Jilid 06
Oleh sebab itu, meski kadangkala Ang-koh terkenang pada Teng Hong-ko juga, namun tak berani ia mengatakan pada orang lain, tetapi sebenarnya dalam hati senantiasa terukir bayangan Hong-ko.
Melihat gadis ini termenung-menung serta berdiri di tempatnya tadi dengan menunjukkan wajah kemalu-maluan, Hong-ko mengerti hati gadis ini masih belum tersesat seluruhnya.
Maka ia pun tidak mengurus padanya sebaliknya lantas ia merobek sebagian kain bajunya sendiri untuk membalut luka Bun Sui-le dan menotok jalan darahnya untuk menghentikan darah mengalir lebih banyak.
Dengan mata memandang padanya, Ang-koh sepatah kata pun tidak buka suara, sampai akhirnya terdengar ia menghela napas.
"Hong-ko, baiklah, boleh kau bawa dia pergi!" katanya kemudian dengan melambaikan tangan.
Habis berkata, lantas ia memutar tubuhnya terus masuk ke belakang kerai, betapa pilu rasa hatinya, air matanya pun ber- linang-linang membasahi kedua pipinya, namun hal ini sama sekali tidak terlihat oleh Hong-ko. Dalam pada itu Giok-bin-yao-hou yang terluka parah, napasnya sudah sangat lemah. Hong-ko mengangkat tubuhnya terus digendong, kemudian ia melompat keluar dari ruangan itu.
Mendadak dari tempat gelap memapaki sesosok bayangan orang, dengan cepat Hong-ko mengangkat senjatanya sambil menanti musuh, namun segera terdengar orang itu memberi tanda dengan suitan, ternyata orang ini ialah Boan-liong Kiam- khek.
Tadi waktu mereka berdua menyusul ke sini, mereka mengerti di atas loteng itu sedang terjadi pertarungan sengit, tentu Ang-koh telah memergoki Bun Sui-le, maka Boan-liong lantas berkata pada Hong-ko sambil menyerahkan pedangnya, "Coba kau menyaksikan ke atas, aku tidak ingin dilihat oleh Ang-koh dan tentu akan menanam bibit pertikaian dengan Pek-lian-kau!"
Begitulah, setelah menerima pedang orang segera Hong-ko melompat masuk ke ruangan dimana sedang terjadi pertarungan seru antara Ang-koh melawan Bun Sui-le, tetapi akhirnya kedatangannya tetap juga terlambat selangkah.
Kini melihat yang datang ialah Boan-liong, barulah hati Hong-ko menjadi lega.
Demi melihat Bun Sui-le terkutung sebelah lengannya, Boan-liong pun ikut terkejut.
"Sayang aku agak terlambat sedikit, kalau tidak, di hadapanku mungkin Ang-koh tidak nanti begitu kejam," ujar Hong-ko dengan penuh penyesalan.
"Lukanya parah sekali, dari sini kembali ke Pek-lian-am masih harus ditempuh belasan li lagi, bagaimana ini baiknya?" kata Boan-long yang merasa kuatir. Tiba-tiba Hong-ko teringat akan sesuatu, ia meraba-raba ke pinggangnya, ternyata masih ada tersisa dua butir obat pil bikinan Go-bi-san yang tidak kena digeledah oleh Njo Djun.
Lekas ia mengeluarkan pil itu untuk dicekokkan pada Giok- bin-yao-hou, namun gadis ini ternyata sudah tak mampu menelan lagi.
"Jangan kau sungkan-sungkan lagi, kalau tidak lekas kau obati dia, mungkin ia sudah tak tahan untuk kembali ke sana," ujar Boan-liong.
Hong-ko melihat di bawah ada sungai kecil, maka lekas ia merebahkan Giok-bin-yao-hou, lebih dulu ia mengunyah hancur obat pilnya terus dari mulut ke mulut ia melolohi gadis itu, habis itu ia berkumur dengan air sungai terus dicekokkan ke mulut Bun Sui-le secara pelahan-lahan.
Lewat tak lama kemudian, Giok-bin-yao-hou dengan pela- han sudah bisa menggerakkan lehernya.
"Auuh!" begitu ia membuka matanya, ia sudah menjerit kesakitan.
Melihat gadis ini sudah mendusin, mereka berdua menjadi lega, maka mereka lantas melanjutkan perjalanan menuju kembali ke Pek-lian-am.
Ketika mereka melintasi Djong-liong-nia atau bukit naga tua, cuaca sudah mulai terang, dari sini mereka melanjutkan perjalanan pula, tidak lama kemudian mereka sampai di kuil yang dituju itu.
Pada waktu itu juga, tiba-tiba mereka mendengar di belakang ada suara teriakan orang yang lagi mengejar mereka, ketika mereka menoleh, ternyata yang memburu datang ada lima orang, yang berjalan paling depan ialah seorang yang memakai pakaian kebesaran yang mereka kenal, adalah Tjhi Djin-ho, di belakangnya menyusul Hian-hong, Hian-thian dan Hian-ang, ketiga imam Khong-tong-pay dan yang berjalan paling belakang adalah Li Ngo.
Kiranya pada waktu Giok-bin-yao-hou menerobos masuk ke Tjui-hun-kiong tadi dengan tujuan menolong Hong-ko, di kamar belakang ia telah dipergoki oleh Hian-hong bertiga yang sedang bersenang-senang minum arak dengan Tjhi Djin-ho, di samping mereka masih terdapat pula lima atau enam orang
Ni-koh atau padri wanita, ada yang sedang memetik alat musik dan ada pula yang lagi bernyanyi kecil.
Menyaksikan keadaan itu sesungguhnya bukan main rasa gusar Bun Sui-le, meski ia sendiri adalah seorang begal wanita, tetapi tidak nanti ia berbuat cabul, lebih-lebih seperti kaum padri itu, semula ia berniat melompat masuk secara mendadak buat membunuh Tjhi Djin-ho terlebih dulu, tetapi demi teringat bahwa jejak Hong-ko belum ditemukan, lagi pula ada Hian-hong bertiga yang tidak gampang ia robohkan, maka ia mengurungkan maksudnya itu.
la coba menahan amarahnya itu terus berbalik keluar dari taman menuju ke belakang, tetapi baru saja ia berjalan tidak jauh, tiba-tiba di depannya mendatangi seorang pembesar yang bukan lain adalah 'Tui-hun-djiu' Njo Djun.
Mungkin pembesar ini sedang sial, maka ia bertemu dengan Bun Sui-le, keruan saja segera Bun Sui-le melompat maju dan terus mencekik leher pembesar itu sambil mengancam dengan senjatanya, agar pembesar itu mengaku dimana Hong-ko dikurung.
Melihat yang muncul mendadak ini ialah Giok-bin-yao-hou, sudah tentu tidak kepalang terkejut Njo Djun.
"Itu adalah perbuatan Ang. Ang-koh!" ia mengaku
dengan suara ketakutan.
Namun tanpa ampun lagi segera Bun Sui-le menusukkan senjatanya ke dada pembesar celaka itu yang sudah tak bisa berkutik lagi. Sesudah itu barulah Bun Sui-le mencari Ang-koh untuk mengukur tenaga sebagaimana telah diceritakan di atas.
Di lain pihak, mayat Njo Djun akhirnya diketemukan oleh seorang Totong atau imam cilik, saking kagetnya, Totong ini menjerit-jerit hingga seluruh isi rumah pun ikut terkejut.
Ketika orang-orang berlari ke taman di belakang, maka tertampaklah Njo Djun menggeletak di lantai dengan mandi darah dan tidak bernyawa lagi. Sementara itu diperoleh laporan juga dari Li Ngo yang berlari-lari kembali dengan gugup bahwa penjahat dalam tahanan telah meloloskan diri, sedang penjaga-penjaga pun telah dibunuh orang.
Terpaksa Hian-hong hanya bisa melaporkan semua kejadian itu kepada Ang-koh, akan tetapi begitu dia masuk ke kamar gadis itu, ia mendapatkan kamarnya pun sudah kosong, hanya ada ditinggalkan sepucuk surat yang mengatakan bahwa gadis itu harus meninggalkan tempat ini karena ada sesuatu kepentingan dan tidak usah dibuat kuatir.
Sudah tentu hal ini makin mengherankan dan mencurigakan, Tjhin Djin-ho segera memerintah orang memeriksa lantai dengan api lilin, ia mendapatkan darah memenuhi lantai kamar, bahkan ada kurungan lengan orang yang masih segar tergeletak di situ, di sampingnya terdapat pula sebuah pedang.
Tjhi Djin-ho mengenali itu adalah senjata Giok-bin-yao-hou yang diperoleh dari gurunya, maka teranglah, tentu Giok-bin- yao-hou telah terkurung sebelah tangannya oleh Ang-koh dan kemudian kena ditolong pergi oleh tawanan yang berhasil meloloskan diri itu.
Mereka menaksir pasti belum jauh mereka kabur, maka segera Tjhi Djin-ho segera memimpin Hian-hong bertiga bersama Li Ngo lantas mengejar dengan melintasi gunung dan bukit. Begitulah, setelah Boan-liong Kiam-khek mengenal siapa yang mengejar itu, diam-diam ia menjadi kuatir.
"Lekas kau kabur menggendong Bun-tjetju, biar aku sendiri yang menahan mereka!" katanya pada Hong-ko.
"Baiklah, harap Tjianpwe berlaku waspada, aku menanti di Pek-lian-am!" sahut Hong-ko sambil mengembalikan pedangnya pada Boan-liong.
Habis itu, tanpa ayal lagi segera ia berlari pergi dengan menggendong Bun Sui-le secepat terbang.
Tatkala itu kabut tebal masih menutupi bukit, bayangan Hong-ko dalam sekejap saja sudah menghilang di antara kabut tebal itu.
Ketika para pengejar sudah mendekat, tiba-tiba Tjhi Djin-ho menampak di atas bukit naga tua itu berdiri tegak seorang
laki-laki gagah, berjidat lebar dan bermata besar, dengan pedang terhunus dan bertolak pinggang sedang memandang mereka dengan mata melirik.
Tjhi Djin-ho tidak mengenal Boan-liong, segera ia bergegas melolos senjatanya terus hendak maju.
Akan tetapi sebelum ia bertindak, Hian-hong sudah keburu melompat ke depan dan mencegah padanya.
"Dji-long Hiante, sudah lama sekali kita berpisah," begitulah Hian-hong menyapa pada Boan-liong. "Kabarnya Hiante banyak bertambah maju dan nama pun menjadi terkenal, kali ini datang ke Hoa-san, tentu cukup mengetahui maksud ajakan Thong-thian Tjiang-kau."
Melihat Hian-hong berlaku hormat, mau tak mau Boan-liong membalas juga.
"Suheng," katanya kemudian. "Mengingat kita sesama perguruan, tetapi sudah lama kita berpisah dan menuju cita- cita sendiri, hari ini beruntung bisa bertemu, dengan senang hati bolehlah kita bercakap-cakap, tetapi kalau menyinggung soal Pek-lian-kau, hal ini mungkin akan sangat mengecewakan Suheng."
