Jilid 18
"Itu namanya jarum di dalam lengan baju yang paling sukar dilayani." ujar Bun-hiong dengan tertawa.
"Padahal tanpa menggunakan senjata rahasia, lambat-laun aku pun akan kalah Loh Bok-kong itu jauh lebih tangguh daripada Song Goan-po. aku memang bukan tandingannya
"Mendingan dia punya perasaan, tidak menyambar sekalian nyawamu," kata Bun-hiong
It-hiong merasa sudah dapat bergerak, segera ia berdiri, katanya,” Ayo berangkat, kita tidak boleh kehilangan kotak itu. Lekas kita cari mereka"
"Saat ini mungkin mereka sudah beberapa li jauhnya, dapatkah kau menyusulnya? '
"Tidak dapat menyusul juga harus kita kejar. memangnya kotak itu dibiarkan dibawa lari begitu
saja?"
Bun-hiong mengangkat pundak, "Mau kejar silahkan kau kejar sendiri, aku tidak mau.'' "Oo, kau takuT?" tanya It-hiong.
"Tidak," Bun-hiong menggeleng. "Aku tidak ingin buang-buang tenaga pereuma "
"Mengapa kau anggap buang tenaga pereuma''
“Coba jawab jika sudah dapat kita susul mereka, lalu mau apa?"
"Labrak mereka, apalagi ?" "Tadi kan sudah kau labrak ?”
It-hiong garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, ucapnya sambil menyengir, "Habis bagaimana kalau menurut pendapatmu?"
"Yang hilang itu tidak lebih hanya sebuah kotak palsu, maka tidak perlu disayangkan, marilah kita langsung menuju ke Cap-pek-pan-nia saja."
“Tanpa membawa, kotak pusaka, cara bagaimana kita ke sana?"
"Kenapa tidak?. Ke sana dengan membawa sebuah kotak palsu dan pergi dengan bertangan kosong kan tidak banyak bedanya."
It-hiong berpikir sejenak, katanya kemudian sambil mengangguk, "Baiklah, biar kita berkunjung
ke sana dengan bertangan kosong tapi hendaknya kau tunggu sebentar” Ia lantai mendekati bangkai macan tutul, dipegang ekornya dan diseret ke dalam hutan.
Bun-hiong heran melihat kawannya menyeret bangkai macan tutul itu ke dalam hutan, tanyanya,
"Hei, kau mau apa?"
"Kata pepatah, manusia mati meninggalkan nama, harimau mati meninggalkan kulit," jawab lt-hiong dengan tertawa. "Maka kulit macan tutul ini kan harus kita manfaatkan "
"Untuk apa?" tanya Bun-hiong pula
it-hiong melolos belati yang tipis tajam, ia berjongkok, belati lantas menubles tenggorokan bangkai macan, lalu belati bekerja cepat menyayat bagian perut, sembari bekerja ia berkata dengan tertawa, "Kamu ini putra keluarga berada, tentu tidak tahu berharganya kulit macan tutul, sehelai kulit macan tutul ini laku beberapa tahil perak "
"Ah…kampungan!" omel Bun-hiong tertawa
Setelah kulit macan ini kujual nanti kita makan minum sepuasnya,” kata It-hiong
Sehabis menyayat perut harimau, lalu mulai dikuliti, gerak tangannya sangat trampil serupa seorang alih
"Tampaknya kamu ini berasal dari keluarga pemburu?" tanya Bun-hiong heran.
"Memang betul," jawab It-hiong. "Aku pernah menguliti lima ekor harimau, tiga ekor macan tutul
dan dua ekor singa . . . “ “Bussyet!" omel Bun-hiong, "jadi kamu ini mahir menguliti macan tutul, tapi mengaku tidak pandai berburu, sungguh brengsek'"
"Jangan marah, kawan, sebentar kutraktir kamu makan sepuasnya." ucap it-hiong dengan cengar-
cengir
Tidak lama.sehelaikulit macan tutul sudah berhasil dibencinya dengan utuh, dicucinya hingga bersih pada air sungai kecil, lalu digulung serta dipanggul bernama dengan rangselnya, lalu meneruskan perjalanan bersama Bun-hiang
Sampailah mereka di kota Jiciu tidak lama kemudian, It-hiong mendapatkan sebuah toko kulit, kulit macan tutul itu dijualnya dengan harga 30 tahil perak. Segera ia mengajak Bun-hiong ke sebuah restoran, mereka berpesta pora di situ
Takaran minum kedua orang sama kuatnya tapi setelah minum beberapa mangkuk, sedikit banyak mereka sudah mulai terpengaruh arak, sebelah tangan It-hiong merangkul pundak Bun-hiong. katanya dengan tertawa. "Eh malam ini kita tinggal saja di kota, bagaimana pendapatmu?"
"Baik." jawab Bun-hiong
"Apakah kau tahu tempat pesiar yang bagus?' tanya it-hiong.
"Jangan kuatir, serahkan saja kepadaku," jawab Bun-hiong sambil menepuk dada "Sebentar akan kubawamu ke tempat yang kau inginkan"
"Tapi harus yang kelas tinggi, barang kualitas rendah aku tidak mau1" kata It-hiong
"Oo, tanggung!" ucap Bun-hiong. "Bagaimana, sudah kenyang belum?" "Sudah cukup!"
Segera It-hiong berseru memanggil pelayan "Hai, hitung"
Seorang pelayan mengiakan dan datang menghitung harga santapan mereka, dengan hormat ia berkata, seluruhnya tiga tahil lebih lima duit"
“Coba libat, sehelai kulit macan cukup untuk kita makan minum sepuluh kali," kata It-hiong dengan tertawa. Lalu ia mengeluarkan empat tahil perak dan berkata kepada pelayan, "Ambil saja kelebihannya! '
Tentu saja pelayan kegirangan, berulang ia mengucap terima kasih. Mendadak It-hiong menarik pelayan itu sebelum pergi, tanyanya, "Eh, apakah kau tahu tempat pesiar yang paling bagus di kota ini?"
"Dalam hal apa yang tuan tanya?" si pelayan tampak ragu “Apalagi, tentu saja perempuan " kata lt-hiong
Pelayan itu tertawa, "Yang paling top di kota.ini adalah Ciong- hiang-kok (negeri serba harum)
nona penghuni tempat itu semuanya cantik molek dan lemah lembut."
"Di mana letak Ciong-hiang-kok?' tanya It-hiong pula "Kutahu, sebentar ku bawamu ke sana," tukas Bun-hiong.
lt-hiong lantas berdiri, ucapnya dengan bau arak, "Baik, boleh kita mencari kesenangan ke Ciong-hiang-kok "
Tiba-tiba pelayan tadi menambahkan dengan tertawa, "Masih ada suatu tempat yang terlebih
bagus daripada Ciong-hiang-kok, cuma sayang tempat pesiar itu hanya bisa bertemu secara ke
betulan dan tidak dapat dicari”
“Oo, tempat macam apakah itu?" tanya It-hiong dengan terbelalak
"Kedua tuan tamu bukan penduduk sini?" tanya pelayan
"Omong kosong!" kata It-hiong."Jika penduduk sini, buat npa kuminta keterangan padamu "
Dengan tertawa si pelayan lantas bertutur
“Akhir-akhir ini di kota tersiar cerita aneh yang mengasyikkan, konon ada seorang janda kembang.
Muda lagi molek, sering keluar dengan menumpang kereta untuk memikat pemuda cakep.Pemuda yang dipenujui oleh dia lantas dipancingnya naik keretanya lalu matanya ditutup, kemudian membawanya pulang. Dengaa bajuk rayu maut janda molek itu menggunakan segala tingkah kecabulannya untuk mengeram mangsanya sampai sekian malam, bila dapat memuaskan, dia, konon waktu berpisah akan banyak diberi persen benda mestika pula "
“Hah, masa bisa terjadi begitu?" seru It-hiong melenggong. "Memang betul," kata si pelayan.
"Di mana tempat tinggal janda molek itu?" tanya It-hiong. "Entah, konon sehabis dia puas main dengan mangsanya lalu pemuda cakap itu ditutup lagi matanya untuk diantar pulang sehingga sejauh ini tidak ada seorang pun yang tahu dimana tempat tinggalnya, hanya diketahui rumah kediamannya sangat megah dan mewah, ada orang
menduga janda kembang itu pasti anak putri bangsawan. lantaran kematian suami, saking kesepian, maka cari makan di luar"
"Haha, sungguh menarik,'' seru It-hiong tertawa. "Cuma sayang, tempat tinggalnya tidak diketahui, kalau tahu, sungguh aku ingin mencalonkan diri "
“Kabarnya sudah ada belasan pemuda tampan yang pernah menemukan pengalaman menarik itu.
tapi dua di antaranya tidak pernah lagi pulang bisa jadi telah dibunuh oleh janda molek itu,' tutur si pelayan
“Oo… dia juga bisa membunuhorang'" It-hiong melonjak kaget.
Ada dugaan kedua pemuda cakap itu mungkin dapat meraba asal-usul janda cantik itu. sebab
itulah mereka dibunuh untuk menghilangkan saksi atau mungkin kepandaian mereka kurang tinggi dan tidak mampu membuat puas si janda, karena marah si janda bunuh kedua mangsanya itu."
