Tujuh Pedang Tiga Ruyung Jilid 03

Jilid 03

Pada saat yang gawat itulah, tiba-tiba Thia Ki memutar lehernya yang gemuk itu ke kiri. Cahaya pedang segera menyambar lewat sisi kepalanya.

"Bedebah!" maki penyergap itu. "Beraninya menganiaya orang perempuan, terhitung jago macam apa kau? Hari ini aku orang she Sik akan beradu jiwa denganmu!"

Ujung pedangnya bergetar, cahaya pedang segera menyambar lagi ke batok kepala Thia Ki.

Terpaksa Thia Ki menyelamatkan diri sendiri lebih dulu, lengannya berputar, "cring", pedang orang diselentiknya ke samping.

Tapi penyerang itu tidak keder oleh kungfu orang yang lihai itu. Pedangnya berputar lagi "sret-sret", kembali dua kali tabasan kilat dilancarkan.

Itulah jurus serangan berantai 72 kali yang maha lihai.

Dari serangan gencar dan makian Sik Ling itu, Mao Ping tahu anak muda itu salah paham terhadap kedua orang aneh dari laut selatan ini, segera bentaknya, "Sik Ling, berhenti!"

Sementara Sik Ling tertegun, pedangnya kembali terjentik orang hingga miring ke samping. Tapi ilmu pedang aliran Bu-tong memang lihai. Gerakannya sama sekali tidak teralang akibat selentikan tersebut. Namun setelah mendengar seruan Mao Ping, mau tak mau ia batalkan serangan berikutnya.

Dengan rasa heran, ia pandang wajah Mao Ping dengan penuh tanda tanya, cepat Mao Ping menambahkan , "Kita adalah orang sendiri "

Tiba-tiba wajahnya merah, cepat ia membetulkan kata-katanya, "Mereka tidak bermaksud jahat terhadap kita!"

"Huh, sikap mereka sekasar ini, masa tiada maksud jahat?" Sik Ling makin keheranan.

Walaupun jalan darah Sik Ling tadi tertutuk, akan tetapi orang tidak bermaksud jahat padanya, maka tutukan itu tidak berat. Dengan mengerahkan tenaga dalam aliran Bu-tong- painya, jalan darah itu segera dapat dibebaskan.

Dia dan Mao Ping adalah sahabat karib sejak kecil, tentu saja ia sangat menguatirkan keselamatan gadis itu. Setelah jalan darahnya lancar kembali, cepat ia jemput pedangnya dan menyusul ke sana. Waktu itulah dilihatnya Mao Ping sedang dipegang kedua orang aneh itu dengan air mata bercucuran. Menyaksikan kejadian ini, Sik Ling tidak mempedulikan lagi kehebatan Hua-kut-sin-kun lawan, secara nekat ia menerjang maju. Sayang kungfunya masih ketinggalan jauh, sekalipun ia berniat mengadu jiwa juga tak ada gunanya.

Ketika Mao Ping mencegahnya menyerang, ia heran. Waktu ia menunduk, tiba-tiba dilihatnya tulisan Siu Tok di atas tanah. Seketika pedih hatinya, kontan pedangnya terkulai lemas ke bawah.

Sudah lama ia menaruh hati kepada Mao Ping. Kemudian Mao Ping rela mengorbankan tubuhnya demi membantu kakaknya, kebetulan waktu itu ia tak berada di Kanglam. Ketika ia pulang, meski wajah Mao Ping tidak kurang apapun, namun hatinya telah berubah.

Sik Ling tahu hubungan Siu Tok dengan Mao Ping, apalagi setelah membaca tulisan "Siu Tok" di atas tanah, pahamlah dia, pikirnya, "Pantas ia bilang orang sendiri!"

Semakin dipikir makin kecut hatinya, "Salahku sendiri banyak urusan, "pikirnya. Agaknya Mao Ping merasa menyesal terhadap pemuda itu.

Sedangkan Thia Ki dan Poa Cian melotot beberapa kejap pada Sik Ling dengan gemas. Meski sedikit teman mereka, tapi mereka sangat simpati terhadap sahabat. Mereka tahu Mao Ping pasti mempunyai hubungan yang akrab dengan Siu Tok, bisa jadi anak dalam kandungan Mao Ping adalah anak Siu Tok. Maka ketika melihat Sik Ling saling bertatapan dengan gadis itu, timbul perasaan yang tak senang. Mereka lantas mengucapkan beberapa patah kata yang tidak dimengerti Sik Ling dan Mao Ping.

Habis berkata, tiba-tiba mereka bergerak tanpa menimbulkan suara, tahu-tahu mereka melesat pergi. Baru saja Mao Ping keheranan dan berpaling ke arah Sik Ling, mendadak pandangan terasa kabur. Kedua orang aneh itu melayang balik dengan tangan masing-masing memegang dua kaki kudanya.

Satu ingatan lantas terlintas dalam benaknya, sekarang dia baru tahu mengapa tadi ia merasa seperti terbang di awang-awang meski kudanya tak bergerak.

Sik Ling juga tercengang oleh kehebatan kungfu dan keanehan tingkah laku kedua orang itu.

Belum lama dia berkecimpung dalam dunia persilatan, tapi sejak kecil ia digembleng guru ternama. Banyak kejadian aneh dalam dunia persilatan yang didengarnya, tapi sekarang ia benar-benar tak mengerti dari manakah datangnya kedua manusia aneh ini.

Sementara itu Thia Ki dan Poa Cian telah membawa kuda itu ke depan Mao Ping. Mereka tertawa, tangan bergerak cepat, mereka menyambar tubuh gadis itu dan mendudukannya di atas kuda.

Sik Ling terkejut, bentaknya, "Hei, mau apa?"

Belum lenyap suaranya, kedua orang itu lantas mengangkat kuda berikut Mao Ping di atasnya dan berlalu dari situ. Dalam sekejap saja bayangan tubuh mereka sudah lenyap dari pandangan. Lama sekali Sik Ling termangu-mangu, ia tahu betapapun dirinya tak mampu menyusul orang itu. Iapun tahu meski gerak-gerik kedua orang itu sangat aneh, namun tidak ada niat jahat.

Tapi kemana mereka hendak membawa Mao Ping? Kenapa mereka melarikan gadis itu? Kondisi badan Mao Ping memang lemah, apalagi sedang berbadan dua, mungkinkah dia akan mengalami cedera?

Diam-diam ia menggertak gigi, pikirnya, "Bagaimanapun aku harus menyelidiki jejaknya sampai jelas. Mungkin tindakanku ini sok mencampuri urusan orang, tapi bila aku tidak berbuat demikian hatiku takkan tenang selamanya."

Meskipun sedari kecil ia masuk perguruan Bu-tong dan sepanjang tahun bergaul dengan kaum tosu yang alim, namun dasar wataknya memang suka bebas, terutama urusan yang menyangkut cinta, betapapun sukar dielakannya.

Begitulah dengan penuh semangat ia menyarungkan kembali pedangnya dan segera mengejar ke depan . . .

--- ooo0ooo ---

Siang waktu berlalu dengan cepat, tahu-tahu 17 tahun sudah lampau.

Setiap orang yang sering melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, baik di jalan raya, di atas jembatan daerah Kanglam, atau di warung kecil pada saat fajar baru menyingsing, atau di tengah kota yang ramai menjelang malam tiba, tentu akan menjumpai seorang lelaki setengah umur yang bertubuh tegap tapi berwajah murung berjalan mondar-mandir sambil bergendong tangan.

Dilihat dari sikapnya itu, dia seolah-olah sedang mencari sesuatu, tapi oleh karena menanggung kecewa yang terlalu lama, ia tidak menaruh harapan terlalu besar lagi terhadap apa yang sedang dicarinya.

Itulah sebabnya dalam sekilas pandang ia tampak kemalas-malasan dan ogah-ogahan sehingga pedang yang tergantung di pinggangnyapun ikut terkulai malas, malahan sarung pedangnya terseret pada permukaan tanah, bergesek bila berjalan hingga menimbulkan suara yang menusuk telinga.

Bagi orang yang berpengalaman dunia Kangouw tentu tahu lelaki setengah umur yang ganteng tapi malas ini tak lain tak bukan adalah seorang jago termashur pada 17 tahun yang lalu, dia adalah murid Leng-gong-kiam-kek, seorang tokoh Bu-tong-pai yang termashur pada masa lalu, Sik Ling adanya.

Padanya memang terlekat suatu kisah cinta yang menarik dan mengharukan. Kini, sekalipun ada orang mengetahui kisah cinta ini, paling-paling mereka juga cuma menyembunyikan kisah itu di dalam hati dan tak berani dibicarakan. Sebab kisah tersebut selain menyangkut Sik Ling, juga menyangkut tokoh nomor wahid dunia persilatan dewasa ini - Leng-coa Mao Kau.

Sekarang, bilamana ada orang persilatan berani mencari perkara pada Mao-toaya, maka itu berarti mencari penyakit untuk diri sendiri, sedang Leng-coa Mao Kau justru paling pantang ada orang membicarakan kisah cinta tersebut.

Waktu berlalu dengan cepatnya, tanpa terasa 17 tahun sudah lewat sejak kematian Siu Tok. Selama 17 tahun ini tentu saja dalam dunia persilatan sudah banyak terjadi peristiwa, tapi semua itu sudah banyak yang dilupakan orang, seperti buih dalam air, sekali meletup lantas lenyap tanpa menimbulkan pergolakan apapun.

Namun peristiwa Siu Tok masih terpendam di dalam hati semua orang, sebab walaupun orangnya sudah mati, tapi sisa tulang jenazahnya telah menempati posisi yang sangat penting dalam dunia persilatan. Peristiwa ini belum pernah terjadi sepanjang sejarah dunia persilatan yang beratus-ratus tahun lamanya itu.

Leng-coa Mao Kau telah memperalat sisa tulang Siu Tok untuk merebut posisi yang amat penting dalam dunia persilatan, meski ia tidak mendirikan perguruan, tapi Jian-kut-leng (lencana sisa tulang) dianggap sebagai mestika bagi umat persilatan. Sebab barangsiapa bila ingin berkecimpung dalam dunia persilatan, maka dia harus tunduk pada perintah Jian-kut-leng.

Lencana Jian-kut-leng terbuat dari sisa tulang jenazah Siu Tok. Tokoh "tujuh pedang tiga ruyung" yang terlibat dalam peristiwa berdarah dahulu itu sekarang sudah hilang dua orang. Sedang Ong It-peng sejak cacat lengannya jadi sudah merosot sekali pamornya. Tapi berkat Jian-kut-leng yang dibuat dari sisa tulang Siu Tok itu mereka masih menduduki posisi tertinggi dalam dunia persilatan.

Masalah ini tak pernah dipikirkan Sik Ling. Dia berkelana menjelajah dunia tak lain hanya ingin mencari Mao Ping. Tapi sepanjang 17 tahun ini ia sudah menjelajahi ujung timur-barat kedua sungai besar dan lintasan utara-selatan sungai besar, bahkan keluar perbatasan sampai gurun pasir, namun jejak Mao Ping ibaratnya sebatang jarum tenggelam di dasar samudar, sukar ditemukan.

Maka watak Sik Ling pun berubah. Ia berubah menjadi pemurung dan tak teratur hidupnya. Sifat ini berbeda seklai dengan wataknya masa lalu. Sampai-sampai gurunya, Leng-gong-kiam- kek, ikut sedih menyaksikan keadaan muridnya ini.

Banyak teman dan sahabat dunia persilatan yang kenal dia ikut pula merasa sedih dan sayang atas nasib yang menimpanya.

Kini musim semi telah tiba. Suasana di jalan raya menuju wilayah Kanglam sangat ramai. Sik Ling juga sudah pulang kembali ke Kanglam meski pakaiannya tidak perlente lagi, namun cukup rajin dan bersih bagi seorang yang kerjanya hanya berkelana. Hal ini sudah merupakan sesuatu yang langka. Dengan kesepian ia duduk di atas punggung kudanya yang kurus. Ia ikat tali kendali kudanya pada pelana, ia biarkan binatang itu berjalan semaunya, sementara sinar matanya mengawasi orang yang berlalu lalang dan pepohonan hijau di sepanjang jalan.

Tanpa terasa ia bersenandung pelahan.

Tiba-tiba dari kejauhan sana tampak debu mengepul tinggi . . . .

Dengan tak acuh, Sik Ling memandang kesana. Dilihatnya muncul serombongan penunggang kuda sedang melarikan kudanya dengan cepat.

Yang berani membedal kuda secepat ini di jalan raya biasanya kalau bukan kawanan opas atau hamba negara yang sedang bertugas, hanya para anak buah Leng-coa Mao Kau saja yang berani melakukan hal semacam ini. Satu ingatan lantas terlintas dalam benak Sik Ling, "Entah apa yang terjadi?"

Dalam waktu singkat rombongan penunggang kuda itu sudah mendekat, sayang tak sempat terlihat wajah mereka karena debu mengepul terlampau tebal. Dalam waktu singkat mereka sudah menjauh dan meninggalkan tabir debu di udara.

Dengan jemu dan dongkol Sik Ling mengusap debu pada wajahnya, lalu melanjutkan perjalanannya ke depan. Lamat-lamat ia merasakan ada dua penunggang kuda lainnya berada di belakangnya. Tapi iapun tidak berpaling, sebab selama sekian tahun ia tak pernah berhubungan lagi dengan orang persilatan, karena itu iapun tak perlu kuatir disergap orang seperti dulu.

Tapi suara percakapan yang dilakukan kedua orang itu mau tak mau menarik juga perhatiannya.

"Kali ini Leng-coa pasti menemukan sasaran besar. Coba lihatlah, kesepuluh muridnya telah turun tangan sendiri. Dapat diketahui betapa cemasnya dia, ketika datang dari utara kali ini. Sudah kudengar berita ini waktu berada di Po-teng."

"Konon Mao-lotoa telah menurunkan perintah Jian-kut-leng. Rupanya dia telah menggunakan separuh kekuatannya untuk menghadapi pemuda itu."

"Oleh soal itu aku kurang tahu, "kedengaran suara lain menanggapi, "Cuma, bila orang itu berani mencari perkara pada Mao-lotoa, agaknya kurang melek matanya?"

"Ya, pada mulanya akupun mengira matanya kurang terbuka, "kata orang pertama dengan logat utaranya, "tapi seterusnya kudengar meski orang itu baru muncul dari perguruan, tapi kungfunya hebat sekali. Semua barang kawalan Mao-lotoa, baik barang gelap atau terang, dia selalu mampu membegalnya."

Sesudah berhenti sejenak, dia melanjutkan, "Yang lebih aneh lagi, setiap kali berhasil membegal barang kawalannya, tak pernah ia membawa kabur hasil begalannya, tapi memporak-porandakannya di tengah jalan dan membiarkan orang lalu mengambil sesukanya. Sedang ia sendiri sepeserpun tidak mengambil." Tampaknya orang itu gemar berbicara, dengan logat utaranya yang serak basah ia bicara seenaknya seperti di rumah sendiri.

Sik Ling dapat menangkap semua pembicaraan itu dengan jelas, tiba-tiba terpikir olehnya, "Jangan-jangan ada orang hendak membalas dendam bagi kematian Siu Tok?"

Serta merta ia menghubungkan pula peristiwa itu dengan Mao Ping, maka ia coba memperhatikan pembicaraan itu lebih jauh lagi . . . .

"Orang itu benar-benar manusia aneh, eh, menurut pendapatmu, mungkinkah orang ini ada sangkut pautnya dengan peristiwa belasan tahun yang lalu?"

Setelah mendengus, sambungnya lagi, "Ketika aku melakukan pengawalan barang ke Siamsay tempo hari, sempat kujalin persahabatan dengan seorang murid Wan-yang-siang- kiam. Dia beritahu padaku, katanya peran utama itu takkan selesai begitu saja terutama pesan 'sepuluh tahun kemudian, dengan darah membayar darah', kabarnya segera akan berwujud, maka kukira "

Mendadak ia berhenti bicara.

Rekannya lantas bergelak tertawa, "Hahaha, kau ini benar-benar penakut, orang she Siu itu sudah mampus, kalau tidak selesai begitu saja lantas mau apa? Lagipula ia tak beranak dan tak bermurid, juga tak punya sobat karib, setelah mampus badanpun tak utuh. Siapa yang akan membalaskan sakit hatinya?"

Orang yang pertama itu segera mendengus dan merasa tak setuju.

Lalu orang kedua berkata lagi, "Sepuluh tahun kemudian, dengan darah membayar darah. Sekarang 20 tahun pun hampir tiba, terus terang kuberitahu padamu, si pencari gara-gara pada Mao-lotoa itu konon adalah seorang lelaki berusia tiga puluhan tahun, selamanya berkelana sendirian. Bila melihat hal-hal yang tak adil selalu ditinggalkannya sebilah pedang emas kecil sebagai lambang. Karena semua orang tak tahu siapa namanya, ia lantas disebut Kim-kiam- hiap (pendekar pedang emas). Eh, sobat, belakangan ini kau jarang keluar dari sarangmu, mungkin tak pernah kaudengar nama ini, bukan?"

Rekannya menjawab dengan tertawa, "Siapa yang mau meniru caramu, macam orang gila sepanjang tahun luntang-lantung di luar. Hei, kukira sepantasnya kau mencari bini untuk menjaga rumah?"

Begitulah kedua orang itu bergelak tertawa, pembicaraan selanjutnya hanya mengenai hal umum, maka Sik Ling memperlambat kudanya membiarkan kedua orang penunggang kuda lewat lebih dulu.

Sementara ia sendiri jadi termenung, "Siapakah Kim-kiam-hiap tersebut? Pada mulanya aku mengira dia adalah si jabang bayi di dalam perut adik Ping, tapi katanya sudah berumur tiga puluh tahun, jelas bukan dia." "Bila pada usia tiga puluhan baru mulai berkecimpung dalam dunia Kangouw, biasanya cuma ada dua kemungkinan. Pertama, ia belajar silat terlalu lambat sehingga masa tamat belajarnya turut terlambat, kedua, karena sebelum ini ia pernah berkelana dalam dunia persilatan dan sekarang muncul sekali lagi dengan wajah baru. Lantas Kim-kiam-hiap termasuk jenis yang mana?" 

Setelah berdehem, ia berpikir lebih jauh, "Apa gunanya aku memikirkan persoalan ini? Toh semuanya tiada sangkut pautnya denganku?"

Ia lihat senja sudah hampir tiba, sang surya sudah hampir terbenam, akhirnya ia percepat lari kudanya.

Setiba di pintu kota Tin-kang, dia turun dari kudanya dan perlahan menuntunnya masuk ke kota. Tiba di sebuah rumah penginapan, ia serahkan kuda kepada pelayan. Waktu mendongakkan kepala, dilihatnya sehelai panji pengawal barang tertancap di pintu. Keningnya berkerut. Diam-diam ia menyesal telah salah pilih tempat, tapi sudah telanjur masuk, ia rikuh untuk keluar lagi, terpaksa ia menginap disitu.

Ketika lampu sudah dipasang, benar juga dugaannya. Suasana hiruk-pikuk memenuhi seluruh rumah penginapan. Para anggota perusahaan pengawal barang berjudi sambil minum arak. Suasana amat ramai.

Hampir meledak kepala Sik Ling mendengar suara hiruk-pikuk. Ia keluar dari kamar dan menuju ke halaman, meski disitu pun tak kurang berisiknya. Sedikitnya lebih mending daripada di dalam.

Sesudah menempuh perjalanan jauh, apalagi hari ini baru mendapat gaji, para anggota piaukiok itu berkumpul mencari kesenangan. Mereka tidak kuatir barang kawalannya akan dirampok orang lantaran berada di kota besar. Maka semua orang hanya memburu kesenangan tanpa mempedulikan apakah mengganggu ketenangan orang lain atau tidak.

Mereka berani berbuat demikian karena pertama, Congpiautau perusahaan Peng-an- piaukiok mereka, Pat-bin-ling-long (delapan wajah serba cerdik) Oh Ci-hui adalah saudara angkat Mao-toaya. Kedua, pada pengawalan kali ini, Oh Ci-hui turun tangan sendiri, maka semua orang pun merasa lega.

Sik Ling tidak tahan dengan suara ribut, mau melarang tak bisa, iapun enggan ribut dengan orang. Dalam keadaan begini terpaksa dia keluar dari ruangan dan berdiri di depan pintu sambil mengawasi jalan beralas batu hijau di muka sana, dengan demikian hatinya terasa agak tenang.

Dari kejauhan sana tiba-tiba muncul sebuah tandu dan berhenti di depan rumah penginapan. Tanpa terasa ia memperhatikannya dengan seksama, sebab sangat sedikit orang yang naik tandu dalam dunia persilatan. Pertama menumpang tandu tidak leluasa seperti naik kereta atau kuda, kecepatannya juga terbatas, kedua, ongkos tandu jauh lebih besar. Siapapun enggan membuang uang dengan percuma.

Dengan perlahan tandu itu diturunkan, lalu keluar seorang pemuda. Sik Ling segera mengerutkan kening. Tadinya ia mengira orang yang naik tandu itu kalau bukan orang yang  sedang sakit, tentulah orang tua atau perempuan. Tak tahunya adalah seorang pemuda yang lemah lembut.

"Begini manja orangnya, mau apa keluar rumah? Kan lebih enak bersembunyi di rumah dan minta dilayani?" dengan pandangan menghina ia melirik sekejap ke arah pemuda itu.

Tapi pandangannya lantas terbeliak, ternyata pemuda ini memiliki wajah yang tampan dan menarik. Matanya besar, hidungnya mancung. Walaupun sangat cakap, sama sekali tidak berbahu banci. Ditambah lagi pakaiannya yang amat serasi, membuat orang merasa nyaman memandangnya.

Pada masa mudanya dulu Sik Ling termashur sebagai "lelaki tampan", setelah bertemu dengan pemuda tampan ini, timbul rasa kasih sayang dalam hatinya. Otomatis rasa jemunya tadi hilang separuh lebih.

Begitu pemuda itu turun dari tandu, para pelayan segera menyambut kedatangannya dengan munduk-munduk.

Biasanya mata pelayan paling lihai, kaya miskin seseorang bisa mereka ketahui dalam sekilas pandang. Sedang pemuda ini berbaju perlente. Kalau tidak menyanjung manusia semacam ini, memangnya harus menjilat siapa?

Setelah mengantar bayangan punggung pemuda itu masuk ke dalam, Sik Ling melihat pula seorang pengemis muda yang sedang mencari kutu di bawah cahaya lampu di tepi jalan. Diam- diam ia menghela napas. Ia merasa banyak memang ketidak adilan di dunia ini. Apakah pengemis muda ini waktu dilahirkan sudah ditakdirkan bernasib buruk begini?

Setelah berputar kayun mengelilingi kota, di sebuah warung dia membeli ayam dan daging panggang lalu membeli pula arak untuk minum sampai mabuk malam nanti. Tidak suka bersantap dan minum arak di rumah makan, sebab tempat itu tidak sebebas makan minum di kamar sendiri, padahal minum arak paling membutuhkan kebebasan.

Sambil masuk ke rumah penginapan, diam-diam ia mentertawakan diri sendiri yang sekarang telah menjadi setan arak. Kesepian dan kemurungan yang mendorongnya minum arak, sebab bagaimanapun bilamana seorang sedang mabuk, perasaannya tentu jauh lebih gembira. 

Dilihatnya di halaman banyak orang berkerumun, entah apa yang terjadi. Setelah didekati baru kelihatan orang-orang itu sedang mengitari sebuah meja bundar untuk bermain dadu. Mungkin karena ruang kamar terlalu sempit, maka perjudian diterukan di tengah halaman.

Sik Ling segera kembali ke kamarnya, menutup pintu dan minum beberapa cawan arak. Perasaannya mulai terombang-ambing. Selama beberapa tahun belakangan ini ia sudah belajar bagaimana cara melupakan sesuatu yang dipikirnya dengan menenggak arak.

Suasana ramai di halaman depan makin lama semakin keras. Akhirnya Sik Ling tak tahan, dia keluar lagi dari kamarnya, ditemuinya orang yang mengerumuni meja bundar itu kian lama kian bertambah banyak. Timbul rasa ingin tahunya, ia ikut mendesak maju ke depan. Dilihatnya di atas meja sudah bertumpuk segunung uang perak. Di belakang tumpukan uang itu duduk pemuda perlente tadi sedang menggoyangkan mangkuk dadu.

Heran Sik Ling melihat kehadiran pemuda tampan itu, diawasinya orang itu lebih seksama.

Terdengar seorang yang berada di sampingnya lagi berkata, "Kali ini dia pasti kalah. Aku tidak percaya angka yang diraihnya bisa lebih besar daripada Ong-lotoa."

Seorang lelaki lain berdahi sempit bermata tikus, dengan mendelik mengawasi tangan pemuda itu sambil berteriak keras, "Satu, dua, tiga!"

Ia berharap angak yang diraih pemuda itu adalah satu, dua, tiga, jmlh ini berarti kecil. Diam-diam Sik Ling tertawa geli, pikirnya, "Pasti orang inilah yang disebut sebagai Ong-

lotoa."

Dengan tenang pemuda itu melemparkan ke enam biji dadunya ke dalam mangkuk. Enam biji dadupun berputar dan mangkuk. Biji mata semua orang ikut berputar, termasuk pula Sik Ling.

Setelah berputar sekian lama, ke enam biji dadu itu satu persatu mulai berhenti, ternyata angka empat dadu yang keluar adalah empat titik.

Waktu itu masih ada dua biji dadu masih berputar, ketika salah satu di antaranya hendak berhenti dan menunjukkan titik hitam, entah bagaimana jadinya, tiba-tiba ditumbuk oleh dadu yang lain sehingga keuda-duanya terhenti sama sekali.

Ternyata kedua biji dadu itupun menunjukkan empat titik berarti semuanya berangka empat, angka seragam yang tak terkalahkan.

Semua orang menjerit kaget, air muka Ong-lotoa berubah pucat, sedang pemuda itu sambil tertawa menarik tumpukan uang di tengah meja untuk digabungkan dengan tumpukan uang perak yang telah membukit itu.

Selama hidup Sik Ling baru pertama kali ini menyaksikan ada orang meraih angka seragam empat dalam sekali putaran. Dia sendiri ikut melengak.

Rupanya Ong-lotoa sudah ludes uangnya, tiba-tiba ia mencabut sebilah belati yang tajam dan "craat", belati ditancapkan di atas meja. Kemudian dengan suara keras teriaknya, "Uangku sudah ludes semua. Sekarang aku hendak mempertaruhkan sekati daging badanku. Jika aku kalah, akan kupotong sekati dagingku sebagai gantinya, kalau menang harus kauserahkan semua uang itu kepadaku."

Mungkin karena hartanya ludes, ia menjadi nekat dan ingin bermain curang. Kebetulan orang berkerumun di sekitar meja judi semua adalah sahabat Ong. Mereka segera mendukung usul rekannya itu dengan teriakan yang ramai. Kiranya sejak kemunculan pemuda itu, ia selalu menang dalam setiap taruhan. Hampir semua uang milik para pengawal barang berpindah ke tangannya. Tak heran kalau semua orang merasa mendongkol padanya.

Pemuda itu melirik pisau belati tersebut sekejap. Dengan wajah tidak berubah katanya dengan dingin, "Sekati daging kauhargai uang sebanyak ini? Sobat, kukira dagingmu belum laku seharga ini!"

Mendengar perkataan itu, Sik Ling terkejut, pikirnya, "Besar amat nyali orang ini!"

Betul juga, perkataan itu segera memancing kemarahan orang banyak. Segera ada yang mendamprat, "Sialan orang ini, berani membacot seenaknya!"

Sementara itu Ong-lotoa telah mencabut pisau belatinya sambil melompat ke atas meja, teriaknya, "Mau bertaruh atau tidak?"

Gelagatnya seakan-akan jika pemuda itu menolak ajakannya, maka dia akan membunuh pemuda tersebut.

Diam-diam Sik Ling menyelinap ke belakang pemuda itu. Ia menaruh kesan baik kepadanya, maka diapun bersiap-siap andaikata terjadi hal-hal yang tak diinginkan, dia akan menolongnya.

Tapi pemuda itu masih tetap tenang seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu apapun, katanya, "Masa berjudi pun pakai paksaan? Kalau aku menolak, mau apa kau? Ingin adu jiwa?"

Dalam pada itu Sik Ling telah memperhatikan pemuda itu dengan saksama, ia sama sekali tidak menemukan pertanda pemuda itu pernah belajar silat. Kedua tangannya putih dan halus, persis tangan orang perempuan. Tapi kegagahan dan keberaniannya mengagumkan. Disamping menguatirkan keselamatannya, Sik Ling merasa orang inipun sangat menarik hati.

Mata Ong-lotoa mendelik. Sinar buas terpancar dari balik matanya. Dengan suara keras dia membentak, "Kalau aku hendak beradu jiwa, kau berani?"

Walaupun ia mengetahui pemuda itu lain daripada yang lain, seperti anak keluarga mampu, tapi menghadapi manusia yang sepanjang tahun bergelimangan di ujung golok, perbuatan apapun sanggup dilakukan orang begini.

Sambil putar belatinya, kembali dia berlagak hendak menerjang.

Mencorong tajam sinar mata pemuda itu. Ia seperti merasa takut, sambil mundur dua langkah serunya, "Kau hendak merampok?"

Seraya berkata matanya mengerling kesana kemari seperti ingin mencari jalan guna melarikan diri.

Diam-diam Sik Ling tertawa geli, pikirnya, "Dasar pelajar lemah, tidak tahu digertak." Segera ia hendak memberi pertolongan. Baru saja Ong-lotoa siap menerkam, tiba-tiba leher baju belakang dicengkeram orang terus dilemparkan, "Bluk", ia terbaring di lantai.

Cepat ia merangkak bangun. Waktu mendongakkan kepala, makian yang nyaris meluncur keluar ditelan kembali.

Sik Ling ikut berpaling. Semua orang memperlihatkan wajah ketakutan. Setelah melihat siapa orang itu, cepat ia melengos lagi.

Orang itu berbadan gemuk, perawakannya tidak terlalu tinggi, meski begitu wibawanya cukup besar karena dia bukan lain adalah Pat-bin-ling-long Oh Ci-hui, Congpiautau perusahaan pengawalan Peng-an-piaukiok.

Sik Ling adalah sahabat lamanya dulu, tapi ia tak begitu senang pada orang ini, sebab dari julukannya "Pat-bin-ling-long" sudah diketahui orang ini pandai meraih sini dan merangkul sana. Padahal Sik Ling paling benci pada orang yang berwatak demikian. Oleh sebab itu dia lantas melengos dan tak ingin menyapanya.

"Keparat tak tahu malu, "terdengar Oh Ci-hui membentak, "Sudah kalah bertaruh ingin mungkir?"

Lalu ia menghampiri Sik Ling, sapanya, "Saudara Sik, sudah lama berpisah, bertemu dengan sobat lama kenapa tidak bertegur sapa?"

Apa boleh buat Sik Ling berpaling, sahutnya dengan tertawa, "Aha, kukira siapa? Rupanya Oh-toako."

Oh Ci-hui terbahak-bahak, "Haha, tak nyana Saudara Sik masih ingat padaku. Sudah lama tak bersua, engkau masih seperti dulu juga, malah suka minum arak lagi. Bagus sekali, hari ini kita harus minum beberapa cawan."

Sambil tertawa iapun berpaling ke arah pemuda tadi dan menambahkan, "Saudara, jika tidak keberatan, mari minum pula dua cawan arak. Anggaplah sebagai permintaan maafku."

Sekalipun ia sedang memohon persetujuan orang, tapi lagaknya seakan-akan orang sudah mau. Ia lantas berseru, "Cepat kumpulkan uang milik Siangkong itu. Awas jika lain kali kalian berani membuat kegaduhan lagi!"

Dalam waktu singkat ia bisa berubah-ubah sikap dan tindakan, pantas ia disebut Pat-bin-ling- long atau delapan penjuru serba beres.

Diam-diam Sik Ling menggelengkan kepala, pikirnya, "Orang ini betul-betul model seorang siau-jin (orang rendah)."

Sementara itu si pemuda telah tersenyum seraya berkata, "Uang ini apa gunanya bagiku? Bagikan saja untuk anak buah anda!" Oh Ci-hui tertegun. Ia melirik sekejap tumpukan uang di meja, jelas jumlahnya tak sedikit. Oh Ci-hui sendiri sampai tergerak juga hatinya melihat jumlah sebanyak itu.

Katanya kemudian, "Ah, Kurasa kurang baik "

"Cuma sejumlah kecil ini, apalagi artinya? Harap Saudara jangan sungkan-sungkan, "kata pemuda itu.

Oh Ci-hui tertawa, katanya, "Hahaha, kalau begitu baiklah, kuturuti saja. Tapi Saudara pun harus memberi muka kepadaku untuk minum barang dua cawan arak."

"O, tentu!" pemuda itu menjawab.

Jawaban cepat dan lugas, seakan-akan menerima tawaran itu dengan segala senang hati.

Diam-diam Sik Ling mengamati pemuda itu. Ia merasa orang mempunyai banyak keistimewaan. Usianya masih muda, tidak seharusnya cara bicaranya bisa begitu tenang seakan-akan sudah berpengalaman banyak.

Maka dalam hati Sik Ling mulai tertarik, iapun tidak menampik undangan Oh Ci-hui untuk minum bersama.

Dalam pembicaraan yang kemudian berlangsung, pemuda itu memperkenalkan diri bernama Ko Bun, anak saudagar dari Kwitang. Adapun perjalanannya ini adalah untuk mencari pengalaman di wilayah Kanglam.

Tapi Sik Ling merasa curiga, sebab orang sedikitpun tidak mirip anak saudagar. Ketika diperhatikan lebih saksama, dalam pembicaraan Ko Bun tampak berusaha membaiki Oh Ci-hui. Hal ini tentu saja mengherankan Sik Ling, sebab anak muda itu tidak mempunyai kepentingan untuk berbuat demikian, juga tidak mungkin cocok berteman dengan si gemuk yang serba menjemukan itu.

Sewaktu Oh Ci-hui menawarkan untuk melakukan perjalanan bersama, Ko Bun segera menyetujui, malah wajahnya kelihatan senang.

Semuanya itu tak terlepas dari pengawasan Sik Ling. Dia menduga Ko Bun tentu mempunyai rencana tertentu, cuma dia belum tahu apa rencana pemuda itu dan apa pula tujuannya.

Sik Ling makin tertarik oleh kjd ini, apalagi dia memang berkelana tanpa tujuan, maka keesokkan harinya bertiga merekapun berangkat di belakang iringan kereta barang.

Sepanjang jalan mereka bertiga selalu bercakap dan bergurau, rupanya Ko Bun menaruh perhatian terhadap kejadian dalam dunia persilatan. Sepanjang jalan tiada hentinya ia minta petunjuk dari Sik Ling maupun Oh Ci-hui.

Ketika bicara soal jago persilatan, Oh Ci-hui mengacungkan jempolnya dan berkata, "Berbicara tokoh persilatan, kecuali toakoku Leng-coa Mao Kau, sulit rasanya mencari orang kedua yang sama hebatnya seperti dia." Senyuman aneh tersungging di ujung bibir Ko Bun, katanya, "Orang kedua tentunya Oh- toako sendiri, bukan?"

Oh Ci-hui tertawa terbahak-bahak, "Hahahah, kalau aku sih belum masuk hitungan." Meski begitu, ia tampak sangat bangga.

Sik Ling mengawasinya dari samping, makin lama makin banyak keanehan pada pemuda itu. Keroyalannya menggunakan uang seakan-akan harta kekayaan keluarganya membukit, sedang Oh Ci-hui masih belum juga merasakan apa-apa. Ia terus memuji Mao Kau, tentu juga memuji diri sendiri. Sementara Ko Bun dengan senyum dikulum cuma mendengarkan. Meski senyumannya agak aneh, Sik Ling dapat melihatnya dengan jelas.

Kereta keluar dari kota Tin-kang, melewati Tan-yang, Bu-cin langsung menuju ke Bu-sik.

Pemandangan alam di wilayah Kanglam memang sangat indah. Ko Bun tampak gembira sekali, tampaknya memang baru pertama kali ini berkunjung ke Kanglam.

Oh Ci-hui sendiri seperti tidak terburu-buru melakukan perjalanan. Hari belum lagi gelap mereka lantas mencari penginapan. Dengan perjalanan yang begitu santai, meski sudah berjalan tiga hari, lbm seberapa jauh jarak yang mereka tempuh.

Sik Ling menjadi heran, pikirnya," Kalau bagian caranya melakukan perjalanan, mana mirip suatu rombongan pengawal barang?"

Setelah lewat sehari lagi, Sik Ling kembali menemukan suatu kejadian aneh. Sepanjang jalan ternyata di samping kereta barang selalu muncul orang yang berdandan sebagai saudagar, namun sekilas pandang saja dapat diketahui mereka adalah jago silat.

Pada mulanya dia mengira orang-orang itu adalah mata-mata kaum perampok. Tapi setelah diamati sekian lama, ia lihat orang-orang itu meski berlagak tidak kenal dengan Oh Ci-hui, tapi secara sengaja tak sengaja mereka selalu bertukar kedipan mata atau kode tangan dengan Oh Ci-hui.

Sik Ling sudah cukup lama berkelana dalam dunia persilatan, macam-macam kejadian pernah dialaminya. Tapi kejadian yang dihadapinya sekarang cukup membuatnya keheranan, sebab mengawal barang adalah pekerjaan yang bersifat terbuka, lantas mengapa mereka main sembunyi-sembunyi dan penuh rahasia?

Ketika kereta meninggalkan Tan-yang, di depan terbentang jalan yang sepi. Sik Ling mengira Oh Ci-hui tentu akan memerintahkan untuk beristirahat lebih dulu. Siapa tahu Oh Ci-hui bersikap di luar kebiasaan. Ia menitahkan anak buahnya melakukan perjalanan malam. Sik Ling tahu kejadian ini agak mencurigakan, namun perasaan tersebut tak diperlihatkannya.

Perlu diketahui, biasanya para pengawal barang baru mau melakukan perjalanan malam bila jalan raya yang dilalui adalah jalan perdagangan yang ramai. Tapi begitu memasuki daerah yang rawan dan sepi, mereka selalu mencari tempat pemondokan sebelum hari gelap, hal ini tentu juga untuk mencegah kemungkinan dirampok. Padahal Pat-bin-ling-long adalah seorang yang sangat berhati-hati. Setiap tindak bila dirasakan cukup aman dan meyakinkan baru berani melakukannya. Sudah barang tentu tindakannya sekarang amat janggal.

Ko Bun sama sekali tidak paham hal-hal begitu. Duduk di atas pelana, sambil memandang bintang yang bertaburan di angkasa, katanya dengan gembira, "Saudara Oh, memang lebih enak melakukan perjalanan malam, selain udaranya sejuk, bisa pula menikmati keindahan malam. Bukankah hal ini menarik sekali?"

Diam-diam Sik Ling menghela napas, pikirnya, "Ai, kau benar-benar seorang Kongcu yang tak tahu apa-apa!"

Kembali perjalanan dilakukan sekian lama, dari depan sana muncul selapis tabir hitam gelap, tampaknya sebuah hutan. Si pelopor jalan datang memberi laporan kepada Oh Ci-hui, "Tenda hijau di depan amat lebat. Apakah perlu mencari keterangan dulu?"

"Tidak perlu!" jawab Oh Ci-hui sambil mengayun cambuk.

Lalu ia berpaling ke arah Ko Bun, katanya dengan tertawa, "Cara kerjaku selalu demikian, tidak suka banyak sangsi segala."

"Memang begitulah sifat seorang kesatria!" puji Ko Bun sambil mengacungkan jempolnya.

Baru selesai ia berkata, mendadak dari arah belakang berkumandang suara derap kaki kuda yang sangat ramai. Waktu Sik Ling berpaling, ternyata rombongan kuda itu tidak menuju ke arah mereka melainkan berputar satu lingkaran.

Ia mengangkat bahu dan mentertawakan dirinya sendiri yang sok curiga. Tapi ketika rombongan kereta memasuki hutan yang gelap itu, ia merasa agak kuatir, karena tempat semacam ini adalah tempat yang paling baik bagi kaum Lok-lim (bandit) untuk bekerja. Ingin mencari tempat lain di wilayah Kanglam seperti ini pasti akan sulit.

Ia coba memandang Oh Ci-hui, di bawah remang malam sulit melihat perubahan air mukanya. Tapi tangan yang memegang tali kendali kuda kelihatan agak gemetar.

"Betapapun dia merasa takut juga, "demikian Sik Ling berpikir, "kalau takut, mengapa dia bertindak demikian?"

Ia berusaha memeras otak, namun tak menemukan jawabannya.

Diam-diam mereka berkeringat dingin dengan hati kebat-kebit, tapi anehnya kereta barang itu berhasil menyusur hutan dengan selamat, sedikitpun tidak terjadi apa-apa.

Begitu keluar dari hutan, Oh Ci-hui mengembuskan napas lega, tapi dibalik helaan napas tersebut lamat-lamat seakan-akan merasa kecewa pula. "Hutan ini betul-betul mengesalkan, "kata Ko Bun sambil tertawa. Tiba-tiba ia menuding kemuka dengan cambuknya dan bertanya lagi, "Eh, kenapa di depan sana masih ada hutan kecil?"

Sik Ling memandang ke arah yang ditunjuk, betul juga di depan sana muncul lagi selapis tabir berwarna hitam gelap, bentuknya mirip sebuah hutan.

Siapa tahu, belum habis ingatan tersebut terlintas, "hutan" itu sudah bergerak mendekat. Kiranya yang mereka sangka sebagai hutan itu tak lain adalah serombongan manusia berkuda.

"Ah, rupanya aku salah lihat, "kata Ko Bun dengan tertawa.

Diam-diam Sik Ling merasa kuatir, biasanya gerombolan yang berkumpul di tempat kegelapan, selain kaum pembegal tiada rombongan macam lain lagi.

Ia menjadi serba salah. Bila benar menghadapi peristiwa demikian, dia tak tahu bagaimana harus bertindak. Jika membantu Oh Ci-hui ia merasa tiada harganya, kalau tidak membantu bagaimanapun mereka melakukan perjalanan bersama. Bila orang menemui kesulitan dan ia cuma berpeluk tangan saja, hal ini jelas tidak pantas.

Sementara itu rombongan manusia berkuda itu sudah berhenti bergerak. Anehnya mereka tidak menggubris kereta barang yang berjalan di depan, sebaliknya malah menghampiri Pat-bin- ling-long Oh Ci-hui.

"Saudara semua tentu sudah lelah, "kata Oh Ci-hui sambil tertawa nyaring.

"Oh-samko, kenapa kau berkata demikian?" sahut orang-orang itu beramai-ramai. "Keparat yang bernama Kim-kiam-hiap ternyata tidak muncul kali ini, anggap saja dia lagi 

mujur, "kata Oh Ci-hui kemudian. Setelah tertawa panjang ia melanjutkan, "tempo hari, apakah Lau-siu-piaukiok dari Kang-beng tertimpa musibah disini?"

"Benar!" jawab seseorang, "tepat dalam hutan tadi."

Dari tanya jawab yang berlangsung segera Sik Ling paham duduk perkara, pikirnya, "Kiranya mereka menyiapkan jebakan untuk memancing Kim-kiam-hiap masuk perangkap. Kalau begitu, agaknya aku sendiri yang sok kuatir tak perlu."

Sementara itu, Oh Ci-hui berkata lagi, "Kupikir di depan sana tak mungkin akan terjadi sesuatu, besok malam kita akan sampai di tempat tujuan. Bila kalian tak ada urusan, apa salahnya ikut ke Bu-sik? Setelah menyerahkan barang kawalan, kita berpesta pora bersama."

Rombongan penunggang kuda itu terdiri dari sembilan orang. Mereka adalah lelaki kekar yang berpinggang kasar dan berdada lebar, mata bersinar tajam dalam kegelapan, jelas kungfu mereka tidak lemah.

Sebagai pemimpin rombongan adalah seorang lelaki yang bertubuh ceking, tapi bermata tajam. Sambil menjura katanya dengan gelak tertawa, "Maksud baik Oh-samko biar kami terima  di dalam hati saja. Cuma kami harus segera pulang untuk memberi laporan, mungkin Mao-toako masih ada perintah lain."

"O, kalau Mao-toako masih ada urusan, memang lebih baik saudara sekalian segera pulang, jangan lupa titip salam kepada Toako."

Penunggang kuda itu mengiakan, tiba-tiba seorang berkata lagi, "Perlukah kami antar Oh- samko sampai ke tempat tujuan lebih dahulu?"

Oh Ci-hui tertawa, "Ah, saudara sekalian benar-benar menganggap aku barang yang tak berharga, masa jalan pendek ini tak mampu kuselesaikan sendiri?"

Maka rombongan penunggang kuda itupun berpamitan dan berangkat menuju ke arah lain.

Memandangi bayangan itu lenyap, dengan bangga Oh Ci-hui mempermainkan cambuk kudanya, kemudian berkata sambil tertawa, "Bila ada orang ingin mengusik barang kawalanku di wilayah Kanglam, mungkin mata orang itu sudah lamur."

Sik Ling ikut tertawa, tanyanya kemudian, "Siapakah rombongan penunggang kuda tadi?" "Mereka adalah kawan kami Thi-khi-sin-pian-tui (barisan ruyung sakti pengunggang baja) 

yang malang melintang dalam dunia persilatan, "tutur Oh Ci-hui dengan bangga sekali.

Tapi ketika berpaling, ia berseru dengan tercengang, "He, kemana perginya Ko Bun. Saudara Ko?"

Sik Ling juga berpaling, benarlah Ko Bun yang selalu duduk di atas kudanya kini sudah lenyap tak berbekas. Ia menjadi terkejut, sebab Ko Bun seorang pemuda yang lemah, kalau sampai tersesat di tengah hutan yang gelap, bisa berabe.

"Aduh, aku juga tidak memperhatikannya?" demikian ia berpikir dengan kening berkerut.

Apalagi bila terbayang cara Ko Bun yang duduk di kudanya dengan sempoyongan, makin kencang keningnya berkerut.

"Saudara Ko tak pandai menunggang kuda, badannya lemah tak bertenaga, kalau sampai tertimpa musibah, kitalah yang salah, "dia mulai menyesal mengapa perhatiannya hanya tertuju pada rombongan penunggang kuda tadi sudah tidak memperhatikan diri Ko Bun.

Oh Ci-hui sendiri pun agak gelisah, serunya kemudian, "Saudara Sik, mari kita mencarinya." Tanpa bicara Sik Ling melompat turun dari kudanya dan berlari balik ke dalam hutan sana.

Baru saja mereka berdua mengitari hutan itu setengah lingkaran, tiba-tiba terdengar jeritan ngeri berkumandang susul menyusul.

Air muka Sik Ling berubah hebat, bentaknya tertahan, "Saudara Oh, cepat kita tengok kesana!" Bagaikan burung dia menerjang ke arah suara jeritan ngeri itu.

Oh Ci-hui segera menyusul dari belakang. Dari sini dapat terlihat betapa lihainya kungfu Sik Ling. Hanya beberapa kali lompatan saja ia telah meninggalkan Pat-bin-ling-long beberapa tombak jauhnya.

"Saudara Sik, jangan cepat-cepat!" Oh Ci-hui berteriak.

Karena gelisah, Sik Ling mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Dia menerobos ke tempat kejadian secepat terbang. Oh Ci-hui yang gemuk tidak lemah pula ilmu meringankan tubuh, apalagi namanya cukup tersohor dalam dunia persilatan, ia dapat mengikuti dengan ketat.

Tiba-tiba berkumandang jeritan kaget Sik Ling.

Oh Ci-hui ingin merangkul pemuda kaya raya Ko Bun, mendengar jerit kaget Sik Ling, disangkanya Ko Bun tertimpa bencana. Cepat dia menyusul kesana.

Dilihatnya Sik Ling berdiri membelakanginya dengan tercengang. Ketika ia menyusul tiba di tempat tujuan, tanpa terasa jeritan kaget pun tercetus dari mulutnya. Hawa murni dalam tubuhnya buyar dan jatuh lemas ke tanah.

Ternyata sembilan mayat tergeletak di atas tanah. Mereka bukan lain adalah rombongan penunggang kuda yang disebut sebagai Thi-khi-sin-pian-tui tadi.

Pucat pias wajah Oh Ci-hui, desisnya gemetar, "Ini . . . ini "kata-kata selanjutnya tak 

sanggup diucapkan lagi.

Tiba-tiba terdengar suara rintihan lirih agaknya salah satu dari ke sembilan orang itu belum putus nyawanya. Cepat Oh Ci-hui melompat ke sampingnya. Ia berjongkok dan berseru, "Apa yang terjadi "

Mata orang itu melotot, wajahnya diliputi rasa takut dan ngeri. Mulutnya terpentang seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi belum sempat bicara nyawanya keburu melayang.

Dengan pedih Oh Ci-hui melengos ke arah lain. Sembilan jago Thi-khi-sin-pian-tui yang merupakan pasukan andalan Leng Coa Mao Kau ternyata dibantai orang dalam waktu sekejap tanpa seorangpun lolos dengan selamat. Peristiwa ini sungguh mengerikan sekali.

Perlahan Pat-bin-ling-long bangkit berdiri, mendongakkan kepala dan menghela napas panjang, desisnya dengan sedih, "Siapa yang melakukan perbuatan ini? Mungkinkah Kim-kiam- hiap?"

Dia tahu kungfu Thi-khi-sin-pian-tui sangat lihai tapi kenyataannya sekarang mereka mati terbunuh sekaligus dalam waktu singkat. Peristiwa ini betul-betul di luar dugaan dan luar biasa.

Sik Ling coba memeriksa salah satu mayat, ternyata tidak ditemui luka pada tubuhnya. Ketika periksa mayat yang lain, keadaannyapun sama. Ternyata sembilan orang itu tewas  akibat tutukan jalan darah pada tempat yang mematikan, malah ada yang sedang meraba ruyung di pinggangnya tapi sebelum senjata keburu dilolos, jiwanya sudah melayang duluan.

Tanpa terasa Sik Ling menarik napas dingin, pikirnya, "Siapakah jago dalam dunia persilatan dewasa ini yang memiliki kepandaian sehebat ini?"

Maka diapun memberi penjelasan untuk dirinya sendiri, "Mungkin pekerjaan ini tidak dilakukan satu orang. Bila ada sembilan orang turun tangan bersama untuk menghadapi ke sembilan orang ini maka persoalannya

pasti lebih gampang dijelaskan."

Hilang senyum Oh Ci-hui yang biasa menghiasi bibirnya. Setelah terkesiam sekian lama, tiba-tiba terlintas satu pikiran dalam benaknya, cepat dia membentak, "Saudara Sik, lekas pergi!"

Secepat terbang dia meluncur ke depan. Rupanya dia kuatir termakan siasat "memancing harimau meninggalkan gunung", sementara dia berada disini, tahu-tahu barang kawalannya dibegal orang.

Maka ia buru-buru kembali ke tempat tadi. Dia tak menyangka, seandainya orang itu hendak membegal barang kawalannya, sekalipun dia ada disitu juga tiada gunanya? Bicara soal kepandaian ia masih terpaut jauh dibandingkan orang.

Begitulah Oh Ci-hui melompat ke depan dengan cepat disusul Sik Ling dari belakang. Tiba di luar hutan mereka lihat kereta barang masih menanti di tempat kegelapan dengan aman.

"Saudara berdua pergi kemana?" seseorang menegur tiba-tiba.

Sik Ling berpaling, ternyata dia tak lain adalah Ko Bun yang sedang mereka cari itu.

Buru-buru Sik Ling menghampirinya seraya menegur, "Saudara Ko, kemana tadi? Bikin kami kuatir."

Meskipun nadanya setengah mengomel, tapi penuh rasa persahabatan.

Air muka Ko Bun berubah tak tenang, agaknya hatinya tergerak oleh rasa persahabatan ini.

Cepat senyuman menghiasi pula bibirnya, agaknya pemuda ini berusaha menyembunyikan perasaannya itu.

"Maaf saudara, "katanya kemudian, "sesungguhnya aku tak pandai menunggang kuda. Beberapa hari belakangan ini kakiku terasa pegal, apalagi hari ini harus melakukan perjalanan terlalu jauh, aku hampir tak tahan. Maka mumpung ada kesempatan tadi aku pergi jalan-jalan sejenak. Sekarang sudah rada enakan keadaanku."

Sik Ling tertawa. Dia jadi teringat kembali pada tandu yang ditumpangi pemuda ini kemarin, katanya kemudian, "Jika Saudara Ko ingin berpesiar, mana mungkin berpesiar dengan menumpang tandu?" "Benar! Benar!" sahut Ko Bun.

Apapun yang dikatakan orang ia selalu menyatakan akur, padahal apa sesungguhnya yang dipikirnya, hanya dia sendiri yang tahu.

Dalam pada itu Oh Ci-hui telah mendekati mereka, katanya, "Sungguh beruntung kereta barangnya tidak apa-apa. Lebih baik cepat tinggalkan tempat ini."

Terhadap ke sembilan sosok mayat itu, ternyata dia tidak ambil pusing lagi.

Sik Ling bergidik sendiri, pikirnya, "Pat-bin-ling-long benar-benar hanya mementingkan diri sendiri tanpa rasa setia kawan sedikitpun."

Tapi ia tidak berkata apa-apa. Selama belasan tahun ini wataknya sudah banyak berubah. Bila ia merasa ada perkataan yang tidak patut dikatakan, maka tidak akan dikatakannya. Bila ada persoalan yang dianggap tak pantas dilakukan, iapun takkan melakukannya. Darah panas waktu mudanya kini sudah terhapus tak membekas.

Begitulah rombongan keretapun melanjutkan perjalanan, tak sampai satu jam mereka telah tiba di kota kecil yang terdekat. Seperti burung yang sudah ketakutan tersambar panah, setibanya di penginapan, Oh Ci-hui lantas menitahkan anak buahnya agar waspada dan dilarang minum arak.

Geli juga Sik Ling menyaksikan itu, pikirnya, "Mungkin sepanjang karirnya baru pertama kali ini dia mengeluarkan perintah semacam ini."

Walaupun Oh Ci-hui melarang orang minum arak, dia sendiri tetap minum seperti biasa. Diajaknya Sik Ling dan Ko Bun untuk bersantap seadanya sambil bicara.

Ko Bun memandang sekejap makanan yang berada di meja. Lalu tertawa dan berdiri. Tak lama kemudian ia muncul kembali sambil membawa arak Tik-yap-cing yang wangi. Selang sesaat kemudian muncul pelayan membawakan dua piring. Oh Ci-hui melihat isi piring adalah dua ekor ayam panggang.

"Ko Bun benar-benar pandai menghamburkan uang, "pikir Sik Ling.

Oh Ci-hui pun memuji sambil tertawa, "Saudara Ko memang selalu punya akal."

Tanpa sungkan dia lantas bersantap dengan lahapnya. Ke sembilan sosok mayat yang mengerikan itu seakan-akan telah dilupakannya.

Ia melupakannya, tidak demikian dengan Sik Ling. Tanyanya kemudian, "Nama besar Thi- khi-sin-pian-tui sering kudengar belakangan ini. Konon ilmu silat mereka sangat lihai dan lagi merupakan pasukan pembela kebenaran yang khusus melerai pertikaian dalam dunia persilatan, kenapa hari ini " Bicara sampai disini dia lantas bungkam, sebab jika ucapan tersebut dilanjutkan, ia tahu kata-katanya pasti akan menyinggung perasaan orang.

"Apa sih yang dinamakan Thi-khi-sin-pian-tui itu?" tanya Ko Bun dengan heran.

"Thi-khi-sin-pian-tui adalah sepasukan jago ternama yang jumlah anggotanya mencapai seratus dua puluh orang. Komandan pasukan tersebut tak lain tak bukan adalah kesatria nomor satu dalam dunia persilatan dewasa ini Mao-toakoku."

Dengan bangga ia tertawa terbahak-bahak, tapi ketika teringat pasukan "yang tersohor" itu tiba-tiba kedapatan mati sembilan orang tanpa diketahui sebab musababnya, kata selanjutnya tak sanggup dilanjutkan lagi.

Waktu berlalu dengan cepatnya. Ketika malam mendekati kentongan kedua, air muka Ko Bun agak berubah sedikit, tapi segera tenang kembali seperti semula. Sebaliknya Oh Ci-hui sudah mabuk hebat. Sik Ling sendiri mabuk delapan bagian, kata-kata nya mulai ngawur dan tak beraturan.

Esok paginya kota kecil itu terjadi suatu peristiwa aneh, peristiwa yang membuat rakyat kota yang sudah lama menderita ini mengulum senyum. Tapi Oh Ci-hui yang mendengar berita itu seketika sadar dari pengaruh arak, air matapun hampir saja bercucuran.

Ternyata pada setiap jalan, baik jalan besar maupun jalan kecil dalam jarak setiap beberapa kaki tentu terdapat onggokan uang perak yang beratnya mencapi lima puluh tahil. Bila dijumlah seluruhnya mungkin mencapai sepuluh laksa tahil lebih. Seluruh kota menjadi gempar karena banyak penduduk yang menemukan harta karun.

Oh Ci-hui yang mendapat laporan dengan terkejut melompat bangun dari ranjang dan buru- buru menuju ke kamar yang tersimpan uang. Kotak uang masih utuh disana, tapi sekeping perakpun tak ditemukan.

Seperti tersambar geledek, kontan sekujur badannya menjadi lemas. Dengan marah ditamparnya para penjaga yang masih molor dengan nyenyak itu, tapi dengan cepat ia tahu para penjaga itu tertutup semua jalan darahnya.

Ketika ruangan itu diperiksa, di suatu sudut dinding ditemukan sebuah benda emas yang bersinar tajam. Waktu diambil ternyata adalah sebilah pedang kecil terbuat dari emas.

Sepuluh laksa tahil perak telah lenyap tak berbekas dalam semalam, bahkan uang itu sudah tercerai berai di setiap sudut kota. Mau dicaripun jangan harap bisa ditemukan kembali.

Pedang kecil tersebut terbuat dari emas murni, panjangnya lima senti dengan bentuk yang antik, serupa model sebuah pedang pusaka, pada tangkai pedang terikat seutas tali merah. Sekali pandang bentuknya seperti mainan anak orang kaya, tapi siapapun tahu bahwa benda itu adalah lambang maut yang menggetarkan seluruh dunai persilatan.

Dengan termangu-mangu Pat-bin-ling-long Oh Ci-hui membawa pedang emas murni itu ke kamarnya. Dengan hilangnya sepuluh laksa tahil perak uang pemerintah, nama baik Peng-an  piaukiok yang sudah dibangun hampir sepuluh tahun lamanya ikut runtuh. Perasaan Oh Ci-hui waktu itu bagaikan tercebut ke kolam es, kedinginan dan basah kuyup.

Waktu ia kembali ke kamar, Sik Ling dan Ko Bun sudah bangun. Dia menghela napas dan bergumam, "Habis, habis sudah "

Seraya berkata dia melemparkan pedang emas itu ke meja.

Ko Bun menghampirinya dan mengambil pedang mini itu, setelah dilihatnya serunya, "Bukankah benda ini lambang Kim-kiam-hiap?"

Melihat wajah Oh Ci-hui yang lesu dan kuyuh, Sik Ling segera tahu apa gerangan yang terjadi, tapi ia tidak percaya begitu saja, ia tanya, "Apa terjadi sesuatu semalam?"

Dengan kepala tertunduk lantaran sedih Oh Ci-hui menceritakan apa yang terjadi.

Mendengar itu Sik Ling terkejut bercampur menyesal. Padahal mereka semua berada di kamar sebelah, tapi mereka tidak merasa pengawal di kamar sebelah telah dirobohkan dan uang sebesar sepuluh laksa tahil perak telah dibawa kabur orang.

Dengan kepala tertunduk malu Sik Ling berjalan mondar-mandir dalam kamar tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Kereta barang melanjutkan perjalanan pula, tapi mereka berangkat pulang ke rumah. Para peneriak jalan tidak bersuara lagi melainkan sembunyi di dalam kereta, panji perusahaan juga tidak dikibarkan lagi, tapi digulung dan tersimpan di dalam kereta.

Dengan tak bersemangat Oh Ci-hui duduk di atas kudanya, dia tak sanggup mengibul lagi. Sik Ling juga merasa kikuk, jelek-jelek dia terhitung seorang jago kenamaan dunia persilatan, tapi peristiwa itu terjadi pada saat ia hadir di tempat. Sudah barang tentu kejadian itu membuatnya kehilangan muka juga.

Hanya Ko Bun yang tetap tersenyum. Pantasnya ia harus mohon diri, tapi pemuda itu tidak bicara apa-apa melainkan mengikut terus bersama mereka.

Karena ia tidak pergi, Sik Ling juga tidak enak untuk pergi sendiri, dalam keadaan demikian ia benar-benar serba susah.

Dua hari kemudian mereka tiba kembali di jalan raya menuju kota Tin-kang. Oh Ci-hui memang tak malu disebut Pat-bin-ling-long. Ia mulai bicara dan bergurau lagi seperti sediakala, malah menempel Ko Bun lebih rapat. Kiranya dia sudah punya rencana akan mendapatkan kembali sepuluh laksa tahil perak yang hilang tersebut dari saku si pemuda yang "royal" ini.

Ketika tiba di Tin-kang, mereka tetap mondok di rumah penginapan yang sama. Oh Ci-hui menitahkan anak buahnya pulang dulu sambil membawa kereta barang yang kosong, sedang ia sendiri dengan lengketnya menempel Ko Bung yang dianggapnya masih ingusan itu.

Sik Ling hanya mengawasi semua itu dengan dingin dan tsk senang hati. Kecuali membicarakan kejadian dunia persilatan, kata-katanya mulai dihiasi dengan umpakan setinggi langit. Dengan tersenyum Ko Bun mendengarkan obrolannya, tapi Sik Ling habis kesabarannya. Dia mohon diri berjalan-jalan sendirian di luar. Waktu itulah dia menjumpai suatu peristiwa yang aneh.

Baru sampai di pintu rumah penginapan, empat ekor kuda mendadak berhenti di depan pintu dan penunggangnya melompat turun dengan gesit.

Melihat itu Sik Ling berpikir, "Jago daerah Kanglam betul-betul lihai dan sangat banyak."

Penunggang kuda itu berbaju seragam warna kuning emas ringkas. Setelah turun dari kuda, mereka tidak langsung masuk ke dalam penginapan, tapi membenahi pakaian dan berdiri tegap di sisi pintu.

"Apa yang terjadi?" pikir Sik Ling dengan keheranan. Diam-diam ia menyelinap ke belakang meja kasir dan mengikuti semua kejadian ini.

Tak lama kemudian, dari jalan raya muncul lagi empat penunggang kuda yang melarikan kudanya dengan cepat. Walaupun harus melalui pejalan kaki yang ramai ternyata semua perintang bisa dilalui dengan mais. Ini menunjukkan kepandaiannya menunggang kuda sangat cekatan.

Mereka juga berhenti di depan pintu penginapan, setelah turun dari kuda lantas menghampiri ke empat penunggang kuda pertama. Delapan orang saling kasak-kuruk dengan lirih, entah apa yang dibicarakan. Tapi mereka tidak masuk ke dalam hotel, hanya berdiri saja di depan pintu.

Sik Ling mengundurkan badannya lebih ke dalam, sebab dia tahu orang-orang itu pasti berasal dari suatu organisasi rahasia yang hendak melakukan pertemuan, biasanya perkumpulan rahasia semacam itu pantang diintip orang.

Sesaat kemudian dari ujung jalan kembali muncul seekor kuda. Sekilas pandang Sik Ling tahu orang ini mempunyai hubungan yang erat dengan kedelapan orang yang pertama, sebab pakaiannya juga berwarna kuning emas, cuma anehnya di tidak memegang tali kendali kuda. Tangannya menyunggih sebuah bungkusan hitam, sementar kakinya yang mengendalikan arah larinya kuda.

Orang inipun berhenti di depan penginapan. Dengan suatu gerakan enteng ia melayang turun dari atas kuda.

Melihat kegesitan orang, diam-diam Sik Ling memuji.

Baju panjangnya berwarna kuning emas, usianya tidak banyak, wajahnya tampan, matanya memandang ke atas, sikapnya jumawa.

Dengan penuh rasa hormat, kedelapan lelaki berbaju emas itu menyongsong kedatangannya dan menyambut kudanya. Sedang ia sendiri dengan membawa bungkusan hitam langsung masuk ke dalam penginapan. Para pelayan buru-buru keluar menyambut kedatangannya dengan sikat yang sangat menghormat.

Sekali lagi Sik Ling berpikir, "Entah dari mana datangnya orang ini?"

Sebenarnya disekitar sana masih ada beberapa orang jago silat yang sedang bercakap- cakap. Tapi ketika menyaksikan kedatangan pemuda berbaju emas ini, serentak mereka menyingkir jauh, bahkan membungkukkan badan memberi hormat dengan wajah takut bercampur ngeri.

Pemuda berjubah emas itu sama sekali tidak memandang mereka, dia langsung masuk ke dalam penginapan.

Sik Ling mengawasi bayangan punggungnya dengan seksama. Dilihatnya langkah pemuda itu gesit dan mantap, tubuh bagian atas tidak bergerak, tentu kungfunya lihai sekali.

Tanpa terasa ia menghela napas, "Kalau pemuda yang masih belia berkepandaian tinggi, biasanya dia akan angkuh dan jumawa. Pemuda yang berkepandaian tinggi memang bukan hal yang baik."

Sementara itu kedelapan orang lelaki berbaju emas tadipun ikut masuk ke dalam, mereka melototi Sik Ling beberapa kejap.

Sik Ling tak ingin mencari gara-gara, cepat dia kembali ke kamarnya. Di halaman dilihatnya pemuda berbaju emas yang angkuh itu sedang bercakap-cakap dengan Oh Ci-hui. Tangan yang membawa buntalan hitam itu terangkat lurus ke depan.

Ko Bun juga berdiri di samping dengan tersenyum seperti biasa, agaknya Oh Ci-hui telah memperkenalkan mereka.

Sik Ling tak ingin banyak urusan. Baru saja dia akan pergi, terdengar Oh Ci-hui berseru, "Saudara Sik, cepat kemari! Kuperkenalkan seorang enghiong muda kepadamu."

Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa Sik Ling menghampirinya.

Sambil tertawa, Oh Ci-hui kembali berkata, "Dia inilah jago pedang kenamaan dari Bu-tong- pai, Sik Ling, Sik-tayhiap."

Sik Ling mengangguk kepala sebagai tanda hormat, sedang pemuda berbaju emas itu cuma tersenyum, senyuman angkuh.

Seraya menuding pemuda itu, kembali Oh Ci-hui berkata, "Sedangkan yang ini adalah murid Mao-toako. Orang persilatan menyebutnya sebagai orang kedua dari Giok-kut-sucia (duta tulang kemala). Dia bernama Giok-bin-sucia (duta berwajah pualam) Kion Si-cang."

Sik Ling mendongkol dalam hati tapi tersenyumdi luar. Iapun sengaja memperlihatkan sikap angkuh. Melihat itu, air muka Kion Si-cang rada berubah. Untung Pat-bin-ling-long cepat bicara pula, "Kebetulan sekali hiantit datang dengan membawa lencana Jian-kut-leng, sungguh mujur bagi paman dan dapat mempergunakannya."

Baru saja Kiong Si-cang hendak menjawab, Ko Bun menimbrung, "Beginikah yang disebut lencana Jian-kut-leng?"

Ketika Sik Ling berpaling, dilihatnya kulit muka Ko Bun seperti lagi berkerut-kerut tak wajar, tanganpun dikepal. Semua ini membuat hatinya tergetar.

Giok-bin-sucia memandangnya sekejap, ia seperti tidak menaruh prasangka jelek kepadanya. Sambil tertawa hambar lalu jawabnya, "Benar, inilah yang dinamakan Jian-kut- leng!"

Sesudah berhenti sejenak, dia menyambung perkataan Oh Ci-hui tadi, "Oh-samsiok, buat apa kau perlukan lencana Jian-kut-leng? Apakah telah terjadi sesuatu?"

Setelah Oh Ci-hui menceritakan musibahnya, dengan kening berkerut Kion Si-cang berkata, "Kali ini siautit diperintahkan suhu datang kemari dengan membawa lencana Jian-kut-leng tak lain tujuannya hendak menghadapi manusia yang bernama Kim-kiam-hiap. Tahukah Oh- samsiok, untuk menghadapi Kim-kiam-hiap, empat dari Jit-pian-sam-kiam yang tersohor dulu kini sudah tiba di kota Hang-ciu?"

"Empat orang mana?" tanya Ko Bun cepat, tapi segera ia membetulkan kata-katanya, "siapa pula yang dinamakan Jit-pian-sam-kiam itu?"

Hampir pada saat yang sama Oh Ci-hui juga bertanya, "Empat orang yang sudah tiba di Hang-ciu?"

Sik Ling sendiri turut memperhatikannya dengan seksama, sebab kebanyakkan dari Jit-pian- sam-kiam telah hidup jaya dan jarang berkelana lagi di dunia persilatan. Dengan kehadiran orang-orang tersebut, suatu tanda betapa seriusnya mereka menghadapi manusia yang bernama Kim-kiam-hiap itu.

Waktu ia melirik wajah Ko Bun, dilihatnya pemuda itu sedang menanti dengan gelisah, seolah-olah sangat ingin mengetahui seluk beluk urusan ini. Sik Ling berpikir, "Jika dia benar- benar anak saudagar kaya, mengapa sedemikian besar minatnya terhadap urusan dunia persilatan?"

Terdengar Kiong Si-cang berkata, "Wan-yang-siang-kiam suami-istri, Co-jiu-sin-kiam dan Pek-poh-hui-hoa telah datang semua, lantaran perbuatan Kim-kiam-hiap. Agaknya guruku memandang serius atas persoalan ini. Beliau bertekad hendak membereskannya sampai tuntas."

Setelah tertawa angkuh, sambungnya, "Siautit pernah berkata kepada suhu, untuk menghadapi seorang saja kenapa mesti mengganggu ketenangan para Cianpwe lainnya? Tapi air muka suhu amat serius. Mungkin masalah ini menyangkut suatu peristiwa pada belasan  tahun yang lalu, maka persoalannya harus diselidiki sampai terang. Menurut pendapatku, sebenarnya masalah ini tak perlu dianggap sedemikian serius, asal kami beberapa orang turun tangan tentu sudah lebih dari cukup."

"Tapi kukira beginipun ada baiknya, "ujar Oh Ci-hui sambil tertawa, "dengan munculnya kembali tokoh Jit-pian-sam-kiam, tentu angkatan mudapun dapat kesempatan untuk menyaksikan kegagahan para Cianpwe."

Setelah berhenti sejenak, lalu katanya pula, "Cuma kukira Toako sendiri terlalu banyak curiga, mana mungkin Kim-kiam-hiap bisa ada hubungannya dengan orang she Siu?"

"Benar!" Giok-bin-sucia manggut-manggut tanda setuju, "kali ini suhu telah mengutus kami bersembilan suhengte turun tangan bersama, hanya Toasuheng yang tinggal di rumah. Selama belasan tahun ini baru sekali terjadi peristiwa semacam ini."

Sik Ling melirik sekejap ke arah Ko Bun. Pemuda itu tampak sedang menundukkan kepala seperti lagi memikirkan sesuatu, seperti juga tidak memperhatikan pembicaraan mereka, pikirnya, "Aneh benar orang ini!"

Oh Ci-hui termenung sejenak, tiba-tiba membisikkan sesuatu kepada Kiong Si-cang. Air muka anak muda itu kontan berubah, serunya, "Sungguhkah terjadi peristiwa begini?"

Ketika kakinya mengentak lantai, batu hijau alas halaman itu segera remuk septong. Ini menunjukkan betapa sempurnanya tenaga dalamnya.

"Aku tidak percaya sembilan orang Sin-pian-ki-su sekaligus terbunuh dalam sekejap. Bagus! Bagus! Aku jadi ingin mencoba sampai dimanakah kehebatannya," demikian serunya dengan gemas.

Dari ucapannya dapat ditarik kesimpulan bahwa dia hendak menghadapi musuh sendirian, karena kekuatannya dianggap sudah lebih dari cukup.

Perlahan Ko Bun mendongakkan kepala dan tersenyum, baru saja Sik Ling merasakan senyumannya itu sangat aneh, orang telah berkata, "Mengapa kita harus bercakap-cakap di tengah halaman? Mari, biar kutraktir kalian bersantap dan sekalian sebagai perjamuan untuk menyambut kedatangan Saudara Kiong."

Setelah tertawa dan berhenti sejenak, ia menambahkan, "Maklumlah, perutku terasa lapar."

Tiba-tiba ia berseru lagi, "Saudara Kiong, caramu membawa lencana Jian-kut-leng apakah tidak terasa lelah?"

Kiranya sejak tadi Giok-bin-sucia berdiri dengan memegang buntalan hitam itu dengan tangan diluruskan ke muka.

Mendengar hal ini, ia tertawa dan menjawab, "Ini belum seberapa, sekalipun aku memegangnya setahun juga tak menjadi soal."

"Huh, besar amat lagaknya!" mendadak seseorang mengejek. Giok-bin-sucia terperanjat, ia coba memandang sekelilingnya, tapi kecuali mereka beberapa orang tak tertampak ada orang lain.

Air muka Giok-bin-sucia yang putih seketika berubah menjadi marah seperti hati babi, teriaknya gusar, "Sobat, kalau ingin bicara kenapa main sembunyi? Kalau ada urusan, kenapa tidak disampaikan langsung berhadapan dengan orang she Kiong?"

Oh Ci-hui dan Sik Ling juga terkejut, mereka tak tahu siapakah yang begitu berani mengucapkan kata-kata tadi.

Baru habis Giok-bin-sucia membentak, suara tadi kembali berkumandang, "Kalau bicara di hadapanmu lantas mau apa?"

Bayangan orang berkelebat, tahu-tahu di hadapannya telah bertambah seseorang, sungguh cepat luar biasa gerakan orang ini.

Wajah Kiong Si-cang yang diliputi rasa gusar kontan lenyap tak berbekas begitu melihat orang ini, sambil tertawa sapanya, "O, kiranya kau!"

"Ya, aku, mau apa?" kata orang itu.

Demi melihat wajah orang itu, jantung Sik Ling dan Ko Bun berdetak keras, pikir mereka, "Ah, tak tersangka di kolong langit ini terdapat gadis secantik ini!"

Sementara itu dengan tertawa Oh Ci-hui juga lantas berseru, "He, Mao-mao, kiranya kau juga datang?"

Gadis itu tertawa manis, dengan lemah gemulai ia melangkah maju. Kemudian dengan kerlingan matanya yang jeli, katanya manja, "O, kiranya Oh-samsiok? Kenapa aku tidak melihatmu tadi?"

Oh Ci-hui tertawa, katanya, "Kau tidak ikut suhumu, mau apa pulang kemari?"

"Aku pulang menengok ayah!" jawab Mao-mao sambil membenahi rambutnya dan tertawa merdu. Biji matanya yang jeli segera mengerling wajah Ko Bun.

Ditatap begitu, pipi Ko Bun terasa panas, perasaannya bergolak.

Mao-mao berpaling lagi ke arah Kiong Si-cang, lalu tanyanya, "Baik-baikkah ayah?" "Suhu sangat baik!" sahut Kiong Si-cang.

"Untuk apa kaubawa mainan itu keluar rumah?" tanya si nona pula.

Dalam pada itu Sik Ling sedang berpikir, "Kiranya dia putri Leng Coa Mao Kau!"

Melihat potongan tubuhnya yang ramping, ia jadi teringat kepada Mao Ping, diam-diam ia berduka. Memang benar gadis ini adalah putri tunggal Mao Kau, namanya Mao Bun-ki. Ia dilahirkan pada waktu Mao Ping minggat dari rumah, tahun ini berusia delapan belas.

Putri kesayangan "Mao-toaya" tentu saja biasa dimanja. Anehnya ia justru tidak belajar imu silat dari ayahnya yang termashur dalam dunia persilatan, sebaliknya jauh-jauh pergi ke Ho-pak dan entah belajar pada guru yang mana?

Dengan sinar mata berkilat, Kiong Si-cang mengawasi gadis itu tanpa berkedip.

Tiba-tiba si nona membalik badan dan bertanya, "Kalian mau bersantap, aku turut diundang tidak?"

Ko Bun sebetulnya sedang termenung dengan menunduk kepala, segera ia mendongakkan kepala, katanya dengan tertawa, "Jika nona sudi, tentu saja baik sekali."

Waktu itu Sik Ling memperhatikan pedang yang tersandang di punggung Bun-ki, tidak terlihat olehnya senyuman Ko Bun yang rikuh.

Tak heran kalau Sik Ling memperhatikan pedang Mao Bun-ki, sebab senjata itu memang aneh bentuknya. Sarung pedangnya bukan terbuat dari emas, bukan pula dari besi, tapi terbuat dari kulit kucing yang dibentuk sepotong demi sepotong dan digabungkan menjadi satu.

Mungkin di dunia ini hanya sarung pedang ini terbuat dari kulit kucing.

"Sengaja kau undang saja belum tentu kau mau, "kata Mao Bun-ki sambil tertawa. Lalu ia membalik badan dan menambahkan, "Aku harus pergi dulu. He, Kiong-loji, lain kali jangan terlalu sok kalau bicara. Hati-hati lidahmu keseleo."

Giok-bin-sucia cuma menyengir saja sambil memandangi bayangan punggung si nona menjauh dari situ.

Gadis itu memang luar biasa, datang sangat cepat, perginya juga seperti terbang begitu saja.

Sambil geleng kepala, Oh Ci-hui tertawa, gumamnya, "Budak cilik ini memang binal, siapa yang menjadi suaminya kelak tentu akan konyol."

Ko Bun termangu pula beberapa saat lamanya, sambil tertawa kemudian ia buka suara, "Konon hidangan kota Tin-kang sangat lezat, belum pernah aku mencobanya."

Lalu serunya kepada Kiong Si-cang yang masih berdiri tertegun, "Saudara Kiong, apakah tetap kau bawa benda itu sambil bersantap?"

Siapakah sebenarnya "Kim-kiam-hiap" yang memusuhi Leng-coa Mao Kau? Siapa pula pemuda Ko Bun? Apakah dia inilah Kim-kiam-hiap?

Apa yang akan dialami Giok-bin-sucia Kiong Si-cang dan apa pula yang akan terjadi dengan munculnya si nona cantik Mao Bun-ki? 

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar