Website Cerita Silat Indomandarin Ready For Sale

 
Jilid 16

Kiranya setelah Ban li tui hong Cu Ngo ditolong jiwanya oleh Thian liong ngo siang dengan obat Toh mia kim wan dan meninggalkan perkumpulan Thian liong pay, tak lama kemudian ia terjatuh kembali ke tangan Huan im sin ang.

Tapi kali ini Huan im sin ang tidak menghendaki selembar jiwanya, melainkan mengancam dengan menggunakan nyawa dari Thi Eng khi serta Thian lion ngo siang sebagai taruhannya, Ban li tui hong Cu Ngo diperintahkan untuk menuruti semua perkataannya.

Ban li tui hong adalah seorang pendekar sejati di dalam dunia persilatan, sebagai seorang yang mengutamakan budi, setelah selembar jiwanya ditolong pihak Thian liong pay, tentu saja dia tak ingin disebabkan dirinya sehingga berakibat mencelakai jiwa tuan penolongnya.

Itulah sebabnya dengan syarat Huan im sin ang tak akan mencelakai jiwa Thi Eng khi dan Thian liong ngo siang, dia bersedia menjadi anak buahnya Huan im sin ang dan berbakti baginya.

Itulah sebabnya ketika Thi Eng khi datang ke perkampungan Ki hian san ceng tahun lalu, pemuda tersebut tidak bertemu dengan dirinya.

Kemudian Ban li tui hong Cu Ngo mendengar pula banyak kabar tentang Thi Eng khi, Huan im sin ang kuatir dia berkhianat maka kecuali mengancam dengan menggunakan keselamatan orang-orang Thian liong pay, diapun menggunakan suatu cara yang keji untuk mencelakai dirinya sehingga membuat jago ini tak berani menaruh perasaan untuk memberontak .....

Di samping itu, Ban li tui hong Cu Ngo yang sudah lama bergaul dengan Huan im sin ang, lama lama timbul juga perasaan ngeri bercampur takut terhadap car kerja serta kepandaian yang dimiliki Huan im sin ang ......

Betul, dia bisa saja tak usah menggubris keselamatan jiwanya, tapi ia tak bisa tidak harus memikirkan keselamatan dari orang orang Thian liong pay yang merupakan tuan penolongnya.

Ketika selesai mendengarkan kisah tersebut, Thi Eng khi segera menghela napas panjang, katanya :

“Padahal sikap Huan im sin ang terhadap diriku bukannya berubah karena Cu tayhiap bersedia mendengarkan perkataannya, penipuan semacam ini bukan cuma dialami oleh Cu tayhiap seorang, cucu kesayangan dari Tiang pek lojin pun merupakan suatu contoh yang paling baik.”

Menyusul kemudian dia lantas menceritakan kembali kisah tragis yang telah menimpa So Bwe leng. Setelah mendengarkan penuturan itu, Ban li tui hong Cu Ngo menghela napas panjang, katanya kemudian :

“Aaai, itu berarti pengorbananku selama ini untuk menuruti perkataan bajingan itu hanya sia-sia belaka, mulai sekarang sekalipun aku harus tersiksa dan menderita, tak akan kuturuti lagi perkataan dari bajingan tua itu.”

Thi Eng khi segera menggoyangkan tangannya berulang kali. “Menurut pendapatku, untuk sementara waktu lebih bak Cu

tayhiap tetap berada dalam istana Ban seng kiong lebih dulu!” katanya.

“Thi ciangbunjin, harap kau jangan mengejek diriku!” seru Ban li tui hong Cu Ngo sambil tertawa getir.

“Cu tayhiap selanjutnya bila kau dapat menyampaikan semua kabar atau rahasia yang kau ketahui tentang Huan im sin ang, bukankah hal ini berarti akan menguntungkan dunia persilatan?”

“Baiklah, aku akan menuruti perintah!” ucap Ban li tui hong Cu Ngo kemudian dengan wajah sungguh sungguh. Maka merekapun membicarakan pula cara untuk saling mengadakan kontak rahasia, sehingga untuk sesaat membuat Sam siang kiam kek dan Yan ciangbunjin melupakan persoalan yang paling dikuatirkan oleh mereka. Menanti persoalan tersebut sudah ada keputusannya, dengan agak tersipu sipu Sam siang kiam kek Pi Kiat baru menyinggung kembali persoalan lama.

“Cu tayhiap, sebenarnya tugas apakah yang kau bawa dalam kedatanganmu ke propinsi Sam siang ini?”

“Siaute datang untuk menyelidiki jejak dari seorang locianpwe

.....” jawab Ban li tui hong Cu Ngo tanpa tedeng aling aling lagi. “Siapakah locianpwe itu?” Tanya Yan Ciangbunjin.

“Pada puluhan tahun berselang, locianpwe itu merupakan seorang tabib sakti yang amat termasyur dalam dunia persilatan, orang menyebutnya sebagai Giam lo heng (pembenci raja akhirat) Kwik Keng thian, Kwik locianpwe.”

“Kwik locianpwe?” seru Yan Ceng wi dan Sam siang kiam kek hampir berbareng, “Bukankah dia orang tua telah meninggal dunia?”

“Locianpwe itu benar-benar sudah meninggal dunia?” seru Thi Eng khi pula dengan wajah tegang.

Sam siang kiam kek Pi Kiat manggut manggut.

“Walaupun Kwik locianpwe adalah penduduk Sam siang, tapi sudah lama ia meninggal dunia, dan lagi dimasa lalu diapun tidak berdiam disekitar tempat ini.”

Thi Eng khi segera merasakan hatinya menjadi dingin dan sedih, untuk sesaat dia tertunduk dengan wajah murung.

Tiba-tiba Sam siang kiam kek Pi Kiat berkata lagi :

“Cuma orang persilatan memang sukar diketahui mati hidupnya, bisa saja orang yang masih hidup dianggap sudah mati, bisa saja orang yang sudah mati dianggap hidup, bila tidak disaksikan dengan mata kepala sendiri, siapapun tak dapat mengatakan secara pasti.”

Perasaan Thi Eng khi yang sudah diliputi perasaaan kecewa itu segera berkobar kembali setitik pengharapan, walaupun pengharapan itu sedemikian tipisnya, namun dia tak akan melepaskannya dengan begitu saja.

Yan Ceng wi lantas bertanya lagi :

“Tahukan Cu tayhiap, apa yang menjadi tujuan Huan im sin ang dalam usahanya menemukan jejaknya dari Giam lo heng Kwik locianpwe?”

“Dalam memberikan perintahnya kepada seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, gembong iblis itu tak pernah menerangkan alasannya, tugasku hanya melakukan pemeriksaan di sekitar tempat ini, tentang persoalan selanjutnya bila jejak Kwik locianpwe diketahui, aku kurang bergitu mengerti.”

“Apakah kau sudah mendapatkan sesuatu hasil?” buru buru Thi Eng khi bertanya.

Ban li tui hong Cu Ngo segera menggelengkan kepalanya berulang kali, sahutnya :

“Mencari sebatang jarum di dasar samudera, apakah pekerjaan ini bisa dianggap gampang? Sudah setengah tahun lamanya aku bekerja keras, namun setitik bayangan pun tidak berhasil kutemukan, malahan jejakku ini menimbulkan kecurigaan dari Yan ciangbunjin dan Pi tayhiap.”

Sam siang kiam kek Pi Kiat segera tertawa lebar, ujarnya : “Yan ciangbunjin sudah menaruh perasaan was was terhadap

kemunculan Huan im sin ang di dalam dunia persilatan, oleh sebab itu semua anggota perguruannya melakukan pengawasan yang ketat terhadap setiap umat persilatan yang datang dari luar, apalagi kedatangan Cu tayhiap ke tempat ini sudah mencapai setengah tahun lamanya, apakah hal ini tak akan menimbulkan kecurigaan orang?” Ban li tui hong Cu Ngo segera menghela napas panjang setelah mendengar perkataan itu, katanya :

“Andaikata setiap umat persilatan di pelbagai daerah bisa berwas was seperti Yan ciangbunjin, sudah pasti Huan im sin ang tak akan berhasil memperoleh hasil seperti apa yang dia capai pada saat ini.”

