Jilid 01
Puncak kejayaan ilmu silat di Tiongkok ialah antara seabad sesudah pendudukan Boan-djing, kala itu ilmu silat dari berbagai cabang dan golongan sudah banyak mengalami perubahan dan perbaikan-perbaikan, di daerah Yuyan (kini Beijing) dan Kanglam (daerah selatan sungai Yang Tse) tidak sedikit Kiam-khek (pendekar silat) yang muncul dari dunia persilatan, mereka secara diam-diam bergerak di bawah tanah dengan tujuan untuk menggulingkan pemerintahan Boan- djing, tetapi di samping itu juga ada perebutan pengaruh dan pertempuran di antara berbagai cabang dan golongan ilmu silat itu.
Cerita ini dimulai pada zaman dua atau tiga belas tahun setelah Kaisar Khong-hi naik takhta, ketika itu Ping se ong Go Sam-kui dan Tjing lam ong Kheng Tjin-tiong, dua orang raja muda bentukan pemerintah Boan-djing sendiri beruntun telah angkat senjata memberontak, Kaisar Khong-hi sendiri telah mengatur siasat untuk menggempur pemberontakan itu, ia mengangkat Pangeran Lirkim sebagai Ping lam tjing go tjiangkun atau Panglima besar penggempur ke selatan dan pengamanan terhadap pemberontak (kira-kira seperti komandan operasi militer pada zaman sekarang).
Di samping itu, ia juga mengirim berbagai pasukan dalam jumlah besar yang dipimpin oleh Panglima-panglima kepercayaannya yang lain untuk menduduki Hingtjiu dan Gaktjiu. Demikian juga Jenderal-jenderal lainnya memasuki Hantiong dan Hokkian sehingga merupakan garis pengepungan. Di sisi lain, ia mengambil tindakan hukuman mati terhadap semua bawahan dan sanak famili dua raja muda pemberontak itu yang tinggal di kotaraja. Karena tindakan Khong-hi tersebut, seketika seluruh negeri menjadi gempar.
Sesudah mengalami pertempuran selama setahun, gerakan tentara Boan ternyata berhasil dengan baik, karena tak tahan oleh berbagai pukulan yang dialaminya, tak lama kemudian Go Sam-kui meninggal. Cucunya, Go Se-bwan, kemudian diangkat oleh bekas bawahannya untuk menggantikan kedudukan sang kakek, dan terus bertahan melawan tentara Boan di daerah Ouw-lam. Di pihak lain, Kheng Tjin-tiong yang berkedudukan di Hokkian telah bekerja-sama dengan The King yang pada waktu itu berkedudukan di Taiwan, mereka merongrong pemerintahan Boan dari berbagai penjuru pantai, tetapi tak urung mereka pun terkepung hingga terpaksa bertahan di suatu daerah yang sempit dan terpencil.
Karena pengaruh kerusuhan di tahun-tahun itu, di propinsi Kangsay, Ouwlam, Ouwpak dan lain-lain, maka banyak kaum gagah perkasa dari Kangouw (pengembara), pahlawan dari berbagai perkumpulan gelap dan tidak terkecuali pula golongan agama dan partai-partai liar yang mengambil kesempatan itu untuk memperkeruh suasana. Mereka menghadang dan merampas bahan-bahan makanan serta menggempur pasukan pemerintah secara mendadak, bahkan banyak pula yang berkeliaran merampok sini dan menggarong sana.
Panglima besar pasukan Boan-djing, Pangeran Lirkim, mengetahui bahwa sisa-sisa pasukan pemberontak belum dapat dibersihkan seluruhnya, maka ia menggunakan kesempatan itu untuk menarik sebagian tentaranya guna menyapu gerakan melawan Boan-djing di berbagai daerah itu. Siapa saja asal dicurigai, tanpa ampun lagi segera ditangkap, lalu dipenjarakan atau dibunuh.
Pejabat-pejabat militer bangsa Boan-tjiu memang mempunyai pedoman: Daripada musuh lolos, lebih baik salah membunuh atau bunuh dahulu perkara belakangan. Secara kejam tidak sedikit rakyat bangsa Han yang sudah terbunuh, dan mereka mati penasaran, jiwa manusia dipandang seperti jiwa binatang belaka.
Di daerah selatan Kangsay, sekitar kabupaten Hinkok dan Itoh, terkenal dengan pegunungannya yang bertanah tandus dan miskin. Karena hari-hari yang dilewati dalam suasana kacau dan musim paceklik pula, maka tak tahan lagi oleh siksaan kelaparan dan kedinginan, rakyat dipaksa ke jalan yang sesat, mereka menghimpun dan memperkuat pengaruhnya sendiri-sendiri, di antaranya termasuk gerombolan dari golongan agama dan partai-partai liar yang paling kuat. Waktu itu justru yang berkedudukan di Kantjiu (ibukota propinsi Kangsay) ialah Bok-tjan, terkenal sebagai manusia yang kejam dan suka membunuh, sampai-sampai bawahannya pun ikut-ikutan ketularan kesukaan atasannya itu. Tiap hari pasti ada tawanan-tawanan dalam jumlah besar yang dibunuh di atas bukit, di jalan raya pun sering kali terlihat mayat tawanan yang dibuang dalam jumlah banyak.
Pada suatu hari. di jalan raya Itoh, ada sepasukan kecil tentara dengan menggiring serombongan tawanan sedang menuju ke Po-hong-nia (bukit Po-hong). Di antara rombongan tawanan itu terdapat laki-laki dan wanita, bahkan diikuti juga dengan anak-anak, jumlah seluruhnya ada kira-kira belasan orang. Dari jauh terlihat bagaikan mayat hidup yang berjalan lewat dengan menyeret langkahnya yang berat.
Kebanyakan dari tawanan laki-laki itu tanpa mengenakan baju atau setengah telanjang hingga deretan tulang-tulang iga mereka tertampak dengan jelas, sedang tawanan wanita bermata cekung saking kurusnya, pakaian mereka pun begitu kotor melebihi pengemis yang paling kotor sekalipun. Dengan kaki telanjang tanpa sepatu, mereka berjalan di atas jalanan pasir tandus yang tak berumput itu, karena panggangan sinar matahari yang panas terik, kaki mereka menjadi lecet berair, lidah mereka melelet dengan napas memburu seperti anjing kehausan, tetapi di-mana mereka lewat tak ada sebatang rumput pun yang tumbuh saking keringnya, apalagi untuk mencari mata air.
Pengiring tawanan ini adalah sebarisan kecil serdadu Boan- tjiu, mereka tidak paham bahasa Han. Pemimpinnya seorang opsir rendahan yang berkumis hitam tebal, tiada hentinya dia mengusap keringatnya yang bercucuran sambil duduk di atas kudanya, meskipun dia bertopi lebar untuk mengalingi sinar matahari, tetapi dia masih merasa seperti berjalan di tepi gunung berapi saja, beberapa kali dia harus mengambil gendul berisi air dan ditegukkan ke mulutnya.
Tiba-tiba di antara rombongan tawanan itu terdengar suara jeritan, beberapa orang serdadu yang membawa golok besar dan berjalan di depan segera berian ke bagian belakang.
Ternyata seorang wanita setengah umur yang berkaki kecil di antara para tawanan itu mendadak jatuh pingsan, di sampingnya seorang bocah perempuan berumur sekitar tujuh atau delapan tahun sambil berlutut sedang berteriak-teriak memanggil ibunya dan kedua tangannya tiada hentinya menggoyang-goyang tubuh wanita tadi. Dalam pada itu, dari rombongan itu seorang laki-laki yang kakinya masih menyeret borgol yang kuat dan berat datang menghampirinya, waktu menyaksikan wanita yang pingsan tadi, tak tahan lagi beberapa tetes air matanya mengalir.
"Eng-ma (ibu Eng), mengapakah kau?" tanyanya.
Tetapi sudah tentu tak mungkin terdengar oleh wanita itu. "Tarr!" tiba-tiba suara pecut kulit berbunyi, punggung si
lelaki tadi telah kena sekali cambukan, serdadu Boan-tjiu yang
menggiring di samping mereka sedang mencaci-maki dengan bahasa mereka.
Karena terkena cambukan itu, lelaki tadi tersungkur di pinggir jalan, beberapa kawan setawanan yang berusia lebih muda lekas maju membangunkan laki-laki itu, bagaikan srigala menyalak, lelaki tadi sesambatan tanpa bisa mengeluarkan air mata lagi, tiada hentinya ia menoleh memandang wanita yang sedang pingsan itu.
Opsir bangsa Boan-tjiu itu segera memerintahkan bawahannya untuk menyeret bangun wanita tadi dan matanya dijelikan untuk diperiksa, serdadu yang diperintah itu terlihat menggeleng kepala dan entah apa yang dikatakannya, setelah mendapat perintah sekali lagi, segera ia mengangkat goloknya dan memenggal kepala wanita itu, seketika tubuh wanita itupun terguling. Bocah perempuan tadi menangis melolong sambil berjingkrakan, sedang lelaki yang di depan tadi mendadak berhenti sesambatan, ia mendongak memandang dengan sepasang matanya yang merah berapi karena gusarnya kepada opsir berkumis itu.
Setelah dekat magrib, rombongan 'mayat berjalan' yang kehilangan kemerdekaan itu baru sampai di suatu sungai kecil di bawah bukit, opsir berkumis segera memberi komando, semua orang lantas berhenti di situ.
Serdadu-serdadu Boan-tjiu begitu melihat air sungai langsung berlarian saling mendahului untuk minum sekenyang-kenyangnya. Seorang tawanan juga seperti kesetanan berlari hendak minum, tetapi segera ia dipapaki dengan sebuah cambukan hingga jatuh menggelongsor, batok kepalanya tertumbuk batu besar di pinggir jalan hingga pecah dan otaknya berantakan, sebaliknya serdadu-serdadu Boan- tjiu tertawa terbahak-bahak dan menendang ke samping mayat tawanan itu, kemudian mereka membentak memerintahkan semua tawanan untuk berjongkok. Setelah opsir berkumis tebal itu sudah cukup mengaso, barulah ia memperkenankan beberapa anak dari rombongan tawanan itu untuk minum di tepi sungai.
Di tepi sungai penuh dengan tumpukan batu yang sudah berlumut dan licin, seorang anak mencoba merangkak ke atas sebuah baru, dengan tengkurap ia meraup air dengan tangannya, karena kurang hati-hati, tiba-tiba ia terjungkal ke bawah. Sungai kecil di pegunungan itu walaupun dangkal, tetapi anak kecil yang terjerumus masuk bisa tenggelam juga. Bocah yang terjerumus tadi muncul dua kali ke atas permukaan air dan kemudian kerupukan di dalam air. Serdadu Boan yang berdiri di tepi sungai bukan saja mereka tidak lantas menolong, sebaliknya mereka malah merasa geli dan tertawa terpingkal-pingkal. Tiba-tiba terdengar suara "Plung," ada orang telah terjun ke dalam sungai, dengan sekali gerakan orang itu berhasil menolong bocah yang terjungkal ke sungai tadi dan terus merangkak naik ke atas sebuah batu.
Waktu semua orang menegasi, penolong itu ternyata bukan lain ialah bocah perempuan yang kehilangan ibunya itu, rambutnya yang basah kuyup makin menunjukkan sepasang matanya yang hitam bundar dan tampak menarik.
Melihat kejadian tadi, si opsir berkumis hitam tebal hanya tertawa cekikikan, entah tertawanya ini sebagai pujian terhadap keberanian bocah perempuan tadi atau mungkin tertawa tanda setuju dengan bawahannya yang tadi hanya berpeluk tangan saja melihat bahaya yang menimpa sang bocah.
Kemudian ia maju menarik bangun kedua tawanan cilik tadi, sesudah itu ia memberi tanda memperbolehkan para tawanannya yang sudah hampir mampus kehausan itu untuk minum. Sudah tentu bukan main girangnya para tawanan itu, seakan-akan ikan mendapatkan air. Mereka merendam kepala ke dalam air sungai dan minum sepuasnya.
Pada waktu itu juga, beberapa serdadu di antaranya seperti telah menemukan sesuatu, mereka berteriak-teriak menuju ke atas bukit. Kiranya dari jalanan kecil di atas bukit itu ada dua orang dusun sedang berjalan mendatangi, waktu mereka melihat ada serdadu Boan, segera mereka mengkerut menyembunyikan diri ke belakang batu-batu besar pegunungan yang banyak terdapat di situ.
Dengan sebuah bentakan, si opsir berkumis itu memburu dengan golok terhunus, dalam sekejap saja ia telah dapat meringkus kedua orang tadi, ternyata kesemuanya adalah kakek-kakek yang sudah berusia lebih dari setengah abad, kepala mereka memakai caping, berbaju kain kasar dan bercelana pendek biru yang sudah compang-camping penuh tambalan di sana-sini. Tangan mereka menjinjing bakul dari bambu yang sudah bobrok berisikan penganan berbentuk bundar terbuat dari jagung, dan ada pula tempurung yang berisi madu tawon. Waktu opsir itu memerintahkan menggeledah tubuh mereka, namun sudah tidak menemukan sesuatu barang lain lagi.
Sementara itu kedua kakek telah berlutut memohon ampun. Opsir berkumis mengambil penganan dari jagung itu, ia meremas beberapa di antaranya untuk diperiksa dan segera dibuangnya ke tanah. Seperti kuatir kehilangan sesuatu, si kakek menjemput penganan yang dibuang itu. Si opsir mengamati mereka, tetapi tiada sesuatu yang mencurigakan, ia memandang pula madu tawon yang ada di dalam bakul, tak tahan lagi ia mengulur tangannya dan merebutnya, kemudian ia menendang mereka agar pergi.
Kena ditendang dan roboh, dengan menahan sakit kedua orang tua itu kemudian merangkak bangun dan setindak demi setindak lantas berlalu.
Melihat mereka sudah pergi, si kumis mengulur jarinya dan dicelupkan ke dalam madu tawon yang berada dalam tempurung itu, kemudian dimasukkan ke dalam mulutnya, agaknya rasanya manis enak, lantas ia perintahkan juga pada serdadunya agar mengambil air bening dengan wadah semacam tempurung, lalu ia mencampurkan sedikit madu terus diminum.
Serdadu-serdadu Boan-tjiu itu melihat opsirnya minum dengan bernapsu dan terlihat nikmat sekali, mereka menjadi mengiler, memang saat itu suhu udara terlalu panas, mereka tentu ingin membasahi sedikit tenggorokan mereka dengan madu tawon itu juga. Susah payah mereka menanti dengan tidak sabar, baru sejenak kemudian tertampak si kumis melambaikan tangannya, maksudnya tentu akan diberikan kepada mereka untuk dibagi rata, maka tanpa perintah untuk yang kedua kalinya secara beramai-ramai para serdadu itu segera menyerbu tempurung madu dan saling berebutan, keruan saja dalam sekejap madu tawon itu sudah tak tersisa setetes pun.
Sang surya telah tenggelam ke barat, rombongan orang- orang itu pun tiba di suatu tempat yang agak tinggi, dari jauh mereka melihat ada asap mengepul, ternyata di depan mereka terdapat sebuah dusun yang disebut Bho thau tjun.
Si kumis tadi mengeprak kudanya mendahului berjalan, tetapi sekonyong-konyong terdengar kudanya meringkik, dan si kumis terguling jatuh. Waktu serdadu bawahannya bermaksud mendukungnya bangun dan memeriksa, terlihat matanya mendelik dan dari mulurnya keluar busa. Keruan saja seluruh rombongan menjadi gempar oleh kejadian yang mendadak itu.
Wakil pimpinan rombongan segera memerintahkan mengawasi semua tawanan, tetapi dalam sekejap itupun ia sendiri merasa kepalanya pening dan tak tertahankan lagi. Ia masih sempat memandang bawahannya, namun serupa saja, serdadu-serdadu itupun pada roboh terguling bergelimpangan, terang mereka sudah terkena obat tidur.
Dalam pada itu dari belakang tanah tinggi itu terdengar ada suara tertawaan orang yang terbahak-bahak, menyusul mana lima atau enam orang laki-laki muncul, dua orang kakek yang tadi didupak pergi termasuk di antara mereka, yang berjalan di depan adalah seorang laki-laki tegap setengah umur, tangannya mencekal golok, kepalanya memakai ikat kain hitam, kedua lengannya telanjang, secarik angkin merah mengikat di pinggangnya dan kakinya memakai 'tjhau-eh' (semacam sepatu sandal terbuat dari rumput, dipakai oleh rakyat petani di musim panas).
Setelah berhadapan dengan rombongan tawanan itu, laki- laki tegap tadi memandang ke arah rombongan tawanan itu, agaknya seperti hendak mencari seseorang di antara mereka. Melihat lelaki tegap itu, si bocah perempuan tadi segera berlari mendekat sambil berseru, "Teng-sioksiok, tia (ayah) berada di sana!"
Lalu tangannya yang kecil menunjuk ke arah tawanan yang diborgol dan bermata merah berapi tadi. Laki-laki tegap itupun segera menghampirinya sambil menyelipkan goloknya ke ikat pinggang, ia merangkul orang itu sambil mencucurkan air mata.
"Oh, Pek-djiko, kau telah disiksa sampai begini rupa, hingga aku hampir tak mengenalimu lagi!" katanya kemudian dan terus saja ia melolos goloknya lagi untuk merusak borgol dan rantai yang berada di rubuh orang itu.
Sementara itu, kawan-kawan yang datang bersamanya dapat merebut semua toato atau golok besar dari para serdadu Boan-tjiu, bagaikan memotong semangka dan merajang sayur, dalam sekejap saja mereka sudah membereskan semua serdadu musuh.
"Hai, saudara-saudara!" tiba-tiba orang yang dipanggil Pek- djiko tadi berseru. "Ringkus dulu si anjing berkumis itu, jangan biarkan ia mampus secara begitu mudah!"
Lelaki tegap itu segera menjawab dan ia maju sendiri untuk meringkus si opsir berkumis tebal itu. Dalam pada itu jalan besar itu tertampak telah didatangi pula serombongan orang.
"Djiko, jangan kaget, mereka adalah saudara-saudara sekampung," seru lelaki tegap she Teng itu sambil berpaling waktu melihat ada serombongan orang lain yang datang lagi.
Tidak berselang lama, rombongan yang baru datang itu telah tiba pula, mereka semua membawa arit, pacul dan kampak sebagai senjata, di samping itu mereka membeka! pula sedikit makanan. Dari rombongan yang baru datang itu, sekonyong-konyong seorang anak laki-laki kurus jangkung berlari-lari ke depan si bocah perempuan tadi sambil memegang kencang kedua tangannya. "Eng-koh, kau tentu telah menderita," kata anak laki-laki itu. "Tadi aku akan datang terlebih dahulu bersama mereka, tetapi tia tidak mengizinkan."
Kemudian tanpa menghiraukan lagi pandangan mata orang banyak, ia menarik bocah perempuan itu ke samping bakul yang berisikan makanan, melihat itu dia terus bungkam tanpa berkata kata, setelah ia mengamat-amati, barulah ia tahu bahwa mukanya telah basah dengan air mata.
"He, apakah kau tidak enak badan?" tanya si bocah laki-laki itu dengan heran.
Eng-koh menggeleng kepala.
"Ibuku telah meninggal!" jawabnya dengan singkat.
Karena perkataannya ini, lelaki tegap yang berada di sampingnya pun sampai ikut terkejut.
"Bagaimana dengan Dji-ma? Betulkah dia telah meninggal?" ia menoleh dan bertanya pada orang she Pek tadi. Baru kini ia teringat bahwa di antara para tawanan itu memang betul tidak terdapat ibu Eng-dji.
Saat itu juga di belakangnya timbul suara gedebukan, ternyata orang yang dipanggil sebagai Pek-djiko itu telah jatuh pingsan saking berdukanya. Dalam keadaan ribut itu, lekas mereka berusaha menyadarkannya kembali.
Sementara itu hari sudah gelap, lelaki she Teng tadi memberi perintah kepada kawan-kawannya, mereka melucuti semua rantai dan borgol para tawanan dan memberikan mereka masing-masing sedikit makanan, kemudian ia memerintahkan pula mencopoti semua pakaian para serdadu Boan-tjiu yang sudah mereka bunuh semua, mayatnya mereka gotong dan dibuang di tempat sepi. Dengan hasil rampasan senjata dan pakaian seragam yang tidak sedikit itu, barulah kemudian mereka kembali ke kampung halaman dalam keadaan gelap. Kiranya di dalam rombongan tawanan buangan itu, orang yang dipanggil Pek-djiko tadi bernama Pek Ting-djoan, seorang guru sekolah di Tjiok ge tjun, di tepi sungai Bwe- kang, selatan Kangsay. Dalam ilmu sastra, Pek Ting-djoan cukup mempunyai dasar yang baik, ia paham pula sedikit ilmu silat. Di I jiok ge tjun atau kampung Tjiok-ge, ia cukup terkenal dan disanjung oleh penduduk sekampung.
Dalam kampung Tjiok-ge itu terdapat pula seorang guru silat yang bernama Teng Ling, tidak sedikit dari kalangan muda yang menjadi muridnya. Dengan Pek Ting-djoan, dia merupakan satu bun dan satu bu yang membuka sekolah di satu tempat yang sama, oleh karena itu hubungan mereka berdua sangat baik dan rapat. Mareka sama-sama mempunyai jiwa patriot dan darah panas, di waktu senggang bila mereka berkumpul, tentu yang mereka percakapkan ialah soal cara bagaimana menghimpun semua pahlawan dan orang-orang gagah dari seluruh negeri untuk bersama-sama bergerak dalam pekerjaan yang maha besar itu.
Tiada sesuatu yang tak terkabul asal ada kemauan. demikian kata peribahasa. Maka selang tidak lama mereka pun sudah mendapatkan banyak kawan-kawan seperjuangan setempat dan bergerak secara gelap.
Teng Ling mempunyai seorang putra bernama Hong-ko atau lengkapnya Teng Hong-ko, ia terlahir dengan otak tajam dan roman muka cakap. Istri Pek Ting-djoan, Pek Dji-ma. juga melahirkan seorang putri dan diberi nama Eng-dji atau Pek Eng-dji, usianya tiga tahun lebih tua dari Teng Hong-ko.
Kedua bocah itu masing-masing mengikuti orang tua mereka belajar bun dan bu (ilmu sastra dan ilmu silat), di kala senggang mereka selalu bermain bersama sebagaiman umumnya di kalangan anak-anak.
Eng-dji berayah cendekiawan, sudah tentu soal membaca ia jauh lebih banyak daripada Hong-ko, sebaliknya dalam hal bermain silat, sudah tentu pula ia tak bisa menyamai Hong-ko, oleh karena itu kalau sewaktu mereka berkumpul, tentu mereka saling menukar pelajaran apa yang sudah mereka dapat, dua sejoli cilik ini meskipun belum mengerti arti cinta asmara, tetapi kalau sehari tak bertemu saja, mereka lantas merasa kesal.
