Bab 18

Irama harpa semakin tegas dan kumandang dialam pegunungan nan sunyi ini, tenaga Thian-hi masih belum bujar, ia masih cukup bertahan. sambil kertak gigi dan menyedot napas, tubuhnya meluncur turun semakin pesat. Hampir tiba pada tunggangannya, dia sudah tidak kuat bertahan lagi…. Dia insaf bila menerjang terus kebawah pasti seluruh isi perutnya bakal hancur lebur oleh tekanan dahsyat irama harpa itu.

Pemetik harpa itu menggunakan irama getar yang paling dahsyat seolah-olah dia tahu bahwa dirinya masih berusaha lari, kedengaran suara harpa semakin tegang dan membawa hawa membunuh yang tebal.

Akhirnya Thian-hi tidak kuat lagi, pelan-pelan ia duduk bersila menentramkan pikiran memusatkan semangat, Pan-yok-hian-kang dikerahkan untuk membendung serangan dari luar pelan-pelan ia berhasil menghimpun seluruh hawa murni dipusarnya. lambat laun tenanglah hati dan pikirannya. Tapi dia tidak berani sembarangan bergerak.

Sementara itu Giok-hou-sian tidak berputus asa. meski ketinggalan ia nekad mengejar terus, sekonyong-konyong didengarnya suara harpa keruan girang bukan main, tahu dia bahwa tokoh aneh yang tertinggi di Thian-bi-kok sudah muncul dan turun tangan, seumpama kepandaian Thian-hi setinggi langit juga jangan harap dapat lolos lagi. Begitulah dengan kencang ia mengejar kebawah, tampak Thian-hi masih berlari seperti sipat kuping. diam-diam tengetar hatinya, betapa tinggi Lwekang Hun Thian-hi ini, bila aku sendiri jelas tidak kuat bertahan lagi. Akhirnya dilihatnya Hun Thian-hi berhenti dan duduk bersila. Giok-hou-sian menjadi girang cepat ia memburu datang,

waktu tiba. disamping Thian-hi, dilihatnya Thian-hi samadi dengan tenangnya. Kagum dan memuji dalam hati, usianya masih begini muda sudah membekai Lwekang sehebat itu, ada berapa banyak tokoh di dunia ini yang dapat memadainya! Sesaat lamanya ia berdiri menjublek di tempat itu, tak tahu apa yang harus dilakukan.

Begitu Thian-hi mengerahkan Pan-yok-hian-kang, irama harpa menjadi kalem, tekanan sedikit ringan perasaannya juga rada enteng. Hatinya senang. diam-diam ia membacn; Pan-yok-hian- kang latihanku ini ternyata begini sakti mandra guna, kiranya irama kekal abadi yang hebat itu juga tidak mampu menyerang masuk melukai diriku lagi.

Sementara itu, lagu kekal abadi masih terus berkembang mengalun tinggi laksana awan berlalu seperti gelombang berderai, bak umpama air sungai mengalir terjun kebawah. Begitulah lagu nan merdu ini meresap pelan-pelan ke bawah, sekonyong-konyong Thian-hi merasakan sesuatu keganjilan, kiranya irama harpa di dalam keadaan yang tidak terasa olehnya telah meresap masuk mengeram dalam badannya, baru saja ia hendak laksanakan rontaan terakhir, tiba-tiba irama harpa berhenti putus, kontan seluruh jalan darah tubuhnya seperti tertutuk oleh Jiong-jiu-hoat tanpa dapat berkutik lagi. Kesadaran Thian-hi masih segar bugar, tahu dia bahwa dirinya sudah tamat, tanpa kusadari ternyata aku telah teringkus begitu gampang.

Tak lama kemudian badan Thian-hi tergetar, lantas ia rasakan tekanan badannya menjadi enteng, seluruh jalan darah yang tertutuk bebas seluruhnya, waktu ia buka mata dan celingukan, tampak dirinya masih berada di tengah hutan, di sebelah kiri sana terdapat sebuah pohon besar di bawah pohon terdapat pula sebuah batu besar, di atas batu besar ini duduk tenang seorang Nikoh pertengahan umur, Thian-bi-siang-kiam tampak berdiri tegak menjulurkan tangan dikedua sampingnya.

Pelan-pelan Thian-hi bangkit berdiri, dengan cermat ia awasi Nikoh itu, tampak wajahnya bersih dan welas asih, mengenakan jubah hijau mulus, dipangkuannya terletak sebuah harpa kuno sikapnya serius dan sungguh-sungguh.

Tahu Thian-hi bahwa Nikoh ini pasti guru Ma Gwat-sian adanya, lekas-lekas ia menjura serta menyapa, “Wanpwe Hun Thian-hi, menghadap pada Cianpwe.”

Thian-bi-siang-kiam saling berpandangan. Nikoh pertengahan itu mengamati Thian-hi lekat- lekat, ujarnya, “Urusanmu aku tahu jelas sekali.”

Thian-hi mandah tertawa-tawar saja, dalam hati ia membatin, “Apa benar-benar kau tahu seluruhnya?”

Terdengar Nikoh itu menyambung lagi, “Mungkin kau pun tahu, bahwa aku adalah guru Gwat- sian.”

Thian-hi manggut-manggut, sahutnya, “Aku sudah tahu!”

Kata Nikoh itu lagi, “Sejak kau menetap di Thian-bi-kok, selama ini belum pernah melakukan perbuatan tercela, jika boleh dikata malah melakukan pekerjaan baik. Aku tidak peduli sepak terjangmu waktu kau berada di Tionggoan dulu, berdiri pihak Thian-bi-kok sini, bolehlah aku melanggar larangan biasanya, kau harus segera meninggalkan Thian-bi-kok.”

Thian-hi tercengang, ia berdiri bingung tak bersuara. Pek-bi-siu menjadi gugup, selanya, “Mana boleh begitu, setiap orang luar yang menginjak kakinya di Thian-bi-kok tidak boleh dilepas pulang.”

Nikoh itu tidak hiraukan protes Pek-bi-siu, kata-katanya tetap tertuju kepada Hun Thian-hi, “Sekarang juga kuperintahkan kau meninggalkan Thian-bi-kok!” Thian-hi serba bingung dan gundah, ia tenggelam dalam pikirannya, akhirnya ia mendongak kata-kata Ka-yap Cuncia seperti terkiang di pinggir telinganya, “Sebelum Wi-thian-cit-ciat-sek sempurna kau latih, kularang kau meninggalkan Thian-bi-kok.” — sejak mula datang ia sudah melanggar salah satu pantangan Ka-yap Cuncia, memperlihatkan kepandaian silatnya, sekarang mana boleh mengingkari pula pesan beliau?

Dengan tajam Nikoh itu pandang muka Thian-hi, dia tidak bisa meraba kemana jalan pikiran Thian-hi yang kebingungan itu.

Akhirnya Thian-hi menunduk sambil tertawa, katanya, “Wanpwe ada sebuah permintaan, entah apakah Cianpwe bisa memberi persetujuan!”

Hati si Nikoh menjadi rada berang, selamanya tiada seorang pun yang berani melanggar setiap patah katanya, sekarang apa pula yang diatur Hun Thian-hi ini. ingin aku mendengar apa yang akan dikatakan olehnya, maka tanyanya, “Coba kau katakan!”

Kata Hun Thian-hi, “Waktu Wanpwe hendak kemari, aku pernah berjanji pada seseorang untuk mematuhi dua buah pesannya. Pesannya yang pertama tidak mungkin tertolong lagi, urusan yang kedua ya itu bahwa aku harus tinggal lagi selama sepuluh hari baru bisa menyelesaikan pesannya yang kedua. Apakah Cianpwe suka memberi ijin supaya aku menetap sepuluh hari lagi disini?”

Timbul amarah si Nikoh, alisnya terangkat tinggi, sahutnya tegas, “Tidak bisa!”

Diam-diam Giok-hou-sian dan Pek-bi-siu mengumpat dalam hati, begitu besar nyali Thian-hi main tawar menawar untuk tinggal lagi sepuluh hari disini.

Thian-hi menunduk lagi menepekur, akhirnya ia berkata pula, “Lima haripun bolehlah, dapatkah Cianpwe melulusi?”

Nikoh itu duduk tak bergerak dengan angkernya, dingin-dingin ia awasi Thian-hi, katanya, “Kau sangka aku tidak berani bunuh kau?”

Thian-hi tersenyum kecut, katanya, “Tiga hari juga bolehlah!”

Nikoh itu bergegas bangun, matanya mendelik dan membara gusar mengandung hawa membunuh, dengan tajam ia pandang Hun Thian-hi. Tapi tanpa mengenal takut Thian-hi pun balas pandang dia. Terketuk sanubari si Nikoh, begitu tinggi kepandaian silat Hun Thian-hi, belum pernah ia ketemukan lawan yang begitu lihay, kelihatannya juga begitu tawar hati dan perasaannya, kelihatannya sedikit pun ia tidak gentar bila aku membunuhnya.

Lama dan lama sekali ia pandang orang lekat-lekat, akhirnya dia tak kuasa turun tangan Waktu pertama datang dulu Thian-hi tidak mau unjuk kepandaian silatnya, sampai mandah dihajar orang dengan pecut dan dihina, namun justru karena hubungannya dengan Ma Gwat-sian, akhirnya ia terdesak dan memperlihatkan kepandaiannya yang sejati. Hari ini dia kena tertawan dan terjadi peristiwa yang tidak enak ini, betapapun dirinya harus ikut mempertanggung jawabkan akibatnya.

Akhirnya ia duduk lagi pelan-pelan, katanya, “Urusan apakah itu, coba kau tuturkan pada aku, biar aku yang bantu kau menyelesaikan.”

“Terima kasih Cianpwe,” ujar Thian-hi tersenyum, “urusan ini harus kukerjakan sendiri orang lain tidak akan bisa membantu!”

“Apa yang hendak kau kerjakan, beritahu aku, biar kupertimbangkan.” “Maaf Wanpwe tidak bisa memberitahu!”

Melihat kekukuhan Thian-hi, Thian-bi-siang-kiam menjadi gegetun, pikirnya, “Bila aku, sejak tadi sudah kubunuh kau!”

Nikoh itu merenung sesaat lamanya, akhirnya berkata, “Kali ini aku baru pulang dari Tionggoan, banyak kudengar persoalanmu, sebetulnya aku harus bunuh kau, namun ada sebuah urusan menurut aku latar belakangnya masih belum jelas dan tidak bisa kupercaya demikian saja, maka kuputuskan hanya mengusirmu keluar dari Thian-bi-kok. Sebab lain karena kulihat selama disini kau tidak punya maksud-maksud jelek, malah pernah melakukan tugas dengan baik!”

Sampai disini ia pandang Thian-hi lagi lalu sambungnya, “Kudengar katanya kau kejam dan telengas, seluruh golongan dan aliran Kangouw di Tionggoan semua ingin meringkus dan membekuk kau, tapi hanya pihak Siau-lim-pay saja yang tidak ikut campur, akhirnya karena sepak terjangmu terlalu mengumbar nafsu dan kelewatan, terpaksa Siau-lim-pay baru ikut bergabung, tapi soal itu jauh lebih kecil dibanding kau membunuh Ciangbunjin Bu-tong-pay. Kalau semula Siau-lim-pay tidak turut campur, maka persoalan belakangan seharusnya juga tidak usah turun tangan, kenyataan toh mereka ikut meng-uber-uber kau. Akhirnya seluruh kaum persilatan disana mulai menguber jejakmu, kemanapun kau pergi selalu dikuntit, terpaksa kau menyelundup ke Thian-bi-kok dan sembunyi disini.”

Berhenti Sebentar, ia pandang Thian-hi lagi, lalu sambungnya, “Tapi setengah bulan kemudian, pihak Siau-lim mengundurkan diri pula.”

Thian-hi menjadi heran dan bertanya-tanya, Siau-lim Ciangbun Te-coat Taysu sendiri memimpin pengejaran itu dan mengurung dirinya dengan Sutouw Ci-ko di Jian-hud-tong, bagaimana mungkin bisa mengundurkan diri! Mungkinkah Ka-jap Cuncia sendiri sudah mengunjukkan diri? Tidak mungkin, bila Ka-yap Cun-cia mau bicara sekejap saja bukan saja pihak Siau-lim. Seluruh kaum Kangouw tiada yang tidak akan mendengar nasehatnya. Ini betul-betul hal yang sangat ganjil. pikir punya pikir tanpa merasa mulutnya lantas menggumam, “Ini tidak mungkin!”

Dengan heran si Nikoh pandang Thian-hi, katanya, “Konon kabarnya Te-coat Taysu terluka parah, baru pihak Siau-lim mundur, tapi tidak mungkin, karena Te-coat sudah lama terluka, hampir luka-luka parahnya sembuh baru pihak mereka mengundurkan diri.”

Thian-hi tertunduk menepekur tanpa buka suara.

Kata si Nikoh itu lagi, “Maka aku bertindak tidak berdasarkan sepak terjangmu di Tionggoan, yang jelas tingkah lakumu disini tidak jelek pernah mendharma-baktikan kemampuanmu demi keselamatan, negara ini lagi, maka keputusanku cukup mengusirmu keluar! Ini cukup bijaksana.”

Thian-hi tertawa geli, seperti mentertawakan kelakuannya selama ini.

“Aku sudah bicara panjang lebar, apakah kau maklum maksud juntrunganku?” tanya si Nikoh.

Thian-hi tahu, maksud si Nikoh adalah supaya dirinya lekas meninggalkan tempat ini, katanya tawar, “Tidak! Paling sedikit aku harus tinggal tiga hari lagi!”

Kau hendak mohon Gwat-sian mintakan ampun bagi kau?” jengek si Nikoh.

Hun Thian-hi tertawa-tawa, sahutnya, “Bila begitu, buat apa melulu tiga hari saja?” Si Nikoh menghela napas, sedemikian kukuh dan teguh pendirian Thian-hi, membuat ia merasa kewalahan, akhirnya dia manggut-manggut, katanya, “Baiklah! Kuijinkan kau menetap lagi tiga hari saja!”

Tersipu-sipu Thian-hi menjura dengan senang. serunya, “Terima kasih Cianpwe!” Si Nikon mengulapkan tangannya ujarnya, “Kau pergilah!”

Cepat Thian-hi lari ke kudanya terus dicemplak cepat kebawah gunung langsung pulang ke istana.

Si NikOh terlongong memandangi punggung Thian-hi yang semakin menjauh, mantel merah yang melambai-lambai terhembus angin di belakang punggungnya membuat pikirannya membayangkan adegan yang baru saja terjadi. setiap gerak gerik Hun Thian-hi sedemikian tegas dan punya wibawa yang besar. Sikapnya angkuh dalam keadaan yang gawat tadi sedikit pun tidak kelihatan menjadi gugup atau gentar. sungguh sukar didapat orang macam ini!

Dari lahirnya yang bersikap sopan dan halus, tiada seorang pun yang bakal menduga bahwa dia diberi julukan sebagai Leng-bin-mo-sin (hati iblis muka dingin).

Dalam pada itu setelah tiba di dalam kota, langsung Thian-hi mengadakan perondaan kesekeliling kota. setelah memberi petunjuk-petunjuk seperlunya kepada bawahannya, langsung ia pulang ke kamarnya terus mengunci pintu, mulailah ia memperdalaan pelajaran Wi-thian-cit-ciat- sek.

Seluruh pikiran dan semangatnya dipusatkan untuk menyelami pelajaran Wi-thian-cit-ciat-sek, dalam jangka tiga hari ia harus berhasil mencangkok seluruh pelajaran Wi-thian-cit-ciat-sek ini. supaya dapat meninggalkan Thian-bi-kok dengan bekal ilmu yang mencukupi untuk membela dan menjaga diri.

Sebelumnya dia sudah memberi pesan kepada anak buahnya. siapapun dan ada perlu apa juga dilarang mengganggu dirinya, seumpama sang Baginda ingin bertemu juga harus ditolak.

Tanpa tidur dan tidak mengenal istirahat seluruh perhatian Thian-hi ditumplekkan pada pelajaran Wi-thian-cit-ciat-sek itu, dia sendiri tidak tahu berapa hari dan berapa lama ia sudah menyekap diri dalam kamarnya ini. yang jelas bahwa lambat laun ia sudah berhasil menyelami Wi- thian-cit-ciat-sek lebih dalam lebih sempurna, terasa olehnya semakin hebat dan ampuh intisari pelajaran Wi-thian-cit-ciat-sek yang sakti dan digdaya

Pada saat itu ia tengah tenggelam dalam memecahhkan sejurus permainan. sebatang pedang terpegang

ditangnnya sedang mempraktekkan pelajaran menurut apa yang tercatat di atas buku.

Mendadak diluar ada orang menggedor pintu, “blang” tahu-tahu pintu kamarnya diterjang terbuka.

Begitu cahaya matahari menyorot masuk menerangi kamarnya baru Thian-hi tersentak sadar.

Tampak seseeorang anggota Gi-lim-kun menerjang masuk. teriaknya, “Ing-ciangkun memberontak!” habis berkata lalu menjerit ngeri dan roboh tak berkutik lagi.

Terkesiap hati Thian-hi, tampak ditubuh Gi-lim-kun itu tergubat seekor ular panjang tiga kaki. Seluruh istana ribut kalang kabut. Lekas Thian-hi menerjang keluar sambil menenteng pedangnya, begitu tiba di luar dilihatnya dimana-mana dalam istana ini ular besar kecil melata, para anggota Gi-lim-kun menjadi panik dan lari serabutan dengan ketakutan, pintu gerbang Utama sudah tertutup, namun dari luar pintu digedor dan diterjang dengan keras, mungkin tak lama lagi bakal dijebol rusak.

Sungguh Thian-hi tidak mengira situasi berubah begitu gawat, mulutnya bersuit panjang, serentak dengan kegesitan gerak tubuhnya pedang ditangannya bekerja lincah laksana bianglala beterbangan ke-mana-mana, setiap kali sinar pedangnya melesat ular di badan para Gi-lim-kun itu dibabatnya kutung semua. Sekaligus ia memutar tubuh seraya mengayun pedangnya, ular-ular yang memenuhi lantai menjadi ketakutan dan lari serabutan, sekejap saja ia berhasil membunuh separoh diantaranya.

Seluruh anggota Gi-lim-kun berjingkrak kegirangan begitu melihat Thian-hi muncul dengan memperlihatkan perbawa ilmu silatnya, bangkitlah semangat dan keberanian mereka, serentak mereka angkat senjata serta menyerbu ke pintu gerbang untuk berjaga-jaga dan menahan serbuan dari luar bila pintu gerbang benar-benar kena dijebol.

“Dimana baginda?” tiba-tiba Thian-hi berseru keras.

“Baginda masih berada di istana!” sahut salah orang Gi-lim-kun yang terdekat.

Selayang pandang Thian-hi menyapu keadaan sekelilingnya, situasi gawat tadi sudah dapat diatasi, kekacauan sendiri diantara para anggota Gi-lim-kun karena serangan ular-ular tadi sudah mereda. Beban yang paling dikuatirkan melulu keselamatan Baginda raja dan tuan putri, lekas- lekas ia memburu masuk ke-istana dalam, tampak Baginda raja tengah mengalangi di depan tuan putri menghadapi seekor ular besar yang melata mendekat, ular ini cukup besar dan panjang setombak lebih.

Muka Baginda tampak pucat kehijauan, seluruh mukanya penuh keringat dingin. Cepat Thian-hi memburu maju seraya membentak, sekali ayun tangan kanan, pedangnya panjang segera melesat ke depan secepat kilat, telak sekali menancap amblas di bawah leher, siular kontan roboh dan binasa….

Bergegas Thian-hi maju memberi hormat serta serunya, “Hun Thian-hi terlambat datang menolong membuat Baginda kena kejut!”

Baginda raja terlongong ditempatnya, sesaat kemudian baru bisa bicara, “Darimana kau datang?”

Karena apa Ing-ciangkun angkat senjata memberontak?” tanya Hun Thian-hi cepat.

Baginda menghela napas, katanya, “Karena Tan-siangkok gagal melamar tuan putri untuk putranya, segera Ing-ciangkun kerahkan bala tentaranya menawan Ma-ciangkun, sekarang sedang pimpin anak buahnya untuk menggedor pintu gerbang istana.”

Kejut dan gugup pula hati Thian-hi, Ma Bong-hwi telah ditawan berarti bala bantuan dari luar sudah tak mungkin diharapkan lagi karena memikirkan keadaan yang lebih gawat diluar istana segera ia berkata, “Harap Baginda ikut hamba keluar supaya dapat melindungi dari segala kemungkinan” Habis berkata bergegas ia melangkah keluar.

Tanpa bicara lagi Baginda dan Titan putri mengintil dibelakangnya. Setiba diluar tampak masih banyak ular dimana-mana, seluruh kekuatan Gi-lim-kun dikerahkan untuk menahan gedoran pintu gerbang Istana, sebagian diantarania dikerahkan untuk menyapu ular-ular yang menjijikkan itu. Sungguh geram hati Thian-hi bukan main. Tan-siangkok berani menggunakan ular untuk menyerbu dan mengacau, kontan ia putar pedangnya, sebentar saja seluruhnya dapat dibinasakan oleh pedang Hun Thian-hi.

Lalu ia kumpulkan seluruh pasukan Gi-lim-kun, jumlah seluruhnya cuma seratus dua puluh orang, perusuh di luar semakin gencar menggedor pintu.

Segera Hun Thian-hi mengertak gigi, katanya kepada Baginda, “Keadaan semakin gawat. kita tidak bisa bertahan melulu disini dengan kekuatan yang kecil ini. Harap Baginda beramai ikut menyerbu keluar kepungan, kalau bisa terjang sampai ke Bi-seng tentu keadaan jauh lebih baik.”

Sesaat Baginda terlongong dan sangsi katanya, “Mana boleh begitu. tentu mereka sudah menutup seluruh pintu kota!”

“Tidak usah takut, hamba punya kemampuan untuk menerjang keluar.” Segera ia perintahkan anak buahnya mempersiapkan kuda. tak lama kemudian seluruh keperluan telah dipersiapkan.

Sementara itu pintu gerbang istana yang kokoh tebal itu pun telah retak. Thian-hi suruh seluruh anggota Gi-lim-kun naik kuda, mempersiapkan anak panah, sedang tuan putri mengendalikan kereta membawa Baginda didalamnya. Dalam pada itu Thian-hi pun sudah membawa seluruh keperluannya dan siap di atas kudanya pula. Kebetulan saat itu juga pintu gerbang telah bobol dan terbuka lebar, pasukan pemberontak segera berbondong-bondong menyerbu masuk sambil berteriak-teriak.

Thian-hi memberi aba-aba untuk lepas anak panah. seketika hujan panah menyambut serbuan para pemberontak, kontan sebagian besar diantaranya roboh mati, sisanya yang masih hidup menjadi ketakutan dan mundur keluar.

Hun Thian-hi memberi aba-aba pula, semua lemparkan anak panah dan menjinjing tombak, di bawah pimpinan Thian-hi sambil melindungi kereta tuan putri terus menerjang keluar. Pasukan pemberontak tidak menduga akan serbuan Thian-hi beramai, dimana pedangnya terputar. kontan sinar pedangnya merobohkan banyak perintangnya. Tiada seorangpun yang mampu bertahan.

“Tio Gun!” lapat-lapat terdengar oleh Thian-hi seruan kaget seseorang dikejauhan. Sekali dengar lantas Thian-hi dapat mengenali suara Ing Si-kiat, namun keadaan cukup genting tiada kesempatan membuat perhitungan dengannya, kudanya dicongklang ke depan terus menuju pintu utara….

“Lekas perintahkan tutup seluruh pintu kota!” Ing Si-kiat berteriak memberi perintah.

Namun keburu pasukan Gi-lim-kun sudah menerjang keluar, melihat kegagahan Hun Thian-hi pasukan pemberontak menjadi gentar mana kuat menahan serbuan mereka. Tak lama kemudian mereka berhasil menerjang tiba di pintu utara, pasukan yang menjaga di atas pintu gerbang segera lepaskan anak panah menyambut kedatangan mereka. Sungguh gusar Thian-hi bukan kepalang, tubuhnya melambung maju ke tengah udara, kedua telapak tangannya mengerahkan Pan-yok-hian-kang. Seluruh anak panah kena disampoknya runtuh, para Gi-lim-kun di belakangnya serempak melontarkan tombak2, sebagian besar pasukan pemberontak di atas gerbang pada terjungkal roboh binasa tertembus tombak.

Di lain kejap Hun Thian-hi telah mencelat mumbul lagi ke tengah udara, seluruh kekuatannya dikerahkan lagi di kedua tangannya, “blang!” pintu kota yang tebal dan kuat itu kena dipukulnya roboh berantakan, pasukan mereka segera berbondong-bondong menerjang keluar, sebentar saja mereka berhasil menempuh ke Bi-seng. Setiba di Bi-seng, tampak oleh Thian-hi jauh di belakang sana debu mengepul tinggi, tahu dia bahwa Ing Si-kiat membawa pasukan pemberontak mengejar kemari. Tanpa ayal Thian-hi bawa pasukannya memasuki Bi-seng serta perintahkan tutup pintu rapat. Thian-hi memeriksa kekuatan pasukannya, ternyata hanya delapan tunggangan saja yang roboh binasa kena panah musuh.

Panglima tentara yang menjaga di kota Bi-seng segera memburu turun memberi sembah hormat kepada Baginda raja

Thian-hi tahu sebentar lagi pasti Ing Si-kiat memburu tiba…. segera ia memberi petunjuk pada pasukannya serta menyuruh bawahannya mengantar Baginda dan tuan putri ke rumah gedung Ma-ciangkun. Seluruh pasukan Gi-lim-kun dikerahkan di atas pintu kota. Tak lama kemudian Ing Si-kiat sudah tiba dengan pasukannya, teriak Ing Si-kiat kepada Hun Thian-hi, “Tio Gun, lekas buka pintu, saudara angkatmu Ma Bong-hwi berada di tanganku, berani kau tidak buka pintu kubunuh dia!”

“Ing Si-kiat,” seru Hun Thian-hi tertawa, “Awas kau! Saudara angkatku di tanganmu mungkin aku rada kuatir akan keselamatannya, bila kau bunuh dia, aku bisa bikin kau mati tidak ingin hidup pun sukar, kau tahu akan kemampuanku ini!”

Ing Si-kiat menjublek di atas kuda, secara langsung tadi ia melihat sendiri betapa tinggi dan lihay ilmu silat Hun Thian-hi, hatinya memang rada gentar dan was-was, biasanya ia rada takut menghadapi Ma Bong-hwi, namun sekarang justru Hun Thian-hi yang paling ditakuti. Dua hari mendatang ini tidak kelihatan bayangan Hun Thian-hi, inilah kesempatan baik sesuai dengan intriknya dengan Tan-siangkok, mengancam Baginda raja dengan pasukan pemberontak untuk meminang tuan putri atas putranya. Pikirnya sekali gebrak pasti berhasil, tak nyana sebelum rencananya berhasil tahu-tahu Hun Thian-hi menerjang keluar sambil melindungi Baginda dari istana, semakin besar takut hatinya menghadapi Hun Thian-hi.

Mendengar ancaman Hun Thian-hi semakin ciut nyalinya, bila dia bunuh Ma Bong-hwi jelas jiwanya sendiri juga tidak akan hidup lama. Ia insaf untuk menyerbu dan menggempur Bi-seng bak umpama mimpi di siang hari bolong, bila Hun Thian-hi betul membuka pintu lebar-lebarpun belum tentu dia berani menerjang masuk.

Terpaksa dia harus berpikir, lebih baik kembali saja untuk berunding dengan Tan-siangkok, akhirnya tanpa banyak omong lagi ia tarik pasukannya kembali.

Thian-hi mendongak melihat cuaca, matahari sudah tinggi di tengah cakrawala, sudah lewat lohor, ini berarti bahwa dirinya sudah dua hari dua malam mengunci diri di dalam kamarnya mempelajari ilmu pedangnya. Malam nanti ia harus meninggalkan negeri ini, namun urusan disini belum lagi dapat diatasi, cara bagaimanakah baiknya? Badannya terasa letih, dilihatnya panglima wakil Ma Bong-hwi sudah tiba, segera ia serah terimakan penjagaan pada mereka terus mengundurkan diri pulang ke gedung Ma-ciangkun.

Begitu masuk ke dalam tampak Baginda raja, tuan putri semua hadir disitu ditemani istri Ma Bong-hwi, Ma Siau-hou dan Ma Gwat-sian. Muka mereka semua mengunjuk rasa kuatir dan lesu.

Begitu Hun Thian-hi melangkah masuk, pandangan semua orang terhadapnya rada berlainan. Setelah memberi hormat ala kadarnya, segera Baginda bertanya, padanya, “Apakah Ing-ciangkun sudah menarik tentaranya?”

“Untuk sementara waktu dia mengundurkan diri, tapi Ma-ciangkun berada ditangannya, kitapun tidak bisa terlalu mendesaknya!”

Baginda manggut-manggut, tanyanya, “Bagaimana menurut pendapat Tio-ciangkun?” Thian-hi menunduk, sahutnya, “Kejadian ini timbul karena hamba melalaikan tugas, hamba rela seorang diri menyerbu ke Thian-seng untuk menolong Ma-ciangkun, soal yang lain kukira cukup gampang untuk diatasi.”

“Mana boleh begitu,” teriak tuan putri, “kau sediri sudah sangat letih, mana boleh seorang diri ke sana!”

Sekilas Ma Gwat-sian pandang tuan putri lalu menundukkan kepala.

Hun Thian-hi menunduk tanpa bicara, memang dia sudah merasa cukup letih dan lesu, dua hari ini ia terlalu tekun mempelajari Wi-thian-cit-ciat-sek, teringat olehnya Thian-bi-siang-kiam, terbayang akan guru Ma Gwat-sian, ia heran kenapa mereka begitu acuh tak acuh terhadap kemelut di negeri sendiri ini.

Terdengar Baginda berkata, “Untuk sementara kuduga Ing Si-kiat tidak berani bertindak terhadap Ma-ciangkun, kau memang sudah letih, pergilah istirahat dulu. Soal ini tak kesusu diselesaikan!”

Hun Thian-hi tertawa getir, sampai pada detik ini temponya tinggal beberapa jam lagi, bagaimana dirinya tidak akan gugup, sambil mendongak ia berkata, “Bagi hamba soal ini sangat penting dan genting. sekarang juga hamba harus berangkat.”

Baginda menghela napas tanpa bersuara lagi. Dengan langkah lebar Hun Thian-hi segera beranjak keluar.

“Tio-ciangkun!” tiba-tiba Ma Gwat-sian berseri.

Langkah Hun Thian-hi merandek dan berputar mengawasi Ma Gwat-sian.

Kata Ma Gwat-sian: ….Kemaren Suhu kemari, tanpa diberitahu aku pun sudah tahu Permintaanmu! Kau tidak perlu kesusu pergilah istirahat!”

Terbayang oleh Thian-hi akan kata-kata si Nikoh itu, “Kau ingin Gwat-sian minta ampuh bagi kau?”

Ia menjadi geli dan berkata, “Tidak apa-apa, aku tidak seletih seperti yang kalian bayangkan!” segera ia memutar tubuh terus berlari pergi.

Setelah melihat bayangan Hun Thian-hi menghilang diluar Ma Gwat-sian menunduk, Dengan lekat tuan putri mengawasi dirinya.

Setelah keluar dari gedung Ma-ciangkun, seorang diri Hun Thian-hi menuju ke arah Thian-seng.

Sekonyong-konyong didengarnya sebuah suara yang sangat dikenalnya dari ufuk sebelah utara nan jauh sana, sejenak ia terlongong, dilihatnya di sebelah utara sana seekor burung dewasa tengah menukik turun ke arah utara kota Bi-seng, itulah letak dimana tebing curam itu berada, hatinya semakin tegang, kiranya Bu-bing Loni telah mengejar tiba sampai disini, dihitung2 waktunya, memang jangka perjanjian setahun sudah tiba diambang mata.

Baru sekarang Thian-hi sadar, kenapa Thian-bi-siang-kiam dan guru Ma Gwat-sian tidak muncul selama ini, terasa olehnya sang waktu semakin mendesak segera ia keprak kudanya dilarikan sekencang mengejar angin, sekejap saja tibalah dia di Thian-seng, pintu gerbangnya yang diterjang jebol masih belum sempat diperbaiki maka dengan gampang saja Thian-hi terus menerjang masuk, para tentara yang berjaga menjadi takut dan lari cerai berai berkaok2. Thian-hi tahu dimana Ing Si-kiat berada maka langsung ia keprak kudanya membelok ke arah kiri, dari depan ia dipapaki sebarisan tentara yang membawa tameng dan tombak terus menerjang dan mencegat dihadapannya, namun tanpa gentar sedikit pun Thian-hi menerjang dengan kudanya. Belum lagi dekat mendadak dari depan sana Thian-hi dihujani anak panah yang tidak terhitung banyaknya. Cukup dengan sepasang tangan sambil mengerahkan Pan-yok-thian-kang seluruh anak panah itu kena disampoknya jatuh, sementara kudanya masih mencongklang pesat ke depan langsung menuju ke gedung Siangkok.

Sepanjang jalan ini dirinya disongsong oleh ke-lompok2 tentara yang bersenjata lengkap berusaha merintangi dan mencegat Thian-hi. namun dengan kehebatan tenaga dan ilmu saktinya, Thian-hi dapat membikin seluruh perintangnya bercerai berai, pontang panting tak bangun lagi.

Waktu hampir sampai digedung Siangkok. tiba-tiba didengarnya lengking suara seruling bambu yang mengalun halus, bertepatan dengan itu, dari pintu besar Siangkok berbondong-bondong menyerbu keluar banyak sekali ular besar kecil dari berbagai jenis.

Thian-hi menggeram gusar, ia berpaling dan mengawasi dangan tajam. tampak di atas sebuah pohon tinggi di dalam halaman gedung Siangkok ada seorang berpakaian baju putih sembunyi disana sambil meniup seruling bambu itu.

Dengan membekal ilmu sakti mana Thian-hi takut menghadapi ular-ular ini, tapi terhadap si orang yang meniup seruling bambu mengendalikan ular-ular itulah ia benci sekali, sekali menyedot napas, tiba-tiba tubuhnya mencelat mumbul ke tengah udara secepat kilat terbang menerjang ke arah si orang baju putih di atas pohon itu.

Orang baju patih itu terkejut dan menjadi ketakutan. cepat ia diumpalitan turun dan hinggap di atas tanah, maksudnya hendak melarikan diri. Tapi sementara itu Thian-hi sudah melampaui tembok tinggi pagar gedung Siangkok, dari ketinggian ia menukik seraya menepuk sebelah tangannya kebawah, kontan si orang baju putih menjerit ngeri dan muntah darah. tubuhnya terguling dan tidak bergerak lagi.

Luncuran tubuh Thian-hi terus menerjang ke dalam, langsung menuju keruang besar belakang, baru saja kakinya melangkah masuk lantas dirinya dihujani anak panah pula, cepat Thian-hi tarikan sepasang telapak tangannya, untuk melindungi. tubuh, karena rintangan ini serta merta dirinya menjadi terhalang sebentar.

Sebuah suara lantas berkaok dari dalam, “Tio Gun! Kularang kau masuk, kalau tidak jiwa saudara angkatmu she Ma ini akan lenyap!” suara ancaman ini terdengar gemetar.

Waktu Thian-hi melihat ke dalam. tampak dua baris tentara berpanah siap dibusur menghadap kepintu, sedang Tan-siangkok dan Ing Si-kiat kelihatan berdiri sebelah samping, Ing Si-kiat sendiri juga menentang busur menjujuhkan ujung panahnya kepunggung Ma Bong-hwi, asal ia lepaskan panahnya itu. kontan jiwa Ma Bong-hwi pasti melayang.

Thian-hi menjadi bingung, sesaat ia merandek sambil melolos keluar pedangnya, hatinya bekerja cepat menerawang tindakan selanjutnya.

Dengan mendelik Ing Si-kiat berseru, “Lekas keluar, kalau tidak jiwa Ma Bong-hwi menjadi jaminan!”

“Thian-hi!” teriak Ma Bong-hwi “Jangan kau hiraukan aku, bila dia bunuh aku, kaupun bunuh dia menuntutkan balas sakit hatiku.”

Ing Si-kiat menjengek, seringainya, “Ma Bong-hwi, apakah kau rela mati konyol? Keluargamu sedang menanti kedatanganmu!” “Ing Si-kiat!” teriak Hun Thian-hi lantang, “Berani kau mencabut seujung rambutnya saja, akan kubuat kau mati konyol lebih seram dan lebih mengenaskan!”

Bercekat hati Ing Si-kiat, nyalinya menjadi ciut saking gentar kakinya rada lemas dan mundur selangkah, kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Thian-hi, kontan ia ayun pedangnya, selarik sinar terang segera melesat ke depan. Tepat pada waktu itu anak panah dibusur Ing Si-kiat juga menjepret ke punggung Ma Bong-hwi, tujuan Ing Si-kiat menamatkan jiwa Ma Bong-hwi namun pedang Thian-hi secara tepat berhasil mengutungi anak panahnya di tengah jalan.

Seiring dengan ayunan tangan melemparkan pedangnya Thian-hi melesat seperti burung elang menubruk maju, barisan pemanah segera menyongsong dirinya dengan puluhan anak panah yang diberondongkan kepada dirinya, namun secara mudah Thian-hi berhasil meruntuhkan semua anak panah dengan pukulan saktinya, melihat kesaktian Thian-hi para pemanah itu menjadi ketakutan dan lari sipat kuping.

Terlihat oleh Thian-hi Ing Si-kiat juga terbirit2 lari ke dalam, namun didapatinya Ma Bong-hwi rebah di lantai, tiada tempo ia mengejar Ing Si-kiat, cepat atau lambat pasti durjana itu bakal dihukum setimpal, maka cepat ia membuka melenggu Ma Bong-hwi serta menolongnya bangun, dijemputnya sebatang pedang diserahkan kepadanya.

Dengan malu dan penuh sesal Ma Bong-hwi berkata, “Lote! Untung kaulah adanya, bila aku sendiri tidak tahu apa yang harus kulakukan!”

“Toako tidak usah main sungkan lagi, yang penting kita harus cepat menerjang Keluar!” Begitulah sambil menenteng pedang mereka menerjang keluar, melihat Thian-hi begitu gagah,

keluar masuk begitu gampang seolah-olah rintangan yang dihadapi dianggap rumput yang gampang diinjak2 para tentara yang berjaga di luar menjadi kuncup nyalinya, apalagi Ma Bong-hwi sudah lolos maka mereka tidak berani maju merintangi. Setelah berhasil merebut dua ekor kuda mereka langsung mencongklang keluar kota langsung menuju ke Bi-seng.

Begitu memasuki Bi-seng, seluruh rakjat dan pasukan di sana menyambut mereka dengan sorak sorai yang gegap gumpita. Ma Bong-hwi sedikit kikuk, langsung mereka menuju ke gedung kediamannya.

Begitu masuk di dalam, Baginda segera menyongsong keluar, betapa girang hatinya sungguh sukar dilukiskan, sampai tidak bisa berkata-kata.

Segera Ma Bong-hwi sembah hormat, serunya, “Hamba terlalu tidak becus sampai terjatuh di tangan Ing Si-kiat, hampir saja membuat malapetaka bagi seluruh negeri, harap Baginda suka memberi hukuman yang setimpal.”

Baginda tertawa, ujarnya, “Soal ini sulit diduga sebelumnya, kau bisa selamat dan situasi sudah dapat diatasi, tidak perlu kau salahkan diri sendiri lagi!” — lalu ia berpaling dan berkata pada Hun Thian-hi, “Tio-ciangkun sungguh gagah perwira, tentu kau sudah banyak capai.”

Hun Thian-hi tertawa, sahutnya, “Sekarang Ma-ciangkun sudah pulang dengan selamat, segala sesuatunya pasti dapat dibereskan. Hamba masih ada sedikit urusan, mohon ijin untuk keluar sebentar!”

Tuan putri menjadi gugup, serunya, “Kau sudah begitu letih, ada urusan apa lagi, apakah tidak bisa besok saja?” “Urusan ini sangat penting, aku sendiri merasa sudah terlambat, bila segera tidak kususul kesana, entah apa akibatnya nanti!”

“Jadi maksud Tio-ciangkun sekarang juga hendak berangkat?” sela Ma Gwat-sian gelisah. “Belum tahu,” sahut Thian-hi, ia tahu orang salah paham, maka sambungnya, “Tapi gurumu

pasti juga disana, bila itu benar-benar selanjutnya aku tidak akan kembali lagi.”

“Apa!” teriak Tuan putri gugup, “Kau hendak pulang ke Tionggoan?” Ma Bong-hwi berjingkrak kaget, teriaknya, “Apa! Thian-hi! Kau….”

Hun Thian-hi tersenyum lebar, katanya, “Terdesak oleh keadaan, sekarang juga aku harus pergi!” lalu ia menjura memberi hormat kepada seluruh hadirin, cepat-cepat terus berlari keluar.

Baginda sendiri merasa diluar dugaan, namun tiada alasan ia mencegah pemberangkatan orang, terpaksa ia berteriak, “Tio-ciangkun, bila kau sudi, Thian-bi-kok selamanya menyambut kedatanganmu dengan tangan terbuka!”

Thian-si melambaikan tangan serta nyatakan terima kasih, setelah segala barang-barangnya diamhil langsung ia melayang cepat keluar. Seluruh penghuni kota Bi-seng berbondong-bondong keluar mengantar pemberangkatan Thian-hi.

Thian-hi sudah siap untuk meningalkan tempat ini, namun selama empat bulan ia menetap di Thian-bi-kok kesannya terlalu mendalam, ia menjadi berat untuk meninggalkan negeri kecil ini. Tapi serta teringat kejadian yang bakal terjadi di tebing tinggi sana, kakinya menjadi semakin cepat melangkah. langsung ia menuju ke utara keluar lewat pintu utara. Para penjaga di atas benteng kota menjadi heran, tak tahu mereka kemana Hun Thian-hi hendak pergi.

Waktu Thian-hi mendongak tampak burung dewata itu masih terbang berputar-putar di atas tebing curam itu, berdebuk jantung Thian-hi, gebrak perkelahian kali ini pasti sangat seru dan sengit, sampai lama ternyata masih belum ada kepastian siapa lebih unggul atau asor. Tengah ia berpikir2 dan melangkah lebih cepat, tiba-tiba burung dewata itu terbang di atas kepalanya, berputar dua kali. Waktu Thian-hi mendongak, tampak Siau Hong tengah bercokol di atas punggung burung dewata itu, baru saja ia hendak berteriak memanggil, burung dewata itu sudah menukik turun hinggap di tanah. Di lain saat Siau Hong sudah muncul di depan matanya, kedua biji matanya yang bundar besar terkesima mengawasi dirinya.

“Siau Hong!” panggil Thian-hi tertawa.

Siau Hong berkata kaget, “Tak nyana kau berada disini. kenapa kau berdandan demikian?”

.”Mencari aku bukan?” tanya Thian-hi tertawa

Siau Hong tertawa, katanya, “Bersama Siocia kami mencarimu ke-mana-mana, kelihatannya puncak tebing ini rada aneh, baru saja kami turun lantas kepergok dengan seorang Nikoh dan dua orang kakek. Kontan mereka lantas bertempur begitu sengit.”

Tersentak jantung Thian-hi, batinnya, “Kiranya Ham Gwat juga telah datang.” sembari tertawa ia berkata pula, “Akupun tengah menuju ke sana!”

“Apa!” teriak Siau Hong kejut, “Kau mau mengantar kematianmu?” Thian-hi mandah tersenyum tanpa buka bicara lagi, secepat terbang mereka melayang menuju ke arah tebing itu. Melihat Thian-hi lari begitu cepat seperti tidak menggunakan tenaga sedikitpun, batin Siau Hong menjadi heran dan bertanya-tanya, segera ia kerahkan tenaganya untuk adu kekuatan lari cepat.

Lwekang Thian-hi saat itu boleh dikata sudah mencapai tingkat kaki melangkah berjalan di udara, langkah kakinya itu sudah bergerak paling lamban. Tapi bagi Siau Hong masih terlalu cepat, keruan bercekat hatinya, sungguh ia heran akan ilmu silat Hun Thian-hi yang maju begitu pesat.

Waktu mereka tiba di pinggir tebing, sementara itu dengan pedang tunggalnya Ham Gwat tengah menghadapi keroyokan Pek-bi-siu dan Giok-hou-sian, pedang Ham Gwat bergerak begitu lincah dan gesit sekali mendesak kedua musuhnya, Pek-bi-siu sudah kerahkan seluruh tenaga dan bojong keluar seluruh kemampuan, namun kepandaian mereka memang kalah setingkat, betapapun mereka berusaha tetap terdesak di bawah angin. Sebaliknya seperti menari mendemonstrasikan gaya permainan pedangnya yang indah gemulai, Ham Gwat bergerak lamban dan seenaknya saja.

Diam-diam Thian-hi menjadi kagum akan Lwekang Ham Gwat yang tinggi dan hebat ini, selama ini belum pernah lihat Ham Gwat bertempur lawan orang, kini sekali dia turun tangan. melihat permainan pedangnya itu, hatinya menjadi mencelos dan mengeluh dalam hati.

Dalam pada itu, dengan lirikan matanya Ham Gwat pun sudah melihat kehadiran Thian-hi, dilihatnya pakaian Thian-hi yang aneh itu, pandangan sinar matanya mengunjuk rasa heran dan tak mengerti, namun hanya sekejap saja lantas pulih seperti sediakala, kaku dingin tak berperasaan.

Dilihat oleh Thian-hi si Nikoh menggembol kecapinya menonton di pinggiran…. Diam-diam ia turut kuatir akan keselamatan Ham Gwat, begitu lagu irama abadi dikembangkan, mungkin dia tidak akan kuat bertahan.

Sementara itu, kedudukan Ham Gwat jelas dipihak yang menang, setiap jurus gerak pedangnya pasti membawa kesiur angin yang menderu keras merangsak kepada kedua musuhnya. Meski bergabung namun Thian-bi-siang-kiam dibikin pontang panting menjaga diri keadaannya begitu runyam, sungguh mereka tidak akan menduga bahwa hari ini mereka bakal terjungkal di bawah tekanan sebatang pedang seorang gadis muda belia.

“Kau sudah datang!” terdengar si Nikoh menyapa kepada Hun Thian-hi.

Segera Thian-hi menjura, sahutnya, “Gadis ini datang mencari aku, harap Cianpwe melepasnya pulang, kami akan segera berangkat bersama!”

“Tidak boleh!” sahut si Niko;i dingin, “Jangan asal sebagai murid Bu-bing Loni lantas dia berani main terobosan di Thian-bi-kok, seumpama Bu-bing Loni sendiri pun tidak kuijinkan.”

Sudah tentu Ham Gwat juga dengar percakapan mereka, namun sinar matanya seperti tidak menunjukkan perubahan perasaan hatinya, sikapnya masih tetap dingin dan kaku.

“Cianpwe perhitungan ini biarlah aku saja yang menyelesaikan bagaimana?” tanya Thian-hi. “Kau?” dengus si Nikoh geram, “Keselamatanmu sendiri belum kau urus mau mohonkan ampun

bagi orang lain?” Dari samping Siau Hong segera menimbrung bicara, “Buat apa kau bicara padanya, yang jelas Siocia berada di atas angin, suruh mereka berlutut kepada Siocia belum tentu Siocia sudi memberi ampun!”

Kelihatan amarah si Nikoh mulai memuncak, dengan tajam ia menyapu pandang ke tengah gelanggang, memang Thian-bi-siang-kiam sudah semakin payah dan tidak kuat bertahan lagi. Segera ia gerakkan tangan kanannya ke arah Thian-hi sedang mulutnya berkata, “Kau sendiri urus dirimu, jangan cerewet dan turut campur urusan orang lain!”

Begitu mendengar suara kecapi kelihatan Ham Gwat juga tahu akan kelihayan musuh, cepat pedangnya menyabet balik menyongsong ke arah datangnya suara kecapi.

Thian-bi-siang-kiam berdua menjadi terkejut, cepat mereka jumpalitan mundur ke belakang.

Melihat permainan pedang Ham Gwat begitu lihay, dengan sebatang pedangnya ia mampu menangkis dan membendung serangan irama kecapinya, diam-diam si Nikoh bercekat, ia percaya bahwa lagu kekal abadi merupakan ilmu yang tiada taranya di alam maja pada ini, segera kesepuluh jarinya bergerak lincah memetik snar bergantian, melagukan Tay-seng-ci-lau.

Thian-hi sendiri menjadi kejut dan was-was, cara pertempuran macam ini baru pertama kali ini dilihatnya, Hui-sim-kiam-hoat memang belum pernah mendapat tandingan yang setimpal, namun Tay-seng-ci-lau pun sama hebatnya tiada yang kedua di seluruh kolong langit ini.

Setiap petikan irama kecapi si Nikoh tentu dapat disampok atau ditangkis oleh pedang Ham Gwat, pedang yang bergerak lincah dan hebat di tangannya itu setiap saat selalu memancarkan cahaya pedang yang putih’kemilau dari desakan tenaga dalamnya yang hebat untuk membendung rangsakan irama Tay-seng-ci-lau.

Lambat laun lagu Tay-seng-ci-lau semakin keras dan cepat, lapat-lapat terasa adanya nafsu membunuh yang mulai menghayati serangan irama lagunya. Akhirnya Ham-Gwat meletakkan pedangnya di tanah dan dia sendiri duduk bersila seperti orang semadi.

Kedua belah pihak bertahan sekian lamanya, saling serang menyerang, sekonyong-konyong irama harpa si Nikoh berubah. jari jemarinya sekarang memetik lagu Le-liong-jut-cui seluruh lwekangnya dikerahkan melalui irama lagu ini untuk menyerang kepada Ham Gwat. 

Raut muka Ham Gwat semakin pucat dan berkeringat, kelihaiannya sudah tidak kuat lagi.

Tahu bahwa Ham Gwat sudah terdesak segera Siau Hong berseru kepada Hun Thian-hi, “Lekas kau tolong Siocia kami!”

Hun Thian-hi insaf bila Ham Gwat tetap bertahan dan melawan mati-matian akhirnya pasti bakal terluka dalam yang teramat parah, atau mungkin seluruh perutnya hancur dan sungsang sumbel sampai menemui ajalnya dengan mengenaskan.

Thian-hi tidak berayal lagi, sembari berkelebat ia meloloskan pedang. kontan ia lancarkan jurus pertama dari ilmu Wi-thian-cit-ciat-sek yang bernama Thian-wi-te-tong (bumi bergerak langit berputar), pedangnya terangkat tinggi ke depan seperti tidak bergerak. namun dalam gerak terpaut beberapa mili saja itu sudah kerahkan seluruh Lwekangnya di atas ujung pedang. Setabir sinar perak kemilau dari batang pedang melesat keluar menggetar balikkan tenaga serangan si Nikoh melalui irama lagunya yang hebat itu. Biji mata Ham Gwat rada terbuka mengawasi Thian-hi, sedikitpun ia tidak merasa heran atau aneh. seolah-olah ia sudah tahu bahwa Thian-hi membekali ilmu yang teramat sakti ini.

Sebaliknya Siau Honglah yang kegirangan seperti putus lotre beberapa juta, teriaknya, “Siocia! Lihatlah Hun-siangkong, ilmu pedangnya ternyata begitu lihay. ilmu pedang Suthay kiranya juga hanya begitu saja!”

Adalah si Nikoh itu yang bercekat, dua hari saja Thian-hi menyekap diri, namun ilmu pedangnya ternyata sudah maju melompat beberapa kali lipat hebatnya. Ternyata ia mampu menggunakan hawa pedang untuk menyerang musuh, sejak dulu ia pernah dengar mengenai penggunaan hawa pedang untuk menyerang musuh dan belum pernah menyaksikan sendiri. Sekarang dengan mata kepalanya sendiri ia saksikan seorang pemuda berusia likuran dapat menggunakan ilmu sakti yang tiada taranya itu justru untuk melawan dirinya, keruan kejutnya bukan main.

“Hun-siangkong!” teriak Siau Hong pula dari samping, “Ilmu pedang apakah yang kau mainkan ini! Kenapa batang pedangmu sedikitpun tidak bergerak!”

Mendengar seruan Siau Hong ini, bertambah besar kejut si Nikoh, kenapa aku begitu gegabah. segera ia hentikan petikan harpanya serta berkata kepada Thian-hi, “Adakah yang kau gunakan ini Wi-thian-cit-ciat-sek?”

Thian-hi rada tercengang. Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan ilmu sakti yang sudah putus turunan sel ma beberapa ratus tahun lamanya. Latihan dirinya pun belum sempuma paling-paling baru mencapai 80%, namun sekali dirinya menggunakan ilmu ini lantas dapat dikenali asal usulnya.

Mendengar akan nama Wi-thian-cit-ciat-sek, meski raut wajah Ham Gwat selalu kaku dingin ini tak urung sinar matanya memancarkan cahaya terang yang sangat aneh, kelihatannya heran. kaget dan aneh namun juga mengandung rasa kurang percaya. tapi juga sangat kegirangan, akhirnya seperti rada kecewa pula. Perubahan pancaran sinar matanya ini terjadi dalam kilasan waktu saja, tiada seorangpun yang tahu.

Thian-hi merenung sebentar, dia ragu-ragu untuk menerangkan dihadapan Siau Hong dan Ham Gwat karena mereka adalah murid dan pembantu Bu-bing Loni, apalagi Wi-thian-cit-ciat-sek belum lagi sempurna dilatih olehnya, bila mereka memberitahu rahasia ini kepada Bu-bing Loni, mungkin jiwanya bakal terancam bahaya, Namun sesaat ia bersangsi akhirnya ia manggut-manggut sambil mengiakan.

“Darimana kau pelajari ilmu ini?” tanya si Nikoh.

Hun Thian-hi awasi si Nikoh, dia guru Ma Gwat-sian, tidak seharusnya aku bohong padanya, katanya, “Ka-yap Cuncia yang menganugerahkan kepada aku!”

“Beliau!” teriak si Nikoh dengan kejut.

Diam-diam Thian-hi curiga, dari nada teriaknya kelihatannya ia cukup kenal siapa itu Ka-yap Cuncia.

Akhirnya si Nikoh menghela napas panjang, tanyanya, “Siapa kau sebenar-benarnya?” “Aku sebagai murid angkatnya!”

“Beliaukah yang suruh kau kemari?” Thian-hi manggut-manggut, sahutnya, “Benar-benar, Taysu memberi pesan supaya aku tidak menonjolkan ilmu silat sebelum Wi-thian-cit-ciat-sek kulatih sempurna dilarang meninggalkan tempat ini.”

“Kalau begitu akulah yang salah. Seharusnya aku tidak membocorkan rahasiamu kepada Gwat- sian. Apakah Wi-thian-cit-ciat-sek sudah kau latih sempurna seluruhnya?”

Thian-hi geleng kepala, sahutnya, “Belum seluruhnya, soalnya terjadi huru-hara dalam negara tadi sehingga latihanku tertunda beberapa bagian!”

“Aku bernama Po-ci,” si Nikoh memperkenalkan dirinya. “Bila jumpa dengan gurumu, tolong sampaikan salamku pada beliau. Apakah kau tidak mau tinggal lagi beberapa lama?”

“Tidak perlu lagi, sekarang juga aku sudah siap untuk berangkat!”

“Terpaksa aku tidak menahanmu lagi, kelak bila kau memerlukan tenagaku akan kubantu sekuat tenaga!” demikian ujar si Nikoh, lalu sambungnya, “Sekarang bolehlah kalian berangkat bersama!” habis berkata bersama Pek-bi-siu dan Giok-hou-sian mereka tinggal pergi.

Dengan suara lirih Siau Hong bertanya pada Thiani-hi, “Benar-benarkah kau murid Ka-yap Cuncia?”

Thian-hi tertawa kikuk, katanya, “Belum terhitung muridnya, yang benar-benar memang dia serahkan ilmu Wi-thiat-cit-ciat-sek kepada aku, dianggapnya aku sebagai murid angkat belaka.”

Siau Hong meleletkan lidahnya, katanya, “Tak heran ilmu psdangmu begitu lihay, hampir lebih tinggi dari kepandaian Suthay!”

Thian-hi tertawa tawar. Katanya, “Sunggun menyesal pesan beliau tiada satupun bisa kulaksanakan dengan baik.”

“Kau hendak tinggalkan tempat ini. maksudmu hendak pulang ke Tionggoan?”

“Aku sendiri masih bingung apa yang harus kulakukan, yang jelas aku memang harus meninggalkan tempat ini!”

“Belum pernah kulihat orang setolol kau. kemana dirinya hendak pergi kok tidak tahu, menurut perasaanku sikap dan watakmu sudah jauh lebih baik daripada waktu pertama kali aku jumpa dengan kau dulu!’

Thian-hi mandah tersenyum saja. ia berpaling memandang ke arah Ham Gwat, saat mana Ham Gwat sedang bangkit berdiri, katanya, “Jikalau aku adalah kau, sebelum Wi-thian-cit-ciat-sek sempurna kulatih aku tidak akan tinggal” pergi!”

Wajah Ham Gwat memang tetap kaku dan dingin. namun sinar matanya memancarkan cahaya jernih dan kalem yang melimpah dari kemurnian hatinya. Hati Thian-hi menjadi hangat, katanya, “Terimakasih, pasti akan kusempurnakan!”

Ham Gwat menunduk ujarnya, “Sekarang Tionggoan sudah di bawah cengkeraman Tok-sim- sin-mo. Sejak ia lolos dari Jian-hud-tong mengandal kepandaiannya yang hebat ia berhasil menundukkan Partai Merah dan mengusir Partai Putih keluar perbatasan, Jian-hud-tong dibangun sebagai sarang pangkalannya. Guruku tidak mau saling bentrok padanya maka mengumbar saja perbuatannya. yang bersimaharaja itu.” Thian-hi rada kaget akan perkembangan situasi yang tidak diduga ini. tanyanya cepat, “Lalu bagaimana dengan Kiu-yu-mo-lo dan Pek-kut-sin-mo?”

“Soal mereka aku tidak tahu! Mengandal ilmu kepandaianmu sekarang. seorang diri menghadapi gerombolan Tok-sim-sin-mo itu masih jauh dari cukup Ketahuilah anak buahnya semua adalah gembong-gembong iblis yang sudah lama mengasingkan diri dan kenamaan, berkepandaian tinggi lagi.” *

“Terimakasih akan penjelasanmu ini!”

“Kedatanganku hari ini sebenar-benarnya mencari kau, untuk menyeretmu kehadapan guruku. tapi tadi kau menolong jiwaku, sekarang aku harus pulang, biarlah lain kesempatan saja kubalas kebaikan badimu ini!”

“Nanti dulu!” seru Thian-hi tergesa-gesa.

“Aku tahu, maksud baikmu, mungkin tidak berguna lagi, tapi aku terima maksud baikmu ini!” lalu bersama Siau Hong ia naik ke atas panggung burung dewata dan terbang tinggi menghilang.

Thian-hi terlongong dipinggir tebing, baru pertama kali ini sejak kenal dulu ia langsung berhadapan dan bicara dengan Ham Gwat, apa yang terasa sekarang olehnya bahwa Ham Gwat ternyata begitu lemah lembut, berperasaan halus dan simpatik, jauh berlainan dengan kesannya dulu yang kaku dingin dan congkak itu. Waktu bicara tadi kelihatan rasa simpatiknya terhadap dirinya. ia prihatin akan keselamatan dirinya.

Pikir punya pikir, akhirnya hatinya menjadi mencelos, bukankah Ham Gwat masih anggap dirinya sebagai musuh besarnya. Begitulah Thian-hi menjublek dipinggir tebing, perasaannya panas dingin bergantian, akhirnya pelan-pelan ia memutar tubuh hendak tinggal pergi. Mendadak ia merasa segulung angin keras menerpa datang dari belakang, keruan kejut Thian-hi begitu mendengar kesiur angin ini lantas ia tahu bahwa yang datang ini pasti seorang tokoh silat yang berkepandaian tinggi, bukan saja tokoh malah seorang kosen lagi.

Lincah sekali kakinya bergerak pindah kedudukan seraya memutar balik. sekali pandang tanpa terasa ia menjadi berjingkrak kegirangan, kiranya pendatang ini bukan lain adalah Pek-kut-sin-mo Pek Si-kiat adanya.

“Paman Pek!” teriak Thian-hi kegirangan.

Pek Si-kiat tertawa lebar, katanya, “Ka-yap Taysu berpesan supaya aku kemari menjemput kau pulang, apa kau tahu kenapa beliau antar kau ke tempat ini?”

“Disini aku tidak akan direcoki orang lain.”

“Bukan begitu, Ka-yap Taysu tahu betapapun kau akan menggunakan ilmu silatmu, karena kau manusia, manusia punya hati dan dapat berpikir, betapapun kau tidak akan dapat menyembunyikan kepandaian silatmu.”

Thian-hi terlongong, katanya, “Jadi buat apa Ka-yap Taysu menyuruh aku kemari?” “Tiada maksudnya yang tertentu, yang utama dia hendak melatih kesabaranmu, beliau

menjelaskan kepadaku supaya aku menerangkan pula kepada kau, ilmu silatmu baik sekali, kau punya keberanian dan ketekunan melakukan segala sesuatu yang harus kau kerjakan, yang kurang ialah bahWa kau jarang menggunakan otakmu untuk beipikir!” Terlihat oleh Thian-hi dibalik senyum Pek Si-kiat itu samar-samar terbayang kekuatiran yang mencekam hatinya. ia menjadi heran dan bertanya-tanya, namun bila Pek Si-kiat tidak menjelaskan iapun tidak enak menanyakan. Dalam hati ia membatin, “Orang lain selalu memuji aku pintar kenapa Ka-yap Cuncia mengatakan aku masih kurang cerdik?”

“Beliau berkata selamanya kau bertindak tanpa memikirkan akibatnya, sepak terjangmu membabi buta dan serampangan. Dan sekarang kau sudah rela tunduk kepada orang lain, setiap tindak tandukmu tidak akan gegabah dan ceroboh lagi. itulah kesabaran yang melandasi sanubarimu dan itulah kecerdikan hanya sabar dan bijaksana baru akan timbul akal cerdikmu!”

“Paman Pek. kenapa guru tidak langsung menjelaskan saja kepada aku?” Pek Si-kiat menghela napas rawan, ujarnya, “Beliau sudah lama mangkat!” Thian-hi terlongong-longong sedih, dia menunduk berdoa.

Selanjutnya Pek Si-kiat memberi gambaran situasi kalangan Kangouw di Tionggoan, selama ini ia menjelajahi jejak Kiu-yu-mo-lo tanpa berhasil. Tok-sim-sin-mo sudah lama lolos, untuk kesekian kalinya ia main bersimaharaja di Kangouw. Karena menghilangnya Thian-hi sekian lamanya berbagai aliran dan golongan yang meng-uber-uber dirinya itu sekarang menjadi putus asa dan tawar. Apalagi Tok-sim-sin-mo malang melintang membuat huru hara dimana-mana.

Memang berbagai aliran dan golongan dari kaum lurus beberapa kali niat bergabung menghantam Tok-sim-sin-mo, dasar licik dan banyak kaki tangannya, pihak Tok-sim-sin-mo selalu dapat bertindak lebih cepat menumpas para aliran lurus itu, lambat laun kekuatan aliran besar kecil dari Bulim menjadi lemah dan tidak berdaya lagi. Melulu Siau-lim-pay saja yang masih tetap jaya, berdiri tegak tanpa tergoyahkan. Soalnya mereka jarang turut campur urusan dunia persilatan, pihak Tok-sim-sin-mo sendiri juga segan mencari gara-gara terhadap mereka, yang jelas karena Thian-cwan dan Te-coat kedua Taysu yang teragung dari pihak Siau-lim masih sehat kuat, betapapun Tok-sim-sin-mo harus berpikir dua belas kali untuk memancing kerusuhan terhadap pihak yang paling kuat ini.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar