Website Cerita Silat Indomandarin Ready For Sale

 
Jilid 17

Terdengar si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian menghela napas panjang, lalu katanya :

“Usia lohu sudah mencapai seratus sembilan tahun, kehidupan yang kelewat lama kadangkala justru menjemukan, tapi lohu tidak rela kalau disuruh mati karena terkena sergapan orang secara licik. Oleh karena itu, buru buru aku berangkat pulang ke rumah, aku ingin menggunakan segenap pengetahuanku tentang ilmu pertabiban serta ilmu tusuk jarum untuk menambah kekuatanku, kemudian dengan mengandalkan sisa kekuatan yang kumiliki akan kucari penyergap itu guna membuat perhitungan sekalian melenyapkan bencana dari dunia persilatan, siapa tahu luka tersebut kambuh kelewat cepat, seandainya tidak berjumpa dengan sauhiap, maka usahaku selama ini akan sia sia belaka.”

Setelah berhenti sebentar, dia melanjutkan kembali :

“Ilmu Kim ciam kok hiat gi kang ci hoat (ilmu tusukan jarum emas menghimpun tenaga) telah membuat sisa tenaga murni terakhir yang lohu miliki terpancar keluar walaupun untuk sementara waktu aku tak bakal mati bahkan tenaga dalam ku berlipat ganda, tapi selewatnya sepuluh hari aku akan kehabisan tenaga ibaratnya lentera yang kehabisan minyak, dan saat itulah merupakan saat bagi lohu untuk meninggalkan dunia yang fana ini.“

Sekarang Thi Eng khi baru mengerti apa sebabnya secara tiba tiba semangat si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian bisa berkobar dengan hebatnya, meski begitu ada satu hal yang masih membingungkan hatinya maka tak tahan dia lantas bertanya :

“Locianpwe, andaikata kau tidak mempergunakan ilmu Kim ciam kok hiat gi kang ci hoat, maka kau bisa “

Meskipun perkataan itu tidak dilanjutkan, namun apa maksudnya sudah cukup jelas.

Dengan cepat tabib sakti itu menjawab :

“Itu berarti aku masih harus menderita selama seratus hari lamanya, sauhiap menurut pendapatmu cara kematian macam apakah yang paling baik ?“

Mengetahui kalau luka tersebut masih dapat bertahan seratus hari lamanya Thi Eng khi merasa agak lega juga untuk keselamatan So Bwe leng tapi bila teringat kalau tenaga dalam serta kondisi badan So Bwe leng tidak seprima keadaan dari Kwik Keng thian, dia mulai meragukan lagi waktu yang seratus hari itu.

Namun kekuatiran tersebut hanya berlangsung sebentar saja, karena dengan cepat dia telah melimpahkan segenap harapannya pada kakek yang berada di hadapannya sekarang. Maka dengan cepat dia memusatkan perhatiannya untuk berpikir bagaimana caranya menjawab pertanyaan terakhir dari Kwik Keng thian itu.

Dengan kening berkerut katanya kemudian :

“Menurut pendapat boanpwe, keputusan locianpwe untuk beradu jiwa dengan gembong iblis itu dalam waktu sepuluh hari bukanlah suatu cara yang tepat!“

Mendengar jawaban tersebut, si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian menjadi tertegun.

“Sauhiap, jelaskan perkataanmu itu!“ “Tahukah locianpwe, keparat manakah yang telah melukai dirimu itu ?“

“Agaknya sauhiap telah menyinggung tadi, dia adalah Huan im sin ang hanya saja lohu kurang jelas manusia macam apakah Huan im sin ang tersebut.“

Dengan mempergunakan kesempatan itu, Thi Eng khi lantas menerangkan garis besar tentang gembong iblis itu, akhirnya dia menambahkan lagi :

“Selain berhati keji dan banyak akal muslihatnya, gembong iblis tua itupun pandai sekali ilmu menyaru muka, jangan toh batas waktu sepuluh hari amat singkat sehingga harapan locianpwe untuk menemukan dirinya amat minim, sekalipun bisa berhadapan muka dengannya juga belum tentu bisa membedakan asli atau tidaknya orang itu, tolong tanya cianpwe, bila berada dalam keadaan seperti ini bagaimanakah cara locianpwe untuk bertarung melawannya, bila sepuluh hari sudah lewat dan locianpwe tidak berhasil menemukan sasarannya, kau akan mati sambil menanggung dendam, aah, kematian semacam itu benar benar suatu kematian yang sama sekali tidak berharga!“

Berubah juga muka si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian setelah mendengar perkataan itu, sambil menghela napas katanya kemudian :

“Aaai, kalau begitu lagi-lagi lohu salah berpikir, lantas bagaimana baiknya sekarang?“

“Harap locianpwe memberitahukan kepadaku dimanakah Si toan kim khong itu bisa didapatkan, dengan kuda hitam pemberian locianpwe, siapa tahu kalau dalam sepuluh hari mendatang boanpwe dapat kembali kemari?“

Setelah berhenti sebentar, diapun mengemukakan pula maksud hati sendiri.

“Selain itu, boanpwe sendiri juga membutuhkan Si toan kim khong tersebut untuk menyembuhkan luka seorang gadis, jadi tindakan boanpwe ini boleh dibilang sekali tepuk dua lalat, harap locianpwe jangan memikirkannya di dalam hati.“

“Ooh... kalau begitu sauhiap datang mencari lohu karena hendak menolong gadis itu? Tapi heran sejak lohu pura pura mati dan

mengasingkan diri di sini, jarang sekali ada yang mengetahui kalau lohu masih hidup, kenapa kau bisa menemukan tempat ini?“

Thi Eng khi segera menceritakan kembali bagaimana Pek leng siancu So Bwe leng terluka dan bagaimana ketua Kay pang si pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po memberi petunjuk kepadanya agar pergi ke bukit Huan keng san.....

Padahal si pengemis sakti bermata harimau Cu Goan po sendiri tidak tahu kalau si pendendam raja akhirat belum mati dan tinggal disitu. Ia bisa berkata demikian karena ia pernah mendengar kalau tabib sakti itu berasal dari wilayah sekitar sana, itulah sebabnya dia lantas menyebutkan nama bukit Huan keng san. Siapa sangka petunjuk yang mengawur itu ternyata secara kebetulan menunjukkan tempat yang benar.

“Aah betul!“ seru pendendam raja akhirat Kwik Keng thian tiba tiba,“ sudah pasti budak dari keluarga Ting menyaksikan kuda hitam milik engkoh tioknya berada bersamamu maka dia lantas membocorkan rahasia lohu, betul betul kurang ajar!“

Tampaknya dia menjadi marah, tapi kemudian gumamnya kembali :

“Tapi budak yang cerewet itupun tidak mengetahui alamatku

yang pasti!“

Sambil tertawa Thi Eng khi lantas berkata :

“Padahal locianpwe sendiri yang memberi petunjuk kepada boanpwe, harap kau jangan salahkan nona dari keluarga Ting.“

“Apa maksud perkataan itu?“ seru Kwik Keng thian agak tertegun. “Bukankah locianpwe telah menghadiahkan seekor kuda berbulu hitam buat boanpwe.“

Mendengar perkataan itu, si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian segera tertawa terbahak bahak.

“Haaahhhh.... haahhhh.... haaahhh rupanya binatang itu yang

menghantar sauhiap sampai kesini, betul betul takdir namanya .....

Yaa, coba kalau aku tidak menghadiahkan kuda itu kepadamu, bagaimana mungkin aku bisa berjumpa dengan sauhiap hari ini, dan mana mungkin kau bisa menyelamatkan jiwa lohu?“

Setelah berhenti sebentar, kembali dia berkata : “Tentunya sauhiap sudah berapa hari tinggal disini bukan?

Mengapa kau begitu sabar menunggu hingga hari ini?“

“Sejak boanpwe mendapat hadiah kuda hitam dari locianpwe, aku telah balik kemari tetapi berhubung locianpwe belum juga kembali maka untuk membunuh waktu, aku telah membaca buku pertabiban milik locianpwe yang berada di rak buku itu.“

“Dulu kau pernah belajar ilmu pertabiban dari siapa?“ “Dulu boanpwe belum pernah belajar ilmu pertabiban,

pengetahuan ilmu pertabiban yang boanpwe miliki sekarang berasal dari kitab bacaan milik locianpwe.“

Mendengar perkataan itu, Si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian tertawa terbahak bahak.

