Jilid 14
Kalina lantas bicara lagi terhadap Sinba bahwa Su-Kiam-eng terima tantangan duel dengan bertangan kosong.
Kelihatan, Sinba merasa girang, segera ia menggosok-gosok kepalanya dan melangkah ke depan.
Selagi Kiam-eng hendak tampil untuk duel dengan Sinba, mendadak Kalina menariknya dan memberi pesan dengan suara lirih, "Hati-hati ya!"
Kiam-eng tertawa, "Jangan kuatir, orang semacam ini mungkin terhitung pahlawan di daerah terasing ini, tapi di dunia persilatan Tiong-goan kami tidak termasuk hitungan, setiap orang persilatan pun dapat mengalahkan dia."
"Bukan dia yang aku maksudkan melainkan supaya engkau hati-hati terhadap segala sesuatu yang mungkin terjadi," ujar Kalina.
"Baiklah, tentu aku akan waspada," kata Kiam-eng. Habis bicara, langsung ia menyongsong ke arah Sinba. Menghadapi suku Santo yang masih biadab ini, sungguh Kiam-eng ingin sekali hantam mengirim dia pulang ke akhirat untuk membalas sakit hati sang su-heng yang telah dibuat cacat total itu. Tapi sekarang ia justru tidak berani membunuhnya, sebab seperti telah dikatakan Kalina tadi, Sinba ini adalah putra kepala suku, bila dia mati, orang Santo pasti akan dendam terhadap suku Pek-ih, dengan demikian, biarpun sakit hati pribadinya terlampias, namun juga akan membawa malapetaka bagi suku Pek-ih, dan ini jelas bukan kehendak Su-Kiam-eng, maka ia cuma akan memberi hajaran setimpal saja kepada pemuda Santo yang congkak itu.
Namun Sinba justru kelihatan nekat dan bernapsu membunuh, ketika melihat Su-Kiam-eng mendekat, seketika ia melotot serupa ayam jago aduan sambil mengeluarkan suara teriakan aneh langsung ia menerkam lawan, ke dua tangannya terbentang seperti tanggam, dengan cepat dan ganas leher Su- Kiam-eng terus hendak dipitengnya.
Meski cara berkelahi Sinba itu merupakan gerakan maut bagi orang biadab umumnya, namun bagi orang persilatan cara itu justru cara yang paling bodoh. Dalam keadaan demikian, kalau Kiam-eng mau membunuhnya boleh dikatakan terlampau mudah, cukup ia tutuk perlahan sekali saja Sinba dapat dirobohkan dengan segera.
Namun Su-Kiam-eng tidak bertindak demikian, ia tunggu ketika tubuh lawan sudah mendekat, mendadak ia mengelak ke samping, berbareng sebelah kaki menyerampang ke bagian dengkul lawan."
"Blang", kontan Sinba jatuh terjerembab.
Keruan Sinba malu dan murka, sambil mengerang, seperti kerbau gila ia lompat bangun terus menyeruduk lagi ke arah Kiam-eng.
Akan tetapi berbunyi "blang" lagi kembali, ia kena diserampang oleh kaki Su-Kiam-eng dan jatuh terkapar.
Oleh karena tanah di tengah hutan berselimutkan daun rontok yang amat tebal, meski terbanting dua kali dia tidak mengalami luka apa pun. Namun sesudah melompat bangun lagi, sekali ini ia sudah tambah pengalaman dan tidak berani main seruduk secara membabi-buta lagi, hanya ke dua tangannya terpentang dan mata mendelik, perlahan ia mendesak maju ke arah Kiam-eng.
Dengan tersenyum Kiam-eng hanya berdiri diam saja untuk menunggu lawan bergerak lebih dulu.
Selangkah demi selangkah Sinba mendesak maju, melihat lawan tetap diam saja, mendadak ia berteriak aneh, ke dua tangan terus mencengkeram dada lawan.
Sekali ini cengkeramannya tidak meleset, dengan tepat baju dada Su-Kiam-eng terpegang erat olehnya.
Segera ia berteriak aneh pula, sekuatnya ke dua tangan menarik dan ditolak lagi sekuatnya, tujuannya hendak merobohkan Su-Kiam-eng. Tak terduga, daya tolaknya ternyata tidak mempan, tubuh Kiam-eng serupa patung baja saja tetap berdiri tegak di tempatnya tanpa bergeming sedikit.
Pada dasarnya Sinba memang orang yang masih sederhana, begitu merasa tidak mampu mendorong roboh Su-Kiam-eng, seketika ia sangka anak muda itu menguasai ilmu gaib, maka ia terkejut dan cepat hendak melompat mundur.
Akan tetapi sudah terlambat, "plak-plok" dua kali, tahu-tahu mukanya kena ditempeleng oleh lawan.
Dua kali tempelengan Su-Kiam-eng itu dilakukan dengan cukup keras, seketika gigi Sinba sama koyak dan hampir rompal, darah pun mengucur ke luar dari mulutnya, ia terhuyung dan tanpa kuasa berputar satu kali, habis itu baru roboh terbanting.
Melihat pemimpin mereka terbanting jatuh belasan orang Santo serentak berteriak dan mengangkat tombak terus hendak disambitkan. Tapi ketika melihat Su-Kiam-eng tidak bertindak lebih lanjut, tombak mereka pun urung dilemparkan.
Di samping ingin menghajar setimpal terhadap lawan, sebenarnya Kiam-eng juga sengaja hendak mematahkan kepongahannya, untuk itu jalan paling baik adalah bila lawan hendak menyerang, segera didahuluinya dengan serangan dahsyat dan membuatnya menggeletak.
Begitulah ketika melihat Sinba roboh dan tidak sanggup bangun lagi, Kiam-eng tidak melancarkan serangan pula, ia berpaling dan berkata kepada Kalina, "Nona Ka, coba kau tanya dia mau menyerah atau tidak, kalau tidak ..."
Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong Sinba yang menggeletak di tanah itu melompat bangun terus merangkul sekuatnya ke dua kaki Su-Kiam-eng.
Akan tetapi anak muda itu sudah siap, mendadak ia meloncat ke atas sehingga Sinba menubruk tempat kosong, waktu tubuh Kiam-eng menurun ke bawah, dengan tepat anjlok di atas punggung Sinba malah.
Keruan Sinba meraung kesakitan, tangannya meraih serabutan dengan maksud membuat Su-Kiam-eng jatuh terbanting, namun cara bagaimana pun dia berontak, tubuhnya tetap terinjak oleh Su-Kiam-eng sehingga mirip seekor kura-kura yang ditindih oleh sepotong batu besar, betapapun sulit membebaskan diri.
Menyaksikan keperkasaan Su-Kiam-eng serupa malaikat dewata sehingga Sinba yang disanjung sebagai pahlawan besar di antara suku bangsa mereka itu dipermainkan seenaknya oleh Su-Kiam-eng, sungguh girang Kalina tak terperikan, terasa ia berteriak, "Nah, Sinba, kamu sudah kalah, kenapa tidak lekas mengaku kalah dan menyerah saja?!"
Ia berkata dalam bahasa daerah mereka, namun cukup membuat gusar dan malu Sinba, mendadak ia berteriak murka, "Semuanya turun tangan, binasakan bocah Han keparat ini."
Serentak belasan orang Santo itu berteriak dan melemparkan tombak yang sudah mereka siapkan tadi.
Sudah tentu Su-Kiam-eng tidak gentar terhadap tombak semacam itu, tapi pada saat ia hendak meloncat ke atas itulah, tiba-tiba dirasakan ada serangkum angin tajam menyambar dari belakang, segera ia tahu ada orang menyergapnya dengan senjata rahasia.
Keruan ia terkejut, ia tidak berani lagi melompat ke atas, cepat ia berputar dan melompat ke samping. Sungguh berbahaya sekali, belasan tombak tajam itu menyerempet lewat beberapa senti di sisinya.
Sebaliknya senjata rahasia penyergap dari belakang itu justru mengenai mata seorang Santo seketika orang itu menjerit kesakitan dan roboh terguling-guling di tanah.
Sekarang Su-Kiam-eng baru mengerti sebab apa dahulu sang su-heng dapat ditawan oleh Sinba rupanya di tengah rimba raya purba sejauh ini bersembunyi seorang tokoh persilatan yang sangat menakutkan. Tokoh tidak kelihatan ini jelas bukan si orang berkedok hitam yang berhasil lolos itu, juga bukan orang persilatan yang ikut mengincar kota emas itu, melainkan seorang tokoh kosen dunia persilatan yang misterius dan tidak jelas maksud tujuannya. Bisa jadi dia sengaja membantu Sinba secara diam-diam, mungkin pula tindakannya itu tidak ada sangkut pautnya dengan Sinba, tujuannya tidak lebih hanya untuk merintangi tercapainya tugas su-heng dan dirinya saja ...
Kiam-eng tidak berpikir lebih lanjut, sebab ketika ia melompat ke samping, segera pula ia membentak ke arah datangnya senjata rahasia itu, "Tampil ke depan saja kawan, terhitung orang gagah macam apa jika sok main sergap secara menggelap?"
Akan tetapi di tengah hutan itu selain suara lolong ngeri orang Santo yang matanya buta kena senjata rahasia itu, ternyata tiada suara jawaban lain lagi.
Mendingan Sinba, sesudah melengong sejenak segera melompat bangun dan meraih sebatang tombak, lalu seperti orang gila ia menerjang ke arah Su-Kiam-eng.
Sesudah tahu ada seorang musuh yang menakutkan sedang mengintai di samping, tentu saja sekarang Su-Kiam-eng tidak berani mempermainkan Sinba lagi, segera ia sambar tombak Sinba yang sedang menikamnya itu, menyusul sebelah kakinya lantas mendepak hiat-to kelumpuhan lawan.
Sinba tidak mampu menghindar, kontan ia terdepak roboh dan tak berkutik lagi.
Beramai-ramai belasan orang Santo itu lantas menghunus parang masing-masing yang berbentuk melengkung itu, serentak mereka menyerbu maju.
Su-Kiam-eng putar tombak rampasannya dan berhasil menyampuk jatuh beberapa parang lawan yang paling depan, lalu ia pun menerjang ke tengah musuh, hanya beberapa gebrakan dengan pukulan dan tendangan, belasan orang Santo itu dapat dirobohkan seluruhnya.
Selesai membereskan belasan orang Santo kembali ia membentak gusar pula ke arah hutan "Nah, kawan, lekas tampakkan dirimu!" Kalina muncul dari balik pohon sana, tanyanya dengan bingung, "Hei, siapa yang kau teriaki?"
Kiam-eng mendengus, "Ha, siapa lagi kecuali manusia yang suka main sembunyi dan pengecut itu, baru saja ia menyambitkan sepotong batu dan hampir membuatku mati di bawah hujan lembing musuh."
"Oya, siapa dia?" seru Kalina kaget.
"Hm, tidak perlu di sangsikan lagi dia itulah orang yang mencelakai su-heng ku secara pengecut itu," jengek Kiam-eng.
"Meng ... mengapa dia sengaja membikin susah kalian saudara seperguruan?" tanya Kalina bingung.
Kiam-eng tidak menjawabnya, mendadak ia melompat ke sana dan menerjang ke tengah hutan ia coba memeriksa di sekeliling sana, namun tidak terlihat jejak musuh, lalu ia putar balik dan berkata, "Nona Ka, coba kau tanya Sinba ini, katakan padanya bila tidak mengaku terus terang, segera aku binasakan dia."
Kalina lantas berpaling dan tanya Sinba, "Hai Sinba, siapakah orang yang diam-diam membantumu itu?"
Hiat-to kelumpuhan Sinba tertutuk, namun mulut dapat bebas bicara, dengan gusar ia menjawab, "Hm, kau bilang apa? Siapa yang diam-diam membantuku?"
"Tadi waktu anak buahmu menyambitkan lembing. berbareng itu ada orang menimpuk batu bermaksud mencelakai kawanku ini, masa kamu tidak tahu?" ujar si nona.
"Aku memang tidak tahu," jawab Sinba tegas dan penasaran.
"Tidak, kamu pasti tahu. Dahulu sebabnya Gak-Sik-lam dapat kau tawan juga lantaran ada orang melempar batu membantumu sehingga dengan leluasa dia dapat kau tawan."
"Omong kosong!" teriak Sinba, tidak urung kelihatan juga rasa sangsinya. Namun ia tetap ngotot dan menambahkan, "Orang Han itu memang aku tawan berdasarkan kepandaian yang sejati."
"Dia itu su-te Gak-Sik-lam," ucap Kalina sambil menuding Kiam-eng. "Sebaliknya kau bicara sejujurnya, kalau tidak, bisa dia membinasakan dirimu."
Mendengar bahwa Su-Kiam-eng adalah su-te Gak-sik-lam, seketika air muka Sinba berubah pucat, namun dia tetap bicara dengan gusar. "Aku tidak takut. Kau bilang tidak dibantu orang, memang begitulah keadaan sebenarnya."
Kalina lantas menerjemahkannya kepada Kiam-eng, "Oo, tidak mengaku bahwa ada orang membantunya secara diam-diam."
"Mungkin dia berdusta?" tanya Kiam-eng dengan wajah masam.
Kembali Kalina tanya Sinba, "Hai, Sinba, apakah kamu berani bersumpah demi perdana menteri Cu-kat- Liang bahwa kamu benar-benar tidak dibantu orang?"
"Mengapa aku tidak berani?" jawab Sinba tegas. "Baik, coba kamu sumpah!" kata Kalina.
"Jika ada orang membantuku, biarlah aku dihukum penggal kepala oleh Yang Mulia Cu-kat-Liang," seru Sinba.
Kiranya berbagai suku bangsa di daerah selatan yang masih liar itu paling menghormat dan memuja Cu- kat-Liang, yaitu perdana menteri pada jaman Sam Kok yang terkenal pula dengan nama Khong-Beng.
Dahulu Khong-Beng pernah melakukan ekspedisi ke daerah selatan dan mengajarkan penduduk setempat bercocok tanam, maka ia dipandang sebagai malaikat dewata di berbagai tempat didirikan rumah pemujaan untuk memperingati jasanya.
Maka kendatipun suku bangsa terasing di daerah selatan itu masih biadab hidupnya, namun pada umumnya mereka sangat takut kepada Khong-Beng maka bila mereka disuruh bersumpah demi Cu-kat- Liang alias Khong-Beng, siapa pun tidak berani berdusta. Begitulah Kalina lantas tanya Su-Kiam-eng, "Dia sudah bersumpah dan menyatakan benar-benar tidak tahu ada orang membantunya secara diam-diam."
Kiam-eng pikir pemuda suku terasing itu memang tidak mungkin dapat bersahabat dengan seorang tokoh kosen dunia persilatan maka ia mengangguk dan berkata, "Baiklah sekarang boleh kau tanya dia mau menyerah atau tidak kalau dia berjanji takkan merecoki diriku lagi segera aku lepaskan dia pulang."
Kembali Kalina berpaling dan berkata, "Sinba tanya kamu menyerah atau tidak. Jika kamu berjanji takkan cari perkara lagi padanya segera kamu akan dilepaskan pulang, kalau tidak biar kamu dibunuh olehnya."
Dengan gusar Sinba tidak memberi jawaban.
"Tadi kan sudah disetujui, barang siapa menang boleh mengambilku sebagai istri, begitu bukan?" tanya Kalina.
Mendadak Sinba mengunjuk rasa duka dan berkata, "Apa benar kau mau menjadi istrinya." "Sudah tentu, kan dia sudah mengalahkanmu?" ujar Kalina.
Seharusnya kamu menjadi istriku, aku kan pahlawan terkuat di sini?" ujar Sinba.
Kalina tertawa, "Bila benar kamu pahlawan paling kuat, mengapa kamu tidak mampu mengalahkan dia?" "Dia pakai ilmu gaib, maka aku tidak sanggup melawannya," ucap Sinba dengan gusar.
"Omong kosong, mana dia pakai ilmu gaib segala?" semprot si nona.
"Memang pakai ilmu gaib," bantah Sinba. "coba kau lihat, aku tidak terluka apa pun, tapi aku bergerak. Jelas karena terkena ilmu sihirnya."
"Oo, kamu salah," kata Kalina dengan geli, "Ini ilmu silat orang Han mereka, aku tahu."
"Akan lebih baik menjadi istriku saja, aku sering memburu dan memperoleh harimau, aku kan pahlawan pembunuh yang termashur, pula kelak aku akan menjadi kepala suku menggunakan kedudukan ayahku, menjadi istriku tentu kamu akan senang dan bahagia," bujuk Sinba.
"Tidak, tidak dapat aku jadi istrimu," jawab Kalina.
"Hm, jika begitu tentu kamu akan menyesal," ucap Sinba dengan rasa dendam.
"Huh, memangnya kau mau apa? Kau bilang kamu seorang pahlawan, mengapa tidak mau menyerah sesudah kalah?"
Sinba diam saja tanpa menjawab.
Kalina menggertak kaki dan berucap pula, "Lantas kau mau apa sebenarnya?"
Sinba memandang Kiam-eng sekejap, melihat wajah anak muda itu penuh napsu membunuh, diam-diam ia kuatir juga, katanya. "Baiklah, biar aku terima saja."
