Jilid 20
Thi Eng khi mencoba untuk memperhatikan keadaan di sekeliling tempat itu dengan sorot matanya yang tajam, rupanya dia sedang berada di dalam sebuah lorong rahasia. Penemuan yang tak terduga ini sangat menggirangkan hati Thi Eng khi, buru-buru dia mengebaskan ujung bajunya keatas untuk mengirim kembali tanah yang berguguran itu keatas lubang.
Dalam waktu singkat, lubang tersebut telah berhasil disumbat kembali olehnya menjadi seperti sedia kala, orang tak akan mengira kalau ditempat itu terdapat sebuah gua yang tembus dengan ruangan atas.
Selesai memeriksa hasil karyanya dan merasa puas, pemuda itu baru melanjutkan perjalanannya menelusuri lorong rahasia tersebut. Permukaan lorong itu tinggi rendah tidak menentu, seandainya tenaga dalam yang dimiliki tak sempurna sehingga bisa melihat keadaan disekitar sana dengan jelas, ia benar benar tak akan berani untuk menelusuri lorong rahasia tersebut. Sudah sekian lama dia melakukan perjalanan, akan tetapi belum juga keluar dari lorong tersebut, hatinya mulai merasa tegang, dia kuatir lorong tersebut tiada jalan keluarnya.
Untung saja pada saat itulah mendadak matanya terasa silau, tiba tiba ia saksikan ada cahaya terang memancar masuk dari atas dinding lorong, dia mengira di depan sana adalah jalan keluar dari lorong tersebut. Dengan perasaan girang, ia segera mempercepat larinya menuju kearah depan sana.
Menanti ia tiba didepan sumber dari cahaya tersebut, dia baru menjadi tertegun dan segera menghentikan perjalanannya. Rupanya cahaya terang itu bukan merupakan sebuah cahaya alam, melainkan memancar masuk lewat sebuah gua batu yang sangat besar. Bukan saja tempat itu bukan merupakan sebuah jalan keluar dari lorong rahasia tersebut, pada hakekatnya dia sudah salah arah.
Diatas pintu gua yang sempit diatas lebar dibawah hingga berbentuk segitiga terdapat sebuah batu penyekat yang besar dan lebar, diatas permukaan batu penyekat tadi tampak lukisan pemandangan yang sangat indah.
Kiranya cahaya yang memancar tadi berasal dari kedua sisi batu penyekat yang memantul diatas dinding lorong rahasia. Tak bisa disangkal lagi, dalam gua tersebut sudah pasti ada penghuninya.
Andaikata berada di hari biasa, dengan perasaan ingin tahu Thi Eng khi pasti akan menerobos masuk ke dalam untuk mengetahui apa gerangan yang berada di sana. Tapi keadaannya sekarang sama sekali berbeda, bukannya dia tidak merasa ingin tahu, adalah dikarenakan ia sangat menguatirkan keselamatan dari Pek leng siancu yang sedang meronta dari lembah kematian. Dia kuatir akan timbul kesulitan sehingga menunda perjalanan pulangnya ke bukit Siong san.
Maka dengan wajah serius dia berhenti, membalikkan badan dan balik kembali kearah semula. Hanya kali ini dia berjalan dengan gerakan yang jauh lebih lamban daripada semula. Lorong rahasia tersebut memang panjang sekali, entah berapa lama Thi Eng khi sudah berjalan tapi belum mencapai mulut gua juga, dengan perasaan kesal anak muda itu segera mempercepat perjalanannya. Mendadak mendengar serentetan suara langkah manusia berkumandang datang dari belakang punggungnya.
Dengan kesiap siagaan penuh Thi Eng khi segera mempercepat gerakannya dan melompat keluar dari mulut lorong lebih dulu.
Ternyata mulut lorong rahasia tersebut berada di balik batang pohon yang amat besar.
Ketika dia mendongakkan kepalanya, tampak di arah barat daya sana masih berwarna merah darah, tampaknya Huan im sin ang benar benar sangat bernapsu untuk membunuhnya, siapa tahu dia toh masih lolos juga dalam keadaan selamat, tanpa terasa sekulum senyuman tersungging diujung bibirnya.
Baru saja senyuman tersungging di ujung bibirnya, mendadak ia teringat kalau dari balik lorong ada orang hendak keluar, dia merasa tindakannya sekarang kelewat gegabah.
Buru buru dia menyelinap ke belakang pohon tersebut untuk menyembunyikan diri. Tak lama kemudian, dari balik mulut lorong rahasia itu melompat keluar dua sosok bayangan manusia.
Yang seorang adalah kakek bermuka putih yang mengenakan baju hijau, sedangkan yang lain adalah seorang gadis cantik yang berbaju warna hijau pula. Begitu memunculkan diri, tanpa membuang waktu lagi kedua orang itu segera menggerakkan tubuhnya menuju ke arah tempat kebakaran dimana Huan im sin ang sedang berusaha membakar mati Thi Eng khi.
Si anak muda itu hanya merasakan dua sosok bayangan manusia berkelebat lewat, tahu tahu bayangan hitam itu sudah tinggal setitik bayangan kecil dikejauhan sana. Sedemikian cepatnya gerakan tubuh kedua orang itu, untuk sesaat membuat pemuda kita menjadi termangu. Akhirnya setelah menghela napas dan menggelengkan kepalanya berulang kali, Thi Eng khi meneruskan perjalanannya menuju ke arah tujuan semula. Sepanjang perjalanan, ia tidak menjumpai halangan lagi, dengan lancar akhirnya sampai juga di kuil Siong gak bio.
Thi Eng khi benar benar merasakan hatinya amat tegang, tanpa berusaha untuk mencari tahu keadaan penyakit dari So Bwe leng lagi, dia segera berlarian menuju ke kamar tidur gadis itu. Tapi setibanya di depan kamar yang digunakan oleh Pek leng siancu So Bwe leng untuk merawat penyakitnya, dia baru menjumpai kalau keadaan sedikit tidak beres.
Ternyata pintu kamar tersebut tertutup rapat, debu nampak melapis diatas pintu tampaknya sudah banyak waktu tidak dibersihkan orang. Membayangkan apa yang terjadi, Thi Eng khi segera merasakan jantungnya berdenyut keras, sekujur tubuhnya seakan akan tercebur ke dalam gudang salju, kontan menggigil keras.
Dengan suara keras, ia lantas berteriak :
“Adik Leng, aku telah kembali!”
Dari dalam kamar tidak terdengar suara jawaban, sekarang dia merasa kehilangan keberanian untuk masuk ke dalam kamarnya, gumamnya dengan suara sedih :
“Aku ..... aku telah terlambat aku telah pulang agak
terlambat!”
“Thi sauhiap, siapa bilang kedatanganmu terlambat?” tiba tiba Boan san siang koay munculkan diri sambil berseru. Thi Eng khi tak dapat membendung airmatanya lagi, dia segera menangis terisak, katanya kemudian :
“Locianpwe berdua, bagaimana keadaan adik Leng?
Beritahukanlah kepadaku apa yang terjadi!”
“Harap Thi sauhiap jangan gelisah, nona So masih berada dalam keadaan sehat walafiat, mari kita berbincang bincang di sana.” Sambil berkata dia lantas mempersilahkan Thi Eng khi untuk duduk di ruang tamu. Thi Eng khi tidak begitu percaya dengan perkataan dari Toa koay (siluman pertama) Cia Pit. Menurut anggapannya besar kemungkinan kalau So Bwe leng sudah mengalami musibah, sedang apa yang dikatakan Toa koay tak lebih hanya bermaksud untuk menghibur hatinya.
Maka begitu duduk, dia lantas bertanya lagi dengan perasaan cemas :
“Kini adik Leng berada dimana? Harap locianpwe berdua sudi berbicara secara terus terang.”
Ji koay (siluman kedua) Cia Suan segera tertawa.
“Nona So betul betul berada dalam keadaan sehat, cuma kemungkinan besar Thi sauhiap tak bisa bertemu lagi dengannya.”
“Apa?” teriak Thi Eng khi dengan mata terbelalak.
“Penyakit yang diderita oleh nona So telah disembuhkan oleh seorang tokoh sakti tapi konon dia sudah enggan berjumpa lagi dengan sauhiap,” ucap Tia koay Cia Pit menerangkan.
Thi Eng khi segera merasa hatinya agak lega sebagian, ujarnya kemudian dengan suara lebih tenang :
“Mengapa?”
“Aaaai. rahasia hati nona So mana bisa diketahui orang lain?”
sahut Ji koay Cia Suan cepat, “bahkan So tua pun gagal untuk mengetahui sebab musababnya, maka dia orang tua terpaksa mengijinkan nona So untuk pindah dari kuil Siong gak bio ini.”
“Apakah locianpwe tahu mereka telah berpindah ke tempat mana?”
“Tujuan dari nona So meninggalkan tempat ini adalah untuk menghindari diri dari sauhiap tapi So tua diam diam telah meninggalkan pesan kepadaku, silahkan sauhiap segera menyusul ke situ.” Ia lantas memberitahukan alamat baru dari Tiang pek lojin itu kepada Thi Eng khi. Tak sempat banyak bertanya lagi, Thi Eng khi segera mohon pamit dan berlalu dari situ. Dengan mengikuti petunjuk dari Boan san siang koay, setelah membuang banyak waktu dan tenaga akhirnya ia berhasil juga menemukan beberapa buah rumah gubuk di tengah Siong san.
Thi Eng khi segera berpekik nyaring dari luar rumah, betul juga Tiang pek lojin segera munculkan diri dari balik rumah tersebut.
Perjumpaan itu sangat mengharukan sekali, Thi Eng khi tidak mengisahkan dahulu pengalamannya, melainkan buru buru menanyakan keadaan dari Pek leng siancu So Bwe leng :
“So yaya! Bagaimanakah keadaan adik Leng?”
Menyaksikan kecemasan yang mencekam perasaan Thi Eng khi, sebenarnya Tiang pek lojin ingin mengutarakan apa yang sebenarnya terjadi, tapi diapun kuatir cucu perempuannya marah, maka dengan wajah memerah segera sahutnya :
“Dia sangat baik, cuma setelah melawan musibah besar itu, dia menjadi putus asa dan kecewa terhadap kehidupan keduniawian, ia ribut ingin menjadi pendeta, sudah lohu bujuk berulang kali tapi gagal, kemarin ia telah mencukur rambut menjadi pendeta.”
Selesai mengucapkan perkataan itu, kembali ia menghela napas panjang, walaupun helaan napasnya panjang, padahal sama sekali tidak mengandung nada sedih. Waktu itu pikiran Thi Eng khi sedang kalut, tentu saja ia tak dapat menangkap nada tersebut.
Kontan saja paras mukanya berubah menjadi pucat pasi, dengan sedih katanya lagi :
“So yaya, sebetulnya apa yang menyebabkan adik Leng mencukur rambutnya menjadi pendeta?”
Tapi kemudian dengan setengah nada menduga ia mengumam : “Yaa mungkinkah dia marah kepadaku karena tempo hari aku
tidak memikirkan keselamatan jiwanya sehingga menyebabkan dia terluka? Tapi ...... tidak tidak mungkin, hal itu merupakan kerelaannya sendiri untuk berkorban demi kepentingan seluruh umat persilatan, dia tak akan menyalahkan diriku!”
Setelah termenung sebentar, dengan kening berkerut katanya lagi :
“Jangan jangan dia masih marah karena aku pulang agak terlambat?”
Tapi selanjutnya dia berguman lebih jauh :
“Tidak, dia seharusnya tahu kalau aku sudah berusaha dengan segala kemampuan yang kumiliki.”
Thi Eng khi hanya tahu bergumam sambil menduga, hal mana membuat Tiang pek lojin So Seng pak merasa terharu sekali. Selain itu, ada sepasang mata yang mengintip dari balik kegelapan pun turut mengucurkan airmatanya dengan deras, hampir saja dia membatalkan niatnya untuk melanjutkan rencana nakalnya itu.
Mendadak Thi Eng khi berkata dengan wajah serius :
“So yaya, apakah adik Leng berada di dalam ruangan, aku hendak berjumpa muka dengannya?”
Tiang pek lojin segera menuding ke arah sebuah kuil nikou yang berada ratusan kaki dari situ, kemudian menjawab :
“Anak Leng menjadi pendeta di dalam kuil pendeta disebelah sana ”
Setelah berhenti sejenak dia menambahkan,
“Tapi dia enggan untuk berjumpa dengan dirimu, sekalipun kau kesana juga tak berguna.”
Thi Eng khi sama sekali tidak menggubris perkataan dari Tiang pek lojin, begitu selesai mendengarkan perkataan itu, dia segera menggerakkan tubuhnya melejit dari sana, hanya dalam beberapa kali lompatan saja ia telah tiba di depan kuil nikou tersebut.
Menanti si anak muda itu sudah berlalu, Tiang pek lojin baru berpaling ke dalam rumah sambil membentak : “Anak Leng, telah mempermainkan anak Eng khi, bukan cuma kau saja yang berdosa bahkan yaya pun ikut bersalah!”
Pek leng siancu So Bwe leng segera melompat keluar dari dalam rumah, lalu dengan suara lembut dia berseru :
“Biar tahu rasa! Siapa suruh dalam hati kecilnya dia masih mempunyai perempuan lain.”
Dengan perkataan itu maka terbongkarlah rahasia hati So Bwe leng. Rupanya entah darimana, diapun tahu kalau Thi Eng khi menaruh perasaan cinta kepada Ciu Tin tin, dia menjadi cemburu sehingga berniat untuk memberi sedikit penderitaan buat si anak muda itu.
Sampai sekarang Tiang pek lojin baru tahu kalau cucu perempuannya adalah seorang pencemburu, tak kuasa lagi dia berseru :
“Aaai...... aaai. kesemuanya ini adalah kesalahan yaya yang
kelewat memanjakan dirimu!”
Seraya berkata dia lantas berjalan menuju ke arah kuil nikou tersebut .....
Sambil mengejar dari belakang, Pek leng siancu So Bwe leng segera berseru :
“Yaya! Jika kau benar benar hendak mencampuri urusanku, anak Leng betul betul tak akan menggubris dirimu lagi!”
Terpaksa Tiang pek lojin harus menghentikan langkahnya, setelah menghela napas dia berkata :
“Nak, semoga kau tahu diri dan jangan berbuat kebangetan!”
Pek leng siancu So Bwe leng segera tersenyum :
“Tak usah kuatir yaya, anak Leng mengetahui hal ini ”
Setelah mendengar perkataan tersebut, Tiang pek lojin baru tertawa lega, bersama Pek leng siancu berangkatlah mereka menuju ke arah kuil nikou itu. Dalam pada itu, Thi Eng khi sedang berteriak dengan perasaan cemas di luar pintu kuil : “Adik Leng! Adik Leng! Siau heng Eng khi mohon berjumpa dengan dirimu ”
Ia sudah berteriak beberapa kali, namun dari dalam ruangan kuil tak kedengaran sedikit suarapun. Dalam gelisahnya Thi Eng khi segera menuju ke depan sambil melancarkan sebuah pukulan ke atas pintu kuil. Dengan tenaga dalam yang dimilikinya sekarang, sudah barang tentu pintu kuil tersebut tak akan tahan menerima pukulannya.....
“Blaaammmm!” kontan saja pintu kuil tersebut terpentang lebar.