“Haaahhh..... haaahhhh..... haaahhhhh pengetahuan ilmu

pertabiban? Kau maksudkan pengetahuan? Di kolong langit dewasa ini mungkin tak akan dijumpai orang ketiga yang memiliki pengetahuan tersebut.“

Kejut dan girang Thi Eng khi setelah mendengar perkataan itu, ujarnya kemudian :

“Apakah boanpwe telah “ Si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian tidak mempedulikan ucapan dari anak muda itu lagi, terdengar ia bertanya :

“Apakah sauhiap telah hapal dengan semua ilmu pertabiban yang lohu miliki?“

Bukan saja Thi Eng khi sudah hapal dengan semua ilmu pertabiban tersebut, bahkan sudah memahaminya pula. Meski begitu, dimulut dia tetap merendah :

“Ya, kalau dipaksakan memang boanpwe sudah hapal semua.“

Rasa kaget bercampur kagum segera menghiasi wajah Kwik Keng thian, dengan sorot mata yang memancarkan cahaya aneh, katanya

:

“Bagian obat obatan merupakan bagian yang paling susah untuk dihapalkan, satu satunya murid lohu Seng Tiok sian sudah terhitung manusia pintar yang berbakat dalam pandangan lohu, tapi untuk mempelajari kitab pengobatan itu, dia membutuhkan waktu selama setahun sebelum berhasil menguasainya, sedang sekarang sauhiap cuma membutuhkan waktu belasan hari saja sudah dapat hapal, kalau bukan menyaksikan dengan mata kepala sendiri, sampai robekpun mulut orang untuk membicarakan soal ini, lohu pasti tak akan percaya. Aaai. dari sini dapat diketahui kalau kemampuan

sauhiap masih sepuluh kali lipat lebih hebat daripada muridku.“

Sekarang Thi Eng khi baru tahu kalau Seng Tiok sian adalah murid dari kakek ini, andaikata dia tahu akan hal itu, mungkin tak nanti ada penemuan aneh yang bakal dialaminya seperti sekarang ini.

Agak rikuh juga Thi Eng khi mendengar pujian orang, buru buru serunya merendah :

“Saudara Tiok sian gagah perkasa dan pandai, dia adalah naga diantara manusia, mana mungkin boanpwe dapat menandinginya.“

“Jika kau tak mampu melebihi muridku mengapa lohu hadiahkan kuda berbulu hitam itu kepadamu?“

Kedua orang itu segera saling berpandangan sekejap, lalu tertawa terbahak bahak. Saat itulah si Pendendam raja akhirat Kwik Keng thian baru menerangkan kalau ’Si toan kim khong’ merupakan benda mestika milik Sim ji sinni di bukit Bu gi san.

Dari Oulam menuju ke Bu gi san mencapai dua ribu li perjalanan, itu berarti bolak balik mencapai empat ribu li sekalipun ada kuda hitam yang bisa berlari cepat mustahil dalam sepuluh hari saja bisa balik kembali ke situ. Mengetahui keadaan tersebut, Thi Eng khi menjadi terbungkam dan tak mampu mengucapkan sepatah katapun.

Sebaliknya Si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian berlagak seakan akan tidak melihat, sambil tersenyum dia lantas menyuruh anak muda itu berangkat. Thi Eng khi segera mempersiapkan kuda hitam pemberian dari Kwik Keng thian itu, baru akan berangkat, kakek itu memanggilnya lalu sambil menyerahkan sejilid kitab berwarna kuning, dia berkata :

“Kitab Ih keng ini merupakan kepandaian terakhir yang lohu miliki, dengan kecerdasan dari sauhiap sudah pasti kau dapat menguasai kepandaian itu secara sempurna, silahkan sauhiap terima untuk mempelajari.“

Mendengar itu, Thi Eng Khi lantas berpikir :

“Kitab ini merupakan hasil karya dari segenap kepandaian yang dimilikinya, ilmu tersebut lebih pantas kalau diwariskan kepada muridnya, sedang aku bukan sanak bukan keluarga dengannya, masa kitab tersebut mesti kuterima?“

Berpikir demikian, dia lantas mengambil suatu keputusan dalam hatinya, bila berjumpa dengan Seng Tiok sian dikemudian hari maka kitab tersebut akan dikembalikan kepadanya. Itulah sebabnya tanpa banyak berbicara lagi, dia segera menerima pemberian kitab itu.

Kemudian setelah menghibur Kwik Keng thian dengan beberapa patah kata, ia segera berangkat meninggalkan tempat itu.

Thi Eng khi berangkat terlalu tergesa gesa, bukan saja dia tak bertanya jelas kisah Kwik Keng thian hingga menderita luka, bahkan diapun lupa memberitahukan kepadanya bahwa ia telah menemukan sesosok mayat orang tua dan membiarkan panah pendek beracun itu tetap diatas meja baca.

Keteledorannya itu entah bakal menimbulkan beberapa banyak kesulitan lagi baginya dikemudian hari?

Bu gi san terletak di propinsi Hok kian di sebelah selatan keresidenan Tiong san pegunungan itu memanjang beratus ratus li dengan puncak Sam yang hong sebagai puncak tertinggi.

Diatas puncak itulah terdapat sebuah kuil yang bernama Sam Sim an. Ketua kuilnya tak lain adalah Sim ji sinni, nikou nomor wahid di kolong langit. Kalau dulu didalam kuil itu hanya berdiam dua orang saja, kecuali Sim ji sinni hanya ada seorang nyonya tua yang bertubuh tinggi besar dan berambut putih. Maka sekarang dari dua menjadi tiga, sebab disitu telah bertambah lagi dengan nona Ciu Tin tin.

Hari kedua setelah Sim ji sinni membawa pulang Ciu Tin tin, secara resmi, dia telah menerima gadis itu sebagai muridnya. Setelah mempunyai ahli waris, tak terlukiskan lagi rasa gembira Sim ji sinni, tapi yang membuat Ciu Tin tin tidak habis pikir adalah kegembiraan si nenek berambut putih yang beberapa kali lipat melebihi Sim ji sinni.

Di samping itu, ada satu hal lagi yang tidak dipahami Ciu Tin tin yakni hubungan antara nenek berambut putih itu dengan Sim ji sinni. Terhadap nikou tersebut, sikap nenek berambut putih itu luar biasa hormatnya, sedangkan Sim ji sinni juga amat menaruh hormat kepada si nenek, hal ini membuat hubungan mereka bagaikan ibu dan anak, seperti juga hubungan majikan dengan pembantu ....

Ciu Tin tin mendapat perintah untuk memanggil nenek berambut putih itu sebagai Bu nay nay (nenek Bu), oleh karena itu dia hanya tahu kalau nenek itu she Bu, tapi kecuali itu dia tidak tahu apa apa

..... Ada kalanya diapun menanyakan hal ini kepada mereka, namun tiada sesuatu hasil pun yang diperoleh.

Sim ji sinni pernah makan buah Tiang kim ko maka ia nampak amat muda sekali sehingga mirip adiknya Ciu Tin tin. Buah Tiang kim ko adalah buah yang dihasilkan oleh Si toan kim khong setiap seratus tahun, konon belakangan ini kembali ada sebiji buah yang sudah hampir masak.

Dari sini dapat diketahui kalau Sim ji sinni makan buah Tiang kim ko tersebut pada seratus tahun berselang atau dengan perkataan lain, usianya sekarang sekitar seratus sepuluh sampai seratus dua puluh tahunan.

Menurut rencana dari kedua orang cianpwe itu, buah Tiang kim ko yang hampir masak itu akan diberikan untuk Ciu Tin tin. Padahal semenjak tiba di bukit Bu gi san, Ciu Tin tin sudah makan banyak ragam obat mustajab, meski hanya dalam waktu bulan saja, namun kemajuan tenaga dalam yang diraihnya sudah tak terlukiskan dengan kata kata, itulah sebabnya dia tidak terlalu memperdulikan soal buah Tiang kim ko tersebut.

Sekarang satu satunya persoalan yang menjadi beban dalam pikirannya adalah sikap adik Eng kepadanya, dia mempunyai alasan untuk mendendam kepadanya, namun rasa benci itu tak dapat mengalahkan rasa cintanya yang tebal, hingga saat itu dia berdiri melamun dibalik kabut sambil membayangkan kekasihnya itu.

Tampaknya dia sudah begitu kesemsem sehingga lupa daratan. Mendadak Bu nay nay melompat keluar dari balik kuil dan melompat ke belakang tubuh Ciu Tin tin, kemudian sambil mementangkan kelima jari tangannya mencengkeram bahu kanan gadis itu.

Serangan dari Bu naynay dilakukan secepat kilat dan tanpa menimbulkan sedikit suarapun, tampaknya cengkeraman itu segera akan bersarang diatas bahu gadis itu.....

Mendadak Ciu Tin tin miringkan bahu kanannya sehingga cengkeraman Bu naynay meleset, dengan cepat nenek itu merubah ancamannya dengan membabat pinggang sinona. Namun Ciu Tin tin kembali tidak bergeser, tangan kanannya mendadak dibalik kebelakang mencengkeram urat nadi pada pergelangan tangan Bu naynay dengan jurus Huan kian kim lian (sambil membalik menggulung kaki).

“Bagus!“ puji Bu naynay, “tampaknya kewaspadaanmu makin lama semakin hebat!“

Sambil berseru dia lantas mundur sejauh lima depa dan tertawa terkekeh kekeh. Rupanya Bu naynay hanya bermaksud untuk menjajal kepandaian silat dari Ciu Tin tin saja. Gadis itu segera berpaling sambil berseru manja :

“Nenek, kau selalu tidak memberi kesempatan kepada Tin ji untuk merasakan ketentraman!“

“Tin tin,“ kata Bu naynay sambil tertawa, “berbicaralah terus terang, benarkah pikiranmu pada saat ini setenang air telaga?“

Ciu Tin tin segera menundukkan kepalanya dengan tersipu sipu, merah padam selembar pipinya. Sambil tertawa keras kembali Bu naynay berkata :

“Keadaanmu persis seperti keadaan suhumu dikala masih muda dulu, apa yang terpikir dalam hati pasti terasa jelas diatas wajahnya

....“

“Bu naynay, kau lagi lagi hendak mengatai soal diriku dibelakang orang !“ tiba tiba dari balik kuil berkumandang suara teguran

yang merdu.

Meski sudah tua ternyata sikap Bu naynay seperti anak kecil saja, ia segera membuat muka setan dan buru buru menarik tangan Ciu Tin tin seraya berkata keras :

“Tin tin, mari kita melihat apakah buah Tiang kim ko sudah matang atau belum.“

Dua orang dengan membentuk menjadi sesosok bayangan manusia langsung meluncur kebelakang bukit sebelah timur. Setelah melewati sebuah tebing yang terjal, mereka langsung menuju puncak Sam yang hong. Puncak Sam yang hong menjulang tinggi ke angkasa, pada puncak mana terdapat sebidang tanah datar seluas lima kaki ditengahnya terdapat sebuah kolam berair jernih, di tengah kolam terdapat sebatang tumbuhan dengan sembilan lembar daun berwarna biru, diantara kesembilan lembar daun tadi terdapat sebatang putih berwarna putih keperak perakan dengan diujungnya tumbuh sebiji buah berwarna merah.

Bu naynay dan Ciu Tin tin berdiri berjajar di tepi telaga, sambil menuding kearah buah mana, nenek Bu berkata :

“Kurang lebih masih ada lima jam lagi buah Tiang kim ko itu akan berubah menjadi hijau.“

Ciu Tin tin jadi amat keheranan, serunya :

“Masa setelah menjadi merah dapat berubah jadi hijau?“

“Kalau tak dapat berubah menjadi hijau masa namanya Tiang kim ko. Satu satunya perbedaan antara Tiang kim ko dengan buah yang lain adalah buah itu baru menjadi matang bila sudah berubah warnanya menjadi hijau.“

“Selain dapat membuat orang menjadi awet muda, apakah buah Tiang kim ko mempunyai kasiat untuk mengembalikan yang tua menjadi muda kembali?“

“Tentu saja!“ sahut nenek Bu sambil tersenyum. Ciu Tin tin segera tertawa merdu.

“Kalau begitu aku tak akan makan buah Tiang kim ko ini!“ sahutnya cepat.

“Hey, rencana apa lagi yang sedang kau susun?“ seru nenek Bu kemudian dengan wajah tercengang.

“Aku tahu, seandainya Tin tin tidak naik gunung, suhu pasti akan memberikan buah Tiang kim ko tersebut buat kau orang tua, coba bayangkan kedatangan Tin tin justru menambah kesulitan untuk kau orang tua, malah sekarang hendak merampas buah Tiang kim ko milikmu lagi, sekalipun Tin tin masih muda dan tak tahu urusan juga tak akan melakukan perbuatan seperti ini, pokoknya Tin tin sudah bertekad tidak akan makan buah Tiang kim ko tersebut.“

Sewaktu mengutarakan ucapan tersebut, Ciu Tin tin berbicara dengan wajah sungguh sungguh dan nada cepat lagi gencar, sama sekali tidak memberi kesempatan kepada nenek Bu untuk menimbrung. Sekalipun demikian, nenek Bu telah dibuat terharu sekali oleh ketulusan hati Ciu Tin tin sehingga air matanya jatuh bercucuran dengan deras.

Sambil membelai rambut Ciu Tin tin dengan penuh kasih sayang, serunya dengan suara lirih :

“Ooh, anak baik, anak baik!“

Ketika Ciu Tin tin sudah menyelesaikan kata katanya, dengan suara parau dia baru berkata :

“Nak, nenek tahu kalau hatimu sebaik hati gurumu, tapi kaupun harus tahu usia nenek sudah amat tua bila saat ajalku sudah tiba, jiwaku pasti akan melayang meninggalkan raga. Betul buah Tiang kim ko merupakan buah yang mustika dan tak ternilai harganya, akan tetapi tak dapat menambah usia seseorang. Oleh karena itu, meski buah Tiang kim ko dianggap benda yang langka didunia ini, dalam pandangan nenek justru tak ada harganya, pada mulanya ketika aku hendak memberikan buah Tiang kim ko tersebut padamu, entah berapa banyak perkataan yang mesti kuucapkan guna membujuk gurumu, sekarang kau lagi lagi menggunakan cara yang sama untuk membujukku, tampaknya kehidupan aku si nenek di dunia ini selain hanya bisa membonceng ketenaran orang.

Kesempatanku untuk menunjukkan rasa baktiku kepada orang lain pun tak punya, aai, lebih baik aku cepat cepat mampus saja.“

Sehabis berkata, dia benar benar akan terjun ke air telaga berwarna biru yang tak terukur dalamnya itu. Dengan cemas Ciu Tin tin segera menarik tangannya sambil berteriak keras :

“Nenek, nenek kau orang tua tak boleh mati, Tin tin ucapakan banyak terima kasih dulu atas maksud baikmu itu.“ Nenek Bu segera menarik kembali gerakan tubuhnya seraya tertawa terbahak bahak.

“Haahhh.... haaahhh..... haaahhh anak Tin, kau kira nenek

benar benar memiliki kepandaian untuk terjun ke dalam air telaga ini?“

“Nenek, jadi kau bukan sungguhan hendak mati?“ seru Ciu Tin tin agak tertegun.

“Asal kau bersedia makan buah Tiang kim ko tersebut, tentu saja nenek tak ingin mati!“

Sekarang Ciu Tin tin baru tahu kalau ia sudah ditipu oleh nenek Bu, dengan manja segera serunya :

“Nenek jahat, nenek jahat, Tin ji tak mau menggubris dirimu lagi

....“

“Berbicara yang sebenarnya,“ kata nenek Bu dengan wajah serius, “air suci langit biru bukan sembarangan air, benda apapun jangan harap bisa mati disana.“

Ciu Tin tin menjadi tertegun setelah mendengar perkataan itu, ia tidak habis mengerti apa yang dimaksudkan nenek Bu, sementara otaknya masih berputar kencang, mendadak dari atas langit meluncur datang seekor burung bangau berwarna abu abu yang meluncur di atas air telaga tersebut.

Sambil menuding kearah burung bangau itu, nenek Bu segera berkata lagi :

“Anak Tin, coba kau lihat suatu peristiwa aneh akan segera kau saksikan.“

Ciu Tin tin segera mengalihkan sorot matanya untuk memperhatikan burung bangau itu, tampaklah burung itu sewaktu terbang diatas telaga Kim khong leng swan, mendadak seperti terhadang oleh segulung tenaga tak berwujud yang amat kuat, ternyata ia tak mampu terbang untuk melintasinya. Burung bangau itu bertindak cukup cekatan, mendadak ia miringkan tubuhnya ke samping membuat satu gerakan busur, begitu menghindari dari wilayah sekitar telaga Kim khong leng swan tersebut, ia terbang lagi membumbung ke angkasa.

Ciu Tin tin yang menyaksikan kejadian itu hanya berdiri tertegun belaka, dia tak berhasil memahami arti dari kesemuanya itu.

Sementara Ciu Tin tin masih melongo, mendadak nenek Bu mengerahkan tenaganya mendorong Ciu Tin tin ke belakang, dalam keadaan tak siap dan lagi tenaga dorongan itu sangat kuat, gadis itu tak sanggup berdiri tegak lagi, dengan cepat ia jatuh terjengkang ke dalam telaga.

Terpaksa Ciu Tin tin harus memejamkan matanya rapat rapat sambil bersiap sedia mandi dalam air telaga itu. Siapa tahu, sewaktu tubuh Ciu Tin tin hampir terjatuh ke tepi telaga tadi, seakan akan membentur selapis dinding hawa murni yang lunak, tubuhnya segera memental balik kembali.

Yang aneh adalah tenaga pantulan itu ternyata persis telah mementalkan kembali tubuhnya ke tempat semula. Dengan keheranan Ciu Tin tin lantas bertanya :

“Sebetulnya apa yang telah terjadi?“

“Sejak dulu, diatas air telaga kim khong leng swan tersebut sudah terdapat semacam hawa lunak yang amat kuat untuk melindungi sekeliling telaga tersebut, bagaimana pun lihaynya seseorang, jangan harap bisa mendekati tempat tersebut.“

“Kalau manusia tak bisa masuk ke dalam sana, lantas bagaimana cara kita untuk bisa memetik buah Tiang kim ko tersebut?“

“Inilah satu kemujijatan yang diciptakan oleh Thian alam semesta ini!“ sahut nenek Bu.

Setelah berhenti sejenak, ketika dilihatnya Ciu Tin tin tidak menimbrung, ia menyambung lebih jauh :

“Untuk menembusi hawa murni pelindung telaga tersebut guna mengambil buah Tiang kim ko, hanya ada satu saat yang singkat dapat dilakukan, bila saat mana bisa dipergunakan dengan sebaik baiknya maka buah Tiang kim ko baru bisa didapat, bila waktunya sudah lewat maka itu berarti harus menunggu orang yang pernah makan buah Tiang kim ko untuk memetikkan. Sebab terhadap orang yang pernah makan buah Tiang kim ko, hawa sakti pelindung telaga tersebut tak bisa mewujudkan kekuatannya „

“Anak Tin ingin memetik sendiri buah Tiang kim ko tersebut, harap nenek suka memberitahukan kepada anak Tin pada saat yang bagaimanakah aku baru bisa menembusi pertahanan hawa sakti tersebut.“

“Pada saat buah Tiang kim ko akan menjadi masak, hawa sakti Leng swan ceng khi tersebut akan kehilangan kekuatannya.“

Ciu Tin tin yang berotak cerdas lagi cermat segera termenung, sambil berpikir sebentar kemudian katanya :

“Seberapa singkatkah hawa murni Leng swan ceng khi itu kehilangan kekuatannya?“

“Anak Tin, kau memang cermat sekali, hal ini memang merupakan suatu hal yang sangat penting, sebab saat hawa sakti Leng swan ceng khi kehilangan kekuatannya hanya berlangsung amat singkat, kurang lebih hanya satu atau dua kali lompatan orang biasa, sedemikian singkatnya waktu tadi hingga sukar rasanya untuk dihitung secara tepat.“

Diam diam Ciu Tin tin lantas memperhitungkan waktu satu lompatan dari manusia biasa, walaupun seseorang memiliki tenaga dalam yang amat sempurna pun waktu sesingkat itu hanya bisa digunakan untuk menyeberangi telaga, padahal untuk mengambil buah Tiang kim ko tersebut seseorang musti melambung di udara.

Namun untuk hal itu bukan suatu masalah buat Ciu Tin tin, sebab baginya melakukan gerakan melambung hanya merupakan suatu perbuatan yang gampang sekali.

Yang paling penting sekarang adalah bagaimana menggunakan waktu yang setepatnya sehingga tidak sampai mengalami kegagalan, karena kunci dari kesuksesannya terletak pada penggunaan waktu yang tepat.

Menyaksikan Ciu Tin tin termenung belaka tanpa berbicara, nenek Bu segera menegur sambil tertawa ;

“Anak Tin, apakah kau telah berhasil menemukan cara yang baik?“

Didengar dari nada ucapan tersebut, seolah olah dia sedang berkata begini :

“Menyerah saja kalau tidak bisa menemukan cara yang baik biar nenek yang memberitahukan kepadamu.“

Mendadak berkilat tajam sepasang mata Ciu Tin tin, katanya tiba tiba :

“Anak Tin telah berhasil menemukan suatu cara untuk mengendalikan soal waktu, hanya ada satu hal yang kurang kupahami, harap nenek suka memberi petunjuk.“

“Dalam hal yang mana kau tidak mengerti? Katakan saja dengan terus terang?“ ucap nenek Bu sambil tertawa.

“Dikala buah Tiang Kim ko hendak masak, gejala istimewa apakah yang akan terlihat? Dan jaraknya dengan waktu yang amat singkat itu selisih berapa lama?“

“Bila buah Tiang Kim ko akan masak, warnanya dari merah akan berubah menjadi putih, putih bercahaya keperak perakan, kurang lebih setengah perminum teh kemudian warnanya baru akan berubah menjadi hijau dan masak.“

Ciu Tin tin tidak berbicara lagi, dia lantas mematahkan sebatang ranting dan ditutulkan kearah lapisan tenaga sakti itu, sewaktu menyentuh dengan kekuatan mana ranting tersebut segera memantul dan tak mampu bergerak lagi.

Ciu Tin tin mencobanya beberapa kali lalu baru berkata : “Anak Tin sambil menghimpun tenaga dalam siap melakukan

gerakan, ranting tersebut kutempelkan terus diatas hawa sakti Hu swan ceng khi, asal tenaga pelindung itu lenyap, anak Tin akan segera mengetahui jika saatnya telah tiba, pada waktu itulah tenaga yang telah kupersiapkan akan segera kukerahkan guna memetik buah tadi, aku rasa cara ini pasti tidak akan meleset.“

Cara semacam itu sesungguhnya amat sederhana, justru karena kesederhanaannya sering kali dilupakan orang, maka jarang sekali ada yang bisa menemukan cara tersebut.

Begitu selesai mendengar ucapan tadi, dengan gembira nenek Bu segera memuji :

“Anak Tin, caramu itu persis seperti cara yang digunakan suhumu untuk mengambil buah Tiang kim ko dimasa lalu, tak kusangka kalau kau dapat menemukannya!“

Mendadak nenek Bu menemukan sesuatu, dengan wajah tegang segera serunya lagi:

“Anak Tin, coba kau lihat, warna merah dari buah Tiang kim ko itu sudah makin tawar!“

Ternyata sementara mereka berbicara, warna buah Tiang kim ko itu sudah hampir berubah menjadi. Ciu Tin tin segera mempersiapkan gerakannya seraya berkata :

“Nenek Bu, coba kau lihat anak Tin akan memetik buah Tiang kim ko itu dengan mudah!“

Nenek Bu tertawa.

“Nenek ucapkan semoga kau “

Belum habis dia berkata, mendadak dari atas puncak diseberang sana melayang turun seorang kakek jelek berbaju serba hitam, bukan saja kakek itu mengenakan pakaian warna hitam, bahkan wajahnyapun berwarna hitam pula.

Ditangannya juga membawa sebatang ranting, sambil berdiri tak berkutik di tepi telaga ia tidak berbicara tapi gayanya persis menirukan gaya dari Ciu Tin tin. Rupanya saking asyiknya nenek Bu berbincang bincang dengan Ciu Tin tin, mereka sama sekali tidak menyangka kalau di seberang bukit itu bersembunyi seseorang.

Tapi kalau dilihat dari kemampuan orang berbaju hitam itu untuk mengelabui ketajaman mata dan pendengaran nenek Bu serta Ciu Tin tin dapat diketahui kalau kepandaian silat yang dimilikinya sangat lihay ......

