Jilid 07 (Tamat)
Melihat Hu Kak tak termasuk dalam undangan itu, Hong-ko menjadi heran, tetapi Nilan-kongtju lantas menerangkan padanya dengan membisiki di telinganya, maka Hong-ko mengangguk-angguk.
Begitulah menjelang pagi, dari luar dilaporkan bahwa ada surat penting yang dikirim oleh To Tok. Segera Nilan-kongtju memerintahkan supaya mempersilakan utusan itu menghadap, sambil ia berpesan pada Boan-liong dan kawan-kawan untuk bertindak menurut rencana.
Waktu itu di tengah paseban sudah berduduk seorang putra bangsawan yang rupanya mirip Nilan Yong-yo. Tak lama kemudian masuklah dua perwira utusan dengan langkah lebar. Kedua orang itu matanya bersinar tajam dan perawakannya gagah, tatkala kedua perwira ini sudah maju ke dekat undak- undakan dimana Nilan-kongtju berduduk, segera bawahannya memberi tanda agar orang berhenti. Habis mana seorang di antaranya lantas mempersembahkan sepucuk surat dengan diangkat tinggi kedua tangannya. Selagi sang bawahan hendak menerima surat itu untuk diteruskan pada Nilan Yong- yo, sekonyong-konyong orang itu menggeraki surat yang dipegangnya, berbareng mana terhembus keluar segulung asap tebal, empat pengawal yang berdiri di kanan Nilan Yong- yo terkena asap itu, seketika itu juga lantas jatuh pingsan.
Perwira yang mempersembahkan surat ini usianya lebih muda dari yang lain, begitu menyemburkan asap segera juga ia melompat maju terus menyambret ke dada Nilan-kongcu hingga putera bangsawan ini kena dicekal tak berkutik. Perwira lain yang agak berumur pun tidak tinggal diam, dengan cepat ia pun melolos pedangnya, habis mana ia membaliki tubuhnya terus membentak pengawal-pengawal di bagian bawah yang sementara itu hendak mengembut maju, "Begitu kamu berani bergerak, segera juga aku habisi nyawa tuanmu!"
Dan selagi mereka hendak melompat buat kabur, tiba-tiba dari atas emperan rumah melayang turun Boan-liong Kiam- khek, begitu datang, senjatanya pun segera menyambar.
Dengan mengempit Nilan-kongcu, perwira yang rada muda tadi melompat ke belakang, sudah mana ia membentak lagi.
"Tuanmu sudah jatuh di tangan kami, apa betul kamu tidak menghiraukan keselamatan jiwanya lagi?" ia mengancam pula.
Akan tetapi ancaman itu dijawab dengan suara tertawa terbahak-bahak, habis itu terdengar ada orang berkata, "Tuanmu ada di sini!"
Menyusul itu dari belakang pintu angin keluar seseorang dengan dandanan bangsawan Boan-tjiu asli, sikapnya tampan, ternyata bukan lain ialah Nilan Yong-yo yang diapit oleh Teng Hong-ko dan Toh-hiap.
Nampak kejadian ini, perwira yang berumur tadi terkejut, ia mengayun pedangnya dengan cepat menusuk tawanannya tadi hingga topi kebesarannya jatuh, nyata orang ini adalah prajurit yang menyamar sebagai putera bangsawan itu.
Kiranya kedua orang yang menyamar sebagai perwira pengantar surat perintah dari To Tok memang bukan lain ialah Ong Bing dan le Hong adanya. Maka begitu nampak gelagat jelek, segera juga Ie Hong membikin terjungkal tawanan palsu mereka, habis mana lantas ia memapaki Boan-liong.
Di sebelah sana Ong Bing pun lantas bergerak, dengan sekali enjotan ia meloncat ke atas dengan niat untuk kabur, namun Toh-hiap, si pendekar bongkok ini sudah menantikan kedatangannya, ia memapaki orang dengan sekali pukulannya yang terkenal dengan nama 'Sin-kong-kim-soa-tjio'. Begitu hebat pukulannya hingga membawa sambaran angin tajam seperti irisan pisau, orang biasa yang terkena sambaran angin pukulan dalam jarak beberapa tombak saja pasti akan terguling. Oleh sebab itulah, begitu terkena sapuan angin pukulan itu, Ong Bing terpaksa harus menancapkan kaki kembali ke bawah. Dalam hati ia harus mengakui juga kelihaian pukulan tadi. Namun segera ia pun mengunjukkan gigi juga, ia mengayun tangannya, menyusul enam pisau terbang 'Tui-hun-to' menyambar ke jurusan dimana Nilan Yong-yo berada. Tetapi Toh-hiap keburu melompat ke atas, dengan angin pukulannya yang santar itu ia memapaki pisau 'Tui-hun-to' itu hingga senjata-senjata itu kena tersampuk jatuh semua. Kemudian Toh-hiap menubruk maju lagi dengan Kim-na-jiu, ilmu cara mencekal dan menawan yang terkenal dalam Bu-lim, segera ia merangsek pada Ong Bing sambil membentak, "Jangan coba lari!"
Agaknya Ong Bing sudah kenal kelihaian pendekar bongkok ini, segera ia mengeluarkan ilmu silumannya, dalam kelebatan bayangannya, ia melepaskan tabir asap, terus orangnya menghilang. Demikianlah cara ajaran Pek-lian-kau yang katanya bisa menghilang, sebenarnya tidak lebih hanya dengan menggunakan tabir asap saja dan pada kesempatan lawan tidak bisa lihat dengan jelas, orangnya lantas kabur.
Di sebelah sana, Ie Hong pun sedang bertarung sengit dengan Boan-liong. Pada suatu ketika ia pura-pura menikam dengan ganas, terpaksa Boan-liong harus mundur selangkah untuk menghindari serangan itu, akan tetapi pada kesempatan itu dipergunakan oleh Fe Hong untuk kabur, rupanya ia tahu dirinya tidak bakalan unggul berhadapan dengan lawan yang tangguh, lagi pula berjumlah lebih banyak.
Dengan sekali melompat ia berniat melayang naik ke atas wuwungan untuk kabur. Tak ia duga, kembali Toh-hiap sudah bersiap menunggu dirinya, waktu mendadak dilihatnya Ie Hong hendak merat, segera juga pendekar bongkok ini menghamburkan segenggam senjata rahasianya 'Kim-soa' atau pasir emas yang membawa sinar gemerlapan menyilaukan mata.
Dalam keadaan tak tersangka-sangka, seumpama kepandaian Ie Hong lebih tinggi lagi pun susah untuk menghindarkan diri, maka tanpa ampun lagi pasir itu meresap ke dalam dagingnya hingga ia terguling ke bawah kembali.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Boan-liong dengan baik, ia memburu maju, terus memberi lawannya ini sekali totokan, maka menggeletaklah Ie Hong di lantai tanpa bisa berkutik lagi.
Sementara itu Ong Bing yang berhasil lolos dari maut, kabur dengan cepat menuju jurusan barat, ia menaksir sedikitnya sudah lebih lima puluh li dari Tjiongkoan, baru kemudian ia berani berhenti. Di suatu bukit ia lantas mengeluarkan api buat melepaskan asap pertanda dari golongan Pek-lian-kau, asap itu bergulung-gulung membubung tinggi ke angkasa hingga lama tidak buyar.
Lewat setengah hari, akhirnya ia melihat dari jauh mendatangi serombongan orang yang ia kenali di antaranya terdapat Pek Ting-djoan dan puterinya. ada pula Hun-tiong- tju, Go-mo Li, Liok-ni Tjindjin dan beberapa panglimanya, kecuali itu masih diiringi pula beberapa pemimpin golongan Liok-lim di daerah barat-laut. Melihat kedatangan kawan- kawannya ini baru Ong Bing merasa agak lega, maka malam itu juga mereka lantas berunding, Go-mo Li ditugaskan mencari kabar dan akhirnya diperoleh berita bahwa Ie Hong sudah tertawan. Hal ini mendorong Ong Bing secepatnya harus menuju ke Khong-tong-san untuk bertemu dengan para Tjindjin di atas gunung itu.
Dalam pada itu di pihak Nilan Yong-yo, sesudah mereka berhasil menawan Ie Hong, mereka pun tidak mengejar lebih jauh. Malam itu juga segera mereka berangkat dengan menyamar sebagai saudagar. Mereka memilih jalan kecil terus mendahului ke Khong-tong-san, dengan demikian menghindari bentrokan dengan rombongan Ong Bing di tengah jalan.
Setengah bulan kemudian, rombongan Pek-lian-kautju Ong Bing sudah tiba di daerah propinsi Kamsiok. Hun-tiong-tju berangkat mendahului untuk kembali ke tempat tinggalnya dan melaporkan kepada Liok-tong Tjindjin atau enam Tjindjin dari enam goa. Keenam Tjindjin ini masing-masing bernama : Dji-he-tju, Kui-ie-tju, Ling-kok-tju, Djiak-siong-tju, Ko-hui-tju dan Djing-si-tju itu, masih ada pula Leng-khong-tju dari goa ketujuh yang sudah lama menghilang oleh sebab itu hanya tinggal enam Tjindjin yang tinggal di gunung.
Dji-he-tju, Tjiangkau dari Khong-tong-pay, waktu mendapat laporan, segera ia mengirimkan anak muridnya, Hian-hong, Hian-thian dan Hian-ang bertiga untuk ikut Hun-tiong-tju turun gunung buat menyambut kedatangan Ong Bing.
Melihat sambutan orang yang meriah dan penuh kehormatan, Ong Bing merasa gembira sekali. "Sudah lama aku meninggalkan gunung, hari ini bisa kembali, hatiku sungguh girang sekali," diam-diam ia berkata pada Pek Ting- djoan.
"Harap Tjiangkau berlaku hati-hati dalam segala percakapan," pesan Kunsu ini.
Sementara itu dari kejauhan suara genta terdengar berbunyi nyaring, sepanjang jalan yang menuju ke atas gunung telah di pajang dengan meriah sekali, di depan istana kaum Khong-tong-pay menanti enam Tjindjin yang berbaris sejajar.
Setelah Ong Bing disambut masuk ke dalam istana pemujaan Khong-tong-pay, di tengah ruangan sudah lama dipersiapkan perjamuan yang sangat mewah. Ong Bing dipersilakan duduk pada tempat tamu yang terhormat didampingi semua pengiringnya, sedang di baris lain tuan rumah beserta pengikut-pengikutnya mengawani juga.
Setelah beberapa kali cawan arak menjadi kering, Dji-he-tju berkata pada To-tong atau imam cilik di belakangnya, "Berhubung kedatangan Tjiangkau hari ini, sampaikan perintahku agar menarikan 'Thian-mo-bu'!"
Kemudian perintah itu diteruskan, tak lama kemudian lantas terdengar suara musik berbunyi dari belakang istana, menyusul duabelas gadis cantik molek laksana dewi kayangan dengan mengenakan pakaian yang menggiurkan menari-nari di depan meja perjamuan, karena pakaian penari-penari yang menggairahkan itu, keruan saja begundal Ong Bing semua terombang-ambing di antara irama musik dan tarian yang menimbulkan selera itu.
Sebagai satu-satunya tamu wanita, muka Ang-koh menjadi jengah melihat tingkah laku penari-penari yang menggairahkan itu, maka dengan alasan badannya kurang sehat lantas ia meninggalkan meja perjamuan itu dan menuju ke belakang istana. Tetapi segera ia disusul oleh seorang imam wanita yang lantas memberitahukan, "Sian-koh, Tjindjin menyilakan Sian-koh mengaso di kamar belakang."
Ang-koh lantas diantar ke suatu kamar yang terpajang dengan mewah sekali. Waktu imam wanita itu sudah berlalu, Ang-koh lantas merebahkan diri ke pembaringan.
Selang tak lama, ia mendengar ada suara ketukan pintu. "Sian-koh, Siauto mengantarkan teh untuk Sian-koh,"
terdengar suara di luar.
"Masuk!" sahut Ang-koh.
Habis itu pintu kamar didorong, seorang imam muda dengan membawa nampan berwadah ceret teh masuk dan ditaruh di atas meja. Ang-koh menuang dan minum teh yang dibawakan itu untuk menghilangkan dahaganya, dalam pada itu mendadak imam itu menggabrukkan pintu kamar dan terus ditutup.
Keruan saja Ang-koh terkejut, waktu ia menegasi, barulah ia tahu bahwa yang menyamar sebagai imam ini adalah Teng Hong-ko. Dengan cepat segera ia meloncat bangun.
"Siapa yang minta kau kemari?" bentaknya.
Namun sikap Hong-ko ternyata tenang-tenang saja. "Eng- dji, maut sudah berada di pelupuk matamu masih kau tidak sadar, aku sengaja datang melihat kau," sahut Hong-ko.
Akan tetapi mana Ang-koh mau percaya. "Bohong kau!" dampratnya kemudian.
"Ong Bing dan ayahmu terjebak, kau masih belum mendu- sin, lekas kau ikut aku pergi minta ampun pada Khimtjhe Tay- djin, mungkin kau masih bisa luput dari hukuman mati," kata Hong-ko dengan sungguh-sungguh.
Tak ia duga, karena perkataannya ini Ang-koh berbalik menjadi lupa daratan, mendadak ia mencabut pedangnya terus menusuk. Hampir saja Hong-ko terkena tusukan itu apabila kurang cepat ia mengegos ke samping. Waktu Ang- koh mengirim serangan kedua, sementara itu Hong-ko sudah mundur sampai di belakang pintu, dengan tangan kosong terpaksa pemuda ini harus menghadapi senjata orang, pada saat lain ia pun menyeram-pangkan kakinya balas menyerang, tetapi di luar perhitungannya, ia membikin terguling meja api lilin, keruan saja api lantas menjilat-jilat hingga kemudian berkobar.
Dalam pada itu mendadak Pek Eng-dji atau Ang-koh tanpa sebab roboh tersungkur, kiranya arak yang diminumnya dalam perjamuan tadi sudah dicampur dengan obat tidur. Waktu api sudah semakin besar hingga seluruh kamar sudah terjilat, tetapi api dan asap tak dapat menjilat tubuh Eng-dji, Hong-ko yang bisa berpikir cepat segera mengerti tentu dalam tubuh Eng-dji mem-bekal sebutir mutiara mestika. Maka tanpa ayal lagi segera ia menyambar tubuh gadis itu terus menerjang keluar dari kamar yang sudah hampir terkurung api.
Sementara itu perjamuan juga sedang berlangsung dengan meriah tadi, suasana pesta menjadi lebih memuncak ketika kedua belas penari berulang-ulang menuang arak ke hadapan para tetamu dengan gaya mereka yang menggiurkan.
Menyusul mana Dji-he-tju menepuk tangan memberi tanda, lalu dari ruangan belakang muncul delapan jago silat dengan pedang terhunus, tubuh mereka semua gagah tegap dan terus berjajar ke tengah.
Nampak ini Ong Bing rada bingung dan sangsi, ia bertanya kepada Dji-he-tju apa artinya itu?
"Mereka hanya penari pedang biasa saja, pedang mereka semua buatan dari kayu, Pin-to sengaja memanggil mereka menari untuk Tjiangkau!" ujar Dji-he-tju.
Meski dalam hati Ong Bing masih ragu-ragu tetapi tak bisa ia menampik.
Kemudian ketika musik berganti lagi, maka kedelapan penari pedang itupun terjun ke kalangan, pedang mereka terayun dengan membawa angin santar dan cepat.
"Ini bukan penari pedang, harap Kautju waspada!" Go-mo Li membisiki Ong Bing demi melihat cara permainan pedang penari-penari itu.
Rupanya Ong Bing pun sudah dapat melihat bahwa penari- penari itu bukan sembarang penari. "Kamu ikut aku menerjang!" serunya tiba-tiba, sesudah itu lantas ia hendak meninggalkan tempatnya. Namun sudah terlambat, dalam sekejap saja kedelapan penari pedang itu ternyata sudah melompat maju ke depan mereka.
"Jangan bergerak!" bentak mereka sambil ujung senjatanya diarahkan ke dada orang. Waktu Go-mo Li mencoba memukul, namun ia merasakan seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga. Ong Bing pun berusaha meloloskan diri dengan kepandaiannya, tetapi segera ia juga merasakan kepalanya pusing tujuh keliling, ia insyaf dirinya telah terjebak, keruan saja dalam sekejap bersama pengiringnya yang lain ia roboh tak sadarkan diri lagi. Kiranya arak yang mereka minum tadi sudah banyak dicampur dengan obat tidur.
Apabila kemudian kedelapan penari pedang itu mencopot rambut palsu mereka, ternyata mereka adalah Hu Kak Tayhiap, Boan-liong dan kawan-kawan. Begitulah maka kawanan Pek-lian-kau itu satu persatu kena mereka ringkus dengan gampang.
Kemudian dari ruangan belakang datanglah Nilan Yong-yo, melihat Ong Bing sudah kena diringkus, tentu saja ia girang sekali, berulang-ulang ia menghaturkan terima kasih atas bantuan para Tjintjin dari Khong-tong-pay itu.
Pada saat yang lain Hong-ko melaporkan pula dengan hasil tawanannya Pek Eng-dji alias Ang-koh, namun Hong-ko mencoba memohonkan pengampunan bagi Eng-dji.
Tetapi kata Nilan Yong-yo, "Ang-koh sudah tersesat, dapatkah ia diampuni kematiannya, biarlah kelak aku menyampaikan permohonanmu ini kepada Hongsiang untuk diputuskan selanjutnya."
Hong-ko tak berani usil lagi, ia mengeluarkan sebutir mutiara mestika 'Ting-hong-tju', mutiara anti angin yang ia peroleh dari Ang-koh terus dipersembahkan. Setelah menerima dengan baik mestika itu, Nilan Yong-yo memerintahkan semua tawanan itu diborgol dan dimasukkan ke dalam kereta tawanan untuk digiring ke kotaraja.
Kiranya sesudah Nilan Yong-yo membaca surat dari Bu-tun Todjin dalam kantong rahasia yang disampaikan oleh Hong- ko, ternyata imam berilmu itu telah menasehati imam-imam dari Khong-tong-pay agar jangan ikut mengacau bersama dengan kawanan Pek-lian-kau. Ia menyayangkan apabila Khong-tong-pay akan ikut termusnahkan. Karena nasehat ini, keenam Tjindjin dari Khong-tong-pay telah berunding yang disusul dengan kedatangan Toh-hiap, pendekar bongkok juga telah meminta agar suka bekerja sama dengan Nilan-kongtju menurut rencana yang telah diatur, karena itu terjebak dan tertawanlah Ong Bing beserta pengiring-pengiringnya.
Waktu itu sarang Pek-lian-kau di Kangsay pun sedang mengalami penggempuran hebat dari pasukan pemerintah, karena ular tanpa kepala, sudah tentu sisa-sisa kawanan agama liar itu kena dihancurkan. Kemudian Nilan Yong-yo dapat mengetahui tempat dimana Tjhi Djin-ho berdua dikeram, maka tidak selang berapa lama kedua orang ini pun dapat tertolong. Dengan pahala inilah kemudian Nilan Yong-yo pulang ke kotaraja untuk melaporkan tugasnya.
Di pihak lain, Hong-ko yang sudah mengenangkan Bun Sui- le, dengan cepat segera ia kembali ke Tjiongkoan terus menuju ke hutan dimana kekasihnya itu pernah tinggal. Tetapi ia tidak berhasil menemukan dia, ia tidak putus asa, pada malamnya ia lihat di dalam hutan itu seperti menembus sinar api yang kelap-kelip, ia mencari ke sana menuju ke arah sinar api itu dan akhirnya ia mendapatkan di tepi sebuah sungai kecil ada sebuah gubuk.
Ia berseru memanggil beberapa kali dari luar, sayup-sayup terdengar ada suara sahutan pelahan dari dalam rumah gubuk itu yang tidak salah lagi adalah suara Bun Sui-le. Bukan main rasa girang Hong-ko, namun pintu rumah ternyata lama sekali masih belum dibuka.
"Adikku, tak mungkin aku menemui kau, terkecuali bila kau miliki ilmu merubah wajahku," terdengar Bun Sui-le berkata dari dalam. Habis berkata terdengar ia menangis sedih sekali. Tetapi Hong-ko memohon dengan sangat agar dibukakan pintu, namun Bun Sui-le tetap tidak menuruti keinginan itu.
Hong-ko tidak putus asa, sampai jauh malam ia masih berusaha memohon di luar pintu, sampai akhirnya Bun Sui-le menjadi tidak tega sendiri, ia membuka kunci pintu, tetapi begitu pintu terpentang ia pun lantas jatuh pingsan.
Setelah masuk ke dalam, Hong-ko segera merangkul bangun kekasihnya itu, tetapi demi ia menegasi di bawah sinar pelita, terkejutlah dia. Ternyata orang yang berada dalam pelukannya ini parasnya lebih mirip setan genderuwo daripada manusia. Ia coba menenangkan semangatnya dan tetap memeluknya tak terlepaskan.
Waktu kemudian Bun Sui-le sadar tembali, ia meronta agar terlepas dari pelukan Hong-ko. "Rupanya jodoh kita hanya sampai di sini saja, hari ini aku bisa melihat kau lagi, aku sudah merasa puas, selanjutnya harap adik tak usah memikirkan diriku lagi," katanya dengan penuh kesedihan.
Hancur lebur rasa hati Hong-ko seperti diiris. "Aku mencintai jiwamu dan bukan ragamu, meski parasmu dibikin sedemikian rupa oleh musuh siluman itu pun tidak membikin goyah rasa cintaku padamu," kata Hong-ko pasti. "Marilah kita pergi ke tempat jauh, jauh dari keramaian untuk menyambung sisa hidup kita."
Karena terharu oleh kesungguhan hati pemuda ini, terpaksa Bun Sui-le membiarkan dia bermalam, ternyata Hong-ko masih tetap seperti dulu kala, sekali-kali tidak berubah karena parasnya yang sudah berubah begitu jelek, hal ini membikin Bun Sui-le lebih terharu lagi. Tetapi setelah ia berpikir semalam suntuk, akhirnya ia mengambil keputusan buat berpisah juga.
Begitulah maka pada esok paginya ketika Hong-ko bangun, pemuda ini sudah tidak melihat lagi bayangan Bun Sui-le, hanya di bawah bantalnya ditinggalkan secarik surat yang menyatakan bahwa kecuali kalau paras mukanya sudah pulih seperti semula baru ada harapan untuk mengikat diri sampai hari tua. kalau sebaliknya maka susah untuk bersua pula selanjutnya. Pedih sekali rasa hati Hong-ko waktu mengetahui dirinya sudah ditinggalkan, ia mencari lagi hingga setengah bulan, tetapi percuma saja.
Kemudian Boan-liong Kiamkhek menganjurkan padanya buat berangkat ke kotaraja untuk melihat perkara Ong Bing cara bagaimana diputuskan.
Begitulah maka tidak selang lama Hong-ko sampai di kotaraja, sementara itu perkara Pek-lian-kau ternyata sudah diperiksa selesai bahkan sudah diumumkan hasil pemeriksaannya itu.
Maklumat itu berbunyi:
"Dari pemeriksaan ternyata bahwa manusia siluman Ong Bing asalnya adalah Leng-khong-tju dari Khong-tong-san.
Soalnya karena hartawan Ong Bing di dusun Tiang-sing-si, propinsi Kangsay, memiliki harta kekayaan luar biasa pada tahun itu telah mengundang Pek Ting-djoan dari Tjiok-ge-tjun untuk menjabat sebagai guru di rumahnya, kebetulan Leng- khong-tju mengembara sampai di situ, di tengah jalan ia dapat mengelabui Pek Ting-djoan dengan berbagai ancaman pancingan, akhirnya mereka bersama-sama menuju ke rumah Ong Bing dan kemudian hartawan ini mereka binasakan secara diam-diam. Sejak itu Leng-khong-tju lantas menyamar sebagai Ong Bing, dengan menggunakan nama Pek-lian-tjosu yang telah menjelma ke bumi ini untuk menolong sesamanya, dan dengan kepandaiannya dalam berbagai ilmu, ia membikin pengikutnya percaya. Hanya Pek Ting-djoan seorang saja yang mengetahui rahasianya, sejak itu pula ia lantas menggunakan harta kekayaan Ong Bing dan secara diam-diam memperluas pengaruh ajaran Pek-lian-kau, rakyat yang kena dikelabuinya tidak kurang dari beberapa juta orang.
Kini berkat Thian yang maha murah dan di bawah perlindungan arwah leluhur, akhirnya penjahat utama dari Pek-lian-kau, Leng-khong-tju beserta begundal-begundalnya sudah kena diringkus semua sekaligus, dalam pemeriksaan terdakwa sudah mengakui dengan terus terang. Oleh karena itu Ong Bing alias Leng-khong-tju segera dihukum mati, ayah dan anak Pek Ting-djoan dan pengikut-pengikut yang lain terbukti melakukan kesalahan, karena itu dijatuhi hukuman mati juga dan selekasnya dilaksanakan." Melihat Pek Eng-ji ternyata tidak mendapat pengampunan, seketika Hong-ko merasa tidak enak sekali. Waktu ia kembali ke kediaman Nilan Yong-yo, baru Hong-ko mendapat tahu bahwa Hongte telah mengeluarkan firman juga yang banyak memuji jasa para imam dari Khong-tong-san dan dari kas negara dikeluarkan pula seratus ribu tail perak untuk memelihara rumah biara di gunung itu. Sedang Boan-liong Kiamkhek dan lain-lain yang berjasa juga, semuanya tidak diusut perkara mereka yang dahulu dan dihapuskan dari tuntutan. Kecuali itu Soatang Sunbu diperintahkan juga agar segera membebaskan Giam Tje-tjoan, kepada orang tua ini dibebaskan dari pajak selama sepuluh tahun sebagai tanda penyesalan kesalahan menangkap.
Kemudian diperintahkan pula agar 'Tjin-tju-goan', topi bertabur mutiara yang masih dalam simpanan Tam Ting-siang, pembesar ini sebenarnya tidak boleh memiliki harta benda asal rampasan dari Go Sam-kui, maka segera pembesar ini dipecat dari jabatannya dan selanjutnya akan dituntut.
Sedang mengenai ketiga mutiara mestika, di antaranya Pi- hwe-tju dihadiahkan kepada Go-bi-pay sebagai pusaka, Ting- hong-tju diberikan pada Toh-hiap, dan yang terakhir Gi-han- tju menjadi milik Teng Hong-ko.
Akhirnya tiba pada hari menjalankan hukuman mati bagi Pek Eng-dji, Hong-ko menemui gadis ini di tempat tahanan untuk penghabisan kalinya. Pemuda ini menangis terharu sekali, sebaliknya Pek Eng-dji ternyata bersikap lain, mukanya sedikit-pun tidak berubah. Sebelum Eng-dji digiring menuju ke lapangan untuk menjalankan hukuman penggal kepala, ia masih sempat memanggil Hong-ko. "Kelak bila pemerintah menggeledah markas besar Pek- lian-kau, di dalam perut patung Tjosu terdapat sebuah kitab yang penuh berisi berbagai ilmu, dari sana kelak kau bisa mengembalikan paras muka Bun Sui-le ke asalnya, tetapi kitab itu telah banyak mengorbankan orang, hendaklah jangan kau simpan, tetapi bakarlah!"
Begitulah sehabis ia memberi pesan terakhirnya itu, digu- surlah ia menuju ke lapangan dan dipenggal kepalanya, maka tamatlah riwayat gadis jelita ini. Kemudian Hong-ko melaporkan apa yang Eng-dji katakan itu kepada Nilan Yong- yo, ia minta diperbolehkan ikut utusan pemerintah melakukan penggeledahan ke pusat Pek-lian-kau di Kangsay.
Belakangan, betul juga Hong-ko berhasil menemukan kitab yang dimaksudkan Eng-dji, dalam kitab ini banyak berisi ilmu ajaran yang menyesatkan, Hong-ko hanya menyalin resep yang bisa menyembuhkan muka Bun Sui-le, habis itu ia lantas membakar kitab itu.
Dengan cintanya yang murni dan ditambah pula bantuan dari para pendekar kalangan Kangouw, akhirnya Hong-ko berhasil menemukan kembali Bun Sui-le di Hoa-san. Pemuda ini mengobati kekasihnya ini menurut resep yang ia peroleh, ternyata resep itu sangat mustajab, pelahan demi pelahan, tidak sampai setengah tahun paras muka Bun Sui-le telah kembali seperti sediakala yang cantik molek.
Akhirnya ayah Hong-ko, Teng Ling pun dapat berkumpul kembali dengan puteranya ini. Waktu nampak menantunya begitu elok menarik, orang tua inipun merasa gembira, maka berkumpul mereka sekeluarga dan hidup berbahagia!
TAMAT