Jelas dari ucapan tersebut menunjukkan kalau kekuasaan Huan im sin ang telah meliputi seantero jagad. Mendengar perkataan itu, Thi Eng khi bertiga menjadi murung, kesal dan sedih.

Mendadak Ban li tui hong Cu Ngo bangkit berdiri, kemudian ujarnya dengan keras :

“Sekarang jejakku sudah ketahuan, sudah jelas aku tak dapat berdiam disini lebih lama lagi, aku harus segera kembali untuk menyampaikan laporan.”

Setelah berhenti sejenak, dia berkata lebih jauh :

“Setelah kepergianku, harap kalian berdua suka memperhatikan dengan lebih seksama lagi terhadap daerah di sekitar di tempat ini, kemungkinan besar gembong iblis tua itu akan mengirim orang lain untuk datang kemari.”

Thi Eng khi segera menyampaikan pula pesannya tentang tempat tempat untuk mengadakan kontak, tapi toh dia tetap bersabar tidak mengungkapkan tujuannya untuk mencari si pendendam raja akhirat Kwik Kong thian, bukannya dia tak percaya terhadap mereka, melainkan kuatir kalau sampai terjadi hal-hal yang sama sekali diluar dugaan.

Setelah semua orang keluar dari lembah, merekapun berpencar menuju ke tempat tujuan masing-masing. Thi Eng khi menginap semalam di kota Lu si, untuk kemudian pada keesokan harinya melanjutkan kembali perjalanannya.

Walaupun bukit Huan keng san terletak di propinsi Kui ciu, tapi letaknya berada di antara sungai Wan kang dan Hu kang, sehingga bersambungan dengan bukit Bu leng san. Dengan melewati Kan sia, Thi Eng khi berangkat ke Siong tho dan masuk propinsi Oulam. Baru saja dia bersiap siap untuk mendaki bukit itu, mendadak suara ringkikan kuda berkumandang dari balik sebuah lembah bukit. Ketika mendengar suara pekikan tersebut, kuda hitam Hek liong kou turut meringkik keras, kemudian dengan suatu gerakan yang amat cepat menerjang masuk kedalam lembah itu.

Setelah ada pengalaman sekali, Thi Eng khi tidak mengekang jalan lari kuda Hek liong kou tersebut, dia membiarkan kuda itu lari semaunya sendiri disamping rasa ingin tahunya membuat diapun bernapsu untuk mengetahui apa gerangan yang terjadi di situ.

Kuda Hek liong kou yang ditunggangi Thi Eng khi berlari amat kencang sekali, sebelum memasuki lembah bukit tersebut mendadak tampak sesosok bayangan hitam sedang meluncur keluar dari balik lembah dengan kecepatan tinggi. Ternyata bayangan hitam itupun merupakan seekor kuda Hek liong kou pula, dengan gerak gerik seperti gembira, kuda hitam tersebut menyongsong kedatangan mereka.

Kuda hitam yang ditunggungi Thi Eng khi segera meluncur maju beberapa kaki kemudian saling bergesekan dengan kuda hitam yang baru muncul. Melihat hal itu, Thi Eng khi segera melompat turun dari punggung kudanya dan membiarkan sepasang kuda hitam itu saling bermesraan, pikirnya :

“Jika kuda Hek liong kou ini tiada pemiliknya, ooh, sungguh menyenangkan sekali.”

Maka diapun segera mengamati pelana kuda Hek liong kou itu dengan seksama, dia ingin tahu apakah diatas punggung kuda itu terdapat barang lain. Mendadak terdengar ujung baju tersampok angin bergema datang dari belakang tubuhnya, buru buru dia membalikkan badannya sambil bersiap siap.

Tampaklah seorang kakek berjubah lebar berwarna kuning telah berdiri tak jauh di belakang tubuhnya. Agaknya kakek itu tak menyangka kalau Thi Eng khi memiliki kepandaian silat yang begitu tinggi, sehingga gerakan tubuhnya segera diketahui pemuda itu begitu dia mencoba untuk mendekat, rasa tercengang dengan cepat menyelimuti wajahnya. Kakek berjubah kuning itu tertegun beberapa saat lamanya, mendadak ia mendongakkan kepalanya sambil tertawa gelak.

“Haaahhh.... haaahhh.... haahhhh anak muda, tajam benar

pendengaranmu! Benar benar tak malu disebut seorang jagoan muda dalam dunia persilatan. Yaa, lohu memang sudah tua, orang baru memang harus menggantikan yang tua!”

Baru pertama kali ini Thi Eng khi dipuji orang, mukanya yang putih kontan saja berubah menjadi merah padam karena malu.

“Locianpwe terlalu memuji, membuat aku menjadi malu saja,” katanya sambil tersenyum, “Locianpwe gagal dan berwajah anggun, sudah pasti seorang tokoh sakti, bolehkah aku tahu siapa namamu?”

Kakek berjubah kuning itu menghela napas sambil menggelengkan kepalanya berulang kali.

“Sudah puluhan tahun lamanya lohu tak pernah menginjakkan kaki dalam dunia persilatan, nama yang lalu tak usah disinggung kembali! Kulihat engkoh cilik menyoren pedang Thian liong kim kiam, apakah kau adalah Thi ciangbunjin dari Thian liong pay?”

Padahal Thi Eng khi tak usah berpikir panjang pun dia dapat menemukan banyak sekali titik kelemahan dibalik ucapan si kakek berjubah kuning itu, seandainya dia benar benar tidak mencampuri urusan dunia persilatan, darimana pula bisa mengetahui namanya?

Cuma saja dia merasa rikuh untuk mengungkapkan titik kelemahan orang, apalagi mereka baru berjumpa satu kali, maka diam diam dia merasa geli, tapi paras mukanya masih tetap tenang seperti sedia kala.

“Yaa, benar boanpwe memang Thi Eng khi dari partai Thian liong pay ” sahutnya kemudian.

Mendadak paras muka kakek berjubah kuning itu berubah menjadi tak senang hati, katanya tiba-tiba : “Apakah bocah keparat she Seng yang suruh kau datang mencari lohu disini?”

Mendengar perkataan itu, Thi Eng khi menjadi tertegun tapi dengan cepat diapun menjadi mengerti. Mungkin kakek berjubah kuning itu tak suka berjumpa dengan orang luar, maka kedatangannya membuat ia jadi tak senang hati.

Buru buru katanya :

“Harap locianpwe jangan salah paham, boanpwe hanya secara kebetulan salah lewat disini, bukannya ada maksud untuk mengganggu ketenangan locianpwe.”

Kemudian diapun menerangkan kisah yang sebenarnya terjadi, dimana kuda hitamnya lari ke tempat itu. Akhirnya tanpa mempedulikan apakah kakek berjubah kuning itu bersedia memaafkan dirinya atau tidak, dia segera menjura seraya berkata :

“Boanpwe ingin mohon diri lebih dulu!”

Dengan cepat dia melompat naik keatas punggung kudanya, menarik tali les dan siap berlalu dari situ. Sungguh aneh sekali gerak gerik dari kakek berjubah kuning itu, menyaksikan Thi Eng khi hendak pergi, rasa tak senang hati yang semula menghiasi wajahnya kontan lenyap tak berbekas.

“Haaahhh.... haaahhh.... haaahhhh Thi sauhiap, apakah kau

marah kepada lohu?” tegurnya.

Sesungguhnya Thi Eng khi memang merasa agak mendongkol, akan tetapi setelah mendengar perkataan dari kakek berjubah kuning itu, terpaksa dia harus menahan lari kudanya lagi seraya berkata :

“Harap locianpwe jangan berpikir yang bukan bukan, sesungguhnya boanpwe benar benar masih ada urusan penting yang harus diselesaikan dengan cepat, maka aku tak bisa berdiam terlalu lama disini!”