Dalam keadaan seperti ini mustahil bagi Ciu Tin tin untuk turun tangan menghadapi kakek berbaju hitam itu, terpaksa dia berlagak seakan akan tidak melihat dia dan memusatkan perhatiannya untuk menunggu datangnya saat yang dinanti nantikan.

Sebaliknya nenek Bu merasa gusar sekali sambil tertawa dingin ia segera menerjang ke depan, teriaknya :

“Setan hitam, siapakah kau? Hayo cepat menggelinding pergi dari tempat ini.“

Sepasang telapak tangannya segera didorong ke depan, angin pukulan yang amat kuat dengan cepat menggelundung kearah kakek berwajah hitam tersebut. Meski diluar berwajah bengis, nenek Bu tidak berniat melukai orang, maka meski angin pukulannya kencang, serangan tadi hanya gertak sambal belaka.

Walaupun begitu, perlu diketahui Bu naynay adalah seorang jago yang berilmu tinggi sekalipun kepandaian silatnya agak selisih bila dibandingkan dengan Sim ji sinni, namun selisihnya tak banyak, betul cuma gertak sambal belaka, namun kakek bermuka hitam itu juga tak akan tahan. Aneh bila ia tak sampai tergulung jatuh ke bawah bukit.

Tapi dibilang aneh, kenyataannya memang aneh, kakek bermuka hitam itu cuma tertawa melulu, membalaspun tidak, akan tetapi ketika angin pukulan dari Bu naynay menggulung diatas badan kakek jelek itu, tahu tahu kekuatannya punah. Jangankan melukai, mengibarkan ujung bajunya pun tidak.

Kontan saja Bu naynay merasa seperti kehilangan muka, dari malu dia jadi marah, segera bentaknya keras keras : “Tenaga dalam yang amat sempurna, coba kau rasain sebuah pukulan lagi!“

Kali ini dia menghimpun tenaga dalamnya mencapai sepuluh bagian lebih, lalu dilontarkan kedepan. Walaupun disertai kekuatan sebesar sepuluh bagian, dalam kenyataan serangan itu malah sama sekali tak menimbulkan suara seolah olah suatu serangan tipuan belaka.

Tampak paras muka kakek bermuka hitam itu menunjukkan suatu perubahan yang sangat aneh, tiba tiba dia berguman :

“Yaa, bagaimanapun juga aku memang terbiasa kau hajar, dihajar sekali lagi pun tidak menjadi soal!“

Ucapan itu amat ringan seakan akan tak pernah terjadi peristiwa semacam itu saja, seperti serangan yang dilepaskan Bu naynay tadi memang cuma serangan kosong saja. Berkilat sepasang mata Bu naynay menyaksikan kejadian itu, timbul perasaan sangsi diatas wajahnya, dia bukannya sangsi akan kesempurnaan tenaga dalam yang dimiliki kakek berwajah hitam itu melainkan sangsi atas ucapannya.

Perkataan tersebut telah mengingatkannya akan seseorang, sebab hanya orang itu saja yang akan mengutarakan kata kata semacam itu kepadanya. Tapi. kakek bermuka hitam itu sama

sekali bukan orang yang dipikirkan, sebab itu mau tak mau dia harus putar otak untuk memikirkan persoalan ini sedang matanya berusaha untuk memperhatikan wajahnya.

Mendadak dengan wajah berubah hebat dia menghampiri kakek bermuka hitam itu dengan sempoyongan, lalu dengan wajah tegang, serunya :

“Kau, kau “

“Berhenti!“ tiba tiba kakek bermuka hitam itu membentak keras, “Jangan datang kemari, sebab dengan begitu justru akan mencelakai dirimu sendiri.“ Bu naynay benar benar berhenti, tapi katanya lagi dengan suara tergagap.

“Dengan mendengar ucapanmu itu, aku semakin dapat memastikan kalau kau benar benar adik Im.“

“Benar, siaute memang Bu Im, saudaramu yang telah toaci anggap mampus sejak dulu,“ sahut si kakek bermuka hitam dengan sikap yang jauh lebih lemah.

Bu naynay segera dipengaruhi oleh luapan emosi, teriaknya dengan setengah melengking :

“Kau ..... kau mengapa kau bisa berubah menjadi begini

rupa?“

Bu Im menghela napas panjang.

“Aaai. oleh karena siaute harus melatih semacam sinkang yang

maha dahsyat, aku harus membuat sejenis obat, dasar sial aku salah mencampurkan bahan obat itu sehingga jadi beginilah mukaku.“

“Mengapa kau hendak melatih ilmu khikang tersebut?“ Bu naynay bertanya dengan rasa kuatir.

“Sebab siaute ingin mencari suatu kesempatan guna memenangkan cici!”

Mendengar perkataan itu, Bu naynay merasa semakin sedih, segera ujarnya :

“Saudaraku, maksud hatimu kelewat mendalam, apakah kau telah menganggap cicimu sebagai musuh besarmu?”

“Yaa, siaute telah salah melangkah sehingga menyesalpun tak ada gunanya, aku mohon enci suka memandang atas hubungan persaudaraan kita untuk menolong diri siaute.”

“Bantuan apakah yang dapat kuberikan?” Bu naynay tampak ragu ragu. “Siaute mohon kepada cici agar mau menghadiahkan buah Tiang kim ko tersebut kepadaku, agar racun yang mengeram dalam tubuhku bisa punah dan wajah asliku pulih kembali!”

Bu naynay hanya menundukkan kepalanya tidak menjawab, jelas timbul pertentangan di dalam hatinya. Rupanya Bu naynay dengan adik kandungnya Bu Im sejak kecil sudah mempunyai hubungan persaudaraan yang akrab, hanya dalam hal ilmu silat Bu Im selalu mengagumi kehebatan encinya, dengan segala daya dan upaya dia tak pernah berhasil memenangkan dirinya.

Sebaliknya Bu naynay amat menyayangi adiknya, dalam hal apapun dia selalu mengalah kepadanya, tapi justru hanya dalam ilmu silat ia enggan mengalah, setiap kali pertarungan berlangsung, rasa ingin menangnya selalu meliputi benaknya sehingga ia tak pernah bermaksud untuk mengalah.

Itulah sebabnya, Bu Im tak pernah meraih keuntungan apa-apa ditangannya.

Kemudian, dikarenakan suatu kejadian kakak beradik ini harus hidup terpisah tapi setiap lima tahun sekali mereka berdua pasti melangsungkan sekali pertarungan, hingga enam puluh tahun berselang, ketika Bu Im sekali lagi menderita kekalahan diatas bukit Bu gi san, mulai saat itulah dia tak pernah lagi datang mencari Bu naynay untuk beradu kepandaian.

Dalam keadaan begini, Bu naynay tentu saja kehilangan kabar beritanya, puluhan tahun lewat tanpa terasa, siapa tahu akhirnya mereka harus bersua kembali dalam keadan seperti ini, tak heran kalau Bu naynay dibuat serba salah.

Pertentangan batin yang hebat segera berkecamuk dalam dada Bu naynay, sampai lama kemudian dia baru mengambil keputusan tegas, katanya dengan cepat :

“Adik Im, tahukah kau bahwa aku tak dapat meluluskan permintaanmu itu?”

Bu Im nampak agak kecewa. “Kau kuatir kalau ilmu silatku jauh melampaui kemampuanmu?“ katanya segera.

“Aku tahu, ilmu silatmu sudah jauh melampaui diriku, hal ini sudah terbukti dengan jelas dalam kegagalanku melepaskan dua buah serangan tadi. “

“Itulah ilmu pukulan Hua lek sin kang yang baru saja siaute kuasai!“ sekulum senyuman bangga segera menghiasi wajah Bu Im.

“Hua lek sin kang?“ seru Bu naynay terkejut, “ilmu silat Hua lek sin kang adalah suatu ilmu silat sakti yang sudah ratusan tahun lenyap dari dunia persilatan. Ilmu itu bukan termasuk ilmu sesat, mengapa kau membutuhkan bantuan obat?“

Bu Im tertawa getir.

“Tanpa sengaja siaute berhasil menemukan ilmu silat sakti tersebut pada enam puluh tahun berselang, sesudah kulatih ilmu tersebut selama lima puluh tahun tapi kenyataannya tidak berhasil mencapai apa yang kuharapkan, tingkatan yang paling tinggi masih jauh dari raihanku!“

“Bakat merupakan faktor terpenting dalam melatih ilmu silat, bukan enci mengatai dirimu, kau bukan seorang yang berbakat untuk belajar silat, sebab itu harapanmu untuk berhasil terasa nihil.“

“Siaute cukup memahami titik kelemahanku ini, itulah sebabnya dengan mengorbankan waktu selama dua tahun, aku berusaha untuk mencari bahan obat-obatan yang bisa membantuku untuk menambah tenaga, siapa tahu meski semua bahan obat obatan telah siap, lantaran aturan percampuran obat tersebut tidak benar, meski setelah obat itu kuminum, tenaga yang kuharapkan bisa tercapai juga seperti yang diharapkan, namun timbul pula suatu reaksi lain, yang mengakibatkan aku berubah menjadi begini rupa sekarang “ “Aaai. semuanya sudah digariskan oleh takdir, manusia

memang tak dapat merubahnya dengan paksa, kau “

“Tekad siaute untuk melawan takdir bukankah bakal berhasil bila tindakan yang terakhir inipun bisa kucapai? Asal enci mau membantu siaute, niscaya aku dapat melawan takdir,“ tukas Bu Im cepat.

Bu naynay segera menggelengkan kepala.

“Adik Im, harap kau jangan memaksa enci untuk mengatakan ’Tidak !’ “ katanya.

Bu Im nampak amat sedih sekali. “Cici, bila “

Belum habis dia berkata, mendadak hawa sakti diatas telaga itu telah punah dan lenyap. Tapi sayang dia sedang memecahkan perhatiannya untuk berbicara, sehingga ketika dia melakukan tindakan, sudah banyak waktu yang hilang, baru saja setengah badan lewat setengah badan yang lain telah terhisap kembali oleh hawa sakti telaga tersebut, betul ia sudah mengerahkan ilmu Hue lek sin kangnya, toh tiada yang diperoleh.

Terpaksa dia harus menarik diri untuk mundur dan nyatanya sewaktu mundur, ia sama sekali tidik menjumpai kesulitan apa apa.

Berbeda dengan Ciu Tin tin, dia dapat memanfaatkan waktu tersebut secara tepat, begitu hawa pelindung telaga punah, dengan jurus Tan hong tian ci (burung Hong pentang sayap) dia melayang keudara, kemudian dengan gerakan Tiang hong sip sui (pelangi panjang menghisap air) dia hisap buah Tiang kim ko itu ke tangannya lalu dengan cekatan melayang turun tepat di samping badan Bu naynay.

Rupanya apa yang dibicarakan Bu naynay dengan Bu Im tadi telah didengar semua oleh Ciu Tin tin, maka dia lantas mengambil keputusan didalam hatinya, dengan memandang diatas wajah Bu naynay, dia bertekad hendak menghadiahkan buah Tiang kim ko tersebut untuk Bu Im.

Sudah barang tentu diapun cukup tahu akan tabiat Bu naynay, apa yang telah diucapkan selamanya tak pernah dirubah. Bila secara terang terangan buah Tiang kim ko itu disodorkan kepada Bu Im, niscaya Bu naynay tak akan terima, selain itu hal inipun menunjukkan seakan akan dia tidak berniat sungguh sungguh untuk menghadiahkan kepada orang.

Maka, munculkah satu ingatan dalam benaknya. Sewaktu tubuhnya melayang turun keatas tanah tadi, seperti sengaja tak sengaja dia timpuk buah Tiang kim ko tersebut kearah mulut Bu Im, kemudian baru berkata :

“Boanpwe bersedia menghadiahkan buah Tiang kim ko tersebut untuk menghormati Bu locianpwe.“

Buah Tiang kim ko tersebut dengan merubah diri menjadi sekilas cahaya hijau langsung meluncur ke mulut Bu Im.

Bu naynay yang menyaksikan peristiwa itu, menjadi panik, sepasang tangannya segera mencakar sekenanya kedepan, dua gulung tenaga murni segera meluncur ke depan siap menghisap kembali buah Tiang kim ko itu.

Berbicara soal tenaga dalam yang dipunyai Bu naynay, semestinya bukan suatu pekerjaan yang sukar untuk menghisap kembali buah mana, siapa tahu Ciu Tin tin telah menduga sampai kesitu, diam diam ia telah sertakan tenaganya sebesar sepuluh bagian lebih .....

Dengan demikian, kecuali tenaga dalam yang dilancarkan Bu naynay satu kali lipat lebih besar dari tenaga yang dipancarkan Ciu tin tin, kalau tidak, jangan harap dia mampu menghisap balik buah Tiang kim ko tersebut.

Di dalam kenyataan, tenaga dalam yang dimiliki Ciu Tin tin sekarang telah mencapai tingkatan yang luar biasa, apalagi akibat pengaruh obat mustajab yang sudah banyak dimakannya, membuat kekuatannya tidak kalah dengan kemampuan Bu naynay.

Oleh sebab itu, terlihatlah buah Tiang kim ko tersebut dengan membawa desingan angin lirih langsung masuk ke mulut Bu Im dan lenyap tak berbekas.....

Dengan hati mendongkol, Bu naynay langsung mendamprat : “Adik Im, Sinni telah menghadiahkan buah Tiang kim ko tersebut

kepada nona Ciu, kau tak boleh menelannya, hayo cepat muntahkan kembali.“

Dengan gelisahnya dia seperti tak berpikir, benda yang sudah masuk ke mulut orang lain apakah mau dimakan lagi oleh Ciu Tin tin.

“Bu naynay!“ cepat Ciu Tin tin berseru, “kau anggap aku sudi makan buah bekas mulut orang lain?“

Bu naynay tertegun, lalu sambil mendepak depakkan kakinya berulang kali, ia menjerit :

“Kau..... kau betul betul menggemaskan!“

Yaa, apalagi yang dapat ia ucapkan?

Bu Im gembira setengah mati, sambil tertawa ia lantas berseru : “Buah Tiang kim ko mencair begitu bertemu dengan air liur,

sekalipun siaute ingin muntahkan keluar juga tak mungkin bisa terjadi.“

Ia membalikkan badannya dan segera menjura kepada Ciu Tin tin, katanya lebih jauh :

“Nona Ciu, kau berbudi luhur dan berjiwa pendekar, budi yang amat besar ini tak akan Bu Im lupakan untuk selamanya, harap nona suka menerima hormatku.“

Orang persilatan tak pernah menyatakan rasa terima kasihnya dengan mulut, sekalipun demikian, dalam hati kecil mereka selalu akan mencatat budi kebaikan itu untuk dibalas kemudian hari. Oleh karena hubungannya dengan Bu naynay, tentu saja Ciu Tin tin enggan menerima penghormatan Bu Im, buru buru dia menyingkir ke samping, lalu sambil tertawa dan menggoyangkan tangannya berulang kali katanya :

“Bu locianpwe, harap kau jangan begitu, Tin tin tak berani menerima penghormatanmu itu!“

Karena nasi telah menjadi bubur, marah pun tak ada gunanya, maka dengan mata mendelik Bu naynay lantas berkata :

“Bu Im, kau harus menyatakan dulu janjimu.“

“Haahhhh..... haaahhhh...... haaahhhh tepat sekali ucapan

dari cici. !“ Bu Im tertawa nyaring.

Dia lantas berpaling ke arah Ciu Tin tin sambil ujarnya : “Nona Ciu, apakah kau berminat untuk mempelajari ilmu sakti

Hua lek sin kang?“

Ciu Tin tin tahu kalau tawaran dari Bu Im ini muncul dari hati yang tulus, maka buru buru dia memberi hormat seraya menjawab :

“Terima kasih banyak atas maksud baik Bu locianpwe!“

“Terima kasih apa,“ tukas Bu naynay, “ilmu sakti Hua lek sin kang mana bisa dibandingkan dengan hatimu yang tulus dan mulia itu?“

Walaupun ia berkata demikian, toh pesannya juga kepada Bu Im

:

“Cepat cari suatu tempat yang terpencil dan wariskan simhoat

tenaga dalam dari ilmu Hua lek sin kang tersebut kepada nona Ciu.“

“Tak usah mencari tempat lain lagi, disinipun cukup baik.“ “Kalau begitu aku akan berangkat selangkah lebih duluan, adik

Im, kau harus baik baik terhadap nona Ciu, kaupun musti menyampaikan rasa terima kasihmu kepada Sim ji sinni, aku akan menunggu kalian di kuil Sam sin an...!“ Selesai berkata dia lantas membalikkan badannya siap pergi meninggalkan tempat itu.

“Cici, jangan pergi dulu,“ Bu Im segera berseru, “kini jalan pikiran siaute pun telah terbuka, siaute tak ingin memenangkan cici lagi, apa salahnya kalau cicipun ikut mendengarkan penjelasanku tentang kehebatan ilmu Hua lek sin kang?“

Bu Im bisa berjiwa besar seperti ini, tentu saja kejadian mana membuat Bu naynay yaa girang yaa menyesal. Menyesal karena dia memang merasa tak puas atas kehebatan ilmu Hua lek sin kang, terutama dua kali serangannya yang gagal melukai Bu Im tadi.

Bagaimanapun juga hal mana membuatnya tak puas, maka rasa ingin menang masih membara di dalam dadanya. Siapa tahu Bu Im bisa menyesal kesalahannya lebih dulu, bagaimana mungkin hatinya tidak menyesal?

Ia girang karena adiknya mempunyai kebesaran jiwa yang mengagumkan itu berarti keluarga Bu akan muncul kembali sebagai manusia yang berjiwa ksatria.

Dalam girang dan menyesalnya Bu naynay jadi rikuh sendiri untuk turut mempelajari ilmu Hua lek sin kang, maka dia tak merubah tujuannya dengan tetap meneruskan gerakan tubuhnya melayang pergi dari tempat itu.

Sambil menggelengkan kepalanya berulang kali Bu Im menghela napas panjang, terpaksa ia membiarkan encinya pergi. Kemudian diapun mulai mewariskan simhoat dari ilmu Hua lek sin kang tersebut kepada Ciu Tin tin dengan ilmu menyampaikan suara.

Bu Im memang cukup waspada, terutama sebagai jagoan kawakan dari dunia persilatan, untuk menghindari segala hal yang tak diinginkan dia putuskan untuk memberi pelajaran dengan ilmu menyampaikan suara.

Sebagaimana dia sendiri sewaktu bersembunyi di balik bukit sambil menyadap pembicaraan antara Bu naynay dengan Ciu Tin tin tadi, dia tak ingin ada orang turut menyadap pula pelajaran silatnya. Tatkala simhoat ilmu Hua lek sin kang telah selesai diwariskan kepada Ciu Tin tin, Bu Im lantas berkata :

“Setan cilik takut bertemu dengan Pousat, akupun tak akan pergi ke kuil Sam sim an lagi, bila ada jodoh kita berjumpa lagi lain waktu, terima kasih banyak atas bantuanmu kali ini.“

Tidak menanti bagaimanakah pernyataan dari Ciu Tin tin, dia lantas berjumpalitan dan turun dari bukit itu.

Ciu Tin tin menghela napas panjang, diapun segera mengerahkan tenaga dalamnya untuk kabur kembali ke kuil Sam sin an. Belum lagi mencapai kuil tersebut, dari kejauhan ia sudah mendengar suara makian Bu naynay serta suara pukulan yang menderu deru.

“Heran, siapa yang begitu bernyali berani datang mencari gara gara disini? Padahal suhu ada dalam kuil?“ demikian Ciu Tin tin berpikir.

Dia segera mempercepat larinya seperti anak panah yang lepas dari busur, dengan cepat tubuhnya melesat kedepan kuil. Akan tetapi setelah diketahuinya orang yang sedang bertarung melawan Bu naynay adalah Thi Eng khi, dengan cepat teriaknya lagi :

“Naynay, hentikan seranganmu, adik Eng adalah orang sendiri!“

Dia tidak menyuruh adik Eng nya yang menghentikan serangan, melainkan minta kepada Bu naynay yang hentikan serangan lebih dulu, dalam anggapannya hal itu merupakan suatu yang wajar.

Sebab walaupun dia menaruh rasa cinta kepada Thi Eng khi, tapi berhubung sikap Thi Eng khi, hal ini membuatnya enggan untuk menegur pemuda tersebut dalam perjumpaan tersebut, serta merta diapun meminta kepada Bu naynay untuk menghentikan serangannya lebih dulu.

Padahal Bu naynay sudah merasa tak berhasil menangkan Thi Eng khi, maka ketika didengarnya Ciu Tin tin hanya menyuruh dia seorang yang menghentikan serangan, dianggapnya Ciu Tin tin hanya memikirkan adik Eng nya dan melupakan Bu naynay. Akibat dari semuanya itu, bukan saja serangannya tidak dihentikan, malahan dia melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga dan lebih gencar lagi. Bersamaan itu pula dia berseru sambil tertawa :

“Bocah keparat ini pada hakekatnya bukan manusia baik baik, sudah tahu kalau penghuni kuil semuanya perempuan, dia masih bersikeras hendak menyerbu masuk kedalam kuil, coba bayangkan saja apakah dia pantas untuk dihajar atau tidak?“

Sudah jelas dia tahu kalau Thi Eng khi adalah kekasih Ciu Tin tin, tapi lagaknya masih tetap seolah olah tidak tahu, hal ini membuat Ciu Tin tin menjadi amat jengah dan rikuh untuk buka suara.

Terpaksa sorot matanya yang jeli saja dialihkan ke wajah Thi Eng khi.

Tenaga dalam yang dimiliki Thi Eng khi sekarang sudah bukan tandingan dari Bu naynay lagi, tapi berhubung dia berniat memohon bantuan orang, maka pemuda itu sungkan untuk menggunakan kekerasan yang kelewat batas. Dalam pertarungan yang berlangsung, dia lebih mementingkan melindungi keselamatan sendiri daripada merebut kemenangan, dengan demikian Bu naynay tak sampai dikalahkan.

Kemunculan Ciu Tin tin secara mendadak itu sama sekali di luar dugaannya, karena di masa lalu hubungan mereka pernah dilewati dalam suasana tak enak, sehingga membuat hatinya menyesal, maka diapun merasa canggung untuk menegur Ciu Tin tin lebih dulu. Dia kuatir bila gadis itu tak sudi menggubriskan dirinya sehingga membuatnya mendapat malu.

Tapi kemudian, ketika dilihatnya Ciu Tin tin berpaling dan memandang kearahnya dengan sikap seakan akan ada perkataan tapi sukar diutarakan, dia menjadi tak tahan lagi, dengan cepat tubuhnya melompat mundur kebelakang kemudian memanggil :

“Enci Tin.“

Dalam keadaan demikian, Bu naynay tak dapat melanjutkan serangannya lagi, terpaksa dia mengundurkan diri pula ke samping sambil marah marah. Ciu Tin tin memandang sekejap wajah Thi Eng khi lalu menghela napas sedih katanya :

“Adik Eng, apakah ayahmu yang memberitahukan kepadamu bahwa aku berada di bukit Bu gi san?“

Ciu Tin tin mengira Thi Eng khi datang kesana untuk mencarinya, maka diajukannya pertanyaan tersebut. Sudah barang tentu Thi Eng khi dapat memahami pula apa yang dimaksudkan, namun dalam kenyataan dia sama sekali tak tahu kalau Ciu Tin tin sedang belajar silat disitu.

Dia datang ke bukit Bu gi san karena ingin mendapatkan Si toan kim khong yang langka itu. Oleh karena itu, dia sudah menaruh perasaan menyesal terhadap Ciu Tin tin, saat inipun dia tak ingin berbohong, maka sahutnya dengan kening berkerut :

“Enci Tin, terus terang siaute katakan siaute kemari karena ingin meminta Si toan kim khong.“

Dalam kecewanya, sempat terlintas rasa heran diatas wajah Ciu Tin tin, segera tanyanya :

“Adik Eng, demi siapakah kau telah melakukan perjalanan sejauh ini. ?“

“Demi keselamatan Pek leng siancu adik Leng serta pembenci raja akhirat Kwik Keng thian, siaute datang kemari untuk memohon Si toan kim khong dari sinni.“

Mendengar kalau Thi Eng khi bersusah payah demi Pek leng siancu So Bwe leng, Ciu Tin tin segera merasakan hatinya amat perih, sepasang matanya kontan terasa panas, hampir saja airmatanya jatuh bercucuran. Buru buru dia melengos ke samping dan berusaha menenangkan hatinya yang bergolak.

