Bab 10
Dia diam berdiri sekian saat, mendadak ia berkata dalam hati; mungkin Hun Thian-hi sudah bolos pergi, kalau tidak masa begitu sabar dia mau menunggu begitu lama. Tanpa merasa Ang- hwat-lo-co menjadi gelisah, batinnya; Hun Thian-hi lolos pergi sih tidak menjadi soal yang penting adalah jangan sampai berita tentang Wi-thian-chit-ciat-sek itu tersiar luas dikalangan Kangouw, atau sebaliknya harapan dirinya menjadi kosong belaka.
Terpikir sampai disini, tiba-tiba batinnya berkata; mungkin disaat aku pergi memeriksa tadi dia lantas kabur? Kalau Hun Thian-hi betul-betul berniat melarikan diri, begitu aku tinggal pergi, setelah dia masuk gua lantas keluar pula dan melarikan diri, bebas dari pengawasanku.
Semakin dipikir Ang-hwat-lo-co menjadi gopoh, pikirnya; berapa jauh dapat kau tempuh perjalanan selama satu hari ini, betapapun akan dapat meringkusmu kembali. Tanpa banyak pikir lagi segera ia melesat keluar gua.
Dengan hati-hati dan waspada Thian-hi memasang kuping, setelah rada lama tak mendengar suara apa-apa, tapi masih kuatir Ang-hwat-lo-co belum pergi, betapapun dia tak berani melongok keluar.
Setengah jam kemudian baru ia berani mengintip dari celah-celah batu, melihat tiada kebayangan Ang-hwat-lo-co, baru ia menghela napas lega.
Thian-hi lantas berpikir, tentu Ang-hwat-lo-co tengah mengejar jejaknya, beberapa hari ini aku harus selalu waspada dan hati-hati. Akhirnya dia sembunyi lagi digua yang lain selama suatu hari.
Hari ke tiga baru ia berani keluar terus melanjutkan ke arah utara, sepanjang perjalanan ini dia tidak berani melalui kota2 besar, jalan yang ditempuh adalah alas pegunungan atau jalan kampung yang jarang dilewati manusia.
Tiga hari kemudian tibalah dia di tempat gurun pasir yang terbentang luas memanjang tak berujung pangkal. Segera ia keprak kudanya terus melanjutkan keutara.
Tempat kediaman Sam-kong Lama di Kwan— gwa, hampir tiada seorangpun yang tidak kenal akan ketenaran nama Sam-kong lama diluar perbatasan ini, maka sekali mencari tahu, segera ia diberi tunjuk alamatnya. Setelah lohor Thian-hi membelokkan kudanya ke arah barat langsung menuju kuil Bu-la. Cuaca sudah hampir gelap, sang surja sudah hampir tenggelam sejajar dengan garis cakrawala.
Tapi selepas pandang ke depan keadaan sekeliling sepi tiada kelihatan bayangan orang atau barang makhluk hidup lainnya. Hati Thian-hi menjadi gelisah dan gugup.
Tak lama kemudian dari kejauhan tampak debu mengepul tinggi memanjang tertiup angin, dua ekor kuda dicongklang kencang lewat disampngnya, sekilas pandang saja lantas Thian,hi tahu bahwa mereka adalah kaum persilatan. Thian-hi menjadi girang, melihat ada orang di daerah gurun yang sepi ini, tentu tak jauh di depan sana ada perumahan rakjat.
Segera ia tepuk-tepuk perut kuda lalu membedalnya ke depan.
Tiba-tiba kedua kuda tunggangan tadi putar balik, terdengar seorang membentak, “Berhenti!” Thian-hi melengak, hatinya rada berang, pikirnya, “Aku tidak berbuat salah terhadap kalian,
tanpa sebab kenapa kalian suruh aku berhenti? Ingin kulihat orang gagah macam apa kalian ini.”
Karena pikirannya terakhir ini segera ia menarik tali kendali menghentikan tunggangannya lalu berpaling.
Kedua orang ini bertubuh tinggi kekar dan kurus kering, orang yang bertubuh kekar itu memelihara jambang bauk diselebar mukanya, melihat Thian-hi menghentikan kudanya, segera ia membentak pula, “Bocah, kemana kau hendak pergi?”
“Apa pedulimu?” dalam batin Thian-hi memaki, namun dimulut ia berkata, “Entah untuk keperluan apa kalian tanya soal ini?”
Laki-laki kekar itu menjadi gusar, hardiknya, “Toaya tanya kau berani kau tidak jawab?”
Thian-hi mendengus jengkel, tapi terpikir olehnya bahwa seluruh kaum persilatan tengah mengejar jejaknya, sampai sekarang dirinya masih dapat menyembunyikan jejak, jangan sampai kelak menimbulkan kesukaran bagi Sam-kong Lama. Segera ia berkata: .Kulihat kalian datang dari depan, kukira disana tentu ada rumah tinggal, maka aku hendak kesana untuk minta nginap semalam.”
Kedua orang itu mendengus bersama, saling pandang sekali lalu berkata, “Disana pun tiada orang tinggal, kesana pun tiada gunanya, di daerah sini jangan kau main ugal2an membedal kuda seenak udel kau sendiri, kalau sampai membuat marah Loyamu, awas jiwa kecilmu!”
Hati Thian-hi menjadi marah, dengan mendelik ia pandang kedua orang itu tanpa bicara. Laki-laki kurus itu segera melengking berkata, “Keparat, agaknya kau tidak terima, ya!” —
Kudanya dimajukan ke depan.
Thian-hi mengangkat alis, kudanya diputar terus hendak tinggal pergi.
“Tunggu sebentar!” sentak laki-laki kurus itu, “Loyamu memberi kelonggaran kepadamu, kelihatan kau tidak senang malah main delik segala!”
Amarah Thian-hi sudah memuncak, tapi dia selalu prihatin tak suka menimbulkan keributan maka tidak mengumbar adatnya, namun melihat kedua orang ini terlalu kurang ajar dia menjadi gusar dan menjengek, katanya, “Nama kalian berdua….” Laki-laki kekar itu keprak kudanya, telapak tangannya melayang terus mengepruk kemuka Thian-hi sambil memaki, “Keparat yang tidak tahu diuntung, berani kau mencari tahu nama kebesaran loyamu!”
Mulut Thian-hi mengejek hrih, tangan kanan diangkat, tiga jarinya mencengkeram dan memuntir, telak sekali ia pegang pergelangan tangan laki-laki kekar itu terus diabitkan kesamping, kontan laki-laki kekar itu terjungkal roboh di atas pasir.
Melihat kawan sendiri kecundang begitu gampang, laki-laki kurus itu segera melolos golok, kuda ditarik mundur, dari gebrak pertama ini baru dia tahu bahwa Thian-hi bukan sembarang orang yang gampang dibuat permainan.
Thian-hi berludah, dia tidak mau menarik panjang urusan, segera ia putar kuda tinggal pergi.
Laki-laki kekar itu bergulingan di tanah, hatinya menjadi berang, melihat Thian-hi hendak pergi segera ia memburu maju sembari membentak, sekali lompat ia menubruk ke arah Thian-hi.
Thian-hi lecut kudanya ke depan, keruan laki-laki kekar itu menubruk tempat kosong.
Dari sebelah samping sana mendatangi seekor kuda putih, seorang gadis mengenakan cadar putih menyungging pedang mendatangi dengan cepat, begitu tiba ia melirik kepada kedua laki-laki itu, lalu mengamati Thian-hi sebentar tiba-tiba ia bertanya, “Apakah kau Hun Thian-hi?”
Tergetar hati Thian-hi, pikirnya, “Heran! Orang daerah sinipun sudah tahu namaku, mungkin Sam-kong Lama juga sudah mengetahui pula akan persoalanku. Sesaat ia menjaj terlongong tak tahu cara bagaimana harus menjawab, jejaknya sudah konangan lebih baik aku membedal kuda melanjutkan perjalanan secepat mungkin. Segera ia putar kuda terus dibedal sekencang angin.
Baru setengah li kemudian, terdengar di belakangnya derap langkah kuda yang cepat semakin mendatangi, kiranya kuda putih itu telah mengejar semakin dekat bagai angin terbang.
Thian-hi rada kejut, waktu ia berpaling dilihatnya derap langkah kaki kuda putih itu begitu kencang dan kokoh kuat lagi, tahu dia bahwa kekuatan kuda tunggangan sendiri terang takkan unggulan, jelas tak mungkin dapat meloloskan diri, terpaksa ia hentikan lari kudanya.
Lincah sekali gadis itu kendalikan kudanya melintang menghadang di depan Thian-hi, sambil tertawa ringan ia berkata, “Kenapa begitu melihat aku lantas lari, kami tiada niat berbuat sesuatu yang bakal merugikan kau. Kedua orang tadi adalah anak buah Thian-san-siang-long. tapi sudah kubereskan supaya tutup mulut, legakan hatimu aku tidak akan mencelakai kau.”
Thian-hi menjadi bergidik merinding, sungguh ia hampir tak percaya gadis aju dihadapannya ini ternyata begitu kejam dan telengas.
Gadis itu mengerut kening, katanya, “Kenapa kau, badan kurang segar? Kukira kau takkan ketakutan begitu rupa!”
“Harap tanya siapakah nama kebesaran Lihiap, apakah aku dapat tahu?” tanya Thian-hi.
Gadis itu tertawa-tawa, katanya cekikikan, “Legakan saja hatimu, kau bejat aku pun tidak baik!”
Hun Thian-hi menunduk, diam-diam ia menghela napas rawan, kata-kata sigadis sangat meresap dalam sanubarinya, mungkin di seluruh kolong langit ini tiada seorang pun yang menganggap dirinya orang baik. Melihat sikap Thian-hi yang murung itu, sigadis menjadi heran, tanyanya, “Kenapa kau? Apa badanmu sakit? Melihat sikapmu ini aku menjadi heran mengapa kau diberi nama julukan Leng- bin-mo-sim dikalangan Kangouw!”
Thian-hi tercengang, mulutnya menggumam, “Leng-bin-mo-sim?”
“Kenapa? Masa kau sendiri belum tahu?” olok sigadis dengan cekikikan, “Leng-bin-mo-sin Hun Thian-hi, sekarang sudah terkenal di seluruh dunia, begitu cepat kau angkat nama, sungguh membuat orang sangat kagum dan ngiler.”
Pedih perasaan Thian-hi seperti ditusuk sembilu, ia tunduk semakin dalam, tiba-tiba kedua kakinya menjepit perut kuda keras-keras, tunggangannya bebenger panjang kesakitan terus membedal kabur sekeras-kerasnya.
Otak Hun Thian-hi merasa pepat pikiran menjadi gelap, tahu dia bahwa dirinya sudah tamat dan tak mungkin bangkit kembali sebagai orang yang terpandang baik. Leng-bin-mo-sin (muka dingin berhati iblis), sungguh julukan ini sukar diterima oleh lubuk hatinya? Apakah ada muka untuk menjumpai Sam-kong Lama? Apakah tidak malu mengecewakan Lam-siau Kongsun Hong yang telah merawat dan membesarkan dirinya? Demikian juga terhadap ayah bunda yang telah dialam baka, dapatkah dirinya memberi pertanggungan jawab yang setimpal? Sungguh ia tidak berani memikirkan lebih lanjut….
Mendadak tunggangannya meringkjk panjang dan berloncatan. Thian-hi tersentak dari lamunannya, ia menjadi sadar waktu tunggangannya sudah menanjak naik ke atas sebuah ngarai, karena jalan licin kakinya terpeleset dan terperosot hampir masuk jurang.
Thian-hi menjadi tertegun mematung, tak terpikir olehnya untuk mengerahkan tenaga melompat menyelamatkan diri.
Terdengar seruan tertahan dibelakangnya, sebuah bayangan hijau melesat secepat kilat tahu- tahu sebuah tangan mencengkeram baju kuduknya terus melempar dirinya ke atas sebuah batu menonjol di Ngarai sebelah samping. Orang itu jumpalitan tiga kali ditengah udara, dimana kedua lengannya tergetar berkembang bagai burung terbang tubuhnya mencelat naik dan persis benar- benar hinggap di atas ngarai.
Melihat yang menolong jiwanya adalah gadis bercadar hijau itu, Thian-hi menghala napas, katanya kepada gadis itu, “Terima kasih!”
“Kenapakah kau tadi?” goda sigadis tertawa cekikikan, “Mendengar julukan Leng-bin-mo-sin lantas kau lari, apa kau tidak senang akan julukan ini?”
Dengan rasa hambar Thian-hi pandang gadis di depannya, tak tabu cara bagaimana ia harus memberi penjedasan.
Gadis itu tertawa lagi, katanya, “Kau tak perlu takut padaku, namaku mungkin kau pun sudah tahu, aku bernama Giok-bin-hwi-hou Sutouw Ci-ko!”
Thian-hi manggut, dia belum pernah dengar nama ini, tapi mungkinkah ia prihatin pada orang lain? Sejenak ia berdiam diri, lalu katanya, “Terima kaS5h Sutouw Lihiap, kupikir aku segera harus berangkat!”
“Kemana kau hendak pergi?” tanya Sutouw Ci-ko. Thian-hi menerawang; naga-naganya aku tak bisa ke tempat Sam kong Lama lagi. kemana aku harus pergi?
“Sebetulnya aku malah kagum terhadapmu,” terdengar Sutouw Ci-ko berkata sungguh, “Kalau kau sudi mari kita ikat persahabatan bagaimana?”
Melihat sikap Sutouw Ci-ko begitu polos dan jujur Thian-hi menjadi cerah wajahnya, katanya tertawa, “Apa-apaan ucapanmu ini, kau adalah penolong jiwaku bukan? Kalau bukan pertolonganmu tadi mungkin aku sudah terbanting hancur di bawah sana!”
“Tak perlu sungkan,” ujar Sutouw Ci-ko. “Sungguh heran, sedikit pun aku tidak melihat dimana letak kebuasan dari kedinginanmu, kenapa kau bisa begitu gapah tangan dan berhati keji.”
Hun Thian-hi tertawa getir, tak tahu dia bagaimana harus memberi jawaban.
Selanjutnya Sutouw Ci-ko berkata lagi, “Maaf! Tidak seharusnya aku tanya hal ini kepadamu, aku hanya merasa. heran saja!”
Hun Thian-hi tertawa dibuat-buat.
Kata Sutouw Ci-ko lagi, “Kalau kau hendak sembunyi aku punya suatu tempat yang tak mungkin didatangi orang lain. Hanya aku seorang yang tahu tempat itu. Bu-tong-pay sudah menyebar Bu-lim-tiap, bermula Siau-lim-si tidak ikut, tapi begitu kedua murid Giok-yap Cinjin mati, Sute Thian-cwan Taysu yang sekarang menjabat Siau-lim Ciangbungjin Te-ciat Taysu turun gunung sendiri untuk mengurus persoalan ini. Sampai di ujung langit pun kau akan dikejar sampai dapat, kalau kau sembarangan ngelajap ke-mana-mana tentu berbahaya!”
Mulut Han Thian-hi mengiakan, tahu dia bahwa Thian-cwan Taysu sekarang pun sudah tidak percaya lagi kepada dirinya, mungkin beliau pun merasa sayang dan gegetun telah melepas dirinya tempo hari.
Diempat penjuru musuh kuat tersebar luas, tapi Sutouw Ci-ko di hadapannya ini justru mengagumi dirinya, ini betul-betul sungguh menggelikan.
“Aih, kenapa kau? Mau ikut aku saja!” ajak Sutouw Ci-ko.
Melihat Su-touw Ci-to begitu supel, Thian-hi menjadi tertarik dan tertawa-tawa, memang tiada tujuan yang hendak dituju terpaksa ia menyahut, “Terima kasih Sutouw-lihiap! Entah dimanakah tempat itu?”
