Jilid 19
"Betul, beberapa tamu yang sangat hebat!" tutur Li-hun-nio-nio.
Padahal Kiam-eng cukup kenal betapa tinggi kung-fu Leng-Jing-jing, kini ada tamu yang disebutnya "sangat hebat," ini menandakan orang yang bakal menyatroni Li-hun-to-cu ini memang bukan tokoh sembarangan.
"Memangnya siapakah mereka?" tanyanya kemudian.
"Hm, sungguh memalukan, aku pun tidak tahu siapa mereka!" jawab Li-hun-nio-nio.
"Mengapa Leng-to-cu bisa bersengketa dengan tokoh yang tidak diketahui asal-usulnya?" tanya Kiam- eng pula dengan heran.
"Tidak, sama sekali tidak ada sengketa apa pun," tutur Li-hun-nio-nio. "Mereka seluruhnya bertiga orang, semuanya memakai kedok kulit manusia dan mengaku sebagai duta 'Thian-ong-pang' (klik raja langit), setiap perguruan dan aliran persilatan diminta memuja Thian-ong-pang sebagai pimpinan dan setiap tahun harus membayar upeti satu laksa tahil emas.
"Selama beberapa bulan ini ke tiga duta mereka berturut-turut sudah mengalahkan ketua Siau-lim-pai, Hoa-san-pai dan Kong-tong-pai. Beberapa hari yang lalu mereka mengirim surat dan minta aku takluk kepada mereka atau membayar upeti, sesuai kehendak mereka. Mereka menyatakan akan datang minta jawaban tegas hari ini. Hehe, memang sudah aku siapkan jawaban tegas, yaitu dengan tongkatku ini."
Kiam-eng tercengang oleh cerita itu, serunya "Wah, bisa terjadi. Setiap orang di antara ke tiga duta mereka itu memang mempunyai kemampuan mengalahkan setiap ketua perguruan dan aliran mana pun."
"Dan tidak ada orang mengenali asal-usul mereka?" Kiam-eng menegas.
"Ya, ilmu silat mereka sangat majemuk, yang sukar dibayangkan adalah cara mereka mengalahkan pimpinan setiap perguruan dan aliran, yang digunakan selalu dengan kung-fu perguruan yang dihadapinya."
Tergerak hati Kiam-eng, ucapnya, "ah, jika begitu, ke tiga duta Thian-ong-pang itu sangat mungkin adalah se komplotan dengan orang berkedok hijau itu."
"Apakah kung-fu orang berkedok hijau itu juga sangat majemuk?" tanya Li-hun-nio-nio terkesiap.
"Betul, menurut cerita Ang-pang-cu dari Kai-pang, katanya kung-fu orang itu sangat majemuk dan mahir kung-fu andalan berbagai perguruan terkemuka, begitu pula bertiga anak muridnya."
"Oya, tadi kau bilang It-sik-sin-kai hanya sanggup melawan tiga ratusan jurus terhadap si orang berkedok hijau?"
"Betul, dari itu dapat disayangkan kepandaiannya memang lebih tinggi daripada Kiam-ong Ciong-Li-cin."
"Jika begitu, bila Thian-ong-pang ada seorang Pang-cu, mungkinkah dia adalah orang berkedok hijau itu?"
"Ya, sangat mungkin," jawab Kiam-eng prihatin.
"Akan tetapi orang berkedok hijau itu kan tidak berada di Tiong-goan, masa anak buahnya berani berbuat keonaran sebesar ini?" ujar Li-hun-nio-nio.
"Jika Leng-to-cu bilang setiap orang dari ke tiga duta Thian-ong-pang itu mempunyai kemampuan mengalahkan setiap ketua perguruan dan aliran mana pun, kalau benar begitu, kenapa mereka tidak berani berbuat sekehendaknya?"
Li-hun-nio-nio mengangguk perlahan dan terdiam.
"Tentang ke tiga duta itu," ucap Kiam-eng pula dengan tersenyum, "sementara ini tidak perlu dipersoalkan apakah mereka anak buah si orang berkedok hijau atau bukan, yang jelas tanpa sebab dan tanpa alasan mereka mengganggu ketenangan Li-hun-to kalian, ini menandakan mereka sedang melakukan rencana penaklukan setiap aliran dunia persilatan secara bertahap. Urusan yang menyangkut kepentingan orang banyak seperti ini, mengapa Leng-to-cu melarangku ikut campur?"
"Kau tahu, selama berpuluh tahun tidak pernah ada orang mencari perkara ke Li-hun-to kami ini," jengek Li-hun-nio-nio. "Sekarang ke tiga keparat itu berani mengirim surat tantangan kepadaku dengan nada yang congkak, sedikit pun tidak menghargai diriku, sebab itulah aku ingin minta bantuan luar dan akan aku hadapi mereka sendirian."
"Jika demikian cara berpikir Leng-to-cu, aku kira engkau pasti akan kalah!"
Li-hun-nio-nio mendengus kurang senang, "Hm, kau anggap aku pasti bukan tandingan mereka, begitu?"
"Jika satu lawan satu, mungkin Leng-to-cu ada kesempatan akan menang. Sekarang ingin aku tanya, selain engkau sendiri, siapa lagi di antara pembantumu yang sanggup menghadapi ke dua duta Thian- ong-pang yang lain?"
"Meski tidak ada, namun sudah ada akalku untuk menumpas musuh, bilamana aku rasakan tidak sanggup bertahan, dapat juga aku halau mereka pulau ini."
"Apa akal Leng-to-cu, bolehkah aku beritahu kan padaku?" tanya Kiam-eng.
Li-hun-nio-nio mengangguk, dengan suara lirih ia tuturkan tipu akalnya yang telah disiapkan untuk menghadapi musuh.
Kiam-eng manggut-manggut, katanya, "Sekalipun akal Leng-to-cu ini cukup bagus, namun bagaimana dengan nasib para perempuan cacat yang tidak paham ilmu silat penghuni pulau ini?"
"Kemarin sudah aku pindahkan mereka ke suatu tempat yang aman," tutur Li-hun-nio-nio dengan tertawa.
"Bagus kalau begitu, cuma apabila Leng-to-cu percaya padaku, bolehlah izinkan diriku tinggal di sini untuk mengikuti apa yang bakal terjadi nanti?"
"Untuk menonton keramaian saja boleh-boleh saja, cuma ingat, dilarang ikut turun tangan!" "Baiklah, biar aku mengintip saja dari tempat tersembunyi!"
Tengah bicara, seorang pelayan datang melapor bahwa perjamuan sudah siap. Li-hun-nio-nio lantas membawa Kiam-eng ke rumah makan.
Baru masuk ruang makan, terlihatlah seorang perempuan berpakaian singkat berlari datang memberi lapor, "Lapor To-cu, ke tiga orang Thian-ong-pang sudah memasuki perairan Tong-ting-oh kita!"
"Jenis kapal apa yang mereka tumpangi?" tanya Li-hun-nio-nio dengan tenang.
"Dari merpati pos yang dikirim menara pengintai sana, katanya mereka menumpang sebuah rakit kayu," lapor perempuan tadi.
"Mereka hanya bertiga dan tidak membawa kawan lain?" tanya pula Li-hun-nio-nio.
"Ya, mereka tidak menyewa tukang perahu, juga tidak ada pembantu lain, mereka meluncurkan rakit dengan kekuatan kebasan lengan baju dan tolakan angin pukulan," tutur perempuan itu.
Air muka Li-hun-nio-nio agak berubah, "Masih beberapa jauh jarak mereka dari sini?"
"Kira-kira masih 20 li jauhnya, sedikitnya perlu setengah jam baru dapat mencapai pulau kita."
"Ehm, baiklah, nanti kalau mereka sudah mendekati pulau kita boleh datang lapor lagi, perintah Li-hun- nio-nio.
Perempuan itu mengiakan dan mundur diri.
Lalu Li-hun-nio-nio berkata kepada Su-Kiam-eng, "Mari, kita makan dulu."
Setelah mengambil tempat duduk, menyusul datang seorang perempuan buta setengah baya mengiringi mereka makan.
Dengan tertawa Li-hun-nio-nio tanya Su-Kiam-eng, "Apakah Su-siau-hiap masih kenal kawanan kami ini?"
Kiam-eng memandang sikap perempuan buta setengah baya itu, jawabnya sambil menggeleng "Maaf, tempo hari waktu aku datang ke pulau ini, rasanya belum bertemu dengan Toa-nio ini ... " "Dia bukan lain daripada Ciok-Biau-eng, Ciok-hou-hoat yang dahulu menyaru sebagai diriku itu," tutur Li- hun-nio-nio dengan tertawa.
Kiranya dahulu waktu Kiam-eng berjumpa dengan Ciok-Biau-eng, saat itu dia dalam keadaan menyaru sebagai Li-hun-nio-nio, maka wajah aslinya tidak dikenal.
Kiam-eng berseru kaget dan berbangkit memberi hormat, katanya, "Ahh, kiranya Ciok-hou-hoat adanya. Maaf bila aku kurang hormat karena sudah pangling!"
Ciok-Biau-eng membalas hormat dan menjawab, "Su-siau-hiap jangan sungkan."
Setelah duduk kembali, Kiam-eng coba tanya, "Dahulu cara bagaimana Ciok-hou-hoat melepaskan diri dari recokan Kui-kok-ji-bu-siang?"