Mendadak kakek berjubah kuning itu menghadang jalan pergi Thi Eng khi, kemudian ujarnya : “Selamanya lohu mempunyai suatu watak yang sangat aneh, yakni selamanya tak akan menerima orang yang datang untuk mencariku, tapi bila orang itu bertemu dengan lohu tanpa disengaja, lohu pasti akan memberi sedikit kebaikan kepadanya.”

Setelah berhenti sebentar, dia menuding kearah kuda yang berada di sampingnya, kemudian sambungnya lebih jauh :

“Bukankah kau tertarik dengan kuda Meh liong kou milik lohu ini?

Nah, lohu akan menghadiahkan kuda itu kepadamu!”

Thi Eng khi sama sekali tak menyangka kalau kakek berjubah kuning itu berwatak begini aneh, baru berbicara dua tiga patah kata, kuda jempolan miliknya telah dihadiahkan kepada orang, tentu saja hal ini membuat hatinya amat gembira. Sekalipun demikian, dimulut dia masih berkata agak sungkan :

“Pemberian locianpwe yang begitu besar, mana berani boanpwe terima? Lebih baik locianpwe menarik kembali ucapan itu.”

Tampaknya kuda Meh liong kou tersebut memahami ucapan dari si kakek berjubah kuning itu, dengan sikap seperti berat hati, dia mendekati kakek tersebut dan menarik narik ujung bajunya.

Kakek berjubah kuning itu segera mengebaskan ujung bajunya seraya berseru :

“Tak usah banyak berbicara lagi, cepat bawa dia pergi!”

Termakan oleh kebasan tangan kakek berjubah kuning itu, kuda hitam tadi segera terhantar ke hadapan Thi Eng khi. Terpaksa Thi Eng khi mengucapkan banyak terima kasih kepada kakek berjubah kuning itu, satu orang dengan dua ekor kuda segera berlari keluar dari lembah tersebut.

Lari kuda Meh liong kou memang cepat luar biasa, tak lama kemudian puncak Huan keng san secara lamat lamat sudah muncul didepan mata. Thi Eng khi segera berpekik nyaring, dia melarikan kuda Meh liong kounya semakin cepat lagi.

Menyaksikan bukit Huan keng san setapak demi setapak semakin dekat, Thi Eng khi merasa gembira sekali. Pada saat itulah, mendadak tampak sesosok bayangan manusia berwarna merah melompat keluar dari samping jalan seperti sekuntum awan merah dan melompat naik keatas kuda kosong yang mengikuti dibelakang Thi Eng khi.

Bersama itu pula terdengar seseorang tertawa cekikikan sambil berseru dengan gembira:

“Engkoh Tiok, kau sangat baik, kau telah membawakan ”

Belum habis ucapan tersebut diutarakan terdengar kuda Meh liong kou itu meringkik panjang, kaki belakangnya menyepak nyepak keras, lalu berputar satu lingkaran, dia melempar tubuh si nona berbaju merah itu dari atas punggungnya.

Kebetulan Thi Eng khi sedang berpaling karena mendengar suara tersebut, menyaksikan nona berbaju merah itu terlempar dari atas punggung Meh liong kou, kuatir dia sampai terluka, dengan cepat tubuhnya melejit ke tengah udara dengan jurus Thian liong sip sui (naga langit menghisap air) untuk menyambar tubuh nona berbaju merah itu.

Tampaknya ilmu silat yang dimiliki nona berbaju merah itu pun cukup tangguh, justru lantaran panik dia baru kena dilemparkan dari atas punggung kuda tersebut. Dengan cepat tubuhnya berjumpalitan dengan jurus cay hong keng tian (burung hong mematahkan sayap) dan melayang turun di samping tubuh Thi Eng khi.

Ketika dua orang itu saling bertatapan, muka nona berbaju merah itupun baru membentak secara tiba tiba dengan kening berkerut :

“Bocah keparat, siapakah kau? Berani benar menggunakan kuda Meh liong kou untuk mengelabui nona?”

Seraya berkata telapak tangannya segera diayunkan kemuka untuk menampar wajah Thi Eng khi. Menyaksikan nona berbaju merah itu mengayunkan telapak tangannya secepat kilat, dengan cekatan Thi Eng khi berkelit ke samping lalu mundur, kemudian sambil mengoyangkan tangannya berulang kali serunya cepat cepat

: “Nona, kau sendiri yang kurang berhati hati, mengapa sekarang malahan memukul aku?”

Dalam malu dan gusarnya, nona berbaju merah itu sama sekali tidak menggubris pertanyaan dari Thi Eng khi, begitu serangannya mengenai sasaran yang kosong, telapak tangan yang lain segera melancarkan serangkaian serangan berantai.

Secara beruntun Thi Eng khi menghindarkan diri dari tiga buah serangan lawan, ketika dilihatnya nona berbaju merah itu semakin kalap tiada hentinya, lama kelamaan hawa amarahnya berkobar juga, diam diam dia mengerahkan sian thian bu khek ji gi sin kang untuk melindungi wajah lalu tanpa berkelit lagi dia sambut tamparan tersebut, tujuannya ingin memberi pelajaran kepada sang nona tersebut.

Sudah barang tentu nona berbaju merah itu tidak menyangka kalau Thi Eng khi ada niat untuk memberi pelajaran kepadanya, melihat gerakan tubuhnya menjadi lambat sehingga terbuka sebuah titik kelemahan, dengan cepat tubuhnya menerobos maju ke depan sambil mengayunkan telapak tangannya berulang kali.

“Plaak, plaaak!” beberapa kali tamparan keras bersarang telak di atas pipi Thi Eng khi, tapi dia segera merasakan telapak tangannya seperti menghajar diatas baja yang amat keras, membuat telapak tangannya tergetar keras dan akibatnya sakit bukan kepalang. 

Akhirnya sambil menjerit kaget, bayangan merah tampak berkelebat lewat dan tahu tahu bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata. Walaupun Thi Eng khi berhasil memukul mundur nona berbaju merah itu, akan tetapi dia sendiripun merasa amat tak enak hatinya, sambil mencemplak kudanya dengan wajah lesu pelan pelan melanjutkan kembali perjalanannya.

Ketika ia tiba di tepi bukit Huan keng san, tampaklah nona berbaju merah itu telah muncul kembali diiringi seorang nenek yang sudah berkeriput. Begitu menampakkan diri, nona berbaju merah itu segera menuding ke arah Thi Eng khi dan berseru kepada si nenek dengan manja.

“Popo, keparat itulah orangnya, dia hendak menggunakan cara yang licik untuk membohongi orang. Lihat, kuda Meh liong kou milik engkoh Tiok pun telah dirampas olehnya!”

Nenek itu memang berangasan sekali orangnya, tanpa menanyakan duduk persoalan lagi, dia segera membentak keras :

“Bocah keparat, kau berani mempermainkan nona kami? Aku harus membacok tubuhmu hidup hidup!”

Sambil bergerak maju ke depan dia melepaskan serangannya dengan jurus Tui bun kian san (mendorong pintu melihat bukit), serangannya tertuju ke dada si anak muda itu.

Thi Eng khi segera berkerut kening :

“Hmm!”

Sambil mendengus dingin, kelima jari tangannya yang dibentangkan seperti kaitan menyambar jalan darah Tay leng hiat pada nadi pergelangan tangan si nenek dengan jurus Kim liong than jiau (naga emas mementangkan cakar).

Nenek itu Nampak terkesiap, buru buru dia menarik kembali tangannya sambil mundur lima langkah, kemudian sambil menatap tajam wajah Thi Eng khi, tegurnya dengan nada dingin :

“Kau berasal dari perguruan Thian liong pay?”

Thi Eng khi tak ingin sembarangan melakukan kesalahan terhadap orang yang tak dikenalnya, apalagi kedatangannya ke bukit Huan keng san adalah untuk mencari orang. Mendengar perkataan itu, buru buru dia membungkukkan badannya seraya menjawab :

“Aku adalah ciangbunjin angkatan sebelas dari Thian liong pay, Thi Eng khi adanya!”

Nenek itu memandang sekejap kearah nona berbaju merah itu dengan sorot mata sangsi, kemudian serunya :

“Nona Un, kau ” Nona berbaju merah itu segera mencibirkan bibirnya dengan wajah tak senang hati.

“Popo, apa yang kau takuti? Apa sih hebatnya dengan Thian liong pay? Hajar saja orang itu, pokoknya aku yang bertanggung jawab.”

Mendadak nenek itu tertawa tergelak.

“Haaahhhh.... haaahhh.... haaahhhh nona Un, berani aku

untuk menghajarnya.”

“Kalau memang berani, mengapa popo tidak segera turun tangan?” kata si nona berbaju merah itu dengan nyaring.

Si nenek segera mendelik besar, ujarnya :

“Seandainya dia sahabat karib dari engkoh Tiok mu dan bila kita hajar dia sekarang, bagaimanakah pertanggung jawabanmu terhadap engkoh Tiok dikemudian hari?”

Nona berbaju merah itu menjadi tertegun lalu sambil berpaling kearah Thi Eng khi, bentaknya :

“Eeeh apakah kenal dengan Hui cun siukay (sastrawan

penolong manusia) Seng Tiok sian?”

“Aku dan saudara Seng berkenalan secara kebetulan, karena merasa cocok satu sama lain maka bersahabat, kuda Meh liong kou ini adalah pinjaman darinya.”

Tahu kalau Thi Eng khi adalah sahabatnya Seng Tiok sian, sikap nona berbaju merah itu segera berubah seratus delapan puluh derajatm dengan wajah berseri katanya kemudian:

“Kalau begitu, apakah dia menitipkan seekor kuda Meh liong kou yang lain itu kepadamu untuk dihadiahkan kepadaku?”

“Kuda Meh liong kou yang lain adalah pemberian seorang kakek berjubah kuning untukku!”

“Kau kenal dengan kakek berjubah kuning itu?” kembali nona berbaju merah itu bertanya. Thi Eng khi segera menggelengkan kepalanya berulang kali. “Aku sama sekali tidak kenal dengan dia orang tua.”

“Kalau toh kalian tidak saling mengenal apa sebabnya dia menghadiahkan kuda Meh liong kou tersebut kepadamu?” Tanya si nona tersebut lebih jauh.

Thi Eng khi merasa alasan dari si kakek berjubah kuning ketika menghadiahkan kuda Meh liong kou tersebut kepadanya tak bisa dianggap sebagai suatu alasan yang bisa diterima dengan akal sehat, terpaksa sambil tertawa getir katanya :

“Aku tak dapat menjawab pertanyaan dari nona itu.”

Mendadak si nona berbaju merah itu berkerut kening, kemudian dengan wajah dingin katanya :

“Omong kosong, aku sudah berapa tahun meminta kuda itu dari dia orang tua, tapi dia orang tua selalu pelit dan tak sudi memberikan kepadaku, masa sekarang tanpa sebab musabab dia menghadiahkan kuda Meh liong kou tersebut kepadamu? Benar benar sebuah lelucon yang tidak lucu ! Cepat katakan, siapakah

kau? Dan ada urusan apa datang ke bukit Huan keng san ini? Bila kau berani bermain licik lagi, jangan salahkan kalau nona tak akan sungkan sungkan kepadamu.”

Menghadapi keadaan seperti ini, Thi Eng khi dibuat naik darah juga, pikirnya kemudian :

“Sikap orang ini terhadap orang lain benar benar tak sungkan sungkan.”

Baru saja dia akan mengumbar hawa amarahnya, mendadak teringat kembali olehnya akan nasib Pek leng siancu So Bwe leng yang terancam bahaya maut, apakah nona itu masih ada harapan untuk hidup atau tidak, semuanya tergantung pada Giam lo heng Kwik Keng thian yang dicarinya selama ini.

Berada dalam keadaan begini, dia merasa tidak seharusnya mencari banyak urusan dengan orang lain. Berpikir demikian, amarahnya segera mereda, kemudian sambil menahan gejolak perasaannya, dia berkata :

“Aku datang kemari untuk memohon kepada si Pembenci raja akhirat Kwik locianpwe agar dia suka menyembuhkan penyakit seseorang, bila nona bersedia memberitahukan tempat tinggal Kwik locianpwe kepadaku, aku akan merasa berterima kasih sekali.”

Mendadak nona berbaju merah itu tertawa terpingkal pingkal seperti menghadapi suatu kisah cerita yang menggelikan sekali.

“Haaahhh.... haahhhhh.... haaahhh kau hendak mencari si

Pembenci raja akhirat Kwik locianpwe? Popo, percayakah kau dengan perkataan itu?”

Si nenek yang mendengar perkataan itu turut merasa geli sehingga tertawa tergelak, menyusul kemudian sambil mengerutkan wajahnya yang telah berkeriput, dia berkata :

“Dia orang tua tidak berada di bukit Huan keng san!”

Berada di bukit Huan keng san atau tidak adalah suatu persoalan, paling tidak dari pembicaraan tersebut Thi Eng khi ingin mengetahui apakah si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian masih berada di dunia ini atau tidak, malah dari pembicaraan orang, tampaknya mereka tahu akan tempat tinggal dari pendendam raja akhirat Kwik Keng thian, hal ini membuat pemuda tersebut menjadi girang sekali.

Buru buru dia menjura dengan hormat kepada nenek itu, lalu pintanya dengan nada memelas :

“Popo, harap kau bermurah hati dengan memberitahukan tempat tinggal dari Kwik locianpwe itu kepadaku, atas kebaikanmu itu, boanpwe pasti akan merasa berterima kasih sekali.”

Nenek itu menghela napas panjang.

“Aaai. bukannya aku tak ingin memberitahukan kepadamu,”

katanya pelan, “tapi setiap orang yang kenal dengan dia orang tua, tak nanti akan memberitahukan tempat tinggalnya kepadamu!”

“Mengapa?” Tanya Thi Eng khi dengan perasaan cemas. “Itulah satu satunya permintaan yang dia orang tua pintakan untuk menjaga hubungan persahabatan diantara kami semua, siauhiap, tentunya kau tak akan menyalahkan diriku bukan?”

Walaupun masa Thi Eng khi terjun dalam dunia persilatan amat pendek, namun dia cukup mengenal tentang watak aneh dari orang- orang persilatan serta sifat memegang janji yang selalu mereka pegang teguh.

Dia tahu bahwa nenek itu tak nanti akan memberitahukan alamat dari si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian kepadanya, maka diapun tidak terlalu memaksa sebaliknya menyusun rencana lain.

Rupanya dari pembicaraan si nenek tadi, ia mendapat kesan bahwa si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian meskipun tidak tinggal di bukit Huan keng san, paling tidak tempat tersebut tak jauh letaknya dari sana.

Orang bilang : Tiada pekerjaan yang sulit di dunia ini, yang penting adalah kemauan.

Tiba tiba timbul perasaan tinggi hati dalam benaknya , dia tidak percaya kalau tabib sakti tersebut tak bisa ditemukan dengan pencarian yang dilakukan sendiri. Maka setelah mengucapkan terima kasih kepada nenek itu, dia membalikkan badannya siap pergi. Siapa tahu nona berbaju merah itu segera menghadang jalan perginya sambil berseru :

“Kau hendak mengundang dia orang tua untuk menyembuhkan penyakit siapa?”

Thi Eng khi memang seorang yang pintar, mendengar dari nada suaranya, dia lantas tahu kalau pertanyaan sinona itu ada maksud tertentu, maka dia lantas mengisahkan bagaimana Pek leng siancu So Bwe leng terluka dan tak mau menerima pengobatan dari lawan

......

Nona berbaju merah itu nampak terharu sekali, sehabis mendengar kisah tersebut, airmatanya jatuh bercucuran membasahi pipinya, kebinalan dan kekasarannya kontan lenyap tak berbekas, mendadak ia memanggil lirih :

“Popo ”

Cepat cepat nenek itu melengos kearah lain tanpa menggubris dirinya. Nona berbaju merah itu segera mendepak depakkan kakinya keatas tanah, seperti sudah mengambil keputusan , tiba tiba serunya

:

“Biar aku yang memberitahukan kepadamu!”

Nenek itu tampak terperanjat, buru buru serunya :

“Nona Un, kau lupa dengan janji kita kepada dia orang tua?”

“Enci dari keluarga So itu cukup mengenaskan sekali nasibnya,” kata nona berbaju merah itu dengan sedih, “kita tak usah mempersoalkan hal itu lagi, apalagi jika kita melihat si sakit tanpa menolong, lantas apa gunanya membicarakan keadilan kek, soal berkelana dalam dunia persilatan kek aku pikir sekalipun ayah

tahu, dia juga tak akan menyalahkan aku.”

Ternyata nona berbaju merah itu hanya berkata dengan emosi saja tanpa menyebut alamat dari si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian, kepalanya kemudian tertunduk seperti lagi termenung.

Thi Eng khi menarik napas panjang panjang untuk menahan denyutan jantungnya yang serasa melompat keluar dari rongga dadanya itu, dengan tenang dia berdiri di situ sambil menunggu keputusan terakhir dari si nona.

Mendadak sekulum senyuman menghiasi wajah nona berbaju merah itu, sambil bertepuk tangan serunya :

“Aaah, aku punya sebuah cara yang bagus, cara itu amat sempurna dan tak akan merugikan kedua belah pihak, mari kita bermain teka teki saja!”

Thi Eng khi tidak tahu teka teki apa yang hendak diucapkan olehnya, saking kuatirnya tak bisa menebak sehingga membengkalaikan urusan besar, dengan wajah tegang ia memasang telinga baik baik. Pelan pelan nona berbaju merah itu mengalihkan sorot matanya keatas punggung si kuda hitam tanpa pelana itu, Thi Eng khi mengira dia ingin mendapatkan kuda hitam tersebut, maka buru buru serunya :

“Jika nona suka dengan kuda hitam ini, bagaimana kalau kuhadiahkan saja kepada nona?”

Nona berbaju merah itu segera tersenyum.

“Terima kasih atas maksud baikmu,” katanya, “kuda itu toh hadiah dari dia orang tua untukmu!”

Sewaktu mengucapkan kata “dia orang tua” sengaja aksennya diperberat. Dasar memang cerdas, Thi Eng khi segera menyadari sesuatu, buru buru dia menjura kepada nona berbaju merah itu seraya berseru :

“Terima kasih banyak nona atas petunjukmu!”

Lupa menanyakan lagi dia lantas melompat naik ke atas kuda hitam itu dan melarikannya menelusuri jalan semula. Dari arah belakang sana, ia masih sempat mendengar nona berbaju merah itu berseru nyaring :

“Bila berjumpa dengan engkoh Tiok, tolong sampaikan kepadanya, mengapa sudah lama dia tak pulang ke bukit Huan keng san?”

Dengan kecepatan bagaikan hembusan angin, Thi Eng khi melarikan kudanya kembali ke lembah dimana dia berjumpa dengan kakek berjubah kuning itu, lalu kepada kuda hitam pemberian si kakek berjubah kuning, serunya nyaring :

“Hayo jalan! Kembali ke tempat kediaman majikan tuamu!”

Kuda hitam itu segera meringkik panjang dengan melewati Thi Eng khi segera berlarian lebih dulu dimuka. Thi Eng khi benar benar merasa gembira sekali, diapun turut berpekik nyaring hingga suaranya menggetarkan seluruh lembah. Dua ekor kuda ditambah seorang pemuda segera berputar kesana putar kemari setengah harian kemudian akhirnya mereka menelusuri sebuah gua yang panjang beberapa li.

Ketika keluar dari gua itu, dihadapannya terbentang sebuah kebun yang luas dengan bau bunga yang harum semerbak. Tanpa terasa Thi Eng khi merasakan semangatnya berkobar kembali, dengan cepatnya mereka melanjutkan perjalanan ke depan dan akhirnya berhenti didepan sebuah rumah gubuk.

Thi Eng khi segera melompat turun dari kudanya, tapi tak berani langsung masuk ke dalam. Dari depan pintu dia hanya berseru dengan suara lantang :

“Boanpwe Thi Eng khi mohon berjumpa dengan Kwik locianpwe.”

Suasana dalam ruangan itu sunyi senyap, tak kedengaran suara jawaban, dua kali Thi Eng khi berseru lantang, namun tak kedengaran juga suara sahutan. Terpaksa Thi Eng khi harus mendorong pintu dan berjalan masuk ke dalam.

Pada ruangan pertama merupakan ruangan tamu, kursi dan meja terbuat dari perabot yang sederhana, hanya lantainya bersih tanpa debu sehingga menimbulkan perasaan segar bagi yang melihatnya.

Pada dinding sebelah kiri tergantung sebuah lukisan “Tong thian san tong” pemandangannya indah dan juga menawan. Sedang di sebelah kanan juga tergantung sebuah lukisan, itulah lukisan pemandangan salju dari pelukis kenamaan pada ahala Lam song.

Kedua buah lukisan itu merupakan lukisan pelukis kenamaan, dari sini membuktikan kalau orang tua itu merupakan seorang ahli seni yang baik.

Berhubung tuan rumah belum pulang, Thi Eng khi tak berani memasuki kamar yang lain, maka dia menanti di ruang tamu sambil menikmati hasil karya pelukis kenamaan tersebut. Lambat laun suasana di depan rumah makin suram, malam telah menjelang tiba membuat suasana dalam ruangan tamu pun semakin remang remang. Tenaga dalam yang dimiliki Thi Eng khi amat sempurna, dia sudah memiliki kepandaian untuk melihat didalam kegelapan, tapi berbicara tentang sopan santun dia tak ingin duduk seorang diri dalam kegelapan seperti seorang pencuri, sebab bukan saja hal ini tidak menunjukkan kejujuran, juga sedikit agak mencurigakan orang.

Keadaan semacam ini gampang sekali menimbulkan kecurigaan serta sikap memandang rendah tuan rumah bila secara kebetulan kembali kerumahnya. Maka dia mencari dulu disekeliling di ruangan tamu itu, ketika tidak dijumpainya lentera, dia ragu untuk memasuki ruangan kedua, terpaksa pemuda itu duduk menanti kembali beberapa saat.

Setengah jam kembali sudah lewat, tampaknya hari ini Si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian tak mungkin akan segera kembali. Dalam keadaan begini, mendadak Thi Eng khi mendapatkan suatu pikiran aneh, orang persilatan biasanya bebas tanpa mengikat diri pada peraturan serta segala tetek bengek adat istiadat, malah tindakannya ini justru mencerminkan kesempitan jiwanya.

Maka sambil menertawakan kebodohan sendiri, dia bangkit dan berjalan masuk ke bilik sebelah kanan, tempat itu merupakan suatu ruangan untuk bersemedi, kecuali sebuah pembaringan bambu ditambah sebuah kasur untuk duduk, tiada lain yang terlihat.

Maka diapun memasuki ke dalam bilik lain, tempat itu merupakan sebuah kamar baca. Meja tulis diletakkan dekat jendela bambu, ternyata di depan meja terlihat sesosok tubuh manusia duduk di sana. Dengan terkejut, Thi Eng khi mundur dua langkah sambil menjerit tertahan :

“Siapa kau?”

Pada hakekatnya pertanyaan semacam itu tidak berguna, tak heran kalau Thi Eng khi segera tertawa geli setelah mendengar pernyataan mana diutarakan, kalau orang itu bukan Pembenci raja akhirat Kwik Keng thian, siapa lagi dirinya? Untung saja pihak lawan tidak bermaksud untuk menertawakannya, dia cuma cukup membungkam diri dalam seribu bahasa. Pelbagai rasa curiga segera berkecamuk dalam benak Thi Eng khi, meski begitu ujarnya pula dengan hormat :

“Boanpwe Thi Eng khi telah memasuki ruangan locianpwe tanpa permisi, untuk itu harap locianpwe sudi memaafkan!”

Belum ada juga sesuatu reaksi dari bayangan manusia tersebut.

Satu ingatan lantas melintas dalam benak Thi Eng khi, pikirnya kemudian :

“Jangan jangan dia bukan Kwik locianpwe?”

Dengan cepat dia melompat ke depan sambil menyambar bahu bayangan hitam itu. Ternyata tangannya menyentuh sebuah badan yang sudah dingin dan kaku, sewaktu kena tersentuh olehnya tadi, tubuh itu segera roboh terjengkang ke samping.

Mimpipun Thi Eng khi tidak menyangka kalau bayangan hitam itu adalah sesosok mayat, pertama karena dia tak siap, kedua iapun belum berpengalaman menyentuh mayat, sekalipun ilmunya sangat tinggi, tak urung anak muda itu mundur juga beberapa langkah dengan perasaan amat terkejut.

“Blaaammm. !” mayat itu segera roboh terjengkang keatas

tanah dengan menimbulkan suara keras. Thi Eng khi merasa terkesiap sekali oleh suara mayat yang roboh menyentuh tanah itu, segera pikirnya lagi :

“Habis sudah, semuanya habis sudah punah seluruh harapanku

kali ini!”

Semacam perasaan sedih dan kecewa membuat Thi Eng khi merasakan pandangan matanya menjadi gelap dan tubuhnya mundur lagi beberapa langkah dengan gontai. Akhirnya dia berusaha keras untuk menenangkan hatinya, mula mula dicarinya sebuah lentera kecil untuk membuat lampu, begitu cahaya api memancar keempat penjuru seluruh ruangan menjadi terang benderang bermandikan cahaya. Mayat itu masih terbaring dibawah bayangan gelap dari meja tulis.....

Dengan memberanikan diri, Thi Eng khi menggeserkan cahaya lentera itu ke depan sambil membalikkan mayat tadi.....

Tapi apa yang kemudian terlihat membuatnya segera menghembuskan napas panjang, harapan yang semula sudah punah, kini muncul kembali. Ternyata mayat itu bukanlah mayat dari si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian. Dengan cepat Thi Eng khi berhasil mendapatkan kembali ketenangan hatinya, sekali lagi dia melakukan pemeriksaan yang seksama atas mayat serta seluruh isi ruangan itu.

Mayat itu mengenakan jubah panjang berwarna coklat, usianya sudah lanjut dan sebilah anak panah sepanjang beberapa inci menancap di atas punggungnya, ujung panah itu berwarna biru tua, jelas mengandung racun yang amat keji.

Tak heran kalau kakek itu tak sempat menggerakkan tubuhnya setelah terkena hantaman panah beracun itu hingga akhir hidupnya.

Diatas meja terletak sejilid kitab buku yang sedang terbalik pada halaman tengah. Selain daripada itu, empat dinding penuh dengan rak buku dengan pelbagai macam buku yang diatur secara rapi, jelas terlihat kalau buku buku tadi tak pernah dijamah orang.

Dari sini dapat diketahui atas jalannya peristiwa hingga kematian kakek itu. Sudah pasti kakek itu adalah seorang sahabat karib si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian, suatu hari dia datang berkunjung kesitu, tapi lantaran Kwik Keng thian tak ada di rumah maka diambilnya sejilid buku untuk dibaca.

Siapa tahu pada saat itulah muncul seseorang yang membidikkan sebuah panah beracun maka kakek itupun menemui ajalnya tanpa diketahui oleh sang korban sendiri. Mungkin saja jalannya peristiwa ini hampir mirip dengan apa yang diduga oleh Thi Eng khi, tapi kalau dipikirkan lebih ke depan, penemuan beberapa hal yang mencurigakan ini sulit rasanya untuk memperoleh penjelasan.... Seperti misalnya tujuan dari pembunuh itu sebetulnya kakek ini yang diincar sebagai sasarannya? Ataukah si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian? Selain itu, kakek ini apakah seorang jago persilatan pula? Kalau diapun seorang jago persilatan, hal ini menunjukkan kalau pembunuh tersebut memiliki kepandaian silat yang amat lihay, kalau tidak, mustahil dia bisa mendekati korbannya sedemikian dekat tanpa diketahui oleh sang korban.

Selain itu, kemana perginya si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian? Apakah selama ini dia belum pernah pulang? Ataukah dia telah melakukan pengejaran karena menemukan jejak musuh?

Satu malam suntuk Thi Eng khi duduk termenung disitu sambil berusaha untuk memecahkan teka teki itu, namun akhirnya tidak berhasil menemukan kesimpulan apa apa, sementara si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian juga tidak nampak muncul kembali di rumahnya.

Terpaksa pada keesokan harinya Thi Eng khi mengubur jenasah kakek itu, disamping diapun bertekad untuk tinggal sementara waktu disana hingga si pendendam raja akhirat Kwik keng thian balik kembali kerumahnya.

Sabab hanya duduk sambil menanti baru merupakan cara yang paling baik untuk menghadapi segala macam perubahan, kalau tidak kendatipun dia musti menjelajahi seluruh kolong langit, belum tentu orang yang dicari bisa ditemukan.

Hari pertama, Thi Eng khi berada dalam keadaan menganggur sekali, ternyata si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian tidak kembali. Hari kedua, pemuda itu harus menunggu dengan perasaan murung. Hari ketiga dilewatinya dalam kegelisahan. Hari keempat, Thi Eng khi malah jauh lebih tenang karena pikirannya bertambah dewasa, untuk membunuh waktu, dia mulai mengambil buku buku milik si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian untuk dibaca, ternyata orang yang ditunggu belum datang juga. Kitab bacaan yang disimpan pendendam raja akhirat Kwik Keng thian dalam kamar bacaannya banyak sekali, sebenarnya Thi Eng khi memang seorang anak sekolahan sebelum terjun ke arena persilatan. Biasanya orang sekolahan gemar membaca buku, begitu mendapat buku bacaan maka sebagian persoalan yang memenuhi benaknya pun jadi terlupakan sama sekali.

Ternyata buku yang disimpan si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian terbagi menjadi tiga kelompok besar : ilmu sastra, ilmu silat dan ilmu pertabiban. Thi Eng khi datang karena ingin mendapatkan pertolongan , itulah sebabnya tanpa sadar ia menaruh perhatian khusus terhadap kitab kitab ilmu pertabiban milik pendendam raja akhirat Kwik Keng thian, maka dia mengesampingkan kitab ilmu sastra dan ilmu silat dan mengkhususkan diri membaca buku buku pertabiban.

Semenjak empat puluh tahun berselang, si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian sudah merupakan seorang tabib sakti nomor wahid dikolong langit, kitab pertabiban yang disimpan boleh dibilang semuanya merupakan kepandaian sakti yang langka sekali di dunia ini.

Thi Eng khi yang cerdik menjadi makin tertarik dengan pelajaran baru tersebut, tak sampai belasan hari lamanya, bukan saja dia telah menghafalkan seluruh isi kitab ilmu pertabiban yang dimiliki si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian, malah semua kepandaian tersebut telah diserapnya dan bisa dia manfaatkan.

Perlu diketahui ilmu pertabiban bukan hanya mengandalkan dalam soal obat obatan saja, yang penting adalah mengetahui jenis penyakit yang diderita sebelum mengetahui obat apa yang musti diberikan.

Dewasa ini, Thi Eng khi boleh dibilang sudah termasuk seorang ahli pertabiban, hanya saja pengalaman belum ada, cuma dia sendiripun tidak menyadari akan hal ini. Di samping itu, oleh karena dia sudah memahami ilmu pertabiban, hal ini membuat dia mengenal organ tubuh manusia, akibatnya dalam bidang ilmu silat pun dia memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Ketika semua kitab pertabiban dari si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian sudah selesai dibaca namun tuan rumah belum balik juga, anak muda itu mulai gelisah. Maka untuk membunuh waktu, dia mulai menyelidiki gejala penyakit yang diderita oleh Pek leng siancu So Bwe leng.