“Mari kau ikut aku, tak jauh dari sini,” kata Sutouw Ci-ko lalu menuntun kuda putihnya.
Hun Thian-hi mengekor di belakang Sutouw Ci-ko terus maju ke depan, dalam hati diam-diam ia mereka siapakah sebenar-benarnya Sutouw Ci-to ini, melihat sikapnya begitu baik terhadap dirinya, dia sendiri mengatakan dia bukan orang baik, tapi tidak kelihatan di mana ada kejelekannya.
Sembari berjalan Sutouw Ci-ko berkata, “Kuajak kau ke sana, setelah tiba tentu kau akan senang tinggal di tempat itu.”
Sambil mengiakan pikiran Thian-hi melayang ke urusan lain, dia sendiri sampai tak tahu jawaban apa yang telah diberikan tadi. Sutouw Ci-ko berpaling, tawanya semakin lincah, tanyanya, “Kenapa eh? Apa yang tengah kau pikirkan?”
“O, tidak apa-apa,” jawab Thian-hi gelagapan.
Sutouw Ci-ko mengamati mukanya, sesaat baru berkata, “Kau memang sangat menyenangkan, aku menjadi kurang percaya bahwa kau punya kepandaian begitu tinggi, coba lihat sikapmu yang rada linglung ini.”
Melihat orang selalu menyinggung persoalan itu Thian-hi rada tak senang, namun betapapun orang telah menyelamatkan jiwanya, tak enak rasanya bertingkah kasar, terpaksa ia bicara, “Sutouw-lihiap, kapan baru kita sampai disana?”
“Sebentar lagi! Itu di depan segera sampai!”
Begitulah mereka melanjutkan terus ke depan, setelah membelok di kaki gunung terlihat di depan sana terbentang sebuah gua besar setinggi dua tombak. Sutouw Ci-ko menuntun kudanya terus berjalan masuk, Thian-hi mengintil terus di belakang, setelah belok beberapa kali hadapan mereka tiba-tiba terbentang lebar, selayang pandang rumput hijau dan bunga2 liar tersebar luas laksana permadani, di tengah di depan sana terdapat sebuah kolam yang jernih airnya.
Hun Thian-hi menyedot hawa segar, batinnya, “Tempat ini betul-betul sangat menyenangkan.” Sambil tersenyum simpul Sutouw Ci-ko bertanya, “Apakah kau senang tempat ini?”
Thian-hi manggut-manggut, sungguh girang bukan main hampir tak kuasa ia bicara, rada lama kemudian baru berkata, “Aku sungguh sangat senang.”
Sutouw Ci-ko terpingkal-pingkal sambil berlari ke pinggir kolam, pelan-pelan ia tanggalkan cadar yang menutupi mukanya. Pandangan Thian-hi menjadi terang, sesaat ia menjadi terbelalak, ternyata Sutouw Ci-ko adalah seorang gadis rupawan yang cantik jelita.
Setelah menanggalkan cadarnya Sutouw Ci-ko duduk di pinggir kolam, kepalanya mendongak terlongong memandang puncak di depan nan jauh di sana. Diam-diam Thian-hi memperhatikan tingkah laku orang, sejak tadi ia merasa orang berwatak polos dan lincah, tapi sekarang seperti tengah dirundung kesusahan dan murung.
Thian-hi dapat menyelami perasaan orang maka dia tidak akan mengganggu ketenangan orang melayangkan pikirannya, pelan-pelan ia mundur dan keluar lagi dari gua itu, pelan-pelan ia berjalan goyang gontai ke arah bawah.
Dia celingukan ke kanan-kiri, memikirkan akan diri sendiri, bagaimana aku harus membawa diri selanjutnya? Tak mungkin aku sembunyi di tempat ini selama hidup! Tionggoan tengah bergolak, seluruh aliran dan golongan persilatan disana tengah mengejar dan mencari jejaknya aku tak mungkin pulang ke sana.
Begitulah berjalan sambil melayangkan pikiran, tak diketahui sudah berapa lama ia berjalan, tiba-tiba didengarnya langkah kuda berlari mendatangi, seorang laki-laki kurus pertengahan umur mendatangi, begitu melihat Thian-hi, orang itu lantas mendengus dingin.
Thian-hi angkat kepala, melihat orang yang tidak dikenal, ia melanjutkan ke depan. Sepintas pandang orang itu tahu bahwa Thian-hi bukan sembarang orang, segera ia menjengek dingin, “Siapa kau! Dua anak buahku dibunuh orang, apa kau tahu siapa. pembunuhnya?”
Bermula hati Thian-hi menjadi was-was menyangka utusan dari Tionggoan yang menyirapi jejaknya,
serta mendengar pertanyaan orang baru ia sadar bahwa yang dihadapi ini adalah salah satu dari Thian-san-siang-long (dua serigala dari Thian-san), sejenak ia pandang orang itu tanpa buka suara.
“Kutanya kau, apa kau tidak dengar?” sentak orang itu jengkel. Bertaut alis Thian-hi, tanyanya, “Harap tanya tuan ini….”
Melihat Thian-hi tidak menjavvab malah balas bertanya orang itu menjadi naik darah, sambil menggerung dia melolos rujung beruas dari pinggangnya terus melecut kepada Thian-hi.
Thian-hi mengegos ke samping menghindar, dia pun menggeram gusar, sungguh liar dan tak tahu aturan benar-benar orang ini. Orang berkepandaian silat tinggi sudah banyak yang kulayani, masa kubiarkan kau bertingkah dihadapanku? Demikian pikirnya dalam hati.
Melihat Thian-hi berhasil lolos dari serangan rujungnya, tangkas sekali orang itu melejit tinggi dari tunggangannya, dimana tangan bergerak rujungnya lagi-lagi menyamber ke arah Thian-hi. Cepat-cepat Thian-hi menyurut mundur, mendapat angin orang itu beruntun lancarkan sapuan rujungnya menerpa dengan kekuatan dahsyat sehingga Thian-hi main mundur lagi. Terdengar ia menghardik sekali, tiba-tiba tubuhnya selicin belut mendak kebawah terus menubruk maju menjotos berbareng sebelah tangan yang lain meraih ke samping memotes sebatang dahan pohon.
Belum sempat Thian-hi gunakan dahan pohon sebagai senjata untuk menyerang, Sutouw Ci-ko keburu datang mencongklang kudanya, belum lagi tiba, tubuhnya sudah meluncur ditengah udara, pedangnya bergetar menusuk ke tengkuk orang itu.
Orang itu melompat menyingkir, melihat kehadiran Sutouw Ci-ko berubah air mukanya.
Kata Sutouw Ci-ko dingin, “Ih Seng! Selamanya kita seumpama air sungai tidak menyalahi air sumur,
orang ini adalah sahabatku, kenapa kau datang menganiaja orangku?”
Laki-laki ini adalah salah satu Thian-san-siang-long Ih Seng berjuluk Ceng-bin-long (serigala muka hijau), katanya, “Kiranya dia sahabatmu, sungguh aku kurang adat. Dua anak buahku dibunuh orang….”
Sutouw Ci-ko menarik muka, katanya merengur, “Mereka bermulut kotor dan berani kurang ajar terhadap aku. Akulah yang bunuh mereka.”
Ih Seng rada tercengang, katanya, “Anak buahku semua kenal kau, mungkin….” sebentar ia merandek lalu melanjutkan, “Kalau begitu, apa boleh buat, selamat bertemu!” — Memutar kuda lalu mencongKlang pergi dengan buru-buru.
Hun Thian-hi berpaling ke arah Sutouw Ci-ko, katanya tertawa pahit, “Kau menolong aku lagi….” “Justru kaulah yang menolong dia!” tukas Sutouw Ci-ko menggoda. Hun Thian-hi menjadi kikuk dan risi, mulutnya bungkam.
“Bagaimana?” ujar Sutouw Ci-ko tertawa ringan, “Agaknya kau punya gangjalan hati ya?” Thian-hi menunduk tanpa bersuara.
“Bisakah kau ceritakan kepadaku?” tanya Sutouw Ci-ko dengan suara halus.
Thian-hi tersenyum, senggaknya, “Sutouw-lihiap, kulihat kau sendiri juga punya janggalan hati bukan?”
Sutouw Ci-ko angkat alis, katanya, “Untuk waktu dekat mungkin Ih Seng takkan tahu kau Hun Thian-hi adanya, tapi cepat atau lambat akhirnya dia pasti akan tahu. Lebih baik mari Kita lekas kembali.”
Thian-hi mnanggut2 dengan tersenyum bersama Sutouw Ci-ko mereka kembali ke dalam gua itu. Sekian lama, mereka berdiam diri duduk dipinggir kolam, mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Sekonyong-konyong Sutouw Ci-ko angkat kepala, tanyanya kepada Hun Thian-hi, “Apakah kau merasa tempat ini baik?”
Hun Thian-hi manggut-manggut, dalam hati ia membatin; ‘Bukankah tadi sudah kukatakan?
Apa maksud pertanyaan ini?’
Hening sejenak, Sutouw Ci-ko membuka suara lagi, “Masih ada seorang lagi yang mengetahui tempat ini. Tapi mungkin dia selamanya takkan datang kemari lagi!”
Lapat-lapat Thian-hi dapat menebak kemana juntrungan kata-kata ini, katanya tertawa, “Sutouw-lihiap, kalau aku dapat membantu kau, sungguh aku akan senang sekali!”
“Orang itu adalah sahabat karibmu, Bun Cu-giok!”
Tersentak hati Thian-hi. Bun Cu-giok, kiranya Bun Cu-giok! Tapi Bun Cu-giok sudah bergaul begitu intim dengan Ciok Yan, baru sekarang teringat olehnya akan mimik wajah Bun Cu-giok yang aneh tempo hari itu, kiranya begitu kejadiannya. Begitulah ia menerka2.
Dengan lekat Thian-hi memandang wajah orang dari samping, terdengar ia berkata lirih, “Aku tahu, pasti dia tahu bahwa aku sudah berbuat buruk, dia tak hiraukan aku lagi.”
Thian-hi menjadi serba sulit, tak tahu bagaimana harus menjawab, pikirannya melayang; Dalam hati Bun Cu-giok tentu masih ingat akan Sutouw Ci-to, tapi disampingnya sekarang sudah ada Ciok Yan.
Terdengar Sutouw Ci-ko berkata lebih lanjut, “Dia menyangka aku belum tahu perihal dirinya, tapi aku sudah tahu segala2nya.”
Thian-hi bernapas berat, pikirnya; ‘Kiranya untuk urusan inilah Sutouw Ci-ko mencari aku,’ mulutnya lantas berkata, “Kulihat kau orang baik, kalau aku ketemu dia, tentu akan kuberitahu bahwa kau tengah menunggu dia, supaya dia suka kemari, saat mana boleh kau bicara terus terang kepadanya.” “Ah, sungguh banyak terima kasih!” seru Sutouw Ci-ko.
Tengah mereka asjik bicara tiba-tiba di belakang mereka terdengar dengusan dingin. mereka tersentak kaget dan berpaling bersama. Tampak Bun Cu-giok berdiri jauh lima tombak dengan muka bersungut gusar.
Dengan kejut2 girang Sutouw Ci-ko berjingkrak bangun, serunya, “Cu-giok!” — Serta melihat sikap dan wajah Bun Cu-giok yang membeku dingin, kata selanjutnya ditelan kembali.
Tersipu-sipu Thian-hi berdiri, begitu melihat air muka Bun Cu-giok lantas ia dapat menerka kemana juntrungan pikiran orang, katanya dengan tersenyum, “Saudara Bun! Kita jumpt kembali!”
Bun Cu-giok tutup mulut, dengan memicingKan mata ia pandang mereka bergantian. rada lama kemudian baru berkata kepada Hun Thian-hi, “Saudara lolos dari bahaya, kuucapkan selamat.
Konon saudara Hun tertolong oleh Ang-hwat-lo-mo, apakah betul?”
Dengan mendelong Thian-hi pandang orang lalu manggut, tahu dia bahwa selanjutnya ia bakal kehilangan seorang sahabat yang paling dekat.
Bun Cu-giok berkecek mulut, katanya lagi kepada Hun Thian-hi, “Kaupun tak perlu menjelaskan lagi!”
Lalu ia berpaling kepada Sutouw Ci-ko, katanya. “Ci-ko! Perjodohan kita sudah batal, kenapa begitu kau sendiri tentu paham. Kedatanganku ini memang hendak mengembalikan kalung pualam milikmu.”
Lalu ia mengeluarkan mainan kalung dari batu pualam putih terus dibuang di depan kaki Sutouw Ci-ko.
Dengan mengembeng air mata Sutouw Ci-to berkata perlahan, “Cu-giok. Apakah kau tidak hargai hubungan erat kita yang dahulu?”
“Hubungan erat apa?” jengek Bun Cu-giok. “Tak ada hubungan erat apa-apa diantara kita berdua, kau hanya erat berhubungan dengan orang di Thian-san itu. yang benar-benar sekarang kau hubungan erat dengan Hun Thian-hi!”
Hun Thian-hi menjadi naik pitam mendengar fitnah Bun Cu-giok, desisnya, “Bun-pangcu, aku dan Sutouw-lihiap hanya kenalan ditengah jalan saja, dia minta supaya aku mewakili bicara kepadamu, apa maksud kata-katamu ini?”
“Hun Thian-hi!” sentak Bun Cu-giok semakin gusar, “Dengan siapa dia bergaul aku tidak peduli.
Tapi ternyata dia bersama kau, selama hidup ini aku Bun Cu-giok anggap kau seorang laki-laki, tapi….”
Lalu ia berteriak lebih keras lagi, “Hun Thian-hi! Kaum persilatan di seluruh dunia ini tengah mengejar jejakmu. Pihak Bu-tong-pay telah mengutus orang mengundang guruku turun gunung, hari ini himpas sampai disini, kelewat hari ini kau adalah musuh kebujutanku!”
Habis berkata bergegas ia membalik terus berlari keluar.
Hun Thian-hi tertawa besar, teriaknya, “Bun Cu-giok! Kuanggap kau seorang laki-laki sejati.
Ternyata kau seorang pengecut!” Bun Cu-giok membalik dengan murka, dengan mata berapi-api ia pandang mereka berdua sesaat kemudian lalu membalik dan menghilang diluar.
“Nanti dulu!” teriak Sutouw Ci-ko, “Masih ada omongan yang hendak kukatakan.”
Bun Cu-giok membalik lagi sambil menyunggjng senyum dingin, katanya, “Ada kentut apa lagi lekas lepaskan! Aku tak punya tempo mengobrol dengan kau. Ciok Yan sedan menanti aku!”
“Ciok Yan?” seru Sutouw Ci-ko dengan nada melengking. “Betul! Ciok Yan! Puteri Ciok Hou-bu dari Hwi-cwan-po.”
Sutouw Ci-ko menjadi bingung dan melongo sekian lama, akhirnya berkata pelan, “Apapun yang kau katakan! Aku tidak punya kesalahan, urusan sudah ketelanjur sedemikian jauh, akupun tak perlu banyak mulut lagi! Silakan pergi!”
“Tidak berbuat salah apa?” ejek Bun Cu-giok sinis, .,Hm! Setiap aku ingat ingin rasanya kubunuh
“kau!” Habis berkata terus berlari pergi.
Mendadak Sutouw Ci-ko terkial-kial. Hun Thian-hi menghela napas, tanpa bicara lagi.
Sutouw Ci-ko berkata, “Kau adalah orang baik, tak peduli apapun yang pernah kau perbuat, kau tetap orang baik, aku dapat melihat itu!”’
Thian-hi tersenyum pahit, katanya, “Apa kau tahu aku pernah berbuat salah apa?”
Sutouw Ci-ko tertegun, mulutnya terkancing, pelan-pelan ia duduk kembali dipinggir kolam, hening sekian lama baru buka suara lagi, “Berita angin itu belum tentu benar-benar!”
“Sutouw-lihiap,” ujar Hun Thian-hi, “Sudah saatnya aku pergi, Bun Cu-giok tahu aku berada disini, mungkin bisa bikin susah padamu.”
Sutouw Ci-ko tertawa, aneh, ujarnya, “Kemana juga kau pergi sama saja. Tak perlu kau kesusu dalam waktu dekat ini. Apakah kau sudi mendengar perihal diriku?”
Hun Thian-hi rada sangsi, akhirnya menjawab, “Janganlah!”
Sutouw Ci-ko memandangnya halus, Thian-hi tunduk malu-malu, heran dia mengapa Sutouw Ci-ko memandangnya dengan sorot mata begitu. Terdengar ia berkata, “Kalau beberapa tahun lebih siang aku jumpa dengan kau, tentu aku bisa suka kepadamu.”
Tergetar hati Thian-hi, serta merta mukanya menjadi merah dan panas, ter~sipu-sipu ia berkata, “Sutouw li-hiap, sekarang juga aku harus berangkat!”
“Kabar berita itu belum tentu benar-benar,” Sutouw Ci-ko berkata pelan-pelan, “Banyak cerita yang ingin kukatakan kepadamu, apakah kau tidak sudi tinggal barang sebentar lagi?”
Hun Thian-hi menjadi sungkan, Sutouw Ciko memberi tanda supaya Thian-hi duduk kembali. “Ada seorang bernama Kim-ih-kiam di Thian-san, apakah kau pernah tahu?” Thian-hi berpikir sebentar lalu sahutnya, “Agaknya aku pernah dengar nama orang ini, tapi tak ingat lagi!”
“Selamanya dia jarang mengembara di Kangouw, apalagi usianya masih sangat muda, maka jarang orang mengetahui dia.”
Thian-hi manggut-manggut, batinnya, “Mungkin dia itulah yang dimaksud orang dari Thian- san.”
Sutouw Ci-ko merenung sebentar lalu mulai dengan kisahnya, “Kira-kira sudah lima tahun yang lalu. Kim-ih-kiam-khek menantang aku bertanding pedang. Kita bertempur tiga hari tiga malam, kita bertanding satu lawan satu dalam sebuah ruangan, akhirnya seri alias sama kuat.” — Sampai disini ia angkat kepala memandang Thian-hi lalu meneruskan, “Tapi belakangan hari baru aku tahu bahwa dia sengaja mengalah kepada aku!”
Hening sebentar lalu meneruskan lagi, “Aku jadi naik pitam. Dalam kesempatan lain dia selalu mengalah, akhirnya aku berhasil memapas secuil ujung bajunya. Tatkala itu, aku kegirangan….”
Thian-hi membatin, “Rupanya pertandingan pedang yang menimbulkan pertikaian ini, kenapa pula urusan menjadi semakin bertele2.”
“Betapa buruk watak Kim-ih-kiam-khek itu, banyak akal muslihat dan licik lagi, waktu kita bertanding pedang tiada orang ketiga yang hadir, selama tiga hari tiga malam kita bertempur, sudah tentu rada janggal dan memalukan. Setelah aku turun gunung lantas kudengar omongan buruk yang menjelekkan nama baikku.
“Bun Cu-giok juga dengar kabar buruk itu lantas tanya kepadaku, sudah tentu aku menyangkal, malah dengan riang gembira kuberitahu bahwa aku telah berhasil mengalahkan Kim-ih-kiam-khek. Dia mencurigai aku, langsung dia naik ke Thian-san mencari Kim-ih-kiam, namun dia mandah tersenyum saja tidak mau menerangkan. Saking gusar Cu-giok lolos pedang lalu menempurnya sengit. Lima ratus jurus kemudian dia dikalahkan dan lari turun gunung. Sebetulnya aku sendiri bukan tandingan Bun Cu-giok!”
Thian-hi terperanjat, cara Kim-ih-kiam-khek mengatur tipu dayanya sungguh lihay dan licik benar-benar, tujuannya begitu keji.
“Setelah kembali Cu-giok tidak bicara terus tinggal pergi,” demikian Sutouw Ci-ko melanjutkan, “Peristiwa itu aku tidak tahu, akhirnya untuk ketiga kalinya aku naik ke Thian-san mencari Kim-ih- kiam-khek, aku memakinya supaya jangan suka main-main dan menggoda orang. Dia tak mau buka suara, saking jengkel aku melabraknya tapi untuk kali ini aku kena disekap tiga hari lamanya, kejadian terakhir ini lebih menjerumuskan aku, tak dapat aku mencuci bersih namaku! Bun Cu- giok tinggal pergi dan sembunyi, kalau aku mencarinya selalu dia menghindari pertemuan.”
Thian-hi juga merasa urusan semakin runyam, pikirnya; meski perangai Bun Cu-giok tidak terlalu jelek, namun rasa cemburunya itu terlalu besar dan tidak beralasan.”
“Dibeber secara terus terang begitulah duduk perkara sebenar-benarnya, akhirnya saking jengkel melihat dia tidak datang aku lantas membunuh orang, harapanku supaya dia mau datang, tapi kenyataan tidak” demikian Sutouw Ci-ko mengakhiri ceriteranya sambil tertawa terkekeh- kekeh pilu.
Thian-hi ikut tertawa, katanya, “Hal itu tidak bisa terlalu salahkan kau!” “Mungkin! Tapi tidak baik bukan!” “Adakah ayah bundamu masih hidup?” Thian-hi bertanya.
Sutouw Ci-ko menggeleng kepala, sahutnya, “Aku hanya punya seorang guru, tapi belakangan beliau pun tak peduli padaku pula.”
Hun Thian-hi menghembus napas dari mulut. “Kenapa aku selalu melihat kau berkeluh kesah.” “Aih, sama dengan aku, guruku pun mengusir aku,” kata Sutouw Ci-ko mengawasi Thian-hi, “Kau kasihan padaku atau kasihan kepada dirimu sendiri?”
“Aku tidak kasihan pada diriku dan tidak Kasihan padamu. Aku hanya merasa hidup di dunia ini kenapa begitu gampang kena dipermainkan orang, dibuat bulan2an.”
Sutouw Ci-ko berdiam diri, lubuk hatinya yang paling dalam mendadak merasa bahwa pembawaan Thian-hi ini ternyata begitu agung dan membanggakan.
Kata Thian-hi, “Sutouw-lihiap, kupikir aku harus segera berangkat!” “Kemana kau hendak pergi?”
Thian-hi menduga Sutouw Ci-ko takkan melepas dirinya pergi, kecuali sekedar diapusi, maka segera ia berkata, “Sam-kong Lama mengundang aku kesana, dia percaya kepada aku.”
Mata bening Sutouw Ci-ko menatap Thian-hi lekat-lekat, seperti dapat menembusi kebohongan kata-katanya, akhirnya mereka sama menundukan kepala, kata Sutouw Ci-ko sedih, “Aku tak kuasa melindungi kau, sekarang aku hanya mengharap dapat sekuat tenaga membantu kau saja.”
Thian-hi menjadi terharu, katanya tersedat, “Terima kasih!”
Setelah merenung Sutouw Ci-ko berkata, “Bun Cu-giok sudah pergi, akupun tak perlu bersedih lagi. Tapi aku mengharap dapat jumpa kembali dengan kau, pengalaman hidup kita sama, keadaanmu lebih sengsara dan menderita dari aku, tapi aku yakin akan datang satu hari kau akan berhasil, janganlah kau putus asa ditengah jalan.”
Thian-hi bungkam menelan liur, sesaat baru berkata, “Terpaksa baru guruku mengusir aku dari perguruan, tapi aku pun tak memikirkan beliau lagi, aku punya perhitungan sendiri, kau juga tak perlu kuatir akan diriku.” — sembari kata pelan-pelan ia bangkit.
“Kuda putihku itu sudah lama ikut aku, sangat berguna bagi kau, biarlah kuberikan kepada kau saja!”
Thian-hi hendak menolak, Sutouw Ci-ko keburu berkata lagi, “Kau tak usah menampik, mungkin inilah barang yang kuberikan kepadamu selama hidup ini, terimalah, daya larinya sangat kuat dan cepat, cerdik lagi, kupikir kelak akupun tak perlu menggunakannya lagi.”
Berdetak jantung Thian-hi, Sutouw Ci-ko memberikan hadiah terakhir kepadanya, apalagi untuk selanjutnya juga tak perlu menggunakan kudanya lagi ….serta merta ia bersitegang leher mengawasi Sutouw Ci-ko.
Sutouw Ci-ko tersenyum manis, katanya, “Orang-orang sekelilingku tiada satupun yang berbalas kasihan kepada aku, memang aku tidak perlu belas kasihan mereka, kau tak perlu kuatir aku bakal mencari jalan pendek. Aku akan kembali kepada guruku, pedangku ini silakan bawa sekalian!” — lalu ia menanggalkan pedangnya diangsurkan kepada Thian-hi.
Thian-hi terlongong mengawasi orang. Sutouw Ci-ko tersenyum lagi, katanya, “Selamat betemu, aku pun tinggal di Thian-san, kelak boleh kau datang mencari aku.”
Thian-hi menganggukkan kepala, Sutouw Ci-ko begitu baik terhadap dirinya, dia tertunduk menuntun kuda menenteng pedang terus keluar dari gua, katanya kepada Sutouw Ci-ko, “Kelak pasti aku tilik kepadamu.”
Melihat air mata yang mengembang dikelopak mata orang, hati Thian-hi menjadi mendelu, cepat-cepat ia berpaling terus berjalan pergi. Dalam hati ia berdoa supaya Sutouw Ci-ko selalu selamat dan sehat walafiat.
Setelah berada diluar Thian-hi menghela napas, perasaan terasa enteng, waktu berpaling Sutouw Ci-ko sudah tak kelihatan, segera ia naik kuda, pedang ditangannya diamat-amati, pedang ini rada halus lencir dan panjang, bobotnya lebih ringan dari pedang biasa. Bayangan Sutouw Ci- ko kembali terbayang dalam benaknya.
Kuda putih pelan-pelan berjalan ke depan. Haru benar-benar perasaan Thian-hi, tiada seorang pun di dunia ini yang memberi pengharapan besar terhadap dirinya, kecuali Sutouw Ci-ko seorang yang punya keyakinan akan masa depannya, ini merupakan dorongan kuat bagi dirinya sehingga ia dapat memulihkan kepercayaan terhadap dirinya sendiri. Terketuk sanubarinya, tanyanya pada diri sendiri; ‘Dimana jiwa gagah dan keperwiraanmu dulu?’
Thian-hi mendongak dipandangnya sekeliling yang sepi hampir gelap, tanpa merasa ujung bibirnya mengulum senyum bangga. Terpikir dalam hatinya; jangan aku membuat mereka kecewa! sebentuk bayangan yang sangat. dikenalnya terbayang di depan matanya. Dia tahu, dia tak pernah berbuat salah apapun juga, kenapa pula berkeluh kesah tanpa juntrungan? Tapi iapun amat sadar bahwa bahaya selalu mengintai disekitar dirinya.
Setelah tiba di bawah gunung, membedakan arah langsung Thian-hi menuju ke Bu-la-si.
Semalam suntuk Thian-hi melakukan perjalanan jauh. Waktu terang tanah, jauh di depan sana Thian-hi melihat Bun Cu-giok sedang menanti kedatangannya.
Melihat Thian-hi menunggang kuda Sutouw Ci-ko menyoreng pedangnya pula, Bun Cu-giok mendengus ejek, pedang mas dan cambuk perak segera dikeluarkan.
Melihat tingkah Bun Cu giok itu, Thian-hi tertawa tawar, katanya, “Bun-pangcu, perbuatanmu ini. kelak kau pasti menyesal!”
“Hun Thian-hi,’“ desis Bun Cu-giok dengan muka membesi gusar, “Aku mendapat perintah dari perguruan, harus menunaikan tugas, harap kau suka ikut aku pergi ke Bu-tong!”
Thian-hi mengangkat alis, katanya tertawa bangga, “Bun-pangcu selamanya kau paling jelas bagaimana sepak terjangku, terpaksa aku harus mengecewakan kau.”
“Kau tak sudi pergi, tugas perguruanku tak bisa kubangkang, terpaksa aku harus berlaku kasar terhadapmu’.”
Thian-hi mendongak bergelak tawa, berubah air muka Bun Cu-giok, sinar perak berkelebat secepat kilat meluncur, cambuk perak terayun, ‘Tar!” membelit ke arah leher Thian-hi. “Sreng!” Thian-hi melolos pedang, pedang panjang mengiris miring, tepat sekali berhasil menyontek ujung cambuk Bun Cu-giok.
Bun Cu-giok tertawa dingin, tubuhnya tiba-tiba melompat mumbul ditengah udara terbang jumpalitan satu lingkaran. cambuk peraknya tergentak bergulung-gulung menggulung ke arah pedang Thian-hi berbareng pedang mas ditangan kanan menyelonong maju menusuk tengah mata Thian-hi.
Thian-hi memperkuat jepitan kakinya di perut kuda, kuda putih lantas berlari maju, dimana pedang panjangnya bergetar ia kembangkan Gelombang perak mengalun berderai, sekaligus dua sasaran serangan Bun Cu-giok dari kedua jurusan kena dipunahkan.
Bun Cu-giok menggerung murka, pedang masnya kena disampok mental balik oleh daya pertahanan Thian-hi, belum lagi tubuhnya meluncur turun ditengah udara kakinya menjejak kaki yang lain, tubuhnya lantas meluncur ke depan menghalangi jalan Thian-hi, berbareng ia menyerang pula dengan tabasan yang lebih ganas.
Melihat Bun Cu-giok dapat bergerak begitu lincah dan enteng, menyerang pula dengan keji.
Thian-hi menarik kekang kudanya kesamping terus lari ke pinggir jalan.
Bun Cu-giok mengejar. Thian-hi jejakkan kakinya dipedal kuda tubuhnya lantas mencelat tinggi, ditengah udara tubuhnya rada bergerak miring, dengan jurus Hun-liong-pian-yu pedangnya merabu dengan gencar.
Bun Cu-giok menghardik keras, kedua tangan bergerak bersama, pedang dan cambuk menangkis dan balas menyerang, jalan darah Thian-bun dan Ki-kut yang mematikan menjadi incaran ujung pedang mas yang berkilauan itu.
Melihat Bun Cu-giok selalu merintangi jalan, kelihatannya tak mau melepas dirinya, jengkel pula akan jiwa sempit dan pikiran picik orang, segera ia nekad menempur orang, tapi serangan telak sekaligus musuh ini, terpaksa membuatnya mundur dua langkah.
Bun Cu-giok tidak memberi hati, serangan susulan dilancarkan semakin gencar. Permainan pedang. Thian-hi pun cukup hebat, dengan pedang panjang pemberian Sutouw Ci-ko itu ia layani permainan gabungan Bun Cu-giok. Sekejap saja ratusan jurus sudah lewat, mereka masih berkutet sengit sama kuat. Walau Thian-hi tak berhasil mengambil posisi, Bun Cu-giok sendiripun tak kuasa mendesak lawannya.
Sebetulnya Bun Cu-giok sangat membanggakan kepandaian sendiri, terdengar mulutnya berteriak panjang, serangan kedua senjatanya semakin membadai, tapi cukup mengembangkan jurus Tam-liam-hun-in-hap, Thian-hi berhasil memunahkan seluruh serangan Bun Cu-giok.
Semakin serang Bun Cu-giok semakin sengit, tapi pertahanan Thian-hi memang cukup berkelebihan untuk membendung setiap jurus serangan yang betapa pun lihaynya.
Tengah mereka bertempur seru, sekonyong-konyong dari samping jalan Sana menerobos keluar dua penunggang kuda. Begitu melihat kedua pendatang baru ini Bun Cu-giok kelihatan kaget dan gusar, cepat ia menarik senjatanya lantas keluar gelanggang.
Tampak oleh Thian-hi salah satu dari kedua orang itu adalah Serigala muka hijau Ih Seng tentu seorang yang lain adalah Ce-bin-Iong Ih Ceng, salah satu dari Thian-san-siang-lo yang lain, Ang- bin-long berarti serigala muka merah. Thian-san-siang-long semakin mendekat, begitu melihat Bun Cu-giok, mereka pun rada tercengang. Serta melihat Bun Cu-giok sedang menempur Hun Thian-hi, mereka sedikit lega.
Dengan mendelik gusar Bun Cu-giok pandang orang, katanya, “Ternyata kalian yang datang, perhitungan tempo hari belum selesai, kalian sangka lari lantas urusan menjadi beres?”
Ceng-bin-long Ih Seng tertawa dingin, katanya, “Bun-pangcu! Hari ini kita kesampingkan dulu pertikaian kita, kedatangan kita sama untuk meringkus Hun Thian-hi ini, kau seorang pun tak bakal unggul, kenapa tidak bergabung saja dengan kita?”
“Sebaliknya aku punya perhitungan untuk melabrak kalian dulu,” jengek Bun Cu-giok.
Ce-bin-long Ih Ceng bergelak tawa, serunya, “Bun-pangcu berkukuh demikian, kami berdua pun tak menolak, tapi dengan satu lawan dua, meski kami tidak becus, kami percaya takkan terkalahkan oleh Bun-pangcu. Apalagi kaki tangan kami tersebar luas disekitar daerah ini, aku kuatir nanti Bun-pangcu bakal rugi besar.”
“Sebagai pejabat Pangcu dari Partai Putih, kalian sangka aku kelujuran seorang diri?” lalu dengan muka cemberut tangan bertepuk tiga kali. Dari. semak-semak pohon dipinggiran jalan sekitar pertempuran satu persatu menongol keluar anak buah Partai Putih.
Berubah air muka Thian-san-siang-long, katanya, “Agaknya memang Bun-pangcu ingin mengajak bar2an.” dari ujung jalan pengkolan sana berderap segerombolan orang berkuda.
Terdengar Thian-san-siang-long melanjutkan, “Hanya menguntungkan Hun Thian-hi saja.” Thian-hi bergelak tawa, serunya kepada Thian-sansiang-long. “Apakah kalian mencari aku?”
“Benar-benar,” jengek serigala muka hijau Ih Seng, “kau bunuh dua anak buahku, dengan kedudukanmu sekarang masih berani keluntang keluntung membuat perkara dimana-mana, maka jangan kau sesalkan kita mencari perhitungan terhadap kau.”
Thian-hi menyeringai sedih, pembunuhan kedua orang itu ditumplekan pula kepada dosa dirinya. Dia pun tak mau main debat, katanya, “Aku Hun Thian-hi disini, mari kalian meluruk kepada aku saja, coba kalian rasakan betapa nikmat kepelanku ini.”
Bergidik kuduk Thian-san-siang-long, serta teringat akan julukan muka dingin berhati iblis hati lantas menjadi keder, tapi dilihat gelagatnya kepandaian silat Thian-hi tidak begitu tinggi, apalagi pihak sendiri kedatangan bala bantuan, kepandaian sendiripun tak lemah, kenapa harus takut.
Pandangan kilat Thian-hi menyapu lebih tajam, hati mereka makin kuncup, serunya, “Hun Thian-hi! Jangan kau sangka kita takut kepadamu, bicara terus terang, kedatangan kita ini adalah menuntut Badik buntung dari tanganmu.”
Thian-hi rada tercengang, pikirnya; bukankah Badik buntung sudah berada di tangan Partai merah? Kenapa pula mereka menuntut kepada aku? Dalam hati ia berpikir begitu, tapi mulutnya tertawa lebar, katanya, “Bagus, asal kalian bisa menunjukkan kemampuan, jangan kata Badik buntung, batok kepalaku inipun boleh kalian ambil.” — saat itu nafsunya membunuh sudah menghangati pikirannya, kalau musuh tidak bergerak itulah baik, atau sebaliknya aku terpaksa harus menggunakan jurus Pencacat langit pelenyap bumi yang ganas itu.
Dasar sudah keder Thian-san-siang-long menjadi sangsi, tapi sebagai manusia tamak yang sangat mengincar Badik buntung itu, mereka sudah bersiap2 hendak menyerbu. Tapi keburu Bun Cu-giok mencegah dari samping, teriaknya: Nanti dulu!” Dengan lirikannya Bun Cu-giok menyapu kedua lawannya, dia heran kenapa sikap Thian-hi hari ini rada ganjil, begitu nekad untuk mengikat permusuhan pula dengan musuh kuat ini. Badik buntung tidak berada ditangannya, kenapa dia tidak menyangkal, entahlah apa maksudnya?
Biji matanya berputar, sekilas ia melirik ke arah Thian-hi lalu berkata kepada Thian-san-siang- long, “Kalian harus tanya dulu kepadaku apakah aku setuju akan sepak terjang kalian.” — lalu iapun berkata kepada Thian-hi dengan pongah, “Jangan anggap aku membantu kau.”
Thian-hi tersenyum dengan sombong, ujarnya, “Kalau begitu, aku hendak pergi saja!” — lalu ia cemplak ke atas kudanya.
Serempak Thian-san-siang-long mengeprak kudanya maju menghadang. Dengan dingin Thian-hi menjengek, “Apa kalian sudah tak ingin hidup lagi?”
Gemetar badan Thian-san-siang-long, tapi mereka nekad melolos rujung baja hendak merintangi jalan Thian-hi.
Biji mata Thian-hi memancarkan sorot membunuh, sembari menggeram ia menerjang maju.
Tapi Bun Cu-giok bergerak lebih dulu, pedang dan cambuknya sudah bergerak merangsak kepada Thian-san-siang-long. Thian-hi hendak meneruskan perjalanan, tapi cambuk perak Bun Cu-giok menyabet balik menyerang ke arah dirinya.
Melihat perbuatan Cu-giok yang takabur ini Thian-hi rada gemes, tapi betapapun Bun Cu-giok pernah memberi bantuan yang sangat besar artinya terhadap dirinya, apalagi dia tidak berniat merebut Badik buntung, bagaimana juga aku harus mengalah terhadapnya.
Cepat ia menarik kekang mengundurkan Kudanya. Sekarang Bun Cu-giok lebih leluasa menggerakkan pedang dan cambuknya menyerang kepada Thian-san-siang-Iong.
Anak buah Partai Putin sembunyi di sekitar gelanggang, anak buah Thian-san-siang-long bisa melihat gelagat, mereka tak berani sembarangan bergerak, maka pertempuran dua lawan satu ini berjalan dengan sengit. Meski melawan dua gerak gerik Bun Cu-giok masih kelihatan lebih unggul, senjatanya bergerak lincah merangsak kepada kedua lawannya yang cukup tangguh juga.
Sekonyong-konyong terdengar Sabda Buddha mengalun di angkasa, tiga orang yang bertempur menjadi kaget dan melompat berpencar. Tampak seorang Lama berjubah kuning melangkah pelan mendatangi. Di daerah luar perbatasan kedudukan Lama punya kuasa yang tertinggi, mereka bertiga sama-sama tokoh kosen, tapi naga takkan mungkin dapat melawan ular tanah setempat, begitu melihat kedatangan Lama ini segera mereka berhenti bertempur.
Setelah dekat Lama itu merangkap tangan serta berkata, “Pinto mendapat perintah dari ketua Sam-kong Lama, kami undang kalian berempat untuk bertandang ke biara Bu-la-kiong!”
Terkejut hati Thian-hi, batinnya, “Eh? Sam-kong Lama sudah tahu kedatanganku ini?” Sekilas Thian-san-siang-long saling pandang, mereka tengah terdesak di bawah angin,
kedatangan Lama ini sungguh kebetulan bagi mereka malah. Bun Cu-giok mendengus, katanya, “Apa Sam-kong Lama?”
“Betul!” sahut Lama jubah kuning, “tuan ini tentu Bun-pangcu adanya?” Diam-diam Bun Cu-giok juga bercekat, bagaimana mungkin Sam-kong Lama juga kenal akan namanya, dalam hati ia menertawakan, kalau begitu, tiada halangannya aku kesana untuk berkenalan dengan Sam-kong Lama lebih dekat. Maka segera ia menganggukkan kepala, katanya, “Kalau begitu menyusahkan Tay-lama menunjuk jalan.”
Setelah pandang keempat orang bergantian, Lama jubah kuning lantas membalik dan berjalan pergi. Thian-hi menuntun kudanya mengikuti di belakangnya. Diam-diam ia berpikir, kekuasaan Sam-kong diluar perbatasan sini sungguh sangat besar. Kepandaian silat Bun Cu-giok semestinya tidak lebih rendah dari Sam-kong Lama, ternyata dia harus tunduk akan kata-kata Sam-kong Lama juga.”
Kira-kira setengah jam kemudian, rada jauh dibalik gunung sana Bu-la-si sudah kelihatan. Bu- la-si bagian luar dikelilingi tembok pendek, di dalam halaman tertanam pohon-pohon besar tersebar di mana-mana. Pintu gerbangnya kira-kira tiga puluh tombak dari pintu biara.
Thian-hi melayangkan pandangannya ke dalam, tiada kelihatan bayangan seorangpun. Lama jubah kuning langsung membawa mereka memasuki biara terus menuju ke ruang pemujaan bagian tengah. Begitu sampai di ambang pintu biara besar, sekilas pandang Thian-hi lantas melihat Sam-kong Lama tengah duduk di tengah ruang pemujaan, beliau sudah menanti kedatangan mereka.
Begitulah melihat Thian-hi, Sam-kong Lama terus menyapa dengan tertawa, “Hun-sicu, sejak berpisah sudah setengah tahun lamanya. Hun-sicu masih sehat dan selamat, sungguh menggirangkan dan harus diberi selamat.”
Thian-hi rada tercengang, hampir ia tidak percaya akan pendengarannya dan pandangan matanya bahwa Sam-kong Lama masih bersikap begitu baik terhadap dirinya. Mungkinkah Sam- kong masih belum tahu akan pengalamannya terakhir? Tapi dia mengutus orang untuk menjemput aku, jelas sekali sangat tahu akan setiap jejaknya. Bagaimana mungkin dia tak tahu akan sepak terjangku belakangan ini?
Waktu datang tadi dia berprasangka dirinya bakal ditahan, kini melihat sikap Sam-kong begitu mengindahkan, dia jadi tertegun, setelah menjublek baru ia berkata, “Cianpwe baikkah selama ini? Wanpwe tidak becus dan durhaka, aku telah diusir dari perguruan oleh Suhu!”
Agaknya Sam-hong sudah tahu persoalannya, dengan tertawa ia berkata, “Kau tak usah kuatir persoalanmu aku jelas semua.”
Melihat Sam-kong bersahabat begitu baik dengan Hun Thian-hi, luluhlah hati Bun Cu-giok, betapapun besar kekuatan Partai Putih juga tak berani mencari perkara dengan para Lama.
Sambil berseri tawa Sam-hong Lama berkata kepada Thian-san-siang-long, “Akupun jelas akan segala seluk beluk tentang kalian, menurut undang2 disini siang-siang aku sudah harus mengusir kalian kembali ke Thian-san. Tapi sekarang aku hanya perintahkan kalian segera bawa seluruh anak buahmu keluar dari wilajahku. Kalau bangkang kami akan bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku.”
Bergidik badan Thian-san-siang-long, walaupun Sam-kong bicara sambil tersenyum, tapi dengan kedudukannya sekarang di tempat itu, setiap ucapannya jauh lebih berpengaruh dari firman raja. Terpaksa mereka ngelojor pergi cepat-cepat.
Sam-kong mengalihkan pandangannya kepada Bun Cu-giok, ujarnya, “Bun-pangcu, setelah pulang kau pun harus tutup pintu merenung kembali, harap wakilkan aku menyampaikan salam kepala gurumu!” Bun Cu-giok bersungut tak senang, serunya, “Hun Thian-hi membunuh Bu-tong-pay Ciang-bun Giok-yap Cinjin, kalau Tay-lama benar-benar hendak melindunginya, ini berarti menentang kaum persilatan di Tionggoan.”
“Terima kasih akan kebaikan Bun-pangcu,” ujar Sam-kong Lama, “Bun-pangcu masih muda belia gagah dan cakap lagi, merupakan tunas harapan kaum persilatan, tapi kalau masih ingin maju, maka kau harus berpegang pada kelurusan hati, lapangkan dada!”
Bun Cu-giok menjadi sebal mendengar khotbah Sam-kong Lama, dengan langkah lebar ia membalik terus keluar dari biara.
Sam-kong berseru menambahi, “Silakan Bun-pang-cu merenungkan lebih tenang di rumah!” Bun Cu-giok tak hiraukan, langkahnya dipercepat.
Mengantar punggung Bun Cu-giok yang menghilang diluar pintu biara, perasaan Thian-hi menjadi hambar, untuk selanjutnya mungkin Bun Cu-giok bakal menjadi musuh kebujutannya.
Memandang muka Thian-hi Sam-kong tertawa, ujarnya, “Kau tak usah kuatir, akan datang suatu hari dia bakal menyesal. Gurunya seorang cerdik pandai, dia pun tak terlalu lama tenggelam dalam kecerobohannya.”
Dengan rasa kurang tentram, Thian-hi bertanya, “Cianpwe! persoalanku benar-benarkah kau sudah tahu?”
Sam-kong manggut-manggut, ia menjelaskan, “Hwesio jenaka telah beritahu kepadaku!” “Hwesio jenaka?” seru Thian-hi kaget. Hatinya banyak dirundung pertanyaan, sudah beberapa
kali Hwesio jenaka menolong dirinya. Apakah latar belakangnya? Sebenar-benarnya tokoh macam
apakah dia?
Tanya Thian-hi lagi, “Cianpwe juga kenal Hwesio jenaka? Sebetulnya orang macam apakah dia?”
Sam-kong mengerut alis, jawabnya, “Saat ini tak berguna kuberitahu, tapi cukup kau mengetahui walau kelihatan dia bertubuh pendek kecil, tapi usianya jauh lebih tua dari aku, kau jangan anggap dia sebagai bocah kecil.”
Thian-hi menjadi tertegun, sungguh tidak nyana olehnya, Hwesio jenaka yang suka tertawa2 bertubuh pendek tambun dan mungil itu, usianya ternyata lebih tua dari Sam-kong Lama.
“Kau selalu menyebut dia Siau-suhu, dia sangat tidak senang!” sambung Sam-kong.
Mencelos hati Thian-hi, dirinya begitu ceroboh dan kurangajar, naga-naganya dia semestinya menjadi seorang Cianpwe, tapi kenapa aku begitu kasar terhadapnya!
Sam-kong menjadi geli melihat Thian-hi menjadi kikuk, katanya tersenyum, “Martabatnya memang jenaka suka guyon dan ngelajap, dia tidak pantang akan segala, kau pun tak usah kuatir apa-apa terhadap dia.”
Teringat akan bantuan Hwesio jenaka berulang kali itu, sudah semestinya aku harus nyatakan terima kasih kepada beliau, segera ia bertanya, “Sekarang dimanakah dia orang tua?” “Jejaknya selamanya tidak diketahui orang. Persoalanmu dia pun hanya kasih tahu duduk persoalan yang benar-benar, tentang latar belakangnya dia tak mau terangkan, agaknya persoalan ini membawa buntut dan akibat yang sangat besar.”