"Sungguh lucu kalau aku ceritakan," tutur Ciok-Biau-eng tertawa. "Meski ke dua setan itu memaksa aku membawa mereka untuk mencari Sai-hoa-to, namun mereka berdua pada dasarnya memang pemalas, baru menempuh perjalanan sehari semalam mereka sudah menguap dan berkedok kantuk, katanya ingin tidur. Kesempatan itu segera aku gunakan untuk minta istirahat dulu.
"Setelah kami berhenti di suatu tempat sepi, mereka berunding dan sepakat yang seorang tidur dan yang lain menjaga diriku. Yang tidur lebih dulu adalah si setan kayu. Akan tetapi ketika si setan lempung melihat aku tidur dengan nyenyak, ia sendiri pun tidak tahan dan akhirnya terpulas juga"
"Dan kesempatan itu lantas digunakan Ciok-hou-hoat untuk meninggalkan mereka?" ucap Kiam-eng dengan tertawa.
"Memang betul. Coba, lucu atau tidak?" kata Ciok-Biau-eng.
Li-hun-nio-nio mengajak angkat cawan, katanya, "Marilah kita makan sembari bicara!"
Setelah makan minum cukup kenyang, perempuan semula datang melapor lagi "Te-cu jarak mereka dengan pulau kita tinggal tiga-empat li saja."
"Baik, lakukan menurut rencana," kata Li-hun-nio-nio. "Tunggu setelah mereka mendarat segera berusaha menyabot rakit mereka."
Setelah perempuan baju singsat itu pergi, Li-hun-nio-nio lantas berkata kepada Ciok-Biau-eng, "Apakah semuanya sudah siap?"
"Sudah, begitu tanda bahaya digunakan, segalanya lantas mulai bergerak," jawab Ciok-Biau-eng. "Jika begitu, saat ini boleh mulai membunyikan genta tanda bahaya!" perintah Li-hun-nio-nio.
Ciok-Biau-eng mengiakan dan segera meninggalkan meja makan. Ia berdiri di depan pintu sama dan memberi tanda. Dalam waktu singkat terdengarlah bunyi genta yang riuh nyaring.
"Setelah bunyi genta, diperlukan berapa lama baru seluruhnya dapat dipindahkan?" tanya Kiam-eng. "Tidak lama, dalam waktu setanakan nasi saja sudah selesai."
"Mungkinkah tempat sembunyi kalian akan diketahui ke tiga orang musuh itu?"
"Tidak, mereka datang dari depan pulau dan kami turun melalui pintu belakang," tutur Li-hun-nio-nio.
Sampai di sini, segera ia pun meninggalkan meja makan dan berkata, "Mari, biar aku tunjukkan suatu tempat sembunyi bagimu."
Ia bawa Kiam-eng ke luar dari ruang makan dan menuju ke bawah sebatang pohon beringin yang rindang, ucapnya sambil mendongak, "Boleh kau panjat ke atas pohon ini, dari atas tentu dapat kau ikuti segala kejadian di bawah. Cuma ingat, engkau dilarang ikut campur tangan. Bila melihat kami kabur, sebaiknya kau pun ikut lari saja."
"Baiklah," Kiam-eng mengangguk. Biar aku saksikan pertarungan yang menarik. Cuma, bila salah seorang di antaranya dapat dirobohkan Leng-to-cu, tentunya aku boleh muncul untuk membantu Leng- to-cu membereskan dua orang lain, boleh?" Li-hun-nio-nio berpikir sejenak, katanya kemudian, "Baiklah, boleh juga. Saat ini mungkin mereka sudah mendarat. Silakan Su-siau-hiap memanjat pohon."
Kiam-eng mengiakan dan melompat ke atas pohon beringin tua itu. Pada saat itu perempuan berbaju singsat tadi tampak memimpin tiga orang berlari dari jauh dan melapor kepada Li-hun-nio-nio, "Lapor Te-cu, mereka sudah tiba!"
Li-hun-nio-nio menyatakan tahu, bersama Ciok-Biau-eng segera mereka menuju ke lapangan sana.
Kiam-eng menyingkap ranting pohon yang rimbun itu dan mengintai jauh ke sana. Terlihat segenap orang perempuan di pulau kecil ini sudah lenyap tanpa bekas. Diam-diam ia kagum atas disiplin yang ditanamkan Li-hun-nio-nio terhadap anak buahnya. Diam-diam ia pikir bila hari ini tidak terjadi sesuatu di luar perhitungan, nasib ke tiga orang Thian-ong-pang itu pasti akan mati konyol di sini.
Tengah pikir, ke tiga duta Thian-ong-pang sudah memasuki lapangan.
Berbareng Li-hun-nio-nio dan Ciok-Biau-eng juga muncul di lapangan itu. Ke dua pihak berhadapan dalam jarak belasan meter, lalu kedua pihak sama memandang dengan diam.
Ke tiga orang yang pernah mengalahkan ketua Siau-lim-pai dan ke tiga perguruan besar lain, semuanya memakai penutup muka yang tipis serupa kulit manusia, sebab itulah air muka mereka kaku dan dingin, yang lebih membingungkan orang adalah perawakan mereka, bajunya dan gerak-geriknya juga sama sehingga sepintas pandang mereka seperti saudara kembar tiga dan sukar dibedakan satu sama lain.
Kedok yang mereka pakai itu sangat tipis, sebab itulah sedikit banyak perubahan air muka mereka masih dapat terlihat, yang menghias wajah mereka sekarang agaknya semacam senyuman ejek mereka sama memandangi Li-hun-nio-nio dengan tenang setelah sekian lama seorang di antaranya baru berucap, "Leng-Jing-jing, kami sudah menyampaikan surat peringatan tentu sudah kau terima bukan?"
"Ya, sudah aku terima!" jengek Li-hun-nio-nio.
"Lalu, bagaimana keputusanmu?" tanya pula orang itu. "Apakah kamu akan takluk kepada Thian-ong- pang kami atau setiap tahun mau setor upeti satu laksa tahil emas sebagai biaya perlindungan?"
"Sebelum aku jawab, ingin aku minta sedikit penjelasan," ucap Li-hun-nio-nio. "Penjelasan apa kau minta?"
"Ingin aku ketahui yang berbicara denganku sekarang ini beberapa kutu busuk macam apa?" jengek Li- hun-nio-nio.
"Hehe, meski ucapanmu ini agak kurang sopan, namun tetap akan aku beri penjelasan. Aku ini duta dan yang nomor satu dari Thian-ong-pang. Kawan di sebelah kiriku adalah duta nomor dua dan yang di sebelah kanan adalah duta nomor tiga."
"Selain itu, aku ingin tahu pula Thian-ong-pang itu barang macam apa lagi?" tanya Li-hun-nio-nio.
Si orang yang mengaku sebagai duta nomor satu itu hanya mendengus sekali, namun tetap memberi jawaban, "Thian-ong-pang kami adalah sebuah organisasi yang baru berdiri belum lama ini, tujuannya ingin mempersatukan dunia persilatan dan melaksanakan keadilan bagi sesamanya."
"Pang-cu kalian orang macam apa?" tanya Li-hun-nio-nio.
"Tentang ini, biarlah nanti kalau Leng-to-cu sudah bergabung dengan Pang kami batu aku beri tahu."
"Tidak, biarpun mataku buta, namun hatiku tidak buta. Sebelum aku tahu jelas orang macam apa Pang- cu kalian, bila aku takluk begitu saja dengan ngawur, apakah aku takkan ditertawakan orang?"
"Leng-to-cu tidak perlu kuatir akan hal ini. Saat ini setiap orang persilatan sama tahu ketua Siau-lim-pai dan sebagainya telah kami kalahkan, berdasarkan perhitungan apa yang terjadi ini, tentu dapat kau bayangkan betapa tinggi kemampuan Pang-cu kami. Maka Leng-to-cu boleh bergabung saja dengan Pang kami dan tidak perlu kuatir ditertawakan orang."
"Tidak," jawab Li-hun-nio-nio tegas, "Untuk bergabung juga tidak sulit, syaratku juga ringan, asal saja Pang-cu kalian mau mencucikan kakiku segera aku berjanji akan bergabung dengan Pang kalian." Tentu saja duta nomor satu itu sangat marah, bentaknya, "Dasar tua bangka buta, bicara sekian lama ternyata kamu tidak ada niat baik. Apakah kami sudah bosan hidup, ya?"
"Ya, cuma kalian mungkin tidak mampu membinasakan diriku."
Sinar mata si duta nomor satu berkilat tajam, ia terkekeh dan berkata, "Hehe, biar aku katakan padamu, bukan saja aku mampu membinasakan bahkan hari ini kami akan membual ludes Li-hun-nio-nio kalian ini tanpa tertinggal satu nyawa pun."
"Huh, jika begitu, apalagi yang kalian tunggu jengek Li-hun-nio-nio sambil melintangkan tongkatnya."
"Hehe, Leng-Jing-jing, jangan kau kira kamu sangat cerdik. Ketahuilah bahwa kami sudah tahu akal busukmu, lebih baik kamu menyerah saja secara baik-baik"
Air muka Li-hun-nio-nio agak berubah jengeknya, "Hm, tampaknya kamu seperti seorang ahli nujum yang dapat meramal apa yang belum terjadi. Boleh juga coba kau katakan, akal apa yang telah aku siapkan untuk menghadapi kalian?"
"Hehe, kalian telah siap membakar Li-hun-to ini agar kami terkurung mati di pulau ini, benar tidak?" jengek si duta nomor satu.
Tergetar hati Li-hun-nio-nio. Namun sedapatnya ia berlagak tenang, jawabnya, "Haha, itu memang gagasan yang baik. Cuma sayang, betapa pun aku harus memikirkan kepentingan ribuan orang perempuan cacat di pulau ini, kalau tidak akal yang kau katakan itu memang boleh juga dicoba."
"Huh, tidak perlu kau putar lidah untuk menutupi akal busukmu itu. Sebelumnya kamu sudah menyingkirkan kawanan perempuan yang tidak paham ilmu silat itu dan cuma tertinggal ratusan orang perempuan yang mahir ilmu silat. Pula saat mereka pun sedang diungsikan dengan perahu melalui belakang pulau ini. Akal yang telah kamu atur adalah, pertama, bilamana kami bertiga sudah mendarat, lalu rakit kami akan melemparkan Mo-yan-tan dan kabur menumpang kapal yang terakhir. Pada waktu itu anak buahmu akan melepaskan panah berapi dari atas kapal agar segenap pepohonan dan bangunan di pulau ini terbakar hidup-hidup di sini. Betul tidak?"
Pucat pasi air muka Li-hun-nio-nio, sama sekali tak tersangka olehnya bahwa pihak lawan ternyata sudah dapat menyelidiki dan jelas akan rencananya, dan kalau pihak lawan sudah tahu dia bakal membakar Li- hun-to dan tetap berani datang menantangnya, ini menandakan sebelumnya mereka sudah siap dengan cara perlawanan yang baik, juga menandakan rencana yang telah diaturnya pasti akan gagal total.
Seketika butiran keringat dingin memenuhi kening Li-hun-to-cu Leng-Jing-jing.
Diam-diam Su-Kiam-eng yang mengintip di tempat sembunyinya juga terkejut. Ia menyadari setelah keadaan berkembang sedemikian rupa, jelas perangkap yang telah diatur Li-hun-nio-nio itu telah gagal total. Sekarang selain bertempur mati-matian jelas tidak ada jalan lain. Sebab itulah ia bertekad akan turun tangan membantu Li-hun-nio-nio.
Segera Kiam-eng mengeluarkan salep anti gas Kau-hun-tan buatan Sai-hoa-to itu dan dipolesnya di dekat lubang hidung. Kau-hun-tan pun disiapkan di tangan setiap saat akan dilemparkannya.
Pada saat itu si duta nomor satu sedang terbahak-bahak gembira ketika dilihatnya sikap Li-hun-nio-nio yang agak gugup itu, jengeknya, "Hah, Leng-Jing-jing, sekarang biar aku perlihatkan lagi sesuatu benda kepadamu!"
Sembari bicara ia angkat tangan dan memberi tanda, serentak tiga sosok bayangan orang tampak melayang tiba dari ujung lapangan sana secepat terbang.
Sesudah dekat, terlihat usia ke tiga orang ini rata-rata sudah 50-an, semuanya berdandan sebagai kaum nelayan. Akan tetapi pada tangan mereka masing-masing sekarang sama menjinjing empat buah kepala orang perempuan dengan darah masih menetes. Tiga orang membawa 12 buah kepala sungguh mengerikan bagi yang melihatnya.
Meski Li-hun-nio-nio dan Ciok-Biau-eng adalah orang buta, namun dapat mereka dengar ke tiga orang musuh sudah sampai di lapangan itu dan terendus juga bau anyir darah keruan air muka mereka sama berubah pucat, sebab mereka tahu tentu sebagian anak buahnya telah dibunuh pihak lawan.
Begitulah setelah ke tiga orang kakek berdandan sebagai nelayan itu berada di tengah lapangan segera mereka melemparkan ke-12 buah kepala perempuan itu ke tanah.
Si duta nomor satu lantas terbahak-bahak, katanya, "Nah, Leng-Jing-jing ke-12 buah kepala ini adalah tukang perahu kalian. Mereka sudah siap membawa pergi ke-12 buah perahu dengan ratusan anak buahmu. Maka lebih dulu telah aku kirim orang untuk memenggal kepala mereka."
Sungguh kejut sekali Li-hun-nio-nio dan juga sangat murka. Kulit mukanya berkerut-kerut menahan gejolak perasaannya, ke dua matanya yang buta itu seakan-akan hendak menyemburkan api. Gigi pun gemertak. Sampai agak lama barulah tercetus dengusan pedih, "Bagus, hari ini kalau bukan aku yang gugur biarlah kalian yang harus mampus!"
Sembari bicara segera ia putar tongkatnya dan menerjang maju, dengan dahsyat tongkatnya terus menyabet.
Kung-fu Leng-Jing-jing memang tidak di bawah setiap ketua perguruan besar, sekarang ia menyerang dengan murka, tentu saja daya serangnya lihai luar biasa bagai gugur gunung dahsyatnya.
Namun si duta nomor satu ternyata tidak gentar sedikit pun. Begitu melihat tongkat lawan menyerang tiba, bukannya mundur ia berbalik melangkah maju, ketika tongkat hampir menyambar tubuhnya, sekonyong-konyong ia meloncat ke atas, pada saat menghindari tongkat itulah berbareng ke dua kakinya menendang secara beruntun mengarah dada lawan.
Serangan demikian bagi lawan yang sama kuat boleh dikatakan cuma untuk bertahan saja, meski juga sedikit menyerempet bahaya. Namun bagi Li-hun-nio-nio yang buta, cara si duta nomor satu ini lebih memperlihatkan keculasannya.
Akan tetapi, biarpun mata Li-hun-nio-nio tidak dapat memandang, namun kemahirannya mendengarkan sambaran angin dan membedakan arah serangan justru satu tingkat lebih tinggi daripada orang lain.
Begitu mendengar suara angin segera ia tahu si duta nomor satu telah meloncat ke udara, juga tahu pihak lawan sedang menendangnya secara berantai.
Sebab itulah ia sengaja setengah berjongkok ke bawah, tangan kiri terus terangkat ke atas melancarkan suatu pukulan keras.
Di tengah gelak tertawa si duta nomor satu, tubuhnya yang mengapung itu mendadak berjumpalitan ke samping sehingga beberapa meter jauhnya. Ketika kaki menyentuh tanah secepat kilat ia putar tubuh dan juga melancarkan pukulan dahsyat dari jauh.
Begitulah ke dua orang itu saling serang dengan cepat dan ketat.
Pada saat itu pula si duta nomor dua juga telah menerjang maju ke arah Ciok Biau-eng, katanya dengan terkekeh, "Hehe, Ciok Biau-eng, supaya kamu tidak menganggur, sambutlah seranganku ini!"
Sembari bicara sebelah tangannya lantas menghantam muka Ciok-Biau-eng.
Cepat Ciok-Biau-eng mengegos sambil melolos pedang, menyusul pedangnya lantas menebas. Serangan cepat dan ganas, menandakan akan bertempur mati-matian.
Duta nomor dua itu mendengus, ia mengelak menyusul sebelah kakinya mendepak bagian bawah Ciok- Biau-eng.
Begitulah terjadi pertarungan sengit seperti partai antara Li-hun-nio-nio melawan si duta nomor satu.
Akan tetapi setelah mengikuti pertempuran itu sejenak, segera Kiam-eng tahu Ciok-Biau-eng pasti bukan tandingan si duta nomor dua. Sedangkan Li-hun-nio-nio, meski untuk sementara dapat mengimbangi si duta nomor satu, namun melihat gelagatnya juga takkan tahan lama. Hal ini sangat mengejutkan Kiam- eng.
Ia pernah menyaksikan betapa tinggi kepandaian si pedang emas Sih-Hou bertiga, sekarang merasa ke tiga duta Thian-ong-pang ini ternyata lebih lihai daripada Sih-Hou bertiga.
Berdasarkan apa yang terlihat ini, ia pikir andaikan dirinya ikut terjun menghadapi si duta nomor tiga juga sukar memperbaiki posisi Li-hun-nio-nio yang bakal kalah itu. Sebab itulah ia mengambil keputusan akan melemparkan dulu sebuah Kau-hun-tan buatan Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho itu.
Pada saat dia sudah hampir melemparkan granat berbau obat bau itu, tiba-tiba terlihat langkah Ciok- biau-eng agak sempoyongan dan menyurut mundur dua-tiga langkah, sebaliknya si duta nomor dua terus mendesak maju, secepat kilat ia sambar ke dua kaki Ciok-Biau-eng terus diangkat ke atas.
Keruan Kiam-eng terkejut, cepat ia lemparkan Kau-hun-tan. "Blangg!"
Segera terdengar jeritan pula, suara ledakan Kau-hun-tan dan jeritan ngeri Ciok-Biau-eng timbul bersama. Seluruh lapangan itu pun berubah menjadi lautan asap kuning tebal yang bergulung-gulung.
Dalam sekejap itu pertempuran dahsyat tadi pun terhenti, suasana menjadi sunyi senyap tanpa terdengar apa pun.
Diam-diam Kiam-eng bergirang, ia tahu ke tiga duta itu pasti tidak tahu bahwa yang diledakkan itu berasap yang dapat membuat orang pingsan. Sebab itulah kemungkinan mereka akan pingsan sangat besar, dan asalkan salah seorang di antara mereka jatuh pingsan tentu sulit lagi untuk dikorek keterangannya mengenai organisasi Thian-ong-pang.
Keadaan masih sunyi senyap, asap kuning tebal lambat-laun mulai buyar. Tidak lama kemudian keadaan di lapangan itu samar-samar sudah mulai kelihatan.
Akan tetapi yang segera terlihat menggeletak di lapangan itu justru adalah Li-hun-nio-nio, Ciok-Biau-eng dan ke tiga kakek yang berdandan sebagai nelayan tadi. Sebaliknya ke tiga duta Thian-ong-pang yang lihai itu sudah lenyap tanpa bekas.
Sedangkan Ciok-Biau-eng yang terlihat itu sungguh keadaannya yang membuat orang ngeri dan tidak sampai hati untuk memandangnya lagi.
Tubuh perempuan buta itu sudah dirobek menjadi dua bagian oleh si duta nomor dua sehingga semua isi perutnya berhamburan di tanah dengan darah muncrat ke mana-mana.
Hanya tertegun sejenak, segera Kiam-eng meloncat turun, memburu ke samping Li-hun-nio-nio, ia poles sedikit salep di lubang hidung orang, mengamati sekitarnya dan tetap tidak tertampak bayangan ke tiga duta Thian-ong-pang itu.
Diam-diam Kiam-eng merasa heran, pikirnya, "Sungguh aneh, Kau-hun-tan buatan Sai-hoa-to yang khas ini hanya pernah digunakan satu kali di Tiong-goan, mengapa ke tiga duta Thian-ong-pang ini sudah tahu cara mengamankan diri dengan menahan napas supaya tidak jatuh pingsan?"
Dan lantas terpikir pula olehnya, "Wah, celaka. Jika mereka sudah tahu cara melawan granat berbisa ini, tentu mereka tidak kabur meninggalkan Li-hun-to, sebentar bila asap kuning sudah buyar bersih, tentu mereka akan datang lagi ..."
Terpikir demikian, cepat ia mengangkat Li-hun-nio-nio yang pingsan itu. Akan tetapi pada saat itu juga Li-hun-nio-nio sudah mulai siuman.
Melihat kelopak mata Leng-Jing-jing mulai bergerak, cepat Kiam-eng berbisik dan bertanya, "Leng-to-cu, engkau tidak apa-apa bukan?"
Li-hun-nio-nio terdiam sejenak, agaknya sedang mengingat-ingat apa yang terjadi lalu ia memberosot turun dari pondongan Su-Kiam-eng dan bertanya. "Apakah yang terjadi tadi?"
"Aku melemparkan sebuah Kau-hun-tan!" tutur Su-Kiam-eng. "Dari mana kau dapatkan benda seperti itu?" tanya Li-hun-nio-nio.
"Aku dapatkan dari Sai-hoa-to ketika dia binasa di kota emas sana," kata Kiam-eng.
"Kau-hun-tan ini ternyata sangat lihai, semula aku kira Ciok-hou-hoat yang melemparkannya maka tidak aku perhatikan, siapa tahu ketika aku rasakan baunya tidak sama dengan granat berasap buatanku namun sudah nasip ... Eh, di manakah ke tiga duta keparat itu?"
Kiam-eng menjawab dengan kuatir, "Sudah kabur. Mungkin mereka sudah kenal Kau-hun-tan maka begitu melihat yang meledak berasap kuning segera mereka menahan napas dan berhasil lari." "Dan bagaimana dengan Ciok-hou-hoat?" tanya pula Li-hun-nio-nio.
Kiam-eng terdiam sejenak, akhirnya menjawab, "Dia sudah ... sudah meninggal!"
Tergetar tubuh Li-hun-nio-nio, ucapnya dengan pedih, "Apabila lebih cepat aku lemparkan Yan-mo-tan tentu dia takkan mati secepat ini ... "
"Ya, betul mengapa Leng-to-cu tadi tidak mau melemparkan Yan-mo-tan?" tanya Kiam-eng.
Soalnya ingin aku biarkan kau lihat jelas asal-usul kung-fu mereka," ujar Li-hun-nio-nio dengan sedih. "Dan bagaimana, sudah kau kenali gaya kung-fu mereka?"
"Tidak," jawab Kiam-eng dengan malu. "Pada waktu si duta nomor satu bergebrak dengan Leng-to-cu, semula dia menggunakan tendangan berantai gaya kung-fu Siau-lim-pai, kemudian dia menggunakan ilmu pukulan Pat-kwa-ciang dari Bu-tong-pai, berulang ia ganti kung-fu dari perguruan yang berbeda- beda."
Setelah berhenti sejenak, lalu ia sambung pula, "Untung kita sudah berhasil menangkap tiga anak buahnya, aku pikir kita dapat mengorek keterangan dari mereka."
Terbangkit semangat Li-hun-nio-nio, katanya "Oo, ke tiga orang yang datang kemudian itu dapat kau robohkan dengan asap Kau-hun-tan?"
"Betul," jawab Kiam-eng. "Ke tiga duta keparat itu sangat mungkin akan datang lagi, marilah lekas kita membawa pergi ke tiga orang tawanan ini."
Segera ia menuju ke sana dan memanggul dua orang kakek yang berdandan sebagai nelayan itu.
Li-hun-nio-nio juga memanggul seorang lagi lalu mendahului melangkah dan berkata, "Silakan Su-siau- hiap ikut padaku."
Meski matanya buta, namun keadaan di atas pulau baginya serupa dia apal terhadap jarinya sendiri. Dengan langkah cepat ia membawa Kiam-eng meninggalkan lapangan itu dan masuk ke kamar tidurnya, ia pencet alat rahasia sehingga terbuka sebuah pintu rahasia, dengan menunduk ia mendahului menerobos ke dalam.
Di dalam pintu rahasia itu adalah sebuah jalan, di bawah tanah yang menurun miring ke bawah. Ia memberi petunjuk kepada Kiam-eng agar merapatkan lagi pintu rahasia. Lalu mendahului lagi menerobos lorong bawah tanah itu.
Sembari mengintil di belakang orang Kiam-eng bertanya, "Lorong bawah tanah ini menembus ke mana?" "Menembus ke tepi danau," tutur Li-hun-nio-nio.
"Apakah Leng-to-cu bermaksud meninggalkan pulau ini sekarang juga?"
"Tidak, di bagian tengah lorong bawah tanah adalah sebuah kamar biarlah kita istirahat dulu di kamar itu."
Lorong itu lurus ke depan, cuma gelap gulita, jari sendiri pun tidak kelihatan, kira-kira 200 langkah, tiba- tiba ada cahaya api di depan sana. Kiranya mereka sudah sampai di kamar yang dituju.
Kamar di bawah tanah ini luasnya kurang lebih lima meter persegi, sekelilingnya adalah dinding batu, ada sebuah pintu besi yang menghadap lorong, bagian atap kamar terbingkai satu biji mutiara besar yang memancarkan cahaya gemerlapan untuk menerangi kamar itu.
Li-hun-nio-nio melemparkan si kakek yang dipanggulnya, lalu berkata, "Su-siau-hiap, bagaimana bentuk ke tiga orang ini?"
Kiam-eng juga melemparkan ke dua orang yang dipanggulnya dan menjawab. "Mereka berdandan sebagai kaum nelayan, usianya rata-rata 50-an."
"Di danau Tong-ting ini ada banyak kaum nelayan, pantas anak buahku dapat dikelabui mereka," ucap Li-hun-nio-nio gegetun. "Ai, aku kira ratusan anak buahku itu mungkin sudah terbunuh semua oleh ke tiga orang ini." Kiam-eng coba menutuk hiat-to kelumpuhan salah seorang kakek itu lalu ia tanya Leng-Jing-jing, "Apakah Leng-to-cu ingin menyadarkan mereka untuk ditanyai?"
"Ya, di sini cukup aman," Li-hun-nio-nio mengangguk. "Aku kira ke tiga duta keparat itu takkan menemukan tempat ini."
Kiam-eng lantas mengeluarkan salep dan memoles sedikit di lubang hidung mereka, sejenak kemudian ke tiga kakek itu mulai siuman.
"Su-siau-hiap, bagaimana kalau aku yang memeriksa ke tiga orang ini?" tanya Li-hun-nio-nio.
Kiam-eng tahu dirinya tidak sampai hati untuk memeriksa tawanan secara kejam, bila Leng-Jing-jing yang memeriksa mungkin akan lebih besar hasilnya, maka ia mengangguk dan berkata, "Baik, silakan Leng-to-cu!"
Li-hun-nio-nio lantas menyeret ke dua kakek itu ke kaki dinding sana dan membiarkan mereka duduk bersandar, lalu ia cengkeram salah seorang kakek itu dan di tekan ke dinding sembari bertanya dengan muka bengis, "Nah, kawan, coba beritahukan dulu namamu."
Kakek itu memejamkan mata tanpa menjawab rupanya ia sudah siap menerima segala akibat daripada tutup mulutnya itu sekalipun harus mengalami siksaan.
Li-hun-nio-nio mengguncang tubuh orang dengan kuat sambil membentak, "Kamu dengar tidak? Lekas bicara!"
Timbul senyum ejek pada wajah kakek itu, jawabnya, "Huh, mau bunuh atau mau cincang boleh terserah padamu, kenapa mesti banyak omong!"
Li-hun-nio-nio mendengus, "Hm, apakah betul ucapanmu?"
"Kalau aku sampai mengernyitkan kening sedikit saja aku bukan lagi orang Thian-ong-pang," ucap kakek itu.
"Bagus!" dengus Li-hun-nio-nio, lalu ia tanya Kiam-eng, "Su-siau-hiap, adakah kau bawa belati, coba aku pinjam."
Kiam-eng meloloskan belatinya dan diberikan kepada Leng-Jing-jing.
Setelah menerima belati, Li-hun-nio-nio lantas menarik tangan kiri si kakek, mendadak belati itu ditubleskan pada telapak tangan orang sehingga terpantek di dinding.
Habis itu ia pun mengeluarkan belatinya sendiri, sebelah tangan si kakek yang lain juga dipaku di dinding. Dengan begitu kakek itu terpantek tegak di kaki dinding.
"Apakah benar dia tidak mengernyitkan kening?" tanya Li-hun-nio-nio kepada Su-Kiam-eng.
"Masa tidak, dia tidak menemui syarat untuk mengaku sebagai jagoan Thian-ong-pang," kata Kiam-eng dengan tertawa.
"Jika begitu, coba pinjam lagi pedangmu," ucap Li-hun-nio-nio.
Kiam-eng mengangsurkan pedangnya, diam-diam ia pun merasa ngeri, katanya. "Coba Leng-to-cu tanyai dia lebih dahulu, bilamana dia menjawab ..."
"Tidak, aku tidak ingin buang-buang waktu," potong Li-hun-nio-nio setelah menerima pedang, perlahan ia berputar, ujung pedang menusuk ke ulu hati si kakek.
Hiat-to kelumpuhan kakek itu tertutuk sehingga sekujur badan tak bisa berkutik, namun mulut bisa bicara. Ketika ujung pedang kelihatan hampir ambles ke dalam perutnya, saking takutnya mukanya menjadi pucat dan ia berteriak dengan suara gemetar, "Kau ... kau ingin tahu soal apa!"
Li-hun-nio-nio tidak menjawab melainkan menubleskan pedang ke ulu hati orang dengan perlahan pula membedah ke bawah.
Gerakan cepat menebas takkan membuat sakit korbannya, sebaliknya membedah secara perlahan justru membuat korbannya kesakitan setengah mati. Dan saat ini yang dirasakan si kakek tidak cuma sakit, tapi ketika lubang bedah pada perutnya mulai melebar, isi perut pun kelihatan dengan jelas dan darah pun mengucur tentu saja merasa ngeri menghadapi rengutan maut demikian.
Sebab itulah sekujur badannya mulai gemetar ketika pedang membedah sampai bagian pusar, ia menjerit ngeri matanya melengking serupa pekik setan dan membuat orang merinding.
Namun Li-hun-nio-nio seperti tidak mau tahu dan dengar, ia tancapkan pedang di lantai lalu mencabut ke dua belati yang memantek kedua tangan si kakek, akhirnya si kakek yang sudah lunglai itu diseret ke sebelah sana.
Kakek itu belum lagi mati hanya sekarat saja mulut masih mengeluarkan suara raungan seram. Berkerenyit kening Su-Kiam-eng, katanya, "Leng-to-cu, bagaimana kalau menghabisi dia saja?"
"Tidak, biarkan anak buahku yang menjadi korban keganasannya mendengar suara jeritannya ini," kata Li-hun-nio-nio tegas.
Habis itu ia seret lagi seorang kakek yang lain ke dekat kaki dinding.
Kakek yang segera akan mengikuti nasib serupa kawannya itu tentu saja ketakutan setengah mati setelah menyaksikan apa yang menimpa kawannya itu. Maka baru saja Li-hun-nio-nio menarik sebelah tangannya, langsung ia sudah mendahului berteriak minta ampun, "Nanti dulu! Aku akan bicara aku minta ampun, akan aku beritahukan apa pun yang Leng-to-cu ingin tahu!"
"Jika begitu, ayo lekas bicara!" bentak Li-hun-nio-nio.
Kakek ke dua itu seperti menemukan kembali nyawanya, ia menghela napas lega, lalu berkata "Apa ... apa yang Leng-to-cu ingin tahu dariku?"
"Katakan dulu siapa namamu?"
"Ya, ya, aku she Ban bernama Hai-to dan berjuluk Bu-sim-kek (si tamu tak berhati) ... " tutur kakek itu. "Dan siapa dia?" tanya Li-hun-nio-nio sambil menunjuk kakek yang perutnya terobek itu.
"Dia bernama Pian-si-jiu (si tukang merangket mayat) Pui-Piu dan seorang lagi bernama Tok-coa (ular berbisa) Tang-Jian-ciok," tutur si kakek yang mengaku bernama Ban-Hai-to.
"Jadi ratusan anak buahku itu telah kalian bunuh seluruhnya?" tanya pula Leng-Jing-jing.
Mulut Ban-Hai-to bergerak dengan tergegap, "Kami ... kami hanya melaksanakan tugas atas ... atas perintah saja, padahal ... padahal ..."
"Baik, sekarang pertanyaan ke dua, Pang-cu Thian-ong-pang kalian itu orang macam apa?" "Wah, ini sama sekali tidak kami ketahui," jawab Ban-Hai-to dengan bingung.
Li-hun-nio-nio mengangguk dan tidak tanya lagi, ia tarik tangan kiri orang dan ditempelkan di dinding, belatinya terus menusuk.
Seketika si kakek ke dua menjerit seperti bahu hendak disembelih, teriaknya, "Sungguh, kami memang tidak tahu siapa Pang-cu kami. Kami hanya tiga orang bawahan saja, sama sekali tidak tahu ... aduh ... "
Begitulah Li-hun-nio-nio tidak peduli penjelasan orang, kembali ia tarik tangan kanan dan membuka baju dada orang, lalu cabut pedang yang menancap di lantai itu, dengan cara yang sama perlahan ia mulai membedah perutnya.
Seketika butiran keringat dingin menghias Ban-Hai-to, teriaknya kuatir "Ampun, Leng-to-cu! Sungguh aku tidak tahu siapa Pang-cu kami. Di rumahku masih ada ibu yang sudah tua renta berumur 80 tahun
... aduhh ... "
Saking takutnya, baru saja ujung pedang Li-hun-nio-nio menyentuh dadanya, kontan ia menjerit dan jatuh pingsan.
Li-hun-nio-nio tidak mau membedah korban dalam keadaan pingsan, ia tarik kembali pedangnya dan mengeluarkan sepotong handuk kecil diberikan kepada Su-Kiam-eng, katanya, "Su-siau-hiap, di lorong bawah tanah sana ada genangan air harap bantu membasahi handuk ini dengan air.
Kiam-eng tidak dapat menolak permintaan orang, ia terima handuk itu dan masuk lagi ke lorong di bawah tanah sana untuk membasahi handuk, lalu diserahkan kepada Li-hun-nio-nio dan berkata, "Jika Leng-to-cu tidak ingin menanyai dia kenapa tidak membunuh dia saja daripada ..."
"Hm, jika membunuh ia begitu saja, kan anak buahku yang menjadi korban keganasannya itu penasaran?" jengek Leng-Jing-jing.
Sembari bicara ia bentang handuk basah itu untuk menutup muka Ban-Hai-to, lalu melangkah mundur dan menunggu dengan tenang.
Tidak lama kemudian terdengar suara rintihan perlahan Ban-Hai-to, perlahan dia mulai siuman.
Segera Li-hun-nio-nio membuka handuk yang menutupi muka orang, ia angkat pedang lagi dan menusuk pula ulu hati Ban-Hai-to, perlahan dibedahnya ke bawah, di mana ujung pedang berlalu, dengan persis hanya kulit perut saja yang robek tanpa melukai isi perut.
Dengan badan gemetar Ban-Hai-to merintih dan juga memaki. "Leng-Jing-jing, kamu tua bangka busuk, jika kamu masih punya perasaan manusia, seharusnya sekali tusuk kau bunuh diriku saja!"
"Huh, kalau aku ada perasaan manusia tentu aku tidak berjuluk Li-hun-nio-nio," jengek Leng-Jing-jing.
Dan ketika ujung pedang membedah sampai bawah perut akhirnya usus besar dan kecil sama membrojol keluar bersama darah segar.
Ke dua mata Ban-Hai-to terbelalak hingga serupa biji gundu, setelah menatap tajam Leng-Jing-jing sekian lama, akhirnya sinar matanya mulai buram dan melayang jiwanya.
Dengan tertawa Li-hun-nio-nio berkata kepada Su-Kiam-eng, "Su-siau-hiap, coba periksakan, apakah orang ini punya hati?"
"Ada, hatinya kelihatan masih berdenyut," jawab Kiam-eng.
"Akan tetapi dia justru berjuluk 'Bu-sim-kek', padahal seharusnya dia berjuluk 'Oh-sim-kek' (si hati hitam) saja!"
Sembari bicara Li-hun-nio-nio mencabut ke dua belati yang memantek tangan Ban-Hai-to itu, lalu mayat orang didepaknya hingga mencelat ke samping.
Lalu ia menancapkan lagi pedang di lantai, perlahan ia berpaling ke arah si kakek terakhir yang masuk duduk bersandar dinding yaitu si ular berbisa Tang-Jian-ciok.
Bergetar tubuh Tang-Jian-ciok melihat perhatian orang tertuju kepadanya, wajahnya yang sudah pucat bertambah pucat serupa mayat.
Tiba-tiba Kiam-eng berkata, "Leng-to-cu, bagaimana kalau sisa seorang ini biar aku tanyai dia saja?"
Li-hun-nio-nio tidak jadi mendekati Tang-Jian-ciok, setelah berpikir sejenak, jawabnya kemudian,
"Boleh juga. Asalkan dia mau mengaku terus terang, tentu akan aku beri keringanan hukuman kepadanya."
Dengan girang Kiam-eng melompat ke samping Tang-Jian-ciok, ucapnya dengan menarik muka, "Nah, kau dengar tidak apa yang dikatakan Leng-to-cu?"
"Dengar," jawab Tang-Jian-ciok cepat. "Segala apa yang aku ketahui pasti akan aku katakan dan supaya apa yang aku katakan pasti benar. Hanya saja aku mohon kalian mau percaya kepada keterangan yang aku berikan nanti."
"Tadi kawanmu bilang sama sekali tidak tahu siapa Thian-ong-pang pang-cu, apakah betul keterangannya itu?" tanya Kiam-eng.
"Betul, seratus persen betul," kata si ular berbisa Tang-Jian-ciok. "Jiwa kan lebih penting, masakah kami berani bohong dan bertaruh dengan jiwa sendiri?" "Jika begitu, ke tiga orang yang mengaku sebagai duta Thian-ong-pang tadi, siapa mereka tentunya kau tahu bukan?" tanya Kiam-eng pula.
Dengan wajah memelas Tang-Jian-ciok menjawab, "Mohon maaf, mengenai ke tiga duta ini sesungguhnya kami cuma tahu mereka adalah tokoh yang berkedudukan sangat tinggi dalam Thian-ong- pang, mengenai nama dan asal-usul mereka, sungguh kami juga tidak tahu."
Seketika air muka Li-hun-nio-nio tampak beringas demi mendengar uraian Tang-Jian-ciok yang dianggapnya bohong itu, jengeknya tiba-tiba, "Su-siau-hiap, biarkan aku saja yang menanyai dia!"
Tentu saja Tang-Jian-ciok ketakutan setengah mati, serunya parau, "Sungguh, mohon kalian percaya kepada keteranganku. Bila satu kata saja aku berdusta, biarlah anggap aku ini anak sundel."
"Hm, tampaknya kamu sama sekali tidak tahu apa-apa mengenai Thian-ong-pang, begitu bukan?" tanya Kiam-eng dengan tertawa.
"Betul." jawab Tang-Jian-ciok gugup. "Kami hanya tahu melaksanakan tugas sebagai anggota Thian-ong- pang saja,"
"Jika benar kalian tidak tahu apa-apa mengenai Thian-ong-pang, mengapa kalian mau masuk menjadi anggota dan rela diperbudak oleh mereka?"
"Soalnya ... soalnya setelah kami menjadi anggota, setiap bulan kami mendapatkan ... mendapatkan gaji seribu tahil perak ... "
"Baiklah, sekarang ceritakan sejak awal cara bagaimana kamu masuk menjadi anggota Thian-ong-pang.
Merasa jiwa sendiri masih ada harapan diselamatkan, segera Tang-Jian-ciok berdehem untuk membersihkan kerongkongan, lalu mulai bercerita. "Begini awalnya. Antara setengah tahun yang lalu pada tengah malam suatu hari mendadak lima orang berkedok menerobos ke rumahku, mereka membangunkan aku dan menyuruhku masuk menjadi anggota Thian-ong-pang dengan imbalan seribu tahil perak tiap bulan, pula tidak perlu harus bekerja di tempat mereka melainkan cukup berdiam saja di rumah sendiri untuk menunggu perintah dan melaksanakan tugas saja.
"Waktu itu pernah coba aku tanya keterangan mengenai Thian-ong-pang, namun mereka tutup mulut dengan rapat dan tidak mau menjelaskan apa pun. Mestinya ingin aku tolak, namun melihat sikap mereka itu, tampaknya bila aku tolak kehendak mereka seketika juga aku akan mereka bunuh lantaran itulah terpaksa aku terima tawaran mereka.
"Kemudian seorang di antara mereka lantas mengeluarkan sebuah medali emas yang bergambar Thian- ong (raja langit) untuk diperkenakan kepadaku, katanya bila selanjutnya ada orang datang padaku dengan membawa medali tanda pengenal semacam itu, maka segera perintah harus aku turut dan aku laksanakan dengan baik.
"Habis itu, mereka lantas memberikan lebih dulu gaji bulan pertama, yaitu seribu tahil perak, lalu tinggal pergi. Seterusnya aku pun tinggal di rumah saja. Selang beberapa bulan tidak pernah aku terima perintah apa pun, sebaliknya gaji tetap aku terima penuh, setiap bulan salah seorang diantara mereka ke rumahku ..."
Mendengar sampai di sini, Kiam-eng memberi tanda dan memotong ceritanya, "Siapakah orang yang bertugas mengantar gaji kepadamu itu?"
"Seorang karyawan Po-ki-gin-ceng (nama bank) di kota Gak-yang," tutur Tang-Jian-ciok cepat. "Baiklah, coba teruskan ceritamu," kata Kiam-eng.
"Dan sampai beberapa hari yang lalu, satu antara ke tiga duta itu mendadak datang ke rumahku di tengah malam buta, setelah memperlihatkan medali emas berukiran gambar raja langit, lalu ia memberi perintah kepadaku berangkat ke suatu tempat untuk bergabung dengan mereka berdua.
Sampai di sini ia menuding mayat Ban-Hai-to dan Pui-Piu yang menggeletak di samping itu, lalu menyambung lagi ceritanya.
"Kemudian ke tiga duta itu memberikan tugas penting ini kepada kami, yakni melakukan sergapan ke Li- hun-to sini. Meski aku tahu tidak pantas mengganggu kawanan perempuan penghuni pulau ini, namun apa daya, aku sudah menerima upah orang dan harus menjual tenaga baginya. Terpaksa aku laksanakan perintah yang aku terima." "Sudah habis?!" tanya Kiam-eng.
"Ya," jawab Tang-Jian-ciok sambil melirik Leng-Jing-jing sekejap dengan rasa takut. "Apa yang aku katakan seluruhnya benar, tidak ada satu kata pun dusta."
Kiam-eng mengangkat pundak, ucapnya, "Jika begitu jadi meski kalian masuk menjadi anggota Thian- ong-pang kalian justru tidak tahu menahu seluk-beluk organisasi ini, bahkan kalau ada anggota Thian- ong-pang yang lain lewat di sebelahku juga tidak kau ketahui?"
"Memang begitulah," sahut Tang-Jian-ciok "Pui-Piu dan Ban-Hai-to adalah sahabat karibku namun sampai saat aku diperintahkan bergabung dengan mereka baru aku tahu mereka juga sudah masuk Thian-ong- pang."
"Ada perkataan apa lagi yang hendak kau tuturkan kepadaku?" tanya Kiam-eng. "Tidak ada lagi, apa yang aku ketahui hanya seperti uraianku tadi ... "
Kiam-eng menyurut mundur ke kaki dinding katanya kepada Li-hun-nio-nio, "Leng-to-cu, apa yang diceritakan orang ini mungkin tidak palsu, boleh kau hukum dia dengan ringan saja."
Li-hun-nio-nio mengangguk, ia mendekati Tang-Jian-ciok, mendadak pedang berkelebat, sebelum Tang- Jian-ciok sempat menjerit, tahu-tahu kepala sudah terpenggal meninggalkan lehernya, darah pun muncrat bagai air mancur.
Kiam-eng melengak, serunya, "Hei, cara beginikah hukuman ringan yang Leng-to-cu maksudkan?" "Betul," sahut Li-hun-nio-nio dengan dingin, "Ia mati tanpa menderita sakit, bukan?"
Kiam-eng tahu orang sakit karena ratusan anak buahnya telah dibunuh musuh, maka ia pun tidak mau mengampuni jiwa orang. Ia tidak menanggapi lagi melainkan cuma menghela napas saja, katanya, "Menurut apa yang diuraikan Tang-Jian-ciok ini, Thian-ong-pang sungguh sebuah organisasi yang ketat dan rahasia, mereka tidak serupa organisasi atau perkumpulan umumnya yang mempunyai markas tetap dan pimpinan terbuka, maka kalau kita ingin mencari mereka, mungkin teramat sulit ..."
Li-hun-nio-nio mengembalikan pedang kepada anak muda itu, ucapnya dengan gemas, "Ya, mungkin betul begitu. Namun selama hidupku jelas takkan kenal kompromi dengan mereka."
"Dan entah ke tiga duta keparat itu sekarang apakah masih berada di pulau itu?"
"Entah, coba aku lihat ke sana!" lalu Li-hun-nio-nio membalik tubuh hendak masuk ke lorong bawah tanah lagi.
Cepat Kiam-eng mencegatnya, "Jangan, Leng-to-cu tidak dapat melihat mereka, biar aku saja yang ke luar!"
Li-hun-nio-nio merasa memang lebih baik kalau anak muda itu yang pergi melihat keadaan di luar, maka ia mengangguk setuju, "Baiklah. Jika mereka belum lagi meninggalkan pulau ini mungkin mereka sedang mencari diriku di segenap pelosok, maka sebaliknya Su-siau-hiap jangan membuka pintu rahasia, boleh mengintip saja dari balik pintu."
Kiam-eng mengiakan merunduk kembali ke sana. Dengan setengah berjongkok terus lari ke lubang keluar lorong sana.
Hanya sekejap saja sudah sampai di depan pintu rahasia, ia coba pasang telinga di daun pintu, maka terdengarlah suara orang bicara di kamar Li-hun-nio-nio.
"Aku kira Leng-Jing-jing sudah kabur meninggalkan Li-hun-to" "Belum tentu, sangat mungkin dia masih sembunyi di pulau ini!"
"Akan tetapi kita sudah mencari di segenap pelosok tempat di pulau ini dan tidak menemukan bayangan seorang pun."
"Bisa jadi ia sembunyi di suatu ruang rahasia." "Maksudmu sembunyi bersama Sai-hoa-to itu?" "Ya, kira-kira begitu."
"Aneh juga, kabarnya Sai-hoa-to itu sudah menuju ke rimba raya di daerah selatan sana, mengapa mendadak dia bisa muncul di Li-hun-to sini?"
"Betul, aku pun merasa heran. Apakah benar Si-ko memang melihat Kau-hun-tan itu bukan dilemparkan oleh Jing-jing?"
"Ya, Kau-hun-tan jelas dilemparkan dari atas pohon yang berada di tepi lapangan." Ternyata orang yang sedang bercakap itu adalah ke tiga duta Thian-ong pang.
Sembari bicara mereka terus mengobrak-abrik seisi kamar, entah apa yang sedang mereka cari. Bisa jadi mereka ingin mencari lubang masuk ke lorong bawah tanah.
Bernapas keras pun Kiam-eng tidak berani atas kelihaian ke tiga duta Thian-ong-pang itu. Kalau menimbulkan setitik suara saja pasti sukar terhindar dari daya pendengaran mereka.
Pada saat itulah si duta nomor satu sedang membuka mulut pula, "Go-te, tadi kau bilang di seluruh pulau ini tidak terdapat lagi sebuah kapal pun"
"Betul, segenap kapal sudah dirusak oleh Pui-Piu bertiga," jawab si duta nomor dua. "Jika begitu, aku percaya mereka masih berada di pulau ini."
Terdengar si duta nomor tiga menukas, "Pui-Piu berada dalam cengkeraman mereka entah apa yang akan dilakukannya."
"Jelas pasti akan mati, Leng-Jing-jing bukanlah perempuan yang berhati lunak," kata si duta nomor satu. "Mendingan Pui-Piu bertiga tidak membocorkan rahasia kita," ujar si duta nomor dua dengan tertawa.
Duta nomor satu tepekur sejenak, tanyanya kemudian, "Go-te, menurut pendapatmu, bilamana Leng- Jing-jing dan Sai-hoa-to itu sembunyi di ruang bawah tanah, lalu lubang masuk ruang rahasia sepantasnya terletak di mana?"
"Aku kira mestinya terletak di dalam kamar tidur Leng-Jing-jing ini," jawab si duta nomor dua.
"Bagus, jika begitu, sekarang juga kita mulai mengobrak-abrik kamar tidur ini, mungkin lubang keluar- masuk ruang rahasia itu dapat kita temukan di sini."
Mendengar sampai di sini, Kiam-eng terkesiap tidak berani mendengarkan lagi, diam-diam mengundurkan diri dan kembali ke ruang rahasia itu, katanya kepada Li-hun-nio-nio, "Wah Leng-to-cu, saat ini mereka berada di kamarmu dan sedang mengobrak-abriknya, mungkin selekasnya mereka akan menemukan lorong bawah tanah ini."
"Bagus sekali, biarlah kita menempur mereka mati-matian di ruang ini," jengek Li-hun-nio-nio.
Kiam-eng melengak, lalu ia tersenyum dan berkata, "Leng-to-cu ingin menuntun belas bagi anak buahmu atau tidak?"
"Tentu saja ingin," sahut Li-hun-nio-nio dengan mengangguk.
"Jika begitu, saat ini bukan waktunya yang tepat," ujar Kiam-eng. "Kita berdua jelas sukar mengalahkan mereka berdua. Jalan yang paling baik sekarang adalah menghindari mereka untuk sementara, kalau tidak, bukannya berhasil menuntut balas, sebaliknya malah ... "
"Su-siau-hiap, apakah engkau tidak berani bertempur dengan mereka?" potong Leng-Jing-jing dengan tertawa.
"Benar, soalnya aku memang tidak punya keberanian cara bodoh ini," sahut Kiam-eng tersenyum.
Kata "keberanian cara bodoh" membuat muka Li-hun-nio-nio rada merah jengah, ia berpikir sejenak, lalu mengangguk, "Baiklah, mari kita pergi!"
Ia lantas membuka pintu besi dan membiarkan Kiam-eng memasuki dulu lorong bawah tanah itu, lalu ia sendiri melangkah keluar dan menutup kembali pintu besi, segera ia membawa Kiam-eng menelusuri lorong panjang itu.
Kira-kira hampir satu li jauhnya, genangan air dalam lorong bawah tanah itu makin tinggi sebatas betis, namun lorong itu pun makin lebar dan mulai tampak ada cahaya di depan sana.
Kiam-eng coba mengamati keadaan setempat tanyanya kemudian, "Leng-to-cu, tempat ini serupa sebuah gua air?"
"Betul," jawab Li-hun-nio-nio. "Justru semula aku temukan gua air ini, maka sengaja aku buat terowongan panjang untuk menembus gua ini."
"Dari percakapan mereka tadi aku dengar bahwa seluruh kapal yang terdapat di sini sudah dirusak Pui- Piu bertiga, sekarang cara bagaimana kita akan meninggalkan pulau ini?"
"Jangan kuatir, masih cukup banyak kapal," ujar Leng-Jing-jing.
Benar juga, hanya puluhan langkah mereka maju ke depan lantas terlihat oleh Su-Kiam-eng ada lima buah sampan berlabuh di mulut gua.
"Terlihat tidak?" tanya Li-hun-nio-nio Leng-Jing-jing dengan tertawa.
"Cara mengatur Leng-to-cu sungguh sangat cermat, sungguh aku sangat kagum," kata Kiam-eng.
"Kita hanya perlu pakai sebuah sampan, ke empat sampan lain boleh kau rusak saja," ucap Li-hun-nio- nio.
"Betul, biar aku laksanakan!" kata Kiam-eng.
Segera ia melolos pedang dan membobol badan tampan sehingga kemasukan air dan tenggelam. Lalu ia silakan Li-hun-nio-nio naik sampan yang masih tersisa dan mendorong keluar gua sesudah agak jauh, Kiam-eng melompat juga ke atas sampan dan didayung menuju ke tengah danau yang luas.
Saat itu hari sudah siang, air danau berkilauan tertimpa sinar matahari dan menyilaukan mata.
Setelah beberapa ratus meter meninggalkan gua tadi, Kiam-eng coba memandang Li-hun-nio-nio yang sudah jauh di belakang itu dan tidak terlihat dikejar ke tiga duta Thian-ong-pang, dengan tertawa ia berkata, "Mungkin mereka belum lagi menemukan pintu rahasia lorong bawah tanah itu, kalau tidak, saat ini seharusnya mereka sudah mengejar tiba."
"Biarpun pintu rahasia itu diketemukan mereka, untuk membuka pintu besi penghalang di dalam terowongan juga memerlukan waktu cukup lama," tutur Li-hun-nio-nio.
Setelah meninggalkan danau Tong-ting ini, Leng-to-cu bermaksud pergi ke mana?" tanya Kiam-eng.
"Aku ingin menjenguk dahulu anak buahku yang cacat itu, kemudian mencari akal untuk menuntut balas," jawab Leng-Jing-jing.
"Leng-to-cu menyembunyikan mereka di mana?" tanya Kiam-eng. "Di pegunungan Bo-po-san ... "
"Mereka semuanya tidak mahir ilmu silat?" "Ya."
"Jika begitu, selain Leng-to-cu harus menjaga keselamatan mereka juga ingin menuntut balas terhadap Thian-ong-pang, apakah dapat berhasil dengan baik?"
"Mereka dapat menjaga dirinya sendiri."
"Aku kira untuk sementara ini hendaknya Leng-to-cu tinggal bersama mereka, aku kira kalau Thian-ong- pang itu benar komplotan si orang berkedok hijau, nanti sesudah aku lapor kepada guruku dan habis menyembuhkan penyakit In-Ang-bi, mungkin selekasnya dapat diketahui siapa sebenarnya si orang berkedok hijau itu. Tatkala mana biarlah kita mengundang segenap tokoh ke-18 perguruan dan aliran yang bersangkutan, beramai-ramai kita akan menghadapi dan menumpas mereka."
"Ehm, Su-siau-hiap memang harus berbuat demikian," kata Li-hun-nio-nio. "Akan tetapi akan lebih suka bertindak sendirian, selanjutnya cukup kita selalu mengadakan kontan saja."
"Baiklah, untuk mengetahui jejakku, boleh Leng-to-cu mencari keterangan kepada Wi-ho-lo-jin di Bu-lim- teh-coh, dia tentu akan memberi keterangan kepadamu."
"Kuda tunggangan Su-siau-hiap ditaruh di mana?" tanya Leng-Jing-jing.
"Di hotel dalam kota Gak-yang, cuma jarak Gak-yang dengan Wi-ho-lau tidak jauh lagi, tidak perlu aku naik kuda untuk pulang ke sana agar jejakku tidak diketahui musuh yang mungkin senantiasa mengintai."
"Jika begitu, boleh Su-siau-hiap dayung sampan ini menuju ke Moa-tong dan mendarat saja di sana supaya lebih bebas bagimu dan juga bagiku."
Tidak sampai setengah jam lagi sampan mereka sudah merapat di tepi Moa-tong.
Setelah mendarat dan menempuh perjalanan dua-tiga li jauhnya, langsung Li-hun-nio-nio menuju ke Bo- po-san dan Su-Kiam-eng menyamar sebagai kaum pelayan terus pulang ke Wi-ho-lau.
Sepanjang jalan tidak terjadi apa pun. Hari ke tiga menjelang magrib, sampailah Su-Kiam-eng di kampung halamannya, Wi-go-san.
Hanya tujuh delapan bulan meninggalkan Tiong-Goan, namun ketika Kiam-eng sampai di Wi-go-sin, ia justru sangat gembira serupa seorang pengembara yang pulang kampung. Dengan sendirinya hal ini disebabkan banyak pengalaman pahit dan berhasil membawa pulang Jian-lian-hok-leng dari tempat jauh serta segera akan bertemu dengan sang guru.
Ia pikir Su-hu dan In-Ang-bi tentunya belum lagi meninggalkan Bu-lim-teh-coh. Sebab sang guru pernah menyatakan akan menunggu kepulangannya di Bu-lim-teh-coh. Sebelum bertemu lagi tentu sang guru takkan meninggalkan tempat minum ini.
Menjelang malam keadaan di Wi-ho-lau agak sepi, orang pelesir sangat sedikit, Sembari berpikir Kiam- eng terus menuju Bu-lim-teh-coh dengan lebar.
Ketika hampir mendekati tempat minum itu sekilas pandang, serentak ia hentikan langkahnya dan melongo kaget.
Ternyata Bu-lim-teh-coh yang dilihatnya sekarang dan beberapa warung di kanan-kiri rumah minum itu kini sudah berubah menjadi reruntuhan puing.
Agaknya Bu-Lim-teh-coh ternyata sudah terbakar ludes.
Sesudahnya apakah yang telah terjadi? Terbakar tanpa sengaja, atau dibakar musuh?
Kiam-eng mengkirik dan tidak berani membayangkannya. Sungguh mimpi pun tak pernah terbayang olehnya akan terjadi seperti ini. Kejadian di luar dugaan ini sungguh merupakan pukulan berat baginya, sebab gurunya, In-Ang-bi dan Wi-ho-Lo-jin bisa jadi juga sudah terkubur di tengah kebakaran itu.
Andaikan mereka dapat menyelamatkan diri dan bila dirinya hendak mencari mereka, keadaannya pun serupa mencari jarum di tengah samudra.
Begitulah ia berdiri termangu sekian lama di situ sampai dia disadarkan oleh suara orang berbicara di sampingnya, "Hei, ada apa berdiri melamun di sini?"
Yang menegurnya ternyata seorang anak tanggung berkepala bisulan dan berdandan sebagai penjaja makanan.
Dulu Kiam-eng pernah menyamar sebagai pelayan selama tiga bulan di Bu-lim-teh-coh, terhadap setiap orang yang biasa muncul di rumah minum itu tentu dikenalnya. Tapi sekarang bocah penjual makanan di depannya ini ternyata tidak dikenalnya, tergerak pikirannya, maka ia berlagak terkesiap dan bertanya sambil menunjuk reruntuhan puing itu, "Apa ... apakah yang terjadi atas rumah ini?" "Kan terbakar, masakah tidak kau lihat jelas?" ujar penjual makanan yang bisulan itu. "Kapan terjadinya?" tanya Kiam-eng pula.
"Tengah malam setengahan bulan yang lalu," tutur si kepala bisulan. "Oo, adakah orang mati terbakar?"
"Ada, seorang perempuan ada seorang pelayan."
Cemas juga perasaan Kiam-eng, badan terasa lemas lunglai dan hampir tidak sanggup berdiri.
Yang menjadi korban kebakaran itu ada seorang perempuan. Padahal di Bu-lim-teh-coh ini kecuali In- Ang-bi masakah masih ada orang perempuan lain?
Apakah benar In-Ang-bi yang mati terbakar?
Padahal dengan susah payah dirinya telah menempuh perjalanan berlaksa li jauhnya dan banyak mengalami kesukaran dan kenyang pahit getir akhirnya dapat membawa pulang Jian-lian-hok-leng akan tetapi In-Ang-bi yang ingin disembuhkannya itu ternyata sudah mati.
Kiam-eng merasakan kedukaan yang tak pernah dialaminya, sungguh ia ingin menangis sepuasnya. Namun ia tidak menangis, bahkan tidak memperlihatkan rasa duka pada wajahnya, sebab ia tahu si bocah bisulan yang berdiri di depannya sekarang adalah seorang "mata-mata" musuh sedikit dirinya memperlihatkan tanda mencurigakan itu akan mendatangkan malapetaka bagi diri sendiri.
Ada satu hal yang sukar dimengertinya. Bahwa Bu-lim-teh-coh jelas dibakar oleh musuh, hal ini memang tidak perlu disangsikan lagi. Tapi jika benar terbakar pada waktu setengah bulan yang lalu, maka orang yang membakar tentu bukanlah si orang berkedok hijau dan Sih-Hou bertiga, sebab kecuali mereka bisa terbang, kalau tidak, saat ini tentu mereka masih berada jauh di selatan sana. Dan jika yang membakar bukan yang berkedok hijau dan ke tiga anak muridnya itu, lalu perbuatan siapa?
Apakah perbuatan ke tiga duta Thian-ong-pang itu?
Jika ke tiga duta itu pun anak murid atau buah si orang berkedok batu ada kemungkinan mereka membakar Bu-lim-teh-coh, sebab rumah minum ini bukan sesuatu perkumpulan atau suatu aliran apa pun, Wi-ho-Lo-jin juga tidak pernah bermusuhan dengan orang.
Lantas siapa? Ya, siapa yang membakar Bu-lim-teh-coh?
Selagi pikiran Kiam-eng berputar cepat, si bocah penjual makanan kembali bertanya, "Eh Lau-heng (saudara), apakah engkau datang kemari hendak minum teh di Bu-lim-teh-coh."
"Betul," Kiam-eng mengangguk. "Aku cari juragan Wi-ho-Lo-jin untuk menagih." "Oo, kamu hendak menagih, tagihan apa?" tanya si bisulan.
"Tagihan uang teh!" jawab Kiam-eng.
"Uang teh?" si bisulan menegas dengan tidak mengerti.
"Betul, sejak Bu-lim-teh-coh mulai berusaha selama ini selalu memakai daun teh hasil kebun kami. Biasanya setengah tahun satu-kali kami membereskan utang piutang. Dan hari ini adalah hari perhitungan, tak terduga rumah minum ini sudah terbakar ludes. Wah, sekali ini kami pun ikut celaka."
"Berapa tagihanmu terhadap rumah minum ini?" tanya pula si bisulan. "Sedikitnya seratus tahil perak," sahut Kiam-eng dengan nada sedih.
"Wi-ho-Lo-jin belum lagi mati, boleh kau cari dia untuk menagih," tutur si bisulan dengan tertawa. "Oo, apa betul? Tapi entah dia ber ... berada di mana?" tanya Kiam-eng.
Mata si bisulan berkedip-kedip, ucapnya dengan tertawa, "Aku tahu di mana Wi-ho Lo-jin berada, dapat aku bawa kamu mencarinya, cuma ..." "Cuma apa?" Kiam-eng berlagak bingung.
Si bisulan memicingkan mata dan menjawab, "Jika aku bawa kamu mencarinya dia akan berarti malam ini aku tidak dapat berjualan, maka ... maka ... tentu kau paham maksudku."
"Oo," Kiam-eng berlagak mengerti dan cepat rogoh ke luar segenggam uang receh serta diberikan kepada si bisulan, katanya. "Ini sedikit ganti rugi untukmu, harap Lau-heng suka membantuku.
Dengan tertawa si bisulan menerima uang tanpa sungkan, segera ia putar tubuh dan angkat, katanya, "Ayo, ikut padaku!"
Sembari ikut melangkah ke sana Kiam-eng tanya, "Wi-ho-Lo-jin tinggal di mana sekarang?" "Di tengah gunung," jawab si bisulan.
Ia tidak ingin membangun kembali Bu-lim-teh-coh ini?"
"Katanya ingin, mungkin beberapa hari lagi akan mulai dibangun kembali." "Sungguh malang. Cara bagaimanakah terbakarnya?" tanya Kiam-eng.
"Kabarnya karena kurang hati-hatinya pelayan, api lilin tidak dipadamkan, ketika lilin terbakar habis dan sumbu menjilat taplak meja akibatnya api lantas menjalar."
Sembari bicara sambil berjalan, tanpa terasa mereka sudah memasuki Wi-go-san.
Setelah melintasi sebuah tanjakan, si bisulan mendahului masuk ke sebuah jalan setapak. Padahal jalan setapak ini tidak asing bagi Su-Kiam-eng, ia tahu pada ujung jalan sana adalah tanah pekuburan.
Tiba-tiba Kiam-eng memegang pundak si bisulan dan berkata, "Em, coba kau lihat apa ini?"