Dalam pada itu Hian-thian dan Hiang-ang berdua terpaksa harus maju buat menyapa juga, hanya Tjhi Djin-ho dan Li Ngo berdua saja yang masih tetap berdiri di samping dengan senjata terhunus, mata mereka melotot, suatu tanda siap untuk segera bergebrak.
Hian-hong bertiga saling memberi tanda, begitu maju mereka sudah memasang jaring-jaring secara mengepung hingga Boan-liong terkurung di tengah.
"Baiklah, karena Dji-long tidak suka membicarakan urusan lain, maka kita boleh beromong-omong mengenai urusan perguruan kita sendiri," terdengar Hian-hong berkata pula dengan tertawa dibuat-buat. "Wanita siluman Bun Sui-le itu pernah dibesarkan oleh Ko-hui-tju Susiok, siapa sangka sesudah dewasa ia lantas kabur ke Thian-san dan akhirnya malah bermusuhan dengan perguruan kita, coba kau pikir, orang yang mengkhianati dan membelakangi perguruan ini, dapatkah kau membiarkannya terus?"
Akan tetapi perkataan Hian-hong ternyata makin menjadikan gusar Boan-liong.
"Semua orang mempunyai cita-cita, seperti aku juga, meski aku berasal dari Khong-tong-pay, tetapi aku tidak setuju dengan tindak tanduk kamu. Tadi Bun Sui-le adalah aku yang menolongnya, apalagi yang kamu kehendaki?" sahurnya ketus.
Jawaban ini ternyata membikin murka 'Siau-song-sin' Li Ngo, si malaikat maut kecil ini dengan sekali bergerak, ia balas mendamprat dengan senjata menuding, "Kau harus mewakilkan jiwanya!"
la melompat maju terus membacok. Namun Boan-liong sedikit pun tidak bergerak, ia membiarkan senjata orang sudah mampir tiba mengenainya, mendadak ia mengulur sebelah tangannya menyampuk terus mencekal, seketika itu juga pergelangan tangan Li Ngo sudah tergenggam oleh jarinya, ketika kemudian ia memuntir, maka Li Ngo tak bisa berkutik lagi, goloknya segera terlempar jatuh.
"Kau jahanam ini betul-betul bernyali besar, berani melawan pembesar utusan kerajaan!" bentak Tjhi Djin-ho gusar juga.
Menyusul mana pedangnya pun lantas menusuk.
Melihat gerak serangan musuh, Boan-liong mengetahui bahwa lawannya ini tidak lemah, maka ia tak berani ayal, dengan cepat ia mengangkat pedangnya untuk menangkis, dengan tipu 'Ui-eng-djut-kok' atau burung kenari keluar dari lembah, begitu senjata beradu, berbareng ia mendorong ke bawah dengan tujuan memotong tangan orang.
Namun Tjhi Djin-ho pun cukup tangkas, senjatanya juga ia tekan ke bawah hingga karena itu kedua senjata kembali saling beradu lagi.
Begitulah, mereka berdua bergebrak di atas bukit itu dan saling beradu lagi.
Sementara itu Hian-hong yang menonton di samping, ketika nampak Tjhi Djin-ho tidak sanggup mengatasi lawannya, segera ia memberi tanda, menyusul mana kedua saudara seperguruannya, Hian-thian dan Hian-ang, lantas maju berbareng dari kedua sayap kanan dan kiri.
"Di hadapan Tjhi-taydjin, jangan kau berbuat kurang ajar!" gertak mereka berbareng dan kedua senjata mereka melintang di depan Boan-liong.
Tampaknya mereka mencegah dan memisah, tetapi sebenarnya mereka menghalangi Boan-liong menyerang dan membiarkan Tjhi Djin-ho merangsek. Boan-liong Kiam-khek ternyata tidak menjadi jeri atas perlakuan orang itu, ketika mendadak melihat dua senjata melintang di depannya, lekas ia berjongkok dan menerobos dari tengah hingga kedua pedang musuh terbentur pergi.
Akan tetapi pada saat itu juga Tjhi Djin-ho menusuk lagi dari belakang, beruntung ia cukup waspada dan sempat melompat naik ke atas hingga senjata lawan menyambar lewat di bawah kakinya. Sudah itu ia memutar pedangnya dengan cepat luar biasa hingga seluruh badannya diselubungi dengan segulungan sinar putih.
Meski ilmu silat Boan-liong cukup tinggi, tetapi menghadapi tiga lawan kelas berat, empat puluh jurus kemudian ia pun merasa sudah payah. Diam-diam ia memikirkan daya buat angkat langkah seribu.
Pada suatu kesempatan, ia lantas memutar tubuhnya hendak kabur, mendadak ia meloncat naik. Tak ia duga baru saja ia bergerak, sekonyong-konyong di belakangnya menyusul pula bayangan orang, ternyata Hian-hong yang mementang kedua belah lengan bajunya menubruk maju seperti burung yang mementang sayap.
Lekas Boan-liong mengayun pedangnya ke belakang, namun Hian-hong sudah mengibaskan lengan bajunya yang cukup lebar, ia menyampuk senjata lawan ke bawah, berbareng itu angin telapak tangannya pun menyambar, dengan tipu 'Hun-liong-tam-djiau, atau naga di awan mengulur cakar, ia dapat meraup baju tepat di tengguk Boan- liong.
Karena itu Boan-liong tak bisa berkutik lagi, ia masih berusaha membaliki pedangnya buat memotong, tetapi Tjhi Djin-ho mendahului maju, pedangnya disampuk jatuh, karena itu Boan-liong dan Hian-hong bersama-sama lantas bergumul ke bawah, tetapi setelah Hian-thian dan Hian-ang maju lagi, segera Boan-liong kena dibekuk batang lehernya. Li Ngo tadi dipecundangi Boan-liong, ia sangat gemas dan ingin membalas, maka ia maju buat meringkus Boan-liong, bahkan ia menendang beberapa kali hingga Boan-liong menjerit kesakitan.
"Li-si-wi jangan melukai dia, kami harus menggiring dia kembali menghadap pada ketua perguruan kami untuk diambil sesuatu keputusan," lekas Hian-hong mencegah lebih lanjut penganiayaan itu.
Sedang mereka berbicara, tiba-tiba tertampak di bawah gunung sana mendatangi satu pasukan bala tentara yang memakai tanda bendera naga kuning.
"Yang tiba ini adalah pasukan Limtjing-tjongtin, coba kita nantikan ada perintah apa lagi." ujar Tjhi Djin-ho gugup waktu melihat datangnya pasukan tentara itu.
Ketika mereka sampai di bawah gunung, segera tertampak
: eorang pembesar maju hendak menemui Tjhi Djin-ho.
Kiranya berita tentang terbunuhnya Kui Ping-boan telah dilaporkan ke kotaraja, karena itu Kaisar Khong-hi gusar sekali, segera ia mengutus putera Perdana Menteri Nilan, bernama Nilan Yong-yo, membawa pula perintah rahasia dari Perdana Menteri itu agar dalam sebulan Tjhi Djin-ho harus membantu utusan Kaisar itu menemukan kembali ketiga butir mutiara mes-tika dan Tjhi Djin-ho diperintahkan pula segera pergi menghadap Nilan Yong-yo.
Nilan-kongtju adalah seorang pujangga pada zaman itu.
Bahkan ia pandai pula ilmu silat, di antara pembesar Boan-tjiu kiranya tiada orang lain lagi yang 'Bun-bu-tjoan-tjay' seperti dia ini.
Ketika itu Nian Yong-yo masih belum genap berumur dua puluh lima, namun Kaisar Khong-hi sangat sayang padanya dan menganggap dia sebagai orang kepercayaannya. Ketika Tjhi Djin-ho menerima surat perintah itu, maka ia harus segera berangkat ke Limtjmg dan tak sempat mengejar Teng Hong-ko lagi.
Begitulah lantas ia memberitahukan tugas yang harus dilakukan itu kepada imam-imam dari Khong-tong-pay dan minta bantuan mereka agar membantu menemukan kembali ketiga butir mutiara mestika yang telah hilang, sudah tentu Hian-hong dan kawan-kawan menjanjikan bantuan mereka dan setelah itu mereka berpisah menuju ke jurusan masing- masing, Tjhi Djin-ho menggiring Boan-liong menuju ke Limtjing bersama Li Ngo.
Kembali pada Teng Hong-ko, dengan menggendong Bun Sui-le, mereka akhirnya tiba kembali di Pek-lian-am dengan selamat.
Demi menampak Bun Sui-le terluka parah dan hilang sebelah tangannya, Liok-dji Nikoh menjadi terkejut sekali dan lekas ia memberikan obat luka dan memperbaharui pembalutannya, ia pun bertanya dimana adanya Boan-liong Tayhiap.
Secara singkat Hong-ko menceritakan pengalamannya semalam.
"Kini tempat persembunyianmu sudah diketahui orang, lekas kau ikut aku menyingkir ke tempat lain dulu!" ujar Liok dji Nikoh.
Hong-ko tak sempat bertanya lebih lanjut lagi, bergegas ia lantas berangkat, Liok-dji Nikoh memondong Bun Sui-le ke atas seekor keledai, bersama Hong-ko mereka meninggalkan Pek-lian-am.
Sesudah melintasi sebuah bukit dan melalui hutan belukar, tidak lama kemudian mereka nampak sebuah rumah biara di depan mata mereka, rumah biara itu adalah King-thay-si. Sesudah mereka masuk ke dalam kuil itu, mereka segera disambut oleh seorang Hwesio setengah umur.
"Angin apakah yang meniup Sutji datang kemari!" sapa Hwesio itu kepada Liok-dji dengan merangkap kedua tangannya.
"Ya, kalau tiada kepentingan tentu tidak mengunjungi Su- te," sahut Liok-dji. "Ini ada dua orang sahabat yang ingin mon-dok sementara di tempatmu ini, entah sudikah Sute menerima?"
Hwesio ini bernama Un-sian, adalah saudara seperguruan Liok-dji, sudah tentu atas permohonan orang, tidak nanti ia menolak, maka sesudah saling diperkenalkan, lantas ia menyambut Hong-ko dan Bun Sui-le ke dalam, sedang Liok-dji sendiri berangkat kembali ke Pek-lian-am sambil mencari berita mengenai Boan-liong.
Lewat beberapa hari kemudian, luka Giok-bin-yao-hou mulai sembuh, siang malam tanpa mengenal letih Hong-ko selalu merawat di sampingnya dan menghiburnya dengan berbagai jalan.
Melihat Hong-ko begitu telaten dan sabar merawatnya, makin bertambahlah rasa terima kasih Bun Sui-le.
Pada suatu malam, Hong-ko yang tidur di kamar sebelah t;ba-tiba terkejut oleh suara tangisan, lekas pemuda ini menilik ke kamar Bun Sui-le, ia melihat muka kekasihnya ini basah dengan air mata dan sedang menangis dengan sedih sekali.
"Soal apakah yang menjadi Tjitji menangis?" tanya Hong-ko sembari duduk di sampingnya. "Dalam beberapa hari ini kau sudah hampir sembuh seluruhnya, aku merasa gembira karenanya!"