"Dan bagaimana dengan pemuda lain yang dapat pulang dengan selamat itu, apakah mereka
pernah bereerita berapa lama mereka menumpang kereta untuk bisa sampai di tempat tinggal janda kembang itu?" tanya It-hiong
"Kabarnya makan waktu kurang lebih satu jam," tutur si pelayan "Oo, jika begitu, tempat tnggalnya mungkin di luar kota ' ujar Bun-hiong
"Ya," kata si pelayan
“Wali, boleh juga jika dapat menjadi tamu kesayangan singkatnya.'' ujar Bun-hiong dengan tertawa. 'Cuma sayang serupa apa yang kaukatakan, hal itu hanya dapat bertemu secara kebetulan dan tidak bisa dicari "
Ia mendorong It-hiong dan berkata pula. “Ayolah berangkat, mendingan kita pergi ke Ciong-hiang-kok saja lebih sip''
Begitulah keduanya meninggalkan restoran itu, sepanjarg jalan mereka bersenda gurau
“Cerita pelayan tadi membuat hatiku tergelitik," kata It-hiong dengan tertawa "Apabila kita dapat bertemu dangan dia wah, entah betapa senangnya''
“Kamu, tidak takut mati ?" tanya Bun-hiong
"Tidak ku yakin mampu membuatnya senang dan puas," kata It-hiong.
"Ai. perempuan yang ditinggal mati suami memang pantas dikasihani," ucap Bun-hiong dengan gegetun. "Aneh juga mengapa dia tidak kawin lagi?"
“Jika dia putri bangsawan, kalau kawin lagi akan mencemarkan nama baik keluarga, terpaksa ia main curi makan keluar," tutur It-hiong
“Setelah berjalan lagi sekian jauhnya, tiba-tiba Hun-hiong berhenti dan berkata "Eh. tunggu sebentar, aku mau kencing" "Baiklah, cepat'" sahut It-hiong
Bun-hiong masuk ke sebuah gang kecil dan gelap untuk buang air.
It-hiong berdiri di jalan raya memandangi suasana malam, selagi pikirannya melayang-layang. tiba-tiba pundaknya ditepuk orang sekali, berbareng itu seorang memanggilnya, "Liong It-hiong!"
Semula It-hiong mengira Bun-hiong sudah kembali, tapi suaranya ternyata lain. Sembari mengiakan ia putar tubuh dan bertanya, "Ada apa?"
Ternyata yang muncul di belakangnya memang bu tui bukan Pang Bun-hiong melainkan seorang
nenek yang sudah tua renta, kulit mukanya penuh keriput.
"Kau suka orang perempuan tidak?" tanya nenek itu dengan tertawa
“Suka sekali," jawab lt-hiong tanpa pikir
"Bagaimana kalau kubawa kau mencari orang perempuan?" kata si nenek.
"Bagus!' jawab It-hiong
"Jika begitu, mari ikut padaku." kata si nenek sambil menarik tangan anak muda itu.
Dengan cepat si nenek menyeretnya masuk ke sebuah jalan simpang, lalu membelok lagi ke sebuah gang sunyi, tertampak di ujung gang sana berhenti sebuah kereta kuda. Si nenek langsung membawa It-hiong ke kereta itu ia membuka pintu kereta dan berkata,
“Lekas naik ! “
Tanpa banyak cingeong It-hiong naik ke atas kereta. Menyusul nenek itu pun masuk ke dalam kereta dan menutup pintunya. Kusir kereta adalah seorang lelaki kekar,melihat pintu sudah ditutup si nenek, segera ia menarik tali kendali, kereta terus berangkat melintas jalan simpang
Di tengah perjalanan si nenek mengeluarkan sepotong kain hitam, katanya dengan tertawa,
"Liong It-hiong, terpaksa harus kututup matamu!" "Oo…" It-hiong bersuara bingung dan masa bodoh "Kamu tidak keberatan bukan? “ tanya pula si nenek "Tentu saja tidak," jawab It-hiong tak acuh
Maka si nenek lantas mengikat muka It-hiog dengan kain hitam, ucapnya dengan tertawa
"Hendaknya kau tunggu dengan sabar, tidak lama lagi akan kau lihat seorang perempuan secantik
bidadari!"
“Oo..” It-hioag bersuara singkat. Si nenek pun tidak bicara lagi.
Kereta berjalan pula, hanya sering membelok ke kanan dan mendadak ke kiri, seperti berputar
kian kemari di tengah kota. Namun It-hiong sama sekali tidak memperlihatkan rasa gelisah ia tetap duduk tenang saja seperti pasrah nasib. Setelah berputar kayun hampir satu jam, akhirya sampai tempat tujuan, mendadak kereta itu berhenti.
Si nenek membuka pintu kereta dan melompat turun lebih dulu, lalu berkata, "Liong It-hiong. silahkan turun!"
It-hiong mengiakan dengan bingung, sambil meraba-raba ia merosot turun, lalu bertanya "Sudah sampai?"
Kembali si nenek menarik tangannya dan berkata "Hampir sampai, jalan saja mengikuti aku "
Beratus-ratus langkah pula lt-hiong dibawa berjalan belok sana dan putar sini, ia merasa melintasi beberapa pintu, habis itu barulah si nenek membuka kain kedoknya dan berkata. "Sudah sampai "
Seketika mata It-hiong menjadi silau oleh cahaya lampu sehingga hampir sukar terbentang, dengan sebelah tangan ia mengalingi cahaya lampu dan bertanya tempat apakah di sini''"
"Jangan tanya, lihat saja.” kata si nenek
Waktu It-hiong mengawasi, ternyata dirinja sudah berada di tengah sebuah kamar yang terpajang sangat indah dan mewah serupa dalam istana. Namun ia tetap tidak memper- lihatkan rasa kejut dan heran, dengan ketolol-tololan ia tanya. "Hei, tempat apakah di sini?"
"Ini surga," kata si nenek dengan tersenyum
"Untuk apa kau bawa diriku ke sini?" tanya lt-hiong dengan lagak bingung. "Thaykun kami ingin bertemu denganmu:." kata nenek itu "Thaykun itu siapa? '
“Kah-thaykun."
"Kah-thaykun ..rasanya seperti penah kudengar nama ini.
Si nenek tersenyum, ia tepuk tangan tiga kali Ialu terlihat seorang genduk dengan muka manis
masuk dan memberi hormat kepada si nenek sambil menyapa, "Lolo (nenek) sudah pulang."
"Keng-hoa," kata si nenek, "layani Liong-hiap ini mandi dan ganti pakaian baru. habis itu baru
membawanya menghadap Thaykun “
"Baik. Lolo." sahut si genduk yang bernama Keng-hoa itu.
Dengan tersenyum si nenek lantas tinggal pergi. Keng-hoa lantas membuka almari pakaian dan
dan mengeluarkan seperangkat baju mewah, ditaruhnya di atas meja rias, dengan tersenyum ia mendekati Liong It hiong dan berkata. "Liong-hiap, engkau harus mandi dulu dan ganti baju habis itu baru boleh menemui Thaykun kami”.
Sembari bicara ia terus menanggalkan baju Liong It-hiong.
Soal buka baju di depan orang perempuan bukan sesuatu yang asing bagi It-hiong, maka ia
membiarkan dirinya dibelejeti oleh Keng-hoa
Hanya sebentar saja It-hiong sudah dalam keadaan bugil. Segera tubuh It-hlong dibungkus sehelai kimono, lalu dibawanya ke depan sebuah pintu lain dan masuk ke sana Di balik pintu adalah tabir kain merah, setelah tabir disingkap, tertampak di situ ada sebuah kolam mandi dinding sekelilingnya adalah ubin marmer putih dan dihiasi cermin besar di kedua sisi dinding. Sungguh sebuah kolam mandi yang sangat indah.
Air dalam kolam menjebarkan bau harum memabukkan "Hei. tempat apakah ini ? tanya It-hiong dengan bingung
'Ini namanya Wan-yang-ti (kolam merpati) dengan tersenyum Keng-hoa menjelaskan
"Ehm, nama yang bagus," kata It-hiong.
"Orang yang dapat mandi dikolam ini boleh diikatakan besar sekali rejekinya." tutur Keng-hoa
"Oo, . " It-hiong bersuara linglung 'Nah, lekas terjun " kata Keng-hoa pula. "Hahh, apa ?”
'Maksudku terjunlah ke dalam kolam untuk mandi! ' kata Keng-hoa sambil menanggalkan kimono anak muda itu. It- hiong melangkah ke dalam kolam dan duduk
Segera Keng-hoa menyingsing lengan baju, ia ambl sepotong handuk dan duduk di tepi kolam pelahan ia mencuci dan menggosok tubuh It-hiong. Anak muda itu membiarkan dirinya diperlakukan bagaimana pun, ia duduk kaku tanpa ambil pusing serupa dalam mimpi saja. Tidak lama kemudian Keng-hoa sudah membersihkan sekujur badan It-hiong, lalu minta anak muda itu keluar dan kolam, kimono disemampirkan lagi pada tubuhnya dan dibawanya pulang ke kamar. It-hiong disuruhnya duduk menghadapi meja rias, perlahan Keng-hoa menyisir rambutnya dan di beri minyak wangi segala
It-hiong memang pemuda ganteng, setelah di dandani lagi oleh Keng-hoa, seketika tambah cakep
Selesai Keng-hoa mendandani It-hiong, segera menuju ke pintu kamar dan berseru. "Pelayan lentera!
Terdengar seorang pelayan mengiakan dan datang dengan membawa sebuah tenglong atau lentera berkerudung dengan lukisan bunga indah, pelayan cilik ini pun tampak manis
“Bawa dia ke sana'" kata Keng-hoa tertawa. Pelayan lentera itu melirik It-hiong sekejap tanpa tertahan ia memuji "Wah, yang ini sungguh cakap”
"Hei, kau pun tergelitik ya?” omel Keng-hoa dengan tertawa Pelayan cilik itu menjulur lidah, "Ah, mana kuberani!"
"Memangnya kau berani" ' kata Keng-hoa "Jika diketahui thaykun, mustahil kulitmu takkan di
besetnya. Ayo lekas membawa dia ke sana."
Pelayan lentera itu mengiakan dan menggapai Liong It-hiong. katanya, "Mari ikut padaku, Liong-hiap'"
Segera ia mendahului keluar. Tanpa terasa It-hiong mengikutinya. Dengan pelayan lentera ilu sebagai penunjuk jalan, mereka melintasi serambi yang resik dan indah serta masuk ke sebuah ruangan yang sangat megah, setiba di depan dinding batu, entah cara bagaimana pelayan itu membuka pesawatnya, mendadak dinding batu itu terbuka dan tertampaklah sebuah jalan menuju ke bawah tanah dengan undak-undakan batu.
Kembali pelayan itu menggapai It-hiong dan mengajaknya masuk ke lorong bawah tanah itu. It-hiong menurut saja serupa kerbau yang dicocok Indungnya, tanpa sangsi ia ikut masuk.
Setelah menuruni belasan anak tangga, jalan lorong itu berubah datar, setelah menembus sebuah pintu, mendadak pandangan terbeliak, mereka berada di sebuah kamar yang sangat luas.
Kamar ini terlebih mewah dan megah, sekeliling tergantung kain kelambu bersulam, langit-langit kamar tergantung berbagai lampu istana yang berwarna-warni, di tengah kamar terbentang sebuah tempat tidur yang besar, segala perabotannya boleh dikatakan terlampau mewah dan mempesona
Pada saat itulah di atas tempat tidur berbaring miring seorang perempuan cantik dengan alis lentik dan mata besar, sanggul tinggi menghias kepalanya, melihat usianya mungkin sudah lebih 30 namun garis tubuhnya masih ramping menggiurkan. Apalagi pada tubuhnya cuma melekat sehelai baju sutera tipis tembus pandang sehingga kulit badannya yang putih laksana salju samar terlihat dan membuat jantung orang berdebar serta menggetar sukma.
Tidak perlu dijelaskan lagi, perempuan cantik ini pastilah "Kah- thaykun" yang disebut-sebut si
nenek tadi. Pelayan lentera itu membawa Liong It-hiong masuk ke kamar, lalu berdiri di sisi pintu serta memberi hormat dari jauh, katanya, "Lapor Thay-kun, Liong It-hiong sudah berada di sini."
Perempuan cantik itu menggeliat sehingga pinggulnya yang padat itu terangkat, katanya dengan suara merdu, "Baiklah, boleh kau pergi!" Pelayan mengiakan sambil memberi hormat lalu mengundurkan diri
Dengan tersenyum perempuan cantik itu memandang It-hiong sekejap, katanya kemudian "Coba kemari, Liong It-hiong'.
Tanpa bersuara lt-hiong mendekat ke sana.
"Duduklah di sini'" dengan senyuman menggiurkan perempuan cantik itu menepuk tepi tempat tidurnya. It-hiong duduk di situ
"Kau tahu siapa aku?" tanya si perempuan cantik dengan tesenyum
"Tidak, memangnya siapa engkau?” jawab lt-hiong "Aku Kah-thaykun!"
“Oo,” li-hiong manggut-manggut
“Tentu pernah kau dengar istilah It-kun, Ji-ni, sam lolo (satu nyonya besar, dua Nikoh, tiga nenek), nah, aku inilah It-kun yang dimaksud," tutur Kah-thaykun.
Kembali It-hiong hanya bersuara, “Oo…”
“Kau suka padaku tidak?" tanya Kah-thaykun dengan tersenyum.
"Suka," It-hiong mengangguk "Nenek yang membawamu ke sini itu berjuluk Lo-ang-nio (si comblang tua), mungkin kaupun kenal namanya ?”
Lagi-lagi It-hiong hanya bersuara, “Ooo . ..”
Lo-ang-nio mahir macam-macam ilmu gaib, dia biasa membawakan lelaki yang kugemari untukku"
"Oo . .." lt-hiong tidak memberi komentar
Kah-thaykun meraba pipi anak muda itu katanya dangan tertawa genit, 'Kamu sangat ganteng dan cakep, tubuhmu juga kekar dan kuat "
"Ooo …”
"Biasanya bila Lo-ang-nio membawakan lelaki yang kukehendaki ke sini, selalu kubikin sadar pikiran mereka, namun keadaanmu lain dari pada yang lain, sungguh menyesal tak dapat segera kubikin sadar padamu."
"Oo.."
"Untuk mempertahankan kondisi badanku dan agar selalu awet muda, setiap hari aku memerlukan orang lelaki untuk kuisap sari mereka."
"Oo..”
Tangan Kah-thaykun bergeser dan muka It-hiong turun ke dadanya, katanya dengan terkekeh. "Sekarang kesadaranmu masih berada di bawah pengaruh ilmu gaib Lo-ang-nio, sebab itulah dapat kukatakan terus terang padamu usiaku kini sudah 68 tahun "
"Ooo..” "Kau suka kepada seoiang nenek berumur 69 atau tidak?" tanya Kah-thaykun dengan tertawa
"Suka," It-hiong mengangguk
"Bagus jika benar kausuka padaku, maka pasti juga takkan kubikin kecewa dirimu. Cuma ingin kutanya dulu suatu urusan padamu, dan kamu harus memberi jawaban sejujurnya jadi?'
“Baik," kembali It-hiong mengangguk
"Kabarnya kamu dan Hou-hiap Pang Bun-hiong hendak menuju ke Cap-pek-pan-nia dengan membawa sebuah kotak pusaka, betul tidak?"
"Betul "
“Di manakah kotak pusaka itu ?" “Kotak . . . kotak itu..”
"Di mana?” desak Kah-thaykun
"Yang satu berada di tangan Tui-beng-poan koan Toh Po-sit, satu lagi dibawa Cian Ciau-in-jiu Loh Bok-kong."
"Oo, kotak pusaka itu ada dua?" Kah-thaykun menegas dengan melenggong
"Mengapa bisa timbul dua buah kotak?" desak Kah-thaykun pula
"Yang satu tulen, yang lain palsu " “O..kiranya begitu. Jika begitu, kotak yang tulen berada di tangan siapa?"
"Yang asli berada di tangan Tui-beng-poan koan Toh Po-sit " "Toh Po-sit tinggal di mana?"
"Di Ma-cik-san.''
"Ma-cik-san yang terletak di tengah danau Thay-oh itu?" “Betul."
"Jika kotak pusaka yang asli telah dirampas oleh Toh Po-sit, mengapa kalian tidak berusaha merebutnya kembali, sebaliknya malah membawa sebuah kotak palsu ke Cap-pek- pan-nia, memangnya untuk apa?"
"Ini… ini”
“Ini bagaimana?" desak Kah-thaykun
"Toh Po-sit yang menyuruh kami bertindak demikian"
“Oo, ada hubungan apa antara Toh Po-sit dengan dirimu?" "Aku sedang membantu dia membongkar suatu perkara." “Membongkar suatu perkara apa''"
“Menangkap satu orang.” "Menangkap siapa?'' “Entah, aku tidak tahu” "Tidak tahu orangnya, cara bagaimana dapat kau tangkap dia?"
"Tapi orang itu akan datang ke Ma-cik-san”
“Maksudmu, Toh Po sit menggunakan kotak pusaka itu sebagai umpan untuk memancing orang
itu pergi ke Ma-cik-san?" "Bukan"
“Habis, cara bagaimana orang akan pergi Ke Ma-cik-san?" "Dia sangat mungkin akan ke sana untuk mencari Oh Beng-ai" "Siapa itu Oh Beng-ai?" tanya Koh-thaykun
"Adik perempuan Oh Kiam-lam.''
“Ah, kiranya demikian," Baru sekarang Kah-thaykun tahu duduknya perkara, "Tapi Oh Kiam-lam kan sudah mati. memangnya siapa yang hendak ditangkap Toh Po-sit?"
"Entah, aku tidak tahu “
"Toh Po-sit tidak memberitahukan padamu?” tanya Kah- thaykun pula.
"Ya, tidak "
"Hm, Toh Po-sit sungguh seekor rase tua yang licin,” jengek Kang-thaykun. It-hiong diam saja
Sejenak kemudian, wajah Kah-thaykun berhias senyum menggiurkan lagi. katanya, "Sudahlah, sementara ini jangan kita bicara tentang kotak pusaka segala. Boleh kau…kau rebah saja"
It-hiong menurut, ia rebah di samping Kah-thaykun
"Sst, kabarnya kamu sudah berpengalaman bukan?" desis Kah-thaykun dengan terkikik
"Ya, begitulah!"
"Jika begitu, mengapa di depanku sekarang tampaknya kamu serupa anak kemarin saja yang masih hijau?"
