Bagian 10
"Oleh karena itu perduli kerja apa saja yang mereka lakukan, selalu harus menyerempet bahaya, sekali terlena dan kurang hati-hati akibatnya akan seperti Bu-bing Hwesio, mati secara konyol."
"Tapi mereka tetap melaksanakan tugas, meski tahu bahayanya teramat besar mereka tidak perduli."
"Betapapun sukar dan berbahayanya, mereka tidak perduli, mati pun tak perduli." Dian Susi menghela nafas, namun biji matanya malah bersinar, ujarnya: "Entah kelak apa aku bisa berkenalan dengan mereka?"
"Kemungkinannya amat kecil." "Kenapa?"
"Karena mereka tidak mengejar nama, juga tidak mencari keuntungan, orang luar tiada yang tahu siapakah mereka. Cara bagaimana kau bisa kenal mereka?"
"Kau pun tidak tahu siapa saja mereka itu?"
"Sampai detik ini, aku hanya tahu Bu-bing seorang, jikalau dia belum mati, Bu-sek pasti takkan membocorkan rahasianya."
"Kecuali dia, kan masih ada Siucay dan Tosu."
Cin Ko manggut-manggut, ujarnya: "Mungkin mereka adalah orang-orang San Liu, tapi kemungkinan pula bukan, kecuali mereka mau mengakui, siapapun takkan ada yang berani memastikan."
Dian Susi terpekur sebentar, katanya kemudian: "Di antara rombongan orang itu terdiri dari berbagai macam lapisan orang, ada Tosu, ada Siucay, tentunya ada juga orang-orang lain yang serba aneh."
"Tak salah, kabarnya dalam San Liu, warganya teramat rumit dan tercampur baur, tiada sebuah sindikat atau perguruan silat di kolong langit ini yang bisa menandinginya."
"Cara bagaimana orang-orang itu diorganisir?"
"Karena hobby dan memeluk suatu kepercayaan yang sama pula." "Kecuali itu, tiada alasan lain?"
"Kecuali itu, tentu masih ada seorang tokoh yang mampu mengendalikan dan memimpin mereka."
"Tentu orang ini luar biasa sekali." "Masa harus diragukan."
Bersinar biji mata Dian Susi, katanya: "Kelak aku harus berusaha untuk kenal padanya." "Kau takkan berhasil." "Kenapa?"
"Hakikatnya tiada seorang pun yang tahu siapa dia sebenarnya." "Mungkin pula banyak orang yang mengenal dia."
"Ya, mungkin pula demikian."
"Dan kau mungkin adalah orang itu."
Cin Ko tertawa, ujarnya: "Jikalau aku orang yang kau maksud, pasti kuberitahu kepadamu." "Apa benar?"
"Jangan lupa, kita kan sudah menjadi teman baik." "Sayangnya kau bukan tokoh yang satu itu."
"Memang aku pun bukan warga San Liu, karena aku tidak setimpal." "Kenapa tidak setimpal?"
"Untuk menjadi warga San Liu harus mengorbankan diri sendiri, harus punya semangat dan gairah untuk masuk ke neraka, umpama harus menempuh gunung golok dan lautan api pun takkan menolak."
"Dan kau?"
"Aku tidak mungkin, aku suka foya-foya."
"Dan lagi karena kau terlalu terkenal, ke manapun kau berada, selalu menjadi perhatian orang banyak."
"Ya, itulah ciriku yang terbesar."
"Mereka memilih kau sebagai sasaran fitnah ini, tentu lantaran kau terlalu tenar, bahwa di manapun orang akan selalu mengenalmu, umpama kau ingin lari, jelas takkan lolos."
"Memangnya manusia takut tenar babi takut gemuk, pameo ini memang tepat."
"Sekarang bukan saja pihak Siau-lim-pay hendak mencari jejakmu, pihak San Liu pun pasti sedang mencarimu."
"Orang-orang San Liu jauh lebih menakutkan dari pihak Siau-lim-pay." "Dan karena kau lari, mereka lebih yakin bahwa kaulah pembunuhnya." Cin Ko hanya bisa tertawa kecut.
Mengawasi mimik orang yang rawan, Dian Susi menghela nafas, katanya dengan menunduk: "Baru sekarang kusadari aku melakukan tindakan yang salah."
"Tindakan salah apa yang kau lakukan?" tanya Cin Ko tak mengerti. "Tidak seharusnya kuajak kau lari."
"Memang sebetulnya tidak perlu."
Dian Susi menggigit bibir, katanya: "Tapi kenapa kau menurut saja?" Cin Ko tertawa, katanya: "Mungkin aku pergi bukan lantaran kau." "Bukan lantaran aku, memangnya lantaran siapa?"
"Orang yang menolongku tadi." "Kau tahu siapa dia?"
"Kecuali dia, seluruh manusia di kolong langit ini jangan harap bisa menarikku pergi." "Kenapa?"
"Karena hatiku benar-benar kagum kepadanya, hanya dia seorang saja."
Dian Susi membelalakkan mata, katanya: "Tak nyana kau pun mengagumi seseorang." "Orang seperti dia, tidak bisa tidak kau harus mengaguminya."
"Orang macam apakah dia?"
"Seorang yang tidak bisa tidak harus kau kagumi." "Siapakah dia sebenarnya?"
Cin Ko tertawa, tawa yang mengandung arti, tawa misterius. "Apakah Liu Hong-kut?" tanya Dian Susi dengan mata bersinar. Cin Ko tidak bersuara.
"Apakah Gak Hoan-san?" Cin Ko tetap diam saja. "Kenapa kau tidak bicara?"
"Apa kau kenal kedua orang yang kau sebut tadi?" "Sekarang belum kenal."
"Aku pun tidak kenal."
"Masa mereka pun tidak kau kenal?" tanya Dian Susi keheranan. "Karena nasibku terlalu baik," sahut Cin Ko tersenyum.
Setelah melototi orang sekian lama, mendadak Dian Susi monyongkan mulut, katanya tertawa dingin: "Akhirnya aku tahu orang macam apa sebenarnya tokoh yang kau kagumi."
"O, orang macam apa?"
"Dia pasti seorang yang tidak mengungkuli dirimu, maka kau mengaguminya," tak memberi Cin Ko kesempatan bicara, segera dia menambahkan: "Bila laki-laki memuji laki-laki lain di hadapan seorang perempuan, orang itu pasti laki-laki yang serba kurang dan seperti..." Cin Ko segera menukas: "Seperti perempuan memuji perempuan lain di hadapan laki-laki, perempuan itu pasti jauh lebih jelek dari dirinya, benar tidak?"
Tak tahan Dian Susi cekikikan tawa, katanya: "Ya, sedikit pun tidak salah."
"Nah itulah yang dinamakan dengan hati perempuan kau menilai jiwa seorang laki-laki." Sudah tentu Dian Susi berjingkrak tidak terima. "Cis, memangnya laki-laki harus diagulkan?"
