Bab 07
Sungguh Thian-hi tak berani membayangkan, sambil menggerung seperti singa mengaum ia kiblatkan Badik buntung terus menerjang ke arah pintu.
Tapi para penghadang itu adalah Sam-lo-chit-cu, merupakan tokoh-tokoh yang paling diandalkan oleh pihak Bu-tong-pay, mana mungkin mereka mau membiarkan dirinya melarikau diri?
Serempak Sam-lo-chit-cu melolos pedang, terus bergerak saling melintang melancarkan serangan gabungan yang dahsyat perbawanya, Thian-hi terdesak mundur ke dalam kamar semadi lagi.
Thian-hi menggertak, yang terpikir dalam otaknya hanya melarikan diri, sedikitpun tidak terpikir olehnya akibat dari peristiwa hebat ini. Dimana Badik buntung berkelebat dengan jurus Gelombang perak mengalun berderai ia merabu para musuhnya sehingga Sam-lo-chit-cu terdesak mundur oleh tabiran cahaya hijau pupus yang dingin dan tajam sekali.
Sam-lo-chit-cu merupakan tokoh-tokoh kosen yang berkepandaian tinggi, mereka insaf setiap jurus serangan Thian-hi pasti adalah jurus-jurus ganas yang membahayakan, maka sebat sekali mereka bergerak bersama, sepuluh orang sepuluh batang pedang berbareng melancarkan jurus gabungan Coan-liu-gak-lik, memang dahsyat sekali perbawa tenaga gabungan ilmu pedang ini, betapapun lihay dan hebat serangan Thian-hi tak urung ia terdesak balik oleh daya perlawanan yang kuat dari tenaga musuh.
Sekali gebrak saja lantas terdesak mundur, namun segala akibat dan sesuatunya sudah tak terpikirkan lagi oleh Thian-hi, begitu mundur ia menyerbu maju lagi, kini ia lancarkan jurus Tam- lian-hun-in-hap dari Gin-ho-sam-sek kedua.
Jurus kedua ini berlipat ganda lebih dahsyat dan hebat perbawanya, Sam-lo-chit-cu terpaksa harus menyurut mundur, Thian-hi berkesempatan menerobos lewat keluar pintu, begitu sampai diluar Sam-lo-chit-cu sudah berbaris membentuk sebuah barisan mengepung dan menghadang jalan lari Thian-hi.
Thian-hi insaf jalan satu-satunya baginya hanyalah menggunakan kekerasan, maka begitu bergerak langsung ia mengerahkan sekuat tenaga merangsak musuh. Tampak Sam-lo-chit-cu berpencar dan secepat kilat bergabung maju pula, tetap mereka mengepung Thian-hi di tengah.
Thian-hi sudah berusaha mengerahkan tenaga dan mengembangkan ilmu pedangnya mengandal ketajaman Badik buntung, namun setiap serangannya selalu kandas, ia terpaksa harus membela diri melulu. Untung kedua jurus Gin-ho-sam-sek yang dilatihnya itu merupakan ilmu pedang tingkat tinggi yang sudah diapalkan diluar kepala, untuk membela diri jauh masih berkelebihan.
Sekejap saja lima puluh jurus sudah berlalu, dari atas gunung tampak berlari-lari mendatangi dua sosok bayangan. Dilain kejap begitu kedua orang ini tiba Sam-lo-chit-cu segera menarik serangan, pedang melintang di depan dada. Berpikirpun tidak, begitu melihat Sam-lo-chit-cu menghentikan aksinya sebat sekali Thian-hi melejit tinggi terus terbang ke depan menuju bawah gunung.
Sambil menarik muka kedua pendatang itu terus mengejar ke depan, masing-masing mengulur telapak tangan memukul ke arah Thian-hi.
Begitu melihat gaya serangan kedua orang ini, Thian-hi lantas berteriak kejut, “Gwat Long Sing Poh!” — setelah berteriak ia angkat kepala mengawasi kedua orang ini dengan seksama. Kiranya Gwat Long dan Sing Poh adalah pemuda remaja yang berusia 20-an, mengenakan jubah Tosu warna hijau, punggung masing-masing menyandang pedang panjang, biji matanya tanpa expresi mengawasi Hun Thian-hi tanpa berkedip.
Walau usia Gwat Long dan Sing Poh masih muda, namun mereka adalah murid langsung dari Giok-yap Cinjin, mereka berdua saja yang menjadi keturunan dari ilmu Siau-yang-sin-kang, maka begitu mereka unjuk diri, Sam-lo-chit-cu harus memberi muka dan mengalah kepada mereka.
Memandang Gwat Long Sing Poh, Hun Thian-hi menjengek dingin, “Cara bagaimana kematian Suhu kalian, kukira kalian berdua sudah tahu, kiranya tak perlu aku Hun Thian-hi banyak mulut. Sekarang kalian mencari perkara kepada aku, sungguh aku ikut penasaran akan kematian beliau.”
Gwat Long dan Sing Poh bungkam seribu basa, Sam-lo-chit-cu mendengus ejek, Gwat Long dan Sing Poh angkat kepala, pelan-pelan menggapai tangan, serempak Sam-lo-chit-cu menyerbu lagi.
Thian-hi bergelak tawa saking murka, Badik buntungnya berkelebat menyerang kepada Sam-lo. Gwat Long dan Sing Poh saling pandang sekilas, mereka mencabut pedang masing-masing terus berkelebat memasuki gelanggang memapas dan menusuk kepada Thian-hi.
Sambil kertak gigi Hun Thian-hi ayun Badik buntungnya untuk melawan keroyokan musuh, tapi Gwat Long dan Sing Poh adalah murid didik langsung dari Giok-yap Cinjin sejak masih kecil,
Bu-tong-pay merupakan aliran murni dari golongan Lwekeh, sejak kecil mereka sudah diberi kepandaian dasar yang kokoh kuat sudah tentu hasilnya sangat mengagumkan.
Melihat cara tempur Hun Thian-hi yang nekad dan tanpa gentar sedikitpun berbareng mereka memutar pedang dan menyampok kesamping, dengan rangsekan berbareng dari dua jurusan ini Badik Hun Thian-hi kena dituntun miring kesamping, kesempatan ini digunakan Sam-lo-chit-cu mengacungkan pedang menusuk dan membacok bersama dari berbagai penjuru.
Jidat Thian-hi sudah basah oleh air keringat, terdengar ia menggembor keras, tanpa disadari ia mengembangkan ilmu ringan tubuh yang pernah dilihatnya dari si tua Pelita dalam rimba tempo hari, keadaan waktu itu sangat berkesan dalam benaknya, sekarang dalam keadaan genting dia kembangkan, laksana ikan berenang selicin belut ia bergoyang gontai bergerak lolos dari rangsekan pedang Sam-lo-chit-cu.
Thian-hi sendiri menjadi tercengang melihat hasil perkembangan ilmu ringan tubuhnya yang dapat ditirunya dari kepandaian Situa Pelita, bahkan girang melihat dirinya bakal lolos dari kepungan Sam-lo-chit-cu gerak-geriknya menjadi sedikit lamban, tampak selarik sinar pedang berkelebat tahu2 lengan kirinya sudah tergores luka panjang dan mengeluarkan darah deras. Saking kesakitan Thian-hi sampai mengeluh panjang, cepat2 ia kiblatkan Badik buntung melancarkan jurus kedua dari Gin-ho-sam-sek untuk membendung serangan susulan pihak musuh. Dari menyelang ia sekarang menjadi pihak yang bertahan, meski terasa tekanan tenaga dari berbagai penjuru sangat berat, tapi dalam waktu dekat ia masih kuat bertahan.
Melihat serbuan gabungan ilmu pedang mereka tak berhasil membobol pertahanan Thian-hi, Gwat Long dan Sing Poh menjadi sengit. Mendadak mereka membalikkan pedang, serempak melancarkan ilmu simpanan pihak Bu-tong-pay yang dinamakan Cian-si-bi-ciu, dua batang pedang mereka berputar memetakan cahaya terang benderang menerangi gelanggang, seluruh kekuatan telah dikerahkan untuk melancarkan serangan ini.
Se-konyong2 Thian-hi merasa tekanan dari empat penjuru bertambah berat, luka lengan kirinya mengalirkan darah lagi, insaf ia kalau pertempuran berlangsung terus tentu dirinya susah buat bertahan, paling lama juga hanya kuat bertahan setengah jam.
Lama kelamaan kepalanya terasa berat, matanya ber-kunang2 dan kabur, sekuatnya ia masih lancar-kan jurus2 ilmu Gin-ho-sam-sek untuk berlindung dan membela diri.
Mendadak samar2 terdengar olehnya teriakan kaget dan takut, Gwat Long dan Sing Poh, berbareng terasa tekanan serangan mereka mengendor. Kuat2 Thian-hi menggelengkan kepala, sebuah keajaiban tiba2 membuat semangatnya tersentak bangun dari kepalanya. Namun dilain saat Thian-hi sendiri juga menjadi melongo, karena terlihat olehnya Giok-yap Cinjin tengah berdiri tegak dikaki tembok sebelah dalam sana. Sekilas Thian-hi menjadi sadar bahwa entah tokoh siapa yang telah berusaha menolong dirinya. untuk menerjang keluar dari kepungan, sebat sekali ia melambung tinggi terbang kebawah gunung.