"Apa itu," jawab It-hiong bingung
"Ah, benar, pikiranmu belum jernih, pantas perasaanmu tidak terangsang." kata Kah-thaykun dengan tertawa. "Cuma, sungguh menyesal, demi keamanan, tidak dapat kubuat sadar dirimu”
Sembari bicara ia mulai mencumbui it-hiong dengan belaian "Au.. jangan, geli!” seru It-hiong dengan tertawa.
Mendadak Kah-thayknn merangkulnya erat-erat, bibirnya menempel telinganya dan mendesis lirih, "Jantung hatiku, baru saja kau bilang padaku, mengapa tidak lekas mulai."
“Mulai apa'" tanya It-hiong. "Bukalah bajuku." kata Kah-thaykun
It-hiong mengiakan dan segera membuka baju tipis yang dipakai Kah-thaykun, dalam sekejap saja keadaan Kah- thaykun pun sudah telanjang bulat. Biarpun seorang idiot, berhadapan dengari perempuan cantik, apalagi dalam keadaan telanjang bulat, betapapun hatinya pasti juga akan tergelitik, apalagi Kah-thaykuo tidak berhenti membelai dengan berbagai macam gerak rangsangan keruan seketika nafsu It-hiong berkobar.
Dengan pandangan beringas lt-hiong menatap sejenak Kah- Thaykun, mendadak dengan gerakan "harimau menerkam domba" serentak ia terkam mangsanya.
Tapi pada saat dia sudah di atas tubuh Kah-thaykun, sekonyong-konyong ia merasa seperti keselomot api. ia menjerit kaget terus jatuh terpental ke lantai.
Tentu saja Kah-thaykun melengak, tanyanya, "Hei ada apa?"
Wajah It-hiong menampilkan perasaan serupa orang yang baru tersadar dan mimpi, serunya dengan tereengang, "Hai. siapa engkau?''
Kah-thaykun tahu pikiran orang telah sadar kembali, dengan kening bekernyit ia mengomel. "Lo-ang-nio. Kau main gila apa?"
la tahu sebabnya pikiran Liong It-hiong bisa pulih kembali karena ilmu gaib Lo-ang-nio diakhiri sebab itulah ia bersuara menegur.
Bayangan orang segera berkelebat di pintu kamar, dengan pelahan masuklah seorang pemuda. katanya dengan tertawa, "Maaf. Lo-ang-nio sudah mati'"
Pemuda ini tak-lain-tak-bukan ialah Hou-hiap Pang Bun-hiong. Keruan Kah-thaykun terperanjat, cepat ia meraih baju untuk menutupi tubuhnya, tegurnya dengan bengis, "Siapa kau ?'" Dengan sopan Pang Bun-hiong memberi hormat dan menjawab. "Harap Thaykun maklum hamba ini Bun-hiong adanya!'
"Cara bagaimana, dapat kau masuk ke sini ?” tanya Kah- thaykun dengan terbelalak
"Mudah saja, kuikuti kereta kuda itu dan akhirnya sampai di sini," jawab Bun-hiong.
It-hiong merasa bingung, tanyanya “ He..sesungguhnya apa yang terjadi ?"
Bun-hiong tertawa, "Masih ingat tidak kepada cerita pelayan restoran itu? Wah, kawanku, besar amat rejekimu dan benar- benar dapat bertemu dengan dia?"
"Tetapi cara . . . cara bagaimana aku bisa berada di sini''" kata It-hiong bingung.
"Kamu terkena sihir Lo-ang-mo itu. dan dia membawamu ke sini " tutur Bun-hiong
It-hiong tambah bingung, ia garuk-garuk kepala yang tidak gatal, ucapnya. "Namun kuingat setelah kita meninggalkan restoran, kita terus jalan.
Betul, dalam perjalanan kulihat ada seorang nenek diam-diam membuntuti kita," tutur Bun-hiong "Maka tergerak pikiranku, segera aku pura-pura mau kencing, ku belok ke sebuah gang kecil dan diam-diam kuawasi gerak-gerik nenek itu."
"Ah…betul sekarang aku pun ingat kejadian itu,' seru It-hioug tertawa "Waktu itu ada seorang menepuk pundakku dari belakang, lalu apa yang terjadi tidak kuketahui lagi." "Yang menepuk bahumu itulah Lo-ang nio” kata Bun-hiong dengan tertawa "Dan sekarang dia sudah kubunuh.
It-hiong memandang Kah-thaykun sekejap jelas kelihatan kecantikannya yang menggiurkan tanpa terasa hati terguncang, katanya, "Sialan'. “Masa kamu lupa kepada pepatah yang mengatakan 'lebih baik membongkar sepuluh kelenteng daripada merusak perjodohan satu orang'.
Kebetulan aku mendapat kesempatan bagus, mengapa kamu mengacaukan urusanku ?”
Bun-hiong angkat pundak, katanya, "Sebenarnya aku tidak ingin merusak urusanmu yang menyenangkan, tapi mengingat kamu pasti tidak suka kepada seorang nenek reyot berumur 68. maka segera kubunuh saja Lo-ang-nio itu "
“Yang mengincar diriku bukan Lo-ang-nio itu, peduli dia 68 atau 78.'' ucap It-hiong dengan serius
"Yang ku maksudkan bukan Lo-ang-nio” kata Bun-hiong.
Baru sekarang It-hiong melengak, cepat ia berpaling ke arah Kah-thaykun dan berseru, "Hah. jadi engkau yang sudah berusia 68 tahun?"
Muka Kah-thaykun tampak kecut dan tidak menjawab.
"Dia lnilahh It-kun dari kawanan It-kun, Ji-ni dan Sam-lolo. yakni Kah-thaykun adanya” tutur Bun-hiong.
Seketika It-hiong merasa mual, teriaknya. "Busyet' nenek berusia 68 masih segenit dan menggiurkan seperti ini, sungguh nenek yang awet muda”
Apalagi kalau bukan keahliannya mengisap Yang untuk menopang lm," tukas Bun-hiong. Dengan sendirinya it-hiong tahu ada semacam ilmu orang perempuan yang suka mengisap sari orang lelaki untuk membuat si perempuan awet muda, akibatnya lelaki korbannya akan menjadi loyo dan kering
Ia menjadi gusar, makinya sambil menuding Kah-thaykun, "Tua bangka cabul, hampir saja aku menjadi korban kecabulanmu. hari ini harus kubereskan dirimu1"
Sembari memaki ia terus menghantam. Mendadak Kab- thaykun berguling ke sebelah tempat tidur sana, dengan pantat telanjang ia lari ke pojok ruangan dan berdiri menempel dinding, teriaknya dengan bengis "Kalian mau enyah atau tidak?"
"Tidak,'' jawab It-hiong. Berbareng ia melompati tempat tidur dan menubruk lawan.
"Kau cari mampus'" bentak Kah-thaykun bengis. Belum lenyap suaranya, serentak lampu dalam kamar padam semua, seketika suasana berubah gelap gulita disertai gemerincing suara sambaran senjata rahasia.
Bun-hiong terkejut, serunya cepat. "Lekas rebah “ Reaksi It- hiong juga sangat cepat, begitu melompat lewat kesana, seketika juga ia jatuhkan diri dan berguling ke samping, walaupun gesit sekali gerakannya, tapi lantaran dalam kegelapan entah dari arah mana datangnya, pada saat dia berguling ke samping itulah tiba-tiba paha kanan terasa sakit, ia tahu paha terkena senjata rahasia tanpa terasa ia menjerit
Hampir pada saat yang sama terdengar juga jeritan Pang Bun- hiong jelas kawan itu pun terluka. "Hahaha!" terdengar gelak tertawa Kah-thaykun dalam kegelapan. "Sekarang baru kalian berdua setan cilik ini tahu akan kelihaianku'"
It-hiong coba meraba senjata rahasia yang menancap di pahanya, dari bentuknya diketahui sebatang panah kecil, ia tahu panah begitu terbidik dari alat rahasia, diam-diam ia merangkak masuk ke kolong ranjang dan diam saja tanpa bergerak serta siap mencari kesempatan untuk bilas menyerang
Siapa tahu baru saja ia menyusup ke kolong ranjang, mendadak berbagai lampu gantung di langit-langit itu menyala pula dengan terang benderang. Terlihat Kah-thaykun masih berdiri di kaki dinding sana dan sedang mengejek, "Hm.. panjang juga umur kalian, ternyata tidak mampus terpanah'"
Waktu It-hiong memandang sekitarnya, terlihat lantai penuh berserakan anak panah yang tadi berhamburan dari atas.
Ketika ia pandang Pang Bun-hiong, kawan itu rebah di tepi dinding sana. Pundak kirinya juga terkena sebatang panah
"Hei, bagaimana keadaanmu?" segera It-hiong bertanya. "Wah, aku bisa mati.” rintih Bun-hiong
"Dasar, hanya kena panah, saja mau mati” omel It-hiong. "Oo. alangkah sakitnya “keluh Bun-hiong pula
It-hiong merangkak keluar kolong ranjang dan berusaha bangun sekuatnya, katanya kepada Kah-thaykun. "Tua bangka hari ini kami baru tahu siapa dirimu. Selama gunung tetap menghijau dan sungai tetap mengalir kami…”
"Huh, jangan mimpi," potong Kah-thaykun “Biarpun kalian sekarang mau pergi pun tidak bisa lagi " "Memangnya apa kehendakmu?" tanya It-hiong
"Aku justru hendak menahan kalian di sini “ jengek Kah- thaykun.
"Untuk apa?" tanya It-hiong dengan gegetun."Jelas kami sudah tidak berguna lagi bagimu, memangnya menahan kami di sini untuk makan melulu?”
“Hendak kutahan kalian di sini untuk menghadapi si rase tua Toh Po-sit," kata Kah-thaykun
It-hiong duduk di tempat tidur sambil memegang paha kanan yang terkena panah, tanyanya “Apa yang kau harapkan dari Toh Po-sit"
“Ingin kudapatkan dia,'' kata Kah-thaykun
"Dia sudah tua renta, masa cocok bagi seleramu.. . ?” berkata sampai di sini, mendadak It-hiong mengertak gigi, panah yang masih menancap di paha itu dicabutnya
Seketika darah segar mengucur bagai mata air. la merobek ujung seprei untuk mebalut lukanya, lalu berdiri, katanya dengan tertawa "Sampai bertemu lagi, 50 tahun kemudian bila mana engkau masih tetap semuda dan secantik ini mungkin aku ”
Mendadak Kah-thaykun menudingnya sambil membentak dengan bengis. "Jangan bergerak, jika berani bergerak lagi sedikit saja segera kubikin kau mati di bawah hujan panah” It-hiong mendongak memandang langit-langit kamar dan menarik napas dingin, katanya, "Jadi benar engkau ingin menahan kami di sini ?”
"Betul," ucap Kah-thaykun ketus.
"Tapi kukira ada satu orang tidak mengizinkan “ "Hm, siapa?" jengek Kah-thaykun
“Orang di atas kepalamu itu'" kata It-hiong. Kah-thaykun terkejut, tanpa terasa ia mendongak ke atas. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Liong It-hiong, panah yang masih dipegangnya itu terus disambitkan.
Sama sekali Kah-thaykun tidak menyangka akan tindakan Liong It-hiong ini, ketika dia menyadari dirinya dikibuli karena di atas tidak ada bayangan seorang pun tahu-tahu tenggorokannya sudah tertancap oleh panah.
Ia menjerit aneh, tubuhnya melonjak ke atas tapi segera terbanting ke lantai, ia meronta dan berkelejatan beberapa kali lalu tidak bergerak lagi. It-hiong merobek lagi kain seperti tadi dan mendekati Pang Bun-hiong, tanyanya dengan tertawa, “Bagaimana, kamu belum mati bukan?"
"Selama hidupku tidak pernah mengalami cidera apa pun, baru sekarang kurasakan terluka memang tidak enak…" keluh Bun-hiong
“Dasar Kongeuya yang hidupnya selalu diladeni, baru menderita sedikit saja sudah bertobat “ucap It-hiong dengan tertawa
Bun-hiong melototinya sekejap, katanya 'Hm, jika bukan lantaran hendak menolongmu tentu aku takkan terluka sekarang kamu malah menyindir diriku?”
“Biar kucabut panahmu," kata It-hiong, segera ia pegang panah yang menancap di pundak kawannya itu.
Tapi Bun-hiong lantas berteriak, "Wah, jangan, bisa mati kesakitan aku"
"Tahanlah sebentar saja, kalau tidak dicabut bisa tambah parah." kata lt-hiong."Coba kau lihat bukankah aku sendiri mencabut panahku ini."
"Apakah tidak ada cara lain yang lebih baik. Maksudku cara yang tidak menimbulkan sabit ?" tanya Bun-hiong
"Hanya ada satu cara saja,' kata It hiong “Cara apa?" tanya Bun-hiong pula.
"Daripada sakit lama lebih baik sakit sebentar,” sembari bicara mendadak It-hiong menarik sekuatnya panah yang menancap di pundak orang.
Keruan Bun-hiong menjerit, segera ia mencacimaki, "Brengsek, kenapa tidak permisi dulu ? Sengaja hendak kau bikin aku mati kesakitan bukan?''
It-hiong membuang panah kecil itu dan membiarkan darah mengucur sedikit, lalu luka Bun-hiong dibalutnya dengan kain seprei.
"Huh, tampaknya kamu ini sama sekali tidak memenuhi syarat untuk ikut menerjang Cap-pek-pan-nia bersamaku" sembari membalut It-hiong berolok "Kukira lebih baik kau pulang saja untuk menjadi tuan muda di rumah," "Kentut." omel Bun-hiong "Tempat yang dapat kau datangi, pasti juga aku sanggup pergi kesana."
Selesai membalut luka orang, It-hiong berdiri katanya, "Baiklah ayo bangun!" Bun-hiong berdiri, dipandangnya mayat Kah-thaykun yang telanjang itu tanyanya, "Dia sudah mati?"
"Ya. sebenarnya dia boleh tidak mati, tapi dia sendiri yang mencari mati. apa boleh buat!" kata It-hiong sambil angkat pundak
"Jika dia seorang nona jelita tentu kamu tidak tega membunuhnya," kata Bun-hiong.
"Tentu saja," ucap It-hiong
"Di atas sana masih ada beberapa penjaga entah mereka masih berada di situ atau sudah lari”
"Apakah betul Lo-ang-nio sudah kau bunuh ?” tanya It-hiong
"Betul, dia mahir menggunakan ilmu sihir, kalau tidak kubunuh dia, selanjutnya tentu akan banyak jatuh korban lagi."
“Sesungguhnya di manakah letak tempat ini ?” tanya It-hiong. "Coba kau terka,' kata Bun-hiong dengan tertawa.
"Dalam keadaan samar-samar aku dibawa kesini, sama sekali aku tidak tahu dibawa ke mana dan berselang berapa lamanya, cara bagaimana aku dapat terka?"
"Hampir satu jam kamu menumpang kereta itu dan akhirnya sampai di sini" “Jika begitu jarak tempat ini dengan Jiciu sedikitnya kan 30 li lebih?"
Bun-hiong tersenyum, "Tidak, tempat ini justru terletak di pusat kota, hanya berjarak beberapa ratus kaki saja dengan kantor kabupaten Jiciu”.
"Hah, jadi tempat kediaman Kah-thaykun yang megah ini terletak di tengah kota” seru It-hiong dengan melenggong.
"Betul, supaya tempat kediamannya tidak diketahui orang, untuk mengelabui mata orang maka
Lo-ang-nio itu sengaja membawa mangsanya dalam kereta dan berputar kayun di tengah kota, akhirnya baru diantar ke sini."
It-hiong memandang perabotan yang menghias ruangan ini katanya, "Rumah ini sangat mewah. serupa, istana raja saja "
"Ruangan ini adalah kamar di bawah tanah," tutur Bun-hiong. "Biar kita bakar saja,"
Ruangan semewah ini, jika kita bakar rasanya kan sayang," kata lt-hiong.
“Sudahlah, kalau mau bakar harus lekas bakar, buat apa banjak pertimbangan”
It-hiong meraba dagu dia termenung sejenak.katanya kemudian"Di tempat ini tentu banyak tersimpan harta benda jika hendak kita bakar, paling tidak harus kita keluaikao dulu harta benda. yang berharga, kalau tidak kan sayang terbuang pereuma begini saja'”
"Haha, betul juga," seru Bun-hiong tertawa. “Ayo kita coba menggeledahnya," ajak It-hiong. Kedua orang lantas membongkar seluruh isi ruangan itu, benar juga diketemukan sejumlah harta benda bernilai beberapa laksa tahil perak, dengan sepotong kain Liong It- hiong membungkus harta benda itu dan dipanggulnya. Habis itu ia angkat mayat Kah-thaykun ke atas tempat tidur dan api lantas dinyalakan
"Mari pergi!"' seru it-hiong kepada Bun-hjong
“Masa dengan begini saja kau pergi “ ujar Bun-hiong dengan tertawa.
"Memangnya apa yang tidak betul?" It-hiong melengak.
“Hendak kau berangkat dengan pamer pantat?” tanya Bun- hiong.
Baru sekarang It-bioug menyadari tubuh sendiri hanya semampir sepotong kimono saja, apa jadinya nanti jika berangkat dalam keadaan demikian, keruan ia kelabakan dan berseru “Aha, betul, aku lupa berpakaian.Tapi, wah, di manakah bajuku ?”
"Ikut saja padaku," kata Bun-hiong dengan tertawa
Habis berkata ia lantas mendahului meninggalkan ruangan itu. Meski pundaknya terluka, tapi tidak beralangan untuk berjalan. Sebaliknya It-hiong terluka pada pahanya sehingga jalannya kurang leluasa. Ia ikut di belakang Ban-hiong dengan langkah pincang. katanya, "Hei, kan seharusnya kau papah diriku''
Namun Buo-hiong tidak menggubrisnya sebaliknya mengejek. "Hm, kamu ini memang sudah terbiasa dilayani di rumah baru sakit sedikit saja lantas berkeluh-kesah, tampaknya kamu tidak memenuhi syarat untuk menerjang Cap-pek-pau-nia bersamaku, kukira lebih baik kamu pulang saja ke rumah untuk menjadi tuan muda'"
"Kurang ajar“ omel It-hiong "Awas, lain kali bila kamu terluka lagi lihat saja apakah akan ku pedulikan dirimu"
Bun-hiong tidak menanggapinya, ia terus mendaki undak- undakan ujung lorong dan membuka
pintu rahisianya sehingga sampailah mereka diruang yang berdinding marmer itu.
Kagum dan gegetun sekali It-hiong, ucapnya,”Ai, Kab-thaykun sungguh pandai menikmati hidupnya, begitu bagus dan megah rumah kediamannya ini "
Bun-hiong memandang kian kemari, ucapnya. "Beberapa pelayan itu mungkin sama kabur, sungguh sayang ... "
"Sayang apa?*" tauya It-hiong
“Kan salah seorang pelavan yang bernama Keng-hoa itu berwajah lumayan, ia pernah melayanimu mandi, sepantasnya kau temui dia dulu."
"Busyet, memang samar-samar kurasakan dilayani mandi seorang nona, kusangka dalam mimpi, rupanya memang terjadi sungguh sungguh?” ucap It-hiong dengan kikuk.
Sampai di ujung serambi, Bun-hiong mendorong pintu sebuah kamar dan berkata “Bajumu berada di dalam, lekas pakai!".
It-hiong masuk ke kamar itu, dilihatnya Loh-ang-nio menggeletak di lantai bermandi darah, diatas sebuah meja rias tertaruh pakaiannya sendiri. cepat ia melepaskan bungkusan yang dipanggulnya dan menanggalkan kimono, baju sendiri dipakai lalu bungkusan diangkatnya lagi dan keluar kamar.
"Apakah bagian atas sini perlu dibakar juga," tanya Bun-hiong.
“Kukira tidak perlu lagi,' ucap it-hioag. "Jika rumah ini terletak di tengah kota, bila kebakaran tentu akan merembet ke rumah tetangga dan membikin susah orang lain yang tidak bersalah."
"Apakah perlu kita geledah lagi isi rumah ini ?" tanya Bun- hiong pula
"Tidak perlu lagi, sudah cukup, biarlah sisanya diambil orang lain saja." kata It-hlong sambil menggeleng
"Jika begitu ayolah kita keluar," kata Bun-hiong sambil mendahului menuju ke halaman depan, setelah pintu gerbang dibuka, benar juga di luar adalah jalan raya.
"Coba kau lihat," kata Bun-hiong dengan te tawa, "itulah jalan raya utara, ke sana lagi beberapa ratus kaki adalah kantor kabupaten"
"Marilah kita mencari sebuah hotel," ajak It-hiong.
"Apakah Iuka kakimu tidak beralangan?" tanya Bun-hiong
"Silahkan,” omel It-hiong. "justru lantaran tidak tahan sakit karena luka ini, maka ingin kucari hotel untuk istirahat."
"Jika begitu, marilah kita mencari toko obat dulu untuk membeli obat luka habis itu baru mencari hotel," kata Bun- hiong
Meski sudah larut malam, namun jalan raya ini masih cukup ramai, mereka mendapatkan sebuah toko obat, mereka membeli obat luka luar dan dibubuhkan pada luka masing- masing serta dibalut kembali, habis itu baru mencari hotel.
Lalu mereka merawat luka di hotel sehingga hampir sembuh seluruhnya, lalu mereka melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan bila bertemu dengan orang miskin, diam-diam It-hiong lantas meninggalkan satu-dua putong uang perak ke rumah miskin itu sebab itulah, beberapa hari kemudian, harta benda yang mereka kuras dari rumah Kah-thaykun itu sudah sebagian besar dibagi-bagikan
Suatu hari mereka sampai di tapal batas provinsi Soatang terlihat banyak orang berkerumun di tepi jalan dan ramai membicarakan sesuatu. Melihat gelagatnya agaknya telah terjadi sesuatu peristiwa. Mereka coba mendekat dan ikut mendengarkan cerita orang ramai, terdengar seorang petani tua sedang bicara. "Perkara ini menyangkut jiwa manusia, kukira harus kulaporkan kepada yang berwajib di kota”.
"Ya betul, harus dilaporkan agar mayat ini diperiksa," tukas seorang lagi. Orang ketiga menambahkan, "Mayat ini sudah membusuk, tampaknya orang ini sudah mati beberapa hari yang lalu mengapa tidak diketahui orang "
"Di sana adalah hutan lebat, kalau tidak berkepentingan jarang ada orang datang ke sana, sebabnya kuperiksa tempat itu juga Iantaran mengendus bau buruk," kata si petani tua.
Mendengar ada orang menemukan mayat Bun-hiong coba bertanya, "Sapakah yang mati dan apa sebab kematiannya ?”
“Ada dua orang mati tampaknya orang kangouw, yang seorang terbacok senjata tajam dan yang lain kepalanya pecah." tutur si petani tua
“Di mana"" tanya Bun-hiong pula. "Itu, di sana," jawab si petani sambil menuding hutan di tepi jalan sana. Bun-hiong berpaling dan berkata kepada It-hiong, "Bagaimana kita coba melihatnya ke sana?”
“Ah orang mati apanya yang dilihat?'' ujar It-hiong dengan tak acuh
“Jika yang mati katanya orang kangauw, kukira perlu kita lihat, bisa jadi orang kenalan kita” kata Bun-hiong
“Baiklah, lihat sekejap saja segera angkat kaki aku tidak tahan bau mayat yang sudah busuk “ kata It-hiong
Bun-hiong terus menarik It-hiong ke dalam hutan, belum sampai di tempat tujuan sudah tereium bau busuk. Belasan langkah lagi segera terlihat dua sosok mayat menggeletak di bawah pohon yang rindang. Mayat sudah mulai mengeluarkan cairan rambut pun sudah mulai rontok, yang seorang jelas kelihatan hulu hatinya tertancap sebilah pisau, seorang lagi jidatnya ambles seperti pecah kena pukulan keras.
Selain itu masih ada lagi yang menarik, yaitu di tengah kedua sosok mayat itu tertaruh sebuah kotak hitam yang diikat dengan rantai besi. Padahal tanpa melihat kotak hitam itu.sekali pandang saja Bun-hiong dan It-hiong sudah dapat mengenali kedua orang mati itu
Bun-hiong mengeluarkan saputangan untuk mendekap hidungnya, katanya dengan tertawa, "Coba lihat ternyata benar dua orang kenalan kita ". Rupanya kedua orang yang mati nii bukan kain daripada Cian-in-jiu Loh Bok-kong dan Kim-ci-pa Song Goan-po. Yang pertama tertusuk pisau dan yang lain pecah kepalanya. lt-hiong terkejut, katanya, "Sungguh aneh. mengapa mereka bisa mati di sini?"
“Masa tidak dapat kau lihat," ujar Bun-hiong
"Ya, tidak perlu disangsikan lagi, jelas pada waktu mereka sedang istirahat di hutan sini mendadak muncul tokoh persilatan kelas tinggi dan melakukan penyergapan terhadap mereka dan akhirnya mereka terbunuh"
"Tidak, bukan begitu." kata Bun-hiong “Tidak betul katamu?'' It-hiong menegas
“Mengapa tokoh persilatan itu perlu membunuh mereka?" tanya Bun-hiong
“Dengan sendirinya lantaran …". Mestinya It-hiong hendak bilang lantaran kotak pusaka itu, tapi demi melihat kotak pusaka yang dimaksudkan masih berada di tanah, segera ia tahu dirinya salah sangka, maka ia hanya angkat pundak dan coba menjawab sendiri, “Dahulu Toh Po-sit ada maksud mencalonkan diriku untuk bekerja sebagai pembantunya, untung tidak kuterima permintaannya”
“Boleh kau pikirkan lagi. tentu tidak sulit bagimu untuk mengetahui cara bagaimana mereka terbunuh” kata Bun- hiong pula dengan tersenyum. It-hiong coba memandang mayat Loh Bok-kong dan Song Goan-po, dilihatnya yang seorang tergeletak telentang dan yang lain tiarap, jarak kedua orang sangat dekat, segera ia paham duduknya perkara, tanpa terasa ia menggeleng kepala dan berkata, "Ya, tentu lantaran sebuah kotak itulah mereka saling membunuh, akhirnya keduanya gugur bersama, sungguh terlalu” Bun-hiong tertawa, katanya, "Demi sebuah kotak pusaka mereka Lok-lim-jit-coat sudah mati enam orang, sekarang tersisa seorang Ang-hu-soh Ban Sam-hian saja, bilamana diketahui si perencana intrik itu, tentu dia akan sangat senang"
lt-hiong menjemput kotak pusaka palsu itu. katanya dengan tertawa. '"Betapa besar rejeki seseorang biasanya sudah ditakdirkan, kasihan mereka sampai sebuah kotak palsu begini saja tidak sanggup mempertahankannya, akhirnya tetap juga kembali kepada tangan kita.”
Bun-hiiong cehngukan beberapa kali, lalu mendesis "jjka ingin membawa lari kotak pusaka ini sabaiknya sekarang juga beraangkat, jangan sampai dilihat orang lain”
"Baik,' It-hiong mengangguk. "Biarlah kita mengeluyur keluar melalui sebelah sini "
Begitulah mereka meneruskan perjalanan ke dalam hutan, setelah menembus hutan lebat, lalu mereka membelok ke utara dan putar balik ke jalan raya.
"Kedua keparat Loh Bok-kong dan Song Goan-po itu membawa lari kotak pusaka palsu itu, dari daerah selatan mereka lari ke wilayah Soatang. menurut pendapatmu, kemana tempat tujuan mereka?”
