Jilid 07
Seperti sekarang, semua orang merasa kaget bercampur tercengang oleh peristiwa tersebut. Tapi jika mereka tahu Seng-jiu-suseng pernah berada bersama satu pulau dengan Hay-thian- ko-yan dan Hay-thian-ko-yan pun memiliki selembar peta rahasia Sam-cai-po-cong, ditambah
lagi hubungan antara satu masalah dengan masalah yang lain, maka kejadian yang misterius itu takkan misterius lagi.
Bwe In-tay mengembus napas, lalu melanjutkan, "Ki-jisiok berkata pula, menurut penilaiannya ketika itu, sudah pasti harta karun itu telah diambil oleh Seng-jiu-suseng atau muridnya. Mendengar itu tecu sekalian merasa mendongkol bercampur gusar, apalagi menyaksikan kematian Utti-jiko yang mengenaskan. Kami merasa sedih. Siapa tahu bencana tidak berjalan sendirian. Baru saja Ki-jisiok berkata begitu kepada kami, mendadak tecu sekalian melihat dari belakang beliau telah bertambah lagi dengan sesosok bayangan orang."
Wajah Bwe In-tay mengejang, ia masih ngeri bila teringat keadaan waktu itu, lalu ia melanjutkan, "Waktu itu langit gelap, angin berembus kencang, bayangan hitam seperti setan itu justru berdiri di belakang Ki-jisiok. Sebaliknya Ki-jisiok tetap berbicara tanpa merasakannya."
Mao Bun-ki meremas telapak tangan sendiri yang telah basah oleh keringat dingin. Tiba-tiba hatinya tergerak, ia teringat pada bayangan hitam yang pernah bergebrak dengan dia tempo hari.
Tapi mungkinkah si baju hitam itu adalah orang berbaju hitam yang berdiri di belakang Ki Mo? Untuk ini Bun-ki tak berani memastikannya.
Dilihatnya air muka semua orang sama cemas dan gugup. Lebih-lebih Bwe In-tay. Berulang- ulang ia mengusap keringat dingin yang telah membasahi seluruh tubuhnya. Sekuatnya ia masih bertutur pula, "Kemudian, waktu Ki-jisiok melihat air muka tecu sekalian sama berubah, baru beliau berpaling. Tecu sekalian hanya melihat orang berbaju hitam itu tertawa dingin, kedua tangannya segera diayun ke depan. Beberapa titik cahaya emas segera terpancar. Waktu itu tecu dan Utti-toako berdiri di belakang peti, buru-buru kami bersembunyi, tapi "
Bercerita sampai disitu, suaranya berubah menjadi gemetar, peluh dinginpun bercucuran pula.
Dia menyeka keringat dengan ujung bajunya, lalu melanjutkan ceritanya, "Tapi ketika tecu berdua bangkit kembali, kelima orang Saudara dari Sin-pian-tui yang berangkat bersama tecu telah menjerit ngeri dan roboh ke tanah. Di atas dada masing-masing menancap sebatang senjata rahasia berwarna emas. Ki-jisiok yang berdiri disitu juga sempoyongan dan lantas roboh. Sebaliknya manusia berbaju hitam macam sukma gentayangan itu lenyap tak berbekas."
"Waktu tecu dan Utti-suko memberanikan diri menengok keluar, ternyata di atas dada para Saudara pasukan Sin-pian-tui sama tertancap sebilah pedang kecil berwarna emas. Di atas dada Ki-jisiok sendiri meski menancap pula sebilah pedang, namun batok kepalanya sudah hancur terkena pukulan." "Tecu sekalian melihat pula kedua peti yang mengadang di depan itu telah berlubang, padahal peti itu terbuat dari lempengan baja yang tebal, di alasnya menancap dua bilah pedang emas yang menembus ke tutup peti yang lain. Kekuatan sedahsyat ini, jangankan melihatnya, mendengarnyapun belum pernah. Tapi nyatanya orang berbaju hitam itu sanggup melepaskan sepuluh macam senjata rahasia dengan kekuatan yang hampir sama, pada pada hakikatnya
hal ini sungguh sungguh sangat mengerikan!"
Bicara sampai disini, dia lantas jatuh terduduk di tanah. Meski lantai kotor oleh sayur dan arak yang berceceran hingga mengotori jubah panjangnya, namun dia seperti tidak merasakannya.
Mereka yang mendengarkan kisah tersebut juga sama merasakan anggota badan menjadi lemas.
Hanya Leng-coa Mao Kau meski air muka turut berubah, namun dia masih berdiri tegak. Mendadak ia melemparkan pedang emas yang dipegangnya ke depan Sin-kiam-sucia Bwe In- tay, kemudian bertanya dengan suara berat, "Samakah pedang emas yang kalian lihat di tepi danau itu dengan pedang emas ini?"
Kemudian sambil melototi Bwe In-tay kembali dia menghardik, "Mengapa duduk melulu di lantai? Ayo berdiri! Tak kusangka baru satu urusan saja kalian sudah tak becus!"
Air muka Bwe In-tay berubah menjadi hijau pucat. Cepat ia memungut pedang emas itu, lalu mengeluarkan pula sebilah pedang emas dari sakunya dan dibandingkan satu sama lain, lalu diserahkan kepada Mao Kau dan berkata, "Pedang emas ini tecu cabut dari dada anggota Sin- pian-tui yang tewas, keduanya persis sama."
Mao Kau mendengus. Diterimanya kedua pedang kecil itu dan diperhatikan sekejap, lalu dengan kening berkerut ia termenung berapa saat lamanya.
Suasana dalam rumah makan itu menjadi sunyi senyap, yang terdengar hanya suara napas.
Mao Bun-ki melirik sekejap Ko Bun yang tertidur di meja, lalu dia menghampiri ayahnya dan turut mengawasi kedua bilah pedang emas itu.
Sebaliknya Pat-bin-ling-long Oh Ci-hui menghampiri Bwe In-tay, bisiknya, "Setelah terjadi peristiwa disana, apakah kalian segera balik kemari?"
Bwe In-tay mengangguk, "Setelah mengangkut jenasah Ki-jisiok ke dalam kereta, tecu serahkan jenasah itu kepada kusir. Malam itu juga kupulang kemari, sepanjang jalan tecu sudah dua kali berganti kuda, sedetik pun tidak berhenti."
Mendengar laporan itu, Pat-bin-ling-long Oh Ci-hui berkerut kening, pikirnya, "Kalau dihitung waktunya, kedatangan In-tay memang termasuk cepat. Apakah Kim-kiam-hiap mempunyai sayap dan bisa terbang mendahului mereka? Kalau tidak, siapa pula yang melepaskan pedang emas barusan? Ditinjau dari kemampuan orang itu melepaskan senjata rahasia, jelas tenaga dalamnya telah mencapai puncaknya. Masa Kim-kiam-hiap memiliki ilmu memisahkan badan dan sekaligus berada di dua tempat?" Ternyata apa yang sedang direnungkan Leng-coa Mao Kau pada waktu itupun persis seperti apa yang dipikirkan Oh Ci-hui.
Diantara sekian banyak orang hanya Hwe-gan-kim-tiau Siau Ti seorang yang tertawa dingin tiada hentinya sambil menunjukkan sikap seakan-akan senang dengan adanya bencana yang menimpa orang.
Suasana kemurungan menyelimuti seluruh ruangan rumah makan itu dan mencekam perasaan setiap orang.
Tiba-tiba terdengar Mao Bun-ki menjerit kaget, lalu berseru dengan gugup, "Ayah! Coba lihat, tulisan yang tertera pada tangkai pedang itu tidak sama!"
Cepat Mao Kau mengamati pedang emas itu. Air mukanya kontan berubah hebat. Alis matanya bekernyit erat, sinar matanya memancarkan rasa kaget bercampur ngeri. Sikap semacam ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Sementara itu orang-orang yang agak rapat hubungannya dengan dia seperti Cu-bo-siang- hui, Pat-bin-ling-long dan lain-lain segera maju mendekat dan sama-sama memperhatikan kedua bilah pedang dengan seksama.
Kalau pada pedang yang pertama terukir tulisan "Kong-to-ci-kiam" atau pedang keadilan, maka pada pedang yang lain terukir kata yang berbunyi "Ih-hiat-hoan-hiat" atau dengan darah membayar darah, empat huruf yang mengerikan.
Air muka Leng-coa Mao Kau pucat pasi, segera ia menyerahkan kedua pedang kecil itu kepada Oh Ci-hui yang berada di sisinya, lalu mendongakkan kepala dan termenung.
Kembali Oh Ci-hui menimang kedua pedang emas itu sambil mengamatinya lagi, kemudian katanya, "Walaupun bentuk dan potongan kedua pedang ini sama, namun warna emasnya berbeda. Ai, urusan ini makin lama semakin aneh, sungguh membuat orang tidak habis mengerti."
Leng-coa Mao Kau yang berdiri di depan jendela sambil termangu-mangu itu mendadak tertawa seram, suaranya tak sedap didengar.
Dengan tercengang semua orang berpaling dan mengawasi pentolan dunia persilatan itu.
Kembali Mao Kau tertawa seram, katanya kemudian, "Peristiwa ini memang aneh, sungguh tak kusangka keparat she Siu itu betul-betul mempunyai keturunan yang akan membalaskan dendam baginya. Bagus, bagus sekali! Bagaimanapun setiap masalah pada saatnya memang harus diselesaikan. Aku juga ingin menghadapinya!"
Lalu ia mengibaskan lengan baju dan berjalan ke mulut tangga sambil berkata lagi, "Ting- lote, nona Lim, Oh-losam, kalian ikut aku pergi. Ho-losu urus persoalan disini, jagalah keponakan perempuanmu baik-baik dan mengantarnya sampai di Hopak." Ia berhenti di mulut tangga, lalu berpaling ke arah putrinya seraya menambahkan, "Anak Ki, segera kau pulang ke tempat gurumu. Sepanjang jalan jangan buang-buang waktu lagi."
Baru saja Bun-ki mengangguk, ayahnya lantas berpaling ke arah Bwe In-tay sekalian sembari berkata, "In-tay, Tang-san, kalian berdua beristirahat dulu disini, kemudian ikut Ho- susiok menuju ke Hang-ciu. Sepanjang jalan sekalian memberitahukan kepada semua saudara di daerah agar jangan mencampuri urusan apapun selama tiga bulan ini. Pelihara tenaga baik- baik sambil menantikan perintahku selanjutnya."
Gembong dunia persilatan ini memang tak malu sebagai seorang pemimpin. Walaupun saat ini dia rada gugup, namun pikirannya tak sampai kacau. Setiap patah katanya merupakan perintah yang tegas.
Tiba-tiba ia maju selangkah lagi, kemudian katanya pada Hwe-gan-kim-tiau berdua dengan suara dingin, "Hari ini aku orang she Mao takkan menyusahkan kalian lagi. Selama gunung tetap hijau dan air tetap mengalir, selanjutnya apakah kita akan bermusuhan atau berteman terserah kepada keputusanmu sendiri."
Selesai berkata, tanpa menggubris Siau Ti lagi, segera dia turun dari loteng itu. Siau Ti tertegun sejenak, lalu menghela napas panjang.
Sementara itu, Cu-bo-siang-hui melirik sekejap ke arahnya dengan pandangan dingin, lalu turun ke bawah loteng. Pek-poh-hui-hoa Lim Ki-cing tertawa dingin. Setelah melirik sekejap ke arah Ko Bun yang masih tidur mendekap meja, segera iapun berlalu.
Perasaan Hwe-gan-kim-tiau waktu itu sangat kusut. Selain mendongkol iapun agak putus asa. Dia tak mengira perjalanannya kali ini hampir saja mengantarnya ke liang kubur, apalagi bila terbayang kembali kilasan pedang yang nyaris menembus dadanya, mau tak mau jago tua yang sudah puluhan tahun tersohor dalam dunia persilatan ini merasa ngeri.
Akhirnya dia menghela napas panjang. Sambil mengelus jenggot dia turun dari loteng. Langkahnya nampak jauh bertambah tua.
Dalam waktu singkat, di atas loteng rumah makan itu tinggal beberapa orang saja.
Mao Bun-ki mendepak sebuah mangkok pecah, mangkok itu menggelinding ke bawah dan hancur berantakan.
Iapun menghela napas, lalu berkata kepada Thi-jiu-sian-wan, "Susiok, kutinggal di penginapan Khing-hok, sebelah kanan jalan. Setelah beristirahat setengah hari lagi segera kuberangkat. Bila engkau ada urusan penting yang harus diselesaikan, akupun tak perlu merepotkan dirimu lagi."
Waktu itu pikiran Thi-jiu-sian-wan sendiripun agak kacau. Mendengar perkataan itu dia lantas manggut-manggut, "Sepanjang jalan mesti hati-hati. Kalau memerlukan sesuatu, katakan saja kepadaku," pesannya. Bun-ki geleng kepala. Dia menghampiri Ko Bun, ia tepuk bahunya perlahan sambil berbisik, "Engkoh Bun, ayo bangun!"
Ko Bun mendongakkan kepalanya dan memandang sekejap ke sekeliling tempat itu dengan bimbang, lalu menggeliat dan menguap lebar-lebar. Perlahan dia bangkit berdiri, tertawa kepada Thi-jiu-sian-wan dan turut turun dari loteng.
Sin-kiam-sucia memandangi bayangan punggung kedua orang itu menjauh, diam-diam ia meludah dan menyumpah, "Sialan! Betul-betul kutu buku tak berguna!"
Rupanya anak muda inipun jatuh cinta terhadap Mao Bun-ki, tak heran kalau hatinya cemburu menyaksikan kemesraan kedua orang itu.
Baru saja Thi-jiu-sian-wan berkerut kening, terdengar suara langkah kaki menaiki anak tangga. Ternyata Pat-bin-ling-long Oh Ci-hui telah balik kembali.
Dengan terburu-buru dia naik ke atas loteng dan serahkan sebilah pedang emas kepada Ho Lim sambil memberi pesan dengan suara tertahan, "Toako suruh kau mengirim beberapa orang saudara yang dapat dipercaya untuk melakukan penyelidikan ke setiap toko emas di kota sekitar Tin-kang. Selidiki beberapa bulan belakangan ini apakah ada orang yang memesan pedang kecil dari emas seperti ini. Kalau ada, ingat baik-baik bentuk wajah orang itu dan berapa usianya. Tugas ini harus dilaksanakan cepat dan jangan sampai bocor."
Setelah berhenti sejenak, agaknya sedang mempertimbangkan sesuatu, akhirnya dia berbisik lagi di telinga Ho Lim, "Masih ada satu lagi. Harap sute mengutus beberapa Saudara dari Thi-ki-tui agar secepatnya menuju ke Oh-tang dan selidiki orang-orang kaya disitu apakah ada yang she Ko. Selidiki asal-usul dan keadaan keluarganya, lalu cepat laporkan kepadaku."
Thi-jiu-sian-wan Ho Lim mengiakan berulang kali.
Saat itulah Pat-bin-ling-long baru mengendurkan wajahnya yang tegang dan memperlihatkan senyuman.
"Selama beberapa hari ini, aku selalu melakukan perjalanan tiada hentinya. Benar-benar letih sekali. Sute, cepat siapkan santapan dan arak bagiku. Hahaha, lebih baik lagi bila panggil beberapa orang perempuan. Aku harus bersenang-senang dulu disini setengah harian. Malam ini aku mesti berangkat lagi ke Hang-ciu. Ai, kalau orang sudah jadi gemuk betul-betul semakin malas bergerak, tapi urusan makin lama semakin runyam dan terpaksa aku harus banyak bergerak."
Thi-jiu-sian-wan tersenyum, dia mengalihkan sorot matanya ke luar jendela. Sang surya sudah tinggi di tengah langit, tampaknya sudah dekat lohor lagi.
--- ooo0ooo --- Sambil menguap berulang kali Ko Bun mengikuti Mao Bun-ki turun dari loteng. Baru saja berbelok ke sebelah kanan, sekilas dilihatnya bayangan Pat-bin-ling-long Oh Ci-hui sedang mendekat secara bersembunyi-sembunyi.
Tergerak hati Ko Bun, tapi ia belagak tidak melihatnya. Ia mengikuti Mao Bun-ki dan menyeberangi jalan yang banyak dengan lelaki berbaju emas secara berkelompok.
Tiba-tiba Bun-ki menyikutnya sambil mengomel, "Coba lihat tampangmu, baru sehari tidak tidur, berjalan saja bergontai!"
Ko Bun tertawa, "Nona, aku tak bisa dibandingkan dengan dirimu. Engkau adalah seorang pendekar wanita yang pandai bermain golok, sedang aku tak becus. Apalagi setelah bergadang semalam suntuk, sekarang kakiku seperti tidak mau turut perintah lagi."
Mendengar itu Bun-ki tertawa cekikikan, "Coba lihat tampangmu yang rudin ini, kapan-kapan pasti akan kupaksa kau belajar silat. Kalau tidak, melihat keadaanmu yang begini lemah, dibandingkan seorang nona pun kalah. Sekali ditonjok orang pasti segera roboh."
Ko Bun tertawa, mendadak ia berhenti dan bertanya, "Hal lain saja aku tidak heran, ilmu silatpun aku tak ingin berlatih. Tapi ingin kutanya padamu, sebetulnya keanehan apa yang terdapat dalam pedangmu itu? Mengapa semua orang yang menyentuhnya seketika berloncatan macam monyet keselomot? Eh, apakah gurumu adalah seorang ahli main sulap?"
Bun-ki tertawa terpingkal-pingkal mendengar perkataan itu. Sembari menggeleng ia berkata, "Pertanyaanmu itu tak dapat kujawab."
Setelah berhenti sejenak, lalu dia melanjutkan, "Sekalipun pedang ini bukan pedang dewa, tapi kesaktiannya tak perlu diragukan. Sejak kecil guruku memang menggemari segala macam benda yang aneh. Beliau banyak mengorbankan pikiran dan tenaga, akhirnya baru berhasil membuat pedang ini. Sering kudengar ia bilang banyak pedang jaman kuno yang tersohor, tetap tak bisa melebihi kelihaian pedang ini. Hehehe pantas dia tak tahan, coba kau lihat si
gemuk semalam, dia "
Gadis yang cantik dan polos itu lantas tertawa cekikikan pula.
Mendadak dilihatnya wajah Ko Bun sama sekali tidak dihiasi senyuman, cepat ia hentikan gelak tertawanya dan mengalihkan pokok pembicaraan ke masalah lain.
"Ai, salahku sendiri. Apa gunanya kubicarakan hal ini denganmu?" demikian dia berkata dengan lembut. "Hei, aku ingin tanya padamu, setibanya di Hopak aku akan mencari guruku, dan kau, hendak kemana kau?"
"Soal ini "Ko Bun termenung sampai lama.
Mendadak dilihatnya dari depan muncul seorang berjubah panjang warna biru yang sudah memutih. Perawakannya jangkung. Meski pakaiannya jelek, namun wajahnya bercahaya, sama sekali tidak memperlihatkan tanda orang rudin. Orang itu langsung menghampiri Ko Bun, kebetulan Ko Bun memandangnya. Ketika empat mata bertemu, orang berbaju biru lantas tersenyum kepada Ko Bun.
Raut wajah orang ini kelihatan keras hati, diantara kerut alisnya tampak tiga garis kerutan yang dalam.
Dengan cepat orang berbaju biru itu lewat di samping Ko Bun. Ketika Ko Bun berpaling, kebetulan orang itu pun menoleh hingga empat mata kembali beradu pandang.
Merah wajah Ko Bun, buru-buru ia berpaling kembali, namun hatinya betul-betul terpesona oleh kegagahan orang berbaju biru tadi.
Mao Bun-ki segera mencibir dan mengomel pula, "Huh, orang bertanya padamu, kenapa kau tidak menjawab? Memangnya kau bisu atau tuli?"
Ko Bun memandang sekejap nona yang polos tapi agak binal itu, mendadak hatinya tersentuh, buru-buru dia berpaling ke arah lain. Sambil menuding rumah penginapan Khing-hok di depan sana, katanya sambil tertawa, "Bagaimana kalau kita pulang dulu ke rumah penginapan? Coba lihat, banyak orang di tepi jalan sedang mengawasi kita."
Bun-ki segera melirik sekejap ke sekeliling tempat itu. Benar juga, puluhan pasang mata sedang mengawasi mereka. Kontan saja pipinya berubah merah jengah.
"Aku tak takut dilihat orang. Mau lihat biarlah lihat, apa ruginya?" omelnya pula sambil melanjutkan perjalanan mengikuti Ko Bun kembali ke rumah penginapan.
Bun-ki binal dan cerdik. Dia pura2 marah dan berusaha merebut perhatian sang kekasih. Tapi selama ini Ko Bun hanya tersenyum belaka, sedikitpun tidak tertarik hatinya.
Tapi sikap Ko Bun ini tidak terlihat oleh Mao Bun-ki yang sedang mabok kepayang. Dia mengira hatinya sudah ada yang punya, maka segala cinta kasihnya hanya dilimpahkan kepada Ko Bun seorang.
Kalau dibilang Ko Bun berhati sekeras baja, jelas tidak. Hal ini terbukti sorot matanya maupun senyumannya terkadang juga menampilkan perasaan sayang. Tapi entah mengapa pemuda itu dapat mengendalikan perasaannya itu. Tiap kali timbul perasaan mesra seperti ini, dia selalu menutupinya dengan senyuman yang sukar diraba artinya.
Sekembalinya di rumah penginapan, Bun-ki segera bertanya macam-macam, termasuk maksud tujuan Ko Bun dan asal-usulnya. Sebab makin mendekati wilayah Hopak, berarti saat mereka untuk berpisah juga semakin dekat.
Sekalipun Bun-ki merasa berat hati, namun iapun tak berani tidak pergi ke tempat suhunya. Sebab itulah dia berusaha mencari tahu seluk beluk Ko Bun agar anak muda itu mau menyatakan hasrat akan menantikan dia.
Akan tetapi Ko Bun selalu menghindari pertanyaannya. Menyuruh pemuda itu bicara setulus hati rasanya lebih sukar daripada mendaki langit. Maka Bun-ki menjadi marah, dengan cemberut ia kembali ke kamarnya.
Ko Bun sendiri cuma tersenyum. Ia tidak menyusulnya, tapi seorang diri berdiam di dalam kamarnya sambil berjalan mondar-mandir. Kemudian ia minta alat tulis pada pelayan dan ditaruh di meja saja tanpa bermaksud menulis apa-apa.
Betul juga, selang tak lama, Mao Bun-ki muncul kembali di dalam kamarnya dan menemani Ko Bun berbincang-bincang dengan segala kelembutan hatinya. Ko Bun sendiri hanya tersenyum dan mendengarkan saja, ia tidak marah juga tidak gembira.
Berbincang dan berbincang, langitpun menjadi gelap. Bun-ki merasakan matanya semakin berat hingga akhirnya dia menguap dan menggeliat.
Maka Ko Bun pun menemaninya pulang ke kamarnya untuk tidur. Ia duduk di kursi tepi pembaringan. Dilihatnya gadis itu mulai pulas, sekulum senyuman tampak menghiasi bibirnya. Hati Ko Bun tidak tahan, pelahan dia menjulurkan tangannya hendak membelai tangan si nona yang berada di luar selimut.
Tapi baru saja tangannya terjulur ke depan, dengan cepat dia menariknya kembali. Kemudian berdiri dan diam-diam balik ke dalam kamar sendiri.
Setelah duduk termenung sejenak, dia ambil pinsil dan menulis sepucuk surat yang berbunyi
: "Orang berbaju biru, tiga puluh tahunan, berwajah kurus, diantara alis ada kerutan, mata bersinar tajam. Perhatikan gerak-gerik orang ini dan arah kepergiannya. Bila ada kabar segera laporkan."
Setelah berhenti dan termenung, ia berjalan bolak-balik di dalam kamar, lalu duduk kembali dan menulis lagi.
"Orang she Mao sudah kembali ke Hang-ciu, awasi gerak-geriknya. Ho Lim yang berada disini bila melakukan suatu gerakan harus segera laporkan kepadaku. Hati-hati dengan jejak kalian. Ingat! Ingat!"
Selesai menulis, dia membaca surat itu sekali lagi, kemudian melipatnya menjadi lipatan kecil, digenggam dalam tangan dl keluar dari rumah penginapan.
Dia mengawasi sekejap sekitar situ. Seorang lelaki berdandan sebagai calo muncul dari sudut jalan sana. Ko Bun segera menjentikkan jari tangannya. Lipatan kertas tadi segera melayang ke tangan orang itu.
Setelah menerima surat tadi, bagaikan tak pernah terjadi sesuatu dia lantas berlalu dari situ.
Ko Bun tetap berdiri di depan pintu sambil memandang kian kemari. Mendadak dia melihat sesuatu yang membuat hatinya bergetar keras.
Ternyata entah sejak kapan orang berbaju biru itu telah muncul disitu dan sedang memandang ke arah Ko Bun sambil tersenyum dan segera berlalu. Hal ini semakin mengherankan Ko Bun. Ia menunduk kepala dan tak berani lagi memperhatikan orang itu. Ia masuk ke dalam rumah penginapan. Ketika ia melirik lagi, ternyata orang berbaju biru itu sudah menghilang entah kemana.
Tidur Mao Bun-ki macam orang mati saja, tidur sejak sore sudah lewat tengah malam masih sangat nyenyak.
Bagaimana dengan Ko Bun sendiri? Dia sama sekali tidak kelihatan lelah atau mengantuk lagi. Malah dipesannya santapan dan arak, ia makan minum sendiri dengan lahap. Setelah makan minum, ia bersandar di pembaringan sambil memikirkan persoalan yang dihadapinya.
Sebetulnya apa yang sedang ia pikirkan? Tentu saja tak ada yang tahu, hanya saja wajahnya kini diliputi rasa sedih. Sebentar marah dan tiba-tiba tersenyum sendiri, seperti bangga akan sesuatu perbuatannya, tapi kemudian lantas berkerut kening lagi.
Menjelang tengah malam pelayan menutup pintu, memadamkan lampu dan tak lama kemudian segala macam suarapun hilang. Yang terdengar cuma suara kucing liar sedang mengeong tiada hentinya di atas rumah.
Tapi Ko Bun belum lagi tidur. Makin sunyi keheningan malam, pikirannya juga tambah bergolak. Suara kucing di luar sana semakin keras, bahkan kebetulan sekali berada di atas kamar Ko Bun. Dengan kening berkerut pemuda itu melompat turun dari pembaringan, membuka jendela dan melongok keluar.
Di depan sana adalah sebuah halaman panjang. Di halaman itu tumbuh pelbagai macam bunga yang sedang mekar. Diembus angin malam semilir dan sinar bulan yang lembut, bunga mekar itu ibarat gadis cantik yang sedang menari.
Di sebelah sana adalah dinding pekarangan yang tinggi. Waktu itu dalam halaman tak nampak sesosok bayanganpun, tapi suara kucing mengeong di atas atap rumah semakin keras.
Ko Bun memperhatikan sekejap ke sekeliling tempat itu, setelah yakin di sekitar situ tak ada orang, 'sastrawan yang lemah tak bertenaga' ini segera menyingsing jubah panjangnya dan melompat keluar melalui jendela.
Bagaikan segulung asap tubuhnya melayang keluar dan melambung di udara, kemudian dengan enteng dia hinggap di atap rumah.
Tanpa menimbulkan suara, Ko Bun berjalan di atas atap dan mengebaskan lengan bajunya ke arah kucing yang menjemukan itu. Sambil mengeong kucing tadi segera kabur jauh-jauh.
Ko Bun tersenyum, mendadak dari arah wuwungan rumah sebelah depan terdengar seorang berseru memuji, "Sungguh hebat kepandaianmu!"
Ko Bun terperanjat, sambil merentangkan tangan ia siap siaga, ia membentak dengan suara tertahan, "Siapa di situ?" Dari wuwungan rumah sebelah depan sana kembali terdengar suara tertawa dingin. Sesosok bayangan hitam melompat sejauh empat tombak bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya. Kemudian dengan beberapa kali lompatan lagi ia hendak kabur ke tempat kegelapan.
Setelah jejaknya ketahuan, sudah barang tentu Ko Bun takkan membiarkan orang itu kabur dengan begitu saja. Baru saja orang berbaju hitam itu melejit pergi, segera ia menerjang ke depan seraya membentak tertahan, "Sobat, tunggu sebentar!"
Tapi gerak tubuh orang berbaju hitam itu cepat sekali, baru saja Ko Bun menerjang ke depan, orang itu sudah kabur jauh. Tanpa ragu lagi Ko Bun segera mengejar, sekali melompat iapun melesat sejauh empat tombak lebih.
Ilmu meringankan tubuh kedua orang sama-sama telah mencapai puncaknya. Hanya dalam beberapa kali lompatan saja, mereka telah melewati puluhan wuwungan rumah.
Ko Bun terkesiap, pikirnya, "Jika orang ini sekomplotan dengan Mao Kau, sungguh akan mendatangkan bahaya."
Berpikir demikian dia percepat larinya dengan harapan bisa menyusul orang itu.
Tapi orang berbaju hitam itu melompat pergi lebih dulu, selisih jarak mereka sudah tujuh- delapan tombak. Tapi setelah Ko Bun 'tancap gas', jarak mereka makin lama semakin pendek dan tinggal empat-lima tombak saja.
Diam-diam Ko Bun terkejut oleh kecepatan orang berbaju hitam itu, sebaliknya orang berbaju hitam itupun terkejut oleh kelihaian ilmu meringankan tubuh Ko Bun. Dia tak menyangka seorang pemuda lemah lembut ternyata memiliki tenaga dalam sedemikian hebatnya. Kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, siapapun takkan percaya.
Dalam sekejap mereka telah berada di luar kota. Di depan adalah tanah datar dan kelihatan hutan yang lebat.
Ko Bun makin gelisah. Dia tahu bila orang menyusup masuk ke dalam hutan niscaya dia akan mengalami kesulitan untuk membekuknya.
Tempat itu sunyi senyap, segera Ko Bun mempercepat pengejarannya sambil membentak, "Sobat, buat apa main sembunyi? Kita sama-sama lelaki, ada urusan apa boleh dibicarakan berhadapan, kenapa kau kabur terus? Jika kau tetap lari, jangan menyesal bila aku takkan sungkan-sungkan lagi."
Orang berbaju hitam itu tertawa terbahak-bahak, dia malah percepat larinya ke depan. "Hahaha, saudara tak perlu sungkan, "katanya, "kalau bicara soal main sembunyi, mungkin
kau lebih pandai daripadaku."
Diam-diam Ko Bun menggerutu di dalam hati.
Sementara pembicaraan berlangsung, orang berbaju hitam itu sudah makin mendekati hutan itu. Dalam keadaan begini, Ko Bun merogoh saku dan mengambil semacam senjata rahasia, bentaknya, "Sobat, jika kau tidak berhenti segera orang she Ko akan melepaskan senjata rahasia."
Dia tak ingin melukai orang dengan cara menyergap, maka terlebih dahulu memberi peringatan kepada lawan.
"Hahaha, bagus sekali! Bagus sekali!" seru orang itu bergelak, "memang ingin kucoba kelihaian saudara. Kutahu Saudara orang ahli senjata rahasia, silakan melancarkan seranganmu."
Dengan kening berkerut Ko Bun bergerak maju ke depan, tangan kanan segera diayunkan. Desing angin tajam secepat kilat menyambar punggung orang berbaju hitam itu.
Serangan ini sangat lihai, tampaknya senjata rahasia itu segera akan bersarang di tubuh orang itu. Siapa tahu orang itu mendadak tertawa mengejek. Tanpa berpaling telapak tangannya diayunkan membalik, iapun melepaskan senjata rahasia.
"Trang!" kedua macam senjata rahasia itu saling beradu di udara lalu rontok ke tanah.
Kembali orang berbaju hitam itu tertawa, segera dia berhenti dan berpaling. Dengan tersenyum aneh dia awasi Ko Bun yang sedang mendekat.
Waktu itu bintang dan rembulan menghiasi angkasa, angin berembus sepoi-sepoi mengiringi bunyi serangga bagaikan paduan suara di malam sunyi.
Ketika Ko Bun melepaskan serangannya tadi, dia melihat orang berbaju hitam di depan membalikkan tangannya dan melepaskan selarik cahaya keemasan yang tepat sekali menghantam senjata rahasia sendiri hingga sama-sama rontok ke tanah.
Hal ini membuat Ko Bun tertegun, cepat iapun menghentikan gerakan tubuhnya sambil berpikir, "Tanpa berpaling orang ini sanggup merontokkan senjata rahasiaku, kepandaiannya sungguh hebat sekali. Sedang senjata rahasia yang digunakanpun memancarkan sinar emas, jangan-jangan orang ini memang dia?"
Perlu diketahui, meski usianya masih sangat muda, namun sejak dilahirkan ia telah belajar silat. Orang-orang yang mengajarkan ilmu silat kepadanya juga semuanya tokoh sakti dunia persilatan.
Kalau bicara soal 'mendengarkan suara menentukan arah' untuk merontokkan sambitan senjata rahasia orang bukanlah sesuatu yang mengejutkan, tapi Ko Bun tahu tenaga sendiri yang disertakan dalam sambitan senjata rahasia tadi disertai kekuatan yang tak mungkin bisa ditahan oleh jago silat biasa.
Tapi kenyataannya sekarang orang itu sanggup merontokkan senjatanya dengan mudah. Tak heran Ko Bun terkesiap dan menduga-duga siapa gerangan jago lihai ini. Ketika ia mendongakkan kepalanya, tertampak orang itu sedang memandang ke arahnya sambil tersenyum. Diantara kerut alis matanya terlihat ada kerutan dalam, mukanya seperti sudah dikenalnya. Ternyata dia adalah si sastrawan berbaju biru yang dijumpainya siang tadi.
Dia masih tetap mengenakan pakaian berwarna biru, cuma karena keadaan agak gelap sehingga sulit membedakan apakah pakaian itu berwarna biru atau hitam.
Dengan sorot mata yang tajam sastrawan berbaju biru itu memandang sekejap ke arah Ko Bun, mendadak ia menjura dan tertawa terbahak-bahak.
"Bilamana aku mengganggumu di tengah malam, harap Saudara suka memaafkan!" katanya. "Hahaha, kata 'mengganggu' tak berani kuterima, "sahut Ko Bun sambil tertawa pula. "Meski
aku orang bodoh, tapi sejak berjumpa dengan Saudara pagi tadi segera kutahu engkau adalah seorang kosen, cuma saja "
Dia berhenti sambil berkerut kening lalu melanjutkan, "Malam2 Saudara berkunjung, entah ada urusan apa?"
Sastrawan berbaju biru itu tersenyum, "Saudara adalah naga diantara manusia, sudah lama kuingin berkenalan denganmu, sayang tak ada kesempatan. Maka terpaksa kugunakan cara ini untuk berjumpa denganmu."
Perlahan dia berjongkok dan memungut sesuatu dari tanah.
Ko Bun berkerut kening, cepat ia meraih ke depan, berusaha merampasnya lebih dulu.
Siapa tahu di tengah gelak tertawa sastrawan berbaju biru itu sudah menyurut mundur, sementara di tangannya telah bertambah dengan dua bilah pedang kecil berwarna emas yang bentuknya serupa.
Ko Bun agak terlambat turun tangan sehingga benda miliknya keburu dipungut lawan, dia menjadi terkesiap.
"Cepat betul gerak tubuh orang ini "demikian pikirnya.
Ketika ia angkat kepalanya, tertampak olehnya sastrawan berbaju biru itu sedang mempermainkan kedua bilah pedang emas tadi, sambil tersenyum lalu berkata, "Ehm, ternyata serupa benar "
Tapi segera sastrawan itu berseru tertahan lagi sambil membaca dengan lirih, "Dengan darah membayar darah, dengan darah membayar darah "
Salah satu diantara kedua bilah pedang emas tersebut lantas diangsurkan ke hadapan Ko Bun, katanya, "Pedang ini milik Saudara. Hahaha, kalau di atasnya tak ada tulisan, niscaya sulit bagiku untuk membedakan!"
Di bawah sinar rembulan tampak wajah Ko Bun yang dingin kaku tanpa emosi. Dengan termangu dia mengawasi pedang emas di tangan orang, sampai lama ia baru mendongakkan kepala dan tertawa nyaring, "Hahaha, Saudara ini Kim-kiam-tayhiap yang sudah lama termashur di dunia persilatan itu. Sudah lama kudengar nama besarmu, tak nyana hari ini bisa berjumpa "
Perlahan dia menjepit gagang pedang itu dengan dua jari.
Meski senyuman masih menghiasi wajah mereka berdua, tapi kedua pihak tampaknya berniat mengadu kekuatan. Masing-masing pihak telah menghimpun segenap tenaga dalam pada jari tangan.
Dalam waktu singkat, pedang kecil berwarna emas yang panjangnya cuma belasan senti itu tertarik oleh jari tangan mereka sehingga mulur, makin lama semakin panjang.
Tiba-tiba sastrawan berbaju biru itu bergelak tertawa sambil menarik kembali tangannya. Dengan tersenyum katanya, "Tak heran dalam dunia persilatan tersiar berita yang mengatakan ilmu silat Kim-kiam-tayhiap makin lama semakin hebat. Cara kerjanyapun makin lama semakin misterius. Rupanya semua itu adalah buah karya Saudara. Meski aku tak ada niat membonceng jasamu itu, tapi lantaran orang bilang begitu, terpaksa akupun menerimanya."
Dengan pandangan hambar, Ko Bun memandang sekejap pedang emas yang telah berubah menjadi sepotong tongkat pendek itu. Lalu katanya dingin, "Sebenarnya aku lagi heran mengapa di kota kecil ini bisa muncul seorang jago selihai ini. Sekarang baru kuketahui engkau inilah Kim-kiam-tayhiap. Mungkin lantaran anda dengar bahwa di dunia persilatan telah beredar barang palsu, maka kau datang kemari untuk melakukan penyelidikan."
Tangannya mendadak diayunkan ke depan, 'pedang' yang dipegangnya segera meluncur dan menancap di atas tanah. Yang tertinggal hanya 'gagang pedang' yang masih bergetar tiada hentinya di permukaan tanah.
Sastrawan berbaju biru itu hanya melirik sekejap tanpa berubah senyuman yang menghiasi bibirnya, katanya, "Ucapan Saudara keliru besar. Bahwasanya dengan pedang emas anda telah melakukan kebajikan dan kemuliaan dalam dunia Kangouw, semua yang kau lakukan merupakan apa yang sanggup kulakukan selama ini. Justru aku malah berharap bisa muncul beberapa 'barang palsu' lagi seperti Saudara. Dengan begitu keadilan dan kebenaran dalam dunia persilatan dapat semakin ditegakkan "
Agak merah wajah Ko Bun, pikirnya, "Orang bilang Kim-kiam-tayhiap adalah seorang gagah dan berjiwa luhur. Setelah berjumpa hari ini dapat diketahui nama besarnya memang bukan nama kosong belaka. Bukan saja aku telah mencatut namanya, sekarangpun mengejeknya, tapi kenyataannya dia tidak marah. Sebaliknya malahan bersikap sebaik ini kepadaku. "
Berpikir sampai disini, tanpa terasa timbul perasaan simpatiknya terhadap sastrawan berbaju biru itu.
Perlu diketahui, sejak kecil ia sudah hidup sengsara dengan beban dalam hati. Sedang musuh besarnya rata-rata adalah jagoan pedang yang paling top di dunia persilatan dewasa ini dengan kaki tangan yang tersebar luas dimana-mana. Dia tahu meski dirinya secara kebetulan mendapatkan penemuan aneh yang sukar diperoleh orang lain, namun bila hendak digunakan untuk membalas dendam tetap bukan sesuatu yang gampang.
Oleh karena itu cara kerjanya sehari-hari selalu berhati-hati, kuatir jejaknya ketahuan orang hingga persoalannya terbongkar. Padahal dia seorang yang peramah, tapi karena pelbagai alasan membuat dia mesti waspada terhadap setiap orang. Tak heran kalau sikapnya terhadap sastrawan berbaju biru inipun kurang simpatik.
Sastrawan berbaju biru itu terus menerus mengawasi wajahnya dengan sorot mata yang tajam, di bawah sinar rembulan wajahnya kelihatan tanpa emosi, tapi sebenarnya hatinya tidak tenang.
Ketika sorot mata mereka kembali bertemu, diam-diam Ko Bun menghela napas panjang, katanya kemudian, "Aku mempunyai asal-usul yang menyedihkan, banyak hal tak bisa kuceritakan. Bila kuganggu dirimu, harap sudi memaafkan "
Setelah berhenti sebentar, katanya lagi, "Saudara adalah seorang lelaki sejati, seorang kesatria tulen, bila engkau tidak menolak untuk berkenalan denganku, hal ini merupakan penghormatan bagiku, di kemudian hari bila ada jodoh, masih ingin kumohon petunjukmu."
Maksud perkataannya cukup jelas, yakni dia hendak mohon diri.
Tapi sastrawan berbaju biru itu seakan-akan sama sekali tidak paham maksud perkataannya, dia malah tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, namaku Hong-ceng, she Toan-bok, sampai sekarang akupun belum tanya nama anda yang terhormat."
Ko Bun menarik muka dan siap berlalu dari situ, sepatah katapun tidak menjawab.
Karuan air muka sastrawan berbaju biru itu agak berubah, pikirnya, "Dengan maksud baik aku ingin berkenalan, mengapa jual mahal?"
Sudah barang tentu dia tak tahu asal-usul Ko Bun merupakan suatu rahasia besar, bila ada orang bertanya namanya hal itu justru merupakan pantangan yang paling besar.
Berpikir demikian, ia lantas mendengus, mendadak ia melompat ke depan Ko Bun, tangannya terentang mengalangi jalan perginya.
Kembali Ko Bun menarik muka seraya berkata dengan dingin, "Saudara, apa maksud tujuanmu?"
Si sastrawan berbaju biru alias Toan-bok Hong-ceng berkerut kening, kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, katakan siapa nama Saudara? Mengapa kau bersikap begini kepadaku? Apakah diriku tidak memadai menjadi sahabatmu?" Meskipun senyuman masih menghiasi ujung bibirnya, namun nada suaranya jelas tidak sungkan lagi.
Pucat wajah Ko Bun, sebentar lagi wajahnya berubah menjadi merah lalu dari merah berubah pucat pula. Agaknya dia sedang berusaha keras mengendalikan hawa amarahnya.
"Dengan Saudara, aku bukan sanak bukan kadang, kitapun tidak terikat oleh perselisihan apapun, boleh dibilang kita tak pernah saling mengenal. Mengapa Saudara mesti menyelidiki nama dan asal-usulku?"
Setelah berhenti sebentar dan tertawa dingin, lalu Ko Bun menyambung, "Apalagi meski aku mempergunakan pedang emas sebagai senjata rahasia, tapi belum pernah mencatut nama Kim-kiam-tayhiap. Apakah di kolong langit hanya kau saja yang boleh mempergunakan pedang emas sebagai senjata rahasia?"
Toan-bok Hong-ceng tertegun, kemudian tertawa dan menjawab, "Benar, benar, setiap orang memang berhak mempergunakan pedang emas. Benda itu bukan monopoli Toan-bok Hong- ceng seorang, hanya saja "
Senyum yang semula menghias bibirnya kini lenyap tak berbekas, lanjutnya pula, "Istilah 'barang palsu' tadi juga muncul dari mulut saudara sendiri, aku tidak pernah menyebut demikian."
Ucapan orang membuat Ko Bun tertegun, untuk sesaat lamanya ia tak sanggup bicara.
Terdengar Kim-kiam-hiap Toan-bok Hong-ceng itu menyambung lebih jauh, "Bila kubilang tiada hubungan apa-apa denganku, hal inipun tidak kusetujui sepenuhnya."
"Memang ada hubungan apa antara kau dan aku?" bentak Ko Bun, "apakah kau "
Belum lanjut perkataannya, Toan-bok Hong-ceng telah menukas dengan tertawa, "Saudara, tahukah kau bahwa harta karun Sam-cai-po-cong yang telah kau angkat dari dasar telaga itu sesungguhnya adalah harta benda milikku?"
Air muka Ko Bun berubah hebat, dia menyurut mundur tiga langkah, kemudian sambil menuding serunya, "Sebenarnya siapa kau, kenapa bisa tahu "
Tiba-tiba ia berganti nada dan berseru, "Siapa yang telah mengambil Sam-cai-po-cong, apakah kau menyaksikan sendiri aku yang mengambilnya?"
"Tentu saja, "sahut Toan-bok Hong-ceng dengan tertawa, "dengan mata kepala sendiri kusaksikan Saudara mengambil harta karun Sam-cai-po-cong tersebut."
Dia lantas merogoh saku dan mengeluarkan secarik kertas tipis terbuat dari kulit kambing. Mungkin lantaran usianya sudah kelewat tua maka warnanya telah berubah menjadi kuning.
Toan-bok Hong-ceng membentangkan kertas kulit kambing itu dan diangsurkan ke hadapan Ko Bun, kemudian katanya lagi, "Benda apakah ini, tentunya Saudara pernah melihatnya bukan?" Melihat benda yang dibentangkan di depan matanya itu, air muka Ko Bun berubah hebat. Lama sekali dia termenung tanpa menjawab.
Toan-bok Hong-ceng tersenyum. Sambil melipat kembali kertas kulit itu, ujarnya lagi, "Inilah peta rahasia harta karun Sam-cai. Sewaktu aku mendapatkannya mungkin jauh sebelum Saudara memperolehnya. Cuma sayang waktu itu aku sedang tekun belajar silat sehingga tak mungkin memencarkan perhatian mengurus hal tersebut. Kurang lebih setahun yang lalu, waktu itu ilmu silatku telah berhasil, maka harta karun yang sudah berusia ratusan tahun itu mulai kucari dengan mengikuti petunjuk peta rahasia ini."
Ko Bun menundukkan kepala sambil termenung, lalu gumamnya lirih, "Lebih setahun yang lalu "
Mendadak ia melotot dan berkata, "Mengapa pada waktu itu Saudara tidak mengambilnya?"
Toan-bok Hong-ceng tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, waktu itu aku hanya seorang diri, meskipun ada niat mengambil harta karun itu, namun kurang tenaga. Walau telah kumasuki tempat harta karun, terpaksa pulang dengan tangan hampa. Mestinya ingin kucari beberapa orang pembantu untuk menyelam dan megambil harta, tapi selama ini aku sudah terbiasa hidup malang melingtang seorang diri, untuk mencari pembantu memang gampang, tapi sulit untuk kulaksanakan."
Bicara sampai disini, perlahan dia masukkan kertas kulit itu ke saku dan melanjutkan, "Lagipula harta Sam-cai-po-cong tersebut berada di dasar telaga. Bukan saja orang yang akan mengambilnya harus mahir menyelam dan lagi harus memiliki jiwa pendekar. Selain itu harus tak ada sangkut pautnya dengan keluarga Siau. Bila salah satu saja dari ketiga hal ini tak terpenuhi, tidak nanti kuminta bantuannya untuk mengambil harta karun itu."
Diam-diam Ko Bun mengangguk.
Perlahan Toan-bok Hong-ceng mengacungkan tiga jari tangannya dan melanjutkan, "Setelah kupikirkan pulang pergi akhirnya kuputuskan di dunia saat ini hanya Ngo-oh-sam-liong (tiga naga dari lima telaga) yang merupakan keturunan Ngo-oh-liong-ong (raja naga lima telaga) Liong Cai-thian saja yang selain mahir menyelam juga lihai ilmu silatnya. Semua berjiwa pendekar, tidak kemaruk harta dan merupakan tiga jagoan yang betul-betul jujur. Bila aku bisa minta bantuan ketiga orang ini untuk mengambil harta barulah segala sesuatu akan berjalan lancar."
Air muka Ko Bun kembali berubah hebat, katanya dengan suara tertahan, "Sayangnya ketiga orang itu belum tentu ada waktu luang."
"Pendapatmu memang betul, "kata Toan-bok Hong-ceng dengan tertawa, "Sudah dua puluh tahun Ngo-oh-liong-ong lenyap dari keramaian dunia. Secara beruntun Ngo-oh-sam-liong pun turut mengasingkan diri, padahal aku tiada hubungan apa-apa dengan mereka, mana mungkin mereka mau meluluskan permintaanku? Tapi penyakit ingin coba-coba selalu menghinggapi setiap orang, meski tahu tiada harapan toh hal ini ingin kucoba juga." Ko Bun tertawa dingin, sambil bergendong tangan dia memandang bintang yang bertaburan di langit.
Sebaliknya dengan senyum tak senyum Toan-bok Hong-ceng sedang memandangnya, kemudian melanjutkan, "Setelah bersusah payah, akhirnya aku mendengar bahwa setelah mengasingkan diri, Ngo-oh-sam-liong tinggal di Tiong-heng-to, sebuah pulau di muara sungai Tiangkang. Tanpa pikir lagi aku berangkat kesana. Siapa tahu setiba di pulau Tiong-beng, Ngo- oh-sam-liong telah pergi meninggalkan pulau itu. Hanya dua orang bocah saja yang menunggui pulau itu."
"Waktu itu aku merasa heran, kalau Ngo-oh-sam-liong sudah mengasingkan diri, mengapa tiba-tiba meninggalkan pulaunya. Waktu kutanyakan kepada kedua bocah penunggu itu, mula- mula kedua bocah itu tidak mau menjawab. Tapi setelah kudesak lebih lanjut, akhirnya mereka menerangkan apa yang sesungguhnya terjadi "
Sesudah berhenti sebentar, dia melanjutkan, "Menurut ceritanya beberapa hari sebelumnya telah datang seorang pemuda tampan mengajak suhunya berbicara semalam suntuk. Malam itu suhunya lantas pergi bersama pemuda itu. Kutanya mereka apakah sebelum suhu kalian meninggalkan pesan dia pergi kemana? Kedua bocah itu saling pandang. Tampaknya enggan bicara, maka akupun berkata bahwa aku sudah bersahabat puluhan tahun dengan gurunya. Kedatanganku ini lantaran ada urusan penting. Bila dia bicara terus terang pasti suhunya tak akan marah."
Mendengar sampai disini, Ko Bun tertawa dingin, "Hm, tak kusangka, selain lihai dalam ilmu silat, kaupun pandai bersilat lidah. Coba orang lain, mungkin kedua bocah itu tak mau bicara apa-apa."
Selesai berkata dia mendengus pula dan memandang ke langit.
Toan-bok Hong-ceng sebaliknya seakan-akan tidak tahu sindirannya, katanya sambil tertawa, "Terimakasih atas pujianmu."
Ko Bun mendengus dan tidak menggubrisnya.
Terdengar Toan-bok Hong-ceng berkata lagi, "Waktu itu kedua bocah itu mengamati diriku beberapa kejap kemudian baru berkata, 'sebelum pergi suhu membawa serta pakaian menyelam yang sudah lama tak pernah dijamah, katanya hendak ke Hongtik-oh, paling cepat satu bulan dan paling lambat tiga bulan pasti akan kembali. Bila tuan ada urusan penting hendak menunggu kedatangannya, silakan tunggu saja disini.' Mendengar perkataan itu, aku terperanjat. Kupikir jangan-jangan mereka telah diundang orang untuk mencari harta karun itu. Tapi aku pura-pura menolak, 'tidak, tidak usah ' Aku lantas meninggalkan mereka. Kudengar
kedua bocah itu berteriak dari belakang, 'Mengapa tuan tidak minum teh dulu?" Meski aku suka pada kedua bocah itu, tapi lantaran buru-buru harus mengurus harta karun Sam-cai-po-cong terpaksa aku tidak menghiraukan mereka lagi dan segera pergi."
Ko Bun masih saja memandang awan di angkasa, lalu tertawa mengejek, "Tentu saja, kedua bocah itu orang macam apa? Mana mereka setimpal bicara dengan Kim-kiam-tayhiap?" "Apapun juga sesungguhnya aku tak bermaksud jahat terhadap dirimu, mengapa Saudara menyindirku berulang kali?" seru Toan-bok Hong-ceng sambil tertawa.
Ko Bun mendengus dan tidak bicara lagi.
Toan-bok Hong-ceng lantas melanjutkan ceritanya," Siang dan malam tanpa berhenti aku menuju ke Hongtik-oh, tempat harta karun itu terpendam. Waktu itu sehari sebelum Tiong-ciu, semua rumah merayakannya dengan gembira. Di tepi telagapun diliputi suasana musim gugur. Di tengah keheningan malam, tertampak ada tiga-lima bayangan sedang kasak-kusuk di tepi telaga yang sepi itu."
Air muka Ko Bun berubah, sorot matanya mendadak beralih ke wajah Toan-bok Hong-ceng.
Toan-bok Hong-ceng tidak mengacuhkannya, kembali ceritanya, "Aku bersembunyi di balik semak-semak yang rimbun lebih kurang tujuh tombak dari tepi telaga. Kulihat diantara mereka ada tiga orang berpakaian selam. Ada lagi seorang pemuda tampan dan seorang meski tak kukenal, tapi dilihat dari tubuhnya yang kekar dan sinar matanya yang tajam, bisa diketahui dia adalah seorang jago lihai yang bertenaga dalam sempurna."
"Dalam hati aku berpikir, tiga orang yang berpakaian selam itu pastilah Ngo-oh-sam-liong. Tapi siapakah pemuda lembut itu? Aku tambah heran setelah menyaksikan sikap orang-orang itu terhadap pemuda tersebut sangat menghormat. Aku tidak tahu siapa dan berasal dari manakah pemuda itu?"
Sambil berbicara dengan senyum dikulum dia melirik ke arah Ko Bun berulang kali.
Air muka Ko Bun juga berubah beberapa kali, katanya, "Jika pemuda itu mengetahui tempat penyimpanan harta karun, sudah barang tentu iapun memiliki peta rahasia. Padahal Ciangbun- cosu Siau-lim-pai telah membagi peta itu menjadi tiga bagian dan tidak ditegaskan harta karun akan dimiliki siapa. Itu berarti barang siapa mendapatkannya lebih dulu, dialah yang berhak. Kau sendiri terlambat selangkah, mengapa menyalahkan orang lain? Sedang pemuda itu itu bisa memiliki peta rahasia, jelas iapun mempunyai asal-usul tertentu, kenapa kau mesti menyelidikinya terus menerus?"
Toan-bok Hong-ceng tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, ucapanmu sungguh cocok dengan pikiranku. Waktu itu akupun sudah berpendapat demikian. Kalau pemuda itu memiliki peta rahasia, itu berarti kalau dia bukan murid Siau-lim-pai pastilah ahli waris Hay-thian-ko-yan, tokoh sakti yang termashur itu "
"Kalau begitu Saudara berasal dari Bu-tong-pai?" tukas Ko Bun dengan kening berkerut.
Segera pula ia menyadari duduknya perkara, pikirnya, "Pantas Cing-hong-kiam Cu Pek-ih dari Bu-tong-pai tadi tidak menunjukkan reaksi apapun ketika para jago lain sama panik, pasti dia diberitahu oleh Kim-kiam-hiap bahwa harta karun itu telah diambil. Maka Bak-it Siangjin dari Siau-lim-pai pun tanpa banyak bicara segera angkat kaki." Dalam pada itu, Toan-bok Hong-ceng lantas tertawa terbahak-bahak, "Saudara memang bermata tajam. Betul, aku memang berasal dari Bu-tong-pai."
Tergerak lagi hati Ko Bun, ia berpikir pula, "Sejak Pek-locongsu mati, Bu-tong-pai kekurangan orang pintar. Setahuku, kungfu jago paling tangguh dari Bu-tong-pai dewasa ini, Cing-hong-kiam Cu Pek-ih pun tidak terlalu tinggi. Aneh juga, kenapa Toan-bok Hong-ceng ini memiliki ilmu kepandaian sedemikian lihainya?"
Sementara dia memikirkan persoalan itu, Toan-bok Hong-ceng telah melanjutkan kisahnya. "Walaupun pikiranku terus bekerja, mataku mengawasi pula kelima orang itu. Kudengar
mereka sedang berbicara dengan suara lirih."
"Kudengar pemuda lembut itu lagi tertawa, 'Kalau begitu, aku mesti merepotkan Saudara Liang!?'. Ketiga orang berpakaian selam itu menjawab, 'Tidak berani, Saudara membawa perintah dari ayah kami, sekalipun mengharuskan kami bertiga terjun ke lautan apipun kami tak akan membantah.'"
"Seraya berkata dia menerima beberapa utas tali dari rekannya dan terjun ke dalam air. Rupanya ketiga orang itu benar-benar adalah Ngo-oh-sam-liong yang termashur itu. Sedemikian lihainya mereka, sampai waktu terjunpun air tidak nampak berbuih."
Setelah berhenti sebentar, dia melanjutkan, "Disamping kagum atas kelihaian ilmu menyelam ketiga bersaudara keluarga Liong, akupun merasa heran Ngo-oh-liong-ong Liong Cai-thian, Liong-loyacu yang sudah lenyap dari dunia persilatan semenjak dua puluh tahun yang lalu dan tak seorangpun tahu dimana dia berada, tapi pemuda yang masih muda belia itu mengapa bisa tahu orang tua itu, bahkan membawa pula tanda pengenalnya sehingga ketiga Liong bersaudara bersedia mengikutinya? Dengan segera aku sadar jangan-jangan apa yang dibicarakan pemuda itu dengan Ngo-oh-sam-liong seperti apa yang dituturkan kedua bocah penunggu pulau adalah urusan keadaan Liong-locianpwe belakangan ini sehingga membuat ketiga Liong bersaudara itu sebentar tertawa sebentar menangis."
"Hm!" Ko Bun mendengus. "Tak heran Saudara dapat menjagoi dunia persilatan. Setelah berjumpa hari ini baru kuketahui engkau memang amat cerdik. Segala persolan apapun tak dapat lolos dari pengamatanmu."
"Tidak berani... tidak berani, "seru Toan-bok Hong-ceng sambil tertawa. "Saudara terlalu memuji diriku, padahal waktu itu aku juga merasa bingung. Kulihat pemuda dan lelaki itu masing-masing memegang ujung seutas tali dan berdiri di tepi telaga kemudian tangan mereka terangkat sambil mundur belasan tombak ke belakang. Aku terkejut, kuatir tempat persembunyianku ketahuan. Siapa tahu sebelum tiba di bawah pohon, tangan mereka terangkat lagi ke atas. Air terpercik kemana-mana dan muncul empat buah peti. Cepat mereka melompat maju. Dengan cekatan mereka menarik ke empat peti tersebut dan diseret ke atas tanah."
"Saat itulah baru kutahu, si lelaki itu meski nampaknya berilmu tinggi, sesungguhnya kepandaian anak muda itu jauh melebihi kepandaiannya." Kembali sorot matanya beralih ke wajah Ko Bun, lalu tersenyum penuh arti, "Tak seberapa lama, mereka telah menaikkan belasan buah peti yang nampaknya berat. Ngo-oh-sam-liong pun melompat ke permukaan air. Dari lelaki kekar itu mereka menerima sebotol arak dan cepat diminum beberapa ceguk, kemudian sambil tertawa mereka berkata, 'Sungguh beruntung kami dapat menyelesaikan tugas.' Sedang si pemuda pun buru-buru menjura dan mengucapkan terima kasih."
"Kemudian dia membuka peti dan memandangnya sekejap. Waktu itu meski aku berada lebih kurang sepuluh tombak jauhnya dari tempat mereka, namun lamat-lamat dapat kulihat mimik wajahnya. Meski tersembul senyumannya namun bukan senyuman kegirangan. Tanpa terasa kukagumi pemuda itu. Nyata dia bukan sembarangan orang."
Ia memandang sekejap ke wajah Ko Bun, kemudian melanjutkan, "Setelah melirik sekejap, pemuda itu membisikkan sesuatu kepada lelaki rekannya. Meski aku sudah memasang telinga tetap tak dapat kudengar apapun. Tiba-tiba lelaki itu bersuit nyaring. Dari empat penjuru sekeliling tepi telaga segera bermunculan tujuh-delapan lelaki kekar yang masing-masing membawa sebuah karung goni. Diam-diam aku bersyukur. Coba kalau aku kurang hati-hati, niscaya jejakku sudah ketahuan orang."
Ko Bun tersenyum, tukasnya, "Bicara tentang kepandaian silat, sekalipun kepandaian lelaki itu sepuluh kali lipatpun jangan harap akan bisa menemukan jejakmu."
Toan-bok Hong-ceng tertawa, kembali mereka beradu pandang dan masing-masing sama menunjukkan pengertian yang mendalam. Hanya saja Ko Bun juga was-was dalam pandangan itu seakan-akan kuatir rahasianya akan diketahui oleh Kim-kiam-hiap.
Sambil tersenyum Toan-bok Hong-ceng berkata pula, "Setelah melompat keluar, kawanan lelaki berpakaian ringkas itu berdiri dengan tangan lurus ke bawah. Pemuda itu memberi tanda, segera mereka membongkar seluruh isi peti itu ke dalam karung. Dari jauh kulihat isi peti itu gemerlapan, ternyata semuanya berisikan emas intan dan mutu manikam yang tak ternilai harganya."
"Dalam waktu singkat, belasan peti itu sudah tinggal peti kosong saja dan segera diserahkan kepada lelaki setengah umur yang cekatan itu. Pemuda itu tersenyum, lamat-lamat kudengar dia seperti berkata begini, 'Saudara Liong, . . . simpan di tempatmu . . . . pasti kudatang
semua ini berkat bantuanmu.'"
"Lelaki itu memberi hormat, lalu mengajak kawanan lelaki lain berlalu. Meski semua lelaki kekar itu membawa sekarung barang yang berat, namun langkah mereka sangat gesit, jelas kepandaian mereka tidak rendah."
"Kemudian, apakah diam-diam kau menguntitnya?" sela Ko Bun dengan kening berkerut.
Toan-bok Hong-ceng tersenyum, "Sebetulnya aku ingin mengikuti mereka, tapi ketika kualihkan kembali sorot mataku, kulihat entah darimana pemuda tadi sudah mendapatkan sebuah peti kecil lagi. Kemudian kulihat dia memasang sesuatu benda di dalam belasan peti kosong tadi. Dari tempat jauh aku tak bisa melihat jelas, tapi kutahu benda itu sebangsa alat jebakan dan sebagainya. Dia bekerja tiada hentinya. Tak lama kemudian dia berbangkit dan bergelak tertawa, 'Dengan darah membayar darah! Kini kalianpun boleh merasakan bagaimana rasanya disergap orang secara licik ' Setelah berhenti sejenak, dia menambahkan 'Cuma,
aku mesti merepotkan Saudara Liong lagi."
Setelah mengambil napas panjang, dia menyambung pula, "Beberapa patah kata itu diutarakan dengan nyaring, maka aku bisa mendengarnya dengan jelas. Kulihat Ngo-oh-sam- liong tertawa bersama seraya berkata, 'Kenapa engkau sungkan-sungkan, bila dibutuhkan tenaga kami katakan saja secara langsung.' Selesai berkata, seorang membawa sebuah peti dan mencebur lagi ke dalam air, sedang pemuda itu sambil menggendong tangan memandang angkasa seraya bergumam, cuma sekali ini dia bergumam lirih hingga tak sepatah katapun kudengar."
Ko Bun tertawa dingin. Dia berjongkok dan mencabut pedang emas yang menancap di tanah. Pedang tersebut masih berbentuk lempengan yang panjang.
Toan-bok Hong-ceng melirik sekejap pemuda itu kemudian melanjutkan, "Tak seberapa lama kemudian, Ngo-oh-sam-liong telah menceburkan kembali belasan peti besi itu ke dalam air. Kukira urusan bakal selesai sampai disitu, siapa tahu pemuda itu lantas mengeluarkan selembar kertas kulit. Sekilas pandang saja kutahu itulah peta rahasia harta karun. Aku heran dan tak tahu hendak diapakan peta tersebut dibuat jadi lipatan kecil, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah peti kecil berwarna emas, lalu katanya kepada Ngo-oh-sam-liong, 'Jangan kalian kira kertas ini benda tak berguna. Ini merupakan umpan yang amat berharga, apalagi jika tulang ini sampai ditemukan anjing-anjing yang sedang kelaparan Hehehe, waktu itu kita akan
mendapat tontonan menarik "
Mencorong sinar mata Ko Bun, katanya sambil tertawa dingin, "Rupanya segala sesuatunya dapat kau dengar dengan amat jelas."
Toan-bok Hong-ceng terbahak-bahak, "Hahaha, bukan cuma kudengar jelas, bahkan kusaksikan pula dengan jelas."
Ko Bun mendelik, dengusnya, "Dulu terdapat seorang yang amat pintar, persoalan apapun di dunia tak bisa mengelabuhi dia. Ia sendiri amat bangga, siapa tahu malaikat menganggap apa yang didengarnya dan apa yang dilihatnya sudah kelewat banyak, apa yang dipikirnyapun kelewat banyak, maka dia dijadikan seorang yang bodoh, tuli dan bisu. Sebaliknya orang yang lebih pintar daripadanya meski apa yang didengar dan dililhatnya lebih banyak, namun tidak banyak bicara. Akhirnya orang itu malah bisa hidup aman sentosa sampai akhir hayat."
Sorot matanya beralih ke wajah Toan-bok Hong-ceng, lanjutnya dengan suara dingin, "Saudara, tahukah kau kiasan cerita tersebut?"
Toan-bok Hong-ceng mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, cerita itu memang menarik sekali, umpama diriku, walaupun kutahu pemuda itu menjadikan peta rahasia harta karun itu sebagai umpan dan jatuh ke tangan anggota Kai-pang, tapi entah apa yang dilakukan kemudian ternyata Thi-jiu-sian-wan pun mengetahui berita ini sehingga dia membunuh murid Kai-pang itu, lalu secara diam-diam ia mengabarkan kepada keluarga Siau, pihak Siau-lim-pai dan Kiong-sin Leng Liong dari Kai-pang dengan mengatakan peta rahasia itu telah jatuh ke tangan Thi-jiu-sian-wan "
Setelah berhenti sebentar dan mengawasi ke sekeliling tempat itu, dia melanjutkan, "Selain itu akupun tahu sebabnya pemuda tersebut berbuat demikian adalah karena dia dendam pada Leng-coa Mao Kau, maka sengaja dia menghasut umat persilatan agar bersama-sama memusuhinya. Sehebat-hebatnya Mao Kau dengan komplotannya jangan harap sanggup menghadapi kekuatan umum dunia persilatan!"
Ko Bun mendengus dan berkata, "Tentunya kaupun tahu bahwa pemuda tersebut ialah diriku."
"Benar!"
Belum lenyap suara orang serentak Ko Bun membentak sambil menerjang maju, cahaya emas berkelebat, langsung dia menusuk dada Toan-bok Hong-ceng.
"Siapakah sebenarnya kau? Apa sangkut pautmu dengan orang she Mao itu?" bentak Ko Bun.
Walaupun ancaman itu sudah berada di atas jalan darah Ji-soan-hiat di dadanya, namun Toan-bok Hong-ceng tidak berkelit. Dia malah mendongakkan kepala sambil tertawa keras.
Ko Bun tertegun, mendadak ia tarik kembali serangannya sambil tetap menggetarkan pedangnya. Cahaya emas segera menyelimuti sekitar jalan darah penting di tubuh orang, namun tidak melukainya.
"Persoalan ini sedikitpun tidak lucu, "bentak Ko Bun, "Bila kau berani tertawa lagi. "
Belum habis ucapannya, Toan-bok Hong-ceng telah menghentikan suara tertawanya dan mendengus, "Aku tertawa karena melihat wajahmu mirip orang pintar, tak tahunya pertanyaan yang kau ajukan ternyata sangat bodoh!"
Baru saja Ko Bun tertegun, segera orang itu menyambung pula, "Apakah kau tahu musuh Leng-coa Mao Kau yang paling besar saat ini adalah diriku? Apakah kau tahu Thi-soan-cu Ki Mo mampus di tangan siapa? Jika aku mempunyai hubungan dengan Leng-coa Mao Kau, apakah saat ini kau bisa bermesraan dengan putri kesayangannya yang cantik jelita bak bidadari kayangan itu?"
Selesai berkata, kembali ia tertawa terbahak-bahak.
Seketika berkecamuk pelbagai pikiran dalam benak Ko Bun, pelahan pedang emaspun diturunkan ke bawah.
Kembali Toan-bok Hong-ceng berhenti tertawa, ia menatap wajah Ko Bun lekat-lekat, lalu berkata pula, "Sejak mengintip Saudara dari tepi telaga tempo hari, diam-diam aku merasa kagum bercampur heran terhadap kemampuan Saudara, maka beberapa hari belakangan ini setiap saat aku selalu memperhatikan gerak-gerikmu. Kulihat meski usia Saudara masih muda, namun cara kerjamu amat cermat, bahkan manusia licik macam Leng-coa Mao Kau pun kena kau kibuli. Bahkan kulihat kaupun amat dendam kepadanya, sehingga apa yang kau gunakan hampir semuanya menirukan apa yang pernah dia lakukan, meski dalam beberapa hal kau lebih kejam. Akupun melihat semua perbuatan dan tindakan yang kau lakukan tak ada yang menyimpang dari keadilan. Meski aku jarang bergaul, tapi terhadap Saudara, aku ingin bersahabat dengan sesungguh hati. Maka bila kau sangka aku mempunyai maksud lain, sungguh hal ini membuat aku kecewa sekali."
Ko Bun mendongakkan kepala dan menatapnya, ia lihat sorot mata Toan-bok Hong-ceng menampilkan kegagahan yang mengagumkan, ini membuat hatinya menyesal. Setelah menghela napas, katanya kemudian, "Aku memang mempunyai dendam kesumat sedalam lautan pada Mao Kau, sekalipun kucincang dia juga belum bisa melampiaskan rasa benciku. Oleh karena itu seperti apa yang kau katakan, dalam banyak hal mungkin tindakanku agak licik dan kejam "
Ia berhenti sebentar, sinar matanya memancarkan rasa benci yang tebal. Kejadian tragis masa lampau seakan-akan terbayang kembali dalam benaknya.
Setelah termenung sejenak, kembali dia berkata, "Bukannya aku tak ingin berterus terang kepadamu, sesungguhnya berhubung masalah ini menyangkut sebab dan akibat yang luas, masalahnya sendiripun amat ruwet, kuharap keu memaklumi dan tidak menyalahkan diriku."
"Malam ini kudatang mengganggu, sebetulnya dikarenakan suatu persoalan, "Toan-bok Hong-ceng dengan tertawa.
"Asal kutahu, tentu akan kukatakan."
"Meski selama beberapa hari ini aku telah banyak memahami Saudara, namun masih ada satu hal yang membuat aku tidak mengerti. Kumohon suka kau jelaskan kepadaku."
Sesudah berhenti sejenak, dia melanjutkan, "Kuduga peta rahasia milikmu pasti hasil pemberian Hay-thian-ko-yan. Kulihat kaupun mempunyai hubungan yang luar biasa dengan Ngo-oh-liong-ong Liong-locainpwe. Bahkan kulihat sistem senjata rahasia yang Saudara pasang dalam peti besi itu, jelas mirip sekali dengan sistem alat jebakan yang sering dipergunakan oleh Seng-jiu-sianseng pada puluhan tahun lampau. Padahal kedua orang Locianpwe itu sudah lama lenyap. Entah cara bagaimana Saudara bisa mendapatkan warisan ketiga orang Locianpwe itu sekaligus?"
Ko Bun tersenyum, "Ketiga orang Locianpwe itu sama-sama mengasingkan diri di sebuah pulau terpencil di luar lautan. Berkat jerih payah ketiga cianpwe itulah aku dapat tumbuh menjadi manusia."
"Aha, pantas semuda ini anda sudah menguasai ilmu silat begini lihai, rupanya engkau adalah murid ketiga orang locianpwe tersebut, "ucap Toan-bok Hong-ceng sambil tertawa.
"Akupun ingin mengajukan suatu pertanyaan kepada Saudara, "kata Ko Bun dengan tertawa. "Hahaha, asal aku tahu, pasti akan kukatakan, "sahut Hong-ceng. "Tolong tanya, Saudara ini murid Totiang yang mana dalam Bu-tong-pai?"
"Sebenarnya aku hanya seorang pelajar yang gemar mengumpulkan buku kuno. Bahkan risalah-risalah yang tak lengkappun suku kukumpulkan. Suatu ketika aku menemukan kitab pusaka peninggalan seorang locianpwe perguruan Bu-tong-pai. Peta rahasia itu kutemukan terselip dalam kitab tadi."
"Hahaha, pantas kau hebat, "Ko Bun tergelak.
Ketika ia mendongakkan kepala, dilihatnya Toan-bok Hong-ceng sedang termenung seperti lagi mengenang sesuatu, dia lantas berpikir, "Jangan-jangan orang inipun mempunyai kenangan masa lalu yang getir?"
Tiba-tiba terdengar Toan-bok Hong-ceng menghela napas panjang, lalu berkata, "Tujuh belas tahun yang lalu aku terhitung seorang sastrawan rudin. Suatu waktu aku berpesiar dan kebetulan memergoki sekawanan penyamun mengadang suatu rombongan pengawal barang dari Ceng-wi-piaukiok yang berasal sekota denganku. Tanpa bicara mereka merampok barang kawalan tersebut dan melemparkan uang rampokan ke jalan raya. Selagi aku tercengang tiba- tiba muncul seorang tojin berpedang dan bertanya kepadaku apakah ingin belajar ilmu dan beliau mau menerimaku sebagai murid. Kulihat tojin itu berasal serombongan dengan kawanan penyamun itu. Dengan sendirinya permintaannya kutolak."
Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan, "Kemudian aku baru tahu kawanan bandit itu dipimpin oleh Leng-coa Mao Kau. Maka setelah tamat belajar kungfu, akupun mulai turun tangan membegal setiap barang kawalan perusahaan pengangkutan yang ada hubungannya dengan orang she Mao itu."
Ia mendongakkan kepala dan tergelak, lalu menyambung, "Ini namanya dengan cara yang sama kita bayar kembali kepada mereka."
Kedua orang itu saling bertatap pandang lalu bertepuk tangan dan tertawa terbahak-bahak.
Rasa curiga yang semula menyelimuti benak Ko Bun terhadap Kim-kiam-hiap pun kini tersapu bersih.
Sejak kecil hingga dewasa, waktu paling gembira yang pernah dialaminya sebagian besar dilewatkan di pulau terpencil yang luasnya hanya beberapa ratus li saja. Orang yang bergaul dengannya kalau bukan guru tentu angkatan tuanya. Meski semua tokoh persilatan yang berdiam di pulau itu menyayanginya, tapi oleh karena perbedaan usia yang menyolok, apalagi mereka sudah bosan dengan urusan duniawi, kehidupan selama berpuluh tahun di pulau terpencil itu membuat mereka hidup hambar. Maka walaupun mereka sayang kepada Ko Bun, tak pernah rasa sayang tersebut diperlihatkan pada wajahnya.
Oleh karena itulah sejak kecil boleh dibilang Ko Bun belum pernah merasakan hangatnya persahabatan. Ditambah lagi cita-citanya adalah untuk membalas dendam, hal ini membuat jiwanya serba terkekang. Tapi sekarang, setelah dapat berbincang-bincang dengan Toan-bok Hong-ceng secara santai dan riang, lambat laun dia mulai merasakan makna sesungguhnya dari kata 'persahabatan' tersebut. Perasaan semacam ini belum pernah dirasakan sebelumnya.
Di tengah embusan angin yang menggoyangkan dedaunan, kedua orang itu berjalan berdampingan dengan riangnya.
Tiba-tiba Toan-bok Hong-ceng berkata, "Kini fajar telah menyingsing. Walaupun aku ingin berbincang lebih lama lagi dengan Saudara, tapi sayang kutahu Saudara pun tak dapat berdiam lama disini. Untung waktu selanjutnya masih panjang. Kesempatan buat bersuapun masih banyak. Asal Saudara tidak keberatan, setiap waktu aku dapat mengunjungimu, cuma "
Setelah menghela napas, dia melanjutkan, "Bila Saudara bercita-cita membalas dendam, kau harus lebih waspada lagi. Ketahuilah, Leng-coa Mao Kau adalah seorang licik dan licin. Meski di luar dia seperti tidak menaruh curiga kepadamu, tapi belum tentu demikian halnya di dalam hati. Saudara gagah dan tampan, namun sejak dulu hingga sekarang, banyak kesatria yang terjerumus karena cinta. Maka akupun berharap Saudara dapat menimbang secara bijaksana dalam hal bercinta."
Terkesiap Ko Bun mendengar ucapan itu, serunya kemudian dengan sungguh-sungguh, "Nasihat Saudara takkan kulupakan."
Tanpa terasa ia terbayang akan nasib ayahnya dan Sik Ling, bukankah merekapun korban 'cinta'? akibatnya yang satu mati muda dan yang lain hidup sengsara.
Diam-diam ia menghela napas panjang, dilihatnya sorot mata Toan-bok Hong-ceng memancarkan sinar kejujuran. Tanpa terasa digenggamnya tangan pemuda itu erat-erat sebelum berpisah.
--- ooo0ooo ---
Rembulan sudah terbenam, cahaya bintang semakin pudar, berdiri di tengah embusan angin pagi, dengan termangu-mangu Ko Bun mengawasi bayangan punggung Toan-bok Hong-ceng. Ia merasa orang itu bagaikan seekor naga sakti yang pergi datang sukar diraba, terutama apa yang diucapkannya sebelum pergi itu telah menggugah perasaannya.
Sambil mendongakkan kepala memandang angkasa, ia bergumam sedih, "Siu Su , wahai
Siu Su walaupun namamu Siu Su (permusuhan disudahi), namun sakit hati ayah tak boleh
diabaikan. Akan tetapi dapatkah kaulupakan ibumu yang telah memeliharamu serta tujuannya memberi nama tersebut kepadamu? Bila kaubunuh musuhmu, apakah hal ini tak akan menyedihkan ibu? Dan bila tidak kaubalas dendam, apakah kau punya muka untuk bertemu dengan arwah ayahmu di alam baka?"
Setelah menghela napas panjang, gumamnya pula dengan sedih, "O Thian, berilah petunjuk apa yang mesti kulakukan? O ayah kutahu betapa dalamnya cintamu kedada ibu, tapi demi
engkau, terpaksa kubikin ibu bersedih hati " Ia mengentak kaki beberapa kali, lalu melanjutkan, "Aku tak peduli manusia macam apakah dirimu, tapi kutahu engkau seorang tua yang jujur dan lurus. Engkau tak mungkin melakukan perbuatan rendah. Siapapun yang membunuh engkau, tetap akan kubalaskan dendam bagimu, sekalipun sekalipun orang itu adalah saudara kandung ibu sendiri."
Fajar sudah menyingsing, buru-buru dia balik ke kota. Sudah bulat tekadnya, persoalan macam apapun tak kan mempengaruhi dan mengubah tekadnya yang diucapkan sebelum meninggalkan pulau Hay-thian-ko-to, yakni membalas dendam.
Mungkin dia tak akan membunuh Leng-coa Mao Kau dengan tangan sendiri, akan tetapi dia akan membuat gembong dunia persilatan yang termashur itu mati dalam perangkap yang akan diaturnya.
Siu Su, inilah nama asli pemuda "Ko Bun", dia putra Siu Tok yang menjadi korban keganasan Mao Kao, cara bagaimana dia akan menuntut balas ?
Siapa pula sesungguhnya pemuda Toan-bok Hong-ceng ?