Thi Eng khi sendiripun merasakan hatinya bergetar keras, dia turut merasa amat sedih, tapi dewasa ini dia tak dapat mengutarakan isi hatinya maka sambil membusungkan dada dan mengeraskan hati katanya :

“Siaute ingin sekali berjumpa dengan Sim ji locianpwe, apakah enci Tin bersedia untuk membawaku menghadap?“ “Yaa, enci memang sudah sepantasnya melaporkan kunjunganmu itu, harap adik Eng tunggu sebentar, aku segera kembali,“ sahut Ciu Tin tin cepat meski hatinya amat pedih.

Dia lantas membalikkan badan dan melayang masuk kedalam kuil.

Mendadak Bu naynaya berseru :

“Sinni sudah pergi berpesiar!“

“Bukankah tadi orang tua masih berada di situ?“ bantah si gadis.

Bu naynay melirik sekejab ke arah Thi Eng khi lalu sahutnya : “Tadi adalah tadi, Sinn toh tak tahu kalau bocah keparat ini akan

datang kemari.“

Ia selalu menyebut dengan nama bocah keparat, dari sini dapat diketahui bahwa amarahnya belum pudar. Mendadak Ciu Tin tin teringat kalau suhunya pernah berkata hendak memberi nasehat kepada Thi Eng khi, tanpa terasa serunya dengan gelisah :

“Dia orang tua mengatakan kapan baru kembali?“

Sewaktu Thi Eng khi mendengar bahwa Sim ji sinni tak ada di kuil, diapun nampak sangat gelisah, serunya pula :

“Aduuuh celaka, kalau aku datang sedetik lebih awal, bukankah akan kujumpai dia orang tua? Waah, sekarang bagaiman baiknya? Bagaimana baiknya “

Bu naynay sama sekali tidak memandang Thi Eng khi, bahkan melirik pun tidak, hanya ujarnya kepada Ciu Tin tin :

“Sinni telah meninggalkan pesan tadi, kau diperintah untuk duduk semedi selama sehari penuh untuk melatih ilmu sinkang yang baru dipelajari, mulai sekarang dilarang berbicara dengan siapapun.“

“Aah, aku rasa suhu tak akan memberikan perintahnya seketat ini, Naynay, ijinkanlah Tin tin berbicara lebih banyak dengan adik Eng, boleh bukan?“ “Sinni menitahkan kepada Naynay untuk mengawasi dirimu secara ketat, sekalipun Naynay yang melarangmu untuk berbicara lagi dengan bocah keparat ini, apakah kau berani membangkang?“ kata Bu naynay dengan suara dingin.

Ciu Tin tin segera menghela napas panjang, setelah memandang sekejap ke arah Thi Eng khi, terpaksa dia berjalan masuk ke dalam kuil. Sekali lagi Bu naynay memandang sekejap ke arah Thi Eng khi kemudian diapun ikut masuk ke dalam kuil dan “Blaam!“ pintu

gerbang dibantingnya keras-keras.

Sewaktu Ciu Tin yin akan berlalu tadi, beberapa kali Thi Eng khi hendak memanggilnya untuk mencari tahu kabar tentang Si toan kim khong, akan tetapi sikap Bu naynay yang bengis dan galak itu, ucapan yang sudah sampai diujung bibir segera ditelannya kembali.

“Kini sinni tak ada di rumah, kalau merekapun dilepaskan begitu saja, kemana kita harus mencari Si toan kim khong tersebut?“ demikian ia berpikir.

“Bodoh!“ setelah mendamprat diri sendiri, dia segera melayang ke depan pintu kuil dan siap mendorongnya. Siapa tahu belum sempat dia mendorong pintu itu, pintu kuil telah membuka dengan sendirinya, kemudian muncullah kepala Bu naynay dari balik ruangan.

Dengan mata melotot besar, nenek itu kembali mendamprat : “Hei, katanya saja kau adalah seorang ciangbunjin, mengapa

begitu tak tahu adat? Kau tahu tidak kalau tempat ini adalah sebuah kuil nikou? Hmm. masih muda, sudah tak tahu adat, bagaimana

jadinya setelah dewasa nanti?“

Kontan Thi Eng khi merasakan mukanya menjadi panas karena jengah, darah panas tersirap diatas benaknya, tanpa mempedulikan keadaan luka dari So Bwe leng dan Kwik Keng thian, dia membalikkan badan dan beranjak pergi dari situ.

“Blaammm. “ pintu gerbang di belakang tubuhnya kembali

dibanting keras keras. Suara yang keras itu mendadak menyadarkan kembali anak muda itu, dia jadi menyesal dengan sikapnya sendiri yang begitu mudah terpengaruh emosi, coba kalau dirinya merengek dengan kata halus, siapa tahu si nenek yang menjemukan itu akan berubah pikiran?

Berpikir demikian, dia lantas berjalan balik lagi dan siap mengetuk pintu kuil. Sekarang dia sudah tahu, sekalipun dia harus merengek kepada orang lain demi kepentingan orang, hal mana sama sekali tak akan mempengaruhi nama baik serta wibawanya, malah sebaliknya bila sampai mencelakai jiwa orang, keadaan seperti itu lah yang baru pantas disesalkan.

Maka dia berjalan kembali lagi kedepan pintu kuil, kemudian sambil mengerahkan tenaga serunya kemudian :

“Thi Eng khi berbuat demikian bukan demi kepentingan sendiri, harap locianpwe suka berbuat kebajikan dengan menghadiahkan sedikit Si Toan kim khong kepada boanpwe. Benda itu, boanpwe butuhkan untuk mengobati dua orang korban dari Huan im sin ang.“

Suasana amat hening, dari dalam kuil Sam sim an sama sekali tak terdengar sedikit suarapun. Dengan tenang Thi Eng khi menunggu beberapa saat lamanya, ketika belum ada juga jawaban yang bergema, kemarahannya segera berkobar, teriaknya kemudian :

“Baiklah, bila kalian enggan menerima permintaan boanpwe ini, terpaksa Thi Eng khi akan menggunakan kekerasan!“

Sepasang telapak tangannya segera dirangkap menjadi satu kemudian hawa sakti Sian thian bu khek ji gi cin khinya dihimpun sebesar tiga bagian. Tatkala pukulan tersebut hampir dilontarkan ke depan, tiba tiba ia mendengar suara Ciu Tin tin bergema di sisi telinganya :

“Adik Thi, diatas kata sabar adalah sebilah golok, akibat dari kecerobohan hanya akan merugikan orang lain, juga akan merugikan diri sendiri, aku “

Belum habis ucapa tersebut diutarakan mendadak perkataan itu terhenti sampai di tengah jalan, jelas perbuatan si nona telah ketahuan. 

Salam hangat untuk para Cianpwee sekalian,

Setelah melalui berbagai pertimbangan, dengan berat hati kami memutuskan untuk menjual website ini. Website yang lahir dari kecintaan kami berdua, Ichsan dan Fauzan, terhadap cerita silat (cersil), yang telah menemani kami sejak masa SMP. Di tengah tren novel Jepang dan Korea yang begitu populer pada masa itu, kami tetap memilih larut dalam dunia cersil yang penuh kisah heroik dan nilai-nilai luhur.

Website ini kami bangun sebagai wadah untuk memperkenalkan dan menghadirkan kembali cerita silat kepada banyak orang. Namun, kini kami menghadapi kenyataan bahwa kami tidak lagi mampu mengelola website ini dengan baik. Saya pribadi semakin sibuk dengan pekerjaan, sementara Fauzan saat ini sedang berjuang melawan kanker darah. Kondisi kesehatannya membutuhkan fokus dan perawatan penuh untuk pemulihan.

Dengan hati yang berat, kami membuka kesempatan bagi siapa pun yang ingin mengambil alih dan melanjutkan perjalanan website ini. Jika Anda berminat, silakan hubungi saya melalui WhatsApp di 0821-8821-6087.

Bagi para Cianpwee yang ingin memberikan dukungan dalam bentuk donasi untuk proses pemulihan saudara fauzan, dengan rendah hati saya menyediakan nomor rekening berikut:

  • BCA: 7891767327 a.n. Nur Ichsan
  • Mandiri: 1740006632558 a.n. Nur Ichsan
  • BRI: 489801022888538 a.n. Nur Ichsan

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar