Jilid 09
Belum lagi pikiran tersebut selesai terlintas, tiba-tiba dari luar berkumandang suara jeritan kaget, kemudian tampak Gu Sam-gan berlari masuk kedalam dengan wajah kaget bercampur takut.
"Kongcu, Kongcu. . . cepat lihatlah, saudara2ku itu dibunuh orang semua " teriaknya gelisah.
Siu Su terperanjat, dia melompat bangun dan menjura kepada kedua kakek itu sambil berkata, "Maaf!"
Dengan langkah lebar dia lantas berjalan keluar bersama Gu Sam-gan.
Segera Gu Sam-gan berkata lagi, "Kongcu, kulihat kedua tosu tua itu bukan orang baik-baik, mungkin merekalah yang melakukan perbuatan jahat ini."
Siu Su bersuara tak acuh, ia mengikutinya menyusuri dinding pekarangan, selang sejenak sampailah mereka dihalaman belakang, tempat itu merupakan pekarangan yang tak terawat, semak rumput tumbuh lebat, batu berserakan, keadaannya mengenaskan.
Gu Sam-gan segera melompat kedepan, lalu sambil menuding kearah semak rumput katanya, "Kongcu, coba lihat, bagaimana dengan keadaan mereka ini?"
Segera ia mencengkeram tubuh seorang lelaki bercambang, dan mengangkatnya keluar dari balik semak-semak.
Cepat Siu Su menghampirinya, ia lihat seluruh badan lelaki itu berlumuran darah, kedua daun telinganya sudah dipotong orang, tubuh kaku seperti tak bernapas lagi.
Kedua mata Gu Sam-gan merah membara, dari balik semak sana dia membawa keluar empat lelaki lagi, semuanya berada dalam keadaan kaku, berlepotan darah dan kehilangan sepasang daun telinganya.
Dengan kening berkerut Siu Su segera melakukan pemeriksaan, dilihatnya napas orang-orang itu belum putus, maka sambil menghela napas panjang, katanya, "Ah, tidak apa-apa, mereka belum putus nyawa, hanya jalan darahnya saja yang tertutuk."
Cepat ia menepuk tiga kali pada masing-masing tubuh kelima orang itu. Diiringi embusan napas, orang-orang itu segera merintih.
Dengan perasaan gemas Gu Sam-gan berseru, "Sudah pasti perbuatan ini dilakukan oleh anak buah orang she Mao itu, Hm, suatu ketika, jika orang she Mao itu terjatuh ketanganku pasti akan kucincang tubuhnya menjadi ber-keping2."
"Selama saudaramu bekerja bagiku, adakah orang lain tahu?" tanya Siu Su dengan pelahan.
Gu Sam-gan menggoyang tangan berulang kali, "Kongcu, apa pekerjaan Gu Sam-gan? Soal ini, biar mati pun tak nanti kusiarkan keluar."
"Kalau begitu, sungguh aneh sekali kejadian ini " kata Siu Su dengan kening berkerut,
setelah termenung sebentar, lanjutnya, "Jangan-jangan perbuatan ini dilakukan oleh musuhmu masa lalu? Tapi. mana mungkin musuh kalian bisa mempergunakan ilmu menutuk tingkat
tinggi begini?"
Gu Sam-gan pun berkerut kening sambil termenung. . . .
Beberapa saat kemudian, kelima orang lelaki itu merangkak bangun dari tanah, begitu melihat kehadirannya disitu, mereka berseru tertahan, "Sam-ko, baru sekarang kau datang? Ai,
kami habis dipermak orang."
"Sebenarnya apa yang terjadi? Siapa yang mempermak kalian? Cepat katakan!" seru Gu Sam- gan dengan tak sabar.
Setelah berhenti sejenak, dia menambahkan, "Inilah Kongcuya, cepat katakan agar Kongcuya bisa membalaskan dendam bagi kalian."
Kelima orang itu segera berlutut dihadapan Siu Su.
Siu Su memandang sekejap wajah orang2 ini, katanya kemudian dengan lembut, "Beristirahatlah dulu, kemudian baru bercerita, Gu Sam-gan, cepat ambilkan obat luka "
"Dalam petiku ada obat luka, tak perlu Kongcu repot," kata lelaki jangkung berdandan sebagai penjual obat itu, "Cuma. cuma kali ini daun telinga kami kena disayat orang, sungguh
kejadian yang sangat menyakitkan hati."
"Apalah gunanya hanya mengucapkan kata-kata jengkel saja?" tukas Gu Sam-gan, "Cepat ceritakan, siapa yang mempermak kalian sehingga menjadi begini rupa?"
"Kami tidak kenal siapakah orang itu." jawab lelaki jangkung itu, "Semalam, Ni-lojit membeli lima kati daging dan tiga kati arak Ko-liang, waktu itu kami ber-siap2 mengisi perut diruang tengah ."
"Dan orang itu mendadak datang mempermak kalian?" potong Gu Sam-gan.
Lelaki jangkung itu mengangguk, tapi segera menggeleng lagi, sahutnya, "Sebenarnya tidak, kemudian. . . .kemudian Ni-lojit bilang. "
"Bilang apa?" seru Gu Sam-gan berang.
Lelaki jangkung itu melirik sekejap kearah seorang lelaki ceking lainnya, kemudian melanjutkan,
"Mungkin Ni-lojit sudah terpengaruh oleh arak, ia bilang begini, 'Konon meski usia Kongcu kita masih muda, namun memiliki kemampuan hebat, putri kesayangan Leng-coa Mao Kau pun kena. . . . kena tergaet', Maka aku pun bertanya, 'Dari mana kau bisa tahu?' jawab Ni-lojit. "
"Lanjutkan!" sela Siu Su dengan kening berkerut.
Lelaki jangkung itu mengembuskan napas panjang, kemudian melanjutkan, "Ni-lojit bilang dengan mata kepala sendiri dia saksikan Kongcu dan putri orang she Mao itu masuk kerumah penginapan dan tinggal disatu kamar, kemudian dia bilang begini pula, 'Malahan orang she Mao itu tahu Kongcu tidak cintai putrinya dengan sungguh2 melainkan sengaja. " Baru saja dia
berkata sampai disini, mendadak dari luar terdengar orang tertawa dingin, kami segera bungkam dan berpaling, tertampak didepan pintu muncul seorang perempuan barjubah putih rambutnya sepanjang bahu dan berdiri disana tak bergerak, dibawah cahaya rembulan terlihat dia sedikit pun tak berbau manusia."
Air muka Siu Su berubah hebat, tapi dia masih tetap membungkam.
Lelaki itu berkata lebih jauh, "Semua orang merasa terkejut, sementara itu selangkah demi selangkah perempuan itu menghampiri kami, saat itulah kami baru melihat jelas wajah perempuan itu kuning pucat, kaku dingin, sedikit pun tak berperasaan, pada hakikatnya mirip mayat hidup, bergidiklah kami. Kaki kami terasa lemas, ingin kabur pun tidak berani."
Diam-diam Siu Su mendengus, ia lihat sorot mata kelima orang itu memancarkan rasa kaget dan takut, seperti masih ngeri teringat pada kejadian semalam.
Lelaki kurus itu menghembus napas panjang, kemudian bertutur lagi, "Selama hidup belum pernah hamba lihat orang berwajah begitu menyeramkan seperti dia, pada saat itu. "
Belum habis perkataannya, mendadak dari belakang Siu Su berkumandang suara langkah kaki yang amat berat sedang menghampiri mereka selangkah demi selangkah. Meski saat itu ditengah hari bolong, tanpa terasa Siu Su juga merasakan bulu kuduknya pada berdiri.
Siu Su dapat merasakan suara langkah kaki yang berat itu makin lama semakin mendekat, tapi dia tetap berdiri tak bergerak ditempatnya. Ia mengerti, cara terbaik bagi seorang untuk menghadapi setiap perubahan yang mungkin terjadi adalah mempertahankan ketenangan.
Kobaran rasa dendam yang kuat dapat membuat setiap urat syaraf didalam tubuh berubah keras se-akan2 kawat baja, bila tidak ada pukulan batin yang hebat, jangan harap bisa menggoncangkan syarafnya yang kuat dan keras seperti baja itu.
Tapi sekarang suara langkah kaki yang kedengaran ini masih belum cukup keras mengguncangkan syarafnya, meski semula juga membuatnya rada ngeri.
Namun, rasa bergidik tersebut dengan cepat punah dan lenyap tak berbekas, sedemikian cepatnya sehingga ia sendiri pun se-olah2 tidak merasakannya.
Ketika ia mendongakkan kepala dan memandang lelaki ceking dihadapannya yang sambil bercerita sambil ter-engah2, meski penuturannya terhenti lantaran munculnya suara langkah tersebut, namun wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan perasaan takut atau ngeri, yang ada cuma rasa tercengang belaka.
Oleh sebab itu dia lantas tahu orang yang muncul dibelakangnya tidak perlu dikuatirkan, sebab bila orang itu tak bisa menimbulkan perasaan ngeri bagi orang lain, maka orang itu pun pasti tak akan mengerikan bagi Siu Su.
Apalagi suara langkah kaki orang itu sedemikian beratnya sehingga seorang yang bodoh atau setengah tuli pun dapat merasakannya, Jika seorang berniat mencelakai orang lain mustahil memperdengarkan suara langkah kaki seberat itu.
Maka, tatkala suara langkah kaki itu makin lama semakin mendekat, dia hanya berpaling pelahan dan melirik sekejap dengan hambar, bahkan sebelum berpaling pun ia telah menduga, "Pasti kedua orang tojin aneh yang berada dalam ruang tengah tadi yang telah muncul."
Siapa tahu, ketika lelaki ceking itu mengembuskan napas dan berkata lagi, "Selama hidup hamba belum pernah melihat wajah yang begitu menakutkan, waktu itu. "
Pada saat dia mengucapkan 'waktu itu', mendadak ucapannya terhenti, sebab sorot matanya kembali menampilkan perasaan ngeri pula.
Tapi mengapa pada wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan rasa ketakutan seperti apa yang terpancar dari sinar matanya?
Sebab walau pun ia melihatnya, namun tidak memahaminya, pertama karena ia sudah ketakutan, saking takutnya tak bisa memahaminya, tapi yang paling penting saat itu pada hakikatnya dia tak tahu lagi apa artinya "ngeri", syaraf yang mengendalikan perasaan ngeri dalam benaknya se-akan2 tidak bekerja lagi sebagaimana mestinya. Maka syaraf yang telah beku itu menimbulkan dugaan yang keliru bagi Siu Su. Bahkan ia tidak melirik sekejap pun pada keempat orang yang berlutut ditanah, bahkan Gu Sam-gan yang berdiri disisinya juga tidak memperhatikan wajah mereka.
Wajah Gu Sam-gan tampak mengejang lantaran ngeri bercampur tegang, bila ia tidak menyaksikan ketenangan Siu Su saat itu, niscaya dia sudah menjerit.
Ketika dilihatnya Siu Su membalik badan sambil melirik, hatinya tergetar keras, sambil membalik badan dan menyiapkan diri menghadapi segala kemungkinan, segera bentaknya, "Siapa kau?"
Matahari pagi belum sampai ditengah angkasa, cahaya terang yang keemasan itu terpancar dari arah timur dan menyinari semak-semak dalam halaman.
Dari balik semak itulah seorang perempuan berambut panjang dan berjubah longgar berdiri tegak seperti hantu.
Rambutnya yang panjang berkibar terembus angin, ia tertawa pedih, namun wajah yang kuning kaku itu sedikit pun tidak menampilkan senyuman apa pun.
Gu Sam-gan bergidik, sampai beberapa tahun kemudian dia masih mengutuk perempuan yang menyeramkan bagaikan baru muncul dari kuburan ini.
Bentakan Siu Su tidak mendapat jawaban, yang terdengar hanya suara tertawa dingin perempuan itu.
Diam-diam dia menghimpun tenaga dalam, kemudian membentak lagi, "Siapa kau? Apa maksudmu datang kemari?"
Perempuan berambut panjang dan berjubah putih seperti hantu itu menatap wajah Siu Su lekat- lekat, lalu dengan suara yang dingin menyeramkan menjawab singkat, "Mencari kau!"
"Mencari aku?" ulang Siu Su dengan kaget.
Ia sama sekali tak menyangka kedatangan orang akan mencarinya, padahal ia merasa tak pernah kenal perempuan ini, ia pun tidak ingat kapan dia mempunyai permusuhan dengan perempuan tersebut, padahal bila pernah berjumpa dengan orang, dengan muka orang seperti itu, ia yakin tak nanti terlupa.
"Mungkin dia komplotan Leng-coa Mao Kau?" demikian pikirnya.
Begitu ingatan ini terlintas dalam benaknya, segera ia meningkatkan kewaspadaan, lalu menegur dengan suara berat, "Ada urusan apa kau?"
Sekali lagi perempuan berjubah putih itu tertawa panjang dengan suara menyeramkan, belum habis tertawanya, secepat kilat ia menyelinap kebelakang pintu ruang tengah seraya membentak, "Keluar kau!"
Gerak tubuhnya amat cepat, sementara semua orang dibikin kaget oleh gerak tubuhnya, ia telah berdiri tak bergerak lagi didepan pintu, andaikata orang tidak melihat sendiri gerakannya tadi, niscaya mereka akan mengira perempuan itu sudah lama berdiri disana.
Siu Su berkerut kening, pikirnya, "Aneh, kenapa bisa muncul lagi seorang perempuan sedemikian aneh tetapi memiliki kepandaian yang begini tinggi?"
Setelah bentakan nyaring perempuan itu, suara gelak tertawa segera berkumandang dari ruang tengah, si tojin tinggi berambut putih tadi pelahan menampakkan diri.
Setelah memandang sekejap perempuan berambut panjang yang berdiri didepan pintu, ia tidak memandangnya lagi, tapi langsung menuju kehadapan Siu Su, katanya sambil tersenyum, "Arak belum berakhir, perjamuan belum buyar, kenapa Sicu buru-buru pergi? Tidak pantas, tidak pantas, benar-benar tidak pantas! Meski kita baru berkenalan, tapi terasa amat cocok, kau mesti mengikuti kami dan minum barang dua cawan lagi."
Ucapan tersebut diutarakan sambil tertawa nyaring, kemudian sambil menarik bahu Siu Su diajaknya pemuda itu berlalu dari sana, sementara terhadap perempuan berambut panjang itu seakan-akan tidak melihatnya.
Tergerak hati Siu Su, segera sahutnya sambil tersenyum, "Totiang begitu baik terhadapku, aku ang muda tak berani membantah."
Sambil berpaling kearah Gu Sam-gan yang pucat seperti mayat itu, katanya lagi, "Kini tutukan jalan darah pada rekanmu sudah bebas, darah yang mengalirpun sudah terhenti, asal dibubuhi dengan obat luka luar niscaya luka itu akan sembuh dengan cepat, aku akan ikut Totiang ini untuk minum arak lagi barang dua cawan."
Dia lantas berpaling kembali kearah Tojin rambut putih itu dan tersenyum, sikapnya pun se- olah2 tidak pernah ada kehadiran seorang perempuan berambut panjang itu, dia membiarkan tojin berambut putih menariknya lari masuk keruang dalam.
Perempuan berambut panjang itu masih tetap berdiri tegak didepan pintu tanpa berpaling, berdiri kaku bagaikan patung, tapi ketika Siu Su dan tojin berambut putih itu sampai dibelakangnya, mendadak ia membalik badan dengan cepat.
Hati Siu Su bergetar keras, tapi wajahnya tetap tersenyum simpul, hingga kini ia belum tahu bagaimana cara menghadapi perempuan yang berkepandaian lihai tapi tak diketahui asal- usulnya itu.
Biasanya, sebelum dia menentukan sesuatu langkah yang akan dilakukannya, senyuman yang sukar diraba maksudnya selalu tersungging diujung bibirnya. Tojin berambut putih itu tertawa ter-bahak2, katanya, "Lisicu, mengapa engkau menghalangi jalan pergiku? Harap menyingkir barang selangkah agar. "
Sorot mata si perempuan berambut putih seperti berakar pada wajah Siu Su, sekali hinggap di wajah pemuda itu, ia tidak memandang lagi kearah lain, ucapan sitojin berambut putih pun tidak digubris.
"Aku tidak peduli siapakah kau dan tak urus bagaimana lagakmu main sembunyi secara mencurigakan, tapi "
Dengan suara yang dingin, lamban, sepatah demi sepatah tercetus keluar dari celah-celah giginya, seperti butiran es jatuh kelantai, dingin tapi singkat, sehingga siapa pun tak dapat menemukan sesuatu perasaan dari balik perkataannya itu.
Ucapannya terhenti sejenak, namun ia tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk menimbrung, segera lanjutnya, "Lain kali, jika jari tanganmu berani menyentuh Mao Bun-ki lagi, akan kupotong jari tanganmu itu. Bila matamu berani memandang sekejap Mao Bun-ki, akan kucungkil biji matamu, bahkan sekarang. bila kau masih mengulum senyum, segera akan
kubikin kau tak bisa tertawa untuk selamanya!"
Dengan dingin ia menyelesaikan ucapannya, namun sorot matanya masih tetap mengawasi Siu Su, mengawasi senyuman pada wajah anak muda itu.
Betul juga senyum pada wajah Siu Su segera lenyap, dengan puas perempuan itu lantas mendengus.
Siapa tahu baru saja dengusan itu dikeluarkan, Siu Su lantas bergelak tertawa, "Hahahaha sungguh aku tidak paham ucapanmu, jika tidak merepotkanmu, tolong ulangi ucapanmu sekali lagi, mengapa aku tak boleh memandang nona Mao barang sekejap pun. "
Belum habis ucapannya, tojin berambut putih juga tertawa keras dan menyela, "Meski pun aku ini orang yang berada diluar garis, tapi jika kau suruh aku jangan memandang seorang gadis cantik, mustahil bisa kulakukan, kecuali. . . hahaha. kecuali wajah perempuan itu memang
tidak pantas dipandang."
Pada waktu tojin berambut putih ini masih berkelana dalam dunia persilatan dulu, sesungguhnya dia bukan seorang yang suka bergurau, kemudian setelah kenyang berkelana, dia lantas mengasingkan diri.
Kini lamat-lamat dapat dirasakannya antara pemuda dan perempuan dihadapannya ini seperti ada sesuatu hubungan dengan dirinya, padahal kedatangannya kembali ke Kanglam sudah membuang jauh-jauh segala urusan tetek-bengek, maka dia pun tidak kuatir akan terlibat dalam kesulitan apa pun. Selesai mengucapkan perkataan itu dan tertawa keras, waktu ia mendongak kepala, terasa sorot mata perempuan berambut panjang itu gemerlap dan memandang kearahnya.
Perempuan berambut panjang itu sama sekali tidak berkata apa-apa, tiba-tiba ia tertawa dingin dan menjulurkan tangannya.
Siu Su terperanjat, baru saja dia akan bertindak, "Plak", tahu2 perempuan itu mengayunkan telapak tangan dan memukul telapak tangan kiri sendiri.
Tentu saja Siu Su heran, entah sebab apa perempuan itu memukul diri sendiri.
Tertampak kedua tangan perempuan itu putih bersih dan halus, baru saja Siu su terkesima, mendadak "plak", kembali perempuan itu membalik tangan kiri dan memukul telapak tangan kanan sendiri lagi dengan lebih keras.
Kedua kali pukulan itu sangat nyaring, Siu Su dan si tojin berambut putih sama tercengang, se- konyong2 terendus bau amis yang memualkan, hati si tojin tergerak, didengarnya perempuan tadi sedang mendengus dan berkata, "Hm, tidak lekas pergi?"
Biji mata si tojin berputar beberapa kali, senyuman sudah hlang dari wajahnya, tampaknya dia sedang termenung mengingat sesuatu.
Siu Su tersenyum, katanya lantang, "Aku memang mau pergi, cuma anda menghadang jalan kepergianku, cara bagaimana. "
Waktu ia pandang orang, wajah perempuan berjubah putih itu tetap kaku dingin tanpa emosi, namun sorot matanya mulai gemerdep lagi, dari sorot matanya tertampak rasa derita batinnya yang bertentangan, sorot mata begini hanya dipunyai orang yang sedang mengekang gejolak perasaan sendiri.
Sungguh Siu Su tidak mengerti, perempuan yang kelihatan dingin tanpa emosi itu kenapa bisa menampilkan sorot mata demikian?
Selagi Siu Su merasa sangsi, mendadak terdengar si tojin rambut putih membentak, "Tok-liong- ciang (pukulan naga berbisa)!"
Perempuan berjubah putih menjengek, "Hm, memang betul!"
Kedua tangannya bekerja pula, "plak-plok", kembali kedua tangannya saling pukul dengan cepat, bau amis tai juga bertambah keras.
Seperti melihat makhluk berbisa saja, mendadak si tojin menyurut mundur dua-tiga langkah. Karuan Siu Su kejut dan heran, karena bahunya masih dipegang si tojin, ia jadi ikut terseret mundur. Angin meniup, bau amis tambah memualkan. Mendadak pegangan si tojin padanya mengendur, pandangan Siu Su kabur, tahu-tahu si tojin menubruk maju, kedua telapak tangannya bergerak cepat, "ser-ser", sekaligus ia menyerang empat kali terhadap perempuan berambut panjang.
Pukulannya cepat dan keras, diam-diam Siu Su memuji, kungfu tojin ini ternyata benar sangat hebat. Sebaliknya perempuan berambut panjang terlebih lihai, dengan enteng dia menggeser kesamping, mendadak ia berseru, "Nah, sudah kau lihat bukan? Dia yang memaksa aku turun tangan dan bukan sengaja kulanggar pantangan!"
Keras dan nyaring suaranya, namun tetap dingin.
Siu Su tercengang, ia tidak tahu apa arti ucapan perempuan itu. Tergerak hatinya, ia ikut memandang kearah yang dituju ucapan perempuan itu, tertampak dia mengerling sekejap pada dinding sebelah kanan sana, habis itu lengan bajunya lantas mengebas, mendadak ia menghantam pelahan kearah tojin.
Meski pukulannya kelihatan pelahan, namun si tojin kelihatan jeri dan tidak berani menangkis dengan keras lawan keras.
Pikiran Siu Su terus berputar, belum lagi ia dapat menarik kesimpulan akan tingkah laku perempuan berambut panjang itu, tiba-tiba dari balik tembok sana menongol sebuah kepala sambil bersuara, "Suci, aku tidak melihat apa-apa."
Siu Su terkejut, tanpa terasa ia berseru, "He, Bun-ki, kau berada disini?"
Belum lenyap suaranya, mendadak angin pukulan mendampar tiba, angin pukulan enteng dan lunak seperti tidak bertenaga.
Karena Siu Su lagi memperhatikan Mao Bun-ki yang muncul dari balik tembok itu, tanpa pikir ia tangkis pukulan itu dengan pukulan juga.
Tampaknya pukulannya akan beradu dengan serangan si perempuan berambut panjang, air muka si tojin berubah seketika, untuk melerai sudah tidak keburu lagi, pada saat itulah Mao Bun-ki lantas melompat turun dari ketinggian tembok sana, mendadak ia berucap pelahan dengan menghela napas, "Ai, Suci, aku tidak melihat sesuatu."
Pukulan perempuan berjubah putih sudah dilontarkan sampai setengah jalan dan tampaknya segera akan beradu pukulan dengan Siu Su, tapi demi mendengar ucapan Bun-ki itu, mendadak ia menarik tangannya dan secepat klat melompat mundur kekaki tembok sana, ia melototi Bun-ki dan membentak dengan bengis,
"Tindakanku ini adalah demi kebaikanmu, kenapa kau bilang tidak melihat, kan jelas-jelas tosu tua itu yang menyerangku lebih dulu?"
Bun-ki sengaja memandang ketanah dan menjawab, "Tapi. tapi aku benar-benar tidak melihatnya, apalagi. apalagi dia juga tidak menyerang lebih dulu."
- Apakah benar perempuan berbaju putih ini Suci atau kakak seperguruan Mao Bun-ki? Untuk apa dia membela nona yang kasmaran terhadap Siu Su itu?
- Siapa pula kedua tosu aneh itu? Kawan atau lawan Siu Su?
Dengan mendongkol perempuan berjubah putih berteriak, "Percuma kau bersikap demikian padanya, masa tidak kau lihat bagaimana sikapnya kepadamu? Memangnya sudah kau lupakan apa yang kukatakan padamu semalam? Kau bilang dia tidak mahir ilmu silat, sekarang coba kau lihat apa benar dia begitu bodoh? Sesungguhnya apa kehendaknya atas dirimu, hm, meski aku tidak tahu, tapi. "
Sampai disini mendadak ia berputar, secepat kilat ia melayang kedepan kelima orang yang mendekam ditanah dengan ketakutan itu, sekali raih, rambut seorang lelaki kurus kecil itu dijambaknya dan diangkatnya keatas.
Orang itu menjerit kaget dan tahu-tahu sudah terangkat seperti anak ayam berada dalam cengkeraman cakat elang.
Lalu perempuan jubah putih berkata pula kepada Bun-ki, "Coba kau tanyai keparat ini apa yang dibicarakan semalam? Hm, apabila semalam tidak kau ahan diriku, tentu aku tidak peduli urusan sumpah dan pantangan segala, pasti sudah kudatangi kamar sebelah dan menyeret keluar bocah itu, sekali tabas sudah kubinasakan dia."
Sampai disini, lelaki kurus itu dilemparkannya ketanah dan membentak, "Ayo, katakan, apa yang kau bicarakan semalam?"
Lelaki kurus kering ini ketakutan setengah mati, apalagi setelah dicengkeram, diangkat dan dibanting lagi, seketika tulang sekujur badan seperti rontok, ia merintih kesakitan bagai babi disembelih.
Siu Su berdiri melenggong, biarpun cerdik, dalam keadaan begini ia menjadi bingung juga.
Si tojin rambut putih juga bingung menyaksikan kejadian yang tidak diketahui seluk-beluknya ini, maka ia pun berdiri diam saja.
Kepala Bun-ki tertunduk lebih rendah, sejak awal sampai sekarang dia tidak memandang sekejap pun kepada Siu Su, katanya kemudian, "Suci, kutahu engkau bertindak baik bagiku, aku pun tahu dia telah berdusta padaku, namun namun Suci memang tidak boleh
bergebrak dengan orang, kalau. . . .kalau sampai diketahui Suhu. " Ia menghela napas
panjang dan tidak melanjutkan ucapannya.
Wajah si jubah putih tidak memperlihatkan perasaannya, namun Siu Su dapat melihat sorot matanya yang penuh benci pelahan mulai buyar, suara jerit kesakitan lelaki kurus itu pun mulai lemah.
Mendadak perempuan berjubah putih membalik tubuh, secepat kilat ia melompat pula kedepan si tojin berambut putih dan menjengek, "Hm, dapat kau kenali siapa diriku, akan tetapi engkau sendiri siapa?"
Tojin itu tersenyum pedih, ucapnya, "Sudah puluhan tahun kulupakan nama sendiri, cuma. . .
bila engkau ingin tahu. "
Sorot matanya yang tajam menyapu pandang sekejap, lalu berhenti agak lama pada wajah Mao Bun-ki, kemudian menghela napas, lalu menyambung sekata demi sekata, "Aku inilah Pah-san- tojin Liu Hok-beng!"
Serentak Bun-ki mengangkat kepalanya, hati Siu Su juga tergetar dan memandang si tojin, sorot matanya beradu pandang dengan tojin itu.
Dengan hati tergetar Bun-ki lantas menunduk pula.
Terdengar Pah-san-tojin Liu Hok-beng berkata pula, "Jika mataku tidak lamur, engkau inilah murid pertama To-liong-siancu, bukan?"
"Betul, memang aku inilah Buyung Siok-sing." sahut si perempuan jubah putih dengan dingin.
Mendadak Liu Hok-beng tertawa latah, lalu berkata, "Jangan-jangan Lisicu tidak turun tangan sebelum kuserang lebih dulu adalah karena sumpahmu yang pantang membunuh belum habis waktunya?. " ia berhenti tertawa, lalu mendengus, "Hm, mungkin sudah tidak jauh lagi
sumpahmu itu akan jatuh temponya." "Betul, pada hari itu. "
"Pada hari itu tentu akan kudatang pada Lisicu dan serahkan leherku untuk dibunuh olehmu, untuk ini Lisicu tidak perlu kuatir," tukas Liu Hok-beng dengan tertawa.
"Baik," jengek Buyung Siok-sing, mendadak ia melompat lagi kedepan Siu Su.
Dengan tersenyum Siu Su mendahului bicara, "Apa yang hendak kau katakan, tanpa bicara juga sudah kuketahui. Cuma, ingin kuberi tahukan bahwa tentang hubunganku dengan Sumoaymu. Anda sama sekali tidak berhak ikut campur." Belum lenyap suaranya, secepat kilat ia melompat kedepan Bun-ki dan bertanya, "Betul tidak, adik Ki?"
Liu Hok-beng terkejut, baru sekarang diketahuinya anak muda ini ternyata memiliki kungfu maha tinggi.
Buyung Siok-sing juga tercengang, tak diduganya anak muda yang pendiam itu mendadak bisa bertindak demikian.
Hati Bun-ki juga berdebar, sebentar tenggelam dan lain saat bergolak, hatinya risau dan bingung, ia tidak tahu cara bagaimana menjawabnya.
Siu Su menghela napas dan berkata pula, "Bun-ki, tentu kau tahu betapa perasaanku kepadamu. Omongan iseng orang lain tidak perlu dipeduli dan jangan percaya. Masa "
Mendadak Buyung Siok-sing melompat maju dan mendorong Bun-ki dengan pelahan, ia sendiri lantas menghadang didepan Siu Su, dengan sinar mata gemerdep ia berkata, "Apakah benar kau suka kepada Bun-ki?"
Siu Su menunduk, tujuannya supaya sinar matanya tidak terlihat jelas oleh pihak lawan, kemudian ia pun menghela napas seperti orang penasaran, katanya, "Masa kubohong padanya?"
Mencorong sinar mata Buyung Siok-sing, "Baik, sekarang kubawa pulang dia. "
"Hendak kau bawa dia pulang?" Siu Su menegas.
"Ya, setelah setengah tahun boleh kau cari dia lagi." jengek Buyung Siok-sing, "Selama setengah tahun ini, tentu akan lebih banyak kupahami dirimu."
Segera ia tarik tangan Bun-ki. "serr", seperti burung mereka terus melayang keatas dinding pekarangan dan menghilang dibalik tembok sana, sayup-sayup terdengar Bun-ki menghela napas pelahan.
Siu Su berdiri termangu memandangi dinding pekarangan dan bergumam, "Setengah tahun? Ya, setengah tahun saja sudah cukup, setengah tahun kemudian mungkin sumpah Buyung Siok-sing itu sudah batal, makanya dia suruh kucari mereka setengah tahun kemudian, tatkala mana dia tidak perlu lagi pantang bertindak seperti hari ini."
Sejenak kemudian ia lantas mendengus, pikirnya, "Namun, apakah dia tahu bahwa setengah tahun kemudian aku pun dapat bertindak terlebih bebas dari pada sekarang. "
Tadi, sebenarnya beberapa kali emosinya membakar dan bermaksud membinasakan kedua kakak beradik seperguruan itu, dengan demikian mereka tak dapat menyiarkan rahasianya untuk selamanya.
Akan tetapi Siu Su telah menahan gejolak perasaannya, hal ini selain disebabkan rahasia yang diketahui kedua anak perempuan itu tidak banyak, juga dia tidak yakin benar akan sanggup membinasakan mereka, Ada lagi alasan lain, meski dia tidak suka mengakui, namun fakta memang demikian, yaitu secara diam-diam memang sudah tumbuh benih cintanya kepada puteri musuh.
Ketika diketahui Buyung Siok-sing akan membawa pergi Mao Bun-ki dan kemudian diketahui pula Bun-ki akan dibawa pulang ketempat To-liong-siancu guru mereka, maka legalah hati Siu Su. Paling tidak dalam setengah tahun ini Bun-ki tentu takkan bertemu dengan ayahnya, hal ini berarti paling sedikit selama setengah tahun Mao Kau takkan mengetahui siapa dia.
Ketika sayup-sayup didengarnya suara helaan napas Mao Bun-ki, seketika bimbang pula hati Siu Su, ia merasa berdosa kepada si nona yang masih suci murni itu, meski akibat dosa perbuatan ayahnya dia harus ikut membayar dengan mahal, namun apa pun juga cintanya adalah suci dan bersih, tulus ikhlas. Barang siapa mempermainkan cintanya yang suci itu adalah dosa besar dan tidak dapat diampuni.
Begitulah dengan hati bimbang Siu Su termangu-mangu sampai lama, didengarnya dihalaman sudah ada suara lagi, terdengar pula suara Gu Sam-gan yang kasar tapi jujur itu sedang mengomel,
"Sialan, ketemu perempuan yang judas begini, Hai, Ji-lojit, dasar kepala udang, kenapa kau sembarangan omong didepan kaum wanita? Sungguh bikin malu kepada Kongcu, juga bikin malu padaku, Eh, berewok, lekas angkat Ji-lijit kemari!"
Kemudian Siu Su merasakan sebuah tangan yang hangat menepuk pundaknya dengan pelahan, tanpa bicara menariknya masuk keruangan tengah. Cahaya api diruangan tengah itu belum padam, bau sedap daging sangat merangsang selera, disamping api unggun yang berkobar itu masih berduduk si kakek berambut putih yang sebentar bernyanyi gembira dan lain saat menangis sedih itu.
Pada tangan kakek pendek itu masih memegang sumpit kayu dan sibuk mengaduk kuah daging didalam kuali, sorot matanya yang guram ikut bergeraknya sumpit didalam kuali, agaknya hati kakek ini dirundun sesuatu beban pikiran sehingga apa yang terjadi diluar seperti tidak diketahuinya.
Tanpa bicara Siu Su ikut Liu Hok-beng dan berduduk disamping api unggun.
Si kakek pendek memandangnya sekejap, lalu bertanya, "Mengapa pergi sekian lama?"
Siu Su tersenyum hambar. Diam-diam ia menduga jangan-jangan orang inilah Jing-peng-kiam Song Leng-kong!
Tujuh belas tahun yang lalu Pah-san-kiam-kek Liu Hok-beng dan Jing-peng-kiam Song Leng- kong menghilang sekaligus dari dunia Kangouw, hal ini pun diketahuinya dengan jelas. Cuma ia tidak jelas apakah kedua orang ini pun musuhnya atau berbudi padanya.
Terdengar Liu Hok-beng lagi berkata, "Baru saja kuberjumpa seorang diluar, coba kau terka siapakah dia?"
Si kakek tersenyum hambar, "Hidup ini kosong, berapa orang yang kukenal? Jika tidak ada yang kukenal, cara bagaimana harus kuterka?"
Ia menyumpit sepotong daging harum dan dimakan dengan nikmatnya, seolah-olah siapa yang dimaksudkan sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan dia dan juga takkan diperhatikannya.
Liu Hok-beng meraih sebuah kantung kulit yang jarang terdapat didaerah Tionggoan tapi sangat jamak didaerah perbatasan utara, yaitu kantung kulit kambing berisi arak, kantung itu diangkatnya keatas, sedikit dipijat, terpancurlah arak kemulutnya.
Setelah menengggak beberapa ceguk, Liu Hok-beng terbahak dan berseru lantang, "Meski orang ini tidak kita kenal, tapi jelas dia putri seorang sahabat lama kita. Haha, dia pasti putri Mao Kau si ular sakti itu. Meski dia tidak pernah menjelaskan siapa dia juga dapat kuterka."
Siu Su melengak, ia heran cara bagaimana orang menerkanya. Tapi segera ia menyadari pasti tojin ini telah mendengar pembicaraan perempuan tadi dengannya, dari keterangan sana-sini dapatlah diterkanya dengan tepat.
Terlihat kedua mata si kakek memancarkan cahaya aneh, tapi segera berubah guram lagi, ucapnya, "Mao Kau? Siapa Mao Kau? Ai, urusan lama sudah kulupakan, Mao Kau pun tidak kukenal lagi."
Lalu dia mengaduk kuah daging didalam kuali dan berucap pula, "Api hampir padam dan daging akan cepat dingin, lekas kau makan saja. "
Liu Hok-beng tergelak pula, seperti tidak mendengar ucapan si kakek, ia menyambung, "Apakah kau tahu putri sobat lama kita itu berguru kepada siapa?"
Ia hanya berhenti sejenak, karena tahu pasti takkan ditanggapi si kakek, segera ia meneruskan, "Dia ternyata berguru kepada To-liong-siancu itu. Tentunya kau ingat kisah yang pernah kita dengar dikaki Kun-lun-san dahulu. Haha, hari ini ternyata dapat kubertemu dengan Buyung Siok-sing itu, bahkan bergebrak dua kali dengan dia. Ternyata benar dia tidak berani melanggar sumpah pantang membunuh selama sepuluh tahun. Tampaknya aliran Kun-lun akhir-akhir ini tidak sekuat masa lampau, namun begitu juga tidak boleh diremehkan."
Sorot mata si kakek kembali mencorong sambil bersuara, "Ooo" yang panjang.
Siu Su tidak tahan, ia coba bertanya, "Sesungguhnya siapakah To-liong-siancu itu? Kisah apa pula yang didengar Totiang dikaki Kun-lun-san dahulu?" Liu Hok-beng memandangnya sekejap, lalu bertutur,
"Bicara tentang To-liong-siancu itu, dia memang seorang tokoh wanita ajaib. Beberapa puluh tahun yang lalu dia adalah bandit yang bekerja seorang diri. Kungfunya sangat tinggi, tapi suka membunuh tanpa kenal ampun, baik orang dari kalangan putih maupun golongan hitam, siapa saja kalau kepergok dia, asalkan kena ditepuk pelahan olehnya jiwa seketika melayang, belum pernah ada yang berhasil lolos dengan hidup."
Tergerak hati Siu Su, tanyanya pula, "Ilmu pukulan yang digunakan mereka itu mungkin adalah Tok-liong-ciang yang disebut Totiang tadi."
Liu Hok-beng mengangguk, "Ya, selama ratusan tahun ini, bila bicara tentang keajaiban ilmu pukulan, dengan sendirinya harus diakui kehebatan Hoa-kut-sin-kun andalan Hai-thian-po-yan, tapi bila bicara tentang kekejian ilmu pukulan, maka Tok-liong-ciang inilah yang lebih lihai. Betapa berbisanya Tok-liong-ciang sukar dilihat, tapi asal terkena setitik saja, maka tidak ada obatnya."
Ia tersenyum, lalu menyambung, "Sebab itulah jika tadi kau sambut pukulan Buyung Siok-sing itu, maka. biarpun maha tinggi kepandaianmu, asalkan tanganmu terluka sedikit saja pasti
tak terhindar dari kematian." Terkesiap hati Siu Su.
Terdengar si tojin menyambung lagi ceritanya, "Selama itu entah berapa banyak orang dunia persilatan yang menjadi korban Tok-liong-ciang, masa itu orang Kangouw menyebutnya sebagai Tok-liong-mo-li (siperempuan iblis naga berbisa), setiap orang membencinya, tapi tidak berdaya. Sampai pada suatu hari, mendadak iblis itu mengumumkan selanjutnya tidak mau lagi menggunakan Tok-liong-ciang. Sejak itu dia benar-benar mentaati janjinya dan tidak pernah lagi menggunakan pukulan berbisa itu dan tidak lagi membunuh orang. Maka hilanglah naga berbisa dunia persilatan yang paling jahat itu. Maka namanya dari Tok-liong-mo-li lantas berubah menjadi To-liong-siancu (Si dewi penjagal naga). Supaya maklum, To-liong atau membunuh naga disini tidak benar-benar diartikan dia pernah membunuh naga, nama ini cuma kiasan saja bahwa dia mempunyai kepandaian tinggi, se-akan2 mampu membunuh naga, tapi mengasingkan diri."
Sehabis bercerita, Liu Hok-beng tersenyum bangga, lalu menenggak arak lagi, tampaknya rasa kagumnya terhadap kelihaian To-liong-siancu tidak pernah terhapus dalam hatinya.
Tiba-tiba Siu Su bertana lagi, "Konon To-liong-siancu itu selain sangat tinggi kungfunya, beliau juga gemar mengumpulkan barang mainan yang aneh-aneh, terhadap pekerjaan menempa pedang juga besar minatnya, entah betul tidak?"
Liu Hok-beng mengangguk, "Meski To-liong-siancu gemar mengumpulkan barang mainan yang aneh, tapi tidak pernah menyimpang dari cara yang halal. Soal suka menempa pedang, hal ini belum pernah kudengar, tapi orang berkepandaian tinggi dan berbakat seperti dia, untuk menggembleng pedang tentu juga bukan pekerjaan yang sulit baginya."
Seketika Siu Su tampak bersemangat, tanyanya pula, "Jika demikian, pernahkah Totiang mendengar bahwa ada sebilah pedang buatan To-liong-siancu itu yang disebut Hou-pek-sin- kiam (pedang sakti kemala merah)?"
Berkenyit kening Liu Hok-beng, ia berpikir sejenak, jawabnya kemudian, "Hou-pek-sin-kiam?.
. Rasanya tidak pernah kudengar." "Ooo," Siu Su bersuara kecewa.
Gemerdep sinar mata Liu Hok-beng, ia mengamat-amati anak muda itu sejenak, mendadak ia bergelak tertawa dan berseru, "Kepulanganku kembali ke Kanglam kali ini, sungguh kejadian yang menggembirakan dapat berkenalan dengan jago muda seperti dirimu ini. Apabila anda tidak anggap keterlaluan, sudilah memberitahukan nama terhormat anda?"
Siu Su tersenyum, setiap kali namanya ditanyakan orang, tanpa terasa dalam hatinya lantas timbul semacam perasaan aneh, sungguh dia ingin membusungkan dada yang memberitahukan kepada penanya bahwa dia adalah putra "Siu-siansing" yang dahulu pernah malang-melintang didunia persilatan itu.
Namun lantaran berbagai alasan, terpaksa dia tidak dapat berbuat demikian, diam-diam ia hanya menghela napas, dijawabnya dengan tersenyum, "Cayhe Ko Bun, anak muda yang masih hijau, orang biasa yang tidak berarti, pujian Totiang sungguh membikin hatiku tidak enak."
Liu Hok-beng tersenyum, belum dia bicara lagi, mendadak si kakek yang hanya mendengarkan dengan tenang itu menghela napas panjang dan berucap, "Orang biasa yang tidak berarti, diriku inilah benar-benar orang yang tidak berarti, selama belasan tahun ini hidup secara sia-sia."
Mendadak sinar matanya tambah terang, mata alisnya berseri, sambungnya pula, "Tapi kuyakin mataku belum lagi lamur, selama berpuluh tahun juga pernah kenal beberapa tokoh terkemuka. Maka anak muda juga tidak perlu terlalu rendah hati, sudah luas kujelajah dunia ini, namun tokoh semacam anda sungguh tidak pernah kulihat, Ai, tujuh belas tahun yang lampau, tanpa sengaja aku berbuat sesuatu kesalahan sehingga menyesal selama hidup. Akhir-akhir ini meski ingin kulupakan peristiwa ini, namun sedikit banyak tetap mengganjal dalam hati, kini dapat kulihat anak muda seperti anda ini, entah mengapa, kurasakan kejadian masa lalu seakan-akan terbayang kembali dan sukar dilupakan. O, hidup manusia berapa lama, ibaratnya embun pagi, sebentar pun kering. Pertemuan kita yang kebetulan ini, sebagai orang yang lebih tua, ingin kuberi beberapa kata nasihat. Ai, bilamana dapat mengampuni orang sukalah ampuni saja. Janganlah terlalu memojokkan orang. "
Dia mengulangi beberapa kalimat terakhir itu dengan nada yang semakin berat. Pandangan Siu Su beralih kegundukan api unggun yang mulai guram, mendadak perasaannya menjadi ruwet seperti benang kusut, tidak ada hentinya ia merenungkan makna ucapan si kakek, seketika ia terkesima.
"Trek", terdengar Liu Hok-beng mengetuk kuali dengan sumpit, lalu berdendang. Kemudian dia angkat kantung arak dan disodorkan kepada Siu Su, katanya dengan tertawa, "Silahkan minum sekedar pelipur lara, biarlah kumainkan tari pedang sebagai selingan!"
Ia mengebas lengan jubahnya dan berbangkit, sekenanya ia pegang sepotong ranting kayu yang belum habis terbakar, sekali bergerak, lelatu api bertebaran. Mendadak ia menggeser langkah dan menebas, ranting kayu digunakan sebagai pedang, segera ia berputar dan menari.
Dengan tercengang Siu Su menerima kantung arak, tertampak si tojin asyik menari pedang dengan gaya yang khidmat. Ranting kayu itu belum padam terbakar, karena dijadikan pedang dan berputar, api lantas berkobar lagi serupa obor.
Tiba-tiba si kakek yang duduk tadi tertawa nyaring terus berbangkit, ia pun meraih sepotong katu yang belum habis terbakar, sekali lompat, seperti burung menjulang kelangit, menyusul lantas menukik kebawah obornya berkelebat, segera ia menusuk kearah Liu Hok-beng.
Kedua jago pedang yang pernah malang-melintang didunia Kangouw dahulu sudah tujuh belas tahun hidup merana dan mengasingkan diri digurun pasir dan perbatasan sana, belum pernah mereka saling gebrak dengan ranting kayu sebagai pedang seperti sekarang ini.
Melihat bayangan kelabu menyambar dari atas, seketika semangat Liu Hok-beng juga terbangkit, selama belasan tahun ini ia pun tidak pernah bergebrak dengan siapa pun. Cepat ia menggeser tubuh sambil tertawa, pedang kayu lantas menyongsong keatas sambil berteriak. "Jing-peng-kiam lahir lagi setelah tirakat tujuh belas tahun, coba rasakan seranganku ini!"
Tidak perlu dijelaskan lagi, kakek ini memang betul Song Leng-kong yang mengasingkan diri pada tujuh belas tahun yang lalu. Ia pun tertawa lantang dan berseru, "Bagus, jurus Jun-hong- yau-liu (angin meniup menggoyangkan ranting pohon liu) yang indah! Tak tersangka persahabatan kita selama berpuluh tahun baru hari ini dapat belajar kenal dengan Hwe-hong- kiam-hoat yang indah ini."
Sambil bicara keduanya terus serang menyerang dengan cepat, cahaya obor membayangi kedua orang yang terus berputar kian kemari.
Kedua orang ini hidup berdampingan selama tujuh belas tahun didaerah perbatasan, keduanya sama-sama terkenal sebagai jago pedang yang disegani, akan tetapi selama ini keduanya tidak pernah saling menguji kepandaian masing-masing. Kini setelah saling gebrak barulah diketahui keduanya memang bukan cuma bernama kosong belaka.
Pada waktu mulai bergebrak mereka hanya anggap sebagai tarian hiburan saja, tapi setelah saling gebrak, lalu susul menyusul saling melancarkan serangan, keduanya tidak berani ayal lagi dan terpaksa harus menyerang dan bertahan dengan kepandaian sejati.
Pertarungan ini meski bersifat persahabatan dan tanpa alasan, namun setelah mengeluarkan kepandaian sejati masing-masing, keadaan menjadi rada gawat.
Api unggun yang menyala tadi karena dilolosnya dua batang kayu oleh mereka kini semakin guram, sebaliknya batang kayu yang mereka pegang itu diputar dengan kencang, api berkobar bagaikan obor.
Mendadak Song Leng-kong bersuit nyaring, sekaligus ia menabas tiga kali. Liu Hok-beng berputar kian kemari, semua serangan lawan dipatahkannya, menyusul pedang kayu membalik, "tek", kedua pedang beradu, pedang kayu Song Leng-kong patah sebagian dan menghamburkan lelatu api.
Keruan ia terkejut, tapi Liu Hok-beng lantas bergelak tertawa sambil menyurut mundur.
"Hahaha, tak tersangka Jing-peng-kiam (pedang kapu-kapu hijau) telah berubah menjadi Hwe- peng-kiam (pedang lelatu api)!" serunya dengan tergelak.
Berbareng pedang kayu yang dipegangnya terus dilempar, katanya pula, "Wah, bila pedang lelatu api membakar jenggotku, betapa pun tak dapat kau beri ganti rugi padaku!"
Ia lantas mengebut jenggotnya, kiranya sebagian lelatu api telah hinggap pada jenggotnya dan hampir membuatnya hangus.
Song Leng-kong tertawa geli, ia pun melemparkan tangkai kayu dan berseru, "Hahaha, cara kita bertengkar ini, bila dilihat orang lain, mungkin kita akan dianggap sebagai anak tua yang tidak tahu malu. " tiba-tiba ia berpaling dan menyambung, "Betul tidak?"
Ucapan terakhir ini maksudnya ditujukan kepada Siu Su, siapa tahu ketika ia memandang kesana, anak muda itu ternyata tidak berada ditempatnya lagi.
Song Leng-kong jadi melengak, "He, kemana perginya anak muda itu?" Liu Hok-beng lantas celigukan kian kemari, ia pun tertegun dan berucap, "Ya, aku pun tidak tahu kapan dia pergi?"
Padahal kedua orang sama-sama jago tua yang mahir tenaga luar dalam, meski tadi keduanya asyik bertanding sehingga tidak sempat memperhatikan urusan lain, tapi orang dapat mengeluyur pergi begitu saja diluar kontrol mereka, hal ini pun sukar dilakukan oleh orang biasa. Seketika kedua orang saling pandang dengan terkesima.
"Aneh juga anak muda ini,, tiba-tiba datang dan pergi pula secara mendadak," ucap Song Leng- kong dengan kening berkenyit, "Waktu melihatnya tadi segera timbul perasaanku yang tidak tenang, mestinya hendak kuselidiki asal-usulnya, siapa tahu dia pergi begitu saja." "Anak muda ini memang agak aneh," sambung Liu Hok-beng, "Dihalaman tadi dia tidak ikut turun tangan, tapi dari gerakannya yang gesit, jelas ginkangnya sudah mencapai taraf yang sukar diukur, tampaknya malahan diatas kepandaian kita. Padahal usianya masih muda belia, kelihatan lemah lembut, tapi memiliki kungfu setinggi ini, entah putra keluarga mana yang beruntung mempunyai anak sebaik ini."
Ia berhenti sejenak, mendadak tertawa dan berkata pula, "Anak ini memang aneh, tapi tidak ada sangkut-pautnya dengan kita, buat apa hatimu merasa tidak tenang. Selama belasan tahun ini engkau selalu berduka tanpa beralasan, sungguh aku merasa heran bagimu."
"Aku berduka karena peristiwa masa lampau, betapapun aku merasa menyesal dan malu pada diri sendiri." ujar Song Leng-kong dengan menghela napas panjang, "Ai, sudah tujuh belas tahun, meski cukup panjang tujuh belas tahun, bila kuingat kejadian itu dan terbayang wajah yang keras dan murka itu, rasanya seperti kejadian kemarin saja. Meski selama hidupnya banyak berbuat kejahatan, tapi bila kupikirkan sekarang, orang yang mati ditangannya dahulu kebanyakan juga manusia yang pantas mampus."
Seketika wajah Liu Hok-beng juga berubah kelam, ucapnya dengan menyesal, "Urusan sudah berlalu, untuk apa kau siksa diri sendiri. Kan aku sendiri pun ikut serta dalam peristiwa itu. Ai, dia memang seorang lelaki yang keras, cuma wataknya agak terlalu ekstrim. Tindak-tanduknya selama hidup banyak yang diperbuatnya, ada jahat ada bajik, adalah pantas bilamana dia menerima ganjarannya."
"Memang betul juga dia harus menerima ganjaran atas perbuatan sendiri." sela Song Leng- kong. "Tapi apa pun juga peristiwa itu berawal karena diriku. Bahkan, umpama benar dia berbuat sesuatu kesalahan, namun kita telah memperlakukan dia dengan cara yang licik dan rendah, apakah itu perbuatan seorang pendekar sejati?"
Karena rasa menyesal, air mukanya menjadi murung, kegagahannya waktu bertanding sekarang telah berubah menjadi lemas dan lesu.
Mendadak Liu Hok-beng tertawa dan berkata, "Kita baru saja membicarakan anak muda itu, mengapa menjadi melantur kepada urusan dulu?"
Segera ia melangkah kehalaman belakang dan berkata, "Teman anak muda itu tadi mengalami luka parah, saat ini mungkin masih berada disana, marilah kita coba tanya dia, mungkin akan bisa diperoleh keterangan asal-usul anak itu."
Dengan lesu Song Leng-kong ikut melangkah kesana.
Taman dibelakang tampak penuh dengan rumput liar, keadaan tidak terawat. Kawanan bergajul tadi entah sudah lari kemana, Song Leng-kong menghela napas panjang dan memandang langit yang biru dengan hati murung. . . . .
. ******* Pada saat Pah-san-kiam-kek Liu Hok-beng bertanding dengan Jin-peng-kiam Song Leng-kong tadi, setelah mengikuti beberapa jurus segera ia dapat memastikan kakek itu adalah Song Leng-kong seperti apa yang diduganya. Maka Siu Su lantas mengguluyur pergi meninggalkan kedua orang tua itu.
Angin pegunungan meniup semilir, diam-diam ia bergumam, "Bilamana dapat mengampuni orang hendaknya diampuni. Ai, mengampuni orang memang tindakan bijaksana, akan tetapi
siapa pula yang pernah mengampuni ayah?"
Bila teringat kepada ayahnya yang sampai sekarang tulangnya masih tersebar di-mana2, seketika perasaannya seperti disayat. Dendam dan benci.
"Aku seharusnya bernama Siu Hin (dendam dan benci)," demikian ia membatin. "Tapi. ai,
mengapa terhadap sementara orang aku tidak sanggup menyatakan rasa dendam dan benciku?"
Gu Sam-gan menyongsong kedatangannya dan seperti mau bicara apa-apa, tapi Siu Su lantas memberi tanda agar diam. Entah mengapa, sekarang mendadak ia tidak ingin berhadapan lagi dengan Liu Hok-beng dan Song Leng-kong, sebab itulah ia tidak ingin suara Gu Sam-gan didengar oleh mereka.
Sementara itu kelima anak buah Gu Sam-gan sudah dibubuhi obat luka dan lagi berduduk termangu disana, wajah mereka kelihatan masih takut.
Segera Siu Su memberi tanda agar mereka merayap keluar dari pagar tembok halaman belakang, ia sendiri lantas melayang keluar dengan enteng. Sekali lompat hinggap diatas tembok, sekali lompat lagi dia turun didepan kelima orang itu.
Tidak kepalang kejut dan kagum kelima orang itu, mereka memandangi Siu Su dengan melongo.
"Sungguh hatiku tidak tenteram karena membikin susah kalian," demikian Siu Su menghibur mereka, "Tapi kalian jangan kuatir, pada suatu hari pasti akan kubalaskan sakit hati kalian ini."
Kelima orang itu sangat berterima kasih sehingga tidak sanggup bicara. Beberapa lelaki kasar dan berwatak keras ini adalah kaum gelandangan, tapi bila orang memperlakukan baik kepada mereka, maka biarpun mereka disuruh terjun ke lautan api juga mereka rela.
Gu Sam-gan memandangi begundalnya dengan tertawa dan bersemangat, ia merasa bangga atas ucapan Siu Su itu. Ia tahu betapa perasaan kelima orang itu terhadap Siu Su sekarang, ia mulai merasa bangga karena dirinya dapat berbuat sesuatu bagi anak muda itu.
Orang semacam ini kebanyakan berdarah panas, jujur dan suka terus terang, namun tidak berbakat menjadi pemimpin, mereka pun tidak pernah mengimpikan menjadi pemimpin, bagi mereka cukup asalkan mengetahui orang yang didukungnya itu memang pantas diturut, maka senanglah mereka.
Dengan gembira dan terharu Gu Sam-gan berkata, "Kongcu, sebelumnya sudah kukatakan kepada mereka bahwa Kongcu pasti takkan memperlakukan orang lain dengan jelek. Apa artinya sedikit penderitaan yang mereka terima dari Kongcu itu, apabila masih ada urusan lain, silakan Kongcu bicara saja, aku Gu Sam-gan orang pertama yang akan melaksanakannya, biarpun terjun. terjun kelautan api pun tak menjadi soal."
Ia tertawa, sebab ia merasa geli dirinya juga dapat mengucapkan seperti seorang kesatria besar.
Siu Su juga tertawa, mendadak ia merasa orang ini sangat menyenangkan, katanya dengan tertawa, "Wah, tampaknya engkau banyak membual bagi diriku."
Mendadak ia bicara lagi dengan serius, "Begini, kira-kira sepuluh hari lagi Mao Kau akan mengadakan perjamuan besar2an dengan mengundang segenap kesatria dikota Hang-ciu, siapa yang akan dihadapi pada tindakannya ini belum jelas bagiku, tapi mungkin disebabkan kematian anggota barisan pemanah saktinya itu serta berulang dibegalnya barang kawalan mereka, maka dia "
Ia berhenti sejenak, lalu meneruskan, "Pendek kata, apa pun maksudnya, kita harus bertindak supaya mereka merasa tidak aman. Setuju tidak?"
Bahwa seorang seperti Gu Sam-gan juga dimintai persetujuan, karuan Gu Sam-gan merasa senang, berulang-ulang ia mengangguk.
"Nah, karena itulah hendaknya didalam sepuluh hari ini engkau berdaya mengumpulkan Liang- toako dan ketiga Liong-toaya kalian itu kekota Hang-ciu. Ai, waktunya memang sangat singkat, entah dapat kau laksanakan atau tidak?"
Seketika Gu Sam-gan menepuk dada dan berseru, "Kongcu, urusan begini kujamin pasti beres!"
Lalu ia berpaling dan berkata, "Ji-lojit dan si berewok, apakah kalian tahan? Jika tahan boleh lekas kalian pergi mencari orang yang disebut Kongcu."
Segera ia mengeluarkan uang kertas pemberian Siu Su tadi dan disodorkan kepada Ji-lojit, katanya pula, "Inilah hadiah Kongcu kepada kalian, boleh kalian bagi lima sebagai sangu dalam perjalanan. Bekerja harus cepat, tahu?"
Suaranya berubah menjadi lantang dan bersemangat, diam-diam ia pun melirik Siu Su sekejap dan merasa bangga bagi dirinya sendiri yang tidak 'korupsi' sepeser pun.
Ia tambah senang ketika dilihatnya Siu Su lagi tersenyum kepadanya, segera ia memberi tanda lagi dan berteriak, "ayo, lekas pergi melaksanakan tugas!" Lalu dia berpaling dan tanya Siu Su pula dengan bersemangat, "Apakah Kongcu ada perintah lain kepadaku?"
Dengan puas Siu Su menyaksikan kelima orang itu memberi hormat dan berlalu dengan cepat, ia percaya penuh kepada kemampuan bekerja orang-orang ini. Katanya kemudian kepada Gu Sam-gan. "Tentunya kedua tojin didalam biara tadi masih kau ingat dengan baik, dapatkah kau kuntit dibelakang mereka tanpa diketahuinya? Coba ikuti mereka kemana perginya?"
Dengan sendirinya Gu Sam-gan menyatakan sanggup, sebab dari pesan sang Kongcu dapat dirasakannya tugas ini pasti sangat penting. Kalau sang Kongcu mempercayakan pekerjaan penting ini kepadanya, hal ini membuatnya berterima kasih dan bangga pula.
Dengan tertawa segera ia berkata, "Baik, segera hamba berangkat!"
Siu Su memandangi bayangan punggung orang, mestinya hendak dipanggilnya kembali dan diberinya lagi sehelai uang kertas, tapi setelah berpikir pula, rasanya uang kertas ini lebih baik ditahan dulu agar rasa bangga yang tinggi harga diri masih tetap terpupuk padanya.
Suasana menjadi sunyi senyap, sekeliling tidak ada orang lain lagi kecuali Siu Su sendiri, memang suasana demikianlah yang dikehendaki, suasana yang sunyi dan hening, keheningan alam semesta.
Mendadak didengarnya suara helaan napas panjang dari balik pagar dinding sana, ia tahu itulah suara Song Leng-kong, ia pun tahu urusan apa yang menyebabkan Song Leng-kong menghela napas panjang.
Namun dia lebih suka hari ini tidak bertemu dengan kedua orang ini, dia lebih suka bila kedua orang ini tidak pulang kearah Kanglam sini, sebab ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya terhadap kedua orang ini. Apakah harus membalas budi? Atau menuntut balas dendam?
Dengan perasaan bergolak, diam-diam ia menuju kehutan dibelakang biara sana, ia berpikir, "Selama ini sudah cukup banyak yang kukerjakan, para kesatria Thay-oh si Golok kilat Thay- hing-san, ketiga naga dari lima danau, kawanan pengemis Kai-pang, ditambah lagi urusan dengan Kim-kiam-hiap Toanbok Hong-ceng serta Liang Siang-jin yang merupakan murid Seng- jiu Siansing, ai, memang sudah cukup banyak yang kukerjakan. Melulu orang-orang itu saja sudah cukup membikin hidup Mao Kau tidak tenteram. Akan tetapi masih banyak tenagaku dan masih banyak yang dapat kukerjakan."
Begitulah sambil termenung ia terus masuk kedalam hutan, cahaya sang surya pagi musim semi menembus kedalam hutan, melalui celah-celah dedaunan.
Ia bersandar pada sebatang pohon dan merenung dengan mata terpejam, memikirkan apa pula yang harus dikerjakannya.
Sampai lama dan lama sekali, wajahnya yang kesepian itu menampilkan lagi senyum kebiasaannya.
Ia merasa dirinya memegang kemenangan yang meyakinkan, ia tidak tahu apakah ini suratan takdir atau karena kegiatan usaha sendiri. Dipelupuk matanya sekarang juga sudah terbayang adegan mengenaskan Leng-coa Mao Kau dikhianati dan dikucilkan oleh pengikut dan anak buahnya.
"Dikhianati dan dikucilkan," Siu Su mendengus sambil menegakkan tubuhnya, "Akan kubikin dia mati dalam keadaan dikhianati dan dikucilkan begundalnya, tidak nanti kubiarkan dia mati dengan aman dan tenang. Tapi, ai, siapa pula penolongku? Cara bagaimana pula harus kubalas budi kebaikannya?"
Sampai saat ini, sudah cukup banyak diketahuinya seluk-beluk musuhnya. Akan tetapi terhadap orang yang berbudi dan menolongnya tidak diketahui apa pun. Bahkan ia tidak tahu siapakah gerangan yang menulis "Sepuluh tahun kemudian, dengan darah membayar darah" pada tujuh belas tahun yang lalu, tulisan yang pernah membuat Leng-coa Mao Kau tidak enak makan dan tidak nyenyak tidur itu. Ia pun tidak tahu sisa jenazah ayahnya yang terakhir itu sesungguhnya dibawa oleh siapa?
Angin meniup sepoi-sepoi, membuyarkan suara helaan napasnya, bayangannya yang semampai pun lenyap dibalik kedalaman hutan sana.
. == o + o ==
Pemandangan di kota Kahin sangat indah, terutama panorama diteluk tiga menara. Pemandangan senja bagaikan lukisan, suasana tenang mengesankan.
Tidak jauh ke barat dari kuil tiga menara yang indah itu menjulang tinggi hutan rindang, dibalik pepohonan lebat itu tampak dinding merah jingga dengan wuwungannya yang mencuat tinggi keatas.
Itulah Gak-ong-bio. biara yang memuja Gak Hui, itu panglima terkenal pada dinasti Song.
Menjelang lohor sinar sang surya terasa rada panas, pada undak-undakan batu didepan kelenteng berdiri seorang pemuda cakap dengan pakaian mentereng.
Dia berdiri dengan menggendong tangan, sorot matanya tajam, sikapnya gagah, ditengah alisnya yang panjang menegak itu seperti tersembunyi semacam perasaan menunggu dengan murung.
Memang apa yang sedang ditunggunya ?
Lebih kesana lagi tidak jauh dari Gak-ong-bio juga ada sebuah kelenteng yang terletak ditepi sungai, didalam kelenteng ini tegak berdiri sebuah tugu yang jelas ada bekas darah yang meresap kedalam batu tugu ini. Inilah Hiat-in-si, biara bekas darah. Biara ini mempunyai sejarah yang mengharukan dan juga membangkitkan semangat orang.
Diluar itu terdengar suara ringkik kuda yang ramai. Dibawah pepohonan rindang sana tertampak tujuh ekor kuda bagus dengan pelana yang indah, jelas pemilik kudanya kalau bukan kaum pembesar atau hartawan pasti juga golongan jago Kangouw terkemuka.
Sebaliknya didalam biara suasana sunyi senyap tanpa sesuatu suara.
Tepat didepan undak-undakan batu biara berdiri dua lelaki kurus dengan sinar mata tajam, seorang diantaranya lengan baju kanannya terjulur kebawah dengan kosong dan terikat ditali pinggang, ia sedang memandangi tugu berdarah dan asyik mendengarkan cerita yang dibawakan seorang paderi bermuka bulat dan berdiri khidmat didepan mereka.
Ada lagi lima lelaki muda kuat berbaju panjang, semuanya berdiri dengan hormat dibelakang mereka, kelima orang ini selalu memandang kian kemari, entah apa yang dicari, tapi sikapnya prihatin, jelas mereka kaum hamba kedua lelaki tinggi kurus itu.
Kedua orang inilah Ho-siok-siang-kiam, kedua jago pedang Ong bersaudara yang terkenal dari wilayah Holam dan Hopak, dan kelima lelaki muda itu adalah murid mereka.
Hwesio bermuka bulat dengan jubah putih bersih, dengan tangan kiri memegang tasbih, tangan lain menuding tugu disebelah sana dan asyik berkisah, ia lagi menceritakan sejarah tugu berdarah itu.
Konon hampir seratus tahun yang lalu, beberapa propinsi didaerah tenggara sekitar pantai telah diserbu kawanan bajak laut. Kahin adalah kota pelabuhan sehingga tidak terhindar dari malapetaka tersebut.
Selain merampok harta benda, kawanan bajak juga menculik kaum wanita. Orang perempuan yang mereka culik dikumpulkan didalam biara ini, lalu kawanan bajak menyerbu lagi keperkampungan disekitarnya.
Kepala biara yang welas-asih itu tidak tahan menyaksikan keadaan tawanan yang menyedihkan itu, tanpa memikirkan resiko sendiri ia bebaskan semua tawanan wanita itu. Waktu itu para wanita yang dibebaskan itu sama membujuk agar hwesio tua juga ikut lari saja, namun hwesio tua rela menanggung segala akibatnya dan tetap berdiam ditempat.
Tidak lama kemudian datanglah kawanan bajak, melihat tawanan sudah kabur semua, dapat dibayangkan betapa murka mereka, apalagi setelah mengetahui si hwesio tua yang membebaskan tawanan, serentak hwesio tua diringkus dan diikat pada tugu itu serta dibunuh dengan hujan panah.
"Setelah Cosuya wafat dibawah keganasan kawanan bajak, kemudian dibakar pula," demikian hwesio itu melanjutkan kisahnya, "Sesudah kawanan bajak pergi, orang-orang yang merasa hutang budi kepada Cosuya telah mengubur abu tulang Cosuya dibelakang biara. Dan sejak itu, pada tugu tempat Cosuya dipanah itu lantas berlepotan darah yang tak terhapus. Maka biara ini pun diberi bernama Hiat-in-si."
Ho-siok-siang-kiam mengikuti tempat yang ditunjuk dan terlihat diatas tugu memang betul ada bekas darah, tanpa terasa air muka mereka sama berubah. Teringat kepada perbuatan mereka sendiri selama ini, seketika mereka terkesima.
Pada saat itulah dari hulu sungai sana tiba-tiba meluncur datang sebuah perahu dengan cepat, di haluan perahu berdiri seorang pemuda gagah dan cakap, berbaju warna kuning emas.
Perahu itu meluncur secepat terbang, melewati biara tiga menara dan menuju Hiat-in-si.
Meluncurnya perahu yang cepat dari hulu sungai itu dapat dilihat oleh si pemuda berbaju perlente didepan Gak-ong-bio sana, terutama pemuda berbaju emas yang menyolok itu, cepat pemuda ini melayang mundur kebelakang sebatang pohon besar.
Terlihat perahu itu berputar didepan biara tiga menara sana, lalu balik ke Gak-ong-bio, hanya sejenak perahu itu berhenti, lalu didayung cepat kearah Hiat-in-si.
Dalam pada itu si hwesio tadi baru selesai berkisah, Ho-siok-siang-kiam sedang termangu, mendadak dari luar biara menerobos masuk satu orang. Dia inilah pemuda berbaju kuning emas yang berdiri gagah dihaluan perahu tadi.
Begitu masuk kebiara dan melihat Ho-siok-siang-kiam berada disitu, air muka si pemuda memperlihatkan rasa girang.
Cepat ia berlari maju dan memberi hormat sambil menyapa, "Terimalah hormat Siautit kepada kedua Ong-susiok."
Agaknya Ho-siok-siang-kiam rada tercengang oleh kedatangan mendadak pemuda ini.
Tapi pemuda baju emas itu lantas menyambung, "Siautit Toat-beng-sucia Thi Peng, atas perintah Suhu agar datang kemari mencari kedua Ong-susiok. Sepanjang jalan Siautit mencari tahu dan diketahui para Susiok mampir di Kahin, segera Siautit menyusul ke kota, tapi lantas mendapat kabar kedua Susiok pesiar keteluk tiga menara sini, segera kususul kemari, sudah kucari sejak tadi belum bertemu, untunglah terlihat kuda tunggangan rombongan kedua Susiok diluar, kuyakin para Susiok pasti berada disini dan ternyata benar."
Dia terus mencerocos sekaligus tanpa berhenti, cara bertuturnya seakan-akan sengaja hendak menyatakan usaha pencariannya yang cekatan, ia tidak menyadari bahwa sejak permulaan pembicaraannya saja sudah melanggar pantangan orang persilatan umumnya.
Jarang ada orang memperkenalkan julukan sendiri, apalagi kepada orang yang lebih tua dan dihormati. Datang-datang dia memperkenalkan julukan Toat-beng-sucia (si duta perenggut nyawa), tentu saja hal ini membikin Ho-siok-siang-kiam sangat mendongkol.
Segera Ong It-beng mendengus, Hm, Toat-beng-sucia?. Hebat benar, tentunya
kedatanganmu ini atas perintah Mao-toaya kalian untuk merenggut nyawa kami, begitu bukan? Hmk!"
Thi Peng melengak, cepat ia menjawab dengan menyengir, "Ah, ucapan Susiok terlalu berat, jangankan Suhu sama sekali tidak nanti bermaksud demikian, betapapun Siautit tidak berani sembrono dihadapan kedua Susiok. Dengan ucapan Susiok ini, sungguh Siautit menjadi malu dan ingin menumbukkan kepala dan mati saja. "
"Hm, jika betul kau ingin begitu, silakan tumbukkan kepalamu saja, pasti takkan kucegah," jengek Ong It-peng.
Habis berkata ia mengeluarkan sepotong uang perak dan diberikan kepada hwesio muda tadi, katanya, "Banyak terima kasih atas kisah Taysu tadi, sedikit uang sedekah ini mohon Taysu suka belikan dupa dan minyak untuk biara ini."
Tanpa menghiraukan Thi Peng lagi kedua Ong bersaudara itu lantas melangkah keluar biara.
Si hwesio mengucapkan terima kasih, ia menjadi heran pula ketika melihat pemuda berbaju emas itu berdiri disitu dengan kikuk.
Kesepuluh murid Leng-coa Mao Kau terkenal tinggi ilmu silatnya, rata-rata juga pandai bicara dan mahir berdebat, semuanya gagah dan tampan. Toat-beng-sucia Thi Peng ini terhitung pula murid yang paling menonjol diantara kesepuluh murid utama itu, biasanya ia sok bangga atas ketampanan dan ketangkasan sendiri dan sering mengaku sebagai pendekar muda yang serba mahir.
Tapi sekarang dia berdiri melenggong dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dilihatnya dibawah iringan kelima muridnya Ho-siok-siang-kiam sudah hampir keluar pintu biara. Cepat ia memburu kesana dan menghadang didepan, dengan tertawa ia memberi hormat lagi.
"Hm, memangnya kau mau apa lagi?" jengek Ong It-beng, "memangnya Mao-toaya benar- benar tidak mau melepaskan kami, Hm, bagus, ingin kulihat Mao-toaya kita selain mempunyai putri yang lihai, adakah muridnya juga lebih hebat?"
Seperti diketahui, kedua Ong bersaudara ini telah pecundang ditangan Mao Bun-ki ketika mereka pesiar di danau barat atau Se-oh. Biasanya mereka sangat angkuh dan tidak tunduk kepada siapa pun, tentu saja mereka sangat penasaran dan batal perg ketempat Mao Kau, mereka akan pulang saja ke utara.
Ketika lewat di Kahin, mereka tertarik oleh pemandangan alam setempat sehingga berdiam hingga ber-bulan2 dan tidak pernah melupakan kejadian di Se-oh yang memalukan mereka itu. Kini Thi Peng datang-datang lantas memperkenalkan nama julukannya sebagai duta perenggut nyawa, keruan mereka tambah gusar sehingga tanpa sungkan mereka melampiaskan rasa dongkolnya terhadap anak muda itu.
Meski dalam hati Thi Peng juga mendongkol namun lahirnya dia tenang-tenang saja, katanya, "Sama sekali Suhu tidak tahu apa-apa, kemudian beliau baru tahu Sumoay telah berbuat kurang hormat kepada kedua Susiok, buru-buru Suhu menyuruh Tecu menyusul kemari untuk meminta maaf, semoga kedua Susiok mengingat usia Sumoay masih muda dan kurang pengalaman, sudilah ampuni kesalahannya. Apa pun juga kedua Susiok diminta sudi mampir ke Hangciu, kalau tidak, ai, selain Teci tak bisa memberi pertanggungan jawab kepada Suhu, bisa jadi Suhu akan menyangka ada perlakuanku yang tidak pantas terhadap kedua Susiok."
Kedua Ong bersaudara saling pandang sekejap. Ong It-peng yang buntung sebelah tangannya lantas mendengus, "Hm, mana kami berani berbuat demikian terhadap kesatria muda dan jago betina seperti Sumoay kalian itu, yang benar kami yang harus minta ampun padanya."
Watak Ong It-beng terlebih sabar dan bisa berpikir panjang, segera ia menambahkan, "Sudahlah, urusan itu tidak perlu disinggung lagi. Coba katakan, untuk apakah gurumu minta kami pergi ke Hangciu?"
Ia cukup kenal kelicikan Mao Kau, pula antara mereka adalah sahabat lama, sebaiknya jangan sampai bermusuhan.
Thi Peng cukup cerdik, dari nada dan sikap orang segera dapat dirabanya, jawabnya, "Apa maksud undangan Suhu tidak kuketahui, namun Suhu. "
Tiba-tiba Ong It-peng menjengek dan memotong ucapan Thi Peng, "Hm, gurumu hidup senang dan tentu saja pelupa, masakah dia masih ingat kepada kenalan lama seperti kami ini? Jika dia tahu kami berada di Kahin, kenapa dia. hmk."
Ia menjengek dan tidak meneruskan ucapannya yang lebh kasar.
Karuan air muka Thi Peng sebentar merah sebentar pucat, agar orang tidak terlampau kikuk, cepat Ong It-beng menyambung, "Baiklah, boleh kau pulang dan sampaikan kepada gurumu bahwa beberapa hari ini kami akan datang ke Hangciu."
Diam-diam Thi Peng menggurutu didalam hati, "Hm, kiranya kalian pun jeri kepada guruku, betapa pun kalian harus bicara halus."
Meski didalam hati mendongkol, namun lahirnya Thi Peng tetap tersenyum dan berucap, "Terima kasih atas kerelaan kedua Susiok, segera Tecu akan pulang untuk melapor kepada Suhu agar beliau siap menyambut kedatangan para Susiok."
Thi Peng kuatir orang bicara kasar lagi, cepat ia memberi hormat dan melangkah pergi, hanya dua kali lompatan ia sudah sampai ditepi sungai dan melayang keatas perahu, sekali bentak, perahu itu didayung pula secepat terbang.
Sesudah perahu itu pergi jauh, mendadak Ong It-beng berpaling dan mendamprat kepada kelima pemuda itu, "Hm, coba kalian lihat murid orang, betapa tangkas dan cekatannya, masakah kalian ada setengah kemampuan orang? Paling-paling kalian cuma pintar gegares saja. Hmk!"
Dia menjengek sekali, lalu berhenti. Karuan kelima anak muda itu saling pandang dengan muka merah dan tidak berani bersuara.
Mendadak Ong It-beng mendelik dan membentak pula, "Kenapa tidak lekas membawa kuda kemari!"
Sungguh konyol kelima pemuda itu. Semula mereka merasa senang menyaksikan si pemuda berbaju emas didamprat dan disindir sang guru, siapa tahu kini giliran mereka sendiri yang dicaci-maki. Cepat mereka membawakan kuda kedepan sang guru.
Setelah berada diatas kuda, tiba-tiba Ong It-peng mendengus pula, "Loji, kulihat orang she Mao itu makin lama makin latah, Menurut pendapatku, tidak perlu lagi kita pergi ke Hangciu."
Ong It-beng coba mendinginkan hati sang kakak, "Toako, segala urusan harus berpikir panjang. Meski akhir-akhir ini orang she Mao memang terlalu latah, tapi untuk apa kita bermusuhan dengan orang ini?"
Dia menengadah, lalu menyambung, "Sudah dekat lohor, marilah kita isi perut dulu di Sam-tah- si (biara tiga menara)."
Segera ia mendahului melarikan kudanya, dalam sekejap mereka sudah mendekati Gak-ong- bio, dari kejauhan sudah terlihat pohon cemara tua yang menjulang tinggi didepan kelenteng itu.
Melihat kedatangan ketujuh orang ini, si pemuda berbaju perlente yang sejak tadi berada didepan kelenteng tampak bergirang, jelas rombongan Ho-siok-siang-kiam inilah yang sedang ditunggunya. Apa tujuannya, sungguh sukar diraba.
Setiba didepan kelenteng, kedua Ong bersaudara melompat turun dan menyerahkan kuda kepada anak muridnya, waktu mereka menuju kepintu kelenteng, tertampak seorang pemuda berbaju mentereng menyongsong kedatangan mereka dengan tersenyum.
Sekilas pandang Ong It-beng merasa pemuda ini seperti pernah dilihatnya entah dimana, katanya kepada kakaknya, "Rasanya pemuda ini sudah pernah kulihat, tampaknya dia memapak kedatangan kita. Apakah Toako tahu siapa dia?"
"Ya, rasanya pernah melihat orang ini. " sahut Ong It-peng dengan ragu. Dalam pada itu pemuda perlente itu sudah mendekat dan lantas menyapa, "Aha, melihat kegagahan kedua Tayhiap ini, kalau tidak salah ingat, agaknya kalian inilah kedua Cianpwe keluarga Ong yang termashur sebagai Ho-siok-siang-kiam didunia Kangouw itu."
Serentak kedua Ong bersaudara melengak, mereka heran dari mana pemuda ini kenal mereka.
Anak muda ini berwajah cakap, matanya jeli, bibirnya merah, tutur katanya halus, sikapnya sopan, tampaknya bukan orang dunia persilatan.
Meski sangsi, tapi melihat pemuda yang sopan santun ini, mau-tak-mau timbul juga kesan baik mereka.
Ong It-beng lantas menjawab, "Memang betul kami she Ong, mengenai nama julukan kami yang termashur segala, haha, terima kasih atas pujianmu."
Pemuda itu tampak senang, ucapnya sambil berkeplok, "Haha, ternyata betul kedua Ong- thayhiap adanya. Sungguh beruntung Cayhe dapat bertemu dengan para pendekar pedang termashur."
Didunia ini tidak ada orang yang tidak suka diumpak dan dipuji, mau-tak-mau kedua Ong bersaudara tertawa bangga. "Terima kasih atas pujianmu, sungguh memalukan, meski kelihatan saudara sudah pernah kami lihat, tapi mungkin kami sudah pikun sehingga tidak ingat lagi dimana pernah berjumpa denganmu?" tanya Ong It-beng.
"Haha, tentu, tentu saja, kedua Tayhiap adalah orang sibuk, mana bisa ingat kepada diriku yang muda ini, Sebaliknya sekali lihat Cayhe tidak bakalan lupa kepada kaum pendekar. Mengenai diriku. " ia merandek dan memberi hormat, lalu menyambung, "Cayhe Ko Bun, waktu itu
bersama Ciok Ling, Ciok-heng, pesiar di danau, kebetulan kami memergoki beberapa orang kasar yang tidak tahu aturan, Ciok-heng lantas menyeretnya keperahu kami, kemudian. "
"Oo, saudara Ko melihat kami diatas perahu nona Mao tempo hari?" tanya Ong It-peng dengan muka kelam.
KO Bun tertawa, "Cayhe juga sekedar kenal nona she Mao itu, waktu itu Cayhe juga merasa gemas terhadap sikapnya yang kasar itu, kalau saja Cayhe juga orang persilatan, sungguh akan kuberi hajaran padanya. Ketika melihat kedua Cianpwe bersikap bijaksana kepadanya, sungguh Cayhe ikut bersyukur,"
"Ah, cara bicaramu ini membikin kami menjadi malu sendiri," ujar Ong It-beng sambil menyengir.
Tapi dengan sungguh-sungguh Ko Bun berkata pula, " "Yang kukatakan adalah timbul dari lubuk hati yang dalam. Meski Cayhe tidak mahir ilmu silat juga dapat kulihat nona itu cuma mengandalkan pedang ajaib yang dipegangnya itu sehingga sekedar dapat mengungguli kedua Cianpwe, padahal kalau bicara tentang kepandaian sejati, masakah dia mampu menandingi keuletan kedua Cianpwe yang sudah berlatih berpuluh tahun ini."
Dia bicara dengan lagak setulus hati dan masuk diakal pula, tentu saja sangat mencocoki selera kedua Ong bersaudara.
Ong It-peng tertawa cerah dan berkata, "Sungguh tidak nyana anak pelajar seperti Ko-heng juga pintar membahas tentang ilmu silat, Haha, bicara terus terang, kejadian tempo hari membikin hati kami sangat penasaran, hanya karena mengingat orang tua nona itu, maka kami menahan diri, Ko-heng yang lemah lembut ternyata bisa menyelami hati kami, sungguh seorang sahabat sejati."
"Ah, yang kukatakan hanya berdasarkan kenyataan yang kulihat, jika kedua Tayhiap sudi menganggap diriku sebagai sahabat, sungguh Cayhe sangat berterima kasih," setelah berhenti sejenak, Ko Bun sengaja menghela napas dan berucap pula, "Ai, cuma suasana dunia semakin tidak tertib, hati manusia semakin tidak bersih. Nona sekecil itu ternyata tidak tahu menghormati orang tua, bahkan. . . .bahkan. "
Dia sengaja tidak meneruskan sehingga kedua Ong bersaudara tidak sabar, segera Ong It-peng bertanya, "Meski kita baru kenal, tapi rasanya seperti sahabat lama. Ada ucapan apa silakan
Ko-heng bicara saja."
Ko Bun menggeleng, katanya dengan menyesal, "Sesudah kedua Tayhiap pergi tempo hari, apabila nona Mao itu tahu diri, seharusnya dia menyadari kemurahan hati kedua Tayhiap, siapa tahu dibelakang kalian dia lantas menyindir dan mencaci-maki, dia malah sesumbar, katanya dunia persilatan. . . .dunia persilatan sekarang sudah menjadi dunianya keluarga Mao. "
Berubah air muka Ong It-peng, tapi lantas timbul keraguan Ong It-beng, pikirnya, "Pemuda ini baru saja berkenalan dan dia lantas memuji setinggi langit kepada kami, jangan-jangan mempunyai maksud tujuan tertentu."
Terlihat Ko Bun lagi menghela napas, lalu berkata pula, "Sebenarnya urusan ini tidak ada sangkut-pautnya denganku, adalah tidak pantas kukatakan, cuma menyaksikan kejadian yang tidak adil itu, mau-tak-mau Cayhe merasa penasaran bagi kedua Tayhiap."
Kembali Ong It-beng berpikir, "Ya, orang ini memang tidak ada sangkut-pautnya dengan kami, juga tidak ada permusuhan dengan Mao Kau, agaknya dia tidak punya pamrih apa pun."
Terdengar Ko Bun bicara lagi, "Semula kukira nona Mao yang muda belia itu kurang pengalaman sehingga bertindak kurang sopan, siapa tahu kemudian kulihat dia dipapak
ayahnya, apa yang diucapkan ayahnya justeru jauh lebih kasar daripada putrinya. Dia bilang.
.Ai, kukira lebih baik tidak kukatakan saja daripada membikin panas hati kedua Tayhiap. Pendek kata, ucapannya itu terlalu tidak pantas, waktu itu Cayhe hampir tidak tahan, kalau saja tidak dicegah kawanku Ciok-heng, sungguh Cayhe hendak bersuara untuk membela keadilan bagi kedua Cianpwe." Dia bicara dengan serius dan kedengarannya seperti sungguh-sungguh terjadi, meski agak sangsi tapi setelah dipikir dan ditimbang, Ong It-beng merasa tidak ada alasan bagi anak muda ini mengarang cerita yang tidak benar.
Ong It-peng yang berwatak keras itu tentu saja percaya dan tidak tak tahan, dengan muka merah beringas dan tinju terkepal ia mendengus sambil memandang saudaranya, "Loji, sungguh aku tidak tahan akan persoalan ini, Hm, memang sudah kuduga orang she Mao itu tidak benar-benar hendak minta maaf kepada kita. Maksudnya mengundang kita ke Hangciu bisa jadi tidak berniat baik."
Tiba-tiba Ko Bun menghela napas panjang dan berucap, "Agaknya dia sengaja main sandiwara lagi. Kudengar dia memang sengaja hendak mengundang kedua Tayhiap kesana untuk kemudian akan. "
Mendadak Ong It-peng berteriak, "Loji, bagaimana keputusanmu?" Mau-tak-mau tertampil juga rasa benci dalam sorot mata Ong It-beng.
Biji mata Ko Bun berputar, mendadak ia tertawa dan menambahkan, "Tapi, kukira kedua Tayhiap juga tidak perlu pedulikan kecongkakan manusia rendah seperti dia itu, Eh, hari sudah lohor, bagaimana jika hari ini Cayhe menjadi tuan rumah dan menjamu sekedarnya kedua Tayhiap yang kuhormati?"
Begitulah dia terus berubah menjadi juru damai yang tidak suka kepada pertengkaran. Dan oleh karena itu, tanpa terasa musuh Leng-coa Mao Kau lantas bertambah lagi dua orang.
Setelah berpesiar dan waktu mereka pulang sampai di Kahin, hari pun sudah gelap. Selama setengah hari Ho-siok-siang-kiam merasa sangat cocok dengan anak muda yang berwatak polos dan suka terus terang ini, tanpa terasa kesan mereka bertambah baik kepada Ko Bun.
Setelah berpisah, belum lama Ho-siok-siang-kiam tiba kembali dihotelnya, tahu-tahu datang orang mengantar satu meja perjamuan lengkap dengan seguci arak Li-jin-hong, menurut koki yang ikut datang, katanya santapan dari restoran It-sim-ting yang paling terkenal di Kahin atas pesan seorang Kongcu muda dan tampan, antaran itu disertai dengan sehelai kartu merah dengan tulisan: "Dipersembahkan kepada yang terhormat kedua Ong-tayhiap"
Ong It-peng dan Ong It-beng tersenyum senang, pada umumnya pengelana kangouw memang suka kepada cara demikian. Terus terang, bijaksana, simpati, pemuda ini sungguh seorang sahabat sejati.
Meski Siu Su tidak menyaksikan sendiri senyuman yang menghiasi wajah mereka, tapi dapat dibayangkannya.
Belum lama setelah dia kembali dikamar hotelnya, segera ada orang mengetuk pintu, suara ketukan lima kali. Ia tahu anak buah Liang Siang-jin datang untuk melaporkan pekerjaannya. Terhadap Liang Siang-jin, sungguh timbul semacam rasa terima kasih yang tulus dalam hatinya. Apabila tidak ada Liang Siang-jin yang berjuluk Kiu-ciok-sin-tu (labah-labah berkaki sembilan) itu berusaha membantunya dengan memasang jaring labah-labah dengan rapat, betapapun dia takkan mendapatkan informasi sebanyak ini untuk melancarkan operasinya balas dendam.
"Kiu-ciok-sin-tu", labah-labah berkaki sembilan, tentu saja lebih lihai daripada seekor ular. Terbayang demikian, Siu Su tersenyum gembira.
Segera ia membuka pintu, cepat seorang gemuk menyelinap masuk. Meski berbadan gemuk, namun gerak-gerik orang ini sangat gesit.
Begitu menyelinap masuk, segera ia merapatkan pintu sekalian dan memberi hormat kepada Siu Su, katanya, "Kongcu sungguh hebat, dengan mudah sekali kedua orang she Ong itu dapat Kongcu pikat. Aku Thio It-tong sudah menjelajah ke utara dan ke selatan tapi rasanya selain Liang-toako kami yang terhitung kesatria besar, orang kedua jelas adalah Kongcu engkau."
Meski dia menaruh Siu Su dibawah urutan Liang Siang-jin, namun Siu Su tidak merasa direndahkan, sebaliknya ia sangat senang. Sebab ia tahu betapa bobot Kiu-ciok-sin-tu Liang Siang-jin dalam pandangan kawanan orang gagah dunia hitam ini.
Ilmu silat Kiu-ciok-sin-tu tidak terlalu tinggi, dia mendapat petunjuk beberapa jurus saja dari Seng-jiu-siansing pada waktu kebetulan tokoh sakti yang sudah lama mengasingkan diri itu berkunjung kedaratan sini, dalam waktu dua-tiga hari dia diberi ajaran beberapa jurus, sebab itulah dia bukan murid resmi Seng-jiu-siansing.
Cuma si labah-labah kaki sembilan ini memang seorang yang luar biasa cerdasnya, meski cuma beberapa jurus saja, tapi telah diyakinkannya sedemikian sempurna, bahkan dikembangkan menjadi berpuluh jurus kungfu ciptaan sendiri.
Selain itu Kiu-ciok-sin-tu juga mempunyai suatu sifat khas yang berbeda daripada orang biasa. Dia pegang janji, sampai mati pun tidak ingkar. Bahkan ingatannya sangat kuat, barang siapa yang dilihatnya satu kali saja, sampai mati pun takkan dilupakannya.
Dia sebenarnya anak keluarga kaya, namun dalam setahun harta warisan orang tua telah diludeskan olehnya. Yang bergaul dengan dia justeru kawanan penganggur dan golongan hitam, pergaulannya dengan kawanan orang gagah dunia hitam itu didasarkan kepada "gi" atau bijak, dia setia kawan, dia konsekuen, dia adil, tidak pandang bulu, tapi juga rendah hati, tidak pernah dia pamer kungfu sendiri.
Belasan tahun yang lalu di kota Nanking ada seorang bernama Lo It-to, seorang jagoan dari kalangan tukang jagal, hanya lantaran sesuatu urusan sepele ia dendam kepada Liang Siang- jin, ia sesumbar akan memotong tubuh Liang Siang-jin menjadi delapan bagian dan akan dijual sebagai daging babi. Waktu itu kungfu Liang Siang-jin sudah lumayan, kalau mau dengan mudah ia dapat menundukkan Lo It-to dengan sekali hantam. Tapi dia tidak bertindak demikian, langsung ia mendatangi Lo It-to, didepan meja daging babi yang dijual orang she Lo itu ia tantang agar tukang jagal yang disegani itu boleh membacoknya satu kali. Jika tukang jagal itu dapat membunuhnya seperti dia membunuh babi, maka dia takkan menyesal. Sebaliknya kalau sekali bacok tak dapat membinasakan dia, maka Lo It-to dilarang lagi mengaku sebagai jagoan.
Berita ini dengan cepat menarik segenap kaum cecunguk di kota Nanking, beramai-ramai mereka berkerumun didepan dasaran Lo It-to, ada yang melerai, ada yang memohon, namun Lo It-to tidak peduli dan angkat goloknya.
Tampaknya golok jagal yang besar itu segera akan dibacokkan, namun Liang Siang-jin tetap berdiri tegak tanpa berkedip dan menghindar. Semua penonton sama menahan napas dan berkeringat dingin baginya. Mereka percaya jiwa Liang Siang-jin pasti akan melayang oleh bacokan itu.
Lo It-to juga tahu kungfu lawan cukup lihai, ia kuatir bacokan sendiri akan dihindari orang, maka dia sengaja membacok agak kesamping dengan perhitungan bila Liang Siang-jin berkelit, bacokannya justeru akan tepat kena sasarannya.
Siapa tahu Liang Siang-jin sama sekali tidak mengelak, bacokan itu tepat mengenai pundak kiri, semua orang sama menjerit. Darah lantas muncrat, namun Liang Siang-jin tetap berdiri tegak dengan tersenyum.
Melihat kegagahan orang, tangan Lo It-to menjadi lemas dan hati pun gentar, "trang", golok terjatuh, ia pun berlutut dan menyembah, teriaknya, "Aku menyerah!"
Dengan tersenyum Liang Siang-jin menjemput golok jagal yang belasan kati beratnya itu, "krek" sekali ia hantam, golok itu patah menjadi dua. Yang separoh dikembalikan kepada Lo It-to, separoh lain dipegangnya sendiri lalu ditariknya bangun Lo It-to dengan darah masih mengucur dari pundaknya, namun sama sekali tidak dipandangnya sekejap pun.
Sejak itu nama Liang Siang-jin lantas tersebar luas dan terkenal disegenap pelosok. Kegagahannya itu mungkin tidak berarti bagi kaum tokoh dunia persilatan, tapi bagi pandangan orang gagah dunia Kangouw rendahan, nama Liang Siang-jin benar-benar menjadi pujaan mereka.
Sebelum Siu Su meninggalkan pulau sana sudah didengarnya dari Seng-jiu-siansing tentang seorang yang bernama Liang Siang-jin ini, maka begitu ia sampai didaratan, segera ia berusaha mencarinya. selama ini sudah cukup banyak diketahuinya seluk-beluk orang she Liang ini, meski dirasakan tindak-tanduknya lebih banyak menyangkut soal perkelahian kasar dan bukan perbuatan kaum kesatria, namun tetap dipuji sebagai seorang lelaki yang berdarah panas, apalagi terhadap urusan Siu Su selalu dia membantu dengan sepenuh tenaga. Bahwa orang memberi julukan Kiu-ciok-sin-tu kepada Liang Siang-jin justeru lantaran dia mempunyai kaki tangan tersebar diseluruh negeri, bilamana begundalnya itu hendak main jagoan, tentu bukan tandingan orang Bu-lim, tapi bila disuruh menjadi mata-mata atau pengintai, tentu akan merupakan jaringan agen rahasia yang baik.
Begitulah dengan tertawa Siu Su lantas berkata, "Liang-toako kalian adalah kesatrianya kaum kita, terus terang aku pun sangat kagum padanya."
"haha, kalian berdua sama-sama kesatria besar, adalah pantas kesatria kagum pada kesatria." seru Thio It-tong dengan gelak tertawa. "Malahan menurut cerita Liang-toako, beliau tidak cuma kagum, bahkan takluk lahir batin kepada Kongcu."
Dia berhenti sejenak, tiba-tiba menyambung pula dengan suara tertahan, "Apakah Kongcu tahu diantara anak buah Mao Kau ada seorang gemuk she Oh yang berjuluk Pat-bin-ling-long? Dengan berbagai daya upaya dia juga hendak mencari Liang-toako kami dan minta bantuannya. Dua hari yang lalu Oh gemuk itu pun datang ke Kahin, namun tidak menemukan Liang-toako, kemarin dia sudah pergi lagi, Hm. "
Dia mendengus dengan penuh menghina, lalu menyambung, "Bila melihat Oh gemuk itu yang penuh daging itu hatiku lantas kheki, sudah gemuk seperti babi, lagaknya seperti maha cakap dan sok aksi."
Padahal dia sendiri gemuk, tapi berolok-olok pada orang gemuk lain.
Setelah mencaci-maki, akhirnya ia berkata, "Ah, bicara kian kemari, sampai lupa bicara urusan pekerjaan dengan Kongcu. Tadi seorang kawan dari Peng-bong mengirim berita kemari, katanya disana terlihat Wan-yang-siang-kiam sedang menuju ke Kahin, mungkin malam nanti bisa sampai disini. Juga dari jurusan Thay-hing-san datang serombongan penunggang kuda berjumlah lima puluhan orang, siang tadi baru lalu disini menuju Hangciu. Terlihat Thay-hing- siang-gi Kim bersaudara juga berada ditengah rombongan itu, juga ada seorang pemuda berpakaian ringkas berada bersama mereka, entah siapa dia."
Siu Su tampak tertarik oleh informasi ini, mendadak dia tertawa cerah, seperti mendadak mendapat sesuatu akal, katanya, "Baiklah, terima kasih atas jerih payahmu. Cuma kuminta tolong pula memberi keterangan, diluar dan dalam kota Kahin ini terdapat berapa banyak hotel atau losmen?"
Thio It-tong berpikir sebentar, lalu menjawab, "Kurang lebih lima puluh, tidak dapat kukatakan dengan tepat, tapi jelas berjumlah antara sekian itu."
"Baiklah, sekarang kuminta supaya kau datangi semua rumah penginapan itu, seluruh kamarnya hendaknya kau borong, biar pun sudah ada tamunya juga harus dipesan lebih dulu, bila tamu berangkat akan kita pakai. Boleh bayar dulu uang sewa sepuluh hari dimuka, tambahi tip seperlunya, katakan dilarang terima tamu luar tanpa izin kita." Thio It-tong melengak, jawabnya kemudian dengan mata terbelalak, "Wah, kamar hotel sebanyak itu harus diborong semua dan bayar persekot sewa kamar sepuluh hari dimuka, Ai, untuk apakah Kongcu? Memangnya ada kawanmu sedemikian banyak akan datang kesini?"
Kembali Siu Su menampilkan senyumannya yang sukar diraba, ia mengeluarkan sehelai cek dan disodorkan kepada Thio It-tong. Si gemuk melenggong setelah sekilas pandang dapat membaca jumlah nominal cek itu.
Didengarnya Siu Su lagi berkata, "Tindakanku ini dengan sendirinya mempunyai maksud tujuan tertentu, untuk ini nanti akan kau tahu sendiri. Yang penting sekarang, entah engkau sanggup tidak melaksanakan pesanku?"
Serentak Thio It-tong menepuk dada, "tanggung beres, semua ini kujamin pasti terlaksana dengan baik, Hm, kecuali mereka sudah mau tutup hotelnya, kalau tidak, memangnya mereka berani melawan permintaan kita."
Dia terima cek itu dan melangkah pergi dengan kejut dan heran, sungguh sukar dimengerti untuk apakah tindakan sang Kongcu ini.
Siu Su memandangi bayangan tubuh yang gemuk itu hingga menghilang dikejauhan dengan tetap mengulum senyum, siapa pun tidak tahu apa yang sedang dirancangnya.
. === *** ===
Sudah larut malam, kota Kahin yang ramai sudah mulai sepi. Cahaya lampu mulai jarang- jarang, orang berlalu-lalang juga makin berkurang.
Sebuah gerobak kelontong didorong oleh seorang penjualnya yang tampak berseri karena dagangannya yang laris malam ini, ia muncul dari depan sana, lalu menghilang pula dikegelapan malam diujung jalan yang lain.
Suasana tambah hening, tapi pada jalan raya yang sepi ini ternyata masih ada dua ekor kuda dengan pelananya yang kemilau masih tertambat disana.
Kiranya disitu adalah sebuah ciulau atau rumah makan kecil, masih ada tamu yang makan minum disitu.
Pintu rumah makan sudah setengah tertutup, cahaya lampu juga mulai guram. Dari celah pintu dapat terlihat didalam berduduk seorang lelaki berjubah sulam, berbahu lebar dan berpinggang ramping, dia duduk tegak dan sebentar-sebentar menoleh dan memandang keluar dengan sinar matanya yang tajam.
Meski orang ini sudah berusia lanjut, tapi sorot matanya memang tajam luar biasa, seakan-akan sekali pandang dapat menembus daun pintu yang tebal. Ia menghela napas pelahan, lalu berpaling pula dengan kening berkenyit terlebih rapat, ucapnya pelahan, "Ai, ternyata sudah jauh malam."
Sejenak kemudian, mendadak ia menggebrak meja dengan mengomel, "Keparat, aku justeru tidak percaya di kota Kahin sebesar ini ternyata tidak ada sebuah hotel pun yang mempunyai kamar kosong?"
Diatas meja berserakan mangkuk piring, karena meja digebrak, seketika mangkuk piring berloncatan.
Yang duduk didepannya adalah seorang perempuan setengah baya berbaju hijau dan memakai macam-macam hiasan, baju dan perhiasannya tidak serasi, serupa juga sorot matanya yang tidak serasi dengan suaranya. Sebab sorot matanya kelihatan lembut, tapi suaranya melengking tajam.
Ia sedang memandangi si lelaki berjubah didepan dengan sinar mata lembut dan tersenyum manis, katanya, "Bisa jadi memang kebetulan ada serombongan besar saudagar yang lalu disini dan memborong semua kamarnya, kalau tidak, mustahil pemilik hotel menolak tamu, untuk apa engkau mesti marah-marah?"
Sorot matanya yang lembut dan senyumnya yang manis itu jelas sudah lama terbiasa oleh kesabaran yang ditahannya, namun tetap tidak mengurangi kegesitan dan kecekatannya.
Sinar mata si lelaki setengah umur berjubah sulam itu tampak mencorong ucapnya, "andaikan betul begitu, memangnya kita harus bermalam ditempat terbuka di kota Kahin yang besar ini?"
Tokoh yang pernah malang melintang di dunia Kangouw dan tergembleng, lantaran belasan tahun terakhir ini sudah biasa hidup senang dirumah sehingga membuat otot kawat tulang besinya pada masa lampau mulai berkarat, kini pun merasa tidak tenteram hanya karena tidak mendapatkan rumah pengnapan. Apabila hal ini terjadi pada dua puluh tahun lalu, biarpun dia berdiri tiga malam ditempat terbuka juga takkan membuatnya berkerut kening.
Perempuan berbaju hijau berkata pula, "Kalau terpaksa biarlah kita melanjutkan perjalanan sepanjang malam, memangnya kenapa."
"Aku sih tidak menjadi soal, tapi engkau. " tiba-tiba suara si lelaki berubah menjadi sangat
lembut, "Apakah engkau tahan? Jangan lupa kandunganmu yang sudah enam bulan itu."
"Ai, kau ini, sembarang tempat kau bicara urusan ini," omel si perempuan dengan kerlingan lembut, tiba-tiba pipinya bersemu merah.
"Sudah kukatakan sekali ini engkau jangan ikut keluar, tapi kau paksa ikut dan berkeras naik kuda. Ai, baru pertama kali kau. " mendadak silelaki berganti nada ucapan dan
menyambung, "Entah akan lahir perempuan atau lelaki? Bilamana orang Bu-lim mengetahui kita bakal mempunyai keturunan, haha, hal ini pasti akan menggemparkan." Tambah merah muka si perempuan, ia menunduk dan berkata pelahan, "Aku tidak apa-apa, aku masih tahan. Karena urusan ini menyangkut kepentingan kita masa depan, juga menyangkut kehidupan orok dalam kandunganku, mana boleh kutinggal dirumah tanpa ikut campur?"
Kembali lelaki itu mengernyitkan kening, katanya pula, "Entah berita yang tersiar di Kangouw itu betul atau tidak? Aku justeru tidak percaya orang she Siu itu mampu " mendadak ia
terbatuk-batuk.
Si perempuan tetap tertunduk dan berucap dengan lirih, "Ada satu urusan sejauh ini tidak kubicarakan denganmu, sebab kukuatir mengganggu pikiranmu."
= Siapakah kedua lelaki dan perempuan hamil ini? Apa sangkut pautnya dengan Ko Bun alias Siu Su?
= Cara bagaimana Siu Su mengatur tipu daya memecah belah dan mengadu domba antar Mao Kau dan begundalnya?