Sambil menggertak Sam-lo-chit-cu menggerakkan pedang menusuk dan membabat. gesit sekali Thian-hi menggeliat ditengah udara tubuhnya terus meluncur kedepan, serangan bersama Sam-lo- chit-cu mengenai tempat kosong. Terdengar Gwat Long dan Sing Poh menghardik keras. berbareng mereka melejit mengejar sambil menyerang dari jarak jauh.
Thian-hi berusaha untuk mengegos, namun gerak geriknya sudah rada lamban, kontan pundak kirinya kena dijotos lagi oleh musuh, seketika ia rasakan seluruh lengan kirinya seperti dipanggang diatas bara, begitu kakinya menyentuh tanah segera ia kembangkan ilmu ringan tubuh dan berlari sipat kuping kebawah gunung.
Entah sudah berapa lama dan berapa jauh ia berlari, cara bagaimana pula ia berhasil menghindarkan diri dari kejaran Gwat Long dan Sing Poh, tak diketahui pula olehnya kapan ia telah jatuh pingsan dan tak sadarkan diri lagi.
Waktu Thian-hi membuka mata terasa mukanya dingin, terlihat Hwesio jenaka tengah berdiri dihadapannya sembari cengar-cengir kepadanya.
Thian-hi merasa badannya sedikit segar, ter-sipu2 ia berusaha bangkit berduduk, segera Hwesio jenaka mencegahnya katanya tertawa, “Kesehatanmu belum pulih, jangan kesusu bangun!”
Memang Thian-hi merasa kaki tangannya lemas tak bertenaga, dengan lirih ia menyapa, “Siausuhu, hari ini aku tertolong pula oleh kau, sungguh tak ahu cara bagaimana aku harus membalas kebaikanmu ini.”
Hwesio jenaka masih cengar-cengir tanpa bicara, rada lama kemudian baru ia buka bicara, “Urusan yang kau kerjakan kali ini sungguh sangat menggemparkan. Kau tertuduh membunuh Giok-yap Cinjin, apakah kau kuat memikul dosa berat ini? Jangan kata orang luar, mungkin gurumu sendiri pun takkan berani buka bicara untuk membela kau lagi.”
Thian-hi maklum apa yang dikatakan itu memang kenyataan, ia menghela napas an bungkam seribu bahasa. Sesaat kemudian tiba2 ia bertanya, “Kenapa Siau-suhu bisa disini? Bagaimana pula kau tahu bahwa Giok-yap Cinjin bukan aku yang membunuhnya?”
Wajah Hwesio jenaka lantas mengunjuk rasa sedih dan rawan, ia berputar menghadap kejurusan lain, sejenak kemudian ia berpaling serta berkata dengan tersenyum, “Jangan kau berpikir terlalu jauh, aku mendengar kabar bahwa Mo-bin Suseng hendak mencelakai kau, waktu aku menyusul tiba tapi sudah terlambat!”
Bergegas Thian-hi bangun berduduk, tanyanya cepat, “Dimana Siau-suhu mendengar kabar ini?”
Hwesio jenaka menyengir, jawabnya, “Bukan aku tidak mau memberitahu, sebetulnya tak guna mengetahui hal itu.”
Thian-hi dirundung rasa cemas dan curiga, pelan2 ia merajap bangun menggelendot dibatang pohon, dengan seksama ia menatap Hwesio jenaka, pikirnya, “Darimana ia tahu?
Mungkinkah ”
Tampak Hwesio jenaka tetap berseri tawa tanpa menunjukkan sesuatu keganjilan.
Akhirnya Thian-hi menghela napas, ujarnya, “Siau-suhu! Aku memikul dendam kesumat sedalam lautan, kalau Siausuhu suka memberi petunjuk sehingga aku dapat menuntut balas, Siau- suhu minta apapun terhadap aku tentu dapat kulaksanakan.”
Hwesio jenaka tertawa lebar, katanya:, “Apa yang kutahu saat ini bila kuberitahu kepada kau hanya akan mengagetkan pihak musuh saja, malah mungkin membawa bencana bagi kau.”
Thian-hi menerawang sebentar, lalu katanya, “Apakah Siau-suhu anggap sepak terjangku terlalu gegabah?”
Kata Hwesio jenaka tertawa lebar, “Sekarang kau lebih baik pergi ke Siau-lim-si, berusaha mendapat bantuan dari Thian-cwan Taysu, kalau beliau yang tampil kedepan mungkin dapat menghapus penasaranmu, Sampai saatnya nanti boleh kau bicara perihal yang lain, karena saat ini kau terancam bahaja dan sulit berdiri dikalangan Kangouw.”
Terkancing mulut Thian-hi, memang kenyataan apa yang dikatakan itu. Mungkin Thian-cwan Taysu belum tentu mau membantu, beliau tidak tahu duduk perkara sebenarnya, bagaimana mungkin beliau mau membantu secara semberono?
Melihat kesangsian Thian-hi, Hwesio jenaka berkata lagi, “Selain jalan ini tidak ada cara lain untuk mengatasi kesukaranmu ini”.
Thian-hi merenung sekian lama, hatinya gundah dan bingung, memang selain jalan itu tiada cara penyelesaian lain yang lebih sempurna.
Kata Hwesio jenaka, “Kalau kau sudi aku bisa menunjukkan jalan, sepanjang jalan ini kutanggung tidak akan ada orang yang mencegat, dan tanpa rintangan kau dapat menghadap kepada Thian-cwan Taysu. Tapi persoalan lain aku tak berdaja lagi.” Ter-sipu2 Thian-hi menyatakan banyak terima kasih. Saat itu juga segera mereka berangkat menuju ke Siau-lim-si.
Mereka menempuh perjalanan dengan gerak cepat, tak terasa lima hari sudah berlalu, luka Thian-hi sudah mulai sembuh, hari itu mereka sudah tiba dibawah kaki Siong-san. Berjalan didepan Hwesio jenaka membawa Thian-hi berlari naik keatas melalui jalan yang ber-liku2, tak lama kemudian jauh diatas tebing terlihat tembok warna merah.
Tak terasa hati Thian-hi menjadi berdebar dan tegang, dengan memikul dosa yang tak terampun ia hendak menghadap Thian-cwan Taysu, tak tahu bagaimana Thian-cwan Taysu bakal menghadapi dirinya nanti.
Hwesio jenaka terus membawa Thian-hi maju kedepan, secara sembunyi2 mereka melompati tembok merah, serta maju terus kedepan sambil berjalan merunduk. Tampak para hwesio penjaga berlalu lalang meronda. Agaknya Hwesio jenaka seperti apal betul dengan keadaan didalam kelenteng besar Siau-lim-si ini, selalu ia mencari jalan yang penuh ditumbuhi pepohonan lebat dan rimbun.
Tak lama kemudian mereka sudah sampai diambang sebuah hutan bambu, dengan jari telunjuk Hwesio jenaka memberi isyarat supaya Thian-hi masuk kedalam hutan bambu itu. Girang hati Thian-hi, segera ia mencelat melesat menuju kehutan bambu itu, sayang gerak geriknya rada kasar sehingga menyentuh dedaunan dan mengeluarkan suara keresekan. Keruan Hwesio jenaka kaget sekali, cepat ia celingukan kekanan kiri, tampak olehnya seorang hwesio muda tengah beranjak maju kearah tempat sembunyi Thian-hi.
Hwesio jenaka menjadi gugup dan gelisah, namun dia sendiripun tidak boleh mengunjukkan diri, terpaksa sembunyi tanpa berani bergerak, terserah kepada nasib Thian-hi bagaimana.
Meski Thian-hi mendekam tanpa bergerak, namun tempat sembunyinya sudah korangan, mana mungkin ia dapat mengumpat lagi. Sementara itu hwesio muda itu sudah semakin dekat ketempat sembunyi Thian-hi.
Waktu Hwesio jenaka melihat tegas wajah hwesio muda itu, hatinya bercekat, kiranya hwesio muda ini tak lain tak bukan adalah murid Ciangbunjin Siau-lim-si Te-kik Taysu, yaitu Ti-hay.
Thian-hi juga mendengar derap langkah orang yang tengah mendatangi kearah dirinya, tapi ia tak berani bergerak, besar harapannya hwesio muda ini hanya salah dengar dan menuju ketempat lain.
Kira2 tiga tomtaak dari jarak tempat sembunyi Thian-hi Ti-hay menghentikan langkahnya. pelan2 ia buka bicara, “Siapakah itu? Kalau berani berkunjung ke Siau-lim-si, kenapa main sembunyi segala?”
Thian-hi tahu tak mungkin main sembunyi lagi, dilihatnya hutan bambu itu berjarak tiga lima tombak jauhnya dari tempat sembunyinya, mungkin sekali lompat saja bisa sampai, kalau bisa berjumpa dengan Thian-cwan Taysu, maka tidak sia2lah perjalanan jauh ini.
