Jilid 22
Siksaan tersebut melebihi penderitaan ditusuk tusuk dengan senjata tajam, sekalipun seseorang terdiri dari otot kawat tulang besi, jangan harap bisa menahan siksaan semacam itu.
Kakek she Yu itu terdiri dari darah dan daging, sudah barang tentu dia tak akan sanggup menahan diri, dalam keadaan demikian siapapun pasti akan berbicara dengan terus terang. Cuma saja cara semacam ini merupakan sebuah cara yang amat keji dan rendah, kebanyakan jago persilatan dari golongan lurus enggan untuk menggunakan cara tersebut sehingga menodai nama baiknya.
Pada enam puluh tahun berselang, nama besar Bu im sin hong Kian Kim siang sudah termashur didalam dunia persilatan, terutama empat propinsi di wilayah selatan, kebesaran namanya dan kebesaran kedudukannya boleh dibilang sejajar dengan kedudukan Keng thian giok cu Thi keng maupun Tiang pek lojin So Seng pak sekalian. Sungguh tak disangka enam puluh tahun kemudian, wataknya telah berubah sama sekali dan berubah menjadi seorang manusia yang dibenci setiap umat persilatan. Bu im sin hong Kian Kim siang sedikit pun tidak nampak malu ataupun menyesal, jari tangannya masih tetap digerak gerakkan diatas wajah Raja akhirat berhati Buddha Bu kay siansu sembari mengancam :
“Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan lagi, sudah kau bawakan barang itu?”
Raja akhirat berhati Buddha Bu kay siansu segera tertawa terbahak bahak.
“Haaahhhh….. haaahhhhh…… haaahhhh….. kau hendak menggertak pinceng dengan mempergunakan ilmu jari Siau hun ci hoat? Sayang sekali kau salah mencari sasaran, sampai matipun pinceng tak nanti akan takut menghadapi dirimu.”
Sembari berkata dia lantas menotok jalan darah Khek swan hiat ditubuhnya lebih dahulu. Dengan demikian, sekalipun dia kalah dalam pertarungan dan tertangkap lawan. Bu im sin hong Kian Kim siang tak mungkin bisa menggertak dirinya lagi. Sebab dengan menotok jalan darah Khek swan hiat tersebut, hal itu merupakan satu satunya cara untuk menghindari diri dari siksaan Siau hun ci hoat.
Yang dimaksud sebagai ’menghindarkan diri’ adalah jika ilmu totokan siau hun ci hoat tersebut ditotokkan keatas tubuhnya maka dia akan segera tewas, sehingga dapat terhindar dari siksaan akibat totokan ilmu jari siau hun ci hoat tersebut.
Bu im sin hong Kian Kim siang yang menyaksikan kejadian itu menjadi mendongkol sekali, teriaknya sambil mencak mencak karena kegusaran :
“Kau anggap lohu sudah tidak punya cara lain lagi untuk menyiksa dirimu ?“
Tiba tiba dia mementangkan cakarnya dan secepat kilat menyambar bahu kiri si Raja akhirat berhati Buddha. Dengan wajah serius, si Raja akhirat berhati Buddha Bu kay siansu menghindarkan diri ke samping untuk meloloskan diri dari ancaman cengkeraman itu.
Bu im sin hong Kian Kim siang bergerak secepat sambaran petir, tampak ia sama sekali tidak berganti jurus, sambil membalikkan telapak tangannya tahu tahu dia sudah mencengkeram tubuh Hud sim giam ong secara telak .....
Berbicara soal tenaga dalam, Hud sim giam ong Bu kay siansu terhitung mempunyai kemampuan yang sederajat dengan ciangbunjin pelbagai partai besar dalam dunia persilatan, akan tetapi bila dibandingkan dengan Bu im sin hong Kian Kim siang, maka selisihnya masih cukup jauh, apalagi ruangan dalam perahu amat sempit dan tidak leluasa untuk dipakai menghindarkan diri.
Begitu cengkeramannya berhasil dengan telak, Bu im sin hong Kian Kim siang segera mengerahkan tenaganya untuk menekan tubuh lawan, setelah itu diseretnya tubuh Raja akhirat berhati Buddha Bu kay siansu sehingga bergeser satu langkah ke sebelah kiri.
Waktu itu si Raja akhirat berhati Buddha Bu kay siansu sudah bertekad untuk mati, ia sama sekali tidak memperdulikan keselamatan dirinya, menggunakan kesempatan tersebut pergelangan tangannya segera diputar dan balas membabat jalan darah Ciang bun hiat dipinggang sebelah kiri Bu im sin hong Kian Kim siang.
Menyaksikan datangnya ancaman tersebut, Bu im sin hong Kian Kim siang tertawa dingin, jengeknya :
“Kau anggap masih bisa banyak bertingkah dihadapan lohu?
Lebih baik roboh saja kau!“
Sekali lagi hawa murninya disalurkan keluar untuk menekan tubuh lawan, seketika itu juga tubuh si Raja akhirat berhati Buddha Bu kay siansu yang sedang menerjang kemuka malah terdesak mundur selangkah, kakinya tak sanggup berdiri tegak dan ia segera menubruk ke depan. Bu im sin hong Kian Kim siang berdiri dengan telapak tangan kanannya disilangkan didepan dada, kemudian secepat kilat menghantam jalan darah ciang tay hiat ditubuh Hud sim giam ong Bu kay siansu tersebut, katanya sambil tertawa jengah :
“Bila lohu tidak sanggup untuk merobohkan dirimu, tidak pantas aku menjabat sebagai tongcu ruangan Hian bu tong dalam istana Ban seng kiong “
Serangan dari Bu im sin hong Kian Kim siang dilancarkan bertubi- tubi, seandainya sampai terkena serangan itu secara telak, niscaya si Raja akhirat berhati Buddha Bu kay siansu bakal mampus seketika. Rupanya Bu im sin hong Kian Kim siang telah mempergunakan ilmu Huan cing hui hiat (membalik otot memutar darah) suatu kepandaian yang lebih dahsyat dari ilmu jari Siau hun ci hoat untuk menghadapi lawannya.
Mendadak dari luar ruangan perahu terdengar seorang membentak nyaring :
“Kian lo tunggu sebentar!“
Tampaknya Thi Eng khi sudah tak tahan menyaksikan tindak tanduk yang dilakukan rekannya, dia segera menerobos masuk kedalam ruangan dan mencegah Bu im sin hong Kian Kim siang untuk melanjutkan serangan kejinya ....
Bu im sin hong Kian Kim siang agak menghentikan sebentar ancaman itu, tapi kemudian setelah mendengus dingin, ia meneruskan kembali ancamannya. Thi Eng khi sama sekali tidak menyangka kalau perpisahannya selama puluhan hari telah mengakibatkan perubahan besar bagi Bu im sin hong Kian Kim siang, bukan saja bertambah keji bahkan sama sekali tidak mengenali dirinya lagi.
Kenyataan tersebut membuat hatinya menjadi marah sekali, sambil miringkan badan lantas membacok keatas urut nadi pada pergelangan tangan Bu im sin hong Kian Kim siang. Berada dalam keadaan demikian andaikata Bu im sin hong Kian Kim siang tidak segera menarik kembali serangannya, bisa saja dia meneruskan ancamannya dan membunuh Hud sim giam ong Bu kay siansu diujung telapak tangannya, akan tetapi lengannya pun akan terpapas kutung pula di tangan Thi Eng khi.
Dalam keadaan terpaksa menarik kembali ancamannya dan menyongsong datangnya ancaman dari Thi Eng khi. Begitu sepasang telapak tangan mereka saling bertemu segera terjadilah benturan keras yang memekikkan telinga, seketika itu juga Bu im sin hong Kian Kim siang terdesak mundur selangkah.
Sebaliknya Thi Eng khi tetap berdiri tak berkutik di tempat semula. Masih untung Thi Eng khi cuma mempergunakan tenaga sebesar lima bagian saja, kalau tidak, mungkin tubuh Bu im sin hong Kian Kim siang sudah mencelat keluar dari ruangan perahu.
Dengan perasaan terperanjat Bu im sin hong Kian Kim siang membentak keras :
“Siapakah kau?“
Pertanyaan tersebut membuat Thi Eng khi menjadi tertegun, segera pikirnya :
“Baru berpisah puluhan hari, masa dia sudah tidak kenal lagi dengan aku...?“
Tapi ingatan lain dengan cepat melintas didalam benaknya : “Jangan jangan karena aku mengenakan pakaian berkabung,
maka dia tak melihat jelas wajahku?“
Berpikir demikian, sambil tertawa segera ujarnya : “Siaute adalah Thi Eng khi!“
Lima orang yang berada dalam ruangan perahu itu sama sama menjadi tertegun dan segera mengalihkan sorot matanya ke wajah Thi Eng khi. Perlu diketahui, semenjak pertemuannya di bukit Siong san serta keberaniannya untuk mendatangi istana Ban seng kiong seorang diri, nama besar Thi Eng khi sudah diketahui oleh setiap umat persilatan yang berada dalam dunia persilatan.
Tapi semua orang hanya mengetahui kalau dia adalah seorang yang berjiwa panas, siapapun tidak ada yang mengira kalau tenaga dalam yang dimilikinya begitu sempurna sehingga mampu untuk bertarung menghadapi Bu im sin hong Kian Kim siang.
Yang paling tersipu sipu keadaannya adalah Bu im sin hong Kian Kim siang sendiri apalagi setelah dipaksa mundur oleh seorang anak muda dihadapan orang lain, kemarahannya makin berkobar.
Mendadak dia membentak keras :
“Ooh, rupanya kau, sambutlah pukulanku sekali lagi!”
Sepasang telapak tangannya segera diayunkan ke depan melancarkan sebuah pukulan dahsyat. Dengan kening berkerut, Thi Eng khi segera berpikir :
“Tampaknya dari malu Kian lo menjadi naik darah!”
Dia tak ingin terlalu memaksa orang, maka kali ini dia hanya mempergunakan tenaga sebesar enam bagian untuk menyongsong datangnya ancaman tersebut. Ketika sepasang telapak tangan saling membentur, segera terjadilah suatu ledakan yang memekikkan telinga.
Sekalipun Bu im sin hong Kian Kim siang telah mempergunakan tenaga dalamnya sebesar sepuluh bagian, sedangkan Thi Eng khi hanya enam bagian ternyata keadaannya masih tetap seimbang, kedua belah pihak sama sama tidak tergoyah barang setengah langkah pun.
Tapi akibatnya perahu itu menjadi oleng dan bergoyang keras sekali akibat tekanan hawa pukulan mereka berdua. Si Raja akhirat berhati Buddha Bu kay siansu sekalian tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya, dalam anggapan mereka kekuatan yang dimiliki kedua orang itu seimbang, sehingga tanpa terasa mereka menghembuskan napas dingin dan hatinya amat tak tenang.
Berbeda sekali dengan Bu im sin hong Kian Kim siang, dia merasa terperanjat sekali dan malu untuk berbincang bincang dengan Thi Eng khi lebih jauh, begitu menghajar dinding perahu sampai ambrol sebagian, dia segera melompat keluar dari ruang perahu dan melarikan diri dari tempat tersebut. Thi Eng khi hanya berdiri dengan penuh tanda tanya, tapi diapun tidak menghalangi. Sambil menggelengkan kepalanya dan menghela napas, dia membangunkan Si Raja akhirat berhati Buddha Bu kay siansu dari atas perahu, katanya :
”Siansu kau dibuat terkejut.”
Raja akhirat berhati Buddha Bu kay siansu memegang sepasang bahu Thi Eng khi sambil tertawa terbahak bahak, kejut dan girang menyelimuti seluruh wajahnya.
“Haaahhh..... haaahhhh.... haaahhh walaupun pinceng sudah
tahu kalau Thi sauhiap adalah seorang pandai tapi sama sekali tak kusangka kalau kau adalah ketua Thian liong pay yang termashur namanya dalam dunia persilatan, maaf aku benar benar minta
maaf. Untung saja Thi ciangbunjin bersedia untuk turun tangan dan membantu kami hari ini, kalau tidak pinceng sekalian pasti akan mati secara mengenaskan!”
Di tengah ucapan terima kasih itu, si kakek setengah tua dan sastrawan muda itu telah bangun berdiri dan memberi hormat kepada Thi Eng khi. Dari pembicaraan tersebut, baru diketahui bahwa kedua orang inipun terhitung manusia kenamaan dalam dunia persilatan. Yang tua bernama Kim gin siang pian (sepasang ruyung emas perak) Yu Cian hian, sedangkan si sastrawan muda itu bernama Hek pek san (Kipas hitam putih) Ong Liu tong.
Semua orang mempersilahkan Thi Eng khi untuk duduk di kursi utama, Thi Eng khi tahu dalam keadaan demikian tak ada gunanya untuk mengalah maka untuk menyenangkan hati semua orang, tanpa sungkan sungkan lagi dia segera duduk di kursi utama.
Sementara itu, si Raja akhirat berhati Buddha Bu kay siansu telah menghembuskan napas panjang seraya berkata :
“Bu im sin hong Kian tayhiap sudah lama termashur sebagai seorang pendekar besar yang suka membantu kaum lemah dan membantu kesulitan orang, sungguh tak disangka puluhan tahun kemudian, wataknya bisa berubah menjadi begitu jelek, bahkan telah bergabung pula dengan pihak Ban seng kiong untuk melakukan kejahatan, peristiwa ini benar benar merupakan suatu ketidak beruntungan bagi umat persilatan.
Thi Eng khi segera teringat pula hubungannya dengan Bu im sin hong Kian Kim siang, katanya pula :
“Kesemuanya ini merupakan kesalahan diriku yang masih muda dan berpengalaman cetek hingga aku telah salah menolong orang.”
Mendengar perkataan itu, si Raja akhirat berhati Buddha Bu kay siansu menjadi keheranan, serunya kemudian :
“Entah apa maksud Thi ciangbunjin mengucapkan perkataan itu?”
Page 16-17 missing
dengan sikap hina banyak jago terhadap perguruan Thian liong pay, dia mengira Raja akhirat berhati Buddha merasa tak sudi untuk bergaul dengannya, maka dengan wajah sedingin es, segera ujarnya
:
“Jika siansu menganggap aku tak cocok untuk bergaul denganmu, baiklah aku hendak mohon diri dulu.”
Selesai menjura, dia segera melangkah keluar dari ruang perahu tersebut.....
Si Raja akhirat berhati Buddha Bu kay siansu menjadi amat gelisah, buru buru serunya sambil menggoyangkan tangannya berulang kali :
“Thi ciangbunjin, harap jangan salah paham, pinceng sama sekali tidak bermaksud demikian.”
Selain gugup, dia pun nampak panik sekali. Ketika Thi Eng khi menyaksikan Si Raja akhirat berhati Buddha Bu kay siansu berbicara dengan wajah bersungguh sungguh, hatinya menjadi rikuh sendiri, dia kuatir kalau niatnya untuk pergi dilanjutkan maka orang akan menganggapnya berjiwa sempit, maka dia lantas melangkah balik ke tempat semula.
Gerakannya baik sewaktu pergi maupun sewaktu kembali dilakukan secepat kilat, semua orang hanya merasa dia menggeserkan posisinya tapi tidak tahu ilmu gerakan tubuh apakah yang digunakan.
Terkesiaplah Si Raja akhirat berhati Buddha sekalian setelah menyaksikan kejadian itu, mereka tidak tahu sampai dimanakah kelihayan dan kesempurnaan tenaga dalam yang dimiliki Thi Eng khi.
Setelah menghela napas panjang, Si Raja akhirat berhati Buddha Bu kay siansu segera berkata :
“Sahabatku itu tak lain adalah Cang ciong sin kiam Sangkoan tayhiap, kepala kampung dari perkampungan Ki hian san ceng dibukit Hong san.”
Dengan kening berkerut Thi Eng khi hanya mengucapkan ‘aah, aah, oh, oh’ tanpa sanggup untuk melanjutkan kata-katanya.
Agaknya si Raja akhirat berhati Buddha Bu kay siansu sudah menduga kalau Thi Eng khi bakal menunjukkan sikap seperti ini, maka paras mukanya sama sekali tidak berubah, pelan pelan katanya :
“Walaupun pinceng tidak menyaksikan sendiri persengketaan yang terjadi antara Cang ciong sin kiam Sangkoan tayhiap dengan Thi ciangbunjin, tapi pinceng cukup mengenali watak dari Sangkoan tayhiap. Dilihat dari tabiatnya itu aku pun tahu kalau kesalahan tersebut pasti bukan terletak pada diri Thi ciangbunjin. Setelah berjumpa hari ini, hal tersebut makin mempertebal dugaanku kalau dugaan pinceng tak salah. Cuma entah bersediakah Thi
ciangbunjin memandang pada gawatnya situasi dalam dunia persilatan untuk mengesampingkan dulu perselisihan pribadi dan mau bersatu padu untuk bersama sama menanggulangi krisis dalam dunia persilatan? Pinceng bersedia menjadi perantaranya dalam hal ini. bila benar benar bisa terwujud, hal ini sungguh merupakan
suatu keberuntungan bagi umat persilatan.”
Thi Eng khi adalah seorang pemuda yang berjiwa besar, dengan Cang ciong sin kiam Sangkoan Yong juga tidak mempunyai dendam kesumat, cuma saja lantaran sikap mereka yang keterlaluan, hal ini memaksanya mau tak mau harus mengambil tindakan pula. Maka setelah disinggung kembali oleh si Raja akhirat berhati Buddha Bu kay siansu, dengan cepat diapun menyatakan kesediaannya. Sementara dia hendak mengemukakan sikapnya, tiba tiba si hwesio cilik itu menimbrung :
“Suhu, Thi ciangbunjin adalah seorang pendekar sejati yang mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, tentu saja ia bersedia untuk memperbaiki hubungan tersebut, yang dikuatirkan adalah Sangkoan tayhiap yang keras kepala dan sampai mati tak mau mengaku salah!”
Thi Eng khi memang tak malu disebut seorang manusia yang luar biasa, dengan wajah bersungguh sungguh dia lantas berkata :
“Maksud mulia siansu tak berani kutampik, begitulah, kuserahkan persoalan ini kepada siansu! Asal Sangkoan tayhiap bisa melupakan kejadian masa lalu, akupun setiap saat bersedia untuk menjumpainya!”
Sikap Thi Eng khi yang terbuka dan berjiwa besar ini segera disambut oleh Raja akhirat berhati Buddha Bu kay siansu sekalian dengan perasaan kagum tanpa merasa mereka berseru bersama :
“Bagus!”
Rasa kagum mereka terhadap Thi Eng khi pun otomatis semakin bertambah ....
Dengan penuh kegembiraan si Raja akhirat berhati Buddha Bu kay siansu segera mengambil keputusan untuk mengajak hwesio cilik itu bersama Kim gin siang pian Yu Cian hian serta Hek pek san Ong Liu tong untuk bersama sama berangkat ke perkampungan Ki hian san ceng di bukit Hong san.
Setelah berpisah dengan keempat orang itu, Thi Eng khi merasa munculnya suatu perasaan kosong dalam hatinya, tapi karena persoalan yang harus diselesaikan terlalu banyak, untuk sesaat dia tak bisa mengambil keputusan dan tak tahu kemana harus pergi.
Dengan tanpa tujuan akhirnya dia berjalan menelusuri sungai.
Walaupun dia hanya berjalan dengan santai, tapi tanpa terasa sampai juga dijalanan menuju ke rumah. Setelah melewati Swan hong, diapun menembusi kota Sah si.
Di depan matanya kini tampak kuil tokoan yang pernah digunakan untuk menjebaknya dan hampir saja membunuhnya dulu. Sekarang kuil tersebut sudah hancur dan tinggal puing puing yang berserakan.
Sementara ia masih memandang sekitar tempat itu, dari depan sana tampak sesosok bayangan manusia berkelebat lewat, ketika orang itu menjumpai Thi Eng khi, mendadak tubuhnya melambung ke tengah udara, kemudian setelah berjumpalitan beberapa kali, tanpa mengeluarkan sedikit suarapun dia melayang turun dibelakang tubuh si anak muda tersebut.
Tenaga dalam yang dimiliki Thi Eng khi memang sangat lihay, walaupun berada dalam keadaan melamun, namun suatu gerakan yang mencurigakan saja dibelakang tubuhnya segera meningkatkan kewaspadaannya.
Dengan cepat dia membalikkan badan dengan menyilangkan telapak tangannya didepan dada kemudian bentaknya keras keras :
“Siapa di situ ?”
Dengan wajah berseri seri orang itu menerjang tiba, kemudian teriaknya keras keras:
“Saudara Thi, kau benar benar membuat aku Lo Kian menjadi kelabakan setengah mati!”
Dengan cepat ia mendekat dan maksud untuk merangkul bahu Thi Eng khi. Serta merta Thi Eng khi berkelit ke samping dan mundur sejauh tiga langkah dengan perasaan muak, lalu sambil melintangkan sepasang telapak tangannya di depan serunya dingin :
“Sejak berpisah diatas perahu, beberapa hari baru lewat, ada urusan apa kau datang mencariku?”
Menghadapi sikap Thi Eng khi yang dingin dan kaku, orang tersebut nampak agak tertegun dan segera menghentikan langkahnya, kemudian setelah membalikkan matanya berulang kali, dia berseru :
“Sejak berpisah denganmu di bukit Bu gi san tempo hari, di tengah jalan aku telah berjumpa dengan seorang sahabat karibku hingga perjalananku agak tertunda, tak disangka ketika tiba di bukit Siong san, kau telah pergi lebih dulu, dengan susah payah aku mencari dirimu hingga hari ini tapi mengapa sikapmu terhadap sahabat karib berubah sekasar ini? Siapakah yang telah berjumpa denganmu didalam sampan? Coba perhatikan lagi dengan seksama, siapakah diri lohu ini?”
“Hmm, kau masih pandai sekali berlagak pilon,” sumpah Thi Eng khi dalam hati.
Dengan wajah dingin dan kaku dia berseru :
“Nama besar Bu im sin hong Kian tayhiap sudah termashur di seluruh kolong langit, sekarang pun sudah menjadi Tongcu ruang Hian bu tong di istana Ban seng kiong, aku tak berani mengikat tali persahabatan denganmu, lebih baik kita bersua lagi di dalam istana Ban seng kiong, waktu itu aku tak akan berbicara sesungkan hari ini.”
Selesai berkata dia lantas miringkan badan dan berlalu dari tempat tersebut. Bu im sin hong Kian Kim siang adalah seorang jago tua yang amat berpengalaman dalam dunia persilatan, setelah menyaksikan hal tersebut dia lantas menduga kalau Thi Eng khi telah menganggap seseorang lain sebagai dirinya.
Tentu saja dia tak membiarkan Thi Eng khi pergi dengan begitu saja, karena bila sampai berbuat demikian, kesalahan paham diantara mereka pasti akan bertambah mendalam. Maka sambil menghalangi jalan pergi Thi Eng khi katanya :
“Thi lote, tunggu dulu, dibalik peristiwa ini pasti ada hal hal yang tak beres, jangan kelewat menuruti napsu, kita mesti selidiki dahulu dengan baik baik!”
Thi Eng khi menjadi terkejut sekali dan menghentikan langkahnya sambil membungkam, dia teringat kembali dengan kemampuan Huan im sin ang untuk menyaru sebagai wajah orang lain. Ditinjau dari kejadian mana bisa disimpulkan kalau orang yang dijumpainya dalam sampan tempo hari adalah Bu im sin hong gadungan, tapi siapa pula yang percaya kalau Bu im sing hong Kian Kim siang yang berada di hadapannya sekarang adalah Bu im sin hong Kian Kim siang yang sesungguhnya.
Sekalipun yang berada di hadapannya adalah yang asli, namun siapa pula yang bisa membuktikan kalau dia belum menggabungkan diri dengan pihak Ban seng kiong? Siapa tahu dia datang dengan maksud untuk membohongi dirinya ?
Pertanyaan pertanyaan ini tak mungkin bisa dibuktikan dengan segera, untuk sesaat Thi Eng khi menjadi serba salah dibuatnya. Bu im sin hong Kian Kim siang adalah seorang jago kawakan yang sangat berpengalaman, dalam sekilas pandangan saja dia sudah dapat meraba jalan pikiran Thi Eng khi, maka dengan cepat dia mengemukakan suatu rahasia untuk membuktikan keaslian dari dirinya.
“Cahaya aneh melindungi badan, tiada perasaan melepaskan naga “
Sebagaimana diketahui, ilmu sakti Heng kian sinkang yang dimiliki Thi Eng khi sekarang berasal dari gua pertapaan Thio Biau liong, peristiwa itu pun hanya diketahui Thi Eng khi dan Bu im sin hong Kian Kim siang yang asli.
Maka dengan perasaan sangsi, Thi Eng khi segera berkata : “Kian lo, siaute masih ada satu persoalan yang tidak kupahami,
harap kau suka memberi penjelasan!”
Nada suaranya sekarang jauh lebih lembut dan lunak. Bu im sin hong Kian Kim siang mengenyitkan alis matanya, lalu berkata pelan : “Thi lote, bila dalam hatimu tumbuh kecurigaan, silahkan saja
diutarakan dengan berterus terang!”
“Harap kau suka membuktikan kalau dirimu bukanlah tongcu ruangan Hian bu tong dari istana Ban seng kiong?” Tapi bagaimana caranya untuk membuktikan hal ini?
Walaupun Bu im sin hong Kian Kim siang berpengalaman luas, toh dia dibikin serba salah juga oleh tindakan Thi Eng khi ini, sebab sulit untuk membuktikan hal itu. Sementara kedua orang itu bertatapan muka dengan mulut membungkam, dan Thi Eng khi dengan paras muka berubah sudah siap siap untuk meninggalkan tempat itu, mendadak dari jalan raya muncul sesosok bayangan manusia.
Begitu menyaksikan kedatangan orang itu, Thi Eng khi nampak semakin tersipu sipu, dengan perasaan apa boleh buat segera panggilnya :
“So yaya!”
Kemudian ia menundukkan kepala dan membungkam dalam seribu bahasa. Bu im sin hong Kian Kim siang menjadi gembira sekali, segera teriaknya keras keras :
“Saudara So, tepat kedatanganmu, Thi lote sedang mencurigai siaute telah bergabung dengan pihak Ban seng kiong dan menjadi tongcu dari ruangan Hian bu tong, padahal kita belum lama berpisah, harap kau suka menjadi saksi!”
Tiang pek lojin So Seng pak segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak.
“Haaahhh.... haaahhhh..... haaahhh apa jeleknya menjadi
tongcu dari istana Ban seng kiong? Saudara Kian, apa salahnya jika kau mengaku secara terus terang saja?”
Mendengar perkataan itu, kontan saja Bu im sin hong Kian Kim siang menjadi berdiri melongo, dia mengira Tiang pek lojin So Seng pak sengaja mengajaknya bergurau, buru buru serunya dengan gelisah :
“Kau... kau jangan jangan kau sedang mabuk?”
Paras muka Tiang pek lojin So Seng pak kembali berubah menjadi amat serius, ujarnya lebih jauh : “Lohu berada dalam keadaan yang sadar, mungkin kau sendiri yang sedang pikun sehingga melupakan diri, Eng ji toh orang sendiri, sudah seharusnya kita bersama sama mengajaknya, buat apa kau main sembunyi? Apakah hal inilah yang menjadi watakmu?”
Thi Eng khi sedang berkerut kening, dia merasa perkataan dari Tiang pek lojin So Seng pak amat menusuk pendengaran. Sementara dia masih termangu, terdengar Tiang pek lojin So Seng pak telah berkata lebih jauh :
“Ban seng kiong telah dipimpin langsung oleh Hian im Tee kun, lohu sudah ditarik menjadi tongcu ruangan Pek hou tong bersama Kian lo ”
Paras muka Thi Eng khi berubah berulang kali, tidak menunggu Tiang pek lojin menyelesaikan perkataannya, dengan sekujur tubuh gemetar keras ia telah menutupi sepasang telinganya sambil berteriak keras :
“Tidak! Tidak! Aku tak mau mendengarkan ”
Kemudian dia menjerit lagi :
“Ooo Thian!”
Tanpa membuang waktu dia segera membalikkan badan dan berlalu meninggalkan tempat itu. Dari belakang tubuhnya kedengaran suara Tiang pek lojin So Seng pak sedang berkata sambil tertawa terbahak bahak.
“Haahhh.... haaahhhh..... haaahhhh kakekmu Keng thian giok
cu Thi loko pun telah menerima perintah dari Tee kun untuk menjabat sebagai Tongcu ruangan Cing liong tong! Dia telah meninggalkan pesan yang memerintahkan kepadamu untuk segera menjumpainya dan menerima perintah!”
Sekali lagi Thi Eng khi berteriak keras, larinya tampak bertambah cepat lagi. Dalam keadaan seperti ini, Bu im sin hong Kian Kim siang tak sempat untuk menganggapi ucapan Tiang pek lojin lagi, dia segera berteriak keras :
“Thi lote!” Dengan cepat, dia mengejar dibelakangnya. Melihat itu, Tiang pek lojin So Seng pak tertawa tergelak semakin bangga lagi.
Ketika Ciu Tin tin mencapai di luar pintu gerbang Ban seng kiong setelah terhalang oleh Hian im Tee kun, ia kehilangan jejak dari Thi Eng khi, ia tahu setelah kehilangan jejaknya, maka bila ingin menyusulnya hal itu jauh lebih sulit daripada naik ke langit.
Dalam keadaan begini, dia lantas menundukkan kepalanya dan memandang sekejap kearah tulang kering sepanjang satu inci ditangannya itu, sementara otaknya berpikir kembali akan ucapan Hian im Tee kun yang meminta gurunya agar menjabat sebagai Tongcu ruangan Cu ciok tong dalam istana Ban seng kiong.
Setelah mempertimbangkan berat ringannya, sambil menggertak gigi akhirnya diputuskan untuk pulang ke gunung lebih dulu.
Mengapa Ciu Tin tin bisa munculkan diri dalam istana Ban seng kiong kali ini?
Ternyata pada malam ketika Thi Eng khi dan Bu im sin hong Kian Kim siang berpisah di bukit Sam yang hong tempo hari, karena Thi Eng khi telah berpekik lirih untuk memanggil kuda berbulu hitamnya, maka dalam keadaan ilmu Heng kian sinkang yang baru berhasil dipelajari dan belum mampu dikendalikan sebaik baiknya, ditambah lagi malam itu hening, akhirnya suara tersebut didengar pula oleh Ciu Tin tin yang sedang menangis.
Mendengar suara tersebut, Ciu Tin tin segera mengetahui siapakah orangnya, dia segera menyusul kedepan, sayang kemunculannya terlambat selangkah dan ia tak berhasil menjumpai bayangan tubuh dari Thi Eng khi.
Walaupun masih murung namun rasa sedih yang semula mencekam hatinya telah jauh berkurang. Paling tidak, ia sudah tahu kalau Thi Eng khi telah berhasil meloloskan diri dari bahaya maut.
Terdorong oleh gejolak perasaan pada hatinya, dia segera memutuskan untuk secara diam diam meninggalkan bukit Bu gi san, karena ia beranggapan sebelum dapat bertemu muka dengan adik Eng, sekalipun tinggal di Bu gi san, dia tak akan merasa lega hati.
Sewaktu dalam dunia persilatan tersiar berita yang mengatakan Thi Eng khi akan mendatangi istana Ban seng kiong seorang diri, Ciu Tin tin segera menyusul ke istana Ban seng kiong, akhirnya dia berjumpa dengan Thi Eng khi dan menghantar keberangkatan Huang oh siansu berpulang ke alam baka.
Walau sudah berjumpa, ternyata mereka tak mengucapkan sepatah katapun dan harus berpisah kembali, rasa sedih yang mencekam perasaan Ciu Tin tin benar benar tak terlukiskan dengan kata.
Akan tetapi bagaimanapun juga Ciu Tin tin memang seorang gadis yang luar biasa, berada dalam situasi yang amat kritis ini, dia memutuskan untuk mendahulukan soal tugas umum daripada kepentingan pribadi.
Maka ia mengurungkan niatnya untuk mencari Thi Eng khi dan berangkat pulang ke kuil Sam sim an dibukit Bu gi san untuk menyampaikan dahulu pesan dari Hian im Tee kun.
Sementara itu, Sim ji sinni yang telah membagikan Si toan kim khong kepada pendendam raja akhirat Kwik Keng thian dan Pek leng siancu So Bwe leng, dengan perasaan lega telah kembali ke kuil Sam sim an.
Karena itulah dia tak tahu kalau Thi Eng khi telah mendatangi istana Ban seng kiong seorang diri, waktu itu dia malah sedang sedih karena peristiwa terjatuhnya Thi Eng khi kedalam jurang dan perginya Ciu Tin tin tanpa pamit.
Sebenarnya Sim ji sinni bertindak semacam itu selama ini hanya bermaksud baik untuk Thi Eng khi, siapa sangka justru kebalikannya yang ditemui peristiwa tragedi ini segera membuat Sim ji sinni amat sedih bercampur menyesal. Tatkala Ciu Tin tin tiba kembali di kuil Sam sim an, Sim ji sinni saat itu sedang berdiri seorang diri diatas tebing sambil menahan rasa sedih dalam hatinya. Ciu Tin tin menjadi amat sedih setelah menyaksikan kejadian itu, dia segera berseru lirih :
“Suhu ...!”
Dengan cepat dia menubruk ke dalam pelukan Sim ji sinni dan menangis tersedu sedu. Agak lega juga hati Sim ji sinni menyaksikan Ciu Tin tin telah kembali dengan selamat, dibelainya rambut nona itu dengan kasih sayang, kemudian hiburnya :
“Anak Tin, dalam perjalananmu turun gunung kali ini apakah telah menjumpai suatu kejadian yang memedihkan hatimu?”
Setelah menangis sekian waktu, pelan pelan Ciu Tin tin baru dapat menenangkan kembali hatinya, dia lantas mengeluarkan lencana tulang putih pemberian Hian im Tee kun, kemudian tanya :
“Suhu, apakah kau kenal dengan lambang tulang kering ini?”
Begitu menyaksikan benda tersebut, paras muka Sim ji sinni segera berubah hebat serunya tanpa terasa :
“Omitohud dari mana kau dapatkan lencana Pek leng kut
tersebut ?”
Suaranya kedengaran gemetar keras, jelas nikou sakti dari kolong langit ini dibuat terperanjat setelah menyaksikan lencana pek leng kut tersebut ....
Meninjau dari perubahan wajah gurunya, Ciu Tin tin segera sadar kalau masalahnya amat gawat, maka secara ringkas dia lantas melaporkan semua pengalamannya sejak turun gunung.
Tatkala Sim ji sinni mendapat tahu kalau Thi Eng khi belum mati, hatinya merasa lega sekali, sambil memandang wajah Ciu Tin tin sekulum senyuman segera tersungging diujung bibirnya.
Akan tetapi, ketika ia mendengar Hian im Tee kun menitahkan kepadanya untuk menjabat tongcu ruangan Cu ciok tong dalam istana Ban seng kiong, paras mukanya kembali menjadi tegang, ia tampak tidak tenang sekali. Ciu Tin tin sama sekali tidak menyangka kalau gurunya bakal jeri terhadap manusia yang bernama Hian im Tee kun tersebut, dalam hatinya ia merasa sangat tidak puas, serunya :
“Tua bangka itu sungguh mengemaskan, lain kali jika anak Tin berjumpa lagi dengannya pasti akan kutunjukkan sedikit kelihayanku kepadanya!”
Rasa tegang yang semula mencekam perasaan Sim ji sinni agaknya terbuka juga oleh kepolosan Ciu Tin tin, dia segera tersenyum, katanya :
“Anak Tin, tahukah kau manusia macam apakah Hian im Tee kun tersebut...?”
“Hmmm tak lebih cuma seorang tua bangka berjubah hijau,
apanya yang luar biasa?”
Dengan kening berkerut, Sim ji sinni segera berkata :
“Berbicara soal Hian im Tee kun, dia merupakan seorang manusia yang paling hebat dalam dunia persilatan dewasa ini, aku belum bisa membayangkan siapakah diantara jago jago persilatan yang ada sekarang dapat mengalahkan dirinya.”
Ciu Tin tin segera teringat dengan kegagahan dari Keng thian giok cu Thi Keng, kakek dari Thi Eng khi, seharusnya dialah yang terhitung berilmu paling lihay, maka dengan riang gembira ujarnya :
“Kalau Keng thian giok cu Thi yaya masih berada di dunia, andaikata bisa menjumpai dia orang tua, rasanya tak sulit untuk merobohkan Hian im Tee kun tersebut!”
“Tenaga dalam yang dimiliki Keng thian giok cu Thi tayhiap berada seimbang denganku, padahal dengan kepandaian yang kumiliki sekarang paling banter hanya bisa tahan sebanyak seratus gebrakan belaka, aku rasa Thi lotoa juga tak akan lebih hebat daripada diriku.”
Sekarang Ciu Tin tin baru merasa sangat tegang, serunya dengan cepat : “Sebetulnya manusia macam apakah dia? Mengapa bisa sedemikian lihaynya ?”
“Berbicara soal asal usul dari gembong iblis ini, tak mungkin bisa selesai dalam sepatah dua kata saja, pokoknya dia merupakan seorang gembong iblis yang berkepandaian paling tinggi selama ratusan tahun belakang ini, sejak dua puluh tahun terjun ke dunia persilatan sampai sekarang belum pernah ada tandingannya, bahkan pada seratus tahun berselang, dunia persilatan sempat dibikin porak poranda oleh perbuatannya itu ”
Ketika berbicara sampai disitu, dia segera menghembus napas panjang ....
Ciu Tin tin segera menimbrung :
“Suhu, apakah kau tidak terlalu menyanjung kehebatan dari Hian im Tee kun itu? Seandainya dia lihay, sejak dulu dia sudah merajai dunia persilatan dan rasanya tak perlu untuk menunda sampai sekarang dan baru muncul serta mengalahkan para angkatan muda.”
Sim ji sinni segera tertawa.
“Anak Tin, kau jangan menimbrung dulu toh perkataanku belum selesai kuucapkan!”
“Tecu merasa amat tidak leluasa menyaksikan sikap congkak dan jumawa dari keparat tua itu, rasanya ingin sekali kuhajar dirinya habis habisan untuk melampiaskan rasa gemas didalam hati.”
“Untung saja pada waktu itu muncul seorang jago lihay yang sangat hebat dan berilmu tinggi, dalam suatu pertarungan yang hebat akhirnya dia berhasil mengalahkan Hian im Tee kun dan menghindarkan dunia persilatan dari tragedi yang mengenaskan.”
Ciu Tin tin segera merasakan semangatnya berkobar kembali, buru buru serunya :
“Siapakah dia dia orang tua? Masih hidupkah dia di dunia ini?
Mengapa kita tidak mengundang kemunculannya?” Sim ji sinni mendongakkan kepalanya dan memandang sekumpulan awan putih yang sedang bergerak diangkasa, setelah itu katanya lebih jauh :
“Dia sebelum mengalahkan Hian im Tee kun, dia hanya
seorang manusia tanpa nama dari dunia persilatan, tapi setelah mengalahkan Hian im Tee kun, belum lagi orang lain mengetahui namanya, dia sudah lenyap dari dunia persilatan, seakan akan sebuah bintang di langit saja, walaupun memancarkan sinar terangnya keempat penjuru namun sifatnya hanya sementara.”
Ciu Tin tin menjadi kecewa sekali, dia segera menghela napas panjang :
“Aaai. sungguh sayang.”
Mendadk hatinya tergerak, ia merasa sikap maupun cara gurunya berbicara nampak aneh sekali dan jauh berbeda dengan keadaan di hari hari biasa. Sorot mata yang memancar keluar dari balik matanya itu nampak begitu lembut dan halus, seakan akan tersimpan sesuatu dibalik kesemuanya itu.
“Aaaah, jangan jangan dia adalah ”
Berpikir sampai disitu, tanpa terasa lagi segera teriaknya tertahan
:
“Suhu, kau orang tua kenal dengannya?”
Tiba tiba paras muka Sim ji sinni berubah menjadi merah padam karena jengah, dipandanginya Ciu Tin tin sekejap, kemudian menjawab :
“Tidak, suhu tidak kenal dengannya!”
Kemudian setelah menghela napas panjang, lanjutnya :
“Suhu hanya tahu kalau dia adalah seorang murid dari Thio Biau liong locianpwe, bahkan akupun pun tahu kalau goa tempat tinggal dari Thio locianpwe terletak disekitar puncak Sam yang hong ini.”
Ciu Tin tin adalah seorang gadis yang cerdik, sekalipun gurunya selalu berusaha untuk menyangkal, tapi hal ini sama artinya dengan dia mengakui kalau punya hubungan yang luar biasa dengan manusia aneh tersebut, kalau tidak mengapa imamnya yang sudah tebal karena pertapaannya selama seratus tahun bisa menjadi goyah?
Cuma saja jalan pemikiran tersebut dia simpan dalam hati saja, sementara di wajahnya dia bertanya lagi sambil tersenyum :
“Suhu, dari mana kau bisa tahu kalau Thio locianpwe mempunyai tempat tinggal dekat dengan puncak Sam yang hong ini?”
“Kita adalah sama sama dalam pertapaan, tentu saja aku mengenalnya ”
“Suhu kalau kau menerangkannya sejak tadi, bukankah hal ini menjadi beres ?”
Terdengar Sim ji sinni menghela napas panjang, kemudian berkata lebih jauh :
“Ya dia pula yang memberitahukan kepadaku letak gua
pertapaan dari Thio locianpwe itu.”
Setelah berhenti sejenak, dengan wajah penuh kepedihan, dia berkata lebih jauh :
“Sayang sekali karena luka yang dideritanya terlampau parah, akhirnya dia terjatuh diatas batu hijau dan menghembuskan napas penghabisan ”
Sembari berkata, dia lantas menuding sebuah batu hijau di bawah sebatang pohon siong yang berada tak jauh dari sana.
“Jadi maksudmu, dia orang tuapun akhirnya kalah juga?” Kata Ciu Tin tin dengan sepasang mata agak basah.
“Siapa yang mengatakan dia kalah?” ujar Sim ji sinni serius, “hanya bisa dibilang dia terluka parah karena pertarungannya dengan Hian im Tee kun dan dia karena hendak
memberitahukan kepadaku soal yang menyangkut tentang gua pertapaan dari Thio locianpwe, siang malam dia menempuh perjalanan jauh datang kemari, akibatnya luka yang dideritanya makin parah dan akhirnya malah mencelakai jiwa sendiri.”
Sewaktu berbicara sampai disitu, dia tak sanggup menahan diri lagi, dua titik air mata segera jatuh bercucuran membasahi pipinya. Walaupun dibalik perkataannya itu masih terdengar suara cintanya dalam, namun Ciu Tin ti turut mengucurkan air matanya juga karena sedih, dia tak berani bertanya lagi karena kuatir akan semakin menyedihkan hati gurunya.
Guru dan murid saling berpandangan beberapa saat lamanya, mendadak Sim ji sinni menguasai kembali emosinya dan berkata dengan wajah bersungguh sungguh :
“Asal kita dapat menemukan gua pertapaan dari Thio locianpwe, kita pasti akan menemukan sebuah cara untuk menaklukkan Hian im Tee kun!”
Mendadak pada saat itulah dari atas pohon siong dekat batu hijau yang ditunjuk oleh Sim ji sinni tadi, berkumandang suara gelak tertawa amat nyaring.
“Haaahhh.... haaahhhh.... haaahhhh gua pertapaan dari Thio
locianpwe telah didatangi lebih dulu oleh orang lain!”
Bersamaan dengan berkumandangnya suara itu, Bu im sing hong Kian Kim siang telah munculkan diri didepan mata. Setelah menjura, dia lantas berkata :
“Puluhan tahun tak bersua, tak nyana kalau keadaanmu masih seperti sedia kala, sungguh patut digirangkan, sungguh patut diucapkan selamat.”
Padahal berbicara tentang tenaga dalam yang dimiliki Sim ji sinni, kendatipun Bu im sin hong Kian Kim siang memiliki ilmu meringankan tubuh hu kong keng im yang lihay, tak mungkin jejaknya tak akan diketahui olehnya dalam jarak lima kaki.
Akan tetapi berhubung dia sedang dicekam oleh suatu masalah yang memedihkan hatinya, maka akibatnya dia menjadi teledor dan kurang waspada. Sim ji sinni segera menitahkan kepada Ciu Tin tin untuk memberi hormat kepada Bu im sin hong Kian Kim siang, setelah itu ujarnya dengan wajah serius :
“Kian sicu mengatakan kalau gua pertapaan dari Thio locianpwe telah didatangi orang, benarkah itu?”
Sebenarnya Bu im sin hong Kian Kim siang mengucapkan perkataan itu tanpa sengaja, setelah ditanya oleh Sim ji sinni, dia baru teringat dam pesan dari Thio Biau liong yang melarang untuk membocorkan rahasia itu kepada orang lain.
Kontan saja paras mukanya berubah merah padam serunya dengan nada terbata-bata :
“Aku hanya salah berbicara saja, harap sinni sudi memaafkan, lohu tak berani melanggar perintah dari Thio locianpwe.”
“Oooh rupanya locianpwe yang telah berkunjung lebih dulu ke
situ !” seru Ciu Tin tin cepat. Sim ji sinni juga mengawasi wajah
Bu im sin hong lekat lekat, sementara senyuman menghiasi ujung bibirnya.
Dengan cepat Bu im sin hong Kian Kim siang menggoyangkan tangannya berulang kali sambil membantah :
“Bukan aku, bukan aku, masih ada orang lain, masih ada orang lain! Lohu hanya secara kebetulan saja mengiringi dirinya dan beruntung dapat menjumpai Thio locianpwe, jadi tak bisa dibilang sebagai ahli waris Thio locianpwe.”
Baru saja Ciu Tin tin hendak mendesak lebih jauh, sambil tertawa Sim ji sinni telah menukas :
“Anak Tin, kau tak usah bertanya lagi, orang yang bisa berada bersama dengan Kian sicu sudah pasti bukan manusia sesat, dengan begitu pinni pun boleh berlega hati.”
Sim ji sinni segera mempersilahkan tamunya untuk duduk, setelah menghidangkan air teh, kebetulan Bu naynay baru pulang dari luar, semua orang pun merupakan kenalan lama, maka begitu Bu naynay menyaksikan kehadiran Bu im sin hong Kian Kim siang, dengan paras muka berubah hebat serunya keras keras :
“Kian lotau, mau apa kemari? Apkah kau hendak membujuki sinni kami agar menerima kedudukan Tongcu tersebut?”
Rupanya dalam perjalanannya turun gunung kali ini, Bu naynay sempat mendengar orang bercerita tentang diadakannya ruangan Cing liong, Pek hou, Cu ciok dan Hian bu dalam istana Ban seng kiong, dimana sinni dicantumkan pula, maka diapun mengajukan pertanyaan tersebut.
Akan tetapi menyaksikan Ciu Tin tin juga hadir disitu, dia kesampingkan diri Bu im sin hong Kian Kim siang dan berkata kepada gadis tersebut :
“Tin ji, baik baiklah kau? Mengapa kau pergi tanpa pamit?
Membuat aku dan suhumu panik setengah mati! Lain kali kalau ingin pergi, kau mesti memberitahukan dulu kepada nenek, bila nenek menemanimu maka kita tak usah kuatir dengan segala tipu muslihat dalam dunia persilatan lagi...”
Luapan cinta kasih yang ditunjukkan membuat setiap orang merasa sangat terharu. Ciu Tin tin segera menggengam tangan Bu naynay yang telah berkeriput itu dan berkata dengan gembira :
“Dengan mengandalkan nama besar dari suhu dan nenek, siapa lagi yang berani mempermainkan diriku?”
Diumpak oleh Ciu Tin tin, Bu naynay kelihatan gembira sekali. “Anak Tin, pergilah beristirahat atau mungkin kau sudah lapar,
nenek akan segera menyiapkan hidangan untukmu!” Sambil tertawa dia lantas mengundurkan diri dari situ.
“Bu toanio,” teriak Bu im sin hong Kian Kim siang dengan lantang, “jangan lupa bagian lohu!”
Dalam kuil memang tersedia sayur dan nasi, maka dengan cepat hidangan telah disiapkan, cuma dia khusus buatkan dua macam sayur lagi yang diletakkan di depan Ciu Tin tin. Bu im sin hong Kian Kim siang yang menyaksikan hal itu segera menggoda Bu naynay yang dikatakan pilih kasih.
Selesai bersantap, mereka pun membicarakan lagi situasi dunia persilatan dewasa ini. Dalam pembicaraan itu, Sim ji sinni baru tahu kalau dalam setengah bulan saja, istana Ban seng kiong telah berganti pemilik dan muncul dengan wajah baru.
Yang membuat Sim ji sinni mendongkol bercampur marah adalah ucapan sesumbar dari Hian im Tee kun, dimana selain dia sendiri, Keng thian giok cu Thi Keng, Tiang pek lojin So Seng pak dan Bu im sin hong Kian Kim siang telah diundang untuk menjabat sebagai Tongcu.
Menurut Bu im sin hong Kian Kim siang, sewaktu dia berjumpa dengan Thi Eng khi dekat kota Sah si beberapa hari berselang, Thi Eng khi telah memandangnya sebagai Tongcu dalam istana Ban seng kiong.
Bahkan dengan mata kepala sendiri, dia menyaksikan Tiang pek lojin menerima jabatan tersebut, bahkan konon Keng thian giok cu Thi Keng juga telah tiba di istana Ban seng kiong. Oleh karena tak kuat menahan pukulan batin inilah, Thi Eng khi telah lenyap dari keramaian dunia persilatan.
Atau dengan perkataan lain, diantara empat manusia aneh dari kolong langit, sudah ada dua orang yang bergabung dengan Hian im Tee kun, sedangkan sisanya tinggal Sim ji sinni dan Bu im sin hong Kian Kim siang. Sim ji sinni sekalian bertiga menjadi murung dan amat kesal.
Bu im sin hong Kian Kim siang segera menghela napas panjang, katanya :
“Ada pun kedatangan lohu kemari mempunyai dua tujuan, pertama untuk merundingkan cara untuk menanggulangi persoalan ini, kedua menemukan kembali jejak Thi Eng khi.”
Kemudian setelah berhenti sejenak dan tertawa jengah, katanya lebih lanjut : “Sekarang persoalan telah berkembang jadi begini, lohu pun tak bisa memenuhi permintaan dari Thio locianpwe lagi, hendak kusampaikan sebuah kabar penting untuk kalian.”
“Kami akan mendengarkan dengan seksama!” Sim ji sinni sekalian bertiga segera menyahut dengan wajah bersungguh sungguh.
Dengan serius Bu im sin hong Kian Kim siang berkata : “Perkataan ini muncul dari mulut lohu, semoga hanya berakhir
dengan sampai di telinga kalian bertiga saja, jangan sampai ada orang lain yang mengetahuinya lagi.”
“Tak usah kuatir Kian sicu, kami semua akan menjaga rahasia ini dengan sebaik baiknya,” janji Sim ji sinni dengan wajah serius.
Bu im sin hong Kian Kim siang segera mendongakkan kepalanya berdoa dulu, kemudian baru berkata :
“Thi lote tak lain adalah orang yang telah mendapat warisan dari Thio locianpwe, lohu duga di dalam putus asanya kemungkinan besar dia masuk kembali ke gua pertapaan Thio locianpwe, maka dari itu aku sengaja datang kemari untuk mencarinya.”
“Oooooh!”
“Oooooh!” “Oooh...”
Ketiga orang itu saling berpandangan sekejap dengan wajah tertegun, siapapun tidak menyangka kalau orang yang berhasil mendapatkan warisan dari Thio locianpwe adalah Thi Eng khi.
Setelah jeritan kaget agak mereda, Sim ji sinni baru berkata lagi sambil tersenyum :
“Pinni sudah seratus tahun lamanya mencari tempat itu, tak nyana orang yang akhirnya berjodoh adalah Thi Eng khi, tampaknya Thian memang mengatur segala galanya. Nah, anak Tin, sekarang kau boleh merasa gembira bukan?” Tentu saja kegembiraan Ciu Tin tin melebih siapapun, segera tanyanya dengan cepat:
“Gua pertapaan dari Thio locianpwe itu berada dimana? Mari kita segera pergi untuk mencarinya!”
“Pintu keluar dari gua pertapaan itu letaknya berada di dalam sumur Bu sim cing di belakang kebun kuil.” Bu im sin hong Kian Kim siang kembali menerangkan.
Untuk kesekian kalinya ketiga orang itu menjadi tertegun dan berdiri termangu mangu. Sambil memandang kearah Ciu Tin tin, Bu im sin hong Kian Kim siang berkata lebih jauh :
“Sewaktu kami lolos dari kurungan tempo hari, Thi lote mendengar pula keluh kesah dari nona Ciu, sebenarnya dia hendak menjumpai nona, tapi entah apa yang terjadi kemudian dia telah bertekad untuk pergi meninggalkan tempat ini.”
Ciu Tin tin segera berkerut kening setelah mendengar perkataan itu, jelas nampak ia merasa kecewa dan sedih, pikirannya pun segera terjerumus dalam lamunan. Tak selang beberapa saat kemudian, dia baru berwajah cerah kembali, ujarnya sambil tertawa
:
“Adik Eng adalah seorang yang mengutamakan kesetiaan kawan, mungkin dia kuatir kalau sampai menunda urusan penting lainnya maka dia baru tidak memperdulikan soal ”
Kata ‘cinta’ yang seharusnya dikatakan, mendadak disabot dan diurungkan ....
Bu im sin hong Kian Kim siang segera tertawa terbahak bahak. “Haaahhhh..... haaahhhh..... haaahhhh nona Ciu nampaknya
kau sangat memahami perasaan hatinya!”
Ciu Tin tin menjadi tersipu sipu dibuatnya, dia segera membalikkan badan dan lari menuju ke kebun belakang, serunya :
“Mari kita segera mencari adik Eng!” Setibanya di tepi sumur Bu sim cing, dia siap sedia untuk melompat masuk ke dalam sumur itu. Siapa tahu baru saja, dia hendak melompat masuk, terasa lengannya ditarik orang, ternyata Bu im sin hong Kian Kim siang telah mencekalnya kencang kencang.
Terdengar Bu im sin hong Kian Kim siang berkata lagi : “Tunggu sebentar nona Ciu, air dalam sumur dingin sekali!”
Ciu Tin tin membelalakan matanya lebar lebar lalu berseru dengan wajah tertegun :
“Locianpwe, bukankah kau mengatakan sumur ini?”
Sim ji sinni dan Bu naynay memandang pula kearah Bu im sin hong Kian Kim siang dengan sorot mata yang sama. Menyaksikan itu, Bu im sin hong Kian Kim siang segera berkata :
“Mulut masuk menuju ke gua pertapaan Thio locianpwe terletak pada dinding sumur tiga kaki dari permukaan air, bila kau tak tahu letak pintu masuknya, sekalipun terjun ke air juga tak akan menemukan pintu tersebut, lebih baik lohu yang berjalan di depan!”
“Anak Tin, ucapan Kian sicu memang benar,” ucap Sim ji sinni pula, “mari kita menuju ke tepi sumur sambil menunggu petunjuk dari Kian sicu ”
Bu im sin hong Kian Kim siang segera menghimpun tenaga dalamnya dan berjalan ke tepi sumur, baru saja dia akan melompat turun, mendadak dari luar kebun nampak sesosok bayangan manusia berkelebat lewat, kemudian terdengar seseorang berteriak keras :
“Hati hati Sinni, jangan sampai tertipu oleh tipu muslihat orang, cepat cegah dia terjun ke sumur!”
Satu ingatan dengan cepat melintas dalam benak Sim ji sinni, cepat dia mengebaskan ujung bajunya melepaskan pukulan Boan yok sinkang untuk menutup mulut sumur itu, kemudian serunya :
“Kian sicu, harap tunggu sebentar, yang datang adalah Tiang pek lojin So sicu!” Tampak bayangan manusia berkelebat lewat, Tiang pek lojin So Seng pak telah munculkan diri disitu. Dalam waktu singkat, Bu im sin hong Kian Kim siang, Tiang pek lojin dan Sim ji sinni berdiri pada posisi yang berbeda dan saling bertatapan dengan sorot mata tajam.
Tiga orang dengan tiga hati dan tiga macam pikiran, tapi semuanya diliputi tanda tanya besar. Sebaliknya Bu naynay dan Ciu Tin tin hanya berdiri tertegun ditepi arena dengan mata terbelalak.
Yang datang memang Tiang pek lojin So Seng pak, dia muncul dengan membawa sikap seratus persen perasaan curiga terhadap maksud jelek Bu im sin hong Kian Kim siang.
Karena dalam pengejarannya terhadap Thi Eng khi, bukan saja dia telah mendengar tentang diangkatnya empat orang Tongcu oleh Ban seng kiong, bahkan dia telah menerima selembar surat permohonan.
Yang paling membuatnya tidak tahan adalah dengan mata kepala sendiri, dia menyaksikan Bu im sin hong Kian Kim siang dengan mengandalkan nama Ban seng kiong telah banyak melakukan perbuatan jahat dan keji di tempat luaran.
Sebaliknya Bu im sin hong Kian Kim siang juga mencurigai Tiang pek lojin sebagai utusan yang mendapat perintah dari Hian im Tee kun untuk mengadu domba mereka serta membujuk Sim ji sinni masuk perangkap.
Sim ji sinni berdiri dengan perasaan bingung dan tidak habis mengerti .....
Begitulah, untuk setengah harian lamanya ketiga orang itu berdiri saling berhadapan dengan wajah tegang. Kemudian Tiang pek lojin So Seng pek menjura kepada Sim ji sinni dan berkata :
“Tempo hari berkat bantuan dari sinni, cucuku Bwe leng berhasil selamat dari ancaman bahaya, waktu itu aku betul betul sudah pikun sehingga sama sekali tidak mengetahui kehadiran sinni, bilamana pelayananku kurang memadai, harap sinni sudi memaafkan.” Sim ji sinni segera tertawa setelah mendengar perkataan itu, ujarnya kemudian :
“Yang kurang hormat seharusnya adalah pinni, harap So sicu jangan menertawakan.”
Setelah sopan santun dilewatkan, Tiang pek lojin baru menuding kearah Bu im sin hong Kian Kim siang sembari berkata :
“Sinni, apakah kau mengetahui latar belakang yang sebenarnya dari orang ini?”
Melihat dirinya dituding oleh Tiang pek lojin, dengan cepat si angin sakti tanpa bayangan Kian Kim siang berseru pula :
“Sinni, hati hati dengan orang ini, perkataannya berbisa dan membahayakan persatuan kita.”
Baru saja Sim ji sinni hendak buka suara, Tiang pek lojin telah menimbrung kembali:
“Orang itu sudah menggabungkan diri dengan pihak Ban seng kiong kini dia menjabat sebagai ketua tongcu dari ruangan Hian bu tong!”
Mendengar perkataan itu, kontan saja Bu im sin hong Kian Kim siang melototkan sepasang matanya bulat bulat, teriaknya dengan cepat :
“Orang ini telah bergabung dengan pihak Ban seng kiong dan kini sebagai ketua tongcu ruangan Pek hou tong!”
“Omong kosong!” teriak Tiang pek lojin dengan gusar.
“Kau sendiri yang omong kosong,” balas Bu im sin hong Kian Kim siang tak mau kalah.
“Kau ”
“Kau ”
Keduanya tak mampu melanjutkan cekcoknya karena tak sanggup berkata kata lagi. Dengan cepat Sim ji sinni menenangkan hatinya, kemudian sambil menggelengkan kepalanya berulang kali dia berkata :
“Harap sicu berdua jangan cekcok disini, pinni tak mau mendengarkan perkataan kalian semua, sekarang lebih baik kalian berdua turun saja dari bukit ini.”
Tampaknya karena tak berdaya menghadapi kesulitan yang dihadapinya itu, terpaksa dia mengambil tindakan dengan mempersilahkan tamunya untuk pergi. Tiang pek lojin So Seng pak menjadi tertegun setelah mendengar perkataan itu, segera serunya :
“Lohu datang kemari karena sedang mengejar Thi Eng khi, harap sinni segera mengundang keluar Thi Eng khi, lohu ingin mengucapkan beberapa kata kepadanya sebelum pergi dari sini!”
Agaknya orang tua ini bermaksud untuk menjelaskan soal mati hidup Pek leng siancu So Bwe leng kepada si anak muda tersebut. Bu im sin hong Kian Kim siang yang mendengar perkataan itu, dengan cepat menimbrung.
“Asal lohu bisa berjumpa denngan Thi Eng khi, tak usah disuruh sinniipun aku bisa segera turun gunung sendiri.”
Ditinjau dari perkataan tersebut, tampaknya kedua orang itu sama sama tidak bersedia untuk pergi meninggalkan tempat itu. Sim ji sinni segera berkerut kening, mendadak serunya :
“Tin ji, antar tamu kita!”
Tiang pek lojin So Seng pak segera mendengus, dengan mencorong sinar tajam yang menggidikkan hati dia mengawasi wajah Bu im sin hong Kian Kim siang tanpa berkedip. Bu im sin hong Kian Kim siang pun mendongakkan kepalanya dan tertawa seram :
“Heeehhhh..... heeehhhh So Seng pak, kau memang betul
betul hebat, terutama sekali kepandaianmu untuk mengadu domba, betul betul luar biasa, lohu bersedia meminta petunjuk beberapa jurus ilmu silat darimu!”
Mendengar suasana semakin menegang, dengan cepat Ciu Tin tin menyelinap kedepan dan berdiri diantara kedua orang itu, kemudian sambil menjura kekiri kekanan serunya berulang kali : “Boanpwe menanti locianpwe berdua untuk turun dari gunung
.....”
Sebetulnya kedua orang itu sudah berniat untuk melakukan pertarungan adu jiwa, tapi lantaran Ciu Tin tin berdiri di tengah arena dan lagi untuk menjaga ‘gengsi’, tentu saja mereka tak bisa turun tangan secara gegabah.
Terpaksa sambil tertawa kering, mereka berdua saling berpandangan dengan mata melotot. Sim ji sinni tertawa dingin, tiba tiba selanya :
“Kalau toh kalian berdua sama sama tak pandang sebelah matapun terhadap yang lain, terpaksa pinni harus menghantar sendiri kepergian kalian berdua dari sini!”
Kemudian dengan wajah serius, dia menghimpun tenaga Boan yok sinkangnya hingga dua belas bagian, kemudian selangkah demi selangkah menghampiri mereka berdua.
Baru saja dia berjalan dua langkah, mendadak dari sisi arena muncul kembali sesosok bayangan manusia dan melayang turun diantara tiga orang itu, serunya dengan lantang :
“Sinni, dalam peristiwa ini terdapat kecurigaan yang maha besar, bagaimanapun urusan harus diperiksa dulu!”
Kehadiran orang itu ternyata sama sekali tidak dirasakan oleh ketiga tokoh persilatan tersebut, dari sini dapat diketahui kalau tenaga dalam yang dimiliki pendatang itu benar benar luar biasa hebatnya.
Tanpa terasa semua orang menjadi terperanjat dan bersama sama mendongakkan kepalanya. Ternyata pendatang itu adalah seorang kakek berambut perak berjubah biru dan berwajah penuh senyuman, dengan sorot mata tajam ia memandang sekejap kearah mereka bertiga lalu menjura kepada masing masing orang.
Begitu mengetahui siapa yang datang, Tiang pek lojin So Seng pak segera bersorak gembira :
“Toako! Siaute sungguh rindu kepadamu.”