Akan tetapi Bun Sui-le ternyata makin berduka mendengar ucapannya itu. "Aku kini sudah menjadi cacad, tak tega aku mengganggu keberuntungan hidup adik selanjutnya," ujarnya dengan tersedu-sedan.
"Jangan Tjitji berkata demikian," sahut Hong-ko dengan cepat. "Perasaanmu terhadap diriku yang begitu dalam dan budimu pun tidak nanti aku lupakan, aku bukan manusia yang tidak mengenal balas budi, meski kau terkurung lagi sebelah tanganmu yang lain, pasti aku akan tetap cinta padamu."
Mendengar kata orang yang begitu sungguh-sungguh dan teguh hati, dari berduka Bun Sui-le kemudian berubah menjadi senang.
"Apakah Dian-tayhiap sudah ada kabar?" tanyanya. "Belum," sahut Hong-ko sambil menggeleng kepala. "Hari
ini Liok-dji Taysu telah mengirim kabar, katanya Hian-hong bertiga dan Tjhi Djin-ho serta kawan-kawan yang lain sudah meninggalkan Tjui-hun-kiong."
"Kalau begitu hendaklah Hiante besok pergi keluar buat mencari kabar, kalau Dian-tayhiap mengalami malapetaka, kita harus berdaya menolongnya," ujar Bun Sui-le.
Sedang mereka bercakap-cakap, waktu itu sudah lewat tengah malam, tiba-tiba di atas wuwungan rumah seperti ada bunyi keresekan.
Bun Sui-le yang sudah banyak berpengalaman, segera ia menyirapkan api lilin.
"Ada orang datang!" kemudian ia berbisik di tepi telinga Hong-ko.
Sebelum mereka bertindak lebih jauh, tiba-tiba mereka mendengar di atas atap rumah ada orang berkata, "Hong-ko kau keluarlah, Pin-to ingin bicara padamu!"
Mendengar suara perkataan orang, mendadak muka Hong- ko berubah, ia mengenali itu adalah suara gurunya. Oei-bai Tjin-djin dari Liong-hou-san. Ia menjadi heran mengapa orang tua ini bisa mendadak datang kemari.
Imam tua Oei-bai Tjindjin adalah guru Hong-ko sebelum pemuda ini belajar ke Go-bi-san, mereka sudah lama sekali tak pernah berjumpa. Maka Hong-ko tak berani ayal lagi, segera ia melompat keluar ke pelataran di luar, ketika ia mendongak memandang, betul juga di atas atap rumah itu berdiri seorang imam dengan jubahnya yang melambai-lambai tertiup angin malam.
Mengenali memang Oei-bai Tjindjin adanya, lekas Hong-ko maju menjura.
"Hong-ko," Oei-bai Tjindjin berkata, "Pin-to ditugaskan oleh ketua Go-bi-pay, Bu-tun Tjindjin, kau diperintahkan segera mengantarkan Pi-hwe-tju ke Tjiongkoan (Limtjing) dan menghadap pada Nilan-kongtju."
Mendapat perintah dari gurunya itu, keruan saja Hong-ko terperanjat sekali.
"Nilan Yong-yo adalah orang kepercayaan Khong-hi, dengan demikian apa bukan mengantar kambing ke mulut macan?" begitu ia berpikir dalam hatinya.
Nampak pemuda ini tertegun dan sangsi, Oei-bai mengeluarkan sepucuk surat dari baju terus diserahkan pada Hong-ko.
"Ini adalah petunjuk penting dari Tjiangkau (ketua), kau diharuskan menjalankan tugas ini menurut rencana, tidak boleh gagal!" pesannya lagi.
Berulang kali Hong-ko menyahut, sudah itu Oei-bai Tjindjin melayang pergi, dalam sekejap saja ia sudah menghilang di dalam kegelapan.
Esok paginya, di gerbang markas komando militer Tjiongkoan terlihat berkibar bendera segi dua belas dari sutera kuning berlukiskan naga emas, pembesar-pembesar negeri yang melihatnya segera akan mengerti bahwa utusan Kaisar sudah tiba, maka siapa saja yang sampai di luar gerbang harus berlutut menyembah.
Pada waktu lohor hari itu, di luar gerbang markas itu datang seorang pemuda, dari dandanannya seperti seorang tukang kawal perantauan, di punggungnya menggemblok sebatang pedang pula.
Ketika para penjaga melihat pemuda ini tidak berlutut menyembah seperti lazimnya, mereka membentak-bentak, mereka segera mengayun cambuk menyabet.
Dengan sehatnya dihentakkannya pecut itu hingga kedua penjaga itu jatuh terpelanting.
Akan tetapi, begitu pemuda itu mengangkat kedua tangannya, beberapa cambuk penjaga itu kena dirampas terus ditarik hingga beberapa penjaga segera terpelanting, lalu dengan langkah lebar, seperti tidak terjadi sesuatu pemuda itu lantas berjalan ke dalam.
Namun ia segera dipapak lagi oleh dua orang penjaga pintu kedua dengan golok melintang.
Sementara itu dari dalam, beberapa bayangkara yang datang dari koraraja menyaksikan kejadian tadi, mereka yang sudah banyak merasakan asam garam, dengan cepat mereka melaporkan kejadian itu ke dalam.
Segera Nilan Yong-yo memberi perintah mempersilakan orang menghadap, maka tak berani ayal lagi, pemuda itu lantas disongsong masuk ke dalam.
Yang datang ini bukan lain ialah Teng Hong-ko, pagi-pagi sekali ia kembali ke Pek-lian-am dan mengambil kembali 'pedang perjalanan' dari perguruannya itu yang masih tertinggal di kuil Liok-dji Nikoh, sudah mana secepat terbang ia menuju ke Tjiongkoan. Waktu itu dengan angkernya Nilan Yong-yo duduk di ruangan kebesarannya, tampak seorang pemuda dengan langkah lebar dan sikap gagah berjalan masuk, ternyata pemuda ini hanya membungkuk tetapi tidak menjura padanya.
Ketika ia menegasi pedang di atas punggung orang, ia lihat pedang kuno itu bersarung belang penuh ukiran-ukiran aneh, segera ia mengenali itu adalah tanda dari Go-bi-pay.
Nilan Yong-yo adalah seorang pandai yang aneh, tidak sedikit tokoh dan pendekar dari dunia persilatan yang bersahabat dengan dia, oleh sebab itu, pedang ini tidak mungkin bisa mengelabui matanya.
"Harap dimaafkan tidak mengetahui kalau yang datang ini adalah tokoh dari Go-bi-pay!" ia menyapa dengan membalas hormat orang sambil meninggalkan tempat duduknya.
"Pantas orang Kangouw begitu menghormat kepadanya, ternyata ia memang suka merendah, kali ini Suhu memerintahkan aku ke sini, tentu ia punya tujuan tertentu!" demikian ia berpikir demi menampak cara orang merendahkan diri.
Maka segera ia menghormat lagi sembari menutur, "Hamba Teng Hong-ko, mendapat perintah dari guruku Bu-tun Todjin untuk menghadap Kongtju dan menghaturkan sebutir mutiara!"
Mendengar penuturan itu. Nilan Yong-yo tercengang seketika, lekas ia mempersilakan Hong-ko menuju ke taman di belakang.
Pemandangan di situ indah sekali dan hawa pun sejuk, segera para pelayan menyediakan meja perjamuan. Sesudah Nilan Yong-yo menghalau pengiring-pengiringnya, kemudian Hong-ko menerangkan maksud kedatangannya dan dari dalam bajunya ia mengeluarkan sebuah bumbung perak kecil, waktu ia menuang bumbung itu, segera tertampaklah segelintir benda yang berkilau menyilaukan mata, yang bukan lain adalah Pi-hwe tju atau mutiara anti api yang jarang terdapat di jagad ini.
"Betul-betul mutiara bagus!" puji Nilan Yong-yo sesudah ia menyambut benda mestika itu ke dalam tangannya. Sudah itu ia bertanya pula, "Apa ada petunjuk lain dari gurumu, Bu-tun Todjin, tiada halangannya Teng-heng memberitahukan terus terang!"
"Soal ini berhubungan dengan kepentingan berjuta jiwa manusia, kalau mendadak kabar ini menjadi bocor, mungkin beberapa tempat di daerah tengah tidak akan terhindar dari malapetaka peperangan!" lapor Hong-ko kemudian.
Mendengar penuturan itu, Nilan-kongtju memandang tajam pada Hong-ko.
"Teng-heng sementara jangan mengatakan dahulu, soal ini mungkin aku bisa menebak beberapa bagian," ujarnya. "Marilah kita coba masing-masing menulisnya di dalam telapak tangan?"
"Kongtju yang pandai berpikir, mungkin ada persamaan pandangan juga, baiklah hamba menurut!" sahut Hong-ko.
Sudah itu Nilan Yong-yo menuju ke meja tulisnya, ia mengambil pit terus dituliskannya beberapa huruf dalam telapak tangannya, menyusul Hong-ko pun meniru juga.
Apabila kemudian mereka berhadapan dan saling membuka telapak tangan mereka, maka tertampaklah apa yang mereka tulis di tengah telapak tangan ternyata sama-sama berbunyi 'Pek-lian-kau' tiga huruf, tak tertahan mereka jadi saling pandang sambil tertawa lebar.
"Terus terang saja, waktu aku berangkat dari kotaraja, Hongsiang (Kaisar) diam-diam telah memberi perintah rahasia bahwa menurut laporan para gubernur paling belakang ini, manusia siluman Ong Bing yang lolos sepuluh tahun yang lalu di Kangsay, kembali mempergunakan ajaran Pek-lian-kau buat mengelabui mata rakyat, dan anggota-anggotanya menyebar di semua propinsi, melulu Siangsay dan Holam dua tempat itu saja pengikutnya ada lima atau enam puluh ribu, kini Ong Bing telah mengganti namanya menjadi Thong-thian-kiu-tju, tujuannya hendak merambah ke Kafnsiok, apabila dia berhasil bersekongkol dengan imam-imam dari Khong-tong-pay, maka hal ini akan makin menyulitkan," tutur Nilan Yong-yo. "Oleh sebab itu, kali ini aku melawat kematian Kui-tjongtin, tetapi sebenarnya bertujuan membekuk Ong Bing beserta begundal- begundalnya. Jikalau Teng-heng tidak menampik, sukalah tinggal dulu di samping untuk membantu, entah bagaimana pikiranmu?"
Atas permintaan orang itu, Hong-ko semula ragu-ragu, tetapi segera ia teringat pada petunjuk gurunya dalam sampul rahasia itu.
"Kalau Kongtju minta, pasti hamba tidak nanti menolak," katanya kemudian. "Cuma perkara perampasan 'Tjin-tju-goan' itu. apa masih hendak diusut terus?"
"Teng-heng," sahut Nilan-kongtju. "Bukan aku omong besar, kalau hanya urusan ketiga mutiara itu saja, tidak kurang barang-barang mestika dalam kerajaan yang jauh lebih ajaib dan berharga, apa gunanya harus bersusah payah banyak membuang tenaga untuk mencarinya, aku tidak nanti tamak pada benda- benda itu dan mengangkangi untuk diri sendiri, kelak apabila urusan sudah beres, mutiara Pi-hwe-tju itupun boleh dihadiahkan pada gurumu untuk pusaka gunungmu, sedang kedua butir lainnya tentu dapat dihadiahkan juga kepada orang yang banyak berjasa, dengan kebijaksanaan ini, entah betul tidak pendapat Teng-heng?"
Mendengar penuturan ini, Hong-ko merasa kagum sekali atas keadilan putera bangsawan ini.
Begitulah, rupanya mereka berdua cocok hingga mereka minum sepuasnya sampai jauh malam, Nilan-kongtju memerintahkan supaya disediakan sebuah kamar guna tempat tinggal Hong-ko.
Esok paginya, penjaga melaporkan bahwa Hu Kak Tayhiap datang, lekas Nilan-kongtju bergegas menyambut keluar, Hong-ko pun ikut mendampinginya.
Ia lihat dari luar masuk seorang tua memakai caping dan mengenakan baju terbuat dari lidi, semangatnya gagah dan mukanya bercahaya, di belakangnya menyusul seorang bongkok, mereka duduk bersama.
Ketika Hong-ko oleh Nilan-kongtju diperkenalkan, baru ia mengetahui bahwa orang tua bercaping ini bukan lain adalah pendekar aneh yang dikenal tua dan muda di kalangan Kang- ouw. Hu Kak Tay-ong, sedang yang bongkok itu ialah pendekar bongkok yang tersohor di gurun pasir, Toh-hiap, diam-diam Hong-ko terkejut dan heran atas kedatangan kedua tokoh dunia persilatan yang hebat ini, ia menduga pasti Nilan- kongtju akan melakukan sesuatu dalam waktu singkat ini.
Pada suatu hari, dilaporkan bahwa Tjhi Djin-ho minta menghadap, ia hanyalah seorang kepala opas pada Soatang Sun-bu, pangkatnya tidak tinggi, maka kalau hendak menghadap utusan raja harus mencatatkan namanya terlebih dulu.
Ia sudah tiga hari mencatatkan namanya barulah dipanggil menghadap, maka dengan pakaian kebesarannya, secara membungkuk ia memasuki ruangan kebesaran, ia berlutut di depan undak-undakan ruangan itu terus menjura.
"Hamba Tjhi Djin-ho menyembah, semoga Baginda Raja hidup bahagia!" begitu ia memuja.
Habis berkata ia melakukan penghormatan 'Sam-kui-kau- hau' atau tiga kali berlutut dan sembilan kali menjura.
"Untuk apa kedatanganmu ini?" tanya Nilan-kongtju. "Lapor Kongtju, hamba mendapat surat perintah dari Tam- taydjin, atas titah paduka Perdana Menteri, hamba diperintahkan bertugas di sini!" lapor Tjhi Djin-ho lagi.
"Baiklah, kau boleh berbangkit!" perintah Nilan Yong-yo.
Laksana mendapatkan pengampunan saja Tjhi Djin-ho berdiri kembali, waktu ia melirik keadaan dalam paseban, ia lihat selain Nilan-kongtju yang duduk di tengah, kedua sampingnya terdapat pula tiga orang, yang seorang memakai baju tua jembel, seorang lagi adalah seorang kakek bongkok, sedang di sudut paling ping-gir duduk seorang jago muda.
Tetapi demi nampak siapa orang itu seketika ia menjadi terperanjat dan tubuhnya bergemetaran.
Dalam hati ia berpikir, "Aneh, bukankah pemuda ini she Teng yang disebut Siau Kim-kong? Mengapa kini ia bisa menjadi tetamu dari Kim-tjhe-taydjin?"
Agaknya Nilan-kongtju mengetahui pikiran orang, ia berkata dengan tertawa. "Tjhi Djin-ho, apa kau merasa aneh?" ujarnya. "Saudara ini adalah jago muda dari Go-bi-pay Teng Hong-ko Hengte bukannya Siau Kim-kong segala, marilah kamu berdua boleh mengikat persahabatan "
Sampai di sini, insyaflah Tjhi Djin-ho bahwa pemuda she Teng ini tentu bukan orang sembarangan, maka ia tak berani berlagak lagi seperti semula, lekas ia maju memberi hormat pada Hong-ko.
"Teng Kongtju tempo hari Tjayhe telah banyak membikin susah, harap dimaafkan," katanya.
Hong-ko balas menghormat sambil berdiri.
Habis mana Nilan Yong-yo lantas memerintahkan Tjhi Djin- ho maju lagi untuk diberi tugas seperlunya, ia diperintahkan untuk menyelidiki dan segera melaporkan jejak Ang-koh dan kaum imam dari Khong-tong-pay. Malam itu, Hong-ko disokong Hu Kak Tayhiap mengajukan permohonan agar Boan-liong Kiam-khek dapat dilepaskan.
Setelah mengetahui bahwa Boan-liong adalah pendekar dari Djing-liong-hwe yang berlainan dengan kaum Liok-lim umumnya, mengingat pula bahwa saat ini sedang membutuhkan tenaga, maka Nilan Yong-yo dengan senang meluluskannya.
Begitulah dari tawanan segera Boan-liong berubah menjadi tamu terhormat, sungguh tidak pernah diduganya lebih dulu, ia menghaturkan terima kasih pada Nilan Yong-yo, sudah mana beramah-tamah pula dengan Hong-ko yang sudah berpisah sekian lamanya.
Kembali pada Ang-koh. Kedatangannya ke Hoa-san tempo hari, tujuannya pertama-tama ialah ingin menemukan kembali 'Thian-hu' yang kena digondol oleh Giok-bin-yao-hou, kecuali itu ia mendapat juga surat rahasia dari ayahnya, yang mengabarkan bahwa Thong-thian-kiu-tju Ong Bing dalam beberapa hari ini akan merambah ke daerah Kamsiok untuk membikin pergerakan, dan gadis ini dipesan sepanjang jalan ikut melindunginya.
Waktu itu pengaruh Pek-lian-kau sudah menjalar sampai di daerah barat laut. banyak di antaranya tokoh-tokoh kalangan Hek-to yang menggabungkan diri, dimana-mana sudah dibuka cabang dari Pek-lian-kau, begitulah dengan ilmu silumannya Ong Bing mengelabui rakyat, dengan menyuruh rakyat memuja Pek-lian Tjosu, ia berniat merebut dunia dengan bantuan tenaga dukungan rakyat itu.
Kala Ang-koh tanpa sengaja berjumpa dengannya dan kena digertak di Tjui-hun-kiong. gadis ini telah kembali pada perangai aslinya dan melepaskan pergi Giok-bin-yao-hou bersama Hong-ko. Tetapi saking sengitnya, malam itu juga ia lantas meninggalkan Hoa-san. Ia mengerti ketua mereka Ong Bing menuju ke Khong-tong-san, sepanjang jalan tentu sudah banyak orang-orang pandai dari sesama agama mereka yang melindunginya, jalan-jalan yang dilalui tentu banyak pula ditinggalkan tanda, karenanya ia pikir akan menanti saja di antara perjalanan ke Ham-yang, dari sini ia hendak menggabungkan diri dengan Ong Bing.
Sekeluarnya Ang-koh dari Hoa-san, begitu menyelidik, segera ia mendapat tahu bahwa Nilan-kongtju telah tiba di Tjiong-koan, ia menduga Ong Bing tidak nanti lewat jalan ini, maka ia lantas memutar ke selatan melalui Lo-lok-koan.
Perjalanan ini melalui pegunungan Hok-gu-san yang jauh dari khalayak ramai, ia pikir Ong Bing yang datang dari Ouwpak, kebanyakan tentu lewat jalanan ini. maka ia menyamar sebagai seorang nona desa yang memakai sebuah topi yang berpinggiran lebar untuk menutupi setengah mukanya, ia melanjutkan perjalanannya dengan menunggang keledai.
Di tengah jalan tiba-tiba ia disusul dua orang penunggang kuda yang berdandan sebagai pembesar negeri, dari tampangnya yang gagah dan pakaiannya yang cukup mentereng, sedikitnya berpangkat Tjhian-tjong (setingkat kapten).
"Nona cilik di kedai depan sana ada arak segar, di sanalah kami menantikanmu!" dengan tertawa seorang di antaranya berkata waktu nampak Angkoh yang berparas cantik berjalan sendirian. Habis mana dengan cepat sekali mereka sudah menge-prak kudanya dan menghilang dalam sekejap saja.
Betul juga, tidak lama kemudian Ang-koh sudah sampai di suatu kota kecil yang terdapat belasan toko. di antaranya terdapat juga kedai arak, Ang-koh melihat pula kedua kuda tadi ditambat di luar kedai itu.
Sepanjang jalan tiap ada kedai, selalu Ang-koh masuk untuk memeriksanya, mungkin terdapat rahasia dari agamanya. Oleh sebab itu, ia lantas menambat keledainya. Ketika nampak tetamunya ini adalah seorang gadis desa, pelayan kedai ternyata sungkan menerimanya.
"Siaudjiko, apa ada menyedia tempat dengan rumput padi?" tanya Ang-koh pada si pelayan.
Kiranya kedai yang merangkap penginapan rendahan kalau menginap hanya dihitung uang makan saja, sedang tempat tidur adalah lantai beralaskan jerami.
Atas pertanyaan orang tadi. Siaudji atau pelayan kedai menjawab dengan tidak senang, "Kedai kami ini adalah tempat golongan atasan, tempat yang paling sederhana sedikitnya dua renteng uang, lebih baik kau mencari tempat lain saja!"
"Ai, dua renteng uang terlalu mahal, apa ada yang lebih murah?" sengaja Ang-koh bertanya lagi. Namun pelayan itu sudah malas buat beromong lagi. ia melengos terus masuk ke dalam tanpa menoleh. Waktu Ang-koh melongok ke dalam kedai, ia lihat dua orang perwira tadi tengah asyik minum arak di dalam, ia tidak bermaksud masuk, maka segera ia memutar tubuh dan mondar-mandir di luar.
Di bawah sebuah pohon di pinggir jalan terdapat seorang pengemis yang berpakaian compang-camping dan kotor, waktu melihat si gadis, ia mendekati buat minta sedekah.
"Kasihan nona, tolonglah pada orang tua yang tak bertuan ini!" ratapnya.
Ang-koh tertegun demi mendengar ratapan pengemis itu.
Kiranya dalam ratapan pengemis tadi mengandung dua suku kata 'Kiu-tju' atau tuan penolong yang menjadi kode dalam Pek-lian-kau bila mengadakan hubungan di antara sesama anggota. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia merogoh sekeping mata uang terus ia lontarkan ke dalam tempurung si pengemis. Tetapi tiba-tiba ia lihat di dalam tempurung yang terdapat beberapa mata uang lainnya terselip pula sebuah benda yang berbentuk persegi, waktu ia menegasi, ternyata benda itu adalah 'Thian-hu' dari Pek-lian-kau, tak tahan lagi ia menjadi terkejut.
Ang-koh melangkah masuk ke dalam rumah gubuk Uu dan alangkah terperanjatnya demi dilihatnya.....
Sementara itu, si pengemis ketika nampak di sekitarnya tiada seorang pun, sembari meraup mata uang dalam tempurung dengan suara pelahan ia berkata, "Kedai beratap rumput di depan sana, di depan pintunya tertambat seekor anjing!"
Ang-koh menuntun kembali keledainya, ia mencari suatu kedai lain untuk bermalam. Kedai itu tidak banyak tamu, maka keadaannya rada sepi, apabila hari sudah malam Ang-koh lantas meringkasi pakaiannya, melalui jendela kamarnya dengan enteng sekali ia keluar dari kedai itu, ia berlari menuju tempat ke jurusan dimana si pengemis memberitahunya tadi.
Kira-kira tiga atau empat li setelah ia tempuh, terdengar olehnya suara menggonggongnya anjing, ternyata di antara sawah gandum yang tumbuh lebat terdapat sebuah rumah beratap rumput alang-alang kering. Sampai di sini Ang-koh memperlambat langkahnya, ia maju dengan hati-hati.
Sementara itu tiba-tiba dari tempat gelap meloncat keluar seorang.
"Bulan ada dimana?" orang itu menegur.
"Matahari terbenam segera ia muncul" jawab Ang-koh.
Dalam tanya jawab ini kiranya suku-suku katanya mengandung juga satu huruf "Bing" yang terdiri dari gabungan huruf bulan dan matahari. Maka tanpa ragu-ragu lagi orang itu mempersilakan Ang-koh masuk ke rumah beratap rumput itu, pada sebuah balai-balai di dalam rumah duduk seorang, begitu melihat dengan cepat sekali Ang-koh berlari maju terus merangkulnya dengan kencang.
Orang ini bukan lain ialah ayahnya, Pek Ting-djoan. "Darimana ayah mengetahui aku telah sampai di sini?"
tanya Ang-koh.
"Pengemis yang kau jumpai itu adalah Go-mo Li, mengapa kau tidak mengenali dia?" ujar Pek Ting-djoan.
"Hebat sekali cara ia menyamar, sampai aku kena dikelabui!" sahutnya kemudian
"Anakku, Kiutju besok akan datang, malam ini kau harus menyelesaikan suatu tugas!" Pek Ting-djoan berkata pula.
"Urusan penting apakah itu, ayah?" tanya Ang-koh heran.
Maka Pek Ting-djoan lantas membisikkan ke telinga putrinya itu untuk memberi petunjuk-petunjuk yang diperlukan. Habis mana ia mengeluarkan pula obat poles dengan peralatannya dan diserahkan pada Ang-koh.
"Urusannya cukup penting, hendaklah kau selesaikan dengan baik, sudah itu Go-mo Li masih hendak membawanya berangkat!" orang tua itu berpesan lagi.
Tidak lama kemudian, di atas rumah penginapan yang pertama dimana Ang-koh mampir siang tadi telah kedatangan tamu, Ang-koh berjongkok di luar jendela, ia mengeluarkan seekor burung-burungan bangau yang terbuat dari tembaga, dengan patuknya yang lancip ia menusuk pecah kertas daun jendela, menyusul mana dari mulut burung-burungan itu menyembur keluar asap tebal.
Tanpa ayal lagi segera Ang-koh masuk ke dalam kamar dan mengobrak-abrik buntalan yang mereka bawa, ia berhasil menggeledah sepucuk surat, habis itu malam-malam ia kembali ke rumah beratap rumput tadi. Melihat surat yang dapat dirampasnya itu. Pek Ting-djoan tersenyum sambil mengelus jenggotnya.
"Surat apakah ini, ayah?" tanya Ang-koh yang kurang mengerti.
"Nyata kau belum tahu, surat ini adalah surat penting yang dikirim oleh To Tok Goanswe kepada Nilan-kongtju, sepanjang jalan kami menguntit dan baru berhasil sekarang," sahut Pek Ting-djoan menerangkan.
Tatkala itu, pemerintah Djing mendapat berita laporan bahwa Pek-lian-kautju telah merambah masuk ke daerah Holam dan sekitarnya, maka sepanjang jalan dijaga dengan keras, mereka ingin meringkus pemimpin agama liar ini.
Hari itu di jalan raya ada dua penunggang kuda berdandan sebagai perwira sedang melarikan kuda mereka laksana terbang.
Seorang di antaranya matanya bersinar, itulah Pek-lian- kautju Ong Bing, usia ketua agama ini sudah mendekati enam puluhan, tetapi karena pandainya ia melatih diri, parasnya masih belum tampak setua usianya.
Kawan seperjalanannya berusia belum ada tiga puluh, tampaknya gagah, alisnya tebal dan wajahnya bengis. Ia adalah murid pertama dari Bu-tun Todjin di Go-bi-san, namanya yang asli adalah Hoat Ang, kepandaiannya yang diperoleh dari Go-bi-pay sudah boleh dikatakan di tingkat kesempurnaan. Sejak ia turun gunung ia menukar namanya dengan Ie Hong, karenanya jarang orang luar yang mengetahui asal-usulnya, terhadap dia ini Ong Bing cukup menghargainya dan dianggap sebagai salah seorang kepercayaannya, bahkan ia diangkat sebagai panglimanya.
Begitulah di bawah tipu yang diatur Pek Ting-djoan, mereka berdua telah menyamar sebagai perwira bawahan To Tok, dengan membawa surat perintah rahasia dari To Tok untuk Tjiongkoan, sepanjang jalan masih diberi pula surat ijin perjalanan, maka dengan aman tiada yang berani merintangi mereka, beberapa hari kemudian mereka sudah sampai di Lengpo.
Karena begundalnya yang cukup banyak di tempat-tempat yang mereka lalui, ditambah lagi perlindungan dari pemimpin- pemimpin lainnya yang mengikut di belakang mereka, maka mereka menduga setelah lewat Tjing-tjoan, tentu ada Kiam- khek dari Khong-tong-pay yang akan menyambut mereka.
Meski tipu daya Pek Ting-djoan sudah cukup rapi tetapi hidung mata-mata pemerintah Djing ternyata tidak kalah tajamnya, jagoan-jagoan di bawah Nilan Yong-yo pun sudah mencium bau bahwa Ong Bing sudah lewat Hok-gu-san, yang tidak mereka ketahui ialah dengan cara bagaimana ketua agama liar ini bisa mengelabui petugas-petugas penjaga pada pos-pos sepanjang jalan. Namun sia-sia saja mereka berusaha mencegat dan menghadangnya. Akhirnya sejumlah jagoan dari kerajaan ditugaskan juga bantu menjaga.
Pada waktu lohor, terdengar suara kelenengan yang menggema bercampur dengan suara derapan kaki kuda yang cepat, kedua penunggangnya laksana terbang sedang mendatangi.
Sesudah penjaga memeriksa izin perjalanan yang menunjukkan tugas perintah To Tok Goanswe, tanpa dipersulit lagi kedua penunggang kuda itu lantas dilepaskan untuk meneruskan perjalanan.
Akan tetapi Tjhi Djin-ho yang sedang meronda di atas benteng melihat wajah perwira yang rada tua itu seperti sudah pernah ia kenal, maka segera ia turun ke bawah buat bertanya.
Karena pemeriksaan ulangan ini, perwira muda tadi menjadi marah.
"Kami ada tugas penting, mengapa sudah diperiksa masih diulangi lagi, kalau terhambat, siapa yang harus bertanggung jawab?" debarnya kurang puas sambil menyerahkan surat izin jalannya.
Tjhi Djin-ho sudah lama dinas dalam pemerintahan, maka sesudah melihat surat jalan itu tiada sesuatu yang mencurigakan, ia pun berkata, "Aku yang rendah juga petugas dari markas besar, kalau kamu berdua ingin menghadap Nilan- kongtju, biarlah aku mengiringi ke sana!"
"Tak usah saudara melelahkan diri, waktu kami terlalu sempit dan harus segera berangkat," ujar perwira yang tua itu.
Habis berkata ia memecut kudanya terus dilarikan keluar pintu benteng, sedang perwira yang muda menyusul di belakangnya segera menjambret kembali surat jalan yang diserahkan orang tadi.
Karena sedikit terbentur dengan tangan orang, Tjhi Djin-ho menjadi terkejut, diam-diam ia merasa tangan orang ini begitu hebat, pasti bukan perwira pengantar surat dinas sembarangan.
Sebelah utara dari Ham-kok-koan berdekatan dengan sungai kuning atau Hong-ho, apabila keluar dari benteng itu dan mengikuti jalanan besar yang menuju ke Tjiongkoan, untuk kuda yang cepat larinya cukup sehari semalam sudah bisa sampai. Begitulah Tjhi Djin-ho dan Li Ngo berdua terus menguntit sambil mencari berita sepanjang jalan. Pada waktu magrib mereka sudah sampai di muara sungai Sinleng, di depan mereka melintang sungai Heng-long-ho.
Ketika Tjhi Djin-ho bertanya kepada penjaga muara sungai ini, ia mendapat keterangan bahwa belum ada dua penunggang kuda yang menyeberang sungai, diam-diam Tjhi Djin-ho merasa aneh, di sekitarnya sini tiada tempat penyeberangan lain lagi yang bisa dipergunakan untuk melintasi sungai ini. Mereka berdua membagi dua jurusan buat mencari.
Sebelah mereka adalah hutan lebat, dan sebelah yang lain adalah sawah yang penuh tumbuh jawawut yang menguning hingga sampai ke tepi sungai.
Kata Tjhi Djin-ho pada Li Ngo, "Kini hari sudah gelap, coba kau memutar ke dalam rimba untuk memeriksanya, biar aku mencari ke tepi sungai, sebelum tengah malam kita kembali bertemu di sini."
Li Ngo memisahkan diri ke jurusannya sendiri, sedang Tjhi Djin-ho pun menerobos di antara sawah jawawut yang tingginya melebihi orang, justru ini merupakan penghalang baginya, maka ia terus maju menuju ke tepi sungai.
Tengah asyik ia menyusur dalam sawah jawawut lebat itu, tiba-tiba ia melihat ada sinar api yang berkelebat di seberang sungai, tidak lama kemudian, di dalam semak alang-alang di seberang sana terlihat ada orang yang melepaskan bola api, hanya sekejap saja sinar api itu berkelebat di angkasa, kemudian lantas lenyap kembali.
Tjhi Djin-ho mengerti tanda pemberitahuan di kalangan Kangouw, betul juga segera ia nampak dari seberang sungai sana dengan pelahan-lahan mendatangi dua buah kapal layar besar, ketika sampai di tengah sungai, mendadak kapal layar itu menurunkan sebuah sampan kecil yang dibuang ke semak alang-alang tadi, menyusul mana secara remang-remang tertampak dua sosok bayangan orang naik ke atas kapal layar itu.
Tjhi Djin-ho lebih curiga lagi, ia merangkak mendekati tepi alang-alang tadi, dari sini ia mengikat segebung batang jawawut dan diapungkan di atas air sungai, dengan menggunakan gebungan jawawut ini, ia berenang menuju ke kapal layar. Dari jauh ia lihat tiada sinar api dalam kapal itu, tetapi sesudah dekat baru ia ketahui bahwa semua jendela kapal sudah diselubungi dengan kain hitam, karena itu sinar lampu tidak dapat menembus keluar. Tjhi Djin-ho menyembunyikan dirinya di antara gebungan jawawut, kedua kakinya mendayung, dengan demikian secara pelahan dapatlah ia merembet naik ke dinding kapal, dengan menggemblok pada dinding kapal ia mengintai ke dalam.
Dalam ruangan kapal ternyata terang benderang, di tengah ruangan terdapat sebuah kursi besar berlapis kulit macan, seorang dengan tangan mencekal kipas dari bulu dan berdandan sebagai orang pertapaan sedang duduk di sana, di sampingnya banyak berdiri pengawal bersenjata. Tjhi Djin-ho kenal orang ini bukan lain ialah orang yang menyamar sebagai perwira siang tadi.
Sementara itu dari luar masuk pula belasan laki-laki gagah dan bergantian maju memberi hormat. Tjhi Djin-ho menjadi makin heran dan terkejut karena laki-laki yang masuk belakangan ini kebanyakan adalah pemimpin dari kalangan Liok-lim di daerah Siamsay dan Holam.
Tidak lama kemudian, dari luar terdengar laporan bahwa Li- tjiangkun telah kembali dengan cakar alap-alap yang berhasil ditangkapnya.
Apabila tirai kuning tersingkap, maka masuklah seorang kakek dengan tangannya mengempit seorang, setelah berada di dalam ruangan segera ia membanting tawanannya itu ke geladak kapal.
Waktu Tjhi Djin-ho menegasi, orang yang menggeletak di depan Ong Bing itu ternyata bukan lain adalah kawannya sendiri yaitu 'Siau-song-sin' Li Ngo. Keruan saja ia menjadi kaget hingga mengeluarkan keringat dingin.
Dalam pada itu terdengar pula dari belakang suara air didayung, waktu ia berpaling, maka tertampaklah di atas sungai sebuah sampan sempit sedang mendatangi dengan cepat, di atas sampan berdiri seorang imam tua yang memakai jubah bergambar Pat-kwa dari sulaman benang emas, dalam sekejap saja imam itu sudah berada di atas kapal layar besar itu.
Sampai di sini Tjhi Djin-ho tak berani mengintai lebih lanjut, ia meloncat ke dalam air lagi dengan maksud kembali. Tak ia duga, baru saja ia hendak kabur, mendadak jendela kapal terbuka dan si imam tua tadi telah muncul sambil membentak, "Hendak lari kemana kau, Tjhi Djin-ho!"
Berbareng itu sebelah tangannya diulur, maka segera Tjhi Djin-ho merasakan sambaran angin di belakang kepalanya, seketika rambutnya kena dijambak orang, matanya berkunang-kunang dan pandangannya kabur, maka tak sadar lagi ingatannya.
Kembali pada Giok-bin-yao-hou. Sesudah Hong-ko berangkat hingga dua hari masih belum nampak kembali, hati gadis ini menjadi kuatir, ia tidak tahu apakah Hong-ko selamat atau celaka akibat menemui Nilan Yong-yo itu. Sementara itu lukanya sudah pulih kembali, dari tuan rumah ia meminjam sebatang pedang dan dicobanya memainkan dengan sebelah tangannnya, ia merasa keadaan dirinya saat ini tidak mengurangi kegesit-annya dibandingkan pada waktu tangannya masih utuh. Maka sekembalinya ke dalam kuil segera ia mengutarakan keinginannya turun gunung buat mencari Hong-ko.
Pada malam itu juga ia lantas meninggalkan King-thay-si, ia kembali ke Pek-lian-am. Nampak lukanya sudah sembuh, sudah tentu Liok-dji Nikoh girang sekali. Lalu ia memberitahu juga pada Bun Sui-le bahwa Hong-ko pernah datang padanya buat mengambil senjatanya dan hendak pergi menghadap Nilan Yong-yo. Bun Sui-le memberitahu pula maksudnya hendak menuju ke Tjiongkoan buat mencari kabar Hong-ko dan Boan-liong berdua.
"Aku pun rada menguatirkan keselamatan Boan-liong Tay hiap, kalau begitu, sebaiknya kau juga menyamar sebagai Nikoh saja, dengan demikian kita berangkat bersama untuk mencari kabar mereka" kata Liok-dji Nikoh.
Begitulah, sesudah dua hari mereka berangkat, sampailah mereka pada suatu lembah pegunungan, dari sini hanya beberapa puluh li saja dengan Tjiongkoan yang menjadi tempat tujuan mereka. Lembah pegunungan ini cukup berbahaya, tetapi merupakan jalan yang harus dilalui.
"Di depan sana ada sebuah kuil, Pek-ie-am, ketua pengurusnya Sim-dji Nikoh, pernah kawan karibku, marilah kita menuju ke sana buat menumpang barang semalam," ajak Liok-dji Nikoh.
Bun Sui-le tidak membantah, ia menuruti kemauan kawannya ini. Mereka membelok ke suatu jalan kecil yang menyusur sebuah sungai pegunungan kecil di samping rimba lebat, di sekitarnya sepi tiada seorang penduduk. Tengah mereka berjalan, tiba-tiba dari depan mendatangi seorang dengan tergesa-gesa, orang ini adalah laki-laki setengah umur, di punggungnya meng gemblok sebilah golok, kepalanya memakai ikat kepala dan terselip setangkai bunga merah. Waktu Bun Sui-le menegasi, ia mengenali orang itu ternyata bukan lain ialah Totju dari Ang-hoa-hwe, Liu Ut, yang dulu pernah merencanakan menjebak dirinya karena kena dihasut oleh Ang-koh, yaitu dengan tujuan hendak merebut kembali 'Thian-hu' yang jatuh di tangannya ini
Tanpa sengaja musuh ini kini bertemu, sudah tentu Giok- bin-yao-hou tidak nanti melepaskannya begitu saja. ia menunggu setelah orang berjalan dekat sekali, mendadak ia lantas hendak membekuknya sambil membentak, "Liu ut, masih kenalkah kau padaku?"
Keruan saja Liu Ut terperanjat, sedetik kemudian baru ia mengenali bahwa yang berada di hadapannya ini ialah Giok- bin yao-hou. Namun tidak mau ia menyerah mentah-mentah, dengan sedikit membungkuk, kemudian sebelah tangannya segera ditang-kiskan ke atas dan sebelah tangan yang lain menjojoh ke arah dada Bun Sui-le.
Tetapi Bun Sui-le pun tidak gampang di arah, ketika mendadak ia melihat kedua tangan orang menghantam, segera juga ia mengegos ke samping, habis itu ia lantas mencekal tangan orang terus dipuntir, dalam sekejap saja Liu Ut ternyata sudah kena diangkat seluruh tubuhnya terus diputar beberapa kali dan kemudian dibanting ke tanah.
Begitu keras bantingan itu hingga Liu Ut roboh setengah semaput yang disusul oleh Giok-bin-yao-hou, terus menginjak dengan kakinya, karena pada bawah sepatu gadis ini terdapat kaitan baja, keruan saja Liu Ut berguling-guling di tanah saking kesakitan karena tulang punggungnya beradu dengan kaitan baja sepatu orang.
"Manusia rendah, apa yang bisa kau katakan lagi dengan perbuatanmu yang kotor hendak membokong nonamu dahulu?" damprat Giok-bin-yao-hou.
Habis mana ia mengayun senjatanya lantas hendak dibacokkan. Namun Liu Ut cukup tahu gelagat, ia memohon ampun dengan sangat walaupun tubuhnya masih terinjak di bawah kaki orang, ia membantah keras perbuatannya dengan alasan fitnahan orang belaka. Sementara itu belum sampai senjata Giok-bin-yao-hou bekerja, Liok-dji Nikoh pun sudah maju ke tengah buat mencegah.
"Mohon nona mengampuni dia!" bujuk padri perempuan ini.
Setelah dipikir bahwa apa yang ia dengar dahulu tidak lebih diperoleh dari perkataan Ang-koh, ia kuatir salah membunuh orang yang sebenarnya tak berdosa hingga kelak bisa dicela sesama kaum Kangouw.
"Baiklah, kubiarkan kau hidup lagi beberapa lama, tetapi kalau aku mendapatkan bukti-bukti yang nyata, jangan harap kau bisa lolos pula dari tanganku!" bentaknya kemudian sambil menarik kembali pedangnya.
Dengan mendekam di tanah Liu Ut menjura berulang-ulang atas kemurahan hati orang, ia menunggu sesudah mereka berdua berlalu baru berani berbangkit terus mengeluyur keluar dari lembah gunung itu.
Waktu kemudian Giok-bin-yao-hou bersama Liok-dji sampai di depan Pek-ie-am, mereka baru mengetahui bahwa rumah berhala itu sudah tidak ditinggali lagi, pintu terkunci, keadaannya kotor tak terawat, jelas sudah lama tidak dikunjungi orang.
"Beberapa tahun tidak kemari, siapa tahu keadaan sudah berubah, marilah kita berlalu!" ujar Liok-dji Nikoh.
Ketika mereka kembali melalui rimba tadi, tatkala itu cuaca sudah mulai gelap, sekonyong-konyong berkelebat bayangan orang, berbareng itu dari dalam rimba itu meloncat keluar dua orang, yang seorang laki-laki dan yang lain wanita. Waktu mengetahui siapa yang berada di hadapannya ini, Bun Sui-le jadi berubah wajahnya, tidak ia sangka bahwa yang berdiri di depannya itu adalah Ang-koh dan Liu Ut berdua.
"Liu-totju bilang kau perempuan siluman ini telah datang, semula aku masih sangsi, tak tahunya memang betul kau me- igantarkan nyawamu, maka jangan kau sesalkan senjataku yang tak kena! kasihan ini!" bentak Ang-koh dengan mata melotot dan pedang terhunus.
Kiranya rimba ini bukan lain adalah tempat dimana Tjhi Djin-ho memburu kemari.
Setelah ketua agama Teratai Putih Ong Bing sampai di tempat ini, segera banyak di antara pemimpin dari kalangan Liok-lim yang menyumpahi dia. Kemudian menyusul Pek Ting- djoan beserta puterinya, Ang-koh pun datang. Berbareng mereka terdapat pula Go-mo Li dan Hun-tiong-tju serta kawan-kawan yang lain. Dengan memilih rimba ini sebagai tempat pertemuan mereka, Totju atau ketua dari Ang-hoa-hwe, Liu Ut, pun datang hendak menyumpahi mereka, tak tersangka di tengah jalan ia kepergok dengan Giok-bin-yao-hou, beruntung jiwanya diampuni orang, tetapi karena itu ia lantas melaporkan kejadian mana pada Ong Bing.
Kuatir kalau jejaknya ketahuan orang, segera Ang-koh diutus menyertai Liu Ut pergi menangkap Giok-bin-yao-hou, di samping itu Go-mo Li diperintahkan membantu bila perlu.
Begitulah demi nampak Ang-koh, Bun Sui-le menjadi murka, darahnya mendidih dan amarahnya meluap-luap terhadap musuh besarnya ini. Ia tidak menunggu sampai bentakan orang tadi habis diucapkan, segera ia sudah menerjang maju menikam dengan pedangnya.
Melihat orang menyerang dengan kalap, Ang-koh mengerti lawannya ini bersedia mengadu jiwa, maka ia sengaja berlaku tenang, dengan cepat ia memutar ke samping, berbareng mana ia angkat senjatanya juga menyampuk pergi pedang lawan dan kemudian mengambil kedudukan bersiap lagi.
Karena serangan pertamanya gagal, Giok-bin-yao-hou menjadi semakin murka, segera ia mengirim serangan kedua, secepat angin ia lantas membabat sambil merangsek maju.
Cara menyerangnya ini memang berbahaya, tetapi ia sudah berniat berkorban asal Ang-koh dapat ia binasakan.
Dengan cepat Ang-koh melompat ke atas setinggi beberapa kaki, ia berjumpalitan di atas untuk kemudian menancapkan kakinya kembali di sebelah Liok-dji Nikoh dan berbareng padri ini sudah kena ia dorong ke depan untuk diumpankan pada senjata Bun Sui-le. Liok-dji yang tidak pernah menyangka akan perbuatan orang itu seketika tak berdaya, Bun Sui-le pun tidak menduga bahwa orang bisa menyorongkan Liok-dji sebagai tameng, maka lekas ia menarik kembali senjatanya sambil mengumpat caci. Karena caci maki orang yang berulang kali itu, rupanya
Ang-koh pun tak tahan lagi dan naik darah juga, dengan cepat sekali segera ia balas membacok. Bun Sui-le sedikit berjongkok sambil menang-kis, tak ia sangka Ang-koh masih terus mendorong senjatanya ke depan, karena itu, terpaksa Bun Sui-le harus mendoyong ke belakang. Ang-koh ternyata tidak menyia-nyia-kan kesempatan ini, secepat kilat ia melompat maju terus membelah lagi dengan tipu serangan 'Pek-tjoa-tho-sin' atau ular putih melelet lidah.
Nampak kawannya terancam bahaya, saking terkejutnya hampir-hampir Liok-dji berseru kaget. Namun sebelum ia bersuara, mendadak terdengar Ang-koh menjerit kesakitan, habis mana pedangnya terlihat jatuh ke tanah.
Kiranya dalam keadaan yang berbahaya tadi, sekonyong- konyong Bun Sui-le menggunakan senjata rahasia seadanya, ia menimpukkan 'Thian-hu', kepingan pening tanda pengenal dari Pek-lian-kau, dan dengan tepat mengenai pundak Ang- koh hingga masuk ke dalam daging.
Karena menderita luka, Ang-koh melompat keluar dari kalangan pertempuran terus berbalik hendak lari.
"Jangan lari!" bentak Bun Sui-le sambil mengudak dengan senjata terhunus.
Tetapi dengan cepat Ang-koh terus kabur ke dalam rimba, Bun Sui-le tetap mengejar dengan kencang, pada waktu sudah hampir menyandak, sebelum ia sempat melakukan serangan, mendadak dari dalam rimba mencelat keluar seorang lagi, di antara sambaran lengan baju orang ini, seketika pedang Bun Sui-le sudah kena terkancing terus tertarik lepas dari tangannya. Untuk menolong dirinya, dengan cepat Giok-bin- yao-hou mengayunkan sebelah kakinya buat menendang, tetapi dengan sedikit bergerak, orang tadi menyambut kakinya dengan kain baju lagi, seketika itu juga Bun Sui-le merasakan sakit yang meresap tulang terus roboh terguling sambil menjerit. Orang itu tertawa mengikik, menyusul mana gaya Kim-na- djiu yang hebat menyambar, dalam sekejap saja Bun Sui-le hanya merasakan belakang kepalanya telah kena ditotok orang, habis itu seluruh badannya terasa kaku linu tak bertenaga lagi. Bila kemudian ia dapat melihat orang dengan jelas, kiranya orang ini ialah Go-mo Li yang terkenal lihai dengan ilmu 'Yu-bun-tiat-pan-siu', yakni kepandaiannya mengibaskan lengan baju sekuat lempengan baja.
Mendengar rekannya menjerit, Liok-dji Nikoh dengan cepat memburu ke dalam rimba, tetapi kasihan baginya, tak ia sangka Liu Ut telah berada di belakangnya, tanpa terasa ia kena dibacok dari belakang hingga padri wanita ini jatuh tersungkur dengan memuncratkan darah segar, padri ini kempas-kempis tinggal menunggu ajalnya saja.
tw 31 es
Kembali pada diri Teng Hong-ko, waktu itu pemuda ini tengah berada dalam markas di Tjiongkoan, tiba-tiba ia merasakan pikirannya tidak tenteram, hatinya senantiasa teringat pada Bun Sui-le. Karena itu lantas ia mengemukakan maksudnya itu pada Nilan-kongtju agar diperbolehkan kembali ke King-thay-si untuk menjumpai kekasihnya itu. Nilan Yong- yo tidak keberatan atas permintaan itu, ia hanya berpesan agar berlaku waspada karena sudah diperoleh kabar bahwa Ong Bing yang mereka incar telah sampai di sekitar Tjiongkoan, maka pemuda ini diharapkan jangan terlalu lama meninggalkan tugasnya.
Waktu Hong-ko hendak berangkat, di luar pintu ia berpapasan dengan Hu Kak dan Boan-liong berdua yang bertanya kemana pemuda ini hendak pergi. Hong-ko dengan terus terang menceritakan isi hatinya.
"Bila kau bertemu dengan Ang-koh lagi, apakah kau masih hendak menyambung urusan lama?" tiba-tiba Boan-liong bertanya pula. "Meski sejak kecil kami pernah dipertunangkan, tetapi kini ia sudah tersesat ke dalam agama liar, hubungan kami sudah putus!" sahut Hong-ko dengan tegas.
"Teng-heng bisa membedakan yang benar dan yang sesat, sungguh tidak malu sebagai seorang Enghiong sejati!" puji Hu Kak.
Begitulah kemudian Hong-ko berangkat menuju ke King- thay-si. Tetapi baru setengah hari ia menempuh, tiba-tiba turun hujan lebat dengan petir menyambar..
Dengan menghadapi hujan lebat Hong-ko tetap melanjutkan pula perjalanannya, kemudian sampailah dia pada sebuah jembatan yang telah putus, ketika mendadak sinar kilat berkelebat, kuda tunggangannya menjadi kaget hingga berjingkrak, karena itu binatang itu terjerumus ke bawah jembatan, beruntung Hong-ko bisa menyelamatkan dirinya dengan sekali lompatan hingga tidak sampai tergelincir masuk ke bawah jembatan juga, namun demikian, seluruh tubuhnya sudah basah kuyup dengan air lumpur.
Waktu ia memandang sekitarnya, dari kejauhan ia lihat pada lekukan gunung sebelah sana terdapat sebuah rumah biara kuno yang dikitari dengan pagar tembok, ia segera mengambil keputusan untuk berteduh di sana.
Ketika ia sudah berada di depan rumah biara itu, ia lihat rumah biara ini sudah bobrok tak terawat, dari papan nama rumah biara yang masih tergantung miring di atas pintu itu, lapat-lapat masih dapat terbaca 'Pek-ie-am' tiga huruf.
Setelah ia masuk ke dalam pagar tembok, tampak olehnya pintu besar dalam rumah biara itu terkunci rapat, ia berteriak memanggil beberapa kali, namun tiada sesuatu sahutan, ia menduga tentu tiada seorang manusia pun yang tinggal di dalam rumah biara ini.
Sementara itu hujan masih belum reda, sedang cuaca sudah gelap gulita, ia menaksir hari ini sudah tidak mungkin melanjutkan perjalanan lagi, lantas ia mengitar ke belakang rumah biara, di sini baru ia ketahui masih terdapat pula jalan kecil yang menembus ke hutan rimba, di jalanan berlumpur itu masih tertampak juga bekas tapak kuda, rupanya pernah ada orang yang datang ke tempat ini dan belum lama baru berangkat.
Hong-ko menjadi curiga, tiba-tiba ia melihat pada pojok pagar tembok itu masih terdapat pula sebuah pintu samping, ia mencoba mendorong pintu itu, ternyata pintu ini memang tidak dikunci.
Pintu itu ternyata menembus ke sebuah ruangan tersendiri, pada pelataran rumah ini penuh dengan kotoran burung dan berlumut, bahkan di atas tanah ini tertampak pula bekas tapak kaki orang yang bercampur-baur antara pria dan wanita.
Hong-ko menjadi semakin sangsi, ia berjalan terus ke belakang biara, pada suatu kamar yang sudah rusak ia melihat ada lima atau enam buah peti mati, karena keadaan rada gelap, maka Hong-ko tak bisa melihat dengan jelas, hanya ia merasakan bau busuk yang menyesakkan hidung dan menambah seram keadaan dalam kamar tadi.
Dengan menabahkan diri, Hong-ko maju terus ke depan. Di kamar samping itu ternyata terdapat sebuah pintu yang menembus ke ruangan dalam yang merupakan paseban dari rumah biara ini, namun keadaan serupa saja sunyi senyap.
Di sini tiba-tiba ia mendengar ada suara seperti orang sedang merintih yang lapat-lapat berkumandang dari paseban di sebelah dalam. Tanpa ayal lagi segera Hong-ko memburu ke tempat datangnya suara itu. Dalam kegelapan ia nampak seperti ada seseorang meringkuk di pojokan ruangan itu.
Apabila ia menegasi lebih dekat lagi, kiranya orang ini adalah seorang Nikoh yang berlumuran darah, ternyata punggungnya kena dibacok orang hingga tulangnya menonjol kelihatan dengan kedua tangannya diikat ke belakang. Nikoh ini sudah kempas-kempis mendekati ajalnya.
Waktu Hong-ko berjongkok mengangkat naik kepala Nikoh itu, mendadak ia berseru kaget, sama sekali tidak ia duga bahwa Nikoh ini adalah Liok-dji Nikoh. Tampaknya padri ini hanya bisa membuka matanya, bibirnya sedikit bergerak, tetapi seperti tak sanggup buka suara.
Ternyata Bun Sui-le rebah di dalam peti mati itu dengan mulut tersumbat.
Lekas Hong-ko merogoh keluar dua butir 'Go-bi-hoan-hun- tan', semacam obat pil ciptaan golongan Go-bi-pay, ia mengambil pula semangkok air yang ia cari di dalam rumah biara itu, kemudian ia cekokkan pil itu kepada Liok-dji Nikoh. Lewat tak lama kemudian baru padri perempuan ini bisa sadar.
"Taysu mengapa bisa sampai di sini? Siapakah yang telah mencelakai kau?" tanya Hong-ko tak sabar lagi demi nampak orang sudah sadar.
"Aku telah kena dibacok oleh Liu Ut, melihat aku masih belum binasa, Ang-koh kemudian mengurung aku di sini!" Liok-dji menerangkan dengan suara terputus-putus.
Kemudian Hong-ko berniat membalut luka orang, namun Liok-dji hanya menggeleng-geleng kepala.
"Aku sudah tak berguna lagi, sebaiknya lekas kau pergi melihat keadaan Bun-kohnio!" ujar padri itu.
Mendengar penuturan ini Hong-ko menjadi terperanjat seakan-akan semangatnya melayang.
"Apa katamu? Bun-tjitji ada dimana?" tanyanya cepat. "Dia dia telah kena dirobohkan, Ang-koh telah
memasukkan dia ke dalam peti mati," tutur Liok-dji selanjurnya sambil mengangkat tangannya yang tak bertenaga menuding ke belakang rumah biara itu.
Tanpa menunggu orang berkata lagi, segera Hong-ko berari ke kamar bobrok dimana terletak peti-peti mati tadi sembari berteriak, "Bun-tjitji!"
Tetapi ia tidak mendengar ada suara sahutan, lapat-lapat ia hanya mendengar ada suara keresekan yang keluar dari dalam salah satu peti mati itu. Secara meraba-raba segera ia mendekati peti yang mengeluarkan suara itu dan dengan segera ia mendongkrak tutup peti itu, dengan demikian ia sudah terlupa oleh suasana seram tadi. dalam sekejap saja tutup peti itu sudah kena ia bongkar.
Dalam kegelapan ia hanya bisa melihat di dalam peti merebah seseorang yang mengeluarkan suara lemah sekali. Waktu Hong-ko mengulur tangannya meraba, ia mendapatkan orang ini masih bisa bergerak dan masih hangat, bukan buatan rasa girangnya, segera ia mengetahui bahwa mulut orang tersumbat dengan kain dan kaki tangannya terbelenggu. Lekas Hong-ko menghilangkan semua siksaan itu dan sesudah itu terdengarlah Bun Sui-le berteriak sambil merangkul Hong-ko. Saking terharunya pemuda inipun balas merangkul orang dengan air matanya yang bercucuran.
"Tjitji, siapakah yang telah membikin kau sampai begini?" tanya pemuda ini dengan pilu.
Atas pertanyaan ini ternyata Bun Sui-le hanya menunduk saja. "Aku telah kena dijatuhkan oleh Go-mo Li." sahurnya kemudian dengan suara sesenggukkan. "Kemudian Ong Bing telah menutup aku di dalam peti mati ini, mereka masih membicarakan di sini juga bahwa setelah terang tanah, dengan segera Ong Bing akan memalsu sebagai perwira utusan To Tok dan menyampaikan surat perintah, dengan demikian ia hendak menawan Nilan-kongtju sebagai orang tahanan " "Betulkah perkataanmu itu?" Hong-ko bertanya dengan kaget demi mendengar penuturan gadis ini. "Kini sudah lewat tengah malam, jika tipu muslihat mereka berhasil, Nilan- kongtju tentu akan jatuh ke tangan mereka, aku harus lekas kembali buat melaporkan rencana mereka itu!"
"Kau betul, lekaslah kau berangkat sekarang!" ujar Bun Sui- le, tetap ia menundukkan kepalanya.
Tiba-tiba Hong-ko teringat bahwa Liok-dji Nikoh masih menggeletak dengan bermandikan darah di sana, segera ia meletakkan Bun Sui-le buat melihat padri wanita itu, namun ia dapatkan padri ini sudah sejak tadi menghembuskan napasnya yang penghabisan.
Dalam terharunya, tak tertahan lagi Hong-ko mengucurkan air mata kesedihan, kemudian buru-buru ia kembali ke tempat Bun Sui-le tadi, ia lihat kekasihnya ini sedang membalut mukanya dengan sepotong kain robekan dari bajunya.
"Apakah yang kau lakukan?" tanyanya heran.
"Mukaku sedikit terluka, tak usah kau mengurus aku, lekas kau kembali ke Tjiongkoan saja," sahut Bun Sui-le.
Hong-ko menjadi serba susah, hendak meninggalkan Bun Sui-le ia tidak tega, sebaliknya ia kuatir pula Nilan-kongtju terjebak oleh tipu muslihat Ong Bing.
Tengah ia merasa ragu-ragu, sekonyong-konyong Bun Sui- le meloncat keluar dari rumah biara itu melalui pagar tembok terus menuju ke rimba di depan, sudah tentu perbuatan mana segera diikuti oleh Hong-ko.
"Adik lekas berangkat, aku menanti di rimba sini!" terdengar Bun Sui-le meneriakinya. Habis itu dengan beberapa kali lompatan ia sudah menghilang masuk ke dalam hutan.
Kiranya sesudah Bun Sui-le kena dirobohkan oleh Go-mo Li seperti diceritakan di depan, seketika ia jadi tak bisa berkutik dan tertawan. Dalam pada itu dari dalam rimba menyusul datang pula beberapa orang yang bukan lain ialah Ong Bing dan le Hong.
"Aku telah berjanji dengan Hun-tiong-tju untuk bertemu dalam rumah biara di depan sana, bolehlah kamu membawa perempuan siluman ini ke sana untuk diputuskan lebih lanjut," perintah Ong Bing setelah mendapat laporan bahwa telah ditawan seorang musuh wanita.
Waktu nampak Liok-dji Nikoh masih belum putus napasnya, niat Liu Ut masih hendak menambahi lagi dengan sekali bacokan, namun ia keburu dicegah oleh Ong Bing.
"Hal ini tidak boleh terjadi, perjalanan kita ini harus dirahasiakan, kalau mayatnya ditemukan teman mereka, bukankah jejak kita bisa ketahuan?" ujar pemimpin mereka ini. "Sebaiknya dibawa saja sekalian dan ditutup dalam rumah biara itu, biarkan dia mampus dengan sendirinya."
Begitulah maka akhirnya Liok-dji dapat diketemukan tergeletak dalam paseban kuil itu.
Kemudian sesampainya Ong Bing dengan pengikutnya di kuil itu, mereka sudah ditunggu oleh seorang imam yang berusia setengah umur, nama gelarnya dikenal sebagai Hun- tiong-tju, imam ini mempunyai ikatan janji sehidup semati dengan Ong Bing, pemimpin gerakan Pek-lian-kau ini.
Pada waktu Tjhi Djin-ho malam-malam mengintai kapal layar dan tertawan, imam yang mencekalnya bukan lain adalah Hun-tiong-tju ini.
Hun-tiong-tju adalah Tjiang-tian Tjindjin atau pejabat istana dari Khong-tong-san, kedudukannya hanya setingkat di bawah Tjiang-tong Tjindjin atau pejabat ketua dari semua goa-goa di gunung itu.
Kiranya Khong-tong-san ada tujuh puncak gunung dan terbagi menjadi 'Tjhit-tong' atau tujuh goa yang masing- masing dijabat oleh tujuh orang imam yang disebut Tjindjin. Di bawah ketujuh Tjindjin ini terdapat pula apa yang disebut Tjiang-tian Tjindjin.
Tjindjin dari Sui-djin-tong, seorang di antara Tjhit-tong itu adalah Leng-khong-tju. Dia termasuk Tjindjin yang usianya paling muda di antara ketujuh rekannya. Pada dua belas tahun yang lalu, Leng-khong-tju pergi merantau, tetapi sejak itu pula belum pernah kembali, sebab inilah Sui-djin-tong lantas diurus oleh Hun-tiong-tju.
Tujuh atau delapan tahun yang lampau, pernah Ong Bing mengutus Pek Ting-djoan ke Khong-tong-tju untuk menghubungi Hun-tiong-tju, belakangan Pek Ting-djoan mengirimkan pula puterinya, Ang-koh, untuk belajar pada Hun-tiong-tju.
Kali ini, perjalanan Ong Bing yang dirahasiakan itu, sejak mula memang sudah berjanji untuk saling berjumpa dengan Hun-tiong-tju di tengah jalan.. Di dalam Pek-ie-am itulah mereka bertemu dan berunding.
Pada kesempatan mana Pek Ting-djoan melaporkan tentang diri Bun Sui-le yang mereka tawan, ia menerangkan juga bahwa Bun Sui-le adalah kekasih Teng Hong-ko, padahal waktu kecilnya pemuda she Teng ini pernah dipertunangkan pada pu-terinya, maka ia minta pertimbangan sang pemimpin itu.
"Jahanam Teng Hong-ko yang kau sebut itu tempo hari Pek-lian Tjosu sudah memutuskan hukuman mati baginya, tidak lama lagi tentu akan dijalankan hukuman itu," kata Ong Bing. "Puterimu Ang-koh memegang tugas sebagai Sian-koh dalam agama, mana bisa dijodohkan lagi dengan penjahat itu, biarlah kelak aku mencarikan calon yang tepat baginya, dan selanjutnya tak usah kau pikirkan soal ini lagi."
Sudah tentu Pek Ting-djoan tak berani membantah perintah ini. Adalah Ang-koh yang mendengar keputusan itu, ia menjadi sedikit kurang mengerti pada Pek-lian Tjosu, kalau sudah memutuskan hukuman mati bagi seseorang, maka tidak lama tentu ia akan memerintahkan orang buat melaksanakan hukuman itu, karenanya ia jadi menguatirkan diri Hong-ko.
Apabila ia berpikir pula bahwa biangkeladi daripada semuanya itu adalah karena Bun Sui-le, hingga pemuda itu berpindah kasih padanya. Karena pikiran ini Ang-koh menjadi gemas, ia gegetun mengapa tempo hari tidak sekalian membinasakan perempuan busuk itu. Kemudian ia lantas menabahkan hati, ia berlutut memohon pada Ong Bing agar suka menghukum Bun Sui-le 'menjadi setan' agar perempuan ini tersisih selama hidupnya.
Istilah 'menjadi setan' dalam Pek-lian-kau ialah dengan mencekoki terhukum semacam obat racun yang akan merubah bentuk paras muka orang itu menjadi jelek dan buas serupa genderuwo. Kemudian ditambah lagi dengan sedikit permainan ilmu hitam mereka dan orangnya dimasukkan ke dalam peti mati, dengan demikian setelah lewat beberapa hari, meski orangnya belum binasa, namun sudah tentu akan menjadi kurus kering laksana mayat hidup saja.
Agaknya Bun Sui-le belum tiba ajalnya hingga ia dapat tertolong oleh Hong-ko. Dalam kegelapan itu Hong-ko tidak bisa melihat dengan jelas paras mukanya yang sudah berubah hingga menakutkan, ketika Hong-ko menilik Liok-dji Nikoh, segera Bun Sui-le merobek kain bajunya buat membalut mukanya, oleh sebab itulah Hong-ko masih mengira parasnya tetap secantik dewi kayangan seperti sediakala.
Kembali mengenai diri Hong-ko, sesudah ia meninggalkan rimba itu, segera ia mengeluarkan kepandaiannya berlari cepat kembali ke Tjiongkoan. Karena jaraknya hanya sekitar dua puluhan li saja, maka waktu sebelum fajar menyinsing ia sudah tiba di markas Nilan Yong-yo.
Mendengar bahwa pemuda ini ada laporan penting, seketika Nilan-kongtju menemuinya di dalam kamar tidurnya. "Berkat kejayaan Hongsiang, kalau tidak, hampir saja aku terjebak oleh tipu muslihat musuh," ujar Nilan dengan girang setelah mendengar laporan singkat dari Hong-ko. Sudah tentu ia tidak habis-habisnya memuji jasa Hong-ko itu. Kemudian lantas ia memerintahkan bawahannya untuk mengundang Boan-liong Kiamkhek dan Toh-hiap, si pendekar bongkok dari padang pasir untuk diajak berunding.