Jilid 34
“Di dalam tubuh saudara cilik telah mengalami suatu perubahan aneh, lohu telah mengorbankan sebagian besar tenaga dalamku, namun tidak berhasil membangkitkan kembali harapan hidup bagi saudara cilik.
Nona Tin, aku lihat kau harus segera menarik kembali hawa murnimu dan merundingkan cara lain untuk menolong saudara cilik dari ancaman mara bahaya, daripada kehabisan tenaga dalam, toh tiada manfaatnya barang sedikitpun jua."
Air mata bercucuran dengan derasnya membasahi wajah Ciu Tin tin, katanya kemudian :
"Apabila adik Eng mati, akupun tak akan hidup sendiri, aku akan menemaninya untuk berangkat bersama!" Gadis itu tak menggubris ucapan orang dan mengerahkan terus tenaga dalamnya ke tubuh Thi Eng khi. Bu Nay nay segera memperingatkan pula :
"Tin tin, jangan nekad kau harus tahu bahwa perbuatanmu ini akan membuat Thi sauhiap menjadi semakin sedih, Thi sauhiap berniat untuk menjadikan kau sebagai seorang yang lihay, apakah kau anggap ia meminta kepadamu untuk mengiringinya berangkat mati?"
Sesungguhnya Ciu Tin tin merupakan seorang gadis yang cukup mengetahui keadaan, sejak bertemu dengan Thi Eng khi untuk pertama kali, dia sudah mengetahui akan maksud hati si anak muda itu, apalagi setelah mendengar teguran dari Bu Nay nay, hatinya semakin terkesiap lagi...........
Sebelum dia mengucapkan sesuatu, terdengar Bu im sin hong Kian Kim siang berkata lagi :
"Nona, apakah kau baru keluar dari gua Thio locianpwe? Di dalam gua itu penuh dengan obat mustika, harapan hidup bagi Thi sauhiap mungkin harus tergantung pada obat mustika milik Thio locianpwe itu!"
Bagaikan baru sadar dari impian, Ciu Tin tin segera menarik kembali tenaga dalamnya sambil melompat bangun, kemudiannya :
"Aaaah, betul! Gara gara kebodohan boanpwe hampir saja aku melalaikan suatu masalah besar, sekarang juga aku akan kembali ke gua untuk mengambil obat."
Kemudian serunya keras keras :
"Siau soat, Siau pek!"
Ketika berpaling ia tidak nampak kedua monyet tersebut berada disitu, maka ia segera lari keluar dari gua. Baru tiba di mulut gua, dari depan sana tampak bayangan putih berkelebat lewat, Siau soat dan Siau pek tahu tahu sudah muncul didepan mata dan hampir saja bertubrukan dengan Ciu Tin tin. Dengan suara keras Ciu Tin tin segera berseru :
"Mari kita balik ke gua untuk mencari obat!" Tanpa berhenti dia lari ke depan, Siau soat dan Siau pek bercuit cuit tiada hentinya, lalu tampak bayangan putih berkelebat dan tahu tahu satu di kiri yang lain dikanan mereka sudah menarik ujung baju Ciu Tin tin dan menggoncang goncangkan tiada hentinya. Ciu Tin tin hendak menegur mereka, tapi tiba-tiba saja dia menyaksikan Siau soat telah membawa sebuah botol porselen, saat itulah dia baru menjadi sadar kembali.
Rupanya ketika Siau soat dan Siau pek menyaksikan keadaan Thi Eng khi gawat, tanpa diperintah, mereka sudah balik ke dalam gua untuk mengambil obat. Dengan penuh berterima kasih Ciu Tin tin membelai kepala Siau soat dan Siau pek kemudian balik kembali ke dalam gua. Tak sempat memeriksa tabel diatas botol tersebut, dia mengeluarkan dua butir pil berwarna putih dan dijejalkan ke dalam mulut Thi Eng khi....
Seketika itu juga suasana dalam gua tersebut berubah menjadi sunyi senyap tak kedengaran sedikit suara pun, empat manusia dua ekor monyet dengan ke dua belas matanya sama sama mengawasi wajah Thi Eng khi sambil menunggu reaksi dari obat, tersebut padahal waktu tidak berlangsung lama namun di dalam perasaan mereka bagaikan beribu ribu tahun.
Akhirnya Thi Eng khi nampak bergerak, wajah yang memerah dan sepasang matanya membuka kembali, menengok ke arah Ciu Tin tin serunya :
"Enci Tin aku mengira sudah tak bisa bertemu lagi denganmu !"
Kata yang pertama dari Thi Eng khi ternyata bernada mesrah bagi pendengaran Ciu Tin tin hal ini benar benar membuatnya terharu sekali, sekarang dia mempunyai tempat yang penting dalam hati Thi Eng khi. Dengan air mata yang bercucuran dengan deras Ciu Tin tin menggenggam tangan Thi Eng khi kencang kencang, kemudian bisiknya dengan suara lembut :
"Adik Eng, sekarang kita sudah dapat memasuki gua pertapaan Thio locianpwe!" "Siapa yang telah mengangkangi gua tersebut?” tanya Thi Eng khi dengan cepat "Apakah kalian telah bertarung melawannya?"
Ciu Tin tin segera menggapai dua ekor monyet itu agar maju ke depan kemudian menyahut :
"Rupanya kedua ekor monyet penjaga gua Thio locianpwe telah menaruh kesalahan paham terhadap kita, sehingga ia menutup pintu dan tidak membiarkan kita masuk"
Ciu Tin tin segera menyuruh ke dua ekor monyet itu maju ke depan dan menerangkan kalau si anak muda tersebut adalah majikan baru mereka ....
Monyet monyet itu memang pintar, menirukan lagak manusia saja, mereka segera maju dan menjura kepada Thi Eng khi.
Menyaksikan tingkat laku si monyet yang lucu, Thi Eng khi jadi lupa dengan penyakit yang dideritanya dan tertawa terbahak bahak.
Siapa tahu begitu ia tertawa wajahnya segera meringis, kemudian terbatuk batuk dan memuntahkan darah kental berwarna merah kehitam hitaman....
Semua orang menjadi terkejut!
"Adik Eng, kenapa kau?" dengan gugup Ciu Tin tin menjerit kaget sekeras kerasnya.
Thi Eng khi terengah engah kemudian setelah tertawa tenang katanya :
"Aku sudah rada baikan!"
Menyusul kemudian tanyanya kepada Ciu Tin tin : “Obat apakah yang telah kau berikan kepadaku tadi?"
Ciu Tin tin tertegun, kemudian sahutnya dengan perasaan agak rikuh :
"Obat tersebut diambil oleh Siau soat dan Siau pek, aku sendiripun tidak tahu.” Sekarang dia baru teringat kalau diatas botol porselen tersebut terdapat labelnya maka sambil tertawa rikuh dan untuk menutupi kecerobohan sendiri, dia membaca label di depan botol tersebut :
“Obat ini khusus untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh suatu wabah diluar gua dan di dasar lembah, mereka yang minum obat ini bila meninggalkan lembah sebelum penyakit menjadi sembuh maka dia akan tewas."
Kecuali itu, disitu tidak dicantumkan keterangan serta nama obat tersebut. Thi Eng khi sudah pernah mempelajari kitab ilmu tabib yang berada dirumah Pembenci raja akhirat Kwik Keng thian, boleh dibilang ilmu pertabibannya sangat lihay tergerak hatinya sesudah mendengar perkataan tersebut, pikirnya :
"Jangan jangan di dasar lembah ini terdapat semacam hawa jahat yang bisa melukai tubuh manusia? Tapi bukankah Bu im sin hong Kian tua sudah tersekap selama puluhan tahun di sini?
Mengapa dia tidak jatuh sakit? Sedangkan mereka yang lain pun tidak menderita penyakit apa apa ?”
Berbagai pertanyaan itu segera berkecamuk di dalam benaknya.
Setelah muncul pertanyaan tersebut, otomatis dia pun berusaha untuk menemukan jawabannya, berhubung ilmu pertabiban yang dimilikinya memang sangat lihay, maka tak lama kemudian semua pertanyaan tersebut telah berhasil dipahami olehnya.
Dengan cepat dia mengambil kesimpulan :
Di dasar lembah ini sudah pasti terdapat semacam hawa beracun yang bisa melukai orarg secara lambat, manusia maupun binatang yang terlalu lama berdiam disini pasti akan keracunan dan mati.
Berhubung Bu im sin hong Kian Kim siang bersembunyi di dalam pohon cemara Bwe siong, dan didalam pohon cemara Bwe siong tersebut tentu memiliki kemampuan untuk melawan hawa racun, maka dia tak sampai menderita luka apa apa. Sedang orang yang datang bersama samanya kali ini berhubung semuanya memiliki tenaga dalam yang sempurma, sehingga otomatis kondisi badannya lebih tangguh, maka hawa racun itu tak mampu berbuat apa apa terhadap mereka, maka mereka pun tidak sampai kejangkitan penyakit tersebut tapi lama kelamaan mereka akan kena juga. Sebaliknya dia sendiri terkena karena tenaga dalamnya telah punah dan kondisi badannya menjadi lemah, maka dialah yang pertama tama kejangkitan lebih dulu daripada yang lain. Akan tetapi, dia pun sudah menelan pil kim khong giok lok wan, semestinya tak mungkin akan kejangkitan racun, tapi mengapa dia bisa keracunan?
….. ini berarti hawa racun yang berada di sana istimewa sifatnya dan tak bisa dilawan dengan daya kerja pil kim khong giok lok wan tersebut. Pikir punya pikir, Thi Eng khi menjadi terseret dalam keadaan lupa akan segala galanya, ia menjadi terkesima.
Ciu Tin tin yang menyaksikan sikap termangu dari Thi Eng khi itu segera berseru dengan gelisah :
“Adik Eng! Adik Eng! Mengapa pula kau?”
Diputus lamunannya oleh teguran tersebut, Thi Eng khi segera tersadar kembali namun dengan tenang dia berkata :
“Enci Tin, coba kau lihat, menurut keterangan yang tercantum diatas botol ini, sekarang aku masih belum bisa masuk ke dalam gua, lebih baik kau dan mereka masuk kedalam gua lebih dulu!”
Ciu Tin tin menjadi tertegun.
“Adik Eng, mengapa pula kau menjadi terpukul? Kau adalah majikan dari gua ini, bila kau tidak masuk, siapa pula yang berani memasuki gua tersebut?”
Bu im sin hong Kian Kiam siang maupun Bu Nay nay dan Bu Im juga menyatakan tidak setuju, bila Thi Eng khi tidak masuk ke dalam gua maka mereka semua juga tidak akan masuk.
Melihat semua orang menunjukkan sikap serius, Thi Eng khi tahu bila duduknya persoalan tidak dibikin jelas, mungkin mereka tak akan meninggalkan tempat ini dengan begitu saja. Terpaksa dia harus membeberkan jalan pemikiran yang kurang matang itu kepada mereka, bahkan suruh mereka berlega hati setelah mempunyai obat dari Thio Biau liong, tak mungkin selembar jiwanya akan terancam mara bahaya.
Selain itu, sebelum kesehatan badannya pulih kembali, dia tak akan bisa meninggalkan dasar lembah, juga tak akan berhasil memulihkan tenaga dalamnya yang telah punah, apa salahnya bila kesempatan ini dimanfaatkan dengan sebaik baiknya, selain merawat sakit, juga mencari sumber dari penyebab celaka itu daripada orang lain terkena kembali …..
Mereka semua sama sama merupakan jago persilatan, soal berdebat siapapun tak bisa mengungguli Thi Eng khi, terpaksa mereka menuruti perkataannya dan pindah dulu ke dalam gua.
Ciu Tin tin dengan alasan Thi Eng khi masih sakit, perlu perawatan dan lain lainnya pokoknya kalau digabungkan ada
se¬laksa lebih alasan untuk tidak meninggalkan Thi Eng khi, tapi akhirnya toh harus pindah juga ke dalam gua. Namun, Thi Eng khi harus menyetujui untuk setiap hari bertemu sekali dengannya di mulut gua.
Begitulah Thi Eng khi pun berdiam seorang diri di dasar lembah dan berusaha untuk menyelidiki rahasia alam yang berada disekitar sana. Hari demi hari dapat dilewatkan dengan tenang, walaupun Thi Eng khi tidak berhasil memperoleh sesuatu, tapi berkat obat obatan dari Thio Biau liong, kondisi badannya sudah jauh lebih sehat dan kuat.
Menggunakan waktu senggang yang ada dia pun banyak membaca kitab kitab simpanan milik Thio Biau liong, tentu saja kitab kitab tersebut dikirim oleh Ciu Tin tin sesuai dengan permintaannya.
Ketika Bu im sin hong Kian Kim siang menyaksikan kehidupan dari Thi Eng khi bisa dilewatkan dengan aman tenteram, dia tergoda kembali untuk melihat keadaan dunia persilatan maka ia berangkat kembali meninggalkan gua tersebut.
Sedangkan Thi Eng khi telah memeriksa seluruh dasar lembah itu namun tak berhasil menemukan sesuatu apapun yang mencurigakan, hampir saja dia mencurigai ja¬lan pemikiran sendiri. Di saat ia sedang putus asa itulah, akhirnya Thian telah memberikan suatu kesempatan yang baik kepadanya untuk mengungkapkan rahasia dari dasar lembah tersebut. Di sebelah tenggara pohon bwe siong terdapat sebuah tanah berumput yang sangat indah dan menawan. Thi Eng khi sering membaca buku disitu, beristirahat ataupun berbaring di sana melihat awan di angkasa dan menghilangkan rasa kesal dalam hatinya.
Suatu hari, dia berbaring diatas tanah berumput itu dan tertidur, ketika bangun, waktu menunjukkan saat baginya untuk minum obat.
Maka dia pun mengeluarkan botol obat itu dan mengambil sebutir pil diantaranya, ketika pil itu akan dimasukkan kedalam mulut, mendadak matanya mendelong, dia telah menyaksikan suatu pemandangan yang sangat aneh. Ternyata pil yang berada di tangannya itu dari warna putih kini secara pelan pelan sedang berubah menjadi warna merah....
Thi Eng khi yang menguasai ilmu pertabiban segera menyadari kalau dibalik kesemuanya ini tentu ada hal hal yang amat luar biasa Dia lantas menunda untuk minum pil tersebut, melainkan
beranjak dan meninggalkan tanah berumput tadi. Sungguh aneh sekali begitu dia meninggalkan tanah berumput itu, pil yang berada di tangannya juga segera berubah menjadi putih kembali. Menanti
dia balik ke tanah berumput itu pil tersebut kembali berubah menjadi merah.
Thi Eng khi melakukan percobaan sampai beberapa kali, akhirnya dia berkesimpulan kalau tanah berumput itulah letak keanehan tersebut maka pil tadi segera ditelan. Kemudian dia mencabut beberapa batang rumput dan diperiksa dengan seksama tapi ia tak berhasil menemukan sesuatu perbedaan antara rumput tersebut dengan rumput pada umumnya, normal dan tiada keanehan, hal mana tentu saja membuat hatinya tertegun bercampur keheranan. Kemudian, satu ingatan melintas di dalam benaknya, segera pikirnya di dalam hati :
"Jangan jangan di balik rerumputan tersebut ada persoalan yang tak beres ?”
Berpikir demikian, dia mencabuti rerumputan itu sampai gundul sebagian, tapi tanah dibawah rumput seperti juga tanah biasa, tiada sesuatu perbedaan. Ia lantas mematahkan sebuah ranting kering dan menggali sebuah lubang kecil, sekarang dia baru menemukan tanah semu merah kurang lebih lima inci dibawah permukaan.
Penemuan yang tak terduga ini hampir saja membuat Thi Eng khi melompat saking gembiranya. Sebab dari semu merah yang muncul di atas lumpur tersebut, dia sudah mengetahui apa gerangan yang terjadi. Sambil tersenyum dia lantas mencongkel lumpur dan dicicipi, setelah itu gumamnya :
“Benar, lumpur ini manis rasanya, memang ciri khas dari Ing in ci toh (tanah berseri hawa langit dan bumi), tenaga dalamku ada harapan untuk pulih kembali seperti sedia kala!"
Ternyata Ing in ci toh adalah sari hawa yang terbentuk dari gabungan langit dan bumi, sari hawa ini terbentuk didaerah pertemuan antara udara bersih dengan udara kotor. Kebetulan sekali, lembah tanpa nama ini merupakan pusat pertemuan antara udara bersih dan udara kotor. Karena tertutup oleh lembah dan kabut yang menyempit dan tebal maka campuran udara mana tak mudah menyebar dari situ. Maka udara yang bersih memupuk tumbuhnya Si toan Kim khong dan pohon cemara Bwe siong.
Sebaliknya udara yang kotor tetap membeku didalam lembah dan berubah menjadi hawa jahat yang mencelakai manusia, sedangkan tanah Ing in ci toh mempunyai kasiat menghisap sari udara langit yang bersih dan udara bumi yang kotor hingga terwujud menjadi sari hawa yang terserap ke dalam tanah, coba kalau tiada tanah yang melakukan penyerapan sudah pasti makhluk apapun yang masuk ke lembah tersebut akan mati lemas.
Sekarang, rasa gembira Thi Eng khi tak terlukiskan lagi dengan kata kata, dia melompat dan menari seperti orang gila, kemudian sambil tertawa terbahak bahak serunya :
"Aku akan memberikan suatu kejutan kepada enci Tin agar dia menjadi kejut bercampur girang!"
Karena berpikiran demikian, maka untuk sementara waktu ia tidak menceritakan tentang tanah Ing in ci toh tersebut kepada Ciu Tin tin. Sekembalinya ke dalam gua, dia mengambil pedang Thian liong kim kiam dan menggunakan tenaga besar menggali sebuah lubang yang cukup besar, kemudian memendam tubuhnya didalam tanah sampai sebatas leher.
Kurang lebih satu jam kemudian, dia merasakan munculnya semacam tenaga hisapan yang amat besar yang melumat tubuhnya seakan akan berubah menjadi berpuluhan ribu keping kemudian melalui pori pori menyusup keluar. Disusul kemudian dia merasakan pikirannya kosong dan tubuhnya seakan akan melumer jadi satu dengan tanah, kesadarannya seketika hilang tak berbekas. Menanti dia sadar kembali, tengah malam sudah lewat.
Thi Eng khi merasakan seluruh tubuhnya basah kuyup, sedangkan udara yang segar dan nyaman menyusup ke dalam tulang sumsumnya membuat ia merasa nyaman sekali. Bahkan terasa pula segulung hawa dingin yang segar menyusup melalui pori pori disekujur badannya dan mengalir masuk ke dalam tubuhnya, kemudian menyebar ke mana mana.
Hawa dingin tersebut menyusup ke dalam semua urat nadi dan jalan darahnya dan tak lama kemudian sudah tersebar di seluruh badan, sedang didalam badannya pun sudah mulai muncul segulung hawa hangat. Saat itulah Thi Eng Khi baru mencoba untuk mengatur napas dan menghimpun kembali hawa murninya.
Setetes demi setetes, setitik demi setitik, hawa murni itu mulai terhimpun kembali, dia mulai merasakan hawa murninya mulai bergerak dan menempuh kehidupan baru. Dari sedikit akhirnya membukit, dari pelan akhirnya menjadi cepat, tanpa disadari ia sudah bersemedi tujuh puluh dua jam dengan tiga puluh enam putaran, atau dengan perkataan lain ia telah mengubur diri dalam tanah Ing in ci toh tersebut selama tiga hari tiga malam.
Selama tujuh puluh dua jam ini, Thi Eng khi sudah berganti tulang rasanya, semuanya ikut berubah dan menjadi satu satunya manusia didunia ini yang dipenuhi sari hawa langit dan bumi. Perlu diketahui, tubuh manusia sesungguhnya terbentuk dari sari udara langit dan sari hawa bumi, baik buruk cerdik bodohnya seorang manusia pun tergantung dari berapa banyakkah sari udara bersih dan kotor yang terkandung ditubuh manusia. Bagi orang yang terdiri dari delapan sembilan bagian udara bersih, dia akan menjadi orang pandai. Sebaliknya bila terdiri dari delapan sembilan bagian udara kotor, maka dia akan menjadi orang bodoh.
Thi Eng khi merupakan manusia berbakat aneh yang jarang di jumpai dalam ratusan tahun belakangan ini, dia hampir sembilan puluh persen terdiri dari udara bersih dan hanya satu bagian saja terdiri dari udara kotor jadi bisa dibilang ia amat cerdas.
Tapi sekarang setelah sari pukulan Hian im ciang dari Hian im Tee kun yang kotor dan tertinggal dalam tubuhnya terhisap keluar oleh tanah Ing in ci toh, kemudian sari udara bersih menyusup ke dalam tubuhnya, maka pertukaran mana membentuknya sebagai seorang manusia yang benar benar amat hebat.
Bukan saja seluruh tenaga murninya telah pulih kembali seperti sedia kala, bahkan gara gara bencana menjadi mujur, dia telah berhasil mencapai tingkatan tertinggi sebagai seorang manusia. Bagi umat persilatan yang belajar silat, entah berasal dari aliran manapun, hampir semuanya berusaha untuk mencapai taraf yang disebut Ban gwan Kui tiong (selaksa aliran kembali pada sumbernya), yang dimaksudkan taraf tersebut adalah menambah udara bersih dalam tubuhnya dengan membuang semua udara kotor yang terkandung dibadan sehingga mencapai tingkat dimana seluruh tubuh terdiri dari udara bersih.
Barang siapa makin banyak menghimpun udara bersih, maka dia juga yang akan berhasil mencapai tingkatan yang lebih tinggi. Thi Eng khi yang kena terhajar oleh pukulan Hian im Tee kun membuat hawa murninya menjadi buyar berhubung hawa jahat yang dilontarkan Hian im Tee kun masih tertinggal dalam tubuh Thi Eng khi maka hal mana membuat hawa murni yang dimiliki Thi Eng khi tersebar ke seluruh anggota badannya, sedemikian tercerai berainya hawa murni itu membuat Thi Eng khi tak sanggup untuk menghimpun kembali dan jadilah dia sebagai manusia biasa. Sesungguhnya, sisa hawa pukulan Hian im ciang yang mengeram ditubuh Thi Eng khi itu tak dapat dihilangkan dengan bantuan dari obat apapun. Sekalipun Thi Eng khi menelan buah Hi¬an ko yang dihadiahkan Bu Im kepada Ciu Tin tin, hal itupun tidak akan berpengaruh terlalu banyak, sebagai orang yang memahami ilmu pertabiban, Thi Eng khi tentu saja mengetahui akan teori tersebut, hanya saja tidak sampai diutarakan keluar saja .....
Maka satu satunya cara yang bisa dipakai untuk menolong Thi Eng khi adalah harus ada orang yang memiliki tenaga dalam lebih tinggi dari Hian im Tee kun yang rela mengorbankan diri untuk menyalurkan hawa murninya ke tubuh Thi Eng khi dan melenyapkan sisa hawa pukulan Hian im ciang yang mengeram ditubuh anak muda tersebut. Jikalau kekuatan yang menghambat berkumpulnya hawa murni itu bisa dilenyapkan, saat itulah Thi Eng khi baru punya harapan untuk menghimpun kembali hawa murninya.
Tapi, kesempatan semacam itu boleh dibilang kecil sekali, atau lebih tepat dikatakan pada hakekatnya tiada kemungkinan tersebut. Thi Eng khi cukup memahami akan hal tersebut, tapi untuk menghibur Bu im sin hong Kian Kim siang yang berjiwa hangat, dia tidak menampik usulnya untuk membawanya ke bukit Bu gi san padahal dia sudah bertekad untuk mengasingkan diri selamanya disitu.
Maka itulah, dia baru punva niat untuk mendidik dan membentuk Ciu Tin tin sebagai seorang jagoan. Siapa tahu, kalau nasibnya memang lagi mujur, dia berdiam di lembah terpencil yang sesungguhnya mengandung Ing in ci toh, bukan saja penyakit yang dideritanya bisa dipunahkan, bahkan tenaga dalamnya bisa pulih kembali seperti sedia kala.
Begitulah, Thi Eng khi mengalirkan ha¬wa murninya mengelilingi tubuhnya sampai tiga puluh enam kali putaran, dia merasa semangatnya menjadi segar, hawa murninya penuh dan kekuatannya pulih kembali seperti sedia kala. Dalam sekali lompatan saja, dia telah melepaskan diri dari dalam tanah. ketika ujung bajunya dikebaskan, segulung hawa murni yang dahsyat memancar ke empat penjuru dan menggulung pasir yang berada disekitar sana mengumpul kembali dalam liang tersebut. Thi Eng khi pada saat itu penuh dengan pancaran hawa murni yang segar, namun hatinya tetap tenang dan lembut, seakan akan sudah tiada kobaran api napsu lagi dalam hatinya.
Malam yang gelap menyelimuti seluruh dasar lembah Hong im hong, namun Thi Eng khi dapat menyaksikan segala sesuatu dengan jelas seperti di siang hari saja. Waktu itu, dia amat merindukan diri Ciu Tin tin, pikirnya di dalam hati :
“Sudah tiga hari kami tak bersua, apakah dia pun merindukan diriku …?”
Dengan langkah yang pelan dia berjalan ke depan dan tanpa terasa menuju ke mulut gua. Ia tahu pintu gua pasti tertutup, namun pemuda itu toh tak tahan untuk melongok juga ke depan gua. Kepada diri sendiri dia memperingatkan :
“Asal tidak mengganggu, hanya menengok saja rasanya juga tak menjadi masalah toh setelah fajar nanti kami akan bersua kembali.”
Ketika masih beberapa kaki dari gua, mendadak ia menyaksikan ada sesosok bayangan manusia sedang memandang ke tempat kejauhan sana dengan termangu. Dia adalah Ciu Tin tin, entah sudah sedari kapan berdiri tertegun disitu?
Mungkin karena sudah tiga hari tak pernah bersua dengan Thi Eng khi, dia pun tak ingin melanggar perjanjiannya dengan Thi Eng khi untuk mendatangi lembah mencarinya, terpaksa dia hanya menunggu di depan guanya siang dan malam.
Thi Eng khi benar benar merasa terharu sekali, dengan kecepatan luar biasa dan sama sekali tidak menimbulkan sedikit suara pun dia menyelinap ke depan serta menghampirinya, dengan tenaga dalam Ciu Tin tin yang begitu sempurna pun ternyata ia tidak merasakan apa apa. Tak selang berapa saat kemudian, Thi Eng khi sudah berdiri dibelakang tubuh Ciu Tin tin, sebenarnya dia hendak menegurnya tapi niat tersebut segera diurungkan, tiba tiba ia menggelengkan kepalanya, tersenyum dan mundur kembali. Akhirnya setelah berputar satu lingkaran, dia muncul di depan Ciu Tin tin dan berjalan mendekatinya. Suara langkah yang berkumandang segera mengejutkan Ciu Tin tin, dia segera menegur
:
"Adik Eng kah disana?"
Dengan suatu kecepatan luar biasa dia menerjang ke hadapan Thi Eng khi. Sengaja Thi Eng khi mundur selangkah, kemudian serunya terkejut :
"Siapa?"
Saat ini, Ciu Tin tin sudah tidak mempunyai rasa malu lagi, yang ada tinggal rasa cinta dan perhatian yang besar, digenggamnya tangan Thi Eng khi, kemudian ujarnya dengan sedih :
"Adik Eng, ke mana saja kau pergi selama berapa hari ini?
Mengapa tidak datang ke gua untuk menjengukku? Aku benar benar merasa cemas sekali. !"
Thi Eng khi meremas remas tangan Ciu Tin tin yang halus, lalu berbisik dengan lembut :
"Sudah lamakah kau menunggu aku?"
Ciu Tin tin tersenyum :
"Tidak lama, bukankah kita berjanji akan bertemu setiap malam?
Sejak saat itu lah aku datang menantimu.”
Begitu besarnya perhatian gadis itu untuk menunggu Thi Eng khi, waktu yang sudah berhari hari lamanya itu dianggap sebagai sebentar saja. Padahal kalau dihitung yang sebenarnya dia sudah menunggu selama tiga hari tiga malam. Dengan perasaan tercengang Thi Eng khi segera bertanya :
“Sudah begini lama kau berdiri didepan gua, apakah mereka tidak menyuruh kau kembali?”
“Agaknya mereka sudah menyuruh masuk, tapi aku sama sekali tidak menggubris, sudah pasti Bu Nay nay akan merasa gusar sekali.” Segenap perhatiannya boleh dibilang telah dipusatkan pada Thi Eng khi, sehingga masalah yang lain boleh dibilang sama sekali tidak diperhatikan. Untuk menunggu Thi Eng khi, gadis tersebut sudah menunggu selama tiga hari tiga malam didepan gua, tapi Bu Nay nay sendiripun harus berdiri pula di belakang gua selama tiga hari tiga malam juga untuk menjaga kesehatannya. Sementara itu, Bu Nay nay juga sudah mendengar suara penbicaraan mereka dan memburu ke depan, tapi setelah menyaksikan sikap mereka yang mesrah, tak urung agak rikuh juga dibuatnya sehingga tanpa terasa ia berhenti berlari dan siap untuk balik kembali.
Tapi Ciu Tin tin segera memanggilnya :
“Bu Nay nay, adik Eng telah kembali!”
Ucapan itu tidak penting bahkan berlebihan, tapi oleh sebab dia terlalu gembira, dia pun ingin orang lain turut mencicipi kegembiraannya, maka dalam anggapannya ucapan mana tidak merupakan ucapan yang terlalu berlebihan. Bu Nay nay segera berhenti dan tertawa getir, kemudian katanya :
"Tin Tin, kalau toh sudah berjumpa kembali dengan Thi sauhiap, kau sudah seharusnya pergi beristirahat!"
Kemudian sambil berpaling ke arah Thi Eng khi, omelnya : "Aaaai, anak muda, mengapa kau tidak berpikir untuk enci Tin?
Tahukah kau, sudah tiga hari tiga malam dia menantikan dirimu disini!"
Thi Eng khi hendak minta maaf kepada Bu Nay nay, tapi Ciu Tin tin sudah keburu berseru :
“Bu Nay nay, kau memang pandai membuat kejutan, kapan sih aku menunggu selama tiga hari tiga malam? Kesehatan adik Eng belum pulih kembali, kau jangan membuatnya terkejut!”
Bu Nay nay menjadi tertegun, lalu katanya sambil tertawa : “Baik, baik! Anggap saja aku telah salah berbicara, sekarang kau
boleh pergi beristirahat bukan?”
“Tidak, kami belum berbicara berapa patah kata, bila ingin kembali, kau boleh kembali dulu!” Thi Eng khi benar benar dibikin terharu sekali, katanya kemudian dengan cepat :
“Enci Tin, siaute menyesal sekali kepadamu karena sudah membuatmu tersiksa, harap kau sudi memaafkan kesalahanku!”
“Adik Eng, lagi lagi kau anggap orang luar diriku,” seru Ciu Tin tin cemberut, “asal kau sudah sembuh dari penyakitmu, aku tak akan mengacuhkan yang lain.”
Kenyataannya, dia memang tidak menegur Thi Eng khi mengapa tidak datang bertemu dengannya seperti saat yang telah dijanjikan. Thi Eng khi segera menarik tangan Ciu Tin tin sambil berseru :
"Ayoh jalan! Enci Tin, aku akan menemanimu kembali kedalam gua...!"
Hampir saja Ciu Tin tin tidak mempercayai pendengaran sendiri, kejut dan girang segera menyelimuti hatinya :
“Adik Eng, apa kau bilang?"
Thi Eng khi tertawa :
“Penyakit yang siaute derita telah sembuh, sekarang aku sudah dapat meninggalkan lembah ini dan hidup bersama sama kalian di dalam gua ”
Saking gembiranya air mata sampai jatuh bercucuran membasahi wajah Ciu Tin tin, digenggamnya tangan Thi Eng khi dan digoyangkan berulang kali, kemudian serunya :
“Ooooh.... ooooh penyakitmu telah sembuh! Penyakitmu telah
sembuh.... kita tidak akan berpisah lagi. kita tak akan berpisah lagi
untuk selamanya."
Bu Nay nay juga turut gembira, serunya dari samping :
"Thi sauhiap, mengapa tidak kau katakan sedari tadi? Ayoh cepat masuk, cepat kembali ke dalam gua, kesehatan tubuhmu baru saja sembuh jangan sampai masuk angin hingga bikin orang menjadi gelisah dan kuatir kembali." Tanpa membuang banyak waktu lagi, dia segera menarik tangan Ciu Tin tin dan menyeret Thi Eng khi lari masuk ke dalam gua.
Sejak Thi Eng khi kembali ke dalam gua dalam waktu singkat satu bulan lebih sudah lewat. Dia tidak menceritakan kepada Ciu Tin tin kalau tenaga dalamnya telah pulih kembali, mula mula dia hanya bermaksud membuat kejutan bagi Ciu Tin tin, tapi sekarang dia justru ada niat untuk mengatur segala sesuatunya di dalam siasatnya untuk menghadapi Hian im Tee kun.
Selama sebulan ini, dia hanya berusaha keras untuk membaca semua kitab pusaka yang disimpan oleh Thio Biau liong selama ini serta memperketat usahanya untuk menurunkan ilmu silat yang hebat kepada Ciu Tin tin. Walaupun Ciu Tin tin menguatirkan keadaan Thi Eng khi yang dianggapnya masih kehilangan tenaga dalam, namun setelah menyaksikan kondisi badan Thi Eng khi yang tambah hari bertambah sehat, dia pun mengambil pemikiran selangkah mundur ke belakang.
Sekarang dia tidak berburu buru lagi untuk memaksakan pengobatan bagi Thi Eng khi, kuatir kalau pemuda itu tak bisa memecahkan pemikiran mana, sebaliknya malah menghibur terus hatinya dengan mempergiat latihan ilmu silat agar memancing kegembiraan tersebut. Thi Eng khi tentu memahami maksud hati dari nona tersebut, namun dia juga tidak mengungkapnya, namun semakin mesrah sikapnya terhadap gadis itu membuat sang dara menjadi kegirangan.
Kemajuan yang dicapai Ciu Tin tin dalam ilmu silat benar benar amat pesat, bukan saja ilmu silat ajaran Sim ji sinni seperti Boan yok sinkang dan ilmu sakti Thian liong pay yang dipelajari, bahkan ilmu Heng kian sinkang peninggalan Thio Biau liong serta ilmu silat aliran partai lain pun berhasil dikuasai olehnya.
Kemampuannya sekarang sama sekali tidak berada dibawah kemampuan Thi Eng khi sewaktu bertarung melawan Hian im Tee kun tempo hari, itu berarti dia sudah mempunyai modal utama untuk bertarung satu lawan satu melawan Hian im Tee kun. Namun taraf kemajuan yang berhasil dicapai pun merupakan taraf yang tertinggi, dia memang bisa maju selangkah lagi namun hal mana bisa dicapai dalam beberapa hari saja.
Saat itulah, Ciu Tin tin teringat kembali dengan janjinya kepada Bu Im untuk menembusi jalan nadi Jin meh dan tok mehnya, dia pun merundingkan hal ini dengan Thi Eng khi untuk dicoba. Berbicara menurut kesempurnaan tenaga dalam, Cu Tin tin masih sanggup untuk menghadapi, yang dikuatirkan sekarang tinggal soal pengalaman dari gadis tersebut, sebab bila salah bertindak bisa jadi akan berakibat kedua belah pihak sama sama menderita kerugian besar. Itulah sebabnya Thi Eng khi merasa amat tidak lega hati.
Ciu Tin tin telah makan buah Hian ko pemberian orang, hal ini membuat hatinya selalu merasa masgul. Sehari dia belum berhasil membantu Bu Im untuk menembusi jalan darah Jin meh dan tok mehnya, sehari pula dia tak akan tenteram, dia bersikeras hendak menyerempet mara bahaya tersebut.
Dalam keadaan apa boleh buat, terpaksa Thi Eng khi harus menyanggupi permintaannya itu. Tatkala Bu Im menerima kabar tersebut, sudah barang tentu ia merasa sangat kegirangan. Segala sesuatunya segera dipersiapkan menurut petunjuk dari Thi Eng khi. Bu Im diminta untuk duduk bersila diatas sebuah kasur tempat duduk. Ciu Tin tin dan dia masing masing menggunakan tenaganya secara bergantian, kemudian gadis itu berdiri dihadapan Bu Im dan jari telunjuk tangan kanannya ditempelkan diatas jalan darah soh liau hiat diujung hidung Bu Im, sementara jari telunjuk tangan kirinya ditempelkan diatas jalan darah Seng ciang hiat.
Dengan cepat Ciu Tin tin mengerahkan tenaga dalam yang telah dihimpun dalam pusarnya, dua gulung tenaga lembut masing masing menyusup masuk ke dalam tubuh Bu Im melalui jalan jalan Soh liau hiat dan Seng ciang hiat kemudian setelah bergabung dengan hawa murni yang berada dalam tubuh Bu Im sendiri, segera berputar mengitari badan sebanyak tiga kali putaran.
Kemudian dari Jin meh mengalir ke bawah melewati jalan darah Liau swan hiat, Thian toh hiat, Hoa kay hiat, Giok tong hiat, Tiong teng hiat, Sang wan hiat, Kian li hiat, Hun sui hiat, Im ciau hiat, Sik bun hiat, pin goan hiat, tiong kek hiat, dan Ci kut hiat dua puluh tiga buah jalan darah penting dan terhimpun dalam Hwee im hiat.
Sebaliknya yang melalui Tok meh mengalir berputar menembusi jalan darah Sin ting hiat, Pek hwe hiat, Hong hu hiat, ya lun hiat, tay hway hiat, sin cut hiat, leng tay hiat, ci yang hiat, tiong ci hiat, Mia bun hiat, Yang kwan hiat dan Yau gi hiat dua puluh tujuh buah jalan darah penting sebelum mencapai Tian jiang hiat.
Asal jalan darah hwee im hiat di urat Jin meh dan jalan darah tiang jiang hiat di urat Tok meh berhasil menembusi, berarti mereka sudah melewati sebuah pos yang penting, kemudian bilamana tenaga mereka dihimpun lagi dalam jalan darah Seng jiat hiat di Jin meh dan Gin ciau hiat di urat Tok meh, sehingga ke dua buah jalan darah ini berhasil ditembusi, berarti usaha mereka untuk menembusi urat nadi Jin meh dan Tok meh akan mencapai keberhasilan.
Tenaga dalam yang dimiliki Ciu Tin tin memang lihay sekali, jalan darah Hwee im hiat dan Tiang jiang hiat ternyata berhasil dia tembusi tanpa mengalami kesulitan apupun, dengan cepatnya tanpa hambatan jalan darah tersebut berhasil ditembusi tapi setelah hawa murninya mencapai jalan darah Ing tong hiat, disitulah terletak sumber penyakit yang menyebabkan urat nadi Jin meh dan tok meh milik Bu Im tak berhasil ditembusi.
Tampak paras muka Bu Im berubah menjadi pucat pias, hawa murni yang berada dalam tubuhnya segera punah dan buyar, ternyata dia tak berani menggunakan hawa untuk menembusi jalan darah tersebut. Hal ini menunjukkan ketika hawa murninya mencapai darah Ing tong hiat, oleh karena jalan nadinya terlalu sempit dan kecil maka apabila diterjang kelewat keras, bisa jadi akan berakibat meletus dan pecah. Sebaliknya apabila penggunaan tenaga terlalu lemah, maka usaha untuk menembusi jalan darah tersebut akan mengalami kegagalan total.
Di sinilah terletak titik kelemahan yang membutuhkan bantuan dari Ciu Tin tin dengan Pek hwe tiau yang tayhoat yang belum lama dipelajarinya itu. Dengan demikian, disamping Ciu Tin tin harus mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi jalan darah Ing tong hiat agar jangan sampai pecah, disamping itu dia pun yang memancing hawa murni dari Bu Im untuk berubah dari air bah menjadi aliran yang lembut, meski berubah menjadi aliran lembut namun memiliki kekuatan air bah guna menembusi jalan darah Seng ciang hiat dan Gin ciau hiat.
Paras muka Bu Im berubah menjadi pucat pias seperti mayat, sekujur tubuhnya turut gemetar keras. Sebaliknya paras muka Ciu Tin tin berubah menjadi merah padam seperti orang mabuk, uap putih mengepul dari ubun ubunnya, jelas dia pun sedang berada dalam keadaan yang sangat payah. Thi Eng khi yang menyaksikan kejadian tersebut segera berpaling dan memandang sekejap ke arah Bu Nay nay, kemudian katanya :
"Aku lihat enci Tin sudah hampir tak sanggup untuk mempertahankan diri lebih jauh!"
Bu Nay nay adalah seorang ahli ilmu silat, sudah barang tentu diapun tahu hal Ciu Tin tin serta Bu Im terjerumus dalam posisi yang serba sulit, asal kekuatan mereka tidak tercapai seperti apa yang diharapkan, maka bisa jadi keselamatan kedua orang ini bakal terancam. Sayangnya, sekalipun dia mengetahui akan gejala tersebut namun tak mampu memberikan bantuannya maka dia menjadi gelisah sekali macam semut didalam kuali panas. Selang berapa saat kemudian, dia baru berseru dengan perasaan gugup bercampur cemas :
"Sekarang, apa yang harus kulakukan sekarang? sekarang apa yang harus kulakukan..?"
Dari dalam sakunya Thi Eng khi mengeluarkan sebatang jarum emas, kemudian katanya:
"Harap Bu Nay nay sudi membantu diriku, boanpwe akan menggunakan jarum emas untuk membantu mereka agar lolos dari bahaya ini!"
Thi Eng khi kehilangan tenaga dalamnya tentu saja dia tak dapat mengerahkan hawa murninya untuk memberi bantuan.
“Kau yakin akan berhasil?" tanya Bu Nay nay sambil memandang ke wajah pemuda tersebut dengan wajah tercengang. "Asal kau Bu Nay nay membantu dengan tenaga dalam, boanpwe yakin sudah pasti akan berhasil.”
Mendengar ucapan mana, Bu Nay nay segera menghela napas panjang.
"Aaai…, nampaknya kita memang harus menyerempet mara bahaya tersebut "
Seraya berkata dia lantas menempelkan telapak tangannya diatas jalan darah pay sim hiat dipunggung si anak muda itu, kemudian menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuhnya. Thi Eng khi yang memperoleh kembali tenaga dalamnya, tentu saja sama sekali tidak membutuhkan bantuan dari Bu Nay nay, namun dia justru hendak menggunakan cara demikian untuk merahasiakan keadaannya yang sebenarnya.
Begitulah, sambil tersenyum dia lantas menuju jalan darah Khi suat hiat,Thian suan hiat dan Cian cing hiat di tubuh Ciu Tin tin dengan jarum emas tersebut. Berbareng itu juga, dia menggerakkan jari telunjuknya untuk menekan diatas gagang jarum yang menempel diatas jalan darah Thian suan hiat dan menyalurkan hawa murni yang melalui jarum emas tersebut menyusup ke dalam tubuh Ciu Tin tin.
Dengan bantuan tenaga dalam tersebut, Ciu Tin tin segera merasakan semangatnya menjadi segar, tenaga murninya serasa bertambah lipat ganda. Pada saat itulah dari dalam tubuh Bu Im tiba tiba saja berkumandang suara nyaring, disusul kemudian sekujur tubuhnya gemetar keras, paras mukanya yang semula pucat pias kini mulai nampak warna darah kembali. Tampaknya urat nadi Jin meh dan tok meh didalam tubuhnya telah berhasil ditembusi.
Ciu Tin tin menghembuskan napas panjang, ia segera menyingkir ke samping dan duduk mengatur pernapasan di sana. Thi Eng khi sendiripun mencabut keluar jarum emas dari dalam tubuh Ciu Tin tin kemudian sambil memandang ke arah Bu Nay nay, katanya sambil tertawa :
"Terima kasih nay nay atas bantuanmu!” Bu Nay nay segera mengerdipkan matanya berulang kali, katanya kemudian :
“Sauhiap, setelah kehilangan tenaga dalammu, ternyata kau masih sanggup melakukan tindakan pertolongan seperti ini, aku si nenek benar benar merasa kagum kepada mu!"
Tak selang berapa saat kemudian, Ciu Tin tin telah menyelesaikan semedinya dan melompat bangun, dia segera berterima kasih kapada Bu Nay nay dan Thi Eng khi. Tatkala sepasang matanya yang jeli dia lihatkan ke wajah Thi Eng khi, dari balik matanya itu terlihat suatu sinar kebimbangan yang amat tebal, dia seakan akan sudah berhasil mengetahui rahasia dari Thi Eng khi tersebut, namun tidak berani untuk mempercayai jalan pemikiran sendiri.
Thi Eng khi tidak berani saling bertatapan muka dengan gadis itu, buru buru serunya agak jengah :
"Enci Tin, perlukah siaute pun menurunkan ilmu tusuk jarum ini kepadamu?"
Ciu Tin tin memandang sekejap kearah pemuda itu kemudian tersenyum manis.
"Sungguh tidak kusangka kalau adik Eng adalah seorang manusia yang sengaja merahasiakan kepandaiannya!"
Thi Eng khi menjadi tertegun dan tak tahu apa yang harus diucapkan olehnya. Pada saat itulah Bu Im telah menyelesaikan semedinya dan datang mengucapkan terima kasih.
Pertemuan antara Thi Eng khi dengan Hian im Tee kun yang berlangsung belum lama berselang, meski pemuda itu berhasil dikalahkan namun kekalahan tersebut diperoleh secara terhormat, saat itu nama besarnya sudah makin menanjak tinggi dan merupakan simbol dari kegagahan kaum wanita jaman itu.
Dalam satu malaman saja, nama besar partai Thian liong pay turut menanjak dan pulih kembali kejayaannya seperti dahulu. Sekalipun Keng thian giok cu Thi Keng telah menggabungkan diri dengan pihak Ban seng kiong, namun kejadian tersebut sama sekali tidak mempengaruhi pandangan orang persilatan serta sikap hormat mereka terhadap Thian liong pay.
Sebab pertarungan yang berlangsung amat seru tersebut disaksikan sendiri oleh ketua Siau lim pay, ketua Bu tong pay serta ketua Kay pang, merekalah yang kemudian memberikan penjelasan serta menyebar luaskan cerita tersebut ke seluruh dunia persilatan. Cuma sayangnya, Thi Eng khi lenyap tak berbekas, siapa pun tidak tahu pemuda tersebut telah dibawa lari oleh Bu im sin hong Kian Kim siang menuju ke tempat mana.
Hal ini membuat semua orang sama sama merasa cemas, rindu dan bingung untuk menemukan kembali jejaknya. Terutama sekali Hian im Tee kun yang telah menganggap Thi Eng khi sebagai satu satunya lawan yang paling tangguh, jejak sang pemuda yang hilang lenyap tak ketahuan kabar beritanya ini membuat dia semakin tak tenang untuk makan maupun tidur, setiap hari dia harus menanggung perasaan kuatir yang amat mendalam. Hal mana dengan cepat mempengaruhi pula rencananya untuk melakukan pembasmian terhadap partai partai serta perguruan besar lainnya dalam dunia persilatan, kini dia mengalihkan segenap kekuatan dari Ban seng kiong untuk menelusuri jejak dari Thi Eng khi.
Oleh sebab itu, peristiwa mana memberikan kesempatan bagi pelbagai partai dan perguruan besar untuk menghimpun kekuatan, bersekongkol dengan kekuatan lain untuk menggalang persatuan yang lebih mantap di dalam usahanya menanggulangi ancaman bahaya maut yang bakal tiba.
Selain itu, mereka pun bersama sama menyelenggarakan pertemuan Bu lim tay hwee untuk membahas usaha mereka bersama didalam perlawanannya terhadap kekuatan Ban seng kiong. Tentu saja orang orang yang diundang untuk menghadiri pertemuan besar tersebut hampir semuanya merupakan orang orang yang punya nama dan kedudukan dalam dunia persilatan. Kalau bukan seorang pentolan persilatan dari suatu daerah tentunya dia adalah seorang ketua dari suatu partai perguruan atau perkumpulan yang berpengaruh besar. Hal ini membuat suasana pertemuan tersebut beberapa kali lipat lebih angker daripada pertemuan yang diselenggarakan dibukit Siong san tempo hari, bahkan kerahasiaan pertemuan ini jauh melebihi kerahasiaan pertemuan yang diselenggarakan Cang ciong sin kiam Sangkoan Yong di dalam perkampungan Ki hian san ceng nya tempo hari.
Orang orang yang berangkat dari Bu lim tit it keh, markas besar partai Thian liong pay untuk menghadiri pertemuan tersebut terbagi menjadi dua rombongan. Pit tee jiu Wong Tin pak dan Ngo liu sianseng Lim Biau lim mewakili partai Thian liong pay dan sudah berangkat lebih duluan. Sedangkan Sam ku sinni dan Pek leng siancu So Bwe leng dengan kedudukan lain baru berangkat keesokan harinya.
Sementara ini, Sam ku sinni dan Pek leng siancu So Bwe leng sudah lima hari menempuh perjalanannya dan seperti yang direncanakan semula, mereka telah tiba di Kota Tong tay. Tong tay merupakan sebuah tempat yang cukup besar, suasana amat ramai sekali, namun mereka tidak memasuki kota, seperti pengumuman yang dibaca, mereka menelusuri kaki kota dan berjalan sejauh lima li sebelum tiba di depan sebuah kuil nikou kecil.
Sewaktu mereka mengetuk pintu,yang muncul bukan seorang nikou melainkan seorang nenek berambut putih. Dia menerima surat undangan dari Sam ku sinni, mengajukan pertanyaan sampai setengah harian lamanya, dan pada akhirnya meminta kepada Sam ku sinni untuk mendemonstrasikan kepandaian silatnya sebelum menyerahkan sebuah peta perjalanan untuk mereka.
Setelah Pek leng siancu So Bwe leng dan Sam ku sinni meninggalkan kuil tersebut, dengan cepat Pek leng siancu So Bwe leng membuka peta perjalanan sambil memeriksanya. Tak selang berapa saat kemudian, dia sudah mengumpat dengan perasaan mendongkol :
“Sungguh menjengkelkan!” "Anak Leng, apakah peta itu ada yang tidak beres?" tanya Sam ku sinni dengan perasaan terperanjat.
Sambil mencibirkan bibirnya yang kecil Pek leng siancu So Bwe leng berseru dengan gemas :
“Orang ini benar benar sialan, mereka hanya suruh kita menempuh perjalanan dengan sia sia belaka, suhu, coba bayangkan apakah kejadian ini tidak membuat hati orang merasa mendongkol?”
"Dimana sih letak pos kedua yang harus kita tuju?" “Ngo hoo!” jawab Pek leng siancu So Bwe leng singkat. "Bukankah terletak tak jauh dari Hway in?”
“Itu dia, disinilah yang membuat hati orang menjadi mendongkol, mengapa tidak mereka katakan kepada kita agar segera menuju ke Ngo hoo saja?”
“Kau tak bisa menyalahkan si penyelenggara pertemuan ini,” kata Sam ku sinni dengan perasaan tenang, “sejak Huan im sin ang mengacau perkampungan Ki hian san ceng tempo hari, maka kali ini mau tak mau kita harus bersikap jauh lebih berhati hati, apabila kita melakukan perjalanan yang lebih jauh berarti akan menyulitkan orang orang dari Ban seng kiong untuk menyelidiki tempat pertemuan kita, sekalipun berhasil mereka ketahui pun belum tentu mereka sempat mendatangi tempat pertemuan tersebut tepat pada waktunya, siapa tahu ketika mereka sampai disitu, kita sudah pada bubaran?"
Pek leng siancu So Bwe leng sudah takluk dalam hatinya, namun mulutnya masih belum mau berhenti berbicara, sekali lagi dia mengomel :
"Aku paling tidak setuju dengan segala macam perbuatan yang kasak kusuk mencurigakan!”
Sam ku sinni tertawa. “Untuk menghadapi manusia yang luar biasa, kita harus menggunakan cara yang luar biasa pula, kejadian semacam ini tak bisa dianggap sebagai suatu perbuatan kasak kusuk, dalam hal ini kau harus bisa membedakan nya secara jelas.”
Pek leng siancu So Bwe leng termenung beberapa saat lamanya, mendadak dia berseru: "Aku tak ingin menghadiri pertemuan rahasia tersebut!"
"Apalagi yang sedang kau pikirkan didalam hati kecilmu?” seru Sam ku sinni agak tertegun.
“Aku hendak mencari engkoh Eng, dia sudah terluka parah, sudah pasti ia membutuhkan seseorang untuk merawatnya!"
Mendengar perkataan tersebut, Sam ku sinni segera tertawa getir, serunya :
"Perkataan ini sudah kau ulangi sampai beribu kali, tapi ke manakah kau hendak pergi untuk mencarinya?”
“Entahlah!" sahut Pek leng siancu So Bwe leng sambil berkeras kepala, "pokoknya aku hendak mencarinya sampai dapat, sekalipun harus mencarinya diseantero jagad.”
Sam ku sinni segera menghela napas panjang.
"Kita harus menemukan jejak Thi sauhiap, tapi kita pun lebih lebih harus menghadiri pertemuan rahasia tersebut?”
"Mengapa?"
“Bagaimana kalau kekuatan seorang dibandingkan dengan kekuatan orang banyak? Kita toh bisa meminta bantuan dari mereka yang hadir dalam pertemuan tersebut untuk bersama sama mencari jejaknya.”
Mendengar perkataan ini, Pek leng siancu So Bwe leng segera tertawa, katanya kemudian :
"Suhu, kalau memang begitu, mari kita segera berangkat!” Kalau bisa dia ingin secepatnya pergi menghadiri pertemuan tersebut, kemudian minta bantuan dari para jagoan untuk menemukan kembali jejak engkoh Eng nya.
“Buat apa kau mesti terburu napsu? Bukankah diatas peta sudah jelas diterangkan saatnya? Sekalipun datang lebih awal, lantas apa pula gunanya?"
Pek leng siancu So Bwe leng tidak menggubris ucapan tersebut, dia segera mengajak Sam ku sinni untuk mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya dan menempuh perjalanan dengan cepat, mereka tiba di Ngo hoo tiga hari lebih awal.
Ngo hoo tidak jauh letaknya dari Hway lm namun termasuk dalam propinsi An hwee, oleh karena dekat dengan telaga Ang ci ou, maka jalan air disekitar sana amat ramai. Berhubung mereka sampai ditempat tujuan tiga hari lebih awal, maka kedua orang itu tidak segera langsung menuju ke tempat yang telah ditentukan. Mereka mencari sebuah rumah penginapan kecil dalam kota Ngo hoo lebih dulu untuk beristirahat.
Sebagaimana diketahui, Sam ku sinni adalah seorang rahib yang telah lanjut usia, sedangkan Pek leng siancu So Bwe leng adalah seorang nona yang belum berumur dua puluh tahunan, maka pemilik rumah penginapan itu berbaik hati dengan mempersiapkan sebuah kamar didalam gedung pribadinya serta menyuruh anak bininya melayani sendiri keperluan ke dua orang tamunya ini. Sikap yang sangat baik ini membuat kedua orang itu menjadi rikuh sendiri.
Malam itu tiada kejadian apa apa, keesokan harinya dengan perasaan tak sabar kembali Pek leng siancu So Bwe leng merecoki gurunya untuk mengajak dia mangunjungi tempat yang telah ditetapkan. Dalam hati kecilnya dia berharap bisa segera menemukan orang yang ditugaskan menerima kedatangannya itu dan berharap bisa memperoleh pengertian dari orang itu agar menunjukkan kota berikutnya yang harus mereka datangi. Memang beginilah penyakit dari kaum muda pada umumnya, tidak terkecuali pula pada diri Pek leng siancu So Bwe leng.
Terhadap murid yang satu ini, Sam ku sinni benar benar dibikin apa boleh buat, dia sama sekali tak mampu memperlihatkan sikap angkernya sebagai seorang guru, sebab dia memang terlampau menyayangi muridnya yang satu ini.
Padahal, kepandaian silat yang dimiliki Pek leng siancu So Bwe leng sekarang jauh lebih tangguh daripada gurunya, seandainya Sam ku sinni terlalu ketat mendidiknya, bisa jadi gadis itu akan minggat secara diam diam. Bila sampai terjadi begini, maka pada akhirnya Sam ku sinni pun tak akan mampu untuk berbuat banyak.
Begitulah, oleh karena Sam ku sinni tak sanggup menghadapi Pek leng siancu So Bwe leng yang merecokinya terus menerus, terpaksa dia harus mengabulkan permintaannya dengan paksa.
Begitulah, mereka pun segera berangkat meninggalkan rumah penginapan tersebut. Tempat yang ditentukan bagi mereka kali ini bukan diluar kota, melainkan di sebuah gedung besar yang terletak dalam kota. Pintu gerbang gedung itu berwarna merah dengan sepasang singa batu setinggi manusia berdiri dikedua belah sisi pintu, dua baris pohon kui yang lebat dengan daun yang rindang menjuat keluar dari balik dinding pekarangan.
Begitu megah dan menterengnya bangunan gedung tersebut, membuat Pek leng siancu So Bwe leng yang selamanya tidak takut langit tidak takut bumi pun menjadi kuatir kalau salah mendatangi tempat orang lain, sehingga untuk sesaat dia tak berani maju ke depan.
Melihat sikap anak muridnya ini, Sam ku sinni segera berseru kepadanya sambil tertawa “Huuuuh, kau benar benar seorang manusia yang tak becus!"
Dia lantas berjalan lebih dulu di depan dan segera mengetuk pintu gerbang. Pek leng siancu So Bwe leng membelalakkan matanya lebar lebar sambil berebut ke depan, katanya sambil tertawa merdu :
"Suhu saja tidak kuatir kehilangan muka apa pula yang mesti ditakuti oleh Leng ji?”
Dia segera mengetuk tiga kali diatas gelang pintu gerbang yang berwarna kuning keemas emasan itu.
“Siapa?" dari dalam gedung terdengar seseorang menegur.
Pintu gerbang dibuka dan muncul seorang kakek bungkuk, dia mengamati Sam ku sinni sekejap, lalu katanya :
"Maaf, gedung kami tidak berjodoh dengan kaum rahib atau pendeta, silahkan suthay berpindah ke tempat lain saja."
Rupanya dia telah menganggap Sam ku sinni berdua sebagai orang yang mencari derma.
"Omitohud. " bisik Sam ku sinni sambil tersenyum kecut. Tapi
sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu, sambil tertawa Pek leng siancu So Bwe leng telah berkata lebih dulu :
“Rupanya kau orang tua salah melihat, kami bukan datang untuk mencari derma!"
Ucapan tersebut membuat kakek bungkuk itu menjadi rikuh sendiri, katanya kemudian sambil tertawa :
“Ooooh, nampaknya lohan telah bersikap kurang hormat, tolong tanya ada urusan apa kalian datang kemari?”
Pek leng siancu So Bwe leng yang teringat akan peraturan yang telah ditetapkan untuk bertanya jawab, dengan cepat dia berseru :
"Gedung utara gedung selatan bagaikan air mengalir. ”
Ucapan tersebut merupakan kata sandi yang harus diucapkan terhadap mereka yang ditugaskan untuk menyambut mereka, dan seandainya kakek bungkuk ini adalah orang yang mereka cari, maka seharusnya dia akan menyahut kata tersebut dengan kata sandi pula
:
“Tampak kawanan burung manyar datang setiap hari.” Entah karena saat yang ditetapkan belum tiba atau karena kakek bungkuk itu sengaja tak mau menjawab, atau mungkin juga kakek itu sama sekali tidak mengetahui artinya, tampak dia berdiri dengan wajah kebingungan, kemudian tegurnya :
"Nona, apa yang kau ucapkan? Lohan sama sekali tidak mengerti!”
Pek leng siancu So Bwe leng masih belum mau menyerah dengan begitu saja, kembali serunya :
“Kau benar benar tidak mengerti, ataukah berpura pura tidak mengerti...?”
Kakek bungkuk itu tertawa getir.
“Lohan kalau tidak tahu selamanya mengatakan tidak tahu, apa yang nona katakan benar benar tidak lohan pahami."
Melihat itu, tanpa berpikir panjang lagi Pek leng siancu So Bwe leng segera berseru :
"Kami datang kemari untuk mencari orang!”
''Ooooh rupanya nona sedang mencari orang, entah siapakah
yang sedang kalian cari? Sebutkan saja siapa namanya, lohan akan segera mengundang keluar.”
Menyaksikan kakek bungkuk itu tidak mempersilahkan mereka untuk masuk, Pek leng siancu So Bwe leng merasa semakin mendongkol lagi, serunya kemudian agak gemas :
"Kami datang untuk mencari majikan kalian, apakah kami tidak dipersilahkan untuk masuk?"
Dengan perasaan terkejut buru buru kakek bungkuk itu menjura dalam dalam, sahutnya berulang kali :
"Baik, baik harap kalian sudi menyebutkan nama kalian
berdua, hamba akan segera melaporkan kepada majikan agar datang untuk menyambut kedatangan kalian" Tampaknya kakek bungkuk itu sudah dibikin keder oleh sikap Pek leng siancu So Bwe leng, sehingga dia kuatir menyalahi tamu tamunya ini....
Pek leng siancu So Bwe leng segera menyebutkan nama gurunya dan nama sendiri. Tak selang berapa saat kemudian, kakek bungkuk itu muncul kembali didepan pintu, hanya kali ini sikapnya berubah menjadi sangat angkuh, katanya ketus :
“Majikan kami tidak kenal dengan kalian berdua, sedang lohan juga tak punya waktu, silahkan "
“Blaaamm. ” pintu gerbang segera di tutup keras keras.
Sebagaimana diketahui, Pek leng siancu So Bwe leng dibesarkan diluar perbatasan, sejak kecil ia sudah merupakan cucu kesayangan dari Tiang pek lojin, tentu saja tak pernah diperlakukan orang dengan cara seperti ini. Kontan saja dia naik pitam, telapak ta¬ngannya segera diayunkan siap menghajar pintu gerbang tersebut. Seandainya pintu tersebut kena dihantam olehnya, niscaya pintu tersebut akan hancur berantakan dan roboh ke tanah.
Dengan Sam ku sinni berada disampingnya, sudah barang tentu rahib tua tersebut tidak memperkenankan gadis tersebut untuk menerbitkan keonaran, cepat cepat dia menahan telapak tangan si nona sambil berbisik :
"Anak Leng, bersabarlah sebentar!''
Dia segera menarik tangan muridnya dan berlalu dari situ.
Dengan gemas Pek leng siancu So Bwe leng melotot sekejap lagi ke arah pintu gerbang, kemudian baru berlalu dari situ dengan wajah uring uringan.
Baru saja ke dua orang itu sampai di tikungan gedung mana, mendadak terlihat ada seekor kuda yang tinggi besar berlari mendekat dan berhenti didepan pintu gerbang, lalu dari atas punggung kuda itu melompat turun seorang bocah lelaki yang berparas tampan. Dengan gerakan tubuh yang sangat lincah bocah lelaki itu melayang turun dari kudanya, begitu enteng dan cekatan kepandaiannya sehingga pada hakekatnya tidak sebanding dengan usianya.