Jilid 39
“Sekarang kau harus memandang jelas duduknya keadaan, bila sampai mengambil jalan kekerasan, maka siapa pun jangan harap bisa mendapatkan kebaikan, apa yang kau takuti sudah kami ketahui dengan jelas, lebih baik kita bicarakan persoalan ini secara terang terangan saja. Sebetulnya kau hendak menempuh jalan yang mana? Mau sama sama menderita rugi ataukah bisa kembali ke istana Ban seng kiong dengan lancar dan tanpa halangan sesuatu pun?”
Ketika rahasia hatinya dibongkar, kakek bertubuh kurus itu menjadi mengenaskan sekali keadaannya, dia termenung sebentar lalu tanyanya pelan :
“Kalian hendak mengajukan syarat apa?”
“Serahkan kedua orang itu kepada kami dan biarkan mereka meninggalkan tempat ini.”
Sebelum kakek kurus itu memberikan pernyataannya, kakek yang pernah bertarung melawan Bu Im itu sudah berseru :
“Tidak boleh, kalian ingin pergi kalian boleh segera pergi, pokoknya kami berjanji tak akan menyiksa Thi sauhiap sepanjang perjalanan ….!”
Mendengar perkataan tersebut, kakek kurus itu segera mengajak kakek yang menampik itu untuk berunding, katanya : “Saudara Liu, kedua orang bocah perempuan ini berpengaruh besar sekali terhadap Thi Eng khi, sulit bagi kita untuk mendapatkan kesempatan sebaik ini untuk menguasai mereka.”
Kakek she Liu itu segera berkemak kemik mengemukakan pula pendapatnya dengan ilmu menyampaikan suara :
“Saudara Oh, tenaga dalam yang dimiliki dua orang budak ini sangat lihay, terutama sekali orang she Ciu itu, pada hakekatnya memiliki kepandaian yang tiada taranya di dunia ini, apabila kita harus mengajak serta mereka, bukankah sepanjang hari kita harus menguatirkan mereka serta mencari kesulitan bagi diri sendiri?”
“Pendapat saudara Liu memang benar, tapi siaute rasa kita masih mempunyai cara lain, ” kata kakek kurus she Oh lagi dengan ilmu menyampaikan suara.
Pek leng siancu So Bwe leng yang menyaksikan mulut mereka berkemak kemik segera tahu kalau orang orang itu sedang berunding, tak tahan lagi serunya sambil tertawa dingin :
“Kalau hanya menghadapi persoalan sekecil ini saja sukar untuk mengambil keputusan, buat apa kalian munculkan diri, untuk membuat malu saja.”
Kakek kurus she Oh itu segera berkata :
“Kecuali kalian berdua bersedia membiarkan jalan darah kalian ditotok hingga sepanjang jalan kami pun dapat berlega hati. Kalau tidak, lebih baik kalian pergi saja, lohu pun tak ingin menahan kalian lebih jauh.”
Permintaan seperti ini sesungguhnya sudah berada dalam dugaan Ciu Tin tin serta Pek leng siancu So Bwe leng, maka paras muka mereka sama sekali tidak menunjukkan kaget atau tercengang meski telah mendengar perkataan itu, untuk dapat merawat dan melayani kebutuhan Thi Eng khi sepanjang jalan, tentu saja mereka tak pedulikan tentang persoalan tersebut.
Apalagi kedua orang itu tak ingin dirinya didahului oleh yang lain, maka serentak mereka menyanggupi permintaan itu. Sedangkan Thi Eng khi sendiri, untuk lebih memperlihatkan kesungguhannya, dia menunjukkan sikap yang lebih gugup dan menderita, bahkan berdaya upaya untuk membatalkan keputusan mereka berdua itu.
Bu im sin hong Kian Kim siang maupun Sam ku sinni juga mencak mencak saking cemasnya, mereka segera berseru berulang kali : “Tolol! Pikun! Mengapa kalian menyanggupi persyaratan mereka?
Apakah kalian tidak takut kalau kawanan gembong iblis itu mengingkari janji dan memberi penderitaan lain kepada kalian?”
Pek leng siancu So Bwe leng tidak menyahut, sebaliknya berseru sambil memandang kearah kakek she Oh itu :
“Nah, sudah kalian dengar perkataannya itu?” Dengan cepat kakek she Oh berseru :
“Istana Ban seng kiong merupakan suatu perkumpulan besar didalam dunia persilatan, lohu menggunakan nama baik perkumpulan kami sebagai jaminan untuk menghantar kalian bertiga hingga tiba di istana Ban seng kiong dengan selamat!”
“Nona percaya dengan perkataanmu itu,” dengan cepat Ciu Tin tin menanggapi.
Demi memperoleh kesempatan untuk merawat dan menjaga Thi Eng khi, sekalipun orang lain akan mengingkari janji pun dia tidak ambil peduli. Sebaliknya Pek leng siancu So Bwe leng segera berkerut kening sembari serunya :
“Aku masih mempunyai sebuah syarat lagi!”
“Nona So masih ada syarat apa lagi?” Tanya kakek she Oh itu dengan suara dalam.
Pek leng siancu So Bwe leng segera menunjuk kearah si Pencuri sakti Go Jit dan Siu Cu, kemudian serunya :
“Serahkan mereka kepada guruku agar diajak pergi!”
“Tentang soal ini …..” kakek she Oh itu termenung sampai lama sekali tanpa bisa menjawab.
Dengan kening berkerut Pek leng siancu So Bwe leng berseru lagi:
“Apa itu ini, bila kalian benar benar memiliki kepandaian, apakah tak bisa untuk menangkap mereka kembali?”
Ucapan tersebut penuh nada cemoohan dan menghina, sudah barang tentu si gembong iblis tersebut dapat menangkapnya.
Bayangkan saja, bagaimana tak mendongkol hatinya sesudah mendengar perkataan tersebut, apalagi syarat yang diajukan pun tidak kelewatan. Maka sambil menggigit bibir menahan diri, serunya:
“Baik! Akan lohu kabulkan permintaanmu itu!”
Kemudian sesudah berhenti sejenak, kembali dia berkata : “Tapi kau harus membiarkan kami untuk menotok jalan darah Ki
tong hiat mu lebih dulu.” Kali ini Pek leng siancu So Bwe leng tidak menampik, bahkan serunya sambil manggut manggut :
“Silahkan saja turun tangan!”
Kakek she Oh itu segera menggerakkan tangan kanannya, seketika itu juga jari telunjuk dan jari tengahnya berubah menjadi hitam pekat menyeramkan sekali. Paras muka Bu im sin hong Kian Kim siang berubah hebat, serunya dengan cemas :
“Iblis tua itu menggunakan ilmu jari Hek seng thian kang ci, nona Leng, kau tidak boleh membiarkan tubuhmu tertotok, lebih baik kita rundingkan kembali persoalan ini.”
Perlu diketahui, ilmu jari Hek seng thian kang ci yang dilatih dengan racun jahat, apabila sampai tertotok, sekalipun bisa mengerahkan tenaga untuk menembusi jalan darah pun tak ada gunanya. Thi Eng khi berkerut kening, kemudian serunya pula dengan suara gemetar :
“Adik Leng, perbuatanmu itu hanya membuat aku merasa tidak tentram saja.”
Pek leng siancu So Bwe leng segera tertawa :
“Engkoh Eng, aku bersedia berbuat demikian atas dasar kerelaanku sendiri, soal ini sama sekali tiada sangkut pautnya dengan dirimu….”
Lalu dengan wajah berubah serius, kembali ujarnya kepada kakek she Oh itu :
“Mengapa kau tidak berani turun tangan?”
Mencorong sinar buas dari balik mata kakek she Oh tersebut, serunya kemudian :
“Kalau begitu terpaksa aku harus melakukan kesalahan!”
Dia melejit ke tengah udara lalu menotok jalan darah Ki tong hiat pada tubuh So Bwe leng. Tampak diantara desingan angin jarinya lamat lamat terlihat ada segaris hitam yang meluncur kearah jalan darah Ki tong hiat di tubuh Pek leng siancu So Bwe leng.
Sambil menggertak gigi menahan diri, Pek leng siancu So Bwe leng sama sekali tidak mendengus ataupun mengeluh, namun seluruh tubuhnya telah basah oleh keringat dingin.
Sesudah menotok jalan darah Ki tong hiat ditubuh Pek leng siancu So Bwe leng, kakek she Oh itu baru tertawa terbahak bahak.
“Haaahhhh…. haaahhhh….. haaahhhh….. Hek seng thian kang ci memiliki kegunaan yang tak terkirakan, asal kau tidak mengerahkan tenaga, tanggung kau bisa bergerak dengan sekehendak hatimu tanpa merasakan penderitaan apapun.”
Agaknya penderitaan yang dialami Pek leng siancu So Bwe leng pun hanya berlangsung dalam waktu singkat, kini paras mukanya telah pulih kembali seperti sedia kala, kembali dia berkata dingin :
“Sekarang adalah waktu kalian untuk melepaskan orang!” Kakek she Oh itu segera mengulapkan tangan sembari berseru : “Lepaskan Go Jit dan Siu Cu!”
Lotoa dari Seng kiong pat cun segera turun tangan membebaskan jalan darah dari si pencuri sakti Go Jit dan Siu Cu. Dengan lemah tapi penuh rasa terharu, kedua orang itu segera merangkak bangun sembari berseru :
“Nona Leng!”
Tak tahan lagi airmatanya jatuh bercucuran membasahi wajah, saking terharunya mereka sampai tak mampu mengucapkan sepatah katapun ….
Pek leng siancu So Bwe leng segera menunjukkan sekulum senyuman di ujung bibirnya, dia berkata :
“Kalian tidak usah berterima kasih kepadaku, aku hanya berbuat demikian sambil lalu, sekarang ikutlah suhuku untuk berlalu dengan cepat dari sini!”
Baik si pencuri sakti Go Jit maupun Siu Cu, kedua duanya cukup mengetahui akan tabiat dari Pek leng siancu So Bwe leng, bersama itu dia pun tidak memperkenankan mereka mengucapkan kata kata berterima kasih, terpaksa sambil mengeraskan hati mereka berjalan menuju ke hadapan Sam ku sinni untuk bersama sama berlalu dari situ.
Ciu Tin tin lantas berkata kepada Bu im sin hong Kian Kim siang dengan suara pelan:
“Kian locianpwe, harap kau membawa mereka segera meninggalkan tempat ini.”
Menyaksikan keadaan telah berkembang menjadi begini, Bu im sin hong Kian Kim siang hanya bisa menggelengkan kepalanya berulang kali sambil menghela napas, katanya :
“Kalian harus baik baik menjaga diri.” Kemudian serunya kepada Sam ku sinni :
“Sinni, lebih baik kita segera berlalu untuk melaksanakan pekerjaan kita sendiri, ayo berangkat!” Dengan langkah lebar dia lantas beranjak keluar dari ruangan tersebut. Siapa sangka, pada saat itulah mendadak meluncur datang seseorang dari luar dan langsung menerkam kakek she Oh tersebut
.....
Semua orang adalah tokoh tokoh persilatan yang berilmu tinggi, sekalipun gerakan tubuh orang itu sangat cepat, namun dalam sekilas pandangan saja setiap orang dapat mengenalinya sebagai Bu Nay nay....
Tanpa mengambil peduli keadaan di sekitar, Bu Nay nay segera mengumpat dengan penuh kegusaran :
“Kalian manusia manusia keparat, Thi sauhiap telah kalian bawa kemana?”
Bersamaan dengan seruan tersebut, Bu Nay nay menerjang datang, lalu sepasang telapak tangannya diayunkan ke depan menciptakan selapis bayangan serangan yang segera mengurung seluruh tubuh kakek she Oh tersebut. Dengan cekatan kakek Oh berkelit ke samping menghindarkan diri dari ancaman Bu Nay nay dan segera terlihatlah Thi Eng khi yang semula dihalangi oleh tubuhnya.
Bu Nay nay segera memandang kedepan, dengan cepat dia menyaksikan seorang kakek yang lain sedang menempelkan telapak tangan kanannya diatas jalan darah Pek hwee hiat ditubuh Thi Eng khi dan memandang kearahnya sambil tertawa seram.
Tertawanya itu ternyata jauh lebih unggul daripada gertak sambal atau pun kata ancaman yang lain, dengan ketakutan cepat cepat Bu Nay nay menarik kembali serangannya dan melompat mundur sejauh lima depa dari posisi semula. Ketika dia berpaling kembali, terlihatlah Ciu Tin tin sedang berdiri di sana sambil mengulumkan senyuman terpaksa.
Tampaknya tak usah diterangkan pun dia sudah tahu dengan jelas bahwa semua orang yang hadir disitu telah diancam oleh orang orang Ban seng kiong dengan Thi Eng khi sebagai sandera.
Pada saat inilah Bu Nay nay baru menyesali perbuatan sendiri, gara gara ingin mencari menangnya sendiri, akibatnya dia terkena siasat memancing harimau turun gunung, meski dalam pertarungannya melawan kakek Oh sebanyak dua ratus gebrakan lebih berhasil dimenangkan olehnya, namun setelah kembali ke rumah penginapan, dia dapatkan Thi Eng khi telah diculik orang. Dengan susah payah dia mencari hingga menemukan tempat tersebut namun sayang keadaannya sudah terlanjur memburuk sehingga mustahil bisa diselamatkan lagi. Apalagi semua akibat tersebut terjadi gara gara keteledorannya, semacam perasaan berdosa segera menghantui perasaannya. Bu Nay nay adalah seorang manusia yang berjiwa berangasan, mendadak sambil melotot besar teriaknya keras keras :
“Tin tin! Nay nay telah melakukan kesalahan terhadap dirimu ….!”
Dia membalikkan badannya lalu dihantamkan keatas ubun ubun sendiri. Ciu Tin tin sudah cukup mengetahui akan watak Bu Nay nay, maka sementara dia masuk ke sana, segenap perhatian Ciu Tin tin telah ditujukan kearahnya. Tatkala dia mengucapkan kata ‘Tin tin” tadi, gadis itu sudah mengerahkan tenaga dalamnya ke lengan kanan sambil bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan.
Menanti dia menggerakkan tangan kanannya, Ciu Tin tin segera melancarkan sentilan jari ke udara dan menotok jalan darah Cian keng hiat si nenek. Menyusul kemudian, bayangan manusia berkelebat lewat, dia sudah berada dihadapan Bu Nay nay seraya menegur :
“Nenek, inginkah kau menyaksikan Tin tin tetap hidup di dunia ini?”
Bu Nay nay mengangguk, namun seperti sungkan untuk menjawab.
Kembali Ciu Tin tin berkata :
“Nay nay, bila kau menginginkan Tin tin hidup terus, maka kaupun harus hidup terus demi Tin tin!”
Ciu Tin tin mengetahui dengan jelas watak dari Bu Nay nay, daripada menghiburnya adalah lebih baik memegang titik kelemahannya, ternyata tindakan tersebut memang menampakkan hasilnya.
Tampak Bu Nay nay menunjukkan sebentar luapan emosinya, kemudian manggut manggut. Ciu Tin tin segera membebaskan jalan darah Bu Nay nay, kemudian katanya :
“Nay nay, harap kau mengikuti mereka berlalu dari sini!” “Mengapa kau tidak turut serta?” Tanya Bu Nay nay agak
tertegun keheranan.
Ciu Tin tin menundukkan kepalanya rendah rendah sembari menggelengkan kepalanya berulang kali. Bu Im segera berjalan mendekat, lalu ujarnya : “Cici, nona Tin hendak menemani Thi sauhiap untuk berangkat ke istana Ban seng kiong.”
Mendengar itu, Bu Nay nay segera mendongakkan kepalanya sembari berseru :
“Tin tin, Nay nay pun akan menemani kau untuk menuju ke istana Ban seng kiong, akan kulihat manusia macam apakah Hian im Tee kun tersebut, apa pula yang bisa dia lakukan terhadap kita?”
“Nay nay, kau tak boleh turut,” buru buru Tin tin mencegah. Bu Nay nay segera melotot gusar.
“Kalau kau boleh pergi mengapa Nay nay tidak boleh turut pergi
….?”
Si kakek Oh yang selama ini membungkam, mendadak berseru lagi dengan suara sedingin es :
“Barang siapa ingin turut kami pergi ke istana Ban seng kiong maka dia harus bersedia untuk ditotok dulu jalan darah Ki tong hiatnya dengan ilmu jari Hek seng thian kang ci.”
“Enak amat jalan pemikiranmu itu,” teriak Bu Nay nay dengan penuh amarah.
“Mari! Mari! kita mencoba saling beradu tenaga dalam, coba kita lihat nanti kau yang berhasil menotok jalan darah Ki tong hiat ku ataukah aku yang berhasil menotok jalan darah Ki tong hiatmu ….”
Sikap kakek she Oh tersebut bertambah angkuh lagi, kembali dia berkata :
“Seorang lelaki yang cerdas tak akan beradu kekuatan dengan kerbau, boleh saja bila kau ingin turut menuju ke istana Ban seng kiong, tapi tiada jalan lain kecuali membiarkan lihu menotok dulu jalan darah Ki tong hiatmu.”
Bu Nay nay segera mendengus dingin.
“Hammm, bagus sekali, nenekmu akan membuktikan kelihayanku kepadamu!”
“Kalau kurang percaya, tanyakan saja kepada nona Ciu.”
Bu Nay nay segera berpaling kearah gadis tersebut sembari bertanya keheranan :
“Tin tin, apa maksud dari kesemuanya ini?”
Terpaksa Ciu Tin tin harus mengisahkan kembali semua kejadian yang telah dialaminya itu kepada Bu Nay nay. Selesai mendengar kisah mana, Bu Nay nay segera tertawa tergelak dengan seramnya : “Benar benar suatu tindakan yang keji. Hmmm…. Wahai manusia manusia Ban seng kiong, dengarkan baik baik, suatu hari aku si nenek pasti akan menguliti kalian semua.”
Setelah berhenti sejenak, kembali dia berkata : “Mari! Sekarang kita boleh turun tangan!”
Kakek she Oh tersebut memandang sekejap kearah Ciu Tin tin, lalu katanya :
“Lohu akan segera turun tangan!”
Sebenarnya dia ingin memperhatikan dulu sikap maupun mimik wajah Ciu Tin tin sebab kepandaian silat yang dimiliki Ciu Tin tin terlampau hebat, dia kuatir sekali apabila gadis itu bertindak diluar dugaan. Tapi ucapan mana segera memancing ejekan dan cemoohan Bu Nay nay.
“Hmmmm…. Hanya mengandalkan sepatah kata saja sudah cukup membuat hatiku ketakutan? Hmmm, siapa menyuruh kau tidak turun tangan ….?”
Berhubung Ciu Tin tin tahu kalau Bu Nay nay merasa amat berdosa kepadanya, diapun tak tega menampik kehendak hatinya, terpaksa sambil mengeraskan hati dia manggut manggut.
Kakek she Oh tersebut segera turun tangan dengan cepat menotok jalan darah Ki tong hiat di tubuh Bu Nay nay. Akibat dari totokan tersebut, Bu Nay nay menjadi kesakitan setengah mati hingga wajahnya hijau membesi dan peluh dingin bercucuran keluar, seperti pula Pek leng siancu So Bwe leng, ia sama sekali tidak mengeluh.
Bukan begitu saja, bahkan ia sempat melotot kakek she Oh itu lekat lekat, membuat orang yang dipandang itu menjadi bergidik dan ngeri sekali, ia benar benar kuatir apabila suatu ketika Bu Nay nay sungguh sungguh mengkuliti badannya.
Bu im sin hong Kian Kim siang sekalian telah pergi meninggalkan tempat tersebut. Akhirnya Ciu Tin tin pun tidak melawan ketika kakek she Oh itu menghadiahkan pula sebuah sodokan jari Hek seng thian kang ci keatas jalan darahnya.
Dengan lemas dan tak bersemangat Bu im sin hong Kian Kim siang sekalian meninggalkan kuil Thian che bio, belum pernah sepanjang hidup mereka mengalami mati kutu seperti apa yang dialaminya hari ini.
Ketiga orang tua itu merasa kehilangan muka, maka siapapun tak bersemangat untuk berbicara, si pencuri sakti Go Jit maupun Siu Cu pun tidak mengucapkan sepatah kata pun. Yang terdengar kini hanya ujung baju yang terhembus angin, mereka berangkat menuju ke luar kota Tin kang dengan kecepatan tinggi. Akhirnya Bu im sin hong Kian Kim siang menghentikan perjalanannya, kemudian setelah menghela napas panjang katanya :
“Sinni, persoalan mengenai Go tayhiap dan nona Siu Cu harap kau suka memperhatikan.”
“Aaaai, tampaknya kita memang harus kembali ke partai Thian liong pay,” ucap Sam ku sinni.
Kemudian setelah berhenti sejenak, dia balik bertanya : “Kian tua, apakah kau tak akan menuju ke Thian liong pay?” “Aku harus pergi mencari Keng thian giok cu Thi Keng untuk
berupaya menolong Thi sauhiap.”
Sam Ku sinni yang tidak mengetahui keadaan sesungguhnya menjadi sangat terkejut, segera serunya :
“Kian tua, buat apa kau harus mencari penyakit bagi diri sendiri? Mau apa kau mencari Thi tua? Apalagi dia hanya seorang Tongcu, aku kuatir kalau dia tak mampu banyak berkutik.”
Bu im sin hong Kian Kim siang segera tertawa lebar :
“Sinni, bukankah kau telah bersua dengan seorang lohu yang lain
....?”
Dengan cepat Sam ku sinni menyadari hal yang sebenarnya, dia lantas berseru :
“Oooh, rupanya Thi tua yang berada dalam istana Ban seng kiong adalah Thi tua gadungan?”
Setelah menghela napas, dia melanjutkan :
“Thi tua memang aneh, entah kemana larinya semangat serta kebesaran jiwanya yang pernah mengagumkan segenap umat persilatan dimasa lalu? Dia begitu bersabar diri membungkam dalam seribu bahasa, membuat kami sobat sobat lamanya menjadi bingung dan tidak memahami suara hatinya.”
“Thi tua mempunyai kesulitan yang tak bisa diutarakan, lebih baik kita bicarakan persoalan ini dikemudian hari saja, sekarang lohu ingin mohon diri lebih dulu.”
Setelah memberi hormat kepada Sam ku sinni, dia lantas mengajak Bu Im untuk menempuh perjalanan bersama dia. Sedangkan Sam ku sinni dengan mengajak serta si pencuri sakti Go Jit dan Siu Cu berangkat kembali ke partai Thian liong pay. Sementara itu, Bu im sin hong Kian Kim siang yang mengajak Bu Im menempuh perjalanan bersama telah melakukan perjalanan mereka dengan cepat, siang dan malam menuju ke markas besar istana Ban seng kiong di bukit Wu san. Sepanjang jalan, Bu Im bertanya kepada Bu im sin hong Kian Kim siang, apa sebabnya sepeninggalnya dari bukit Bu gi san, lantas tiada kabar beritanya lagi.
Secara ringkas Bu im sin hong Kian Kim siang segera membeberkan rencana empat tokoh besar di dalam usahanya menyusup ke istana Ban seng kiong, bahkan dia pun membeberkan bagaimana Keng thian giok cu Thi Keng dan Sim ji sinni telah menyaru sebagai komplotan iblis tersebut dan menyusup ke dalam markas musuh.
Mengetahui akan hal ini, dengan perasaan risau Bu Im lantas berkata :
“Aaaai, kalau begitu sayang sekali orang yang menyaru sebagai cianpwe telah dibunuh nona Tin, apakah kejadian ini amat berpengaruh terhadap rencana yang telah cianpwe sekalian susun?”
Bu im sin hong Kian Kim siang menghela napas panjang :
“Aaai, bukan cuma berpengaruh, pada hakekatnya rencana kami bisa jadi akan hancur berantakan.”
“Aaah, sedemikian seriusnya?” seru Bu Im terkejut. “Penyaruan dari Thi tua sekalian sudah mulai dicurigai orang,
sesungguhnya kedatanganku kemari adalah untuk menghabisi nyawa orang yang menyaru sebagai diriku itu sehingga dapat menyelundup ke istana Ban seng kiong dan melenyapkan Hian im Tee kun dari muka bumi, sebab kami kuatir persoalan yang berlarut larut dapat menyebabkan usaha kami selama ini terbengkalai.”
Perjalanan yang harus ditempuh bukan sehari dua hari saja, walaupun mereka telah menempuh perjalanan cepat dengan sepenuh tenaga, dan mereka pun percaya pasti dapat mendahului Thi Eng khi sekalian, akan tetapi perasaan gelisah yang mencekam perasaan mereka kian hari kian bertambah besar.
Hari ini, sampailah mereka di kota Swan cong. Dalam keadaan lelah dan gelisah, dua orang tokoh persilatan ini telah berubah menjadi kurus lagi kuyu. Setelah masuk kota, sebenarnya mereka hendak mencari rumah penginapan untuk beristirahat. Malahan mereka sudah hampir masuk ke dalam sebuah rumah penginapan waktu itu, namun tiba tiba saja Bu im sin hong Kian Kim siang menghentikan langkahnya sambil berubah muka, lalu tanpa mengucapkan sepatah katapun dia menarik Bu Im dan diajak kabur meninggalkan tempat tersebut.
Bu Im menjadi kebingungan dan tidak habis mengerti, tanyanya kemudian :
“Kian tua, memangnya di rumah penginapan itu ada setannya?
Mengapa kau melarikan diri terbirit birit?”
Tampaknya Bu im sin hong Kian Kim siang tidak bernapsu untuk menjawab pertanyaan tersebut, dia hanya celingukan kesana kemari, kemudian berbelok tikungan masuk keluar gang sempit, bahkan perjalanan ditempuh amat cepat sekali, dimana pada akhirnya dia malah kabur dengan mengerahkan ilmu Hu kong keng im yang diandalkan.
Seandainya dia bukan terpaksa harus berhenti untuk memperhatikan keadaan di sekelilingnya lebih dulu, nyaris Bu Im ketinggalan jauh dan tak mampu menyusulnya. Bu Im semakin keheranan lagi, dia tidak habis mengerti apa sebabnya Bu im sin hong Kian Kim siang menunjukkan sikap yang membingungkan tersebut hari ini.
Sementara itu, matahari telah tenggelam di langit barat, senja pun menjelang tiba. Bagaikan diuber setan saja, kedua orang itu melakukan perjalanan yang sangat cepat menelusuri jalan bukit yang terjal dan bergerak ke depan tiada hentinya. Suatu ketika mendadak Bu im sin hong Kian Kim siang mendongakkan kepalanya dan memperhatikan posisi rembulan, setelah itu katanya sambil menghela napas :
“Untung saja kita tak sampai menyia nyiakan waktu!” “Kian tua, sebenarnya apa yang terjadi?” Bu Im keheranan
setengah mati, “tentunya dapat kau terangkan kepadaku bukan?”
Bu im sin hong Kian Kim siang bertindak sangat berhati hati sekali, sekalipun berada di daerah tanpa penghuni, ia tetap berbicara dengan mengerahkan ilmu menyampaikan suara :
“Tempat ini sudah dekat letaknya dari bukit Wu san, mata mata pihak Ban seng kiong tersebar dimana mana, untuk keuntungan dan keamanan kita sendiri, lebih baik setiap pembicaraan kita lakukan dengan ilmu menyampaikan suara.”
Walaupun Bu Im menertawakan sikap kelewat berhati hati dari rekannya, namun ia menyahut juga dengan ilmu menyampaikan suara : “Bu Im akan turut perintah!”
Walaupun Bu Im dan empat tokoh dunia persilatan berasal dari jaman yang sama, namun kemunculannya justru terlambat dua puluh tahun lamanya, apalagi dia pun tidak memiliki prestasi maupun nama besar yang bisa diandalkan, itulah sebabnya dia cukup tahu diri dan berhati hati dalam setiap perkataan.
Saat itulah Bu im sin hong Kian Kim siang baru menghembuskan napas panjang, katanya :
“Aku telah melihat tanda bahaya yang ditinggalkan oleh Tiang pek lojin!”
"Kalau begitu So tua berada disekitar tempat ini?” seru Bu Im terkejut.
Bu im sin hong Kian Kim siang segera manggut manggut.
"Yaa, setelah melihat tanda bahaya tersebut, aku telah mengikuti tanda rahasia yang ditinggalkannya sepanjang jalan hingga sampai di sini, kemungkinan besar dia berada disekitar tempat ini.”
"So tua menghadapi masalah gawat apa?"
"Tanda rahasianya amat sederhana dan tidak menerangkan apa apa tapi diterangkan
bahwa tengah malam nanti akan berlangsung suatu pertarungan mati hidup disekitar tempat ini."
Mendengar itu, Bu Im lantas berpikir :
“Dengan kepandaian silat yang dimiliki So tua pun masih mengirim tanda bahaya, sudah jelas kalau persoalan ini bukan suatu masalah sederhana.”
Tampaknya Bu im sin hong Kian Kim siang sedang dicekam pula oleh pelbagai masalah besar, dia hanya membungkam dalam seribu bahasa sambil mengawasi rembulan di angkasa. Bu Im merasa kurang leluasa untuk mengusik ketenangannya, maka dia hanya berdiri tenang saja di samping arena.
Segulung angin bukit berhembus lewat…..
Menyusul kemudian terdengar suara ujung baju terhembus angin berkumandang datang, dua sosok bayangan manusia nampak bergerak mendekat dengan langkah cepat, nampaknya sambil berjalan mereka sedang membicarakan sesuatu.
Sebagai jago kawanan yang berpengalaman, sudah barang tentu kedua orang jago kita tidak berdiam diri saja, setelah saling berpandangan sambil tertawa, mereka segera menyelinap ke balik hutan belantara. Tak selang berapa saat kemudian, sampailah pendatang tersebut ditempat mereka semula berdiri, sinar rembulan kebenaran mencorong diatas wajah mereka.
Tatkala menjumpai raut wajah orang orang itu, Bu Im nampak seperti tertegun, kemudian bisiknya :
“Aku kenal dengan mereka berdua.” “Siapakah mereka?”
“Entahlah!”
Bu im sin hong Kian Kim siang jadi tertawa geli.
“Bu lote” ia berkata, “aku jadi bingung oleh perkataanmu….!” "Berapa bulan berselang, ketika aku sedang mengambil buah Hian ko, hampir saja aku tewas diujung telapak tangan mereka.”
Bu im sin hong Kian Kim siang cukup mengetahui akan kemampuan Hua lik sinking milik Bu Im, kalau ia bisa berkata demikian berarti kepandaian silat yang dimiliki kedua orang itu luar biasa sekali...
Usia kedua orang itu sudah menanjak tua, diantara enam tujuh puluh tahunan, wajah mereka yang kuning hangus berbentuk segitiga, mukanya bagaikan pinang di
belah dua, sudah jelas kalau mereka adalah saudara kembar. Perawakan kedua orang itupun tidak terlampau tinggi atau terlalu rendah, tidak gemuk ataupun kurus, seandainya wajah mereka yang berbentuk segitiga itu diganti dengan wajah yang lebih menarik, niscaya orang akan menganggap mereka sebagai dua orang enghiong. Tapi kesan yang diberikan oleh bentuk wajahnya adalah seram, licik dan memuakkan.
Setelah berdiri sesaat, salah seorang di antaranya lantas berkata pelan :
"Sebenarnya siapa sih yang harus kita hadapi hari ini? Maka kami berdua yang diutus untuk menghadapinya?”
Kalau didengar dari nada pembicaraannya itu, seakan akan dia memandang kelewat tinggi kedudukan sendiri.
"Loji, kau jangan menganggap kedudukan Lei san siang hiong (sepasang orang gagah dari bukit Lei san) kelewat tinggi, berbicara yang sebenarnya tingkat ke berapa sih kedudukan kita berdua dalam istana Ban seng kiong?”
Lei san siang hiong yang terdiri dari sang lotoa Ang sah ciang (Pukulan pasir merah) Phang Put jin dan loji Hek sah ciang (Pukulan pasir hitam) Phang Put gi. Mereka sudah termashur puluhan tahun lamanya di dalam dunia persilatan sebagai sepasang gembong iblis yang buas dan berhati keji.
Walaupun Bu im sin hong Kian Kim siang belum pernah bersua dengan mereka, paling tidak toh pernah mendengar juga nama kedua orang itu, mau tak mau dia harus berkerut kening juga dengan kenyataan tersebut, sekarang dia baru mulai mengenali ketakutan yang sesungguhnya dari pihak Ban seng kiong.
Sementara itu, sang loji Hek sah ciang Phang Put gi telah berkata lagi dengan nada tak senang hati :
"Dengan kedudukan kita sekarang tidak sepantasnya bila ditugaskan untuk berada di bawah seorang wakil tongcu dan menerima perintah mereka!”
“Loji, keliru besar bila kau berkata demikian,” kata Lotoa Ang sah ciang Phang Put jin, “kau harus tahu kalau Tee kun sangat menghargai kita serta menganggap kita sebagai orang kepercayaannya, di dalam ini aku dapat merasakan kesulitan serta kehendak Tee kun dalam keputusannya ini, tidak pantas kalau kita menganggap hal ini sebagai suatu sakit hati, perlu diketahui bila urusan telah berhasil nanti kekuasaan yang sesungguhnya masih tetap berada ditangan kita….”
"Hmmm, tapi sekaranglah aku yang tak tahan!" Hek sah ciang Phang Put gi mendengus.
“Sebagai seorang lelaki yang sejati, dia harus bisa mengulur bisa pula menyusut, aku harap selanjutnya kau bisa sedikit menguasai diri, perlu kau ketahui nama besar Tee kun tak mungkin bisa kita tandingi dengan begitu saja.”
Berbicara sampai disitu, mendadak ia berbisik : "Ada orang datang!"
Mereka berdua segera berdiri menghadang ditengah jalan. Bagaikan segulung angin, tampak tiga sosok bayangan manusia meluncur datang dengan kecepatan luar biasa. Orang yang berjalan didepan adalah Tiang pek lojin So Seng pak, sedangkan dibelakangnya mengikuti dua bersaudara Cia yang lebih dikenal sebagai Boan san siang koay.
Begitu menyaksikan kemunculan Tiang Pek lojin So Seng pak, Lei san siang hiong segera menyingkir ke samping sambil memberi hormat, serunya cepat :
"Hamba menyambut kedatangan Tongcu!” “Hmmm… siapa sih yang menjadi Tongcu Ban seng kiong kalian?” dengus Tiang pek lojin So Seng pak sambil berkerut kening, "lohu adalah So Seng pak yang asli dan suci."
“Sejak kapan kau sudah tidak menjadi tongcu kami lagi?” seru Lei san siang hiong agak tertegun.
Tiang pek lojin So Seng pak segera tertawa terbahak bahak : “Haaahhh….. haaahhh…. Haahhh…. Kapan sih lohu pernah
menjadi Tongcu kalian? Harap kalian jangan salah melihat orang…!”
Sang loji dari Lei san siang hiong yang berwatak paling berangasan menjadi naik pitam dengan suara menggeledek dia sege¬ra membentak keras :
“Aku tak ambil perduli siapakah kau, pokoknya sebagai anggota istana kami, siapa pun dilarang menaiki bukit ini!”
“Lohu datang kemari untuk memenuhi undangan,” seru Tiang pek lojin sembari melotot besar, "kalau toh aku dilarang untuk naik ke atas bukit, baiklah, jangan salahkan kalau lohu mengingkar janji lagi!”
Dia berpaling dan serunya kepada Boan san siang koay : “Lote berdua, mari kita pergi saja!”
Dia membalikkan badan siap meninggalkan bukit tersebut. Lei san siang hiong tertegun, cepat cepat lotoa menghadang jalan pergi Tiang pek lojin sambil berseru:
“Kalau memang So tua datang untuk memenuhi undangan, silahkan saja naik ke bukit.”
Baru selesai dia berkata, kembali terlihat ada dua sosok bayangan manusia yang meluncur datang dengan kecepatan luar biasa. Orang yang berjalan dipaling depan ternyata bukan lain adalah Tiang pek lojin So Seng pak. Yang lebih aneh lagi pakaian maupun dandanannya sama sekali tidak berbeda jauh dengan Tiang pek lojin yang datang lebih duluan tadi...
Tiang pek lojin yang datang lebih duluan itu segera berpaling ke arah Lei san siang hiong, kemudian ujaraya sembari tertawa terbahak bahak :
“Haaahhh… haaahhh…. Haaahhh…. coba kalian saksikan!
Bukankah lohu bisa menciptakan diri menjadi beribu bagian? Mau kulihat sekarang apa yang bisa kalian lakukan?”
Tiang pek lojin So Seng pak yang datang belakangan segera tertawa seram : “Heehhh... heeehhh…. heeehhhh... justru lohu sengaja mengundangmu kemari untuk menyelidiki penyaruanmu tersebut, bila punya nyali mari naik ke atas bukit, tak perlu banyak ngebacot lagi di sini.”
Dalam pada itu,Bu Im yang berada di tempat persembunyianpun dibuat kebingungan setengah mati, kepada Bu im sin hong Kian Kim siang segera tanyanya :
“Diantara kedua orang itu, siapa sih yang merupakan So tua sesungguhnya?”
“Tentu saja Tiang pek lojin yang datang lebih duluan adalah Tiang pek lojin yang asli!” sahut Bu im sin hong Kian Kim siang tanpa berpikir panjang lagi.
Menyaksikan jawabannya begitu meyakinkan, Bu Im semakin terkejut bercampur ke-heranan, kembali dia bertanya :
“Kian tua, mengapa kau bisa membedakannya di dalam sekali tebakan saja?"
Bu im sin hong Kian Kim siang segera menunjuk ke atas sebuah jarum pentul yang berada dipakaian sendiri, setelah itu sahutnya :
"Sebab dia pun mengenakan ini!"
Bu Im segera menyadari apa gerangan yang telah terjadi, serunya dengan cepat :
“Oooh...rupanya kalian sudah mengadakan perjanjian sebelumnya.”
“Bila terjadi pertarungan nanti, kau jangan sampai salah membantu yang lain,” pesan Bu im sin hong Kian Kim siang.
Sambil tertawa Bu Im manggut manggut :
“Tak usah kuatir Kian tua, setelah adanya tanda tersebut, aku tak bakal salah lagi.”
Dalam pada saat itu Lei san siang hiong sedang mengawasi Tiang pek lojin yang datang belakangan sambil termangu, lama sekali mereka belum juga berbicara tampaknya kedua orang gembong iblis tersebut sudah dibuat kebingungan setengah mati. Akhirnya loji Hek sah ciang Phang Put gi membentak keras, sambil melompat ke depan Tiang pek lojin yang datang belakangan, dia berseru dengan suara rendah:
“Siapakah kau sebenarnya? Kau harus tahu, lohu berdua bukan manusia yang gampang dipermainkan semaunya sendiri!”
Tiang pet lojin yang datang belakangan segera menunjukkan sikap sedingin es, katanya tiba tiba : “Lohu adalah Pek hou tongcu adanya!”
Sembari berkata dia mengeluarkan sebuah lencana berwarna putih perak dan diayunkan didepan mata. Terbentur batunya loji dari Lei san siang hiong merasa gusar bercampur mendongkol, namun dia pun tak berani mengumbarnya keluar, malah dengan sikap yang menghormat dia berkata :
“Silahkan Tongcu!"
Dengan gaya yang sok Tiang pek lojin So Seng pak gadungan berjalan menuju ke hadapan Tiang pek lojin So Seng pak asli kemudian setelah mendengus katanya :
“Lohu akan menantikan kedatanganmu di atas bukit, harap kau jangan melarikan diri dari sini!"
Setelah mengutarakan perkataan maka tanpa banyak berbicara lagi dia melejit ke udara dan melesat lebih dulu menuju ke atas bukit tersebut. Tiang pek lojin So Seng pak yang tulen segera mendongakkan kepalanya dan berpekik nyaring, dengan membawa Boan san siang koay dia pun meluncur ke atas puncak bukit.
Sepeninggal kedua orang itu, loji dari Lei san siang hiong baru meludah ke atas tanah, kemudian serunya dengan gemas :
"Suatu ketika lohu pasti akan menyuruh kau rasakan kelihayan dari kami berdua!”
Mendadak terdengar seseorang tertawa dingin sembari menegur
:
“Percuma saja kalian berdua menjadi pembantunya Tee kun,
karena kalian tak pernah memahami perasaan atasan dan selalu saja menggerutu sambil mengomel, cara kerja kalian semacam ini paling kubenci. Hmmm! Lohu hendak menjatuhi hukuman untuk kalian berdua!"
Lei san siang hiong segera menyebarkan diri sambil melompat mundur sejauh satu kaki kemudian membalikkan badan sembari bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan. Tampak Hian bu Tongcu Bu im sin hong Kian Kim siang serta seseorang yang wajahnya terasa pernah dikenal, sedang mengawasi mereka berdua sambil tertawa dingin.
Lei san siang hiong merasa terkesiap, bergidik seluruh tubuh mereka...
Ternyata Bu im sin hong Kian Kim siang dan Bu Im telah selesai berunding, mereka hendak memanfaatkan kesempatan yang sangat baik ini untuk melenyapkan Lei san siang hiong dari muka bumi. Hal ini dilakukan sebagai persiapan suatu langkah mundur yang aman dan selamat...
Bersama itu pula dia telah menduga kedua gembong iblis ini belum mendapat kabar tentang kematian dari Bu im sin hong gadungan, oleh sebab itu, dia berhasrat untuk menggertak mereka serta membuat pikiran mereka jadi kacau, dengan begitu apabila sampai terjadi pertarungan maka lebih mudah baginya untuk meraih hasil.
Walaupun Lei san siang hiong merupakan manusia manusia buas yang tidak takut langit tidak takut bumi, terhadap Hian im Tee kun nyatanya takutnya setengah mati. Tindakan dari Bu im sin hong Kian Kim siang barusan pada hakekatnya telah membuat mereka menjadi ketakutan setengah mati.
Terutama sekali sang lotoa Ang sah ciang Phang Put jin, dia kuatir sekali perkataan dari loji tersebut akan menggusarkan Bu im sin hong Kian Kim siang, buru buru serunya sembari menjura.
"Harap Kian tua jangan salah paham, sesungguhnya rasa mendongkol adikku hanya tertuju untuk Tiang pek lojin gadungan, kami sama sekali tak berani bersikap tak puas terhadap Tee kun.”
Mencorong sinar setajam sembilu dari balik mata Bu im sin hong Kian Kim siang, ditatapnya wajah Hek sah ciang Phang Put gi lekat lekat, kemudian serunya dengan suara dalam :
"Benarkah maksud tujuanmu yang sesungguhnya persis seperti apa yang diutarakan lotoa mu?”
Menghadapi sikap yang begitu jumawa dan takabur macam begini, jangan lagi manusia yang berangasan, sekalipun tak gampang marahpun akan dibuat naik pitam juga.
Paras muka Hek sah ciang Phang Put gi kontan saja berubah menjadi merah jengah, tak selang berapa saat kemudian berubah kembali menjadi hijau membesi, dadanya naik turun tak menentu, sudah jelas amarah orang ini sudah mencapai pada puncaknya dan dia hendak berbuat nekad.
Ang sah ciang Phang Put jin yang menyaksikan keadaan adiknya itu segera menghampiri Hek sah ciang Phang Put gi kemudian dicengkeramnya urat nadi adiknya agar ia tak bisa mengerahkan tenaga. Sesudah itu dengan ilmu menyampaikan su¬ara dia baru memperingatkan :
"Seorang lelaki sejati tak akan mencari kerugian yang berada di depan mata, di sekitar tempat ini terdapat banyak sekali jago lihay istana kita, bila benar benar sampai bertarung, niscaya sulit buat kita untuk melanjutkan hidup."
Hek sah ciang Phang Put gi memang berangasan orangnya, namun bukan berarti dia adalah manusia yang sama sekali tak berotak, setelah diberi petunjuk lotoanya, dia pun mendongakkan kepala sambil tertawa terbahak bahak, rupanya dia menggunakan gelak tertawa tersebut untuk melampiaskan keluar semua perasaan mendongkolnya.
Setelah puas tertawa, dia baru membungkukkan badannya memberi hormat seraya berkata :
"Kian tongcu harap menjadi periksa, hamba tidak mempunyai maksud begini."
Bu im sin hong Kian Kim siang pun segera berubah sikapnya, dengan senyum dikulum dia pun berkata :
"Lohu juga tahu kalau kalian berdua amat setia kepada Tee kun tapi berhubung akupun sedang memangku tugas jadi mau tak mau setiap kecurigaan mesti dilakukan pemeriksaan. Bila ucapanku tadi telah menyinggung perasaan kalian, harap kalian berdua suka memaafkan."
Betapa girangnya Lei san siang hiong setelah rneyaksikan perubahan sikap dari Bu im sin hong Kian Kim siang, dengan wajah gembira mereka seru bersama :
"Aaah, Tongcu kelewat merendah, dikemudian hari kami masih membutuhkan petunjuk dari Tongcu.”
"Kalian berdua kelewat sungkan! Kalian berdua kelewat sungkan..." seru Bu im sin hong Kian Kim siang berulang kali.
Mendadak ia menepuk bahu Bu Im, kemudian serunya lagi : "Apakah kalian berdua kenal dengan sobat ini?”
Lei san siang hiong tidak mengetahui maksud tujuan Bu im sin hong Kian Kim siang yang sesungguhnya, tanpa terasa ia menjadi tertegun dibuatnya. Tapi dengan cepat mereka pun teringat kembali akan perbuatan yang pernah berlangsung akibat sebiji buah Hian ko tempo hari, tanpa terasa perasaan yang telah menjadi tenang kini bergolak kembali.
Untuk beberapa saat lamanya kedua orang itu benar benar tak tahu bagaimana mesti menjawab, namun mereka pun tak bisa berlagak pilon terus, maka sikap maupun gerak geriknya menjadi serba runyam dan tersipu sipu. Setelah tertawa tergelak Bu im sin hong Kian Kim siang oerseru kembali.
"Air bah menerjang kuil raja naga, sebagai orang sekeluarga ternyata tidak saling mengenal…haaahhh... haaahhh…haaahhh ini
namanya tidak bertarung tidak saling mengenal. Bu lote, kejadian yang sudah lewat biarkan saja lewat dan tak usah dipikirkan didalam hati, mari! Mari! Mari! Biar aku sebagai juru damai saja, berjabatan tanganlah kalian untuk damai!"
Bu Im segera maju ke depan sembari berseru :
“Siaute Bu Im, bila masa lalu banyak melakukan kesalahan terhadap kalian gara gara sebiji buah Hian ko, harap kalian sudi memaafkan!”
Dia mengulurkan tangan kanannya sambil berjalan menuju ke hadapan Lei san siang hiong, dia telah bersiap siap untuk berjabatan tangan dengan mereka. Tergerak hati Lei san siang hiong menyaksikan hal itu, lotoa segera memberi tanda kepada loji, dan loji pun mengerahkan tenaga dalamnya ke dalam tangan kanan sambil menyambut uluran tangan Bu lm tersebut.
Menanti dia merasa kalau Bu Im sama sekali tidak bermaksud untuk melukainya, dengan perasaan lega katanya kemudian sambil tertawa lebar :
"Baik, baik, siaute bersedia mengikat tali persahabatan dengan saudara Bu!”
Dengan cepat ke dua orang itu saling berjabatan tangan dengan akrabnya seakan akan dua orang sobat lama saja. Waktu itu, sebenarnya Ang sah ciang Phang Put jin telah mengerahkan tenaganya untuk bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan. Melihat loji dan Bu Im saling berjabatan tangan dengan tenteram, maka sewaktu tiba gilirannya berjabatan tangan dengan Bu Im pun dia telah mengendorkan kewaspadaannya.
Dengan cepat kedua orang itu saling berjabatan tangan, siapa tahu di saat ini pula Bu Im membalikkan jari tangannya sambil mencengkeram urat nadinya, segulung hawa panas dengan cepat menyerang ke dalam tubuhnya dengan dahsyat. Menanti Ang sah ciang Phang Put jin menyadari akan datangnya bahaya dan ingin menghimpun tenaga dalamnya, sayang keadaan sudah terlambat, dia lantas berseru:
“Saudara Bu, kau ” Bu Im tidak menyahut, sebaliknya lakasna sambaran kilat dia membalikkan tangannya menotok jalan darah Jit kan hiat di tubuh Ang sah ciang Phang Put jin. Ang sah ciang Phang Put jin yang sudah banyak melakukan kejahatan ini segera menemui ajalnya dalam keadaan yang mengenaskan.
Semua peristiwa tersebut berlangsung dalam waktu singkat, menanti Hek sah ciang Phang Put gi merasa kalau gelagat tidak menguntungkan serta bersiap sedia melancarkan serangan, telapak tangan kanan Bu im sin hong Kian Kim siang telah menempel diatas jalan darah Pay sim hiatnya.
“Kau pun sudah cukup banyak melakukan kejahatan!” seru Bu im sin hong Kian Kim
siang kemudian.
Tenaga pukulannya segera dimuntahkan keluar, tubuh Hek sah ciang Phang Put gi segera mencelat sejauh beberapa kaki dan tewas dengan isi perut hancur tak karuan. Untuk melenyapkan kedua orang gembong iblis ini tanpa mengejutkan anggota istana Ban seng kiong lainnya mau tak mau mereka harus menggunakan sedikit siasat, dengan begitu lenyaplah nyawa Lei san siang hiong tanpa menimbulkan suara berisik apapun.
Berhasil dengan pekerjaannya, mereka saling berpandangan sambil tertawa, kemudian meluncur keatas puncak bukit. Dibawah sinar rembulan, tampak ada tiga pasang bayangan manusia sedang melangsungkan pertarungan seru diatas puncak bukit itu. Selain itu, terdapat pula empat orang kakek berjubah kuning yang masing masing berada disatu sudut sambil mengawasi jalannya pertarungan ditengah arena.
Tampaknya Tiang pek lojin gadungan adalah seorang yang ingin menang, ternyata dia turun tangan sendiri untuk melangsungkan pertarungannya melawan Tiang pek lojin. Pertarungan berlangsung amat seru dan gencar, untuk beberapa lamanya kedua belah pihak sama sama belum berhasil untuk meraih satu kemenangan. Setelah menyaksikan situasi yang dihadapinya, diam diam Bu im sin hong Kian Kim siang berunding sebentar dengan Bu Im kemudian masing masing mengincar seorang kakek berjubah kuning dan menyusup ke arah mereka.
Berhubung disekeliling bukit itu sudah dilakukan penjagaan yang berlapis lapis maka keempat kakek berjubah kuning itu sama sekali tak menyangka bakal ada orang yang menyergap mereka, waktu itu segenap pikiran maupun perhatian mereka ditujukan ke tengah arena guna menghadapi segala kemungkinan. Itulah sebabnya walaupun Bu im sin hong Kian Kim siang serta Bu Im telah berhasil menyelundup ke belakang tubuh mereka pun, kakek berjubah kuning tersebut belum merasakan juga datangnya ancaman bahaya tersebut.
Ilmu meringankan tubuh Bu im sin hong Kian Kim siang boleh dibilang tiada tandingannya dikolong langit diluar Thi Eng khi maupun Ciu Tin tin, maka seandainya kakek berjubah kuning itu tidak menyadari akan kehadirannya, keadaan tersebut masih bisa dibilang mendingan. Namun, kalau sampai kehadiran Bu Im pun sama sekali tidak mereka sadari, pada hakekatnya hal ini merupakan yang paling mengenaskan.
Bu im sin hong Kian Kim siang segera melejit ke tengah udara, dari situ dia lancarkan sebuah totokan ke arah punggung salah seorang diantara kakek berjubah kuning itu. Tiga orang kakek berjubah kuning lainnya yang berada pada arah lain tentu saja dapat menyaksikan datangnya sergapan tersebut namun belum sempat berteriak untuk memberi peringatan, kakek berjubah kuning itu sudah terkena serangan kilat yang dilancarkan Bu im sin hong Kian Kim siang tepat pada jalan darah Siau yau hiatnya, tak ampun dia jatuh tak sadarkan diri.
Tiga orang kakek berjubah kuning lainnya menjadi tertegun menghadapi situasi semacam ini. Bu Im yang menyaksikan kesempatan yang sangat baik mendadak melompat ke depan dan menotok pula jalan darah seorang kakek berjubah kuning lainnya.
Dua orang kakek berjubah kuning yang masih segar tak sempat melihat jelas berapa banyak musuh yang turut didalam penyergapan tersebut, mereka tak berani meninggalkan posisi masing masing untuk Bu im sin hong Kian Kim siang serta Bu Im. Dengan suatu gerakan yang cepat mereka membalikkan badan untuk memeriksa keadaan disekeliling sana, setelah tahu kalau yang datang hanya dua orang, mereka baru melejit ke udara dan menerjang Bu im sin hong Kian Kim siang serta Bu Im secara garang.
Sekarang, lima pasang sosok bayangan manusia yang berada dipuncak saling bertarung dengan sengitnya. Dengan kepandaian silat yang dimiliki Bu im sin hong Kian Kim siang, ternyata untuk beberapa saat lamanya belum berhasil menaklukkan lawan lawannya. Boan san siang koay telah menunjukkan gejala tak kuat untuk bertarung lebih lanjut, posisinya telah berada dibawah angin, rupanya sebentar lagi pun mereka akan roboh.
Pertarungan semacam ini lebih menguntungkan jika diselesaikan dalam waktu singkat, karena bila keadaan berlarut larut, sekalipun dapat meraih kemenangan mutlak, toh akan kehilangan tujuan mereka yang sebenarnya maka dari itu Bu im sin hong Kian Kim siang merasa sangat gelisah.
Kakek berbaju kuning yang bertarung melawan Bu im sin hong Kian Kim siang benar benar keteter hebat. Dibawah serangan Bu im sin hong yang ketat dan dahsyat meski sudah berada dalam posisi dibawah angin tapi mustahil bisa dilakukan dalam dua tiga puluh jurus mendatang. Lagipula kakek berjubah kuning itupun amat cekatan, selain mengambil posisi bertahan, dia berpekik panjang tiada hentinya untuk mengundang datangnya bala bantuan.
Menghadapi situasi semacam ini, angin pukulan yang dilancarkan Bu im sin hong Kian Kim siang bertambah gencar dan rapat, namun perasaannya pun ikut bertambah tegang.
Dalam situasi yang amat kritis inilah mendadak dari sisi tubuh Bu im sin hong Kian Kim siang berkumandang suara bisikan dari Keng thian giok cu Thi Keng yang dipancarkan dengan ilmu menyampaikan suara :
“Waktu amat kritis dan mendesak, siaute segera akan turun tangan membantumu.”
Betapa girangnya Bu im sin hong Kian Kim siang setelah mendengar bisikan itu, serunya pula dengan ilmu menyampaikan suara :
“Bagus sekali kedatangan Thi tua, sekarang kita sedang menghadapi manusia manusia buas yang berbahaya bagi umat persilatan, kita tak perlu mempersoalkan gengsi atau nama baik lagi, siaute akan menyambut bantuanmu dengan senang hati.”
Baru saja dia selesai berkata, mendadak dijumpainya gerak serangan dari kakek berjubah kuning itu menjadi lebih lamban, jelas ia sudah termakan sergapan jari sakti yang dilancarkan Keng thian giok cu Thi Keng secara diam diam. Sebagai seorang jagoan yang berilmu sangat tinggi, tentu saja Bu im sin hong Kian Kim siang tidak menyia nyiakan kesempatan yang sangat baik itu, dengan jurus Ci thian hua tee (nenuding langit menggaris bumi) dia totok tubuh kakek berjubah kuning itu. Berhasil dengan serangannya, Bu im sin hong Kian Kim siang tak sempat untuk memeriksa lagi bagaimana keadaan kakek berjubah kuning itu sesudah terkena serangannya, dia membalikkan badan dan balik menubruk ke arah kakek berjubah kuning yang sedang bertarung dengan lotoa dari Boan san siang koay tersebut.
Setelah Bu im sin hong Kian Kim siang menerjang ke arah kakek berjubah kuning yang lain, kakek yang bertarung melawannya tadi baru roboh terjengkang ke tanah dalam keadaan tak sadarkan diri. Disamping itu, tampaknya Bu Im juga memperoleh bantuan diluar dugaan, secara lancar dan gampang ia berhasil menaklukan kakek berjubah kuning yang menjadi lawan bertarungnya, begitu berhasil diapun menerkam kakek berjubah kuning yang bertarung melawan jikoay Cia Gun. Hampir pada saat yang bersamaan, dari belakang batu cadas melompat keluar Keng thian giok cu Thi Keng yang langsung menghantam tubuh Tiang pek lojin gadungan.
Berada dalam posisi semacam ini, rasanya mustahil baginya untuk menghindarkan diri lagi dari serangan Thian liong ciang yang dilancarkan Keng thian giok cu Thi Keng. Terdengar Tiang pek lojin gadungan mendengus tertahan lalu roboh terkapar di tanah dengan batok kepalanya hancur berantakan, hancur termakan pukulan maut dari Keng thian giok cu Thi Keng.
Sekarang tinggal dua orang kakek berjubah kuning yang masih bertarung namun dibawah kerubutan banyak orang, mereka pun tak bisa bertahan terlalu lama, tak selang berapa saat kemudian merekapun terluka parah dan kehilangan kemampuan. Dua orang kakek berjubah kuning yang terakhir ini nampak terperanjat sekali setelah menyaksikan Keng thian giok cu Thi Keng turun tangan membunuh Tiang pek lojin gadungan, segera serunya tertahan :
“Thi tongcu, kau ”
Dengan kening berkerut Keng thian giok cu Thi Keng berseru : “Cia lote berdua, tolong bantulah lohu untuk melenyapkan bibit
bencana dikemudian hari!”
“Terima perintah!” sahut dua bersaudara Cia dari Boan san bersama sama.
Mereka berdua turun tangan menghajar kedua orang kakek berjubah kuning yang terluka itu sehingga tewas seketika.
Memandang kedua sosok jenasah tersebut, Keng thian giok cu Thi Keng segera menjura dalam dalam sembari berkata : “Sukma kalian berdua di alam baka tentu tahu, harap maafkan lohu yang mempunyai kesulitan yang tak bisa diutarakan, mau tak mau terpaksa kami harus bertangan keji dengan menyingkirkan kalian dari muka bumi ini.”
Keng thian giok cu Thi Keng memang seorang manusia yang berjiwa besar sekalipun dengan keji dia telah membunuh orang namun sikapnya masih cukup membuat kagum orang lain. Setelah minta maaf kepada dua sosok mayat dari kakek berjubah kuning itu, tidak sempat menyapa semua orang lagi, segera perintahnya lagi kepada Boan san si¬ang koay :
“Lote berdua, kalian masih harus membantu kami dengan menghantar jenasah dari gembong iblis yang menyaru sebagai So lote ini sebagai So lote yang sesungguhnya. Hantarlah dia turun dari bukit ini.”
Mula mula Boan san siang koay agak tertegun namun dengan cepat mereka dapat memahami maksud hati dari Thi Keng.
Terdengar Keng thian giok cu Thi Keng berkata lagi :
“Sedangkan So lote sendiri harus menyaru pula sebagai So lote gadungan di dalam istana Ban seng kiong!”
Sebagai jago kawanan yang sangat berpengalaman dalam dunia persilatan, tentu saja Boan san siang koay memahami maksud hati dari Thi Keng, yakni mereka disuruh menganggap jenasah jenasah gembong iblis tua itu sebagai Tiang pek lojin asli dan membawanya melarikan diri turun bukit. Dengan wajah serius, mereka lantas berkata :
“Kami berdua memahami maksud hati Thi lo, harap kau tak usah kuatir, setelah meninggalkan bukit ini gembong iblis tersebut adalah So toako kami”
“Kecuali lote berdua, lebih baik jangan sampai ada pihak ketiga yang mengetahui rencana ini,” pesan Tiang pek lojin So Seng pak lagi.
Boan san siang koay segera menjura kepada semua orang lalu berkata :
“Kami ingin mohon diri lebih dulu, moga moga kalian suka menjaga diri baik baik demi kesejahteraan dan keamanan umat persilatan pada umumnya!”
Dengan ji koay yang membopong jenasah Tiang pek lojin gadungan, berangkatlah kedua orang itu meninggalkan bukit. Mendadak Bu im sin hong Kian Kim siang membentak keras : “Harap kalian berdua suka berhenti sebentar!”
Boan san siang koay membalikkan badannya dan balik kembali ke tempat semula, kemudian ujarnya :
“Kian tua ada petunjuk apa?”
Sambil menunjukkan arah jalan dimana ia lalui sewaktu naik gunung, Bu im sin hong Kian Kim siang berkata :
“Kalian berdua boleh turun gunung melewati jalan ini, semua penghadang sepanjang jalan telah lohu dan Bu lote bersihkan, dengan begitu kalian pun bisa mengurangi banyak kesulitan.”
“Terima kasih!” sahut Boan san siang koay bersama sama.
Sekali lagi mereka melejit ke udara dan meluncur turun ke bawah bukit..