Bab 16
Tatkala itu cuaca sudah gelap gulita. Baginda suruh Thian-hi besok pagi harus masuk piket dan memberi lapor selengkapnya. Setelah itu ia lantas tinggal pergi bersama tuan putri.
Ma Bong-hwi tertawa puas, katanya kepada Thian-hi, “Kalau Lote ingin mencapai kedudukan yang lebih tinggi besok pagilah saatnya. Kejadian hari ini sungguh diluar dugaanku, kiranya hanya seekor ularlah yang membuat gara-gara. Kalau bukan atas tindakanmu yang cepat sungguh aku tidak berani membayangkan akibatnya.”
Hun Thian-hi tertawa tawar. katanya., “Inipun berkat adikmu yang beritahu kepada aku!”
Ma Bong-hwi melengak, katanya tertawa, “Dia lagi, Dia tidak beritahu kepada aku, kini memberitahu kepada kau malah.” dengan cengar-cengir pandang Thian-hi.
Thian-hi kehabisan kata-kata untuk menjawab. Begitulah segera mereka keluar dan pulang bersama. Sepanjang jalan diam-diam Thian-hi ambil keputusan, ia sudah penujui gunung gemunung yang tinggi dan luas di belakang Thian-seng itu. Ingin dia mencari suatu tempat disana untuk mengasingkan diri sementara.
Begitu tiba di gedung Ciangkun, sudah tentu terjadi keramaian dengan sambutan yang meriah sekali. Tengah malam itu juga diam-diam Thian-hi sudah mempersiapkan diri, setelah ganti pakaian ia menulis sepucuk surat diletakkan di atas meja, diamat-amati kedua batang seruling itu lalu disimpan ke dalam butalannya, gesit sekali ia melompat keluar dari jendela terus tinggal pergi.
Begitu tiba di luar ia terus memasuki taman bunga belum berapa langkah ia berjalan tiba-tiba ia menjublek di tempatnya, kelihatan Ma Gwat-sian tengah berdiri disana menantikan dirinya. Kata Ma Gwat-sian tertawa, “Hun-toako! Aku tahu kau pasti akan tinggal pergi, maka sejak tadi ku-tunggu kau disini.
Thian-hi menunduk tanpa buka suara, segala gerak geriknya ternyata sudah di dalam perhitungan Ma Gwat-sian.
“Mari kau ikut aku,” ajak Ma Gwat-sian, “Ada beberapa patah kata hendak kuucapkan kepada kau.”
Hun Thian-hi menguntit di belakangnya, Ma Gwat-sian mencari sebuah batu hijau besar lalu duduk di sana. Diapun suruh Thian-hi duduk di sebelahnya, setelah rada sangsi Thian-hi duduk juga di sampingnya. Kata Ma Gwat-sian, “Guruku beritahu kepada aku, katanya jika kau mau menyembunyikan jejak dan asal usulmu, ada lebih baik kau sembunyi di dalam kota besar saja. Kau punya harapan untuk menjabat sebagai komandan Gi-lim-kun. Tapi bila kau berkukuh hendak pergi, cara menghilangmu yang mendadak ini malah akan menimbulkan prasangka.”
Thian-hi menjublek tanpa bicara, otaknya tengah berpikir.
Kata Ma Gwat-sian pula, “Watakmu rada congkak, tapi bila kau sudi menjabat pangkat, orang lain tidak akan mengira ada seorang tokoh kosen menyembunyikan diri sebagai pejabat tinggi pemerintahan. Sebaliknya kalau kau tinggalkan pangkat dan kedudukan ini, justru bakal membongkar rahasiamu sendiri.”
Thian-hi juga menginsyafi hal itu, katanya, “Jadi maksudmu supaya aku tetap tinggal saja?”
Ma Gwat-sian tertawa. ujarnya, “Itupun menurut omongan guruku, aku hanya menyampaikan saja kepada kau!”
Heran dan ketarik hati Thian-hi, tanyanya, “Sebenar-benarnya siapakah gurumu itu? apa boleh beri tahu padaku?”
“Kau tak usah kuatir akan hal itu! Guruku tidak akan mencelakai kau!”
Hun Thian-hi tak enak untuk bertanya lebih lanjut, terpikir olehnya ucapan Ma Gwat-sian tadi memang cukup masuk di akal, tiada halangannya ia menurutkan nasehat itu, tanyanya, “Apakah kau tahu asal usulku sejelasnya?”
“Juga tidak! Tempo hari guruku pernah berjalan-jalan sampai dipinggir tebing curam itu, dilihatnya sebarisan lobang2 kecil, tahu ia bahwa pasti ada seseorang Tionggoan yang telah menyelundup masuk kenegeri ini, dan akupun menemukan kau pula, dan kaupun menggunakan seruling, maka tahulah aku bahwa pasti kau datang dari Tionggoan, tidak salah bukan rekaanku?.”
Dengan cermat Thian-hi pandang sepasang biji mata Ma Gwat-sian yang jeli bening berkilat, wajahnya begitu halus elok bak umpama sang dewi dari rembulan, serta merta kepalanya manggut-manggut. diam-diam bercekat hatinya, kiranya tanpa disadari aku telah meninggalkan jejak waktu menyelundup masuk ke Thian-bi-kok ini.
Kata Ma Gwat-sian lagi, “Orang yang mengetahui nama Tay-seng-ci-lau sedikit sekali jumlahnya, yang bisa menyelami intisarinya jarang pula terdapat. Sebaliknya begitu kau melihat Tay-seng-ci-lau dengan gugup lantas suruh Siau-hou mengembalikan, dapatlah diselami bahwa kau pasti sudah paham akan Tay-seng-ci-lau itu, malah hatimu juga baik dan lurus!”
Diam-diam mengeluh hati Thian-hi, setiap tujuan gerak-geriknya seolah-olah telah dipaparkan secara jelas dihadapan Ma Gwat-sian. “Pada malam itu, ada seseorang datang menyatroni engkohku, setelah orang itu pergi salah seorang pengawal telah dibunuh oleh engkohku. Tapi pengawal itu mengeluarkan suara lebih dulu, sebetulnya tiada alasannya dia berteriak kecuali ada seseorang yang memaksanya begitu. Dan lagi dalam gedung kita ini tiada orang lain kecuali kau!”
Thian-hi bungkam seribu busa, tak kuasa ia mendebat. menunduk saja tanpa bersuara.
Ma Gwat-sian tersenyum. ujarnya, “Itu melulu analisaku yang cukup cermat belaka. untung benar-benar semuanya. Guruku sudah menghapus jejak yang kau tinggalkan itu, kau tak usah kuatir.”
“Gurumu itu pasti seorang aneh yang kosen, aku tiada jodoh untuk menghadap menyatakan terima kasih kepada beliau, harap kau suka mewakili aku menyatakan hormat dan sembah sujudku.”
“Kenapa begitu sungkan, sekarang apa kau pasti hendak pergi? Atau tetap tinggal disini?” Thian-hi beragu dan tak bersuara.
“Menurut aku, aku harap kau tetap tinggal disini. urusan disini belum selesai, masih banyak hal yang harus kuminta bantuanmu.
Akhirnya tanpa bersuara Thian-hi manggut-manggut setuju.
Benar-benar juga besok paginya Thian-hi diangkat menjadi Bu-wi Ciangkun, kedudukannya sebagai komandan Gi-lim-kun.
Setelah lewat lohor, tuan putri minta Thian-hi menyiapkan kereta, dia ingin mengendalikan kereta pergi pesiar. minta Thian-hi sebagai pengiringnya. Terpaksa Thian-hi turuti permintaannya, tak lupa iapun menyiapkan tunggangannya.
Tak lama kemudian tuan putri sudah berdandan mengenakan seperangkat pakaian ketat serba merah langsung naik ke atas kereta, katanya kepada Hun Thian-hi, “Kau harus hati-hati menguntit dibelakangku jangan sampai ketinggalan!” Selesai berkata kudanya segera dibedal dengan kencang.
Thian-hi membawa empat orang pengikut. Begitu enam ekor penarik kereta tuan putri membedal kencang bersama pengikutnya Thian-hi segera menyusul. Setelah keluar dari pintu selatan mereka berputar-putar mengelilingi kota tiga putaran lalu luruS menuju ke selatan.
Menginsafi tugasnya yang berat Thian-hi tidak berani lena dengan kencang iapun mengikuti dibelakang. keenam ekor kuda penarik kereta, adalah kuda pilihan, keruan keempat pengikutnya itu jauh ketinggalan dibelakang. Hun Thian-hi sendiri juga ketinggalan beberapa tombak dibelakang.
Entah berapa jauh dan berapa lama mereka seolah-olah berlomba, akhirnya tuan putri memperlambat lari keretanya. Lambat laun Hun Thian-hi dapat mengejar dekat, sambil memandang ke arahnya tuan putri tersenyum geli. sambil membetulkan letak rambutnya ia berkata, “Selamanya belum pernah ada orang mampu mengejar aku sedemikian dekat!”
Setelah dekat Thian-hi merogoh keluar seruling batu Giok putih itu dikembalikan kepada tuan putri. katanya, “Tempo hari tuan putri lupa membawa kembali seruling ini, harap tuan putri suka terima kembali.” “Tidak usah. kuberikan kepadamu!” Thian-hi melengak, tuan putri berkata lagi, “Sebetulnya aku tidak bisa meniup seruling kau ambil saja!”
“Aku sendiri sudah punya, harap tuan putri suka terima kembali.”
“Kenapa?” tanya tuan putri kurang senang. “Apa kau tidak sudi menerima pemberianku? Serulingmu sendiri itu justru sangat baik, kalau kau ingin kembalikan, boleh ditukar dengan milikmu itu saja!”
Thian-hi menjadi serba sulit. katanya, “Sebetulnya serulingku itu harus dipersembahkan kepada tuan putri, soalnya seruling Itu pemberian seorang Cianpwe sebagai kenang2an tak boleh hilang!”
Tuan putri mendengus hidung, waktu berpaling dilihatnya keempat pengikut itu sudah kelihatan bayangannya, pecutnya segera terayun “tar!” keenam kuda penarik kereta itu segera mencongklang lagi seperti kesetanan. Terpaksa Thian-hi menyimpan seruling dan mengejar lagi.
Kali ini tuan putri membelokkan keretanya memasuki hutan pegunungan, keretanya menjadi bergoyang2 seperti menari2 di atas pegunungan yang belukar dan tidak rata itu. Thian-hi menjadi kuatir, betapa pun baiknya tuan putri dapat mengendalikan kereta. namun dijalanan yang tidak rata ini bukanlah mustahil nanti bisa terjadi sesuatu diluar diluar dugaan.
Dengan sekuat tenaga dan segala daya upaya Thian-hi berusaha mengejar, namun tunggangan sendiri kalah kalau dibanding keenam kuda pilihan penarik kereta itu, jarak mereka tetap beberapa tombak. Mendadak didengarnya Tuan putri menjerit2 ketakutan, Thian-hi terkejut dan membedal maju. tampak keenam kuda itu berdiri berbareng dan menjadi beringas liar ketakutan,
Kiranya tak jauh disebelah depan sana tampak dua ekor beruang besar tengah mendatangi pelan-pelan, tuan putri menjadi pucat ketakutan. Thian-hi sangat kalut, cepat ia lonmpat turun seraya melolos pedangnya. lalu memburu ke depan mencegat di depan kedua biruang besar itu.
“Tio Gun” teriak tuan putri. “Lekas kembali, seorang diri mana kau mampu melawan!”
Terlihat oleh Thian-hi kedua biruang ini jauh lebih besar dan tinggi dari tubuhnya sendiri, tinggi kepalanya hanya sebatas pinggang kedua ekor biruang itu. Diam-diam ia heran dan kejut akan kebesaran kedua ekor biruang ini, namun mana Thian-hi gentar menghadapi kedua binatang ini.
Katanya tertawa, “Tuan putri tak perlu takut, hari ini anggap saja kita berburu biruang.”
Melihat Thian-hi berani maju sambil menenteng pedang, kedua ekor biruang itu seperti merasa heran dan saling pandang, sambil mengaum keras serempak menubruk ke arah Thiani-hi.
Thian-hi juga membentak keras, badannya berkelit menyingkir ke samping, seluruh tenaga dikerahkan ditangan kanan begitu sebat gerak geriknya, begitu berada disamping kiri salah seekor biruang itu. kontan pedangnya lantas bekerja menusuk ambles seluruh batang pedangnya ke dalam lambungnya.
Biruang itu menggerung kesakitan dan murka. seekor yang lain segera mengulur sebelah tangannya mengemplang kekepala Thian-hi. Thian-hi berusaha menutupi kepandaian sendiri, sambil menarik pedangnya ia melompat berkelit lagi rada jauh, dari kejauhan ini segera ia ayun pedangnya, laksana anak panah selarik sinar pedangnya meluncur ke depan dan ambles seluruhnya kedada biruang yang lain itu. Meski terluka berat kedua biruang itu masih belum mati, namun sebelum ajal mereka pantang menyerah, berbareng menggerung keras terus menubruk maju lagi dengan cakar terpentang!
Tatkala itu jarak mereka semakin dekat, keruan tuan putri menjerjt ketakutan. dilihat pula oleh Thian-hi keenam ekor kuda itu tak jauh disebelah sana, sedikit beragu kedua ekor biruang itu sudah menyerbu datang. tanpa banyak pikir lagi mulut Thian-hi bersuit nyaring, Pan-yok-hian- kang yang dilatihnya selama beberapa lama ini segera digunakan. seenaknya saja ia menepuk ke depan. kontan kedua ekor biruang yang tinggi besar itu diterpa gelombang tenaga pukulan yang dahsyat sehingga terpental tiga tombak jauhnya, rebah tak berkutik lagi.
Sekian lama Thian-hi berdiri menjublek. hatinya sungguh sangat menyesal, tidak seharusnya ia melancarkan Pan-yok-hian-kang, bagi seseorang yang punya landasan pelajaran silat, begitu melihat seluruh isi perut kedua biruang ini hancur luluh pasti mereka bakal tahu bahwa keduanya terpukul mati oleh sebuah pukulan tenaga dalam yang sangat hebat.
Tengah ia tenggelam dalam pikirannya. tiba-tiba terasa sebuah tangan meraba pundaknya, kontan ia tersadar dari lamunannya. tampak tuan putri berdiri di depannya, kelihatannya ia sangat takut sehingga seluruh tubuhnya lemas lunglai hampir roboh.
Serta merta Thian-hi harus memajangnya katanya: Tuan putri tak perlu takut lagi!”
Saking lemas tubuh tuan putri lantas menggelencut ke dalam pelukan Thian-hi. katanya, “Disini tiada orang lain, tak usah kau panggil aku tuan putri, aku bernama Ih-gi!”
Tergetar hati Thian-hi, cepat ia memajangnya berdiri. katanya, “Tuan putri! Biruang itu sudah mampus, silakan tuan putri berdiri, tak usah takut!”
Setelah berdiri tegak dengan berang tuan putri pandang Thian-hi, katanya, “Apa kau tidak suka kepada aku?”
Merah jengah dan panas muka Thian-hi, jawabnya tergagap, “Tuan putri berbadan agung berkedudukan tinggi. mana bisa aku….”
“Bukankah kau sendiri sekarang sebagai panglima tinggi yang pegang kekuasaan. masa kau tidak berani menyukai aku?”
Thian-hi menghela napas, katanya, “Tuan putri kau dan aku baru bertemu beberapa kali, mana bisa membicarakan soal ini.”
Tuan putri cemberut dan kurang senang, tanyanya. “Kudengar Ma-ciangkun punya seorang adik perempuan, apa benar-benar?”
“Benar-benar, tapi apa sangkut pautnya dengan kau?”
Tuan putri menjengek tanyanya, “Apakah kau pernah bertemu dengan dia” Thian-hi manggut-manggut.
“Sejak lama sudah kudengar bahwa dia punya seorang adik perempuan yang sangat cantik, tapi selamanya belum pernah keluar pintu, tiada seorang pun yang pernah melihat dia, banyak orang mengajukan lamaran semuanya gagal, dia cantik bukan?”
Bicara sampai disini tuan putri menjadi rawan, pelan-pelan ia menunduk. dilain saat ia angkat kepala dan bertanya tegas, “Jangan kau bohongi aku. Sebetulnya kau suka aku atau suka dia.” Thian-hi terlongong sekian lamanya, dilihatnya sikap tuan putri begitu murung dan sedih sungguh sangat kasihan, setelah menarik napas, ia berkata, “Kejadian di dunia ini siapa yang berani mengira sebelumnya!”
Sungguh dia tidak mengira setelah berada di Thian-bi-kok ini dia harus menghadapi berbagai kesulitan ini.
Angkat kapala dilihatnya tuan putri masih menantikan jawabannya, terpaksa ia berkata, “Tuan putri! Menurut hemadku, tidak lebih kita sebagai sahabat yang baru berkenalan saja!”
Tuan putri membalikkan tubuh dengan jengkel langsung ia naik ke atas kereta. Thian-hi memburu datang serunya berteriak, “Tuan putri tak boleh menuju ke dalam sana.”
Tak usah kau urus aku!” semprot tuan putri gusar Keretanya dilarikan lagi ke depan dengan cepat,
Thian-hi menjadi gugup dan berteriak-teriak, terpaksa ia memburu dengan kencang. untung jalanan disebelah depan sangat jelek lari kereta menjadi lambat, Thian-hi bisa mengejar semakin dekat. Akhirnya kereta berhenti juga karena jalan terlalu sempit. Thian-hi lantas tampil ke depan serta berkata, “Tuan putri. mari putar haluan saja!”
“Tidak mau. Kau temani aku disini, orang lain takkan mampu mencari kemari.” Begitulah tuan putri merengek2.
Thian-hi angkat pundak tanpa bersuara.
Begitulah mereka berdiri tanpa bersuara, sejenak kemudian tuan putri membuka suara, “Hatiku kesal, coba kau tiup serulingmu untuk menghibur hatiku.”
Apa boleh buat Thian-hi keluarkan serulingnya. di lain saat irama yang merdu mengasjikkan mengalun merdu di alam pegunungan yang sunyi, dengan asjik dan menjublek tuan putri mendengarkan tanpa merasa air mata mengalir membasahi pipinya yang putih molek, setelah lagunya habis, ia lantas berkata sesenggukkan, “Kenapa kau bersikap dingin terhadap aku?”
Thian-hi tidak tahu cara bagaimana harus menjawab. sesaat kemudian baru ia bersuara, “Cita- cita dan tujuan hidup kita berlainan, kau dan aku bukan manusia dalam satu tingkatan.”
Tuan putri terlongong memandang Thian-hi katanya, “Yang kuinginkan hanyalah kau. Apabila kau megejar kedudukan pangkat dan harta, semuanya dapat kuberikan kepada kau, apakah kau menyangsikan kemampuanku?”
Thian-hi tersenyum, ujarnya, “Banyak kejadian di alam fana ini yang belum diketabui oleh tuan putri, tak pernah terpikir olehku untuk mengejar pangkat dan harta, yang terang memang tuan putri bersikap sangat baik terhadap aku. sungguh aku harus nyatakan banyak terima kasih, menurut pendapatku tuan putri tak lain karena terburu oleh perasaan belaka, dulu aku juga pernah mengalami hal demikian.’
“Bukan begitu jalan pikiranku, kau pandai silat dan pintar sastra lagi, apalagi watakmu cukup baik dan lurus, tidak seperti putra Tan-siangkok itu, sikapnya takabur dan licik. Kau punya bakat sebagai pemimpin, calon suamiku kelak pasti dapat mewarisi kedudukan raja. menurut pilihanku kaulah yang paling tepat!”
Thian-hi tertawa getir, katanya, “Kelak kau akan tahu sendiri bahwa justru aku orang yang paling tidak tepat.” Tuan putri menunduk menepekur, beberapa lamanya tak bersuara lagi.
“Tuan putri,” panggil Thian-hi pelan-pelan, “aku bicara menurut kenyataan.” — suaranya begitu lirih hampir kupingnya sendiri juga tak dapat mendengar.
Mereka menjadi menjublek di tempat masing-masing tanpa bersuara sampai sekian lamanya. Akhirnya Thian-hi yang membuka kesunyian lagi, “Cuaca hampir gelap, kita harus lekas pulang!”
Dengan menunduk tuan putri memutar keretanya kembali, dia biarkan saja keenam kuda putih itu berjalan pelan-pelan, kedua biji matanya lempang mengawasi depan tanpa berkesip, seolah- olah tenggelam dalam pemikiran yang tiada berujung pangkal.
Dengan menunggang kuda Thian-hi berjalan disisi kereta, dari samping terlihat olehnya rambut tuan putri yang terurai dihembus angin memanjang, ujung matanya basah oleh air mata. Sambil menghela napas ia menunduk tak berani melihat lagi.
Begitulah dengan legak-legok kereta itu akhirnya sampai juga di jalan raja, jauh di ufuk barat sana sang surja sudah hampir tenggelam. Keempat anggota Gi-lim-kun itu dengan gelisah masih menanti diluar hutan.
Setelah tiba di istana, Thian-hi rasakan seluruh badannya capai, setelah makan malam ia terus masuk kamar berlatih. Pan-yok-hian-kang. Tapi sekian lama ia menjadi gundah karena pikirannya tak bisa tenteram. Akhirnya dengan kesal ia berjalan keluar dan mondar-mandir di serambi panjang lalu meronda ke berbagai pos penjagaan, tampak rombongan demi rombongan pasukan Gi-lim-kun mondar mandir meronda, tanpa tujuan kakinya melenggong sampai ufuk timur mulai terang.
Hari kedua dari istana dalam didapat kabar bahwa tuan putri rebah di tempat tidur tak bisa bangun, jatuh sakit. Diam-diam Thian-hi menghela napas.
Setelah piket, Ma Bong-hwi mengundangnya Thian-hi kerumahnya, tapi Thian-hi takut bertemu dengan Ma Gwat-sian, menggunakan alasan kerena repot di istana, ia menolak ajakan itu. Tak lupa ia menanyai alamat tempat tinggal Tan-siangkok, Ma Bong-hwi rada sangsi, namun akhirnya memberi tahu juga.
Diam-diam Thian-hi sudah berkeputusan untuk menyatroni gedung kediaman Tan-siangkok untuk membuat penyelidikan, orang macam apakah sebenar-benarnya Tan-siangkok itu, setelah segala urusan disini dapat dibereskan lebih baik akupun harus segera membebaskan diri dari segala kerepotan.
Baru saja cuaca menjadi gelap Thian-hi lantas salin pakaian hitam yang ketat. Gedung kediaman Tan-siangkok juga berada di Thian-seng ini, segera ia beranjak menuju ke gedung Tan- siangkok. Tak lama kemudian ia sudah tiba diambang pintu gedung Tan-siangkok, setelah celingukan tak melihat bayangan orang, sekali berkelebat enteng sekali ia lompat naik ke atas tembok lalu melejit lebih tinggi ke atas wuwungan. Pelan-pelan ia menggeremet maju terus loncat turun ke sebuah taman bunga. Baru saja kakinya menyentuh tanah, di dalam keremangan malam terdengar seseorang bicara, “Tan Su! Hari sudah gelap! Lekas lepaskan anjing!”
Terkejut Thian-hi, sebat sekali tubuhnya melejit tinggi hinggap di atap rumah. Dengan seksama ia awasi keadaan sekelilingnya, didapatinya gedung Tan-siangkok ini jauh lebih besar dan megah dibanding gedung Ma-ciangkun, empat penjuru dikelilingi tembok tinggi dan pohon-pohon rindang dan tanam2an kembang. Di lain saat terlihat oleh Thian-hi bayangan hitam besar2 berlari-lari kian kemari, Thian-hi dapat melihat tegas itulah anjing2 besar sebangsa serigala yang buas. Baru saja ia berniat maju lebih lanjut ke dalam, tiba-tiba pintu besar terbuka, dari luar masuk seseorang. Diam-diam bercekat hati Thian-hi, karena dilihatnya orang yang baru datang ini tak lain tak bukan adalah Ing-ciangkun Ing Si-kiat.
Thian-hi berpikir, ternyata benar-benar orang ini tidak bisa dipercaya, malam2 dia kemari tentu punya intrik dengan Tan-siangkok. Tidak salah kecurigaan Ma Gwat-sian terhadapnya.
Tampak Ing Si-kiat menggunakan pakaian preman, Tan-siangkok sendiri menyongsong keluar menyambut tamunya ini, setelah sekedar sapa sapi mereka masuk bersama. Diam-diam Thian-hi menguntit mereka dari atas genting.
Mereka memasuki sebuah ruang besar, empat penjuru ruang besar itu terjaga ketat, dengan hati-hati Than-hi berkelebat keluar terus sembunyi di bawah pajon untuk mencuri dengar.
Terdengar Tan-siangkok bertanya kepada Ing Sikiat, “Apakah Ing-ciangkun tahu asal usul Tio Gun itu?”
Ing Si-kiat menjawab, “Ma Bong-hwi cukup percaya kepada aku, namun soal ini dia tidak pernah beritahu kepada aku, aku sendiri juga tidak enak menanyakan!”
Diam-diam hati Thian-hi, pikirnya; Ing Si-kiat ternyata sedang menyelidiki asal usulku terang memang sekongkol dengan Tan-siangkok. Tapi entah apa yang sedang hendak mereka lakukan.
Tan-siangkok mengerutkan alis, katanya, “Tio Gun itu memang cukup menyebalkan, ilmu silatnya benar-benar hebat, Baginda kelihatannya sangat sayang dan bangga kepadanya.
Sebetulnya Komandan Gi-lim-kun dijabat oleh adikmu, kini berada di tangannya, kukira urusan akan lebih menyulitkan kita!”
Bercekat hati Thian-hi, batinnya, “Ternyata mereka hendak berontak, tak heran Ma Gwat-sian bilang kecuali peristiwa kehilangan barang-barang mestika itu, Thian-bi-kok ini masih punya bencana lain yang bakal terjadi.”
“Entah bagaimana dengan putramu itu” terdengar Ing Si-kiat bertanya….
Tan-siangkok mendengus, sahutnya, “Dia kurang becus, tuan putri melirik pun tidak mau melihat dia!”
“Menurut berita yang kuperoleh dari Gi-lim-kun, katanya tuan putri sangat simpatik terhadap Tio Gun, apalagi sebelum ini mereka sudah pernah berjumpa.”
“Apa benar-benar?” Tan-siangkok menegas. Ing Si-kiat manggut-manggut.
Thian-hi menjadi was-was, ternyata diantara anggota pasukan Gi-lim-kun itu ada mata2 pihak musuh, tak heran orang itu tempo hari begitu leluasa melenyapkan dirinya. Memang pejabat komandan Gi-lim-kun yang terdahulu adalah adik kandung Ing Si-kiat, maka tak perlu dibuat heran bahwa diantara mereka masih ada terdapat bawahan kepercayaannya. Setelah kembali nanti aku harus mengadakan razia dan pembaharuan di dalam tubuh Gi-lim-kun.
Tan-siangkok berjalan mondar-mandir, katanya, “Tio Gun ini lebih menakutkan dari Ma Bong- hwi, bagaimana juga orang ini harus dilenyapkan.” “Kelihatannya Baginda juga semakin ceroboh, mengangkat orang tanpa tahu asal usul orang itu, hanya mengandal kesenangan hati belaka.”
Tan-siangkok mendengus dua kali, katanya, “Apakah dia tidak mencari tahu siapakah dalang pencurian barang-barang mestika itu?” — pada perkataannya penuh rasa cemooh dan membanggakan diri sendiri. Merandek sejenak lalu melanjutkan, “Tuan putri justru sangat teliti dan cermat, Goan-mo anakku itu kiranya tidak memenuhi seleranya! Jah, apa boleh buat!”
“Kalau Tio Gun disingkirkan kukira putramu masih punya harapan. Angkat dia sebagai komandan Gi-lim-kun, tanggung kelak ia bakal menonjol diantara rekan2nya.”
Tan-siangkok berhenti lalu mendongak memandang atap rumah, di lain saat ia mondar-mandir lagi, katanya: .,Toh-ciatsu situa renta itu tak perlu ditakuti, dulu hanya Ma Bong-hwi seorang, dia pegang kekuasaan militer, sekarang tambah lagi seorang Tio Gun.”
“Sepak terjang Tio Gun selama ini rada mencurigakan, entah darimana Ma Bong-hwi menemukan bocah keparat itu.”
Tan-siangkok berhenti lagi memandang Ing Si-kiat. katanya, “Jika tiada Ma Bong-hwi dan tak ada Tio Gun pula, apa pula yang hendak kau lakukan?”
Ing Si-kiat tertawa, sahutnya, “Meskipun Ma-ciangkun berdinas luar, tapi kekuatan tentaranya jauh lebih kuat dari aku, apalagi bala tentaranya juga jauh lebih terlatih, melulu Tio Gun dan ratusan pasukan Gi-lim-kun tak perlu dibuat takut.”
“Jikalau tiada mereka berdua, pasti Toh-ciatsu takkan berani banyak bacot. Tatkala itu putraku bakal dapat menumpas huru-hara dan mendirikan jasa dan memperoleh pahala, jikalau kita melamar putrinya, Baginda tak bisa tidak mesti menerima pinangan ini.”
Thian-hi semakin jelas akan duduk perkara sebenar-benarnya. Kiranya Tan-siangkok sedang berusaha supaya putranya menikah dengan tuan putranya menikah dengan tuan putri, supaya kelak dapat mewarisi kedudukan raja, dengan jalan yang licik tapi cukup nyata ini tentu tiada seorangpun yang tidak akan tunduk.
Ing Si-kiat tertawa, katanya, “Baginda raja tentu akan setuju!”
Tan-siangkok juga tertawa senang, ujarnya, “Kali ini tidak mungkin menggunakan ular lagi. Tak kukira Tio Gun itu pandai menangkap ular!”
Ing Si-kiat berpikir sekian lama, katanya, “Bagaimana menurut pendapat Tan-siangkok?”
Tan-siangkok menyeringai sinis, dari atas rak buku diambilnya alat2 tulis terus menulis apa-apa di atas telapak tangannya. Melihat huruf2 itu Ing Si-kiat tertawa, katanya, “Akupun punya maksud demikian.” — terdengar gelak tawa mereka yang keras kumandang.
Thian-hi tidak tahu apa yang tengah mereka lakukan, tapi samar-samar ia dapat meraba tentu mereka merencanakan sesuatu yang bertujuan jahat, entah tipu daya jahat apa lagi yang sedang mereka rancang.
Terdengar Ing Si-kiat berkata, “Cara ini dapat membabat rumput sampai ke-akar2nya, cukup kita hadapi Tio Gun itu dengan cara yang lebih hati-hati saja!” Tan-siangkok bergelak tawa, ujarnya, “Untuk pelaksanaannya kuharap Ing-ciangkun membantu sekedarnya.”
“Ah, kenapa Tan-siangkok begitu sungkan? Untuk pelaksanaan rencana ini harap Tan-siangkok memikirkan lebih matang.”
“Urusan jangan terlambat, pukul besi mumpung masih panas, Tio Gun baru saja diangkat menjadi panglima, kesempatan inilah yang paling baik untuk melaksanakan rencana itu.”
“Menurut maksud Tan-siangkok….” “Besok saja!”
“Besokpun baik, tapi kalau rencana kali ini gagal belakang hari tentu bakal menimbulkan bibit bencana.”
“Besoklah saatnya pembukaan dasar. masa kita tidak berlaku hati-hati. Bagaimana menurut pendapat Ing-ciangkun mengenai pasukan yang berada di Bi-seng itu?”
“Yang aku kuatirkan hanyalah Ma Bong-hwi seorang, orang lain sedikit pun tidak kupandang sebelah mataku.”
Lalu mereka bergelak tawa sambil berjabatan tangan. Ing Si-kiat lalu bangkit dan minta diri, katanya, “Sekarang aku minta diri, rencana kerja di dalam seluruhnya tanggung jawab Tan- siangkok, mengenai penjagaan diluar akulah yang akan mengatur.”
Tan-siangkok bangkit mengantar tamu, sahutnya, “Aku tak menahanmu lebih lama lagi, waktu terlalu mendesak, harap Ing-ciangkun banyak membantu….”
Ing Si-kiat tertawa sambil manggut-manggut, mereka berjajar keluar pintu. Thian-hi berkelebat di atas wuwungan, dilihatnya Tan-siangkok mengantar Ing Si-kiat sampai di pintu luar.
Thian-hi menghirup napas panjang, setelah meneliti keadaan sekelilingnya, sebat sekali tubuhnya melesat terbang keluar dari lingkungan Gedung Tan-siangkok ini, terdengar anjing di bawah meng-gonggong2 bersahutan Terpaksa Thian-hi mendekam di atas pojokan atap tanpa berani bergerak, seluruh gedung menjadi ribut dan ramai, tak lama kemudian baru kembali menjadi sunyi.
Sementara itu hati Thian-hi masih menerawang, entah tipu daya apa yang sedang direncanakan oleh kedua orang itu, dalam pada itu ringan sekali kakinya melangkah bagai terbang berlari menuju keistana raja.
Dari kejauhan tampak istana yang megah menjulang tinggi, tanpa terasa terbayang olehnya muka tuan putri yang sedih menangis, pelan-pelan ia menghela napas.
Begitu sampai diistana Thian-hi langsung kembali ke kamarnya. Ternyata Ma Bong-hwi sedang menunggu disana.
Begitu melihat Thian-hi pulang segera Ma Bong-hwi memapak maju serta tanyanya, “Lote, kau menyelidik ke gedung Siangkok bukan?”
Thian-hi tidak menduga hari sudah begitu malam namun Ma Bong-hwi masih berada di tempatnya, sebagai jawaban ia manggut-manggut saja “Lote,” kata Ma Bong-hwi, “Bukan aku suka cerewet sebetulnya tindakanmu ini terlalu bahaya, di dalam gedung Tan-siangkok ada memelihara ratusan anjing2 galak, sekali jejakmu konangan. pasti kau bakal menghadapi banyak rintangan.”
“Ucapan Toako memang benar-benar, malam2 Toako kemari entah ada urusan apa?”
“Bukan keperluanku adikku yang mengundang kau kesana, ada omongan yang perlu dikatakan kepada kau.”
Berdetak jantung Thian-hi, Ma Gwat-sian mencari aku? Malah ada urusan lagi. kelihatannya urusan yang cukup genting!
Thian-hi terlongong. Ma Bong-hwi mendesak, “Marilah sekarang juga berangkat, dalam istana tiada pekerjaan penting, malam ini kau menginap dirumahku saja,”
Apa boleh buat Thian-hi segera ganti pakaian, setelah memberi pesan kepada anak buahnya bersama Ma Bong-hwi naik kuda terus berangkat.
Tiba dipintu gerbang kota, kebetulan bersua dengan Ing-ciangkun. Begitu melihat mereka berdua Ing Si-kiat segera maju menyapa, “Kiranya saudara Ma dan Tio-lote! Hendak kemana kalian?”
“Ternyata Ing-ciangkun, Ing-ciangkun selalu berdinas ronda sungguh tidak mengenal lelah, kami hendak pulang kerumah Ma-ciangkun.”
“Tentu kalian punya urusan penting! Silakan!” segera ia perintahkan membuka pintu. Cepat Thian-hi berdua mencohgklang kuda keluar. Langsung mereKa menuju ke Bi-seng. ditengah jalan Ma Bong-hwi menutur bahwa Siau-hou sangat kangen bertemu dengan Thian-hi. Thian-hi tertawa senang, setelah sampai langsung mereka masuk keruang belakang.
Thian-hi segera menyampaikan salam kepada Ma-hujin serta, menjumpai Siau-hou. Tak lama kemudian tampak Ma Gwat-sian juga keluar. Setelah bercakap-cakap sekadarnya Ma Bong-hwi dan istrinya minta diri sambil menyeret Siau-hou masuk ke dalam.
Ma Gwat-sian unjuk senyuman manis, Thian-hi membalas dengan senyuman pula. Kata Thian-hi, “Kudengar katanya kau punya urusan dengan aku, apa benar-benar?”
“Benar-benar. mungkin bagi kau cukup penting, sebab guruku sudah tahu sebab musabab kau sembunyi dinegara kecil ini, tak lain untuk menghindari bencana bukan?”
Terkejut Thian-hi, berubah air mukanya, katanya tersekat, “Gurumu….”
“Beberapa hari yang lalu guruku baru pulang dari perjalanannya ke Tionggoan, beliau rada kurang percaya akan sepak terjangmu dulu, beliau berkata kau bukan orang macam itu. Tetapi kenyataan kau sembunyi di tempat ini!’
“Adakah orang lain pula yang mengetahui?”
“Kau tak usah gelisah.” ujar Ma Gwat-sian, “Hanya guruku dan aku saja yang tahu. Menurut guruku hanya ingin mencari tahu dulu, apakah berita itu dapat dipercaya.” Thian-hi mandah tertawa ewa, seolah-olah ia mendapat firasat apa-apa sampai pada tahap sekarang agaknya aku tidak usah pedulikan segala tetek bengek lagi. katanya, “Adakah gurumu membicarakan keadaan di Tionggoan?”
Sekian lama Ma Gwat-sian pandang Thian-hi lalu katanya tertawa, “Situasi di Tionggoan sangat kalut, katanya banyak gembong-gembong iblis bermunculan membuat huru hara…. Tiada seorang toKoh kosen dari aliran lurus yang mampu mengatasi gelombang huru hara ini.”
Thian-hi manggut dengan maklum, tahu ia bahwa Kiu-yu-mo-lo sudah lolos, tentu dia bakal menimbulkan keonaran, entah apakah Tok-sim-sin-mo juga sudah berhasil lolos, kalau dihiturg waktunya, perjanjian Soat-san-su-gou dengan Bu-bing Loni bakal habis waktunya, entah apakah beliau bisa mencari dirinya di tempat ini.
“Apakah kau masih punya sanak kadang di Tionggoan?” demikian Ma Gwat-sian main selidik. “Guruku masih hidup, aku punya seorang taci angkat, entah bagaimana keadaan mereka.”
Ma Gwat-sian menunduk, sesaat kemudian bertanya, “Orang lain adakah yang membuat hatimu rindu padanya?”
“Memang banyak orang di Tionggoan menyangka aku ini sesuai dengan berita yang tersebar luas itu, namun banyak pula orang-orang yang menanam budi kepada aku, selamanya hatiku terkenang dan berterima kasih kepada mereka.” demikian Thian-hi berdiplomasi.
Ma Gwat-sian tertawa, katanya, “Thian-bi-kok ini selamanya melarang orang asing menyelundup kemari, memang orang luar tidak akan mampu datang kemari. Kalau kau diketahui datang dari Tionggoan pasti kau akan mengalami kesulitan.”
“Terima kasih akan peringatanmu ini, aku pun terpaksa datang kemari….”
“Asal guruku tidak membuka rahasia ini. selamanya tidak akan ada orang tahu.”
“Kukira tidak lama lagi aku harus meninggalkan tempat ini, kedatanganku ini tidak punya perhitungan untuk menetap selamanya disini.”
Ma Gwat-sian rada melengak, katanya, “Benar-benar kau hendak pergi?”
“Ya, aku tidak bisa menetap terlalu lama disini. Banyak urusan yang harus kukerjakan di Tionggoan, tak bisa aku menyembunyikan diri saja disini.”
“Apa kau tidak takut? Apakah kau unggulan melawan mereka?” “Seumpama tidak unggulan aku juga harus pulang ke sana.”
“Kau tak usah kuatir,” ujar Ma Gwat-sian lirih, “Aku bisa minta guruku bantu kau, asal beliau mau, kau tentu tak perlu kuatir lagi. Ketahuilah gunung gemunung di belakang Thian-seng yang bernama Thian-ting itu, banyak bersemajam orang-orang aneh, guruku adalah orang aneh diantara orang-orang aneh itu.”
“Ada kalanya suatu urusan yang tidak bisa diselesaikan dengan bantuan orang luar, apalagi gurumu sekarang sedang menyelidiki keadaanku, betapapun tak mungkin membantu, untuk kebaikan ini, aku terima setulus hati.” “Sekarang kau tak usah gelisah, segalanya akulah yang mengatur, guruku tidak akan bertindak terhadap kau.”
“Terima kasih akan kebaikanmu ini.” ujar Thian-hi tertawa dibuat-buat. “Tak perlu sungkan, bagaimana keadaanmu di istana?”
“Cukup baik!”
“Tadi pagi engkohku mengundang kau kemari, kenapa kau tak mau datang?”
“Aku baru saja terima jabatan, disana ada urusan pula maka tiada senggang kemari.” “Hun-toako,” ujar Ma Gwat-sian menunduk, suaranya lirih, “Aku merasa….seolah-olah kau
segan bertemu dengan aku!.”
“Tak ada kejadian itu!” cepat Thian-hi menyahut gugup.
“Kau tak usah kelabui aku,” ujar Ma Gwat-sian lirih, “aku sudah tahu! Tapi aku tidak tahu kenapa kau tak sudi bertemu dengan aku!”
“Mana ada kejadian begitu, hubungan kami seperti saudara sekandung, mana bisa aku tak sudi bertemu dengan kau!”
Ma Gwat-sian angkat kepaja mengawasi Thian-hi dengan seksama, katanya, “Coba beritahu aku apakah karena urusan tuan putri, kemarin siang kau keluar pesiar bersama tuan putri, pulangnya air muka tuan putri rada berbeda dengan keadaan biasanya, hari ini kudengar kabar dia jatuh sakit lagi! Kenapa?”
Sungguh gugup dan gelisah hati Thian-hi, kata-kata Ma Gwat-sian memang tepat dan sulit untuk dielakkan, terpaksa ia menjawab, “Tiada kenapa, di atas gunung kami berjumpa dengan dua ekor biruang yang tinggi besar, dia ketakutan tapi biruang itu berhasil kubunuh.”
“Kukira bukan itu sebabnya, aku tahu watak tuan putri, tak mungkin karena gangguan kedua ekor biruang itu lantas menjadi murung, kedua ekor biruang itu tak perlu dibuat heran, semestinya dia perintahkan orang untuk mengangkutnya pulang serta memberikan pujian muluk2 kepada kau, tapi semua ini tak pernah terjadi.”
“Tapi kami memang benar-benar disergap oleh kedua ekor biruang itu.” Thian-hi meng-ada2 membela diri.
“Jadi kau sudah mengakui bukan karena kedua ekor biruang itu sehingga tuan putri bersikap dingin dan murung. Pasti ada kejadian lain yang lebih penting lagi, kalau tidak tak mungkin dia begitu sedih sampai jatuh sakit!”
“Tuan putri adalah putri tunggal Baginda, kelak dialah yang bakal mewarisi kedudukan ayahnya, ada omongan yang tidak bisa ku utarakan.”
“Beritahu kepadaku,” tiba-tiba Ma Gwat-sian menyela, “Apakah dia. jatuh hati kepada kau?”
Bergetar tubuh Thian-hi, kepalanya terangkat ia mengamati Ma Gwat-sian, katanya, “Kenapa kau bisa memikirkan ke arah itu?” “Betul bukan?” ujar Ma Gwat-sian bangkit berdiri sambil tertawa-tawa, “Kudengar dari engkohku katanya kau pernah bertemu dengan dia dalam istana, tentu sikapnya sangat simpatik terhadap kau. Kau jauh lebih kuat dan baik dibanding putra Tan-siangkok. Kau dapat menduduki jabatanmu sekarang sebagai Komandan Gi-lim-kun kukira dia punya andil yang cukup besar.”
Thian-hi menjadi sebal, segera ia mengalihkan pembicaraan, katanya, “Tadi baru saja aku menyelidiki ke gedung Tan-siangkok. Disana kulihat Ing-ciangkun sedang mengadakan perundingan rahasia.”
“0,” Ma Gwat-sian mengiakan, katanya, “Mereka sedang berunding cara bagaimana untuk menghadapi kalian bukan?”
“Akhirnya Tan-siangkok menulis entah apa di atas telapak tangannya, dia tidak membacakan, jadi akupun tidak tahu apa sebenar-benarnya rencana mereka.” — lalu secara singkat jelas ia menceritakan pengalamannya kepada Ma Gwat-sian.
Ma Gwat-sian berpikir, katanya, “Kelihatannya mereka sudah mempersiapkan segalanya, menggunakan kekuatan tentara lagi untuk menghadapi kau dan engkohku. Tentu besok mereka akan mengadakan Hong-bun-yam (perjamuan) mengundang kalian berdua.”
Thian-hi juga berpikir demikian, namun ia bertanya, “Tapi kenapa menggunakan cara halus dan mempersiapkan kekuatan lagi?”
“Untuk perjamuan itu kukira mereka sudah mempersiapkan arak beracun, sepihak menggunakan tipu daya yang licik. dipihak lain sudah mempersiapkan bala tentara, bila rencana licik terbongkar mereka menggunaKan kekuatan pasukannya untuk menumpas kamu.”
“Kiranya begitu!” ujar Thian-hi bingung.
“Tidak bisa tidak kalian harus hadir dalam perjamuan itu, kalau tidak pergi berarti kalian sudah secara terang-terangan berdiri dipihak yang berlawanan. Apa-lagi Ing-ciangkun juga pasti hadir, mungkin pula Toh-ciatsu juga diundang, kalau kalian pergi jangan sekali2 minum arak.
Thian-hi manggut-manggut. katanya, “Mereka menyiapkan tentara, cara bagaimana mengatasinya?”
“Urusan itu aku tidak tahu dan bukan bidangku, silakan kau tanya engkohku saja. Perjamuan besok malum itu sangat penting. merupakan titik tolak dari segala keselamatan negara, jangan sekali2 dihadapi secara serampangan. Selamanya engkohku anggap Ing Si-kiat sebagai sahabat lama, Ing Si-kiat tidak akan mencelakai jiwanya, tepat pada waktunya harap kau suka menjaga dan melindungi dia!”
“Sudah tentu aku akan berusaha sekuat tenaga dan kemampuanku betapapun aku pasti melindungi engkohmu,”
“Tuan putri jatuh sakit, bagaimana menurut maksudmu?”
Melihat Ma Gwat-sian menyinggung persoalan itu pula. Thian-hi tertawa, sahutnya, “Mati atau hidup besok malam susah diketahui, kenapa membicarakan urusan itu!”
Ma Gwat-sian tersenyum, ujarnya, “Sekarang sudah larut malam, pergilah tidur, besok kau harus menghadiri Hong-bun-yam itu!” — habis berkata segera ia mengundurkan diri. Thian-hi berdiri mengantar Ma Gwat-sian, setelah menyendiri terasa hatinya hambar entah berapa lama ia menjublek ditempatnya. mendadak terbayang raut wajah Ham Gwat, lalu terbayang pula akan Su Giok-lan, tak lama lagi teringatlah kepada Sutouw Ci-ko, demikian juga bentuk wajah Ka-yap Cuncia yang welas asih itu terbayang dalam benaknya. Kemana pula jejak Lam-siau Kongsun Hong sang guru berbudi berkelebat juga dalam otaknya.
Tak lama kemudian didengarnya. langkah kaki mendekat, tampak Ma Bong-hwi mendatangi, Thian-hi tersentak dari lamunannya, kata Ma Bong-hwi tertawa, “Tadi Gwat-sian sudah menjelaskan seluruhnya kepada aku sungguh aku hampir tak mau percaya!”
“Tiada jeleknya Toako percaya untuk kali ini. Jikalau Tan-siangkok benar-benar mengadakan Hong-bun-yam itu, bagaimana Toako hendak menghadapinya?”
“Mengandal Ing Si-kiat, aku tidak perlu takut, kekuatan pasukannya jauh lebih lemah dari aku. jikalau tidak pulang pada waktu yang ditentukan. diapun takkan bisa hidup lebih lama lagi!”
“Toako hendak menggunakan kekerasan atau cara halus?”
“Gwat-sian minta aku tidak membocorkan rahasia ini. selamanya aku patuh akan nasehatnya.
Demikian juga untuk hal ini, kau sendiri bagaimana pendapatmu?”
“Jika berada dalam gedung Tan-siangkok, bila musuh kuat dan pihak kita lemah, tindakan yang utama adalah kita harus berdaya untuk meloloskan diri, setelah lolos baru kita pikirkan cara menghadapinya!”
Ma Bong-hwi tenggelam dalam pikirannya, katanya, “Sedianya aku sudah siap menghantamnya untuk hancur bersama, sekarang aku menjadi beragu malah, rasanya tiada harganya hancur bersama mereka, apakah kau punya cara untuk meloloskan diri itu!”
“BUat kita tidak minum arak beracun mereka tidak akan mampu berbuat apa-apa atas diri kita. Kalau tepat pada waktunya kita belum keluar dari gedung Tan-siangkok, akan kuutus seseorang menggunakan perintah raja untuk menarik mundur kita berdua secara kilat. Bila mereka sedikit lena tentu akan terjebak ke dalam tipu daya ini.”
“Ini merupakan salah satu cara. Lebih baik kita bekerja menurut gelagat!”
Begitulah setelah bercakap-cakap sekadarnya. mereka masuk istirahat. Thian-hi mulai berlatih dan samadi di dalam kamarnya. Ka-yap Cuncia menyuruh aku kemari untuk terlatih Wi-thian-cit- ciat-sek, sekarang tiga bulan sudah berselang, sedikit pun aku belum memperoleh hasil, Tionggoan sudah semakin kemelut, bagaimana aku bisa hidup tentram disini.
Lalu dikeluarkan buku pelajaran Wi-thian-citciat-sek, dengan seksama ia memeriksa dan meneliti meski pun dalam kamarnya. petang gelap, namun gambar2 Wi-thian-cit-ciat-sek itu dapat dilihat dan dibacanya secara jelas, otaknya bekerja. Tahu-tahu cuaca sudah mulai terang. Pagi2 benar-benar Ma Bong-hwi sudah bangun, Thian-hi pun menyimpan Wi-thian-cit-cia-sek lalu berangkat ke Thian-seng.
Sebagai komandan Gi-lim-kun yang berkuasa di istana Thian-hi tidak perlu piket setiap pagi, setelah upacara berakhir. Tan-siangkok melangkah masuk ke dalam kamar kerja Thian-hi sembari berseri tawa, katanya, “Tio-ciangkun. Tio-ciangkun seorang panglima yang gagah perwira, merupakan panglima tinggi yang paling muda dan berani dalam sejarah Thian bi-kok kita, hari ini aku mengadakan perjamuan untuk merajakan pengangkatan Bu-wi Ciangkun, kuundang pula para pembesar istana. harap kau sendiri tidak menampik untuk hadir dalam perjamuan nanti malam.” Cepat Thian-hi menjawab, “Siauciang baru saja berkedudukan di istana, Tan-siangkok begitu tinggi menghargai kami, sungguh kami tidak berani terima.”
Sementara itu Ing Si-kiat juga ikut melangkah maju, katanya, “Tio-lote merupakan tunas harapan bangsa kita, Tan-siangkok dan aku sering berdebat seru sampai kepala panas, namun betapapun kita merupakan satu rumpun, satu keluarga dalam satu negara. Malam nanti aku pun bersedia hadir, demikian juga Ma-ciangkun. sedang Toh-ciatsu menolak. maklum dia sudah tua dan berpenyakitan lagi. Banyak pula pembesar lain yang akan hadir semua. Harap Tio-ciangkun tidak menolak.”
Thian-hi tahu, katanya, “Para pembesar semua adalah angkatan yang lebih tua, kalau aku tidak hadir berarti aku tidak tahu penghargaan, baiklah nanti aku hadir, sebelumnya kunyatakan banyak terima kasih terlebih dulu kepada Tan-siangkok.”
Tan-siangkok tertawa lebar, katanya, “Tio-ciangkun merupakan tunas harapan kita semua, masih begitu muda sudah menjabat kedudukan begitu tinggi, kelak pasti punya harapan lebih tinggi dari kita semua. Tak usah sungkan-sungkan!” lalu dengan berseri tawa bersama Ing Si-kiat mengundurkan diri.
Ma Bong-hwi lantas melangkah masuk, Thian-hi tersenyum penuh arti, kata Ma Bong-hwi, “Sungguh tak nyana, ternyata seperti dugaan semula. Baik aku pulang dulu menyiapkan segala sesuatunya!”
Thian-hi mengantar Ma Bong-hwi sampai di ambang pintu, tak lama kemudian datang seorang Thaykam memberi lapor bahwa Baginda raja mengundangnya untuk bicara.
Diam-diam bergejolak hati Thian-hi, entah ada urusan apa Baginda mengundang dirinya, tersama Thaykam itu ia ikut masuk ke dalam istana.
Setelah menyembah kepada Baginda raja, tampak olehnya sang raja sedang murung dan bersedih. katanya, “Setelah pergi bersama kau tuan putri lantas jatuh sakit tanpa mau bicara, sebetulnya apa ang telah kalian alami?”
Bercekat hati Thian-hi, sesaat ia menjadi bingung, akhirrja menjawab, “Mungkin hamba yang kurang becus menjaga tuan putri sehingga beliau ketakutan, kami disergap dua ekor biruang besar di atas gunung, mungkin saking takut itulah sehingga beliau jatuh sakit.”
Baginda goyang2 tangan, ujarnya, “Tidak mungkin, nyali tuan putri tidak sekecil seperti apa yang kau katakan, tak mungkin hanya karena urusan sekecil ini menjadi ketakutan dan sakit. Sejak kecil dia jarang sakit, menurut tabib katanya punya janggalan hati, itulah sakit rindu, sebetulnya apa yang telah kalian alami lagi?”
“Hamba tidak tahu sebetulnya tiada kejadian lain yang luar biasa.” Baginda menarik muka, katanya rada gusar, “Apa! Kau tak mau bicara?” “Apakah tuan putri sekarang sudah siuman?”
“Dia baik-baik saja, hanya tidak mau berkata atau bersuara, selalu terlongong-longong ngelamun, coba kau bicara terus terang, aku tidak akan salahkan kau.”
“Apakah Baginda dapat mengijjnkan hamba bertemu dengan tuan putri?” “Kau….” Baginda melengak. Mendadak ia seperti tersadar, dengan seksama ia amat-amati Thian-hi, sesaat kemudian berkata, “Berapa umurmu sekarang?”
“Hamba berusia dua puluh satu!” “Apakah kau sudah punya calon jodoh?”
Tergetar jantung Thian-hi, setelah terlongong ia menjawab, “Belum!”
Baginda manggut-manggut tak bicara lagi. Thian-hi pun tidak bersuara lagi, hatinya menjadi gelisah, pertanyaan Baginda ini merupakan suatu pernyataan yang paling dikuatirkan untuk diterima. Diam-diam ia berdoa semoga tuan putri dapat menyelami perasaannya.
“Sekarang aku tahu, kau boleh keluar. Urusan ini aku tidak salahkan kau.”
Thian-hi menyembah lalu mundur, sungguh ia tidak bisa melukiskan bagaimana perasaan hatinya saat itu.
Baru saja cuaca menjadi gelap Tan-siangkok sudah mengirim utusan mengundangnya, sejak siang Thian-hi sudah berpesan seperlunya kepada anak buahnya, segera ia naik kuda terus berangkat bersama utusan itu. Gedung Tan-siangkok dihias begitu indah dan megah, ramai luar biasa, ratusan pembesar2 militer dan sipil sudah hadir, ruang yang besar itu menjadi penuh sesak. Tak lama kemudian Ma Bong-hwi juga sudah datang, banyak pembesar mengelilingi Thian-hi, Thian-hi menjadi keripuhan berbagai pertanyaan dan sanjung puji yang berkelebihan, kepala menjadi pusing, namun dengan tersenyum sedapat mungkin ia layani mereka.
Tan-siangkok menyeruak orang-orang yang merubung itu terus mendekati Thian-hi, katanya, “Kedatangan Tio-ciangkun sungguh merupakan suatu kehormatan bagi aku orang tua ini.”
“Demi permintaan Siangkok Tayjin, mana Siau-ciang berani tidak hadir. Siangkok Tayjin mengadakan perjamuan bagi diriku, sungguh membuat aku malu dan terima kasih, budi kebaikan Siangkok ini sungguh sulit aku membalasnya.”
Tan-siangkok bergelak tawa, ujarnya, “Tio-ciang-kun masih muda ganteng lagi, setiap orang akan kagum dan memujimu, kalau punya gadis perawan sungguh ingin rasanya kau kuambil mantu.”
Seluruh hadirin ikut bergelak tawa akan kelakar ini, Thian-hi sendiri menjadi kikuk, diam-diam hatinya rada dongkol. Tak lupa Tan-siangkok pun sekedar basa basi dengan Ma Bong-hwi, akhirnya mereka dipersilahkan duduk di kursi teratas. Tan-siangkok sendiri duduk di sebelah kanan Thian-hi, di sebelah yang lain duduk Ma Bong-hwi.
Setelah seluruh hadirin menempati tempat duduknya masing-masing, tampak serombongan gadis2 aju membawa poci arak dan cawan berbondong-bondong tersebar ke seluruh ruangan menyuguhkan hidangan pertama.
Segera Thian-hi berdiri dan berkata kepada Tan-siangkok, “Siangkok, maaf aku tidak bisa minum arak!”
Tan-siangkok lekas bangun berdiri pula, katanya, “Kenapa Tio-tiiangkun begitu sungkan, apakah sengaja hendak membuat aku serba runyam!”
“Sebetulnyalah aku pernah berjanji di hadapan ibunda sebelum beliau ajal, selamanya tidak akan minum arak.” begitulah Thian-hi kemukakan alasannya. Tan-siangkok menjadi kewalahan, matanya melirik ke arah Ing Si-kiat, segera Ing Si-kiat bangun serta bertanya kepada Thian-hi, “Waktu ibundamu wafat entah berapa umur Tio- ciangkun?”
Thian-hi merandek, jawabnya, “Kira-kira empat belas tahun!”
“Nah tatkala itu Tio-ciangkun masih bocah kecil, sudah tentu ibunda Tiong-ciangkun melarang minum arak, sekarang Tio-ciangkun naik pangkat mendirikan pahala, usia sudah dewasa!”
“Tapi ibundaku….”
“Bagaimana kalau Baginda yang menganugrahi secawan arak?” tanya Ing Si-kiat mendesak.
Thian-hi menjadi bungkam, sebetulnya sengaja ia mengada2 menggunakan pesan ibunya untuk menolak, tapi pertanyaan Ing Si-kia+ ini membuatnya serba sulit, tidak bisa tidak ia harus minum, sesaat ia bingung dan berdiri terlongong.
Lekas Ma Bong-hwi bangkit serta menalangi. ujarnya, “Tan-siangkok, Ing-ciangkun sudahlah kenapa begitu bersitegang leher. Apalagi aku dan Tio-lote sudah melulusi permintaan adikku untuk tidak minum arak.”
Sesaat Ing Si-kiat tampak melongo, katanya, “Kenapa? Apa Ma-ciangkun juga tidak sudi minum arak?”
“Pesan adikku tidak bisa tidak harus kupatuhi. Bukankah Ing-ciangkun juga tahu hal ini.”
Apa boleh buat Ing Si-kiat menyeringai sinis. Selamanya Ma Bong-hwi sangat mematuhi setiap patah kata adiknya memang sudah diketahuinya dengan jelas. Sekarang Ma Bong-hwi bicara secara gamblang, diapun menjadi kewalahan.
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini, segera Tan-siangkok berkata, “Kenapa Ma- ciangkun tidak sudi minum arakku, apakah curiga dan merasa sirik terhadapku?”
“Ah, Siangkok berkelakar saja!”
“Biasanya aku tak senang mengurus segala urusan tetek bengek dalam keluarga, sehingga putra anjingku itu suka bersimaharaja di luaran. Tapi hari ini secara langsung biarlah aku mohon maaf sebesar2nya kepada Ma ciangkun di hadapan sekian orang-orang gagah, apakah Ma- ciangkun masih tidak sudi mencicipi arakku?”
Melihat orang sudah naik pitam Ma Bong-hwi mandah tersenyum saja, ujarnya, “Mana aku membenci dan sirik terhadap Siangkok, soalnya aku terpaksa.”
Tan-siangkok memberi isyarat dengan kedipan mata, seorang gadis pelayan segera menuang arak, tanpa banyak cincong lagi Tan-siangkok segera menyamber cawan arak di hadapan Thian-hi dan Ma Bong-hwi terus ditenggak habis. Para pembesar militer atau sipil lainnya beramai ikut angkat cawan dan tenggak habis arak masing-masing.
Tan-siangkok suruh kedua gadis pelayan yang lain menuang lagi dua cawan arak dipersembahkan kepada Thian-hi dan Ma Bong-hwi. Melihat tingkah laku Tan-siangkok ini semakin besar curiga Ma Bong-hwi, timbul kewaspadaannya, namun dalam hati ia berpikir: ‘mungkin Thian- hi dan adikku yang banyak curiga, belum lagi mereka jelas duduk perkaranya, mana mereka tahu bahwa arak ini mengandung racun! Sebaliknya bagi pandangan Thian-hi kelakuan Tan-siangkok itu malah mempertegas akan keyakinannya atas kelicikan orang. Untuk dirinya tiada halangan ia minum arak itu, karena Lwekangnya jauh mencukupi untuk menolak segala racun, tapi bagaimana dangan Ma Bong-hwi, bila dia ikut minum bukan berarti aku pun menyelakai jiwanya?’
Tan-siangkok tertawa lebar katanya sambil angkat cawan, “Para hadirin sekalian, marilah kita minum menyampaikan selamat kepada Tio-ciangkun.” — lalu ia angsurkan cawannya ke depan Hun Thian-hi.
Thian-hi pun angkat sebelah tangan, katanya, “Terima kasih akan kebaikan Tan-siangkok, baiklah dengan tangan kosong ini kuterima pemberian arak ini.” seperti orang menenggak arak tangannya terangkat ke depan mulutnya lalu mendongak.
Melihat Thian-hi dan Ma Bong-hwi mengukuh tidak mau minum arak, Tan-siangkok dan Ing Si- kiat saling pandang sebentar. Dengan sebuah lirikan beringas Tan-siangkok memberi isyarat, kedua gadis pelayan itu segera digusur ke belakang.
Bertaut alis Thian-hi, tak tahu ia apa yang akan diperbuat atas kedua gadis pelayan itu. Tapi dalam hati ia berkata; ‘akan kulihat bagaimana kau akan bertingkah, betapapun hari ini aku pantang minum setitik arak pun.’
Tak lama kemudian dua laki-laki menyanggah dua nampan perak maju menghadap ke hadapan Tan-siangkok, di atas nampan perak itu jelas terletak dua kepala kedua gadis pelayan tadi. Saking terperanjat Thian-hi sampai berjingkrak bangun.
Tan-siangkok berkata, “Kedua pelayan tidak becus tadi sudah kubunuh dan sekarang kupersembahkan kepada kalian!”
Ma Bong-hwi juga berubah pucat air mukanya.
Dari samping suara Ing-ciangkun berkata lantang, “Tan-siangkok terlalu banyak minum!”
Dengan mengunjuk senyum lebar, Tan-siangkok menggapai dua pelayan lain yang membawa poci dan cawan pula.