumus semakin dalam karena ikatan perasaan yang tidak terlampias. Katanya pula, “Adik Giok-lan, isi hatiku selamanya belum pernah kulimpahkan kepada siapapun juga, ketahuilah orang yang paling kucintu dalah Sucimu!”
“Ham Gwat Suci!” seru Su Giok-lan sambil berpaling ke belakang, berpaling kemuka hatinya berpikir; ‘kiranya Ham Gwatlah yang dicintai Hun Thian-hi, untuk ini ia tidak perlu banyak komentar lagi. Giok-lan tahu dibanding Ham Gwat dirinya jauh ketinggalan dalam segala bidang, sampaipun dalam pengendalian perasaan, diapun tidak selembut dan seagung Ham Gwat, begitu suci dan murni, rupawan lagi.’
Su Giok-lan terlongong diam, entah apa yang sedang dipikirkan, mendapat hati Hun Thian-hi bicara lebih lanjut, “Aku sendiri belum tahu bagaimana sikapnya terhadapku, tapi dia sudah beberapa kali menolong aku.”
Sekarang Su Giok-lan angkat kepala, katanya, “Perasaan Ham Gwat Suci jarang dicurahkan dilahirnya, tapi sebenar-benarnyalah dia seorang gadis yang baik dan bijaksana, dia sangat baik sekali terhadapku.”
Mendengar ucapan Giok-lan ini, legalah hati Thian-hi, sunggguh ia tidak menduga bahwa Ham Gwat bisa membawa diri begitu rupa sehingga Su Giok-lan bersikap begitu hormat dan simpatik terhadap dirinya, ini betul-betul aneh dan mengherankan.
“Yang menolong aku tempo hari adalah Sucimu pula, dia menolong diriku dari cengkeraman
Bu-bing Loni, malah dengan burung rajawalinya dia antar aku ke Siong-san, tadi pun dia muncul di Siong-san, tapi entah kemana dia sekarang.”
“Apakah tadi kau sedang menunggu dia?” “Bukan, aku sedang mencari seorang lain!” “Kau sedang mencari seorang perempuan lain?”
Thian-hi manggut-manggut, dengan ringkas pelan-pelan ia menceritakan perihal Ma Gwat-sian kepada Su Giok-lan.
Su Giok-lan mendengar begitu asjik, sesaat ia berpikir lantas bertanya, “Dia cantik bukan? Dan lagi kau pun rada ketarik pula padanya?” Thian-hi manggut dengan keraguan, ujarnya, “Itu pun benar-benar, waktu pertama kali kuketemu dia memang hatiku sudah kecantol, akhirnya karena kutahu dia terlalu pintar aku menjadi takut malah, meskipun diapun sangat cantik tapi dibanding dengan Sucimu, kecantikannya tidak lebih unggul dari Ham Gwat!”
“Ketahuilah Ham Gwat Suci juga sangat pintar, kelak kaupun bakal takut padanya?” demikian goda Su Giok-lan.
“Rada2 saja,” sahut Thian-hi tersenyum geli, “Bukan karena dia terlalu pintar, adalah karena selama ini aku belum pernah melihat senyum manis di Wajahnya yang kaku dingin itu.”
“Ajah bunda Ham Gwat Suci sudah meninggal semua, riwayat hidupnya sangat mengenaskan.” “Tidak! Aku pernah jumpa beberapa kali dengan ibundanya, sedang ayahnya dikurung di suatu
tempat oleh Bu-bing Loni. Ayah ibunya masih hidup dan sehat, cuma dia sendiri tidak tahu!” Su Giok-lan tercengang, serunya, “Kau tahu hal ini kenapa tidak beritahu kepadanya?”
“Dimana ayahnya berada aku belum tahu, sedang jbunya ada pesan supaya aku tidak memberitahu dulu kepadanya.” — lalu ia tuturkan pertemuannya dengan Ong Ging-sia tempo hari.
Su Giok-lan terlongong-longong tak bersuara, begitu kejam dan keji benar-benar tindanan Bu- bing Loni sampai adik kandung sendiri pun disiksa dan dibuat cacat begitu rupa, kalau dipikirkan sungguh mendirikan bulu roma.
Jalan punya jalan tak lama kemudian mereka sudah tiba di Jian-hud-tong, setelah turun di tanah Giok-lan mengulap tangan membiarkan burung dewata terbang pergi, langsung mereka menuju ke mulut Jian-hud-tong.
Kata Hun Thian-hi, “Mungkin Tok-sim-sin-mo sekarang belum pulang, mari kita masuk menyelidiki dulu, lebih baik kalau dapat menolong Coh Jian-jo keluar, supaya tidak menimbulkan bencana di kelak kemudian!”
“Tapi siapa tahu dimana Coh Jian-jo berada?” “Kita terobos dulu ke dalam saja!”
Tempo Hun Thian-hi dan Sutouw Ci-ko terkurung di Jian-hud-tong dulu, Hun Thian-hi tertolong keluar oleh Ka-yap Cuncia, waktu keluar melalui sebuah jalanan rahasia lain. Maka kali ini Thian-hi membawa Su Giok-lan ke belakang gunung dan menyelinap masuk ke dalam Jian-hud-tong melalui jalan rahasia itu.
Beberapa kejap kemudian tampak bayang2 manusia di depan lorong Sana, tampak di berbagai pengkolan dipasang penjaga dan peronda hilir mudik. Thian-hi memperhatikan dengan cermat. pikirnya alat2 rahasia tentu sudah tersebar dimana-mana, dimana letak kurungan Coh Jian-jo belum lagi diketahui, aku harus bertindak hati-hati dan jangan sampai konangan lagi, kalau tidak, besar akibatnya.
Sesaat ia menjadi bingung mengawasi orang-orang di dalam gua sana, tak tahu cara bagaimana untuk mencari tahu dimana Coh Jian-jo disekap, dan yang terpenting cara bagaimana nanti dapat membawanya keluar dengan selamat tanpa kurang suatu apa.
Su Giok-lan pun mengerutkan alis, hatinya gundah, pikirnya: kecuali menerjang dengan kekerasan, kalau tidak mana mungkin Coh-jian-jo dapat ditolong keluar. Thian-hi celingukan kesekitarnya, tiba-tiba ia berkelebat sembunyi ke dalam sebuah lorong lain, cepat-cepat Su Giok-lan mengikuti jejaknya, mereka sama sebagai tokoh persilatan tingkat wahid, gerak-gerik cukup cermat lagi, maka tindakan mereka sedikit pun tidak bersuara.
Tak lama kemudian tampak sepasukan peronda dari anak buah Hek-liong-pang mendatangi, penjaga di berbagai pos itu satu persatu diganti, kiranya tibalah saatnya aplusan, begitu rombongan peronda itu lewat di depan, sebat sekali Thian-hi ulur tangannya mencengkeram satu diantaranya yang berjalan paling belakang terus diseret ke dalam lorong.
Sayang gerak tangannya yang begitu cepat itu toh masih konangan juga, kontan suitan panjang tanda bahaya segera melengking keras dan bersahutan di empat penjuru. Keruan kejut Thian-hi, cepat ia seret orang itu ke dalam lorong terus mepet dinding bersama Su Giok-lan.
Suasana dalam Jian-hud-tong menjadi gempar, anak buah Hek-liong-pang sama mengacungkan obor tinggi2, mereka mulai menggeledah dan memeriksa keberbagai tempat. Gugup hati Thian-hi, sungguh diluar tahunya bahwa penjagaan di dalam Jian-hud-tong ternyata begitu keras dan ketat.
Mereka ubek2an tanpa hasil, lambat laun suasana menjadi sepi dan akhirnya terang kembali Hun Thian-hi jadi berlega hati. Sekonyong-konyong tampak seorang laki-laki bertubuh tinggi besar berusia pertengahan lambat-lambat beranjak mendatangi, kelihatannya orang ini adalah komandan jaga, sepasang biji matanya berkilat terang, kelihatannya seorang tokoh persilatan.
Sembari jalan kedua biji matanya menjelajah keadaan sekitarnya. Terkejut Thian-hi dibuatnya orang ini begitu cermat, bukan mustahil jejak dirinya bakal konangan olehnya.
Akhirnya sepasang mata orang itu mencapai ke atas gua, tanpa ayal segera Hun Thian-hi lemparkan tawanannya ke arah orang itu, lalu bersama Giok-lan melesat turun dan lari sipat kuping kelorong lainnya….
Gesit sekali orang itu melejit kesamping berbareng sebelah tangan menyanggah ke atas, sedang tangan kanannya terayun ke belakang, rombongan pemanah dibelakangnya segera menghujani Thian-hi berdua dengan berondongan anak panah. Bagaikan asap entengnya Thian-hi berdua sudah menyelinap hilang ke lorong yang lain.
Orang itu mendengus dingin, ia berpaling kekanan kiri lalu berseru dengan suara berat, “Turunkan dua pintu dinding dikedua samping, periksa lagi lebih ketat, paksa mereka mengunjukan diri!” dia juga heran bahwa pendatang gelap ini berkepandaian begitu tinggi, sungguh ia tidak dapat membayangkan cara bagimana dia berhasil menyelinap masuk ke dalam gua bagian belakang yang serba rahasia. disangkanya orang menyelundup dari pintu muka.
Terdengarlah suara gemuruh, pintu samping diantara lorong2 yang menembus kesana sini mulai diturunkan. Thian-hi berdua sembunyi disebelah lain, melihat pintu dinding yang besar dan tebal itu pelan-pelan turun, terkejut dan bimbang pula mereka, tapi urusan sudah sedemikian lanjut terpaksa bertindak menurut perkembangan selanjutnya.
Cahaya obor terang benderang menerangi segala pelosok gua, sorotan cahaya pelita berseliweran disamping tubuh mereka. Thian-hi sedang berpikir, jeli dan tajam benar-benar sinar mata orang tadi, agaknya ia punya sedikit kesan terhadap orang itu, hanya bayangannya rada kabur. Tiba-tiba, selarik sinar tepat menyorot kemukanya, mendadak teringat olehnya, bukankah orang ini tokoh yang terkenal di Bulim dengan julukan Wan-pi-sin-gan Nyo Ceng yang kenamaan itu? Siapa nyana dia pun terima menjadi antek Tok-sim-sin-mo.
Pikiran ini berkelebat cepat dibenaknya, pandangannya serasa kabur, tahu-tahu sebatang tombak melesat menusuk ketenggorokannya.
Thian-hi mengayun tangan kanan menyampok jatuh tombak itu, berbareng ia tarik Giok-lan melompat menghilang kebagian lain yang gelap.
Sambil menyoroti dengan sinar pelita ke arah mereka, anak buah Hek-liong-pang itu memburu datang sembari berkaok2.
Seketika anak buah Hek-liong-pang memburu datang dari empat penjuru. Thian-hi menggerung gemas, seenaknya ia mencomot kedinding terus meremas hancur menjadi kerikil batu dinding yang keras itu terus disambitkan ke depan, terdengarlah suara kesakitan beberapa orang, obor2 di tangan merekapun padamlah keadaan menjadi gelap gulita.
Beruntun jari jemari Thian-hi menjentik dua butir kerikil ke atas dinding terus terbang ke depan, laksana dua orang terbang lewat menyentuh dinding ke depan. Seketika semua orang berlari mengejar ke arah sana. Sesaat mereka kena ditipu oleh cara sambitan batu Thian-hi ini.
Wan-pi-sin-gan (mata sakti berlengan kera) Nyo Ceng melayang datang, suaranya berat berwibawa, “Jangan ribut!” kedua matanya menyapu lambat-lambat kesekitarnya.
Thian-hi berdua berdiri pematung diam, Nyo Ceng pandang mereka dengan tajam, dengusnya, “Ternyata Hun Thian-hi adanya, besar nyalimu berani menerjang masuk kemari!”
Thian-hi tertawa tawar, jengeknya, “Aku bisa terjang masuk kesini tidak perlu dibuat heran. yang lucu dan mengherankan justru Wan-pi-sin-gan Nyo Ceng ternyata terima menjadi antek Tok- sim-sin-mo.”
Wan-pi-sin-gan Nyo Ceng adalah seorang tokoh suci yang kenamaan akan kelurusan dan kejujuran hatinya, sejak lahir ia mempunyai pembawaan yang luar biasa, yaitu sepasang matanya tajam luar biasa melebihi orang lain, ilmu silatnya jarang orang mengetahui sampai dimana tingkatannya, soalnya selamanya jarang ia pamer kepandaian sendiri dihadapan orang, tapi konon kabarnya kepandaiannya tidak lebih rendah dari Giok-yap Cinjin dan Thian-cwan Taysu dari Siau- lim. Entah mengapa sekarang ternyata terima mengekor menjadi anak buah Tok sim-sin-mo.
Dingin-dingin saja Nyo Ceng pandang mereka, jengeknya, “Kalian datang karena Ling-lam- kiam-ciang Coh Jian-jo bukan? Hm, kau kira dia sudi pergi bersama kalian?”
Hati Thian-hi semakin heran, kiranya Nyo Ceng sudah tahu akan hal ini, diluar tahunya bawa dim-na ia main terobosan ini justru tempat sekitar dimana Coh Jian-jo disekap, maka penjagaan disini justru diperketat dan keras sekali.
“Ada aku disini, jangan harap kalian bisa keluar dari tempat ini.” demikian ancam Nyo Ceng menyeringai dingin.
Su Giok-lan melolos pedang dari punggungnya, serunya sambil maju ke depan, “Ingin aku mencoba apakah kau punya kepandaian asli sejati, berani kau takabur!”
Nyo Ceng menyeringai lebar…. tangannya terangkat lagi, hujan anak panah memberondong pula ke arah mereka berdua, Thian-hi menekuk dengkul jadi tubuhnya rada mendak kebawah berbareng kedua telapak tangannya didorong ke depan, Pan-yok-hian-kang dikerahkan menerpa ke depan, kontan hujan anak panah kena disapu runtuh berjatuhan di tanah.
“Blang” tiba-tiba sebuah pintu batu disamping sana meluncur jatuh pula, sekarang mereka menjadi terhimpit diantara alingan dua pintu batu yang tebal.
Dari luar suara Nyo Ceng terdengar dingin, “Selama hidupku bila tidak terpaksa tidak pernah aku main silat dengan orang lain!”
Thian-hi pandang kedua dinding pintu yang tebal itu, beratnya paling ringan ribuan kati, jarak antar kedua pintu ini empat kaki, bila tidak bisa keluar, ter paksa mereka harus menunggu ajal terkurung disitu.
Su Giok-lan menyimpan pedangnya, dengan kedua tangan ia menepuk2 pintu, terdengar suara mendengung yang berat, sedikitpun pintu itu tidak bergeming.
Thian-hi berpikir dengan gabungan tenaga dalam dua orang mungkin dapat merobohkan, tapi lalu cara bagaimana menolong Coh Jian-jo? Kelihatannya panjang lorong ini setiap berjarak empat lima meter pasti terpasang sebuah daun pintu, mungkinkah satu persatu dapat membobolnya?
Akhirnya Su Giok-lan menghela napas, tanyanya. “Hun-toako, bagaimana sekarang?”
Thian-hi melolos serulingnya, katanya, “Giok-lan! Akan kugempur pintu ini, begitu pintu ini runtuh kau harus cepat menerjang keluar. Jangan sampai Nyo Ceng melarikan diri!”
Mendengar ucapan Thian-hi begitu mantap Su Giok-lan manggut-manggut, pedang dikeluarkan dan siap-siap. ‘
Hun Thian-hi mengerahkan ilmu saktinya, tiba-tiba tubuhnya melambung ke tengah udara berputar satu lingkaran terus menutulkan serulingnya keluar, begitu Wi-thian-cit-ciat-sek dilancarkan pintu itu tergoyang gontai lalu pelan-pelan ambruk ke arah samping sana. “Blum!” batu krikil dan pasir serta debu bertebangan. laksana anak panah Su Giok-lan melesat keluar, dimana ia gerakkan pedangnya dengan jurus Jiu-si-jjan-tiu setabir sinar pedang laksana ribuan benang sutera mengurung semua hadirin.
Berubah air muka Nyo Ceng, setindak pun ia tidak berani maju. dengan bungkam ia menatap Thian-hi berdua. Ujung pedang mengancam tenggorokan.
Thian-hi tersenyum manis, serunya, “Nyo-tayhiap! Sekarang boleh kau ajak kami menemui Coh Jian-jo bukan?”
Nyo Ceng tertawa-tawa, sahutnya. “Kalian ingin benar-benar kesana? Aku kuatir kau dapat masuk takkan dapat keluar pula!”
“Kalau kita mau pergi sudah tentu ada kau Nyo Tayhiap yang menunjukkan jalannya, tidak menjadi soal tak bisa keluar. Pintu2 penghalang macam ini tidak menjadi soal bagi aku!”
Nyo Ceng tertawa, ujarnya, “Sekarang aku sudah bekerja bagi Tok-sim-sin-mo, sudah tentu aku harus setia pada tugasku, jangan kau nanti salahkan aku, dapat masuk tak dapat keluar, hal ini kutegaskan sekali lagi pada kau!”
“Aku tidak ambil perhatian soal itu!” sahut Thian-hi dengan sikap wajar. Nyo Ceng tertawa lebar, tanpa bicara lagi ia mendahului jalan di depan, Thian-hi menyapu lihat kedua dinding samping, benar-benar juga banyak terdapat daun pintu yang terporot didinding2 itu, penjagaan diatur sedemikian rapi dan ketat, sungguh sulit dibayangkan.
Rada jauh mereka berjalan belak belok akhirnya tercegat sebuah daon pintu yang terbuat dari besi, tebal pintu besi ini kira-kira setengah kaki. pintu bisa tertutup dari luar. Nyo Ceng berkata, sambil tertawa, “Kunasehatkan pada kalian sekali lagi, janganlah masuk kesana!”
Sambil memincingkan mata Thian-hi pandang Nyo Ceng, terasa olehnya bahwa kata-katanya ini memang bermaksud baik, sesaat ia berpikir lalu sahutnya tertawa, “Bagaimana juga aku harus masuk kesana!”
Sesaat Nyo Ceng termeming lalu ia beranjak masuk lebih dulu, katanya, “Aku tiada punya permusuhan apa dengan kalian, kenapa kalian harus memaksa aku?”
“Lekas jalan!” bentak Su Giok-lan, “Kita masih punya urusan penting yang lain.”
Pandangan Nyo Ceng rada kecewa, akhirnija ia membalik tubuh dan melangkah lebih lanjut, pintu besi itu pelan-pelan tertutup sendiri dengan mengeluarkan suara gemuruh dan “Blum” tertutup rapat dan kokoh.
Nyo Ceag berpaling kepada mereka. ia melanjutkan ke depan. Thian-hi merasa memang tidak mungkin keluar pula dari sini. Setelah menyelusuri lorOng panjang tibalah mereka disebuah kamar persegi, dalam kamar ini terdapat banyak perabot dan peralatan besi, seorang laki-laki tua beruban tampak duduk di atas kursi sedang tenggelam dalam lamunannya.
Begitu mendengar langkah kaki orang ia tersentak kaget dan angkat kepala, dengan pandangan dingin dan tak bersahabat ia lirik mereka bertiga lalu tunduk menepekur lagi.
Nyo Ceng tertawa, katanya, “Dia itulah Ling-lam-kiam-ciang Coh Jian-jo.”
Segera Thian-hi tampil ke depan Coh Jian-jo, katanya. “Wanpwe Hun Thian-hi, sengaja kemari untuk nyatakan terima kasih akan budi pertolongan Cianpwe.”
Coh Jian-jo angkat kepala, ia pandang Thian-hi lekat-lekat. sesaat baru bersuara, “Aku belum pernah menolong jiwamu!”
“Kalau bukan Cianpwe, sejak lama aku sudah mampus di bawah serangan Pek-tok-hek-liong- ting milik Tok-sim-sin-mo itu!”
Kelihatannya Coh Jian-jo mulai ketarik, dengan nanar ia pandang Thian-hi lalu pelan-pelan berdiri, dengan menggendong tangan ia berjalan sebundaran dalam kamar, katanya, “Meski aku telah mengubah sedikit peralatan itu, mengandal kau rasanya tidak mungkin. terhindar dari bencana!”
“Cianpwe!” sela Nyo Ceng. “Kau harus tahu dia ahli waris dari Wi-thian-cit-ciat-sek!”
Agaknya Coh Jian-jo rada terkejut, ia pandang Thian-hi lekat-lekat dengan rasa kurang percaya, ia berpikir sejenak lalu geleng-geleng kepala, agaknya ia tidak mau percaya,
Nyo Ceng tertawa, katanya. “Sekarang kita takkan mampu keluar dari sini, seluruh pintu sudah tertutup rapat dan tak mungkin terbuka lagi!”
“Kenapa kau datang kemari?” tanya Coh Jian-dio aseran. “Tok-sim-sin-mo sudah tahu akan kesengajaanmu memperlemah daya kekuatan Pek-tok-hek- liong-ting itu, tak lama lagi ia bakal kembali, maka kuanggap mungkin cianpwe perlu sesuatu bantuan dari aku!”
Coh Jian-jo manggut-manggut, katanya, “Apa gunanya kau menyusul kemari? Bila mereka berani bunuh aku, sejak lama mereka sudah mencabut jiwaku, aku tidak akan bisa hidup sampai sekarang. Perbuatan kalian ini boleh dikata berkelebihan belaka, malah bisa bikin susah aku pula, apakah kalian bisa keluar sendiri dari sini?”
“Bukan melulu karena persoalan itu saja kami k-mari, kecuali itu besar harapan kami dapat menyambut Cianpwe keluar dengan bebas.”
Coh Jian-jo pandang mereka dengan bingung, ia tertunduk bungkam, dengan langkah cepat ia berjalan putar kayun dalam bilik batu itu, agaknya ia sulit mengambil suatu keputusan.
“Tiada gunanya Cianpwe tinggal terlalu lama disini”, demikian bujuk Thian-hi, “Kalau toh bisa keluar kenapa pula harus main ulur waktu dan menyekat diri terima derita.”
Terangkat kepala Coh Jian-jo, pandangan matanya mendelik gusar, serunya, “Lekas kau pergi!
Tak butuh kudengar ocehanmu. Aku sendiri yang suka tinggal disini, kau ingin bawa aku lari, sedang kau sendiri saja belum tentu mampu keluar dari sini.”
Thian-hi tertegun, sungguh tidak nyana bahwa Coh Jian-jo bersikap begitu keras kepala, sesaat ia menjadi kememek dan tak tahu apa yang harus dilakukan karena kebandelan orang.
Ooo)*(ooO
Melihat Bu-bing Loni sudah dihayati nafsu membunuh, terpaksa Ma Gwat-sian memetik harpanya melagukan Tay-seng-ci-lou untuk membela diri. Begitu irama harpa mengalun, Bu-bing Loni mendelik gusar kepada Ma Gwat-sian, Gwat-sian pejamkan mata, kedua jari jemarinya selincah kupu2 menari di atas kuntum bunga, laksana air mengalir awan mengembang irama harpanya mengalun enteng terus berkembang.
Bu-bing menggerung murka, ia kerahkan ilmu sakti pelindung badan untuk pertahankan urat nadi dan dadanya, setindak demi setindak ia mendesak maju.
Melihat rangsekan irama lagunya tidak kuasa merintangi Bu-bing Loni, semakin gugup dan gelisah hati Ma Gwat-sian, tapi keadaan sudah sedemikian gawat, dengan segala kemampuan yang ia pelajari selama ini mulailah ia kerahkan tenaga mengembangkan lagu Tay-seng-ci-lou cukup untuk membela diri saja.
Meski tidak takut Bu-bing Loni segan membuka suara, diam-diam hatinya pun kaget, bila guru gadis ini tiba, kalah atau menang sulit ditentukan, bila sekarang tidak lekas-lekas melenyapkan gadis ini kelak pasti merupakan bibit bencana. Karena tekadnya ini pelan-pelan ia melolos pedang dari punggungnya.
“Jangan kau usik dia!” bentak Kiang Tiong-bing murka.
Kiang Tiong-bing menoleh ke arah Ma Gwat-sian, ia maklum bila urusan berlarut begitu terus Ma Gwat-sian pasti berkorban ditangan Bi-bing Loni, maka segera ia menambahi, “Kau sebagai seorang tokoh kenamaan di Bulim, tidakkah kau malu menghadapi seorang gadis remaja!” Bu-bing tertawa sinis. ie menyedot napas melindungi urat nadinya lalu berkata, “Hari ini tak kubunuh dia, besok tentu dia yang akan membunuh aku!”
“Dia adalah anak angkatku, bila kau berani bunuh dia, selama sehari aku masih hidnp, akan kubunuh kau juga!” demikian ancaman Kiang Tiong-bing,
Bu-bing Loni terbungkam. pelan-pelan ia simpan kembali pedangnya, dengan dingin ia sapu pandang mereka berdua serta katanya, “Kecuali selama hidup ini tinggal disini, kalau tidak kubunuh dia, meski sembunyi ke ujung langit.” berhenti sebentar lalu ia menambahi, “Dan juga Ham Gwat sekalian!”
Kiang Tiong-bing diam saja, ia maklum bahwa Bubing Loni bisa melakukan apa saja sesuai dengan ancamannya, sikap dan kekkuannya terhadap dirinya ini boleh dikata merupakan pemberian ampun dan mengalah.
Habis mengancam tadi Bu-bing Loni lantas putar tubuh tinggal pergi.
Tersipu-sipu Gwat-sian bangkit, katanya, “Terima kasih banyak akan pertolonganmu paman.” “Nak,” sahut Kiang Tiong-bing, “tak perlu kau sungkan-sungkan, terpaksa aku harus bertindak
keras, tujuannya juga bukan melulu demi kepentingan kau, aku pun mengambil keuntungannya!’
“Betapa pun kau telah menolong aku!’ ujar Ma Gwat-sian tertawa getir.
Begitu pahit dan getir tawa Ma Gwat-sian. hal ini terasakan oleh Kiang Tiong-bing, dia pun tersenyum kecut, katanya, “Nak, harus tahu, ada kalanya hidup manusia itu bukan melulu demi kehidupannya sendiri!”
Ma Gwat-sian terlongong sekian lamanya, tak tertahan lagi ia menubruk ke dalam pelukan Kiang Tiong-bing dan menangis gerung-gerung. Begitulah mereka bertangis2an.
“Nak.” ujar Kiang Tiong-hing sesaat kemudian. “Sudah jangan nangis lagi!” “Paman! Benar-benarkah kau sudi angkat aku sebagai putrimu?”
“Oh, nak sungguh aku girang memperoleh anak seperti kau!” kata Kiang Tiong-bing mengembeng air
mata. “Yah! kaupun tidak perlu menangis lagi!”
Pandangan Kiong Tiong-bing melayang ke arah air terjun diluar sana, terpikir olehnya bila Ham Gwat juga berada disitu betapa senang dan bahagia hatinya. tanpa merasa ia menghela napas kesal, katanya, “Nak, ada sesuatu yang perlu kukatakan kepada kau.”
Ma Gwat-sian duduk bersimpuh di bawah lutut Kiang Tiong-bing. Setelah menghela napas dan memandang keluar Kiang Tiong-bing mulai bicara, “Empat puluh tahun lebih, Bu-bing Loni masih begini kejam!” demikian gumamnya, lalu ia melanjutkan kepada Ma Gwat-sian, “Nak, urusan ini selamanya belum pernah kututurkan kepada siapapun, inginkah kau mengetahui persoalanku dengan Bu-bing Loni?”
Ma Gwat-sian manggut-manggut. ia duduk diam dan tenang.
“Dulu,” dutur Kiang Tiong-bing tersenyum, Kangouw Ngo-hong adalah kaum remaja yang menjadi incaran dan kejaran pemuda2 persilatan pada masa itu, Ngo-hong sama punya kepandaian silat yang tinggi, sama cantiknya pula!”’ merendek sebentar lalu melanjutkan, “Tatkala itu aku baru saja berkecimpung dikalangan Kangouw. Ngo-hong Locu adalah sahabat kental dari keluargaku, sudah tentu dalam pengembaraanku itu aku harus mampir kesana menyampaikan sembah sujud dan hormatku kepada beliau.”
Mendengar sampai disini lantas Ma Gwat-sian dapat menebak kejadian apa selanjutnya yang telah dialaminya.
Kiang Tiong-bing tersenyum geli, sambungnya. “Adalah jamak kalau akupun bertemu dengan kelima putrinya yang remaja itu. Nama asli Bu-bing Loni adalah Ong Ging-hong. dialah yang terbesar diantara lima bersaudara. Sedang ibu Ham Gwat justru yang paling kecil.”
Sampai disini ia berhenti dan tertawa-tawa, agaknya geli tapi juga seperti menyesali nasibnya sendiri, kelihatannya ia sangat prihatin dan menderita, “sudah tentu!” demikian ia melanjutkan, “Akhirnya aku menikah dengan ibunda Ham Gwat. Ngo-hong Locu -sang Mertua juga paling sayang pada ibunya Ham Gwat, waktu itu ia jatuh sakit dan keadaan sudah payah, maka ia wariskan kekuasaan dari Ngohong Locu kepada ibunya Ham Gwat.” sampai disini ia terbatuk lirih dan menghela napas.
“Maklum sebagai anak yang tertua tidak mendapat warisan keluarga, cintanya pun tidak terbalas lagi, maka akhirnya Bu-bing Loni menghilang dari kalangan Kangouw. Tahun kedua mendadak muncul pula di Bulim, wajahnya kelihatan sudah sepuluh tahun lebih tua, tapi justru ia telah memperoleh pelajaran ilmu silat mujijat. Selama kelana di Kangouw, barang siapa sampai mengganggu atau menyakiti hatinya tentu dibunuh tanpa belas kasihan. Betapa kejam dan Telengas perbuatannya itu sungguh menggiriskan hati.” sampai disini ia geleng-geleng dan mengkirik membayangkan kekejaman2 yang diperbuat Bu-bong Loni dahulu.
Sambungnya:”Sudah tentu kau dapat membayangkan, cara bagaimana selanjutnya dia menghadapi kami berdua, meski adik kandung sendiri pun tidak terlepas dari perbuatan keji dan kekejamannya.”
Mencelos hati Ma Gwat-sian, terasakan olehnya, kasihan riwayat hidup Ham Gwat, adalah lumrah kalau dia mengalah, setindak demi kebahagiaan Ham Gwat….
Kiang Tiong-bing tertawa getir, tuturnya “waktu dirumah ia sesumbar bila anak pertamaku lahir itulah saatnya bencana bakal menimpa keluarga kami. Setelah itu tinggal pergi, semula kami takut melahirkan anak! Tapi betapa pun kita harus keturunan! Akhirnya Ham Gwat lahir, kami lantas lari ke tempat yang jauh tersembunyi, tapi kemana pun kami lari tidak terlepas dari kejaran burung dewata bermata jeli dan tajam itu. Aih!”
Mendadak tawa digin yang menggiriskan terkiang dipinggir kuping mereka, dengan kaget mereka tersentak bangun. tampak Bu-bing Loni berdiri diluar kamar batu, mulutnya mengulum seringai sadis setindak demi setindak ia melangkah masuk, giginya gemeratak desisnya, “Semua mengkhianati aku, kalian semua adalah berhati busuk dan pembual.”
Kiang Tiong-bing tertegun sebentar. katanya dengan nada berat, “Segala akibat hari ini adalah maha karya kekejamanmu. tidakkan kau lihat kepada kedua tanganmu sudah berlepotan darah?”
Bu-bing menyeringai semakin beringas desisnya, “Aku bersikap sangat baik terhadap kalian, tapi kalian berkhianat terhadapku!” sekonyong-konyong ia terkial-kial tawa seperti kicauan kokok beluk dimalam sunyi.
Kiang Tiong-bing diam saja, ia tahu bahwa orang tentu telah tinggal minggat dan tidak hiraukan lagi pesan dan perintahnya. Pelan-pelan Bu-bing Loni menghunus pedang. katanya, “Selama hidupku ini aku bersikap paling baik terhadap kau. Tapi adalah kau pula yang bersikap paling buruk terhadapku.” — rona wajahnya semakin kaku dan diselubungi bahwa memutih, jelas napasnya membunuh semakin berkobar.
Kiang Tiong-bing tertawa tawar, ujarnya, “Jadi Ham Gwat telah meninggalkan kau?” “Sudah lama ia meninggalkan aku!” gerung Bu-bing Loni menyeringai iblis.
Bukankah itu baik malah?” seru Kiang Tiong tertawa girang. “Dia akan lebih aman dan terjamin keselamatannya bila meninggalkan kau, bila berada di sampingmu. kalau kau sedang marah2 mungkin jiwanya bisa terancam!”
Tangan Bu-bing yang memegang pedang menjadi lemas semampai. mendadak ia angkat kepala, katanya beringas, “Kau tahu. sesaat aku menemukan dia saat itu pula tibalah ajalnya!”
Mencekat hati Kiang Tiong-bing. Bu-bing bisa melaksanakan segala ancamannya.
Sinar matanya yang dingin menatap ke arah Ma Gwat-sian, katanya, “Dan kau pun tidak usah ingin lebih lama lagi. Giok-lan pun berani mengkhianati aku, tiada gunanya kau tetap hidup….”
Tadi kau sendiri berkata membebaskan dia dari renggutan pedangmu,” demikian bentak Kiang Tiong-bing. Kenapa sekarang kau jilat ludahmu sendiri”
Baru tadi aku tahu. kau bersikap begitu kasar terhadapku karena aku bersikap terlalu baik terhadap kau. Aku tidak bunuh Ging-sia dan mengasuh Ham Gwat sampai dewasa memberi pelajaran ilmu silat. semua itu hanya untuk Kau seorang, dan sekarang akan kusuruh kau melihat dengan mata kepalamu sendiri, akan kubunuh semua orang yang kau kenal dihadapanmu.”
Kiang Tiong-bing bergidik seram, kekejaman Bu-bing Loni tidak perlu disangsikan lagi akan ancamannya yang serius ini. Ia mandah tertawa getir, katanya, “Mungkin kau mampu melakukan segala ancamanmu, tapi mungkin pula kau tidak mampu melaksanakan hasratmu. Aku tidak akan sudi menonton atau menjadi penonton, seumpama aku harus mati aku tidak akan mau menonton.”
“Aku kuatir hal ini tidak segampang menurut kemauanmu saja. Kau harus tunduk akan perintah dan kemauanku!”
Kiang Tiong-bing pandang Ma Gwat-sian dengan rasa iba, pelan-pelan ia bangkit lalu keluar menuju ke air terjun. Sekali melejit Bu-bing Loni mencengkeram Kiang Tiong-bing, kontan tutuk jalan darah pelemas tubuhnya terus membaringkannya di atas dipan, seringainya, “Kau harus menjadi penonton!”
Kiang Tiong-bing pejamkan matanya. Bu-bing Loni tertawa dingin. ujarnya, “Meski tidak melihat, kau pun bisa mendengar, akan kubuat kau mendengar mereka satu persatu meregang jiwa….”
Selama itu dengan tenang Ma Gwat-sian duduk ditempatnya, dengan wajar ia awasi Bu-bing Loni, ia saksikan kelakuan orang yang hampir setengah gila ini, setelah membaringkan Kiang Tiong-bing sekarang dia menghampiri ke arah dirinya.
Pelan-pelan ia menghela napas panjang, dia sudah siap siaga, bila Bu-bing Loni benar-benar mendesak dirinya, ia sudah berkeputusan untuk bunuh diri dengan kekuatan getaran senai harpanya, untuk sesaat hatinya menjadi pilu dan bersedih, sebentuk bayangan yang sangat dikenalnya terbayang dikelopak matanya. Hun Thian-hi bersikap gagah dan ganteng. tapi dia kelihatan berdiri berendeng disana bersama Ham Gwat. Biji matanya basah oleh air mata, engkohnya dan para famili nan jauh dinegeri kelahiran sana terbayang dalam bintik2 air matanya dan menjadi buram dan akhirnya menghilang menetes di tanah.
Bu-bing Loni mendesak lebih dekat, tiba-tiba terbayang bentuk tubuh gurunya Poci diambang kelopak matanya yang terkaca2. Akhirnya ia tertunduk, tangannya kanan terangkat siap memetik senar harpa.
“Jangan begerak!” Poci membentak keras.
Ma Gwat-sian tersentak kaget, cepat ia angkat kepala, bayangan yang dilihat tadi ternyata bukan ciptaan alam pikirannya belaka, tampak Poci berdiri angker sambil memeluk sebuah harpa yang lain pula, sikapnya dingin dan gusar memandang Bu-bing Loni.
Bu-bing Loni menyeringai dingin, sebetulnya hatinya rada gentar, dengan penuh selidik ia awasi Poci, begitulah mereka jadi berdiri berhadapan saling pandang, tiada yang berani bergerak lebih dulu….
Akhirnya Poci membuka suara lebih dulu, “Bu-bing! Kau seorang tokoh nomor satu di seluruh Bulim, tidakkah kau malu menggerakan pedang terhadap seorang bocah kecil?”
“Siapa kau?”
“Persetan dengan siapa aku,” jengek Poci, “Cukup kau tahu saja akulah gurunya!” karena yang dihadapi Bu-bing Loni. tokoh kosen yang lihay, hingga sedikitpun ia tidak berani melirik ke arah Ma Gwat-sian, sedikit lalai besar akibatnya.
“Kudengar kau sebagai ahli waiis Tay-seng-ci-lou. Kau berani meluruk ke Tionggoan sebagai lazimnya. satu gunung pantang hidup dua harimau yang menjagai, cepat atau lambat memang kita harus berhadapan, kini tibalah saatnya kita tentukan siapa unggul siapa asor” habis kata- katanya pedangnya terangkat terus membabat miring.
Tampak tangan kiri Poci bergerak, irama kekal abadi kontan berkembang seiring dengan gerak gerik jarinya yang lincah di atas senar harpanya. Seketika Bu-bing Loni berdegup jantungnya, keruan kejutnya bukan main, selanjutnya ia harus bertindak sangat hati-hati, namun setiap gerak pandangnya selalu kandas ditengah jalan, akhirnya ia duduk bersimpuh mengerahkan Lwekang untuk melawan.
Puci sendiri sedikitpun tidak berani takabur menghadapi ahli waris Hui-sim-kiam-hoat pertemuan kali ini merupakan pertempuran yang menentukan mati hidup, bila dirinya kalah bukan saja dirinya bakal konyol. Ma Gwat-sian pun takkan tertolong jiwanya.
Akhirnya iapun duduk bersila, lagu kekal abadi terus dikembangkan mencapai puncaknya.
Ma Gwat-sian dan Kiang Tiong-bing menonton dengan mata terbelalak, sungguh takjub mereka menyaksikan pertempuran lucu dari kedua tokoh terbesar jaman kini. pertempuran macam ini jarang terjadi selama ratusan tahun terakhir ini.
Begitulah Bu-bing duduk mematung seperti semadi, jari-jari Poci sementara itu terus bergerak dengan lincah, kedua belah pihak tetap bertahan sampai setengah jam. Mendadak Bu-bing Loni membuka mata, sorot tajam berkilat dari biji matanya menatap ke arah Poci laksana ujung pisau tajamnya, sekonyong-konyong tubuhnya bergerak mencelat bangun, pelan-pelan pedang dilolos keluar pula. Sembari menggerung rendah kaki kanannya terangkat pelan-pelan maju selangkah.
Demikian juga tiba-tiba Pici membelalakkan biji matanya, kedua tangannya berhenti bergerak, seketika irama musiknya terputus berhenti. Lekas-lekas Bu-bing Loni menarik balik kaki kanan yang sudah melangkah ke depan itu.
Hawa dalam kamar batu rasanya menjadi bergolak tegang, suasana sangat hening lelap sehingga bernapaspun ditahan.
Ma Gwat-sian tahu bahwa Poci gurunya sedang mempersiapkan diri untuk melancarkan gelombang suara musiknya yang lihay yaitu Toan-liong-loh-yun, bila perlu biar gugur bersama musuh.
Kedua belah pihak harus hati-hati sebelum bertindak, karena sedikit salah langkah akibanya bakal hancur lebur. Dengan cermat Poci awasi setiap tingkah laku Bu-bing Loni, setelah berdiam diri sekian lamanya, lagi-lagi ia angkat kakinya hendak melangkah maju.
Sekali lagi tangan kiri Poci menjentik senar, lengking irama harpa yang meninggi terbang keluar langsung menerjang ke arah Bu-bing Loni.
Lakas2 pedang ditangan Bu-bing Loni disampokkan ke depan, batang pedangnya memancarkan cahaya kemilau. sekuat tenaga ia berusaha menangkal balik gelombang suara harpa. Tapi kelihatan usahanya sangat memakan tenaga, apa boleh buat kaki kanannya harus ditarik mundur pula.
Rona wajah Poci kaku serius, selama ia mempelajari Yay-seng-ci-lou baru hari ini pertama kali menggunakan ilmu saktinya untuk menghadapi musuh tangguh, justru lawannya adalah jago nomor satu dari Tionggoan, yaitu Bu-bing Loni.
Lagi-lagi jari-jari tangan kirinya bergerak, serangkaian suara musik bergelombang mengalun pula menyerang ke arah Bu-bing Loni. Kedua biji mata Bu-bing Loni menatap lurus ke depan, seolah-olah ia sedang memikirkan sesuatu persoalan yang maha penting, pedang ditangan kanannya bergerak pula maju mundur lalu menusuk ke depan menghalau seluruh rangsakan irama harpa, tapi tak urung ia terdesak mundur sampai dua tindak ke belakang.
Poci tercekat, sekarang kelima jari tangan kiri-kanannya menjentik bergantian, dengan seluruh yang paling dahsyat. Dia sudah berkeputusan hari ini kekuatan latihannya, ia lancarkan jurus serangan harus merobohkan Bu-bing Loni atau dirinyalah yang bakal terjungkal kalah.
Sementara itu Bu-bing Loni sedang menerawang cara bagaimana memecahkan gempuran musuh yang dahsyat, tapi irama lagu lawan sambung menyambung melandai bagai gelombang samudra membuat segala daya pkirannya kena dikacau balaukan, terpaksa ia pusatkan perhatiannya untuk melawan serangan musuh.
Tampak tangan kanan Poci bergerak pula, Bu-bing Loni angkat kepala, air mukanya kelihatan. rada pucat, namun sorot matanya malah mengunjuk rasa girang yang terpendam. lekas pedangnya dilayangkan ke depan, dengan hawa pedangnya yang membentuk seperti kabut putih mengembang lebar menerpa ke depan ia tangkis gelombang suara lawan.
Bahwa seluruh usaha penyerangannya selaliu gagal membuat Poci semakin gugup dan kaget, jari telunjuknya segera membelesot di atas senar, suaranya persis seperti gambreng digesek menusuk telinga melesat ke depan. Bu-bing Loni mandah tertawa dingin, pedangnya melintang maju terus diputar ke atas lalu disendal ke samping, gelombang suara musuh kena didesak bujar oleh kekuatan hawa pedangnya. Sekarang Bu-bing Loni mendesak maju sambil melintang pedangnya, selangkah demi selangkah ia menghampiri Poci. Jidat Poci sudah basah oleh keringat dimana telunjuk jari tangan kirinya menggantol. sebuah lengking suara senar harpanya menerjang pula ke arah Bu-bing Loni.
Pelan-pelan Bu-bing masih melangkah ke depan, dengan ketajaman pedang dan kekuatan hawa pedangnya ia menyampok pula serangan musuh kesamping, ujung mulutnya mengulum senyum sinis yang dingin, seolah-olah Poci sudah bakal dicengkeram dalam genggamannya.
Beruntun Poci kirimkan tiga gelombang suaranya yang berlainan bentuk dahsyat dan hebat serangan tiga rangkaian gelombang musiknya ini sehingga Bu-bing terdesak dan tidak sempat lagi menangkis dengan pedang, ia terdesak mundur setindak, tapi dilain saat kaKinya mendesak maju pula pelan-pelan. Mau tidak mau ia harus meningkatkan kewaspadaan, baru sekarang ia sadari bahwa Tay-seng-ci-lou tidak boleh dihadapi secara hadap berhadapan.
Poci diam tak bergerak, biji matanya menatap Bu-bing Loni lekat-lekat. Sudah lama ia mendengar ketenaran nama Bu-bing Loni, kenyataan sekarang ia sudah merasakan kelihayan orang. Bila Bu-bing Loni berani maju setindak lagi apa boleh buat dia harus lancarkan gelombang putus dari senar harpanya untuk gugur bersama Bu-bing Loni.
Melihat Poci tidak bergerak Bu-bing Loni juga tidak berani sembarangan maju. Dia tahu akan kehebatan Tay-seng-ci-lou adalah pantang untuk memandang ringan pada musuh, soalnya kepandaian silat sejati Poci terpaut terlalu jauh dibanding dirinya, kalau tidak mungkin sejak tadi Bu-bing Loni sudah menggeletak tak bernyawa lagi.
Bu-bing Loni melangkah pula, Poci masih tak mau bergerak, kedua biji matanya tajam laksana ujung pisau menatap muka Bu-bing, sedikitpun tidak kelihatan rasa takutnya. Adalah Bu-bing sendiri yang menjadi merinding dan berdiri bulu romanya dipandang begitu rupa, serta merta ia menghentikan langkahnya, sesaat ia menjadi bingung maju atau mundur. ia tahu bahwa Poci pasti masih menyimpan jurus-jurus terlihay yang belum dilancarkan, soalnya menanti kesempatan terakhir untuk merobohkan dirinya. Untuk sesaat ia menjadi ragu-ragu, ia berpikir cara bagaimana ia harus meruntuhkan rangsakan musuh yang teramat hebat itu.
Suasana gelanggang menjadi sunyi senyap. Ma Gwat-sian terlongong mematung, biji matanya saja yang bergerak. ganti berganti ia melirik ke arah Poci dan Bu-bing Loni. Ia insaf bahwa Poci sudah terdesak di bawah angin, kelihatannya ia sudah bertekad untuk gugur berrama Bu-bjng Loni.
Pelan-pelan Bu-bing menudingkan pedangnya ke depan. diapun sudah berkeputusan menggunakan tiga jurus terakhir dari Hui-sim-kiam-hoat untuk menempuh kemenangan, jalan inilah yang dianggapnya paling aman untuk menyelamatkan jiwa sendiri.
Poci juga percaya akan kekuatan Hui-sim-kiam-hoat yang tenar itu, pelan-pelan ia angkat jari- jarinya siap untuk bergerak bila pedang Bu-bing Loni menyerang, dengan irama musiknyai a harus bertahan dan mengadu kekuatan terakhir.
Tapi Bu-bing menjadi bimbang lagi, sedetik sebelum mengambil keputusan. terasakan olehnya kacuali ia menghentikan pertempuran hari ini sampai disini, kalau tidak bila keadaan sama bertahan begini terus berlangsung dan tiada kesudahannya.
Pedangnya sudah teracung sampai titik ketinggian diharapkan, kebetulan lurus dan selaras dengan alisnya. Inilah letak posisi yang paling serba guna untuk menyerang musuh dan untuk menjaga diri. Sekian lama ia tatap muka Poci, pedang sudah siap dilancarkan dengan serangan yang paling ganas sekonyong-konyong biji matanya memancarkan rasa takut dan gusar yang berlimpah2. Ujung pedangnya yang lempang ke depan itu tampak sedikit gemetar. Ah, besar tekadnya untuk segera mulai menyerang tapi entah mengapa hatinya seperti mengkeret dan tak berani lagi turun tangan.
Pandangan Poci mengunjuk rasa hambar dan kosong, tak tahu dia siapakah yang telah muncul karena dia tidak berani menoleh. Pedang Bu-bing masih teracung ke arah dirinya. mungkin orang segera lancarkan serangan fatal yang menentukan.
Ooo)*(ooO
Melihat Coh Jian-jo tiba-tiba murka Hun Thia-hi tertawa tawar, katanya, “Cianpwe! Meski kedatanganku untuk nyatakan terima kasih akan budi pertolonganmu, tapi kau harus tahu, betapa banyak orang telah menjadi korban di bawah keganasan Pek-tok-hek-liong-ting, mereka akan menuntut jiwa mereka kepada kau!”
Biar mereka kemari!” bentak Coh Jian-jo dengan suara serak. “Aku toh tidak kenal mereka, tapi justru sanak kadangku harus menjadi korban kelicikan Tok-sim-sin-mo. Itulah yang paling kuperhatikan!”
Hun Thian-hi bergelak tawa, serunya, “Kau tidak kenal mereka, memangnya aku kenal mereka!” lalu berpaling pada Su Giok-lan, katanya, “Sungguh kami menyesal telah datang kemari, marilah kita pulang!”
Coh Jian-jo terlongong memandangi punggung mereka. mendadak ia berseru, “Apakah kalian mampu keluar? Pintu besi diluar sudah tertutup semua!”
Thian-hi berdua tidak hiraukan seruannya, bersama Su Giok-lan beranjak terus ke depan.
Su Giok-lan tidak tahu apa maksud kelakuan Hun Thian-hi ini ia duga mungkin punya tujuan tertentu maka ia menurut saja diseret oleh Thian-hi.
Coh Jian-jo menjublek tak bersuara, matanya berkilat-kilat, agaknya sedang memutuskan suatu perkara besar. namun ia masih ragu-ragu dan bimbang untuk memberikan jawabannya.
Akhirnya Hun Thian-hi berdua tiba diambang pintu besi, kata Su Giok-lan, “Hun-toako, bisakah kita keluar?”
Hun Thian-hi tertawa getir, sahutnya, “Tidak, bisa keluar!”
Su Giok-lan jadi melongo, kedengarannya nada ucapan Thian-hi begitu wajar, begitu acuh tak acuh, seakan-akan soal pintu besi yang menghalang jalan ini tidak menjadikan persoalan baginya. Hatinya menjadi heran, tak kuasa ia bertanya lagi, “Lalu untuk apa kita berada disini?”
“Selama hidup aku tidak sudi bergaul dengan dua macam manusia,” demikian sahut Thian-hi dengan suara lantang. “Seseorang yang sangat pelit dan ogoistis, dan seorang lain yang berhati ganas dan telengas tidak punya rasa prikemanusian. Umpama tok-sim-sin-mo dan Bu-bing Loni merupakan manusia terganas dan keji, sedang Coh Jian-jo ini justru lebih jahat dan lebih menjemukan, sungguh aku menjadi muak melihat tampangnya pula!”
Su Giok-lan melengak, pikirnya, “Sejelek2 Coh Jian-jo juga tidak seburuk yang dikatakan ini.
Soalnya sanak kadangnya sendiri kena ditawan dan dijadikan sandera oleh Tok-sim-sin-mo sehingga kena diperalat untuk menciptakan berbagai alat senjata rahasia demi kepentingan Toksim-sin-mo!” Coh Jian-jo dan Nyo Ceng menyusul keluar. dengan muka beringas Coh Jian-jo berkata, “Coba kau jelaskan, bagaimana aku jauh lebih buruk dari Tok-sim-sin-mo?”
Thian-hi tertawa tawar, katanya kepada Su Giok-lan, “Mari kita istirahat sebentar, kalau Tok- sim-sin-mo kembali suatu kesempatan bagi kita untuk menjebol alat2 rahasia itu untuk lari keluar!”
— dalam bicara sedikitpun ia tidak hiraukan kehadiran Coh Jian-jo dan Nyo Ceng, setelah mendapatkan tempat yang rada bersih ia duduk bersimpuh dan tak peduli orang lain.
Sekilas Su Giok-lan pandang muka Coh Jian-jo, sekarang ia rada paham kemana juntrungan maksud Hun Thian-hi terhadap Coh Jian-jo ini, iapun mencari tempat untuk duduk istirahat,
Ganti berganti Coh Jian-jo pandang mereka berdua, air mukanya ganti berganti putih hitam dan merah pula, sesaat mulutnya menggerung lalu katanya, “Kalian hendak memancing kegusaranku bukan? Sayang aku tidak bakal tertipu oleh kalian, selama hidup ini kalian jangan harap bisa keluar. Bila Tok-sim pulang. dia tidak akan begitu gampang mau melepaS kalian dari sini.”
Thian-hi pejamkan mata, anggap tidak dengar akan ocehan Coh Jian-jo, ujung mulutnya malah menyungging senyum hina dan pandang rendah.
Coh Jian-jo menggeram sambil membanting kaki, badannya sudah berputar hendak tinggal pergi. tapi matanya masih pandang Hun Thian-hi, melihat orang tidak mengunjuk reaksi apa? ia hentikan pula kakinya. serunya, “Bila kau tidak katakan alasanmu, aku bisa membuat jiwamu melayang ke alam baka, jangan kau sangka dengan sembarangan obral mulut lantas kau dapat memancing aku.”
Sesaat kedua belah pihak sama menjublek tak bicara, akhirnya Hun Thian-hi membuka mata. ujarnya, “Bukan saja aku beranggapan demikian, mungkin seluruh manusia di kolong langit inipun punya keyakinan yang sama. Meski kau mampu bunuh aku, apakah kau mampu bunuh seluruh manusia di kolong langit ini? Percaya hati nuranimu tidak akan tentram, kau akan menyesal dan dirundung kekesalan selama hidup!”
Agaknya hati Coh Jian-jo menjadi lemas. katanya, “Kalau kau punya alasan dan itu benar- benar. coba terangkan, ingin aku mendengar lebih lanjut.”
“Masa kau sendiri belum tahu?” ejek Thian-hi, “Bila kau suruh s(eseorang membunuh orang. dosamu yang lebih besar apa dosa orang itu yang lebih besar?”
Coh Jian-jo berpikir sebentar, sahutnya, “Cucuku perampuan dijadikah sandera, dia menekan aku untuk membuatkan alat2 itu, apakah ini terhitung aku yang suruh dia membunuh orang.”
Hun Thian-hi tertawa, katanya, “Tahu betapa besar akibat dari perbuatanmu, tapi tetap kau laksanakan inilah merupakan dosa terbesar dosa yang tak berampun lagi.”
Coh Jian-jo terlongong diam. Thian-hi lanjutkan, “Kau tidak kenal mereka, demikian pula aku tidak kenal mereka, tapi ingat bahwa mereka juga punya sanak kandang, apakah kita pantang berbuat sedikit kebaikan demi keselamatan atau kehidupan orang lain?”
Coh Jian-jo tertunduk ia menghela napas panjang lalu berbalik berjalan masuk ke dalam kamar.
Dari belakang Hun Thian-hi berseru pula, “Mungkin aku sendiri juga rada egois, supaya kau mau membantu sengaja aku menjatuhkan dosa2mu lebih berat, sebenar-benarnya dosa2 itu tidak seberat seperti yang kuucapkan tadi. Bila kau mau, kau rela, aku harap dapat membantu kau!” Coh Jian Jo geleng-geleng kepala, ujarnya, “Biar kubantu kau membuka pintu besi ini, boleh silakan kau pergi. Ynag terang kau tidak akan dapat bantu apa-apa padaku, dan bagimu tiada daya untuk membantu apa-apa kepadamu!”
“Tujuan kedatanganku kemari bukan hanya itu belaka, bila ntuk meloloskan diri saja aku pikir tidak perlu datang Hwesio Jenaka membujuk aku supaya kemari menyatakan terima kasihku kepada kau orang tua. Tapi aku maklum tujuan yang sebenar-benarnya adalah agar aku bisa menolong kau dan cucumu keluar dari tempat kotor ini. Dan sekarang aku sudah datang sudah tentu pantang pulang dengan tangan kosong.”
Coh Jian Jo mengacungkan tangan, selanya, “Kau memang pandai bicara, tapi pandai bicara belum tentu dapat menangkan suatu perkara.”