"Tiada sesuatu apa yang harus diagulkan pada diri laki-laki, hanya bila dia mau memuji seorang laki-laki lain di hadapan seorang perempuan, orang itu pasti luar biasa dan patut diagulkan."
*****
Di tengah jalan Dian Susi bertanya: "Ke mana kau hendak ajak aku mencari makan?" "Pergi ke Tujuh Setengah saja," sahut Cin Ko.
"Apa maksudnya tujuh setengah?"
"Tujuh Setengah maksudnya adalah tujuh setengah sen." "Jadi tempat itu dinamakan Tujuh Setengah?"
Cin Ko manggut-manggut, katanya; "Pemilik tempat atau warung makan itu juga dinamakan Tujuh Setengah." "Kenapa orang ini menggunakan nama seaneh itu?"
"Karena kalau orang lain cukur rambut harus bayar lima belas sen, tapi dia cukup membayar tujuh setengah sen saja."
"Lho, kenapa begitu?" "Karena dia seorang gundul." Dian Susi cekikikan geli.
"Sebetulnya si gundul ini cukup ternama dalam kota, belakangan dia membuka warung bakmi, makanan apapun yang kau makan di sana tarifnya sama rata adalah tujuh setengah sen.
Belakangan setelah namanya semakin tenar karena jual mie, maka orang-orang yang suka keluyuran di sini tiada orang yang tidak kenal siapa sebenarnya si gundul Tujuh Setengah."
"Apa warung mie-nya amat laris?" "Laris sekali."
*****
Malam sudah selarut ini, namun orang yang cari makan di warung mie yang serba murah ini justru berjubel-jubel. Sudah tentu orang-orang yang tangsel perut di sini bukan lantaran iseng dan kesepian.
Maka Cin Ko lantas memberi sekedar penjelasan: "Di antara mereka ada orang-orang yang malu dilihat orang di siang hari, maka setiap malam baru keluar beroperasi, tentunya ada pula orang yang memang merasa makanan dan suasana di sini selalu ramai, maka sengaja dia cari makan di sini."
"Apa benar ada orang yang menyenangi tempat ini?" "Sudah tentu ada, aku justru senang suasana di sini." "Dalam hal apa kau kira tempat ini menyenangkan?"
"Tempatnya sih tidak baik, daging sapi atau paha babi yang dijualnya pun tidak enak, namun suasana di sini mempunyai seleranya sendiri."
"Selera apa? Selera bau busuk?"
"Kalau kau sering singgah di restoran besar atau warung arak, lama kelamaan kau akan merasa basi, adakalanya kau datang ke tempat ini, maka kau akan merasa sedikit segar dan serba baru, amat menyenangkan.” "Apa tempat ini mencocoki selera orang-orang yang sedang kalut pikiran?"
"Kukira bukan, namun seperti..." Cin Ko tertawa-tawa, lalu menyambung: "Umpama kau, bila tiap hari menjaga bini, kalau kau pergi cari cewek lain, umpama perempuan itu lebih jelek dari binimu, kau pun akan merasa segar dan menusuk perasaan."
Sengaja Dian Susi menarik muka, katanya: "Enak benar kau buka mulut di hadapan seorang gadis seperti aku ini?"
"Soalnya aku tahu kau tidak akan menikah dengan aku, seorang laki-laki bila pandang seorang gadis sebagai kawan, seringkali bisa terlupakan bahwa dia itu seorang perempuan."
Dian Susi tertawa pula. Tertawa manis, tertawa riang. Tapi entah karena apa, tiba-tiba terasa hatinya amat hambar dan kosong, seolah-olah kehilangan apa dan tak memperoleh apa yang diinginkan.
Semula Cin Ko adalah laki-laki yang amat dipuja, laki-laki yang mengisi lubuk hatinya, tapi sekarang mereka tidak lebih hanya teman karib biasa. Namun yang dia perlukan bukan teman, tapi laki-laki yang akan menemani hidupnya sepanjang masa, laki-laki yang cocok di mana dia bisa merebahkan diri dalam pelukannya.
Selanjutnya dapatkah dia menemukan laki-laki yang diidamkan? Laki-laki macam apa pula yang harus dia temukan? Dia tidak tahu. Namun dalam hati dia bertekad: "Bagaimana juga, setan kepala besar itu bukan laki-laki yang ingin kucari. Umpama dia tak menjengukku lagi atau sudah mati umpamanya aku pun tak perlu ambil hati," begttulah pikirannya melayang tidak menentu.
Cin Ko sedang mengawasinya dengan tersenyum, tanyanya: "Apa yang sedang kau pikirkan?"
Tiba-tiba Dian Susi angkat cangkir araknya lalu ditenggak habis, tawanya dipaksakan, sahutnya: "Aku sedang berpikir, entah orang itu datang atau tidak."
"Siapa?"
"Orang yang paling kau kagumi itu."
Cin ko tersenyum, tertawa misterius, sahutnya: ”Orang itu sekarang sudah datang.” "Dimana?"
"Coba kau toleh ke belakang."
Begitu Dian Susi menoleh ke belakang, lantas melihat Nyo Hoan setan kepala besar. Seperti keadaannya semula Nyo Hoan tetap berkepala besar, muka yang bulat tambun, kelihatannya semakin tromok dan seperti orang gila. Tapi sekarang keadaan orang yang lucu ini tidak terasa jelek atau menggelikan lagi dalam pandangan Dian Susi. Tiba-tiba terasa dalam relung hatinya timbul segulung hawa hangat yang menjalar ke seluruh tubuhnya, bukan saja hangat menyegarkan, tapi juga meriangkan hatinya yang sedang pepat. Hampir saja dia berteriak dan berjingkrak, tapi lekas dia melengos lagi dengan muka cemberut malah.
Soalnya Nyo Hoan seperti tidak melihat kehadirannya, malah memperhatikan pun tidak. Nyo Hoan sedang bicara dengan seorang lain.
Mendadak Dian Susi tidak merasa hambar lagi, karena sanubarinya diisi amarah dan kedongkolan, amarah yang menyesakkan nafasnya.
Cin Ko malah tersenyum, katanya: "Sekarang tentunya kau sudah tahu siapakah dia bukan?"
"Aku hanya tahu kau ketemu setan kepala besar," tak tahan dia bertanya pula: "Apa dia laki-laki yang paling kau kagumi?"
Cin Ko manggut-manggut.
"Orang yang menolongmu tadi juga dia?"
"Malah orang yang kuatir kau kedinginan kemarin malam dan menutup selimut di badanmu juga dia."
Merah muka Dian Susi, tanyanya: "Jadi kau sudah tahu dan melihatnya." "Terpaksa aku pura-pura tidak melihatnya saja."
Melotot mata Dian Susi, katanya gemas: "Apa kalian memang sudah kenal baik?"
"Jikalau aku tidak mengenalnya, tak mungkin aku mengaguminya," ujar Cin Ko tersenyum: "Seorang yang benar-benar patut kau kagumi, adalah orang yang benar-benar sudah kau kenal sejak lama, baru akan kau sadari bahwa dia sebenarnya orang macam apa."
*****
Memangnya orang macam apa Nyo Hoan sebenarnya? Sebetulnya Dian Susi tahu jelas. Dia putera keluarga ternama, ahli waris Nyo samya yang memiliki harta benda setinggi gunung, sebetulnya nasib dan takdir sudah menentukan hidupnya akan senang berfoya-foya selama hayat masih dikandung badan. Tapi orang yang satu ini — Nyo Hoan justru tidak mau menikmati
hidup senang berkecukupan. Sejak usia masih kecil sudah biasa kelayapan menjadi gelandangan, keluar mencari dunianya sendiri. Dia banyak berguru kepada guru-guru silat yang kenamaan, semua bekas gurunya memandangnya sebagai teman karib. Makan, minum, judi dan main perempuan boleh dikata merupakan keahliannya. Pernah satu kali kabarnya di sarang pelacuran di Tay-tong berturut-turut dia mabuk tujuh belas hari, arak yang diminumnya cukup membuat orang mati tenggelam.
Kepalanya besar, kulit mukanyapun tebal. Kecuali makan minum, judi dan main perempuan, sepanjang hari tak pernah punya kerja yang genah. Itulah Nyo Hoan — Nyo Hoan yang diketahui Dian Susi. Boleh dikata tidak sedikit yang dia ketahui mengenai pribadi si gendut tambun kepala besar itu. Tapi sekarang tiba-tiba terasa dalam relung hatinya makin lama mengenalnya, semakin sulit memahaminya. Apakah lantaran pengertiannya belum cukup mendalam mengenai pribadinya yang sesungguhnya?
*****
Dengan mata terbelalak Dian Susi mengawasi Nyo Hoan. Dia masih berdiri di sana bicara dengan seseorang. Entah apa yang mereka bicarakan, suaranya lirih dan begitu asyik, seolah- olah
membicarakan persoalan rahasia yang tak boleh diketahui orang lain. Memangnya sepak terjangnya selama ini sudah berbau misterius.
Orang yang diajak bicara semula duduk bergerombol dengan lima enam laki-laki lain, entah kenapa dan sejak kapan laki-laki yang lain sudah pergi semua, tinggal dia seorang diri masih duduk di sana melalap mie baksonya.
Anehnya laki-laki sekurus itu ternyata perutnya tidak kecil, di hadapannya sudah bertumpuk enam tujuh mangkok kosong. Waktu Nyo Hoan datang mendekati dia masih melalap makanannya dengan lahapnya, begitu melihat Nyo Hoan, tersipu-sipu dia berdiri, sikap dan
bicaranya kelihatan amat hormat sekali. Kecuali Dian Susi, setiap orang yang berhadapan dengan Nyo Hoan kelihatan menaruh hormat. Tapi persoalan apakah yang sedang mereka bicarakan?
Kenapa bisik-bisik dan begitu asyik tak habis-habis?
Mendadak Dian Susi berteriak keras: "Nyo Hoan, bisakah kau kemari sebentar?"
Baru sekarang Nyo Hoan berpaling kemari seperti baru melihat kehadirannya, malah mengerutkan kening segala. Laki-laki yang bicara dengan dia malah unjuk tawa berseri sambil
manggut-manggut, setelah mengucap dua tiga patah kata perlahan, lalu putar badan pergi dengan jalan beringsut.
Baru sekarang Dian Susi melihat jelas laki-laki itu berkaki timpang — laki-laki timpang yang kurus dan rudin. Mungkin beberapa hari sudah kelaparan, maka dia gunakan kesempatan yang baik ini, makan mie dan bakso untuk menangsel perutnya. Dian Susi monyongkan mulut, katanya dingin: "Sungguh aku tak habis mengerti, persoalan apa yang begitu asyik kau bicarakan dengan laki-laki macam itu?"
Belum habis dia bicara Nyo Hoan sudah mendatangi, tanyanya tawar: "Kau kenal orang itu?" "Siapa bilang aku kenal dia."
"Kalau kau tidak kenal, cara bagaimana kau tahu dia orang macam apa?” "Perduli dia orang macam apa, memangnya harus dipuji?"
"Tidak perlu dipuji, hanya jikalau dia ingin mengajakku ngobrol, meski tiga hari tiga malam, aku pun senang hati mengiringinya."
Semakin berkobar amarah Dian Susi, serunya: "Apakah ucapannya amat menarik?"
"Menarik sih tidak, tapi patut didengarkan," ujar Nyo Hoan, "uraian yang patut didengar, umumnya tak enak didengar."
"Memangnya kenapa kau mendengar begitu asyik? Apakah dia memberitahu di tempat mana kau bisa menemukan cewek?"
Cin Ko tiba-tiba tertawa.
Dian Susi berpaling sambil melotot, tanyanya: "Apa yang kau tertawakan?" "Aku sedang tertawakan kalian."
"Mentertawakan kami? Siapa kami?" "Yaitu kau dan dia," ujar Cin Ko tersenyum.
"Bila kalian tidak bertemu muka, masing-masing kelihatannya kangen atau rindu, begitu bertemu lantas adu mulut saja..."
Keruan Dian Susi menarik muka, katanya keras: "Ketahuilah, aku adalah aku, dia adalah dia, digebuk pentung pun takkan menjadi satu," meski menarik muka tak urung merah jengah mukanya.
Mendadak Nyo Hoan tertawa, katanya: "Kalau dipentung sekali tidak sama-sama kena, bagaimana kalau dipentung terus-terusan?"
"Biar dipentung terus bikin mampus kau setan kepala besar ini," kata Dian Susi dengan gemas, namun belum habis kata-katanya, tak tertahan dia sudah cekikikan geli sendiri, mukanya semakin merah. Untung pada saat itu, pelayan warung mie bakso milik Tujuh Setengah ini datang menghampiri, melihat Nyo Hoan, sikap tengiknya berubah sama sekali, mukanya mengulum senyum yang simpatik, dengan munduk-munduk dia menyapa dengan seri tawa: "Hari ini ingin pesan makanan apa?"
"Terserah apa saja yang telah tersedia." "Bagaimana kalau seperti yang dulu?" "Boleh."
"Ditambah arak tidak?"
"Malam nanti aku masih ada urusan."
"Kalau begitu sedikit saja, sekati arak tentunya tidak akan bikin urusan terbengkalai," ujar si pelayan, lalu dengan membungkuk-bungkuk dia mengundurkan diri.
Tiba-tiba Dian Susi tertawa dingin pula, jengeknya: "Di sini paling hanya menyediakan dua macam makanan, dimakan habis juga hanya itu-itu saja, memangnya apa yang perlu ditanyakan selalu?"
Nyo Hoan kedip-kedip mata, katanya: "Mungkin dia hanya ingin mendengar aku bicara." "Mendengar suaramu? Memangnya suaramu merdu?"