Beberapa hari sudah lewat, akhirnya jerih payahnya itu mendatangkan hasil juga terhadap penyakit yang diderita Pek leng siancu So Bwe leng, ia berhasil mendapatkan suatu gambaran tertentu serta cara pengobatannya.

Tak tahan lagi dia segera menggebrak meja sambil berseru : “Aaah, betul! Begitulah caranya ”

Tapi dengan cepat wajahnya menjadi murung kembali, sambil menghela napas gumamnya :

“Tapi kemanakah aku harus pergi mencari Si toan kim khong?”

Sementara dia masih belum sadar, mendadak terdengar seseorang membentak dengan suara parau :

“Siapa yang berani memasuki kamar baca lohu? Kau ”

Belum habis perkataan itu diucapkan, terdengar seseorang terjatuh ke atas tanah dengan menimbulkan suara keras. Pada waktu itu, perhatian Thi Eng khi sedang terpusat kedalam satu persoalan, maka dia tidak merasa kalau ada orang mendekatinya, bahkan apa yang diucapkan orang itupun tidak terdengar olehnya.

Dari sini dapat diketahui betapa kuatir serta besar perhatian Thi Eng khi terhadap penyakit yang diderita Pek leng siancu So Bwe leng.......

Menanti orang itu jatuh ke tanah, Thi Eng khi baru tersentak kaget dan melompat bangun, segera bentaknya :

“Siapa di situ?”

Dia membalikkan badannya sambil menengok, menyusul kemudian sambil berseru tertahan, tegurnya : “Mengapa dengan kau orang tua?”

Ternyata orang yang roboh keatas tanah itu adalah si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian, hanya saja waktu itu dia sudah menderita luka yang cukup parah sehingga keadaannya sangat menguatirkan.

Buru buru Thi Eng khi menghampiri si kakek itu dan membaringkannya keatas ranjang, lalu dengan bekal apa yang dibacanya selama ini, dia mulai memberikan pengobatan. Ketika jari tangan Thi Eng khi menyentuh diatas urat nadi Si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian, saking kagetnya sampai untuk beberapa saat lamanya pemuda itu membungkam terbengong.

Ternyata di dunia ini bisa terjadi suatu peristiwa yang begitu kebetulan, luka yang diderita si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian sekarang ternyata persis seperti luka yang diderita oleh Pek leng siancu So Bwe leng. Berada dalam keadaan seperti ini, kecuali menggelengkan kepalanya sambil tertawa getir, Thi Eng khi tak sanggup berbuat banyak.

Bagaimanapun juga, tenaga dalam yang dimiliki si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian memang amat sempurna, walaupun luka yang dideritanya sama seperti yang dialami oleh Pek leng siancu So Bwe leng, akan tetapi dia masih sanggup menahan diri dan bertahan dengan mengandalkan tenaga murninya.

Lebih kurang setengah sepertanak nasi kemudian, pelan pelan si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian tersadar kembali dari pingsannya, bahkan dengan suara yang lirih dia perintahkan kepada Thi Eng khi agar mengambil sebotol obat dari kolong ranjang dan sebungkus jarum dari laci meja tulis.

Mula mula dia menyuruh Thi Eng khi mempergunakan jarum perak yang paling kecil untuk menusuk jari dari kesepuluh jari tangannya, kemudian diapun menyuruh anak muda itu untuk menusuk jalan darah Hap kok hiat, Kit ham hiat, Thian keng hiat, Ciong bun hiat, Im tok hiat, Im lian hiat, Tiong hu hiat, Hee kwan hiat, Tong thian hiat, Hong ti hiat, Kwan goan hiat, Mia bun hiat, Thian ti hiat, Khek swan hiat, serta Sau hay hiat lima belas buah jalan darah.

Untung saja selama belasan hari ini Thi Eng khi mempelajari ilmu pertabiban dengan tekun, ditambah lagi petunjuk dari si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian sekarang, tusukan jarumnya bisa dilakukan dengan tepat dan mantap, tak ada bedanya dengan seorang ahli, hal ini membuat pendendam raja akhirat Kwik Keng thian diam diam merasa terkejut bercampur keheranan.

Setelah tusuk jarum, dia baru menitahkan kepada Thi Eng khi untuk mengeluarkan sembilan butir obat dan memasukkan ke dalam mulutnya ....

Kemudian dia pun menyuruh anak muda itu untuk mengerahkan tenaga dalamnya membantu dia. Tatkala tenaga dalam yang dipancarkan Thi Eng khi masuk kedalam tubuh Kwik Keng thian, dengan cepat pemuda itu dibikin kaget bercampur keheranan.

Ternyata peredaran darah di dalam tubuh si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian sekarang bukan saja sudah berjalan lancar kembali, bahkan reaksi yang timbul sama sekali berbeda dengan keadaan yang diderita Pek leng siancu So Bwe leng, seakan akan dia sudah sembuh sama sekali.

Menyaksikan hasil tersebut, sekali lagi Thi Eng khi mengulangi kembali seluruh pelajaran ilmu pertabiban yang telah dihapalkannya selama ini, akan tetapi hasilnya dia tetap tidak berhasil menemukan alasannya, hal ini membuat anak muda itu semakin tertarik untuk menyelidiki keadaan dari So Bwe leng.

Mendadak timbul satu ingatan dalam benaknya, jika si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian yang menderita penyakit yang sama bisa membaik setelah diberikan pertolongan dengan cara itu, mengapa cara tadi tidak diterapkan pula pada diri Pek leng siancu So Bwe leng?

Tentu saja pada saat itu, dia tak berani mengusik ketenangan Kwik Keng thian dengan persoalan pribadinya sehingga mengganggu hasil latihan tabib sakti itu. Tak sampai sepertanak nasi kemudian, si pendendam raja akhirat Kwik Keng thia telah menyelesaikan semedinya dan duduk seperti orang biasa.

Hal ini membuat Thi Eng khi menjadi terkejut bercampur keheranan sehingga untuk beberapa saat dia tak mampu mengucapkan sepatah katapun jua....

Dengan termangu mangu si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian mengawasi pula wajah Thi Eng khi setengah harian kemudian ia baru menghela napas panjang sambil berkata :

“Aaai. lohu tersohor sebagai tabib sakti nomor wahid di kolong

langit, sungguh tak disangka selembar nyawa sendiri harus ditolong kembali dengan mengandalkan bantuan orang lain!”

Menyusul kemudian dia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak.

“Haahhh..... haaahhh.... haaahhhh menggelikan, benar benar

menggelikan, masa seorang tabib sakti nomor wahid di kolong langit musti minta bantuan orang lain, peristiwa ini betul betul suatu lelucon yang amat besar!”

Thi Eng khi kuatir kalau gelak tertawa itu akan mempengaruhi keadaan lukanya, tak tahan dia lantas menghibur sambil katanya :

“Locianpwe, yang penting adalah kesehatan badanmu, janganlah kelewat emosi!”

Si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian segera mengayunkan telapak tangannya melepaskan sebuah pukulan yang menembusi dinding rumah dan mematahkan sebatang pohon di luar halaman sana, kemudian sekali lagi dia tertawa terbahak bahak.

“Haaahhh.... haaahhhh.... haaahhhh kau anggap lohu bakal

mampus?”

Pohon itu besarnya beberapa depa tapi hanya termakan sekali pukulan saja sudah patah menjadi dua, kesempurnaan tenaga dalam seperti ini hakekatnya jarang sekali dijumpai didunia ini, tapi kenyataannya sekarang tenaga dalam sesempurna itu diperlihatkan oleh seorang kakek yang sedang terluka parah, hal ini kontan saja membuat Thi Eng khi terbungkam dalam seribu bahasa.

Kalau sedang terluka saja tenaga dalam yang dimiliki si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian sudah begitu lihaynya, apalagi jika dia sedang berada dalam keadaan sehat, kepandaiannya benar benar tak terlukiskan dengan kata kata.

Sementara Thi Eng khi masih termenung dengan pelbagai pikiran, mendadak pendendam raja akhirat Kwik Keng thian menghentikan gelak tertawanya, kemudian sambil menggelengkan kepalanya berkata :

“Jika tiada Si toan kim khong lohu pun tak mungkin bisa hidup lebih jauh!”

Sebentar mengatakan tak bakal mati sebentar lagi mengatakan tak bisa hidup, pernyataan yang simpang siur ini segera membuat Thi Eng khi menjadi tertegun sehingga tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.

Pelan pelan paras muka si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian berubah menjadi amat serius sekali, kemudian terdengar ia berkata :

“Sejak lohu pura pura mati dan mengasingkan diri di sini, belum pernah kumohon bantuan dari seseorang, sekarang kita kesampingkan dulu secara bagaimana sauhiap bisa menemukan tempat tinggal lohu ini, kalau dilihat dari kesabaran sauhiap menunggu kedatangan, dapat diketahui jika sauhiap mempunyai persoalan penting yang hendak dirundingkan dengan lohu, nah bila sauhiap ada persoalan, katakan saja, waktu yang tersedia tidak banyak, sebentar lohu harus pergi lagi.”

Seandainya Thi Eng khi adalah seorang yang egois, terlalu mementingkan kepentingan sendiri, dia pasti mengutarakan persoalannya kemudian buru buru berangkat pulang untuk menyembuhkan luka yang diderita oleh Pek leng siancu So Bwe leng. Akan tetapi, dia bukan seorang manusia macam begitu, benar mati hidup So Bwe leng menempati posisi yang penting dalam hatinya, namun setelah menyaksikan gerak gerik si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian yang serba aneh, timbul jiwa pendekarnya untuk memberi pertolongan .

Sekarang dia sudah tidak memikirkan kepentingan dirinya lagi, melainkan berpikir demi kepentingan tabib sakti itu. Demikianlah, dengan penuh rasa kuatir dia lantas berkata :

“Locianpwe, kau ada persoalana apa yang hendak diselesaikan? Harap kau suka menyampaikannya kepada boanpwe, agar aku yang melakukan bagimu, sedang mengenai persoalan boanpwe, biar nanti saja baru kumohon petunjuk locianpwe.”

Mencorong sinar tajam dari balik mata si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian :

“Lohu pergi hendak mencari mati, apakah kau dapat mewakilinya? Ada persoalan apakah yang hendak kau utarakan, cepat kau katakan, daripada menghalang halangi perjalanan lohu saja.”

Mendengar si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian hendak pergi mencari mati, dengan cepat Thi Eng khi menghadang di depan pintu dengan wajah gelisah, serunya :

“Locianpwe adalah seorang yang mulia dan berilmu tinggi, sekalipun kau dilukai orang, tidak seharusnya kalau mempunyai pikiran pendek. Orang bilang selama gunung nan hijau, tak akan kuatir kehabisan kayu bakar, harap locianpwe suka berpikir tiga kali sebelum bertindak!”

Si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian tertawa getir : “Thi sauhiap, apakah kau mengira aku sudah putus asa dan

bermaksud untuk membunuh diri?” serunya.

Thi Eng khi memang tak dapat meraba jalan pikiran tabib sakti nomor wahid di kolong langit ini, dia mengira pandangannya keliru, maka sambil tertawa rikuh katanya : “Boanpwe benar benar tidak mengerti apa yang locianpwe maksudkan ”

Tampaknya si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian juga sudah tahu kalau Thi Eng khi adalah seorang pemuda yang keras kepala, jika persoalannya tidak dijelaskan, mustahil dia dapat meninggalkan rumah itu. Kalau menerjang dengan kekerasan bukan saja hal ini akan menurunkan derajatnya, lagipula terhadap daya tahan tubuhnya akan merupakan suatu kerugian besar. Karena itu dalam keadaan apa boleh buat terpaksa dia mesti bertanya dengan terus terang.

“Thi sauhiap, tahukah kau luka apakah yang lohu derita?” Tanpa ragu-ragu Thi Eng khi segera bertanya :

“Apakah locianpwe telah dipukul oleh Huan im sin ang dengan ilmu Jit sat hian cin khinya yang telah menyusup ke dalam jantung?”

Selintas rasa tercengang segera menghiasi wajah si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian, tanya kemudian :

“Apakah Thi sauhiap mengerti cara pengobatannya?”

Thi Eng khi berpikir sebentar, lalu sahutnya :

“Menurut apa yang boanpwe ketahui kecuali menggunakan tusuk jarum, hanya si toan kim khong saja yang ada harapan untuk menyembuhkan penyakit tersebut.”

Tak tahan si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian segera berseru tertahan, jelas dia merasa kaget bercampur tercengang atas luasnya pengetahuan Thi Eng khi dalam ilmu pertabiban.

Tapi dengan cepat dia bertanya kembali :

“Sauhiap, tahukah kau Si toan kim khong itu hanya bisa ditemukan dimana?”

“Justru persoalan inilah yang hendak boanpwe tanyakan kepada locianpwe, dimanakah Si toan kim khong itu baru bisa ditemukan?” jawab Thi Eng khi dengan wajah tegang. Si pendendam raja akhirat Kwik Keng thia salah mengartikan maksud dari Thi Eng khi itu, dia mengira anak muda tersebut hendak mencari Si toan kim khong untuk menyembuhkan lukanya. Dengan ucapan rasa terima kasih segera serunya :

“Terima kasih banyak atas maksud baik sauhiap, paling banter lohu hanya bisa hidup selama sepuluh hari lagi, sekalipun sauhiap memiliki Si toan kim khong juga tak sempat untuk dipakai menolong selembar nyawa lohu.”

Mendadak Thi Eng khi teringat kalau dia hampir sebulan lamanya berada disini, kalau si pendendam raja akhirat Kwik Keng thian saja hanya bisa bertahan selama sepuluh hari, bukanlah hal ini berarti Pek leng siancu So Bwe leng sudah lama meninggal dunia? Berpikir sampai disitu, paras mukanya segera berubah dan hatinya mulai tak tenang.

Salam hangat untuk para Cianpwee sekalian,

Setelah melalui berbagai pertimbangan, dengan berat hati kami memutuskan untuk menjual website ini. Website yang lahir dari kecintaan kami berdua, Ichsan dan Fauzan, terhadap cerita silat (cersil), yang telah menemani kami sejak masa SMP. Di tengah tren novel Jepang dan Korea yang begitu populer pada masa itu, kami tetap memilih larut dalam dunia cersil yang penuh kisah heroik dan nilai-nilai luhur.

Website ini kami bangun sebagai wadah untuk memperkenalkan dan menghadirkan kembali cerita silat kepada banyak orang. Namun, kini kami menghadapi kenyataan bahwa kami tidak lagi mampu mengelola website ini dengan baik. Saya pribadi semakin sibuk dengan pekerjaan, sementara Fauzan saat ini sedang berjuang melawan kanker darah. Kondisi kesehatannya membutuhkan fokus dan perawatan penuh untuk pemulihan.

Dengan hati yang berat, kami membuka kesempatan bagi siapa pun yang ingin mengambil alih dan melanjutkan perjalanan website ini. Jika Anda berminat, silakan hubungi saya melalui WhatsApp di 0821-8821-6087.

Bagi para Cianpwee yang ingin memberikan dukungan dalam bentuk donasi untuk proses pemulihan saudara fauzan, dengan rendah hati saya menyediakan nomor rekening berikut:

  • BCA: 7891767327 a.n. Nur Ichsan
  • Mandiri: 1740006632558 a.n. Nur Ichsan
  • BRI: 489801022888538 a.n. Nur Ichsan

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar