Jilid 24
Thi Eng khi dapat mendengar nada suara yang tak beres dari pembicaraan pendeta itu, dia menghela napas, kuatir Gho beng taysu sudah menaruh rasa sentimen kepadanya hingga usahanya untuk bersua dengan hongtiang kuil tersebut batal. Betul juga walau sudah ditunggu sepertanak nasi lamanya, Gho beng taysu belum juga menampakkan diri. Setelah ditunggu sekian waktu lagi, hwesio cilik tadi baru munculkan diri lagi, kali ini tiada senyum yang menghiasi wajahnya.
“Hongtiang kami bilang, berhubung ia masih ada urusan penting lainnya, harap Thi sauhiap kembali dulu ke rumah penginapan, lain waktu baru berjumpa lagi.” katanya.
Ucapan tersebut sebenarnya sudah diduga Thi Eng khi sejak bersua dengan Gho beng taysu tadi, maka dia tidak menjadi heran.
“Sungguhkah perkataan siau suhu?” tegurnya kemudian sambil tertawa hambar.
Merah padam selembar wajah hwesio kecil itu, tanpa menjawab dia membalikkan badan dan mengundurkan diri dari situ. Thi Eng khi segera tertawa terbahak bahak, dengan mengerahkan ilmu jari Thian liong ci miliknya, dia lantas mengukir beberapa huruf di atas meja yang berbunyi :
“Bencana atau rejeki bagi manusia ibarat perubahan cuaca di langit, camkan kata kata ini! Camkan kata kata ini!”
Begitu selesai menulis, sambil tertawa tergelak, ia beranjak dan meninggalkan pintu gerbang kuil Siau lim si. Setelah Thi Eng khi pergi, Gho beng taysu baru memunculkan diri dalam ruangan penerima tamu, ketika sorot matanya membentur dengan tulisan peringatan di meja. Dimana tulisannya membekas tujuh cun dalam kayu, diam diam ia memuji akan kesempurnaan tenaga dalam lawan.
Tapi setelah selesai membaca tulisan tersebut, sambil tertawa dingin ia berguman :
“Heeehhh…. Heehhh….. heeehhh….. pada hakekatnya kau adalah seorang manusia tekabur yang tidak tahu diri, tunggu saja tanggal mainnya nanti.”
Lalu sambil berpaling serunya :
“Persilahkan hongtiang memasuki ruangan Ka pia si!” “Baik!” seseorang menyahut dari luar.
Tak lama kemudian dalam ruangan Ka pia si telah kedatangan lima orang hwesio berusia lanjut. Empat orang berjalan di belakang, seorang berjalan di depan, mereka adalah Ci kong taysu, ketua kuil tersebut disusul keempat orang pelindungnya yakni Ci tin taysu, Ci san taysu, Ci bi taysu dan Ci wan taysu.
Selesai membaca peringatan diatas meja, dengan wajah serius hongtiang kuil tersebut berkata :
“Gho beng, bagaimanakah tingkat tenaga dalam yang dimiliki orang ini bila dibandingkan kepandaianku?”
“Tecu tak berani membanding bandingkan kepandaian suhu,” jawab Gho beng taysu cepat cepat dengan wajah memerah. Dengan suara dalam Ci kong taysu berseru :
“Kau bilang watak orang ini jelek, karena kurang teliti aku telah percaya dengan perkataanmu begitu saja.“
Sesudah berhenti sejenak, lanjutnya :
“Bila orang itu benar benar adalah Thi sauhiap ciangbunjin dari Thian liong pay, berarti perbuatan yang kita lakukan terhadapnya merupakan suatu tindakan yang kurang hormat, apa lagi jika kedatangannya disebabkan suatu masalah yang betul betul penting artinya, tindakanmu yang sangat gegabah tersebut sudah pasti akan merosotkan pamor kuil kita sendiri.”
Gho beng taysu sama sekali tidak menyangka kalau rasa sentimennya bisa mendatangkan kegusaran dari ketua kuilnya, dia menjadi ketakutan setengah mati dan tak berani membantah barang sepatah katapun.
Apalagi setelah ia membayangkan kembali kisah yang dialaminya semalam makin dipikir dia merasa makin curiga, makin dipikir diapun semakin merasa kalau dirinya sudah tertipu oleh ucapan Hoa tiong long Cu It kay. Mendadak sambil menjerit keras, ia menjatuhkan diri berlutut sambil berseru :
“Karena kurang teliti tecu sudah tertipu oleh hasutan Hoa tiong long Cu It kay, silahkan suhu menjatuhkan hukuman yang setimpal kepada tecu ”
“Manusia tak tahu diri, kau telah mengacaukan urusan besar saja,” bentak Ci kong taysu marah, “cepat pergi dari sini dan undang kembali Thi ciangbunjin. Selesai dengan tugasmu segera melaporkan diri ke ruang hukuman ”
Dengan terburu buru Gho beng tasysu mengejar keluar kuil tapi bayangan tubuh Thi Eng khi sudah lenyap tak berbekas. Maka Hongtiang kuil tersebut pun menitahkan anak buahnya untuk mencari Thi Eng khi di empat penjuru.
Siapa sangka Thi Eng khi tak berhasil dijumpai, pada senja hari di luar kuil justru kedatangan seorang seorang kakek bermuka hitam yang bertubuh kekar dan perawakan tinggi besar mencapai lima depa lebih. Kakek itu mempunyai alis mata yang sangat lebar sehingga satu kali lipat lebih dari pada matanya, begitu menyoloknya wajah orang ini, sehingga mudah menarik perhatian orang.
Dengan langkah lebar, dia berjalan ke depan pintu gerbang kuil Siau lim si dan melangkah ke lapangan Pek si cong. Kemudian sambil merangkap tangannya di depan dada, dia melepaskan sebuah pukulan dahsyat menghantam pintu gerbang tersebut.
“Blaaammm. !“ begitu keras hantamannya sampai huruf ’lim’ dari
kata Siau lim si diatas pintu rontok keatas tanah. Perbuatannya yang menghina nama baik Siau lim si ini boleh dibilang belum pernah terjadi sepanjang sejarah, kontan saja seluruh pendeta dalam kuil menjadi sangat marah.
Dalam waktu singkat, ada puluhan orang pendeta yang munculkan diri dan mengurung kakek itu rapat-rapat. Sembilan kali dentangan bunyi genta bergema, dari ruangan kuil lalu tampak bayangan manusia berkelebat lewat, kawanan pendeta yang berkumpul di luar lapangan pun kian lama kian bertambah banyak. Meskipun kawanan pendeta dari Siau lim si itu sudah mengepung si kakek beralis mata lebar itu rapat rapat, namun tak seorang manusiapun yang membuka serangan lebih dulu.
Dari sini dapat disimpulkan betapa ketatnya peraturan kuil Siau lim si cabang Phu thian ini, bahkan tak kalah dengan kuil Siau lim si dari bukit Siong san. Sesudah melepaskan gempuran keras yang merantakkan huruf ’lim’ tadi, kakek beralis lebar tersebut tidak melakukan gerakan apa-apa lagi, diapun berdiri dengan berpejam mata, terhadap kawanan pendeta yang berada di sekelilingnya ia berlagak acuh, seakan akan tak pandang sebelah matapun terhadap pengepungan tersebut.
Tak selang berapa saat kemudian, dari dalam kuil muncul serombongan hwesio berusia lanjut yang dipimpin langsung oleh ketuanya Ci kong taysu, serentak kawanan pendeta di arena memisahkan diri ke samping dan memberi sebuah jalan lewat.
Setelah berjumpa dengan kakek beralis lebar itu, Ci kong taysu berkerut kening kemudian tertawa paksa.
“Haaahhhh...... haahhhh..... haaahhhh Yu sicu, baik baikkah
selama perpisahan. Maaf bila lolap tidak menyambut kedatanganmu sedari tadi “
Sementara berbicara, dia mengebaskan ujung bajunya, serentak para pendeta yang berada disekeliling tempat itu bersama sama mengundurkan diri dari sisi arena. Thi tan kim wan (peluru baja butiran emas) Yu Ceng hui mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak.
“Haaahhhh...... haaahhhhh...... haaahhhh hwesio tua, sudah
hampir dua puluh tahun lamanya kita tak pernah bersua muka, kau memang bernasib baik tampaknya, kini sudah menjadi ketua dari suatu kuil besar. Masih teringat dengan janji kita dahulu?”
“Mana, mana , ” kata Ci kong taysu sambil merangkap
tangannya di depan dada, “Janji lolap dengan sicu selalu kuingat didalam hati, apalagi sicu khusus datang kemari dari tempat kejauhan, sudah sepantasnya lolap mengiringi keinginanmu itu.”
Berbicara sampai disitu, dengan ilmu menyampaikan suara dia berpesan kepada para pendeta tua di belakangnya :
“Manusia laknat ini sangat buas dan kejam, tenaga pukulannya amat dahsyat dan mengerikan, dahulu aku pernah menderita kekalahan ditangannya, andaikata Ci kay suheng tidak datang pada waktunya, hampir saja aku mati di tangannya. Kedatangannya lagi kali ini sudah pasti tidak bermaksud baik, bila masih ada orang lain yang membantunya, akan sulit buat kita untuk menghadapinya.
Kalian setiap saat siapkan barisan Lohan toa tin untuk menghadapi segala kemungkinan yang tak diinginkan.”
Dengan langkah cepat Ci tin taysu mengundurkan diri ke belakang. Ci bi taysu berbisik kemudian dengan ilmu menyampaikan suara pula.
“Ciangbunjin suheng adalah seorang ketua dari sebuah kuil, bagaimana kalau biar aku saja yang menghadapinya?”
“Tidak boleh,” tukas Ci kong taysu cepat.
“Nama baik perguruan adalah masalah penting, kecuali aku telah tertimpa sesuatu musibah, kalian tak boleh turun tangan secara sembarangan.”
Kemudian setelah berhenti sejenak, katanya lagi :
“Dengan taraf kemajuan yang lolap miliki belakangan ini, meski tiada keyakinan untuk menangkan dia, paling tidak masih sanggup untuk melindungi diri, kalian tidak usah kuatir.”
Ketika Thi tan kim wan yu Ceng hui menyaksikan kawanan pendeta itu hanya berdiri dengan wajah serius tanpa berkata kata, ia segera mengetahui kalau lawan sedang berunding dengan ilmu menyampaikan suara. Tapi ia tidak gentar, karena ia yakin rencananya lebih bagus. Setelah ditunggunya beberapa saat, ujarnya sambil tertawa:
“Sudah selesaikah perundingan kalian?” Ci kong taysu maju selangkah lebar kedepan, setelah merangkap tangannya di depan ia menyahut :
“Bila Yu sicu tidak sabar menunggu, lolap siap menerima petunjuk.”
Diam diam hawa murninya disalurkan mengelilingi seluruh badan, kemudian sambil memejamkan mata dia siap menghadapi segala kemungkinan yang tak diinginkan. Ternyata Thi tan kim wan Yu Ceng hui tidak segera turun tangan, sembari menggoyangkan tangannya berulang kali, ia berkata :
“Tunggu dulu hwesio tua, lohu ada persoalan yang hendak dibicarakan denganmu.”
Ci kong taysu segera merasa seakan akan dirinya sedang dipermainkan, dia mengenyitkan alis matanya dan melotot besar dengan wajah tidak senang hati tegurnya :
“Yu sicu hendak membicarakan soal apa? Lolap siap mendengarkan perkataanmu itu!”
Dengan wajah sedingin es, Thi tan kim wan Yu Ceng hui berkata
:
“Seandainya dalam pertempuran hari ini, kau si hwesio tua
berpulang kealam baka apakah lohu harus mengeluarkan tenaga dengan percuma saja ”
Mula mula Ci kong taysu agak tertegun, kemudian ujarnya sambil tertawa :
“Lolap betul betul sudah pikun seandainya sicu tidak menyinggungnya kembali hampir saja lolap lupa dengan benda yang menyangkut hasil pertarungan hari ini. Tak usah kuatir, asal sicu sanggup mengalahkan kami, dengan rela kami akan menyerahkan Jit kiau kim lian (tujuh teratai emas) kami kepada sicu.”
Ternyata pertarungan antara Ci kong taysu melawan Thi tan kim wan Yu Ceng hui dahulu pun disebabkan Yu Ceng hui mengincar teratai emas Jit kiau kim lian tersebut. Waktu itu Jit kiau kim lian masih berada dalam kuil Siau lim si di bukit Siong san, Ci kong taysu juga belum menjabat sebagai ketua kuil Siau lim si cabang Phu thian. Ketika ia sebagai ketua ruang Lo han tong dari Siau lim si, bertugas menghantar Jit kiau kim lian tersebut ke kuil Siau lim si cabang Phu thian sebagai mestika kuil. Di tengah jalan ia dihadang oleh Thi tan kim wan Yu Ceng hui.
Ci kong taysu tak sanggup menghadapi kelihayan musuh dan terluka parah, sedang Jit kiau kim lian tersebut sudah terjatuh ke tangan Thi tan kim wan Yu Ceng hui, andaikata Ci kay taysu tidak muncul tepat pada waktunya dan merampas kembali teratai emas tersebut, mungkin Ci kong taysu tak jadi memangku jabatan ketua Kuil Siau lim si cabang Phu thian.
Ketika menderita kekalahan tempo hari, Thi tan kim wan Yu Ceng hui pernah sesumbar hendak mendatangi kuil Siau lim si cabang Phu thian lagi untuk merebut teratai emas tersebut.
Biasanya sesumbar semacam begitu hanya diutarakan oleh kawanan jago liok lim yang menderita kalah dan dipakai untuk menutupi kekalahannya belaka, siapapun tak memikirkannya didalam hati.
Sekalipun Thi tan kim wan Yu Ceng hui sendiripun tidak pernah menyangka, kalau bakal datang kembali ke kuil Siau lim si. Sebab berbicara soal tenaga dalam, dia memang yakin bisa memanangkan Ci kong taysu tapi kalau ingin mengandalkan kekuatannya seorang untuk merampas teratai emas jit kiau kim lian tersebut dari dalam kuil Siau lim si cabang Phu thian, hal ini bukan suatu pekerjaan yang terlalu gampang.
Dengan kemampuan yang dimiliki Siau lim si jangankan hanya dia seorang, kendatipun ada sepuluh orang yang berkepandaian setaraf dengannya pun belum tentu mengalahkan barisan lo han toa tin yang amat termashur dari kuil Siau lim si itu.
Tapi sekarang keadaannya sama sekali berbeda, dia tak lebih hanya memegang sebuah peranan kecil saja dalam rencana Hian im tee kun merebut teratai emas Jit kiau kim lian tersebut. Padahal Hian im tee kun telah melakukan persiapan yang amat matang disekitar kuil Siau lim si, tindak tanduk mereka yang kadang kadang nyata kadangkala tidak membuat pendeta dalam kuil tersebut merasakan sebuah tekanan batin yang berat, itulah sebabnya kemunculan Thi Eng khi dalam kuil Siau lim si cabang Phu thian ini segera memancing perhatian orang banyak.
Perlu diketahui, teratai emas Jit kiau kim lian merupakan lambang kekuasaan tertinggi dalam kuil Siau lim si setelah lencana Lik giok leng pay, begitu tinggi dan terhormatnya lencana tersebut diibaratkan dengan kehadiran Siau lim pay cabang bukit Siong san.
Atau dengan perkataan lain teratai emas Jit kiau kim lian tersebut berfungsi sebagai lambang kekuasaan tertinggi dari ketua Siau lim si cabang Phu thian untuk menguasai segenap anggotanya. Tentu saja hal ini berlaku hanya terbatas bagi anggota Siau lim belaka.
Sedangkan nilai benda itu bagi sementara umat persilatan? Bukan setiap umat persilatan dapat mengetahuinya.
Walaupun begitu, yang pasti nilainya pasti luar biasa sekali, buktinya manusia seperti Thi tan kim wan Yu Ceng hui pun sudah mengincarnya sedari dulu.
Sementara itu Thi tan kim wan Yu Ceng hui telah tertawa seram sesudah mendengar perkataan dari Ci kong taysu, katanya :
“Hwesio tua, kau pandai sekali bebicara, andaikata lohu tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, aku mana percaya kalau teratai emas Jit kiau kim lian tersebut berada di Phu thian?”
Ucapan tersebut merupakan bagian dari rencana licik yang disusun Thi tan kim wan Yu Ceng hui untuk menipu lawan-lawannya. Dia berniat memancing perhatian orang agar lawan mengira dialah pencolengnya padahal si pencuri sakti Go Jit telah menyelinap kedalam untuk mulai bekerja.
Tentu saja semua orang tak akan menyangka akan perbuatan busuk dari Thi tan kim wan Yu Ceng hui itu, apalagi Ci kong taysu pribadi. Dalam anggapan ketua Siau lim si cabang Phu thian, dibawah perlindungan sekian banyak anggota kuil, mustahil Thi tan kim wan Yu Ceng hui bisa banyak berkutik.
Maka sambil tertawa nyaring, serunya :
“Sute berempat harap kalian undang keluar teratai emas Jit kiau kim lian tersebut dari dalam kuil.”
Keempat pelindungnya, yakni Ci wan taysu, Ci tin taysu, Ci san taysu dan Ci bi taysu saling berpandangan sekejap. Ci wan taysu seperti hendak mengucapkan sesuatu tapi niat tersebut kemudian diurungkan, setelah tertegun sekejap, akhirnya dengan wajah serius dia menjura seraya berkata :
“Terima perintah hongtiang!”
Dengan langkah berat keempat taysu itu berlalu dari situ dan lenyap dibalik pintu gerbang. Sementara itu, Thi Eng khi yang bersembunyi di tempat kegelapan pun turut menghembuskan napas panjang, dia menganggap setelah teratai emas Jit kiau kim lian dibawa keluar, berarti diapun tak usah mencabangkan pikiran di kedua tempat yang berbeda lagi.
Maka ia memutuskan untuk berada di tempat semula tanpa bergerak, dia kuatir sepeninggal keempat jago lihay dari Siau lim si cabang Phu thian tersebut, Thi tan kim wan Yu Ceng hui akan melakukan permainan busuk yang bakal merugikan para hwesio Siau lim si.
Sementara itu, keempat pelindung kuil sudah menembusi ruang tengah, melalui tiga buah gedung lain dan masuk kedalam sebuah hutan pohon siong yang lebat. Hutan pohon siong itu lebat sekali, berakar ranting menjulang sampai dimana mana, sebab pepohonan disana sudah berusia tua.
Sebuah jalan setapak berwarna putih menembusi hutan dan terbentang jauh ke dalam sana, setelah berjalan sekian lama tiba tiba keadaan medannya terbentang lebar dikelilingi pepohonan yang lebat terlihatlah sebuah tanah lapang seluas empat lima kaki, lalu tampak sebuah pagar dinding yang sangat tinggi mengelilingi sebuah bangunan rumah batu.
Setibanya di kaki dinding pekarangan, keempat huhoat itu menghampiri pintu baja berwarna hitam yang tertutup rapat dan menyentil tujuh kali keatas pintu tersebut. Tak lama kemudian, dari dalam ruangan terdengar suara langkah manusia lalu pintu terbuka dan seorang hwesio tua yang kurus dan bermuka kuning muncul didepan mata.
Dengan hormat sekali Ci wan taysu memberi hormat, lalu ujarnya
:
“Kami mendapat perintah dari hongtiang untuk mengundang
keluar teratai emas Jit kiau kim lian!”
Hwesio tua yang kurus lemah itu membuka matanya lebar lebar, mencorong sinar tajam penuh hawa pembunuhan dari balik matanya, sahutnya dengan berat :
“Ci sin menerima perintah!”
“Blaaammmm!” ia menutup kembali pintu gerbang berwarna hitam itu.
Jangankan menegur, mempersilahkan keempat pelindung kuil itu masuk kedalam juga tidak. Anehnya keempat orang pendeta itupun tidak ambil peduli, mereka masih tetap berdiri di tempat dengan sikap yang tenang.
Tak selang beberapa saat kemudian, pintu gerbang dibuka lagi, hwesio kurus itu muncul dengan membawa sebuah kotak kayu yang ditutup dengan sebuah kayu berwarna merah. Katanya dengan serius :
“Huhoat berempat! Silahkan memeriksa tongkat kekuasaan ini.”
Mula mula keempat hwesio itu memberi hormat dulu kearah teratai emas Jit kiau kim lian kemudian dibawa oleh Ci wan taysu, mereka mengundurkan diri dari sana. Sebelum mereka berangkat, hwesio kurus itu menjura lagi kearah teratai emas seraya berkata :
“Ci sin menghantar keberangkatan tongkat kekuasaan!” Keempat huhoat dengan melindungi teratai emas Jit kiau kim lian membalikkan badan dan berlalu dari situ. Upacara penyerahan tongkat kekuasaanpun berakhir. Pada saat itulah si hwesio kurus tadi baru memberi hormat lagi kepada keempat huhoat sambil berkata :
“Suheng berempat, peristiwa besar apakah yang telah terjadi di luar sehingga memerlukan datangnya teratai emas Jit kiau kim lian?”
“Aaah, cuma urusan lama yang sudah berlangsung sejak dua puluh tahun berselang,” sahut Ci tin taysu, “Thi tan kim wan Yu Ceng hui telah datang mencari gara gara!”
“Kurang ajar,” bentak Ci sin taysu dengan gusar, “biar pinceng yang keluar dan memberi pelajaran kepadanya.”
“Jangan bertindak gegabah,” cegah Ci tin taysu, “Hui im kek merupakan tempat penting untuk menyimpan semua kitab dan benda berharga dari kuil kita, tugas sute sangat berat, tak boleh sembarangan meninggalkan tempat tugas!”
Begitu mendengar soal ’tugas’ seperti bola yang kehabisan udara, Ci sin taysu menghela napas panjang, dia lantas membalikkan badan dan masuk kembali kedalam ruangan lalu menutup pintu gerbang itu rapat rapat.
Keempat huhoat tersebut segera berjalan kembali ke depan, baru berjalan keluar dari hutan pohon siong, mendadak dari ruang belakang kompleks kuil tersebut muncul gumpalan asap hitam yang sangat tebal.
Dengan perasaan terperanjat, keempat pendeta itu segera berseru :
“Aduh celaka, ruang belakang terjadi kebakaran!”
Ci bi taysu dan Ci san taysu dengan cepat menerjang ke ruang belakang untuk memberi pertolongan sedangkan Ci tin taysu dengan melindungi Ci wan taysu tetap berada di tempat semula. Pada saat itulah dari sisi jalan melompat keluar seorang pendeta yang membawa sebaskom air, mungkin lantaran terburu napsu hendak menolong kebakaran ia memotong jalan dan tidak melihat kalau Ci wan taysu yang membawa teratai emas berdiri disitu.
Ketika pendeta tersebut hampir menerjang tubuh mereka, dengan cekatan Ci wan taysu segera mengegos ke samping. Walaupun tubuhnya tidak sampai kena tertumbuk, namun ia merasa dadanya seperti kena tersentuh. Sesudah sampai dibelakang tubuh Ci wan taysu, agaknya pendeta tersebut baru menyadari kecerobohannya, buru buru dia membalikkan badan hendak minta maaf.
Dengan suara dalam Ci wan taysu segera membentak : “Mengingat kau baru melanggar pertama kali ini, kuampuni
kesalahanmu itu, cepat pergi menolong api!”
Pendeta tersebut segera melompat ke depan dan kabur ke ruangan belakang. Tiba tiba Ci tin taysu berseru :
“Suheng, hwesio itu sangat mencurigakan tampaknya bukan anggota kuil kita!”
Ci wan taysu merasa amat terkejut sesudah mendengar perkataan itu, tanpa terasa dia menundukkan kepalanya dan melihat teratai emas Jit kiau kim lian yang berada ditangannya sekejap.
Melihat benda itu tiada sesuatu yang mencurigakan, dia baru menyahut :
“Perkataan sute memang benar, aku ”
Belum habis dia berkata, tampak Ci san taysu dan Ci bi taysu telah melompat datang dari depan sana. Begitu sampai mereka lantas berseru :
“Entah bagaimana terjadinya, selembar tirai telah tergulung diatas sebatang hio sehingga menimbulkan api, untung saja tak sampai terjadi kebakaran besar, api yang mulai berkobar dapat kami padamkan segera.” “Apakah sute berdua berjumpa dengan seorang anggota kuil yang pergi menolong api?” tanya Ci tin taysu.
“Tidak!” Ci san taysu dan Ci bi taysu bersama sama menggelengkan kepalanya.
“Persoalan ini kita bicarakan nanti saja,” tukas Ci wan taysu kemudian, “yang paling penting sekarang, kita tidak boleh membiarkan hongtiang menunggu kita kelewat lama ”
Begitu selesai berkata, dia lantas beranjak pergi lebih dulu meninggalkan tempat tersebut. Rekan rekannya pun tak berani membuang banyak waktu lagi, mereka segera mengikuti pula dibelakangnya.
Padahal sekalipun mereka menghentikan perjalanan dan melakukan pencarian terhadap pendeta yang membawa air tadi, usaha tersebut tidak akan menghasilkan apa-apa, apalagi ingin membekuknya.
Begitulah, sambil melindungi teratai emas Jit kiau kim lian, keempat pelindung hukum itu berjalan keluar dari pintu gerbang kuil Siau lim si .....
Segenap pendeta yang hadir di arena sama sama berdiri dengan serius, suasana amat hening tapi hikmat, bisa diketahui betapa hormatnya para anggota Siau lim pay terhadap tongkat kekuasaan lambang tertinggi dari kuil mereka.
Pada saat itulah Thi tan kim wan Yu Ceng hui memperdengarkan suara tertawa yang amat nyaring.
“Hwesio tua, lohu percaya dengan kalian, tak usah diperiksa lagi, lihat serangan!”
Begitu berkata hendak menyerang, ia lantas melancarkan serangan. Sebuah pukulan yang dahsyat membawa desingan angin tajam langsung membabat tubuh Ci kong taysu. Terkesiap hati Ci kong taysu setelah dilihatnya tenaga serangan lawan jauh lebih tangguh daripada kekuatan yang dimilikinya dua puluh tahun berselang.
“Tak heran kalau ia berani mencari gara gara, tampaknya hebat sekali kepandaian yang dimilikinya,” demikian ia berpikir.
Berada dalam keadaan demikian, Ci kong taysu tak berani menyongsong datangnya ancaman tersebut dengan kekerasan, tangan kirinya segera direntangkan kemuka, tubuhnya berputar ke samping menghindarkan diri dari serangan yang datangnya dari muka, lalu melayang enam tujuh depa ke samping ....
Thi tan kim wan Yu Ceng hui membentak keras, dia membalikkan telapak tangannya dan menyusul tubuh lawan seperti bayangan setelah itu tenaga pukulan yang telah disiapkan tadi dilepaskan keatas tubuh Ci kong taysu.
Walaupun Thi tan kim wan Yu Ceng hui hanya mempergunakan satu jurus dengan dua gerakan tapi lantaran tenaga dalamnya sudah dapat dikerahkan menurut kehendak hati sendiri serta merta para pendeta dari kuil Siau lim si cabang Phu thian ini sama sama menguatirkan keselamatan dari ketua mereka.
Kali ini Ci kong taysu sudah membuat persiapan lebih dulu, tangan kanannya dengan jurus Sia ci im ki (menghentikan kibaran bendera) melepaskan sebuah pukulan Tay lek kim kong ciang yang maha dahsyat ke depan untuk menyongsong terjangan dari serangan Thi tan kim wan Yu Ceng hui tersebut.
“Blaaammmm. !” satu benturan dahsyat yang memekikkan
telinga tak dapat dihindari lagi, gulungan angin berpusing segera melanda seluruh permukaan tanah. Akibat dari bentrokan tersebut, kedua belah pihak sama sama berdiri tegak ditempat semula, tampaknya kekuatan mereka seimbang.
Tapi Thi Eng khi dapat melihat kalau kepandaian silat yang dimiliki ketua kuil Siau lim si cabang Phu thian tersebut masih bukan tandingan Thi tan kim wan Yu Ceng hui, meskipun tubuhnya tak sampai tergetar mundur akibat benturan tersebut, namun ketenangan yang ditampilkan diatas wajahnya merupakan suatu penampilan yang dipaksakan.
Hal ini jauh berbeda dibandingkan dengan sikap Thi tan kim wan Yu Ceng hui yang betul betul amat santai sepertinya belum seluruh tenaga yang dimilikinya digunakan semua.
Ci kong taysu memandang sekejap kearah Thi tan kim wan Yu Ceng hui, kemudian ujarnya dengan sedih :
“Tenaga dalam sicu betul betul memperoleh kemajuan pesat, lolap merasa belum sanggup untuk menyusul dirimu.”
Tapi dihati kecilnya, ia mempunyai perhitungan, dia tahu hasil latihannya yang tekun selama dua puluh tahun masih belum berhasil menyusuli kemampuan lawan. Tapi demi mempertahankan nama baik Siau lim pay, tentu saja dia enggan menyerah kalah dengan begitu saja. Setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya :
“Tapi lolap adalah seorang manusia yang tak tahu diri, lolap bertekad hendak menghadapi sicu sampai dimanapun juga!”
Tubuhnya melejit satu kaki enam tujuh depa tingginya ke udara, sepasang telapak tangan diluruskan kedepan melancarkan serangan berbareng .....
Cukup memandang telapak tangan lawan, Thi tan kim wan Yu Ceng hui segera mengenali serangan tersebut sebagai ilmu Kim kon ciang mo lek, salah satu diantara tujuh puluh dua macam ilmu sakti aliran Siau lim pay yang telah disertai dengan kekuatan dahsyat.
Serangan yang dilepaskan dengan tangan tunggal saja dapat menghasilkan tenaga pukulan yang satu kali lipat lebih dahsyat dari biasanya, apalagi jika serangan dilepaskan dengan sepasang tangan berbareng bisa dibayangkan sampai dimanakah kelihayannya.
Thi tan kim wan Yu Ceng hui sendiri walaupun ia cukup tahu kalau ilmu silatnya lebih hebat daripada Ci kong taysu namun kehebatannya hanya setengah tingkat saja. Sesungguhnya walaupun Ci kong tasyu mempergunakan ilmu sakti tersebut juga belum tentu sanggup menghadapi kelihayan Thi tan kim wan Yu Ceng hui tapi berhubung Ci kong taysu menyerang dari atas menuju ke bawah, sudut serangannya meliputi daerah seluas beberapa kaki maka bukan suatu hal yang gampang baginya untuk meloloskan diri.
Thi tan kim wan Yu Ceng hui memang tak malu disebut seorang jagoan dari golongan hitam meski menghadapi bahaya dia tak sampai gugup, telapak tangannya disilangkan di depan dada dan berdiri tak berkutik di tempat semula.
Menanti tubuh Ci kong taysu sudah mencapai satu kaki dari batok kepalanya, ia baru membentak nyaring :
“Sebuah serangan yang amat bagus sekali.”
Menyambut datangnya serangan dari Ci kong taysu, dia lepaskan pula sebuah ancaman dengan tangan kiri yang disusul pula dengan tangan kanan. Sepintas lalu serangan itu dilancarkan hampir berbareng, padahal dalam kenyataan dua gulung angin pukulan yang meluncur tiba dalam waktu yang berbeda.
Serangan yang depan dipakai untuk memancing musuh, sedangkan serangan yang belakang digunakan untuk melindungi badan. Ci kong taysu tertawa tergelak.
“Haaahhhh..... haaahhhh..... haaahhh belakangan ini lolap
memang khusu mempelajari taktik untuk menghadapi serangan ini, berhati hatilah sicu.”
Telapak tangannya didorong kemuka dan tenaga serangannya langsung dihantamkan kebawah. Tatkala serangannya saling membentur dengan tenaga serangan dari Thi tan kim wan Yu Ceng hui, ia merasa tenaga serangan yang dipergunakan lawan tidak lebih hebat daripada kekuatan lima bagian yang digunakan lawan tadi.
Siapa tahu baru saja ingatan tersebut melintas lewat, mendadak terasa ada segulung tenaga serangan yang menerjang datang dengan hebatnya. Serangan yang datang secara beruntun ini kontan memaksa Ci kong taysu membuyarkan segenap tenaga serangannya dan balas menekan ke bawah. Tapi saat itulah Thi tan kim wan Yu Ceng hui telah menggunakan tenaga pantulan dari serangan keduanya untuk melayang sejauh satu kaki dari posisi semula.
“Tampaknya ilmu pukulan Kim kong ciang mo ciang tidak mampu banyak berbuat apa apa terhadapku,” jengeknya sambil tertawa.
Waktu itu Ci kong taysu masih menyerang dengan sepenuh tenaga, menanti ia sadar kalau Thi tan kim wan Yu Ceng hui meloloskan diri dengan menggunakan akal, ia sudah terlanjur menyerang dan tak bisa menarik kembali ancamannya. Selain itu, Thi tan kim wan Yu Ceng hui pun sudah berdiri satu kaki dari posisi semula, dihitung dari jaraknya, mustahil bagi Ci kong taysu untuk melancarkan tubrukan lagi dari tengah udara.
Menanti tubuhnya sudah mencapai tanah dan siap melakukan tubrukan untuk kedua kalinya, Thi tan kim wan Yu Ceng hui telah merendahkan tubuhnya, menekuk pinggang dan menyiapkan serangan.
Tampak bayangan manusia berkelebat lewat, sebuah terjangan kilat telah dilancarkan bahkan sama sekali tidak memberi kesempatan lagi buat Ci kong taysu untuk melancarkan tubrukan dari tengah udara.
Ci kong taysu kena terdesak sampai apa boleh buat, terpaksa mesti mengerahkan segenap kepandaian yang dimilikinya untuk melangsungkan pertarungan jarak dekat melawan musuhnya. Ilmu pukulan aliran Siau lim pay sudah termashur di jagad dan terkenal karena keampuhannya, meski begitu kelihayannya baru bisa terlihat bila dipakai untuk melangsungkan pertarungan jarak jauh.
Mengenai taktik dan kelincahan untuk suatu pertarungan jarak dekat justru hal ini merepotkan sekali. Ditambah pula tenaga dalam Thi tan kim wan Yu Ceng hui menang satu dua tingkat lebih hebat daripada Ci kong taysu. Tak selang sepertanak nasi kemudian, Ci kong taysu sudah dipaksa berada di bawah angin. Bagi suatu pertarungan sengit antara jago jago lihay menang kalah sering kali hanya terjadi karena perbedaan selisih yang tipis ini, walaupun para pendeta dari Siau lim si dibikin terkesiap oleh adegan di depan mata meski mereka menguatirkan keselamatan Ci kong taysu, namun sebelum mendapat perintah, tak seorang pun yang berani turun tangan memberi bantuan.
Thi Eng khi yang bersembunyi di tempat kegelapan dan menyaksikan kejadian tersebut, dengan cepat ia menyadari kalau saat baginya untuk turun tangan telah tiba. Agaknya Thi Eng khi memang sudah bersiap sedia untuk turun tangan, dengan sorot mata yang tajam seperti sambaran kilat, dia mengawasi dua orang yang sedang bertarung di arena lekat-lekat.
Siapa tahu Thi tan kim wan Yu Ceng hui yang telah berhasil menduduki posisi diatas angin itu mendadak melepaskan pukulan mendesak mundur Ci kong taysu, bukan maju lebih kedepan, tahu tahu dia malah melompat mundur sejauh satu kaki, bentaknya :
“Hwesio tua, bagaimana kalau berhenti dulu untuk sementara waktu?“
Ci kong taysu memang sangat berharap mendengar seruan mana, dengan napas terengah katanya :
“Yu sicu, perkataan apa yang hendak kau ucapkan?”
Dengan sikap yang latah, Thi tan kim wan Yu Ceng hui berkata : “Hwesio tua, kau bukan tandinganku sekarang, aku ingin
memeriksa dahulu teratai emas Jit kiau kim lian tersebut.”
Dilihat dari ucapan mana, agaknya dia sudah merasa curiga terhadap teratai emas tersebut. Ci kong taysu merasa malu sekali, serunya dengan gusar :
“Ci wan sute, buka kotak teratai emas dan perlihatkan kepadanya!”
Dengan wajah serius Ci wan taysu maju selangkah kedepan dengan diluruskan kemuka, ia hembuskan kain merah yang menutupi teratai emas tersebut. Dengan cepat kain merah tadi tersingkap dan jatuh ke tangan Ci bi taysu yang berada di sebelah kirinya. Serentak sorot mata semua orang ditujukan keatas kotak kayu itu.
“Haaahhhh...?!” tiba tiba semua orang menjerit kaget.
Ternyata benda yang berada ditangan Ci wan taysu itu bukan teratai emas Jit kiau kim lian melainkan sebatang ranting pohon. Thi tan kim wan Yu Ceng hui tertawa tergelak, tanpa mengucapkan sepatah katapun dia melewati atas kepala para hwesio Siau lim si itu dan berlalu dari situ.
Thi Eng khi yang menyaksikan adegan itupun diam diam menggebrak tanah sambil berpikir :
“Aduh celaka, entah sejak kapan teratai emas Jit kiau kim wan tersebut telah mereka dapatkan? Benar benar mengemaskan!”
Segera timbul niatnya untuk menahan Thi tan kim wan Yu Ceng hui dan memaksanya untuk mengakui kemana perginya teratai tersebut. Namun ingatan lain dengan cepat melintas didalam benaknya, dia berpikir lagi :
“Seandainya teratai emas Jit kiau kim lian telah dicuri oleh Pencuri sakti, apa gunanya menahan orang itu disini? Lebih baik kubuntuti saja orang itu secara diam diam, siapa tahu hal mana justru ada harapan buatku untuk merebut kembali teratai emas tersebut.”
Begitu ingatan tersebut melintas lewat, Thi Eng khi segera mengambil keputusan tanpa berpikir panjang lagi, dikerahkannya ilmu Hu kong keng im dan melewati diatas kepala kawanan pendeta dari Siau lim tersebut, dia melakukan pengejaran.
Padahal waktu itu para pendeta dari Siau lim sedang berdiri terbelalak dengan mulut melongo setelah menyaksikan teratai emas Jit kiau kim lian mereka berubah menjadi sebatang ranting pohon, didalam keadaan seperti ini tentu saja tak ada yang memperhatikan Thi Eng khi lagi.
Sementara itu, Thi Eng khi telah berhasil menyusul di belakang Thi tan kim wan Yu Ceng hui. Tampaknya peluru baja butiran emas ini betul betul bernyali besar, berada di bawah sinar matahari yang cerah, dia masuk kekota Phu thian secara terang terangan.
Sesudah berjalan berputar putar mengelilingi jalan raya, mendadak Thi tan kim wan Yu Ceng hui menyelinap masuk kedalam sebuah lorong kecil yang sempit. Lorong itu berada diantara dua buah gedung, selain gelap dan rendah juga kotor sekali, jelas merupakan tempat tinggal dari rakyat kecil yang miskin dan berpenghasilan rendah.
Thi Eng khi menguntil terus, dari kejauhan ia saksikan orang itu berhenti di depan sebuah rumah yang ditancapi tiga batang ’hio’. Setelah berjalan mondar mandir sebanyak tiga empat kali akhirnya dia membuat suatu gerakan seperti bentuk poci dan menegur :
“Sun toako ada di rumah?”
Seorang nenek muncul dari balik rumah, begitu melihat dia dengan wajah ramah segera menegur :
“Oooh rupanya Ong toaya, silahkan masuk! Silahkan masuk!”
Thi tan kim wan Yu Ceng hui pun segera lenyap dari balik rumah tersebut…..
Thi Eng khi tak berani menyelundup masuk ke dalam rumah tersebut dengan menggunakan cara yang sama, terpaksa dia harus melompat naik keatas rumah dan melakukan pencarian sendiri.
Setelah melalui tiga buah rumah akhirnya terdengar olehnya suara pembicaraan dari Thi tan kim wan Yu Ceng hui dari arah bawah sana. Dengan cepat dia mendekam diatas atap mencari lubang kecil dan mengintip ke bawah.
Ternyata tempat itu merupakan sebuah ruangan yang sangat bersih, Thi tan kim wan Yu Ceng hui serta Pencuri sakti Go jit duduk berjajar diatas sebuah bangku, sedangkan si nenek duduk dihadapan mereka. Dari sakunya, pencuri sakti Go jit mengeluarkan sekumtum bunga teratai emas yang berlapis tujuh, bunganya sendiri sebesar kepalan tangan dengan putik sepanjang lima inci semuanya berwarna emas.
Agak emosi Thi Eng khi setelah menyaksikan benda itu.
Terdengar pencuri sakti Go Jit sedang berkata dengan bangga : “Saudara Yu, bagaimana dengan ilmu mencuriku?”
Thi tan kim wan Yu Ceng hui tertawa terbahak bahak, sambil menepuk bahu pencuri sakti Go Jit, serunya :
“Saudara Go, kau memang sangat hebat, daripada dilawan dengan kekerasan memang lebih baik dilawan dengan kecerdasan otak, sekalipun sewaktu menantang mereka untuk bertarung mati matian, belum tentu aku bisa berhasil merampas teratai emas Jit kiau kim lian tersebut dari pihak Siau lim si.”
“Apa sih teratai emas Jit kiau kim lian itu? Coba perlihatkan kepada nonamu!” seseorang berseru secara tiba tiba.
Bayangan manusia yang berkelebat lewat, dari pintu samping telah muncul seorang gadis remaja segera menerima teratai emas tersebut, sikapnya yang begitu luwes dan bebas tampaknya mereka memang kenal lama.
Tampaknya Thi tan kim wan Yu Ceng hui dan pencuri sakti Go Jit sama sama tidak kenal dengan nona itu. Mereka nampak tertegun, tapi lantaran gerak gerik sinona yang menyakinkan, toh akhirnya mereka serahkan juga teratai emas Jit kiau kim lian tersebut kepadanya.
Namun sorot mata mereka berdua dialihkan juga keatas wajah nenek tersebut, seakan akan sedang bertanya kepadanya, apakah nona ini adalah cucu perempuannya?
Yang paling aneh adalah Thi Eng khi yang berada diatas atap rumah sesudah melihat nona tersebut, ia merasa pikirannya menjadi bingung, seakan akan berada dalam alam mimpi saja. Ternyata nenek itupun tidak kenal dengan nona tersebut, baru saja dia menggelengkan kepalanya dan belum sempat mengucapkan sesuatu, nona itu sudah berseru sambil tertawa cekikikan :
“Terima kasih banyak atas pemberian kalian!”
Dengan gesit dia lantas menyelinap keluar dari ruangan.
Berhubung kedatangan gadis itu sangat tiba tiba lalu perginya juga amat mendadak, untuk sesaat tiga orang jogo kawakan dari dunia persilatan itu dibuat tertegun.
Menanti mereka mendusin kembali dari lamunan, nona tersebut sudah melompat naik keatas rumah. Bentakan gusar dengan cepat menggelegar dari dalam rumah. Tiga sosok bayangan manusia kembali melejit ketangah udara dan naik ke atap rumah untuk melakukan pengejaran.
Thi Eng khi masih saja melamun seperti orang bodoh, dia merasa seakan akan sedang bermimpi saja.
“Mungkinkah dia adalah adik Leng? Mungkinkah itu?” tiada henti hentinya dia bertanya kepada diri sendiri.
“Aaah! Tak mungkin! Adik Leng sudah mati lama! Sudah pasti dia adalah siluman kecil itu yang menyaru sebagai adik Leng, sudah pasti dia sedang membawakan peranan lain untuk menipu ….. betul betul mengemaskan! Benar benar menjengkelkan, aku tak boleh melepaskannya dengan begitu saja.
Setelah berpikir sampai disitu, ia baru melakukan pengejaran namun orang yang berada di depannya sudah hampir tak nampak bayangan tubuhnya. Untung saja ilmu gerakan tubuh Hu kong keng im yang dimiliki Thi Eng khi sangat lihay, tak lama kemudian ia berhasil melampaui Thi tan kim wan Yu Ceng hui sekalian bertiga.
Lalu disebuah tebing kecil diluar kota, ia berhasil menyusul sinona yang berwajah mirip dengan So Bwe leng tersebut.
“Berhenti!” Thi Eng khi segera berseru nyaring. Seperti seekor burung rajawali raksasa, dia melayang ke tengah udara dan menghadang di depan gadis itu, mukanya dingin kaku dan sangat menggidikkan hati.
Sewaktu nona berwajah mirip So Bwe leng itu menyaksikan orang yang menghadang jalan perginya adalah Thi Eng khi, wajahnya segera berseri seri, sambil merentangkan tangannya menerjang kearah pelukan pemuda itu, serunya kaget :
“Aaaah….. engko Eng, kiranya kau.”
Thi eng khi berdiri dengan telapak tangan disilangkan di depan dada, segulung tenaga pukulan yang sangat kuat segera menghadang tubuh si nona yang menubruk datang.
“Berhenti!” bentaknya keras keras. Nona itu tertegun lalu serunya :
“Engkoh Eng, apakah sudah tidak kenali diriku sebagai adik Leng mu lagi ….?”
Suaranya memilukan hati, membikin hati orang beriba. Padahal dia adalah Pek leng siancu So Bwe leng yang sesungguhnya, itulah sebabnya nona itu nampak gelisah dan tidak tenang. Thi Eng khi sama sekali tidak menyangka kalau gadis tersebut adalah Pek leng siancu So Bwe leng yang sebenarnya. Hingga kini, dia masih menganggapnya sebagai perempuan siluman Ciu Lan.
Sambil tertawa dingin segara serunya :
“Jika kau berani berbuat licik lagi dihadapanku, jangan salahkan jika aku bertindak kasar kepadamu! Hayo cepat serahkan Jit kiau kim lian tersebut kepadaku, hari ini kuampuni selembar jiwamu.”
Pek leng siancu So Bwe leng tidak mengira kalau Thi Eng khi bakal bersikap begitu kasar kepadanya, dia menganggap pemuda tersebut belum mau memaafkan perbuatannya yang berpura pura mati dulu.
Hatinya menjadi sedih dan perih sekali tapi apa boleh buat?
Selembar mulutnya yang dihari hari biasa pandai berbicara sekarang menjadi kaku dan gagu, dia tak tahu bagaimana mesti menjelaskan persoalan tersebut….
Tentu saja dia pun tidak mengira kalau hingga kini Thi Eng khi masih belum tahu tentang permainannya yang berpura pura mati, berbicara dari perhatian dan perasaan Thi Eng khi sekarang, andaikata dia mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, untuk bergembirapun tak sempat, mana mungkin membentak secara kasar?
Justru karena pengalaman dan musibah yang menimpa Thi Eng khi dan So Bwe leng jauh berbeda, hal mana mempengaruhi pula pandangan seseorang terhadap masalah yang dihadapi, seringkali justru karena berbeda pandangan inilah berakibat terjadi kesalahan paham.
Kini Pek leng siancu So Bwe leng tak sanggup menjawab, hal ini bukan dikarenakan dia bodoh atau tak sanggup menjawab melainkan karena timbulnya perasaan menyesal dan tak tenang di hati kecilnya.
Sekarang dia sedang berusaha keras untuk meredakan suasana yang serba kaku itu, dia ingin mencari jalan bagaimana untuk menghilangkan rasa mendongkol anak muda itu terhadapnya.
Siapa tahu Thi Eng khi yang menyaksikan gadis itu hanya membungkam diri belaka, bahkan tidak menyerahkan pula teratai emas Jit kiau kim lian tersebut kepadanya, rasa benci dan muaknya terhadap siluman perempuan Ciu Lan meledak, sepasang matanya merah membara, ditatapnya wajah Pek leng siancu So Bwe leng lekat lekat.
So Bwe leng yang beradu pandang dengan pemuda itu segera dapat merasakan kebencian yang terpancar dari balik mata pemuda itu, hatinya semakin kecut, dia menyangka Thi Eng khi telah melampiaskan kemarahannya terhadap orang lain kepadanya.
Begitu rasa sedih menyelimuti hatinya, diapun berpikir : “Buat apa kau galak kepadaku? Apakah kau anggap aku benar benar takut kepadamu?”
Dia menjadi nekad, bukan saja tidak memberi penjelasan apa apa, malah justru menanggapi dengan jelas pula.
“Teratai emas Jit kiau kim lian berhasil kudapatkan dengan kepandaianku, mengapa harus kuberikan lagi kepadamu? Katakan apa yang kau andalkan…?”
Thi Eng khi makin naik darah, dia segera tertawa dingin. “Heeehhh…. Heeehhhhh…. Heeehhhh….. pandai betul bermain
sandiwara, sayang aku sudah kelewat mendalami watakmu, aku tak
bakal tertipu lagi!”
Dalam pendengaran Pek leng siancu So Bwe leng, ucapan tersebut seakan akan memakinya kalau pemuda itu sudah tahu kalau sejak ia berkenalan dengannya, ia hanya mencintai secara pura pura belaka.
Tak heran kalau So Bwe leng jadi lebih sedih bercampur mendendam. Yang lebih kebetulan adalah disaat seperti itulah Thi tan kim wan Yu Ceng hui sekalian bertiga telah menyusul pula sampai di situ.
Sambil menggertak gigi dan melototkan matanya bulat bulat, Pek leng siancu So Bwe leng membentak keras :
“Thi Eng khi kau betul betul berhati keji!”
Sambil mendepakkan kakinya ke tanah, dia lantas melompat bangun dan kabur lagi dari situ.
“Mau ke mana kau!” bentak Thi Eng khi nyaring.
Dia bersiap melakukan pengejaran, tapi pada saat itu kebetulan sekali Thi tan kim wan Yu Ceng hui bertiga sedang menaiki tebing tersebut. Mereka dibikin terkejut oleh kecepatan gerakan tubuh Thi Eng khi, sepanjang melakukan pengejaran tadi tentu saja mereka pun menganggap anak muda tersebut telah berhasil merampas teratai emas Jit kiau kim lian tersebut dari tangan si nona.
Oleh karena itu, mereka tidak menghalangi Pek leng siancu So Bwe leng yang sedang melarikan diri, malah sebaliknya bersama sama menerjang Thi Eng khi, maksudnya mereka ingin merampas kembali teratai emas Jit kiau kim lian tersebut dari tangan anak muda itu.
Ketika Thi tan kim wan Yu Ceng hui bertarung dengan Ci kong taysu di kuil Siau lim si tadi, belum semua kepandaian silat andalannya digunakan. Tapi sekarang, tahu kalau sedang menghadapi musuh tangguh, dia lantas mengeluarkan jurus simpanannya.
Belum lagi tubuhnya menerjang kemuka, sepasang tangannya telah diayunkan bersama kedepan, dua titik cahaya emas segera meluncur, satu di depan yang lain dari belakang menerjang tubuh Thi Eng khi.
Sementara itu, ditangan si nenek telah bertambah dengan sebuah tongkat berwarna hitam gelap diiringi hembusan angin tajam dia turut menyerang Thi Eng khi. Sebaliknya si pencuri sakti Go Jit yang mengandalkan keringanan tubuhnya bergerak kian kemari seperti gulungan asap ringin, pedang pendek sepanjang satu depa ditangannya dengan menciptakan serentetan cahaya pelangi berwarna perak langsung menusuk ke dada Thi Eng khi dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Thi Eng khi melototkan matanya lebar lebar, dengan tangan kirinya dia melepaskan sebuah pukulan untuk menghantam Pek leng siancu So Bwe leng yang berada du tengah udara, kemudian bentaknya gemas :
“Lebih baik kuhajar mampus kau siluman perempuan lebih dulu untuk menghilangkan rasa mendongkol dalam hatiku.”
Sementara tangan kanannya merogoh ke saku dan sekilas cahaya keemas emasan meluncur dari balik baju panjangnya kemudian diantara putaran pergelangan tangannya dia menyambut datangnya toya besi dari nenek dengan jurus Tay san yaa teng (bukit tay san menindih kepala).
Bersamaan waktunya tangan kirinya sudah melepaskan pukulan itu berubah menjadi jurus Kim liong tham jiu (naga emas mementangkan cakar) menyongsong datangnya peluru baja Thi tan kim wan yang dilepaskan Yu Ceng hui.
Lalu setelah berhasil menangkap peluru baja tadi dia mengayunkan pula benda mana kemuka untuk menghajar datangnya cahaya emas yang tiba belakangan. Dikala peluru baja disambit balik, Thi Eng khi menarik pula tangan kirinya ke depan dada, kebetulan serangan pedang dari pencuri sakti Go Jit menyambar datang.
Dengan jurus Pin kong cho im (memburu sinar menangkap bayangan) dia jepit tubuh pedang tersebut dengan jepitan kedua jari tangannya. Secara beruntun Thi Eng khi telah mempergunakan empat macam kepandaian untuk menghadapi empat macam situasi yang sama sekali berbeda, untuk diceritakan memang terasa panjang, padahal kenyataannya terjadi dalam waktu yang singkat.
Mula mula terdengar Pek leng siancu So Bwe leng menjerit melengking, lalu ia berteriak :
“Engkoh Eng, kau bakal menyesal …..”
Sesosok bayangan tubuh terhajar sampai terpental sejauh beberapa kaki dari posisi semula. Setelah itu, peluru baja Thi tan kim wan yang disambit balik itu menghajar peluru baja Thi tan kim wan yang kedua dan mementalkannya sejauh satu kaki lebih dari tempat semula.
Akibatnya timbul hujan bunga emas yang kebetulan menyongsong tubuh Thi tan kim wan Yu Ceng hwi sendiri, tentu saja jagoan itu tak ingin membiarkan senjata makan tuan, ia terdesak hebat dan buru buru menghindarkan diri dari ancaman tersebut.
Sebaliknya pencuri sakti Go Jit yang pedang pendeknya kena dijepit jari tangan lawan betul betul mati kutu, walaupun dia telah mengerahkan segenap tenaga yang dimilikinya, muka dan tengkuk sampai merah membara, namun senjatanya sama sekali tak bergeming.
Yang paling hebat adalah toya baja yang dilancarkan si nenek, toya tersebut berhasil tertusuk telak oleh pedang emas Thian liong kim kiam milik Thi Eng khi, sehingga ujung pedang mana menembusi toya dan tersumbul setengah hun keluar.
Si nenek itu sendiri ibarat kecapung yang menempel di tonggak batu, bukan saja tak mampu menggerakkan toyanya, mau ditarik balikpun tak bertenaga lagi. Thi Eng khi sendiri, walaupun dalam waktu yang hampir bersamaan harus menghadapi beberapa jago persilatan, ia masih kelihatan tenang dan biasa, sama sekali tak nampak ngotot atau kepayahan.
Thi tan kim wan Yu Ceng hui sebetulnya ada rencana untuk melakukan terjangan lagi begitu lolos dari ancaman peluru Thi tan kim wan miliknya, namun setelah menyaksikan kejadian yang berada di depan mata, ia menjadi ketakutan setengah mati, buru buru tubuhnya mundur terus menjauhi tempat tersebut, tentu saja diapun tak berani melancarkan tubrukan lagi ….
Sebab berdasarkan pengalamannya, dia sudah melihat kalau kepandaian silat yang dimiliki Thi Eng khi sangat lihay, bahkan mati hidup si nenek maupun pencuri sakti Go Jit sudah berada di bawah kekuasaan Thi Eng khi, terserah apa yang bakal dilakukan pemuda itu terhadapnya.
Betul, ilmu Thi tan kim wan yang dimilikinya sangat ampuh, namun Yu Ceng hui pun sadar, sekalipun dia maju membantu, hal mana hanya akan sia sia belaka. Ditambah lagi dia melihat peluru baja Thi tan kim wan miliknya yang dihajar pental oleh Thi Eng khi tadi sudah berubah bentuknya menjadi kueh baja, tak heran kalau peluru mautnya tak sampai meledak ditangan anak muda tersebut tadi.
Rupanya oleh karena tenaga dalam yang dimiliki Thi Eng khi kelewat sempurna, sewaktu peluru Thi tan kim wan itu jatuh ke tangannya tadi, tanpa terasa sudah kena tertekan oleh kekuatannya hingga berubah bentuk, tak heran jika peluru mana tak sanggup menimbulkan daya ledaknya yang hebat dan mematikan.
Perlu diketahui, peluru Thi tan kim wan dari Yu Ceng hui tersebut bukan terbuat dari besi biasa, melainkan terbuat dari serbuk baja yang sangat lembut, daya kemampuannya sangat besar dan bukan sembarangan orang dapat menghadapinya.
Bila orang biasa yang melakukan penahanan terhadap serangan tersebut, asal benda mana meledak niscaya sang korban akan tewas.
Menurut sejarah pengalaman dari Thi tan kim wan Yu Ceng hui, belum pernah ada orang yang mampu mematahkan serangan peluru Thi tan kim wan miliknya, paling banter mereka hanya bisa meloloskan diri dari ancaman bahaya maut.
Oleh sebab itu, setelah ia menyaksikan peluru sakti Thi tan kim wannya hancur menjadi begitu rupa, kontan hatinya keder dan ia tak berani sembarangan berkutik lagi.
Dalam pada itu, Pek leng siancu So Bwe leng yang terkapar di tanah telah menggeliat dan memanggil dengan suara lirih :
“Engkoh Eng…..”
Dia mengangkat tangannya, mengangkat teratai emas Jit kiau kim lian tersebut seperti hendak dilemparkan ke muka tapi lantaran luka yang dideritanya kelewat parah, tak ada tenaga yang bisa digunakan, tangannya yang baru terangkat kembali terkulai, teratai emas Jit kiau kim lian itupun tergelinding ke samping.
Ternyata perginya Pek leng siancu So Bwe leng tadi hanya bertujuan untuk memancing tumbuhnya kembali rasa cinta pemuda tersebut kepadanya, asal pemuda itu menyusulnya maka dia akan mencari kesempatan untuk minta maaf kepadanya.
Siapa tahu jalan pikiran Thi Eng khi sama sekali berbeda dengan jalan pemikirannya, ia sama sekali tidak menganggap gadis itu sebagai Pek leng siancu So Bwe leng pribadi, malah ia begitu tega melancarkan bacokan ke tubuhnya.
Semestinya serangan tersebut tak akan sampai membuat Pek leng siancu So Bwe leng menderita luka parah. Dengan kemampuan yang dimiliki Pek leng siancu So Bwe leng sekarang, kendatipun ia tak sanggup menerima serangan yang dilepaskan dengan tenaga enam bagian ini, namun untuk menghindari yang berat dan mencari luka yang ringan bukanlah suatu pekerjaan yang sulit baginya.
Jadi dengan perkataan lain, Pek leng siancu So Bwe leng memang sengaja menerima pukulan dari Thi Eng khi tersebut karena dia mempunyai maksud tertentu. Oleh sebab itu, ketika Pek leng siancu So Bwe leng sudah mencelat keudara dan tak melihat pemuda itu menyusulnya, malah sebaliknya menambahi dengan sebuah pukulan yang mematikan lagi, dia lantas menarik kesimpulan kalau Thi Eng khi memang sudah tidak menaruh perasaan lagi kepadanya, malah bisa jadi dalam hatinya sudah tiada lagi dirinya.
Begitu ingatan tersebut muncul, Pek leng siancu So Bwe leng segera merasa hidupnya menjadi hambar, ia kecewa dan putus asa, dalam waktu singkat timbullah niatnya untuk mengakhiri hidupnya.
Maka bukan saja dia tidak melepaskan pukulan untuk melancarkan serangan balasan, atau mencoba berkelit kesamping, sebaliknya dia malah membuyarkan tenaga dalamnya dan menyambut serangan dari Thi Eng khi tersebut.
Kontan saja hawa murninya buyar dan ia jatuh tak sadarkan diri. Menanti gadis itu sadar kembali, jaraknya dengan kematian sudah tak jauh, tipis sekali harapan baginya untuk pulih dalam keadaan sehat seperti semula.
Namun dalam benak Pek leng siancu So Bwe leng justeru terjadi lagi perubahan sebesar seratus delapan puluh derajat, dia merasa kematian semacam ini sama sekali tak ada harganya, terlalu tidak beralasan, lagi pula yang membuatnya rela mati adalah ia mencintai Thi Eng khi dengan bersungguh hati, kalau dia harus mati dalam keadaan demikian bukankah Engkoh Eng nya bakal menyesal sepanjang masa?
Sayang sekali hal itu disadari kelewat terlambat, kini nasi sudah menjadi bubur, tenaga untuk menyerahkan teratai emas Jit kiau kim lian ke tangan Thi Eng khi pun sudah tidak dimiliki lagi. Kepalanya terkulai dan ia jatuh tak sadarkan diri lagi.
Teratai emas Jit kiau kim lian itu menggelinding disisi tubuhnya.
Thi tan kim wan Yu Ceng hui bertindak cepat, dia segera membalikkan badan dan menerjang kearah teratai emas tersebut.
Thi Eng khi segera mengerahkan tenaga dalamnya ke lengan, lalu menggetarkan tubuh si nenek dan pencuri sakti Go Jit sampai mencelat sejauh beberapa langkah, setelah itu dengan mengerahkan ilmu Hu kong keng im ia menyerobot kemuka dan menyambar teratai emas tersebut lebih dahulu.
Thi tan kim wan Yu Ceng hui hanya merasakan pandangan matanya kabur, tahu tahu teratai emas Jit kiau kim lian tersebut telah jatuh ke tangan Thi Eng khi. Kenyataan mana kontan saja menggidikkan hatinya, segulung hawa dingin sempat menembusi tubuhnya kemana mana.
Sudah barang tentu ia tak berani merebut mestika itu lagi, dengan cepat tubuhnya mundur sejauh beberapa kaki ke belakang, kemudian ditatapnya Thi Eng khi dengan termangu mangu.
Sementara itu, Pek leng siancu So Bwe leng yang berada dalam keadaan tak sadar kembali bergumam :
“Engkoh Eng….! Aku tak akan menyalahkan dirimu ….”
Suaranya rendah dan lemah, boleh dibilang ucapan mana tak sempat ditumpahkan keluar, andaikata Thi Eng khi tidak memiliki tenaga dalam yang sempurna, sulit baginya untuk menangkap gumaman tersebut.
Orang bilang ucapan yang dikatakan orang yang hampir mati biasanya bukan kata bohong. Thi Eng khi merasa dadanya bagaikan dihantam dengan martil berat, kepalanya menjadi pening dan mukanya berubah pucat pias, dengan terkejut bentaknya :
“Kau benar benar adalah adik Leng?”
Sepasang tangannya bekerja cepat, dalam waktu yang singkat, ia menotok tiga puluh enam buah jalan darah penting di tubuh Pek leng siancu So Bwe leng untuk sementara waktu dia cegah menjalarnya luka itu. Kemudian dari sakunya dia mengeluarkan pil Kim khong giok lok wan dan menjejalkan tiga butir ke mulut gadis tersebut.
Ilmu pertabiban yang dimiliknya sekarang sudah amat lihay, meskipun ia tahu kalau Kim khong giok lok wan tak bisa menyembuhkan luka pukulan, tapi justru memiliki kasiat untuk menunda saat kematian seseorang.
Itulah sebabnya dia tak segan menggunakan obat mujarab itu untuk mempertahankan selembar jiwanya lebih dulu, kemudian baru diusahakan pertolongannya.
Dibawah totokan dan pemberian obat mujarab dari Thi Eng khi, Pek leng siancu So Bwe leng behasil menghembuskan napas panjang, bahkan kesadarannya telah pulih kembali.
Betul sorot matanya sayu tapi penuh dengan perasaan cinta yang amat tebal. Buru buru Thi Eng khi memeluk gadis itu dan merangkulnya kencang kencang. Dalam pada itu, Thi tan kim wan Yu Ceng hui sekalian bertiga sedang berkumpul jadi satu dan berbisik bisik, agaknya sedang merundingkan cara untuk menghadapi kejadian yang ada di depan mata.
Pek leng siancu So Bwe leng yang bersandar dalam pelukan Thi Eng khi berbisik lagi lirih :
“Engkoh Eng, aku tak mengerti apa sebabnya kau begitu membenci diriku …?”
Thi Eng khi berusaha menenangkan hatinya, dia tidak segera menjawab pertanyaan dari Pek leng siancu So Bwe leng, melainkan meraba ke belakang telinga gadis itu. Sebab dia teringat kalau So Bwe leng gadungan mengenakan topeng kulit manusia, maka dia ingin melalui cara itu untuk membedakan palsu dan aslinya.