Tahun itu, di daerah selatan Kangsay berjangkit suatu penyakit dan bahaya kelaparan, kaum miskin banyak yang menyingkir ke tempat lain untuk mencari nafkah, akibat dari itu, di sekolah Teng Ling dan Pek Ting-djoan pun tinggal tersisa dua-tiga orang murid saja, keruan ongkos penghidupan mereka menjadi persoalan juga, dan justru pada saat itu ada seorang hartawan dari kampung Tiang-sing-su yang berjarak ratusan li (satu li kurang lebih seperempat kilometer) dari kampung Tjiok-ge, telah menyuruh orang untuk mencari Pek Ting-djoan agar ke rumahnya untuk memberi pelajaran beberapa anak muridnya dengan uang jasa yang sangat besar, sudah tentu Pek Ting-djoan menerima tawaran itu dan ia segera berangkat ke tempat yang baru beserta anak istrinya.
Istri Teng Ling sudah lama meninggal, maka pada waktu hendak berpisah, ia hanya membawa putranya, Hong-ko, mereka mengantar hingga jauh. Kedua orang tua itu melihat sepasang putra-putri cilik merasa berat untuk berpisah, secara lisan mereka pun berjanji untuk mengikat tali perbesanan.
"Laute, menurut penglihatanku, sekolahmu pun tak mungkin diteruskan lagi, lalu apa rencanamu selanjutnya?" tanya Pek Ting-djoan.
"Memangnya Siaute justru hendak mengemukakan kepada Hengtiang," sahut Teng Ling. "Beberapa hari berselang, pahlawan dari He-ho-tje, Hoa Dji-tjun, telah mengajak Siaute ke sana untuk memberi pelajaran silat kepada para bawahannya, aku merasa bisa mendapat kemajuan juga di sana, maka aku telah menerima ajakannya." "Apakah yang kau maksudkan Hoa-djitjetju?" tanya Pek Ting-djoan pula. "Orang ini walaupun betul seorang gagah, tetapi kalau Laute ikut masuk ke dalam gerombolan mereka, kelak kalau pembesar negeri mencium, waktu itu tak mungkin kau bisa kembali lagi tinggal di Tjiok-ge-tjun."
"Djiko," sahut Teng Ling dengan tertawa. "Keadaan kini kacau-balau, jiwa manusia tidak lebih berharga dari jiwa binatang, seumpama kau hendak menjadi rakyat yang prihatin, toh tidak jarang menjadi korban kaum pembesar negeri yang sewenang-wenang, ditangkap atau dibunuh sesukanya. Kabarnya belakangan ini tidak sedikit yang sudah masuk ke dalam perkumpulan Thian te hwe dan Pek-lian-kau, kita hendak bercokol di sini, sedikitnya kita harus mendapatkan sandaran yang mempunyai pengaruh."
Pek Ting-djoan tidak menjawab, ia hanya manggut-mang- gut saja tanda setuju dengan perkataannya, sambil bercakap- cakap sepanjang perjalanan, tidak terasa mereka sudah berjalan lebih dari belasan li.
"Jauh-jauh mengantar, akhirnya harus berpisah juga, biarlah Siaute kembali saja, harap Djiko dan Titli (keponakan perempuan) bisa menjaga diri baik-baik!" ujar Teng Ling akhirnya. Kemudian mereka berpisah dalam suasana haru.
Sesudah sampai di Tiang-sing-su, Pek Ting-djoan memangku pekerjaannya yang baru sebagai guru pengajar dari hartawan Ong Bing. Setelah agak lama ia tinggal di situ, barulah ia mengetahui bahwa Ong Bing sebenarnya ialah pemimpin Pek-lian-kau atau agama Teratai Putih, sebuah perkumpulan rahasia dengan ajaran ilmu hitam, oleh anggota- anggota dari perkumpulan itu di Kang-say dan daerah selatan, Ong Bing disebut sebagai 'Thong-thian-kiu-tju' atau Dewa penolong seluruh jagad.
Ong Bing sebenarnya adalah seorang hartawan yang kaya raya di tempat itu, kekuasaan setempat tergenggam di dalam tangannya, keh-ting (centeng) bawahannya saja sudah lebih dari ratusan orang, oleh karena itu pihak pemerintah tidak pernah menyangka dan mencurigai dia sebagai pemimpin besar agama liar itu.
Tahun itu kebetulan juga Djing-ting (kerajaan Boan-djing) menggerakkan tentaranya untuk menggempur pemberontakan dua raja muda di daerah barat daya, justru daerah-daerah itu sedang diamuk oleh paceklik dan bahaya kelaparan, maka penderitaan rakyat jelata susah untuk dilukiskan, banyak sekali rakyat yang telah diseret oleh tentara Boan dan dijadikan Thian-hu (semacam romusa).
Di daerah selatan Kangsay, kaum Liok-lim-ho-kiat atau orang-orang gagah dari golongan begal besar (Liok-lim adalah nama lain dari kaum perampok dan begal) telah bersekongkol dengan orang-orang agama dan partai-partai liar untuk menghasut kaum miskin merampok dimana-mana sehingga menerbitkan kekacauan setempat, dengan cara demikian mereka memberi pukulan pada pasukan Boan secara tidak langsung. Sementara itu di He-ho-tje, gerombolan bajak dari Hoa Dji-tjun, sejak Teng Ling ikut masuk gerombolan mereka dan melatih pengikut-pe-ngikutnya, mereka juga telah mementang sayap dengan cepat dan giat, sampai kini gerombolan ini sudah lebih dari dua ribu jiwa banyaknya, meliputi pasukan sungai dan darat serta tersebar di sekitar sungai Bwe-kang, mereka hanya menanti kesempatan untuk bergerak.
Setelah Teng Ling berada di He ho tje, tidak pernah ia melupakan Pek Ting-djoan. Sang tempo lewat dengan cepat, dan sudah tiba masa 'ikatan dinas' Pek Ting-djoan berakhir, namun masih belum tampak yang tersebut belakangan ini bersurat padanya. Sementara itu putranya, Teng Hong-ko, kini sudah menginjak usia sebelas tahun, dalam hal ilmu silat sudah banyak mendapat kemajuan.
Menunggu sesudah lewat tahun, Teng Ling lantas membawa Hong-ko diam-diam kembali ke kampung mereka yang dulu, Tjiok-ge-tjun, tetapi yang mereka dapatkan di pedusunan itu hanyalah keadaan yang sepi-senyap, tiap pintu rumah tertutup rapat. Waktu mereka mencari tahu, barulah mengerti bahwa beberapa bulan ini sudah sering kedatangan alat-alat negara untuk menangkap orang, banyak kaum muda yang kuat telah berlari menyingkir ke tempat lain, yang masih tertinggal hanyalah sedikit, itupun mereka yang sudah tua reyot.
Menyaksikan keadaan itu, perasaan Teng Ling tertusuk, keesokan paginya ia lantas meninggalkan tempat itu bersama putranya, mereka menuju ke Tiang-sing-su untuk mencari kabar sahabat lamanya, Pek Ting-djoan.
Begitu memasuki kampung tujuan mereka, segera mereka melihat keramaian yang luar biasa dalam kampung itu, orang berjalan simpang-siur dan kian-kemari, di rumah-rumah makan dan penginapan pun penuh berjubel dengan para tetamu, ternyata banyak kaum hartawan dari tempat-tempat di sekitar situ telah mengungsi semua kemari. Begitu Teng Ling bertanya, segera ada orang membawa mereka ke rumah keluarga Ong, di depan pintu mereka melihat penjagaan bagitu keras, tidak berapa lama kemudian tertampak Pek Ting-djoan mendatangi untuk menyambut mereka dan menyilakan masuk dan duduk di suatu kamar baca.
Keadaan Pek Ting-djoan ternyata sudah banyak berlainan, kalau dulu berkain kasar dan berbau miskin, maka kini wajahnya gemuk dan bercahaya, kain pakaiannya sebangsa sutra yang halus.
Di samping kamar baca itu, bergandengan dengan sebuah paviliun yang berkamar susun, waktu Pek Dji-ma dan Eng-dji mendapat kabar, mereka pun lantas datang menjumpainya. Baru setelah itu Teng Ling mengetahui bahwa sesudah Pek Ting-djoan mengajar di keluarga Ong, soal makan, tempat tinggal dan pakaian semuanya terpenuhi secukupnya, maka tak heran kalau ia tidak ingin kembali ke tempat asalnya lagi. Di pihak lain, Eng-dji bisa bertemu dengan Hong-ko, ia pun masih tetap serupa seperti sedia-kala, dengan menggandeng tangan kawan ciliknya ini, ia bertanya panjang lebar.
"Semula setelah sampai di sini, aku hanya mengira sebagai guru sekolah biasa saja," demikian tutur Pek Ting-djoan waktu ditanya oleh Teng Ling tentang keadaannya setelah berpisah. "Tetapi majikanku, Ong Bing, meladeni aku dengan sangat menghormat dan serba kecukupan, malah telah mengangkatku merangkap sebagai sekretarisnya, bisa memperoleh kecocokan paham, hal ini sungguh di luar dugaanku. Hiante, harap kau mau berdiam barang satu-dua hari di sini, biar kita bisa mengobrol lebih banyak lagi tentang keadaan kita sesudah berpisah."
Dan begitulah dua saudara yang berlainan she tetapi cocok dan sepaham itu bercakap-cakap sepanjang malam di kamar baca dalam kamar tidur itu.
"Hiante denganku adalah sahabat sehidup-semati, tiada halangannya aku berterus-terang," Pek Ting-djoan berkata. "Majikanku Ong Bing itu sebenarnya bukan lain ialah Thong- thian-kiu-tju dari Pek-lian-kau di daerah selatan Kangsay ini, kini anggotanya sudah ada beberapa puluh ribu orang.
Terhadap diriku, majikan pun sangat menjunjung dan menganggapku sebagai orang kepercayaannya, banyak urusan besar yang ditanganinya selalu mengajakku untuk dirundingkan, hakikatnya selangkah pun kami tidak pernah berpisah, oleh karena itu sesudah masa dinasku berakhir dalam tahun ini, aku masih ditahan terus untuk tinggal di sini."
Teng Ling terkejut oleh keterangan ini, ia tidak menduga bahwa Thong-thian-kiu-tju yang tersohor di kalangan Kangouw itu adalah Ong Bing, majikan sahabatnya ini, di luaran orang ini terkenal pandai ilmu gaib dan ilmu hitam (black magic). Kemudian ia pun menceritakan kepada Pek Ting-djoan keadaan yang menyedihkan di kampung halaman mereka dimana ia telah menyaksikan sendiri. Sudah setahun lamanya mereka berpisah, maka asyik sekali mereka bercakap-cakap sampai hampir mendekati pagi mereka masih belum tidur.
"Djiko, apakah kau sudah masuk menjadi anggota Pek-lian- kau?" tanya Teng Ling.
"Sebenarnya," jawab Pek Ting-djoan setelah berdiam sejenak, "Setengah tahun yang lalu aku sudah bersumpah darah di hadapan Tjo-su (pendiri agama mereka yang sudah wafat) dan telah masuk menjadi anggota, kini jabatanku ialah kim-su (kepala staf) kedudukanku hanya di bawah ketua dan wakil ketua saja, peraturan dalam agama kami sebenarnya sangat keras, menurut aturan tidak boleh dikatakan kepada siapa pun maka harap Hiante suka menutup rahasia ini?"
Habis itu ganti ia yang bertanya tentang bagaimana keadaan di pihak Hoa Dji-tjun di He-ho-tje, secara singkat Teng Ling pun memberi keterangan seperlunya. Tiba-tiba suara ayam jago berkokok di waktu subuh telah terdengar, kuatir kalau didengar oleh orang di luar jendela, lalu Teng Ling tidak meneruskan lagi ceritanya.
Esok paginya Pek Ting djoan mengajak Teng Ling menjumpai Ong Bing di taman belakang rumah itu, di taman itu penuh tumbuh-tumbuhan dengan tanaman yang rindang dan terdapat panggung bertingkat. Usia Ong Bing sudah lebih setengah abad. Ia mengenakan dandanan sebagai imam, tubuhnya besar, kekar dan berjenggot cabang tiga, sinar matanya tajam, di sampingnya berdiri empat orang kacung yang memegangi hio-lo (tempat dupa) dan kipas bulu, serta pengebut dan alat-alat seban gsanya.
Berhadapan dengan Teng Ling, Ong Bing ternyata sudah tahu bahwa dia adalah tangan kanan Hoa Dji-tjun, agaknya terhadap seluk-beluk keadaan di He-ho-tje ia banyak mengetahui. "Kalau Teng-enghiong adalah sahabat baik Pek-heng, urusan di sini harap suka menolong sedikit, sekembalinya hendaklah lantas saling berhubungan," kata Ong Bing pada Teng Ling.
Teng Ling menjawab baik, dalam hati ia pun memuji kecepatan kabar yang telah Ong Bing peroleh.
Sesudah tinggal beberapa hari, lalu ia berpamitan pada Pek Ting-djoan, sementara itu, Hong-ko dan Eng-dji pun merasa sayang harus berpisah kembali.
"Hong-ko, kau telah berjanji padaku Tian-ngo (bulan lima tanggal lima) akan datang ke sini menonton pek-tjun, harap jangan kau mendustai aku!" pesan wanti-wanti bocah perempuan itu sambil mengusap air matanya yang meleleh, ia mengantar sampai di luar kampung.
Sang tempo lewat dengan cepat, dalam sekejap saja musim kering atau musim panas sudah tiba, sejak menginjak musim semi, lepas dari biasa, tidak pernah setetes air hujan pun yang turun, tanah sawah sudah retak pecah saking keringnya, di daerah sekitar Hinkok, Lingtoh, dan Suikim, gerombolan pengacau merajalela, bahkan rangsum militer pemerintah saja kadang-kadang dicegat di tengah jalan. Oleh karena itu, dua pejabat militer Boan-tjiu, Bok-tjiam dan Tju-boan oleh atasan mereka telah diperintahkan mengadakan operasi terhadap gerombolan pengacau itu di dusun-dusun tadi.
Dalam pada itu pembesar-pembesar Boan-djing sudah mulai menaruh curiga terhadap gerak-gerik hartawan yang kaya raya di Tiang-sing-su itu, soalnya karena semua kota distrik maupun kampung-kampung di sekitar situ mengalami perampokan dan pengacauan yang habis-habisan, hanya melulu Tiang-sing-su yang tidak mengalami petaka itu, sebaliknya malah tertampak makin hari makin subur dan makmur. Diperoleh kabar pula bahwa Ong Bing telah memerintahkan orang-orangnya membeli dan mengumpulkan bahan makanan kemana-mana untuk ditimbun, karenanya harga bahan makanan jadi memuncak.
Gubernur Kangsay akhirnya ikut campur, ia perintahkan Tju-boan To-thong (kapten) menyelidiki keadaan itu, Tju-boan mengirim beberapa penyelidiknya ke Lingtoh, tetapi seperti batu tenggelam di lautan, begitu pergi utusan-utusan itu tak pernah kembali lagi. Tju-boan menjadi murka, ia mengerahkan pasukannya dan mengepung sekitar tepi sungai Bwe-kang, ratusan kampung di situ telah mengalami gerakan pembersihan, ia melarang orang untuk pergi datang, kalau sudah terang adalah rakyat yang prihatin, tiap orang itu segera diberikan secarik surat penduduk sebagai bukti, tetapi yang tidak memiliki surat penduduk itu, semuanya ditangkap dan dituduh sebagai kaum pengacau atau perampok.
Hoa Dji-tjun Tjetju di He-ho-tje waktu mendapat laporan bahwa pasukan besar pemerintah hendak datang mengepung, siang-siang ia sudah memencarkan pengikutnya dalam kelompok-kelompok kecil, akhirnya mereka pun bisa menyelusup sampai di belakang daerah pendudukan tentara Boan itu.
Di pihak Tiang-sing-su, Ong Bing mengerahkan beberapa ribu pengikutnya dengan menyamar sebagai kaum petani untuk menduduki bukit-bukit di luar kampung mereka, di samping itu ia bermaksud berhubungan dengan Hoa Dji-tjun agar mengirim orangnya buat merundingkan cara bagaimana memberi pukulan yang dahsyat apabila pasukan tentara Boan menyerbu ke Tiang-sing-su.
Untuk utusan itu, selain Pek Ting-djoan agaknya tiada orang lain yang cocok, maka ia lantas menulis sepucuk surat dan memberikan pula emas murni lima puluh tail. Dengan membawa isterinya, Pek Ting-djoan lantas menyamar sebagai kaum pengungsi menuju ke He-ho-tje.
Dengan cara begitu Pek Ting-djoan sekeluarga tiga jiwa terlebih dulu menyambangi kampung asal mereka, Tjiok-ge- tjun. tetapi kenalan-kenalan lama dan tetangga-tetangga yang dulu ternyata sudah buron semua, ada beberapa kaum tua yang jatuh sakit tak sempat lari telah menasehati mereka agar lekas meninggalkan tempat itu. Pek Ting-djoan pun merasa tiada yang harus dibuat sayang untuk tinggal lebih lama di situ, maka esok harinya mereka lantas berangkat lagi.
Tidak disangka-sangka, orang-orang yang tadinya terkenal sebagai bajingan di kampung itu, kini sudah mengekor pada pihak tentara pemerintah, waktu melihat Pek Ting-djoan kembali ke kampung dengan pakaian compang-camping, mereka menjadi curiga, karena mereka tahu bahwa Pek Ting- djoan bekerja pada Ong Bing yang terkenal kaya raya, tidak mungkin tampak begitu rudin, tentu di dalamnya ada sesuatu yang tidak betul, hal itu diam-diam telah dilaporkan pada pihak tentara Boan.
Sementara itu Pek Ting-djoan melanjutkan perjalanannya ke He-ho-tje, ia masih belum mengetahui bahwa Hoa Dji-tjun dan Teng Ling serta kawan-kawan yang lain sudah meninggalkan benteng air mereka semula, sebelumnya ia tidak memperoleh sesuatu tanda rahasia pula untuk berhubungan dengan orang Hoa Dji-tjun yang menyamar sebagai orang biasa. Begitu mereka bertiga memasuki garis terlarang yang sudah terkepung oleh pasukan pemerintah dan nampak keadaan Tjui-tje atau benteng air di situ sudah berlainan, sedang di permukaan sungai sebuah perahu saja tak tampak, ia segera tahu tentu ada sesuatu yang telah terjadi, dengan cepat ia hendak mundur, namun sudah terlambat, tentara Boan sudah datang mengepung dari empat penjuru dan berhasil menangkap mereka.
Masih terhitung cukup cerdik Pek Ting-djoan, begitu gelagat jelek, segera ia merogoh surat yang ia bawa dan diremas terus dilemparkan ke dalam sungai.
Waktu digeledah tentara Boan, di atas bungkusan Pek Ting- djoan diketemukan lima puluh tail emas murni, tetapi kalau melihat pakaian ketiga orang yang compang-camping dan dekil, maka segera mereka digusur ke markas untuk diperiksa.
Pek Ting-djoan hanya mengaku sebagai pengungsi biasa karena takut di perjalanan bertemu dengan gerombolan perampok, maka emas murni itu disimpan rapi di tubuh mereka. Tetapi pengakuan itu tak dipercaya oleh pejabat militer itu, sebaliknya ia dicurigai komplotan perusuh dari He- ho-tje, beberapa kali Pek Ting-djoan telah disiksa dan dianiaya namun ia tetap pada keterangannya, Peh Dji-ma pun merasakan siksaan yang tidak enteng, dengan sengaja pejabat pemeriksa membiarkan Eng-dji menyaksikan penderitaan siksaan ibunya dengan tujuan barangkali bisa mendapatkan sedikit keterangan darinya, tidak tahunya meskipun Eng-dji masih kecil, namun ia sudah memiliki pikiran orang dewasa, dengan menangis ia pun mengatakan emas itu didapat ayahnya dari Ong Bing untuk dibelikan bahan makanan, karena pengakuannya inilah, jiwa kedua orang tuanya telah tertolong.
Tetapi pihak pejabat negeri itu masih berusaha agar Pek Ting-djoan mengaku apakah Ong Bing bersekongkol dengan pihak pengacau, Pek Ting-djoan menjawab bahwa ia hanya mengajar dalam rumah saja, selamanya ia tak pernah melihat ada hubungan apa-apa dengan kaum pengacau dari luar.
Terpaksa, pembesar negeri menggusur mereka ke dalam penjara.
Sudah lewat dua bulan, tetapi sesuatu bukti masih belum ditemukan, bahkan malah mendapat tahu bahwa Pek Ting- djoan adalah guru sekolah yang sudah belasan tahun di tempat itu, akhirnya mereka bertiga lantas dibuang ke kamar tentara Pat-ki (delapan bendera, pemerintah Boan-djing membagi tentaranya dari berbagai suku bangsa itu menjadi delapan macam tanda bendera, maka disebut Pat-ki) di Sutjwan, karena Pek Ting-djoan tergolong terpelajar, maka ia akan dijadikan juru tulis di sana. Dalam perjalanan penggiringan tawanan buangan itu masih terdapat pula belasan orang lain yang juga dibuang ke Sutjwan, sedang opsir pengiring adalah seorang bangsa Boan- tjiu yang berpangkat Thongtay kecil atau setingkat sersan, ialah opsir yang berkumis tebal itu, sepanjang jalan mereka mencambuk dan menggebuki tawanan-tawanan, mereka berlaku secara kejam seperti apa yang telah diuraikan pada permulaan cerita ini.
Dan begitulah akhirnya Pek Ting-djoan ditolong oleh sahabatnya, Teng Ling, setelah menjebak terlebih dahulu serdadu-serdadu Boan itu dengan madu tawon yang telah dicampurkan obat tidur.
Malam itu sesudah Teng Ling kembali ke dalam kampung dan sedang menjamu Pek Ting-djoan ayah dan anak untuk menghilangkan rasa ketakutan mereka. Tiba-tiba ada laporan kilat yang mengatakan bahwa ada sepasukan besar orang berkuda sedang mendatangi menuju ke kampung mereka.
Teng Ling mengira pasukan tentara yang hendak datang mengepung, segera ia perintahkan semua sinar api dipadamkan di seluruh kampung dan memerintahkan pula bawahannya bersiap sedia, sedang ia sendiri bersama Pek Ting-Djoan kemudian berjalan ke mulut kampung, setiba di sana mereka dapat melihat barisan orang yang datang itu telah menyalakan obor, dan di depan mereka berjalan lebih dulu belasan penunggang kuda dengan bendera kebesaran dan berdandan berlainan dengan kaum pembesar negeri.
Begitu sampai di mulut kampung, barisan orang itu lantas berjajar panjang, dan di antara mereka ada seorang yang maju ke depan sambil berseru.
"Saudara-saudara dari Pho-tau-tjun, kami sengaja datang dari Tiang-sing-su, kabarnya sahabat she Pek itu telah tertolong oleh kalian, maka silakan pemimpin kalian maju berbicara!" Sudah sejak tadi Pek Ting-djoan mengenali tanda-tanda bendera itu, kini mendengar pula bahwa mereka datang dari Tiang-sing-su, maka tidak menunggu Teng Ling menjawab ia sudah mendahului maju.
"Pek Ting-djoan ada di sini! Apakah Kiu-tju yang telah datang?" serunya kemudian.
Belum habis suara perkataannya, dari rombongan pihak lawan pun sudah maju seorang penunggang kuda yang berdandan sebagai imam dengan kain ikat kepala kaum cendekiawan, siapa lagi kalau bukan 'Thong-thian-kiu-tju' Ong Bing, bukan main girang Pek Ting-djoan, segera dengan berlari-lari ia pun me-mapakinya dengan cepat.
Kemudian Ong Bing memerintahkan semua pengikutnya tinggal di tempat, ia sendiri dengan membawa beberapa pengiring lantas menjumpai Teng ling.
"Hari itu aku mendapat laporan bahwa Pek-heng telah ditolong oleh segerombolan orang, malah telah membunuh habis semua serdadu musuh, aku menduga tentu perbuatan orang-orang Hoa djiko, tidak nyana malah Hengtiang sendiri yang telah memimpinnya," kata Ong Bing dengan menggenggam tangan Leng Ling.
"Siaute sudah lama menunggu di sini, bagaimana Ong-lau- pan sendiri pun telah datang kemari?" sahut Teng Ling.
(Siaute = adik, Hengtiang = kakak, sebutan kepada sahabat, Laupan = juragan).
"Susah diceritakan dengan singkat, Tiang-sing-su tak dapat dibuat menancapkan kaki lagi!" kata Ong Bing pula dengan menghela napas.
"Marilah kita masuk untuk bicara lagi!" ajak Pek Ting-djoan dengan menggandeng tangan mereka. Kemudian mereka dijamu dan menceritakan pengalamannya masing-masing. Kiranya Ong Bing sejak ditinggalkan Pek Ting-djoan ke He- ho-tje, tak lama kemudian ia mendapat laporan bahwa He-ho- tje sudah dikosongkan, lekas ia mengirim orang untuk menyusul Pek Ting-djoan, tak tahunya lebih dulu Pek Ting- djoan datang ke Tjiok-ge-tjoan, oleh karena itu mereka telah bersimpang jalan. Kemudian Pek Ting-djoan bertiga jatuh di tangan tentara pemerintah, Ong Bing meski mendapat tahu pun tidak berdaya untuk segera menolongnya, karena waktu itu ia sendiri sedang menghadapi kepungan pihak musuh, tentara Boan memberi batas waktu tiga hari agar menyerahkan daftar nama pemuda-pemuda dalam kampung agar memudahkan tentara Boan memeriksa keluarga demi sekeluarga.
Ong Bing tahu bahwa akhirnya pasti akan tiba saatnya meletuskan api pertempuran, maka siang-siang ia sudah membagi anggotanya menjadi lima barisan, masing-masing antara lima ratus orang dan menyelundup menduduki bukit- bukit di sekitar kampung untuk menanti saat yang baik. Ia perintahkan pula semua wanita dan anak-anak dalam sehari harus keluar seluruhnya dari kampung mereka melalui jalanan kecil, tinggal sedikit orang-orang tua dan lemah, mereka disuruh setiap hari membakar api dalam kampung agar dipandang dari jauh seperti asap memasak seperti biasa. Di tempat-tempat yang penting ia pendam pula dinamit dan memilih dua ratus orang yang gagah kuat untuk ditugaskan menjaga dan bersembunyi di dalam kampung. Sesudah beres ia mengatur, lalu ia menyelusup keluar ke bukit untuk memimpin pergerakan.
Pagi itu, tentara Boan sebagian menjaga di luar kampung dan sebagian menyerbu masuk ke Tiang-sing-su, tetapi yang mereka lihat hanya pintu-pintu rumah yang tertutup dan sepi senyap tiada manusia, sampai di tengah kampung keadaan masih serupa saja, mulailah mereka merasa curiga. Selagi mereka hendak mundur, namun sudah terlambat, dalam sekejap dibarengi dengan suara ledakan yang gemuruh, banyak laskar rakyat menerjang keluar dengan ganas hingga banyak serdadu yang bergelimpangan, sementara itu terdengar pula ledakan yang seru, dari atas bukit muncul pula beberapa pasukan laskar rakyat. Karena siasat yang teratur rapi, maka pertempuran itu dimenangkan oleh Ong Bing dengan barang rampasan yang tiada terhitung banyaknya.
Ia mengerti dengan kekalahan itu, pasukan pemerintah tentu akan mengerahkan tentaranya secara besar-besaran, maka ia perintahkan mundur pasukannya malam itu juga, ia membagi pula sebagian laskarnya buat mengawal kaum wanita dan anak-anak agar berjalan terlebih dahulu menuju ke Hong-hong-san di perbatasan Hokkian sebagai tempat kedudukannya yang baru. Belakangan karena hendak menolong Pek Ting-djoan, ia lantas membawa sepasukan kecil laskar pilihannya untuk bersembunyi di pegunungan menanti kesempatan baik. Kemudian waktu mendapat kabar bahwa rombongan tawanan Pek Ting-djoan akan lewat di tempat persembunyiannya, tetapi belakangan baru diketahuinya bahwa di tengah jalan telah didahului orang lain yang bukan lain ialah Teng Ling, maka ia lalu menyusulnya sampai di Pho- tau-ijun.
Sementara itu Pek Ting-djoan berulang-ulang mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Ong Bing yang jauh-jauh sengaja datang menyambut padanya, melihat caranya terhadap Ong Bing begitu rapat dan baik sekali daripada dirinya, diam-diam Teng Ling menjadi kurang senang. Apalagi ia telah tahu pula bahwa Pek Ting-djoan sudah masuk menjadi anggota Pek-lian-kau, dan menjabat kedudukan yang penting, kini Ong Bing sengaja datang ke sini, tentu akan membawa Pek Ting-djoan pergi bersamanya.
Malam itu, kembali Teng Ling dan Pek Ting-djoan tidur satu tempat lagi.
"Djiko," tanya Teng Ling. "Dengan menghadapi bahaya kali ini Siaute menolongmu, meskipun dibilang karena persahabatan kita yang sehidup semati selama dua puluh tahun ini, tetapi juga bertujuan untuk hari kelak bagi Hengtiang, kalau Hengtiang tidak menolak, di tempat Hoa- djitjetju sana kini sedang mencari orang dari kaum cerdik pandai dan semua pahlawan, kalau Hengtiang suka ke sana, tentu akan mendapat penghargaan yang tinggi."
"Maksud baik Laute terpaksa baru bisa aku penuhi pada jelmaan hidup yang akan datang," sahut Pek Ting-djoan dengan menyesal. "Aku, Pek Ting-djoan, berkat Kiu-tju punya pandangan yang lain terhadapku selama beberapa tahun ini dan diberi kedudukan sebagai Kunsu yang bertugas berat, kini ia sendiri telah sudi datang pula, sesungguhnya aku tidak dapat meninggalkannya di tengah jalan, malah tadi ia berpesan padaku, ia mengharap Laute bisa membawa orang- orangmu ikut padanya ke Hong-hong-san."
"Kalau ternyata Djiko sudah berkeras akan mengikuti Ong- heng, Siaute pun tak berani memaksa," ujar Teng Ling setelah mengetahui lak mungkin merubah pendiriannya lagi karena kesetiaannya terhadap Pek-lian-kau. "Tetapi kini Siaute pun sudah menjabat sebagai Thaubak kecil di Hoa-djitjetju, sudah tentu tiada alasan untuk menyingkir ke tempat lain, kita sama- sama mengabdi untuk pemimpin sendiri-sendiri, cukup apabila bersatu dalam menghadapi pasukan Boan, biarpun kita tidak bertempur di tempat yang sama, tetapi tujuan kita adalah satu."
Sesudah berbicara pula ke sana-kemari dengan mengada- ada, tiba-tiba Pek Ting-djoan berkata, "Laute, aku tiada sesuatu untuk membalas budi padamu, aku pikir Siauli (sebutan untuk puterjnya sendiri) dengan puteramu Hong-ko sejak kecil sudah kumpul bersama, pergaulan mereka begitu baik laksana sepasang suami isteri cilik, pada kesempatan kita berdua masih belum berpisah, tidakkah lebih baik ditetapkan sekarang perjodohan mereka, agar harapan kita yang sudah lama jadi terlunaskan." Sudah tentu Teng Ling setuju, maka pada esok paginya mereka memberitahukan perangkapan jodoh itu kepada kedua sejoH cilik tersebut, meskipun Eng-dji masih muda hanya berusia delapan tahun, tetapi ia sudah mengerti jengah, dengan menundukkan kepala ia lantas pergi menyingkir.
Sang waktu lewat dengan cepat, dalam sekejap saja sudah sepuluh tahun berselang. Putera Teng Ling, Teng Hong-ko kini-pun sudah merupakan pemuda berusia dua puluh satu tahun.
Sudah lama ia meninggalkan ayahnya, semula ia berdiam dan belajar silat pada Lak-hap-kun Li Tjin, Suheng dari ayahnya yang berdiam di Lam-khong-hu di Kangsay, Li Tjin adalah seorang guru silat turun-temurun, dalam beberapa tahun saja ia sudah banyak menurunkan kepandaiannya kepada Hong-ko, belakangan ia melihat anak ini mempunyai perawakan serta bakat ilmu silat, kelak tentu akan hijau melebihi yang biru atau yang muda akan di atas golongan tua, maka sesungguhnya ia tidak ingin menghalangi hari depan Hong-ko.
Setelah Hong-ko menginjak umur lima belas tahun, Li Tjin sendiri lantas membawanya ke Liong-hou-san (gunung Liong- hou) untuk memohon imam tua dari Siang-djing-kiong di gunung itu agar mau menerima Hong-ko sebagai murid dan mengajarkan kiam-hoat atau ilmu pedang padanya.
Imam tua itu bernama Oei-bai Todjin, asal keluaran dari Go-bi-pay, adalah sahabat kental Li Tjin di dunia persilatan.
Mendapat kesempatan baik untuk berguru pandai, Teng Hong- ko tidak menyia-siakan temponya, tiap hari ia melatih diri dengan giat dan bersemangat.
Melihat kemajuan yang dicapai pemuda ini dalam ilmu pedang, sudah tentu Oei-bai Todjin ikut girang, hanya mengenai soal memelihara muda dan latihan tenaga serta impas yang sangat diperhatikan oleh golongan To-kch atau golongan Toi-kau, masih jauh daripada cukup. Oei-bai Todjin ingin menjadikan pemuda ini gagah perkasa dengan cita-cita tinggi, maka sengaja menggembleng pemuda ini lebih banyak pengalaman dan mengenal orang-orang kosen dan berilmu, maka belum sampai tiga tahun, Oei-bai Todjin telah mengajak Hong-ko ke Sutjwan pula dan naik ke Go-bi-san untuk menemui Supeknya (paman guru), Bu-tun Todjin di Sam-tjing- koan (nama rumah berhala) dan menceritakan asal-usul pemuda ini, bisa makin dipupuk kelak tentu akan menjadi seorang Kiam-khek atau pendekar yang luar biasa dari Go bi- pay.
Bu-tun Todjin adalah ahli silat nomor satu dari golongan Go-bi-pay. namanya cukup terkenal di dalam Bu-lim atau dunia persilatan, maka lantas ia mengamat-amati diri Hong- ko. Karena Go-bi pay kalau menerima murid, yang pertama- tama dilihat ialah orang harus mempunyai cita-cita luhur, kemudian bentuk kaki tangan dan perawakannya harus diperiksa pula, baru setelah itu dapat ditentukan cocok untuk belajar silat macam yang mana.
Berkat kemauan keras dari Hong-ko, empat tahun kemudian ia berguru pada Bu-tun Todjin, kepandaiannya sudah maju sangat pesat, oleh karena sejak kecil ia sudah belajar silat pada ayahnya, maka kemajuan yang dicapai ini dapat dimengerti.
Pada tahun itu, Bu-tun Todjin telah menitahkan dia turun gunung, sebelum berangkat ia diberi sebatang po-kiam atau pedang pusaka yang disebut 'Go-bi-tjin-kang-kiam', kecuali itu diberinya pula sebuah peti kecil terbuat dari kayu cendana yang mungil dengan pesan agar disampaikan pada 'Im-yang- pat-kik-djiu' Giam Tje-tjwan di kampung Kak-tau-tjun di luar kota Tje-lam, Soatang. Ditambahi pula pesan agar berhati-hati dalam perjalanan, jangan suka ikut campur soal-soal yang bukan urusannya. Hong-ko menerima semua pesan itu, kemudian ia berlutut memberi hormat kepada Bu-tun Todjin dan terus berangkat turun gunung.
Dengan tanpa sesuatu gangguan ia sampai di Lamte, kemudian ia ganti kendaraan air terus ke Soatang, tak tahunya waktu itu justru Hong-ho (sungai Huang, sungai kuning) sedang banjir, kapalnya sampai di Khay-hong dan harus berganti melalui daratan lagi.
Terpaksa Hong-ko menunggang kuda meneruskan perjalanannya, tetapi sepanjang jalan seperti dikuntit orang karena ia hanya membawa peti kayu wangi itu dalam buntalannya, barang-barang lain yang berharga sudah tiada lagi, maka ia pun tidak menaruh sesuatu curiga.
Hari itu sesudah lewat kota Khay-hong, perjalanan di depan kini semua hanya hutan belukar yang sunyi sepi menyusur sepanjang jalanan di tepi Hong-ho. Sekonyong-konyong di belakangnya terdengar ada suara derapan kuda yang ramai, dua penunggang kuda secepat terbang telah menyusulnya, yang di depan mukanya terdapat dua guratan bekas luka, kepalanya memakai ikat kain hitam, ketika mereka menyerobot lewat dengan cepat, mendadak ia angkat pecut kudanya lantas menyabet ke bokong kuda Hong-ko.
Nampak orang itu menyabet dengan pecutnya, dengan sendirinya Teng Hong-ko mendekam di atas kudanya, menyusul segera terdengar suara "tarrr", pecut orang telah mengenai peti yang berada di belakang kudanya, kemudian secepat angin orang itu sudah lewat, waktu Hong-ko memandang lagi, dalam sekejap itu pula kedua orang tadi sudah pergi jauh.
Selagi ia merasa heran tak mengerti, tiba-tiba ia mendengar suara kelenengan yang riuh, waktu ia menoleh, di antara debu yang mengepul terdapat seorang yang berdandan sebagai Bu-su atau jago silat sedang mendatangi dengan cepat. Orang ini berdandan gagah dan sangat perlente, celana bajunya menurut dandanan Bu-su dengan warna kuning gading, ikat pinggangnya hijau muda dan terselip sebatang pedang, ikal kepalanya pun tersunting sebuah batu giok putih, umurnya lebih kurang baru tiga puluhan. Sesudah dekat baru kelihatan pada leher kudanya tergantung tiga kelenengan warna emas, orang itu mengincar peti Hong-ko, bahkan berpaling dan sekilas memandang padanya dan tak lama kemudian ia pun sudah pergi jauh mengikuti suara derapan kudanya.
Baru kini Hong-ko menaruh curiga, pada malam ia tiba di suatu kota kecil, ia memilih sebuah hotel untuk bermalam, peti kayu cendana itu ia bawa ke atas pembaringan digunakan sebagai bantal, sebuah meja kecil di depan pembaringannya terletak buntalan bersama pedang pusakanya, karena hatinya agak kurang tenteram, ia tak berani terus tidur, ia hanya rebahan dengan penuh kewaspadaan.
Setelah kentongan ketiga (tengah malam), tiba-tiba ia mendengar ada suatu suara yang lembut, suaranya begitu halus, tetapi sebagai orang yang mahir ilmu silat, dengan segera ia mengerti siapakah yang datang dalam kegelapan itu. Ia pura-pura memejamkan mata, ia hendak mengetahui siapa orang yang ingin mendapatkan senjata dan kudanya yang bakal datang ini.
Tak lama kemudian kembali ia mendengar suara pintu kamarnya dicukil oleh golok tajam, makin jelaslah baginya bahwa tentu tidak salah lagi adalah orang yang telah bertemu dengannya siang tadi. selagi ia hendak berbangkit, mendadak lampu kamarnya yang remang-remang dengan cepat telah ter-sirap dan tiba-tiba di depan pembaringannya sudah berdiri sesosok bayangan orang.
Terperanjat juga Hong-ko, ia menyesal tidak mendekatkan pedangnya ke samping bantal, terpaksa ia terus berpura-pura tidur nyenyak, dengan tenang ia menanti apa yang bakal terjadi, tetapi ia masih sempat meraba beberapa pisau 'Liu- yap-hui-to’ yakni semacam pisau kecil berbentuk daun Liu yang panjang kecil, yang terselip di ikat pinggangnya, senjata ini telah dilatihnya sejak ia berada di Go-bi-san. diam-diam ia menyiapkan dua pisau itu, ia telah mengambil keputusan, begitu orang itu coba menyingkap kelambu pembaringannya, segera pisaunya akan ia sambi tkan.
Tetapi waktu ia melirik lagi, maka tak tahan ia menjadi ternganga, orang yang telah masuk itu ternyata adalah seorang wanita dengan pakaian ringkas peranti jalan malam, sebuah pedang pendek menyelip di pinggangnya, tetapi dalam kegelapan tidak bisa melihat jelas raut mukanya, hanya tertampak ia mengambil pedang yang terletak di atas meja dan diperiksa dengan cermat.
Hong-ko mengerti wanita ini tentu pernah berlatih 'ya-si' atau melihat di waktu malam, melihat gerak-geriknya agaknya tidak mengandung maksud jahat, maka batinnya makin tenteram, ia hanya menanti perubahan selanjurnya.
Dalam pada itu, tiba-tiba di atas atap rumah berkerisik satu suara pula, lembut halus suara itu laksana jatuhnya daun kering di atas genteng. Dengan sekali melesat, sekonyong- konyong wanita tadi sudah menghilang, pedang di atas meja ternyata ikut hilang tak berbekas.
Hong-ko mengetahui bahwa kembali ada 'ya-heng-djin' atau orang jalan malam, telah datang lagi, dalam batinnya ia makin merasa heran, bagaimana di kota sekecil ini bisa ada begini banyak orang dari kalangan persilatan. Dalam pada itu pintu kamarnya telah terbuka pula, menyusul mana dua bayangan hitam segera melompat masuk.
Dalam kegelapan, Hong-ko masih bisa melihat dari sinar terang yang remang-remang menembus dari luar itu, lapat- lapat orang yang datang ini seperti dapat dikenali ialah dua laki-laki yang bertemu siang tadi, seorang di antaranya telah menyalakan api dari segebung dupa, dengan sinar api itu segera mereka tahu di atas pembaringan ada orang tidur, segera ia mengangkat goloknya dan membacok.
Dengan gesit Hong-ko berguling ke belakang pembaringannya dan hui-to atau pisau terbang yang sejak tadi sudah ia siapkan itu hendak ia timpukkan, dalam sekejap itu, dari belakang tempat tidurnya mendadak melompat keluar seorang, dan terdengar suara "trang" yang nyaring, senjata musuh tadi telah ditangkis, saking kerasnya hingga laki-laki pembacok itu tergetar mundur.
Orang yang melompat keluar ini dikenal Hong-ko sebagai wanita yang datang lebih dulu tadi, dengan pedang melintang di dada segera terdengar ia berseru, "Liok-tjetju, jangan sembrono!"
Lelaki yang mukanya terdapat dua guratan bekas luka itu merandek, ia angkat api obornya untuk melihat.
"Siapa kau perempuan ini? Apa datang kemari untuk main gila dengan anak busuk ini!" damprat lelaki itu dengan gusar, karena sebenarnya ia tidak kenal wanita yang bisa mengenali namanya ini.
Muka wanita itu berubah kemerah-merahan, tetapi segera ia pun menjadi gusar, alisnya berdiri.
"Kurang ajar! Dengan baik-baik aku berkata, tapi kau berani sembarangan mencaci orang!" ia balas mendamprat sambil menuding dengan pedangnya.
Lelaki itu tidak menanti sampai si wanita habis berkata, dengan satu gertakan keras, mendadak ia menyerang dengan gerak tipu 'Hui-sing-kui-wi' atau bintang kemukus kembali ke tempatnya, goloknya dengan cepat telah menikam dari depan.
"Dengan apa dirimu ada harganya bergebrak denganku!" wanita itu menjengek dengan tertawa dingin, sembari pedang di tangannya menempel golok lawan dan terus disurung ke samping.
Teng Hong-ko yang bersembunyi di belakang kelambu tempat tidur, sebenarnya berpikir hendak keluar membantu si wanita, tetapi teringat bahwa pedangnya yang diletakkan di atas meja sudah diambil wanita itu, maka lebih penting menjaga petinya saja di atas pembaringan.
Dalam pada itu, tiba-tiba ia mendengar suara benturan benda keras, waktu ia memandang, pedang si wanita sudah berhasil menyelip di dekat gagang golok lawannya, ia puntir dengan kuat dan terus disurung, keruan golok lelaki itu seketika terlepas dari tangannya dan terbang keluar pintu kamar.
Dengan cepat sekali golok laki-laki itu dipukul terpental oleh gadis tadi yang memegang pedang 'Go-bi-tjin-kong-kiam'.
Menampak senjata kawannya terpental, lelaki yang satunya tidak ayal lagi, segera ia menerjang maju dan terus membacok. Tetapi wanita tadi mendelik dan pedangnya mengayun ke depan sambil membentak dengan suara yang nyaring, "Jangan bergerak! Pentanglah dulu mata anjingmu yang lebar, coba lihat pedang yang ada di tangan nyonyamu ini, baru nanti kamu boleh antar jiwamu dan masih belum terlambat!"
Sesudah itu, ia bergerak mengunjuk satu gerakan, 'Lau-so- bo-khim' atau orang tua membopong khim (semacam alat musik), ia bopong pedangnya di depan dada.
Karena wanita itu melayani lawannya dengan cepat dan hanya tertampak sinar pedang yang berkilauan, kini Hong-ko ada kesempatan buat melihat dengan jelas, namun lantas ia tercengang, karena pedang yang berada di tangan wanita itu justru adalah pedang 'Go-bi-tjin-kong-kiam'.
Sesaat itu keadaan di dalam kamar itu menjadi sunyi, kiranya dua Liok-lim-ho-han atau orang gagah dari kalangan penjahat itupun sedang mengamati pedang yang ada di tangan si wanita. Orang yang dipanggil Liok-tjetju tadi kelihatan wajahnya mengunjuk rasa kaget dan heran, mulutnya malah kemak-kemik, "Ini bukan pedang sasaran dari Go-bi-pay, apa kami yang telah salah meraba?"
Sementara itu lelaki yang lainpun sudah menurunkan goloknya, jauh berlainan sekali dengan lagak mereka semula sangat sembrono.
"Liok Ing, tadi aku sudah bilang jangan kau turun tangan, tetapi kau laksana anjing gila terus merangsek aku," kata si wanita dengan tertawa dingin sambil menggerakkan pedangnya. "Sebenarnya aku pun sudah salah terka, hanya beruntung aku tidak ngawur seperti kamu, kalau tidak tentu sudah sejak tadi terjadi keonaran."
Ia berhenti sebentar, sesudah itu ia menoleh dan berteriak, "Hai kawan, keluarlah sini, kami hendak bertanya padamu!"
Mendengar itu baru dengan pelahan Teng Hong-ko mengunjukkan dirinya.
"Para kawan dari Bu-lim," katanya kemudian. "Aku Teng Hong-ko lewat di sini, di perjalanan toh tidak pernah berselisih dengan sahabat dari Kangouw, entah saudara-saudara ada petunjuk apa?"
Sementara itu si wanita tadi sudah menyalakan api lilin hingga dalam kamar kini menjadi terang.
"Marilah kita semua duduk." ia mengajak. "Sungguh kalau tidak berkelahi tidak berkenalan, saudara Teng, kami sebentar masih hendak bertanya padamu!"
"Apa Lihiap datang ke sini sejalan dengan 'Pat-pi-long-kun' Yan-toako?" tanya kedua lelaki tadi kepada si wanita sesudah mereka memandang sejenak.
"Penglihatan Liok-tjetju memang tidak meleset," dengan tersenyum si wanita membenarkan pertanyaan orang. "Aku bukan lain ialah puteri 'Kang-lam-sin-djiu Ang-eng-djio' Hoa Djing-hun, Yan le-lam ialah suamiku, kali ini kedatangan kami juga disebabkan mengikuti jejak 'Tjin-tju-goan' itu. Liok-tjetju, kawan-kawan dari Thay-heng-san yang ikut datang kali ini entah seluruhnya berjumlah berapa?"
"Hoa-lihiap, tadi kami tidak tahu kalau kau orang tua yang datang, malah kami mengira kau adalah popio (pengawal) dari saudara ini," kata Liok Ing berdua sembari berdiri memberi hormat setelah mengetahui siapa yang berhadapan dengan dia ini. "Harap dimaafkan kecerobohan kami tadi, terus terang kawan-kawan Thay-heng-san yang datang kali ini, kecuali kami berdua masih ada 'Hoa-bin-long To Dju-hai dan Oei-moa- tju Kwan Dji-hou."
"Kita betul-betul seperti tawon saja," ujar si wanita pula. "Karena sebuah 'Tjin-tju-goan' saja, semua enghiong dari beberapa propinsi di sini sudah dipermainkan hingga berkumpul semua ke Soatang laksana semut, kurangajar betul Soatang Sunbu (residen) Tam Ting-siang bisa membikin benda berharga itu begitu ajaib, sampai kini sedikit tanda rahasia saja masih belum dapat diketemukan."
"Kalau begitu, apalagi yang dibawa saudara muda ini?" tanya Liok Ing setelah ia memandang sejenak pada Teng Hong-ko.
Pendekar wanita itu tidak menjawab, tetapi ia lantas membalikkan tubuhnya terus menyambar peti kayu wangi yang berada di pembaringan.
Peti itu sebenarnya tergembok rapat, tetapi sesudah dipegang berulang kali oleh tangan Lihiap itu, gembok itu lantas rusak dan tutup peti segera terbuka. Liok Ing segera memimpin kawannya untuk melongok barang apakah yang terisi dalam peti itu.
Di antara orang banyak itu agaknya yang paling tercengang hanya Teng Hong-ko seorang, sebab sebagaimana telah dipesan gurunya, Bu-tun Todjin, sebelum ia berangkat bahwa hendaknya berhati-hati di perjalanan dan sekali-kali peti itu jangan dihilangkan. Tetapi untuk mencegah ia sudah terlambat, terpaksa ia juga ikut-ikutan melihat benda apakah sebenarnya yang tersimpan dalam peti.
Rupanya pendekar wanita itu menginginkan agar semua orang bisa melihatnya lebih jelas, maka ia tumplekkan isi peti itu, dan benar apakah yang terserak kemudian? Ternyata bukan lain hanya beberapa 'Sam-ling-tju-bo-piau', senjata rahasia piau berbentuk segitiga dan beberapa butir pelor besi bundar, kecuali itu terdapat pula segebung entah barang apa yang terbungkus dengan kain kuning.
"Liok-tjetju, betul tidak penglihatanku," kata Lihiap itu dengan tertawa, "Mana ada Tjin-tju-goan' segala di sini, hampir saja bikin kaget kawan dari Go-bi-san ini, marilah kita seharusnya meminta maaf pada saudara Teng!"
"Memang betul seperti kucing keselomot kumisnya," ujar Liok Ing, agaknya ia pun menyesal. "Tetapi bagaimana Lihiap sendiri malam ini bisa datang juga ke sini?"
Sebenarnya wanita itu sedang akan memberi hormat dan minta maaf pada Teng Hong-ko karena kecerobohan mereka, tetapi mendengar pertanyaan orang, tiba-tiba paras mukanya menjadi merah.
"Ini memang harus menyesalkan Tang-keh (suami) yang agak gegabah," sahutnya kemudian. "Ketika ia kembali hari ini dari perjalanan, ia memberitahu bahwa utusan itu sudah tiba, melihat dengan mata kepala sendiri, saudara Teng ini menempuh perjalanan seorang diri, kalau bukan orang yang berkepandaian tinggi, mana bisa begitu berani."
Mendengar cerita itu barulah Hong-ko ingat pada lelaki berdandan perlente warna kuning gading siang hari tadi, yang dijumpainya di perjalanan, ternyata adalah suami pendekar wanita ini. Sedang ia termenung, si wanita bersama Liok Ing dan kawannya sudah berbangkit dan memberi hormat di hadapannya sambil meminta maaf telah membikin ribut padanya. Lekas Hong-ko balas menghormat dan merendah.
Saat itu sudah hampir jam empat pagi.
"Saudara Teng," kata pula si wanita itu. "Malam ini telah banyak mengganggu, besok sore kau sudah bisa sampai di Liu-ho dan seterusnya ialah perbatasan dengan Soatang, apabila perjalananmu tidak mengalami gangguan, baiklah kita berjumpa kembali di tepi sungai Pek-hoa."
Setelah itu ia masukkan 'Go-bi-tjin-kong-kiam' ke dalam sarungnya dan kemudian diangsurkan kembali pada pemiliknya.
"Tadi belum sempat mendapat tahu nama yang mulia, kalau nanti sampai di Pek-hoa-ho, entah harus bagaimana menyebutnya?" tanya Teng Hong-ko sambil menyambut pedangnya.
"Saudara Teng, namaku di kalangan Kangouw dipanggil "Sian-bu Kongtju', kau memiliki 'pedang perjalanan' ini, kalau sampai di Pek-hoa-ho, tentu akan ada orang menyambutmu," sahut Lihiap itu dengan sikap tanpa kikuk lagi.
Setelah memberi salam sampai bertemu pula, kemudian ketiga orang itu lantas melompat naik ke atas atap rumah pula dan terus menghilang.
Teng Hong-ko menggembok kembali petinya, sementara itu ia sudah agak letih, waktu ia mengambil pedangnya dan dilihat, baru ia ketahui bahwa pada kedua samping sarung pedang penuh terukir huruf-huruf jampi-mantera dari kaum To-kauw, ia mengerti Bu-tun Todjin menghendaki ia membawa pedang ini, tentu banyak gunanya, dalam keadaan letih pelahan-Iahan ia pun tertidur. Ketiga orang yang memasuki kamar pondokan Teng Hong- ko malam ini, Liok Ing adalah seorang begal besar dari gerombolan Soasay atau Soa-say-pang yang bercokol di Thay- heng-san, yang datang bersamanya itu adalah wakil pimpinannya. Sedang si wanita itu mempunyai asal-usul yang luar biasa, ia adalah putri Hoa Djing-hun, Tjong-totju dari Ang- djio-hui atau ketua perkumpulan tombak merah di Kanglam, ia menamakan dirinya sendiri Sian-bu Kongtju, si Kongtju yang suka main silat.
Sejak masih kecil ia sudah berguru silat pada Oei-bwe Ki- su, pemimpin ketiga dari Tjeng-long-hui, perkumpulan naga hijau, belakangan ia bersuamikan Suhengnya sendiri, Yan Ie- lam, pendekar muda ini berjuluk 'Pat-pi-long-kun', kedua suami isteri itu kini sampai di Soatang, tujuannya ialah menguntit 'Tjin-tju-goan', topi bertabur mutiara mestika, yang menggemparkan seluruh Liok-lim.
Menurut cerita, topi bertabur mutiara itu adalah barang milik Tan Wan-wan, selir kesayangan Go Sam-kui. Di atas topi itu penuh bertaburan batu-batu permata dan masih ada pula tiga butir mutiara yang merupakan benda yang susah dicari di jagad ini. Ketiga mutiara itu masing-masing ialah: 'Ting-hong- tju', mutiara anti angin, yakni bisa membikin reda serangan angin. Kedua ialah 'Pi-hwe-tju' atau mutiara anti api dan yang ketiga ialah 'Gi-han-tju', mutiara anti dingin.
Pada waktu Tan Wan-wan memasuki pintu kesucian (memeluk agama), yang dibawa melulu barang mestika ini saja yang harganya tak ternilai.
Kiranya sesudah Go Sam-kui takluk pada kerajaan Boan- djing dan berkedudukan di Kunbing daerah Hunlam, sepanjang masa itu ia telah mengumpulkan aneka barang- barang mestika yang paling berharga dari seluruh jagad. di antaranya terdapat tiga mutiara yang harganya tak ternilai itu.
Akhirnya setelah kedudukannya terancam, Go Sam-kui telah angkat senjata memberontak, Tan Wan-wan dapat menduga gerakan suaminya akhirnya tentu akan gagal, maka ia memilih jalan memeluk agama, yakni dengan menjadi Nikoh tetapi piara rambut. Meskipun harta benda Go Sam-kui bertumpuk-tumpuk berasal dari mengeduk darah keringat rakyat, tetapi ia mengambil tidak seberapa, ia hanya membikin sebuah topi imam wanita yang penuh bertabur mutiara dan diam-diam menyelipkan ketiga mutiara mestika itu diatas topinya itu, hal ini hanya diketahui beberapa pelayan Tan
Wan-wan saja.
Ketika kemudian Go Sam-kui dimusnahkan, Panglima besar Pangeran Lirkim telah memasuki Hunlam dengan pasukannya, kala itu Tan Wan-wan sudah mengasingkan diri di sebuah kuil suci, tak tahunya ia telah 'dijual' oleh Nikoh rekannya. Dan akhirnya Tjin-tju-goan itu jatuh di tangan seorang bernama Tam Ting-siang, salah seorang anggota staf dari Pangeran Lirkim dan menjadi orang kepercayaan bangsawan Nilan Ming- tju.
Tam Ting-siang ini memang dasarnya cerdik tetapi keji, ia telah membunuh habis semua orang-orangnya yang mengetahui asal-usul Tjin-tju-goan, hanya seorang pengawal yang berhasil lolos dari lubang jarum dan berkecimpung di kalangan Kang-ouw, keruan saja akhirnya rahasia itu tersiar. Dan sudah sejak lama tidak sedikit begal dan perampok yang mengincar topi mestika itu, namun hasilnya nihil meskipun sudah dicari kema-na-mana.
Sementara itu Tam Ting-siang yang mengandalkan dukungan Nilan Ming-tju, ia telah naik pangkat berturut-turut hingga menjadi Soatang Sun-bu, gubernur Soatang, dengan diikuti seorang pengawalnya, Tjhi Djin-ho, seorang yang tergolong tokoh juga dari Bu-lim atau dunia persilatan. Dan baru pada akhir-akhir ini tersiar kabar bahwa topi mestika itu oleh Tam Ting-siang telah dipendam dalam sebuah pagoda kuil di Se-an (Sian). Ketika itu keadaan dalam negeri sudah agak aman, tiga raja muda pemberontak sudah ditumpas bersih, dan Kaisar Khong-hi berniat untuk bersembahyang ke Thay-san. Maka siang-siang Nilan Ming-tju telah memberitahukan kepada Tam Ting-siang bahwa ia sendiri pun akan turut datang.
Oleh karena kuatir tindak-tanduknya yang korup dan kacau-balau di daerahnya, Tam Ting-siang teringat pada topi mestika itu dan akan digunakan sebagai barang suapan kepada Nilan Ming-tju agar mengaling-alingi perbuatannya itu di hadapan Sri Baginda. Oleh karena itu lantas ia mengirim Tjhi Djin-ho dengan beberapa Po-thau (polisi) ternama ke Se- an untuk mengambil kembali topi mestika itu.
Kebetulan sekali Hwesio-hwesio dalam kuil dimana Tjin-tju- goan itu dipendam, kini ternyata banyak berhubungan dengan kaum gagah perkasa di daerah itu, waktu Tjhi Djin-ho merusak pagoda untuk mengambil mestika itu, ternyata banyak tulang-tulang manusia yang terkeduk keluar, tulang- tulang ini ialah orang-orang yang mati penasaran sewaktu ikut memendam barang mestika itu, dan oleh sebab itu lantas menarik perhatian para Hwesio dalam kuil tadi. Dan kesudahannya rahasia itu pun terbongkar.
Tetapi sewaktu kabar itu sampai di telinga para orang gagah, sementara itu Tjhi Djin-ho malam-malam sudah meninggalkan Se-an dengan membawa Tjin-tju-goan, para Hwesio di kuil itu hanya nampak mereka membawa sebuah peti kayu wangi berukir bagus, tetapi mereka tak berani menguntit terus. Sampai akhirnya para pemimpin gerombolan memburu datang, namun Tjhi Djin-ho dan kawan-kawannya sudah sehari lebih dulu berangkat.
Beberapa pemimpin dari perserikatan gerombolan itu segera mengirim dan menyebarkan kabar berita itu, agar sepanjang jalan kawan-kawan Kangouw menguntit jejak Tjhi Djin-ho dan kawan-kawan dengan ketentuan harus berhasil, ditetapkan pula siapa saja yang ikut menguntit kelak masing- masing akan mendapat satu bagian, dan siapa yang berani turun tangan merampas barang mestika itu akan lebih banyak mendapat dua bagian, keruan saja seketika itu di sepanjang Lokyang segera dipenuhi oleh kaum gagah perkasa dari Kangouw.
Dan memang sangat kebetulan juga, pada waktu itu pula Teng Hong-ko seorang diri dengan kudanya menempuh jalanan ini, ditambah karena ia baru saja muncul dan tak dikenali orang, berbareng itu yang dibawanya berupa sebuah peti kayu cendana yang sama pula. Keruan ia menjadi sasaran para pendekar.
Begitulah, setelah Hong-ko berpisah dengan pendekar wanita Hoa Sian-bu dan Liok Ing serta kawan-kawannya, ia ber-girang sendiri, dengan nama baik golongan Go-bi-pay yang tersohor telah bisa bersahabat dengan tokoh-tokoh ternama dari Kangouw, ia teringat pula apa yang Hoa Sian-bu pesankan sewaktu hendak berangkat, bahwa dirinya memiliki 'pedang perjalanan' dari Go-bi-pay itu, perjalanan selanjutnya sudah boleh tidak usah kuatir terganggu pula.
Maka ia meneruskan perjalanannya, dua hari kemudian ia sudah memasuki daerah propinsi Soatang, dan Pek-hoa-ho sudah berada di depan matanya.
Daerah ini ialah tapal batas sebelah barat daya Soatang, di utara ada Hui-sia-koan, karesidenan Hui-sia, dan sebelah selatan dekat dengan Lau-ke-tjip, ialah tempat dimana dulu tersohor sebagai markas besar orang-orang gagah dari Liang- san-pik.
Waktu Teng Hong-ko memandang, yang tertampak di depannya hanya lereng-lereng bukit dengan hutan belukar yang lebat, rumput alang-alang pun melebihi tinggi dengkul, seorang manusia pun tak tertampak. Tetapi karena kepandaiannya tinggi maka nyalinya pun besar, apalagi ia telah berjanji pula dengan Hoa-lihiap, keadaan sepi senyap itu tidak membikin kecil hatinya, bahkan ia mengayun pecut kudanya, menyabet dan terus maju ke depan secepat kilat.
Tidak lama kemudian tiba-tiba dari jauh tertampak debu mengepul tinggi dan menyusul itu dua orang penunggang kuda mendatangi dari depan. Teng Hong-ko menyangka mereka adalah orang-orang Hoa Sian-bu buat menyambut padanya, maka lantas ia pecut kudanya memapaki ke depan. Baru sesudah dekat ia dapat melihat jelas kedua lelaki penunggang kuda itu berperawakan pendek kecil, dengan ikat kepala hitam dan berdandan ringkas kencang, kesemuanya menggendong golok.
Mereka memandang ke arah Hong-ko dan segera juga menarik kudanya minggir di kedua samping dan lantas kiongtjiu (menjura) memberi hormat.
"Yang datang ini apakah saudara Teng?" tanya mereka berbareng.
"Aku yang rendah betul she Teng," jawab Hong-ko sambil sedikit membungkuk membalas hormat orang di atas kudanya. "Saudara berdua she apa dan bagaimana tahu nama Siaute?"
Kedua orang itu menarik tali kendali kuda mereka dan maju lebih dekat. Kemudian barulah mereka menjawab.
"Kami dikirim oleh Giam-laupan dari Tjelam, karena kuatir Hengtiang kurang paham jalanan di sini, maka sengaja beliau mengirim kami datang menyambut."
Tetapi waktu Hong-ko menegasi, maka tertampak olehnya di geger kuda mereka ada bekas hangus tanda cap milik negeri, maka timbul rasa curiganya. Kala itu semua kuda pemerintah diberi tanda cap, oleh karena itu Hong-ko merasa sangsi.
"Tjuwi-tjinheng jauh-jauh menyambut Siaute, tetapi entah cara bagaimana Giam-laupan bisa tahu Siaute hendak datang di Soatang, bahkan tahu aku menempuh jalan ini?" tanya Hong-ko.
Karena pertanyaan itu, kedua lelaki itu menjadi tertegun.
Memang keberangkatan Teng Hong-ko dengan membawa peti untuk Giam Tje-tjwan, sebelumnya tidak pernah dikabarkan, tidak heran kalau kedua lelaki itu jadi gelagapan.
"Kami datang atas perintah saja, sesudah Teng-heng bertemu Giam-laupan tentu lantas tahu,'" sahut mereka akhirnya.
Sesudah itu dengan mengapit Hong-ko di tengah, segera mereka mengeprak kuda dan pelahan-lahan membelok ke sebelah selatan.
Begitu mengetahui gelagat agak ganjil, secara tiba-tiba Hong-ko menahan kudanya.
"Tjuwi silakan jalan dahulu, Siaute masih harus menunggu seorang kawan," katanya memberi alasan.
"Kalau Teng-heng masih ada keperluan, baiklah silakan petimu itu kami bawa lebih dahulu, agar mengurangi beban kudamu!" jawab seorang di antaranya sambil memepetkan kudanya ke samping Hong-ko.
Habis berkata, tidak menunggu Hong-ko menyatakan setuju atau tidak, lantas ia turun tangan sendiri hendak mengambil peti yang ada di punggung kuda Hong-ko.
Mengetahui gelagat jelek, tak ayal lagi segera Hong-ko mengempit kencang kudanya terus dilarikan, berbareng ia mengayun pecut kudanya menyabet ke belakang. Dalam sekejap saja kuda itu telah terlepas dari apitan kedua orang itu dan lelaki yang hendak mencoba mengambil peti itupun kena cambuk sekali. Sementara itu Hong-ko membelokkan kudanya, ia melarikan kembali ke jalan dimana tadi ia datang.
Kedua penjahat itu tidak membiarkan sasaran mereka kabur begitu saja, mereka keprak kudanya dan segera mengejar. Kuda yang ditunggangi Hong-ko hanyalah kuda yang dibelinya mendadak waktu mau berangkat, maka tak heran kalau dalam sekejap saja ia sudah kecandak oleh pengejarnya.
"Hai, bocah she Teng, lekas tinggalkan peti kayu wangi itu!" bentak mereka dari belakang.
Tetapi Hong-ko mengerjakan pecutnya mempercepat lari kudanya.
"Jangan kamu salah lihat, barang petiku itu bukan barang yang kalian cari," jawabnya kemudian setengah menoleh.
"Tinggalkan Sam-ling-piau dan Thi-wan dalam petimu itu, aku nanti akan mengampuni jiwamu," terdengar suara di belakangnya membentak pula.
"Aneh, sudah tahu bahwa barang dalam petiku bukan Tjin- tju-goan, tetapi mereka masih menginginkannya?" begitulah pikir Hong-ko dengan heran.
Selagi ia berpikir, tiba-tiba di belakang kepalanya terasa ada angin tajam menyambar datang, lekas ia mendekam di atas kudanya, dan sebuah senjata rahasia telah lewat di atas kepalanya. Sementara itu suara derapan kuda di belakang makin mendekat, Hong-ko insyaf apabila tidak mengalami suatu pertarungan sengit, tak mungkin ia akan lolos begitu saja. Maka segera ia melolos pedangnya dan sekonyong- konyong membaliki kudanya terus memapaki kedua pengejarnya dengan membabatkan pedangnya ke kiri dan ke kanan, secara mendadak ia bermaksud menusuk roboh kedua pengejar itu.
Tak terduga kedua orang itu siang-siang pun sudah siap sedia, begitu Hong-ko membaliki kudanya dan menusuk, secara cepat mereka telah berbagi minggir di kedua samping, sesudah itu dua golok mereka menyambut pedang lawan. Di antara suara nyaring terbenturnya pedang dan golok, Hong-ko telah membarengi merubah pula serangannya, ia mainkan ilmu pedang dari Go-bi-pay yang lihai, dengan beberapa kali serangannya ia telah membikin lawannya terpaksa berputar- putar.
Melihat Hong-ko memainkan pedangnya begitu rapat tanpa lubang, seorang di antara dua laki-laki yang beralis tebal mendadak pura-pura menyerang, kemudian melarikan kudanya dengan cepat sekali, ia sudah memutar kudanya sampai ke belakang Hong-ko terus membacok. Dengan satu gerakan 'Hong-bwe-tiauw-yang' atau ekor burung hong menghadap matahari, Hong-ko membaliki pedangnya menangkis, tetapi lawan satunya yang di depan sementara itu telah membabat juga, seketika itu Hong-ko mengkerut mendekam di atas kudanya untuk menghindarkan serangan, berbareng pula ia mengeprak kudanya menerjang ke depan, dan begitulah, waktu kedua laki-laki sempat memutar kudanya pula, namun Hong-ko sudah kabur pergi sejauh beberapa tombak.
Dalam beberapa jurus singkat tadi, mereka bertarung di atas kuda semua, maka tak bisa leluasa memainkan senjata masing-masing, namun begitu Hong-ko sudah dapat menjajal bahwa lawannya bukan tandingan yang lemah, tenaga mereka besar berat, golok mereka membawa sambaran angin yang santar, apabila pertempuran dilakukan di daratan, dirinya tentu akan dipecundangi, oleh sebab itu jalan satu-satunya yang paling selamat ialah kabur!
Ketika ketiga kuda saling kejar-mengejar dengan cepat hingga debu mengepul bergulung-gulung, dan makin lama kedua pengejar sudah makin mendekat, saat itu dari depan tiba-tiba muncul seorang penunggang kuda mendatangi pula, suara kele-nengan kudanya nyaring menggema terbawa desiran angin.
"Celaka!" keluh Hong-ko. "Apabila yang datang dari komplotan penjahat juga, maka susahlah untuk meloloskan diri." Selagi ia berkuatir, sementara itu si penunggang kuda dari depan itu makin mendekat dan ternyata adalah seorang laki- laki setengah umur dengan dandanan sebagai Bu-su atau jago silat yang pakaiannya berwarna kuning gading, di leher kudanya yang putih mulus tergantung tiga buah kelenengan hingga menerbitkan suara nyaring.