"Hanya omong saja untuk bukti, kamu, masih perlu bersumpah terhadap yang Mulia Cu-kat-Liang," kata Kalina.
"Tidak, aku tidak mau sumpah lagi," jawab Sinba.
"Itu membuktikan kamu tidak terima dengan sesungguh hati. Kalau begitu, terpaksa biar aku suruh dia membunuhmu saja," lalu Kalina berkata kepada Su-Kiam-eng, "Ia tidak mau bersumpah, boleh kau gunakan pedangmu untuk menggertak dia."
Perlahan Kiam-eng melolos pedangnya, dengan muka masam ia tatap Sinba, mendadak, ia angkat pedangnya terus menusuk tenggorokannya.
Ketika melihat Su-Kiam-eng melolos pedang kening Sinba sudah mulai berkeringat, apalagi mendadak ujung pedang lawan menyambar ke arah lehernya, keruan ia menjerit ketakutan. Akan tetapi baru saja ujung pedang menyambar sampai di depan leher Sinba, serentak Kiam-eng menahan daya tusukannya, ucapnya dengan menyeringai, "Apa yang kau teriakkan?"
"Sinba, ia tanya apa yang kau teriakkan?" sambung Kalina.
Tampaknya nyali Sinba pecah ketakutan, ia tatap ujung pedang yang mengancam leher itu, ucapnya dengan gemas, "Baiklah, aku ... aku akan bersumpah."
"Jika begitu, ayolah mulai," seru Kalina.
"Aku bersumpah bila ... bila aku cari perkara lagi kepada kalian, biar ... biarlah kepalaku dipenggal oleh Yang Mulia," ucap Sinba, habis itu ia seperti mengalami penasaran maha besar, mendadak ia menangis tergerung-gerung.
Kiam-eng jadi melengong malah, ia tanya Kalina, "Aneh, mengapa dia menangis?"
"Ia mengangkat sumpah secara tidak rela, saking dukanya ia jadi menangis," tutur Kalina. "Jangan urus dia, setelah bersumpah tentu dia takkan berani mengganggu kita lagi. Boleh kau bebaskan dia pulang saja."
Kiam-eng menarik kembali pedangnya, ia buka hiat-to kelumpuhan Sinba, lalu ia bebaskan juga hiat-to belasan orang Santo.
Merasa anggota badannya sudah dapat bergerak, segera Sinba melompat bangun dan pergi membawa anak buahnya dengan menanggung malu.
Setelah kawanan Sinba itu sudah pergi, dengan gembira Kalina berkata kepada Su-Kiam-eng, "Sebenarnya Sinba adalah pujaan suku bangsa di sini, tapi engkau telah menghajarnya hingga tak bisa berkutik, sungguh engkau sangat hebat."
Kiam-eng tersenyum, perlahan ia berputar tubuh dan memandang ke tengah hutan, sampai lama ia diam saja tanpa berucap.
Kalina mendekati anak muda itu, tanyanya dengan tersenyum manis, "Apa yang sedang kau renungkan?" Perlahan Kiam-eng menjawab. "Sedang aku pikirkan orang tadi ..."
"Kau tahu siapa dia?" tanya Kalina pula.
"Kiam-eng menggeleng, "Tidak tahu. Cuma, aku tahu sebab apa diam-diam ia mencelakai kami bersaudara seperguruan."
"Memangnya sebab apa?"
"Hm, jelas ia kuatir kami menemukan Jian-lian-hok-leng dan membawanya pulang ke Tiong-goan untuk menyembuhkan penyakit sakit ingatan nona itu."
Kalina merasa tidak paham tanyanya, "Sebab apa ia kuatir kalian menyembuhkan penyakit ingatan nona yang lain kau maksudkan itu?"
Perlahan Kiam-eng menghela napas, dengan khidmat ia berkata, "Ayah nona itu bernama Bu-tek-sian- pian In-Giok-san, terhitung satu di antara ke-18 tokoh terkemuka dunia persilatan kami. Entah mengapa mendadak ke-18 tokoh besar itu mati dibunuh orang.
"Nona In itu, menurut dugaan kami, mungkin menyaksikan peristiwa terbunuhnya ke-18 tokoh Bu-lim itu, saking kejut dan takutnya dia jatuh sakit dan kehilangan daya ingatan. Sebab itulah guruku pikir, asalkan dapat memulihkan daya ingatan nona In, bisa jadi akan diketahui juga sesungguhnya siapa si pembunuh ke-18 tokoh terkemuka itu. Dan itulah alasan kami bersaudara seperguruan datang ke wilayah terasing ini untuk mencari Jian-lian-hok-leng.
"Setelah mengetahui rencana keberangkatan kami, dengan sendirinya si pembunuh merasa kuatir. Maka diam-diam ia mencelakai su-heng ku sehingga su-heng jatuh tertawan oleh Sinba dan dibuat cacat total. Kemudian, pembunuh itu masih kuatir, diam-diam ia mendatangi Ciok-lau-san tempat kediaman perguruan kami, ia sebarkan ular berbisa dalam jumlah banyak dengan tujuan hendak membunuh nona In. Untung hal itu keburu diketahui guruku dan sempat membawa lari nona In ... Hm, lantaran maksud kejinya gagal, maka pembunuh itu menyusul pula ke sini hendak menyergap diriku, jelas dia sengaja hendak merintangi tujuanku untuk mengambil Jian-lian-hok-leng.
Kalina mengangguk, tanyanya kemudian, "Tapi kalau orang itu hendak merintangimu menyembuhkan nona In, mengapa dia tidak mendahului pergi ke kota emas untuk mencuri Jian-lian-hok-leng saja?"
Kiam-eng tersenyum, "Kamu mempunyai jalur pikiran ini suatu tanda kamu ini seorang nona yang pintar. Sungguh harus dipuji."
"Ah, aku merasa hal ini tidak apa yang luar biasa, sebab kalau benar orang itu sengaja merintangi menyembuhkan nona In, dengan mendak dia debat mendahului mencuri Jian-lian-hok-leng tidak perlu membikin celaka dirimu. Sebab kalau dia ingin mencelakaimu kan belum pasti berhasil, sebaliknya untuk mencuri Jian-lian-hok-leng boleh di katakan sangat gampang, betul tidak?"
Kiam-eng mengangguk, "Ya, tahu soalnya. dia hanya tahu Jian-lian-hok-leng disembunyikan di kota emas, tersembunyi di tempat mana justru tidak diketahuinya."
Kalina melengak, wajahnya yang cantik bersemu merah, ucapnya, "Wah, tampaknya aku tidak sepintar sebagaimana kau katakan, persoalan sederhana begini ternyata tidak pernah terpikir olehku ... "
"Hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan pintar dan bodoh," ujar Kiam-eng dengan tertawa. "Sebab kau kira orang itu sudah mengetahui tempat tersimpannya Jian-lian-hok-leng."
Kalina menengadah memandang pohon besar yang hendak dipanjatnya tadi, katanya dengan tertawa, "Baiklah, bolehlah kita meneruskan melacak jejak sahabatmu tadi."
"Baiklah, aku yakin yang menculik Keh-ki pasti juga orang tadi," ucap Kiam-eng. "Tujuannya menculik Keh-ki adalah ingin menanti setelah berhasil aku ambil Jian-lian-hok-leng kepadanya ..."
Sembari bicara ia terus mendekat dan mengangkat Kalina dan di bawa meloncat ke atas pohon.
Setelah mencapai sebuah dahan pohon yang tingginya kira-kira empat-lima meter dari permukaan tanah, Kalina lantas mengendus-endus lagi di situ, lalu berkata dengan kening berkerenyit, "Baunya makin menipis, coba loncat lagi ke sana."
Kiam-eng menurut, ia loncat ke dahan yang lain, segera Kalina mengendus-endus pula, katanya kemudian sambil menggeleng kepala, "Aneh sampai di sini bahkan sama sekali tidak ada baunya lagi."
"Tentu orang itu menggunakan gin-kang yang tinggi untuk melintasi pucuk pepohonan sehingga tidak meninggalkan bau apa pun," ujar Kiam-eng.
"Jika demikian halnya, daya ciumku jadi tidak ada gunanya lagi," kata Kalina.
Kiam-eng memandang sekelilingnya, yang tertampak hanya dedaunan belaka, ia tahu bilamana ingin menemukan Ih-Keh-ki di tengah rimba raya. Ini jelas tidak mudah. Segera ia bawa Kalina dan melompat turun ke bawah dan melepaskan si nona bertanya, "Tidak soal biarpun sukar menemukannya. Yang pasti cepat atau lambat orang itu tentu akan membawa Keh-ki kepadaku."
"Maksudmu, apabila Jian-lian-hok-leng itu sudah berhasil kau ambil?" tanya Kalina.
"Betul, maka sebelum berhasil aku dapatkan Jian-lian-hok-leng, aku yakin Keh-ki takkan mengalami sesuatu bahaya," ucap Kiam-eng.
"Pada waktu Jian-lian-hok-leng sudah kau dapatkan, bila orang itu minta kau serahkan obat itu kepadanya baru nona Ih akan dibebaskan, apakah kau mau?"
"Demi menyelamatkan jiwa Keh-ki, terpaksa aku serahkan Jian-lian-hok-leng yang diminta," sahut Kiam- eng setelah termenung sejenak.
"Namun dengan begitu, cara bagaimana pula akan kau sembuhkan penyakit In?"
Kening Kiam-eng berkerenyit, ucapnya dengan menyesal, "Ya, apa boleh buat, terpaksa aku cari lagi Jian-lian-hok-leng yang lain. Aku kira di tengah rimba raya yang luas ini tentu masih ada Jian-lian-hok- leng ke dua dan ke tiga."
"Akan aku bantu cari, kini aku tahu apa itu Jian-lian-hok-leng." kata Kalina. Kiam-eng terkesiap, cepat katanya, "Jangan, biar aku cari sendiri, seyogianya kau pulang saja ke tempat ayah-ibumu."
"Sebab apa?" tanya Kalina heran. "Di tengah rimba raya ini, bisa jadi aku terlena tahu di tempat mana terdapat Jian-lian-hok leng yang kau cari."
"Oo, kau tahu di tempat mana ada Jian-lian-hok-leng?" Kiam-eng menegas.
"Di bawah pohon sing tua," tutur Kalina. "Jian-lian-hok-leng yang sudah ditemukan itu dahulu juga didapatkan di bawah pohon siong.
"Betul," Kiam-eng manggut-manggut. "Getah pohon siong yang menetes dan meresap ke dalam tanah, setelah beribu tahun akan berubah menjadi Hok-leng, memang cuma di bawah pohon sing saja dapat ditemukannya. Akan tetapi, coba kau lihat di hutan lebat ini di mana-mana terdapat pohon siong, memangnya dari mana kau tahu di bawah pohon siong yang mana terdapat Jian-lian-hok-leng?"
"Ai, kiranya engkau terlebih tahu dari padaku," ucap Kalina dengan agak malu. "Semula aku sangka engkau tidak tahu Jian-lian-hok-leng itu tumbuh di bawah pohon siong."
"Makanya tidak dapat aku terima bantuanmu, lebih baik kau pulang saja," ujar Kiam-eng. "Tidak, aku tidak mau pulang!" jawab Kalina.
"Aneh, mengapa tidak mau pulang?" tanya Kiam-eng heran.
"Aku ingin ikut pergi ke kota emas," jawab Kalina dengan tersenyum manis. "Tidak boleh," Kiam-eng menggeleng, "Kamu tak mahir ilmu silat."
"Cukup memiliki keberanian dan keberanian memang ada padaku."
"Salah caramu berpikir," ucap Kiam-eng dengan tegas. "Untuk mencapai kota emas itu, mesti tidak perlu mahir ilmu silat, namun sekarang sudah banyak jago silat yang mendatangi tempat maka tempat itu bukan lagi tempat yang boleh didatangi sembarang orang."
"Pergi bersamamu, bukankah engkau wajib membelaku?" kata Kalina.
Kiam-eng tersenyum kecut, "Tidak, biarpun ingin aku bela dirimu juga mungkin tidak cukup tenagaku. Coba kau pikir, cara bagaimana nona itu hilang?"
Tiba-tiba Kalina merasa sedih, mata pun basah, ucapnya lirih, "Tidak peduli apa pun juga tetap engkau harus membawa serta diriku."
"Harus mem ... membawa serta dirimu? Kiam-eng menegas dengan bingung. "Ya, engkau harus membawa serta diriku."
"Apa ... apa alasanmu?" tanya Kiam-eng gugup.
"Sebab ... sebab aku sudah menjadi istrimu," jawab Kalina dengan menunduk malu.
"Hahh, apa katamu?" Kiam-eng terperanjat "Kau bilang kamu ... kamu sudah menjadi istriku?"
"Ya, masa engkau sudah melupakan apa yang kau katakan kepada Sinba tadi?" jawab Kalina dengan malu-malu.
Seketika Su-Kiam-eng merasa kepalanya seperti dua kali lebih besar, ucapnya dengan tergagap, "Ah, kamu salah ... salah paham. Apa yang telah aku katakan itu cuma ... cuma ... "
"Bukankah jelas kau katakan, barang siapa menang, dia akan mendapatkan diriku," tukas Kalina. "Sekarang Sinba telah kau kalahkan maka aku sudah menjadi istrimu."
"Tidak, apa yang aku katakan itu seluruhnya demi kepentingan dirimu, yaitu agar kamu terlepas dari gangguan Sinba," seru Kiam-eng. Perlahan Kalina mengangkat kepalanya, dua butir air mata lantas menitik, ucapnya pedih, "Jika begitu, jadi ... jadi engkau sengaja menipu diriku?"
Kiam-eng menggeleng kepala, katanya, "Tidak tidak, bukan maksudku hendak menipumu melainkan justru ingin aku bantu dirimu."
"Tapi di tempat kami sini, cara duel semacam itu tidak cuma untuk bantu membantu saja, apabila engkau tidak mengambil diriku, tentu setiap orang akan mentertawai diriku sebagai seorang nona yang ditolak orang, untuk ini nasibku tiada lain kecuali bunuh diri saja."
Keringat mengucur membasahi kening Su-Kiam-eng, katanya, "Ah, aku tidak tahu adat kalian ini. Sama sekali tidak aku pikirkan akan hal ini, biarlah aku minta maaf padamu, aka "
"Su-heng mu telah mengambil kakakku sebagai istri, mengapa engkau tidak dapat memperistrikan diriku?" tanya Kalina dengan tersenyum getir. "Biarpun aku tidak secantik kakak, namun aku rela meladeni dirimu selama hidup, akan aku puja dirimu dan aku layani dirimu sebagai pangeranku."
Kiam-eng menggeleng, "Tidak, aku kira engkau justru lebih cantik daripada kakakmu. Namun aku sudah mempunyai Ih-Keh-ki, kami sudah mengikat janji."
"Dia boleh menjadi istrimu, aku pun dapat menjadi istrimu," ujar Kalina. "Wah, mana boleh jadi? mana boleh sekaligus aku mengambil dua istri?"
"Aku dengar, di daerah Tiong-goan kalian juga ada kebiasaan seorang lelaki mempunyai beberapa istri?"
"Ya, tapi aku tidak boleh bertindak demikian. Kamu tidak tahu, pasti Keh-ki akan cemburu, dia takkan mengizinkan aku nikahi pula dirimu."
"Mengapa tidak boleh, biar dia menjadi istri pertama dan aku rela menjadi istri muda."
"Wah, ini bukan soal istri tua dan muda, tapi menyangkut harga diri. Tidak nanti dia membagi diriku dengan orang lain, dia "
Mendadak Kalina membalik tubuh dan menangis dengan mendekap mukanya terus berlari ke tengah hutan.
Kuatir nona itu akan membunuh diri, cepat Kiam-eng melompat dan mencegat di depannya berkata, "Nona Ka, kamu hendak ke mana?"
Kalina membuang muka dan menjawab dengan menangis, "Engkau tidak perlu urus!" "Ai, apakah kamu hendak hendak membunuh diri?" tanya Kiam-eng kuatir.
"Habis, untuk apa hidup, menjadi nona yang tidak dikehendaki orang, lebih baik mati saja dari pada hidup," sahut Kalina dengan menangis.
"Wah, janganlah engkau membunuh diri, jika kamu mati, aku menjadi serba susah." Kalina tidak menanggapi lagi, ia putar tubuh berlari pula ke sana.
Kiam-eng memburu dan menariknya, katanya "Sudahlah, jangan lari, biar aku terima permintaanmu." Perlahan Kalina menoleh, tanyanya dengan malu dan girang, "Betul? Engkau tidak bohong padaku?"
Dengan muka merah Kiam-eng menjawab, "Aku, terima permintaanmu untuk untuk ikut pergi ke kota
emas, urusan urusan lain biarlah kita bicarakan lagi kelak. Boleh?"
Dari menangis Kalina berubah tertawa, katanya, "Baiklah, asalkan engkau sudah menyanggupi aku pun tidak tergesa-gesa "
Kiam-eng menengadah dan memandang cuaca, katanya, "Jika begitu, besok kita masih harus menempuh perjalanan cukup jauh. Marilah kita berangkat sekarang."