Melihat orang yang sembunyi dibalik rumpun pohon tidak bergerak dan menunjukkan reaksi, gesit
sekali Ti-hay bergerak maju, tubuhnya melayang ringan menubruk ketempat sembunyi Thian-
hi.
Tepat pada saat itu juga, Thian-hi menjejakkan kedua kakinya meleset kearah hutan bambu. Melihat orang buruannya sudah muncul lekas2 Ti-hay berse-ru, “Sicu harap berhenti!” mulut berkata gerak kakinya begitu cepat, tubuhnya meluncur kedepan mengejar kearah Thian-hi, kedua jari dirangkapkan langsung menutuk kejalan darah dipungung Thian-hi.
Sejengkal lagi Thian-hi bakal mencapai hutan bambu, namun tutukan Ti-hay sudah hampir mengenai jalan darah dipunggung, terpaksa ia membalikan tangan kanan mengayun Badik buntung, selarik sinar hijau yang tajam dan dingin memapas kepergelangan tangan Ti-hay.
“Badik buntung?” teriak Ti-hay dengan kaget, cepat2 ia tarik tangan kanan serta mendegus gusar, sebat sekali tangan kanan sudah membalik maju lagi telapak tangan terpentang menjojoh kedepan mengandung tenaga Ciang-mo-sin-kang, yang diarah punggung Thian-hi lagi..
Melihat Ti-hay melancarkan pukulan yang lebih hebat, sementara tubuh Thian-hi sudah mencelat mumbul sampai diujung sepucuk bambu, terpaksa ia gunakan Badik buntung untuk menangkis kearah pukulan telapak tangan Ti-hay.
Tenaga pukulan Ciang-mo-sin-kang sungguh bukan olah2 hebatnya, kontan Badik buntung kena tergetar lepas dari cekalan Thian-hi. Maklum Thian-hi baru sembuh dari luka2nya setelah beradu pukulan dengan Sian-thian-cin-gi pihak Bu-tong-pay, seketika tenaga pukulan Ciang-mo- sin-kang merembes masuk ke lengan kanannya dan terus menerjang jantung, sesaat dadanya menjadi sesak, tak kuasa lagi mulutnya lantas menyemburkan darah segar.
Sementara tubuh Thian-hi melayang jumpalitan kedalam hutan bambu. Ti-hay tak berani sembarangan mengejar kedalam, cepat2 ia melompat turun dan menerobas masuk dari jalan yang menumpuh kedalam hutan bambu itu.
Sekuatnya Thian-hi mengempos tenaga untuk memusatkan semangat, waktu ia menggelinding jatuh ditanah, samar2 terlihat dalam pandangan matanya seorang Hwesio tua duduk bersila tiga tombak didepan sana. Susah payah ia merangkak maju serta sembahnya tergagap, “Wanpwe Hun Thian-hi menghadap Thian-cwan Taysu.” habis kata2nya, iapun jatuh pingsan.
Waktu Ti-hay juga memburu masuk kedalam hutan bambu tampak Thian-hi sudah menggeletak tak berkutik di tanah, ter-sipu2 ia merangkap tangan memberi hormat dan bersabda, “Thian-cwan Supek, entah untuk apa orang ini menyelundup ke Siau-lim-si. Harap Supek memberi ijin untuk kubawa keluar!”
Thian-cwan Taysu membuka mata sejenak ia menatap Hun Thian-hi lalu katanya, “Dia berkata hendak mencari aku, entah ada urusan apa. Bila Sutit berkenan bisakah kutanyakan dulu beberapa patah kata?”
Cepat Ti-hay menjawab, “Kalau Supek hendak bertanya kepadanya baiklah Sutit mengundurkan diri dulu. Tapi orang ini membekal Badik buntung, pernah membunuh banyak orang di kalangan Kangouw, kabar yang terakhir malah katanya telah membunuh Bu-tong Ciangbun Giok-yap Cinjin, betapapun Supek harus hati2, jangan sampai tertipu oleh obrolannya.”
Thian-cwan Taysu tampak terkejut, setelah terpekur sebentar ia berkata, “Giok-yap Cinjin bisa mati di tangannya ?” — nadanya penuh tanda tanya dan hampir tak percaya.
Sahut Ti-hay, “Sutit pun hanya mendengar kabar saja bagaimana duduk perkara sebetulnya Sutitpun tidak tahu?” Thian-cwan Taysu manggut2, ujarnya, “Dia datang ingin bertemu dengan aku, maka aku harus mencari tahu kepadanya. Kuduga urusan ini terselip latar belakang yang sulit diraba, apalagi mungkin hanya dia seorang saja yang tahu segala seluk beluknya.”
Ti-hay merangkap tangan didepan dada, serta berkata, “Sulit sementara mengundurkan diri saja.”
Thian-cwan manggut. Cepat2 Ti-hay membungkuk badan terus mundur keluar.
Sekian lama Thian-cwan Taysu ter-mangu2, baru pelan2 bangkit menghampiri Thian-hi, diulurkan sebelah tangannya menekan nadi pergelangan tangan Thian-hi. Lalu diangkatnya diletakkan disamping tempat duduknya, dengan jari jemarinya pelan2 ia mengurut jalan darah Thian-hi.
Tak lama kemudian dalam keadaan sadar setengah sadar Thian-hi merasa segulung hawa hangat menjalar kencang menyusup ke seluruh tubuhnya. Setiap jari Thian-cwan Taysu mengurut, hawa murni dalam tubuhnya serasa bergetar, dan tertuntun oleh hawa hangat tadi serta ikut berputar dan melandai kesegala jalan darah di seluruh tubuhnya.
Waktu Thian-hi membuka mata, dilihatnya disamping duduk seorang Hwesio tua berjenggot dan beralis putih, tahu dia mesti beliau inilah Thian-cwan Taysu adanya, bergegas ia bangun serta katanya, “Terima kasih akan pertolongan Taysu!”
Thian-cwan Tausy menggoyang tangan per-lahan2, “Siausicu tak usah banyak peradatan.
Siausicu mencari aku entah ada urusan apa?”
Thian-hi segera menyembah serta serunya, “Tecu Hun Thian-hi tersangkut bencana yang penasaran harap Taysu suka membantu mencuci bersih nama baik Wanpwe.”
“Coba kau ceritakan dulu persoalan apakah itu?”
“Bu-tong Ciangbun Giok-yap Cinjin tentu Taysu sudah kenal.” demikian Thian-hi mulai dengan ceritanya, “Beberapa waktu yang lalu beliau telah terbunuh secara gelap oleh musuh. Tapi seluruh tokoh2 silat dikolong langit ini semua menuduh adalah buah karya Wanpwe. Andai kata harus berkorban aku Hun Thian-hi takkan menyesal, tapi apakah kita harus membiarkan pembunuh durjana itu ongkang2 kaki dan berpeluk tangan, betapapun aku rada penasaran.”
“Hal ini baru saja kudengar beberapa waktu yang lalu,” begitulah Thian-cwan bertanya, “sebetulnya bagaimana duduk perkara sebenarnya, coba kau ceritakan.”
Per-lahan2 Thian-hi menutur pengalaman sejak dirinya berpisah dengan Suhunya Kongsun Hong secara ringkas. dan jelas.
Setelah selesai mendengar cerita Thian-hi, Thian-cwan Taysu pejamkan mata terpekur dalam pikirannya, akhirnya ia berkata, “Meski apa yang kau uraikan sangat beralasan, tapi aku tak bisa dengar kata sepihak saja, kalau menurut apa yang kau katakan kau memang seorang yang tak berdosa, atau sebaliknya kau adalah seorang durjana yang keliwat batas.”
Thian-hi menghirup hawa, desaknya, “Taysu merupakan tokoh teragung dalam dunia persilatan, perkara ini tentu bisa tercakup dalam genggaman Taysu seorang, memang Taysu tak bisa mendengar kata sepihak dari saja. Sebaliknya kalau Gwat Long dan Sing Poh tidak mau bicara sejujurnya, selanjutnya aku mesti tenggelam semakin dalam dan tak mungkin membongkar rahasia pembunuhan gelap yang misterius itu.” Thian-cwan harus hati2 dan tenggelam dalam pikirannya lagi, katanya, “Dulu aku pernah berjanji dengan Bu-bing Loni untuk tidak turut campur urusan Kangouw, tapi Giok-yap adalah sahabat tuaku, urusannya menjadi urusanku juga, kalau kau sudi menetap dan tinggal disini selama seratus hari, supaya memberi peluang dan kesempatan aku untuk menyirapi dan menyelidiki peristiwa ini, tentu aku dapat memberikan kepastian dan keputusan, apakah kau bisa?”
Thian-hi juga ragu2, akhirnya ia berkata, “Taysupun sudah tahu, bahwa Soat-san-su-gou punya perjanjian selama setahun dengan Bu-bing Loni, jangka waktu itu sudah habis seratusan hari, kalau aku tinggal lagi disini selama seratus hari, sisa hari2 selanjutnya tidak banyak untuk menempuh segala usahaku, bagaimana enak perasaanku terhadap Soat-san-su-gou berempat Cianpwe?”
Thian-cwan Taysu menjadi bungkam, sebentar kemudian ia berkata, “Kau mementingkan persoalan itu aku pun tak bisa menyalahkan kau. Tapi dalam keadaan gawat begini apakah kau mampu dan bisa menempuh perjalanan ke Tiang-pek-san?”
Thian-hi berdesah dengan rawan, “Soat-san-su-gou berempat Cianpwe wafat karena aku, masa untuk mencoba saja aku tidak sudi?”
Thian-cwan menghela napas, ujarnya, “Maksud Soat-san-su-gou memang baik. Tapi masa mereka tahu kalau ilmu silat Ce-han-it-ki dan Ciang-ho-it-koay dapat menandingi Bu-bing Loni?”
Thian-hi terlongong2, ia tunduk dan tak kuasa bicara.
Kata Thian-cwan Taysu pelan2, “Saat ini sudah tentu siapapun tidak tahu, bukan saja mereka berdua, dulu situa Pelita pun menyangka Go-cu Taiysu bisa menandingi Bu-bing- Loni, tapi menurut hematku, belum tentu demikian.”
Thian-hi melengak dengan rasa tak percaya, tanyanya, “Apakah Bu-bing Loni betul2 tiada tandingan diseluruh kolong langit ini?”
Thian-cwan Taysu geleng2 kepala, jawabnya, “Untuk hal ini siapapun tak berani memastikan namun untuk saat ini aku sendiri juga sangsi dan belum tahu ada tokoh mana yang mampu dan kuat menandingi Bu-bing Loni.”
Thian-hi terlongong bungkam.
Thian_cwan Taysu melanjutkan, “Kalau kau mau menghimpas sakit hatimu, tiada halangan kau menetap disini selama seratus hari. tapi aku pun tidak memaksa kau, kalau tekadmu hendak pergi ke Tiang-pek-san, boleh silakan kau berangkat!”
Thian-hi angkat kepala memandang kearah Thian-cwan Taysu.
Thian-cwan Taysu tahu maksud Thian-hi, sesaat ia menatap wajah orang lalu katanya, “Aku akan suruh mereka melepas kau pergi.”
Thian-hi tertunduk lagi, katanya, “Terima kasih akan kebaikan Taysu, sekarang juga Hun Thian- hi mohon diri!”
“Siau_sicu,” ujar Thian-cwan menghela napas, “Sesat dan lurus hanya terpikir dalam kilasan otak manusia, Sicu berteksd berkecimpung di Kangouw, sungguh Hwesio tua ini merasa kagum. Sebelum berangkat ingin aku memberi sedikit bekal kepadamu, hanya bersabar dan berlaku bijaksanalah baru akan tercapai cita2mu tanpa me-nyia2kan harapan orang banyak.” Thian-hi terlongong sebentar lalu menyembah tiga kali kepada Thian-cwan Taysu, setelah menjemput Badik buntung terus mengundurkan diri.
Terdengar Thian-cwan Taysu berseru keluar, “Ti-hay!”
Tampak Ti-hay beranjak masuk dari luar hutan. Segera Thian-cwan Taysu memberi perintah, “Hantarkan Hun-sicu keluar!”
Ti-hay tertegun, tanyanya, “Supek, mengantar dia keluar?”
“Ada urusan baru dia mencari aku,” demikian Thian_cwan menjelaskan, “Hakikatnya tiada berniat jahat, selamanya Siau-lim kita jarang turut campur urusan Kangouw, untuk urusan ini kita pun harus dapat membedakan siapa salah dan benar!”
Ti-hay lantas membungkuk tubuh dan mundur. Hun Thian-hi mengintil dibelakang Ti-hay keluar dari hutan bambu terus keluar dari lingkungan biara Siau-lim.
Setelah sampai diluar pintu, segera Ti-hay merangkap tangan serta katanya, “Hun-sicu, maaf Siauceng tidak mengantar lebih jauh lagi..”
Ter-sipu2 Hun Thian-hi menjura serta katanya, “Banyak terima kasih kepada Siausuhu.”
Ti-hay lantas membalik tubuh dan masuk kembali. Thian-hi menghirup napas lega, sejenak ia celingukan keempat penjuru, sekelilingnya sepi tanpa kelihatan bayangan seorangpun, dengan perasaan hampa dan kosong per-lahan2 ia berjalan turun gunung, hatinya tengah menerawang wejangan yang diberikan oleh Thian-cwan Taysu tadi.
Sambil berjalan turun gunung, otak Thian_hi berputar, “Apakah benar Bu_bing Loni tanpa tandingan diseluruh dunia? Menurut kata Thian-cwan Taysu Ce-han-it-ki dan Ciang_ho-it_koay dari Tiang-pek-san belum mampu menandingi Bu-bing Loni, tapi itu kan penilaian masa lalu, siapa tahu sekarang? Begitulah berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benaknya, namun ia masih bertekad hendak menuju ke Tiang-pek-san.
Baru saja Thian-hi tiba dikaki gunung dan beranjak dijalan raja, dari kejauhan lantas terlihat Thian-mo-kiam Liong Lui memimpin sebarisan anak buahnya dari Partai Merah tengah membedal tunggangannya menuju kearah dirinya.
Lekas2 Thian-hi berlari menyingkir, untung Liong Lui dan anak buahnya tidak melihat dirinya.
Sedang Liong Lui dan kawan2 seperti punya kerja penting terus membedal lewat dengan kencang.
Setelah rombongan Liong Lui pergi jauh baru Thian-hi melongok keluar. Mendadak seekor kuda mencongklang mendatangi secepat terbang, untuk sembunyi sudah tak sempat lagi, sudah tentu Thian-hi menjadi kaget, waktu ditegasi pendatang itu bukan lain adalah putri Ciok Hou-bu itu majikan Hwi-cwan-po yaitu Ciok Yan adanya.
Melihat Hun Thian-hi cepat2 Ciok Yan melompat turun. Thian-hi mundur dua langkah mengawasinya dengan mendelong.
Ciok Yan berdesah, katanya, “Dimanakah Bun-pangcu sekarang?”
Kiranya orang bukan mencari dirinya dengan heran Thian-hi menggeleng kepala. Melihat jawaban Thian-hi, Ciok Yan membanting kaki, cepat2 ia melompat naik keatas tunggangannya terus dibedal kedepan dengan kencang.
Thian-hi menjublek ditempatnya mengantar bayangan Ciok Yan yang semakin jauh, rada lama kemudian baru ia sadar dan tertawa geli sendiri akan kebodohan dirinya, diam2 ia memaki kenapa hubungan asmara antar muda mudi saja tidak dapat dirabanya.
Thian-hi jadi berpikir tentu Ciok Yan ada urusan mencari Bun Cu-giok, gerak-gerik rombongan Liong Lui pun sangat mencurigakan, tentu ada sesuatu hal telah terjadi yang tidak menguntungkan Bun Cu-giok. Sejak dirinya diusir dari perguruan hanya Bun Cu-giok seorang yang menjadi sahabat kentalnya. Entah sejak pulang tempo hari bagaimana pula dengan Partai Putih yang tengah menghadapi berbagai persoalan, bila perlu aku harus menyusul kesana membantu dia..
Ter-sipu2 Thian-hi ber-lari2 menelusuri jalan raja mengejar kedepan mengikuti telapak kaki kuda. Kira2 setengah jam kemudian ia menanjak naik keatas sebuah bukit kecil, baru saja ia sampai diatas bukit terdengar gelak tawa orang yang sudah dikenalnya, serunya, “Ternyata kau berani datang masuk perangkap.”
Waktu Thian-hi menoleh seketika ia melongo, tampak diatas bukti berdiri jajar beberapa orang, mereka bukan lain adalah Ciok Hou-bu majikan Hwi-cwan-po, Tio Hong-ho dan Liong Lui dari Partai Merah dan anak buahnya, yang berdiri paling samping adalah Ciok Yan.
Begitu Thian-hi tiba, segera Ciok Hou-bu bergelak tawa, serunya, “Hun-siauhiap, aku Ciok Hou- bu sungguh kagum akan nyalimu yang besar, berani kau bunuh Giok-yap Cinjin Ciangbunjin Bu- tong-pay, sekarang berani berlenggang kangkung berjalan di jalan raja.”
Berubah air muka Hun Thian-hi, dengan cermat ia bergantian mengawasi tiga orang didepannya, sindirnya, “Sebaliknya akupun merasa kagum akan kesetiaan kawan kalian serta berterima kasih akan kehormatan yang tinggi ini, entah ada keperluan apakah kalian menanti aku disini?”
Ciok Hou-bu ter-kekeh2 tanpa bicara, sebaliknya Tio Hong-ho tertawa kering, serunya, “Memang kita sedang menanti kedatanganmu.”
Sebentar saja otak Thian-hi yang encer sudah dapat menebak, diam2 ia membatin dalam hati; tentu mereka hendak menyebak Bun Cu-giok disini, sungguh goblok justru akulah yang masuk perangkap mereka.
Dari samping Ciok Yan berkata kepada Ciok Hou-bu, “Ajah, Bun Cu-giok tidak akan datang, masa begitu bodoh dia bisa kena pancing.”
“Budak goblok, cerewet!” semprot Ciok Hou-bu gusar.
Thian-hi tahu, kata2 Ciok Yan itu ditujukan kepadanya secara tidak langsung memberi tahu akan maksud tujuan mereka sebenarnya. Sedikit memutar otak cepat2 Thian-hi berlari turun bukit.
Sejak tadi Ciok Hou-bu selalu mengawasi gerak-gerik Thian-hi, begitu ia bergerak sebat sekali iapun sudah mengebutkan mantel abu2nya menyerang kepada Hun Thian-hi.
Sigap sekali Hun Thian-hi sudah mengeluarkan Badik buntung, dimana sinar hijau pupus berkelebat, gesit sekali ia balas menyerang kepada Ciok Hou-bu. Ciok Hou-bu menggerung gusar, terpaksa ia melompat mundur sambil mengegos. Sementara itu Tio Hong-ho dan Liong Lui melejit maju mencegat jalan mundur Thian-hi, serentak pedang dan tongkat mereka bergerak menyerang saling silang dari dua jurusan, pedang membabat pinggang sedang tongkat menyerampang kaki Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi menggertak keras, jurus Gelombang perak mengalun berderai dilancarkan, sekaligus ia punahkan serangan musuh dan merabu maju, terpaksa ketiga lawannya melawan dengan senjata dan ilmu simpanan masing2.
Thian-hi tahu bahwa ketiga seterunya ini bertujuan hendak mencelakai jiwa Bun Cu-giok sekarang Bun Cu-giok belum datang, inilah kesempatan bagi aku untuk memancing pergi mereka bertiga supaya Bun Cu-giok tidak terjebak. Karena pikirannya ini sebat sekali ia melompat jauh dengan gerak ringan tubuhnya yang pesat dan enteng, sekali ia menerobos lewat diantara samberan senjata ketiga lawannya terus berlari kencang ke arah depan Sana.
Badik buntung milik Hun Thian-hi adalah benda pusaka yang selalu diimpikan dan diincar oleh ketiga gembong silat tamak itu. Apalagi Hun Thian-hi memikul dosa dengan tuduhan sebagai pembunuh Bu-tong Ciangbun Giok-yap Cinjin, siapa saja yang dapat membekuknya bakal terangkat nama dan gengsinya
Sudah tentu ketiga lawannya tidak mau melepasnya begitu saja, dengan kencang serempak mereka mengejar dengan kencang.
Bukan gentar atau gugup sebaliknya Thian-hi malah berlega hati bahwa usahanya ternyata berhasil memancing ketiga musuhnya berkisar dari tempat bukit kecil itu. Dengan demikian maka terlepaslah Bun Cu-giok dari perangkap yang telah mereka rencanakan. Apalagi kepandaian dan kemampuan ketiga lawan ini bila mau cukup dengan bekal kepandaiannya sekarang mudah sekali untuk mengalahkan mereka.
Baru pikiran ini terkilas dalam benaknya, mendadak terdengar derap lari kuda yang berlari pesat sekali, begitu dekat kontan menerjang ke arah Ciok Hou-bu, Tio Hong-ho dan Liong Lui bertiga serta merabu dengan serangan pedang yang ganas.
Waktu Thian-hi berpaling pendatang ini kiranya bukan lain Pangcu Partai Putih Bun Cu-giok si pedang mas cambuk perak.
Berhasil mendesak mundur ketiga lawan baru Bun Cu-giok berkesempatan menoleh kepada Hun Thian-hi, serunya, “Dari mana kau saudara Hun?”
“Bun-pangcu,” teriak Thian-hi, “kenapa kau ke-mari?
Dari nona Ciok tadi kudengar katanya mereka hendak menjebak kau!”
Tergetar badan Bun Cu-giok, namun sikapnya masih tenang2 dan tertawa, tanyanya, “Saudara Hun hendak kemana kau sekarang?”
Dalam pada itu Ciok Hou-bu sudah menyerbu tiba sambil menggerung gusar, mantelnya menderu menyapu datang. Sementara pedang dan Tongkat Tio Hong-ho serta Liong Lui juga tengah mengancam dari jurusan lain.
Se-olah2 tidak terjadi apa2, seenaknya saja Bun Cu-giok tidak pandang sebelah mata keroyokan para musuhnya. Tampak batang pedang mas berkilau menggetar me-nutul2 sejurus saja sekaligus ia punahkan serangan ketiga lawannya. Diam2 terperanjat hati Thian-hi, batinnya, “Kepandaian silat Bun Cu-giok ternyata begitu tinggi, kalau tidak mengandal ketajaman senjatanya pusaka mungkin si orang tua jubah merah Pangcu Partai Merah bukan menjadi tandingannya.
Karena ia menonton dengan seksama, pikiran pun tengah melayang sesaat ia menjadi lupa menjawab pertanyaan orang.
Melihat Thian-hi menonton dengan cermat pertempuran satu lawan tiga, diam2 girang hati Bun Cu-giok, sengaja ia ingin pamer kepandaian ilmu pedangnya, sinar pedang berkilatan selulup timbul, beruntun lima jurus ia menyerang mundur musuh ber-ulang2.
Tanya Bun Cu-giok setelah mendesak mundur ketiga musuhnya, “Dikalangan Kangouw tersiar kabar katanya saudara Hun telah membunuh Giok-yap Cinjin, bagaimana duduk perkara sebenarnya apakah saudara Hun sudi beritahu kepada aku?”
Mendadak Hun Thian-hi teringat bahwa guru Bun Cu-giok adalah Sute Giok-yap Cinjin, entah bagaimana pandangannya mengenai persoalan ini, sejenak ia tatap wajah Bun Cu-giok, dilihatnya orang tiada punya maksud buruk, maka segera ia menjawab, “Soal ini tersangkut paut dengan Mo-bin Su-seng (pelajar muka iblis). Apalagi kedua murid Giok-yap Cinjin yaitu Gwat Long dan Sing Poh juga jelas tahu peristiwa itu, Terlalu panjanglah kalau mau diceritakan.”
Setelah mendengar sekedar penjelasan Thian-hi yang singkat itu, Bun Cu-giok angkat alis dan berseru kepada Ciok Hou-bu bertiga, “Apakah kalian masih ingin bertempur?”
Ciok Hou-bu mendengus, jengeknya, “Kita mengundang kau, apa kau tahu apa tujuan kita?” Bun Cu-giok ter-bahak2 serunya, “Go Ciok kenapa tidak datang?”
Thian-liong-kiam Liong Lui menjengek dingin, “Kita bertiga sudah lebih dari cukup untuk membereskan kau, kenapa harus Pangcu sendiri yang turun tangan?”
Bun Cu-giok menggeram, semprotnya, “Kalian dua golongan menyergap dan memusnahkan Kim-ke-cheng waktu pihak lawan tak bersiaga, kalian sangka urusan lantas beres sampai disitu saja? Gi Ciok sendiri punya sepak terjang tengik seperti bajingan, maka jangan salahkan kalau aku menghukum kalian dulu!”
Ciok Hou-bu tersenyum sinis, katanya, “Bun pangcu seorang gagah yang perwira, aku Ciok Hou-bu benar2 kagum. Urusan harus dibikin beres secepatnya menurut keadilan bagi orang yang cerdik pandai.”
Bun Cu-giok ter-bahak2, serunya, “Ciok-pocu punya cara muslihat apa untuk menundukkan aku, Bun Cu-giok ingin belajar kenal!”
Hun Thian-hi menjublek ditempatnya, dari percakapan ini baru ia tahu bahwa urusan ternyata sudah berkembang begitu jauh Pihak Kim-ke-cheng sudah musnah begitu gampang dalam waktu singkat. Kenapa? Bukan lain hanya karena sebilah Badik buntung.
Segere Hun Thian-hi menimbrung, “Hanya karena sebilah Badik buntung milikku itu Partai Merah dan Hwi-cwan-po memusnahkan seluruh Kim-ke-cheng, aku Hun Thian-hi betul2 menjadi mati kutu. Tapi Hun Thian-hi ingin minta penjelasan langsung dari Ciok-pocu, mengandal apa Hwi- cwan-po kalian bisa malang melintang didaerah Kanglam?”
Ciok Hou-bu ter-loroh2. Tanpa menanti orang berhenti tertawa. Bun Cu-giok menyindir dengan seringai sinis, “Ciok Hou-bu, kau hendak menjebak dan mencelakai aku. Lebih baik sekarang kau pulang ke Hwi-cwan-po, coba lihat mungkin sarangmu itu sudah kubumi hanguskan seluruhnya.”
Berubah hebat rona wajah Ciok Hou-bu.
Tio Hong-ho yang berwatak tenang mendengus, bujuknya, “Ciok-pocu, jangan kau percaya dengan obrolannya. Partai putih sedang kepepet dari dua jurusan, diutara oleh Thian-san-ji-long, diselatan ada kita beramai, masa mereka masih punya kekuatan pergi ke Hwi-cwan-po!”
“Apakah begitu gampang seperti uraianmu?” jengek Bun Cu-giok, “Aku kuatir kau hanya mengudal ludah saja.”
Segera Ciok Hou-bu menenangkan hati, bukan mustahil hal itu bisa terjadi, sesaat ia terlongong ditempatnya. Terpikirkan olehnya usaha capek lelah selama puluhan tahun telah lenyap hanya sekejap mata saja betapa tidak sayang dan murung hatinya. Saking gegetun dan gemas ia putar mantel ditangannya terus menyerbu seperti banteng ketaton.
Tampak diujung lirikan mata Bun Cu-giok, Ciok Yan tengah berlari menyingkir sambil menutupi raut mukanya dengan kedua tangan. Hatinya menjadi menyesal dan ragu2, cepat2 ia menarik tali kekang mencongklang kudanya menyingkir dari serangan Ciok Hou-bu ini.
Dengan kalap Ciok Hou-bu menyerbu terus dengan serangan gencar. Tio Hong-ho memburu maju kesamping Ciok Hou-bu dan membisiki, “Saudara Ciok! Kenapa menjadi kalap!”
Tersentak hati Ciok Hou-bu, tergugah semangatnya untuk berpikir secara terang, bukankah obrolan orang belum terbukti kenyataannya, sedang pihak sendiri masih punya tipu muslihat untuk menjebaknya. Karena itu cepat2 ia menyurut mundur, serunya, “Orang she Bun, hari ini kuampuni jiwamu, aku akan kembali memeriksa dulu!” bersama mereka bertiga terus ia membalik dan ber- lari2 meninggalkan gelanggang.
Bun Cu-giok menjengek dingin, matanya menerawang keempat penjuru, batinnya, “Aku Bun Ciok-giok masa bernyali kecil, biar kau mengatur jebakan apapun juga akan kuterjang.” Kudanya segera dikeprak mengejar serunya, “Begitu gampang kalian hendak melarikan diri ?”
Sambil berlari Ciok Hou-bu menolhi dan berteriak, “Gi-pangcu berada didalam lembah didepan sana, apa kau berani kesana?”
Bun Cu-giok ter-kakak2, sudah dalam rekaan hatinya bahwa Gi Ciok memendam diri disana hendak menyergap dirinya, sekarang terbukti kenyataannya. Kudanya dipecut berlari semangkin kencang. Terpaksa Hun Thian-hi juga ikut berlari pesat, teriaknya, “Bun-pangcu hati2 kau!’”
“Legakan hatimu saudara Hun,” teriak Bun-cu-giok sambil tertawa lebar, “Bun Cu-giok tidak gentar menghadapi Thay-i-kiam miliknya itu.”
Sementara itu Ciok Hou-bu bertiga sudah mencapai mulut lembah yang sempit itu, sebat sekali Thian-hi mengerahkan tenaga menjejakkan kaki, tubuhnya melambung tinggi dan meluncur kedepan, ditengah udara ia berteriak, “Ciok-pocu, harap berhenti sebentar.”
Namun Ciok Hou-bu menjawab dengan gelak tawanya, sekejab saja mereka sudah berkelebat hilang dibalik mulut selat yang sempit itu.
Bun Cu-giok mencongklang kudanya masuk kedalam lemtah yang sempit, kedua lampingnya tinggi dan terjal, baru saja beberapa puluh langkah tiba2 terdengar suara gemuruh seperti gugur gunung, ber-puluh atau beribu batu besar kecil tiba2 berjatuhan dari atas tebing seperti hujan derasnya.
Keruan bukan kepalang kaget Bun Cu-giok dan Thian-hi, sigap sekali Bun Cu-giok melompat turun dari tunggangannya sambil menyeret Thian-hi menyingkir kesamping dan berdiri membelakangi dinding batu yang terjal itu, mereka menjadi repot menghindar dan memukul batu2 yang meluruk keseluruh tubuh mereka. Kira2 setengah jam lamanya hujan batu gunung itu berlangsung sampai mereka kehabisan tenaga, setelah suasana menjadi hening dan terang kembali seluruh lembah sempit itu sudah penuh tertimbun batu dan debu, Thian-hi berdua sudah kepayahan tertimbun setengah badan, dalam waktu dekat mereka tak mampu bergerak dan meloloskan diri dari himpitan batu2.
Tak lama kemudian tampak Ciok Hou-bu bertiga mendatangi. Sambil cengar cengir Ciok Hou-bu bertiga tertawa sinis kegirangan. Maju selangkah gampang sekali Tio Hong ho merebut Badik buntung yang digenggam ditangan Thian-hi. Ada niat Thian-hi hendak melawan apa daja tenaga sudah habis, untuk bergerak saja tak mampu.
Bun Cu-giok menghela napas rawan, katanya kepada Thian-hi, “Saudara Hun! Sungguh aku sangat menyesal.”
Hun Thian-hi tersenyum, ujarnya, “Ah, Bun-pangcu kenapa bicara begitu. Kalau Bun-pangcu tidak menyeret aku tadi siang2 jiwaku ini pasti sudah melayang.”
Setelah dapat merebut Badik buntung, dengan seksama Tio Hong-ho tengah memeriksanya, wajahnya dihiasi senyum kegirangan
Ciok Hou-bu menjadi mendelu, tanyanya rada tak senang, “Tio-tongcu cara bagaimana kau hendak membereskan kedua orang ini ?”
Tio Hong-ho tertawa kering, katanya, “Menurut hemat Pangcu kita untuk memulihkan kekuatan dan pangkalan Thay-i-bun kembali betapapun perlu minta bantuan Hun Thian-hi. Kalau kita meringkusnya dan diserahkan kepada Bu-tong-pay, tentu selanjutnya seluruh kaum Kangouw tidak bersikap bermusuhan lagi dengan Thay-i-bun. Sedang Bun Cu-giok punya permusuhan dengan Ciok-pocu, dia boleh kuserahkan kepada Pocu terserah bagaimana kau hendak membereskan dia.”
Seketika berkobar amarah Ciok Hou-bu, dalam hati ia mengumpat, “Jang menguntungkan kau keruk sendiri, sedang Bun Cu-giok yang bisa menimbulkan bencana kau serahkan kepada aku, apa2an sikap kalian ini!” Dalam hati ia mengumpat namun situasi yang dihadapi ini tak menginjinkan dia pengumbar nafsunya, maka dengan tertawa lebar ia berkata, “Pikiran Pangcu kalian sungguh sangat sempurna, sebaliknya aku Ciok Hou-bu punya pandangan yang rada berbeda.”
Tio Hong-ho tahu kalau Ciok Hou-bu tidak senang akan keputusan tadi, namun urusan sudah ketelanjur sedemikian jauh, bukan mustahil mereka bakal bertengkar sendiri, sekarang Hwi-cwan- po sudah musnah, mengandal kekuatan Partai merah yang tersebar luas di kalangan Kangouw kiranya tak perlu takut menghadapi Ciok Hou-bu.
Terdengar Tio Hong-ho tertawa terkekeh, serunya, “Kalau Ciok-pocu punya pendapat silakan bicarakan. Hanya aku kuatir Pangcu kita tidak bakal setuju pendapat Ciok-pocu itu.”
Semakin berkobar amarah Ciok Hou-bu, terang orang tengah menggunakan tipu menyebrang sungai memutus jembatan memukul jatuh anjing kedalam air, jelas sekali menghina Hwi-cwan-po yang sudah musnah itu. Sedapat mungkin ia menahan gelora amarahnya, setelah bergelak tawa sekian lama ia berkata, “Semula partai kalian mengajak aku berserikat, tujuan utama Ciok Hou-bu adalah Badik buntung, sedang Partai kalian menghadapi Partai putih yang merupakan musuh kebujutan. Menurut perjanjian semula sudah seharusnya Badik buntung itu diserahkan kepada aku, sedang Bun Cu-giok dan Hun Thian-hi boleh kalian urus.”
“Pendapatmu ini tidak mungkin terlaksana, perjanjian semula boleh dianggap batal.” demikian jawab Tio Hong-ho sambil menyeringai.
Tak tertahan lagi gejolak amarah Ciok Hou-bu, desisnya dingin, “Apa yang kuucapkan tadi sebetulnya sudah memberi banyak kelonggaran dan memberi muka kepada partai kalian.”
Tio Hong-ho bergelak tawa, serunya, “Ciok-pocu, kita bekerja harus menurut aturan, bagaimana menurut pendapat Ciok-pocu mengenai hal ini’”
Ciok Hou-bu mendengus, batinnya, “Apakah ini yang dimaksudkan dengan mengenai aturan?”.
Kata Tiok Hong-ho meneruskan diplomasinya, “Memang, pembagian cara ini pihak partai kita rada mengambil sedikit keuntungan. Tapi Ciok-pocu harus ingat, semula cara bagaimana dan kenapa Kita sampai berserikat?”
“Apakah perlu ditanyakan lagi?” demikian umpat Ciok Hou-bu dalam hati.
“Aku percaya Ciok-pocu sudah maklum dalam hati,” begitulah Tio Hong-ho meneruskan pidatonya, “kita bergabung karena keuntungan dan berpisah setelah keuntungan itu tercapai, ini kan sudah jamak, apakah Ciok-pocu berani menyanggah akan kebenaran ini?”
Ciok Hou-bu tertawa hambar, katanya, “Kalau demikian kukuh pendapat Tio-tongcu, terpaksa Ciok Hou-bu mohon diri saja………”
“Ciok-pocu tunggu sebentar,” teriak Tio Hong-ho, “Bun-pangcu tak berguna lagi bagi kita, silakan Ciok-pocu membawanya pulang.”
Ciok Hou-bu menggeram, otaknya berpikir, “Jelas kalian gentar menghadapi gurunya yang kenamaan yaitu Ce-hun Totiang, demi mengambil hati pihak Bu-tong-pay lantas kalian serahkan dia kepadaku.” mendadak tergerak hatinya, otaknya sudah merancang suatu muslihat, dengan pura2 tertawa ia berkala, “Kalau Tio-tongcu memang berkeputusan begitu, terpaksa Ciok Hou-bu menurut saja.”
Tiok Hong-ho tertawa lebar dimabuk kemenangan. Mendadak Ciok Hou-bu menggertak keras mantel abu2nya bergulung lempang terus terbang menyerang kearah Tio Hong-ho.
Serangan dilancarkan secara tak terduga, Tio Hong-ho tak bersiaga lagi, menurut dugaannya semula Ciok Hou-bu sudah gentar dan kuncup menghadapi Partai merah yang sudah semakin menanjak dikalangan Kangouw, betapapun dia takkan berani sembarangan bergerak, apalagi kepandaian silat sendiri tidak terpaut jauh dibanding kemampuan Ciok Hou-bu.
Begitulah waktu mendengar samberan kuat menyerang kearah dirinya, sekuatnya ia bergerak mengepos. namun dimana mantel itu menyamber lewat, seketika ia menjerit se-keras2nya, tahu2 lengan kirinya sudah tersapu kutung.
Berhasil akan serangannya Ciok Hou-bu tak berhenti sampai disitu saja, tampak mantelnya berkembang me-nari2 dengan derasnya membawa deru angin yang sangat kencang, sekaligus ia sudah melancarkan kepandaian tunggal yang paling dibanggakan, yaitu tiga belas jurus Hwi-cwan- kian-soat. Tampak setabir bayangan abu2 berkembang melebar kekanan kiri menyerang kearah dua orang musuhnya. Terpaksa Liong Lui mencabut pedangnya menangkis, susah payah ia menghalau setiap serangan Ciok Hou-bu. Dalam waktu dekat memang Liong Lui kuat bertahan, tapi lama kelamaan ia semakin terdesak dan mundur selangkah demi selangkah.
Dalim pada itu Tio Hong-ho sudah berhasil membalut luka2 dilengan kirinya mencegah mengalirnya. banyak darah, sambil kertak gigi ia mengayun tongkat senjatanya membantu Liong Lui berdua mereka mengerojok Ciok Hou-bu.
Begitulah mereka bertiga bertempur dengan sengit, dalam wuktu singkat keadaan menjadi berimbang. Sudah tentu kejadian ini sangat menguntungka Bun Cu-giok dan Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi pernah menelan buah ajaib, sedang Bun Cu-giok pun punya dasar latihan Sian- thian-cin-gi dari aliran murni, dalam waktu singkat tenaga dan semangat mereka bisa pulih kembali.
Pertempuran sudah berjalan ratusan jurus, keadaan masih tetap sama kuat. Diam2 Thian-hi dan Bun Cu-giok saling memberi isyarat, mereka membentak bersama sekaligus berhasil membongkar batu besar dan debu yang menghimpit mereka terus melompat keluar. Tapi kelihatan kedua kaki masing2 basah lembab oleh darah yang merembes dari luka2.
Sudah tentu Ciok Hou-bu bertiga kaget setengah mati, Sementara itu Bun Cu-giok serahkan pedang masnya kepada Hun Thian-hi, untuk melawan musuh ia melolos cambuk perak sebagai gaman.
Tepat saat itu juga, dari luar lembah terdengar derap kaki kuda yang berlari pesat. Seketika Tio Hong-ho dan Liong Lui mengunjuk rasa girang, pendatang ini bukan lain adalah Pangcu Partai Merah Gi Ciok adanya.
Belum lagi sampai Gi Ciok sudah melambung tinggi, ditengah udara melolos pedang pusaka terus meluncur menyerbu kearah Bun Cu-giok.
Bun Cu-giok menghardik ringan, tombak perak ditangan kanan terayun, laksana ular hidup cambuknya melilit kearah Thay-i-kiam musuh.
Terdengar Gi Ciok mendengus kaget, terasa sesuatu keganjilan diluar kesigapannya. Diketahui olehnya bahwa cambuk perak Bun Cu-giok itu kiranya bukan sembarang senjata umumnya yang terbuat dari perak biasa, tetapi adalah terbuat dari anyaman sutra perak dan benang baja yang ulet tak mempan senjata.
Maka cepat2 ia menarik pulang pedangnya. Kesempatan ini tak di-sia2kan oleh Bun Cu-giok, cambuk perak ditangan kanannya diobat-abitkan sekencang kitiran menyerbu semakin gencar, setiap lecutan tentu mengarah jalan darah mematikan diseluruh badan Gi Ciok.
Gi Ciok harus kerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, meski terdesak ia masih kuat bertahan terus sampai ratusan jurus Kemudian baru ia bisa memperbaiki posisinya. Sekarang keadaan kelihatan sama kuat.
Thian-hi tahu bahwa tenaga Bun Cu-giok belum pulih seluruhnya, tentu tidak menguntungkan bertempur lama-lama, segera ia berkata, “Bun-pangcu, hari ini kita hentikan dulu sampai disini.”
Bun Cu-giok insaf hari ini tentu tak mudah mengambil kemenangan, apalagi kalau Ciok Hou-bu berbalik kepihak musuh lagi tentu semakin berabe, sambil bergelak tawa ia berkata, “Hari ini cukup sekian saja, tapi urusan ini takkan ada habisnya.” Sementara itu Gi Ciok tengah keheran-heranan akan kepandaian silat Bun Cu-giok yang luar biasa itu, mendengar itu segera ia pura-pura menggertak, “Apa, kau hendak lari?”
Bun Cu-giok menyeringai, katanya kepada Ciok Hou-bu, “Hwi-cwan-po sebetulnya masih utuh, tapi akan datang suatu hari akan kubumi hanguskan rata dengan tanah.” — Habis berkata lalu tinggal pergi bersama Hun Thian-hi.
Ciok Hou-bu berdiri menjublek, tak tahu bagamana baiknya, bahwa Hwi-cwan-po masih utuh ini benar-benar suatu berita yang menggembirakan, namun keadaan sekarang adalah sangat berbahaya bagi dirinya Pangcu Partai Merah Gi Ciok sudah cba, apakah dia rela melepas dirinya.
Dalam pada itu Hun Thian-hi dan Bun Cu-giok sudah berlari jauh. Gi Ciok tahu dirinya takkan mampu merintangi, terpaksa ia mandah saja membiarkan mereka pergi.
Pelan-pelan Gi Ciok lantas membalik. Tio Hong-ho segera maju mempersembahkan Badik buntung katanya, “Pangcu! Badik buntung berhasil kurebut. Tapi karena Ciok Hou-bu merintangi sehingga kedua orang itu tak dapat dibekuk, harap Pangcu mendapat tahu.”
Gi Ciok manggut-manggut sambil menerima Badik buntung. Sekian lama ia mengamati dan meneliti seluruh batang Badik buntung itu. Pelan-pelan sinar matanya terangkat naik berpindah menatap kepada Ciok Hou-bu.
Tergetar jantung Ciok Hou-bu.
Terdengar Gi Ciok menjengek, “Ciok-pocu, kelakuanmu ini apakah terhitung berserikat dengan kita?” “
Ciok Hou-bu tahu bahwa Gi Ciok takkan melepas dirinya, dari kepepet ia menjadi nekad, katanya sambil tertawa lebar, “Gi-pangcu sebaliknya apakah kalian punya maksud yang serius hendak berserikat dengan kita!”
Gi Ciok menggeram gusar, tahu dia kalau Ciok Hou-bu bisa berdiri menjagoi sesuatu daerah dan membangun Hwi-cwan-po yang kenamaan tentu punya kepandaian simpanan yang diandalkan, kalau tidak turun tangan sendiri tentu takkan dapat menundukkan dia.
Gi Ciok terkekeh dingin, tantangnya, “Ciok-pocu angkat nama karena tiga belas jurus Hwi- cwan-kiaH-soat itu, hari ini Gi Ciok minta belajar kenal betapa lihay ketiga belas jurus ilmu mantelmu itu.”
Ciok Hou-bu tak mau unjuk kelemahan, tertawa bahak-bahak iapun mengejek, “Betapa beruntungnya Ciok Hou-bu mendapat pelajaran langsung dari Gi-pangcu, matipun puaslah!” — tanpa sungkan-sungkan segera ia menggentakkan mantel dari punggungnya.
“Senjataku ini adalah sebilah pedang pusaka, kalau dalam sepuluh jurus aku tidak dapat mengalahkan kau, urusan hari ini anggap himpas seluruhnya.” demikian ejek Gi Ciok.
Ciok Hou-bu insaf, jangan kata sepuluh jurus, hanya lima jurus saja mungkin dirinya takkan kuat bertahan, namun urusan sudah mendesak begitu jauh, terpaksa ia kerahkan tenaga dan menggerakkan mantelnya, dengan jurus-jurus ilmu Hwi-cwan-kian-soat ia mendahului menyerang.
Gi Ciok menyungging seringai sadis, cepat sekali ia berkelit kian kemari membebaskan diri dari samberan mantel musuh. Sekali pedangnya menyontek ke atas, dalam sejurus saja ia berhasil mengupas sebagian kecil ujung mantel Ciok Hou-bu. Berubah air muka Ciok Hou-bu, mantelnya dikebutkan dengan jurus It-sek-hun-kian menggulung ke arah muka Gi Ciok.
Gi Ciok mengandalkan senjata pusakanya sedikit pun ia tidak gentar menghadapi musuh, bukan mundur atau berkelit sebaliknya dengan berani ia memapak maju, ujung pedangnya tahu-tahu sudah mengancam di depan dada lawan.
Terpaksa Ciok Hou-bu melompat mundur, sehingga serangannya gagal di tengah jalan. Gerak pedang Gi Ciok ternyata hebat sekali belum sempat Ciok Hou-bu memperbaiki posisinya, tahu-tahu mantelnya sudah terkutung menjadi dua oleh ketajaman pedang pusaka musuh.
Insaflah Ciok Hou-bu bahwa dirinya memang bukan tandingan lawan, terpaksa ia pasrah nasib dan menyerah mentah-mentah, dengan tertawa lebar ia buang mantelnya serta katanya, “Aku Ciok Hou-bu mengaku kalah, terserah bagaimana kalian hendak membereskan aku.”
Gi Ciok tertawa dingan, katanya kepada Tio Hong-ho, “Tio-tongcu, Ciok-pocu sudah menyerah, dia membuntungkan lenganmu, sekarang terserah bagaimana kau hendak menghukumnya.”
Sungguh Tio Hong-ho tidak menyangka bahwa Ciok Hou-bu diserahkan kepadanya untuk memberi hukuman, sesaat ia menjadi melongo tak tahu apa yang harus dilakukannya.
Ciok Hou-bu punya nama dan kedudukan di kalangan Kangouw, kalau menghukumnya terlalu berat kuatir para sahabatnya nanti menuntut balas. Kalau hukuman terlalu ringan, kelak mungkin bakal menimbulkan bencana juga bagi dirinya, untuk sesaat ia menjadi bingung mengambil keputusan.
“Bagaimana?” Gi Ciok mendesak, “Apa Tio-tongcu belum tahu?”
Cepat Tio Hong-ho menjawab, “Selamanya Partai Merah mengutamakan keadilan dan kebenar- benaran, dia telah membuntungi lenganku. Aku tidak bisa menghukumnya terlalu berat, apalagi Partai Merah tidak suka mengikat permusuhan, sekarang lengan kiriku sudah buntung maka akupun mengutungi lengan kanannya saja. Bagaimana pendapat Pangcu?”
Gi Ciok manggut-manggut dengan puas. Pucat wajah Ciok Hou-bu, sebagai seorang tokoh persilatan, apalagi dalam usia yang sudah menanjak setengah abad, kalau sebuah lengannya buntung berarti menjadi cacat.
Gi Ciok maju ke hadapannya, katanya kepada Ciok Hou-bu, “Bagaimana Ciok-pocu?”
Hakikatnya Ciok Hou-bu takkan mampu melawan atau mati adalah bagiannya, terpaksa ia mengulurkan lengan kanannya, sekali bacok Gi Ciok memapas kutung lengan kanan orang. Kontan Ciok Hou-bu menjadi pucat pasi.
Gi Ciok terbahak-bahak, ujarnya, “Ciok-pocu, sebuah lengan diganti sebuah lengan, untuk selanjutnya golongan kita sudah himpas dan tidak punya hutang piutang lagi.” — lalu bersama Tio Hong-ho dan Liong Lui mereka tinggal pergi menunggang kuda.
Otak Ciok Hou-bu terasa hampa dan kosong, setelah membalut sekedarnya luka-luka lengan kanannya ia berjalan terhuyung-huyung. Dalam keadaan kehabisan darah pikirannya menjadi semakin kabur, entah berapa jauh sudah ia berjalan jatuh bangun, yang terpikir dalam otaknya melulu, “Lengan kananku sudah buntung!” — begitulah dia terus melanjutkan ke depan. Akhirnya ia sampai di tanjakan bukit berbatu, sampai disini tak mungkin ia kuat merambat ke atas, ia berdiri menjublek dan terlongong disitu, mulutnya menggumam, “Tidak ada jalan lagi.”
Mendadak dibelakangnya terdengar sabda Budha, dengan linglung Ciok Hou-bu menoleh, tampak seorang Hwesio tua tengah beranjak mendatangi.
Sambil tersenyum Hwesio tua itu berkata kepada Ciok Hou-bu, “Kenapa Sicu tak melanjutkan ke depan?”
“Terus ke depan?” sahut Ciok Hou-bu bingung, “Depan sana tiada jalan lagi. “Kembali tentu ada jalan!” sahut Hwesio tua.
Ciok Hou-bu melengak, desisnya, “Kembali?”
Hwesio tua manggut-manggut, katanya tertawa, “Kenapa lengan kanan Sicu buntung?” “Dibacok buntung oleh orang.”
“Dibacok buntung orang?” Hwesio tua menegas, “Loceng kuatir mungkin lengan itu bukan dikutungi oleh orang lain.”
Ciok Hou-bu tertegun, desisnya lagi, “Bukan dibacok buntung? Kalau begitu tentu kubacok buntung sendiri, cara bagaimana aku membacoknya buntung?”
Hwesio tua tersenyum simpul tak bersuara, sesaat kemudian baru buka suara, “Benar-benar, cara bagaimana kau mengutungi lenganmu sendiri!” habis berkata ia putar tubuh terus tinggal pergi.
Ciok Hou-bu masih menjublek di tempatnya, sejenak kemudian otaknya rada tergetar sadar cepat-cepat ia berteriak, “Lo-suhu harap tunggu sebentar.”
Hwesio tua tak hiraukan panggilannya terus berjalan ke depan. Lekas-lekas Ciok Hou-bu mengejar, sampai dibelakangnya Ciok Hou-bu tak berani mendahului ke depan, begitulah ia terus mengintil di belakang Hwesio tua itu, lambat laun bayangan mereka menghilang dibayang2 hutan yang lebat.
Setelah meninggalkan lembah, ditengah jalan Bun Cu-giok menanyakan pengalaman sejak mereka berpisah tempo hari. Thian-hi tahu tujuan Bun Cu-giok ingin tahu persoalan pembunuhan atas Giok-yap Cinjin, maka dengan jelas ia menceritakan.
Bun Cu-giok termenung sebentar. lalu katanya, “Guruku sudah lama mengasingkan diri, soal ini tentu beliau tak mau urus. Tapi kita berdua sudah mengalami berbagai bencana dan bahaya sehidup semati, untuk persoalan ini kau pun tak perlu kuatir, aku akan membantumu sekuat tenaga supaya kau dapat melanjutkan ke Tiang-pek-san.”
Hun Thian-hi tertawa getir, katanya, “Bun-pangcu, banyak terima kasih akan maksud baikmu, kalau hanya aku seorang gampang saja aku mau sembunyi kemana. Sebaliknya Partai Putih untuk hari2 selanjutnya perlu tegak berdiri di Kangouw, betapapun jangan karena persoalanku sehingga timbul permusuhan dengan para sahabat Bulim!”
Bun Cu-giok tertawa tawar, katanya menggoyang tangan: Sudah lima tahun aku berkelana di Kang-ouw, hanya kaulah seorang yang menjadi sahabat kentalku. Tujuanku berkelana di Kangouw bukan mengejar nama atau mencari keuntungan pribadi. Seumpama Partai Putih harus lenyap dari Kangouw pun tak kupedulikan lagi!”
Thian-hi menjadi heran, tanyanya, “Lalu apa tujuan Bun-pangcu sebenar-benarnya?”
Bun Cu-giok tertawa getir, katanya menggeleng, “Kau tidak tahu, akupun tidak akan tahu.”
Thian-hi mengira Bun Cu-giok punya rahasia hati yang sulit dikatakan, maka iapun tak mendesak lebih lanjut.
“Mungkin usiamu lebih muda beberapa tahun baiklah aku panggil kau ajk saja,” demikian kata Bun Cui-giok sambil menghela napas, “Masih banyak urusanku yang belum dapat kau pahami kuberitahu pun tiada gunanya.”
Bertambah heran benak Thian-hi. Mendadak teringat olehnya akan sikap Bun Cu-giok yang rada ganjil waktu mendengar rasa prihatin Ciok Yan terhadapnya, tiba-tiba ia tertawa, katanya, “Apakah maksud Bun-heng mengenai asmara muda-mudi?”
Bun Cu-giok angkat kepala menatap Thian-hi, desisnya, “Lote, apakah kau….” sampai disini Bun Cu-giok menjagi geli sendiri.