Bab 14
Dengan saksama Hun Thian-hi memandang ke depan nan jauh sana, dalam hati ia menerawang, betapapun aku harus melihat-lihat situasi dan keadaan kota di depan itu. Begitulah melalui gili2 sawah ia terus maju ke depan, langsung menuju kekota. Tak lama kemudian ia sudah tiba diambang pintu kota, tamtak orang berlalu lalang dengan ramainya, kiranya itulah sebuah kota yang cukup besar. Sambil celingukan kekanan kiri seperti orang desa yang pertama kali masuk kota Hun Thian-hi maju terus ke depan melihat-lihat keadaan kota kuno yang terasing dari dunia luar ini.
Tiba-tiba dilihat orang-orang yang berlalu lalang dikejauhan menjadi ribut dan berlari-lari minggir kedua samping jalan, tampak sebarisan sepasukan seragam hijau membedal kudanya mendatangi bagai terbang. Cepat-cepat Thian-hi juga ikut menyingkir kepinggir, namun sekilas dilihatnya tak jauh di depan sana seorang anak kecil tengah berlari ditengah jalan, tanpa banyak pikir lagi segera ia memburu maju menarik bocah kecil itu, namun saat mana juga barisan berkuda itupun sudah tiba, baru saja Thian-hi hendak gunakan Ginkangnya untuk melesat berkelit, mendadak teringat akan pesan Ka-yap Cuncia, supaya orang lain tidak tahu bahwa dia seorang persilatan, orang-orang yang berkerumun disekitar jalanan itu menjadi menjerit ngeri dan gempar, tak ampun lagi Thian-hi keterjang ke depan, meminjam daya terjangan ini ia menggelundung kesamping sambil mengempit bocah itu.
Kuda itu lantas berdiri dengan kedua kaki belakangnya sambil bebenger panjang. penunggangnya tak kuasa mengendalikan kudanya lagi terus lompat turun. terpaksa rombongan berkuda itu harus berhenti semua.
Dari pinggir jalan sebelah sana memburu seorang gadis dengan muka pucat, katanya kepada Hun Thian-hi. “Banyak terima kasih akan pertolonganmu!” sekali tarik ia terus bopong bocah itu terus bawa lari dan menghilang dipagar manusia yang menonton dipinggir jalan.
Belum lagi Thian-hi sempat inenjawab, tiba-tiba didengarnya sebuah bentakan caci maki, segulung angin menerpa tiba mengarah mukanya, baru saja ia hendak berkelit tapi kuatir diketahui ia bisa main silat terpaksa pura-pura terhujung mundur dan tepat sekali terhindar dari serangan keras yang mengarah mukanya. Melihat lecutannya tidak mengenai sasarannya, orang itu semakin marah, maju setapak ia ayun pula cambuknya menghajar kepada Thian-hi.
Thian-hi tak berani, menghindar lagi, sekali ia berkelit tentu bisa mengunjuk kepandaiannya silat, dia pun tak berani mengerahkan tenaga untuk melawan sekali kena pecut, kontan terasa kulitnya pedas dan kesakitan, waktu matanya melirik baju yang dipakainya sudah kojak2 kena pecutan, kulithja pun membekas segaris merah darah,
Mendapat hasil orang itu semakin bernafsu, lagi-lagi pecutnya terayun tinggi, Thian-hi menjadi berangan, namun apa boleh buat betapapun ia tidak boleh mengunjuk kepandaiannya silat, terpaksa mandah saja kena lecut sampai babak belur. Sambil menghajar orang itu memaki, “Bocah keparat. Besar nyalimu berani menghalangi perjalanan rombongan dari istana, sudah bosan hidup ya?” — sembari maki pecutnya sekali lagi melecat dengan keras. Baru saja ia hendak meneruskan hajarannya, dari kejauhan tiba-tiba seseorang berteriak mencegah, “Hentikanlah!”
Dari luar kota sana mendatangi serombongan pasukan berkuda, penunggangnya mengenakan seragam Busu, Pemimpinnya yang terdepan adalah seorang laki-laki berperawakan tinggi besar berusia pertengahan, laki-laki tegap ini bertanya, “Apakah Tan Siangkok ada?”
Begitu melihat laki-laki pertengahan umur ini orang itu berubah air mukanya, cepat ia turunkan tangannya, sahutnya, “Ma-ciangkun, orang ini berani menghadang ditengah jalan, terpaksa harus kuhajar. Joli Siangya sebentar lagi bakal tiba.”
Thian-hi angkat kepala mengamati laki-laki pertengahan yang dipanggil Ma-ciangkun itu, tampak mukanya kereng sikapnya gagah, kedua biji matanya berkilat terang, naga-naganya membekal Lwekang yang cukup tinggi juga.
Ma-ciangkun itu mengamati Hun Thian-hi sebentar lalu berkata, “Kalau begitu jangan sampai mengejutkan Siangkok, orang ini biar kubawa pergi dia berani menghadang jalan, dihajar dua kali lecutan juga sudah cukup, bagaimana menurut maksudmu?”
Cepat orang itu membungkuk, sahutnya, “Cukup hanya sekecap kata saja Ma-ciangkun boleh bawa orang ini.”
Ma-ciangkun manggut kepala lalu mengulapkan tangan ke belakang, seorang bawahannya segera menuntun seekor kuda diberikan kepada Thian-hi, lalu katanya kepada Hun-hian-hi, “Mau kau ikut aku!”
“Terima kasih akan pertolongan Ma-ciangkun!” sahut Thian-hi sambil menekuk dengkul kirinya.
Agaknya Ma-ciangkun itu sudah biasa mendengar pernyataan terima kasih, cukup ia goyang tangan saja terus membedal kudanya ke depan. Sebetulnya Thian hi tidak mau ikut, namun melihat sikap Ma-ciangkun terpaksa ia naik ke atas kuda. Punggungnya ada dua jalur berdarah bekas kena cambukan tadi, semua orang dikedua pinggir jalan yang menonton menjadi bergidik dan mengelus dada, Thian-hi sendiri juga menjadi kikuk dan malu ditonton begitu banyak orang.
Setelah melewati beberapa jalan raja dan membelok kesebuah gang besar tibalah mereka di depan sebuah gedung mentereng, Ma-ciangkun segera melompat turun dari atas kuda, para Busu pengawalnya segera mertuntun kudanya masuk. Dengan langkah tegap dan cepat ia berjalan masuk naik undakan batu hijau, sikapnya sungguh gagah dan penuh wibawa.
Hun Thian-hi tidak tahu orang macam apakah Ma-ciangkun ini namun melihat sikapnya yang gagah dan perwira serta pakaiannya yang serba lengkap dengan pangkat militernya, tentu seorang pejabat tinggi pemerintahan, setelah turun dari kudanya ia berdiri menjublek tak tahu harus berbuat apa.
Setelah beranjak diundakan batu baru Ma-ciangkun seperti teringat kepadanya, segera ia merandek dan berpaling serta menggapai tangan, lalu berjalan masuk lagi.
Melihat orang memanggil dirinya dengan ragu-ragu akhirnya Thian-hi ikut beranjak masuk, setelah melewati pintu besar tibalah mereka disebuah ruang besar, Ma-ciangkun itu menanggalkan jubah perangnya seraya bertanya kepada Thian-hi, “Siapa namamu?” Thian-hi menjadi sangsi sesaat lamanya, menyebut nama aslinya pun tidak seorang pun yang bakal mengetahui, segera ia menjawab, “Aku bernama Hun Thian-hi!”
Ma-ciangkun manggut-manggut, ujarnya, “Sepak terjangmu dari kejauhan tadi sudah kulihat, kau cukup berani, dengan keadaanmu yang lemah itu kau berani menolong orang, sungguh tidak tahu diri. jikalau bukan karena bernasib baik sejak tadi kau sudah mampus.”
“Terima kasih akan budi pertolongan Ma-ciangkun!” segera Hun Thian-hi menjura.
Kelihatan Ma-ciangkun merasa simpatik terhadapnya, dengan tertawa ia berkata lagi, “Tak perlu ditaruh dalam hati. Kulihat kau seorang sekolahan bukan?”
Tujuan Hun Thian-hi justeru hendak menutupi keadaan dirinya yang sebenar-benarnya, segera ia manggut-manggut serta menjawab dengan hormat, “Benar, benar, aku seorang pelajar!”
Ma-ciangkun tertawa-tawa ujarnya, “Kulihat usiamu masih terlalu muda, apalagi seorang pelajar yang punya keberanian yang pantas dipuji, sungguh sukar didapat, sungguh aku ketarik kepada kau, adakah famili lain dirumahmu?”
“Ajah bundaku sudah lama wafat, hanya aku sebatangkara!”
“Itulah baik,” ujar Ma-ciangkun sesaat berpikir, “Kalau kau sudi, aku punya seorang putra, apakah kau mau jadi gurunya?”
Sungguh girang dan senang Thian-hi sukar dilukiskan. sungguh tak nyana olehnya baru pertama kali ia datang lantas mendapat tempat menetap yang cukup aman dan selamat, setelah terlongong sebentar ia menyaJhut, “Terima kasih kepada Ma-ciangkun!”
“Sejak hari ini juga kau kuangkat menjadi guru anakku dan menempati bilik sebelah barat sana. Aku bernama Ma Bong-hwi, lekas kau pergi ganti pakaian dan menemui aku diruang belakang.” — Selesai bicara terus tinggal pergi ke dalam.
Seorang pelayan segera membawa Thian-hi kesebuah kamar pakaian untuk mengganti bajunya yang sudah butut dan kojak2 tadi. tak lama kemudian ia sudah beranjak menuju keruang dalam.
Gedung panglima besar ini kiranya cukup mentereng dan megah, segala perabotnya serba mewah, seorang pelayan menuntunnya menelusuri serambi panjang yang belak-belok ditanam bunga, lalu memasuki sebuah bangunan besar yang terdiri dari sebuah ruangan besar. Tampak Ma Bong-hwi sudah menunggu disana bersanding seorang wanita pertengahan umur.
Selamanya Thian-hi belum pernah menghadapi keadaan serba megah dan angker ini, begitu memasuki kamar besar itu sikapnya menjadi prihatin dan kikuk, dengan laku hormat segera ia memberi hormat kepada Ma Bong-hwi dan wanita pertengahan umur itu.
Disamping perempuan itu berdiri seorang laki-laki berusia 12-an, begitu melihat Hun Thian-hi masuk segera berpaling dan bertanya kepada Ma Bong-hwi, “Ajah, apakah dia ini bakal guruku?”
Ma Bong-hwi manggut-manggut sambil berseri tawa, segera ia silakan Thian-hi duduk.
Tahu Thian-hi bahwa bocah laki-laki ini adalah bakal muridnya itu tanpa merasa ia awasi bocah ini dengan seksama, bocah ini cukup tampan dan jenaka, lincah lagi berani, sepasang biji matanya bundar bening mengawasi Hun Thian-hi tanpa berkedip, kelihatannya sangat nakal. Segera Ma Bong-hwi memperkenalkan Hun Thian-hi, bocah itu bernama Siau-hou, Perempuan pertengahan umur itu adalah istrinya.
Ma Siau-hou meninggalkan ibunya, maju mendekati ke depan Hun Thian-hi lalu berputar mengelilingi Thjan-hi seperti memeriksa sesuatu barang yang menarik perhatiannya. Hun Thian-hi menjadi jengah dan risi. Dalam hati ia membatin; ‘bocah ini cukup nakal, mungkin rada sukar mengatasinya.’
Segera Ma Bong-hwi mengucapkan kata-kata sapa-sapi sekadarnya serta menjelaskan keadaan dirinya. dengan patuh Thian-hi mengiakan saja. Akhirnya Ma Bong-hwi surah seorang pelayan mengantar Bun Thian-hi pergi memeriksa kamar dan ruang bukunya.
Di dalam kamar buku ini terletak sebuah harpa, terdapat sebuah meja tulis juga serta beberapa buah kursi, keadaan kamar tidurpun serba lengkap dan nyaman. Dengan menghela napas panjang pelan-pelan ia duduk di atas sebuah kursi, pelayan itu segera minta diri terus keluar pintu.
Diam-diam Thian-hi merasa was-was dan hampir tidak percaya akan pengalaman sendiri, sungguh suatu pengalaman yang cukup aneh dan menggetarkan sanubarinya.
Tengah ya melayangkan pikirannya, mendadak terdengar derap langkah lirih tengah mendatangi, diam-diam ia terkejut, namun ia cukup waspada untuk tidak mengunjuk kepandaian silatnya, terpaksa ia pura-pura tidak dengar saja.
Tak lama kemudian derap langkah lirih itu sudah sampai di depan pintunya, dengan acuh tak acuh Thian-hi pura-pura tidak dengar, di dalam kamar ia berjalan bolak-balik menggendong tangan membelakangi pintu kamar.
Sesaat kemudian baru ia memutar tubuh, tampak orang itu adalah putra Ma Bong-hwi yang bernama Ma Siau-hou itu, dia tengah longak-longok ke dalam. Begitu Thian-hi putar tubuh dan melihat dia, bocah itu menjadi kaget dan mengkeret sembunyi dibalik pintu, sesaat kemudian baru berani berjalan keluar.
Dengan tersenyum Hun Thian-hi segera menyapa, “Ada urusan apa Siau-hou? Kemarilah!”
Pelan-pelan Ma Siau-hou berjalan masuk, dengan terlongong ia awasi Thian-hi, sesaat kemudian baru buka suara, katanya, “Hun-losu (pak guru), aku datang untuk merundingkan suatu hal dengan kau!”
“Ada urusan apa boleh silakan silakan saja!”
“Aku tidak ingin membaca buku. dan kau pun tak usah ajarkan aku membaca?” “Lalu apa yang hendak kau pelajari?”
“Kau bawa sebatang seruling, kau ajarkan aku meniup seruling saja, belajar membaca aku tidak suka!”
Thian-hi merenung sesaat baru menjawab, “Kau mau belajar meniup seruling pun boleh, asal kau sudah belajar membaca lalu kuajarkan kau meniup seruling!”
“Tidak mau! Aku tidak punya begitu banyak tempo. Waktu yang lain aku harus berlatih silat” Thian-hi menjadi serba sulit, bocah ini sungguh sukar dilayani, akhirnya ia mengada2 saja,
“Waktu terlalu panjang untuk belajar, aku bisa mengatur waktumu secukupnya.” Ma Siau-hou miringkan kepala berpikir. tanpa bicara lagi segera ia berlari keluar. Diam-diam Thian-hi mengerut kening, entah cara bagaimana ia harus menghadapi kebinalan bocah ini.
Tak lama kemudian cuaca sudah mulai gelap, setelah makan malam Thian-hi teringat akan Wi- thian-cit-ciat-sek pemberian Ka-yap Cuncia itu, sembunyi di dalam kamar tidurnya pelan-pelan ia keluarkan buku itu dan dibaca di bawah penerangan pelita. Omslag buku tipis itu terbuat dari sutra halus, dengan saksama ia periksa dari halaman ke halaman terakhir, buku itu melulu memuat gambar2 manusia dalam berbagai bentuk dengan keterangan huruf yang cekak saja. Seluruhnya ada tujuh jurus gerak pedang serta empat posisi duduk. Keempat posisi duduk ini kelihatan rada baru, mungkin tambahan belum lama berselang. Diam-diam Thian-hi membatin mungkin inilah posisi duduk pelajaran dari ilmu Pan-yok-hian-kang,
Dengan saksama Thian-hi memeriksa dan mempelajari ajaran Wi-thian-cit-ciat-sek yang menggetarkan kolong langit ini, sesaat ia menjadi melongo, beruntun ia membalik lembar demi lembar, ternyata ketujuh gambar jurus ilmu pedang itu semuanya sama dan persis benar-benar. Keruan bukan main kejut hatinya, setelah diteliti dari sebarisan huruf2 kecil yang memberi keterangan itu baru ia paham duduk perkara sebenar-benarnya, tampak di baris paling depan ada sebuah pernyataan yang cukup serius, huruf2 itu berbunyi; Perhatian: Tanpa mempelajari Pan- yok-hian-kang, takkan dapat menyilami intisari Wi-thian-cit-ciat-sek.”
Baru sekarang Thian-hi dapat menghela napas berlega hati, segera ia tutup buku itu, rada lama kemudian baru ia buka pula, setelah sampai halaman terakhir ia amat-amati posisi2 duduk itu dengan seksama, dibawahnya ada kalimat yang memberi penjelasan dan keterangan prakteknya dengan sempurna.
Perlahan-lahan ia mendongak sambil menepekur sesaat kemudian baru mendadak seperti teringat memahami, sekali lagi ia meneliti keempat posisi duduk itu, lalu memadamkan pelita, duduk bersila mulai memusatkan pikiran dan berlatih.
Di luar dugaan latihannya berhasil dengan baik, hawa murni dapat dituntun berputar selingkaran dalam tubuhnya, waktu ia membuka mata terasa badannya enteng segar dan nyaman, keruan girang hatinya bukan buatan, memandang keluar jendela, kelihatan cuaca sudah terang tanah.
Segera ia bangun dan berjalan keluar, dengan langkah ringan ia memasuki taman bunga.
Mendadak didengarnya suara orang mendatangi, sekilas saja lantas ia tahu itulah Ma Bong-hwi beserta anaknya, mereka tengah mendatangi ke arahnya. Thian-hi berpaling ke kanan kiri, jelas tiada tempat untuk sembunyi terpaksa pura-pura tidak tahu dan tidak dengar saja terus berlenggang ke depan sambil menikmati bunga2 yang mekar segar.
Sebentar saja Ma Bong-hwi dengan Ma Siau-hou sudah mendekat, begitu melihat Hun Thian-hi, Hun Thian-hi segera menyapa lebih dulu, “Ma-ciangkun! Selamat pagi!”
Ma Bok-hwi juga berseri tawa, sahutnya, “Kau juga bangun pagi2 benar-benar, matahari belum lagi terbit kau sudah berada disini. Apakah semalam tidurmu nyenyak?”
Belum lagi Thian-hi sempat menjawab, dari samping Siau-hou sudah menyela dengan suara keras, “Kenapa ayah perlu tanya lagi, tentu dia mengatakan tidur nyenyak sekali.”
“Hus, bocah kecil sembarangan omong!” segera Ma Bong-hwi membentak anaknya. Thian-hi mandah tertawa tawar saja tanpa bersuara. Siau-hou berkata lagi, “Ajah! Pak guru pintar meniup seruling, suruh dia mengajar aku. Aku tidak mau belajar membaca.”
Ma Bong-hwi pelototi Siau-hou lalu berkata kepada Hun Thian-hi, “Kau bawa sebatang seruling, tentu kau pandai meniupnya, kalau ada tempo tiada halangannya kau ajarkan Siau-hou.”
Hun Thian-hi tersenyum, jawabnya, “Seruling ini kuperoleh dari seorang Cianpwe sebagai tanda kenangan. Aku sendiri tidak begitu baik meniupnya, digantung disini juga sebagai perhiasan saja!”
“Pak, guru!” seru Siau-hou sambil berlari ke depan Hun Thian-hi, “bolehkah pinjam lihat serulingmu ini?”
Hun Thian-hi tanggalkan serulingnya lalu diberikan kepada Siau-hou, dengan saksama Siau-hou membolak-balik dengan semaunya, katanya, “Bagus sekali Bolehkah kuperlihatkan kepada bibiku?”
“Siau-hou,” segera Ma Bong-hwi membentak, “lekas kembalikan, mana boleh begitu nakal.” Dengan cemberut dan monyongkan mulut Ma Siau-hou angsurkan kembali seruling itu kepada
Thian-hi.
Ma Bong-hwi berkata lagi, “Aku akan berlatih silat kesana dengan Siau-hou, silakan kau jalan- jalan dalam taman bunga ini.”
Thian-hi manggut sambil mengiakan. mengantar Ma Bong-hwi dan putranya pergi jauh dengan pandangan mendelong, dalam hati ia membatin; ‘bocah ini sungguh binal dan susah dilayani.’
Hun Thian-hi tak punya selera jalan-jalan lagi, setelah berputar rada jauh lalu kembah ke kamarnya. Setelah makan pagi, tampak Ma Siau-hou berlari datang, tangannya menjinjing sebatang seruling kehitaman terbuat dari besi.
Begitu masuk pintu Ma Siau-hou lantas berlari duduk di atas sebuah kursi bundar katanya tertawa kepada Thian-hi, “Kau boleh mulai ajarkan aku meniup seruling. Baru saja kutemukan. seruling ini!”
Hun Thian-hi mengerut kening, katanya, “Baik! Lagu apa yang suka kau pelajari?”
Ma Siau-hou berpikir sambil miringkan kepalanya, pikir punya pikir akhirnya ia berkata, “Aku juga tidak tahu, lagu apa yang sering dipetik oleh bibi.” Berhenti sebentar lalu melanjutkan sambil loncat berdiri, “Kau tunggu sebentar, ada sejilid buku musik, biar kuambil kemari.” Habis berkata lalu berlari-lari pergi.
Thian-hi jadi berpikir cara bagaimana baru ia berhasil memberi pelajaran kepada Ma Siau-hou, tak lama kemudian Ma Siau-hou memburu tiba pula serta berseru kepada Thian-hi, “Coba lihat, kubawa kemari!”
Begitu melihat buku yang dibawa Ma Siau-hou itu kontan berubah air muka Hun Thian-hi. Buku musik yang tipis dan sudah tua itu di atas sampulnya ada tertera tulisan yang berbunyi, “Tay- seng-ci-lao.” (Lagu sempurna abadi).
Hun Thian-hi adalah murid Lam-siau (seruling selatan), aliran Lam-siau dapat menggetarkan Bulim lantaran ilmu pelajaran Thian-liong-cit-sek dan Siau-im-pit-hiat, terutama pelajaran menutuk jalan darah menggunakan gelombang irama serulingnya ini, sudah tentu hasil pelajaran yang sempurna ini membuat Hun Thian-hi tambah luas dan dalam mengenai pengetahuan musik, waktu mulai terjun kedunia persilatan ia sudah menggemparkan Kangouw karena berhasil menutuk roboh begitu banyak gembong silat ternama, namun sejak itu tiada kesempatan menggunakan lagi, sebab setiap musuh yang dijumpai belakangan Lwekangnya semua cukup tinggi dan lebih lihay dari kemampuannya.
Dari penuturan gurunya ia tahu bahwa waktu kakek gurunya masih hidup, hanya karena dapat mencangkok sebagian dari “Tay-seng-ci-lao” ini sehingga ia cukup malang melintang menjagoi Kangouw. Tapi sejak kakek mojang meninggal pelajaran ini tidak diturunkan kepada gurunya, sekarang, Tay-seng-ci-lou ternyata muncul di tempat ini. Betapa ia takkan kejut dan heran.
Sebelumnya ia tidak pernah perhatikan siapakah bibi Siau-hou itu tapi sekarang membuatnya was-was dan waspada, gedung besar ini kiranya juga menyembunyikan seorang tokoh aneh, semula ia menyangka dirinya bisa aman dan tentram sembunyi di tempat ini, ah sungguh menggelikan.
Sebentar ia mem-balik-balik, airmukanya semakin pucat, cepat ia berkata dengan nada rendah, “Siau-hou! Kau tak boleh ambil buku ini, lekas kembalikan!”
Baru saja suaranya lenyap, muncullah seorang gadis diambang pintu kamarnya, begitu Siau- hou menoleh lantas berdiri dan berteriak, “Bibi!”
Gadis itu tanpa buka bicara, cepat-cepat ia meraih buku Tay-seng-ci-lao itu lalu bergegas keluar lagi dengan terburu-buru.
Gadis itu pergi datang begitu cepat, sehingga Thian-hi tak berhasil memperhatikan wajahnya, yang jelas ia mengenakan pakaian serba hijau mulus, perawakannya langsing menggiurkan, selain itu tiada apa yang dapat disimpulkan. Namun untuk sekilas saja cukup membuat jantung Thian-hi mendebur keras, diam-diam ia mengeluh celaka, kalau darinya pura-pura tidak tahu masih mending, tadi ia suruh Siau-hou mengembalikan, kalau ucapannya ini didengar oleh bibinya itu, wah, bukankah membongkar jejaknya sendiri.
Sesaat kemudian baru pikirannya tenang kembali, dilihatnya Siau-hou masih menjublek diam, akhirnya ia angkat kepala berkata kepada Thian-hi, “Selamanya bibi belum pernah bersikap begitu kasar terhadap Siau-hou, buku itu telah direbutnya kembali.”
Hati Thian-hi semakin gelisah, lebih jelas lagi ucapan Siau-hou, bahwa bibinya itu tentu sudah mengetahui kedok aslinya. Pikir punya pikir akhirnya ia keluarkan serulingnya, katanya, “Kau ingin belajar meniup seruling? Tapi kau harus tahu, untuk meniup seruling sebelunnnya kau harus belajar teorinya dulu, dan untuk mempelajari teori ini kau harus belajar membaca pula, semakin pintar membaca, cara meniup serulingnya pun semakin bagus.”
Habis berkata ia angKat serulingnya, mulai meniup sebuah lagu kanak-kanak yang sangat popular di Kang-lam, yaitu lagu ‘dendang jenaka’, iramanya mengalun lincah dan merdu, sekian lama Siau-hou sampai terpesona mendengarkan.
Mendadak Thian-hi menghentikan lagunya serta berkata, “Siau-hou kau suka lagu ini? Apa kau mau belajar?
Saking girangnya Ma Siau-hou manggut-manggut sekuat tenaganya. Hun Thian-hi ada ganjalan hati, maka segera ia mengakhiri sampai disitu saja, katanya, “Untuk belajar meniup kau harus belajar membaca dulu hari ini cukup sekian saja. Besok boleh dimulai!”
Ma Siau-hou lari pergi berloncatan, diam-diam ia berpikir, aku harus belajar lebih pandai meniup seruling dari guru. Thian-hi jadi tersenyum geli, tahu ia bahwa Siau-hou sekarang sudah punya kegemaran, apalagi sudah punya kepercayaan terhadap dirinya, mau dengar kata nasehatnya lagi. Entahlah apakah bibinya itu bakal membongkar rahasianya tidak.
Duduk seorang diri di dalam kamar ia menjadi bebal dan gundah. Diam-diam terpikir oleh Thian-hi, “Orang macam apakah sebenar-benarnya bibi Siau-hou itu.”
Begitulah sampai lohor, keadaan masih tetap sunyi aman, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Thian-hi sendiri menjadi tidak sabar lagi segera keluar dari kamar bukunya terus berjalan keluar gedung. Maksudnya. hendak jalan-jalan dan melihat-lihat keadaan kota besar ini, tempo hari ia belum sempat menyaksikan keramaian kota seluruhnya.
Para Centing banyak yang sudah mengenal dirinya, maka dengan leluasa ia dapat keluar gedung. Setelah berada diluar pintu gerbang Thian-hi. menyelusuri jalan be«ar terus berlenggang ke depan, dilihatnya didua sisi jalan semua adalah bangunan gedung besar dan mentereng, naga- naganya jalan ini merupakan komplek perumahan para pejabat tinggi pemerintah setempat.
Thian-hi berjalan terus sambil menikmati pemandangan beraneka warna dari bangunan gedung yang banyak ragam dan modelnya, tapi sebegitu banyak keadaan disini tidak ubahnya seperti keadaan kota2 besar di Tionggoan, boleh dikata tiada perbedaannya yang menyolok.
Thian-hi berlenggang terus ke depan, dari depan sana berjalan pelan-pelan mendatangi seekor kuda putih yang ditunggangi seorang pemuda ganteng mengenakan jubah sutra yang serba perlente. Tangannya pelan-pelan mengayun dan mempermainkan pecut pendek, wajahnya berseri tawa riang gembira, mungkin hatinya sedang senang.
Dimana kudanya lewat orang-orang yang berlalu lalang di jalan segera menyingkir memberi jalan, sedapat mungkin menyingkir jauh, seolah-olah ada sesuatu di atas pemuda itu yang menakutkan.
Thian-hi sendiri menjadi heran, dengan seksama ia perhatikan Kongcu jubah sutra itu, wajahnya kelihatan tersenyum simpul, mulutnya bersiul-siul riang, entah kenapa orang itu menyingkir ketakutan.
Sementara itu tunggangan Kongcu jubah sutra itu sudah mendekat, sekilas dilihatnya Hun Thian-hi berdiri di tengah jalan tiada niat menyingkir, kontan wajahnya cemberut dan kurang senang,
segera ia menghentikan kudanya, baru Thian-hi tersentak sadar, tersipu-sipu ia menyingkir ke pinggir jalan, dalam hati ia membatin, “Sekali2 aku tidak boleh membuat keributan disini!”
Kongcu itu tersenyum lagi, baru saja hendak tinggal pergi, mendadak dilihatnya sebatang seruling putih gading yang tergantung di pinggang Thian-hi itu, segera ia berseru, “Hai, berhenti, kemari kau!”
Hun Thiah-hi melengak, tak tahu dimana ia telah membuat salah terhadap Kongcu ini, setelah membalik tubuh ia berdiri di tempatnya mengawasi Kongcu perlente itu.
“Apa kau tidak kenal aku sebagai putra kesayangan dari Sianghu (istana) yang bernama Tan Goan-mo?” demikian tanya Kongcu itu uring-uringan.
Hun Thian-ki kaget tersipu-sipu ia membungkuk sambil menyapa, “Kongcu! kau baik, entah untuk apa kau panggil aku?” Tan Goan-mo mendengus hidung, ujarnya, “Ternyata kau kenal aku juga, kenapa tadi tidak menyapa lebih dulu, apa aku dulu yang harus menyapa kepada kau?” Apa kerjamu disini.”
Thian-hi tidak ingin membuat perkara, segera ia minta maaf. Anggapannya dengan minta maaf tentu urusan menjadi beres, diluar tahunya bukan saja urusan selesai sampai disitu malah hampir saja merembet kepada Ma Bong-hwi. Sayang tadi ia tidak mengatakan bahwa dirinya sebagai guru sekolahan di gedung kediaman Ma-ciangkun, tentu selanjutnya tiada perkara apa lagi.
“Baru sekarang kau minta maaf demikian jengek Tan Goan-mo, “Kau berani kurang ajar kepada aku, maka serahkan seruling di pinggangmu itu sebagai penebus dosamu.”
Thian-hi semakin tertegun bingung, sahutnya, “Mana boleh jadi!”
Berubah air muka Tan Goan-mo, teriaknya, “Apa? Tidak boleh? Mari kau ikut aku ke gedung balai kota!”
Diam-diam timbul hawa amarah Thian-hi, tapi setelah dipikir lebih lanjut segera ia berkata, “Tan-kongcu, seruling ini adalah tanda mata yang diberikan oleh seorang Cianpwe mana boleh diberikan kepada orang lain! Kalau Kongcu ingin memiliki seruling kelak tentu kucarikan sebatang yang lain yang lebih bagus lagi!”
“Bedebah!” maki Tan Goan-mo dengan murka, “Tar!” cambuknya melecut mengenai dagu Thian-hi, Thian-hi menjadi gemas dan membatin; kenapa keluarga dari Sianghu begitu brutal dan bersimaharaja!
Sementara itu pecut Tang Goan-mo sudah menyamber tiba lagi, cepat-cepat Thian-hi melangkah mundur menghindar.
“Berani kau berkelit?” maki Tar Goan-mo lebih murka, lagi-lagi pecutnya terayun menghajar kepada Thian-hi.
Sudah tentu Thian-hi tidak mau dihajar semena-mena, ia berhasil menghindar lagi. Keruan semakin berkobar amarah Tan Goan-mo. Dari sebelah belakang mendatangi pula seekor kuda, Tan Goan-mo segera berpaling dan berteriak, “Hoan Kim-pa! Mari kau bantu menghajar bocah kurangajar ini!”
Waktu Thian-hi angkat kepala, dilihatnya pendatang ini adalah seorang laki-laki besar bermuka hitam mengenakan pakaian warna hijau, mendengar teriakan Tan Goan-mo segera ia melompat turun katanya kepada Tan Goan-mo, “Kongcu, siiakan kau lihat saja!” — sambil menenteng cambuknya yang besar dan panjang ia mendekati Thian-hi.
Bercekat hati Thian-hi, kelihatannya laki-laki ini bukan orang biasa, agaknya membeka! kepandaian silat yang cukup lumajan, pakaiannya sederhana dan preman, mungkin bukan orang dari istana atau anggota Busu.
Sambil menyeringai sadis Hoan Kim-pa mengayun cambuknya, Tar! Tar! langsung ia memecut ke arah Thian-hi. Sudah tentu Thian-hi tidak rela dihajar begitu saja, cepat ia mundur ke belakang dua langkah dengan pura-pura terhujung, untung bisa terhindar.
Namun ayunan cambuk Hoan Kim-pa tidak berhenti, lagi-lagi ia melangkah maju, beruntung ia memecut lagi dua kali. Kedua serangan pecut terakhir ini sebetulnya sudah tak mungkin dihindari lagi. Betapa murka hati Thian-hi, namun terdesak oleh keadaan, apa boleh buat ia berusaha mundur lagi selangkah, ia berhasil menghindari pecutan pertama, sedang pecutan kedua dengan telak mengenai pundaknya, kontan bajunya sobek, pundaknya pun berdarah. Hampir Thian-hi tak kuasa menahan gelora amarah hatinya, cara turun tangan Hoan Kim-pa ini sungguh sangat kejam dan keji, bila ada kesempatan pasti kubalas penasaran ini.
Hoan Kim-pa menyeringai semakin kejam, ia mendesak lebih dekat lagi. Sekonyong-konyong terdengar suara kelintingan yang riuh dan congklang kuda yang ramai tengah mendatangi.
Seketika berubah air muka Tan Goan-mo, cepat ia ulurkan tangannya, segera Hoan Kim-pa menurunkan cambuknya.
Sebuah kereta kencana yang terukir indah ditarik enam ekor kuda putih berlari kencang mendatangi, yang mengendalikan kereta ternyata adalah seorang gadis rupawan berbaju merah, begitu cepat keretanya mendatangi, melihat keramaian ini segera ia berseru heran dan menghentikan kereta, meski dengan cekatan ia berhasil menghentikan kudanya tak urung kudanya sudah melampaui ke depan tiga tombak jauhnya, segera ia putar keretanya mendekat ke arah mereka bertiga.
Tersipu-sipu Tan Goan-mo maju menyapa dengan hormat, “Tuan putri! apa kau baik?”
Ganti berganti Tuan putri mengawasi mereka bertiga lalu bertanya kepada Tan Goan-mo, “Apa yang telah terjadi disini?”
Tan Goan-mo tersenyum, sahutnya, “Orang ini punya sebatang seruling pualam semu merah, aku ingin membelinya untuk dipersembahkan kepada Tuan putri, tapi orang ini tidak mau menjual”
Sementara itu, Hun Thian-hi juga sudah mengamati Tuan putri itu, matanya begitu bening dan jeli, sungguh seorang putri remaja yang cantik rupawan, begitu mahir ia mengendalikan keretanya, mungkin sudah biasa, demikian ia membatin.
Di lain pihak Tuan putri juga tengah mengawasi Thian-hi, katanya kepada Goan-mo, “Jika dia tidak suka jual ya sudah, apa kau telah memukul dia?”
Tan Goan-mo berpaling ke arah Thian-hi dengan mata mendelik gusar, lalu menjawab pertanyaan Tuan putri dengan tertawa, “Seruling pualam semu merah itu sungguh baik sekali, bukankah Tuan putri paling gemar warna merah. Maka aku ingin membelinya untuk Tuan putri.”
Mulut Tuan putri mengiakan dengan lirih, lalu berkata kepada Thian-hi, “Seruling pualam semu merah milikmu itu bolehkah kupinjam lihat sebentar?”
Hun Thian-hi bersangsi sebentar, lalu menanggalkan serulingnya diangsurkan kepada Tuan putri. Dengan seksama Tuan putri perhatikan seruling itu, kelihatannya sangat ketarik, ia mendongak ke arah Thian-hi, melihat sikap Thian-hi yang wajar tiada maksud hendak berikan kepada dirinya, ia menjadi kecewa, apa boleh buat akhirnya ia kembalikan kepada Thian-hi.
Dengan kedua tangannya Thian-hi menerima kembali serulingnya, Tuan putri lantas tanya pula, “Kau bisa memiliki seruling sebagus ini, tentu bukan sembarangan orang, dimana kau tinggal sekarang?”
Sejenak beragu Thian-hi lantas menjawab, “Aku tinggal di gedung Ma-ciangkun.” “Di gedung Ma-ciangkun?” tanya Tuan putri menegas. Thian-hi manggut-manggut. Dari belakang sana mendatang sepasukan pengawal yang mengenakan mantel serba merah. Tuan putri berpaling seraya berkata, “Aku harus segera pulang, kalian tidak perlu bertengkar lagi.”
Selesai berkata ia ayun pecutnya membedal kuda keretanya kencang-kencang. Rombongan pengawal merah itu segera mengejar di belakangnya.
Dengan murka Tan Goan-mo pandang Hun Thian-hi, dengusnya dingin, “Kiranya warga dari Ma-ciangkun, tak heran berani bertingkah terhadap aku Tan Goan-mo!” — lalu ia ulapkan tangan bersama Hoan Kim-pa naik kuda tinggal pergi, kejap lain mereka sudah menghilang di pengkolan jalan.
Setelah Tan Goan-mo tak kelihatan, Thian-hi masih berdiri menjublek, hatinya berpikir anggota keluarga dari Sianghu kenapa begitu telengas dan bertingkah kasar. Mungkin negeri ini tidak begitu makmur dan aman sentosa. Tapi entahlah Siangkok (perdana menteri) seorang baik atau orang jahat kejam.
Hilang selera jalan-jalannya tadi, segera ia jalan pulang, ditengah jalan teringat pula akan bibi Siau-hou yang serba misterius itu, entah bagaimana keadaannya sekarang, sebetulnya orang macam apakah dia, Tay-seng-ci-lau kenapa bisa berada di tangannya. Demikian Thian-hi bertanya-tanya dalam hati.
Sekembali Thian-hi di gedung Ma-ciangkun, sampai petang mendatang keadaan masih tetap tenang dan tiada terjadi apa-apa, lambat laun Thian-hi baru merasa tentram. Malam itu, ia mengulang lagi pelajarah Pan-yok-hian-kang.
Hari kedua baru ia mulai ajarkan Siau-hou meniup seruling dan membaca buku. Sebagai murid tunggal Lam-siau, Lam-siau sebagai keturunan aliran kenamaan pula di daerah Kanglam, seluruh kepandaian sastra dan ilmu silatnya sudah diturunkan semua kepada Thian-hi. Untuk mengajar kepada Siau-hou adalah soal sepele bagi Thian-hi…. Apalagi Siau-hou sangat ketarik dan punya minat besar mempelajari Seruling, sudah tentu segala petunjuk dan nasehatnya dipatuhi.
Sang waktu berjalan dengan cepat tanpa terasa, tahu-tahu tiga bulan sudah lewat, waktu pertama kali datang, beruntun terjadi dua perkara, sejak itu ia tidak berani keluar pintu lagi, dengan tekun ia memperdalam pelajaran Pan-yok-hian-kang. Agaknya kerjaan Ma Bong-hwi juga sangat banyak dan sibuk, jarang mereka bertemu muka. Selama itu belum pernah ada kesempatan ia melihat bibi Siau-hou, waktu yang cukup lama ini sudah mempererat hubungannya dengan Siau-hou semakin intim.
Tiga bulan telah lewat, diam-diam Thian-hi berpikir; sudah tiga bulan aku mempelajari Pan-yok- hian-kang, kalau sekarang aku mulai mempelajari Wi-thian-cit-ciat-sek, kukira tiada halangannya. Setelah hari menjadi gelap ia mulai mem-balik-balik buku pelajaran Wi-thian-cit-ciat-sek. Dari jurus pertama secara seksama ia perhatikan ganti berganti sampai jurus ketujuh, setelah selesai diam- diam bercekat sanubarinya. Tiga bulan yang lalu waktu ia melihat ketujuh jurus itu kelihatannya serupa dan tiada perbedaannya, namun sekarang terasa jauh berlainan sama sekali. Ketujuh jurus ini hanya terpaut beberapa mili saja, namun di dalam pergerakan pedang yang hanya beberapa mili dalam waktu singkat itu, ternyata tersembunyi kekuatan yang luar biasa besarnya.
Diam-diam kejut dan girang pula hatinya, dengan penuh perhatian ia menekuni dan mempelajari dengan hati-hati, namun sedemikian jauh ia masih kurang paham cara bagaimana ia harus menggunakan tenaga besar yang tersembunyi itu Begitulah dilihat lalu dipikir, dipikir dan diperiksa lagi dengan seksama, tanpa merasa ia habiskan waktu semalam suntuk tanpa membawa hasil. Malam kedua ia menyelami pelajaran Wi-thian-ci-ciat-sek lagi kira-kira sampai tengah malam, terasa sesuatu keganjilan olehnya, mendadak diluar diatap rumah sana ia mendengar lambaian ujung baju orang berjalan malam. Thian-hi terkejut, timbullah kewaspadaannya, cepat ia padamkan pelita dan menyimpan buku Wi-thian-cit-ciat-sek ke dalam bajunya, dengan tenang ia duduk menanti dan mendengarkan dengan cermat.
Orang itu berjalan berputar-putar di atas genteng, tahu Thian-hi bahwa orang ini pasti bukan lewat jalan saja, terang sengaja sedang mencari tahu atau main selidik, entah siapa dan darimana dia bernyali besar berani meluruk ke gedung Panglima besar. sedikit mengempos napas ringan sekali Thian-hi melayang keluar dari jendela terus berkelebat sembunyi di bawah atap.
Selepas pandangannya yang cukup tajam pada malam hari, kelihatan orang itu masih terpaut puluhan tombak disebelah sana, rupanya tidak begitu tegas, hanya kelihatan muka sampingnya mengenakan pakaian serba hitam legam, ia berdiri sekian lama, seolah-olah sedang berpikir apa- apa.
Diam Thian-hi membatin, “Sungguh besar nyali orang ini, di atas gedung Panglima besar masih berani berdiri main terang-terangan, seolah-olah sangat ceroboh dan takabur.”
Setelah berhenti sekian lamanya, orang itu berputar-putar lagi di atas genteng. Cepat Thian-hi mengkeret mepet tambok.
Seperti tiada orang lain saja orang itu berkelebat melompat turun ditaman bunga, ternyata berdiri anteng tak bergerak lagi. Sejenak kemudian terdengar ia menghela napas panjang, naik ke atas genteng hendak tinggal pergi. Thian-hi masih ingat akan peringatan Ka-yap Cuncia ia tidak berani mengejar, baru saja ia hendak tinggal masuk kembali ke kamarnya, dari dalam rumah samping sana terdengar seseorang berkata, “Hai, kenapa tinggal pergi!”
Jelas terdengar oleh Thian-hi bahwa itulah suara Ma Bong-hwi.
Kejap lain tampak Ma Bong-hwi melompat naik ke atas genteng sambil menenteng pedang, pakaiannya ringkas, katanya kepada orang itu, “Kau sengaja kemari hendak bertemu mengapa mau pergi?”
Orang itu pandang Ma Bong-hwi seraya bertanya, “Apakah aku berhadapan dengan Ma- ciangkun?”
“Benar-benar! Siapa kau? Ada urusan apa malam2 kemari?” demikian tanya Ma Bong-hwi. “Aku yang rendah Hou Cong-ceng!” sahut orang itu, “Entah apakah Ciangkun masih ingat?” “0, kiranya kau!” sahut Ma-ciangkun.
“Ma-ciangkun bertindak terlalu jujur dan tegas dalam segala urusan, sehingga menimbulkan sirik orang. Ada orang mengutus aku kemari untuk membunuh Ciangkun, untuk selanjutnya harap Ciangkun suka hati-hati, aku harus segera pulang.”
Diam-diam Thian-hi mengeluh kiranya orang memang sengaja hendak mengunjukkan jejak sendiri, namun sedemikian jauh dirinya tidak dapat mengetahui.
“Nanti dulu!” terdengar Ma Bong-hwi menahan, “Coba kau beri keterangan lebih jelas!” Hou Cong-ceng rada sangsi, akhirnya berkata, “Maaf, aku tak bisa banyak bicara, dulu
Ciangkun pernah tanam budi terhadap aku, maka aku tidak peduli keselamatan sendiri memberi kisikan kepada Ciangkun, bila diketahui orang lain, tentu jiwaku terancam bahaya, sekarang juga aku harus mengundurkan diri.” Habis berkata terus berlari pergi.
Ma Bong-hwi terlongong di atas genteng, sekian lama ia tidak bergerak, agaknya otaknya sedang diperas untuk memikirkan persoalan rumit ini, rada lama kemudian baru ia turun ke dalam taman dan berjalan masuk ke dalam rumah.
Baru saja Thian-hi hendak kembali ke kamarnya, sekilas dilihatnya di para2 bunga sebelah kiri sana
mendekam sebuah bayangan orang, bercepat hatinya, tadi Hou Cong-ceng bilang bahwa dia menyerempet bahaya kemari memberi kisikan, dan takut diketahui orang lain. Ternyata sejak tadi orang ini sudah mencuri dengar disitu, dengan seksama Thian-hi perhalikan orang itu, tampak pelan-pelan ia menggeremet keluar dari rumpun bunga Seruni hendak melarikan diri.
Segera Thian-hi paham duduk perkara sebenar-benarnya. Insaf ia kalau orang ini sampai dapat lolos dengan selamat, pasti jiwa Hou Cong-ceng terancann bahaya, entah siapa yang mengutus dia menyelundup kemari.
Thian-hi ingin bertindak, tapi tidak leluasa untuk mengunjukkan diri, akhirnya ia meremas pecah genteng menjadi sebuah batu kecil, dengan kedua jarinya menyelentik ringan mengarah belakang kepafa orang itu. Kontan terdengar orang itu berteriak kesakitan.
Cepat Thian-hi kembali ke dalam kamarnya, terdengar suara Ma Bong-hwi berteriak, “Siapa!” Lalu disusul dengusannya lagi, “Lari kemana kau?”
Terdengar senjata berdentang beradu, beberapa jurus kemudian terdengar pula orang itu menjerit. Tahu Thiau-hi bahwa orang itu sudah kena dibunuh oleh Ma Bong-hwi, dengan lega iapun berbaring untuk istirahat.
Hari kedua air muka Ma Bong-hwi tampak kecut, begitu melihat Thian-hi. Siau-hou lantas mengoceh, katanya, “Guru! Semalann rumah kita kebobolan pencuri, apa kau tahu?”
Thian-hi menggeleng pura-pura terperanjat, serunya, “Apa benar-benar?”
Siau-hou, manggut-manggut dengan sungguh, katanya, “Kau tak tahu, orang itu adalah seorang anak buah ayah sendiri, tapi sudah dibunuh oleh ayah. Jikalau aku belum tidur, wah pasti hebat tontonan ini.”
Thian-hi tertawa-tawa, ujarnya, “Kau masih kecil, jangan turut campur urusan orang tua, lebih baik kau pelajari isi buku yang sangat bermanfaat ini!”
Dengan lucu Siau-hou pandang Thian-hi, sambil tertawa cengar-cengir, lalu goyang2 kepala, seolah-olah ada banyak urusan jauh ia lebih tahu, dari Thian-hi, seumpama dituturkan belum tentu Thian-hi paham. Sudah tentu Thian-hi makfum akan maksud Siau-hou, namun iapun tak banyak bicara lagi, seperti biasa ia ajarkan Siau-hou meniup seruling dan membaca buku.
Malam itu Hun Thian-hi mengulangi latihan Wi-thian-cit-ciat-sek, sedemikian jauh dapatlah diselami perbedaan dari ketujuh jurus permainan pedang, dengan pejamkan mata ia menepekur berusaha memecahkan inti rahasianya, setiap gerak perubahan ketujuh jurus ilmu pedang ini satu sama lain berbeda dan berlainan arah dan sasaran, tenaga yang dilontarkan pun juga berlainan, dengan tangannya ia bergerak-gerak menirukan dalam gambar, namun terasa kurang leluasa, lantas terpikir olehnya untuk mencoba dan mempraktekkan latihan ini dengan pedang sungguhan. Selain Badik buntung Thian-hi tidak membekal senjata tajam apapun, kecuali menggunakan serulingnya, namun di tempat sempit begini mana mungkin, bila sampai konangan orang lain dan dlketahui dirinya bisa main silat tentu berabe dan terbukalah kedoknya.
Tapi intisari dan kehebatan dari ilmu pedang ini harus dipraktekkan atau harus latihan menggunakan pedang, baru bisa diselami. Akhirnya ia bangkit menyimpan Kiamboh Wi-thian-cit- ciat-sek, lalu berjalan keluar ketaman, ia tahu di tempat sepi paling ujung belakang sana ada sebuah gunungan palsu, sebidang tanah datar di belakang gunung palsu inilah yang paling sepi dan tidak pernah diinjak kaki manusia.
Secara diam-diam Thian-hi menuju kesana, setelah celingukan kesekitarnya dan jelas tak ada orang
lain, hatinya rada lega dan gembira, namun hatinya. masih merasa kuatir, segera ia berjalan memutar memeriksa keadaan sekitarnya baru kembali lagi ke belakang gunungan palsu itu. Pelan- pelan ditanggalkan serulingnya, segera ia pasang kuda-kuda dan mulai bergaja, namun terasa seruling di tangannya ini kurang cocok dipakai sebagai gaman pedang. Ia mengerut kening, batinnya, “Kenapa aku harus takut dan beragu menggunakan alat senjata, atau akan batal berlatih Wi-thian-cit-ciat-sek saja!’
Kejap lain ia sudah menghimpun tenaga dan pusatkan semangat, tiba-tiba tubuhnya mencelat mumbul, tubuhnya berputar setengah lingkaran ditengah udara, dimana tangan kanannya bergerak jurus pertama dari Wi-thian-cit-ciat-sek mulai dikembangkan, waktu serulingnya menutuk keluar, segulung hawa tenaga semi merah kontan memberondong keluar dari batang seruling itu melesat ke depan, namun hanya sekejap mata saja lantas sirna.
Sebetulnya Thian-hi bermaksud melanjutkan gerak susulannya, namun tenaganya sudah tak kuasa lagi menyambung, terpaksa ia meluncur turun ke tanah, duduk di atas gunungan palsu, ia berpikir dan menyelaminya dengan seksama. Tak lama kemudian ia mempraktekkan sekali lagi, begitulah secara tak mengenal lelah ia ulangi terus permainan jurus pertama ini sampai akhirnya ia paham sendiri dan dapat diapalkan diluar kepala., hatinya rada gembira, untuk gerak yang terakhir ia sudah berhasil mengendalikan tenaga kekuatan jurus pedang itu sesuka hatinya.
Tatkala itu hari sudah mulai terang, terpaksa Hun Thian-hi menghentikan latihannya. Meski semalaman tidak tidur dan berlatih dengan capek lelah lagi, dasar latihan Pan-yok-hian-kangnya sudah kuat, pernah menelan buah ajaib lagi, maka Lwekangnya boleh dikata sudah sangat tinggi jarang tandingan, biasanya cukup cuma semadi beberapa waktu saja sudah cukup, dan tidak perlu tidur lagi.
Setelah mendongak melihat cuaca, dengan memejamkan mata ia mengingat kembali permainan jurus pertama ini, untuk selanjutnya ia melatih Thian-liong-cit-sek, tak lupa ia berlatih juga Gin-ho-sam-sek yang diajarkan oleh Soat-san-su-gou itu. Gin-ho-sam-sek sekarang boleh dikata sudah mendarah daging, bisa dilancarkan sesuka hatinya secara mudah. Begitu pula Thian- liong-cit-sek lebih apal lagi.
Setelah langit semakin terang cepat-cepat Thian-hi kembali ke dalam kamarnya untuk istirahat. Keesokan harinya setelah pulang dari piket tampak air muka Ma Bong-hwi sangat murung, Hun
Thian-hi menjadi curiga, namun tidak leluasa menanyakan karena persoalan pribadinya, apalagi dirinya berusaha menyembunyikan keadaan sebenar-benarnya, mana boleh banyak turut campur urus perkara orang lain. Dalam hati ia hanya menerka2 bahwa mungkin Ma Bong-hwi menghadapi urusan yang tidak menyenangkan hati.
Pikir punya pikir, akhirnya Thian-hi berkeputusan untuk tinggal diam berpeluk tangan saja. Malamnya setelah duduk samadi berlatih Pan-yok-hian-kang, menjadi kebiasaan untuk hari2 selanjutnya ia mulai tenggelam dalam memikirkan pemecahan rahasia inti jurus-jurus Wi-thjan-cit- ciat-sek. Semalam suntuk ia bersusah payah tanpa hasil m mahami jurus kedua.
Setelah makan pagi, seperti biasa Siau-hou datang belajar, namun kali ini tidak membawa Seruling besinya. Begitu masuk Siau-hou lantas berkata, “Pak guruku! ayahku panggil kau, ada urusan hendak dibicarakan dengan kau!”
Hun Thian-hi rada melengak, selama ini Ma Bong-hwi belum pernah ajak dirinya bicara, sekarang diluar dugaan memanggil aku, entah ada urusan apa, menguntungkan atau merugikan dirinya.
Ia berpikir sebentar lalu berkata kepada Siau-hou, “Siau-hou! Apa kau tahu untuk urusan apa?”
Siau-hou menggeleng, katanya, “Aku tidak tahu.”. Tapi segera ia merendahkan suara dan menambahi dengan sungguh-sungguh, “Tapi aku tahu, tentu soal yang sangat penting.”
Sangsi dan lebih curiga lagi Hun Thian-hi, sebetulnya untuk urusan penting apakah. Selamanya Ma Bong-hwi anggap dirinya sebagai penolong jiwa dirinya diluar dugaan hari ini dia sudi mencari dirinya, sungguh sulit diduga dan diraba juntrungnya.
Akhirnya ia manggut-manggut, “Baiklah. segera aku datang!”
Siau-hou segera berlari pergi. Setelah dipikir2 ia tidak bisa ambil kesimpulan positip, terpaksa ia beranjak keluar. Begitu tiba di ruang belakang, kelihatan Ma Bong-hwi sudah menanti disana, begitu melihat Hun Thian-hi masuk segera ia bangkit berdiri seraya berkata tertawa, “Losu! Apa kau baik?”
“Selamat pagi, Ma-ciangkun!” segera Thian-hi menyapa dan memberi hormat. “Ma-ciangkun hari ini tidak keluar, entah untuk urusan apakah Ma-ciangkun mengundang aku?” ~Lahirnya ia berlaku tenang, tapi batinnya kebat-kebit, entah mengapa Ma Bong-hwi hari ini berlaku sangat sungkan dan ramah terhadap dirinya.
Ma Bong-hwi tertawa kikuk serta berkata lembut, “Sudah tiga bulan Losu berada disini, selamanya Siau-hou sangat nakal tak mau dengar nasehat, berkat didikan Losu sekarang dia mau mendengar katamu. Sebagai seorang tua selamanya tidak pernah aku mengurusnya, terhadap Losu juga terlalu bebas tanpa sungkan-sungkan lagi.”
“Ah, ucapan Ma-ciangkun membuat aku menjadi risi, Ma-ciangkun adalah tuan penolongku, apalagi berkat Ma-ciangkun sudi menerima aku berteduh disini, sehingga aku tak terlantar, Hun Thian-hi sangat berterima kasih tak terhingga.” sekilas matanya melirik, ternyata ruang besar ini menjadi begitu sunyi karena tiada orang lain, jelas para pelayan sudah diperintahkan mengundurkan diri semua, hal ini lebih mempertebal kecurigaan Thian-hi.
“Ternyata Losu suka berkelakar.” demikian ujar Ma Bong-hwi tertawa, “Akulah yang terlalu ceroboh, adik kandungku justru menyalahkan kelalaianku ini, selalu mengagulkan diri sebagai tuan penolongmu, sebetulnya…. ai!”
Melonjak jantung Thian-hi, adik kandungnya (perempuan), bukankah berarti bibi Siau-hou. kalau begitu tentang dirinya bisa main silat sudah dapat diketahui olehnya? Terpikir sampai disini tanpa merasa keringat dingin telah membasahi sekujur badannya. Thian-hi menjadi tergagap tak bisa bicara, terang dia tak bisa menyangkal dan tidak bakal mengakui, kalau menyangkal bahwa dirinya bisa main silat, ucapan Ma Bong-hwi tadi tidak atau belum secara langsung ditujukan kepada dirinya, jelas malah akan memperlihatkan kedoknya sendiri, tapi kalau ia tidak bersuara berarti membenar-benarkan.
Akhirnya Thian-hi buka suara dengan menyengir, “Ma-ciang-kun, aku tidak paham apa yang kau maksudkan.”
“Adikku pernah berkata, tidak seharusnya aku bersikap terlalu dingin terhadap kau. Apakah Losu sesalkan perbuatanku ini?”
“Ucapan Ma-ciangkun terlalu berat untuk kuterima, sikap Ma-ciangkun sangat baik terhadapku.
Hun Thian-hi merasa sangat berhutang budi dan entah kapan dapat membalas kebaikan ini.”
Ma Bong-hwi berkata, “Aku tengah dihadapi sebuah perkara yang sangat menyulitkan kedudukanku, adikku bilang supaya aku minta bantuan kepada Sian-seng, katanya kecuali Sianseng tiada orang lain yang bisa membereskan. Aku harap Siangseng suka bantu kepada kesukaranku ini.”
Berubah air muka Thian-hi, katanya, “Tenagaku pasti sangat terbatas, aku kuatir akan mengecewakan harapan Ciangkun belaka.” — diam-diam ia mengeluh dalam hati, entah cara bagaimana ia harus mengambil sikap, kalau tahu bakal terjadi kejadian hari ini, lebih baik siang- siang aku tinggal pergi saja, soalnya ia terlalu kemaruk akan keselamatan diri sendiri sehing-ga sekarang sulit membebaskan diri dari pertanggungan jawab ini.
“Selamanya adikku tidak bicara sembarangan, dia beritahu kepada aku bahwa Siangseng adalah seorang kosen yang menyembunyikan diri. Bila aku punya kesukaran selalu dialah yang bantu aku membereskan kesulitanku, setiap ucapannya selalu tepat tak pernah salah.”
“Ma-ciangkun terlalu memuji, Hun Thian-hi mana terhitung seorang tckoh aneh apa segala, ini betul-betul suatu hal yang menggelikan belaka”
“Malam tempo hari bukankah Siangseng juga telah menanam budi kepada aku, jika tiada mendapat bantuan Sianseng tentu mata2 yang menyelundup itu tak bisa diringkus dan dibereskan.”
Mendengar lebih lanjut Thian-hi semakin menjublek ditempatnya, mulutnya terkancing rapat tak kuasa bicara lagi. Ternyata siang-siang jejaknya sudah dapat dilihat oleh orang, perbuatannya tempo hari menurut anggapannya sudah sangat tersembunyi, tak konangan juga. Kalau begitu perihal dirinya bisa main silat jelas sudah diketahui oleh mereka, entahlah waktu aku latihan ilmu pedang apakah juga sudah diintip oleh mereka.
Thian-hi menjadi serba salah, tak tahu bagaimana ia harus bertindak, akhirnya ia berkata dengan hambar, “Ma-ciangkun! Apa katamu? Aku tidak mengerti!”
Dengan kecewa Ma Bong-hwi pandang dia, akhirnya menghela napas rawan, ujarnya, “Apakah Sianseng betul-betul tidak sudi membantu?”
Lambat laun Hun Thian-hi tertunduk, hatinya menjadi gundah, sepihak ia pernah mendapat pertolongan orang, sebagai seorang gagah apakah ia mandah saja melihat kesulitan orang, sungguh malu rasanya bila dirinya berpeluk tangan melihat orang ketimpa malang.
Terdengar Ma Bong-hwi berkata lagi, “Adikku menyangka bila aku mau mohon bantuan, tentu Sian-seng suka membantu. Kukira dugaannya sekali ini meleset.” Tersentak sanubari Thian-hi. Katanya, “Bila aku dapat, sekuat tenagaku aku suka membantu.”
Setelah memberi jawaban ini baru ia sadar, kenapa tadi aku selalu menghindari, sebetulnya Ma Bong-hwi mengalami kesukaran apa aku toh belum menanyakan jelas, bila sudah jelas duduk perkaranya, kan lebih gampang untuk menolaknya.
“Apa betul!” Ma Bong-hwi berteriak kegirangan.
Thian-hi manggut-manggut, tanyanya, “Mengenai soal apakah, harap Ma-ciangkun suka jelaskan.”
“Asal Siangseng suka membantu tanggung urusan ini bisa dibikin terang.” demikian kata Ma Bong-hwi berseri tawa.
Kedengarannya Ma Bong-hwi sudah anggap bahwa Thian-hi pasti mau membantu, keruan Thian-hi rada gugup, cepat ia menambahi, “Ma-ciangkun, tenagaku seorang sangat terbatas….”
Baru sampai disini ucapannya, mendadak terdengar suara “tring” yang nyaring dari kamar sebelah, itulah suara petikan sinar harpa yang nyaring merdu, begitu mendengar suara petikan harpa ini seketika berubah air muka Thian-hi.
Diam-diam Thian-hi mengeluh dalam hati, bibi Siau-hou itu pasti hendak menggunakan Tay- seng-ci-lau (lagu sempurna abadi) untuk mendesak dirinya mengunjukan ilmu silatnya. Baru saja terkilas pikirannya ini, petikan gelombang suara harpa kedua sudah kedengaran lagi, kali ini lebih kuat, tajam dan melengking menusuk telinga, kontan melonjak hati Thian-hi.
Thian-hi tengah mencari akal cara bagaimana baru dia bisa tidak mengunjukkan kepandaian silatnya, sebuah pikiran berkelebat secepat kilat dalam benaknya, hanya satu cara saja, meskipun hasil cara ini sangat minim terpaksa harus dicoba dulu.
Segera ia menanggalkan serulingnya terus ditempelkan dibibirnya, dengan pejamkan mata ia mulai meniup serulingnya, tujuannya berusaha membendung gema suara harpa. Tapi Tay-seng-ci- lau merupakan buah karja seorang ahli yang sangat lihay, setiap petikan suara harpa mengetuk sanubarinya seperti dadanya dipukul godam. Apalagi dengan cara dari dalam keluar, bukan dari luar ke dalam yang rada mudah ditangkis. Lambat laun Thian-hi kepayahan akhirnya tak kuasa meniup serulingnya lagi, bila dia tidak membekal ilmu sakti macam Pan-yok-hian-kang, mungkin sejak tadi jantung di hatinya sudah hancur lebur.
Dengan putus asa Thian-hi pandang Ma Bong-hwi, kelihatan orang berdiri seenaknya sambil menggendong tangan, seperti menikmati musik yang mengasjikkan.
Kongsun Hong guru Thian-hi pernah menuturkan, bahwa Tay-seng-ci-lau punya keanehan yang mujijad, dapat dilancarkan sesuka orang yang melagukan, tanpa dapat mengganggu atau memcelakai orang lain, namun kekuatannya sungguh luar biasa dan sulit dibayangkan.
Tak kuat mendengar irama petikan harpa, terpaksa Thian-hi kerahkan Pan-yok-hian-kang untuk melindungi jantungnya, segera ia duduk bersila dan samadi, seketika terasa irama harpa itu kena terusir dari dalam badannya, pikirannya yang kalut dan gundah tadi pun lantas tersapu bersih.
Agaknya irama harpa juga tidak mau mengalah, beruntun ia merubah nada dan berganti lagu, mulailah lagu Sempurna abadi dikembangkan lebih lengkap. Tapi setelah Thian-hi berhasil samadi menggunakan Pan-yok-hian-kang, bukan saja tidak kena diganggu usik, malah dengan cermat ia bisa meng-ingat2 irama lagu Tay-seng-ci-lau yang hebat ini. Sambil mengingat lagu, diam-diam hatinya merasa heran, orang yang memetik harpa ini kelihatan tidak bisa ilmu silat, alangkah lucu dan anehnya, begitu pintar orang dapat mengetahui segala seluk beluknya, namun sedikit pun ia tidak bisa main silat, ini benar-benar aneh bin ajaib. Atau mungkin dia sengaja mengalah atau hendak memberi muka kepadanya? Atau sengaja ia hendak menyembunyikan kepandaian silatnya? Tay-seng-ci-lau merupakan lagu tiada taranya yang dapat mencabut jiwa hanya dalam lintasan petikan senar harpa saja, tapi orang ini tidak pandai silat, kejadian ini betapapun sangat mengejutkan.
Tiba-tiba irama harpa berhenti. Thian-hi juga lantas menyedot hawa sejuk, Ma Bong-hwi segera maju menghampiri serta berkata, “Ternyata Sianseng benar-benar seorang tokoh aneh, aku biasa mengagulkan diri sebagai orang kosen, tapi sungguh diluar dugaan Sianseng adalah lebih kosen lagi. Begitu lama menyembunyikan diri di rumah kita tanpa diketahui.”
Dengan murung Thian-hi bangkit berdiri, secara tak sengaja ia sudah melanggar pantangan Ka- yap Cuncia. Jikalau…. bilamana berita beradanya ia disini sampai tersiar ke Tionggoan, mungkin sebuah tragedi yang menimbulkan banjir darah bakal terjadi.