Begitulah mereka lantas melanjutkan perjalanan bersama. Kira-kira beberapa li mereka menyusuri hutan lebat itu, selagi Kiam-eng merasa sangat lapar tak tertahankan, tiba-tiba dilihatnya ada seekor kelinci liar sedang makan rumput di bawah pohon sana.
Segera ia menarik Kalina agar berhenti, perlahan ia pungut sepotong batu terus disambitkan dengan cara melempar senjata rahasia.
"Plok," dengan tepat batu itu mengenai kepala kelinci. Binatang kecil itu menggelepar dan berkelojotan beberapa kali, lalu tidak bergerak lagi.
"Hei, untuk apa kau serang dia?" tanya Kalina dengan tercengang.
Secepat terbang Kiam-eng memburu ke sana untuk menjemput kelinci buruannya itu, katanya dengan tertawa, "Sudah dua hari aku tidak makan apa pun, sungguh bisa bejat perutnya saking laparnya."
Habis berkata segera ia lolos belati dan hendak menyembelih kelinci itu.
Kalina mendekat dan mengambil belati Kiam-eng itu, katanya dengan tertawa, "Biarkan aku kerjakan bagimu, boleh kau bikin api."
Kiam-eng tahu si nona pasti lebih pandai memotong kelinci itu daripada dirinya, segera ia mencari ranting kayu kering, dikeluarkan alat ketikan untuk membuat api.
Setelah membuat segundukan api unggun, sementara itu Kalina juga sudah selesai menyembelih kelinci itu dan membeset kulitnya dengan bersih dengan sepotong kayu ia tusuk tubuh kelinci, lalu dipanggang di atas api unggun.
Tidak lama kemudian, kelinci panggang itu pun sudah masuk dan mengeluarkan bau sedap.
Kalina memotong sebelah paha kelinci, dikeluarkan pula sebungkus kecil garam dan dibubuhkan pada paha kelinci panggang itu, habis itu baru disodorkan kepada Su-Kiam-eng, katanya dengan tertawa, "Nan, silakan makan!"
"Hei, dari mana garam itu?" tanya Kiam-eng heran girang.
"Aku bawa dari rumah," tutur Kalina tertawa, "Untuk hidup di tengah rimba raya seperti ini garam adalah benda yang tidak boleh absen."
"Sebenarnya kami pun membawa garam yang cukup cuma bersama rangsum lain kemarin malam telah direbut musuh," habis berkata, dengan lahap ia makan kelinci panggang itu.
Kalina juga menyobek daging kelinci panggang itu dan dimakan sambil bertanya pula, "Eh, begitu tinggi ilmu silatmu, siapa pula yang mampu merebut barangmu?"
"Mereka adalah para pemimpin Hoa-san-pai. Kong-tong-pai, Tiam-jong-pai dan Thai-kek-bun, mereka licik dan licin, pada waktu kami kelelahan sehabis membuat sebuah sampan, maka dengan leluasa mereka dapat merebut peta, rangsum dan sampan kami itu."
"Nona Ih itu sangat cantik bukan?" tanya Kalina dengan tertawa.
Kiam-eng tersenyum kikuk, "Ya, dia seorang nona yang sangat menyenangkan ... " "Aku kira dia pasti jauh lebih cantik dari padaku," ucap Kalina.
"Tidak, kalian masing-masing mempunyai kelebihan sendiri-sendiri."
Melihat paha kelinci itu hampir habis dimakan anak muda itu, segera Kalina memotong lagi bagian paha kelinci yang lain dan disodorkan padanya, katanya pula. "Di tengah suku bangsa kami, semua orang sama memuji kami kakak beradik sangat cantik. Namun aku merasa diriku sangat buruk muka."
Kiam-eng menerima paha kelinci panggang yang diberikan itu, selagi hendak menanggapi ucapan Kalina itu, tiba-tiba ada orang menukas tengah hutan bagian belakang sana, "Hei, Su-siau-hiap, sisakan sedikit untuk kami!"
Suara orang rasanya seperti sudah dikenal, keruan Kiam-eng terkejut, cepat ia buang paha kelinci dan melolos pedang lalu membentak sambil menoleh, "Siapa itu?"
Dari balik pohon sana segera muncul dua orang, kiranya Bok-tian dan Ni-kik-bu-siang, ke dua setan jangkung dan pendek itu.
"Oo, kiranya kalian!" ucap Kiam-eng meski dalam hati merasa was-was.
Dengan tubuhnya yang gemuk buntek si setan lempung melangkah maju dan menjawab dengan tertawa, "Betul, memang kami adanya Su-siau-hiap merasa sangat di luar dugaan bukan?"
Sedapatnya Kiam-eng berlagak tenang, katanya dirimu tertawa, "Betul sebab aku sangka kalian sudah pulang ke Tiong-goan."
Si setan lampung berdiri beberapa meter di sebelah sana, ucapnya. "Setelah kami merasa tertipu, mana kami mau telan mentah-mentah dikerjai orang? Makanya kami putar kembali ke sini."
"Kalina memberikan sehelai peta palsu kepadaku, yang tertipu seharusnya kan diriku dan bukan kalian?" ujar Kiam-eng.
"Tidak, yang tertipu adalah kami berdua," kata si setan lempung. "Sebab pada waktu kami memberikan peta palsu itu, peta yang asli kan berada padamu, betul tidak?"
Tiba-tiba si setan kayu mendengus, "Hm, buat apa banyak omong dengan dia, Lo-ji, lekas turun tangan saja!"
Si setan lempung mengangguk, katanya pula sambil menatap tajam pada Su-Kiam-eng, "Nah bagaimana, kamu ingin peta atau ingin nyawa?"
Kiam-eng dapat melihat keadaan kedua lawan itu sudah penuh napsu membunuh meski kelihatannya mereka masih tersenyum simpul, ia pikir peta sendiri sudah diambil orang, buat apa mengadu dengan kedua setan ini, maka ia pun menjawab, "Sudah tentu aku ingin nyawa saja."
"Jika begitu, serahkan petanya," ujar si setan lempung dengan tertawa.
"Wah, kedatangan kalian agak lambat sedikit," sahut Kiam-eng. "Apabila kemarin malam kalian menyusul ke sini, tentu peta itu akan menjadi milik kalian."
"Kau bilang apa? Memangnya peta itu tidak berada lagi padamu?" tanya si setan lempung dengan melengak.
"Betul peta sudah direbut lari oleh ke tiga ketua Hoa-san, Tiam-jong dan Thai-kek-bun," tutur Kiam-eng.
Dengan sendirinya si setan lempung tidak mau percaya, jengeknya, "Hehe, ke tiga ketua kentut busuk itu terhitung jagoan apa, masakah mereka mampu merebut barang dari tangan Su-siau-hiap?"
"Bicara tentang ilmu silat memang mereka jangan harap akan dapat merebut barangku. Tapi mereka mengerubutku pada saat kami tidak berdaya karena kelelahan habis kerja berat, maka dengan mudah peta itu dapat mereka rebut."
"Huh, jangan percaya kepada obrolannya, Lo-ji," jengek si setan ukiran kayu dengan tak sabar. "Sudahlah, turun tangan saja!"
Si setan lempung lantas menggulung lengan baju dan berucap, "Nah, majulah, anak muda. Kami sudah berunding sebelum ini bahwa selanjutnya takkan percaya lagi kepada ocehanmu yang muluk-muluk, sudah menjadi keputusan kami, yaitu serahkan peta dan urusan pun selesai, kalau tidak, biarlah kita berkelahi saja."
"Untuk berkelahi masakah aku jeri kepadamu?" jawab Kiam eng. "Soalnya, peta itu memang sudah tidak berada padaku lagi, untuk apa kita berdua pihak mesti membuang tenaga percuma?"
Si setan lempung terkekeh dua kali, mendadak sebelah tangan menyodok ke depan membawa angin pukulannya yang dahsyat, pada saat daun kering ikut berterbangan tersapu oleh angin pukulannya, serentak ia mendesak maju dan menghantam ke arah Su-Kiam-eng.
Cepat Kiam-eng menarik Kalina dan melompat mundur beberapa tindak, lalu berseru, "He setan pendek tua bangka, cara bagaimana agar kau mau percaya peta itu tidak berada lagi padaku."
Kembali si setan lempung menghantam sambil terkekeh, "Hehe, boleh tanggalkan pakaianmu dan aku geledah baru aku mau percaya." Kiam-eng menjadi gusar, ia rangkul dan bawa Kalina melompat mundur lagi, lalu ia lepaskan si nona, segera ia lolos pedang dan memapak musuh.
Maka terjadilah pertarungan seru antara seorang muda di tengah hutan lebar.
Meski kung-fu Kui-kok-ji-bu-siang tidak setinggi Sam-bi-sin-ong, namun bagi Su-Kiam-eng, pertarungan ini boleh dikatakan pertempuran paling sengit sejak dia berkecimpung di dunia kang-ouw.
Setelah bergebrak beberapa puluh jurus, lambat laun Kiam-eng terdesak mundur oleh tenaga pukulan si setan lempung yang dahsyat itu. Kalau saja lawan tidak gentar juga terhadap ilmu pedang halilintar perguruannya tentu sejak tadi Kiam-eng, tidak mampu melawannya. Dan karena rasa jeri si setan lempung itulah, maka seketika dia tidak dapat mengalahkan anak muda itu.
Melihat kawannya sukar memperoleh kemenangan dalam waktu singkat si setan kayu menjadi tidak sabar, segera ia menggeser ke tempat berdiri Kalina, tujuannya hendak menawan gadis itu untuk memaksa Su-Kiam-eng agar mau menyerah.
Melihat si setan kayu menuju ke arahnya apalagi wajah orang yang serupa hantu itu, keruan Kalina ketakutan, tanpa terasa ia menyurut mundur selangkah demi selangkah sambil berseru "Hei, kamu ... kamu mau apa?"
Si setan kayu menyeringai seram, sekonyong-konyong sebelah tangannya meraih dan bermaksud mencengkeram pergelangan tangan si nona.
Dengan kepandaian si setan kayu yang tinggi itu, jangankan Kalina yang tidak mahir ilmu silat biarpun jago kelas tinggi juga pasti akan tertangkap olehnya.
Siapa tahu justru pada saat tangan si setan hampir menyentuh pergelangan tangan Kalina itu, tiba-tiba tubuh si nona menggeliat, serupa ditarik orang dari belakang, dengan cepat dapat menghindarkan cengkeraman si setan kayu itu.
Keruan setan kayu bersuara heran, selagi hendak mencengkeram pula, tahu-tahu Kalina sudah menyelinap ke balik sebatang pohon besar menyusul sesosok bayangan orang lantas berkelebat mendadak dari balik pohon muncul seorang kakek berambut putih.
Siapa lagi dia si kakek ini kalau bukan Sam-bi-sin-ong Pek-li-Pin.
Dengan sendirinya si setan kayu kenal kakek yang terkenal sebagai jago nomor lima di dunia itu. Keruan ia terkejut dan berteriak aneh serentak ia melompat mundur dua-tiga meter sambil berseru, "Ha, Pek-li- heng, engkau juga datang ke mari?"
Sam-bi-sin-ong terbahak-bahak, "Percaya atau tidak terserah padamu, aku justru sudah datang dulu daripada kalian Kui-kok-ji-bu-siang."
Mendengar suara gelak tertawa Sam-bi-sin-ong itu barulah Su-Kiam-eng dan si setan lempung yang sedang bertempur dengan sengit itu tahu kedatangan tokoh persilatan lain, tanpa terasa mereka sama melompat mundur dan berpaling ke sana.
Sekali pandang yang diam-diam mengeluh tentu saja Su-Kiam-eng.
Apa yang dilakukan di Tiong-ciong tempo hari mustahil Sam-bi-sin-ong dan Cu-kat-Siong mau tinggal diam, sekarang mereka sudah menyusul tiba, akibatnya bagaimana sungguh tidak sulit untuk dibayangkan.
MISSING PAGES 42-43
nya kemudian. "Jika kalian tidak gentar terhadap Yan-mo-tan ku, terpaksa aku tampilkan pembantu yang bukan kawanku."
"Siapa yang kau maksudkan? Apa barangkali tongkat kepala ular yang kau pegang itu?" tanya si setan lempung.
"Bukan," sahut Sam-bi-sin-ong sambil menuding ke hutan di depan sana. "Yang aku maksudkan adalah dia!" Waktu si setan lempung menoleh baru dilihatnya dari balik pohon sana perlahan muncul seorang kakek lain, siapa lagi dia kalau bukan rase tua Cu-kat-Siong.
Keruan ia terkejut dan berseru kepada saudaranya, "Hei, Lo-toa, bagaimana pandanganmu"
Si setan kayu mengangkat pundak, jawabnya, "Biasanya saudaramu ini paling hormat dan kagum terhadap si rase tua Cu-kat-Siong sekarang kalau Cu-kat-heng sudah datang kemari, terpaksa kita harus mengalah dan mencari kesempatan lain lagi."
Habis berkata, ia memberi hormat kepada Sam-bi-sin-ong dan Lau-ho-li, lalu meloncat ke atas pohon dan melayang pergi secepat terbang.
Si setan lempung juga tidak mau bertempur jika tidak yakin akan menang, segera ia pun melompat ke atas dan dalam sekejap saja menghilang di tengah hutan.
Apa yang terjadi ini sungguh di luar dugaan Kiam-eng. Semula ia sangka di antara Kui-kok-ji-bu-siang di suatu pihak dan Sam-bi-sin-ong serta Lau-ho-li di lain pihak pasti akan terjadi pertarungan, tentu dirinya akan sempat meloloskan diri. Sekarang Ji-bu-siang ternyata kabur begitu saja tanpa bertempur, hal ini sungguh merupakan suatu akhiran yang paling buruk baginya.
Benar saja, melihat Ji-bu-siang yang senantiasa tertawa itu mendadak lenyap dan berubah menjadi dingin kaku, ia tatap Su-Kiam-eng dan mendengus. "Nah, anak muda, susah juga kami menarikmu kian kemari!"
"Ah, masakah susah?" jawab Kiam-eng tersenyum. "Yang jelas, aku kira kota emas itu bukanlah barang yang harus diperoleh kalian."
Memangnya kau kira siapa yang berhak mendapatkan kota emas itu?" jengek Sam-bi-sin-ong. "Yaitu ribuan orang perempuan cacat yang tinggal di Li-hun-to itu," tutur Kiam-eng. "Mereka MISSING PAGES 46-47
itu, katanya kemudian dengan tertawa, "Nona ini sangat molek, bukan?"
Kiam-eng tahu tujuan ucapan si kakek, dengan gusar ia menjawab, "Ingat, kamu Sam-bi-sin-ong juga seorang tokoh yang terkemuka dan terhormat."
Sam-bi-sin-ong tertawa, "Jangan kuatir, asalkan kau serahkan peta dan obat yang aku minta, tidak nanti aku bikin susah dia."
"Hm, peta sudah dirampas oleh para ketua Hoa-san-pai dan begundalnya, berulang-ulang hal ini sudah aku katakan, apakah kamu tuli?" dengus Kiam-eng.
"Jika begitu, biarlah aku geledah tubuhmu." Sam-bi-sin-ong tetap ngotot.
Watak Su-Kiam-eng cukup bandel, ia merasa tubuhnya digeledah orang adalah semacam penghinaan, maka ia menggeleng dan menjawab, "Tidak, kalau berani boleh coba kita berkelahi saja."
"Huh, memangnya kau kira aku tidak mampu mengatasimu?" jengek Sam-bi-sin-ong.
"Aku yakin begitu," ucap Kiam-eng. "Betapapun kamu Sam-bi-sin-ong juga tidak banyak lebih hebat daripada Kui-kok-ji-bu-siang. Kalau tidak percaya boleh saja kita coba-coba."
"Haha, bagus, bagus!" Sam-bi-sin-ong terbahak, "Kamu sungguh anak muda yang tidak menghormati orang tua. Biarlah hari ini juga aku hajar adat padamu."
Begitu lenyap suaranya, tongkat kepala ular bergerak, langsung ia sodok ke arah Su-Kiam-eng.
Anak muda itu menyadari pertarungan ini sukar untuk menang, maka dia tidak merasa tegang dengan pedang melintang untuk menangkis segera ia geser ke samping, berbareng dengan gaya "Hwe-liong- tiam-cu" atau naga melingkar mencaplok mutiara, pedangnya kontan balas menusuk perut lawan.
Biarpun Sam-bi-sin-ong terhitung salah satu tokoh terkemuka dunia persilatan, namun ia pun tidak berani meremehkan kung-fu andalan Lok-cing-hui, maka ketika tusukan Su-Kiam-eng menyambar tiba, segera ia mengelak, tongkat ditarik menyusul lantas menyerampang kaki lawan. Kalau bicara tentang kepandaian sejati, paling-paling Su-Kiam-eng hanya sanggup bertahan 50 jurus saja. Akan tetapi setelah saling gebrak, dalam sekejap saja 70 jurus sudah lalu dan anak muda tetap belum ada tanda tanda akan kalah.
Dengan sendirinya hal ini membuat Lau-ho-li yang menonton di samping merasa terkesiap dan terheran- heran.
Rupanya setelah Su-Kiam-eng menyadari bukan tandingan Sam-bi-sin-ong, akhirnya dirinya pasti kalah, maka perasaannya tidak merasa tegang melainkan berubah sangat tenang dan bertarung secara santai, namun setiap jurusnya teratur rapi tanpa memberi titik lemah bagi lawan. Sebab itulah lawan tangguh sebagai Sam-bi-sin-ong seketika sukar menaklukkan anak muda itu.
Sebaliknya makin lama makin dirasakan tidak enak oleh Sam-bi-sin-ong, ia pikir kalau dalam seratus jurus dirinya tidak dapat mengalahkan anak muda ini, bila kejadian ini tersiar ke dunia kang-ouw, maka gengsinya pasti akan runtuh habis-habisan.
Maka ketika sudah mendekati seratus jurus mendadak ia pergencar serangan, sekaligus ia melancarkan tujuh serangan tongkat maut.
Namun Su-Kiam-eng bertambah tangkas menghadapi serangan gentar itu, ia bersuit panjang, pedangnya berputar cepat, sekaligus ia pun menggunakan berbagai gerakan Sam-bi-sin-ong. Akan tetapi pada tangkisan terakhir, lantaran gerak pedangnya kurang tepat, maka bagian bahu terserempet juga oleh musuh. Keruan ia tergeliat dan cepat melompat mundur.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Sam-bi-sin-ong, sambil mendesak maju jari tangan kiri lantas menutuk Ciang-bun-hiat bagian pinggang Kiam-eng. Karena tidak sempat mengelak, Kiam-eng bersuara tertahan dan kontan roboh terjungkal.
Sam-bi-sin-ong seperti habis menyelesaikan satu tugas berat, ia menghela napas panjang, katanya terhadap Lau-ho-li dengan tersenyum getir, "Tak tersangka bocah ini sedemikian hebat, dasar murid raja pedang, ternyata tidak bernama kosong."
"Betul," jawab Lau-ho-li dengan tertawa. "Bila bocah ini tidak dilenyapkan, tiga atau lima tahun lagi kita pasti akan terdesak ambles ke bawah."
Sam-bi-sin-ong melengong oleh ucapan itu, "Maksudmu ..."
"Pek-li-heng kan orang pintar, masakah ingin meninggalkan bencana di kemudian hari?" tukas Lau-ho-li dengan terkekeh.
Sam-bi-sin-ong menggeleng sembari menatap, "Su-Kiam-eng yang menggeleng tak berkutik itu katanya, "Tidak, aku mau berbuat hal seperti ini."
Lau-ho-li tersenyum licik, ucapnya, "Apa alasan Pek-li-heng tidak mau membunuhnya." "Tidak ada sakit hati atau dendam kesumat antara dia dan aku," kata Sam-bi-sin-ong.
"Tapi apakah anak muda ini juga berpikir seperti dirimu?" tanya Lau-ho-li. "Apalagi bocah ini pasti akan melaporkan apa yang terjadi sekarang ini kepada gurunya, dan bila kelak Lok-Cing-hui mencarimu, cara bagaimana akan kau beri penjelasan padanya?"
Sam-bi-sin-ong termenung dengan kening berkerenyit, "Ya, urusan pada waktu itu tentu agak repot, cuma ... ah, peduli dia, lihat saja keadaan nantinya."
"Di sini sekarang hanya ada kita berdua, aku kira janganlah Pek-li-heng membuang kesempatan baik ini, kalau tidak, bahaya di kemudian tentu takkan habis-habis."
Mendadak Sam-bi-sin-ong tersenyum, "Jika begitu, boleh engkau saja yang membereskan dia."
Terkesiap juga Lau-ho-li, katanya dengan tertawa kikuk, "Hehe, kan sama saja Pek-li-heng yang turun tangan?"
"Tidak sama," kata Sam-bi-sin-ong. "Bila aku bunuh anak muda ini, tentu gurunya akan tahu, tatkala itu
... hehe, mungkin setengah bagian kota emas yang aku peroleh itu akan jatuh keseluruhannya di tanganmu si rase tua ini." Lau-ho-li tampak kurang senang oleh olok-olok itu, "Cara begini bicara Pek-li-heng, apakah karena kau kuatir akan aku laporkan kejadian ini kepada Lok-Cing-hui."
"Betul, aku cukup kenal kepribadianmu si tua ini."
"Ai, padahal sekarang kita sudah sepakat bekerja sama dan bersekutu sehidup semati. Tak sangka Pek- li-heng masih saja tetap tidak percaya padaku. Sungguh harus disesalkan."
"Tidak sulit bila ingin aku percaya padamu," dengus Sam-bi-sin-ong. "Sekarang juga boleh kau turun tangan membunuh Su-Kiam-eng ini dan seterusnya pasti aku percaya penuh padamu."
"Tidak, kalau Pek-li-heng tidak percaya padaku, ada ubi ada talas, dengan sendirinya aku pun tidak percaya padamu," jawab Lau-ho-li sambil menggeleng.
Sam-bi-sin-ong terbahak dan segera berjongkok untuk menggeledah tubuh Su-Kiam-eng.
Sampai sekarang ia tetap masih mengira peti dan obat masih berada pada anak muda itu, sebab itulah setelah sekujur badan Kiam-eng digeledah seluruhnya dan tidak menemukan barang yang diharapkannya, seketika air mukanya berubah hebat.
"Wah, peta dan obat ternyata benar tidak berada pada bocah ini lagi," katanya dengan kecewa.
Lau-ho-li juga merasa tidak terduga, ucapnya bingung, "Oo, jangan-jangan memang benar telah di bawa lari ke tiga ketua Hoa-san-pai dan lain-lain."
Sam-bi-sin-ong mendengus perlahan, sorot matanya beralih ke arah Kalina yang menggeleng di tanah itu dan bertanya, "Apakah juga sudah kau geledah tubuh anak dara itu?"
"Sudah, juga tidak menemukan apa pun," jawab Lau-ho-li.
Langsung Sam-bi-sin-ong menjambret baju dada Su-Kiam-eng dengan marah, bentaknya, "Ayo lekas katakan, peta dan obat telah kau sembunyikan di mana?
Hiat-to kelumpuhan Kiam-eng tertutuk hingga tak bisa berkutik, namun pikirannya masih jernih mulut dapat bicara, segera ia mendengus, "Hm, bukankah tadi sudah aku katakan,"
"Omong kosong!" teriak Sam-bi-sin-ong. "Maka ke tiga ketua ciang-bun-jin apa segala mampu merampas peta dan obat dari tanganmu?"
"Hal ini kan tadi juga sudah aku jelaskan?" ucap Kiam-eng tak acuh.
Dengan gemas Sam-bi-sin-ong mengentakan tubuh Kiam-eng, tanyanya pula, "Kapan mereka merampas peta dan obat darimu?"
"Kemarin malam!" jawab Kiam-eng.
"Mengapa tidak kau kejar mereka?" tanya Sam-bi-sin-ong pula.
"Tidak dapat aku susul mereka, sebab mereka membawa lari sebuah sampan kecil yang baru saja kami bikin ..."
Sam-bi-sin-ong berdiri, ia terdiam sebentar, tanya lagi, "Nona Ih yang semula datang bersama itu sekarang berada di mana?"
"Kemarin ia pun diculik oleh seorang yang tak jelas asal-usulnya," tutur Kiam-eng. "Hah, mengapa kau bilang tidak jelas asal-usulnya" tanya Sam-bi-sin-ong heran.
"Sebab aku tidak tahu siapa dia, juga tidak tahu apa maksud tujuannya menculik nona Ih," jawab Kiam- eng.
"Jangan-jangan peta dan obat kau bawakan kepada nona Ih itu?" "Apakah kau kira mungkin terjadi hal demikian?" Sam-bi-sin-ong juga merasa tidak mungkin Kiam-eng berbuat begitu, maka ia berkata kepada Lau-ho-li, "Marilah berangkat, kita harus menempuh perjalanan siang dan malam agar dapat menyusul ke tiga ciang-bun-jin itu."
"Dan bagamana dengan dia?" tanya Lau-ho-li sambil menuding Kiam-eng. "Setengah jam lagi dia akan sembuh dengan sendirinya."
Habis berkata segera Sam-bi-sin-ong mendahului berlari cepat ke sana.
Segera pula Lau-ho-li menyusul dengan sama cepatnya, hanya sekejap mereka sudah menghilang di tengah kelebatan hutan.
Melihat mereka sudah pergi jauh, Kiam-eng lantas meronta untuk membalik tubuh, dengan mengesot ia coba bergeser ke tempat Kalina sambil bertanya, "Bagaimana keadaanmu, nona Ka?"
"Aku tidak apa-apa, cuma tubuh tidak dapat bergerak," jawab Kalina.
Setelah merambat sampai di samping si nona, Kiam-eng berkata pula. "Hiat-to kelumpuhan ditutuk mereka, maka tidak dapat berkutik ..."
"Dan engkau sendiri bagaimana?" tanya Kalina.
"Sama, aku pun tertutuk bagian lain yang membuat sekujur badan sakit pegal dan tak bisa bergerak. Perlu menunggu sementara waktu dan akan sembuh dengan sendirinya."
"Mendingan begitu, sungguh tadi sangat aku kuatirkan mereka akan membunuhmu ... Eh, apakah mereka itu?"
"Yang satu bernama Sam-bi-sin-ong Pek-li-Pin, yang lain bernama Lau-ho-li Cu-kat-Leng, semuanya tokoh kelas wahid dari kalangan hitam."
"Kung-fu mu juga sangat tinggi, mengapa tidak dapat kau kalahkan dia?" tanya Kalina.
"Keuletan latihan mereka sudah dua kali umurku, mereka adalah tokoh setingkat guruku, jika tadi dapat ditandingi dia sampai hampir ratusan jurus sudah terhitung luar biasa," tutur Kiam-eng dengan tersenyum.
"Apakah mereka juga hendak berebut kota emas itu?" tanya Kalina lagi.
"Betul, sebenarnya mereka adalah maha guru dunia persilatan terkenal di daerah Tiong-goan, selamanya mereka tinggi hati dan sok jaga gengsi akan tetapi daya pikat kota emas itu terlampau kuat sehingga membuat mereka lupa daratan dan tidak pikir harga diri lagi."
Bicara sampai di sini, sebisanya ia angkat tangan kanan terus memukul pinggang si nona. Keruan Kalina terkejut, tanyanya dengan terbelalak, "Hai, mengapa kau pukul aku?"
"Bukan sengaja aku pukul dirimu, maksud hendak membebaskan hiat-to mu yang tertutuk itu." sahut Kiam-eng.
"Oo, jika begitu, silakan pukul lagi," kata Kalina dengan tertawa. "Tidak bisa, tenagaku kurang kuat, harus tunggu sebentar ..." "Harus tunggu lagi berapa lama?" tanya Kalina.
"Sebentar lagi, biar tenagaku pulih baru dapat aku kerjakan."
"Sebentar sebelum tenagamu pulih tidak ada binatang buas yang lalu di sini ..." gumam Kalina dengan kuatir.
Tergetar juga hati Kiam-eng, pikirnya, betul juga. Dalam keadaan demikian, apabila ada binatang buas yang muncul di sini, tentu aku dan dia bisa tamat."
Terpikir demikian, tanpa terasa ia merasa tegang. Celakanya, pada saat itu juga, tiba-tiba di tengah hutan sana terdengar suara kresek-kresek, suara langkah kaki yang berat.
Hah, ternyata benar kedatangan binatang buas, Keruan Kiam-eng sangat kuatir, serunya "Wah, celaka, nona Ka, seekor harimau lagi datang!"
Suara kresek-kresek itu pun sudah di dengar oleh Kalina, mukanya tampak pucat ketakutan, ucapnya dengan menangis. "O, Tuhan, tak tersangka kami akan mati menjadi mangsa binatang buas ...
Suara kresek tadi terdengar semakin mendekat makin jelas.
Kiam-eng pegang pedangnya dan coba berdiri dengan sempoyongan, akan tetapi setelah berdiri, merasa tidak kuat mengangkat pedang. Ia menghela napas dan berkata dengan menyesal, "Wah, maaf nona Ka, apabila engkau tidak ikut bersamaku di sini ..."
Baru bicara sampai di sini, suara gemersek tadi sudah semakin dan rasanya sudah berada beberapa meter saja di dalam hutan sana.
Dan memang benar, segera muncul sesosok tubuh, seorang berkedok dan berbaju hijau muncul dari balik pohon.
Melihat yang datang ini bukan harimau melainkan seorang berkedok, tanpa terasa Kiam-eng bersuara terkejut.
Orang berkedok ini berbaju hijau seluruhnya bagian kepala pakai kerudung kain hijau pula, hanya kelihatan dua lubang mata dan tampaknya tidak membawa sesuatu senjata, juga tidak jelas dia lelaki atau perempuan dan entah berapa usianya, jika perlu dilukiskan, maka dia lebih mirip arwah halus yang gentayangan di tengah rimba raya ini.
Cuma, ada satu hal segera dapat dilihat oleh Su-Kiam-eng, yaitu, orang berkedok hijau yang muncul sekarang ini mutlak bukan orang berkedok hitam yang menculik su-heng nya itu.
Karena itulah segera Kiam-eng menduga orang ini pastilah orang yang pernah hendak mencelakainya dengan sambitan batu itu. Tentu ia terkejut dan kebat-kebit, biarpun yang muncul ini bukan seekor harimau, namun jiwa sendiri dan Kalina tetap akan melayang.
Sedapatnya ia berlagak lincah dan tenang, ia tatap orang berkedok hijau itu dan menegur, "Engkau siapa?"
Orang berkedok hijau itu berhenti beberapa meter di depan sana, jawablah dengan suara yang seram. "Raja rimba!"
"Raja rimba?!" Kiam-eng mengulang nama dengan melengong.
"Ya, raya rimba ini," orang berkedok hijau itu mengangguk. "Raja yang menguasai seluruh rimba raya liar ini, barang siapa berani terobosan rimba ini tanpa izinku, setiap orang harus mati tanpa kecuali."
"Sebab itulah kau celakai su-heng ku sehingga dia tertawan oleh Sinba?" tukas Kiam-eng. "Siapa nama su-heng mu?" orang itu balas tanya.
"Gak-Sik-lam!"
"Ah, betul. Memang akulah yang melukai dia dengan batu sehingga dia kena ditawan oleh Sinba." "Dan orang menculik nona Ih kemarin itu juga dirimu?"
"Betul!"
"Bagaimana keadaan nona Ih sekarang."
"Kan sudah aku katakan tadi, barang siapa berani terobosan di rimba ini harus mati!" "Maksudmu, dia sudah mati?" "Belum? Cuma jaraknya dengan kematian sudah tidak jauh."
"Sementara ini sudah sebanyak orang ini menerobos ke tengah rimba wilayah kekuasaanmu ini, mengapa tidak kau hadapi mereka, sebaliknya melulu kami saja yang kau persulit?"
"Soalnya kalian berdua yang pertama menerobos ke tengah rimba ini, maka kalian yang harus mati lebih dulu."
"Apa tujuanmu ingin menanggapi sendiri kota emas itu?" tanya Kiam-eng.
"Bukan menguasai sendiri melainkan ingin aku pertahankan dia. Aku larang siapa pun berusaha merusaknya"
"Namun kami hanya ingin mengambil sepotong Jian-lian-hok-leng di tempat itu dan sama sekali maksud merusaknya,"
"Hehe, mengenai hal ini, biarpun kau bicara sampai mulutmu kering juga aku tidak percaya."
"Kalau tidak percaya boleh juga kau pergi bersamaku untuk menyaksikannya, aku hanya menghendaki Jian-lian-hok-leng, sedangkan orang-orang lain justru merampok harta karun yang berada di kota emas itu."
"Tidak, aku takkan ikut pergi bersamamu, aku cuma ingin membunuh."
Bicara sampai di sini, segera si orang berkedok kain hijau melangkah ke arah Su-Kiam-eng.
Diam-diam Kiam-eng mencoba tegangnya dan terasa belum lagi kuat mengangkat pedang, tentu saja ia gelisah dan kuatir, cepat ia membentak, "Nanti dulu masih ada yang hendak aku katakan."
Orang berkedok itu berhenti di depan Kiam-eng dan bertanya, "Apalagi yang hendak kau katakan?" "Aku ingin tahu engkau ini siapa? Apakah kau berani menyebutkan namamu?"
Si orang berkedok menjawab, "Aku tidak punya nama dan juga tiada she, sebutanku adalah Jiong-lim-ci- ong (si raja rimba), hanya itu saja!"
"Dengan demikian, jadi sebutan itu hanya dirimu ini manusia liar yang masih biadab, begitu?" "Betul, aku memang manusia liar dan biadab."
"Tapi aku rasakan engkau ini orang Han?!"
Orang itu tidak menanggapi melainkan berkata, "Bicaramu sudah selesai belum?"
"Belum. Ingin aku tanya, mengapa engkau sengaja menyebut diri sebagai raja di tengah rimba raya ini?" "Hanya karena rasa suka saja,"
"Hm, aku kira tidak seluruhnya benar."
"Cara bagaimana kau pikir boleh terserah padamu. Yang jelas hari ini kamu takkan hidup lebih lama lagi."