"Siapa tahu?" Bun-hiorg angkat pundak
“Mungkin mereka hendak pergi ke Cap-pek-pan-nia?" tanya lt- hiong
"Untuk apa mereka pergi ke sana?" kata Bun-hiong. "Mana kutahu, aku juga cuma menduga-duga saja," jawab It- hiong
"Menurut pendapatku, mereka pasti tidak berani pergi ke Cap- pek-pari-nia. mereka juga tidak ada alasan untuk pergi kesana'”
"Tapi jarak dari tempat ini ke Cap-pek-pan-nia sudah tidak jauh lagi "
"Oo, kira-kira perjalanan berapa hari lagi" "Paling-paling tiga hari lagi"
"Jika begitu jelas tempat ini sudah berada di dalam wilayah pengaruh Cap-pek-pan-nia, betapa mereka berani menginjak daerah kekuasaan orang lain, sungguh mereka pun terlampau berani"
"Dan setelah mereka sampai di tempat ini mereka justru saling membunuh sendiri, sungguh aneh juga.'' kata It-hiong.
"Memangnya cuma kemaruk ingin mengangkangi kotak pusaka saja?"
“Ya akupun tidak mengerti bahwakotak ini ternyata memiliki daya tarik sebesar ini sehingga mereka saling membunuh." ucap It-hiong dengan tertawa.
"Manusia di dunia ini kebanyakan tamak harta, maka kuharap setelah kotak pusaka ini kita bawa ke Cap-pek-pan-nia sedikitnya akan dapat membuat Cap-pek-pan-nia juga terjadi kacau balau”
It-hiong terbahak. "Haha, semoga demikian halnya” Lok-lim-jit-coat yang terkenal di daerah selatan sudah hancur tanpa ditumpas, di antara tujuh orang sudah mati enam, bila kawanan bandit utara yang bereokol di Cap-pek-pan-nia itu juga terjadi pertarungan sendiri maka dunia ini dapat diharapkan akan aman sentosa
Jika demikian halnya, mula mula orang yang membuat kotak pusaka ini boleh dikatakan mempunyai tujuan yang luhur"
"Tapi aku justru berharap dapat menangkap dia." kata Bun- hiong
"Aku juga “ tukas It-hiong
"Bisa jadi orang yang membuat kotak ini justru adalah orang yang hendak ditangkap Toh Po-sit itu," kata Bun-hiong
"Dan orang ini sangat mungkin juga si gembong iblis misterius yang bereokol di Cap-pek-pan-nia itu.' ujar It hiong.
Sungguh sekarang kuharap bisa segera terbang ke Cap-pek- pan-nia."
"Jika ingin lekas sampai di sini kukira Cuma ada satu cara." ujar It-hiong
“Cara bagaimana? tanya Bun-hiong
"Berjalan lebih cepat" kata It-hiong. Habis berkata segera ia mendahului mempereepat langkahnya.
OooooO
Tiga hari kemudian sampailah mereka di kabupaten Tong- koan daerah barat Soasai letak Cap-pek-pan-nia sudah di depan mata. Kedua orang istirahat dulu satu hari di dalam kota, setelah cukup mengumpulkan tenaga, esok paginya barulah mereka berangkat keluar kota menuju ke Cap-pek- pan-nia.
Kira-kira 60 li ke barat lagi menjelang lohor sampailah mereka di kaki bukit Cap-pek pan-nia
Di bawah gunung suasana sunyi senyap, sejauh mata memandang tidak terlihat bayangan orang maupun rumah penduduk. Pegunungan ini cukup tinggi puncaknya tertutup awan, hutan lebat meliputi lereng gunung, hanya terlihat ada sebuah jalan setapak yang melingkar-liku naik-turun
Inilah Cap-pek-pan-nia atau 18 bukit lingkar,di sinilah markas besar pemimpin besar yang menguasai 36 sarang bandit yang terbesar di daerah utara. Kedua orang berhenti dan memandang ke atas, kata It-hiong dengan tertawa. "Tampaknya pegunungan ini juga tidak ada sesuatu yang luar biasa "
“Maksudmu Cap-pek-pan-nia ini ?” "Ya, apalagi?"
Dipandang dari keadaan, Cap-pek-pan-nia ini dengan sendirinya belum terhitung berbahaya cuma jangan lupa, gunung tidak terletak pada tingginya, ada pertapanya akan menjadi angker, itulah pepatah yang berlaku di kalangan bandit
"Sarang pimpinan Cap-pek-pan-nia ini tentu terletak di puncak yang tertinggi, kita harus naik ke sana secara terang-terangan atau diam-diam menyusup ke atas ?”
"Kukira lebih baik mengirim kartu nama dan minta berkunjung merupakan cara lebih terpandang," kata Bun-hiong It-hiong mengangguk, 'Baik.marilah kita naik ke atas mengikuti jalan setapak itu."
Jalan itu terus melingkari pinggang gunung pepohonan rindang hampir mengalingi langit pemandangan terasa indah permai dan sunyi. Baru saja mereka melintasi lingkaran pertama sekonyong-konyong terdengar suara mendenging. sebatang panah menyambar tiba dan menancap didepan mereka.
Itulah tanda peringatan agar pendatang berhenti di tempat. It-hiong tersenyum. segera ia berteriak lantang.
“Sahabat di atas, silahkan memperlihatkan diri untuk bicara “
“Katakan dulu namamu'" seru orang di atas suaranya berkumandang dari balik pepohonan yang terletak tidak jauh
"Kami Liong It-hiong dan Pang Bun-hiong “ seru It-hiong lantang "Kami berdua mendapat pesan oleh sahabat kalian, Si Him, kami membawakan sebuah kotak pusaka dan harus dipersembahkan langsung kepada pemimpin besar kalian harap sudi dilaporkan"
"Baik, silahkan tunggu sebentar”seru orang di atas
It-hiong berpaling, katanya kepada Bun-hiong dengan tertawa, "Menurut perkiraanmu apakah pemimpin besar Cap- pek-pan-nia sendiri akan menyambut kadatangan kita?”
“Jika kamu terhormat selaku seorang ketua perguruan, bisa jadi akan disambut kedatanganmu, cuma sayang, kamu bukan seorang ketua perguruan segala " It-hiong angkat pundak, "Tapi kita kan membawakan sebuah kotak pusaka baginya, sepantasnya dia melayani kita dengan terhormat.''
Bun-hiong tidak menanggapi lagi, ia memandang ke atas, ucapnya tersenyum, "Tempat ini adalah lingkaran pertama, di atas sana masih ada 17 lingkar, entah harus menunggu berapa lama baru akan mendapat izin naik ke atas."
"Kuyakin mereka mempunyai cara berkomunikasi yang cepat, misalnya dengan pos merpati dan sebagainya, kukira kita takkan menunggu terlampau lama,” kata It-hiong
Begitulah mereka bicara dengan suara perlahan mereka menunggu hampir setengah jam barulah terdengar dan hutan sana berkumandang suara lantang."Silahkan kalian naik ke atas"
lt-hiong menggeleng kepala, gerundelnya dengan tertawa. "Ternyata benar tidak ada penyambutan, tampaknya nama Liong-hiap dan Hou-hiap kita belum cukup berbobot. Ayolah berangkat'"
Mereka terus mendaki gunung mengikuti ja lan setapak itu. Kira-kira beberapa puluh langkah tiba-tiba terlihat sebuah benteng pagar kayu di luar benteng berdiri dua barisan liaulo (anak buah) bergolok, di tengah berdiri seorang lelaki kekar dengan wajah kereng
Melihat kedatangan It-hiong berdua, lelaki kekar itu memberi hormat dan berkata, "Maaf.karena tidak tahu akan kunjungan anda berdua sehingga tidak diadakan penyambutan yang layak “
Karena orang bersikap ramah, lt-hiong juga ikut sungkan, katanya, "Terima kasih, kunjungan kami yang mendadak ini hendaknya tidak menimbulkan salah sangka”
Segera lelaki kekar itu menyingkir ke samping. ia menuding ke dalam benteng dan berkata, "Silahkan masuk langsung melalui sini, selewatnya pintu belakang benteng, hendaknya naik lagi ke atas mengikuti jalan yang ada "'
"Terima kasih atas petunjukmu, numpang tanya, sahabat ini “
"Caihe Cu Ing," sahut lelaki kekar itu. "bertugas menjaga pos pertama ini."
"Dari sini sampai di atas masih harus melalui berapa pos penjagaan lagi ?” tanya It-hiong'
"Masih ada 16 pos jaga, markas besar terletak pada bagian terakhir," tutur Cu lng yang berjuluk “Ji-po-tau" atau si kapak.
"Numpang tanya lagi satu hal," kata It-hiong. "Bolehkah kutahu apa sebutan nama terhormat pemimpin besar kalian ?"
Cu Ing tersenyum, jawabnya, "Bila kalian telah sampai ditempatnya, tentu kalian akan tahu sendiri siapa beliau "
It-hiong mengangguk, ia menoleh dan memberi tanda kepada Bun-hiong, katanya. “Ayo berangkat. masih belasan pos rintangan yang harus kita lalui kita harus berjalan lebih cepat."
Mereka masuk ke dalam tenteng, terlihat di dalam benteng yang dilingkari pagar kayu itu terdapat belasan rumah, tapi tidak kelihatan seorangpun. Ia menduga segenap anggota sarang bandit ini tentu sudah disembunyikan.
Karena tidak bermaksud mencari perkara disini, It-hiong dan Bun-hiong tidak menghiraukan keadaan luar biasa itu, dengan tenang mereka terus menuju ke jalan yang langsung menembus ke atas gunung itu.
Sampai di belakang benteng dan keluar pintu belakang benar juga terlihat sebuah jalan setapak terbentang ke atas puncak gunung, mereka melanjutkan perjalanan mengikuti jalan setapak itu.
"Wah, melihat gelagatnya.kalau ingin menyusup ke atas gunung jelas tidak mungkin." Kata Bun-hiong dengan tertawa.
"Ya, memang," sahut It-hiong.
"Untuk menghancurkan sarang bandit ini juga tidak seder- hana," ujar Bui-hiong "Lebih dulu harus membobolkan pos rintangan, habis itu baru dapat menyerbu ke pusat sarangnya,"
"Untung kita tidak mempunyai rencana serbuan demikian," kata It-hiong
"Hm, apakah maksudmu karena kita tidak bermaksud menyerang Cap-pek-pan-nia, lalu kita dapat datang dan pergi lagi dengan bebas, begitu'' jengek Bun-hiong
"Dengan sendirinya bukan begitu maksudku," kata It-hiong. "Kedatangan kita ini jelas penuh risiko, datang terlebih mudah daripada pergi,"
"Asal kau tahu saja." kata Bun-hiong "Kukira pada saat gembong iblis itu mengetahui kotak yang kita bawa itu palsu, pada saat itu juga mungkin harus main senjata."
"Dan kita berdua harus menghadapi lawan sebanyak itu, jelas pasti akan kalah," ujar It-hiong "Memangnya kau harapkan menang?" jengek Bun-hiong "Kamu takut tidak ?" tanya It hiong
"Takut apa? Kalau aku mati toh kamu juga takkan hidup. Mati ditemanimu, menjadi setan juga tidak bakal kesepian "
“Hahaha, aku justru tidak ingin mati," seru It-hiong dengan tergelak."Giok nio sedang menunggu kedatanganku, mana boleh kumati begitu saja?!"
Tengah bicara kembali mereka sudah berputar satu lingkaran, di depan muncul lagi sebuah benteng kayu. Seperti tadi, di luar benteng juga berdiri seorang komandan jaga dengan dua barisan anak buah bergolok, keadaan serupa dengan pos jaga pertama. Bun-hiong dan It-hiong sudah, tahu untuk menuju ke markas pusat harus menembus 17 pos jaga, maka mereka tidak bicara lagi dengan komandan ini, mereka hanya mengangguk saja dengan tersenyum, lalu masuk ke dalam benteng sana . .
Dan begitulah seterusnya, setiap kali mendaki sebuah lingkar bukit lantas muncul sebuah benteng kayu keadaannya juga hampir sama. Lebih setengah harian baru akhirnya ke-17 pos jaga itu dilalui, sampailah mereka di puncak teratas Cap-pek- pan-nia, sampai ddi depan benteng ke-18.
Maskas pusat pimpinan Cap-pek-pan-nia memang lain daripada yang lain, tertampak pintu gerbang benteng dibangun serupa gapura benteng berloteng, kedua sisi berdinding batu setinggi tiga tombak lebih, bangunan megah dan kuat tak terbobolkan.
Pada saat itu, di depan pintu gerbang juga berdiri seorang komandan jaga berpuluh liaulo yang berbaris di kedua sisi lengkap bersenjata golok dan tombak, semuanya gagah dan kereng, jauh lebih seram daripada ke-17 pos jaga sebelumnya.
Kuancu atau komandan jaga itu berusia 60-an, kepalanya sudah rada botak, perawakannya tegap meski senyuman menghiasi wajahnya, namun tidak terasa simpati sedikit pun
It-hiong dan Bun-hiong mengira orang inilah si pemimpin besar Cap-pek-pan-nia yang misterius itu, selagi mereka hendak mendekat untuk memberi hormat, mendadak orang tua itu memberi salam lebih dulu dan menyapa, "Caihe Liok Wi-yang, atas perintah Congcecu (pemimpin besar) kami siap menyambut kedatangan kalian di sini”
"Oo, kiranya Liok-kuancu," ucap It-hiong sambil membalas hormat "Terima kasih dan selamat bertemu "
Orang tua yang bernama Liok Wi-yang itu berkata dengan senyum tak senyum, "Congcecu kami sudah menanti di Cio-gi tia (ruang pendopo), silahkan kalian ikut padaku." Habis bicara ia lantas membalik dan menuju ke tengah benteng. lt-hiong dan Bun-hiong saling mengedip mata lalu ikut masuk ke sana.
Bangunan di dalam benteng sangat megah, perumahan berloteng yang terlihat berjumlah ratusan, di tengah tengah adalah sebuah lapangan luas, di depan sebuah bangunan yang berbentuk serupa istana terdapat sebuah panggung besar, di atas panggung terpancang sehelai bendera segi tiga di atas tiang bendera yang tinggi, bendera warna merah berkibar tertiup angin, pada bendera itu tertulis empat huruf yang berarti "melaksanakan keadilan bagi Thian"
lt-hiong tertawa, katanya "Kebanyakan bandit sama suka menggunakan istilah ini, seperti perbuatan mereka yang suka membunuh dan bakar juga atas perintah Thian," Pelahan Bun-hiong menyentuh lengan sang kawan, maksudnya supaya jangan sembarang omong
Namun lt-hiong seperti tidak menghiraukannya, katanya pula dengan tertawa, "Memangnya kenapa. Apakah salah ucapanku?”
Mendadak Liok Wi-yang berpaling dan berkata dengan terkekeh, "Hehe, ucapan Liong-hiap sangat tepat, tempat kami ini memang menggantung kepala domba dan menjual daging anjing'"
"Haha, dengar tidak, mereka sendiri sudah mengakui kebenaran ucapanku," seru It-hiong dengan terbahak sambil menepuk bahu Bun-hiong. Bun-hiong cuma menyengir saja tanpa bersuara
Liok Wi-yang membawa mereka menuju ruang pendopo, katanya pula dengan terkekeh “Hehe, barangkali tempat ini tidak cocok bagi pandangan Liong-hiap bukan ?”
"Ah. masa “ ucap It-hiong dengan tertawa
"Aku cuma sedang pikir bilamana aku menjadi bandit, rasanya pasti takkan kugunakan poster begitu, sebab keempat huruf itu tidak lebih hanya omong kosong belaka!"
Liong Wi-yang tertawa, katanya. "Sebentar setelah bertemu dengan Congcecu kami silahkan Liong-hiap mengemukakan lagi urusan ini, Congcecu biasanya suka menerima gagasan yang baik bilamana maksudmu memang bagus, tentu beliau akan menanggalkan panji merah itu "
“Ah, itu mah tidak perlu, biarkan dia runtuh sendiri kan lebih baik," ujar It-hiong "Tidak, dia takkan runtuh." jengek Liong Wi-yang.
It-hiong tidak bicara lagi, sebab sekarang mereka sudah berada di depan undakan batu di depan ruang pendopo. Liok Wi-yang berhenti dan berpaling, katanya, "Silahkan kalian menunggu sementara di sini biar kulaporkan dulu." Habis berkata ia lantas menaiki anak tangga dan masuk ke ruang pendopo.
It-hiong mengangkat pundak dengan tertawa “Tampaknya kita ini tetamu yang tidak disukai.”
“Tidak pantas kau sindir mereka," ujar Bun-hiong
“Masa ucapanku terhitung sindiran?" kata It-hiong tertawa.
Tengah bicara, terlihat Liok Wi-yang telah muncul kembali, sambil menuruni anak tangga batu ia berkata, "Congcecu sudah menunggu di dalam ruangan, silahkan kalian masuk ke sana."
It-hiong dan Bun-hiong saling pandang sekejap dan tertawa, Ialu menaiki undakan bersama dan masuk ke ruang pendopo. Ruangan itu memang sangat luas dan megah, resik tanpa kotoran setitik pun, hampir sama indahnya dengan istana raja.
Di dalam ruangan sekarang hanya duduk tiga orang, yang di tengah jelas Congcecu Cap-pek-pan-nia cuma mukanya pakai kerudung, ia duduk di sebuah kursi besar berlapis kulit harimau, karena tidak terlihat wajahnya, maka menimbulkan kesan misterius.
Yang duduk di kanan-kirinya adalah dua orang yang berpotongan tubuh berbeda, yang satu gemuk, sebaliknya yang lain kurus, keduanya sama berambut panjang semampir di pundak, dua orang yang aneh, tampaknya dia pengawal pribadi sang Congcecu.
It-hiong berdua melangkah lebih dekat dan berdiri di depan mereka, melihat orang tidak berdiri menjambutnya, It-hiong pun bersikap angkuh tanpa memberi hormat, ia cuma menyapa dengan tersenyum, "Apakah anda ini Congcecu?"
Orang berkedok itu mengangguk tanpa bersuara
"Kami tidak disilahkan duduk ?" tanya It-hiong pula dengan tertawa.
Kedua mata orang berkedok itu memancarkan cahaya yang menggetar sukma, ia pandang It-hiong berdua sampai sekian lama tanpa bicara.