Dari dalam kuil itu terdengar seseorang menjerit kaget, kemudian tampak bayangan manusia berkelebat lewat, dihadapannya telah berdiri dua orang nikou setengah umur yang menghadang jalan pergi si anak muda itu.
Tegur dengan suara dingin,
“Sauhiap, kau adalah seorang ketua dari suatu perguruan besar, mengapa begitu tak tahu diri? Tahukah kau tempat ini adalah sebuah kuil nikou ?”
Thi Eng khi bertindak kasar hanya dikarenakan dorongan emosinya yang meluap luap, dia tidak memikirkan soal perbedaan antara lelaki dan wanita, apalagi tempat itu sebagai suatu kuil kaum nikou.
Menanti jalan perginya terhadang dan kedua orang nikou itu mulai menegur, dia baru dibikin tersipu sipu karena malu, mukanya merah padam, sampai sekian lamanya ia tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Salah satu diantara nikou setengah umur itu segera menegur sambil tertawa kering :
“Sauhiap, bila kau tiada persoalan lain, harap segera mengundurkan diri dari sini!”
Segera Thi Eng khi berlalu, sekarang ia sudah tak punya muka lagi untuk berdiam disitu lebih lama, tak berani mendongakkan kepalanya lagi, ia segera menjejakkan kakinya dan melompat keluar dari kuil tersebut kemudian menghela napas panjang.
Belum sampai dia berjalan mundur sejauh sepuluh langkah, mendadak dari belakang tubuhnya berkumandang suara teriakan dari seorang nikou setengah umur :
“Sauhiap, harap kembali, coba lihatlah siapa yang sedang munculkan diri ini?”
Dengan cepat Thi Eng khi membalikkan badannya, tampak seorang nikou cilik berdiri tenang di depan pintu, seperangkat jubah pendeta yang berwarna abu abu menutupi tubuhnya yang kecil mungil, membuat siapapun yang memandang terasa beriba hati.
Dengan sempoyongan anak muda itu segera memburu kedepan. Tapi nikou yang menyaru So Bwe leng itu segera membentak keras :
“Jangan mendekat!”
Thi Eng khi tertegun segera menghentikan gerakan tubuhnya, teriaknya keras keras:
“Adik Leng!”
“Sauhiap, harap tahu diri, sebagai seorang pendeta harap kau jangan memanggil lagi dengan nama awamku!”
Suaranya dingin, sikapnya juga dingin, membuat perasaan Thi Eng khi yang hangat segera berubah menjadi dingin kembali, ia jadi tergagap dan untuk sesaat lamanya tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
“Kau....... kau ”
Kesedihan yang mencekam perasaan Thi Eng khi tak terlukiskan lagi dengan kata kata. Tiang pek lojin yang bersembunyi di balik kegelapan segera berpaling dan melotot sekejap kearah Pek leng siancu So Bwe leng yang berada disisinya lalu menegur :
“Anak Leng, sebetulnya apa tujuanmu? Mengapa kau menyuruh dia mengucapkan kata yang begitu kasar?” “Aku sama sekali tidak suruh budak itu mengucapkan kata-kata seperti ini,” bantah Pek leng siancu So Bwe leng cepat. Kemudian dengan kening berkerut, dia berkata lagi dengan gemes,
“Sialan betul budak tersebut, aku pasti akan memberi pelajaran kepadanya.”
Selesai berkata dia sudah menerjang kedepan siap memberi pelajaran kepada penggantinya itu. Tapi tindakan tersebut segera dicegah oleh Tiang pek lojin, katanya dengan cepat :
“Anak Leng, jangan gegabah, bayangkan sendiri keadaanmu sekarang, apakah kau bisa menampilkan dirimu? Jalan terbaik pada saat ini adalah dengan tenang menghadapi perubahan, nah inilah
pembalasan bagi perbuatan sok pintarmu itu.”
Akhirnya Pek leng siancu dapat dibujuk juga oleh kakeknya sehingga membatalkan niatnya untuk keluar, tapi ia menjadi gemas sekali sampai menggertak giginya berulang kali.
Setelah menegur cucu kesayangannya, dengan suara lembut kembali Tiang pek lojin berkata :
“Nak, kau harus tenang .....! Tenang kau harus tenang
menghadapi keadaan.”
Pek leng siancu So Bwe leng segera mendongakkan kepalanya kembali memandang kearah depan. Ia menyaksikan orang yang menggantikan dirinya itu sudah berubah sama sekali sikapnya sebagai seorang pendeta, setelah tertawa terkekeh kekeh katanya :
“Engkoh Eng, kau menjadi marah bukan? Haaahhhh.....
haaahhhhh...... haaaahhhh aku hanya mengajak kau bergurau!”
Walaupun Pek leng siancu So Bwe leng adalah seorang yang tidak mempersoalkan masalah kecil, tapi dia masih tahu untuk menjaga diri, sikapnya sama sekali tidak sebrutal ini.
Kontan saja Thi Eng khi menjadi serba salah dibuatnya, dia tidak tahu bagaimana harus menjawab. So Bwe leng yang sembunyi di balik kegelapan justru semakin bertambah gusar, makinya berulang kali. “Tidak tahu malu! Tidak tahu malu! Benar benar tidak tahu malu!”
Ternyata nikou kecil itu sangat pandai bermain sandiwara, setelah tertawa, kembali wajahnya berubah menjadi dingin seperti es, katanya lagi :
“Kau jangan keburu senang dulu, aku bukanlah So Bwe leng yang kau idam idamkan, So Bwe lengmu sudah mampus!”
Mendengar perkataan itu, Thi Eng khi segera mendongakkan kepalanya dan menghela napas panjang.
“Aaaai. adik Leng, kau tak usah bersikap begitu, akupun tak
tahu sebabnya kau begitu membenciku, sekalipun dijelaskan juga suatu tindakan yang percuma, kalau toh kau menganggap dirimu sudah mati, siau heng hanya bisa menyimpan bayanganmu yang lalu didalam hati. Sekarang, siau heng hendak mohon diri dulu!”
Selesai berkata, dia lantas membalikkan badannya dan berlalu dari situ. Si nikou cilik yang menyaru sebagai So Bwe leng segera membentak keras :
“Berhenti! Coba kau amati sekali lagi siapakah aku?”
Sambil berkata, dia lantas mengusap wajahnya, seketika itu juga paras mukanya berubah sama sekali. Kini yang muncul adalah seraut wajah cantik yang diliputi hawa pembunuhan, sedikitpun tidak mirip dengan wajah Pek leng siancu So Bwe leng.
Bahkan So Bwe leng asli dan Tiang pek lojin yang bersembunyi dibalik kegelapan pun merasakan kejadian tersebut sama sekali diluar dugaan, saking kagetnya mereka sampai tercengang, mimpipun mereka tidak menyangka kalau orang itu adalah seseorang yang menyaru sebagai So Bwe leng, bukan gadis yang berwajah mirip So Bwe leng.
Dari sini dapat diketahui kalau orang itu memang datang kesitu dengan membawa rencana busuk. Sementara mereka masih termenung, perubahan yang terjadi di tengah arena sudah berlangsung amat cepat. Tampak Thi Eng khi maju selangkah ke depan, lalu teriaknya keras :
“See sebenarnya siapakah kau? Mengapa menyaru sebagai
adik Leng untuk mempermainkan aku?”
“Terus terang kuberitahukan kepadamu, adik Leng mu telah mampus karena penyakitnya tak terobati, oleh karena So loyacu kuatir kau bunuh diri untuk menjaga nama maka dia sengaja mengatur rencana ini untuk menipumu, dia minta aku mewakili nona Leng untuk memutuskan hubungan denganmu, tapi karena aku tak tega membiarkan kau dimaki orang sebagai manusia yang tak berperasaan maka ”
“Sreet! Sreet...... Sreet ! Tiga batang ranting pohon dengan
kecepatan luar biasa langsung meluncur kedepan dan mengancam jalan darah Hian ki hiat, Jit kan hiat serta Ki bun hiat ditubuh nikou kecil tersebut.
Menyusul kemudian tampak sesosok bayangan manusia menerjang keluar dari balik pohon seraya membentak,
“Anak Eng, jangan percaya dengan perkataannya itu, apa yang dikatakan semuanya tidak betul!”
Begitu Thi Eng khi mendengar suara dari Tiang pek lojin, tanpa berpaling lagi dia mengeluarkan ilmu Hu kong keng im untuk berkelebat meninggalkan tempat itu, ia tidak berbicara, tidak berpaling, pun tidak menghentikan gerakan tubuhnya.
Tiang pek lojin segera melambung ketengah udara dia mengejar kearah Thi Eng khi, berbareng itu juga pesannya kepada So Bwe leng,
“Anak Leng, jangan lepaskan siluman perempuan itu, untuk menjelaskan kesalahan paham dari anak Eng, kau harus menahannya.”
Padahal sebelum Tiang pek lojin meninggalkan pesannya tadi, So Bwe leng telah menerjang kearah nikou cilik itu dengan geramnya. Ternyata sambitan tiga batang ranting kering yang dilepaskan Tiang pek lojin tadi, berhubung tenaga serangannya kelewat kecil, maka bukan saja tak sanggup untuk melukai nikou cilik itu malahan oleh ayunan tangan nikou cilik itu, serangan itu berbalik meluncur kearah So Bwe leng.
Hal mana tentu saja membuat repotnya So Bwe leng, dia harus bersusah payah untuk menghindari diri sebelum akhirnya berhasil meloloskan diri dari ancaman tersebut. Hawa amarah yang berkobar di dalam dadanya waktu itu tentu saja tak terlukiskan lagi dengan kata, kontan saja dia mencaci maki.
“Budak sialan yang pingin mampus, kau benar benar tak ingin hidup rupanya ...”
Sepasang telapak tangannya segera diayunkan kian kemari bersama sama untuk mendesak tubuh si nikou cilik itu. So Bwe leng sudah memperoleh kepandaian warisan keluarganya, tenaga dalam yang dimilikinya amat sempurna, dia sudah merupakan seorang jago yang amat menonjol diantara kaum muda.
Oleh karena itu sangat membenci nikou cilik itu, maka serangan yang dilancarkan hampir semua ditujukan kearah tujuh buah jalan darah kematian di tubuh nikou cilik tersebut, sedikitpun tidak mengenal ampun.
Ternyata nikou cilik itu sama sekali tidak berusaha untuk menghindarkan diri, ia berdiri tenang disitu dengan wajah sinis, lalu ejeknya :
“Kau benar benar tak tahu diri.”
Ujung bajunya segera dikebaskan ke depan melancarkan sebuah pukulan dahsyat yang memaksa tubuh So Bwe leng tergetar mundur sejauh dua langkah lebih. So Bwe leng adalah seorang yang berangasan walaupun dia tahu kalau tenaga dalam yang dimiliki nikou cilik itu lebih tinggi daripada kepandaiannya, tapi ia tidak gubris tentang soal itu, tubuhnya segera merendah kemudian mendesak kemuka, dengan menggunakan jurus Pit gwat siu hoa (menutup rembulan bunga terkuncup malu) yang disertai tenaga sebesar sepuluh bagian, dihantam jalan darah Jit Kan hiat diatas dada nikou cilik itu. Sedingin es paras muka nikou cilik itu, ujarnya dingin : “Sekalipun kau ingin mati, sekarang masih belum waktunya
bagimu untuk mati, lebih baik berbaring saja disini sambil menunggu kedatangan yayamu nanti!”
Jari tangannya bagaikan sebatang tombak yang berubah menjadi serentetan cahaya putih, segera menembusi angin pukulan So Bwe leng dan menotok jalan darah Cian keng hiat dibahu gadis tersebut.
So Bwe leng harus berganti sampai empat macam gerakan untuk meloloskan diri dari ancaman itu, namun usahanya itu toh gagal, dia tidak berhasil juga menghindarkan diri dari totokan nikou cilik itu sehingga tubuhnya segera terhajar telak.
Dasar wataknya memang keras dan tak mau takluk kepada orang, walaupun jalan darah ditubuh So Bwe leng sudah tertotok namun mulutnya tak mau berhenti memaki :
“Budak anjing, budak sialan, jika kau punya keberanian, hayolah bebaskan nyonya mudamu, mari kita bertarung sampai salah seorang diantara kita mampus!”
Nikou cilik itu melotot sekejap kearah So Bwe leng dengan gemes, kemudian menjawab :
“Gara gara membantumu bermain sandiwara, aku harus mengorbankan rambutku yang indah, kalau diingat kembali sungguh menggemaskan, hmmm! Aku harus menghadiahkan dua tamparan kepadamu untuk melampiaskan rasa mangkel dalam hati.”
“Plooook! Plooook!” dia segera menampar pipi kiri dan pipi kanan So Bwe leng keras keras sehingga muncullah bekas telapak tangan yang merah membara. Selain itu juga menotok jalan darah bisunya agar gadis itu tak mampu mendamprat lagi, hal mana tentu saja menggusarkan So Bwe leng tapi kecuali melotot penuh kegusaran, apalagi yang bisa dia lakukan?
Setelah menampar So Bwe leng, nikou cilik itu segera menuding kearahnya sambil mendengus, ujarnya : “Hmmm, seorang gagah tak akan bekerja sembunyi sembunyi, aku adalah tuan putri dari istana Ban seng kiong, kali ini kuampuni jiwamu. Jika kau hendak membalas dendam, aku akan selalu menantikan kedatanganmu di dalam istana Ban seng kiong!”
Diiringi tertawa merdu, nikou cilik itu segera berkelebat keluar dari ruangan kuil dan lenyap di belakang bukit sana. Ternyata nikou cilik itu adalah seorang gadis yang dicari Huan im sin ang untuk menggantikan Pek leng siancu menjadi seorang kiongcu dari istana Ban seng kiong.
Oleh karena gadis itu pandai mengumpak dan lagi sangat mencocoki selera Huan im sin ang, maka ia amat disayang oleh iblis tua tersebut, bukan saja segenap kepandaian silat yang dimilikinya diwariskan kepadanya, bahkan jalan darah jin meh dan tok mehnya juga telah ditembusi. Itulah sebabnya tenaga dalam yang dimilikinya jauh melebihi kemampuan dari So Bwe leng.
Kali ini Huan im sin ang mengutusnya untuk menyelundup ke samping So Bwe leng, sebetulnya hanya dimaksudkan untuk meninggalkan mata mata disitu, sungguh di luar dugaan hasil yang kemudian berhasil diraih sama sekali diluar dugaan, hal ini boleh dibilang merupakan hasil karya dari tindakan So Bwe leng sendiri yang sok pintar.
Dalam pada itu, Tiang pek lojin telah mengerahkan tenaga dalamnya sebesar dua belas bagian untuk mengejar Thi Eng khi, walaupun tidak berhasil menyusulnya akan tetapi dia merasa yakin akhirnya akan berhasil, sebab menurut anggapannya kendatipun pemuda itu hebat, tak mungkin tenaga dalamnya bisa menangkan dia.
Siapa tahu, meski sudah sekian lama hasil tetap nihil bahkan ketika Thi Eng khi mengetahui kalau dirinya disusul terus, mendadak ia percepat tubuhnya sehingga tampaklah serentetan asap biru berkelebat lewat, tahu tahu bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas .... Dalam keadaan seperti ini, terpaksa Tiang pek lojin harus menghentikan gerakan tubuhnya sambil berdiri termangu mangu, dia tak tahu bagaimanakah perasaannya ketika itu, terpaksa dengan perasaan uring uringan dia balik kembali.
Melihat So Bwe leng kembali menderita kerugian ditangan orang, setelah membebaskan jalan darahnya, dia bertekad hendak mendidik gadis ini menjadi lebih lihay lagi, maka pada hari itu juga dikirim ketempat kediaman seorang tokoh persilatan untuk mendalami kepandaian silat yang dimilikinya.
Semenjak terjadinya peristiwa itu, So Bwe leng juga merasa bertobat, wataknya sama sekali berubah, dia memusatkan segenap perhatiannya untuk melatih diri secara tekun.
Dalam pada itu, Thi Eng khi telah tiba di sebuah lembah yang terpencil setelah berhasil meloloskan diri dari pengejaran Tiang pek lojin, sambil duduk termenung diatas batu cadas, dia melakukan permikiran selama tiga hari tiga malam.
Semua tugas dan kewajiban yang harus dilakukannya sepanjang hidup dilakukan suatu pemeriksaan yang terakhir. Akhirnya dia mengambil suatu keputusan. So Bwe leng meninggal dunia gara garanya, maka dalam pandangannya ia tak boleh hidup sendiri di dunia ini, bahkan semakin bertekad untuk menghabisi nyawa sendiri sebagai penebus dosa.
Hanya saja dia merasa tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan selama ini masih belum terselesaikan sehingga mustahil bagi dirinya untuk menghabisi nyawanya pada saat ini.
Demikianlah, dia lantas bersumpah akan menghabisi jiwanya tiga tahun kemudian, selam tiga tahun dia berusaha keras untuk menyelesaikan beberapa persoalan, antara lain :
Pertama, mencari peta lukisan Kun eng toh yang hilang Kedua, ia pernah melepaskan Huan im sin ang satu kali, maka
diapun bertekad hendak menaklukkan kembali iblis itu kemudian diserahkan kepada para jago untuk dihukum mati, dengan demikian kepercayaan orang akan pulih kembali. Ketiga, membangun kembali Thian liong pay dan membawa perguruan itu menuju ke kejayaan.
Selewatnya tiga tahun, bila segala sesuatunya dapat berjalan lancar, maka untuk memenuhi janjinya, dia akan menghabisi nyawa sendiri. Dalam tiga tahun ingin membangun kembali kejayaan Thian liong pay, hal ini bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Thi Eng khi bisa berpikiran demikian berarti yag dibutuhkan sekarang adalah menganggap satu hari sebagai dua hari, segala persoalan yang dilaksanakan hanyalah ‘Cepat! Cepat! Cepat!’
Tanpa sangsi lagi dia meletakkan sasarannya yang paling utama pada istana Ban seng kiong di puncak Wong soat hong di bukit Wu san. Begitu keputusan diambil, tanpa memperdulikan lagi janjinya dengan Bu im si hong Kian Kim siang, ia segera berangkat menuju ke bukit Wu san.
Dengan tekad kedatangannya pasti mendatangkan hasil, sepanjang jalan ia melanjutkan perjalanannya secara terang terangan. Ketika tindakan itu tersiar ke telinga Huan im sin ang, baru saja Pek leng siancu So Bwe leng gadungan melaporkan hasil yang dicapainya.
Huan im sin ang sama sekali tidak menyangka kalau kebakaran besar itu gagal membunuh pemuda tersebut, dlaam keadaan kaget timbullah satu ingatan keji dalam hatinya, ia segera memerintahkan orang untuk membangun sebuah ‘sambutan hangat’ yang meriah buat musuhnya, bila Thi Eng khi sudah datang nanti maka dia akan dibunuh secara keji.
Walaupun Thi Eng khi telah berhasil mendapatkan ilmu Heng kian sinkang peninggalan Thio Biau liong sehingga kelihayannya begitu luar biasa melebihi orang lain, tapi berhubung orang lain tidak menyangka akan taraf kepandaian dimilikinya sekarang maka terhadap tindakannya mendatangi istana Ban seng kiong seorang diri boleh dibilang amat memuji, tapi mereka tidak mengharapkan suatu hasil yang besar dari kedatangannya ke sarang lawan.
Paling banter mereka cuma tertawa sambil memuji : “Yaa, kalau anak muda bisa memiliki keberanian seperti itu, hal mana memang pantas dipuji!”
Tentu saja hal itu hanya sebatas pada orang orang yang tidak memahami tentang dirinya atau tidak menaruh perhatian kepadanya. Padahal dilain pihak terdapat banyak orang pula yang meras gelisah dan cemas sekali atas perbuatan yang dilakukan oleh Thi Eng khi tersebut.
Diantaranya terdapat seseorang yang paling istimewa, dia dengan seribu macam alasannya berusaha mendahului Thi Eng khi untuk tiba lebih dahulu di istana Ban seng kiong.
Dengan gerakan tubuh yang paling cepat, dia berjalan menelusuri semak belukar menghindari penghadangan penghadangan yang dipersiapkan Huan im sin ang dan muncul di depan pintu gerbang istana Ban seng kiong yang sudah dihiasi dengan rapi itu.
Kemunculannya ibarat malaikat yang turun dari kahyangan, ternyata dari delapan belas orang lelaki berbaju hijau yang berdiri kedua belah sisi pintu gerbang Ban seng kiong tak seorangpun yang tahu ia datang dari arah mana.
Orang itu sama sekali tidak menggubris kedelapan belas orang lelaki berbaju hijau itu, dia masih berlagak seakan akan tidak tahu. Sebaliknya kedelapan belas orang lelaki itupun tetap berdiri tegak di tempat semula bagaikan sebuah patung, tak seorangpun diantara mereka yang menghalangi perjalanannya.
Di balik pintu merupakan sebuah tanah lapang kecil, berdiri ditengah arena dia berseru lantang :
“Siauceng Huang oh, mohon berjumpa dengan Huan im sin ang!”
Suaranya keras dan lantang, menembusi pintu yang berlapis dan bergema disisi telinga Huan im sin ang. Baru saja dia selesai berkata, dari ruangan disisi kanan gedung istana muncul dua orang pemuda berbaju hijau, dengan gerakan tubuh yang cekatan mereka melompat kedepan dan menghadang dihadapan Huang oh siansu. Jangan dilihat potongan badan mereka halus lembut seperti anak sekolah, ternyata ucapannya kasar sekali. Terdengar pemuda tampan yang ada disebelah kiri segera membentak nyaring :
“Istana kami tidak berjodoh dengan kaum pendeta atau hwesio, hei, kepala gundul lebih baik kau segera enyah dari hadapan sauya!”
“Omitohud” seru Huang oh siansu, “Sauhiap menitahkan siauceng keluar dari sini, apakah tidak takut ditegur oleh sancu?”
“Hei, hwesio! Kau manusia macam apa? Tak mungkin Sancu akan bersikap hormat terhadap manusia macam kau ” pemuda yang
berada disebelah kanan meraung gusar.
Belum habis dia berkata, mendadak dari dalam istana terdengar seorang gadis berseru nyaring :
“Cho yu ji tong (dua bocah kiri kanan), jangan kurang ajar!”
Menyusul kemudian sesosok bayangan manusia berbaju hijau melayang keluar dari dalam ruangan istana dan melayang turun dihadapan Huang oh siansu, kemudian sambil mengulapkan kedua tangannya kepada dua orang pemuda tampan itu, serunya :
“Enyah kalian berdua dari sini!”
Tampaknya kedua orang pemuda tampan itu merasa takut sekali dengan gadis berbaju hijau itu, dengan hormat dia segera mengiakan :
“Baik!”
Dengan cepat mereka mengundurkan diri dari tempat itu.
Sepeninggal mereka berdua, gadis berbaju hijau itu baru berkata kepada Huang oh siansu :
“Sancu mempersilahkan siansu masuk.”
Huan im sin ang tidak muncul untuk menyambut sendiri kedatangannya, otomatis Huang oh siansu lah yang diminta untuk masuk kedalam istana guna menjumpainya. Sebagai seorang pendeta, Huang oh siansu tidak terlalu memperdulikan kepongahan Huan im sin ang, sambil tertawa segera sahutnya :
“Silahkan nona!” Dengan mengikuti dibelakang gadis berbaju hijau itu, Huang oh siansu masuk kedalam istana Ban seng kiong, ia saksikan Huan im sin ang sedang duduk dikursi utama dengan sikap yang pongah, ternyata ia sama sekali tidak menggerakkan tubuhnya meski melihat Huang oh siansu berjalan masuk ke dalam.
Hanya tegurnya dengan dingin :
“Hei hwesio, ada urusan apa kau datang mencari diriku?”
Huan im sin ang memang telah berhasil menyelidiki kalau Huang oh siansu tinggal di utara puncak Huang soat hong, oleh karena dia pernah menolong jiwa Thi Eng khi dan sanggup memunahkan pengaruh Jit sat cinya, maka semenjak semula dia telah menganggapnya sebagai salah seorang musuhnya.
Walaupun begitu, hingga sekarang dia masih belum mengetahui siapa gerangan Huang oh siansu yang sebenarnya. Sikap Huang oh siansu amat tenang, katanya pelan :
“Sudah lama aku mendengar kalau siauseng memiliki ilmu Jit sat hiam im sinkang yang sangat lihay, oleh karena itu, sengaja siauceng datang kemari untuk meminta petunjukmu!”
Huan im sin ang sama sekali tidak menyangka kalau hwesio itu mengetahui banyak tentang dirinya, sedikit banyak terperanjat juga hatinya setelah mendengar ucapan itu. Tapi air mukanya sama sekali tidak berubah, hanya katanya dengan suara dingin:
“Hwesio, kalau toh kau mengetahui tentang ilmu Jit sat hian im singkang, tentunya kau juga tahu akan kelihayannya, yakinkah kau dengan kepandaian silat yang kau miliki itu sanggup untuk melawan lohu?”
Huang oh siansu masih tetap tertawa, jawabnya :
“Siauceng hendak mencoba untuk melawan kepandaian sakti sin ang dengan ilmu sian thian bu khek ji gi sin kang, sanggup atau tidak, siauceng tak berani sembarangan menduga.”
“Ooh, kau adalah anggota Thian liong pay?” seru Huan im sin ang dengan wajah tertegun. Huang oh siansu memang datang dengan suatu tujuan tertentu, maka diapun tidak bersikap rahasia terhadap lawannya, dengan berterus terang sahutnya :
“Siauceng bernama Thi Tiong giok, tentunya sin ang tak akan merasa asing dengan nama ini bukan?”
Lan ih cu tok Thi Tiong giok adalah seorang jago kenamaan dari dunia persilatan, sekalipun masa berkelananya dalam dunia persilatan amat singkat, namun namanya amat termashur, bahkan jauh lebih terkenal daripada sekawanan ciangbunjin dari dunia persilatan lainnya.
Yang dikatakan manusia punya nama pohon punya bayangan seketika itu juga suasana dalam ruangan istana itu menjadi gempar, seruan tertahan bergema dari sana sini. Huan im sin ang sendiri juga nampak agak tertegun tapi dengan cepat ia dapat mengendalikan diri kembali, dia segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak untuk menutupi kegugupannya sendiri.
“Ooh... rupanya kau adalah Lan ih cu tok Thi tayhiap yang amat termashur itu, maaf..... maaf ”
Walaupun ucapannya amat sungkan, tapi sama sekali tidak mempersilahkan tamunya untuk duduk, dia membiarkan Huang oh siansu tetap berada di tengah ruangan. Huang oh siansu sendiri bertujuan untuk membereskan Huan im sin ang kalau bisa sebelum kedatangan Thi Eng khi disitu, agar apa yang diharapkan bisa tercapai, maka diapun tidak terlalu memperdulikan sikap Huan im sin ang yang tak tahu sopan itu, hanya katanya :
“Apakah sin ang bersedia memberi petunjuk?”
Huan im sin ang yang licik segera tersenyum simpul, sahutnya cepat :
“Aaah, mana! Mana !”
Ucapannya tiada berarti, hal tersebut sama artinya dengan tidak berbicara, sementara sepasang mata iblisnya dialihkan kewajah seorang kakek bermuka hitam yang berada disisi kanannya. Sekalipun dia tidak mengucapkan sepatah katapun, namun kakek itu segera melompat kedepan, kemudian serunya kepada Huang oh siansu :
“Sin ang adalah seorang sancu yang sangat terhormat, ia tak bakal sudi untuk bertarung melawan seorang hwesio liar macam kau, bila kau bersikeras ingin bertarung, lohu bersedia memberi petunjuk satu dua jurus serangan kepadamu.”
Nadanya sombong dan sikapnya sangat tekebur. Huang oh siansu memperhatikan kakek berbaju hitam itu sekejap kemudian katanya :
“Sudah lama siauceng mendengar akan nama besar Im hong kui jiu (tangan setan angin dingin) Thio tayhiap, sungguh beruntung hari ini bisa mendapat kesempatan untuk memperoleh petunjuk, silahkan!”
Tubuhnya yang berdiri ditengah arena mendadak melambung tiga depa ketengah udara kemudian setelah satu lingkaran, pelan pelan dia melayang keluar menuju ketengah lapangan diluar ruang istana.
Kalau dibilang, gerakan itu sederhana sekali, tapi cukup menggetarkan perasaan setiap orang, kontan saja paras muka semua orang berubah sangat hebat. Perlu diketahui ilmu meringankan tubuh memang dikuasai setiap orang, tapi bukan semua orang bisa melakukan gerakan melambung dengan begitu pelan ditengah udara, bila seseorang tidak memiliki ilmu yang maha dahsyat, jangan harap hal mana bisa dilakukan.
Kawanan jago golongan hitam yang berada dalam ruangan kontan saja menjadi amat terperanjat, mereka tidak menyangka kalau musuhnya berilmu begitu lihay. Terutama sekali Im hong kui jiu Thio Put cay, hatinya dingin separuh lebih dulu, dia tahu kalau kepandaian silat yang dimilikinya masih terpaut jauh bila dibandingkan dengan Huang oh siansu.
Maka ia tak berani mengeluarkan ilmu meringankan tubuhnya, dengan suatu lompatan biasa dia turut keluar dari ruangan istana. Huang oh siansu bukan orang bodoh, ia sudah memahami maksud hati dari Huan im sin ang, agaknya dia sendiri tidak berniat untuk bertarung dengannya, maka dia hendak menggunakan jiwa anak buahnya untuk menggantikan kedudukannya.
Jelas andaikata hal itu sampai terjadi, maka tujuan yang telah disusunnya selama ini akan terbengkalai, hal mana berarti amat tidak menguntungkan bagi dirinya. Seketika itu juga dia menyusun satu rencana baru untuk menanggulangi keadaan tersebut.
Perlu diketahui, dimasa lalu Lan ih cu tok Thi Tiong giok adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, walaupun sudah menjadi hwesio namun selama ini diapun harus memikirkan soal keselamatan Ciu Tin tin dengan ibunya, betul iapun mendalami ilmu agama Buddha, namun pikirannya belum dapat melepaskan sama sekali dengan soal keduniawian.
Sudah barang tentu dia tak ingin melakukan suatu pengorbanan yang tak berguna. Maka ia tak ingin bertarung didalam ruang istana, dia berusaha untuk mencari kesempatan agar bisa bertarung langsung dengan Huan im sin ang.
Dengan berhasilnya memancing keluar Im hong kui jiu Thio Put cay dari dalam ruangan, sudah barang tentu dia berhasil pula memancing Huan im sin ang serta begundalnya keluar pula dari dalam ruangan.
Ketika Huan im sin ang menyaksikan jumlah anak buahnya yang hadir di arena amat banyak, dimana setiap saat dia dapat membunuh hwesio itu kalau mau maka diapun tidak memperoleh hal mana didalam hati, otomatis diapun tak sampai membayangkan rencana yang sedang disusun oleh Huang oh siansu.
Sebelum pertarungan dilangsungkan, baik Huang oh siansu maupun Im hong kui jiu Thio Put cay memperhatikan sekejap posisi lawannya, kemudian tanpa sungkan lagi dia berseru :
“Silahkan!”
Kemudian pendeta itu sama sekali tidak berkutik, dia hanya mengawasi wajah Im hong kui jiu Thio Put cay tanpa berkedip, sedang dalam hatinya segera menyusun satu rencana, dia ingin mengalahkan musuhnya dalam satu gerakan, kemudian menggunakan kesempatan dikala semua orang sedang tertegun dia akan menerjang langsung kearah Huan im sin ang.
Im hong kui jiu Thio Put cay sesungguhnya adalah seorang manusia yang sudah banyak tahun melakukan kejahatan di dalam dunia persilatan, diapun tanpa sungkan sungkan segera berseru :
“Maaf !”
Tangan kirinya segera menyambar ke depan, cakar setannya yang direntangkan lebar lebar langsung menyambar ke depan dengan dahsyatnya. Siapa tahu belum sampai ancaman itu mencapai tengah jalan, ia sudah merasakan pergelangan tangannya menjadi kaku, tahu-tahu lengannya telah terjatuh pula ke tangan Huang oh siansu.
Belum sempat Im hong kui jiu Thio Put cay melakukan sesuatu tindakan, kembali tubuhnya sudah diangkat oleh Huang oh siansu dan dilemparkan ke tubuh Huan im sin ang. Bersamaan itu pula Huang oh siansu dengan gerakan Ji im sui heng langsung menyusul pula kearah depan tubuh iblis tua tersebut.
Tubuh Im hong kui jiu Thio Put cay bergerak didepan sementara tubuh Huang oh siansu mengikuti dari belakang, tapi lantaran gerakan tubuhnya kelewat cepat, orang lain hanya merasakan bayangan tubuh Huang oh siansu tahu tahu lenyap tak berbekas, ia tidak tahu jika pendeta tersebut sebenarnya membuntuti di belakang Im hong kui jiu.
Huan im sin ang sendiri, walaupun dia sempat menyaksikan Huang oh siansu mengikuti dibelakang tubuh Im hong kui jiu Thio Put cay sambil menerjang ke depan, tapi ia tidak mengetahui apakah yang menjadi maksud tujuan dari Huang oh siansu.
Maka dari itu, terpaksa dia harus mengayunkan telapak tangannya lebih dulu untuk menghajar tubuh Im hong kui jiu Thio Put cay sampai mencelat mampus ke tanah. Setelah itu sambil berkelit ke samping dia baru mengejek sambil tertawa seram : “Benarkah kau bersikeras hendak mencari lohu untuk bertarung?”
Huang oh siansu berhenti kurang lebih lima kaki di depan tubuh Huan im sin ang, dalam jarak sedekat ini berbicara untuk jago jago lihay seperti Huang oh siansu maupun Huan im sin ang, tak mungkin akan membiarkan orang ketiga untuk turut serta dalam pertarungan ini.
Sudah barang tentu Huan im sin ang tak dapat menunjukkan kelemahannya di hadapan para anak buahnya dan menolak untuk bertarung melawan Huang oh siansu.
Sementara itu Huang oh siansu tidak sungkan sungkan lagi, tenaga dalam Sian thian bu khek ji gi sin kang yang dimilikinya segera dihimpun mencapai sepuluh bagian setelah itu dengan wajah serius dia berkata :
“Sin ang, bila kau merasa tak sanggup untuk memberi perlawanan, tentu saja siauceng akan sudahi persoalan sampai disini saja!”
Kena dipegang dengan kata kata oleh musuhnya, terpaksa Huan im sin ang harus tertawa terbahak bahak.
“Haaahhhh..... haaahhhhh..... haaahhhhh kalau toh siansu
berhasrat besar, tentu saja lohu tak akan membuatmu kecewa, marilah lohu akan memberi beberapa petunjuk kepadamu!”
Setelah itu kepada para jago lainnya, dia mengulapkan tangannya seraya berkata :
“Kalian semua mundurlah sejauh lima kaki dan saksikan pertarungan ini dengan tenang tenang bila ada yang berani ikut serta dalam pertarungan ini, akan dihukum dia dengan hukuman mati.”
Untuk memperlihatkan gengsi sendiri, mau tak mau terpaksa ia mesti bersikap demikian. Sudah barang tentu hal ini pun disebabkan karena dia yakin bisa menangkan Huang oh siansu. Kemudian Huan im sin ang berkata lagi kepada Huang oh siansu. “Siansu, kau hendak menggunakan senjata apa?”
“Pinceng akan menggunakan sepasang telapak tangan ini saja,” sahut Huang oh siansu sambil mempelihatkan sepasang tangannya.
“Kalau begitu, kita bertarung untuk saling beradu tenaga dalam, ataukah hendak beradu jurus serangan?”
“Semuanya digunakan dan kita boleh pergunakan semua kemampuan yang dimiliki!”
Dari ancaman tersebut, setiap orang dapat menarik kesimpulan bahwasanya Huang oh siansu memang bertekad untuk bertarung sampai titik penghabisan. Walaupun Huan im sin ang tak pernah memandang sebelah matapun terhadap orang lain, dalam keadaan demikian, mengerut juga keningnya, ia lantas berseru :
“Siansu, apakah antara kau dengan lohu mempunyai dendam sakit hati sedalam samudera?”
“Demi melenyapkan bibit bencana bagi umat persilatan, mengapa harus mempunyai dendam sakit hati lebih dulu baru bertarung?”
Ambisi Huan im sin ang memang menguasai seluruh dunia persilatan, tentu saja ia enggan untuk beradu jiwa dengan Huang oh siansu, sebab entah menang atau kalah, baginya tindakan tersebut merupakan suatu tindakan yang tidak cerdas.
Sorot matanya segera dialihkan ke sekeliling tempat itu dengan harapan bisa mengalihkan sasaran Huang oh siansu kesasaran lainnya. Tapi Huang oh siansu yang datang dengan tujuan mengajak musuhnya bertarung sampai titik penghabisan, sudah barang tentu tak ingin memberi kesempatan bagi Huan im sin ang untuk mengembangkan permainan busuk lainnya.
Diapun kuatir bila terlalu mengulur waktu maka akibatnya bisa terjadi hal hal yang tak diinginkan sehingga rencananya gagal total maka tanpa memperdulikan soal tata kesopanan lagi, dia segera melontarkan sebuah pukulan sambil berseru :
“Maaf, pinceng akan melancarkan serangan lebih dahulu!” Dia melakukan suatu dorongan yang enteng dan pelan, tiada hembusan angin dan tiada sesuatu keistimewaan, semua orang tidak dapat menyaksikan dimanakah letak kelihayannya. Tapi Huan im sin ang justru merasa terkejut sekali, untuk menyimpan tenaga, dia tak ingin melakukan serangan serangan yang bersifat adu kekerasan.
Maka seraya berkelit dari ancaman tersebut, cakar mautnya segera diayunkan kemuka mencengkeram bahu Huang oh siansu.
Dia tidak berniat beradu tenaga maka ia berharap bisa menangkan Huang oh siansu dengan jurus serangannya. Pertarungan semacam ini akan lebih menguntungkan baginya, karena sekalipun berlangsung ratusan jurus juga tak sampai merusak kekuatannya, asal beristirahat sebentar saja dia masih mempunyai cukup modal untuk menghadapi kehadiran Thi Eng khi.
Huang oh siansu yang kena didesak, terpaksa harus menggetarkan sepasang telapak tangannya, kemudian menyambut datangnya serangan lawan dengan ilmu pukulan Thian liong ciang.
Kedua orang itu sama sama mengandalkan jurus serangan yang cepat untuk saling bertarung dalam waktu singkat lima puluh gebrakan sudah lewat. Mendadak Huang oh siansu merubah permainan pukulannya, kini telapak tangannya bagaikan sebatang golok dengan serangan kilat yang berantai secara beruntun melancarkan sembilan buah serangan dahsyat.
Kesembilan buah serangan itu dilancarkan secara beruntun dan sukar diduga arah tujuannya, seketika itu juga seluruh angkasa diliputi oleh bayangan telapak tangan yang menguasai tiga puluh enam buah jalan darah penting diseluruh tubuh Huan im sin ang.
Berada dalam keadaan begitu, asalkan Huan im sin ang berani cabangkan sedikit pikirannya saja, niscaya sebuah pukulan dahsyat itu akan merenggut nyawanya. Huan im sin ang memang seorang jago yang sangat lihay, melihat datangnya ancaman yang begitu dahsyat dari musuhnya, dengan suatu gerakan yang lincah dia bergerak kesana kemari berusaha untuk menghindarkan diri dari kedelapan buah serangan itu. Tapi dia hanya sempat meloloskan diri dari kedelapan buah pukulan itu, pada serangan yang terakhir, dalam keadaan terdesak terpaksa dia harus menyambut pukulan itu dengan keras melawan keras.
Akibatnya Huang oh siansu tergetar muncur sejauh dua langkah, jarak dengan lawannya pun selisih lima depa lebih. Sedangkan Huan im sin ang juga tergetar mundur sejauh dua langkah, tapi dia hanya mundur sejauh empat depa lima inci saja. Dari selisih lima inci tersebut dapat diketahui kalau tenaga dalam yang dimiliki Huan im sin ang masih memiliki kemampuan Huang oh siansu.
Dalam pandangan seorang ahli persilatan dari bentrokan kekerasan itu bisa ditarik kesimpulan bahwa Huan im sin ang berhasil meraih kemenangan....
Tapi berhubung Huang oh siansu telah bertekad untuk mengadu jiwa, maka didalam pengaruh, dia malah justru tampak lebih berwibawa dan mengerikan.
Pertarungan antara jago jago lihay, selamanya memang dilangsungkan dengan suatu kecepatan yang tak dapat dilukiskan dengan kata kata, tentu saja kawanan jago biasapun tak dapat mengikuti jalannya pertarungan itu dengan jelas. Semua orang hanya merasa ada dua gulungan bayangan manusia saling berpisah, lalu bergerak maju kembali, siapapun tak sempat melihat kalau kedua orang itu telah melangsungkan suatu pertarungan adu kekerasan.
Begitulah, pertarungan kembali berkobar dengan sengitnya antara kedua orang itu, bayangan manusia saling menyambar dan untuk sesaat sulit buat orang lain untuk membedakan mana yang Huan im sin ang dan mana pula yang Huang oh siansu.
Pukulan demi pukulan yang dilepaskan dengan penuh tenaga segera menimbulkan pula pusaran angin berpusing yang maha dahsyat disekeliling arena, hal mana memaksa para penonton terpaksa harus mundur sejauh beberapa kaki dari tempat semula. Dalam pada itu, dari bawah kaki bukit barusan telah dilepaskan tanda rahasia berwarna merah, hal itu menandakan kalau Thi Eng khi sudah bergerak naik gunung. Tapi pada waktu itu tak ada orang yang memperhatikan tanda rahasia tersebut, karena sorot mata semua orang telah terhisap oleh jalannya pertarungan yang sedang berlangsung di tengah arena. Thi Eng khi dengan suatu gerakan tubuh yang sangat cepat bergerak terus keatas bukit....
Ketika dia menjumpai bayangan manusia yang sedang bertarung di tengah arena hampir saja jantungnya melompat keluar dari dadanya karena terperanjat. Dengan kemampuan yang dimiliki Thi Eng khi sekarang, hanya didalam sekilas pandangan saja, dia sudah tahu betapa berbahayanya situasi pertarungan yang sedang berlangsung sekarang.
Sekalipun Huan im sin ang tidak berhasrat untuk beradu jiwa, tapi setelah dipaksa oleh Huang oh siansu dalam suatu pertarungan adu jiwa, mau tak mau terpaksa dia harus melakukan perlawanan pula dengan sepenuh tenaga.
Pertarungan semacam ini bila dibiarkan berlangsung terus maka entah siapa yang menang dan siapa yang kalah, akhirnya kedua belah pihak pasti akan menderita kerugian yang hampir sama saja.
Apalagi dalam pandangan Thi Eng khi, dia bisa melihat kalau ilmu silat dan tenaga dalam yang dimiliki oleh Huang oh siansu masih kalah setingkat bila dibandingkan dengan kemampuan Huan im sin ang. Kelebihan yang sedikit saja bagi seorang jago lihay, kadangkala justru menentukan kemenangan pula bagi pihaknya.
Sudah barang tentu Thi Eng khi juga sudah melihat kalau Huang oh siansu bertarung dengan tekad harus berhasil meraih kemenangan. Mendadak bayangan manusia yang sedang saling bergumul itu berpisah satu sama lainnya. Mereka telah saling beradu kekuatan sekali dan masing masing pihak mundur sejauh tiga langkah. Thi Eng khi segera melompat masuk ketengah arena, kemudian teriaknya keras keras :
“Tunggu sebentar!”
Huang oh siansu sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Thi Eng khi untuk berbicara lebih lanjut, ujung bajunya cepat cepat dikibaskan kearah Thi Eng khi, kemudian bentaknya keras keras :
“Mundur! Bila kau berani mencampuri urusan ini berarti kau adalah seorang anak yang tidak berbakti!”
Thi Eng khi berpekik sedih, menggunakan kesempatan itu dia segera melompat mundur ke belakang. Dengan cepat Huan im sin ang dan Huang oh siansu terlibat kembali dalam suatu pertarungan yang seru.
Setelah kena digetar mundur oleh Huang oh siansu tadi, Thi Eng khi dapat menyaksikan pula sorot matanya yang tegas tapi penuh kasih sayang itu, tak terlukiskan lagi perasaan sedih yang mencekam perasaannya sekarang.
Dia tahu sekalipun dia pertaruhkan sebutan ‘anak tak berbakti’ dengan terjun kedalam arena, belum tentu persoalan tersebut bisa diselesaikan dengan baik. Diapun cukup memahami akibat dari keturutcampurannya dalam pertarungan itu, hal mana akan sama artinya dengan dia membunuh ayahnya sendiri, karena Huang oh siansu pasti akan tak akan memaafkan perbuatannya dan bunuh diri.
Sebab hal ini mempengaruhi nama baik Thian liong bun, mempengaruhi nama baik keluarga Thi. Hmmm!
Dalam tubuh Thi Eng khi mengalir darah dari keluarga Thi, mengenakan pakaian dandanan Thian liong pay, bila dia yang harus menghadapi keadaan yang sama, niscaya diapun akan melakukan pikiran dan tindakan yang sama pula.
Perasaannya pada saat ini benar benar amat sakit, dia merasa bagaikan ada beribu ribu batang anak panah yang menembusi dadanya tapi ia masih tetap berusaha untuk menahan diri, mendadak pandangan matanya menjadi gelap dan hampir saja tubuhnya roboh terjengkang keatas tanah.
“Adik Eng!”