Jilid 15
Mendadak ia lemparkan Ting Ih kearah Mao Kau, ia sendiri lantas melompat kesana, melayang keatas pohon liu, sekali dahan pohon melenting, tubuhnya ikut terbang kesana, dengan beberapa kali gerakan yang sama, dapatlah ia menghilang dalam sekejap.
Mimpi pun Ting Ih tidak menyangka Lim Ki-cing dapat bertindak sekejam ini kepadanya. Karena pergelangan tangan tercengkeram, sekujur badan terasa lemas sehingga tanpa kuasa ia terlempar kearah Mao Kau.
Nafsu membunuh Mao Kau tampak berkobar, kontan ia papak tubuh orang dengan suatu pukulan "Blang" dengan tepat dada Ting Ih yang bidang itu terhantam, kontan Ting Ih meraung dan tumpah darah, tubuh pun mencelat dan jatuh kedepan Thia Ki dan Poa Kiam yang tetap berduduk santai ditempatnya.
Kedua kakek itu tetap tenang saja, mereka saling pandang sekejap, hanya kulit muka mereka sedikit bergerak, tapi tidak bersuara.
Kiranya mereka sedang bicara dengan ilmu "Toan-im-jip-bit", semacam ilmu mengirimkan gelombang suara, Poa Kiam sedang bertanya, "Apakah kau lihat anak Su?"
Thia Ki menjawab, "Sejak tadi sudah kulihat, dia sembunyi ditepi danau seberang sana. Tapi tak dapat menghindari pandanganku. Cuma dia tidak mau memperlihatkan dirinya, maka sebaiknya kitapun tidak perlu ikut campur." "Jika jelas dia sudah datang, untuk apa lagi kita berdiam disini? Ayolah pergi saja!" kata Poa Kiam.
Kiranya kedua kakek ini menyusul Siu Su ke daerah Kanglam, tapi seketika mereka tidak dapat menemukan anak muda itu. Sesudah berundung, mereka sengaja mencari Mao Kau lebih dulu dengan berlagak hendak membantunya, tapi tujuan sebenarnya agar dapat bertemu dengan Siu Su.
Sekarang setelah mereka melihat Siu Su sudah datang, mereka tidak mau tinggal lagi disitu, serentak mereka melayang ketepi danau sana.
Dari jauh Siu Su dapat melihat berkelebatnya kedua kakek ini, cepat ia pun mengeluyur pergi, agaknya dia tidak suka bertemu dengan mereka.
"Kalian hendak kemana?" seru Mao Kau terhadap kedua kakek.
Dia menaruh harapan kedua kakek ini akan membantunya untuk menghadapi keturunan Siu Tok, sekarang kedua kakek pergi tanpa pamit, keruan ia terkejut dan mendongkol. Segera ia bermaksud mengejarnya.
Tapi Bun-ki lantas menghadang dan berkata, "Ayah, tak perlu menyusul mereka. Diatas kapal masih ada seorang yang lebih menggemaskan, masa ayah tidak tahu?"
Karena pengikutnya sama berkhianat, pikiran Mao Kau menjadi kacau, dengan gusar ia berteriak, "Siapa dia?"
Pelahan Bun-ki mengalihkan pandangnya terhadap Hoan-hun dan mendengus, "Masakah ayah mengira dia Siam-tian-sin-to Cu Cu-bing yang sebenarnya?"
Hati Mao Kau tergerak, teriaknya, "Habis siapa dia kalau bukan Cu-bing?"
"Cu Cu-bing sudah lama mati," kata Bun-ki, dia sengaja memalsukan nama Cu Cu-bing dan menyamar serupa mayat hidup untuk menipu ayah. Malahan dia bukan mayat hidup pertama, yang menyamar sebagai mayat hidup pertama adalah Suciku."
Semakin banyak dia bicara semakin bingung orang lain, bukan saja Mao Kau bingung, bahkan orang yang mengaku "Hoan-hun" juga tidak mengerti.
Setelah melenggong sejenak, lalu Mao Kau bertanya, "Sucimu dia yang menyamar Hoan-
hun lebih dulu?. "
Bun-ki menghela napas, katanya, "Urusan ini cukup panjang untuk diceritakan, seketika juga sukar kujelaskan " mendadak ia membalik tubuh dan berkata kepada Hoan-hun, "Jika kau
benar seorang kesatria sejati, hendaknya kau perlihatkan wajahmu yang asli, seorang lelaki kenapa mesti main tutup kepala dan ganti nama segala? Perempuan saja tidak sudi berbuat demikian."
Tiba-tiba teringat olehnya Siu Su yang memakai nama samaran "Ko Bun" itu, maka pada nadanya lantas menunjukkan perasaannya yang bertentangan, ya mendongkol, ya menyesal dan hampa.
Mendadak "Hoan-hun" kedua ini mendongak dan tertawa latah. "Apa yang kau tertawai?" tegur Bun-ki dengan kening bekernyit.
"Hahaha, memang betul, sebabnya aku menyamar sebagai mayat hidup adalah untuk menipu ayahmu," seru Hoan-hun dengan tertawa. "Tapi aku pun tidak pernah menyangka Hoan-hun pertama itu juga palsu. Selama hidupku tidak pernah kutemui urusan yang liku-liku dan membuat orang bingung seperti ini. Asalkan lebih dulu kau ceritakan duduknya perkara ini, pasti juga akan kuperlihatkan wajah asliku."
"Ucapanmu dapat dipercaya?" tanya Bun-ki.
"Mengapa tidak? Kata-kata seorang lelaki sejati masa dijilat kembali," ujar Hoan-hun.
"Begini soalnya," Bun-ki mulai menutur. "Suciku Buyung Siok-sing ingin menyelidiki asal-usul putra Siu Tok itu, maka dia menyamar sebagai Cu Cu-bing yang sudah mati itu dan menyelundup ketempat putra Siu Tok."
"O, jadi dia sengaja menyamar seperti ini." gumam Hoan-hun, baru sekarang ia tahu duduknya perkara, "Sebaliknya kukira didunia ini memang ada orang serupa mayat hidup begini, tak terduga aku telah tertipu olehnya."
"Suciku memang maha cerdik, mana dapat kau tandingi dia," jengek Bun-ki, "Yang kau pikirkan hanya membantu putra Siu Tok, kau pun mengira mudah menyamar sebagai Hoan-hun, lalu membawa mayat Thia Hong ketempat ayah, padahal Thia Hong juga terbunuh oleh putra Siu Tok."
Mendadak Mao Kau berseru, "Sesungguhnya siapakah putra Siu Tok, dimana dia sekarang?"
Diam-diam Bun-ki menghela napas, ia berlagak tidak mendengar pertanyaan sang ayah, katanya pula terhadap Hoan-hun, "Nah, sudah kuberitahukan duduk perkara ini, sekarang bagaimana dengan dirimu?"
Orang itu termenung sejenak, mendadak ia tertawa dan berseru, "Apakah perlu kau tahu siapa diriku?"
Tangan Bun-ki bergetar pelahan sehingga pedang merah yang dipegangnya gemerdep, sambil menatap ujung pedang ia berkata, "Jika tidak kau katakan terus terang, mungkin pedangku ini akan memaksamu bicara."
Hoan-hun menjengek, "Hm, apakah aku akan bicara atau tidak, betapapun aku akan belajar kenal dengan pedangmu."
"Baik!" bentak Bun-ki, kontan cahaya merah terus menyambar kedepan.
Rupanya Hoan-hun memang sengaja hendak menguji sampai dimana kehebatan pedang merah si nona, ia tidak mundur, sebaliknya memapak maju, tangan menyampuk dari samping untuk menghantam punggung pedang.
Siapa tahu, baru saja telapak tangannya menyentuh batang pedang, seketika tubuhnya tergetar, telapak tangannya serasa terhisap oleh semacam tenaga gaib yang timbul dari pedang merah itu sehingga sukar ditarik kembali.
Sambil membentak pelahan Bun-ki mendorong pedangna kedepan, "Sesungguhnya siapa kau, lekas katakan!"
Belum lenyap suaranya, mendadak tubuh Hoan-hun bisa memanjang keatas, sebelah kakinya terus menendang pergelangan tangan Bun-ki yang memegang pedang.
Cepat Bun-ki mengengos kesamping, pada kesempatan itulah Hoan-hun terus melayang keluar jendela.
Sungguh tak terduga oleh Bun-ki bahwa orang mampu lolos dari isapan pedang merahnya, ia terkesiap.
Terdengarlah suara tertawa nyaring berkumandang dari luar, "Haha, apakah kau ingin tahu siapa diriku? Lihatlah ini!"
Menyusul suara tertawa itu, selarik sinar emas lantas menyambar tiba.
Mao Kau terkejut dan cepat mengelak. Pedang Bun-ki lantas menyampuk, "tring", sinar emas itu terhisap oleh pedang merah. Waktu mereka memeriksanya, kiranya sebilah pedang emas kecil.
Air muka Mao Kau berubah, serunya tanpa terasa, "Kim-kiam-hiap!"
Ia memburu kedepan jendela kapal, tertampak pepohonan melambai tertiup angin, cuaca sudah dekat magrib, mana ada bayangan Kim-kiam-hiap segala.
Ia berdiri termenung, gumamnya kemudian sambil menghela napas, "Sungguh tidak nyana keparat yang menamakan dirinya Kim-kiam-hiap bisa berada diatas kapalku."
"Ayah," ucap Bun-ki dengan menunduk, "engkau. . . .engkau. " Meski banyak yang ingin dibicarakannya dengan sang ayah, tapi kerongkongan serasa tersumbat oleh rasa duka yang tak terhingga.
Mao Kau lantas menuju kehaluan kapal lagi, dia seperti ingin bicara pula dengan hadirin yang belum bubar itu, tapi sekilas pandang yang masih berada disitu, ternyata sudah tersisa sangat sedikit. Seketika hati terasa sedih sehingga sukar bersuara dan cuma termenung memandangi sedikit orang itu.
Biasanya suksesnya seorang pahlawan hanya melalui perjuangan yang panjang dan bersusah payah, tapi pada waktu hancur bisa hanyut dengan cepat serupa es yang cair terbakar api.
Dia berdiri dihaluan perahu dengan perasaan hampa, sedapatnya ia coba menyampaikan beberapa patah kata, "Selama hidup ini Mao Kau berkecimpung didunia Kangouw, soal sukses atau gagal tidak perlu lagi dibicarakan, yang membesarkan hatiku adalah saudara-saudara ternyata masihsudi menghargai orang she Mao dan. "
Belum lanjut ucapannya, se-konyong2 bergema derap kaki kuda yang ramai dari kejauhan, dari suaranya dapat ditaksir sedikitnya ada belasan penunggang kuda.
Sejenak kemudian, tertampaklah muncul serombongan penunggang kuda, yang paling depan adalah seorang pemuda berwajah kuning gagah perkasa, sembari melarikan kudanya dia berteriak dari kejauhan, "Saudara-saudara yang hadir disini silakan lekas meninggalkan danau ini agar tidak ikut menjadi korban!"
Suaranya lantang menggema angkasa. Semua orang yang masih tinggal disitu sama terkesiap. Sebagian tidak menghiraukan seruan Mao Kau lagi, beramai-ramai mereka membubarkan diri.
Mao Kau menjadi gusar, dapat dikenalinya pemuda berbaju kuning itu, teriaknya, "Kim Ciau- hiong, kau pun datang mengacau?!"
Kiranya pemuda ini adalah satu diantara Tahy-hing-siang-gi, kedua kesatria dari Thay-hing-san.
Sambil memutar cambuknya Kim Ciau-hiong bergelak tertawa dan berteriak, "Betul, aku pun datang, saat kematianmu pun sudah tiba, Mao Kau!"
Mendadak ia menghentikan kudanya, ia tuding kebelakang sana dengan cambuknya, "Coba lihatlah, sarangmu sudah kubakar menjadi abu, para pengikutmu sudah sama meninggalkan dirimu, saat ini engkau serupa anjing buduk yang tidak punya rumah lagi, apa pula artinya hidup bagimu? Lekas serahkan nyawamu saja!"
Sambil bicara cambuknya memberi tanda, serentak belasan penunggang kuda itu memutar balik kesana, hanya sekejap saja debu yang mengepul lantas buyar tertiup angin.
Kejut dan gusar sekali Mao Kau, waktu ia memandang kesana, memang betul tempat kediamannya tampak diliputi asap tebal, api telah berkobar dengan dahsyatnya. Kuatir terjadi apa-apa atas diri sang ayah, cepat Bun-ki memegangi pundak Mao Kau dan berkata, "Ayah, engkau sudah tua, sudah waktunya harus tirakat saja. Kesempatan ini bolehlah kita gunakan mencari suatu tempat tetirah yang cocok untuk mengasingkan diri agar anak dapat melayani ayah dengan tenang, hal ini kan lebih baik daripada tetap berkecimpung didunia Kangouw yang kotor ini?"
Hati Bun-ki sendiri juga sudah remuk, maka ia pun tidak ingin bertemu lagi dengan Siu Su. Leng-coa Mao Kau termangu sekian lama, mendadak ia bergelak tertawa.
Bun-ki jadi melenggong malah, tak tersangka olehnya dalam keadaan begini sang ayah masih dapat tertawa. Ia tidak tahu sang ayah adalah seorang gembong iblis yang berjiwa lain daripada yang lain, mana orang biasa dapat menyelami jalan pikirannya?
Di tengah tertawa latahnya Mao Kau berkata, "Jangan takut nak, orang-orang ini tak dapat membikin keder ayahmu. " sampai disini sorot matanya berubah mencorong, ucapnya pula
dengan beringas, "Sebelum ayah kemari, lebih dulu sudah kusiapkan satu tindak lanjut, kalau cuma sedikit pukulan seperti ini belum dapat meruntuhkan iman ayahmu."
Diam-diam Bun-ki merasa kagum juga terhadap keteguhan jiwa sang ayah. Tapi bilamana teringat kepada lawan seperti Siu Su yang juga sukar dirobohkan, mau-tak-mau ia pun ngeri.
Mao Kau memandang anak perempuan kesayangan dengan tajam, dapat dilihatnya dalam hati putrinya ini pasti menanggung sesuatu rahasia.
Setelah berpikir, mendadak ia bergumam, "Ya, ya, tahulah aku!" Tergetar hati Bun-ki, "Ayah tahu apa?"
"Putra Siu Tok itu adalah Ko Bun dan Ko Bun itu ialah samaran putra Siu Tok." kata Mao Kau pelahan.
Gembong dunia persilatan ini memang mempunyai daya pikir diatas orang biasa. Tubuh Bun-ki tergetar, tanpa terasa ia menyurut mundur dua tindak dengan air mata bercucuran.
Pada saat itulah mendadak seorang membentak, "Mao Kau, lihatlah siapa ini yang berada disini?!"
Waktu Mao Kau memandang kesana dengan terkejut tertampak ditengah danau mendadak menongol keluar sebuah kepala yang rambut sudah beruban, namun lengket diatas kepala karena basah, kedua matanya yang tua memancarkan sinar terang, kiranya dia inilah jago tua dalam air, Hwe-gan-kim-tiau Siau Ti, si elang bermata merah api.
Sambil membentak cambuk Mao Kau lantas menyabat kesana. Meski cambuk cukup panjang, namun sabatannya tidak mencapai sasarannya, hanya air danau yang tepercik dan muncrat ke sekitarnya.
Siau Ti tertawa, "Orang she Mao, untuk apa berlagak kereng lagi? Biarpun didaratan engkau dapat malang melintang, cobalah turun kedalam air, mari kita tentukan siapa yang lebih unggul?!"
Dia mengambang setengah badan diatas air, nyata kemahirannya berenang sukar ada bandingannya.
Tidak kepalang gusar Mao Kau, "Tua bangka she Siau, jika berani naiklah kemari!"
Siau-lotiau tertawa keras, "Untuk apa kunaik kesitu? Didalam air sekarang sudah siap beratus kawan kami dari danau Koyu dan Angtiok, sepantasnya kami menyuguh kau minum air danau sekenyangnya."
Hati Mao Kau terkesiap pula.
Tiba-tiba air danau beriak, seorang menongol lagi dari dalam danau dan berteriak, "Orang she Mao, masih kenal padaku tidak?"
Belum lagi Mao Kau menjawab, Siau-lotiau telah menyela dengan tertawa, "Untuk apa banyak omomg dengan dia, apakah saudara kita dibawah sudah siap?"
Kiranya orang yang muncul belakangan ini adalah Siau Peng, si ikan emas, putra tungal Siau Ti.
"Setiap saat siap bergerak, ayah!" seru Siau Ti dengan tertawa. "Baik, mulai!" teriak Siau Ti.
Siau Peng mengiakan, kembali ia menyelam kedalam air bagai ikan, permukaan air hanya menimbulkan riak kecil dan segera tenang kembali.
Kejut dan gusar Mao Kau, bentaknya, "Siau-loji, sesungguhnya permainan apa yang hendak kau lakukan?"
"Tidak perlu tanya, segera engkau akan tahu sendiri," seru Siau Ti dengan tertawa.
Belum lenyap suaranya, terdengarlah suara gemuruh, beberapa perahu didekat Mao Kau mendadak tenggelam kebawah, perahu yang ditumpanginya juga mendadak berguncang keras, badan perahu juga mulai ambles.
"Cepat mundur, ayah!" teriak Bun-ki kuatir. Pada saat itu juga tampak belasan lelaki berbaju hitam ketat memanjat keatas perahu. Cepat Bun-ki mengayun pedangnya, sekali sinar menyambar, tahu-tahu belasan orang itu sudah menghilang lagi kedalam air.
Mao Kau sempat melompat ketepi danau. Baru saja dia meninggalkan kapalnya, badan kapal lantas tenggelam dengan cepat. Lim Lin yang masih tergeletak tak sadar itu ikut karam kedalam danau.
Bun-ki tidak sempat menghiraukan orang lain, ia putar pedangnya dan menerjang, dengan terbungkus cahaya merah, secepat terbang ia pun melayang ketepi danau.
"Hahaha, Siau-loji, memangnya dapat berbuat apa terhadapku?" Mao Kau tertawa latah.
Siau Ti juga tertawa, "Huh, kau kira kami benar-benar hendak membinasakanmu? Kami sengaja ingin menyaksikan cara bagaimana kau lari terbirit-birit dan itu sudah cukup."
Dari malu Leng-coa Mao Kau menjadi gusar, "Tua bangka she Siau, bolehlah kau tetap sembunyi didalam air, tapi begitu kau injak daratan, segera kucincang dirimu hingga hancur lebur."
"Haha, apakah akan kau tunggu diriku disitu?" ejek Siau Ti. "Betul, lihat saja!" kata Mao Kau.
= Sesungguhnya apa yang terjadi atas tempat kediaman Mao Kau, kemana perginya anak muridnya?
= Apa pula yang akan dilakukan Ko Bun alias Siu Su yang masih harus menghadapi musuh lain diluar Mao Kau?
Apakah tidak kau pikirkan sarangmu yang sudah terbakar menjadi puing itu? Bila kau tunggu disini, kedua saudara Kim dari Tahy-hing-san pasti akan kegirangan," seru Siau Ti dengan tertawa.
Kembali Mao Kau melengak.
"Ingat orang she Mao," seru Siau Ti pula, "selanjutnya jangan se-kali2 muncul diatas permukaan air, begitu berada dipermukaan air, senantiasa akan kunantikan dirimu disitu."
Ditengah gelak tertawanya dia lantas menyelam dan menghilang didalam air. Dengan gregetan Mao Kau berdiri ditepi danau, sungguh ia merasakan nasib sendiri yang nelangsa, orang kalau lagi apes, di-mana2 pun akan dihina orang.
Bun-ki menghela napas, katanya sedih, "Ayah, marilah kita coba pulang melongok rumah!" "Kalau sudah terbakar, apanya yang mau dilongok!" jawab Mao Kau dengan mendongkol. Walaupun begitu ucapannya, tidak urung ia lantas mendahului melayang kesana.
Saat itu matahari hampir terbenam, tiba-tiba beberapa gumpalan awan hitam bergeser tiba sehingga cuaca yang semula cerah berubah menjadi guram.
Danau Barat yang semula ramai dengan para pelancong telah berubah menjadi sunyi, dengan cepat Mao kau dan Bun-ki berlari kerumahnya, hanya sebentar saja dari jauh lantas tercium bau hangus yang menusuk hidung.
Perkampungan Mao meliputi areal seluas beberapa hektar, tapi kini beratus bangunan megah itu sudah berubah menjadi puing. hanya beberapa puluh penunggang kuda berbaju hitam tampak berkitaran di sekeliling lautan api.
Mao Kau tahu umpama ada orang ingin memadamkan api tentu juga telah diusir oleh kawanan penunggang kuda itu, anak buahnya yang bertugas jaga kalau tidak kabur tentu juga sudah terbunuh semua.
Dalam gusarnya Mao Kau berteriak murka dan memburu kesana secepat terbang.
Siapa tahu kawanan penunggang kuda berbaju hitam itu seperti sudah memperhitungkan Mao Kau pasti akan pulang, maka sebelum Mao Kau mendekat, lebih dulu mereka sudah kabur lebih dulu, hanya dari jauh berkumandang suara orang berteriak, "Orang she Mao, yang membakar perkampungan adalah kedua saudara Kim kami, jika engkau merasa penasaran silakan datang ke Tay-hing-san untuk mencari kami. "
Suara itu lambat-laun menjauh, akhirnya lenyap bersama derapan kaki kuda yang riuh tadi.
Mao Bun-ki berlari mengelilingi lautan api, katanya kemudian, "Ayah, api tidak dapat dipadamkan, andaikan padam juga segalanya sudah terlambat."
Dengan muka kelam Mao Kau mencari suatu tempat yang agak kecil api yang berkobar, lalu menerjang kedalam. Karuan Bun-ki berteriak kaget, cepat ia ikut melompat kesana.
Tertampak api hanya berkobar dengan hebatnya disekeliling luar, tapi lantaran perkampungan ini sangat luas, maka beberapa gedung besar bagian tengah malah belum terjilat api.
Sekali hantam Mao Kau membikin pintu tengah terpentang dan cepat menyelinap kedalam. Se- konyong2 dari ruangan pendopo yang sekelilingnya telah terjilat api itu berkumandang suara orang tertawa dingin.
Mao Kau terkesiap dan cepat berhenti.
Terdengar seorang menjengek, "Hm, baru sekarang kau datang, Mao Kau? Sudah cukup lama kutunggu disini!"
"Siapa?" bentak Mao Kau.
Diam-diam Mao Bun-ki juga sudah ikut masuk kesitu.
Tertampak asap memenuhi ruangan, dibagian dalam sana muncul sesosok bayangan orang se- olah2 hantu yang menongol dari tengah kabut.
Selama hidup Mao Kau berkelana didunia Kangouw dan entah betapa banyak peristiwa besar yang ditemuinya, tapi dalam sekejap ini tanpa terasa timbul juga rasa ngerinya. Dengan kedua telapak tangan siap berjaga ia membentak, "Jadi kau ini Siu. "
Bayangan itu mendengus dan melangkah maju, katanya, "Lihatlah lebih jelas siapa diriku?"
Ternyata orang ini berbaju perlente, berwajah cakap, bersikap kereng, nyata dia memang Siu Su adanya.
Mao Kau dan Bun-ki sudah menduga siapa yang akan dihadapinya, tidak urung mereka menjerit kaget juga, tubuh Bun-ki juga agak gemetar.
Setajam sembilu Siu Su menatap Mao Kau, ia sengaja tidak memandang Bun-ki sekejap pun, ucapnya sekata demi sekata, "Mao Kau, apakah sudah kau lihat jelas. Nah, aku inilah putra Siu- siansing yang hendak menagih hutang berdarah delapan belas tahun yang lalu kepadamu."
Lamat-lamat Mao Kau merasa raut wajah dan juga perawakan anak muda didepannya itu mirip benar dengan Siu-siansing yang menunggang kuda sendirian dan disergapnya ditengah pegunungan sunyi berkabut pada delapan belas tahun yang lampau itu.
Sesaat ia merasa seperti melihat arwah Siu-siansing, tanpa tertahan ia pun mengkirik dan menyurut mundur, butiran keringat pun menghiasi dahinya.
"Utang darah harus dibayar dengan darah, apakah kau mau lari?" bentak Siu Su sambil mendekati Mao Kau selangkah demi selangkah.
Setiap langkah anak muda itu serupa menginjak ulu-hati Mao Kau dan membuatnya bergetar.
Sebenarnya Mao Kau bukan kaum pengecut, tapi demi berhadapan dengan Siu Su, entah mengapa ia menjadi jeri, sebab perbawa Siu-siansing delapan belas tahun yang lalu itu masih membuatnya gentar. Dia juga belum lupa kepada tulisan "Sepuluh tahun kemudian, hutang darah dibayar dengan darah" yang membuatnya tidak enak makan dan tidak nyenyak tidur itu.
Bun-ki menggreget, mendadak ia berteriak, "Lekas pergi ayah, biar kutahan dia!"
Belum lenyap suaranya, tahu-tahu bayangan Siu Su sudah melayang tiba dan menghantam dada Mao Kau.
Gerak tubuhnya sangat gesit, jurus serangan aneh, setiap gerak langkahnya sedemikian gagah, nyata benar persamaannya dengan mendiang Siu-siansing alias Siu Tok dahulu.
Karena jeri, Mao Kau tidak berani menangkis, sambil meraung ia terus lari keluar. "Lari kemana?" bentak Siu Su, segera ia hendak mengejar.
Tapi Bun-ki lantas berteriak, "Siu Su, jangan. . . .jangan kau kejar lagi "
Suaranya gemetar, penuh rasa sedih dan hampa.
Tergetar hati Siu Su, tapi ia tidak menoleh, dengan mengertak gigi ia tetap mengejar keluar.
Air mata Bun-ki bercucuran, mendadak pedangnya menusuk dari samping dengan ujung pedang agak gemetar.
Dilihatnya Siu Su tidak berusaha menghindar, diam-diam ia berpikir dengan pedih, "Jika seranganku mematikan dirimu, pasti aku pun akan ikut mati bersamamu. "
Baru timbul pikiran ini, mendadak dilihatnya tangan Siu Su mengebas kesamping, dengan dua jari ia menyelentik batang pedang Mao Bun-ki, "Tring", seketika Siu Su merasa jari kesemutan, tenaga selentikan lenyap. Dalam kagetnya terpaksa ia berhenti.
"Ken. kenapa engkau harus menuntut balas?" tanya Bun-ki dengan suara gemetar.
Siu Su menarik napas dalam-dalam, jawabnya, "Sakit hati pembunuhan ayah sukar dihapus!"
"Betul, sakit hati pembunuhan ayah tak dapat dihapus, tapi bila engkau hendak membunuh ayahku, terpaksa harus kubunuhmu lebih dulu," seru Bun-ki dengan menangis.
Mendadak Siu Su menubruk maju sambil mengertak, sebelah tangannya lantas menghantam muka si nona.
Bun-ki lantas memejamkan mata malah dan menurunkan pedangnya, katanya, "Baiklah, boleh kau bunuh diriku saja!"
Seketika tersirap darah Siu Su, ia tahan mentah-mentah serangannya. Wajah si nona yang sayu dengan butiran air mata menghiasi pipinya itu membuat hati Siu Su sekeras baja itu menjadi kusut.
Dengan mata terpejam Bun-ki berucap, "Ayahku sudah tua, sekarang telah ditinggalkan pula anak buahnya, rumah musnah dan keluarga hancur, sudah cukup engkau membuatnya sengsara, apa pula yang akan kau lakukan terhadapnya?"
Mendadak alis Siu Su menegak, teriaknya, "Dan cara bagaimana dia membikin celaka ayahku, sampai tulang belulang saja tercerai berai. "
Di tengah teriakannya ia terus melompat pergi, berkobarnya api dendam telah memutuskan benang cintanya. Meski Bun-ki mengejar keluar, namun sukar menyusulnya lagi.
Tapi baru saja Siu Su menerobos keluar lautan api dan belum sempat lari lebih jauh, se- konyong2 seorang menegurnya dengan tertawa, "Haha, biarpun kau lari kian kemari tetap sukar lolos dari penguntitan kami!"
Belum lenyap suaranya, dua sosok bayangan secepat terbang sudah hinggap didepannya.
Siu Su terkejut, nyata yang berdiri didepannya adalah dua kakek berbaju mentereng, mereka ialah Poa Kiam dan Thia Ki.
Melihat kedua kakek ini, mau-tak-mau Siu Su menghela napas gegetun dan terpaksa berdiri disitu.
Dalam pada itu Bun-ki sudah menyusul tiba, melihat kedua kakek itu ia pun melenggong.
Sambil menuding ke barat sana, Thia Ki berseru, "Nona Mao, ayahmu lari kesana, lekas kau susul!"
Poa Kiam lantas menyambung, "Anak muda ini takkan mampu berkutik jika kami berdua tua bangka sudah menghadang disini, betapapun dia tidak bisa mengejar lagi kesana."
Bun-ki memandang Siu Su sekejap, tampaknya ingin bicara sesuatu tapi urung.
"Ada urusan apa boleh dibicarakan kelak, sekarang lekas kau pergi saja." ujar Thia Ki. Dengan tersenuym pedih Bun-ki berkata, "Terima kasih atas bantuan kedua Cianpwe. "
Segera ia membalik tubuh dan berlari pergi kearah yang ditunjuk Thia Ki tanpa memandang Siu Su lagi.
Siu Su termangu sejenak, katanya kemudian dengan menyesal, "Kutahu kalian sengaja mencegah kutuntut balas kematian ayahku, sebab itulah selalu kuhindari penguntitan kalian. Padahal sakit hati ayah sedalam lautan, kenapa kalian. " "Eh, kenapa kau laupa kepada pesan ibumu?" sela Thia Ki, "Yang selalu kau pikir hanya sakit hati ayah, tak pernah kau pikirkan bilamana Mao Kau kau bunuh, betapa ibumu akan berduka?"
Poa Kiam lantas menyambung, "Padahal kalau tidak atas permintaan ibumu, untuk apa kami bersusah payah menyusul kemari."
"Permusuhan lebih baik diakhiri daripada berlarut, inilah pesan yang sering diucapkan ibumu," tukas Thia Ki. "Ayahmu sudah meninggal, biarpun Mao Kau kau bunuh juga ayahmu tidak dapat hidup kembali."
"Apalagi kau sendiri," sambung Poa Kiam pula, "Sekarang dia sudah cukup mengenaskan kau kerjai, apa pula yang akan kau lakukan terhadapnya?"
Begitulah kedua kakek itu terus bicara sambung menyambung, sama sekali tidak memberi kesempatan bicara bagi Siu Su.
Dengan menunduk perasaan Siu Su bergolak dengan hebat, sampai lama sekali baru berkata dengan menghela napas, "Setelah kedua paman berada disini, apa yang dapat kukatakan lagi. .
. ."
"Aku tidak peduli kau mau bilang apa, pendek kata, mau atau tidak mau kami berdua harus selalu mendampingimu sampai kami membawamu kembali ketempat ibumu sana." kata Thia Ki.
"Ya, terserah kepada kehendak paman." ujar Siu Su.
"Nah, beginilah baru anak baik," ujar Thia Ki dan Poa Kiam dengan tertawa cerah.
"Di tempat tinggal Siautit sana tersedia macam-macam arak enak, silakan para paman ikut minum barang beberapa cawan disana," kata Siu Su kemudian.
"Hahaha, sungguh anak yang baik, hobi kedua pamanmu rupanya sudah kau kenal benar," ujar Thia Ki dengan tertawa.
Kedua kakek itu lantas ikut Siu Su pulang kegedung itu, setelah Hoan-hun dan anak buah Liang Siang-jin pergi semua, rumah ini lantas sunyi senyap tidak berpenghuni.
Siu Su menyalakan lampu dan membawakan arak, meski cuma ada arak tanpa hidangan, tapi ketiga orang dapat minum dengan gembira, bahkan Siu Su seperti sudah melupakan segala macam duka lara.
Habis satu botol, air muka Siu Su belum berubah, sebaliknya muka Thia Ki lantas merah, malahan Poa Kiam sudah mulai sinting dan ber-ulang2 minta tambah arak lagi.
Segera Siu Su mengambil lagi sebotol. Setelah habis terminum botol kedua ini. Thia Ki gan Poa Kiam benar-benar mabuk hingga lupa daratan.
Gemerdep sinar mata Siu Su, ia coba memanggil, "Thia-toasiok, Poa-jicek?" Tentu saja tidak ada jawaban.
Siu Su menghela napas dan berucap, "Maaf jika aku kurang sopan terhadap kedua paman. Demi menuntut balas sakit hati ayah, terpaksa mesti bikin susah kedua paman untuk sementara."
Segera ia bawa Thia Ki dan Poa Kiam keruang bawah tanah, disitu tersimpan macam-macam arak. Kedua orang tua itu dibaringkan digudang arak ini.
Arak yang tersimpan disini adalah arak pilihan dan tersimpan puluhan tahun lamanya, waktu diminum terasa enak, sesudah masuk keperut akan cepat membuat mabuk, dan sekali mabuk sukar untuk siuman kembali.
Siu Su bergumam pula, "Sekali kedua paman mabuk sedikitnya berlangsung selama tiga hari, maaf jika Siautit tinggal pergi, kelak setelah kubalas dendam baru akan kumohon ampun kepada paman."
Dia tinggalkan gudang dibawah tanah itu, pintu digembok.
Pintu gudang sangat kuat, jika sudah siuman, untuk keluar juga Thia Kim dan Poa Kiam akan berkutetan sekian lamanya.
Sementara itu senja sudah tiba pula.
Dibawah cahaya sang surya yang ke-merah2an mendadak dilihatnya ditengah ruangan besar itu telah bertambah dua sosok bayangan panjang.
Siu Su terkejut, baru saja ia berhenti melangkah, segera terdengar orang menegur dengan suara parau, "Siu-kongcu, apakah arak masih tersedia?"
Sinar mata Siu Su mengerling tajam, lalu tertawa dan menjawab, "Arak tentu saja ada, tapi perlu dibuktikan dulu apakah engkau setimpal untuk minum arakku atau tidak?"
Terlihat olehnya dua orang berjubah hijau berduduk disebelah meja besar sana dengan air muka kaku dingin. Ternyata dua Hoan-hun kembar.
Hoan-hun yang sebelah kiri berkata dengan tertawa, "Barangkali aku setimpal mendapat suguhan arak?"
Air muka Siu Su agak berubah, bentaknya pelahan, "Siapa diantara kalian adalah Buyung Siok- sing?" "Kami berdua bukan Buyung Siok-sing." jawab kedua Hoan-hun itu dengan tertawa.
Di tengah gelak tertawa mereka, sekali tangan mereka mengusap muka masing-masing, seketika tertanggal kedok yang mereka pakai.
Waktu Siu Su mengawasi, tertampak seorang diantaranya berhidung tegak dan bermulut besar mukanya kereng, dia inilah Kim-kiam-hiap Toanbok Hong-cing.
Seorang lagi beralis panjang dan bermata besar, berjenggot pendek, wajah yang cakap membawa semacam kebosanan orang hidup. Kiranya dia inilah Ciok Ling yang sudah berpisah setahunan itu.
Kemunculan kedua orang secara mendadak ini membuat Siu Su tercengang, seketika ia tidak dapat bicara.
Dengan tersenyum Toanbok Hong-cing berkata, "Akulah yang membawa sesosok mayat dari Leng-un-si kerumah Mao Kau, entah jasa ini setimpal untuk mendapatkan suguhan arak Siu- heng atau tidak?"
"Ah, kiranya perbuatanmu!" seru Siu Su terkejut dan bergirang.
Sudah lama tanda tanya ini tersimpan dalam hatinya dan baru sekarang terjawab.
"Haha, kawan lama bertemu kembali, adalah pantas kusuguhi arak," seru Siu Su dengan gembira. "Cuma sayang, sementara ini gudang arak telah kugunakan sebagai penjara dan tak dapat kuambilkan araknya."
"Haha, masakah benar kuminta disuguhi arak? Aku cuma menggoda dirimu saja," seru Toanbok Hong-cing dengan tertawa. Mendadak ia sambung dengan serius. "Hubungan kedua kakek Thia dan Poa tidak sembarangan dengan Siu-heng, mengapa engkau mencekoki mereka hingga mabuk dan mengurungnya didalam gudang arak? Sungguh aku tidak mengerti akan maksud perbuatanmu ini?"
Siu Su tertawa, "Haha, tampaknya setiap tindakanku sukar mengelabui mata telinga saudara."
Lalu dengan prihatin ia berkata pula, "Soalnya kedua pamanku itu berkeras membujukku agar menyudahi permusuhan ini, maka. "
Mendadak Ciok Ling menyela, "Apa salahnya jika permusuhan dihapus saja daripada terus berlarut, untuk ini kuyakin ibumu pasti juga akan bersyukur."
Siu Su tidak menanggapi ucapannya, sebab saat ini dia datang bersama Toanbok Hong-cing, betapapun dirinya tidak pantas bicara kasar padanya. Didengarnya Toanbok Hong-cing telah berkata pula, "Siu-heng, meski kita baru berkenalan, tapi rasanya seperti sahabat lama saja. Ada sedikit pendapat pribadiku entah Siu-heng sudi mendengarkan atau tidak?"
"Silakan bicara saja." kata Siu Su.
"Menurut pendapatku," ujar Toanbok Hong-cing, "Meski benar Mao Kau adalah pembunuh ayahmu, musuh yang tak terampunkan bagimu, tapi dia juga paman satu2nya, adik ibumu. Apalagi antara putri kesayangannya juga ada hubungan mesra dengan Siu-heng sendiri, keruwetan antara kasih dan dendam ini sungguh sukar dimengerti oleh orang luar seperti kami ini, namun seperti bunyi pepatah, 'dimana dapat mengampuni orang, hendaknya diampuni' Siu- heng telah mendesak Mao Kau sedemikian rupa sehingga dia kabur serupa anjing buduk yang tak punya rumah lagi, apakah tidak cukup sampai disini saja kau ampuni jiwanya?"
Kim-kiam-hiap Toanbok Hong-cing bicara dengan tulus dan simpatik, lugas apa adanya. Hanya cara bicara demikianlah dapat menggetarkan perasaan Siu Su.
Anak muda itu terdiam sejenak, katanya kemudian, "Sesungguhnya persoalan ini memang sangat ruwet sehingga Siaute sendiri tidak tahu cara bagaimana mengakhirinya, tapi. kalau
saudara menyatakan saat ini Mao Kau telah menghadapi jalan buntu, betapapun Siaute belum dapat menerima kenyataan ini."
"Tapi dia sudah jelas tidak dapat bercokol lagi di Hangciu, didunia persilatan juga sudah kehilangan pamor, biarpun kungfunya tinggi selanjutnya sudah tidak berpengaruh lagi, paling2 dia cuma dapat mencari suatu tempat pengasingan untuk menghabiskan hari tuanya."
Siu Su menggeleng, "Tokoh angkuh semacam Mao Kau, mana dia rela mengakhiri hari tua dengan hidup kesepian? Meski pangkalannya di Hangciu sudah tumbang, tapi jauh sebelum dia mengadakan pertemuan besar para kesatria di Hangciu ini, lebih dulu dia sudah mengatur jalan mundur agar kelak dapat bangkit kembali. Tatkala mana tentu tidak gampang lagi jika ingin menumpasnya."
"Adakah fakta yang mendukung tuduhanmu ini?" tanya Toanbok Hong-cing.
"Masa anda tidak melihat sesuatu keganjilan," ujar Siu Su. "Dalam pertemuan besar para kesatria yang baru saja berlangsung dengan gagal, kesepuluh Giok-kut-sucia andalan Mao Kau kan tidak ada yang muncul, Jit-sing-pian Toh Tiong-ki ada hubungan erat dengan dia, sampai saat ini dia juga tidak tampak batang hidungnya. Memang sukar melihat keganjilan ini jika tidak diperhatikan dengan cermat, tapi setelah diketahui, banyak keganjilan lantas terlihat."
"Tapi diantara kesepuluh murid andalan Mao Kau itu kan sudah tewas beberapa orang?. "
gumam Toanbok Hong-cing.
"Betul, memang beberapa diantaranya sudah mati, tapi masih ada Toat-beng-sucia, Gin-to- sucia dan Thi-kun-sucia, ketiga orang ini tergolong jago pilihan diantara kesepuluh murid andalannya itu, apalagi murid utama Giok-kut-sucia, Thi-tah-sucia Ci To selama ini belum pernah muncul sama sekali."
"Jit-kiam-sam-pian saja sudah hancur, apalagi cuma kesepuluh murid Mao Kau, apa yang perlu ditakuti?" ujar Toanbok Hong-cing.
"Yang menakutkan bukanlah kesepuluh anak muridnya itu, tapi dikuatirkan mereka secara
diam-diam mengumpulkan segala macam sampah masyarakat Kangouw dan membentuk suatu kekuatan gelap," tutur Siu Su, "Umumnya serangan terang mudah dihindar, sergapan gelap sukar dijaga. Kekalahan Leng-coa Mao Kau sekali ini adalah karena dia terlalu pongah, terlalu banyak pamer kekuatan, bilamana dia menunggu kesempatan dan bergerak secara diam-diam, rasanya sukar bagi kita untuk menghadapi dia."
Terkesiap juga Toanbok Hong-cing oleh uraian Siu Su ini, ucapnya, "Analisa Siu-heng sungguh sangat mengagumkan. "
"Sudah sekian lama Mao Kau merajai dunia Kangouw," sambung Siu Su pula, "Segala urusan baik dari golongan putih maupun kalangan hitam, selalu dia punya andil tertentu. Selama duapuluh tahun ini harta benda yang telah dikumpulkannya pasti cukup mengejutkan jumlahnya. Tapi setelah rumahnya dimusnahkan oleh api, ternyata dirumah ini tidak kelihatan ada harta yang dikumpulkannya selama ini?"
"Jangan-jangan telah digunakannya sebagai dana untuk mengumpulkan anak buah dan memupuk kekuatan?" ujar Toanbok Hong-cing.
"Tepat, memang begitulah adanya." seru Siu Su.
Sejenak Toanbok Hong-cing termenung, katanya kemudian, "Bila betul apa yang kita duga ini, maka orang she Mao itu harus diakui memang seorang gembong iblis yang maha hebat. "
"Sebab itulah baik yang menyangkut urusan pribadi maupun berhubungan dengan kepentingan umum, betapapun aku tidak dapat menyudahi persoalanku dengan Mao Kau." kata Siu Su. "Setelah penjelasanku ini, tentu kalian berdua dapatlah memaklumi kesulitanku."
Seketika Toanbok Hong-cing dan Ciok Ling saling pandang.
Sampai agak lama barulah Ciok Ling berkata, "Tapi masih ada satu hal kukira engkau perlu memperhatikannya."
"Urusan apa?" tanya Siu Su.
"Tidak sedikit mendiang ayahmu pernah mengikat permusuhan dengan orang Kangouw, sekarang kau muncul dengan wajah aslimu, tentu banyak sekali orang yang akan menuntut balas padamu," tutur Ciok Ling. "Hal ini sudah kuketahui," sahut Siu Su.
"Bahwa kau ingin mencari Mao Kau untuk menuntut balas, disamping itu kau pun harus berjaga kepada orang yang akan menuntut balas padamu, kurasakan engkau jadi sedemikian terpencil, namun watakmu juga sedemikian keras. ai!" Ciok Ling mengakhiri ucapannya dengan
menghela napas.
Namun dapatlah Siu Su menangkap betapa perhatian orang tua yang dipandang sebagai pamannya itu terhadap dirinya.
Tak tersangka olehnya tokoh Kangouw kawakan, pendekar pedang yang sudah bosan akan kehidupan yang fana ini, ternyata sedemikian besar memperhatikan dirinya. Seketika hati Siu Su terasa terharu dan berterima kasih, ucapnya denan tersenyum pedih, "Sejak Kiu-ciok-sin-tu meninggalkan diriku, aku memang merasa terpencil dan tidak mempunyai pendukung lagi. Tapi sampai saat ini dapat kuketahui, aku masih mempunyai beberapa kawan sejati."
Mendadak Toanbok Hong-cing berseru, "Ketua Kai-pang, LengLiong Pangcu, baik ilmu silatnya maupun pengaruhnya tergolong tokoh terkemuka dunia Kangouw, orang ini pun sangat simpatik, mengapa engkau tidak mohon bantuannya?"
"Orang tua ini sudah pernah bertengkar mulut denganku, kukira selanjutnya tidak mungkin dia membantuku." tutur Siu Su. Dia tersenyum pedih, lalu menyambung, "Orang Kangouw sekarang sama tahu Mao Kau telah berantakan ditinggal pengikutnya dan sudah menghadapi jalan buntu, siapa pula yang tahu kekuatanku juga sangat kecil, bahkan lebih terkucil daripada Mao Kau."
Ciok Ling sedang menatap kedok "Hoan-hun" yang dipegangnya, katanya tiba-tiba, "Apakah kau tahu sebab apa kutemui dirimu dengan memakai kedok ini?"
Tanpa menunggu jawaban Siu Su, segera ia menyambung, "Kukira betapa pun engkau takkan mampu menerkanya. Soalnya, sejak berkenalan dengan Toanbok-heng, hatiku yang semula dingin, hampa dan putus asa itu, tiba-tiba jadi hangat kembali, terutama setelah melihat dia memakai kedok ini, aku menjadi tertarik untuk menirunya, sebab kupikir adalah sangat mudah membuat kedok tiruan begini, maka dalam waktu beberapa hari saja telah kubikin sejumlah kedok muka yang tipis begini. "
"Apakah ada maksudmu menyuruhku juga memakai kedok begini?" sela Siu Su.
Ciok Ling tersenyum, "Dalam dongeng kuno banyak cerita tentang seorang dapat berubah menjadi beberapa orang. Bilamana kita juga mengumpulkan sekian sahabat dan sama-sama memakai kedok yang serupa, lalu siapakah yang tahu 'Hoan-hun' manakah samaran Toanbok Hong-cing dan mana pula samaran Siu Su. Dengan cara begini bukankah sekaligus engkau juga dapat menyulap dirimu menjadi beberapa orang?"
"Wah, bilamana ada tokoh dunia persilatan lain juga meniru caramu membuat kedok ini untuk berbuat kejahatan, lantas cara bagaimana kita harus bertindak?" ujar Siu Su. "Untuk ini kukira tidak perlu kau kuatir," ujar Toanbok Hong-cing, "Untuk membuat kedok demikian, meski mudah diuraikan, tapi sesungguhnya bukan pekerjaan gampang. Memang sederhana cara membuatnya, tapi orang yang paham pembuatan kedok ini boleh dikatakan dapat dihitung dengan jari, Sekalipun benar ada orang lain juga membuat kedok mayat hidup begini, hal ini malah beruntung bagi kita sehingga orang lain akan dikelabui. Cara demikian sebenarnya kurang gemilang tapi untuk menghadapi manusia licik seperti Mao Kau, cara ini sama tepatnya untuk menghukum dia."
Siu Su terdiam agak lama, katanya kemudian dengan pelahan, "Tindakan ini memang tepat untuk menghadapi Mao Kau, tapi aku merasa tidak boleh menggunakan kedok ini untuk menghindari musuh mendiang ayahku, sebab kemunculanku sekali ini justru ingin membikin lunas segala utang-piutang ayahku dahulu."
Toanbok Hong-cing saling pandang sekejap dengan Ciok Ling. Akhirnya Ciok Lin berkata, "Apapun juga tetap akan kuberi sebuah kedok begini kepadamu, digunakan atau tidak terserah kepadamu sendiri."
Siu Su tertawa dan menerima kedok tipis itu dan disimpannya didalam baju. Sementara itu hari sudah gelap, sampai sekian lama mereka duduk diam diruangan gelap, semuanya merenungkan urusannya sendiri.
Dalam keheningan, sekonyong-konyong bergema suara nyaring gelang tembaga daun pintu diketuk.
"Ada orang menggedor pintu," seru Siu Su dengan suara tertahan sambil berbangkit.
Belum lenyap suaranya, serentak Toanbok Hong-cing telah berlari kesana sambil mengenakan kedoknya, desisnya, "Biar kubukakan pintu!"
Siu Su memandangi bayangan orang berkelebat dalam kegelapan halaman, sesaat kemudian, sesosok bayangan melayang kembali dan berdiri ditengah halaman.
Dengan heran Siu Su bertanya, "Apakah diluar tidak ada orang? Siapa yang mengedor pintu?" Bayangan yang berdiri dihalaman itu mendadak mendengus, "Akulah yang menggedor pintu!"
Siu Su melengak, mendadak teringat olehnya siapa orang ini, serunya, "Hei, Buyung Siok-sing, untuk apa kau kemari?"
"Benar, aku memang Buyung Siok-sing adanya." jengek orang itu, "Aku ingin tanya padamu, kemana perginya Sumoaiku oleh perbuatanmu?"
Dengan lebih ketus Siu Su menjawab. "Bila kutahu dia pergi kemana saat ini, tentu sejak tadi sudah kukejar kesana." Baru saja Buyung Siok-sing mendengus, mendadak dari samping muncul lagi sesosok bayangan yang serupa dengan dia, begitu sorot mata kedua orang kebentrok, seketika mereka sama melengak.
Bayangan orang ini tentulah Toanbok Hong-cing yang baru kembali dari membuka pintu itu. "Siapa kau?" tegur Buyung Siok-sing dengan suara bengis.
"Kau sendiri siapa?" jawab Toanbok Hong-cing dengan tertawa. "Kau mayat hidup, aku juga mayat hidup, masa engkau tidak kenal padaku?"
Diam-diam Ciok Ling juga mengeluarkan kedoknya dan dipakai, lalu ia pun melompat kehalaman sana sambil berseru. "Disini masih ada lagi mayat hidup, kau kenal padaku?"
Kejut dan gusar Buyung Siok-sing, bentaknya dengan gusar, "Orang she Siu, tidak perlu kau main sandiwara, aku cuma minta kau serahkan kembali Sumoaiku, kalau tidak, terpaksa harus kuseret dirimu kedepan guruku untuk memberi pertanggungan jawab kepada beliau."
Tergerak pikiran Siu Su, mendadak ia pun memakai kedok pemberian Ciok Ling tadi dan berseru, "Siapa yang she Siu? Aku juga mayat hidup, apa kau kenal padaku?!"
Tadi dia sembunyi dibalik pohon ditepi danau supaya tidak menyolok mata, sebab itulah dia sengaja memakai baju hijau, tak tersangka sekarang baju hijau justru tepat untuk menyamar sebagai Hoan-hun atau mayat hidup.
Sekali bertepuk tangan ia terus melompat kesamping Toanbok Hong-cing. Sekarang tiga orang berkedok tiruan berdiri melingkar disitu, semuanya diam saja, perawakan mereka hampir sama.
Dengan mata melotot Buyung Siok-sing memandangi ketiga orang itu tanpa berkedip, sukar lagi baginya untuk mengenali siapa diantaranya Siu Su.
Terdengar ketika orang tertawa bersama. Dengan mendongkol mendadak Buyung Siok-sing menerjang ketengah ketiga orang itu, kedua tangan bekerja cepat, dalam sekejab ia menyerang belasan kali.
Jurus serangannya sangat aneh, ketiga orang dicecar secara bergantian, habis itu salah seorang diantaranya lantas diterjangnya. Siu Su bertiga tidak mau balas menyerang, sebab mereka memang tidak mau melukai Buyung Siok-sing, tapi mereka juga tidak ingin dikenali Buyung Siok-sing dari gerak serangan mereka, maka begitu diterjang oleh Buyung Siok-sing, sedapatnya Siu Su main mengelak.
Setelah menerjang yang satu, segera Buyung Siok-sing menerjang orang kedua, cepat Toanbok Hong-cing juga menghindar kesamping. Tapi pada saat yang sama Buyung Siok-sing terus menerjang Ciok Ling dan begitu seterusnya, setelah terjang sini-sana, akhirnya keempat orang jadi bercampur baur.
Ketika keempat orang berhenti bergerak, bukan saja Buyung Sok-sing tidak tahu lagi siapa Siu Su, bahkan Siu Su bertiga juga sukar membedakan lagi siapa diantaranya Buyung Siok-sing, sebab gerakan mereka tadi sama cepatnya dan sama gesitnya sehingga pandangan menjadi kabur dan tidak saling kenal lagi.
Seketika mereka berempat berdiri bingung ditempat, tidak ada yang mau bersuara.
Merasa akalnya berhasil dengan baik, diam-diam Buyung Siok-sing bergirang, pikirnya lagi, "Saat ini bila aku angkat kaki lebih dulu, mereka bertiga pasti takkan menyangka akulah yang pergi dulu, sebab diantara empat orang yang paling ingin pergi dulu pastilah Siu Su.
Memang pada saat itu telah timbul maksud Siu Su untuk pergi dari situ, anak muda itu lagi berpikir, "Urusan pribadiku belum selesai, jika aku terlibat urusan dengan Buyung Siok-sing, tentu akan berlarut-larut, lebih baik aku angkat kaki lebih dulu, biar kutingalkan Buyung Siok- sing kepada mereka berdua."
Tengah Siu Su berpikir, Buyung Siok-sing juga sudah ambil keputusan untuk pergi, ia pikir, "Bila kupergi sekarang juga, kedua orang yang lain tentu mengira yang pergi adalah Siu Su, sedangkan yang dua orang tentu takkan ikut pergi karena harus menghadapi diriku disini. Sebaliknya Siu Su pasti akan berusaha ikut kepergianku."
Mendadak ia terus melompat kesamping dan melayang pergi.
Bersambung ke-16.