"Banyak orang bilang suaraku enak didengar, apakah kau tak pernah perhatikan?"
Dian Susi segera membungkuk badan sambil memeluk perut, berulah seakan-akan hendak tumpah-tumpah. Tiba-tiba Cin Ko tertawa pula.
Kembali Dian Susi melotot kepadanya: "Apa pula yang kau tertawakan?"
"Tiba-tiba aku teringat sepatah kata, bukan saja lucu dan menarik, kata-kata ini pun cocok dan masuk akal."
"Kata-kata apa?"
"Seorang gadis jikalau bertingkah di hadapanmu, itu pertanda bahwa dia mulai menyukaimu." Seketika Dian Susi berjingkrak, teriaknya: "Kentut anjing, siapa yang mengatakan demikian?" "Nyo Hoan," ujar Cin Ko, "sudah tentu Nyo Hoan, siapa yang mampu mengatakan demikian." Dian Susi kedip-kedip mata, lalu menarik muka, katanya: "Masih ada seorang lagi."
"Siapa?" tanya Cin Ko. "Siluman babi."
*****
Hidangan yang dipesan kali ini lebih cepat diantar dari biasanya, kecuali daging sapi dan tite, ternyata masih ada sayur mayur lainnya yang serba komplit.
Mendelik mata Dian Susi, tanyanya kepada pelayan: "Bukankah di sini hanya menjual daging sapi dan tite saja?"
"Masih ada mie." "Tiada lainnya?" "Tak ada yang lain."
Hampir saja Dian Susi berjingkrak, katanya keras: "Lalu dari mana hidangan ini?" "Diambil dari wajan," sahut pelayan.
"Kenapa tidak sejak tadi kau suguhkan?"
"Karena kau bukan Nyo toako," tanpa menunggu jawaban Dian Susi, putar badan dia tinggal pergi.
Kalau orang ini seorang perempuan, jikalau badannya tidak berlepotan minyak, mungkin Dian Susi sudah menariknya serta memberi hajaran setimpal kepadanya. Sayang dia seorang laki-laki dekil, pakaiannya yang berlepotan minyak berbau apek. Terpaksa Dian Susi duduk bersungut- sungut dan melongo saking marah.
Entah dalam hal apa setan kepala besar ini begitu diindahkan dan dikagumi orang-orang banyak? Betapapun dia tidak habis mengerti. Setelah melenggong setengah jam lebih, akhirnya dia bersuara pula:
"Orang tadi memanggilmu apa? Nyo toako?" "Agaknya begitu."
"Kenapa dia panggil kau Nyo toako?"
"Kenapa dia tidak boleh memanggilku Nyo toako?" "Memangnya dia saudaramu?"
"Boleh tidak?" "Sudah tentu boleh. Asal seorang manusia, dia boleh saja menjadi sahabatmu, membahasakan saudara segala dengan kau."
Cin Ko tertawa, selanya: "Tapi dia harus seorang manusia, hal itu merupakan yang terpenting, karena ada kalanya orang bukan manusia."
Dian Susi melotot kepadanya, tanyanya: "Kau pun saudaranya?" "Masa tidak boleh?"
"Sudah tentu boleh," ejek Dian Susi, "cara bicaramu toh sudah persis dia, jikalau kepalamu tidak kecil, bolehlah kau menjadi anaknya saja."
"Ada pula seorang lain yang hampir mirip tingkah laku serta nada bicaranya seperti dia." "Siapa?" tanya Dian Susi melenggong.
"Kau," sahut Cin Ko.
*****
Dalam dunia ini ada semacam manusia, setiap gerak-gerik dan tutur katanya selalu membawa keganjilan yang luar biasa, seperti pula penyakit flu, cepat sekali dia bisa menular kepada orang lain. Bilamana kau sering bergaul sama dia, tidak mungkin tidak kau pasti tertular olehnya.
Tiba-tiba Dian Susi menyadari bahwa dirinya memang rada berubah, dulu dalam tutur kata dan tindak tanduknya tidak seperti ini. Apakah pantas seorang gadis remaja bicara dan bersikap seperti ini? Belum lagi dia sempat menyimpulkan jawabannya, tiba-tiba dilihatnya dari kegelapan sana muncul lima enam bayangan orang. Orang yang berjalan terdepan adalah seorang
pincang.
Tak tahan Dian Susi bertanya pula: "Si Pincang itu pun saudaramu?"
"Namanya bukan Pincang, selamanya tiada orang yang memanggilnya Pincang," sahut Nyo Hoan.
"Lalu orang memanggilnya apa?" "Go Poan-seng."
"Jadi namanya Go Poan-seng?"
"Nama aslinya Go Put-gu, tapi orang sering memanggilnya Go Poan-seng." "Kenapa?" "Karena setengah dari tanah di kota ini adalah milik keluarganya." "Dan sekarang juga?"
"Sekarang tinggal sebidang tanah disini ini."
Dian Susi melengak, tanyanya: "Tanah di sini adalah miliknya?" "Tidak salah."
"Dia sudah rudin, kenapa tanah ini tidak dia minta balik untuk berdagang sendiri?"
"Karena jikalau tanah ini dia minta balik, kuatir jika malam tiba dia tidak bisa kelayapan ke mana-mana."
"Oleh karena itu dia rela rudin dan mati kelaparan, rela membiarkan orang lain mengeduk untung di tanah miliknya sendiri?"
"Sebetulnya dia tidak rudin seperti perkiraanmu." "Tidak rudin? Orang macam apa baru dianggap rudin?"
Walau tanah setengah kota dia jual seluruhnya, namun setengah penduduk kota ini menjadi sahabat karibnya, oleh karena itu dia tetap bernama Go Poan-seng (Go setengah kota)."
"Oleh karena itu dia tetap jauh lebih kaya dari orang lain," demikian timbrung Cin Ko.
Sementara orang memang berpendapat, orang yang punya banyak teman memang jauh lebih kaya dari orang yang punya duit, lebih senang dan hidup bahagia."
"Kalau demikian dia tentu seorang aneh," kata Dian Susi geleng-geleng.
"Justru karena dia orang aneh, maka sering aku mendapat berita serba aneh pula dari mulutnya." Bersinar mata Dian Susi, katanya: "Hari ini apakah kau pun memperoleh berita aneh pula?" "Orang yang punya banyak teman, tentunya banyak pula berita yang diperolehnya."
"Berita baik apa yang kau dengar?"
"Dia memberitahu kepadaku, bahwa di luar kota ada sebuah biara."
"Kau rasa kabar ini amat aneh? Hanya orang yang seumur hidupnya tak pernah melihat biara baru akan merasa aneh, tapi seekor babi pun sedikitnya pernah melihat biara." Nyo Hoan tidak hiraukan sindirannya, katanya lebih lanjut: "Dia memberitahu pula kepadaku, biara itu dihuni tiga orang Hwesio tua.”
Dian Susi lebih kecewa, katanya: "Ternyata bukan saja babi itu tidak pernah melihat biara, Hwesio pun belum pernah dilihatnya."
"Dia memberitahu pula kepadaku," demikian Nyo Hoan meneruskan. "Hari ini biara itu entah mengapa mendadak bertambah beberapa puluh Hwesio, malah bukan Hwesio-hwesio tua, tapi semua adalah Hwesio-hwesio muda, Hwesio-hwesio baru."
Bercahaya mata Dian Susi, hampir dia melonjak berdiri, katanya: "Di mana letak biara itu?" "Bahwa kabar ini tidak aneh, kenapa kau bertanya segala?" ejek Nyo Hoan tawar.
Dian Susi menyeringai kecut, katanya: "Siapa bilang kabar ini tidak aneh, dia adalah babi." Tiba-tiba dia merasa senang dan bergairah semangatnya.
Bahwa sebuah biara tiba-tiba ketambahan puluhan Hwesio muda dan baru, tentu mereka adalah Hwesio-hwesio yang tadi siang muncul di sarang judi itu. Satu di antara mereka tentu adalah si Brewok. Asal bisa menemukan Hwesio-hwesio ini, mereka akan dapat membuktikan bahwa peristiwa yang dialaminya tadi siang bukan impian, bukan kejadian khayal. Asal dapat membuktikan kenyataan ini, sekaligus dapat membuktikan bahwa kematian Hwesio Banyak Urusan bukan perbuatan Cin Ko. Kunci untuk membongkar muslihat yang rahasia ini, terletak pada biara itu.
Cin Ko pun tak tahan mengajukan pertanyaan: "Di mana letak biara itu?" "Di luar pintu sebelah utara."
"Bukankah tempat ini tak jauh dari pintu utara?" "Dekat sekali."
Dian Susi melompat berdiri lebih dulu, selanya: "Kalau begitu, kenapa tidak kita lekas ke sana? Masih tunggu apalagi?"
"Menunggu seseorang lagi," sahut Nyo Hoan. "Seorang yang patut kau tunggu." "Jika kita tidak segera ke sana, bagaimana kalau Hwesio-hwesio itu melarikan diri?" "Kalau mereka ingin lari, aku pun takkan bisa mencegahnya."
"Kenapa kita tidak lekas ke sana, kenapa harus menunggu orang pula?" "Karena aku harus menunggunya."
"Memangnya dia cukup penting dalam persoalan ini?" "Kalau tidak penting kenapa harus ditunggu."
Terpaksa Dian Susi duduk kembali ke tempatnya, setengah harian bersungut-sungut, akhirnya tak tahan dia bertanya pula:" Apakah dia akan membawa kabar penting yang hendak dilaporkan kepadamu?"
Nyo Hoan mengiakan dalam mulut. "Kabar apa sebetulnya?"
Kali ini Nyo Hoan sudah malas menjawab pertanyaannya, pelan-pelan dia habiskan sisa arak di cangkirnya, diraihnya sekerat paha bebek terus dimakannya dengan lahap.
Tiba-tiba Cin Ko tertawa, katanya:" Agaknya takaran minummu belakangan ini sudah mulai susut."
"Memang jauh berkurang," sahut Nyo Hoan tertawa, "tapi tetap dapat membikin kau tenggelam, merayap-rayap sambil mengoceh kalang kabut."
"Ah, jangan mengagulkan diri, kapan kalau ada kesempatan, ingin aku mengadu minum dengan kau."
"Apa kau masih ingat, tempo hari kita di Mang-siu-khan, mengundang seorang untuk menghabiskan segentong arak Cu-yap-ceng..." dalam waktu segenting ini kedua orang masih enak-enak ngobrol.
Gugup dan dongkol Dian Susi dibuatnya, saking tak tahan akhirnya dia menggebrak meja, katanya lantang: "Jelas kalian sudah lama saling kenal, kenapa selama ini mengelabui aku?"
"Kenapa aku harus memberitahu kepadamu?" balas tanya Nyo Hoan.
Cin Ko tertawa, sahutnya: "Terlalu banyak orang yang kami kenal, jikalau satu persatu harus memberitahu kepadamu, tiga hari tiga malam pun takkan habis."
Laki-laki memang petingkah dan kurang ajar, kemarin mereka masih pura-pura tidak kenal satu sama lain, kini bergabung dalam satu garis menghadapi dirinya. Lebih menjengkelkan lagi setiap patah perkataannya, selalu sukar dijawab dan tak bisa didebat olehnya.
Tiba-tiba teringat oleh Dian Susi akan Dian Sim pelayan pribadinya itu. Budak cilik ini cerdik dan pandai bicara, jikalau ada dia yang bantu bicara, mungkin dirinya takkan dipermainkan sedemikian rupa. Tapi budak cilik ini entah berada di mana. Mendadak Dian Susi gebrak meja pula, serunya: "Mana orangku? Lekas kembalikan kepadaku."
"Kau sedang mengoceh apa?" tanya Nyo Hoan.
"Kau membawa lari budakku, kenapa kau pura-pura pikun di hadapanku?" Berkerut alis Nyo Hoan, katanya: "Kapan aku melarikan dia?"
"Kemarin, waktu kau keluar dari sarang judi itu, bukankah dia ikut kau?" "Kau sendiri yang sembarangan membiarkan dia kelayapan?" "Memangnya aku tidak mampu mengurus dia."
Nyo Hoan tidak bersuara lagi, namun rona mukanya kelihatan berubah jelek. Dian Susi sadar bahwa sikapnya ini bukan lagi berkelakar, segera dia tanya lagi: "Apa benar kau tidak melihat dia?"
Nyo Hoan geleng-geleng kepala. "Kau... kau pun tidak tahu di mana dia?" Kembali Nyo Hoan menggeleng-geleng.
Mendadak dingin kaki tangan Dian Susi, katanya gemetan "Apakah mungkin dia dibawa... dibawa lari orang itu?" begitu teringat Kek siansing, kaki tangannya seketika jadi dingin. Bila terbayang Dian Sim terjatuh ke tangan gembong iblis itu, jantungnya terasa dingin dan berdegup keras. Lama sekali baru dia meronta bangun.
"Kau hendak pergi?" tanya Nyo Hoan. Dian Susi manggut-manggut.
"Pergi ke mana?"
"Mencari budak mampus itu." "Kemana kau hendak mencarinya?"
"Aku... aku akan menemui Thio Hou-ji, lalu mencari Ong toanio." "Umpama benar dia berada di sana, lalu apa yang dapat kau laku-kan?" Dian Susi tertegun dan melenggong di tempatnya. Jikalau Dian Sim benar di sana, bukan mustahil Kek siansing pun berada di sana. Setiap kali berhadapan dengan Kek siansing, kakinya lantas lemas, memangnya apa yang dapat dia lakukan?
"Menurut pendapatku, lebih baik kau duduk saja menunggu sebentar lagi," ujar Nyo Hoan. "Sampai kapan kau hendak menunggu kedatangannya?"
"Sampai orang yang kutunggu tiba." "Jikalau dia tidak datang?"
"Aku akan menunggunya terus."
"Memangnya orang itu adalah bapakmu, kenapa kau begitu patuh kepadanya?"
*****
Tiba-tiba didengarnya seorang bersuara rawan "Aku bukan bapaknya, paling hanya bisa menjadi istri tuanya saja," suara ini serak rendah, namun mengandung daya tarik yang kuat, perempuan yang mendengar suara ini pun merasa amat merdu.
Begitu Dian Susi berpaling, dilihatnya seorang perempuan. Belum pernah dia melihat perempuan ini.
*****
Sinar lampu hanya samar-samar saja menyoroti badannya, lebih tepat kalau dikatakan dia berdiri di bawah pancaran sinar bintang-bintang. Raut mukanya tidak menunjukkan suatu mimik perasaan, setelah mengucapkan kata-katanya tadi, dia berdiri mematung diam, ujung jarinya pun tak bergerak. Tapi entah mengapa sekilas pandang Dian Susi rasakan setiap jengkal setiap senti badan orang ini tengah bergerak-gerak, seperti sedang bicara mengundang orang yang melihatnya.
Terutama sepasang matanya yang merem melek seperti mengantuk, seolah-olah seorang jelita yang belum sadar benar dari tidurnya. Tapi bilamana sepasang mata ini mengawasimu, kau akan merasa bahwa dia seolah-olah sedang mengeluh akan kehidupan manusia yang sengsara dan kesunyian di dunia ini, menyampaikan rasa cinta dan kasih mesra meresap ke tulang. Perduli kau siapa, tidak bisa tidak pasti akan merasa simpatik kepadanya. Tapi bila kau maju mendekati hendak menjamahnya, mendadak dia seperti berubah di tempat nan jauh, jauh sekali... sejauh di ujung langit. Dian Susi belum pernah berhadapan dengan perempuan seperti ini. Tapi dia cukup tahu, perempuan seperti ini justru adalah idaman setiap laki-laki yang suka iseng dan suka berfoya- feya.
Kalau dikatakan gaya Thio Hou-ji amat elok. Tapi dibanding perempuan yang satu ini, Thio Hou-ji menjadi nona cilik dari kampung yang masih hijau dan kasar.
Ternyata Nyo Hoan sedang menunggu dia.
Gemeratak gigi Dian Susi, namun dia harus mengakui, perempuan ini memang patut ditunggu, patut ditonton. Mata Nyo Hoan dan Cin Ko justru tidak berkedip menatapnya. Pelan-pelan dengan gemulai orang maju mendekat lalu duduk, cangkir arak di depan Nyo Hoan disambarnya. Tersipu-sipu Cin Ko bantu mengisi arak ke dalam cangkir. Sekali tenggak dia habiskan secangkir penuh, cara minumnya lebih cepat dari Cin Ko.
Perempuan biasanya tidak minum cara begitu. Tapi tiada yang merasa tingkah dan cara minumnya terlalu kasar, orang malah merasa tertarik akan gayanya yang lain dan genit, orang- orang yang melihatnya akan ikut mabuk meski tidak minum arak.
Beruntun dia habiskan lima enam cangkir arak, baru angkat kepala memandang Dian Susi dengan berseri tawa. Senyumannya kelihatan malas-malasan, hanya seorang yang sudah bosan mengecap kehidupan baru akan tertawa seperti ini, begitu dingin dan molek lagi.
Dian Susi angkat kepalanya mengawasi bintang di langit. Setelah melihat kedua biji matanya lalu melihat bintang yang kelap-kelip, sinar bintang rasanya menjadi pudar. Orang tengah menghabiskan secangkir arak lagi, cangkir yang ke tujuh.
Dengan menggigit bibir, akhirnya Dian Susi bersuara: "Di sini ada orang sedang menunggumu." Jawabannya tetap senyum yang malas dan ogah-ogahan.
Dian Susi sengaja tidak mengawasinya, katanya dingin: "Kalian ada urusan penting apa, lekas katakan, kita pun punya urusan penting yang perlu segera diselesaikan."
Nyo Hoan tiba-tiba tertawa, katanya: "Sebelum Ong Sam-nio kenyang dan puas minum arak, selamanya malas berbicara," agaknya Nyo Hoan cukup mengerti akan watak dan segala keperluannya.
Sakit sekali bibir Dian Susi yang tergigit, namun dia menarik muka, katanya: "Sampai kapan baru cukup dan puas minum?"
Tiba-tiba Ong Sam-nio tertawa tawar, katanya: "Setelah mabuk baru cukup." "Setelah mabuk masakah bisa bicara?" Tangan memegang cangkir, sorot mata Ong Sam-nio tertuju ke tempat jauh, katanya pelan-pelan: "Apa yang hendak kukatakan memang igauan di saat orang mabuk."
"Tak kira ada orang suka mendengar orang mengigau," jengek Dian Susi.
Nyo Hoan tertawa pula, katanya: "Memangnya siapa yang tak pernah mengigau di dalam kehidupan bermasyarakat ini!"
Kembali Ong Sam-nio tertawa pula, pelan-pelan dia tepuk pundak Nyo Hoan, katanya tesenyum: "Kau baik sekali, belakangan jarang aku temukan laki-laki seperti kau, tak heran ada orang merasa jelus karena kau."
Sedapat mungkin Dian Susi berusaha menahan diri namun tak tertahan lagi, serunya: "Siapa yang jelus?"
Ong Sam-nio tidak menjawab, namun dia songsongkan raut mukanya ke arah lampu katanya: "Kau sudah melihat keriput di atas mukaku belum?"
Sinar lampu remang-remang. Dian Susi tidak jelas akan keriput di kulit mukanya, namun tiba- tiba dia merasa sikap orang yang kelihatan kurus, kuyu dan keletihan.
"Wanita cantik muncul di bawah lampu, di bawah lampu perempuan kelihatan selalu lebih muda lebih cantik," demikan ujar Ong Sam-nio tawar. "Perempuan seusiaku, ada kalanya harus merasa iri hati, apa lagi nona manis sekecil kau ini."
Dian Susi menarik muka, semprotnya: "Kau sedang mengigau?"
Pelan-pelan Ong Sam-nio menghela nafas, katanya: "Orang mengigau sering menyatakan kemurnian hatinya, sayang sekali manusia hidup justru tidak suka mendengarkannya."
"Aku suka mendengar," ujar Nyo Hoan.
Mengerling mata Ong Sam-nio menyapu pandang ke mukanya, ujarnya: "Apa yang kau dengar memangnya tidak salah."
Agaknya berubah muka Nyo Hoan, tanyanya menegas: "sudah tahu benar?" Pelan-pelan Ong Sam-nio manggut, mulutnya terkancing tak bersuara lagi.
Nyo Hoan pun tak bersuara pula, matanya mendelong, lama sekali dia melamun baru menghela nafas, katanya: "Banyak terima kasih."
"Kelak kau akan berterima kasih kepadaku, sekarang..." tiba-tiba Ong Sam-nio angkat kepala mengawasi Dian Susi, katanya tertawa: "Lekas kalian berangkat, jangan bikin adik cilik ini gugup menunggu... laki-laki kalau bikin nona cantik menunggu terlalu lama, dia bukan laki-laki baik."
"Jikalau perempuan ingin laki-laki yang menunggu?" "Itu tidak jadi soal, hanya..."
"Hanya apa?"
Sorot mata Ong Sam-nio menatap ke ujung langit, katanya lembut: "Hanya kau harus selalu ingat, laki-laki yang tiada punya kesabaran, meski kau patut dia tunggu, dia tidak akan menunggumu terlalu lama."
Terkatup mulut Dian Susi, agaknya dia sudah merasakan kegetiran dari makna ucapan Ong Sam- nio ini.
"Baiklah kita berangkat, dan kau?" tanya Nyo Hoan.
"Aku tinggal di sini, aku masih ingin minum beberapa cangkir lagi." "Biar aku temani kau," sela Cin Ko.
"Kenapa kau temani aku?" tanya Ong Sam-nio.
Cin Ko menghela nafas, katanya: "Karena aku tahu bagaimana perasaan seseorang kalau minum sendirian."
Ong Sam-nio tertawa, katanya tawar: "Perduli bagaimana rasanya, kalau sudah biasa tidak akan menjadi soal, kau tak usah temani aku, kau boleh pergi sekalian," lalu diangkatnya cangkir dan ditenggak habis.
*****
Nyo Hoan tidak bersuara lagi, pelan-pelan dia berdiri, lalu pelan-pelan melambaikan tangan ke kegelapan di depan sana. Di tempat gelap sana seketika berkelebat sesosok bayangan hitam. Tiada orang yang melihat jelas dari mana datangnya bayangan hitam ini, karena bayangannya seakan-akan ditelan kegelapan.
Tampak dia sedikit menggerakkan badan memberi hormat dari kejauhan di tempat gelap kepada Nyo Hoan, lalu menunggu di sana.
Nyo Hoan berpaling, katanya: "Sam-nio, kuhaturkan secangkir kepadamu, segera aku berangkat."
"Kuharap ini bukan cangkir yang terakhir," kata Ong Sam-nio. "Tentu bukan," tegas jawaban Nyo Hoan.
Tanpa ragu-ragu Ong Sam-nio habiskan lagi secangkir arak. "Sekarang juga kita berangkat?" tak tertahan Dian Susi bertanya. Nyo Hoan manggut-manggut.
"Tidak menunggu kalian bicara habis?" "Sudah habis pembicaraan kami." "Hanya beberapa patah kata saja?"
Agaknya Nyo Hoan tengah menerawang, lama sekali dia bersuara kalem: "Ada kalanya sepatah kata sudah lebih dari cukup," pelan-pelan dia melangkah ke kegelapan.
Bayangan di tempat gelap itu tiba-tiba melambung tinggi ke angkasa, laksana setan gentayangan saja tiba-tiba lenyap ditelan tabir malam. Cepat sekali Nyo Hoan memburu ke arah sana.
Terpaksa Cin Ko dan Dian Susi ikut mengejar dengan kencang. Lama dan jauh sekali mereka berlari saling kejar, tak teitahan Dian Susi berpaling ke belakang. Tampak bayangan Ong Sam- nio masih duduk terpekur menghadap meja menyanding arak, punggungnya seakan-akan semakin bungkuk, seperti ditindih benda ribuan kati beratnya di pundaknya. Itulah beban kehidupan manusia. Walau dari bayangan punggungnya, namun kelihatan dia begitu sebatang kara, begitu letih dan kesunyian.
*****
Nyo Hoan menunggu di depan, di sebelah depannya lagi, lapat-lapat bayangan hitam itu pun sedang menunggu. Akhirnya Dian Susi menyusul tiba, nafasnya sedikit memburu, katanya: "Untuk apa kau kejar orang itu seperti kesetanan?"
"Karena dia yang menunjukan jalan," sahut Nyo Hoan.
"Apakah si Pincang itu yang suruh dia membawa kita ke biara itu?" "Bukan si Pincang, tapi Go Poan-seng."
"Agaknya pergaulanmu memang luas, ternyata kau pun kenal orang seperti itu." "Kau tahu dia orang macam apa?"
Dian Susi menggeleng-geleng, ujarnya: "Yang jelas Ginkangnya memang hebat." "Ada yang lain?" "Masih ada yang lain? Tiada."
Nyo Hoan tertawa, mendadak dia melambaikan tangan ke arah bayangan di depan itu. Bayangan hitam itu seringan asap secepat kilat menyambar lewat melambung datang lewat di atas kepala mereka, saat mana Nyo Hoan jejakkan kakinya badannya yang tromok itu ikut mencelat tinggi keduanya saling silang di tengah udara, seakan-akan Nyo Hoan membisiki sesuatu kepada bayangan hitam itu. Apa yang dibisikkan Dian Susi tidak tahu. Cepat sekali bayangan hitam itu sudah melesat lewat di samping badannya, cepat dan ringan laksana angin lalu. Kejap lain Nyo Hoan pun sudah meluncur balik ke tempatnya semula dan sedang tersenyum mengawasi dirinya.
Dian Susi mengerutkan kening, tanyanya: "Apa sih yang kalian lakukan? Main akrobatik segala?"
"Aku hanya ingin supaya kau membuka mata, lihatlah biar tegas orang macam apa dia sebenarnya."
"Kalau begitu kenapa tidak kau panggil dia kemari berdiri di depanku, supaya aku bisa mengawasinya dengan seksama, mukanya putih atau hitam toh aku belum sempat melihatnya."
"Tiada sesuatu yang perlu kau lihat pada mukanya, kau harus mengawasi anggota badannya yang
lain."
"Memangnya tempat mana yang harus kulihat?" "Umpamanya, kedua tangannya."
"Memangnya ada keistimewaan apa pada tangannya? Memangnya jari-jari tangannya tumbuh lebih banyak dari orang biasa?"
"Jari-jarinya sih tidak banyak, hanya tumbuh beberapa jari saja," Nyo Hoan mengawasi Dian Susi dengan tertawa, katanya pula: "Barang yang kau bawa ada yang hilang tidak?"
"Tidak?" sahut Dian Susi setelah memeriksa keadaan sendiri. "Apa benar tidak?" Nyo Hoan menegas.
Dian Susi menghela nafas, katanya kecut: "Bahwasanya tiada sesuatu benda yang kumiliki yang patut dia ambil."
"Bagaimana yang berada di atas kepala?"
"Kepalaku malah..." belum habis kata-katanya seketika dia menjublek, karena mendadak dia merasa rambut kepalanya yang semula disanggul tahu-tahu sudah terurai awut-awutan.
Memangnya ke mana larinya tali sutra yang tadi mengikat rambutnya? Memangnya bayangan hitam tadi hanya sekali berkelebat mampu mencopot ikatan tali rambut di atas kepalanya tanpa dia sadari?
"Tentunya sekarang kau sudah mengerti orang macam apa dia sebenarnya?"
Dian Susi memonyongkan mulut, katanya uring-uringan: "Sungguh tak pernah kusangka, di antara teman-temanmu ternyata ada yang memiliki tiga buah tangan."
"Masa hanya tiga buah tangan, dia punya tiga belas tangan."
Dian Susi mengejek: "Umpama benar punya tiga belas tangan, paling dia hanya maling kecil belaka."
"Berapa banyak kau pernah melihat maling kecil seperti ini?"
"Seorang pun belum pernah kulihat. Memang untungku belum pernah kebentur."
Tahu-tahu bayangan hitam itu sedang menunggu mereka di sebelah depan, dia tetap berdiri diam mematung tanpa banyak usil, seolah-olah selamanya dia tidak bergerak dari tempatnya itu.
Dian Susi kedip-kedip mata, tanyanya: "Bolehkah kau memanggilnya kemari, aku ingin melihatnya supaya jelas."
"Katamu dia hanya maling kecil, apanya yang enak dipandang." "Aku... aku ingin melihat berapa buah tangan yang dia miliki." "Kau takkan bisa melihat sebuah tangannya pun."
"Kalau begitu, biarlah aku melihat wajahnya." "Tidak usahlah."
"Kenapa tidak usah?"
"Tiada orang yang pernah melihat mukanya." "Kau sendiri?"
"Aku sih pernah melihatnya."
"Kenapa kau boleh melihat orang lain tidak boleh?" "Karena aku adalah temannya." Melotot mata Dian Susi, katanya gemas: "Kecuali maling kecil dan si Timpang, tidak kau punya teman yang genah dan normal?"
"Tiada lagi."
Tak tahan Dian Susi cekikikan lagi, katanya: "Naga campur naga, burung hong campur burung hong, temannya tikus pandai membuat lubang, pernah kudengar pameo ini, tapi bahwa kau tidak punya teman yang genah, sungguh tak pernah kuduga sebelumnya."
"Aku malah punya seorang teman yang ajaib, kalau orang tahu akan temanku ini, giginya pasti protol karena geli."
"Di mana letak keajaiban orang itu?"
"Segala apa tentang dirinya serba ajaib, lebih ajaib lagi kecuali membuat onar bikin ribut, urusan lain dia justru tidak bisa melakukan."
Tak tahan Dian Susi cekikikan, tanyanya: "Siapa pula temanmu ini?" "Kau," sahut Nyo Hoan.
*****
Hampir meledak perut Dian Susi saking marah, sebelum berkenalan dengan Nyo Hoan belum pernah tersimpul dalam benaknya, kenapa seseorang kadang-kadang bisa mati karena dibuat marah. Baru sekarang dia benar-benar mengerti.
Setan kepala besar ini seolah-olah khusus dilahirkan untuk membuat marah saja, lebih menjengkelkan lagi, kecuali terhadap dirinya, kepada orang lain sikapnya bersahabat dan intim, sopan dan sungkan. Lebih membuatnya penasaran karena olok-olok kasar apapun yang dia lontarkan, setan kepala besar ini mandah tertawa saja tidak pernah marah. Coba katakan apa pula
yang bisa dia lakukan?
Hutan amat lebat di lereng gunung sana. Biara atau kelenteng yang dimaksud justru terletak di dalam hutan lebat itu.
Hoan-in-si.
Begitulah nama kelenteng itu. Lapat-lapat di keremangan malam masih bisa terbaca ketiga huruf emas yang terpampang di atas pintu.
Bayangan hitam dengan tiga belas tangan itu setiba di sini lantas berkelebat dan menghilang entah ke mana, malam sudah larut, namun lampu di depan patung sembahyangan masih menyala kelap-kelip, sinar lampu seguram itu tidak menerangi tempat yang jauh, dilihat dari kejauhan, kelihatannya seperti kabut tebal yang kekuningan laksana asap atau mega.
Dian Susi menghela nafas, setiap kali mendatangi kelenteng, hatinya selalu merasa sebal dan tak enak, selalu terasa di dalam sanu-barinya bahwa kelenteng tak ubahnya seperti orang mati, peti mati dan tempat keramat yang mengerikan, daerah setan...
Di dalam kelenteng jelas kau takkan mendengar gelak tawa riang, yang terdengar hanyalah ketukan suara bokhi yang mengiringi nyanyian mantram para Hwesio atau Nikoh, suaranya kadang kala kedengarannya begitu sedih memilukan, serasa sunyi dan kesepian.
Untung di tengah malam sehening ini apapun tidak dia dengar, sayangnya suatu keheningan kadang justru mencekam perasaan hati yang paling menakutkan.
Sikap dan air muka Nyo Hoan kelihatan amat prihatin dan serius, semula Dian Susi mengira orang pasti menyuruh dirinya bersama Cin Ko menunggu di luar, supaya dia sendiri masuk lebih dulu memeriksa keadaan di dalam. Untuk ini dia tidak akan menolak. Sekarang apapun yang dikatakan Nyo Hoan, di dalam hati dia sudah berkeputusan untuk tidak menolak atau menentangnya.
Tak kira sepatah kata pun Nyo Hoan tidak bicara, dengan langkah lebar langsung beranjak masuk ke dalam. Sudah tentu Dian Susi hilang sabar, katanya: "Kelenteng ini kan bukan tempat yang amat rahasia."
Nyo Hoan menoleh melihat dirinya, seperti menunggu kelanjutan omongannya. "Sangkut-paut orang-orang itu justru teramat penting," demikian Dian Susi melanjutkan. "Orang-orang siapa maksudmu?"
Dian Susi melotot sekali, katanya: "Tentunya si Brewok dan lain-lain, orang-orang yang sudah jadi Hwesio itu."
"O," Nyo Hoan bersuara pendek sambil mengangguk-angguk.
"Bahwa mereka berani membawa orang-orang itu kemari, tentunya sudah siaga bahwa kita suatu akan mencarinya ke sini."
Nyo Hoan bersuara dalam mulut seraya manggut-manggut lagi.
"Sudah tentu mereka tidak akan membiarkan kita menemukan orang-orang itu, maka..." "Lalu bagaimana kita harus bertindak?" "Oleh karena itu aku berpendapat bahwa kelenteng ini pasti mengandung banyak misteri, bukan mustahil di dalam banyak perangkap."
"Memangnya kenapa kalau ada perangkap?"
"Kalau ada perangkap, sudah tentu kita tak boleh menerjang masuk secara serampangan begini." "Kalau begitu lebih baik kita pulang saja."
"Sudah terlanjur tiba di sini, kenapa pulang?"
"Tidak boleh masuk dan tidak mau pulang, memangnya apa yang harus kami lakukan?"