Jilid 28
Yang lucu adalah kami ditempatkan di kamar tulis Leng tocu pula, Kutahu dia belum lagi menemukan jalan rahasia ini, maka pada tengah malam sunyi ini sengaja kuturun kemari untuk menyelidiki keadaaa, tak tersangka di sini juga aku dikerjai Leng-tocu dan hampir saja mati konyol, untung tadi Leng-tocu sempat meraba kepalaku yang gundul, kalau tidak, wah, tidak berani kubayangkan apa yang akan terjadi..."
"Sudah setengah bulan kusembunyi di lorong rahasia ini, selama itu tidak pernah memergoki seorang pun, baru tadi kurasakan ada orang turun kemari, siapa sangka yang kubekuk justru adalah Su-siauhiap sendiri."
Setelah berhenti sejenak, kemudian Leng Jing-jing menyambung, "Su-siauhiap menyamar sebagai hwesio cilik dan menjadi pelayan Boh-to Sianjin, apakah tujuanmu hendak mencuri kitab putaka ilmu padang itu?"
"Betul, di antara ke-180 jurus ilmu pedang itu sudah berhasil kuapalkan 34 jurus," tutur Kiam eng. "Apakah ilmu pedang itu sedemikian lihai?" tanya Boh-to
"Ya, dibandingkan ilmu pedang Kiam-ong dan guruku, rasanya berlipat kali lebih lihai," tutur Kiam- eng.
"Meski diri Su-siauhiap mencuri ilmu pedang sakti itu sangat bagus, namun Thian-ong-pangcu kan juga dapat menguasainya dengan cara yang sama?" kata Boh-to pula. "Tidak, yang akan diperolehnya tidak lebih hanya kitab pusaka yang sudah susut kualitasnya, tidak nanti dia berhasil melatihnya dengan baik," ucap Kiam-eng tertawa.
Li-hun nionio tahu apa yang dimaksudkan kitab yang susut kualitasnya, ia tertawa dan berkata," Apakah dia takkan curiga?"
"la pun pernah sangsi Boh-to Siangjin ada main, tapi lantaran tidak menemukan bukti, maka sekarang dia tidak curiga lagi."
Tengah bicara sampailah mereka di ujung lorong bawah tanah itu, Koam-eng coba melongok kamar di atas, keadaan terasa sunyi dan aman, maka ia muncul kembali beberapa tindak mendekati," Masih ada dua jam menjelang fajar, mungkin Thian-ong-pang cu takkan datang kemari."
"Jika begitu, kita dapat bicara tanpa kuatir," ucap Li-hun nionio Leng-jing." Nah, harap Su-siauhiap bercerita dulu, sesungguhnya orang macam apakah Thian -ong-pangcu itu?"
"Sungguh memalukan, sampai detik ini pun hanya kuketahui dia adalah si orang berkedok dan berbaju hijau yang mengaku sebagai Raja Rimba serta yakin dia adalah si pengganas yang membunuh ke-18 tokoh persilatan di Hwe-Iiong kok dahulu itu."
"ltu berarti Jian-lian-hok-leng yang kaubawa pulang dari hutan purba di daerah selatan itu belum dapat memulihkan daya ingatan In Ang-bi?"
"Tidak, justru daya ingatan nona In kini sudah pulih kembali."
"Oo, jika begitu, apakah dia dapat menyebut siapa si pengganas itu?"
"Ya, ia menyaksikan sendiri si pengganas membunuhi ke 18 tokoh persilatan itu secara keji, cuma si pengganas yang dia sebut itu ternyata bukan lain daripada tokoh utama dunia persilatan jaman ini, yaitu Kiam-ong Ciongli Cin."
"Hah, Kiam ong Ciongli Cin! Mana bisa jadi?!"
"BetuI, kami pun menganggap tidak mungkin Kiam-ong Ciongli Cin, sebab itulah guruku dan It sik- sin-kai serta nona In dan diriku berempat lantas berangkat ke Pek-ho san-ceng untuk menemui Kiam- ong..."
Begitulah ia lantas bercerita apa yang terjadi setelah bertemu dengan Ciongli Cin.
Tentu saja Leng Jing jing melongo heran, katanya: "Sungguh aneh, jika demikian, jadi Kian-ong Ciongli Cin sebenarnya sudah sama mengetahui siapa si pengganas itu tapi apa sebabnya dli menyimpan rahasia itu selama ini?"
"Tidak saja dia simpan rahasia itu, bahkan dia menyatakan bersimpati terhadap si pengganas. Sebab itulah guruku menyangsikan kemungkinan si pangganas itu adalah sute Ciongli Cin, yaitu Hia-thian-kisu Lo Cing-yang."
"Oh, Ciongli Cio mempunyai seorang sute bernama Lo Cing-yang?"
"Betul, cuma menurut cerita Kiam-ong sendiri, sutenya sudah dibunuhnya 30 tahun yang lalu." "Apa pula artinya itu? jika Hia-thian-kisu Lo Cing-yang sudah dibunuh Ciongli Cin, mengapa pula
gurumu menyangsikan si pengganas adalah orang yang sudah mati itu!"
"Yang dimaksud terbunuh adalah Ciongli Cia memukul sutenya hingga terjerumus ke dalam jurang yang tak terkira dalamnya bisa jadi Lo Cing-yang tidak terbanting mati di jurang itu."
"Lantas, mengapa Ciongli Cin sampai tega membunuh sute sendiri?"
"Konon prilaku Lo Cing-yang itu sangat buruk, berjiwa sempit, dengki dan sombong, sedikit urusan lantas main bunuh, Suatu kali dia membunuh anak murid Siau-lim-pai sehingga tokoh Siau lim-pai sama datang mencarinya. Saking marahnya Ciongli Cin memukul sutenya hingga terjatuh ke dalam jurang. Mungkin Lo Cing-yang tidak mati terbanting dan Ciongli Cin menyangka sutenya itu terbanting hancur lebur di dalam jurang, karena merasa menyesal telah membunuh sute sendiri sehingga timbul rasa berdosa, Kemudian diketahuinya Lo Cing-yang tidak mati, dengan sendirinya timbul pula semacam perasaan lega dan bersyukur.
"Kemudian ia pun merahasiakan tentang belum matinya Lo Cing-yang, namun benci Lo Ging-yang kepadanya justru merasuk tulang, maka dia sengaja memalsukan identitas Kiam-Ong Ciongli Cin untuk membunuh ke-18 tokoh persilatan agar orang persilatan umumnya mencari perkara padanya, sebaliknya karena Ciongli Cin tidak sampai hati untuk kedua kalinya membunuh Lo Gin-yang, maka sedapatnya ia tahan perasaan atas muslihat keji sang sute."
"Akan tetapi, bila Lo Ging-yang sengaja memfitnah Ciongli Cin, mengapa dia tidak menyiarkan tentang keganasan yang diperbuat Ciongli Cin terhadap ke-18 tokoh itu?"
"Bisa jadi lebih dulu Ciongli Cin sudah mengetahui perbuatan sang sute, maka sebelum muslihat keji itu di siarkan oleh Lo Ging-yang, sang sute itu lantas ditawan olehnya dan mungkin disekap di sesuatu tempat."
"Dan akhirnya mengapa sutenya dilepaskan lagi?" tanya Li-hun-nionio.
"Wah, hal ini pun sukar kuterka," kata Kiam-eng. "Pada masa masa Lo Ging-yang disekap, mungkin dia pernah menyatakan rasa penyesalan nya kepada Ciongli Cin. Kemudian ketika Ciongli Cin mendengar berita tentang maksud guruku hendak mencari Jian-lian-hok-leng untuk menyembuhkan penyakit linglung nona In, kuatir kalau pulihnya daya ingat nona In akan berarti dapat membocorkan rahasia pembunuhan ke-18 tokoh persilatan maka dia berunding dengan Le Ging yang dan membebaskannya, menyuruhnya berusaha sekuatnya untuk merintangi usaha kami mencari Jian lian-hok leng.
"Ketika usaha merintangi mereka gagal dan Ciongli Cin mendapat kunjungan rombongan guruku, ada maksudnya akan menceritakan duduk perkara yang sebenarnya, sebaliknya oleh karena Lo Ging yang sudah berhasil merebut segala benda mestika kota emas, pula sudah berhasil membentuk organisasi kuat Thian ong-pang, ia tidak mau asal-usulnya sebagai Hian-thian-kisu diketahui orang, maka secara kejam ia membunuh sekalian sang suheng."
"Cara menganalisa Su-siauhiap ini sangat masuk akal, tampaknya orang yang mengaku sebagai Thian-ong-pangcu itu pasti Hin-thian-kisu adanya," ujar Leng Jing-jing.
"ltu cuma dugaanku saja, benar atau tidak masih harus dibuktikan bilamana Thian-ong-pangcu sudah kita tangkap."
"Adakah akal Su-siauhiap untuk menangkapnya?" tanya Leng Jing-jing,.
"Tidak ada, penyamaranku sebagai hwesio cilik ini sekarang, tujuanku hanya hanya ingin mencari kitab pusaka dan menolong Wi-ho Lojin sama nona Ih, sejauh ini pun aku belum sempat mengadakan kontak dengan rombongan guruku, maka sampai saat ini belum ditetapkan akal cara menumpas musuh."
"Mengapa wi-ho Lojin sampai ditawan musuh?" tanya Leng Jing-jing.
"Kejadian itu berlansung setelah kupulang dari selatan dengan membawa Jing-lian hok Ieng, sebelum musuh sempat memperalat nona Ih untuk memaksa aku menyerahkan Jian-lian-hok-leng, sekaligus mereka lantas menawan Wi-ho Lojin, Dengan kedua sandera itulah mereka hendak memaksa aku menuruti kehendak mereka.
Namun guruku tidak dapat diancam dengan cara kotor begitu, akhirnya mereka pun tidak segera membunuh Wi-ho Lojin dan nona Ih, maka dapat kuduga mereka pasti dikurung di pulau ini."
"Seumpama benar mereka terkurung di pulau ini, namun kekuatan musuh jauh di atas kita, jika ingin menolong mereka rasanya terlampau sulit," ujar Leng Jing-jing. "Betul, maka jalan paiing baik sekarang, terpaksa menunggu datangnya rombongan guruku, setelah bergabung barulah kita mulai bertindak."
"Cara bagaimana kamu akan mengadakan kontak dengan gurumu!" tanya Leng Jing-jing.
"Pada waktu berangkat kemari, di tengah jalan pernah kuselamatkan jiwa Hoat-keng Taisu dari Siau- lim-si, diam-diam telah kusodorkan secarik kertas kepadanya dan minta dia meneruskan penguntitan kepada kami, bilamana sudah diketahui di masa rombongan Thian-ong-pangcu tinggal, barulah kuminta dia pergi ke Hanyang untuk menyampaikan berita kepada guruku, Cuma waktu itu Hoat-keng Taisu sendiri terluka parah. apakah kemudian dia sanggup membuntuti kami atau tidak?"
"Jika Hoat-keng Taisu mengetahui kalian berada di sini dan cepat menyampaikan kabar kepada gurumu, kira-kira dalam berapa hari baru rombongan gurumu sanggup menyusul kemari?"
"Tempat ini dengan Hanyang berjarak tidak terlalu jauh, kukira dalam waktu setengah bulan dapat menyusul kemari."
"Jika begitu, bolehlah coba kita menunggu bilamana rombongan gurumu sudah sampai di sini barulah beramai-ramai kita bertindak dan sekaligus menjaring mereka seluruhnya."
"Leng tocu pernah bilang akan pergi ke Mo-ko-san, mengapa kemudian putar balik ke sisi?" tanya Kiam-eng.
"Aku sudah sampai di sana, kemudian kurasakan sebabnya Thian-ong-pangcu menyerbu Li-hun-to kami ini tujuannya pasti bukan lantaran kami tidak mau membayar uang pelindung yang cuma satu laksa tahil perak itu, juga pasti bukan sengaja hendak memaksakan supaya kami menyerah padanya melainkan ingin menduduki Li-hun-to ini untuk menjadi pangkalan utama Thian-ong-pang mereka.
Sebab pulau ini sangat strategis, sekeliling pulau adalan laut, sungguh suatu tempat yang sulit dicari, Sebab itulah diam-diam aku pulang kemari, dan ternyata tidak meleset dugaanku, setiba di sini segera kutemukan banyak orang Thian-ong-pang bekerja di sini."
"Cara bagaimana Leng-tosu menyusup pulang kesini?" tanya Kiam-eng.
"Aku menggunakan sepotong balok kayu dan meluncur pulang ke sini, karena di tengah malam buta sehingga tidak kepergok musuh. Pula setiba di pantai segera kuterobos ke dalam lorong rahasia di bawah tanah, maka sampai detik ini belum lagi diketahui musuh."
"Pernahkah Leng-tocu keluar dari tempat sembunyi ini untuk menyelidiki keadaan lawan?" tanya Kiam-eng pula.
"Tidak pernah, Mataku buta, tentu tidak menguntungkan, musuh dapat melihat diriku, sebaliknya aku tidak dapat melihat siapa pun, Maka sejauh ini aku habya sembunyi di sini, kupikir bila nanti Thian- Ong-pangcu sudah pindah ke sini aku akan berdaya memancingnya supaya menemukan pintu rahasia jalan di bawah tanah ini, dan bila dia masuk ke sini, dengan sebisanya akan kubinasakan dia."
"Selama setengah bulan ini apa yang dimakan Leng-tocu?" tanya Kiam-eng.
"Ikan, ikan mentah," tutur Leng Jing-jing tertawa, "Di dekat mulut gua sana terdapat banyak ikan dan udang segar."
"O, kiranya begitu. Kemarin waktu kusampai di pulau ini, kulihat bangunan di sini tidak mengalami perubahan, jika Wi-ho Lojin dan nona Ih terkurung di sini, menurut Leng-tocu kemungkinan mereka akan ditahan di ruang mana?"
"Hm, apakah kau hendak keluar untuk menyelidiki keadaan musuh?" tanya Leng Jing-jing kuatir. "Betul, meski Thian-ong-pangcu memberi pesan agar kami jangan keluar dari taman, namun aku
sangat ingin melihat keadaan di luar sana." "Bukankah sangat berbahaya?" ujar Leng Jing-jing.
"Kuyakin dapat mengatasi keadaan bahaya apa pun," kata Kiam-eng tertawa.
"Tempat kurungan mereka sangat mungkin berada di sebuah kamar bawah tanah," tutur Leng Jing- jing." Kamar bawah tanah itu terletak dibelakang ruang tamu. jika kamu dapat memasuki ruang tamu, di belakang ruang tamu itu ada sebuah kamar kecil cat merah, setelah memasuki kamar merah itu, bukalah pintu besi di situ akan langsung mencapai ruang bawah tanah itu, Cuma ingin kuberi nasihat, akan lebih baik janganlah menyerempat bahaya. Tunggu saja kedatangan gurumu barulah kita turun tangan."
"Cara bagaimana membuka pintu besi di kamar tanah itu" tanya Kiam eng.
"Pada pintu itu ada sebuah pegangan bulat, putar ke kanan tiga kali, lalu putar lagi tiga kali ke kiri dan didorong."
Kiam-eng mengingatnya dengan baik, lalu berkata pula dengan tertawa, "Leng tocu, dahulu pernah kukatakan padamu, bilamana ke 180 patung emas itu pasti kudapatkan, maka seluruhnya akan kusumbangkan kepadamu sebagai dana sosial bagi ribuan wanita cacat yang kaurawat itu. Sekarang segalanya terjadi dengan sangat kebetulan, seperti sudah ditakdirkan harus terjadi begitu!, sangat mungkin Thian-Ong-pangcu sudah mengangkut ke 180 patung emas itu ke puIau kalian."
"Yang kuharapkan sekarang adalah ingiin membunuh Thian-ong-pangcu itu untuk membalas dendam kematian ratusan anak buahku yang dibunuh olehnya, lalu menata kembali Li-hun-to ini agar segenap wanita cacat yang berjumlah ribuan itu dapat hidup layak. Soal patung emas sebanyak itu, syukur kalau benar bisa kudapatkan kalau tidak juga tidak menjadi soal."
"Apakah Leng-tocu mau menemui Boh-to siangjin di kamar tulis sana?" "Tidak perlulah, bilamana kepergok kan bisa. "
Belum lanjut ucapanya, sekonyong-konyong terdengar suara suara pintu kamar di atas diketuk orang.
Bergetar hati Leng Jing-jing, cepat ia mendesis," Lekas naik ke atas, mungkin Thian-ong-pangcu yang datang!"
Kiam-eng tidak berani ayal, cepat ia melompat ke balik almari yang yang berbatasan dengan jalan rahasia itu, dengan gesit ia melangkah keluar, sembari merapatkan pintu almati sambil bertanya, "Siapa itu?"
Sementara itu Boh-to SlangjIn yang berbaring di tempat tidur itu pun sudah bangkit duduk, ia sangka perbuatan Su Kiam-eng masuk ke lorong rahasia itu telah diketahui lawan, maka sikapnya agak tegang dan kuatir.
Cepat Kiam-eng memberi tanda agar jangan kuatir, lalu ia berseru pula, "siapa itu yang mengetuk pintu?"
Terdengar suara Thian-ong-pangcu menjawab di luar," Aku, lekas buka pintu!"
Segera Kiam-eng membuka pintu, dengan lagak mata sepat karena terjaga bangun ia tanya." Fajar kan belum tiba, Pangcu?"
Thian-ong-pangcu melangkah ke dalam kamar, dipandangnya Boh-to, katanya dengan tertawa," Maaf jika akhirnya tidur Siangjin terganggu."
Boh-to turun dari tempat tidur dan menjawab," Tidak apa, Entah ada urusan apa sedini ini Pangcu berkunjung kemari?"
Thian-ong-pangcu duduk di bangku, ucapnya dengan tersenyum misterius, "lngin kuberitahukan sesuatu berita kepadamu. Yaitu tadi anak buahku berhasil menangkap seorang mata-mata musuh di tepi pantai." "Ooh, berhasil menangkap seorang mata-mata?" Boh-to menegas dengan tercengang.
"Betul untuk dia pernah Siangjin mintakan ampun baginya, dan di luar kebiasaanku juga telah kuampuni dia. Akan tetapi rupanya dia memang sudah bosan hidup dan kembali menyusuI kemari."
"Ooh, apakah yang dimaksudkan Sicu ialah Hoat-keng Taisu?" tanya Boh-to dengan melenggong. "Habis siapa lagi?" jengek Thian-ong-pangcu "Tampaknya hadiah pukulanku tempo hari tidak cukup
berbobot baginya, maka dia masih terus membuntuti kita, Satu jam yang lalu, dengan menyewa perahu
dia menyusul kemari, Si tukang perahu justru adalah anak buahku. Karena melihat gerak gerik keledai gundul itu mencurigakan, maka dia sengaja menenggelamkan perahu dan menawannya."
Dengan kening bekernyit Boh-to bertanya, "Lantas cara bagaimana Sicu hendak menyelesaikan dia?"
Thian-ong-pangcu memandang Kiam-eng sekejap, lalu menjawab, "Cara bagaimana menyelesaikan dia, urusan ini biarlah dibicarakan nanto. Yang perlu kuberitahukan adalah setelah anak buahku berhasil menawan dia, dari tubuhnya dapat digeledah secarik surat yang ditulis tangan orang..." Bicara sampai di sini, ia tidak melanjutkan melainkan menatap Su Kiam-eng dengan sorot mata yang tajam, air mukanya pun berubah beringas.
Hulu hati Su Kiam-eng serasa digodam dengan keras, namun ia tahu inilah saat mati hidup baginya, maka sebisanya ia bersikap tenang, seperti tidak ada sesuatu ia bertanya, "Eh, apakah yang tertulis pada surat itu!"
"Haha, meski surat itu sudah basah terkena air, namun masih terbaca dengan jelas," jengek Thian- Ong-pangcu.
Namun Kiam-eng dapat menduga setelah terkena air, tentu surat yang dituilsnya itu pasti sudah kumal dan sulit dibaca lagi, Mungkin hanya satu-dua huruf secara remang-remang masih dapat terbaca sehingga timbul rasa curiganya terhadap dia dan sekarang sengaja datang hendak menjajakinya." Maka hatinya bertambah mantap dan tidak gugup lagi, dengan tertawa ia berkata," Ah, Sicu sungguh pandai berkisah, pakai tahan harga segala, toIonglah jelaskan apakah yang tertulis pada surat itu?"
"Artinya menyuruh keledai gundul itu menguntit kami, lalu mengundang bala bantuan untuk menyerang pang kani," ucap Thian-ong-pangcu geram.
"Jadi maksud Sicu menyangsikan surat itu ditulis olehku?" tanya Boh-to.
"Tidak," Thian-ong-pangcu menggeleng sambil memandang Kiam eng." Sebab kutahu Siangjin sama sekali tidak menyentuh keledai gundul itu..."
"Oya, aku yang menyentuh dia," tukas Kiam eng." Wah, jangan jangan lantas diriku yang dicurigai Sicu?"
"Hehe, surat itu menyuruh dia tetap membuntuti kami, nada surat itu seperti bukan ditulis orang luar melainkan serupa komplotan sendiri," jengek Thian-ong-pangcu. "Hehe, Ngo-liau, usiamu masih muda belia, tapi caramu bekerja ternyata boleh juga."
Dengan tenang Kiam-eng menjawab dengan tertawa," Terima kasih atas pujian Sicu, Cuma, bilamana Sicu mencurigai diriku, Bagaimana jika kuajukan suatu pendapat, entah Sicu bisa menerima atau tidak?"
"Coba katakan." ucap Thian-ong pangcu.
"Umpama Sicu menghadapkan Hoat-keng Taisu ke sini untuk di tanyai secara langsung, apabila Hoat-keng Taisu mengaku bahwa surat itu benar diterima dariku, maka aku pun tidak perlu menyangkal dan terima dihukum secara apa pun oleh Sicu."
"Bagus, memang begitulah maksudku," kata Thian-ong-pangcu. Lalu ia berpaling dan berteriak ke luar kamar "Coba bawa kemari keledai gundul tua itu!"
Terdengar suara orang mengiakan, lalu muncul Tong Pia dan Soa Goan-hiong sama memegang lengan Hoat-keng Taisu dan digusur masuk.
Muka Hoat-keng tampak pucat pasi, sekujur badan basah kuyup, melihat gelagatnya sudah kenyang minum air danau dan baru saja siuman.
Sesudah dibawa ke dalam kamar, Hoat-keng memandang sekejap terhadap Boh-to dan Kiam-eng berdua, lalu menunduk tanpa bersuara apa pun.
"Thian-ong-pangcu berdiri dan mendekati Hoat-keng, ia tunjuk Boh to dan Kiam-eng sambil mendengus, "ltu, biar kuperkenalkan padamu, itulah Boh-to Siangjin dari Tai-hin-si di Tiang-an dan yang itu adalah Ngo-liau, pendamping Siang-jin. Mereka dan aku bertiga beberapa hari yang lalu menumpang kereta dalam perjalanan jauh di wilayah Hantiong dalam penyamaran sebagai Lu Yan-sia, Ong Ji dan Khong Cmg-lin.
Tempo hari kamu salah sangka Ngo-liau ini sebagai Kong Cing lin. Pada waktu kamu terluka dan dia mengangkatmu ke dalam kereta, diam-diam dia menaruh secarik kertas dalam bajumu, betul tidak?"
Hoat-keng diam saja seperti tidak mendengar apa yang dikatakan orang, dia tutup mulut tanpa bersuara.
"Coba dengarkan lagi, asal kamu mengaku terus terang, untuk kedua kalinya jiwamu akan kuampuni pula," ucap Thian-ong-pangcu.
Pelahan Hoat-keng mengangkat kepala dengan tersenyum pedih ia menegas, "Apa betul?" "Kenapa tidak? Kujamin pasti betul," kata Thian ong-pangcu, "Nah, lekas mengaku terus terang
saja."
Pandangan Hoat-keng beralih ke arah Su Kiam-eng, seperti berguman ia tanya," Dia... bukankah Siau-bia-hoa Koan Cing-lin?"
"BetuI, wajahnya yang asli adalah seperti sekarang ini?" kembali Thian-ong-pangcu mengangguk. Melihat Hoat-keng Taisu bermaksud memberi pengakuan, tentu saja Kiam-eng agak cemas,
pikirnya," Wah, celaka! Tampaknya Hoat-keng ini juga takut mati, maka tamatlah riwayatku."
Meski dalam hati sangat tegang, namun lahirnya dia tetap berlagak tenang, malahan ia dengan berkata kepada Hoat-keng, "Omitohud! Tempo hari yang menyamar sebagai Kong Cing-lin memang betul diriku. Coba Taisu ingat-ingat kembali, apakah pernah kuberikan secarik surat padamu?"
Hoat-keag Taisu termenung sejenak, tiba-tiba ia berpaling dan berkata pula kepada Thian-ong- pangcu, "Harap Sicu mengulangi satu kali lagi, apabila kubicara terus terang, pasti Sicu akan membebaskan diriku?"
"Betul, tidak nanti aku mengingkari janji," jawab Thian-ong-pangcu.
"Jika begitu, baiklah kukatakan urus terang," ucap Hoat-keng. "Dari... dari dia, sama sekali tidak pernah kuterima sesuatu apa pnn."
Tadinya Kiam-eng mengira Hoat-keng akan mengaku sejujurnya, hatinya berdebar keras, siapa tahu Hoat-keng justru bicara kebalikannya, tentu ia menghela napas lega, ucapnya dengan tertawa cerah, "Wah, demikian jawaban Taisu, tentu hal ini akan sangat mengecewakan Sicu ini!"
Thian-ong-pangcu mendengus dengan pandangan tajam ia menegas, "Benar dia tidak tengah menjejalkan secarik surat ke dalam bajumu?" "Tidak," jawab Hoat-keng. "Tentunya Sicu tahu orang beragama tidak nanti berdusta." "Jika begitu, siapa yang memberikan surat yang terdapat dalam bajumu itu?"
"Surat yang kutulis sendiri," jawab Hoat-keng "Hehe, kan aneh, kau tulis surat dan menyuruh dirimu sendiri meneruskan penguntitan, begitu?" Thian-ong-pangcu menegas.
"Tidak, soalnya kutulis surat itu untuk menitipkan kepada seseorang agar disampaikan ke Siau-lim- si, tapi lantaran tidak mendapatkan seorang kenalan, maka belum sempat terkirim."
"Ooh, apa betul begitu?" jengek Thian-ong-pangcu sangsi.
"Betul," jawab Hoat-keng "Sebab Kon Cing-Im yang kulihat waktu itu tidak diketahui apakah Kong Cing-lin tulen atau bukan, dan lantaran aku sudah bersumpah akan membunuh bangsat itu, maka meski terluka parah, setelah hiat-to yang tertutuk lancar kembali, tetap kuteruskan penguntilan kepada kalian. Dan supaya orang Siau-limsi mengetahui jejakku, maka kusiapkan surat ini dengan harapan akan mengirimkannya ke Siau-lim-si.
Di luar dugaan sepanjang jalan tiada seorang kenalan pun yang kutemui, maka surat yang kutulis itu tetap tersimpan padaku."
Karena penjelasan Hoat-keug terasa beralasan dan masuk di akal, maka rasa sangsi Thian ong- pangcu terhadap "Ngo-liau" juga muiai berkurang, segera ia memberi tanda kepada Tong Pin dan berkata, "Baiklah, Tong-busu, boIeh kau bawa dia pergi dari sini dan bebaskan dia."
0k-poan-koan Tong Pin mengiakan dan segera hendak menggusur pergi Hoat-keng Taisu. Tiba-tiba Boh-to Siangjin berseru, "Eh, nanti dulu ada yang ingin kukatakan!"
Thian-ong pangcu memberi tanda agar Tong Pin jangan pergi duIu, ia tanya Boh-to, "Siangjin ingin bicara apa?"
"Sicu bilang hendak membebaskan Hoat-keng Taisu, kukuatir takkan terjadi dengan sesungguhnya," kata Boh to.
"Mengapa Siangjin merasa kuatir?" tanya Thian-ong pangcu.
"Maklum, aku tidak ingin menyaksikan seorang padri saleh terbunuh begitu saja," jawab Boh to. "Maka bila Sicu masih menghendaki tenaga bantuanku kuminta untuk sementara ini Hoat keng Taisu dikurung dahulu, nanti setelah uiai pekerjaanku menerjemahkan yang Sicu minta barulah dia pergi bersamaku."
"Dan bagaimana kalau kutolak permintaan taisu?" ucap Thian-Ong-pangcu.
"Apa yang kuminta ini adalah soal kecil yang dapat Sicu penuhi dengan mudah, jika sedikit permintaan ini saja tidak dikabulkan, wah, sungguh aku akan sangat kecewa." ujar Boh-to Siangjin."
Agar padri tua itu mau bekerja dengan sungguh hati baginya, betapapun Thian-ong pangcu tidak berani terlampau bertindak keras terhadapnya, juga segala permintaannya sedapatnya dipenuhi, maka sekarang ia pun menyadari bila permintaan orang ditoIak, itu berarti menandakan dirinya memang bermaksud membunuh Hoat-keng. Jikalau sampai Boh-to nekat dan tidak mau menerjemahkan kitab pusaka dengan baik, itu berarti suatu kerugian besar baginya.
Setelah ditimbang lagi, akhirnya itu mengangguk dia menjawab, "Baiklah, memang ada maksudku untuk membebaskan dia pulang ke Siau-lim -si, karena Siangjin merasa curiga, terpaksa untuk sementara ini tetap kutahan dia."
"Selain itu, kuminta setiap berselang satu hari hendaknya Sicu memperlihatkan dia kepadaku, sebab kalau tidak kulihat dia, tetap kucuriga dia telah dibunuh olehmu," kata Boh-to.
"Baik, baik, kuturuti semua permintaanmu" ucap Thian-ong-pangcu kewalahan "Dan sekarang, kalau Sicu sudah tidak mencurigai Ngo-liau lagi, bolehkah kami melanjutkan beristirahat?" tanya Boh-to.
Thian-ong-pangcu memberi tanda silakan, lalu ia memberi isyarat kepada Tong Pin dan Sou Gan- hiong untuk meninggalkan kamar itu.
Kiam-eng menutup pintu dengan baik, lalu pasang telinga mendengarkan sejenak, sesudah yakin Thian-ong-pangcu bertiga telah meninggalkan taman dengan membawa Hoat-keng Taisu barulah ia berpaling dan menjulur lidah terhadap Boh-to Siangjin, ucapnya lirih, "Wah, hampir saja urusan bisa runyam!"
"Jika Hoat-keng Taisu sudah tertangkap musuh, lalu cara bagaimana kita akan mengadakan kontak dengan gurumu?" tanya Boh-to.
"Tidak menjadi soal." kata Kiam-eng. "Sekarang kita sudah bertambah seorang kawan, biarlah kita mencari jalan keluar yang baik."
"Kau kira Hoat-keng Taisu masih dapat membantu kita?" tanya Boh-to deagaa tersenyum getir.
Kiam-eng mendekati orang dan berbisik di tepi telinganya, "Tidak, yang kumaksudkan bertambah seorang kawan bukanlah Hoat-keng Taisu melainkan Li-hun-nionio Leng Jing-jing."
"Hahh, Li-hun-nionio Leng Jing-jing? Di mana dia?" tanya Boh-lo bingung.
"Kiam eng menunjuk balik almari pakaian, ucapnya, "Ya, dia berada di sana. Sudah lama Li hun- nionio menyusup pulang ke pulau ini, sekarang dia bersembunyi di lorong bawah tanah sana."
"Oh, bisa terjadi demikian. Untuk apa dia sembunyi di lorong bawah tanah sana!" tauya Boh-to Siangjin.
"Menanti kesempatan baik untuk menyergap musuh," tutur Kiam-eng. "Menurut pikirannya, ia yakin cepat atau lambat Thian ong-pangcu pasti akan menemui lorong bawah tanah rahasia ini..."
Lalu ia pun bercerita pengalamannya bertemu dengan Li-hua-nionio Leng Jing jing di lorong bawah tanah itu.
Boh-to Siangjin melongo heran oleh kejadian tersebut, katanya, "Seorang perempuan buta seperti dia ternyata mampu menyusup pulang ke pulau ini tanpa bantuan siapa pun, sungguh keberanian dan kecekatannya sukar untuk dicari bandingannya di dunia ini."
"Silakan Siangjin tidur lagi, tecu ingin turun lagi ke sana untuk bicara dengan dia" ujar Kiam-eng.
Habis berkata, ia coba melongok ke luar jendela dan keadaan sunyi tenang, lalu ia melompat ka depan almari pakaian, pelahan ia tarik tangkai pintu hingga terbuka, segera pula ia melangkah ke dalam sana.
Li-hun-nionio berada di dekat lorong bawah tanah itu, begitu mendengar suara langkah orang, dengan suara tertahan ia lantas menegur, "Apakah Su-siauhiap adanya?"
"Betul," jawab Kiam-eng. "Apa yang terjadi tadi di atas apakah sudah terdengar oleh Leng-tocu?" "Ya, dapat kudengar," jawab Li-hun-nionio, "Hoat-keng Taisu itu sungguh bodoh sekali sehingga
sampai tertangkap oleh anak buah keparat Thian-ong-pangcu itu."
"Tentu tidak dapat menyalahkan dia," ujar Kiam-eng. "Soalnya ia tidak tahu bahwa Tong-ting-oh sudah menjadi wilayah pengaruh Thian-ong-pangcu, mungkin juga dia tidak mahir berenang, maka dengan mudah dia terperangkap."
"Dan sekarang apa yang hendak kau lakukan?" tanya Li-hun-nionio. "Kupikir, melulu tenaga kita berdua, jelas bukan tandingan Thian-ong-pang, maka kita harus berusaha mengadakan kontak dengan rombongan guruku."
"Jika begitu, biarlah aku saja yang menyampaikan kabar kepadanya," kata Leng Jing-jing.
"Tidak bisa jadi," ujar Kiam-eng. "Pandangan Leng-tocu terganggu, cara bagaimana engkau sanggup lolos dari danau luas ini?"
Li-hun-nionio tertawa, katanya," Coba jawab, setengah bulan yang lalu, cara bagaimana aku menyeberangi danau ini untuk menyusup kemari?"
"Hal ini boleh dikatakan nasib Leng-tocu lagi mujur, namun kemujuran kan tidak akan selalu ada," kata Kiam-eng.
"Betul juga ucapanmu, namun sesuatu pekerjaan kalau tidak menyerempet bahaya sedikit, siapa lagi yang dapat menyampaikan berita kepada gurumu?"
"Aku mengemban tugas melindungi Boh-to Siangjin, kalau tidak niscaya aku dapat melaksanakan pekerjaan ini..."
"Hari ini baru tanggal muda, bulan belum lagi terang, aku dapat dapat menggunakan balok kayu itu untuk menyeberang ke sana seperti waktu kudatang kemari, kukira takkan terjadi sesuatu alangan. Yang menjadi alangan rasanya justru mengenai di mana beradanya gurumu, Menurut ceritamu tadi, tempo hari pernah kau-minta bantuan Sam-bi-sin-ong untuk menyampaikan kabar kepada gurumu di Hanyang, dan sekarang rombongan gurumu mungkin sudah tidak berada di Hanyang lagi."
"Memang," ucap Kiam-eng dengan kening bekernyit." Menurut perhitungan waktu, saat ini rombongan guruku mungkin sedang dalam perjalanan menuju ke Le-san untuk mencari kami jika Leng- tocu hendak mencari mereka mungkin sangat sulit.."
"Dari sini ke Le-san kira-kira memerlukan perjalanan setengah bulan, setiba di sana mungkin rombongan gurumu sudah meninggalkan pegunungan itu," kata Leng Jing-jing.
"Betul," Kiam-eng mengangguk setuju." Cuma jarak Hanyang ke Ls-san lebih jauh daripada berangkat dari sini, Jika Leng-tocu dapat mencapai Le-san lebih cepat tiga hari kukira masih sempat menemui mereka."
"Wah, untuk mencapai Le-san dalam waktu 12 atau 13 hari rasanya sangat sulit," Leng Jing-jing menggeleng kepaIa.
"Jika begitu, apabila Leng-tocu benar mau pergi ke sana, maka tinggal satu cara saja," kata Kiam- eng "Sebab kuyakin rombongan guruku keberangkatan rombongan guruku dari Hanyang pasti belum lebih dari tiga hari, Berdasarkan perhitungan ini, saat ini paling banter mereka baru sampai di sekitar Ciong-siang-koan. Dan kalau malam ini Leng-tocu dapat lolos dari Tong ting-oh ini dan meneruskan perjalanan dengan kecepatan penuh sehingga dalam lima hari dapat sampai di Sianyang, maka bukan mustahil Leng-tocu akan dapat memergoki mereka di sana."
"Apakah Siangyang merupakan tempat yang pasti akan dilalui mereka?" Leng Jing-jing menegas. "Menurut perhitungan secara umum seyogyanya mereka lewat di sana." kata Kiam-eng.
"Baiklah, jika begitu aku akan menuju ke Siangyang secepatnya untuk menunggu mereka di sana," ucap Leng Jing-jing." Akan tetapi, biIamana tidak bertemu dengan mereka, lalu bagaimana?"
"Leng-tocu dapat mencari orang Kai-pang dan minta bantuan mereka," ujar Kiam-eng." Anggota Kai- pang tersebar di seluruh kolong langit ini, mereka pun dapat menggunakan merpati pos untuk mencari keterangan di mana beradanya Pangcu mereka, Asalkan jejak It-sik-sin-kai diketahui, maka guruku pasti juga akan diketemukan."
"Ehm, cukup beralasan," Leng Jing-jing mengangguk, "Jika dapat kutemui rombongan gurumu segera kubawa mereka menyusul kembali kesini. Setiba di sini tentu akan kuberitahukan padamu dengan menirukan bunyi tikus. Cuma selama menunggu kedatanganku hendaknya Su-siauhiap jangan sembarangan bertindak supaya tidak membuat runyam urusan."
Kiam-eng mengangguk "Baiklah, hendaknya Leng-tocu juga hati-hati, saat ini di mana-mana terdapat begundal Thian-Ong-pang..."
Setelah kedua orang bicara lagi pengalaman masing-masing selama berpisah, sementara itu fajar sudah hampir tiba, lalu Kiam-eng meninggalkan lorong bawah tanah untuk tidur lagi.
Pikirnya, belum lama setelah sarapan dan Thian-ong-pangcu lantas datang.
Dengan ramah ia berkata kepada Boh-to Siangjin dengan tertawa, "Semalam telah banyak mengganggu ketenangan Siangjin, sungguh tidak pantas. Apakah Siangjin dapat tidur dengan baik?"
"Tidak, sulit tidur," jawab Boh-to.
"Wah, jika begitu, apakah hari ini Siangjin dapat bekerja dengan bersemangat?" tanya Thian-ong- pangcu.
Boh-to tahu sekarang harus berusaha mengulur waktu sebisanya agar rombongan Lok Cing hui sempat menyusul kemari maka dengan tertawa ia menjawab, "Sudah sekian hari bekerja keras, semalam juga kurang tidur, memang semangat terasa lesu, Bilamana Sicu sudi memberi cuti satu hari untuk istirahat, sungguh aku akan sangat berterima kasih."
Thian-ong pangcu termenung sejenak, katanya kemudian, "Baiklah, hari ini Siangjin tidak perlu bekerja, tapi mulai besok, setiap hari engkau harus menerjemahkan sepuluh potong medali emas itu. Kuharap sisa ke-144 potong medali emas itu dapat digarap seluruhnya dalam waktu setengah bulan."
"Pekerjaan menerjemah tampaknya saja ringan, yang benar sangat makan tenaga dan pikiran," ujar Boh-to." Apalagi Sicu minta kuterjemahkan secara cepat dan terburu-buru, jangan-jangan nanti akan banyak kesalahan."
"Asalkan Siangjin tidak sengaja menerjemahkan secara salah, kuyakin takkan terjadi kesalahan," kata Thian-ong-pangcu.
"Wah, tampaknya sicu belum lagi percaya penuh padaku," ucap Boh to dengan tersenyum kecut. "Kenal orangnya, tahu wajahnya, tidak tahu hatinya. Bilamana Siangjin minta dipercaya sepenuhnya,
untuk itu masih diperlukan waktu yang panjang," kata Thian-ong-pangcu.
"Ya, apa boleh buat, memang antar manusia biasanya sukar untuk bisa saling mengerti, jika Sicu tidak percaya kepadaku, apa yang dapat kukatakan lagi?"
Thian-ong pangcu seperti tidak mau banyak bicara, ia berbangkit dan berkata," Baiklah, sekarang silakan Siangjin istirahat dengan santai, aku tidak mengganggu lagi."
Habis bicara, ia memberi salam terus tinggal pergi.
Melihat orang sudah keluar taman, segera Kiam-eng berkata kepada Boh-to," Mari kita bicara secara mendalam."
"Baik, boleh berlagak main catur," jawab Boh-to Siangjin.
"Kiam-eng lantas memindahkan meja catur yang terletak di bawah rak buku itu, setelah dipasang dan keduanya duduk berhadapan, mulailah mereka main catur.
Untuk langkah-langkah pembukaan, keduanya sama tidak banyak pikir, maka sembari menaruh biji catur Boh-to bertanya," Bagaimana baiknya dengan batas waktu setengah yang dia berikan agar ke 144 potong medali emas itu selesai kuterjemahkan." "Rombongan guruku mungkin dapat menyusuI tiba dalam waktu setengah bulan," ujar Kiam eng, "Akan tetapi hal ini pun sukar dijamin kepastiannya. Maka kita sendiri harus berusaha mengulur tempo, betapapun kita harus dapat menunda sehingga sebulan atau lebih kalau bisa."
"Cara bagaimana mengulurnya?" tanya Boh-to.
"Terkadang, misalnya Siangjin boleh pilh alasan badan kurang sehat, kepala pusing atau badan meriang dan sebagainya jika dia tidak memberi kesempatan istirahat kepada Siangjin, maka Siangjin boleh sengaja bilang sakit keras sekalian."
"Haha, betul juga ini merupakan suatu langkah catur yang tepat!" kata Boh-to dengan tertawa. Sambil menaruh biji caturnya Kiam eng berkata, "Oh langkah ini juga tidak jelek, boleh silakan
Siangjin peras pikiran dengan lebih cermat."
Boh-to memperhatikan langkah catur yang dilakukan Kiam-eng itu dan berpikir sebentar, pujinya kemudian, "Ya, ternyata langkah yang lihai, Tak tersangka Siausicu pun mahir main catur...
Begitulah seharian mereka hanya main catur untuk melewatkan waktu senggang, Oleh karena kekuatan catur kedua orang seimbang, maka keduanya terkadang kalah dan terkadang menang, makin lama pun makin keranjingan sehingga tanpa terasa sehari penuh telah dilalui.
Selesai bersantap malam, Boh-to Siangjin dan Kiam-eng main catur lagi dua-tiga babak, melihat sudah cukup malam, keduanya baru mapan tidur.
Lewat tengah malam, diam-diam Kiam-eng bangun, ia membuka pintu almari dan memutar tangkai pintu rahasia, lalu menyusup ke bawab.
Li-hun-nionio sedang menunggu tidak jauh di ujung lorong, mendengar suara datangnya Su Kiam- eng, segera ia menegur. "Sebelum Su-siauhiap datang kemari, sama sekali tidak kurasakan kesepian bersembunyi di sini, tapi sekarang sungguh aku merasa sehari seakan-akan setahun lamanya..."
"Apakah sekarang juga Leng-tocu hendak berangkat?" tanya Kiam-eng.
"Adakah pesan Su-tiauhiap yang perlu kusampaikan kepada gurumu?" tanya Leng Jing-jing. "Keadaan di sini kukira Leng-tocu sudah paham, maka bila bertemu dengan guruku, diharapkan
beliau mengajak bala bantuan beberapa orang lebih banyak."
Lihun-nionio mengeluarkan tiga buah Yan-mo-tan, granat tabir asap, katanya," Harap Su-siauhiap terima ini, bilamana terjadi hal-hal yang gawat, boleh digunakan untuk meloloskan diri."
Dengan ucapan terima kasih Su Kiam-eng menerima ketiga biji granat itu. Segera Leng Jing jing melangkah ke ujung lorong sana diikuti Su Kiam-eng. "Biarlah ku antar Leng-tocu sampai di lubang keluar sana," kata Kiam-eng.
"Engkau tidak kuatir mendadak keparat itu datang ke kamar kalian?" ujar Li-hun-nionio Leng Jing jing.
"Kukira tidak," ujar Kiam eng. "Dia minta Boh-to Siangjin menerjemahkan kitab pusaka itu, tidak nanti berani mengganggu ketenangan di tengah malam buta."
Begitu sembari bicara sambil berjalan, Tidak lama kemudian sampailah mereka di mulut gua. Terlihat di mulut gua sana air danau mendampar-dampar dan menerbitkan suara gemersik, di permukaan air mengapung sepotong balok kayu besar. "Apakah kayu balok isi yang digunakan Leng-tocu untuk menyeberangi danau kian kemari?" tanya Kiam-eng.
"Betul," jawab Leng Jing-jing. "Bila kudengar ada suara kapal lalu, cepat kusembunyi di balik kayu semuanya berjalan dengan lancar."
"Sebelum fajar tiba apakah Leng-tocu dapat mencapai pantai danau di seberang sana?" tanya Kiam- eng pula.
"Dapat, asalkan mendapatkan angin buritan, dalam waktu satu jam dapat mencapai pantai danau sana," jawab Leng Jing-jing.
Habis berkata, langsung ia melangkah ke tengah air, ia dorong balok raksasa itu ke lubang keluar, ketika air mencapai sebatas dada, ia angkat tangan memberi salam kepada Kiam-eng, lalu selulup ke dalam air, balok kayu itu didorong meluncur ke tengah danau dan hanya sebentar saja lantas lenyap.
Diam-diam Kiam-eng berdoa semoga Thian memberkahi Leng Jing-jing agar mencapai pantai danau dengan selamat dan berhasil menemui gurunya sehingga kawanan iblis tertumpas dan dunia persilatan mendapatkan ketenangan..."
Selesai berdoa, dengan langkah cepat Kiam-eng lari kembali ke kamar.
Setiba di kamar, keadaan ternyata aman tanpa terjadi apa pun. Pelahan Boh-to Siangjin menyingkap kain kelambu dan bertanya dengan lirih, "Dia sudah berangkat?"
"Sudah, baru saja," jawab Kiam-eng.
Pelahan Boh-to Siangjin menyebut budha dan berdoa, "Semoga Budha memberkati dia mencapai tempat tujuan dengan selamat."
Paginya sehabis sarapan, kembali Thian-ong-pangcu datang lagi,
Ia pandang air muka Boh-to Siangjin yang kelihatan cukup segar, katanya dengan tertawa, "Bagaimana, hari ini Siangjin dapat mulai bekerja lagi bukan?"
"BoIeh, silakan Sicu menyerahkan mendali emas," kata Boh-to.
Thian ong-pangcu mengeluarkan sepuluh potong medali emas dan ditaruh di meja, ucapnya, "Ke sepuluh mendali emas itu rasanya sudah cukup, harap menjelang magrib nanti Siangjin dapat menyelesaikan terjemahannya."
"Biarlah kukerjakan sedapatnya" ucap Boh-to.
"Nah, aku tidak mengganggu lagi, silahkan bekerja!" kata Thian-ong-pangcu sambil meIangkah. "Eh, nanti dulu," seru Boh-to mendadak "Kuharap Sicu jangan melupakan janjimu!"
"Janji apa?" tanya Thian-ong-pangcu dengan melengak.
"Kan sudah kukatakan, setiap berselang sehari ingin kulihat Hoat-keng Taisu itu, maka kuharap hari ini dia diperlihatkan padaku," pinta Boh-to.
"Oya baiklah segera kuperintahkan orang membawa Hoat-keng ke sini," kata Thian-ong-pangcu dengan tertawa. "Cuma kuharap janganlah Siangjin bicara dengan dia, jika Siangjin bicara dengan dia, maka selanjutnya takkan dapat bertemu lagi dengan dia."
Habis berkata segera ia tinggal pergi.
Kiam-eng lantas mulai membentang kertas dan menggosok tinta untuk meladeni Boh-to Siangjin yang akan menerjemahkan kitab pusaka dari medali emas itu. Baru saja selesai dia menggosok tinta, tiba-tiba terlihat Tong Pin dan Soa Goan-hiong menggusur Hoat-keng Taisu memasuki taman bunga itu.
Setiba di depan kamar mereka lalu berhenti, terdengar Tong Pin berseru di luar, "Silakan Siangjin melihatnya, Hoat-keng Taisu dalam keadaan baik-baik bukan?!"
Boh-toh Siangjin mengangguk, katanya dengan tertawa, "Ya, sangat bagus, Terima kasih! Pangcu kalian melarang kubicara dengan dia, terpaksa aku hanya memandangnya saja tanpa bicara."
Kalau Boh-to tidak mengajak bicara pada Hoat keng, kesempatan baik ini justu tidak disia-siakan oleh Su Kiam-eng, dengan kepala menunduk ia coba tanya dengan ilmu gelombang suara,
"Hoat-keng Taisu, apakah engkau dapat menjawab dengan mengirim gelombang suara?"
Hoat-keng tampak melenggong ketika mendengar bisikan suara lembut serupa bunyi nyamuk itu, tapi segera ia tahu suara itu datangnya dari Su Kiam-eng, ia berpaling ke kanan dan ke kiri untk isemandang Tong Pin dan Soa Goan-hiong di sebelahnya, dengan berpaling ke kanan dan kiri itulah sebagai tanda dia dapat mendengar suara Kiam-eng.
Cukup cerdik Kiam-eng, ia tahu orang mendengar apa yang dikatakannya, kembali ia mendesis," Ya, Taisu menang tidak leluasa untuk bersuara sekarang, maka harap ditulis saja tempat tahananmu dan keadaan penjaganya, boleh kau-bawa tulisanmu esok lusa dan buang saja di tanah pada waktu engkau digusur kembali ke sana."
Hoat-keng berkedip-kedip sebagai tanda mengerti.
Dengan sendirinya Tong Pin dan Soa Goan-hiong tidak tahu terjadinya komunikasi secara diam antara Kiara eng si "Ngo liau" dengan Hoat-keng Taisu. Mereka merasa geli melihat Boh-to Siangjin hanya memandangi Hoat-keng Taisu dengan membisu, maka dengan tertawa mereka tanya," Siangjin sudah cukup memandangnya tidak? Bila sudah cukup, biarlah kami membawanya pergi."
"Baiklah, boleh kalian membawanya kembali," Boh-to berlagak menyesal.
Segera Tong Pin berdua menggiring Hoat-keng keluar rumah, Sesudah mereka pergi jauh barulah Boh-to berkata kepada Kiam eng, "Konon di antara kalian yang mahir kungfu tinggi dapat bicara dengan gelombang suara segala, adakah hal itu kau lakukan tadi dengan Hoat-keng Taisu?"
"Ya, sudah," jawab Kiam-eng." Cuma lantaran musuh berjaga di sebelahnya, Hoat-keng Taisu tidak berani menjawab, maka kuminta agar Hoat keng Taisu memberitahukan tempat tahanan dia, keadaan penjaga secara tertulis saja dan dibawa kemari hati lusa, bilamana dia dibawa ke sini lagi."
Boh-to mengangguk setuju, lalu duduk di depan meja dan mengambil sepotong medali emas, katanya," Baiklah, sekarang biar kumulai bekerja!"
Sehari suntuk, sampai magrib hanya tujuh patung medali emas itu yang dapat diselesaikan terjemahannya. Thian-ong-pangcu agak kurang puas, tapi lantaran tidak ada tanda kesengajaan Boh-to Siangjin, maka ia cuma mengomel beberapa kata saja, lalu tinggal pergi dengan membawa tujuh potong medali beserta tujuh helai naskah terjemahannya.
Dengan sendirinya yang dibawanya pergi adalah naskah terjemahan yang telah" dikerjai", yang mendapatkan barang tulen adalah Su Kiam-eng.
Esok paginya, kembali Thian-ong-pangcu datang dengan membawa tujuh potong medali emas, yang ikut datang bersamanya adalah si duta perak nomor satu dan nomor dua, lalu si padang emas Sih Hou, pedang perak Kua Eng-sing serta pedang baja Ku Taihong bertiga.
Tanpa bicara mereka menyaksikan Boh-to Siangjin menerjemahkan tuIisan Hindu kuno pada medali emas itu, tidak lama rombongan Thian-ong-pangcu itu pun pergi. Setelah jelas keenam orang itu sudah lenyap di luar taman barulah Boh-to tanya Kiam-eng dengan suara tertahan, "siapakah pengikut Thian-ong-pangcu itu?"
"Yang berdiri di sebelah kirinya adalah si duta nomor satu dan nomor dua, sedang ketiga orang yang di sebelah kanan adalah tiga pedang emas perak baja", orang-orang ini pun pernah ikut berjaga di pagoda Le-san tempo hari, semuanya adalah murid Thian-ong pangcu."
"Pagi-pagi mereka ikut datang menyaksikan cara bekerjaku, entah apa maksudnya?" kata Boh-to Siangjin.
"Mungkin tidak ada maksud tertentu," ujar Kiam-eng. "Tempo hari mereka membawa Ngo-liau palsu dan Siangjln palsu pergi ke Congkoap, bisa jadi baru kemarin mereka pulang lagi, maka pagi hari ini juga ikut kemari untuk melihat Siangjin."
"Sekian banyak begundal mereka, bilamana rombongan gurumu dapat datang kemari, mungkin juga sangat sulit untuk mengalahkan mereka," ujar Boh-to kuatir.
"Ya, memang," Kiam-eng menghela napas, "Harapan kita sekarang, rombongan guruku datang kemari dengan membawa bala bantuan yang lebih banyak."
"Apakah ada kemungkinan gurumu akan mengajak bala bantuan?" tanya Bo to.
"Ada," Kiam-ong mengangguk. "Suhu pernah menyatakan, bilamana sarang Thian-ong-pangcu sudah diketahui dengan jelas, maka beliau akan mengundang para ketua berbagai aliran dan perguruan untuk bersama-sama menghadapinya."
"Biia benar terjadi begitu barulah ada harapun akan menumpas Thian-ong pang," kata Boh-to Siangjin. "Nah, hendaknya gosok tinta ini sediklt lebih kental.
Sehari ini Boh to dapat menerjemahkan satu potong medali lebih banyak daripada kemarin, seluruhnya dia menyerahkan isi kitab delapan medali. Tampaknya Thian-Ong-pangcu mulai merasa puas dan memperlihatkan tanda suka dengan prestasi yang dicapai Boh-to ini.
Esok hari ketiga, kembali Ok-poan-koan Tong Pin dan Hek-kau-liong Soa Gan-hiong menggusur datang Hoat-keng Taisu untuk diperlihatkan kepada Boh-to Siangjin.
Karena merasa sudah cukup banyak menerjemahkan kitab pusaka yang diminta Thian-ong-pangcu, Boh-to yakin biarpun dirinya mengajak bicara Hoat-keng beberapa patah kata rasanya juga takkan menimbulkan amarah Thian ong-pangcu, maka ia coba bertanya, "Hoat-keng Taisu apakah mereka membikin susah dirimu?"
"Tidak, cukup baik keadaanku..." Jawab Hoat-keng.
Melihat terjadi tanya jawab di antara mereka, cepat Ok-poan-koan Teng Pin menyela," Eh, hendaknya Siangjin jangan melupakan perintah Pangcu kami, engkau hanya diperboIehkan memandang dan dilarang bicara, apalagi bertanya."
Boh-to tertawa, ucapnya," Kutanya keadaan memangnya kenapa? Masa Sicu sedemikian kikir?!"
Muka Tong Pin menjadi merah, katanya dengan menyengir," Ai, kami kan cuma melaksanakan tugas dan menjalankan saja untuk melarang Siangjin bicara dengan dia, bila Siangjin ingin bicara dengan dia, sebelumnya perlu minta izin kepada pangcu kami."
Boh-to Sianjin memperlihatkan rasa tidak sabar untuk banyak bicara, ia memberi tanda dan berseru. "Ya, sudahlah, boleh kalian membawanya pergi, kan sudah kupandang dia."
Segera Tong Pin dan Soa Goan-hong menggiring Hoat-keng Taisu keluar taman, Pada waktu Hoat keng putar tubuh, Boh-to dan Kiam-eng sama melihat ada secuil kain putih jatuh dari baju Hoat-keng Taisu. Hati Kiam-eng dan Boh-to sama tegang sekali, sebab meski hal itu tidak diketahui oleh Tong Pin dan Soa Goan-hiong, namun bilamana mereka menoleh sengaja atau tidak, kain putih kecil yang jatuh di lantai itu pasti akan dilihat mereka.
Untung, sejauh itu Ok-poan-koan Tong Pin serta Hek-Kay-hiong Soa Goan-hiong tidak berpaling, langsung mereka membawa Hoat-keng taisu.
Cepat Kiam-eng memburu maju dan memungut kain putih itu, ia celingukan kian kemari dan jelas tidak terlibat orang lain barulah ia masuk kamar dan merapatkan pintu.
"Apa yang tertulis di situ!" tanya Boh-to Siangjin tidak sabar.
Kiam-eng membentang kain putih itu di atas meja, ternyata yang tertulis di situ jelas adalah huruf berdarah, bunyinya.
"Aku ditahan di sebuah kamar merah di bawah tanah persis terletak di belakang ruang pendopo. Kamar itu berpintu besi, putarlah tangkai pintu lima kali ke kanan dan putar tiga kali ke kiri, dengan sendirinya pintu besi akan terbuka. Turun ke bawah dan akan tiba di ruang bawah tanah.
Ada dua kamar di sini, yang sekarang denganku ada Wi-ho Lojin dan kamar lain terkurung Ih Kih-ki.
Ruang di bawah tanah itu hanya dijaga satu orang, Hanya untuk memasuki ruang pendopo itu yang mungkin agak sulit, maka Wi-ho Lojin minta kuberitahukan kepada Siausicu agar lebih dulu berusaha mengirim kabar kepada gurumu agar cepat datang membantu, bila gurumu sudah tiba barulah turun tangan bersama. Entah bagaimana pendapat Siausucu, harap balas esok lusa."
Hampir saja Kiam eng melompat-lompat saking gembiranya, katanya, "Wah, sungguh bagus sekali!
Ternyata tepat seperti dugaanku, Wi-ho Lojin dan nona Ih memang benar terkurung di sini."
Dengan prihatin Boh-to Siangjin berkata, "Namun apa yang dikatakan Wi-losicu juga tidak salah, handaknya menunggu setibanya rombongan gurumu barulah dapat bertindak menurut gelagat."
Akan tetapi Su Kiam eng justru sangat ingin bertemu dengan Ih Keh-ki selekasnya, maka dia sangat bersemangat hendak mendahului bertindak, katanya, "Jalan dari sini menuju ke ruang pendopo itu sudah sangat apel bagiku, mungkin dapat ku selidiki keadaan di sana pada malam hari."
"Namun bila sampai jejakmu kepergok musuh, maka segala apa pun akan tamat." ujar Boh-to Siangjin. "Makanya kuharap Siausicu bersabar barang beberapa hari lagi."
Kiam eng tertawa, katanya, "Siangjin jangan kuatir, bilamana tidak ada akal bagus padaku mutlak aku tidak berani menyerempet bahaya."
Boh-to manggut-manggut dan tidak bicara lagi, ia angkat pensil dan mulai bekerja pula.
Kiam-eng menyembunyikan kain putih itu di tempat yang sukar ditemukan, ia pun mulai menggosok tinta sembari mengepalkan naskah kitab pusaka yang diterjemahkan padri tua itu.
Lewat lohor tiba-tiba Kiam-eng berkata kepada Boh-to, Siangjin bagaimana kalau hasil terjemahanmu kau kurangi satu atau dua potong?"
"Memangnya Siau sicu mempunyai rencana apa?" tanya Boh-to.
"Tidak ada rencana apa-apa," jawab Kiam-eng. "Cuma kupikir, apabila kita bertekad menunggu kedatangan rombongan guruku, maka sebisanya kita harus main ulur waktu, betul tidak?"
"Kemarin dulu dapat kuterjemahkan tujuh potong medali, kemarin delapan potong, jika hasil pekerjaanku hari ini terlampau sedikit, cara bagaimana harus kuberi alasan kepadanya?" ujar Boh to Siangjin. "Ya, bisa juga Siangjin berlagak sakit kepala, dengan demikian tentu dia takkan mengetahui!" kata Kiam-eng.
Boh to Siangjin menaruh penanya, katanya dengan tertawa, "Betul juga, kepalaku memang terasa agak pusing..."
Menjelang magrib, ketika tiba waktunya Boh-to Siangjin harus beristirahat, kembali Thian-ong- pangcu muncul pula untuk mengambil naskah terjemahan.
Ia berkerut kening ketika dilihatnya hasil terjemahan hanya lima halaman, tegurnya," Apa yang kaukerjakan hari ini, masa cuma sekian?"
Boh-to Siangjin memijat pelipis dan menjawab, "Petang hari ini kepalaku terasa pusing maka hasilnya kurang memadai."
Thian-ong-panggcu mengawasi air muka orang katanya, "Mengapa Siangjin sampai kepala pusing?" "Mungkin terlampau banyak memeras otak," sahut Boh to dengan tersenyum getir. "Sudah lama aku
tidak pernah bekerja seberat ini, rasanya lelah sekali."
"Apakah Siangjin merasa terlampau pusing?" tanya Thian ong-pangcu.
"Terlampau pusing sih tidak, cuma tidak tahan duduk terlalu lama, mendingan kalau berbaring," kata Boh-to.
"Baiklah, jika begitu silahkan istirahat sebanyaknya, sehabis bersantap malam hendaknya jangan main catur lagi melainkan lekas tidur saja."
"Ya, semoga besok dapat kuselesaikan pekerjaaku lebih banyak bagiku. Terus terang, sesungguhnya aku pun ingin lekas pulang ke Tai-hin-si"
Malamnya, setelah makan, Boh to tetap main catur dengan Kiam-eng, hanya main dua-tiga babak saja mereka lantas tidur.
Lewat tengah malam, diam-diam Kiam-eng bangun lagi, ia coba membuka kelambu tempat tidur Boh-to Siangjin, dilihatnya padri tua itu tidur dengan nyenyak, ia mengguncangkan pelahan sambil mendesis," Siangjin! Siangjin!"
Boh-to terjaga bangun, tanyanya: "Ada urusan apa?" "Tidak ada apa-apa, aku ingin keluar Iagi." bisik Kiam-eng.
Boh-to agak kuatir, "Apakah Siausicu tidak merasa terlampau bahaya?"
"Sudah lima hari kita berada di sini," kawanan penjaga yang bertugas mengawasi kita itu mungkin sudah capek juga dan mengendur, maka kuyakin perbuatanku takkan diketahui oleh mereka."
"Maksudmu hendak menyusup ke ruang bawah tanah sana untuk menemui Wi-ho Lojin dan nona Ih?" tanya Boh-to Siangjin.